SOAL TEORI :
1. Terangkanlah mengenai apa yang menjadi Letak Persamaan & Letak Perbedaan
antara Etika dengan Hukum, disertai dengan contoh-contohnya !
2. Sebutkan pula apa yang menjadi Letak Perbedaan & Letak Persamaan antara :
Public Health Laws (Hukum Kesehatan Publik) dengan Private Health Laws
(Hukum Kesehatan Privaat), berikut dengan Bidang-bidang apa sajakah yang termasuk
kedalamnya !
3. UU No. 23 Tahun 1992 dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah
merupakan Ketentuan Payung bagi seluruh Peraturan PerUndang-Undangan bidang
Kesehatan di Indonesia. Apa Maksudnya ?
Jawaban :
1. Terangkanlah mengenai apa yang menjadi Letak Persamaan & Letak Perbedaan
antara Etika dengan Hukum, disertai dengan contoh-contohnya !
Jawaban :
Persamaan antara etika dan hukum:
1. Etika dan hukum kesehatan sama-sama merupakan alat untuk mengatur tertibnya
hidup bermasyarakat dalam bidang kesehatan.
2. Sebagai objeknya adalah sama yakni masyarakat baik yang sakit maupun yang
tidak sakit ( sehat ).
3. Masing-masing mengatur kedua belah pihak antara hak dan kewajiban, baik pihak
yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan maupun yang menerima pelayanan
kesehatan agar tidak saling merugikan.
4. Keduanya menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi, baik peyelenggara
maupun penerima pelayanan kesehatan.
5. Baik etika maupun hukum kesehatan merupakan hasil pemikiran dari para pakar
serta pengalaman para praktisi bidang kesehatan.
pengetahuan tentang prilaku profesional para dokter dan dokter gigi dalam
menjalankan pekerjaannya sebagaimana tercantum dalam lafal sumpah dan kode etik
masing-masing yang telah disusun oleh organisasi profesinya bersama-sama
pemerintah.Hukum merupakan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu
kekuasaan.Hukum kesehatan merupakan peraturan perundang-undangan yang
menyangkut pelayanan kesehatan baik untuk penyelenggara maupun penerima
pelayanan kesehatan.Pelanggaran etika kedokteran tidak selalu berarti pelanggaran
hukum, begitu pula sebaliknya pelanggaran hukum belum tentu berarti pelanggaran
etika kedokteran.Pelanggaran etika kedokteran diproses melalui MKDKI dan MKEK
IDI, sedangkan pelanggaran hukum diselesaikan melalui pengadilan.
2. Sebutkan pula apa yang menjadi Letak Perbedaan & Letak Persamaan antara :
Public Health Laws (Hukum Kesehatan Publik) dengan Private Health Laws (Hukum
Kesehatan Privaat), berikut dengan Bidang-bidang apa sajakah yang termasuk
kedalamnya !
Jawaban :
Hukum kesehatan yaitu sebagai keseluruhan aturan hukum yang berhubungan dengan
penyelenggaraan kesehatan dan pelayanan kesehatan. Hukum kesehatan bisa termasuk
kedalam hukum kesehatan publik ( Public Health Laws) dan hukum kesehatan privat
(Public Health Privat).
Perbedaan :
Hukum kesehatan publik lebih menitikberatkan pada pelayanan kesehatan masyarakat
atau mencakup pelayanan kesehatan rumah sakit, sedangkan hukum kesehatan privat
lebih mengatur tentang pelayanan kesehatan pada individual sesseorang saja.
Hukum Kesehatan Public
Termasuk kedalam hukum kesehatan publik apabila menyangkut dengan
- Malpraktek ; Suatu praktek yang dilakukan oleh petugas kesehatan yang
menyalahi prosedur. Prosedurnya berlebihan atau tidak sesuai dengan minimal
standar atau dibawah standar
- rekam medik
- kesling
- rumah sakit
- aspek penyakit menular
- k3
Persamaan :
Akan tetapi antara hukum kesehatan privat dan hukum kesehatan publik sama-sama
mengatur tentang pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapan hak dan kewajiban
baik bagi perseorangan maupun segenap lapisan masyarakat. baik sebagai penerima
pelayanan kesehatan maupun sebagai pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam
segala aspek, organisasi, sarana, pedoman standar pelayanan medik, ilmu pengetahuan
kesehatan dan hukum serta sumber-sumber hukum lain.
