Kelompok 4
Andi Farid Irfansyah 14120180305
Siti Hajrah 14120180158
NurFadila 14120180193
Penyusun
2
DAFTAR ISI
SAMPUL........................................................................................................
KATA PENGANTAR......................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................
2.1. Apa itu Amoniak NH3?
2.2. Sifat dan karakteriktik amoniak NH3?
2.3. Sumber-sumber pencemaran amoniak?
2.4. Dampak lingkungan pencemaran?
2.5. Dampak pencemaran terhadap lingkungan?
2.6. Dampak pencemaran terhadap kesehatan
2.7. Upaya penurunan amoniak (NH3) untuk mewujudkan Green city
BAB III PENUTUP.........................................................................................
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
atau berubahnya tatanan lingkungan akibat kegiatan manusia atau
proses alam sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat
tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak
dapat berpungsi lagi sesuai peruntukannya.
Masalah Pencemaran lingkungan khususnya masalah
pencemaran air kota besar di Indonesia, setelah menunjukkan gajala
yang cukup serius, penyebab dari pencemaran tadi tidak hanya
berasal dari buangan industri pabrik-pabrik yang membuang begitu
saja air limbahnya tanpa pengolahan terlebih dahulu ke sungai atau ke
laut, tetapi juga yang tidak kalah memegang andil baik secara sengaja
atau tidak merupakan masyarakat itu sendiri, yakni akibat air buangan
rumah tangga yang jumlahnya makin hari makin besar sesuai dengan
perkembangan penduduk maupun perkembangan suatu kota.
1.2 RUMUSAN MASALAH
2.8. Apa yang dimaksud dengan Amoniak (NH3)
2.9. Apa saja Sifat-sifat amoniak?
2.10. Apa saja Karakteristik amoniak?
2.11. Apa itu sumber-sumber pencemaran amoniak?
2.12. Apa saja dampak lingkungan pencemaran
2.13. Apa saja dampak pencemaran terhadap lingkungan?
2.14. Apa saja dampak pencemaran terhadap kesehatan manusia?
2.15. Apa saja upaya penurunan amoniak untuk mewujudkan green
city
1.3 TUJUAN
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
Filariasis atau penyakit kaki gajah adalah penyakit
zoonosis menular yang banyak ditemukan di wilayah tropika
seluruh dunia. Filariasis ditemukan di daerah Asia, Afrika,
Amerika Tengah, dan Selatan, dengan 120 juta manusia
terjangkit. Di Indonesia, filariasis merupakan salah satu
penyakit endemis. Seiring dengan terjadinya perubahan pola
penyebaran penyakit di negara-negara sedang berkembang,
penyakit menular masih berperan sebagai penyebab utama
kesakitan dan kematian.
Filariasis di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Haga
dan Van Eecke pada tahun 1889 di Jakarta yaitu dengan
ditemukannya penderita filariasis skrotum. Pada saat itu pula
Jakarta diketahui endemik limfatik yang disebabkan oleh Brugia
malayi (B. Malayi). Pada tahun 1937 Brug membuat suatu
rangkuman tentang laporan filariasis di seluruh Indonesia pada
waktu itu telah diketahui dua jenis cacing filaria sebagai
penyebabnya yaitu Wuchereria bancrofti (W. Bancrofti) dan
Brugia malayi (B. malayi) (Depkes RI, 1999).
Penyebab filariasis adalah sekelompok cacing parasit
nematoda yang tergolong superfamilia Filarioidea yang
menyebabkan infeksi sehingga berakibat munculnya edema.
Gejala yang umum terlihat adalah terjadinya elefantiasis,
berupa membesarnya tungkai bawah (kaki) dan kantung zakar
(skrotum), sehingga penyakit ini secara awam dikenal sebagai
penyakit kaki gajah. Walaupun demikian, gejala pembesaran ini
tidak selalu disebabkan oleh filariasis.
