Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH EPIDEMIOLOGI LINGKUNGAN

Kelompok 4
 Andi Farid Irfansyah 14120180305
 Siti Hajrah 14120180158
 NurFadila 14120180193

PROGRAM STUDY KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2020/2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’Alamin, Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang


telah memberi rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga penulis mampu dan
dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini di buat untuk memenuhi tugas
mata kuliah Epidemiologi Lingkungan dengan materi PENCEMARAN
AMONIAK (NH3) DAN DAMPAKNYA TERHADAP KESEHATAN DAN
LINGKUNGAN Penulisan makalah ini dapat selesai dengan baik berkat
bantuan bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Semoga budi baik
mereka di terima Allah SWT sebagai amal ibadah dan akan diberi balasan
berupa pahala yang berlipat ganda. Dan p enulis menyadari bahwa penulisan
makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca
guna penyempurnaan makalah ini.
Penulis mengharapkan semoga makalah ini bermanfaat bagi semua
pihak yang memerlukan khususnya untuk teman-teman sekalian.

Makassar 28 April 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI
SAMPUL........................................................................................................
KATA PENGANTAR......................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................
2.1. Apa itu Amoniak NH3?
2.2. Sifat dan karakteriktik amoniak NH3?
2.3. Sumber-sumber pencemaran amoniak?
2.4. Dampak lingkungan pencemaran?
2.5. Dampak pencemaran terhadap lingkungan?
2.6. Dampak pencemaran terhadap kesehatan
2.7. Upaya penurunan amoniak (NH3) untuk mewujudkan Green city
BAB III PENUTUP.........................................................................................
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Limbah adalah bahan sisa atau buangan dari suatu kegiatan
dan proses produksi yang sudah tidak terpakai lagi. Limbah juga tidak
memiliki nilai ekonomi dan daya guna, melainkan bisa sangat
membahayakan jika sudah mencemari lingkungan sekitar. Terutama
untuk limbah yang mengandung bahan kimia yang tidak mudah terurai
oleh bakteri. Bentuk limbah yang dihasilkan oleh industi sablon dapat
berupa limbah cair.
Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 16 Tahun 2016
tentang Baku Mutu Lingkungan Hidup dan Kriteria Baku Kerusakan
Lingkungan Hidup, yaitu air limbah adalah sisa dari suatu hasil usaha
dan/atau kegiatan yang berwujud cair, baku mutu air limbah adalah
ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan/atau jumlah unsur
pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang
akan dibuang atau dilepas ke dalam sumber air dari suatu usaha atau
kegiatan. Dari kegiatan industri limbah cair adalah limbah yang
dihasilkan dari kegiatan industri dalam bentuk cair. Limbah cair dalam
industri sablon adalah semua air buangan dari hasil kegiatan sablon
yang mungkin mengandung bahan kimia beracun yang berbahaya
bagi kesehatan lingkungan, terutama lingkungan yang berada disekitar
area industri sablon. Sejalan dengan pendapat (Suharto, 2011)
menyatakan bahwa “limbah cair adalah limbah dalam wujud cair yang
dihasilkan oleh kegiatan industri yang dibuang kelingkungan yang
diduga dapat mencemari lingkungan”.
Limbah cair merupakan limbah yang dihasilkan dari proses
industri yang berwujud cair dan mengandung padatan tersuspensi atau
terlarut, akan mengalami proses perubahan fisik, kimia, maupun
biologi yang menghasilkan zat beracun dan dapat menimbulkan
gangguan ataupun resiko terjadinya penyakit dan kerusakan
lingkungan (Kaswinarni, 2008). Oleh karena itu limbah cair yang yang
dhasilkan dari kegiatan industri sablon dapat mengandung bahan yang
menghasilkan zat beracun bagi kesehatan lingkungan dan
menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan.
Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke dalam lingkungan

4
atau berubahnya tatanan lingkungan akibat kegiatan manusia atau
proses alam sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat
tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak
dapat berpungsi lagi sesuai peruntukannya.
Masalah Pencemaran lingkungan khususnya masalah
pencemaran air kota besar di Indonesia, setelah menunjukkan gajala
yang cukup serius, penyebab dari pencemaran tadi tidak hanya
berasal dari buangan industri pabrik-pabrik yang membuang begitu
saja air limbahnya tanpa pengolahan terlebih dahulu ke sungai atau ke
laut, tetapi juga yang tidak kalah memegang andil baik secara sengaja
atau tidak merupakan masyarakat itu sendiri, yakni akibat air buangan
rumah tangga yang jumlahnya makin hari makin besar sesuai dengan
perkembangan penduduk maupun perkembangan suatu kota.
1.2 RUMUSAN MASALAH
2.8. Apa yang dimaksud dengan Amoniak (NH3)
2.9. Apa saja Sifat-sifat amoniak?
2.10. Apa saja Karakteristik amoniak?
2.11. Apa itu sumber-sumber pencemaran amoniak?
2.12. Apa saja dampak lingkungan pencemaran
2.13. Apa saja dampak pencemaran terhadap lingkungan?
2.14. Apa saja dampak pencemaran terhadap kesehatan manusia?
2.15. Apa saja upaya penurunan amoniak untuk mewujudkan green
city

