1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kami
kemudahan untuk menyelesaikan makalah ini untuk tugas dalam mata kuliah analisis
permasalahan anak tentang “kesulitan anak dalam kalistung”. Kami sadar bahwa tugas makalah
kami masih memiliki kekurangan.
Oleh karena itu, kami mohon maklum dan saran maupun kritikan yang membangun agar
dapat membuat tugas dan makalah yang lebih baik. Kami juga berharap makalah ini membawa
manfaat untuk para pembaca.
Kelompok 7
2
DAFTAR ISI
BAB I .............................................................................................................................................. 4
A. Latar Belakang ..................................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 4
C. Tujuan Makalah................................................................................................................ 5
BAB II............................................................................................................................................. 6
A. Definisi discalculia, dispraxia, agrafia dan disleksia. .......................................................... 6
B. Faktor penyebab discalculia, dispraxia, agrafia dan disleksia ........................................... 13
C. Penanganan discalculia, dispraxia, agrafia dan disleksia....................................................14
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemampuan membaca, menulis, dan berhitung (calistung) pada usia dini akan
mempengaruhi mutu pendidikan pada tingkat pendidikan dasar. Menurut Noor (2006)
kemampuan membaca, menulis, dan berhitung merupakan dasar untuk menumbuhkan
kemampuan berpikir logis, sistematis, dan keterampilan merefleksikan pikiran dan ide
siswa yang akan memberikan kemampuan siswa dalam menguasai bidang studi lainnya.
Mengingat pentingnya berhitung dan kenyataan bahwa sampai sekarang masih banyak
anak yang mengalami kesulitan dalam belajar berhitung, maka sebaiknya belajar
berhitung dilakukan sejak anak usia dini (Suwarsono, 1998). Menurut penelitian Santrock
(2004) yang menegaskan bahwa, usia dini dikenal sebagai “usia emas” dalam proses
perkembangan anak. Pada masa ini disebut sebagai masa kritis perkembangan yang juga
disebut windows of learning, saat dimana stimulasi spesifik dibutuhkan anak. Saat-saat
keemasan ini tidak akan pernah terjadi dua kali, oleh karena itu dimasa inilah anak
sebaiknya memperoleh stimulasi yang tepat, karena tanpa adanya stimulasi sel-sel saraf
(neuron-neuron) akan musnah lewat proses alamiah, sesuai prinsip kerja neuron otak,
yaitu use it loose it (Stine, 2002). Menurut penelitian Jensen dalam Kalyn (2007), bahwa
aktifitas fisik dapat 1 2 meningkatkan pertumbuhan sel otak baru. Selain waktu, istirahat
dan lainnya kegiatan fisik terpadu membantu siswa terlibat secara bersamaan antara otak
dengan tubuh mereka dalam belajar. Adanya suatu gerakan merupakan bagian integral
dari pembelajaran dan berpikir, selama gerakan, sel-sel otak menjadi lebih segar,
sehingga memicu pertumbuhan sel-sel otak baru dan perkembangan sinapsis saraf
(Blakemore, 2003). Dengan begitu akan mengurangi dampak yang akan ditimbulkan
dalam masalah calistung.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari discalculia, dispraxia, agrafia dan disleksia ?
2. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan discalculia, dispraxia, agrafia dan disleksia
bisa terjadi ?
3. Bagaimana penanganan dari masalah tersebut ?
4
C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui definsi dari discalculia, dispraxia, agrafia dan disleksia
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan discalculia, dispraxia, agrafia dan
disleksia
3. Untuk mengetahui bagaimana penanganan yang tepat pada masalah kesulitan dalam
calistung.
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
Tetapi sayangnya, anak berkesulitan belajar sering mengalami kesulitan
dalam berkomunikasi dan lingkungan sosial juga sering tidak mendukung
terselenggaranya suatu situasi yang kondusif bagi terjadinya komunikasi antar
mereka. Adanya kondisi ekstrinsik beberapa lingkungan sosial yang tidak
menunjang terselenggaranya komunikasi dan kondisi intrinsik yang diduga
karena disfungsi otak dapat menyebabkan anak mengalami gangguan
memahami konsep-konsep hubungan keruangan dapat mengganggu
pemahaman anak tentang sistem bilangan atau penggaris, dan mungkin anak
juga tidak tahu bahwa angka 3 lebih dekat ke angka 4, konsep dasar tersebut
adalah: (1) konsep keruangan, (2) konsep waktu, (3) konsep kuantitas (4)
konsep serbaneka (miscellaneous) (Boehm, 1971).
b) Abnormalitas persepsi visual
Anak berkesulitan belajar matematika sering mengalami kesulitan untuk
melihat berbagai objek dalam hubungannya dengan kelompok atau set.