Filariasis biasanya dikelompokkan menjadi tiga macam,
berdasarkan bagian tubuh atau jaringan yang menjadi tempat
bersarangnya yaitu filariasis limfatik, filariasis subkutan (bawah
jaringan kulit), dan filariasis rongga serosa (serous cavity).
Filariasis limfatik disebabkan W. bancrofti, B. malayi, dan B.
timori. Gejala elefantiasis (penebalan kulit dan jaringan-jaringan
di bawahnya) sebenarnya hanya disebabkan oleh filariasis
limfatik ini. B. timori diketahui jarang menyerang bagian
kelamin, tetapi W. bancrofti dapat menyerang tungkai dada,
serta alat kelamin. Filariasis subkutan disebabkan oleh loa-loa
(cacing mata Afrika), mansonella streptocerca, onchocerca
volvulus, dan dracunculus medinensis (cacing guinea). Mereka
menghuni lapisan lemak yang ada di bawah lapisan kulit. Jenis
7
filariasis yang terakhir disebabkan oleh mansonella perstans
dan mansonella ozzardi, yang menghuni rongga perut. Semua
parasit ini disebarkan melalui nyamuk atau lalat pengisap
darah, atau, untuk dracunculus, oleh kopepoda (crustacea).
Di dalam tubuh manusia cacing filaria hidup di saluran
dan kelenjar getah bening (limfe), dapat menyebabkan gejala
klinis akut dan gejala kronis. Penyakit ini ditularkan melalui
gigitan nyamuk. Akibat yang ditimbulkan pada stadium lanjut
(kronis) dapat menimbulkan cacat menetap seumur hidupnya
berupa pembesaran kaki (seperti kaki gajah) dan pembesaran
bagian-bagian tubuh yang lain seperti lengan, kantong buah
zakar, payudara, dan alat kelamin wanita. Selain elefantiasis,
bentuk serangan yang muncul adalah kebutaan onchocerciasis
akibat infeksi oleh onchocerca volvulus dan migrasi microfilariae
lewat kornea.
Pada tahun 1994, World Health Organization (WHO)
mengeluarkan pernyataan bahwa penyakit kaki gajah dapat
dieliminasi. Selanjutnya, pada tahun 1997 World Health
Assembly membuat resolusi tentang eliminasi penyakit kaki
gajah dan pada tahun 2000 WHO telah menetapkan komitmen
global untuk mengeliminasi penyakit kaki gajah dengan
membuat sebuah program The Global Goal of Elimination of
Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year
2020 (Depkes RI, 2002).
Berdasarkan rapid mapping kasus klinis kronis filariasis
tahun 2000 wilayah Indonesia yang menempati peringkat
tertinggi kejadian filariasis adalah Provinsi Daerah Istimewa
Aceh dan Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan jumlah kasus
masing-masing 1.908 dan 1.706 kasus kronis. Wilayah
Kabupaten Flores Timur merupakan daerah endemis penyakit
kaki gajah yang disebabkan oleh cacing W. bancrofti dan B.
timori (Barodji dkk, 1995). Selain itu, penyakit kaki gajah
ditemukan di Sulawesi
(Partono dkk, 1972), di Kalimantan (Soedomo, 1980),
dan Sumatera (Suzuki dkk, 1981). Penyebab penyakit kaki
gajah yang ditemukan di ketiga pulau tersebut adalah dari jenis
B. malayi.
Menurut Ditjen PPM & PL (Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan)
8
Direktorat P2B2, Subdit Filariasis dan Schistosomiasis (2002),
selain ke tiga wilayah kepulauan tersebut di atas endemisitas
kejadian filariasis juga terdapat dibeberapa provinsi lainnya di
Indonesia, diantaranya Provinsi Jawa Barat (khususnya
Kabupaten Bekasi), Provinsi Jawa Tengah (khususnya
Kabupaten Pekalongan), Provinsi Banten (khususnya
Kabupaten Lebak Tangerang), Provinsi Lampung (khususnya
Lampung), Provinsi Sulawesi Barat (Khususnya Mamuju),
Provinsi Sulawesi Tengah (Khususnya Donggala), Provinsi
Kalimantan Barat (Khususnya Kabupaten Pontianak), Provinsi
Kalimantan Tengah (Kabupaten Kapuas), dan Provinsi
Kalimantan Selatan (Khususnya Kabupaten Kotabaru).