3. UU No. 23 Tahun 1992 dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah
merupakan Ketentuan Payung bagi seluruh Peraturan PerUndang-Undangan bidang
Kesehatan di Indonesia. Apa Maksudnya ?
Jawaban :
UU No.23 Tahun 1992 dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
adalah merupakan landasan utama dan merupakan dasar hukum bagi seluruh peraturan
perUndang-Undangan Kesehatan di Indonesia. UU No.23 Tahun 1992 dan UU No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan juga merupakan suatu regulasi yang menjamin seluruh
peraturan PerUndang-Undangan bidang kesehatan di Indonesia. Untuk memberi
kepastian dan perlindungan hukum dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan,
pemerintah menerbitkan UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Oleh karena
itu, tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya selain tunduk pada ketentuan hukum
yang berlaku,Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan)
merupakan kebijakan umum penyelenggaraan upaya peningkatan kesehatan agar dapat
dilaksanakan oleh semua pihak dan sekaligus dapat menjawab tantangan era globalisasi
dengan berkembang pesatnya ilmu kesehatan beserta teknologi pendukungnya. Undang-
Undang Kesehatan merupakan landasan utama dan merupakan payung hukum bagi setiap
penyelenggara pelayanan kesehatan. Oleh karena itu ada baiknya setiap orang yang
bergerak dibidang pelayanan kesehatan mengetahui dan memahami apa saja yang diatur
didalam undang-undang tersebut
UU No. 23 Tahun 1992 dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
sebagai ketentuan payung (umbrella provision)”, yaitu berarti undang-undang tersebut
melindungi seluruh hak-hak rakyat; Jelas dan tidak mnimbulkan penafsiran ganda untuk
sebagai landasan atau dasar bagi seluruh Peraturan PerUndang-Undangan bidang
Kesehatan di Indonesia.
Jawaban :
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga bidan karena adanya
mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati
a.Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
b.Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
c.Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
d.Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
6. Sebutkan & beri penjelasannya secara lengkap tentang apa yang menjadi
letak Perbedaan antara :
A. Informed Choice dengan Informed Consent, dan apa arti Pentingnya bagi seorang
Dokter dan bagi seorang SKM !
- Informed Consent adalah suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapatkan
informasi tentang pengobatan atau tindakan. Informed choice adalah suatu
persetujuan yang diberikan setelah mendapatkan informasi alternatif pengobatan
atau tindakan.
- Informed choice bukan sekedar mengetahui berbagai pilihan yang ada, namun
juga mengenai benar manfaat & risiko dari setiap pilihan yang ditawarkan.
Informed choice tidak sama dengan membujuk atau memaksa klien mengambil
keputusan yang menurut orang lain baik (meskipun dilakukan dengan cara
“halus”).
- Informed Choice artinya membuat pilihan setelah mendapatkan penjelasan
tentang alternatif asuhan yang akan dialaminya. Pilihan (choice) harus harus
dibedakan dari persetujuan (consent). Persetujuan penting dari sudut pandang
bidan, karena itu berkaitan dengan aspek hukum yang memberikan otoritas untuk
semua prosedur yang akan dilakukan oleh bidan. sedangkan (choice) lebih
penting dari sudut pandang wanita sebagai konsumen penerima jasa asuhan
kebidanan yang memberikan gambaran pemahaman masalah yang sesungguhnya.
Ini ada aspek etika dalam hubungan erat dengan otonomi pribadi.
