Anda di halaman 1dari 38

SAPI PERAH

OLEH:

T SALSABIL DANISA 062011133133


FERDIKA YUDHA W 062011133153
RAFI ALLAM ZHAFRAN 061911133205
DIKSON BUTTUAN 062011133199
ANGGI KAROLINA BORU SARAGIH 062011133156
RIVALDO ALEXANDER SIAHAAN 062011133141
NI LUH PUTU SITA SAVITRI 062011133139
LIDWINA ARELL EVELYN CORNELIS 062011133196
FAIZAH FAZA NABILAH 062011133152

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS AIRLANGGA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami curahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat kami dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah mata kuliah Pengantar
Ilmu Veteriner tepat waktu. Penulisan makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas
mata kuliah Pengantar Ilmu Veteriner dengan judul “Sapi Perah” yang dapat
diselesaikan karena kerja sama anggota kelompok. Kami juga mengucapkan terima
kasih kepada dosen mata kuliah Pengantar Ilmu Veteriner yang telah membimbing
penyelesaian makalah.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memerlukan penyempurnaan
pada bagian isi ataupun penulisan. Kami menerima segala bentuk kritik dan saran
dari pembaca. Apabila terdapat banyak kesalahan, kami memohon maaf. Akhir
kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Surabaya, 20 Desember 2020

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..............................................................................................

DAFTAR ISI .............................................................................................................

ABSTRAK ................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................

1.1 Latar Belakang ...................................................................................

1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................

1.3Tujuan Penulisan .................................................................................

1.4 Manfaat Penelitian ..............................................................................

BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................

2.1 Industri Sapi Perah .............................................................................

2.2 Zooteknik Sapi Perah .........................................................................

2.3 Pengaruh Lingkungan Pada Sapi Perah ..............................................

2.4 Tingkah Laku Sapi Perah ...................................................................

2.5 Handling Sapi Perah ..........................................................................

2.6 Restrain Sapi Perah ............................................................................

2.7 Judging Sapi Perah……………………………………………………………...

2.8 Body Scroring Sapi Perah……………………………………………………..

BAB III PENUTUP ................................................................................................

3.1 Simpulan............................................................................................

3.2 Saran ..................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................


ABSTRAK

Sektor peternakan merupakan sektor yang memiliki peluang sangat besar


untuk dikembangkan sebagai sebuah usaha dimasa depan. Kesadaran masyarakat
akan pentingnya mengkonsumsi pangan hewani mengakibatkan permintaan
terhadap produk-produk hewani seperti susu, telur, dan daging menjadi meningkat.
Pengembangan subsektor peternakan khususnya ternak perah sangat potensial.
Peluang meningkatkan produksi susu masih cukup besar, baik melalui peningkatan
populasi dan produktivitas ternak maupun diversifikasi sumber susu. Salah satu
ternak perah yang potensial untuk dikembangkan adalah sapi perah.
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan dari industri sapi perah seperti industrinya, pengaruh
lingkungan ,tingkah laku, zooteknik, handling, restrain, dan judging.

Kata Kunci: Sapi perah, industri sapi perah, pengaruh lingkungan ,tingkah laku,
zooteknik, handling, restrain, dan judging.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sapi adalah hewan ternak terpenting sebagai sumber daging, susu, ternaga
kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% kebutuhan daging
dunia, 95% kebutuhan susu dan 85% kebutuhan kulit. Sapi berasal dari famili
bovidae seperti halnya bison, banteng, kerbau (bubalus), kerbau afrika (syncherus),
dan anoa. Domestikasi sapi mulai dilakukan sekitar 400 tahun SM. Sapi
diperkirakan berasal dari asia tengah, kemudian menyebar ke eropa, afrika dan
seluruh wilayah asia. Menjelang akhir abad ke 19, sapi ongole dari india
dimasukkan ke pulau sumba dan sejak saat itu pulau tersebut dijadikan pembiakan
ongole murni. Pada tahun 1957 telah dilakukan perbaikan mutu genetik sapi
Madura dengan jalan menyilangkannya dengan sapi red deen.
Sapi perah merupakan sapi yang dipelihara untuk diambil susunya sebagai
produksi utama sedangkan anak dan induk afkir sebagai hasil sampingannya. Susu
sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang dibutuhkan tubuh. Usaha
sapi perah adalah salah satu jenis usaha yang sangat potensial. Dan selain itu
pemasaran dan perawatan sapi perah relatif mudah, serta secara ekonomis budidaya
sapi perah mampu menghasilkan keuntungan. Pendapatan dari susu sapi perah
bersifat harian dan untuk melakukan pembayaran susu sapi tersebut sudah jelas dan
pasti mekanismenya. Manfaat lain yang dapat diambil dari usaha sapi perah tersebut
yaitu dari kotoran sapi yang masih bisa dimanfaatkan untuk bahan baku energy
biogas, dan limbah dari biogas masih dapat digunakan lagi menjadi pupuk kandang.
Salah satu indikator keberhasilan suatu peternakan sapi perah adalah adanya
peningkatan produksi susu. Hal ini tentunya tidak bisa didapatkan dengan tiba-tiba,
perlu diperhatikan dengan seksama tidak hanya menyangkut pakan tetapi juga faktor
lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk menganalisis faktor-faktor
yang mempengaruhi produksi susu sapi perah terutama pada industri ,tingkah
laku, zooteknik, handling, restrain, judging, serta pengaruh lingkungan terhadap
produksi sapi perah.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana industri, pengaruh lingkungan, tingkah laku, zooteknik,
dan handling pada sapi perah?
2. Bagaimana restrain,judging dan body scoring pada sapi perah ?

Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui apa saja faktor pendukung yang
mempengaruhi produksi sapi perah.

Manfaat Penelitian
• Manfaat Teoritis
makalah ini bermanfaat untuk memberi sumbangsih pengetahuan mengenai
pengertian kloning, perkembangan kloning hewan, manfaat kloning hewan,
teknik kloning hewan, keberhasilan kloning pada berbagai spesies hewan
dan kloning pada hewan ternak.
• Manfaat Praktis

Makalah ini bermanfaat bagi penulis, dosen, mahasiswa, dan kampus.


BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Industri Sapi Perah

Indonesia memiliki prospek pengembangan industri sapi perah yang relatif


besar untuk menciptakan negeri ini sebagai kolam susu. Pertama dilihat dari
permintaan potensial susu oleh 250 juta penduduk, permintaan efektif yang terus
berkembang sesuai dengan pertumbuhan perekonomian. Saat ini, produksi sangat
rendah baru mencapai 30 kebutuhan permintaan efektif. Dari sisi produksi,
Indonesia memiliki padang-padang penggembalaan dan produksi hijauan yang
berlimpah dan sebagian besar tidak digunakan sepanjang tahun. Perkembangan
peningkatan produksi sapi perah hingga tahun 1999 kental dengan campur tangan
pemerintah baik dalam pengaturan pemasaran, tataniaga, impor sapi perah,
memaksa IPS membeli susu segar koperasi dengan mengkaitkan ijin impor susu
dengan penyerapan susu segar koperasi. Industri sapi perah di Indonesia
mempunyai struktur yang relatif lengkap yakni peternak, pabrik pakan dan
pabrikpengolahan susu yang relatif maju dan kapasitas yang cukup tinggi, dan
tersedia kelembagaan peternak yakni GKSI (Gabungan Koperasi Susu Indonesia).
Koperasi sapi perah sendiri memainkan peran strategis dalam rantai pasok susu
segar di Tanah Air. Berdasarkan data Departemen Pertanian Amerika Serikat
(USDA), 77% kebutuhan susu segar IPS dipasok dari produksi peternakan rakyat.
Sementara itu, 23% sisanya merupakan produksi perusahaan-perusahaan besar
dengan kepemilikan sapi perah sebanyak 10% dari total populasi yang tercatat.

