Anda di halaman 1dari 2

Sejarah Asal Mula Ilmu 

Nahwu

Kitab Nahwu Wadi

Seperti halnya bahasa-bahasa yang lain, Bahasa Arab mempunyai kaidah-kaidah tersendiri di
dalam mengungkapkan atau menuliskan sesuatu hal, baik berupa komunikasi atau informasi.
Lalu, bagaimana sebenarnya awal mula terbentuknya kaidah-kaidah ini, dan kenapa dikatakan
dengan istilah nahwu?. Simak artikel berikut.
Pada jaman Jahiliyyah, kebiasaan orang-orang Arab ketika mereka berucap atau berkomunikasi
dengan orang lain, mereka melakukannya dengan tabiat masing-masing, dan lafazh-lafazh yang
muncul, terbentuk dengan peraturan yang telah ditetapkan mereka, di mana para junior belajar
kepada senior, para anak belajar bahasa dari orang tuanya dan seterusnya. Namun ketika Islam
datang dan menyebar ke negeri Persia dan Romawi, terjadinya pernikahan orang Arab dengan
orang non Arab, serta terjadi perdagangan dan pendidikan, menjadikan Bahasa Arab bercampur
baur dengan bahasa non Arab. Orang yang fasih bahasanya menjadi jelek dan banyak terjadi
salah ucap, sehingga keindahan Bahasa Arab menjadi hilang. Dari kondisi inilah mendorong
adanya pembuatan kaidah-kaidah yang disimpulkan dari ucapan orang Arab yang fasih yang bisa
dijadikan rujukan dalam mengharakati bahasa Arab, sehingga muncullah ilmu pertama yang
dibuat untuk menyelamatkan Bahasa Arab dari kerusakan, yang disebut dengan ilmu Nahwu.
Adapun orang yang pertama kali menyusun kaidah Bahasa Arab adalah Abul Aswad Ad-Duali
dari Bani Kinaanah atas dasar perintah Khalifah Sayidina Ali Bin Abi Thalib, KW.
Terdapat suatu kisah yang dinukil dari Abul Aswad Ad-Duali, bahwasanya ketika ia sedang
berjalan-jalan dengan anak perempuannya pada malam hari, sang anak mendongakkan wajahnya
ke langit dan memikirkan tentang indahnya serta bagusnya bintang-bintang. Kemudian ia
berkata, ‫ َما أَحْ َسنُ ال َّس َما ِء‬. “Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan mengkasrah hamzah, yang
menunjukkan kalimat tanya.
Kemudian sang ayah mengatakan, ُ‫ نُجُوْ ُمهَا يَا بُنَيَّة‬. “Wahai anakku, Bintang-bintangnya”.
Namun sang anak menyanggah dengan mengatakan, ‫ب‬ َ ُّ‫ت التَّ َعج‬
ُ ‫ اِنَّ َما اَ َر ْد‬. “Sesungguhnya aku ingin
mengungkapkan kekaguman”.
Maka sang ayah mengatakan, kalau begitu ucapkanlah, ‫ َما اَحْ َسنَ ال َّس َما َء‬. “Betapa indahnya langit”.
Bukan, ‫ َما اَحْ َسنُ ال َّس َما ِء‬. “Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan memfathahkan hamzah…

****

Dikisahkan pula dari Abul Aswad Ad-Duali, ketika ia melewati seseorang yang sedang membaca
al-Qur’an, ia mendengar sang qari membaca surat At-Taubah ayat 3 dengan ucapan, َ‫أَ َّن هللاَ بَ ِرى ٌء ِّمن‬
ُ‫ ْال ُم ْش ِر ِكينَ َو َرسُولِه‬Dengan mengkasrahkan huruf lam pada kata rasuulihi yang seharusnya di
dhommah. Menjadikan artinya “…Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik
dan rasulnya..”
Hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi rusak dan menyesatkan.

Seharusnya kalimat tersebut adalah, ُ‫“ أَ َّن هللاَ بَ ِرى ٌء ِّمنَ ْال ُم ْش ِر ِكينَ َو َرسُوْ لُه‬Sesungguhnya Allah dan
Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.”
Karena mendengar perkataan ini, Abul Aswad Ad-Duali menjadi ketakutan, ia takut keindahan
Bahasa Arab menjadi rusak dan gagahnya Bahasa Arab ini menjadi hilang, padahal hal tersebut
terjadi di awal mula daulah Islam.
Kemudian hal ini disadari oleh khalifah Ali Bin Abi Thalib, sehingga ia memperbaiki keadaan
ini dengan membuat pembagian kata, bab inna dan saudaranya, bentuk idhofah (penyandaran),
kalimat ta’ajjub (kekaguman), kata tanya dan selainnya, kemudian Ali Bin Abi Thalib berkata
kepada Abul Aswad Adduali, ‫“ اُ ْن ُح هَ َذا النَّحْ َو‬Ikutilah jalan ini”.
Dari kalimat inilah, ilmu kaidah Bahasa Arab disebut dengan ilmu nahwu. (Arti nahwu secara
bahasa adalah arah). Kemudian Abul Aswad Ad-Duali melaksanakan tugasnya dan menambahi
kaidah tersebut dengan bab-bab lainnya sampai terkumpul bab-bab yang mencukupi. Kemudian,
dari Abul Aswad Ad-Duali inilah muncul ulama-ulama Bahasa Arab lainnya, seperti Abu Amru
bin ‘alaai, kemudian al Kholil al Farahidi al Bashri (peletak ilmu arudh dan penulis mu’jam
pertama) , sampai ke Sibawaih dan Kisai (pakar ilmu nahwu, dan menjadi rujukan dalam kaidah
Bahasa Arab).
Seiring dengan berjalannya waktu, kaidah Bahasa Arab berpecah belah menjadi dua mazhab,
yakni mazhab Basrah dan Kuufi (padahal kedua-duanya bukan termasuk daerah Jazirah Arab).
Kedua mazhab ini tidak henti-hentinya tersebar sampai akhirnya mereka membaguskan
pembukuan ilmu nahwu sampai kepada kita sekarang.
Demikianlah sejarah awal terbentuknya ilmu nahwu, di mana kata nahwu ternyata berasal dari
ucapan Khalifah Ali bin Abi Thalib, sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Referensi : Al-Qowaaidul Asaasiyyah Lil Lughotil Arobiyyah

http://badar.muslim.or.id/artikel/sejarah-asal-mula-ilmu-nahwu.html

( majlisdzikiralattas.wordpress.com )

Anda mungkin juga menyukai