- Informed consent adalah persetujuan sepenuhnya yang diberikan oleh klien/pasien
atau walinya (bagi bayi, anak dibawah umur dan klien/pasien yang tidak sadar)
kepada bidan untuk melakukan tindakan sesuai kebutuhan. Informed Consent
adalah suatu proses bukan suatu formulir atau selembar kertas. Informed Consent
adalah suatu dialog antara bidan dengan pasien atau walinya yang didasari
keterbukaan, akal dan pikiran yang sehat dengan suatu upacara birokrasi yakni
penandatanganan suatu formulir atau selembar kertas yang merupakan jaminan
bukti bahwa persetujuan dari pihak pasien atau walinya telah terjadi
- Pentingnya Informed Consent dan Informed Choice bagi seorang dokter
Informed consent dan Informed Choice bagi seorang dokter adalah sebagai bentuk
penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia, memberikan
perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak diiperlukan
dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan
pasiennya. Dan memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan
dan bersifat negatif. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati
pasien serta menghindari penipuan dan misleaing oleh dokter
1. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah
Sakit
2. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;
3. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;
4. Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi
dan standar prosedur operasional;
5. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari
kerugian fisik dan materi;
6. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
7. Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan
yang berlaku di Rumah Sakit;
8. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang
mempunyai Surat Izin Praktek (SIP) baik di dalam maupun luar Rumah Sakit;
9. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-
data medisnya;
10. Mendapatkan informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis,
tujuan tindakan medis, alternatife tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin
terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya
pengobatan;
11. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan
oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
12. Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;
13. Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama
hal itu tidak mengganggu pasien lainnya;
14. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di
Rumah Sakit;
15. Mengajukan usul, saran perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap
dirinya;
16. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan
kepercayaan yang dianutnya;
17. Menggugat dan atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga
memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata
ataupun pidana; dan
18. Mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar
pelayanan melalui media cetak dan el,ektronik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
SOAL 1
Nah, Lho, Dokter dan Pasien pun sering Tidak Nyambung
Republika.co.id.
Komunikasi antara dokter dan pasiennya mutlak diperlukan dalam penanganan masalah
kesehatan. Komunikasi yang dimaksud tidak berupa istilah ilmiah melainkan lebih
bersifat informatif.
Sebuah survey yang digagas oleh Yale University School of Medicine
mengungkapkan bahwa adanya selip informasi antara dokter dan pasien. Riset yang
melibatkan 89 pasien disebuah rumah sakit ini menyatakan komunikasi antara dokter dan
pasien sering tidak dipahami dalam konteks yang sama ketika membahas diagnosis dan
pengobatan. Singkat cerita, apa yang dikatakan oleh dokter belum tentu sama dengan apa
yang ditangkap pasien.
Dalam sesi berbeda peneliti mencatat hanya 18 % pasien yang mengingat nama
dokter mereka. Sementara itu, hanya 57 % yang mengerti dan memahami diagnosis yang
diutarakan oleh dokter.
Berbanding terbalik dengan pasien mereka, 2/3 dokter justru menghafal nama
pasiennya dan 77 % dokter yakin bila pasien mereka memahami diagnosis yang
diberikan. “Apa yang baru dari riset ini adalah adanya informasi yang hilang antara
dokter dan pasien. Bahkan pasien benar-benar tidak memahaminya”, ungkap Dr. Douglas
P. Oslon kepada Reuters, Rabu (11/8).
Dia menambahkan hilangnya komunikasi sering terjadi pada nama dan diagnosis.
Kata dia, dari pasien yang diwawancara, ¼ mengatakan dokter tidak pernah
memberitahukan nama mereka. Selain itu, hanya 10 % dari pasien yang mengatakan
dokter memberitahukan potensi efek dari obat-obatan yang diberikan. Di pihak dokter,
ungkap Olson, justru sebaliknya, sebagian dokter mengaku telah memberitahu nama dan
81 % dokter juga mengaku telah menerangkan efek dari obat yang diberikan.
