Anda di halaman 1dari 10

KONSEP PSIKOFARMAKA

Oleh : Sebastianus Banggut, SST., M.Pd

A. Pengertian psikofarmaka
www.dictio.Id. Ilmu Kedokteran. 4 Pebruari 2018. Psikofarmaka atau Obat
Psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada sistem saraf pusat. Obat
dari golongan ini bekerja dengan mempengaruhi sistem saraf pusat yang bisa
mempengaruhi dan mengurangi kecemasan, sehingga bisa menimbulkan
ketenangan. Kerja obat itu adalah mempengaruhi fungsi motorik dan mental
seseorang penderita. Selain itu bisa mempercepat tidur, sehingga menyerupai tidur
alami.
Ah.Yusuf, Rizky Fitriasari, Hanik Endang Nihayati (2015.280), Psikofarmaka
adalah berbagai jenis obat yang bekerja pada susunan saraf pusat. Efek utamanya
pada aktivitas mental dan perilaku, yang biasanya digunakan untuk pengobatan
gangguan kejiwaan. Terdapat banyak jenis obat psikofarmaka dengan farmakokinetik
khusus untuk mengontrol dan mengendalikan perilaku pasien gangguan jiwa.
Golongan dan jenis psikofarmaka ini perlu diktehui perawat agar dapat
mengembangkan upaya kolaborasi pemberian psikofarmaka, mengidentifikasi dan
mengantisipasimterjadinya efek samping, serta memadukan dengan berbagai
alternatif terapi lainnya. Wikipedia, Farmakokinetika adalah cabang ilmu dari
farmakologi yang mempelajari tentang perjalanan obat mulai dari sejak diminum
hingga keluar melalui organ ekskresi di tubuh manusia.
Patricia G.O’Brien, Winifred Z. Kennedy, Karen A. Ballard (2014.106),
Psikofarmakologi adalah ilmu yang mempelajari obat yang mempengaruhi psyche
(bahasa yunani yang berarti roh atau jiwa seseorang), dengan kata lain,
psikofarmakologi adalah ilmu yang mempelajari obat yang digunakan pada psikiatri.
Obat ini sering kali disebut sebagai psikotropik, harfiahnya, obat yang
“memindahkan roh” atau memindahkan jiwa”.
Semua obat psikotropik bekerja dengan cara mengubah beberapa aspek
kimiawi otak. Gejala dan penyakit psikiatri disebabkan abnormalitas fungsi otak, dan
obat psikotropik memulihkan keseimbangan kimiawi normal otak sehingga
memungkinkan klien merasa sehat dan berperilaku normal. Misalnya, penyakit
psikotik dianggap terkait dengan aktivitas neurotransmiter kimia dopamin dan
serotonin yang berlebihan. Obat antipsikotik mengurangi aktivitas berlebihan satu
atau kedua neurotransmiter kimia ini. Hal yang sama, depresi dianggap terkait
dengan aktivitas di bawah normal neurotrnasmiter norepinefrin dan serotonin. Obat
antidepresan secara spesifik bekerja pada kedua neurotrnsmiter ini, meningkatkan
aktivitasnya dan, dengan melakukannya, meredahkan depresi. Persamaan
selanjutnya, tiap obat psikotropik bekerja untuk memulihkan keseimbangan kimia
normal otak.
Obat psikotropik tidak menyembuhkan penyakit jiwa seperti halnya insulin
tidak menyembuhkan diabetes, seperti insulin pada penyakit diabetes, obat
psikotropik mengatasi gejala penyakit yang mendasari, yang memungkinkan klien
untuk merasa sehat dan berfungsi secara normal.