1.3 TUJUAN

1. Untuk mengetahui pengrtian Amoniak (NH3)


2. Untuk mengetahui Sifat-sifat amoniak?
3. Untuk mengetahui sumber-sumber pencemaran amoniak?
4. Untuk mengetahui dampak lingkungan pencemaran
5. Untuk mengetahui dampak pencemaran terhadap lingkungan?
6. Untuk mengetahui dampak pencemaran terhadap kesehatan
manusia?
7. Untuk mengetahui upaya penurunan amoniak untuk mewujudkan
green city

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Filariasis


Filariasis / Kaki Gajah adalah suatu penyakit yang mengalami
infeksi sitemik bersifat kronis dan menahun.1 Filariasis merupakan
jenis penyakit reemerging desease, yaitu penyakit yang dulunya
sempat ada, kemudian tidak ada dan sekarang muncul kembali.
Filariasis penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit yang
tersebar di Indonesia. Walaupun penyakit ini jarang menyebabkan
kematian, tetapi dapat menurunkan produktivitas penderitanya
karena terjadi gangguan fisik.penyakit ini jarang terjadi pada anak
karena manifestasi klinisnya timbul bertahun – tahun setelah terjadi
infeksi. Gejala pembengkakan kaki muncul karena sumbatan
mikrofilaria pada pembuluh limfe yang biasanya terjadi pada usia di
atas 30 tahun setelah terpapar parasite selama bertahun – tahun.
oleh karena itu Filariasis juga sering disebut penyakit kaki gajah.
Akibat paling fatal bagi penderita Filariasis yaitu kecacatan
permanen yang sangat mengganggu produktivitas.
Epidemiologi filariasis tersebar didaerah-daerah endemik, 80%
penduduk bisa mengalami infeksi tetapi hanyasekitar 10 - 20%
populasi yang menunjukkan gejala klinis Infeksi parasit ini tersebar
di daerah tropis dan subtropis seperti Afrika, Asia, Pasifik Selatan,
danAmerika Selatan. Telah diketahui lebih dari 200 spesies filarial,
dari 200 spesies tersebut hanya sedikit yang menyerang manusia.
Masyarakat yang berisiko terserang adalah mereka yang bekerja
pada daerah yang terkena paparan menahun oleh nyamuk yang
mengandung larva. Seluruh dunia, angka perkiraan infeksi filaria
mencapai 250 juta orang. Asia, filarial endemik terjadi di Indonesia,
Myanmar, India, dan Sri Lanka.39 Filariasis di Indonesia
tersebarluas, daerah endemi terdapat di banyak pulau di seluruh
Nusantara, seperti diSumatera dan sekitarnya, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, NTT, Maluku, dan Irian Jaya. Masih banyak daerah yang
belum diselidiki. Di Indonesia filariasis lebihbanyak ditemukan di
daerah pedesaan. Di daerah kota hanya W. bancrofti yangtelah
ditemukan, seperti di kota Jakarta, Tangerang, Pekalongan dan
Semarang.