A. Kandungan Nutrisi Susu


Susu dikenal sebagai sebagai minuman yang sangat menyehatkan
karena mengandung sejumlah besar nutrisi yang diperlukan oleh tubuh.
Selain komponen makronutrien seperti protein (kasein dan whey),
karbohidrat (gula susu sama dengan laktosa), dan lemak, susu juga
mengandung banyak komponen mikronutrien. Satu porsi (sekitar 200
mililiter) susu sapi segar penuh (whole fresh milk) menyediakan 146 kalori,
7,9 gram protein, 12,8 gram karbohidrat, 7,9 gram lemak, juga mengandung
Omega-3, kalsium, selenium, phosfor, potassium, zinc (seng), vitamin A, C,
B kompleks dan D. Vitamin C dan D dapat membantu menjaga dan
meningkatkan imunitas tubuh manusia. Selain itu, susu juga mengandung
komponen bioaktif atau biofungsional yang banyak bermanfaat dalam
menjaga kesehatan dan imunitas tubuh manusia. Susu segar misalnya
mengandung secara alami bakteri probiotik seperti dari genus Lactobacillus
atau Bifidobacterium

B. Konsumsi Susu
Menurut standar FAO, tingkat konsumsi susu di bawah 30 kg per kapita
per tahun adalah rendah; menengah adalah 30−150 kg/kapita/tahun, dan
tinggi adalah lebih dari 150 kg/kapita/tahun (FAO, 2020). Jika
dibandingkan dengan standar FAO maka konsumsi susu di Indonesia
dikategorikan “rendah” karena kurang dari 30 kg/kapita/tahun. Terdapat
berbagai faktor penyebab rendahnya konsumsi susu di Indonesia. Salah satu
faktor yang paling banyak disebut adalah harga susu yang menurut
masyarakat Indonesia masih relatif mahal. Faktor lain yang menyebabkan
rendahnya konsumsi susu di Indonesia adalah rendahnya tingkat
pengetahuan masyarakat terhadap manfaat susu sapi dan produk olahannya
sehingga belum tercipta budaya minum susu di masyarakat

C. Produksi dan Ketersediaan Susu di Indonesia


Rendahnya konsumsi susu nasional tidak terlepas dari masih rendahnya
produksi susu segar nasional. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan,
produksi susu segar nasional tahun 2019 hanya sekitar 996,44 ribu ton (BPS,
2020b). Sementara itu, Pusdatin Kementan (2019) menyebutkan bahwa
yang berarti sekitar 77,47% kebutuhan susu nasional masih diimpor.
Produsen makanan dan minuman berbahan susu dikhawatirkan kalah
bersaing dengan negara lain karena panjangnya proses perizinan untuk
melakukan impor.

D. Karakteristik Peternakan Sapi Perah di Indonesia


Sekitar 90% dari produksi nasional merupakan kontribusi usaha
peternakan sapi perah. Dengan demikian, usaha peternakan sapi perah
rakyat merupakan jenis usaha peternakan sapi perah yang paling dominan
diusahakan di Indonesia.Teknologi yang diketahui peternak, namun rendah
tingkat adopsinya, adalah mesin perah otomatis, biogas, pengolahan kotoran
sapi, pendinginan susu dalam tangkir air dan pengujian kualitas susu.
Teknologi yang berhenti diadopsi adalah melalukan celup dot/putting
setelah memerah susu. Teknologi yang masih terus digunakan adalah
inseminasi buatan, penggunaan deterjen untuk membersihkan peralatan
perah, peningkatan kebersihan pemerahan, penggunaan pakan hijauan
rumput varietas unggul, penggunaan pupuk untuk menanam rumput,
penggunaan alas karet pada kandang, dan menanam tanaman pakan ternak

E. Permasalahan dan Kendala Pengembangan Usaha Ternak Sapi


Perah Rakyat
Usaha sapi perah sebagian besar berskala kecil yang menyebabkan
inefisiensi produksi, keterbatasan modal, pengetahuan dan akses teknologi
terbatas, daya tawar rendah, pemasaran masih secara konvensional dan lebih
banyak mengandalkan koperasi, dan penjualan masih dalam bentuk susu
segar, belum diolah. Kendala lain yang dihadapi peternak susu sapi perah
antara lain, keterbatasan sumber pakan, sapi perah yang diusahakan
keturunan FH kualitas rendah (produktivitas kurang dari 10 liter/hari),
standar kualitas susu di bawah standar minimum, dan kesulitan air pada
musim kemarau

F. Upaya Mendorong Pengembangan Peternakan Sapi Perah Rakyat


Untuk mendorong peternakan maupun industri tertarik di usaha
peternakan sapi perah, maka peran pemerintah sangat penting. Kebijakan
pemerintah dalam upaya mendorong pengembangan usaha tersebut, seperti
mewajibkan industri pengolah susu (IPS) untuk menyerap susu lokal dalam
jumlah tertentu.Konsekuensinya, impor susu oleh IPS harus dibatasi, tidak
dibebaskan seperti selama ini. Yang juga diperlukan, harga beli susu segar
dari IPS kepada peternak harus menarik, sesuai dengan tingkat
keekonomian usaha peternakan sapi perah. Dengan cara itu, maka usaha
peternakan sapi perah akan kembali bergairah. Peternak tradisional maupun
skala industri akan tertarik menggeluti usaha tersebut. Saat ini beberapa IPS
memang sudah melakukan kemitraan dengan peternak sapi perah lokal di
Indonesia.

2.2 Zooteknik Sapi Perah

Pengertian dari Zooteknik adalah seni mengelola hewan domestik atau tawanan,
termasuk penanganan, berkembang biak, dan menjaga berdasarkan: Genetika,
Reproduksi, Pakan dan Gizi, Penanganan, Kesehatan dan Ekonomi (Wikipedia).

Zooteknik pada sapi perah meliputi 3 macam yaitu :

a) Identifikasi (Pemberian Tanda Pada Sapi Perah)


Bertujuan untuk membedakan antara hewan satu dengan yang
lainnya terutama pada hewan yang mempunyai bulu dan bentuk tubuh
yang memiliki kemiripan dengan yang lainnya. Biasanya digunakan
untuk program breeding, penelitian,dan dipelihara di farm yang luas.

Cara Identifikasi dapat berupa :


1) Tradisional, yaitu membakar bagian kulit di bagian belakang
tubuhnya dengan besi pijar yang dipanaskan.
2) Modern, yaitu ear tagging, tattoing, kalung nomor,
branding, dan ear notching
b) Pendugaan Umur Ternak
Berdasarkan pertumbuhannya (eruption) dan
pelepasan/penggantinya (replacement). Selain itu, Gigi dapat digunakan
sebagai alat penduga umur ternak.

c) Pendugaan Berat Badan Ternak


• Blantik” (brooker), seringkali akurasinya lebih tinggi
dibanding dengan menggunakan alat dengan melihat bentuk
fisik, meraba/mencubit bagian kulit tertentu.
• Menggunakan alat (beberapa ukuran tubuhnya), lingkar dada
dan tinggi gumba dikenal mempunyai hubungan yang paling
erat dengan berat badan

