A. Pengertian psikofarmaka
www.dictio.Id. Ilmu Kedokteran. 4 Pebruari 2018. Psikofarmaka atau Obat
Psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada sistem saraf pusat. Obat
dari golongan ini bekerja dengan mempengaruhi sistem saraf pusat yang bisa
mempengaruhi dan mengurangi kecemasan, sehingga bisa menimbulkan
ketenangan. Kerja obat itu adalah mempengaruhi fungsi motorik dan mental
seseorang penderita. Selain itu bisa mempercepat tidur, sehingga menyerupai tidur
alami.
Ah.Yusuf, Rizky Fitriasari, Hanik Endang Nihayati (2015.280), Psikofarmaka
adalah berbagai jenis obat yang bekerja pada susunan saraf pusat. Efek utamanya
pada aktivitas mental dan perilaku, yang biasanya digunakan untuk pengobatan
gangguan kejiwaan. Terdapat banyak jenis obat psikofarmaka dengan farmakokinetik
khusus untuk mengontrol dan mengendalikan perilaku pasien gangguan jiwa.
Golongan dan jenis psikofarmaka ini perlu diktehui perawat agar dapat
mengembangkan upaya kolaborasi pemberian psikofarmaka, mengidentifikasi dan
mengantisipasimterjadinya efek samping, serta memadukan dengan berbagai
alternatif terapi lainnya. Wikipedia, Farmakokinetika adalah cabang ilmu dari
farmakologi yang mempelajari tentang perjalanan obat mulai dari sejak diminum
hingga keluar melalui organ ekskresi di tubuh manusia.
Patricia G.O’Brien, Winifred Z. Kennedy, Karen A. Ballard (2014.106),
Psikofarmakologi adalah ilmu yang mempelajari obat yang mempengaruhi psyche
(bahasa yunani yang berarti roh atau jiwa seseorang), dengan kata lain,
psikofarmakologi adalah ilmu yang mempelajari obat yang digunakan pada psikiatri.
Obat ini sering kali disebut sebagai psikotropik, harfiahnya, obat yang
“memindahkan roh” atau memindahkan jiwa”.
Semua obat psikotropik bekerja dengan cara mengubah beberapa aspek
kimiawi otak. Gejala dan penyakit psikiatri disebabkan abnormalitas fungsi otak, dan
obat psikotropik memulihkan keseimbangan kimiawi normal otak sehingga
memungkinkan klien merasa sehat dan berperilaku normal. Misalnya, penyakit
psikotik dianggap terkait dengan aktivitas neurotransmiter kimia dopamin dan
serotonin yang berlebihan. Obat antipsikotik mengurangi aktivitas berlebihan satu
atau kedua neurotransmiter kimia ini. Hal yang sama, depresi dianggap terkait
dengan aktivitas di bawah normal neurotrnasmiter norepinefrin dan serotonin. Obat
antidepresan secara spesifik bekerja pada kedua neurotrnsmiter ini, meningkatkan
aktivitasnya dan, dengan melakukannya, meredahkan depresi. Persamaan
selanjutnya, tiap obat psikotropik bekerja untuk memulihkan keseimbangan kimia
normal otak.
Obat psikotropik tidak menyembuhkan penyakit jiwa seperti halnya insulin
tidak menyembuhkan diabetes, seperti insulin pada penyakit diabetes, obat
psikotropik mengatasi gejala penyakit yang mendasari, yang memungkinkan klien
untuk merasa sehat dan berfungsi secara normal.
1
B. Jenis Obat Psikofarmaka
Ah.Yusuf, Rizky Fitriasari, Hanik Endang Nihayati (2015.280), berdasarkan efek
klinik, obat psikofarmaka dibagi menjadi golongan:
1. Antipsikotik
Obat ini dahulu disebut neuroleptika atau major tranquillizer). Inidikasi utama
obat golongan ini adalah untuk penderita gangguan psikotik (skizofrenia atau
pasikotik lainnya). Klasifikasinya antara lain sebagai berikut:
a. Derivat fenotiazin:
1). Rantai samping alifatik. Contoh: Chlorpromazine (largatil, ethilbernal) dan
Levomepromazine (Nozinan)
2). Ranti samping piperazin. Contoh: Trifluoperazine (Stelazine), Perfenazine
(Trilafon), dan Flufenazine (Anatensol)
3). Ranti samping piperidin. Contoh: Thioridazin (Melleril).
b. Derivat butirofenon. Contoh: Haloperidol (Haldol, Serenace).
c. Derivat thioxanten. Contoh: Klorprotizen (Taractan).
d. Derivat dibenzoxasepin. Contoh: Loksapin.
e. Derivat difenilbutetilpiperidin. Contoh: Pimozide (Orap).
f. Derivat benzamide. Contoh: Sulpirid (dogmatil).
g. Derivat benzisoxazole. Contoh: Risperidon (Risperdal).
h. Derivat dibenzoxasepin (antipsikotik atipikal). Contoh: Clozapin (Leponex).