2.2. Sejarah Filariasis

6
Filariasis atau penyakit kaki gajah adalah penyakit
zoonosis menular yang banyak ditemukan di wilayah tropika
seluruh dunia. Filariasis ditemukan di daerah Asia, Afrika,
Amerika Tengah, dan Selatan, dengan 120 juta manusia
terjangkit. Di Indonesia, filariasis merupakan salah satu
penyakit endemis. Seiring dengan terjadinya perubahan pola
penyebaran penyakit di negara-negara sedang berkembang,
penyakit menular masih berperan sebagai penyebab utama
kesakitan dan kematian.
Filariasis di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Haga
dan Van Eecke pada tahun 1889 di Jakarta yaitu dengan
ditemukannya penderita filariasis skrotum. Pada saat itu pula
Jakarta diketahui endemik limfatik yang disebabkan oleh Brugia
malayi (B. Malayi). Pada tahun 1937 Brug membuat suatu
rangkuman tentang laporan filariasis di seluruh Indonesia pada
waktu itu telah diketahui dua jenis cacing filaria sebagai
penyebabnya yaitu Wuchereria bancrofti (W. Bancrofti) dan
Brugia malayi (B. malayi) (Depkes RI, 1999).
Penyebab filariasis adalah sekelompok cacing parasit
nematoda yang tergolong superfamilia Filarioidea yang
menyebabkan infeksi sehingga berakibat munculnya edema.
Gejala yang umum terlihat adalah terjadinya elefantiasis,
berupa membesarnya tungkai bawah (kaki) dan kantung zakar
(skrotum), sehingga penyakit ini secara awam dikenal sebagai
penyakit kaki gajah. Walaupun demikian, gejala pembesaran ini
tidak selalu disebabkan oleh filariasis.
Filariasis biasanya dikelompokkan menjadi tiga macam,
berdasarkan bagian tubuh atau jaringan yang menjadi tempat
bersarangnya yaitu filariasis limfatik, filariasis subkutan (bawah
jaringan kulit), dan filariasis rongga serosa (serous cavity).
Filariasis limfatik disebabkan W. bancrofti, B. malayi, dan B.
timori. Gejala elefantiasis (penebalan kulit dan jaringan-jaringan
di bawahnya) sebenarnya hanya disebabkan oleh filariasis
limfatik ini. B. timori diketahui jarang menyerang bagian
kelamin, tetapi W. bancrofti dapat menyerang tungkai dada,
serta alat kelamin. Filariasis subkutan disebabkan oleh loa-loa
(cacing mata Afrika), mansonella streptocerca, onchocerca
volvulus, dan dracunculus medinensis (cacing guinea). Mereka
menghuni lapisan lemak yang ada di bawah lapisan kulit. Jenis

7
filariasis yang terakhir disebabkan oleh mansonella perstans
dan mansonella ozzardi, yang menghuni rongga perut. Semua
parasit ini disebarkan melalui nyamuk atau lalat pengisap
darah, atau, untuk dracunculus, oleh kopepoda (crustacea).
Di dalam tubuh manusia cacing filaria hidup di saluran
dan kelenjar getah bening (limfe), dapat menyebabkan gejala
klinis akut dan gejala kronis. Penyakit ini ditularkan melalui
gigitan nyamuk. Akibat yang ditimbulkan pada stadium lanjut
(kronis) dapat menimbulkan cacat menetap seumur hidupnya
berupa pembesaran kaki (seperti kaki gajah) dan pembesaran
bagian-bagian tubuh yang lain seperti lengan, kantong buah
zakar, payudara, dan alat kelamin wanita. Selain elefantiasis,
bentuk serangan yang muncul adalah kebutaan onchocerciasis
akibat infeksi oleh onchocerca volvulus dan migrasi microfilariae
lewat kornea.
Pada tahun 1994, World Health Organization (WHO)
mengeluarkan pernyataan bahwa penyakit kaki gajah dapat
dieliminasi. Selanjutnya, pada tahun 1997 World Health
Assembly membuat resolusi tentang eliminasi penyakit kaki
gajah dan pada tahun 2000 WHO telah menetapkan komitmen
global untuk mengeliminasi penyakit kaki gajah dengan
membuat sebuah program The Global Goal of Elimination of
Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year
2020 (Depkes RI, 2002).
Berdasarkan rapid mapping kasus klinis kronis filariasis
tahun 2000 wilayah Indonesia yang menempati peringkat
tertinggi kejadian filariasis adalah Provinsi Daerah Istimewa
Aceh dan Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan jumlah kasus
masing-masing 1.908 dan 1.706 kasus kronis. Wilayah
Kabupaten Flores Timur merupakan daerah endemis penyakit
kaki gajah yang disebabkan oleh cacing W. bancrofti dan B.
timori (Barodji dkk, 1995). Selain itu, penyakit kaki gajah
ditemukan di Sulawesi
(Partono dkk, 1972), di Kalimantan (Soedomo, 1980),
dan Sumatera (Suzuki dkk, 1981). Penyebab penyakit kaki
gajah yang ditemukan di ketiga pulau tersebut adalah dari jenis
B. malayi.
Menurut Ditjen PPM & PL (Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan)

8
Direktorat P2B2, Subdit Filariasis dan Schistosomiasis (2002),
selain ke tiga wilayah kepulauan tersebut di atas endemisitas
kejadian filariasis juga terdapat dibeberapa provinsi lainnya di
Indonesia, diantaranya Provinsi Jawa Barat (khususnya
Kabupaten Bekasi), Provinsi Jawa Tengah (khususnya
Kabupaten Pekalongan), Provinsi Banten (khususnya
Kabupaten Lebak Tangerang), Provinsi Lampung (khususnya
Lampung), Provinsi Sulawesi Barat (Khususnya Mamuju),
Provinsi Sulawesi Tengah (Khususnya Donggala), Provinsi
Kalimantan Barat (Khususnya Kabupaten Pontianak), Provinsi
Kalimantan Tengah (Kabupaten Kapuas), dan Provinsi
Kalimantan Selatan (Khususnya Kabupaten Kotabaru).

