OLEH:
Puji syukur kami curahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat kami dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah mata kuliah Pengantar
Ilmu Veteriner tepat waktu. Penulisan makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas
mata kuliah Pengantar Ilmu Veteriner dengan judul “Sapi Perah” yang dapat
diselesaikan karena kerja sama anggota kelompok. Kami juga mengucapkan terima
kasih kepada dosen mata kuliah Pengantar Ilmu Veteriner yang telah membimbing
penyelesaian makalah.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memerlukan penyempurnaan
pada bagian isi ataupun penulisan. Kami menerima segala bentuk kritik dan saran
dari pembaca. Apabila terdapat banyak kesalahan, kami memohon maaf. Akhir
kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..............................................................................................
ABSTRAK ................................................................................................................
3.1 Simpulan............................................................................................
Kata Kunci: Sapi perah, industri sapi perah, pengaruh lingkungan ,tingkah laku,
zooteknik, handling, restrain, dan judging.
BAB I
PENDAHULUAN
Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui apa saja faktor pendukung yang
mempengaruhi produksi sapi perah.
Manfaat Penelitian
• Manfaat Teoritis
makalah ini bermanfaat untuk memberi sumbangsih pengetahuan mengenai
pengertian kloning, perkembangan kloning hewan, manfaat kloning hewan,
teknik kloning hewan, keberhasilan kloning pada berbagai spesies hewan
dan kloning pada hewan ternak.
• Manfaat Praktis
B. Konsumsi Susu
Menurut standar FAO, tingkat konsumsi susu di bawah 30 kg per kapita
per tahun adalah rendah; menengah adalah 30−150 kg/kapita/tahun, dan
tinggi adalah lebih dari 150 kg/kapita/tahun (FAO, 2020). Jika
dibandingkan dengan standar FAO maka konsumsi susu di Indonesia
dikategorikan “rendah” karena kurang dari 30 kg/kapita/tahun. Terdapat
berbagai faktor penyebab rendahnya konsumsi susu di Indonesia. Salah satu
faktor yang paling banyak disebut adalah harga susu yang menurut
masyarakat Indonesia masih relatif mahal. Faktor lain yang menyebabkan
rendahnya konsumsi susu di Indonesia adalah rendahnya tingkat
pengetahuan masyarakat terhadap manfaat susu sapi dan produk olahannya
sehingga belum tercipta budaya minum susu di masyarakat
Pengertian dari Zooteknik adalah seni mengelola hewan domestik atau tawanan,
termasuk penanganan, berkembang biak, dan menjaga berdasarkan: Genetika,
Reproduksi, Pakan dan Gizi, Penanganan, Kesehatan dan Ekonomi (Wikipedia).
g) Cooling Fan
Penempatan cooling fan yang tepat merupakan langkah
pertama membuat sapi menjadi dingin. Sirkulasi udara menjadi
meningkat, dan lepasnya panas dari sapi dengan cara koneksi.
Cooling fan sering dipakai pada kandang freestall dan kandang
asal ( holding pen ) yang bisa dikombinasi dengan sprinkle.
Penempatan fan secara vertikal terlalu tinggi tidak akan mampu
mencapai badan sapi dan alas / beeding, maka ukuran tinggi
minimum 2,5 meter. Cooling fan yang dipasang harus memenuhi
standar kecepatan tinggi dan tidak menimbulkan kebisingan.
Perlunya pemasangan fan di kandang asal ( holding pen ), karena
pada saat aktivitas sapi makan secara bersamaan dan banyak akan
terjadi peningkatan suhu ( kegerahan ).
Dalam kondisi suhu siang hari atau kemarau, boleh jadi pakan yang diberikan
dengan takanan Metabolisme Energi yang lebih rendah. Hal ini bertujuan
mengurangi panas dari proses metabolisme. Jika dalam satu populasi sapi
menunjukkan ekspresi kepanasan ( contoh : panting ), maka pemberian imbuhan
pakan yang dapat menurunkan panas bisa menjadi pilihan. Seperti pemakaian
acetaminophen sebagai imbuhan pakan, selain untuk mensiasati heat stress juga
bertujuan meningkatkan asupan bahan kering oleh usus. Namun jika hanya ada
beberapa individu yang mengalami panting, pemberian penurun panas secara
injeksi menjadi pilihan yang tepat.
Kemajuan dalam modifikasi lingkungan dan manajemen nutrisi sebagian
meringankan dampak stres termal pada kinerja hewan selama musim panas.
Namun, strategi jangka panjang harus dikembangkan untuk adaptasi terhadap
perubahan iklim. Perbedaan toleransi termal ada antara spesies ternak memberikan
petunjuk atau alat untuk memilih hewan thermotolerant menggunakan alat genetik.
