Anda di halaman 1dari 10

Studi Deskriptif Pengembangan Sikap Toleransi Sebagai

Pemecahan Konflik Agama di Tolikara,Papua


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Suasana Idul Fitri di Kabupaten Tolikara, Papua terganggu dengan berita
kerusuhan yang menyebabkan satu orang meninggal dan belasan terluka karena
tembakan aparat; serta puluhan kios dan sebuah musholla di dekatnya dibakar
(menurut satu versi, musholla bukan target utama tapi ikut terbakar). Sejauh ini
telah muncul berita dari beberapa sumber, yang sebagian tampaknya masih perlu
diverifikasi. Namun sayangnya, dalam keterbatasan informasi yang ada kini,
sudah “Membakar” berita itu untuk melakukan provokasi lebih jauh, hingga ke
tingkat menggiring isu ini menjadi konflik kekerasan antara Kristen dan Muslim
bukan hanya di Tolikara, tapi Papua. Bahkan jangkauannya diperluas hingga
Indonesia, mungkin juga ada yang memperluasnya untuk berbicara mengenai
Muslim-Kristen di dunia
Seperti yang kita baca diatas, pada saat hari raya Idul Fitri 2015 yang
lalu, Saat itu, sangat ramai berita-berita yang menyiarkannnya, bahwa telah terjadi
suatu Konflik yang cukup mampu membuat kita semua menjadi emosi, ataupun
tidak terima dengan apa yang terjadi pada konflik di Tolikara, Papua. 

1.2 Rumusan Masalah


A. Penjelasan Arti Konflik Agama 
B. Faktor Penyebab Konflik Di Tolikara
C. Solusi Untuk Pemecahan Konflik Tolikara, Papua.

1.3 Tujuan
       Makalah ini dibuat dengan tujuan agar para pembaca tahu tentang pentingnya
dalam menjaga persatuan di Indonesia agar tercipta situasi yang aman dan damai
1.4 Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini dengan membaca
dari beberapa artikel dan dari beberapa media yang dapat membantu menganalisis
masalah yang muncul dari konflik yang terjadi di Tolikara, Papua.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Penjelasan Arti Konflik Agama


Setiap ada konflik yang melibatkan atau menggunakan simbol-simbol
agama dan mengenai umat beragama, hal pertama yang perlu dipahami adalah
bahwa setiap konflik (dan, sebetulnya, setiap peristiwa sosial) tidak pernah
memiliki hanya satu sebab tunggal. Istilah “konflik agama” bisa saja digunakan
untuk peristiwa dimana simbol agama dirusak, misalnya, atau identitas keagamaan
orang-orang yang terlibat dalam konflik itu (pelaku atau korban) tampak nyata.
2.2 Faktor yang menyebabkan munculnya konflik Tolikara, Papua.

Dalam kasus di Tolikara, konteks penting adalah kompleksitas dan


kerentanan persoalan Papua pada umumnya. Kerentanan ini, seperti bisa dilihat
dalam beragam kasus-kasus non-agama lainnya di Papua, kerap direspon oleh
aparat keamanan secara represif dengan menggunakan senjata untuk melukai atau
membunuh. Secara lebih khusus, Kabupaten Tolikara sendiri  cukup rawan-
politik, seperti tampak dalam konflik di sekitar Pilkada pada Februari 2015, Satu
kecenderungan lain adalah adanya persaingan antara Gereja Injili di Indonesia
(GIDI) yang mendominasi di daerah itu dengan kelompok agama lainnya
(termasuk dengan Kristen denominasi yang berbeda). Situasi ini bisa jadi sudah
menyediakan lahan yang siap diolah sewaktu-waktu untuk meletusnya konflik
jenis apapun. Maka hal remeh, seperti soal speaker bisa dengan mudah
meletuskan konflik kekerasan, bahkan merenggut korban jiwa. Jadi bagaimana
mengidentifikasi “kasus Tolikara”? Apakah kasus Tolikara adalah kasus GIDI,
atau kasus konflik yang diletuskan menjadi kekerasan akibat aparat yang represif
secara berlebihan. Penanganan represif kerap muncul dari kesan yang sering
dimunculkan bahwa Papua adalah daerah yang rawan konflik. Tapi kalaupun ada
kebenaran dalam kesan itu, penyebab utamanya adalah konflik yang selama lebih
dari 50 tahun terakhir ini tidak berhasil diselesaikan, utamanya oleh pemerintah
pusat.