Dari sejumlah catatan riset itu, upaya untuk meningkatkan kualitas komunikasi
dokter dan pasien dalam beberapa tahun belakangan gagal total. Celakanya, gembar-
gembor peningkatan kualitas program melalui rangkaian program yang berlangsung di
Akademi Perawatan, pelatihan dan symposium terus dilakukan. “Tapi, tetap saja
komunikasi tidak terjalin baik”, imbuh Olson sembari menyatakan keberhasilan
komunikasi memperbesar pasien cepat mendapatkan penanganan yang tepat perihal
penyakitnya.
Olson berasumsi kualitas komunikasi dokter dan pasien ditenggarai adanya
persoalan medis yang kompleks. Kata dia, persoalan yang dimaksud bukan masalah 1
diagnosis, tetapi, melibatkan banyak diagnosis yang harus diberikan pasien. Diagnosis itu
yang dinilai Olson tidak dipahami dengan baik lantaran penggunaan bahasa yang
cenderung ilmiah.
“Berbeda dengan 30 atau 40 tahun lalu, pasien yang mengunjungi rumah sakit
jauh lebih sedikit. Dengan jumlah yang sedikit, pasien memiliki waktu yang cukup untuk
mengerti dan memahami informasi tentang kondisi kesehatan mereka dan cara untuk
mengobatinya”, paparnya.
Oleh karena itu, Olson menyarankan agar dokter memberikan informasi dalam
bentuk yang lebih konkrit seperti informasi tertulis dan lebih banyak menjelaskan.
“Sangat penting bagi kita untuk melirik ke belakang dan melihat perubahan dari sistem
yang ada demi meningkatkan kualitas komunikasi”, tegasnya.
Khusus pasien, Olson menyarankan kepada masyarakat untuk menyiapkan
rangkaian pertanyaan yang dibutuhkan sehingga tidak ada informasi yang ketinggalan.
Olson juga melihat peran keluarga sangat penting. “Bagaimana caranya agar saya
berubah saat meninggalkan rumah sakit? Pertanyaan itu adalah pertanyaan umum yang
baik dan dapat membantu pasien memulai diskusi tentang berbagai masalah, termasuk
penyesuaian gaya hidup dan perubahan pengobatan yang perlu dilakukan”, ujarnya.
Olson juga menyarankan jika pasien kesulitan mendapati dokter utama, sebaiknya
pasien memiliki dokter pengganti yang bisa dihubungi bila membutuhkan konsultasi.
SOAL 2
Lecet Berbuntut Amputasi
Pemicunya adalah diabetes. Sudargo memang penderita kencing manis. Namun, bintara
pensiunan angkatan udara itu mungkin tak perlu kehilangan kaki kirinya bila dokter
tangkas menangani penyakitnya. Kini hidup pria berusia 68 tahun itu sangat bergantung
pada kursi roda.
Sudargo sadar, bagi penderita penyakit gula, luka sekecil apapun harus mendapat
penanganan secepatnya. Oleh karena itu, saat kakinya lecet Mei lalu, ia langsung datang
ke Klinik Specialist Kulit di bilangan Kramat Jati. Belum habis obat yang diberikan
klinik, lukanya makin parah. Pihak klinik segera merujuknya berobat ke salahsatu rumah
sakit pemerintah.
Sudargo masih ingat betul. Saat masuk rumah sakit yang dirujuk, dia masih bisa
tegak berjalan, tak terganggu oleh luka di kelingking kakinya. Oleh dokter jaga yang
menerimanya, luka itu hanya disumpal dengan tampon. Berbekal surat asuran kesehatan
(Askes)nya, Sudargo dirawat dikelas III.
Makin lama, luka bernanah itu menyebarkan bau busuk. Perawat hanya
mengganti perban dan mengguyur dengan rivanol, sementara tampon yang dipasang tak
pernah diutak-atik. Baru 3 hari kemudian, dokter datang dan membuka tampon yang
berwarna kehijauan - tindakan yang ternyata sudah sangat terlambat. Saat itu, dokter
mengambil contoh nanah dan menyuruh anak Sudargo memeriksakan ke laboratorium
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Meski hasil laboratorium sudah ditangan, Sudargo tak juga ditangani. “Mereka
masih akan memastikan hasil pemeriksaan nanah, 3 hari lagi”, kata Tri Sutarmi, istri
Sudargo. Tak sabar melihat luka yang sudah menyebar ke pergelangan kaki, keluarga
Sudargo memutuskan untuk memindahkannya ke rumah sakit swasta yang dinilai lebih
baik dalam menangani pasien. Namun, upaya tersebut dicegah dan pihak rumah sakit
pemerintah itu segera menurunkan 3 orang dokter untuk menangani kasus ini. Keputusan
2 hari kemudian: sebagian kaki kiri Sudargo dipotong.