2.3 Pengaruh Lingkungan Pada Sapi Perah

Iklim adalah kombinasi berbagai factor seperti temperature, kelembapan, udara,


curah hujan, aliran atau perpindahan udara, kondisi radiasi, tekanan barometris dan
ionisasi. Dari semua factor tersebut, temperature dan curah hujan memegang peran
penting. Dalam praktik, curah hujan efektif yakni jumlah air hujan yang tersedia
bagi tumbuh-tumbuhan adalah indeks yang lebih penting dari curah hujan total.
Untuk mempertahankan suhu tubuhnya sewaktu berada pada kondisi
lingkungan yang sangat bervariasi, maka ternak harus mempertahankan
keseimbangan termal antarproduksi panasnya(penambahan dari lingkungan di
sekitarnya) dengan kehilangan panasnya (yang diberikan ke lingkungan
sekitarnya). Suhu tubuh rata rata sapi berkisar antara 38-39,2 derajat celcius. Suhu
lingkungan yang lebih tinggi atau lebih rendah dari suhu rata rata sapi akan
menyebabkan stress pada sapi
Stres adalah reaksi refleks hewan dalam lingkungan yang keras dan
menyebabkan konsekuensi yang tidak menguntungkan berkisar dari
ketidaknyamanan sampai mati. Stres panas dapat didefinisikan secara sederhana
sebagai kondisi yang terjadi saat seekor hewan tidak dapat menghilangkan suhu
panas secara memadai, entah saat suhu diproduksi atau diserap oleh tubuh, untuk
memelihara keseimbangan suhu badan. Hal ini dapat memicu tanggapan psikologis
dan perubahan tingkah laku, mengarah ke gangguan psikologis yang berpengaruh
negatif bagi hasil produksi dan kemampuan reproduksi hewan ternak (West, 2003;
Nardone dkk., 2006; 2010). Di antara stres, stres panas telah menjadi perhatian
utama dimana pengaruhnyu dapat mengurangi produktivitas hewan di daerah
tropis, sub-tropis dan gersang.
Heat loss merupakan mekanisme keluarnya panas dari dalam tubuh ,
dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan suhu tubuh sapi yang disebabkan aktifitas
semua organ dalam tubuh. Ada 3 cara pelepasan panas yaitu produksi panas karena
metabolisme tubuh, keluarnya panas secara wajar ( sensible ) dan keluarnya panas
secara latent. Produksi panas akan meningkat jika kapasitas prosuksi / metabolisme
meningkat. Pada kondisi lingkungan panas, sapi akan mengurangi produksi panas
dari metabolisme dengan pakan rendah serat. Sensible Heat loss terjadi jika panas
tubuh lebih tinggi dari suhu lingkungan, panas tubuh akan keluar dengan cara
radiasi, konveksi dan konduksi. Hal ini tergantung pada suhu lingkungan, luas
permukaan tubuh sapi, jaringan tubuh dan resistensi terhadap udara. Latent heat
loss, terjadi keluarnya keringat dari kulit atau menguapnya ( evaporasi ) panas dari
hidung.
Heat stress pada sapi terjadi ketika beban panas tubuh melebihi kemampuan
sapi untuk mengeliminasi panas tersebut. Indikasi pertama terjadinya heat stress,
meningkatnya frekuensi nafas secara signifikan melebihi 80 kali/ menit. Akibat dari
heat stress adalah meningkatnya frekuensi nafas, naiknya suhu tubuh, keluar air
keringat, dan nafsu untuk air minum meningkat. Heat stress menyebabkan
penurunan aliran darah ke seluruh tubuh, turunnya nafsu makan ( feed intake ),
produksi susu turun, aktivitas sapi berkurang, dan perfomance reproduksi menurun.
Partameter yang bisa digunakan untuk melihat kejadian heat stress; frekuensi nafas
melebihi 80 kali/ menit, suhu tubuh meningkat diatas 39,2 °C, menurunnya
produksi susu sampai dengan 10%, dan menurunya asupan bahan kering ( dry
matter intake ).Beberapa prinsip untuk mengurangi heat stress, secara genetik sapi
Friesen Holstein lebih cocok di daerah dingin, dan kurang bisa optimal produksi
susu di daerah panas. Ketersediaan air cukup ditempat yang sesuai, dingin dan
bersih. Jarak kandang ke tempat pemerahan yang tidak terlalu jauh (
mengurangi jarak tempuh ). Memberikan atap atau naungan pada kandang atau
ditengah kandang seperti ( housing area dan holding pen ). Di tempat
pemerahan (Milking center ), diharapkan sapi tidak mengantri untuk diperah terlalu
lama, tersedia ventilasi yang cukup, tersedia pendingin di holding pen dan pada
jalan keluarnya sapi. Untuk kandang freestall harus disediakan ventilasi cukup dan
pendingin. Ada beberapa metode untuk menghindari heat stress dan lingkungan
kandangnya:

a) Mengusahakan Atap Agar Tetap Dingin


Kandang sapi perah seharusnya dipilihkan dari bahan yang
dapat menyerap panas, maka dihindari atap seperti seng. Teknis
lainnya dengan memberi sprinkle air ke atap, mengurangi jarak
dengan sumber panas, temperatur atap dapat diturunkan menjadi
280 C dengan sprinkle air 1,5 liter per meter2 atap.

b) Pembuatan Saluran Ventilasi


Saluran ventilasi membantu pertukaran udara dengan cepat
dan kecepatan angin. Ventilasi dilengkapi dengan exhaust fan
besar untuk menyedot panas, kipas akan mendorong panas keluar
dan pengeluaran panas dengan cara konveksi

c) Melalui Pipa Bawah Tanah ( under ground pipe )


Pada prinsipnya temperatur bawah tanah lebih rendah dari
pada temperatur atmosfir. Udara yang dingin masuk melalui pipa
tersebut dengan kedalaman 1.5 – 2 meter kemudian dialirkan ke
kandang sapi. Teknik ini dapat menurunkan suhu 8 – 100 C, dan
tujuan utama teknik ini untuk mengatasi perubahan suhu yang
terlalu ekstrim.
d) Menyediakan Kolam Untuk Berendam
Suhu tubuh sapi yang panas akan turun dengan cara berendam
atau masuk ke kolam air. Keluarnya panas terjadi secara konduksi
dan evaporasi. Namun cara ini harus banyak dikaji dengan
kemungkinan banyaknya penyakit yang bisa ditimbulkan seperti
mastitis.

e) Exit Lane Sprinklers


Sapi akan merasa dingin setelah melewati jalan keluar ( gang
way ) dari tempat pemerahan ( milking parlor ) karena terlah
terpasang sprinkle yang menyemprotkan air di sepanjang
tubuhnya.

f) Kandang Dengan Ventilasi yang Baik


Ventilasi yang baik dapat memperlancar sirkulasi udara /
evaporasi panas dan lepasnya panas dengan cara konveksi.
Mobilitas udara dari atau ke dalam kandang tergantung dari
tekanan angin di dalam dan di luar kandang

g) Cooling Fan
Penempatan cooling fan yang tepat merupakan langkah
pertama membuat sapi menjadi dingin. Sirkulasi udara menjadi
meningkat, dan lepasnya panas dari sapi dengan cara koneksi.
Cooling fan sering dipakai pada kandang freestall dan kandang
asal ( holding pen ) yang bisa dikombinasi dengan sprinkle.
Penempatan fan secara vertikal terlalu tinggi tidak akan mampu
mencapai badan sapi dan alas / beeding, maka ukuran tinggi
minimum 2,5 meter. Cooling fan yang dipasang harus memenuhi
standar kecepatan tinggi dan tidak menimbulkan kebisingan.
Perlunya pemasangan fan di kandang asal ( holding pen ), karena
pada saat aktivitas sapi makan secara bersamaan dan banyak akan
terjadi peningkatan suhu ( kegerahan ).

h) Sprinkler Kombinasi Dengan Fan Cooling


Teknik ini akan memberi kenyamanan yang lebih luas pada
sapi, dapat digunakan di kandang freestall dan kandang asal (
holding pen ). Kelebihan lain dari teknik ini, tidak memerlukan
investasi yang tinggi, tinggi efektifitas, perawatan mudah. Air yang
disemprotkan akan membasahi merata pada tubuh dan kulit sapi.
Cara ini sangat populer di musim lembab. Namun teknik ini
membutuhkan air dalam jumlah banyak, dalam beberapa data
kebutuhan air 114 liter perekor per hari. Kelemahan lainnya, air
yang tertinggal di lantai kandang membuat becek dan berpotensi
menyebabkan masalah pada kaki dan kuku.

i) Kombinasi Cooling Fans Dengan Fooging


Prinsip metode ini, penguapan dingin menggunakan energi
udara untuk menguapkan air sehingga suhu akan turun serta
kelembapan akan meningkat. Metode ini hanya cocok bagi kendang
dengan kelembapan rendah. Kelemahan cara ini, butuh peralatan
yang mahal, perawatan ekstra, membutuhkan air dalam jumlah
banyak dan air harus selalu bersih karena air tersebut bisa jatung ke
hidung sapi.