Kesulitan semacam itu merupakan salah satu gejala adanya abnormalitas
persepsi visual. Anak yang mengalami keabnormalitas persepsi visual akan
mengalami kesulitan bila mereka diminta untuk menjumlahkan dua kelompok
benda yang masing-masing terdiri dari lima dan empat anggota. Anak
semacam itu mungkin akan menghitung satu-persatu anggota tiap kelompok
dahulu sebelum menjumlahkannya.
c) Asosiasi Visual-Motor
Anak berkesulitan belajar matematika sering tidak dapat menghitung
benda-benda secara berurutan sambil menyebutkan bilangannya. Anak
semacam ini dapat memberikan kesan mereka hanya menghafal bilangan
tanpa memahami maknanya.
d) Perseverasi
Ada anak yang perhatiannya melekat pada suatu objek saja dalam jangka
waktu yang relatif lama. Gangguan perhatian semacam itu disebut perseverasi.
Anak demikian mungkin pada mulanya dapat mengerjakan tugas dengan baik,
tetapi lama kelamaan perhatiannya melekat pada suatu objek tertentu.
e) Kesulitan mengenal dan memahami simbol
7
Anak kesulitan belajar matematika sering mengalami kesulitan dalam
mengenal dan menggunakan simbol-simbol matematika. Kesulitan semacam
ini dapat disebabkan oleh adanya gangguan memori tetapi juga dapat
disebabkan oleh adanya gangguan persepsi visual.
f) Gangguan penghayatan tubuh
Anak berkesulitan matematika sering memperlihatkan adanya gangguan
penghayatan tubuh (body image). Anak demikian merasa sulit untuk
memahami hubungan bagian-bagian dari tubuh sendiri. Jika anak diminta
untuk menggambar utuh misalnya, mereka akan menggambarkan dengan
bagianbagian tubuh pada posisi yang salah.
g) Kesulitan dalam bahasa dan membaca
Matematika itu sendiri pada hakikatnya adalah simbolis (Jhonson &
Myklebust, 1967). Oleh karena itu, kesulitan dalam bahasa dapat berpengaruh
terhadap kemampuan membaca untuk memecahkannya. Oleh karena itu , anak
yang mengalami kesulitan membaca akan mengalami kesulitan pula dalam
memecahkan soal matematika yang berbentuk cerita tertulis.
h) Perfomance IQ jauh lebih rendah daripada skor verbal IQ
Hasil tes WISC (Wechler Intelegence Scale for Children) menunjukkan
bahwa anak berkesulitan belajar matematika memiliki skor PIQ (Performance
Intellegence Quotioent). Tes intelegensi ini memiliki dua sub tes, tes verbal
dan tes kinerja (performance) . subtes verbal mencakup: (1) informasi, (2)
persamaan, (3) arirmatika, (4), perbendaharaan kata, (5) pemahaman. Subtes
kinerja mencakup (1) melengkapi gambar, (2) menyusun gambar, (3)
menyusun balok, (4) menyusun obyek, (5) coding (Anastasia, 1992).
Rendahnya skor PIQ pada anak berkesulitan belajar matematika
tampaknya terkait dengan kesulitan memahami konsep keruangan, gangguan
persepsi visual, adanya gangguan asosiasi visual-motor.
2. Dispraksia
Dispraxia atau gangguan perkembangan koordinasi Ini adalah salah satu
gangguan perkembangan saraf, di mana anak-anak yang menderita itu menunjukkan
kesulitan besar ketika melakukan kegiatan dan gerakan terkoordinasi, yang
melibatkan gerakan sederhana atau tindakan yang melibatkan sekuens gerakan.
8
Dari berbagai sumber, dispraksia berasal dari kata “dys” artinya tidak mudah
atau sulit dan “praxis” artinya bertindak, melakukan. Nama lain Dispraksia adalah
Development Co-ordination Disorder (DCD), Perceptuo-Motor Dysfunction, dan
Motor Learning Disability. Pada jaman dulu lebih dikenal dengan nama Clumsy
Child Syndrome. Dan menurut penelitian disebutkan bahwa gangguan ini kadang
diturunkan dalam keluarga dan gejalanya tumpang tindih dengan gangguan lain yang
mirip misalnya disleksia.
Menurut penelitian secara medis, dispraksia adalah gangguan atau
ketidakmatangan anak dalam mengorganisir gerakan akibat otak kurang memproses
informasi sehingga pesan-pesan tidak secara penuh atau benar ditransmisikan.
Dispraksia mempengaruhi perencanaan apa-apa yang akan dilakukan dan bagaimana
melakukannya. Hal ini menyebabkan timbulnya kesulitan dalam berpikir,
merencanakan dan melakukan tugas-tugas motorik atau sensori.