Efek utama obat antipsikotik adalah menyupresi gejala psikotik seperti gangguan
proses pikir (waham), gangguan persepsi (halusinasi), aktivitas psikomotor yang
berlebihan (agresivitas), dan juga memiliki efek sedatif serta efek samping
ekstrapiramidal. Timbulnya efek samping sangat bervariasi dan bersifat
individual. Efek samping yang dapat terjadi antara lain sebagai berikut:
a. Gangguan neurologik.
1. Gejala ekstrapiramidal.
a) Akatisia (Kegelisahan motorik), tidak dapat duduk diam, jalan salah
duduk pun tak enak.
b) Distonia akut(kram otot). Kekakuan otot terutama otot lidah
(protusio lidah), tortikolis (otot leher tertarik ke satu sisi), opistotonus
(otot punggung tertarik ke belakang), dan okulogirikrisis (mata seperti
tertarik ke atas).
c) Sindrom Parkinson/Parkinsonisme. Terdapat rigiditas otot/fenomena
roda bergerigi, tremor kasar, muka topeng, hipersalivasi, disartria.
d) Diskinesia Tardif. Gerakan-gerakan involunter yang berulang, serta
mengenai bagian tubuh/kelompok otot tertentu yang biasanya timbul
setelah pemakaian antipsikotik jangka lama.
2. Sindroma neuroleptika maligna.
Kondisi gawat darurat yang ditandai dengan timbulnya febris tinggi,
kejang-kejang, denyut nadi meningkat, keringat berlebihan, dan
penurunan kesadaran. Sering terjadi pada pemakaian kombinasi
antipsikotik golongan Butirofenon dengan garam lithium.
3. Penurunan Ambang Kejang. Perlu diperhatikan pada penderita epilepsi
yang mendapat antipsikotik.
2
b. Gangguan Otonom
1. Hipotensi ortostatik/postural. Penurunan tekanan darah pada perubahan
posisi, misalnya dari keadaan berbaring kemudian tiba-tiba berdiri,
sehingga dapat terjatuh atau syok/kesadaran menurun.
2. Gangguan sistem gastrointestinal. Mulut kering, opstipasi, hipersalivasi,
dan diare.
3. Gangguan sistem urogenital: inkontinensia urine
4. Gangguan pada mata. Kesulitan akomodasi, penglihatan kabur, fotofobia
karena terjadi mydriasis.
5. Gangguan pada hidung. Selaput lendir hidung edema sehingga pasien
mengeluh hidungnya mampet.
c. Gangguan Hormonal
1. Hiperprolaktinemia
2. Galactorrhea
3. Amenorrhea
4. Gynecomastia pada laki-laki.
d. Gangguan Hematologi
1. Agranulositosis
2. Thrombosis
3. Neutropenia
e. Lain-lain.
Dapat terjadi ikterus obstruktif, impotensia/disfungsia seksual, alergi,
pigmentasi retina, dan dermatosis.
3
keterlambatan pengeluaran
urine.
4. Kongesti hidung.
5. Mulut kering.
2. Antidepresan
Merupakan golongan obat-obatan yang mempunyai khasiat mengurangi atau
menghilangkan gejala depresif. Pada umumnya bekerja meningkatkan
neurotransmitter norepinefrin dan serotonin. Klasifikasinya sebagai berikut :
1. Golongan trisiklik. Contoh: Imipramin (Tofranil), Amitriptilin (Laroxyl),
Clomipramin (Anafranil).
2. Golongan tetrasiklik. Contoh : Maprotilin (Ludiomil
3. Golongan monoaminoksidase inhibitor (MAOI)
Contoh: Rima/Moclobemide (Auroric).
4. Golongan serotonin selective reuptake inhibitor (SSRI)
Contoh:
a) Setralin (Zoloft)
b) Paroxetine (Seroxal)
c) Fluoxetine (Prozax)
Untuk gangguan depresi berat dengan kecenderungan bunuh diri, perlu
dipertimbangkan penggunaan ECT sebagai pendamping pemberian antidepresan.
Efek samping
Efek samping yang sering terjadi pada pemberian antidepresan antara lain
sebagai berikut:
1. Gangguan pada sistem kardiovaskuler.
a) Hipotensi, terutama pada pasien usia lanjut
b) Hipertensi (sering terjadi pada antidepresan golongan MAOI yang
klasik)
c) Perubahan pada gambaran EKG (kardiotoksik terutama pada
antidepresan golongan trisiklik).