Dalam kondisi suhu siang hari atau kemarau, boleh jadi pakan yang diberikan
dengan takanan Metabolisme Energi yang lebih rendah. Hal ini bertujuan
mengurangi panas dari proses metabolisme. Jika dalam satu populasi sapi
menunjukkan ekspresi kepanasan ( contoh : panting ), maka pemberian imbuhan
pakan yang dapat menurunkan panas bisa menjadi pilihan. Seperti pemakaian
acetaminophen sebagai imbuhan pakan, selain untuk mensiasati heat stress juga
bertujuan meningkatkan asupan bahan kering oleh usus. Namun jika hanya ada
beberapa individu yang mengalami panting, pemberian penurun panas secara
injeksi menjadi pilihan yang tepat.
Kemajuan dalam modifikasi lingkungan dan manajemen nutrisi sebagian
meringankan dampak stres termal pada kinerja hewan selama musim panas.
Namun, strategi jangka panjang harus dikembangkan untuk adaptasi terhadap
perubahan iklim. Perbedaan toleransi termal ada antara spesies ternak memberikan
petunjuk atau alat untuk memilih hewan thermotolerant menggunakan alat genetik.
Identifikasi hewan yang toleran terhadap panas dalam breed yang berproduksi
tinggi hanya akan berguna jika hewan ini mampu mempertahankan produktivitas
dan daya tahan yang tinggi ketika terkena kondisi heat stress. Ternak dengan rambut
pendek, rambut berdiameter lebih besar dan warna bulu yang lebih ringan lebih
beradaptasi dengan lingkungan yang panas dibandingkan dengan rambut yang lebih
panjang dan warna yang lebih gelap. Fenotip ini telah dicirikan pada sapi tropis B.

2.4 Tingkah Laku Sapi Perah

Tingkah laku atau etologi hewan praktis telah merupakan hal yang penting sejak
masa prasejarah. Tingkah laku ini dimanfaatkan oleh para pemburu dan kemudian
oleh masyarakat untuk menjinakkan hewan-hewan tersebut. Sampai pada
pertengahan abad ini, para ilmuwan di bidang pertanian tidak banyak mengenal
ilmu tingkah laku hewan baik secara praktis sebagai hal yang penting maupun
sebagai hal yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Istilah tingkah laku
ingestif ini meliputi bukan hanya memakan pakan solid tetapi juga menyusui anak
dan meminum pakan cair. Mempertahankan konsumsi pakan yang cukup untuk
hidup dan suksesnya reproduksi merupakan hal yang sangat penting bagi semua
spesies ternak. Karena itu, mengerti pola tingkah laku yang digunakan oleh hewan
untuk mencari, mendapatkan, menyeleksi dan memakan pakan penting sekali untuk
berhasilnya pengembangan usaha peternakan. Seleksi pakan pada kondisi
penggembalaan bebas sangat tergantung pada poladasar tingkah laku ingestif.
Manusia bisa menggunakan beberapa control dengan beberapa usaha seperti
pemagaran atau pengawetan pakan pada saat persediaan pakan banyak untuk
dipergunakan pada waktu kekurangan pakan.
Dalam keadaan dikandangkan secara intensif, seperti system potong-angkut
yang umumnya berlaku di Indonesia, manusia mengontrol kebanyakan faktor-
faktor yang mempengaruhi tingkah laku ingestif. Hal ini meliputi jenis dan jumlah
pakan yang tersedia dan tempatnya, periode waktu selama pakan tersedia bagi
ternak dan kelompok social ternak yang bersaing untuk mendapatkan pakan.
Tetapi walaupun dalam keadaan yang terbatas dan bahkan bila ternak diberi makan
secara individu, faktor-faktor social mempengaruhi tingkah laku ingestif dan
jumlah pakan yang dimakan. Ketika ternak sapi diberi pakan dalam jumlah yang
terbatas dalam waktu tertentu, mereka tidak punya pilihan kecuali memakan
semua pakan yang diberikan. Pada pemberian pakan secara berlebihan, pola
makan sehari-hari akan berkembang.
Pada sapi dengan penggembalaan sub-tropis, periode merumput terjadi paling
banyak ketika rumen diisi dengan rumput yang baru dan hal ini terjadi menjelang
pagi sampai pagi, senja sampai matahari terbenam dengan satu periode lebih singkat
kira-kira tengah malam. Periode 24 jam dibagi secara jelas menjadi periode
merumput, mengunyah dan beristirahat. Di daerah tropis, siklus merumput biasanya
sebaliknya. Pada waktu tengah hari yang panas, sapi beristirahat di bawah naungan
atau dekat tempat air dan terdapat periode merumput yang panjang pada malam
hari. Sapi berhenti merumput pada saat
dia kepanasan, terutama bagi sapi yang berasal dari daerah sub-tropis. Di daerah
tropis, sapi yang di tempatkan dalam kandang tertutup pada malam hari tanpa
persediaan pakan atau air, konsumsi pakannya sering menurun secara nyata,
terutama pada sapi yang mempunyai adaptasi yang kurang baik yang berasal dari
daerah sub-tropis seperti sapi Frisiean Holstein, yang tidak diberi pakan selama hari
panas.
Secara umum, sapi meluangkan waktu 8-10 jam untuk merumput, tetapi
mempunyai fleksibilitas yang cukup untuk menyesuaikan waktu merumput untuk
mempertahankan jumlah pakan yang dimakan pada periode banyak angin dan
hujan, cuaca panas ketika merumput terhenti. Mereka juga bisa mengatasi
peningkatan kebutuhan fisiologis dari periode akhir kebuntingan dan laktasi pada
beberapa keadaan yang beda. Dalam keadaan cuaca panas dan lembab, aktivitas
makan sapi tertinggi pada waktu suhu udara lebih rendah yaitu pada pagi hari.
Terdapat suatu hal yang menarik tetapi tidak ada pengamatan yang pasti yang
menyatakan bahwa domba dan sapi bisa meramalkan keadaan panas yang akan
terjadi dan dengan demikian mereka merumput lebih dini dalam satu hari di
bandingkan dengan tipe Zebu yang mempunyai daya adaptasi yang lebih baik
dalam keadaan panas. Waktu yang digunakan oleh sapi untuk makan tergantung
pada spesies ternak itu sendiri, status fisiologisnya , serta tipe dan persediaan pakan.
Iklim yang sangat ekstrim juga berpengaruh. Sementara jumlah pakan yang
dimakan meningkat pada keadaan cuaca dingin. Pada saat padang rumput dalam
keadaan kering, sapi meningkatkan waktu untuk merumput . Semua hewan bisa
juga bervariasi dalam jumlah pakan yang dimakannya dengan mengubah jumlah
gigitan per menit dan meningkatkan besarnya regutan tersebut. Preferensi atau
pemilihan pakan adalah berbeda di antara jenis ternak herbivora. Akan tetapi, dalam
beberapa keadaan , ternak akan lebih suka memakan garam blok. Kilgour dan
Dalton menyarankan bahwa skala ini dapat digunakan sebagai suatu dasar terhadap
pakan baru, murah dan potensi manfaatnya dapat diuji. Ada cara yang efektif untuk
membuat ternak dapat memakan pakan yang bernilai gizi tinggi dan murah tetapi
baunya tidak disukai ternak yaitu dengan menutup hidung ternak tersebut. Lobato
dan kelompok penelitinya dan juga Lynch dan kelompok penelitinya telah
mendapatkan bahwa ternak mampu belajar pada awal kehidupannya dan
emmpunyai ingatan yang baik dalam jangka waktu yang panjang. Melihat teman
dalam kelompok yang telah berpengalaman memakan pakan yang baru, dapat
membantu ternak yang belum berpengalaman untuk memakan pakan baru tersebut.
Fenomena ini disebut sebagai transmisi social dalam tingkah laku makan atau
belajar berdasarkan pengalaman.
Memberikan masa perkenalan bagi ternak terhadap pakan atau suplementasi
yang mungkin diharapkan untuk dimakan dalam keadaan darurat merupakan hal
yang sangat berguna. Metode sederhana dapat digunakan untuk mengecek
ternak yang mana yang memakan dan tidak memakan pakan yang baru.
2.5 Handling Sapi Perah