Masalah dispraksia terjadi ketika otak mencoba memerintahkan untuk
melaksanakan apa yang mesti dilakukan, namun kemudian sinyal perintah otak itu
diacak sehingga otot tidak dapat membaca sinyal tersebut. Keluarga yang hidup
dengan anak dispraksia sering kali biasanya tidak menyadari kondisi anak dengan
segera. Hal ini menyebabkan anak dispraksia mempunyai kepercayaan diri yang
rendah akibat gangguan yang dideritanya dan kekurangtahuan keluarga. Anak
dispraksia juga rawan terhadap gangguan depresi serta mempunyai kesulitan dalam
emosi dan perilaku.
Orang sering kali salah mempersepsikan dan mengartikan ketika menemui
anak-anak yang sukar berbicara atau mengeja umumnya dianggap sebagai disleksia
padahal mungkin dapat saja yang terjadi adalah sebenarnya anak tersebut memiliki
gejala dispraksia. Anak yang mengalami dispraksia verbal memiliki otot yang
lengkap dan berfungsi dengan baik. Sebetulnya otot mereka dapat membuat bunyian
yang benar. Hanya saja, otot-otot yang terlibat tidak dapat mengucapkan bunyian-
bunyian tersebut sesuai kehendak. Oleh karena itu, anak-anak yang memiliki masalah
ini mengalami kesulitan mengucapkan bunyian-bunyian tertentu dan lafal ucapan
mereka menjadi tidak jelas. Misalnya, anak yang satu bisa saja bermasalah menyedot
9
dan meniup busa sabun. Anak yang lain mungkin bermasalah mengatur gerakan
ujung lidah.
a. Ciri-ciri Anak Dispraksia
Anak dispraksia memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Kesulitan dalam berkata-kata maupun mengekspresikan diri.
Sebagian anak dispraksia terlalu sensitif terhadap sentuhan.
Sukar mengingat instruksi dan menyalin tulisan dari papan tulis.
Tidak dapat menangkap konsep seperti: “di bawah”, “di atas”, “di dalam”
atau “di luar”.
Mengalami kesukaran dalam memakai baju, menalikan sepatu dan
menggunakan garpu atau pisau.
Keseimbangan badan yang buruk, sulit belajar naik sepeda.
Kemampuan membaca yang rendah dan buruk dalam menulis.
Sebagian anak dispraksia mengalami articulatory dyspraxia yang
menyebabkan mereka mengalami kesulitan dalam berbicara dan mengeja.
3. Agrafia
a. Definisi
Santrock mendefinisikan disgrafia sebagai kesulitan belajar yang ditandai
dengan adanya kesulitan dalam mengungkapkan pemikiran dalam komposisi
tulisan. Pada umumnya, istilah disgrafia digunakan untuk mendiskripsikan tulisan
tangan yang sangat buruk. Anak-anak yang memiliki disgrafia mungkin menulis
dengan sangat pelan , hasil tulisan mereka bisa jadi sangat tak teerbaca, dan
mereka mungkin melakukan banyak kesalahan ejaan karena ketidakmampuan
mereka untuk memadukan bunyi dan huruf. Agrafia juga disebut disgrafia, adalah
gangguan komunikasi pada seseorang yang tidak mampu mengerti atau
mencurahkan isi hati dalam bentuk tulisan.[1] Secara umum dikenal sebagai
ketidakmampuan menulis, tetapi bisa juga ketidakmampuan dalam hal koherensi.
b. Karateristik
Gunadi menyebutkan beeberapa karateristik anak dengan disgrafia sebagai
berikut :
1. Terdapat ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam tulisannya.
2. Saat menulis, penggunaan huruf besar dan huruf kecil masih
tercampur.
3. Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak proporsional.
10
4. Anak tampak harus berusaha keras saat mengkomunikasikan suatu ide,
pengetahuan, atau pemahamannya lewat tulisan.
5. Sulit memegang bolpoin maupun pensil dengan mantap. Caranya
memegang alat tulis seringkali terlalu dekat bahkan hampir menempel
dengan kertas.
6. Berbicara pada diri sendiri ketika sedang menulis, atau malah terlalu
memperhatikan tangan yang dipakai untuk menulis.
7. Cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur garis yang tepat dan
proporsional.
8. Tetap mengalami kesulitan meskipun hanya diminta menyalin contoh
tulisan yang sudah ada.