2. Gangguan sistem otonom akibat efek antikolinergik. Obstipasi, mulut
tenggorokan kering, mual, sakit kepala, serta lain-lain.
3. Antiansietas (Anxiolythic Sedative)
Obat golongan ini dipakai untuk mengurangi ansietas/kecemasan yang patologis
tanpa banyak berpengaruh pada fungsi kognitif. Secara umum, obat-obat ini
berefek sedatif dan berpotensi menimbulkan toleransi / ketergantungan
terutama pada golongan Benzodiazepin. Klasifikasnya adalah sebagai berikut:
1. Derivat benzodiazepin.
Contoh :
a. Klordiazopoksid (Librium)
b. Diazepam (Valium)
c. Bromazepam ( Lexotan )
d. Lorazepam ( Aktivan )
e. Clobazam (Frisium)
f. Alprazolam (Xanax)
g. Buspiron (Buspar)
2. Derivat gliserol. Contoh: Meprobamat (Deparon)
4
3. Derivat barbital. Contoh: Fenobarbital (Luminal).
Obat-obat golongan Benzodiazepam paling banyak disalahgunakan karena efek
hipnotiknya dan terjaminnya keamanan dalam pemakaian dosis yang berlebih.
Obat-obat golongan ini tidak berefek fatal pada overdosis kecuali bila dipakai
dalam kombinasi dengan antisiolitik jenis lain.
Efek samping yang sering dikeluhkan adalah sebagai berikut:
1. Rasa mengantuk yang berat
2. Sakit kepala
3. Disartria
4. Nafsu makan bertambah
5. Ketergantungan
6. Gejala putus zat (gelisah, tremor, bila berat bisa sampai terjadi kejang-
kejang).
5
a. Efek. Penenang dengan daya kerja antipsikotik, antisiolitik, dan antiemetik
yang kuat.
b. Efek samping.
1) Efek antikolinergik: hipotensi orthostatik, konstipasi, mulut kering,
penglihatan kabur.
2) Efek ekstrapiramidal pada pemakaian dosis tinggi atau pada pasien
berusia di atas 40 tahun seperti gelisah dan sukar tidur.
c. Tindakan keperawatan.
1) Untuk efek antikolinergik
a) Observasi bising usus, beri diet tinggi serat, tingkatkan input
cairan, dan beri aktivitas untuk mencegah konstipasi.
b) Monitor tekanan darah, tingkatkan volume cairan untuk
mengembangkan pembuluh darah dan beritahu pasien untuk
berpindah posisi perlahan-lahan untuk mengontrol hipotensi
orthostatik.
c) Beri pelembab mulut secara berkala untuk mengurangi rasa
kering, misalnya gliserin.
d) Anjurkan pasien untuk tidak bekerja dengan alat berbahaya,
benda tajam, dan tidak bepergian untuk mengurangi kecelakaan
akibat kekaburan pandangan.
e) Kolaborasi : pemberian antikolinergik agonis dan laksatif.
2) Untuk efek ekstrapiramidal.
a) Prinsip tindakan sama dengan pada pemberian haloperidol
b) Untuk mengatasi sulit tidur dapat diberi susu hangat sebelum
tidur atau dengan cara lain.
d. Cara pemberian : per oral.
3. Golongan Trihexifenidil yaitu obat yang digunakan untuk mengatasi efek
ekstrapiramidal. Cara pemberian: per oral.
6
ada manfaatnya. Selain itu, pendidikan kesehatan juga diperlukan oleh keluarga
karena adanya anggapan bahwa jika pasien sudah pulang ke rumah tidak perlu
lagi minum obat padahal ini menyebabkan risiko kekambuhan dan dirawat
kembali di rumah sakit.
4. Memonitor efek samping obat
Seorang perawat diharapkan mampu memonitor efek samping obat dan reaksi-
reaksi lain yang baik setelah pasien minum obat. Hal ini penting dalam mencapai
pemberian obat yang optimal.
5. Melaksanakan prinsip-prinsip pengobatan psikofarmakologi.
Peran ini membuat perawat sebagai kunci dalam memaksimalkan efek terapeutik
obat dan meminimalkan efek samping obat karena tidak ada profesi lain dalam
tim kesehatan yang melakukan dan mempunyai kesempatan dalam memberikan
tiap dosis obat pasien, serta secara terus-menerus mewaspadai efek samping
obat. Dalam melaksanakan peran ini, perawat bekerja sama dengan pasien.