1
B. Jenis Obat Psikofarmaka
Ah.Yusuf, Rizky Fitriasari, Hanik Endang Nihayati (2015.280), berdasarkan efek
klinik, obat psikofarmaka dibagi menjadi golongan:
1. Antipsikotik
Obat ini dahulu disebut neuroleptika atau major tranquillizer). Inidikasi utama
obat golongan ini adalah untuk penderita gangguan psikotik (skizofrenia atau
pasikotik lainnya). Klasifikasinya antara lain sebagai berikut:
a. Derivat fenotiazin:
1). Rantai samping alifatik. Contoh: Chlorpromazine (largatil, ethilbernal) dan
Levomepromazine (Nozinan)
2). Ranti samping piperazin. Contoh: Trifluoperazine (Stelazine), Perfenazine
(Trilafon), dan Flufenazine (Anatensol)
3). Ranti samping piperidin. Contoh: Thioridazin (Melleril).
b. Derivat butirofenon. Contoh: Haloperidol (Haldol, Serenace).
c. Derivat thioxanten. Contoh: Klorprotizen (Taractan).
d. Derivat dibenzoxasepin. Contoh: Loksapin.
e. Derivat difenilbutetilpiperidin. Contoh: Pimozide (Orap).
f. Derivat benzamide. Contoh: Sulpirid (dogmatil).
g. Derivat benzisoxazole. Contoh: Risperidon (Risperdal).
h. Derivat dibenzoxasepin (antipsikotik atipikal). Contoh: Clozapin (Leponex).

Efek utama obat antipsikotik adalah menyupresi gejala psikotik seperti gangguan
proses pikir (waham), gangguan persepsi (halusinasi), aktivitas psikomotor yang
berlebihan (agresivitas), dan juga memiliki efek sedatif serta efek samping
ekstrapiramidal. Timbulnya efek samping sangat bervariasi dan bersifat
individual. Efek samping yang dapat terjadi antara lain sebagai berikut:
a. Gangguan neurologik.
1. Gejala ekstrapiramidal.
a) Akatisia (Kegelisahan motorik), tidak dapat duduk diam, jalan salah
duduk pun tak enak.
b) Distonia akut(kram otot). Kekakuan otot terutama otot lidah
(protusio lidah), tortikolis (otot leher tertarik ke satu sisi), opistotonus
(otot punggung tertarik ke belakang), dan okulogirikrisis (mata seperti
tertarik ke atas).
c) Sindrom Parkinson/Parkinsonisme. Terdapat rigiditas otot/fenomena
roda bergerigi, tremor kasar, muka topeng, hipersalivasi, disartria.
d) Diskinesia Tardif. Gerakan-gerakan involunter yang berulang, serta
mengenai bagian tubuh/kelompok otot tertentu yang biasanya timbul
setelah pemakaian antipsikotik jangka lama.
2. Sindroma neuroleptika maligna.
Kondisi gawat darurat yang ditandai dengan timbulnya febris tinggi,
kejang-kejang, denyut nadi meningkat, keringat berlebihan, dan
penurunan kesadaran. Sering terjadi pada pemakaian kombinasi
antipsikotik golongan Butirofenon dengan garam lithium.
3. Penurunan Ambang Kejang. Perlu diperhatikan pada penderita epilepsi
yang mendapat antipsikotik.

2
b. Gangguan Otonom
1. Hipotensi ortostatik/postural. Penurunan tekanan darah pada perubahan
posisi, misalnya dari keadaan berbaring kemudian tiba-tiba berdiri,
sehingga dapat terjatuh atau syok/kesadaran menurun.
2. Gangguan sistem gastrointestinal. Mulut kering, opstipasi, hipersalivasi,
dan diare.
3. Gangguan sistem urogenital: inkontinensia urine
4. Gangguan pada mata. Kesulitan akomodasi, penglihatan kabur, fotofobia
karena terjadi mydriasis.
5. Gangguan pada hidung. Selaput lendir hidung edema sehingga pasien
mengeluh hidungnya mampet.
c. Gangguan Hormonal
1. Hiperprolaktinemia
2. Galactorrhea
3. Amenorrhea
4. Gynecomastia pada laki-laki.
d. Gangguan Hematologi
1. Agranulositosis
2. Thrombosis
3. Neutropenia
e. Lain-lain.
Dapat terjadi ikterus obstruktif, impotensia/disfungsia seksual, alergi,
pigmentasi retina, dan dermatosis.