Isu utama “kerawanan Papua” sesungguhnya jauh dari agama.


Dalam Papua Road Map, misalnya, yang merupakan hasil kajian LIPI (2008), ada
empat masalah utama yang diidentifikasi sebagai akar persoalan Papua, dan di
sana, agama sama sekali bukan sumber masalah. Tanpa mengingkari adanya
gesekan-gesekan antar umat beragama (Kristen dengan Muslim, denominasi
Kristen tertentu dengan denominasi lain dan dengan Katolik, juga antara
kelompok-kelompok Muslim sendiri), lembaga-lembaga keagamaan arus utama
sebetulnya justru lebih dikenal sebagai aktor perdamaian.

Dalam konteks ini salah satu contoh yang bisa diambil adalah Pater Neles
Tebay, seorang pemimpin Katolik yang dikenal juga sebagai Koordinator Jaringan
Damai Papua. Dalam pernyataannya mengenai insiden di Tolikara, Pater Neles
mengungkapkan, “Budaya Papua tidak mengajarkan orang untuk mengganggu,
apalagi membakar tempat ibadah.” Menurutnya, pembakaran mushala di
Tolikara adalah peristiwa pertama dalam sejarah Papua di mana sebuah tempat
ibadah dibakar. “Maka, sebagai orang Papua, saya memohon maaf atas peristiwa
yang melanggar norma adat ini,” katanya. Lihat pernyataan Pater Neles Tebay.

Di Papua, sesungguhnya sumber polarisasi yang lebih penting bukanlah


agama, namun antara pendatang dan orang asli Papua. Polarisasi yang tak sehat
ini mewarnai kehidupan sosial dan ekonomi, dan sebagiannya muncul dalam UU
Otonomi Khusus Papua. Politik identitas yang memberikan keistimewaan pada
orang asli Papua dapat bermakna baik jika dipahami sebagai affirmative action,
namun dapat pula menjadi penegasan polarisasi yang terlalu jauh. Yang menarik,
polarisasi itu bahkan muncul dalam kelompok-kelompok dalam suatu agama
tertentu. Ada ketegangan dan klaim-klaim identitas yang dibuat untuk
membedakan Kristen pendatang dan Kristen asli Papua; juga antara Muslim
Papua dan Muslim pendatang.

Banyak dari kelompok ini tak berbagi kearifan lokal dan ikatan adat yang
melampaui batas agama itu. Jika analisis ini diteruskan lebih jauh, mungkin kita
akan menyalahkan kelompok-kelompok pendatang. Namun ini terlalu sederhana
juga. Perubahan demografi yang diakibatkan oleh makin hilangnya batas-batas
antar wilayah sulit dielakkan—dan ini benar bukan hanya untuk batas suatu
Propinsi, tapi bahkan juga batas negara. Saat ini kita tak bisa bermimpi akan
adanya wilayah yang “murni” hanya dihuni “orang asli”.  Yang jadi persoalan
bukanlah melawan kecenderungan itu, tapi bagaimana memperkuat diri sendiri
(atau daerah sendiri) untuk mampu bertahan menghadapinya. Setidaknya ilustrasi
ini menunjukkan bahwa tantangan Papua, selain datang dari perlakuan negara
yang masih dapat terus dikritik, juga dari dalam diri Papua sendiri, yang terus
berubah.