Handling ( penanganan ) terhadap ternak merupakan suatu aspek yang harus di


kuasai oleh seorang peternak. Handling berperan dalam pemeriksaan dan perawatan
ternak, misalnya pada saat akan melakukan pengukuran, pemberian tanda, penalian/
penjatuhan ternak yang akan di potong . Dalam proses Penanganan (handling) pada
ternak sapi harus dikerjakan dengan terampil. Dalam hal ini, dukungan pengetahuan
yang berkaitan erat dengan cara penanganan, misalnya cara menggunakan tali atau
tambang, cara mengikat, serta cara menggunakan alat – alat, perlu dipahami terlebih
dahulu. Hal ini penting sebab pananganan ternak sangat jauh berbeda dengan
penanganan ternak unggas ataupun ternak domba. Ternak sapi adalah ternak besar,
memiliki tenaga yang lebih kuat daripada manusia, memiliki tanduk yang
berbahaya bagi keselamatan orang yang akan menangani, mempunyai sifat suka
menendang, serta memiliki tubuh yang berlipat ganda beratnya dibadingkan dengan
peternaknya sendiri.
Penanganan adalah suatu proses yang pada kegiatan manusia melakukan
pekerjaan terhadap ternak membutuhkan beberapa pengekangan atau penyesuaian
diri ternak tersebut. Dalam penanganan ada yang disebut handling dan restrain.
Handling adalah membuat gerakan hewan dibatasi sehingga tidak sulit
penanganannya tetapi hewan masih bisa bergerak. Restrain adalah memperlakukan
hewan agar tidak bisa bergerak dalam keadaan sadar. Pada dasarnya ternak
merupakan hewan liar yang telah didomestikasikan untuk keperluan menghasilkan
produk sesusai kebutuhan manusia.

A. Restrain
Pengusaan terhadap ternak dalam usaha peternakan, terutama ditujukan
untuk keperluan keperluan sebagai berikut :

1) Mempermudah penanganan ternak, baik di lapangan maupun di


dalam kandang.
2) Menghindarkan kerugian yang disebabkan oleh ternak, di
samping itu untuk menjamin keamanan bagi ternaknya sendiri.
Mempermudah penanganan sehari-hari, seperti pemotongan kuku, ekor,
tanduk, pencukuran bulu, kastrasi dan lain sebagainya

B. Pengusaan Sapi di Lapangan

Hal-hal yang perlu di perhatikan pada waktu melakukan handling ternak


adalah :

1) Perlu diusahakan datang dari arah depan ternak secara perlahan-


lahan sehingga ternak bisa melihat kedatangan kita dan tidak
terkejut.
2) Memperlakukan ternak dengan halus, sehingga ternak tidak
merasa takut.
3) Selanjutnya bila ada tali pengikatnya, dekatilah ternak secara
pelan-pelan dan usahakan bisa memegang talinya. Kemudian
tenangkan ternak dengan cara menepuk-nepuk tubuhnya,
ikatkanlah tali pada sebatang pohon atau bawa langsung ke dalam
kandang.
4) Sedangkan untuk ternak agak liar, setelah terpegang talinya
usahakan direbahkan.
5) Bila ada tali pengikatnya , usahakan agar ternak bisa digiring
kedalam kandang, yaitu dengan cara memancingnya dengan
makanan (rumput) dan selanjutnya usahakan untuk bisa dipasang
tali pengikat.
6) Sedangkan untuk ternak yang masih agak liar usahakan agar
ternak dapat dijatuhkan dengan memasang jebakan llingkaran
tali, setelah ternak jatuh baru masing-masing kaki depan dan
belakangnya diikat menjadi satu. Dan setelah ternak dapat
dikuasi, kemudian diberi tali pengikat pada lehernya.
2.6 Restrain
Sapi perah adalah salah satu ruminansia besar yang memiliki lebih besar dari
manusia dewasa. Oleh karena itu, seorang dokter hewan harus mengetahui
bagaimana cara merestrain hewan ini. Restrain merupakan kegiatan membatasi
dan menghalangi gerak atau aksi dari sapi perah sehingga bahaya dapat dihindari
atau dikurangi bagi dokter hewan, asisten, maupun sapi itu sendiri. Bahaya yang
dimaksud dapat berupa sepakan, desakan, maupun injakan ketika akan dilakukan
pemeriksaan, pengobatan, operasi, pembersihan, maupun saat akan diperah.
Sementara itu, bahaya atau risiko bagi sapi perah itu sendiri dapat berupa luka
benturan karena sepakan yang mengenai dinding kandang yang tajam atau keras
seperti paku, potongan kayu dan benda lainnya yang dapat menyebabkan luka
memar, tergores, pendarahan, sampai patah tulang.

Restrain terbagi atas 3 jenis:


a) Restrain Perilaku (Behavioral Restraining)
Tiap jenis sapi memiliki perilaku atau behavior yang berbeda
satu sama lain. Sapi perah pada umumnya memiliki sifat yang lebih
tenang dan jinak dibanding dengan jenis sapi potong (sapi bali). Hal
ini disebabkan sifat dari sapi perah yang sering bertemu atau
melakukan kontak langsung dengan manusia sementara sifat sapi
potong bertolak belakang dengan hal tersebut kecuali petugas
kandang/pemiliknya yang sering menggembalakan. Hal yang perlu
dilakukan ketika akan melakukan restrain yaitu menjaga jarak.
Biasanya sapi mempertahankan atau membela dirinya dengan cara
untuk menyundul, menanduk, maupun menendang. Semasa pedet,
sapi perah harus sering di restrain secara ramah. Hal ini akan
bermanfaat dan berpengaruh ketika sapi dewasa karena biasanya
hewan ini mengingat pengalaman atau perlakuan yang buruk.
Sebagai seorang dokter hewan harus dapat mengerti dan
membaca temprament yang ditunjukan oleh sapi dengan
menggunakan bahasa tubuh. Contohnya, bila sapi dalam posisi
siaga, waspada, posisi telinga tegak bisa saja sapi mengalami
ketakutan. Lalu, bila sapi mulai mengangkat-angkat kaki belakang
kemungkinan itu suatu peringatan bahwa sapi akan menendang.
Cara sapi melihat, mendengar, atau membau tidak sama
sebagaimana pada manusia. Letak mata di samping kepalav
memungkinkan sapi perah mampu melihat sampai 3600. Sapi
memiliki penglihatan binokular untuk sudut yang kecil yaitu 25-50
derajat kedepannya sehingga mampu merasakan kedalaman, jarak,
dan kecepatan serta memiliki penglihatan monokular pada
sampingnya yang hanya bisa mendeteksi pergerakan. Telinga sapi
perah sensitif terhadap suara dengan frekuensi tinggi yang tidak bisa
didengar manusia. Sapi perah juga memiliki pembauan yang lebih
baik daripada manusia.
Sapi akan lebih tenang dan tidak beringas bila kepalanya dielus
atau di usap lembut oleh pemiliknya. Sehingga dapat memudahkan
dalam tahap pengobatan. Aktivitas sapi diukur dengan istilah
Arousal (penimbulan). Kondisi arousal sangat rendah ketika sapi
perah tidur dan tinggi ketika lari atau bertarung. Peningkatan arousal
biasanya terjadi karena lapar, aktivitas seksual, gaduh, ancaman
hewan lain, disakiti, dan hal lainnya. Sementara itu, penurunan
arousal terjadi karena kekeluargaan, lampu dim, suara dengan
frekuensi rendah, pukulan, suara ritmis, musik, hening, dan orang
yang familiar.

b) Restrain Kimia (Chemical Restraining)


Alpha-2 agonis, seperti xylazine, detomidine, medetomidine,
dan romifidine merupakan jenis obat yang paling umum digunakan
untuk menginduksi tranquilization atau sedasi pada sapi perah. Obat
lain seperti Acepromazine, kloralhidrat, dan pentobarbital memiliki
sejarah panjang digunakan dengan ternak dan terus menjadi tersedia
secara komersial, namun, kepentingan obat-obat ini terbatas pada
keadaan khusus.
Derajat atau pembatasan sedasi yang dihasilkan oleh xylazine
tergantung pada rute injeksi, dosis yang diberikan, serta temperamen
hewan. Dosis rendah (0,015-0,025 mg/kg IV atau IM) akan
memberikan sedasi tanpa menyebabkan sapi perah tumbang atau
kehilangan keseimbangan. Sebaliknya, dosis tinggi xylazine (0,1 mg
/ kg IV atau 0,2 mg / kg IM) akan memberikan efek hilangnya
kesadaran atau teranestesi secara umum pada sapi perah selama
kurang lebih satu jam.
Dosis detomidine sebanyak 2,5-10,0 mg/kg IV memberikan
sedasi berdiri sekitar 30 - 60 menit dan dosis sebanyak 40 mg/kg IV
akan menghasilkan sedasi mendalam dan hilangnya kesadaran pada
sapi perah. Sementara itu, Dosis tinggi detomidine (100 mg/kg)
digunakan untuk melumpuhkan ternak liar. Pada medetomidine,
dosis sebanyak 30,0 mg/kg IM digunakan untuk menghasilkan
hilangnya kesadaran yang berlangsung selama 60-75 menit.
Kombinasi xylazine dan butorfanol telah digunakan pada sapi
untuk memberikan neuroleptanalgesia. Dosis sebanyak 0,01 – 0,02
mg/kg IV masing-masing obat yang diberikan secara terpisah pada
sapi perah. Durasi kerja adalah sekitar 1 jam. Kombinasi detomidine
(0,07 mg/kg) dan butorphanol (0,04 mg/kg) juga telah digunakan
untuk melumpuhkan mulai ternak liar.

c) Restrain Fisik (Physical Restraining)


Restrain jenis ini terbagi lagi dalam beberapa jenis:

1) Restrain Kandang Jepit, yaitu jenis restrain yang


menggunakan kandang jepit sebagai alat untuk merestrain.
Restrain ini biasanya dilakukan untuk palpasi rektal atau
ekplorasi rektal pada sapi perah, kawin suntik atau IB
(Inseminasi Buatan), maupun hal-hal lainnya.

2) Restrain ekor (Tail Lift), yaitu restrain yang dilakukan


apabila perlu untuk mengalihkan perhatian sapi dari bagian
lain tubuhnya ketika sedang dilakukan pekerjaan pada sapi
perah (pemeriksaan, dsb). Retrain ekor juga dapat
digunakan saat memberikan injeksi ambing ke syaraf sapi
perah. Tail lift dilakukan dengan menjaga kedua tangan
tetap dekat dengan pangkal ekor kemudian berdiri
disamping sapi untuk menghindari tendangan serta
mengangkat ekor dengan lembut tetapi tegas.

3) Restrain hidung, teknik restrain ini disebut juga dengan


tali ketuh atau tali telusuk. Restrain hidung dilakukan
dengan cara mengangkat kepala hewan hampir tinggi dan
tarik ke arah sisi yang berlawanan dengan tempat bekerja.
Kemudian dilakukan tekanan pada jembatan batas antara
lubang hidung untuk menyebabkan sakit pada jaringan
sensitif diantara lubang hidung.
4) Restrain Kepala, yaitu teknik restrain yang didesain
untuk mengalihkan perhatian dari posisi menangkap dan
menghindarkan dari tendangan serta membuat beberapa
langkah khusus yang mungkin.

5) Restrain Leher, yaitu restrain yang dilakukan untuk


mengalihkan perhatian sapi perah dari posisi menangkap.
Sealain itu, restrain ini juga dilakukan bertujuan untuk
menahan sapi agar tidak berlari kemana-mana saat akan
diobati atau diperiksa.

6) Restrain pada anak sapi (Pedet), dilakukan dengan cara


meraih seluruh punggung pedet dan tarik kaki pada
samping terdekat dari luar. Pedet kemudian diturunkan
kebawah pada dengan berat melawan kaki sehingga
terjatuh ke tanah secara lembut. Pedet tidak boleh
dijatuhkan dengan menarik kakinya secara cepat dari
bawah karena hewan ini bisa jatuh dengan keras pada
sampingnya sehingga kemungkinan terjadi cedera atau
luka.

2.7 Judging Sapi Perah

Judging adalah penilaian maupun seleksi sapi perah menyangkut pengamatan


guna menghubungkan antara tipe sebagai sapi perah yang baik dengan fungsi
produksi susunya (Blakely dan Bade, 1998). Penilaian judging menggunakan kartu
skor yang disebut The Dairy Cow Unified Score Card, dimana kartu ini dibagi
menjadi empat bagian utama, yaitu penampilan umum, sifat perah, kapasitas badan,
dan sistem mamae (Williamson dan Payne, 1993).
Sapi perah yang bentuk luarnya bagus adalah pada bagian tubuh berbentuk
segitiga yang menunjukan memproduksi susu yang tinggi, kepala yang panjang,
sempit dan tak banyak daging, mata yang besar dan bersinar, sedangkan pada leher
panjang, tipis dengan lipatan kulit yang halus dan gelambir kecil (Syarief dan
Sumoprastowo, 1990). Penampilan umum memberikan gambaran tentang
karakteristik bangsa serta sifat kebetinaan yang dimiliki oleh sapi perah
(Williamson dan Payne, 1993).Klasifikasi penilaian tipe bangsa yaitu : sangat
bagus (85 - 90), agak bagus (80 - 84), bagus (75 - 79), sedang (65 - 74), buruk (<65),
klasifikasi ini dapat bervariasi menurut bangsa (Blakely dan Bade, 1995). Sapi
termasuk kategori exellent dengan nilai lebih dari 90, good plus dengan nilai 85 –
90, good dengan nilai 75 – 85 dan poor jika nilainya dibawah 75 (Bligh dan
Johnson, 1973).
Sapi perah yang baik perlu memiliki alat-alat tubuh yang besar termasuk
perut guna mencernakan makanan yang banyak yang diperlukan untuk
menghasilkan susu yang banyak (Syarief dan Sumoprastowo, 1990). Penilaian
judjing sapi perah ada empat, antara lain General Appearance, Dairy Character,
Body Cappacity, dan Mammary System (Blakely dan Bade, 1998).