9
bekerja pada daerah yang terkena paparan menahun oleh
nyamuk yang mengandung larva. Seluruh dunia, angka
perkiraan infeksi filaria mencapai 250 juta orang. Asia, filarial
endemik terjadi di Indonesia, Myanmar, India, dan Sri Lanka.3
Filariasis di Indonesia tersebar luas, daerah endemi
terdapat di banyak pulau di seluruh Nusantara, seperti
diSumatera dan sekitarnya, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTT,
Maluku, dan Irian Jaya. Masih banyak daerah yang belum
diselidiki. Di Indonesia filariasis lebihbanyak ditemukan di
daerah pedesaan. Di daerah kota hanya W. bancrofti yangtelah
ditemukan, seperti di kota Jakarta, Tangerang, Pekalongan dan
Semarang
2.5. Etiologi Filariasis
Di Indonesia ditemukan tiga jenis parasit penyebab
filariasis limfatik pada manusia yaitu,
a. Wuchereria bancrofti
Jenis cacing ini ditemukan di daerah perkotaan
seperti Jakarta, Bekasi, Pekalongan dan
sekitarnya.Yang ditularkan oleh nyamuk Culex, dapat
ditemukan di dalam darah tepi pada malam hari.
Sedangkan Whucheriria bancrofti yang ditemukan
dipedesaan dengan endemis tinggi terutama di Irian
Jaya (Papua) yang ditularkan melalui Anopheles,
Culex dan Aedes.
Pada Wuchereria bancrofti, mikrofilarianya
berukuran ±250µ, cacing betina dewasa berukuran
panjang 65 – 100mm dan cacing jantan dewasa
berukuran panjang ±40mm. Di ujung daerah kepala
membesar, mulutnya berupa lubang sederhana
tanpa bibir (Oral stylet) Bentuk cacing ini gilig
memanjang, seperti benang. Jika terlalu banyak
jumlahnya cacing yang berada dipembuluh darah,
maka dapat menyumbat aliran limfa sehingga kaki
menjadi membengkak. Pada saat dewasa, cacing ini
menghasilkan telur kemudian akan menetas menjadi
anak cacing berukuran kecil yang disebut mikrofilaria.
Selanjutnya, mikrofilaria beredar di dalam
darah.Larva ini dapat berpindah ke peredaran darah
kecil di bawah kulit. Jika pada waktu itu ada nyamuk
10
yang menggigit, maka larva tersebut dapat
menembus dinding usus nyamuk lalu masuk ke
dalam otot dada nyamuk, kemudian setelah
mengalami pertumbuhan, larva ini akan masuk ke
alat penusuk, nyamuk itu menggigit orang, maka
orang itu akan tertular penyakit ini.
b. Brugia malayi
Cacing dewasa umumnya mirip dengan
Wuchereria bancrofti, hanya saja cacing B. malayi
lebih kecil. Panjang cacing betina beriksar 43
hingga 55 mm, sedangkan panjang cacing jantan
berkisar 13 hingga 23 mm. Cacing dewasa dapat
memproduksi mikrofilaria di dalam tubuh manusia.
Mikrofilaria tersebut memiliki lebar berkisar 5
hingga 7 um dan panjang berkisar 130 hingga 170
um.
Biasanya, vektor yang umum berperan
dalam penyebaran B. malayi adalah nyamuk yang
berasal dari genera Mansonia dan Aedes.Ketika
nyamuk menghisap darah manusia, nyamuk yang
terinfeksi B.malayi menyelipkan larva B.malayi ke
dalam inang manusia. Dalam tubuh manusia,
larva B.malayi berkembang menjadi cacing
dewasa yang biasanya menetap di dalam
pembuluh limfa. Cacing dewasa dapat
memproduksi mikrofilaria yang dapat menyebar
hinggamencapai darah tepi. Ketika nyamuk
menggigit manusia yang telah terinfeksi,
mikrofilaria dapat terhisap bersamaan dengan
darah kedalam perut nyamuk.
