Anda di halaman 1dari 2

Nama : Risma Dwi Hidayati

Kelas : XII-MIA

Mapel : Seni Budaya (Menganalisis Naskah Monolog)

Naskah Monolog

SUARA ITU

(Aura Zahra)

(pemeran memasuki panggung lalu duduk di tempat duduk yang disediakan)

(Menghela nafas, lalu melihat ke arah langit langit) “hari ini kenapa rasanya semua tidak berjalan lancar,
ya? Ujian harian tidak berjalan lancar, lupa membawa tugas, sampai sikap teman-teman yang tiba-tiba
berubah, kenapa ya? Apakah sebenarnya aku tidak layak bahagia, ya?”

(Mengalihkan pandangan ke arah bawah) “sudah di sekolah terasa kacau sekali, sekarang di rumah tidak
terasa seperti di rumah”

(tertawa miris dan pandangan ke arah penonton) “katanya hidup itu adil tapi kenapa hal-hal kecil
seperti kasih sayang saja aku tak pernah merasakan, ya?”

“setiap hari aku pulang ke rumah, berganti pakaian, makan, minum. Persis seperti kegiatan anak-anak
lain di rumah mereka masing masing, tapi bedanya mereka dapat tertawa dengan bebas dirumah
masing-masing, sedang aku?

(menunjuk diri sendiri dan tertawa miris) jangankan tertawa, senyum saja aku susah. Suara-suara itu,
suara saling membentak, saling menghina, saling mencerca itu sudah seperti rangkaian nada yang tak
pernah berhenti. Rangkaian nada yang membuat rumah ini terasa seperti penjara!

Dua orang yang mengaku dewasa itu! (menunjuk ke arah luar) orang yang mengaku-ngaku sebagai ayah
dan ibu ku itu bahkan tak pernah sekalipun menanyakan apa aku baik baik saja? Apa aku tidak sakit
mendengar ocehan-ocehan tidak berguna itu? Bagaimana perasaan ku saat tau salah satu dari mereka
memutuskan untuk pergi? Betapa hancurnya aku saat itu! Aku tidak memiki siapa-siapa. Kata ‘keluarga’
terasa begitu asing karena aku pun tak pernah merasakannya.

siapa yang benar? Siapa yang salah? Siapa yang peduli, sih?!

“Yang aku tau sekarang, kedua orang itu bahkan tidak bisa disebut dewasa! Setiap hari mereka selalu
saja memperebutkan posisi sebagai pihak benar. Mereka tidak pernah peduli ketika mereka
memperebutkan posisi itu,ada hati yang terluka. Aku sebenarnya tidak pernah peduli tentang siapa yang
benar siapa yang salah, yang aku pedulikan adalah bagaimana mereka seharusnya dapat menyelesaikan
masalah seperti orang dewasa lalu membentuk keluarga kecil yang bahagia”

(dengan nada lirih dan tangan kanan menggenggam depan dada)

“seperti keluarga-keluarga lainnya, keluarga yang bahagia, yang akan selalu ada saat salah satu anggota
keluarga nya merasa kesepian”

“apakah sesusah itu? Apakah sesusah itu, tuhan? Sudah banyak sekali seseorang yang bilang padaku
bahwa hidup berat, tapi apakah memang seberat ini?”

“aku pernah mendengar kalimat bahwa kamu diciptakan karena sebuah alasan, lalu apakah aku
diciptakan untuk menderita, ya?”

“aku tidak pernah meminta hal aneh seperti istana megah atau bahkan sekarung berlian. Aku hanya
meminta keluarga kecil yang bahagia dan hangat, yang bersedia menampung keluh kesah ku saat dunia
terasa terlalu keras. Apakah sesusah itu untuk mewujudkannya?”

“aku kangen ayah, aku kangen ibu, aku rindu keluarga

Tolong kembalikan keluarga kecilku” (terduduk di lantai)

Pesan Moral

Sebagai orang tua hendaknya selalu memikirkan perasaan seorang anak dalam keluarga, karena
keadaan keluarga yang tidak sehat, akan mempengaruhi pola pikir dan perilaku seorang anak.

Menganalisis Tokoh

AKU

Dari segi fisik pengarang menggambarkan tokoh Aku sebagai seseorang yang masih duduk dibangku
sekolah, dari segi psikis tokoh Aku sedang tertekan, merasa tidak diinginkan, dan menginginkan keluarga
yang harmonis. Dari segi sosiologi tokoh aku digambarkan sebagai seorang anak dari keluarga yang tidak
harmonis.

Anda mungkin juga menyukai