A. Penampilan Umum Sapi Perah (General Appearance)

Merupakan imbangan dari bagian-bagian tubuh ternak, dengan cara


membandingkan bentuk-bentuk dari suatu bagian, letak bagian tersebut
dibandingakan dengan bentuk yang umum. Seekor sapi perah
betina yang sedang berproduksi harus memperlihatkan penampilan secara
umum yang serasi / harmonis, diantaranya memiliki simetri, badan dan
sistem mamae yang berimbang, kapasitas perut yang besar, serta garis atas
badan yang lurus dan panjang sebagai gambaran kemampuan menyusui
dalam jangka panjang serta sebagai gambaran prestasi produksi yang
tinggi. Bagian-bagian tubuh sapi yang mendekati kondisi ideal dapat
menunjang produksi yang akan dihasilkannya.

1) Kepala : Kepala harus atraktif dengan lubang hidung yang besar.


Hal ini dapat menggambarkan tentang banyaknya pakan yang
bisa dikonsumsi serta udara yang bisa dihirup melalui nafasnya.
2) Mata harus tajam dan telinga berukuran sedang. Umumnya
kepala harus halus dan lebih menunjukkan karakteristik ternak
perah daripada ternak potong.
3) Bahu (Shoulder) : Bahu harus kuat namun tidak kasar serta
merata dengan tubuh. Sapi dengan bahu yang tidak rata
menandakan kurang kuat dalam menyangga bagian tubuh depan
sapi.
4) Punggung : Punggung harus lurus dan kuat. Punggung yang
lemah menandakan lemahnya tubuh secara umum.
5) Bokong / Rump dan pangkal paha (Thurl) : Bokong dan pangkal
paha harus panjang dan kuat untuk menahan tubuh dan ambing.
6) Sapi harus memiliki tulang pinggul (hips) dan tulang duduk (pin
bones) untuk kapasitas yang lebih besar dan kemudahan dalam
beranak.
7) Ekor harus ramping dan pangkal ekor harus berpadu dengan rapi
pada bokong.
8) Kaki Sapi: Kaki harus lurus, kuat, cukup lebar untuk menyangga
ambing yang lebih besar, serta memiliki sudut yang tepat untuk
melangkah.
9) Pundak (withers): Pundak harus tajam melebihi bagian atas
punggung. Hal ini menandakan tidak adanya lemak dan sering
kali diindikasikan sebagai penghasil susu yang baik. Kulit harus
tipis, lepas, dan lentur.

B. Kapasitas Badan (Body Capacity)

mengacu pada kapasitas yang berhubungan dengan kerangka tubuh.


Sapi dengan body capacity yang bagus memiliki lingkar dada dan lingkar
perut yang luas. Saat menilai ternak ada tiga dimensi yang perlu
diperhatikan, yaitu panjang badan, lebar dan dalam dada sapi.

C. Sifat Perah (Dairy Character)

Merupakan bentuk badan sapi perah yang ideal yang menggambarkan


kemampuan produksi susu yang tinggi, Gambaran tentang sifat perah
tersebut diantaranya memiliki badan yang menyudut (anguler, dengan
perdagingan yang tipis). Hal ini memberikan gambaran kemampuan sapi
perah untuk mengubah pakan menjadi susu bukan menjadi lemak. Sapi
perah harus memiliki daging yang cukup, tidak terlalu kurus, tetapi juga
tidak terlalu gemuk. Secara singkat sapi perah memiliki ciri-ciri tubuh
sebagai berikut:

a) Tubuhnya luas ke belakang seperti baji atau gergaji


b) Sistem dan bentuk perambingannya baik dan bentuk puting
simetris
c) Efisiensi pakan yang dialihkan untuk produksi susu tinggi
d) Sifatnya baik dan jinak

D. Sistem Mamae

Sistem mamae yang besar, melekat dengan mantap sehingga bisa


bertahan lama ketika disusui. Ambing harus besar. Ini menandakan adanya
sejumlah jaringan sekresi susu. Namun sebaiknya tidak mengandung
jaringan yang non produktif yang dapat membatasi ruang jaringan sekresi
susu untuk memproduksi susu. Jaringan tersebut dapat dikenali dengan
melihat perubahan bentuk ambing yang signifikan setelah pemerahan.
Ambing harus baik perlekatannya pada perut untuk mencegah terjadinya
luka pada ambing dan agar mudah beradaptasi dengan penggunaan alat
mesin perah modern. Ambing belakang (rear udder) harus tinggi dan lebar.
Kuartir depan harus seimbang dengan kuartir belakang, panjangnya sedang
melekat pada perut. Puting harus seragam ukurannya. Tepat melekat pada
ambing sehingga memudahkan pemerahan (Masyadi, 2010)

2.8 Body Scoring Sapi Perah

Body scoring sering disebut juga body condition scoring atau condition scoring
merupakan teknik untuk menilai kondisi tubuh ternak pada interval tertentu. Body
scoring pada sapi perah bermanfaat sebagai alat bantu dalam manajemen induk sapi
kering (dry cow) dam periode sebelum beranak (precalving). Terdapat dua metode
skala yang umumnya di gunakan dalam penentuan BCS yaitu scala 9 (Amerika)
dan skala 5 (Inggris dan Commenwealth). Perhitungan BCS umumnya
menggunakan skala 5 (1= sangat kurus, 2=kurus, 3=sedang, 4=gemuk, 5=sangat
gemuk) dengan skala 0.25. Skor 0-5 diberikan atas dasar lemak yang dapat
didasarkan pada daerah pelvis dan sacralis. Skor 0 menggambarkan sapi yang
sangat kurus, skor 5 untuk sapi yang sangat gemuk. Untuk sapi perah sebaiknya
skor idealnya pada saat kering dan prepartum sekitar 2,5-3, pada angka ini ternak
berada dalam kondisi tubuh yang fit and no fat.. Pada sapi perah, tahapan yag
penting dalam produksi adalah :

1) Pre-calving (Drying Off) “Fit Non Fat” : artinya dalam keadaan


fit namun tidak gemuk dan ada pertimbangan dalam pemberian
makanan yang cukup pada awal laktasi.

2) Saat Partus : induk sapi yang terlalu gemuk tidak boleh melahirkan
anak karena induk yang terlalu gemuk mudah terkena berbagai
penyakit seperti pembengkakan hepar (fatty liver), ketosis, milk
fever, mastitis, kelumpuhan, dan infertilitas.

3) Awal Masa Laktasi: Induk sapi harus mendapat pakan yang cukup
untuk mencegah penurunan berat badan yang drastis.

4) Saat Kawin : Saat kawin induk sapi jangan sampai kekurangan


energi sebab akan mengakibatkan rendahnya fertilitas.

Areal yang dinilai adalah pangkal ekor dengan meraba atau merasakan adanya
lapisan lemak di sekitar pangkal ekor & penonjolan tulang pelvis. Selain pangkal
ekor, yang dinilai adalah pinggal (Loin) dengan merasakan processus spinosus dan
transversus dan adanya lemak diantaranya. Body scoring pada sapi perah biasanya
dilakukan pada saat sapi kering (drying off) 7-8 minggu prepartus, prepartum (3
minggu sebelum partus), dan sebelum dikawinkan.