Patricia G.O’Brien, Winifred Z. Kennedy, Karen A. Ballard (2014.109), efek


samping obat Antipsikotik adalah sebagai berikut:
Efek samping Anti Psikotik.
Efek samping Ekstrapiramidal atau Muskuler Efek samping lain
1. Distonia (kram otot)  Hipotensi ortostatik
2. Akinesia (kurang pergerakan)  Ruam
3. Tremor  Penurunan toleransi terhadap alkohol
4. Akatisia (gelisah motorik)  Peningkatan selera makan disertai penambahan berat badan
5. Diskinesia tardif (gerakan involunter  Sensitivitas terhadap sinar matahari
abnormal – lebih sering terjadi pada  Sedasi
antipsikotik tradisional) seperti :  Sindrom keganasan neuroleptik:
menggosok-gosok jari tangan atau - Hitung sel darah putih (SDP) tinggi, creatine phosphokinaze (CPK)
tersentak-sentak, kedutan atau tinggi.
aktivitas berlebihan pada lidah, - Kekakuan otot
perubahan postur, kedipan berlebihan, - Peningkatan atau kelabilan tekanan darah, nadi dan pernapasan.
gerakan mengerutkan atau mengunyah - Kebisuan
pada mulut, gerakan seperti kedutuan - Diaforesis
pada wajah. - Hipersaliva (pengeleuaran air liur secara berlebihan)
- Disphagia
 Agranulositosis – risiko 1% dengan klozapin, risiko sangat rendah
dengan obat lain.
 Peningkatan saliva
 Hipertensi
 Mual dan muntah (risiko minimal kecuali dengan klozapin

Efek samping seksual


1. Keterlambatan orgasme
2. Penurunan dorongan seks
3. Amenorea
Efek samping Antikolinergik
1. Konstipasi
2. Penglihatan kabur
3. Retensi urine atau

3
keterlambatan pengeluaran
urine.
4. Kongesti hidung.
5. Mulut kering.

2. Antidepresan
Merupakan golongan obat-obatan yang mempunyai khasiat mengurangi atau
menghilangkan gejala depresif. Pada umumnya bekerja meningkatkan
neurotransmitter norepinefrin dan serotonin. Klasifikasinya sebagai berikut :
1. Golongan trisiklik. Contoh: Imipramin (Tofranil), Amitriptilin (Laroxyl),
Clomipramin (Anafranil).
2. Golongan tetrasiklik. Contoh : Maprotilin (Ludiomil
3. Golongan monoaminoksidase inhibitor (MAOI)
Contoh: Rima/Moclobemide (Auroric).
4. Golongan serotonin selective reuptake inhibitor (SSRI)
Contoh:
a) Setralin (Zoloft)
b) Paroxetine (Seroxal)
c) Fluoxetine (Prozax)
Untuk gangguan depresi berat dengan kecenderungan bunuh diri, perlu
dipertimbangkan penggunaan ECT sebagai pendamping pemberian antidepresan.
Efek samping
Efek samping yang sering terjadi pada pemberian antidepresan antara lain
sebagai berikut:
1. Gangguan pada sistem kardiovaskuler.
a) Hipotensi, terutama pada pasien usia lanjut
b) Hipertensi (sering terjadi pada antidepresan golongan MAOI yang
klasik)
c) Perubahan pada gambaran EKG (kardiotoksik terutama pada
antidepresan golongan trisiklik).
2. Gangguan sistem otonom akibat efek antikolinergik. Obstipasi, mulut
tenggorokan kering, mual, sakit kepala, serta lain-lain.
3. Antiansietas (Anxiolythic Sedative)
Obat golongan ini dipakai untuk mengurangi ansietas/kecemasan yang patologis
tanpa banyak berpengaruh pada fungsi kognitif. Secara umum, obat-obat ini
berefek sedatif dan berpotensi menimbulkan toleransi / ketergantungan
terutama pada golongan Benzodiazepin. Klasifikasnya adalah sebagai berikut:
1. Derivat benzodiazepin.
Contoh :
a. Klordiazopoksid (Librium)
b. Diazepam (Valium)
c. Bromazepam ( Lexotan )
d. Lorazepam ( Aktivan )
e. Clobazam (Frisium)
f. Alprazolam (Xanax)
g. Buspiron (Buspar)
2. Derivat gliserol. Contoh: Meprobamat (Deparon)