Satu hal lain yang perlu dicermati, yang telah sempat muncul dalam
respon terhadap peristiwa di Tolikara, adalah menyangkut “mayoritas Kristen”
yang menindas “minoritas Muslim” di Papua. Ini adalah penyederhanaan yang
berbahaya dan amat keliru. Berbahaya, karena tampaknya dalam retorika seperti
itu terkandung keinginan untuk menjadikan konflik multi sebab menjadi konflik
berdimensi-tunggal, bahwa seakan-akan ini semuanya adalah persoalan agama.
Amat keliru karena dua hal. Pertama, seperti disebut di atas, tak ada konflik yang
“murni konflik agama”. Kedua, yang lebih penting, ada imajinasi yang keliru
bahwa setiap kelompok agama adalah suatu entitas tunggal yang terintegrasi
sepenuhnya. Ini mengingkari kenyataan adanya beragam kelompok dalam satu
agama, dan bahwa kelompok-kelompok tertentu dalam suatu agama dapat lebih
mudah bekerjasama (atau berkonflik) dengan kelompok-kelompok tertentu dari
agama lain. GIDI atau PGI tak mewakili semua Kristen; NU, Muhammadiyah,
MUI, atau FPI tak mewakili semua Muslim. Kalaupun identifikasi keagamaan
mesti dibuat, maka ia tak bisa mengacu pada identifikasi besar Kristen atau
Muslim, tapi mesti lebih akurat.

Analisis ini benar bukan hanya untuk kasus Papua, namun juga dalam
setiap konflik agama. Beberapa konflik di Jawa, dimana Muslim adalah
pelakunya, juga tak bisa dengan mudah disebut sebagai “mayoritas Muslim”
menindas “minoritas non-Muslim”. Dalam kenyataannya, biasanya yang menjadi
pelaku penindasan adalah kelompok-kelompok tertentu dalam suatu agama.
Dalam konflik di beberapa wilayah di Jawa, Muslim yang menjadi penyerang
adalah kelompok Muslim tertentu, yang dalam banyak kasus akan ditemukan
afiliasi pada kelompok-kelompok yang mirip, yang justru merupakan minoritas
(dalam hal jumlah) dalam agama itu sendiri.

Terlepas dari itu, motivasi keliru untuk “balas dendam” nyatanya


terkadang muncul dalam konflik-konflik semacam ini. Perlakuan terhadap
sebagian pemeluk Kristen di Jawa Barat, misalnya, mungkin akan memicu Kristen
di Nusa Tenggara Timur untuk mempersulit Muslim di sana; demikian juga,
perlakuan terhadap Muslim di Papua mungkin memunculkan kemarahan Muslim
di Jawa Timur. Demografi keagamaan Indonesia yang cukup khas, di mana di
daerah-daerah tertentu ada mayoritas (jumlah numerik) pemeluk agama yang
berbeda, bisa menjadi kekuatan penyeimbang, namun bisa juga menjadi sumber
motif balas dendam itu. Karena itu, pemerintah dan aparat keamanan mestinya
sadar bahwa pelanggaran atas hak untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan di
tingkat lokal dapat bertransformasi menjadi ancaman keamanan nasional.

Point terakhir ini mengingatkan kita akan pentingnya melakukan analisis


yang melampaui kategori agama, bahkan dalam konflik-konflik agama. Di
Indonesia yang, menurut Konstitusi, mencita-citakan suatu masyarakat dimana
agama-agama dapat hidup berdampingan dan berperan secara konstruktif,
kesetiaan utama kelompok-kelompok agama tak berhenti pada agamanya sendiri.
Solidaritas pun lebih mudah dibangun di antara kelompok lintas agama yang
memiliki aspirasi keindonesiaan yang sama.

Dalam kaitan ini, kita patut berbangga bahwa dalam setiap konflik
biasanya yang ada bukan hanya berita sedih tapi juga berita gembira tentang
kuatnya semangat pembelaan terhadap kehidupan bersama yang melampaui
kelompok masing-masing. Pernyataan yang dengan segera dikeluarkan oleh
organisasi-organisasi masyarakat Kristen dan Muslim arus utama menunjukkan
hal itu. Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), memulai pernyataannya
dengan menyesalkan peristiwa yang telah menodai kekhusukan dan kegembiraan
umat Muslim dalam merayakan Idul Fitri, serta mengecam dengan keras
pembubaran Sholat Ied dan pembakaran mesjid. Sementara itu, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Provinsi Papua “Menyerukan kepada umat Islam di seluruh
Indonesia untuk tidak menjadikan peristiwa kekerasan Tolikara ini sebagai alasan
untuk melahirkan kekerasan-kekerasan baru, atas nama “jihad”.”