Setelah masuk kedalam tubuh nyamuk,
mikrofilaria meninggalkan selubungnya.
Mikrofilaria kemudian berenang melalui dinding
proventikulus dan porsi kardiak (bagian dalam
perut nyamuk), hingga mencapai otot toraksis
(otot dada). Di dalam otot toraksis, larva filaria
berkembang menjadi larva tahap akhir.
Larva tahap akhir berenang melalui
homocoel (rongga tubuh) hingga sampai pada
11
prosbosis (sungut) nyamuk. Ketika tiba di dalam
probosis nyamuk, cacing tersebut siap
menginfeksi inang manusia yang selanjutnya
infeksi B.malayi terbatas pada wilayah Asia.
Beberapa negara yang mempunyai
prevalensi B.malayi antara lain adalah Indonesia,
Malaysia, Filipina, dan India. Kehidupan cacing ini
biasanya berada pada manusi dan hewan (kera,
anjing, kucing). Terdapat dua bentuk B. malayi
yang dapat dibedakan bedasarkan periodisitas
mikrofilarianya pada darah tepi. Bentuk yang
pertama, bentuk periodis nokturnal, hanya dapat
ditemukan pada darah tepi pada malam
hari.Bentuk yang kedua, bentuk subperiodis,
dapat ditemukan pada darah tepi setiap saat,
hanya saja jumlah mikrofilaria terbanyak
ditemukan di malam hari.
c. Brugia timori
Pada kedua jenis kelamin, ujung
anteriornya melebar pada kepalanya yang
membulat ekornya berbentuk seperti pita dan
agak bundar pada tiap sisi terdapat 4 papil sirkum
oral yang teratur pada bagian luar dan bagian
dalam membentuk lingkaran, esophagus
panjangnya lebih kurang 1 mm dengan ujung
yang kurang jelas diantara otot dan kelenjar.
Cacing dewasa hidup di dalam saluran dan
pembuluh limfe, sedangkan microfilaria di jumpai
didalam darah tepi hospes definitif. Bentuk cacing
dewasa mirip bentuknya dengan W. bancrofti,
sehingga sulit dibedakan. Panjang cacing betina
Brugia malayi dapat mencapai 55 mm, dan cacing
jantan 23 cm. Brugia timori betina panjang
badannya sekitar 39 mm dan yang jantan
panjangnya dapat mencapai 23 mm.
Mikrofilaria Brugia mempunyai selubung,
panjangnya dapat mencapai 260 mikron pada
B.malayi dan 310 mikron pada B.timori. Ciri khas
mikrofilaria B.malayi adalah bentuk ekornya yang
12
mengecil, dan mempunyai dua inti terminal,
sehingga mudah dibedakan dari mikrofilaria W.
bancrofti. 30 Brugia ada yang zoonotik, tetapi ada
yang hanya hidup pada manusia. Pada B.malayi
bermacam-macam, ada yang nocturnal periodic
nocturnal subperiodic, atau non periodic, B. timori
bersifat periodic nokturna.
Brugia timori ditularkan oleh Anopheles
didalam tubuh nyamuk betina, mikrofilaria yang
terisap waktu menghisap darah akan melakukan
penetrasi pada dinding lambung dan berkembang
dalam otot thorax hingga menjadi larva filariform
infektif, kemudian berpindah ke probosis. Saat
nyamuk menghisap darah, larva filariform infektif
akan ikut terbawa dan masuk melalui lubang
bekas tusukan nyamuk di kulit. Larva infektif
tersebut akan bergerak mengikuti saluran limfa
dimana kemudian akan mengalami perubahan
bentuk sebanyak dua kali sebelum menjadi cacing
dewasa.2
13
tubuh man usia larva L3 mengalami dua kali pergantian
kulit, tumbuh menjadi L4,L5 atau cacing dewasa.