4
3. Derivat barbital. Contoh: Fenobarbital (Luminal).
Obat-obat golongan Benzodiazepam paling banyak disalahgunakan karena efek
hipnotiknya dan terjaminnya keamanan dalam pemakaian dosis yang berlebih.
Obat-obat golongan ini tidak berefek fatal pada overdosis kecuali bila dipakai
dalam kombinasi dengan antisiolitik jenis lain.
Efek samping yang sering dikeluhkan adalah sebagai berikut:
1. Rasa mengantuk yang berat
2. Sakit kepala
3. Disartria
4. Nafsu makan bertambah
5. Ketergantungan
6. Gejala putus zat (gelisah, tremor, bila berat bisa sampai terjadi kejang-
kejang).

4. Antimanik (mood stabilizer)


Merupakan kelompok obat yang berkasiat untuk kasus gangguan afektif bipolar
terutama episodik mania dan sekaligus dipakai untuk mencegah
kekambuhannya. Obat yang termasuk kelompok ini adalah sebagai berikut:
1. Golongan garam lithium (Teralith, Priadel)
2. Karbamazepin (Tegretol, Temporol)
3. Asam Valproat.
Hal yang penting untuk diperhatikan pada pemberian obat golongan ini adalah
kadarnya dalam plasma. Misalnya, pada pemberian lithium karbonat, dosis
efektif antara 0,8-1,2 meq/L. Hal ini perlu selalu dimonitor karena obat ini
bersifat toksik terutama terhadap ginjal. Efek samping yang perlu diperhatikan
antara lain sebagai berikut:
1. Tremor halus
2. Vertigo dan rasa lelah
3. Diare dan muntah-muntah
4. Oliguria dan anuria
5. Konvulsi
6. Kesadaran menurun
7. Edema
8. Ataksia dan tremor kasar.
Berbagai obat yang sering digunakan di rumah sakit jiwa dan tindakan
keperawatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Golongan Butirofenon (Haloperidol, Serenace)
a. Efek. Obat Antipsikotik, sedasi psikomotor, mengontrol keseimbangan
psikis dan otomatik, menghambat gerakan-gerakan yang tidak terkendali
dan antimetik.
b. Efek samping. Efek ekstrapiramidal, spasme otot, dan parkinson.
c. Tindakan Keperawatan. Obsrvasi ketat tingkah laku pasien, beri dukungan
dan rasa aman kepada pasien, berada dekat pasien. Selain itu, lakukan
tindakan kolaboratif dengan pemberian obat-obat antikolinergik untuk
mengatasi spasme otot dan dopamin agonis untuk mengatasi parkinson.
d. Cara permberian : per oral.
2. Golongan Fenotiazin (Klorpromazin, Stelazine)