Masyarakat Papua apapun agamanya dengan segala keterbatasannya,


dengan segala kesulitannya, dan perlakuan yang buruk selama puluhan tahun,
telah kerap diuji dengan persoalan-persoalan sulit semacam ini. Sementara
masyarakat memperkuat dirinya dengan aliansi-aliansi dan ide-ide yang
melampaui batas-batas agamanya, kerap kali yang disesalkan adalah pemerintah
pusat dan daerah yang salah langkah atau bahkan memperburuk situasi, dan
tindakan aparat keamanan yang represif secara tak terukur. Yang terakhir ini
tampak jelas dalam penanganan kasus Tolikara.

Indonesia tak kurang memiliki contoh-contoh keberhasilan penanganan


konflik besar dan kecil dari Ambon hingga Aceh. Namun Papua mungkin adalah
ujian terberat saat ini. Selain menangani kasus Tolikara hingga tuntas, tugas
membangun Papua sebagai Tanah Damai bagi seluruh masyarakat Papua, terlepas
dari latar belakang agamanya, merupakan salah satu tugas besar Indonesia,
pemerintah maupun masyarakatnya. Setiap dari kita berhutang untuk memberikan
sumbangan ke arah itu.
2.3 Solusi dari pemecahan konflik di Tolikara, Papua.

Kembali ke kasus Tolikara, sumbangan terkecil  adalah tidak


memperburuk situasi dengan menjadikan kasus ini sebagai bahan provokasi. Yang
diperlukan adalah arus informasi yang positif, bukan yang membakar. Khususnya
untuk kita yang berada di luar Papua, baik Muslim ataupun Kristen, klaim-klaim
keagamaan yang dibangkitkan dengan menjadikan kasus Tolikara sebagai
pembenaran mungkin hanya bermanfaat untuk kepentingan kelompok sendiri,
bukan untuk kepentingan saudara-saudara kita di Papua.

Setelah itu, kita dapat membantu mendesak pemerintah untuk lebih serius
berpikir dan bertindak mengenai Papua, dengan satu catatan penting: Papua telah
kerap menjadi arena tindakan kekerasan, maka pendekatan dialogis harus
diprioritaskan. Tanpa itu, sulit bagi kita untuk berbicara mengenai
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Peristiwa yang terjadi di Tolikara, Papua; menunjukan bahwa Indonesia


sebagai salah satu negara terbesar dan terbanyak penduduknya di dunia yang
memiliki beranekaragam suku dan budaya belum mampu untuk menyelesaikan
konflik-konflik sosial yang melibatkan suku-suku, agama, ras, politik dan
golongan dengan akronim SARA.

Berita tentang kasus di Tolikara memunculkan banyak spekulasi tentang


polemik apa yang sebenarnya terjadi. Maka lebih baik untuk kita semua
mengetahui dasar dari suatu masalah ataupun konflik berdasarkan sumber
yang Real.

3.2 Saran

Saran untuk kasus Tolikara, Papua. Dan untuk kita semua, arus informasi
yang positif sangat dibutuhkan dan harus diberikan kepada kita, Indonesia. Dan
bukan yang membakar. Khususnya untuk kita yang berada di luar Papua, baik
Muslim ataupun Kristen, klaim-klaim keagamaan yang dibangkitkan dengan
menjadikan kasus Tolikara sebagai pembenaran mungkin hanya bermanfaat untuk
kepentingan kelompok sendiri, bukan untuk kepentingan saudara-saudara kita di
Papua.
Daftar Pustaka

- “Tolikara, Idul Fitri 2015: Tentang Konflik Agama, Mayoritas-Minoritas


dan Perjuangan Tanah Damai”. Yogyakarta. -(CRCS) UGM. 2015.

http://crcs.ugm.ac.id/main/news/3511/tolikara-idul-fitri-2015-tentang-konflik-
agama-mayoritas-minoritas-dan-perjuangan-tanah-damai.html

-“Konflik”. WIKIPEDIA.

https://id.wikipedia.org/wiki/Konflik

-“ETNOSENTRISME”.WIKIPEDIA.

https://id.wikipedia.org/wiki/Etnosentrisme

Anda mungkin juga menyukai