6. Melaksanakan program pengobatan berkelanjutan.
Dalam program pengobatan, perawat merupakan penghubung antara pasien
dengan fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat. Setelah pasien selesai
dirawat di rumah sakit maka perawat akan merujuk pasien pada fasilitas yang
ada di masyarakat misalnya, puskesmas, klinik jiwa, dan sebagainya.
7. Menyesuaikan dengan terapi nonfarmakologi.
Sejalan dengan peningkatan pengetahuan dan kemampuan perawat, peran
perawat dapat diperluas menjadi seorang terapis. Perawat dapat memilih salah
satu program terapi bagi pasien dan menggabungkannya dengan terapi
pengobatan serta bersama pasien bekerja sebagai satu kesatuan.
8. Ikutserta dalam riset interdisipliner.
Sebagai profesi yang paling banyak berhubungan dengan pasien, perawat dapat
berperan sebagai pengumpul data, sebagai asisten peneliti, atau sebagai peneliti
utama. Peran perawat dalam riset mengenai obat ini sampai saat ini masih terus
digali.
7
tertentu serta obat lain. Klien harus tahu kegunaan yang pasti masing-masing obat
yang diminumnya.
Perawat memiliki peranan penting dalam penatalaksanaan efek samping. Obat
psikotropik, seperti semua obat, mempunyai efek samping. Bagi sebagian orang efek
sampingnya ringan, bagi sebagian orang dirasakan sangat mengganggu dan kadang
membahayakan. Klien harus diberitahu bahwa mustahil untuk memperkirakan
dengan tepat efek samping yang akan terjadi atau akan seberapa parah. Perawat
harus meyakinkan klien bahwa mereka akan mengawasi efek samping bersama-sama
dan melakukan apapun yang dirasa perlu untuk meminimalkannya. Yang terpenting
adalah klien mengetahui bahwa sebagian besar efek samping bersifat sementara.
Meski efek samping tersebut dapat terjadi dengan segera, efek yang diharapkan atau
efek terapeutik dapat terjadi setelah beberapa minggu atau bulan.
8
6. Partisipasi dalam penelitian klini antardisiplin tentang uji coba obat. Perawat
merupakan anggota tim yang penting dalam penelitian obat yang digunakan
untuk mengobati pasien gangguan jiwa.
9
satu-ssatunya cara untuk menyelesaikan masalah. Misalnya, obat tidak bisa
menyelesaikan masalah-masalah sosial seperti patah hati, broken home, dan
kegagalan-kegagalan lainnya. Terapi obat harus disesuaikan dengan terapi
modalitas lainnya seperti penjelasan cara-cara melewati proses kehilangan.
Dalam uraian di atas dapat terlihat bahwa perawat harus dapat
mengidentifikasi kasus yang dihadapi dan menerapkan pendekatan secara adekuat
untuk melaksanakan peran perawat dalam pemberian obat.
Contoh klinis.
Seorang laki-laki muda penderita gangguan bipolar distabilkan oleh valproat
(Depakpote) setelah episode manik pertamanya. Ketika menghadiri sebuah
kelompok pengobatan di unit tersebut, ia belajar bahwa gangguan bipolar adalah
gangguan seumur hidup dan harus diobati secara berkelanjut dengan obat untuk
mencegah kekambuhan menjadi gejala aktif. Ia mengungkapkan ketidakpercayaan
dan kemarahannya bahwa ia harus meminum obat selama sisa hidupnya. Anggota
lain dalam kelompok yang mempunyai pengalaman lebih lama dengan gangguan
bipolar berbagai pengalaman pribadi mereka; periode sehat yang panjang saat
distabilkan dengan obat, yang diikuti dengan kambuh setelah mereka berhenti
minum obat. Setelah beberapa cerita serupa, perawat memotivasi klien untuk
menganggap obat valproat yang ia minum serupa dengan penderita diabetes melitus
yang terus memakai insulin seumur hidup.
Daftar Pustaka :
1. Ah.Yusuf, Fitriasari R, Nihayati E.H. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa,Salemba Medika, Jakarta.
2. Gail W. Stuart. 2007, Buku Saku Keperawatan Jiwa,cetakan I, editor edisi bahasa
Indonesia Pamilih Eko Karyuni, edisi 5, EGC, Jakarta
3. Patricia G.O’Brien, Winifred Z. Kennedy, Karen A. Ballard. 2014. Keperawatan
Kesehatan Jiwa Praktik: Teori & Praktik, cetak.14,alih bahasa,Nike Budhi Subekti,
editor edisi bahasa Indonesia, Bhetsy Angelina, EGC, Jakarta.
10