11
proses belajar, diantaranya adalah gangguan dalam proses membaca,
mengucapkan, menulis dan terkadang sulit untuk memberikan kode (pengkodean)
angka ataupun huruf. Disamping itu, mungkin dapat diidentifikasikan melalui
proses keepatan area dalam otak, yang menyangkut short-term memory (ingatan
jangka pendek), perilaku, pendengaran, atau persepsi visual, berbicara dan
ketrampilan motorik. Disleksia adalah ketidakmampuan belajar secara neurologis
yang menghambat proses dan penguasaan bahasa. Disleksia juga yaitu suatu
keadaan pemrosesan input atau masukan informasi yang berbeda dari anak normal
yang biasanya ditancai dengan kesulitan dalam membaca, sehingga dapat
mempengaruhi area kognisi seperti daya ingat, kecepatan input, kemampuan
waktu aspek koordinasi dan pengendalian gerak, Pengertian lain dari disleksia
adalah suatu gangguan pada proses belajar yang mana seseorang mengalami
kesulitan dalam membaca, menulis, atau mengeja.
b. Karakteristik
Thomson & Watkins dalam Abdurrahman mengatakan bahwa disleksia
memiliki kesulitan dalam tugas-tugas berikut: (1) membaca dan menulis, (2)
mengorganisir dan memahami waktu, (3) mengingat urutan nomor dan
berkonsentrasi dalam jangka waktu yang lama, (4) belajar dan memahami ucapan
dan tulisan, (5) mengenali dan mengulang kembali tulisan atau ucapan, (6)
menemukan dan mengolah informasi tekstual. Menurut Mercer ada empat
kelompok karakteristik kesulitan belajar membaca, yaitu berkenaan dengan (1)
kebiasaan membaca, (2) kekeliruan mengenal kata, (3) kekeliruan pemahaman,
dan (4) dan gejala-gejala serba aneka.
Pendapat Vernon yang juga dikutip Hargrove dalam Abdurrahman
mengemukakan perilaku anak berkesulitan belajar membaca, sebagai berikut:
1) Memiliki kekurangan dalam diskriminasi penglihatan.
2) Tidak mampu menganalisis kata menjadi huruf-huruf.
3) Memiliki kekurangan dalam memori visual.
4) Memiliki kekurangan dalam melakukan diskriminasi auditoris.
5) Tidak mampu memahami simbol bunyi.
6) Kurang mampu mengintegrasikan penglihatan dengan pendengaran.
7) Kesulitan dalam mempelajari asosiasi simbol-simbol ireguler (khusus yang
berbahasa inggris).
8) Kesulitan dalam mengurutkan kata-kata atau huruf.
9) Membaca kata demi kata.
12
10) Kurang memiliki kemampuan dalam berfikir konseptual.
13
otak, baik itu akibat jatuh di kamar mandi, kecelakaan mobil, atau gegar otak di
lapangan sepak bola, dapat menyebabkan agraphia sementara atau permanen.
- Demensia
Agraphia yang semakin memburuk adalah, beberapa peneliti percayalah,
salah satu tanda awal demensia.
- Lesi yang lebih jarang
Lesi adalah area jaringan abnormal atau kerusakan di dalam otak. Lesi
dapat mengganggu fungsi normal area tempat munculnya.
4. Salah satu penyebab disleksia :
adalah lambatnya adalah terhambatnya anak disleksia pada masalah karena terjadi
pemusatan pada perjalanan saraf penghubung atau membingungkan lalu lintas macet
sinyal saraf yang memberikan proses memberikan informasi antar saraf menjadi lebih
lama.
14
- Pelatihan keterampilan sosial itu juga memfasilitasi hubungan yang benar dengan
lingkungan. Psikedukasi untuk mereka dan lingkungan dapat sangat membantu
untuk memfasilitasi pengembangan normatif subjek dan pemahaman kesulitan di
dalamnya.
3. Penanganan bagi anak dengan agrafia antara lain:
- membaca teks yang sama berulang kali sampai mereka dapat membaca seluruh
kata alih-alih huruf demi huruf. Strategi membaca ini dipasangkan dengan latihan
mengeja interaktif di mana peserta dapat menggunakan perangkat ejaan untuk
membantu mereka menemukan dan memperbaiki kesalahan ejaan mereka.
- latihan mengeja dan menulis kalimat serta membaca lisan dan latihan mengeja
untuk mengatasi defisit di beberapa area pada waktu yang bersamaan.
4. Penanganan bagi anak dengan disleksia antara lain:
- Salah satu bentuk mengatasi yang bisa membantu penderita disleksia yiatu
pendekatran dan bantuan edukasi khusus. Menentukan jenis intervensi yang
sesuai seringkali tergantung pada tingkat keparahan disleksia yang dialami sdan
juga hasil tes psikologi penderita.
15
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
16
DAFTAR PUSTAKA
Sa’adati, Imadatus Tatik .2015. “Intervensi Psikologis Pada Siswa Dengan Kesulitan Belajar
(hlmn. 15-20).
https://beritamadani.co.id/2016/10/anak-dengan-kesulitan-belajar-spesifik-diskalkulia-
Maret 2021.
17