Paca-operasi, Sudargo datang ke RS St. Carolus. Ketika mendengar ada YPKKI
di rumah sakit itu, keluarganya melaporkan celaka yang dialaminya. Sekitar Juli tahun
lalu, mereka mendatangi rumah sakit pemerintah tempat pertama kali Sudargo dirawat
untuk meminta pertanggung-jawaban atas pelayanan sekenanya. Aneh. Dari rumah sakit
pemerintah itu, Sudargo menerima jawaban: medical record Sudargo lengah entah
kemana. Lho?
Diskusi pun digelar. “Sekarang maunya apa?” tantang sang dokter, seperti
ditirukan Tri Sutarmi, dengan nada tinggi dalam diskusi yang emosional itu. “Kami cuma
ingin biaya pengobatan diganti”, kata Tri Sutarmi. Dari lecet kecil, mereka sudah
mengeluarkan biaya sekitar Rp. 1 Juta di rumah sakit celaka itu dan sekitar Rp. 30 Juta
di RS St. Carolus. Diakhir pembicaraan, kepala rumah sakit pemerintah itu berjanji akan
mempertimbangkan nasib mereka, termasuk memberikan ganti rugi biaya pengobatan.
Ternyata, ini cuma janji kosong.
“Sampai sekarang, kami tak menerima sepersen pun. Dihubungi pun tidak”, kata
Tri. Kini Sudargo cuma bisa pasrah menjalani hidupnya dalam kondisi cacat. Kursi
rodanya pun tak bisa mengantarnya melihat kibaran spanduk raksasa bertuliskan
“Indonesia Sehat 2010 dan Sehat itu Hak Asasi Manusia (HAM)” di Monas, Jakarta,
pada Hari Kesehatan Nasional tahun ini.
[Penggalan dari artikel “Dokter Tak Pernah Salah?” oleh Mardiyah Chamim, Agung
Rulianto, Gita Widya Laksmini (Jakarta), Bandelan Amarudin (Semarang)].
Berdasarkan artikel tersebut diatas, jawablah sejumlah pertanyaan berikut dibawah ini :
1. Bagaimanakah pelaksanaan PERMA (Peraturan Mahkamah Agung RI) No. 1 Tahun
2008 dalam penyelesaian sengketa kesehatan diatas ?
2. Apakah kasus tersebut diselesaikan melalui Mediasi ?
3. Adakah kesepakatan yang dicapai diantara pihak-pihak yang bersengketa didalam
kasus ini ?
4. Bagaimanakah akhir penyelesaian kasus ini ?
Note.
Untuk soal kasus ini, silahkan download dulu PERMA No. 1 Tahun 2008 di Google.
SOAL 3
“Ini tanggung-jawab DepKes. Kalau DepKes menyatakan bahwa tahun 2010 sebagai
investasi kesehatan maka ini bohong semua karena tidak ada yang bisa
diinvestasikan. Birokratnya bisa, tetapi tidak bagi masyarakatnya. Tampaknya ada
kecenderungan demi kepentingan pihak tertentu, PP sengaja tidak dikeluarkan. Pihak
ini tentu akan rugi jika PP dikeluarkan. Dengan keadaan kacau seperti sekarang bisa
bebas tanpa bisa dituntut masyarakat”, tegasnya lagi.
UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan seharusnya memiliki 29 PP. Akan tetapi,
sampai sekarang baru ada 4PP. Ke-4 PP itu adalah PP tentang pengamanan sediaan
farmasi dan alat kesehatan; PP tentang tenaga kesehatan; serta PP tentang penelitian
dan pengembangan kesehatan. Standard profesi dan hak-hak pasien yang seharusnya
dibuatkan PP, baru diatur dengan KepMenKes RI No. 436 Th 1993 dan
SE Dirjen YANMED No. YM. 02.04.3.5.2504. UU itu sudah berumur 12 tahun.
“Kan lucu, PP Standard Pelayanan Medik belum ada, tetapi sudah ada KepMenKes
RI dan SK Dirjen YanMed. “Mereka bilang untuk mengatasi semua akan diadakan
medical audit. Akan tetapi, tanpa peraturan maka semua itu menjadi bohong dan
retorika. Dengan kondisi ini tidak ada medical audit yang bisa dilakukan, karena
tidak ada landasan hukumnya. Ini bohong besar”, tegasnya.
Otonomi Daerah
Saat ini, dengan adanya OTDA, Kepala DinKes akan takut pada bupati dan gubernur,
akhirnya KepMen dan SK Dirjen tidak laku. Beberapa daerah bahkan membuat
Perda YanMed. Ini sangat aneh karena seharusnya Perda keluar karena ada PP.
Lucu nya lagi UU itu katanya mau direvisi. Atas dasar apa dan apa yang mau
direvisi, PP yang operasional saja tidak ada, apa yang mau direvisi. Ini kan Undang-
undang mimpi, dan DepKes mau merevisi mimpi tersebut. Jadi omong kosong pada
tahun 2010 akan menjadikan kesehatan sebagai investasi”, tegas Marius. Sekarang
ada upaya masing-masing profesi membuat UU nya sendiri. Ada RUU Praktek
Kedokteran, RUU Kefarmasian, RUU Keperawatan, dsb. Padahal praktek itu bukan
profesi mandiri. Kalau dokter, perawat, atau farmasi bikin UU sendiri-sendiri, maka
semua akan saling lempar. Ujungnya pasti masyarakat yang menjadi korban. Lex
generalis adalah UU Kesehataan.
Tinggal PP nya saja yang tidak dilengkapi. “Sebenarnya dalam keadaan kacau seperti
ini yang rugi adalah profesi jasa kesehatan, karena masyarakat akan gebyah uya,
semua dianggap rusak”, tegasnya.
Asuransi
Di Indonesia, orang sakit baru bayar. Diluar negeri ada asuransi. Sebab itu
kecenderungan mendapatkan pelayanan tidak benar akan tinggi di Indonesia. Karena
tanpa peraturan yang jelas. Kalau sistem asuransi, maka ada resiko pemberi
pelayanan jasa kesehatan yang akan rugi jika tidak benar dalam pelayanan.
dr. Marius berharap dengan adanya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang
direncanakan pemerintah, akan ada perbaikan pelayanan. Asuransi akan melahirkan
standard peraturan yang akan menapis semua malpraktek, kelalaian, kegagalan,
ataupun kecelakaan dengan tidak membayar jasa pelayanan tersebut. Bahkan akan
diklaim oleh asuransi.
“Dokter tidak akan sembarang melakukan tindak operasi Caesar pada ibu hamil,
kalau sebenarnya dapat lahir normal. Dokter tidak sembarangan mengirim orang ke
CT Scan padahal pasien hanya batuk pilek. Kalau ketahuan justru tidak dibayar atau
justru diklaim oleh perusahaan asuransi. Walau demikian, malpraktek yang
menyebabkan kematian dan cacat tetap membutuhkan peraturan YanMed”, jelasnya.
SOAL 4
Seorang senior praktisi Bidan datang menghadap ke Kepala Dinas Kesehatan berkaitan
dengan teguran papan nama di kliniknya yang diberi nama Rumah Sakit Bersalin
Sejahtera. Bidan senior tersebut tidak terima dengan surat teguran tersebut oleh karena
merasa bahwa ini suatu penghinaan atas kompetensi dan reputasinya yang terkenal di
kota ini. Kebetulan, apotek miliknya juga baru saja ditutup oleh Dinas Kesehatan karena
tidak memiliki Apoteker.