5
a. Efek. Penenang dengan daya kerja antipsikotik, antisiolitik, dan antiemetik
yang kuat.
b. Efek samping.
1) Efek antikolinergik: hipotensi orthostatik, konstipasi, mulut kering,
penglihatan kabur.
2) Efek ekstrapiramidal pada pemakaian dosis tinggi atau pada pasien
berusia di atas 40 tahun seperti gelisah dan sukar tidur.
c. Tindakan keperawatan.
1) Untuk efek antikolinergik
a) Observasi bising usus, beri diet tinggi serat, tingkatkan input
cairan, dan beri aktivitas untuk mencegah konstipasi.
b) Monitor tekanan darah, tingkatkan volume cairan untuk
mengembangkan pembuluh darah dan beritahu pasien untuk
berpindah posisi perlahan-lahan untuk mengontrol hipotensi
orthostatik.
c) Beri pelembab mulut secara berkala untuk mengurangi rasa
kering, misalnya gliserin.
d) Anjurkan pasien untuk tidak bekerja dengan alat berbahaya,
benda tajam, dan tidak bepergian untuk mengurangi kecelakaan
akibat kekaburan pandangan.
e) Kolaborasi : pemberian antikolinergik agonis dan laksatif.
2) Untuk efek ekstrapiramidal.
a) Prinsip tindakan sama dengan pada pemberian haloperidol
b) Untuk mengatasi sulit tidur dapat diberi susu hangat sebelum
tidur atau dengan cara lain.
d. Cara pemberian : per oral.
3. Golongan Trihexifenidil yaitu obat yang digunakan untuk mengatasi efek
ekstrapiramidal. Cara pemberian: per oral.

C. Peran Perawat Dalam Pemberian Psikofarmaka.


Ah.Yusuf, Rizky Fitriasari, Hanik Endang Nihayati (2015.286), Peran perawat
dalam penatalaksanaan obat di rumah sakit jiwa adalah sebagai berikut:
1. Mengumpulkan data sebelum pengobatan
Dalam melaksanakan peran ini, perawat didukung oleh latar belakang
pengetahuan biologis dan perilaku. Data yang perlu dikumpulkan antara lain:
riwayat penyakit, diagnosis medis, hasil pemeriksaan laboratorium yang
berkaitan, riwayat pengobatan, jenis obat yang digunakan (dosis, cara
pemberian, waktu pemberian), dan perawat perlu mengetahui program terapi
lain bagi pasien. Pengumpulan data ini agar Asuhan yang diberikan bersifat
menyeluruh dan merupakan satu kesatuan.
2. Mengoordinasikan obat dengan terapi modalitas
Hal ini penting dalam mendesain program terapi yang akan dilakukan. Pemilihan
terapi yang tepat dan sesuai dengan program pengobatan pasien akan
memberikan hasil yang lebih baik.
3. Pendidikan kesehatan
Pasien di rumah sakit sangat membutuhkan pendidikan kesehatan tentang obat
yang diperolehnya, karena pasien sering tidak minum obat yang dianggap tidak

6
ada manfaatnya. Selain itu, pendidikan kesehatan juga diperlukan oleh keluarga
karena adanya anggapan bahwa jika pasien sudah pulang ke rumah tidak perlu
lagi minum obat padahal ini menyebabkan risiko kekambuhan dan dirawat
kembali di rumah sakit.
4. Memonitor efek samping obat
Seorang perawat diharapkan mampu memonitor efek samping obat dan reaksi-
reaksi lain yang baik setelah pasien minum obat. Hal ini penting dalam mencapai
pemberian obat yang optimal.
5. Melaksanakan prinsip-prinsip pengobatan psikofarmakologi.
Peran ini membuat perawat sebagai kunci dalam memaksimalkan efek terapeutik
obat dan meminimalkan efek samping obat karena tidak ada profesi lain dalam
tim kesehatan yang melakukan dan mempunyai kesempatan dalam memberikan
tiap dosis obat pasien, serta secara terus-menerus mewaspadai efek samping
obat. Dalam melaksanakan peran ini, perawat bekerja sama dengan pasien.
6. Melaksanakan program pengobatan berkelanjutan.
Dalam program pengobatan, perawat merupakan penghubung antara pasien
dengan fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat. Setelah pasien selesai
dirawat di rumah sakit maka perawat akan merujuk pasien pada fasilitas yang
ada di masyarakat misalnya, puskesmas, klinik jiwa, dan sebagainya.
7. Menyesuaikan dengan terapi nonfarmakologi.
Sejalan dengan peningkatan pengetahuan dan kemampuan perawat, peran
perawat dapat diperluas menjadi seorang terapis. Perawat dapat memilih salah
satu program terapi bagi pasien dan menggabungkannya dengan terapi
pengobatan serta bersama pasien bekerja sebagai satu kesatuan.
8. Ikutserta dalam riset interdisipliner.
Sebagai profesi yang paling banyak berhubungan dengan pasien, perawat dapat
berperan sebagai pengumpul data, sebagai asisten peneliti, atau sebagai peneliti
utama. Peran perawat dalam riset mengenai obat ini sampai saat ini masih terus
digali.