Siklus hidup parasit ini memerfukan waktu sangat
panjang. Masa pertumbuhan parasit dalam hidup
nyamuk kurang lebih dua minggu. Sementara pada
manusia, belum diketahui secara pasti, beberapa literatur
menyebutkan kurang lebih 7-12 bulan. Pada tubuh
manusia cacing dewasa jantan dan betina hidup di
saluran dan kelenjar limfe, bentuknya halus seperti
benang dan berwarna putih. Cacing jantan panjangnya ±
40 mm diameter 0,1 mm. Sementara cacing betina
panjang 80-100 mm dengan diameter 0,24- 0,30 mm.
Cacing betina bersifat ovovivipar dan dapat
menghasilkan puluhan ribu mikrofilaria. Mikrofilaria ini
hidup di dalam darah dan terdapat di a !iran darah tepi
yang pada waktu-waktu tertentu, sehingga mempunyai
periodisitas.
2.7. Mekanisme Penularan Filariasis
Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan
yang mengandung mikrofilaria, mikrofilaria akan terbawa masuk
ke dalam lambung nyamuk dan melepaskan selubungnya
kemudian menembus dinding lambung nyamuk bergerak
menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Mikrofilaria
akan mengalami perubahan bentuk menjadi larva stadium I
(L1), bentuknya seperti sosis berukuran 125-250µm x 10-17µm
dengan ekor runcing seperti cambuk setelah 3 hari. Larva
tumbuh menjadi larva stadium II (L2) disebut larva preinfektif
yang berukuran 200- 300µm x 15-30µm dengan ekor tumpul
atau memendek setelah 6 hari. Pada stadium II larva
menunjukkan adanya gerakan. Kemudian larva tumbuh menjadi
larva stadium III (L3) yang berukuran 1400µm x 20µm. Larva
stadium L3 tampak panjang dan ramping disertai dengan
gerakan yang aktif setelah 8-10 hari pada spesies Brugia dan
10-14 hari pada spesies Wuchereria. Larva stadium III (L3)
disebut sebagai larva infektif.
Apabila seseorang mendapat gigitan nyamuk infektif
maka orang tersebut berisiko tertular filariasis. Pada saat
nyamuk infektif menggigit manusia, maka larva L3 akan keluar
14
dari probosisnya dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan
nyamuk kemudian menuju sistem limfe. Larva L3 Brugia malayi
dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun
waktu 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti memerlukan
waktu lebih 9 bulan (Depkes RI, 2005).
15
jangka panjang. Hingga saat ini, DEC merupakan satu-
satunya obat yang efektif, aman, dan relatif murah. Untuk
filariasis bancrofti, dosis yang dianjurkan adalah 6 mg/kg
berat badan per hari selam 12 hari. Sedangkan untuk
filaria brugia, dosis yang dianjurkan adalah 5 mg/kgberat
badan per hari selam 10 hari. Efek samping dari DEC ini
adalah demam, mengigil, artralgia, sakit kepala, mual,
hingga muntah. Pada pengobatan filariasis brugia, efek
samping yang ditimbulkan lebih berat. Sehingga untuk
pengobatannya dianjurkan dalam dosis rendah, tetapi
waktu pengobatan dilakukan dalam waktu yang lebih
lama.23
Obat lain yang juga dipakai adalah ivermektin.
Ivermektin adalah antibiotik semisintetik dari golongan
makrolid yang mempunyai aktivitas luas terhadap
nematode dan ektoparasit. Obat inihanya
membunuhmikrofilaria. Efek samping yang ditimbulkan
lebih ringan dibandingDEC.2
16
imun host sehingga cacing dapat berkembang di tubuh
host tanpa terdeteksi. Hambatan dari macrolide ini
mengakibatkan system imun kita dapat mengenali parasit
dan dapat segera menghancurkannya.