Identifikasi hewan yang toleran terhadap panas dalam breed yang berproduksi
tinggi hanya akan berguna jika hewan ini mampu mempertahankan produktivitas
dan daya tahan yang tinggi ketika terkena kondisi heat stress. Ternak dengan rambut
pendek, rambut berdiameter lebih besar dan warna bulu yang lebih ringan lebih
beradaptasi dengan lingkungan yang panas dibandingkan dengan rambut yang lebih
panjang dan warna yang lebih gelap. Fenotip ini telah dicirikan pada sapi tropis B.
Tingkah laku atau etologi hewan praktis telah merupakan hal yang penting sejak
masa prasejarah. Tingkah laku ini dimanfaatkan oleh para pemburu dan kemudian
oleh masyarakat untuk menjinakkan hewan-hewan tersebut. Sampai pada
pertengahan abad ini, para ilmuwan di bidang pertanian tidak banyak mengenal
ilmu tingkah laku hewan baik secara praktis sebagai hal yang penting maupun
sebagai hal yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Istilah tingkah laku
ingestif ini meliputi bukan hanya memakan pakan solid tetapi juga menyusui anak
dan meminum pakan cair. Mempertahankan konsumsi pakan yang cukup untuk
hidup dan suksesnya reproduksi merupakan hal yang sangat penting bagi semua
spesies ternak. Karena itu, mengerti pola tingkah laku yang digunakan oleh hewan
untuk mencari, mendapatkan, menyeleksi dan memakan pakan penting sekali untuk
berhasilnya pengembangan usaha peternakan. Seleksi pakan pada kondisi
penggembalaan bebas sangat tergantung pada poladasar tingkah laku ingestif.
Manusia bisa menggunakan beberapa control dengan beberapa usaha seperti
pemagaran atau pengawetan pakan pada saat persediaan pakan banyak untuk
dipergunakan pada waktu kekurangan pakan.
Dalam keadaan dikandangkan secara intensif, seperti system potong-angkut
yang umumnya berlaku di Indonesia, manusia mengontrol kebanyakan faktor-
faktor yang mempengaruhi tingkah laku ingestif. Hal ini meliputi jenis dan jumlah
pakan yang tersedia dan tempatnya, periode waktu selama pakan tersedia bagi
ternak dan kelompok social ternak yang bersaing untuk mendapatkan pakan.
Tetapi walaupun dalam keadaan yang terbatas dan bahkan bila ternak diberi makan
secara individu, faktor-faktor social mempengaruhi tingkah laku ingestif dan
jumlah pakan yang dimakan. Ketika ternak sapi diberi pakan dalam jumlah yang
terbatas dalam waktu tertentu, mereka tidak punya pilihan kecuali memakan
semua pakan yang diberikan. Pada pemberian pakan secara berlebihan, pola
makan sehari-hari akan berkembang.
Pada sapi dengan penggembalaan sub-tropis, periode merumput terjadi paling
banyak ketika rumen diisi dengan rumput yang baru dan hal ini terjadi menjelang
pagi sampai pagi, senja sampai matahari terbenam dengan satu periode lebih singkat
kira-kira tengah malam. Periode 24 jam dibagi secara jelas menjadi periode
merumput, mengunyah dan beristirahat. Di daerah tropis, siklus merumput biasanya
sebaliknya. Pada waktu tengah hari yang panas, sapi beristirahat di bawah naungan
atau dekat tempat air dan terdapat periode merumput yang panjang pada malam
hari. Sapi berhenti merumput pada saat
dia kepanasan, terutama bagi sapi yang berasal dari daerah sub-tropis. Di daerah
tropis, sapi yang di tempatkan dalam kandang tertutup pada malam hari tanpa
persediaan pakan atau air, konsumsi pakannya sering menurun secara nyata,
terutama pada sapi yang mempunyai adaptasi yang kurang baik yang berasal dari
daerah sub-tropis seperti sapi Frisiean Holstein, yang tidak diberi pakan selama hari
panas.
Secara umum, sapi meluangkan waktu 8-10 jam untuk merumput, tetapi
mempunyai fleksibilitas yang cukup untuk menyesuaikan waktu merumput untuk
mempertahankan jumlah pakan yang dimakan pada periode banyak angin dan
hujan, cuaca panas ketika merumput terhenti. Mereka juga bisa mengatasi
peningkatan kebutuhan fisiologis dari periode akhir kebuntingan dan laktasi pada
beberapa keadaan yang beda. Dalam keadaan cuaca panas dan lembab, aktivitas
makan sapi tertinggi pada waktu suhu udara lebih rendah yaitu pada pagi hari.