Nilai Body Condition Score (BCS) dalam skala interval 5 menurut Sukandar, 2008,
dapat uraian sebagai berikut:
a) Grade 1 (sangat kurus).
Pada level ini ciri yang mudah diamati adalah pangkal ekor
/ anus akan nampak sangat menyusut kedalam sedangkan
Vulva akan nampak sangat menonjol keluar. Selanjutnya
dapat diamati bahwa prosessus spinosus pendek dapat
diraba dan tuber coxae serta tuber ischiadicus sangat jelas
terlihat. Vulva Nampak menonjol, hook Nampak angular, ruas-ruas diantara
cincin tulang ekor terlihat jelas.

b) Grade 2 (Kurus)
Vulva tidak terlalu menonjol. Prosessus spinosus
pendek dapat diraba, sedikit terlihat menonjol,
tuber coxae dan tuber ischiadicus menonjol tetapi
bagian diantaranya tidak terlalu cekung. Apabila
nampak lengkungan cekungan antara rusuk pendek
BCS 2.25 Rusuk pendek masih dapat terlihat dan
hook berbentuk angular , serta terdapat lapisan lemak pada bagian paha
belakang (pin) maka BCS 2.75 Namun apabila pada bagian pin tidak
terdapat lemak maka BCS = 2,5 .

c) Grade 3 (sedang)
Vulva Nampak lebih rata, anus tertutup namun tidak terdapat
deposit lemak, dan tulang ekor nampak membulat. Prosessus
spinosus dapat terasa dengan perabaan yang diberikan
tekanan.tuber coxae dan tuber ischiadicus nampak membulat dan
lebih halus. Apabila ligament di daerah pangkal ekor dan di daerah
lumbal sacral masih terlihat, maka BCS 3,5 dan apabila ligament
di daerah pangkal sudah ekor tidak terlihat namun sacral ligament masih
dapat terlihat maka BCS 3.75.
d) Grade 4 (gemuk).
Prosessus spinosus hanya dapat terasa dengan tekanan yang
kuat.Tuber coxae membulat halus. Area di sekitar tulang Tuber
ischiadicus terlihat padat dan ada deposit lemak. Legok lapar
nampak flat. Legok lapar pada posisi flat maka BCS < 4. Apabila
tulang rusuk pendek hampir tidang terlihat maka BCS = 4.25.
Apabila legok lapar pada posisi datar dan tulang rusuk tidak
naampak maka BCS = 4,50. Apabila Bentukan Hook mulai tidak nampak
maka BCS = 4.75

e) Grade 5 (sangat gemuk).


Terdapat penumpukan lemak pada Struktur costae dan stenum
juga tulang ekor , ruas tulang ekor tidak nampak, tulang bagian
atas tuber coxae, tuber ischiadicus dan processus spinosus tidak
terlihat .

Penambahan ataupun pengurangan score BCS pada sapi perah dapat


memberikan arti pada berat badan ternak. Setiap penambahan 1 angka score
(pertengahan masa laktasi) berarti berat badan naik sampai dengan 90 kg pada
Heifer dan 60 kg pada induk dewasa. sedangkan apabila terjadi penurunan 1 angka
score berarti terjadi penurunan berat badan sampai dengan 15 kg pada heifer dan
pada induk dewasa. Dari sini dapat kita ketahui bahwa performa BCS merupakan
salah satu cara untuk menunjukkan kecupakan pakan dan gizi pada ternak oleh
karena itu melalui penilaian BCS yang tepat dan dan teratur akan memungkinkan
untuk memaksimalkan efisiensi reproduksi dan ekonomi secara keseluruhan pada
populasi. Adapun tingkat skor yang direkomendasikan untuk sapi perah adalah pada
saat Cow at calving (skor 3+ sampai 4), Early Lactation (skor 3- sampai 3), Mid
Lactation (skor 3), Late lactation (skor 3- sampai 3+, dan 4- waktu dry off), dry
(skor 3 sampai 4-), dan Heifer ( skor 3- sampai 3+)
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
industri sapi perah masih membutuhkan usaha-usaha untuk meningkatkan
performan pengolahan susu, baik performa kesehatan sapi itu sendiri atau
lingkungan pendukungnya. Perilaku dasar pada hewan seperti makan, minum,
tidur, istirahat, aktivitas seksual, eksplorasi, latihan, bermain, ekplorasi, aktivitas
melarikan diri, pemeliharaan dan sebagainya sangat penting untuk diketahui
dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan dan memberi rasa nyaman serta aman
terhadap diri mereka. Kondisi dimana perilaku dasar tersebut tidak terpenuhi akan
berdampak pada kinerja dan produktivitas dari hewan. Salah satu teknik yang
dapat membantu produktivitas sapi perah yatu zooteknik. Penanganan,
berkembang biak, dan menjaga berdasarka Genetika, Reproduksi, Pakan dan
Gizi, Penanganan, Kesehatan dan Ekonomi dapat terpenuhi melalui teknik
tersebut.

3.2 Saran

Makalah kami memang memiliki banyak kekurangan terkait dengan


pembahasan yang kurang mendalam dalam beberapa aspek. Kekurangan
penelitian ini dapat menjadi gagasan untuk peneliti selanjutnya. Berdasarkan hasil
penelitian, penulis akan memberikan saran terkait analisis yang dihasilkan. Penulis
berharap ada perkembangan kemajuan penelitian kloni pada hewan ternak.
Kemajuan ini dapat dilakukan dengan adanya orang yang layak untuk melanjutkan
atau mengkaji lebih lanjut tentang penilitian ini. Penulis selanjutnya juga
diharapkan untuk lebih mengkaji lebih banyak sumber maupun referensi terkait
kloning pada hewan agar hasil penelitiannya lebih baik dan lengkap.
DAFTAR PUSTAKA

https://kemenperin.go.id/artikel/19031/Kemenperin-Dorong-Industri-Pengolahan-
Susu-Bermitra-Dengan-Peternak-Sapi-Lokal

http://jnp.fapet.unsoed.ac.id/index.php/psv/article/view/531/275

https://ekonomi.bisnis.com/read/20191231/99/1185787/ini-strategi-kementan-
dorong-industri-susu

http://repository.pertanian.go.id/bitstream/handle/123456789/6670/Kebijakan%20
Ekonomi%20Industri%20Agribisnis%20Sapi%20Perah%20di%20Indonesia.pdf?s
equence=1

https://zuliasp2.blogspot.com/2015/06/handling-sapi-perah.html
http://bvetlampung.ditjenpkh.pertanian.go.id/heat-stress-sapi-perah-dan-cara-
mengatasinya/

http://bbptusapiperah.ditjenpkh.pertanian.go.id/?p=3658

http://disnak.jatimprov.go.id/web/layananpublik/downloadartikel/56/3

Sri Hidanah dkk. 2015. Pengantar Ilmu Veteriner. Surabaya: Airlangga


University Press

Blakely, J & D. A. Bade. (1998). Ilmu Peternakan. Terjemahan: B. Srigandono.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Bligh, J. and K. G. Johnson. 1973. Glassani of Teams for Thermal Physiology. J.
Appl. Physiol.35 : 941.
Syarief, M.Z. dan R.M. Sumoprastowo. 1990. Ternak Perah. CV Yasaguna. Jakarta.
Williamson, G. dan W. J.A. Payne. 1993 Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.
Edisi Ketiga (Terjemahan) Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

https://bagasputra.web.ugm.ac.id/2018/02/01/tugas-ilmu-tingkah-laku-

hewan-itlh/ http://eninuraeni190793.blogspot.com/2014/05/makalah-
tingkah-laku-ternak.html

https://slideplayer.info/slide/2551609/

Anda mungkin juga menyukai