Patricia G.O’Brien, Winifred Z. Kennedy, Karen A. Ballard (2014.106),


Perawat memiliki peran yang amat penting dalam psikofarmakologi. Sebagian besar
perawat psikkiatrik memberikan dan memantau obat psikotropik. Peran perawat
sebagai pemberi dan pemantau dimulai dengan pengkajian awal pada klien. perawat
harus menanyakan tentang riwayat pribadi dan keluarga terhadap responsivitas obat
karena salah satu cara terbaik memperkirakan efektivitas obat adalah dengan
mengetahui apakah sebelumnya obat tersebut bekerja dengan baik untuk klien atau
anggota keluarga dekat (saudara perempuan, saudara laki-laki, orang tua, anak,
kakek dan nenek, bibi, paman, sepupu dekat).
Perawat juga mengumpulkan data tentang kemungkinan reaksi klien
terhadap efek samping. Misalnya, tidak dianjurkan memberikan obat dengan efek
samping tersering menimbulkan hypotensi pada klien yang memiliki tekanan darah
awal 90/60 mmHg. Akhirnya perawat menanyakan perasaan dan sikap klien
terhadap obat dan menanyakan opininya tentang obat yang bekerja paling baik.
Ketika klien mulai minum obat, perawat dengan cermat memberikan dosis
tiap obat, memberikan penyuluhan secara bertahap tentang setiap aspek
pengobatan: nama obat, dosis, rute, dan jadwal pasti; dan pantangan makanan

7
tertentu serta obat lain. Klien harus tahu kegunaan yang pasti masing-masing obat
yang diminumnya.
Perawat memiliki peranan penting dalam penatalaksanaan efek samping. Obat
psikotropik, seperti semua obat, mempunyai efek samping. Bagi sebagian orang efek
sampingnya ringan, bagi sebagian orang dirasakan sangat mengganggu dan kadang
membahayakan. Klien harus diberitahu bahwa mustahil untuk memperkirakan
dengan tepat efek samping yang akan terjadi atau akan seberapa parah. Perawat
harus meyakinkan klien bahwa mereka akan mengawasi efek samping bersama-sama
dan melakukan apapun yang dirasa perlu untuk meminimalkannya. Yang terpenting
adalah klien mengetahui bahwa sebagian besar efek samping bersifat sementara.
Meski efek samping tersebut dapat terjadi dengan segera, efek yang diharapkan atau
efek terapeutik dapat terjadi setelah beberapa minggu atau bulan.