Bagaimana pemecahan masalah ini menurut Hukum Kesehatan & dimanakah posisi
atau eksistensi Hukum Kesehatan di dalam kasus ini ? Jelaskanlah !
SOAL 5
Ini kisah Ratih, bukan nama sebenarnya, yang menuai infeksi berat setelah menjalani
operasi usus bantu di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta Timur. Kasus ini sedang
dalam proses mediasi oleh Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan (YPKKI)
sehingga identitas pihak-pihak terkait tidak bisa diungkapkan.
Awalnya, Juli lalu, dokter rumah sakit tersebut – mudahnya kita namai RS Suka Sehat
- mendeteksi Ratih terkena usus buntu akut yang harus dioperasi pukul 09.00 pagi
keesokan harinya. Ternyata, saat operasi tiba, dokter yang bertugas, sebut saja Hari,
tak kunjung datang. Padahal, Ratih yang didera kesakitan ini membutuhkan perawatan
cepat. 3 jam kemudian, Hari dating dengak sikap – menurut pasien – acuh tak acuh.
“Pasien saya kan bukan cuma Ibu”, demikian Ratih menirukan komentar Hari.
Seusai operasi, dokter Hari bergegas pergi dengan alasan harus mempersiapkan
keberangkatan ke luar negeri. Sial bagi Ratih, operasi itu menjadi satu-satunya saat
pertemuan pasien dan dokter. Hari tak sekali pun memeriksa sampai Ratih
diperbolehkan pulang beberapa hari kemudian. Alhasil, Hari tak pernah tahu bahwa
badan Ratih terasa meriang yang jadi pertanda infeksi.
1 minggu kemudian, saat perban penutup luka dibuka, Ratih terkejut mendapati luka
di perutnya telah bernanah. Luka operasi yang cuma 5 cm melebar sampai ke bagian
kanan perut dan tepi kemaluan. Bersama suaminya, kita sebut saja Andri, Ratih pun
segera menemui dokter Hari di RS Suka Sehat.
Ratih pun tak hanya menanggung cacat parut. Kecerobohan Hari membuat Ratih
merogoh kocek sampai Rp. 55 Juta – membengkak hampir 20 x lipat dibandingkan
dengan ongkos operasi usus buntu, yang hanya sekitar 4 juta. Seperti tak putus
dirundung malang, dalam komponen biaya yang ditagihkan rumah, Ratih masih harus
mendapatkan kejanggalan. “Ada biaya transfusi darah. Padahal sama sama sekali
tidak menerima transfusi”, kata Ratih.
Ratih kemudian mengadukan nasibnya kepada YPKKI, yang lantas mengirim surat
permintaan berunding kepada RS Suka Sehat. Namun sampai berita ini diturunkan,
belum ada tanggapan dari RS Suka Sehat. Menurut Marius Widjajarta, Ketua YPKKI,
sorotan utama dalam kasus ini adalah kelalaian dokter mengontrol pasien pasca-operasi.
Kelalaian ini membuat infeksi merajalela hingga menjadi gangren. Dengan demikian,
“Dokter dan rumah sakit harus bertanggung-jawab”, kata Marius.
1. Apa yang menjadi Sengketa Pelayanan Kesehatan yang ada di dalam artikel ini !
2. Pelanggaran apa yang terjadi sehingga berakibat pada terjadinya sengketa
kesehatan ?
3. Bagaimanakah hubungan Pasien dengan Tenaga Kesehatan dan RS yang ada
di dalam artikel ini ?
4. Bagaimana langkah yang seharusnya diambil oleh Pasien, Tenaga Kesehatan dan
Sarana Yankes, bila terjadi sengketa atau ada salah satu pihak yang merasa
di rugikan atas Transaksi Terapeutik di antara Pasien, Tenaga Kesehatan dan
Sarana Yankes ?
------``SELAMAT UJIAN & SEMOGA BERHASIL``------