Terdapat suatu hal yang menarik tetapi tidak ada pengamatan yang pasti yang
menyatakan bahwa domba dan sapi bisa meramalkan keadaan panas yang akan
terjadi dan dengan demikian mereka merumput lebih dini dalam satu hari di
bandingkan dengan tipe Zebu yang mempunyai daya adaptasi yang lebih baik
dalam keadaan panas. Waktu yang digunakan oleh sapi untuk makan tergantung
pada spesies ternak itu sendiri, status fisiologisnya , serta tipe dan persediaan pakan.
Iklim yang sangat ekstrim juga berpengaruh. Sementara jumlah pakan yang
dimakan meningkat pada keadaan cuaca dingin. Pada saat padang rumput dalam
keadaan kering, sapi meningkatkan waktu untuk merumput . Semua hewan bisa
juga bervariasi dalam jumlah pakan yang dimakannya dengan mengubah jumlah
gigitan per menit dan meningkatkan besarnya regutan tersebut. Preferensi atau
pemilihan pakan adalah berbeda di antara jenis ternak herbivora. Akan tetapi, dalam
beberapa keadaan , ternak akan lebih suka memakan garam blok. Kilgour dan
Dalton menyarankan bahwa skala ini dapat digunakan sebagai suatu dasar terhadap
pakan baru, murah dan potensi manfaatnya dapat diuji. Ada cara yang efektif untuk
membuat ternak dapat memakan pakan yang bernilai gizi tinggi dan murah tetapi
baunya tidak disukai ternak yaitu dengan menutup hidung ternak tersebut. Lobato
dan kelompok penelitinya dan juga Lynch dan kelompok penelitinya telah
mendapatkan bahwa ternak mampu belajar pada awal kehidupannya dan
emmpunyai ingatan yang baik dalam jangka waktu yang panjang. Melihat teman
dalam kelompok yang telah berpengalaman memakan pakan yang baru, dapat
membantu ternak yang belum berpengalaman untuk memakan pakan baru tersebut.
Fenomena ini disebut sebagai transmisi social dalam tingkah laku makan atau
belajar berdasarkan pengalaman.
Memberikan masa perkenalan bagi ternak terhadap pakan atau suplementasi
yang mungkin diharapkan untuk dimakan dalam keadaan darurat merupakan hal
yang sangat berguna. Metode sederhana dapat digunakan untuk mengecek
ternak yang mana yang memakan dan tidak memakan pakan yang baru.
2.5 Handling Sapi Perah
A. Restrain
Pengusaan terhadap ternak dalam usaha peternakan, terutama ditujukan
untuk keperluan keperluan sebagai berikut :
D. Sistem Mamae
Body scoring sering disebut juga body condition scoring atau condition scoring
merupakan teknik untuk menilai kondisi tubuh ternak pada interval tertentu. Body
scoring pada sapi perah bermanfaat sebagai alat bantu dalam manajemen induk sapi
kering (dry cow) dam periode sebelum beranak (precalving). Terdapat dua metode
skala yang umumnya di gunakan dalam penentuan BCS yaitu scala 9 (Amerika)
dan skala 5 (Inggris dan Commenwealth). Perhitungan BCS umumnya
menggunakan skala 5 (1= sangat kurus, 2=kurus, 3=sedang, 4=gemuk, 5=sangat
gemuk) dengan skala 0.25. Skor 0-5 diberikan atas dasar lemak yang dapat
didasarkan pada daerah pelvis dan sacralis. Skor 0 menggambarkan sapi yang
sangat kurus, skor 5 untuk sapi yang sangat gemuk. Untuk sapi perah sebaiknya
skor idealnya pada saat kering dan prepartum sekitar 2,5-3, pada angka ini ternak
berada dalam kondisi tubuh yang fit and no fat.. Pada sapi perah, tahapan yag
penting dalam produksi adalah :
2) Saat Partus : induk sapi yang terlalu gemuk tidak boleh melahirkan
anak karena induk yang terlalu gemuk mudah terkena berbagai
penyakit seperti pembengkakan hepar (fatty liver), ketosis, milk
fever, mastitis, kelumpuhan, dan infertilitas.
3) Awal Masa Laktasi: Induk sapi harus mendapat pakan yang cukup
untuk mencegah penurunan berat badan yang drastis.
Areal yang dinilai adalah pangkal ekor dengan meraba atau merasakan adanya
lapisan lemak di sekitar pangkal ekor & penonjolan tulang pelvis. Selain pangkal
ekor, yang dinilai adalah pinggal (Loin) dengan merasakan processus spinosus dan
transversus dan adanya lemak diantaranya. Body scoring pada sapi perah biasanya
dilakukan pada saat sapi kering (drying off) 7-8 minggu prepartus, prepartum (3
minggu sebelum partus), dan sebelum dikawinkan.