Gail W. Stuart (2007.377), Peran perawat. Perawat harus mempunyai cukup


pengetahuan tentang strategi psikofarmakologis yang tersedia , tetapi informasi ini
harus digunakan sebagai satu bagian dari pendekatan holistik pada asuhan pasien.
Peran perawat meliputi:
1. Pengkajian pasien. Pengkajian pasien memberikan landasan pandangan tentang
masing-masing pasien. Sebelum melakukan pengobatan psikofarmakologi,
evaluasi psikiatri yang lengkap harus dilakukan mencakup:
a. Pemeriksaan fisik
b. Pemeriksaan laboratorium
c. Evaluasi status mental : Ah.Yusuf, Rizky Fitriasari, Hanik Endang Nihayati
(2015.55), status muntal:
1) penampilan: tidak rapi, penggunaan pakaian, cara berpakaian
2) pembicaraan: cepat, keras, gagap, apatis, lambat, membisu.
3) aktivitas motorik: lesu, tegang, gelisah, agitasi, Tik, tremor, kompulsif.
4) alam perasaan: sedih, ketakutan, putus asa, khawatir, gembira berlebihan.
5) afek: datar, tumpul, labil, tidak sesuai.
6) interaksi selalam wawncara: bermusuhan, kontak mata kurang, tidak
koperatif, mudah tersinggung, defensif, curiga.
7) persepsi: pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecapan, dan
perabaan.
d. Riwayat medis dan psikiatri
e. Riwayat medikasi.
f. Riwayat keluarga.
2. Koordinasi modalitas terapi. Koordinasi ini mengintegrasikan berbagai terapi
pengobatan dan sering kali membingungkan bagi pasien. Contoh: berkaitan
dengan penggunaan obat bersamaan, termasuk kebingungan saat tercapai
keefektifan terapeutik dan efek samping serta perkembangan interaksi obat.
3. Pemberian agen psikofarmakologi. Program pemberian obat dirancang secara
profesional dan bersifat individual.
4. Pemantauan efek obat. Termasuk efek yang diinginkan maupun efek samping
yang dialami pasien.
5. Penyuluhan pasien. Memungkinkan pasien untuk meminum obat dengan aman
dan efektif.

8
6. Partisipasi dalam penelitian klini antardisiplin tentang uji coba obat. Perawat
merupakan anggota tim yang penting dalam penelitian obat yang digunakan
untuk mengobati pasien gangguan jiwa.

D. Metode Pendekatan Khusus dalam Pemberian Obat.


Ah.Yusuf, Rizky Fitriasari, Hanik Endang Nihayati (2015.286), Metode pendekatan
dalam pemberian obat untuk Pasien khusus bagi penderita: Curiga, Risiko Bunuh
Diri, dan Ketergantungan Obat adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan Khusus pada Pasien Curiga
Pada pasien curiga tidak mudah percaya terhadap suatu tindakan atau
pemberian yang diberikan kepadanya. Perawat harus meyakinkan bahwa
tindakan yang dilakukan pada pasien ini tidak membahayakan, tetapi bermanfaat
bagi pasien. Secara verbal dan nonverbal perawat harus dapat mengontrol
perilakunya agar tidak menimbulkan keraguan pada diri pasien karena tindakan
yang ragu-ragu pada diri perawat akan menimbulkan kecurigaan pasien.
Selain itu perawat harus bersikap jujur. Cara komunikasi harus tegas dan
ringkas, misalnya “Bapak J, ini adalah obat Bapak J”. Jika pasien masih ragu, maka
katakan, “Letakan obat ini pada mulut dan telan”. Berikan obat dalam bentuk
dan kemasan yang sama setiap kali memberi obat agar pasien tidak bingung,
cemas, dan curiga. Jika ada perubahan dosis atau cara meminumnya, diskusikan
terlebih dahulu dengan pasien sebelum meminta pasien untuk meminumnya.
Yakinkan obat benar-benar diminum dan ditelan dengan cara meminta pasien
untuk membuka mulut dan gunakan spatel untuk melihat apakah obat
disembunyikan. Hal ini terutama pada pasien yang mempunyai riwayat
kecenderungan menyembunyikan obat di bawah lidah dan membuangnya.
Untuk pasien yang benar-benar menolak minum obat meskipun sudah
diberikan pendekatan yang adekuat, maka pemberian obat dapat dilakukan
melalui kolaborasi dengan dokter yaitu injeksi sesuai dengan instruksi dengan
memperhatikan aspek legal dan hak-hak pasien untuk menolak pengobatan
dalam keadaan darurat.
2. Pendekatan Khusus pada Pasien Risiko Bunuh Diri
Pada pasien yang berisiko bunuh diri, masalah yang sering timbul dalam
pemberian obat adalah penolakan pasien untuk minum obat dengan maksud
pasien ingin merusak dirinya. Perawat harus bersikap tegas dalam pengawasan
pasien untuk minum obat karena pasien pada tahap ini berada pada tahap ini
berada dalam fase ambivalen antara keinginan hidup dan mati. Perawat
menggunakan kesempatan memberikan “perawatan” pada saat pasien
mempunyai keinginan hidup, agar keraguan pasien untuk mengakhiri hidupnya
berkurang karena pasien merasa diperhatikan. Perhatian perawat merupakan
stimulus penting bagi pasien untuk meningkatkan motivasi hidup. Dalam hal ini,
peran perawat memberikan obat diintegrasikan dengan pendekatan
keperawatan, di antaranya untuk meningkatkan harga diri pasien.
3. Pendekatan Khusus pada Pasien yang mengalami ketergantungan obat.
Pada pasien yang mengalami ketergantungan obat, biasanya menganggap obat
adalah hal yang dapat menyelesaikan masalah. Obat karenanya, perawat perlu
memberikan penjelasan kepada pasien tentang manfaat obat dan obat bukanlah