Penelitian berbasis program adalah bagaimana
pengelolaan manajemen dalam pelaksanaan program
eliminasi, tantangan di lapangan, manajemen dana dan
obat-obatan menjadi sorotan penting untuk
mengembangkan beragam model desain, strategi dan
implementasi. Beberapa tantangan ini terkait dengan
konsistensi komitmen pemerintah saat menghadapi
masalah dan bagaimana mengelola masalah tersebut
dengan sumber daya yang tersedia.45 Sebagaimana
strategi yang di canangkan oleh Pacific program to
eliminate LF (PacELF)46 yang memusatkan strategi
pada pertolongan mandiri penderita filariasis yang
berbasis komunitas, pelaksanaan program pengobatan
massal yang fleksibel dan sesederhana mungkin, serta
penyelarasan kegiatan promosi, surveilans dan
penanganan penderita oleh petugas kesehatan harus
terus dievaluasi dan dikembangkan model, metode dan
implementasinya.
Pengobatan massal yang panjang dan dilakukan
setiap tahun menimbulkan beberapa keluhan dan
kejenuhan masyarakat yang dilibatkan, hal ini
menyebabkan rendahnya cakupan pengobatan di suatu
wilayah. Penelitian berbasis riset operasional sangat
dibutuhkan dalam menemukan model terbaik untuk
meningkatkan cakupan pengobatan tersebut. Model
edukasi pada penderita lymphedema dan kampanye
secara terus menerus
pada masyarakat di sekitar dapat meningkatkan
kesadaran tentang pengobatan massal ini.47 Masyarakat
yang mengetahui secara langsung dari petugas manfaat
pengobatan massal akan dengan sadar dan sukarela
terlibat langsung dalam program pengobatan.31
Hal yang terpenting lainnya adalah pada daerah
endemis B. Malayi mengalami kesulitan untuk eliminasi
karena masih adanya reservoar di lingkungan misalnya
kucing, anjing, kera ekor panjang, dan lutung alias
hirangan. Indonesia sudah mengusulkan ke WHO agar
target eliminasi ditunda 5 tahun lagi yaitu 2025, namun
usulan tersebut belum ada jawaban dari WHO. Namun
17
demikian, upaya keras dilakukan untuk dapat mencapai
target maksimal pada eliminasi Filariasis tahun 2020.
18
Persentase kabupaten/kota yang telah berhasil
mengeliminasi filariasis terbesar terdapat di Provinsi Gorontalo,
yaitu 67%. Peringkat kedua adalah Banten, dengan 60%
kabupaten/kota endemis di provinsi tersebut telah mencapai
status eliminasi filariasis pada tahun 2017. WHO merilis bahwa
Indonesia dinyatakan telah berhasil menerapkan strategi yang
direkomendasikan oleh WHO dan berada di bawah monitoring
dan evaluasi untuk menunjukkan bahwa eliminasi filariasis telah
tercapai
19
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Filariasis di Indonesia masih merupakan problem kesehatan
masyarakat yang memberikan dampak ekonomi social yang negative
berupa produktivitas kerja yang menurun dan beban ekonomi
sosial.Hampir seluruh wilayah Indonesia adalah daerah endemis
filariasis, terutama wilayah Indonesia Timur yang memiliki prevalensi
lebih tinggi.
B. SARAN
1. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan merupakan syarat utama
untuk menghindari infeksi filariasis
2. Meningkatkan survailens di tingkat puskesmas untuk penemuan
dini kasus filariasis
20
DAFTAR PUSTAKA
http://jurnal.fkm.unand.ac.id/index.php/jkma/article/view/105/111
https://ejournal2.litbang.kemkes.go.id/index.php/jhecds/article/download/1790
/960
http://jurnal.fkm.unand.ac.id/index.php/jkma/article/view/105/111
https://juke.kedokteran.unila.ac.id/
https://ejournal2.litbang.kemkes.go.id/index.php/blb/article/download/712/294
21