Nilai Body Condition Score (BCS) dalam skala interval 5 menurut Sukandar, 2008,
dapat uraian sebagai berikut:
a) Grade 1 (sangat kurus).
Pada level ini ciri yang mudah diamati adalah pangkal ekor
/ anus akan nampak sangat menyusut kedalam sedangkan
Vulva akan nampak sangat menonjol keluar. Selanjutnya
dapat diamati bahwa prosessus spinosus pendek dapat
diraba dan tuber coxae serta tuber ischiadicus sangat jelas
terlihat. Vulva Nampak menonjol, hook Nampak angular, ruas-ruas diantara
cincin tulang ekor terlihat jelas.
b) Grade 2 (Kurus)
Vulva tidak terlalu menonjol. Prosessus spinosus
pendek dapat diraba, sedikit terlihat menonjol,
tuber coxae dan tuber ischiadicus menonjol tetapi
bagian diantaranya tidak terlalu cekung. Apabila
nampak lengkungan cekungan antara rusuk pendek
BCS 2.25 Rusuk pendek masih dapat terlihat dan
hook berbentuk angular , serta terdapat lapisan lemak pada bagian paha
belakang (pin) maka BCS 2.75 Namun apabila pada bagian pin tidak
terdapat lemak maka BCS = 2,5 .
c) Grade 3 (sedang)
Vulva Nampak lebih rata, anus tertutup namun tidak terdapat
deposit lemak, dan tulang ekor nampak membulat. Prosessus
spinosus dapat terasa dengan perabaan yang diberikan
tekanan.tuber coxae dan tuber ischiadicus nampak membulat dan
lebih halus. Apabila ligament di daerah pangkal ekor dan di daerah
lumbal sacral masih terlihat, maka BCS 3,5 dan apabila ligament
di daerah pangkal sudah ekor tidak terlihat namun sacral ligament masih
dapat terlihat maka BCS 3.75.
d) Grade 4 (gemuk).
Prosessus spinosus hanya dapat terasa dengan tekanan yang
kuat.Tuber coxae membulat halus. Area di sekitar tulang Tuber
ischiadicus terlihat padat dan ada deposit lemak. Legok lapar
nampak flat. Legok lapar pada posisi flat maka BCS < 4. Apabila
tulang rusuk pendek hampir tidang terlihat maka BCS = 4.25.
Apabila legok lapar pada posisi datar dan tulang rusuk tidak
naampak maka BCS = 4,50. Apabila Bentukan Hook mulai tidak nampak
maka BCS = 4.75
3.1 Simpulan
industri sapi perah masih membutuhkan usaha-usaha untuk meningkatkan
performan pengolahan susu, baik performa kesehatan sapi itu sendiri atau
lingkungan pendukungnya. Perilaku dasar pada hewan seperti makan, minum,
tidur, istirahat, aktivitas seksual, eksplorasi, latihan, bermain, ekplorasi, aktivitas
melarikan diri, pemeliharaan dan sebagainya sangat penting untuk diketahui
dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan dan memberi rasa nyaman serta aman
terhadap diri mereka. Kondisi dimana perilaku dasar tersebut tidak terpenuhi akan
berdampak pada kinerja dan produktivitas dari hewan. Salah satu teknik yang
dapat membantu produktivitas sapi perah yatu zooteknik. Penanganan,
berkembang biak, dan menjaga berdasarka Genetika, Reproduksi, Pakan dan
Gizi, Penanganan, Kesehatan dan Ekonomi dapat terpenuhi melalui teknik
tersebut.
3.2 Saran
https://kemenperin.go.id/artikel/19031/Kemenperin-Dorong-Industri-Pengolahan-
Susu-Bermitra-Dengan-Peternak-Sapi-Lokal
http://jnp.fapet.unsoed.ac.id/index.php/psv/article/view/531/275
https://ekonomi.bisnis.com/read/20191231/99/1185787/ini-strategi-kementan-
dorong-industri-susu
http://repository.pertanian.go.id/bitstream/handle/123456789/6670/Kebijakan%20
Ekonomi%20Industri%20Agribisnis%20Sapi%20Perah%20di%20Indonesia.pdf?s
equence=1
https://zuliasp2.blogspot.com/2015/06/handling-sapi-perah.html
http://bvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/heat-stress-sapi-perah-dan-cara-
mengatasinya/
http://bbptusapiperah.ditjenpkh.pertanian.go.id/?p=3658
http://disnak.jatimprov.go.id/web/layananpublik/downloadartikel/56/3
https://bagasputra.web.ugm.ac.id/2018/02/01/tugas-ilmu-tingkah-laku-
hewan-itlh/ http://eninuraeni190793.blogspot.com/2014/05/makalah-
tingkah-laku-ternak.html
https://slideplayer.info/slide/2551609/