9
satu-ssatunya cara untuk menyelesaikan masalah. Misalnya, obat tidak bisa
menyelesaikan masalah-masalah sosial seperti patah hati, broken home, dan
kegagalan-kegagalan lainnya. Terapi obat harus disesuaikan dengan terapi
modalitas lainnya seperti penjelasan cara-cara melewati proses kehilangan.
Dalam uraian di atas dapat terlihat bahwa perawat harus dapat
mengidentifikasi kasus yang dihadapi dan menerapkan pendekatan secara adekuat
untuk melaksanakan peran perawat dalam pemberian obat.

Contoh klinis.
Seorang laki-laki muda penderita gangguan bipolar distabilkan oleh valproat
(Depakpote) setelah episode manik pertamanya. Ketika menghadiri sebuah
kelompok pengobatan di unit tersebut, ia belajar bahwa gangguan bipolar adalah
gangguan seumur hidup dan harus diobati secara berkelanjut dengan obat untuk
mencegah kekambuhan menjadi gejala aktif. Ia mengungkapkan ketidakpercayaan
dan kemarahannya bahwa ia harus meminum obat selama sisa hidupnya. Anggota
lain dalam kelompok yang mempunyai pengalaman lebih lama dengan gangguan
bipolar berbagai pengalaman pribadi mereka; periode sehat yang panjang saat
distabilkan dengan obat, yang diikuti dengan kambuh setelah mereka berhenti
minum obat. Setelah beberapa cerita serupa, perawat memotivasi klien untuk
menganggap obat valproat yang ia minum serupa dengan penderita diabetes melitus
yang terus memakai insulin seumur hidup.

Daftar Pustaka :
1. Ah.Yusuf, Fitriasari R, Nihayati E.H. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa,Salemba Medika, Jakarta.
2. Gail W. Stuart. 2007, Buku Saku Keperawatan Jiwa,cetakan I, editor edisi bahasa
Indonesia Pamilih Eko Karyuni, edisi 5, EGC, Jakarta
3. Patricia G.O’Brien, Winifred Z. Kennedy, Karen A. Ballard. 2014. Keperawatan
Kesehatan Jiwa Praktik: Teori & Praktik, cetak.14,alih bahasa,Nike Budhi Subekti,
editor edisi bahasa Indonesia, Bhetsy Angelina, EGC, Jakarta.

10

Anda mungkin juga menyukai