2.3. Hubungan Penyakit Filariasis dengan Penyakit Tropis


Penyakit filariasis termasuk dalam penyakit tropis
dikarenakan Penyakit filariasis atau kaki gajah ini lebih sering
terjadi di wilayah tropis dan subtropis di dunia, seperti Afrika
dan Asia Tenggara tropis lain yang masih cukup banyak terjadi
di Indonesia salah satunya kaki gajah atau filariasis. Penyakit ini
disebabkan oleh cacing parasit jenis filaria yang juga ditularkan
melalui gigitan nyamuk. Ketika masuk ke dalam tubuh melalui
gigitan nyamuk, cacing tersebut akan menyumbat aliran getah
bening.
Kaki gajah dikenal juga sebagai elephantiasis atau
filariasis limfatik disebabkan oleh cacing parasit yang ditularkan
melalui gigitan nyamuk. Kaki gajah bisa menyebabkan
pembengkakan pada skrotum, kaki, atau payudara. Kaki gajah
ini bisa dikatakan sebagai penyakit tropis terabaikan. 
2.4. Epidemiologi Filariasis
Epidemiologi filariasis yaitu tersebar didaerah-daerah
endemik, 80% penduduk bisa mengalami infeksi tetapi
hanyasekitar 10 - 20% populasi yang menunjukkan gejala klinis
Infeksi
jalan klinis Infeksi parasit ini tersebar di daerah tropis dan
subtropis seperti Afrika, Asia, Pasifik Selatan, danAmerika
Selatan. Telah diketahui lebih dari 200 spesies filarial, dari 200
spesies tersebut hanya sedikit yang menyerang manusia.
Masyarakat yang berisiko terserang adalah mereka yang

9
bekerja pada daerah yang terkena paparan menahun oleh
nyamuk yang mengandung larva. Seluruh dunia, angka
perkiraan infeksi filaria mencapai 250 juta orang. Asia, filarial
endemik terjadi di Indonesia, Myanmar, India, dan Sri Lanka.3
Filariasis di Indonesia tersebar luas, daerah endemi
terdapat di banyak pulau di seluruh Nusantara, seperti
diSumatera dan sekitarnya, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTT,
Maluku, dan Irian Jaya. Masih banyak daerah yang belum
diselidiki. Di Indonesia filariasis lebihbanyak ditemukan di
daerah pedesaan. Di daerah kota hanya W. bancrofti yangtelah
ditemukan, seperti di kota Jakarta, Tangerang, Pekalongan dan
Semarang
2.5. Etiologi Filariasis
Di Indonesia ditemukan tiga jenis parasit penyebab
filariasis limfatik pada manusia yaitu,
a. Wuchereria bancrofti
Jenis cacing ini ditemukan di daerah perkotaan
seperti Jakarta, Bekasi, Pekalongan dan
sekitarnya.Yang ditularkan oleh nyamuk Culex, dapat
ditemukan di dalam darah tepi pada malam hari.
Sedangkan Whucheriria bancrofti yang ditemukan
dipedesaan dengan endemis tinggi terutama di Irian
Jaya (Papua) yang ditularkan melalui Anopheles,
Culex dan Aedes.
Pada Wuchereria bancrofti, mikrofilarianya
berukuran ±250µ, cacing betina dewasa berukuran
panjang 65 – 100mm dan cacing jantan dewasa
berukuran panjang ±40mm. Di ujung daerah kepala
membesar, mulutnya berupa lubang sederhana
tanpa bibir (Oral stylet) Bentuk cacing ini gilig
memanjang, seperti benang. Jika terlalu banyak
jumlahnya cacing yang berada dipembuluh darah,
maka dapat menyumbat aliran limfa sehingga kaki
menjadi membengkak. Pada saat dewasa, cacing ini
menghasilkan telur kemudian akan menetas menjadi
anak cacing berukuran kecil yang disebut mikrofilaria.
Selanjutnya, mikrofilaria beredar di dalam
darah.Larva ini dapat berpindah ke peredaran darah
kecil di bawah kulit. Jika pada waktu itu ada nyamuk

10
yang menggigit, maka larva tersebut dapat
menembus dinding usus nyamuk lalu masuk ke
dalam otot dada nyamuk, kemudian setelah
mengalami pertumbuhan, larva ini akan masuk ke
alat penusuk, nyamuk itu menggigit orang, maka
orang itu akan tertular penyakit ini.
b. Brugia malayi
Cacing dewasa umumnya mirip dengan
Wuchereria bancrofti, hanya saja cacing B. malayi
lebih kecil. Panjang cacing betina beriksar 43
hingga 55 mm, sedangkan panjang cacing jantan
berkisar 13 hingga 23 mm. Cacing dewasa dapat
memproduksi mikrofilaria di dalam tubuh manusia.
Mikrofilaria tersebut memiliki lebar berkisar 5
hingga 7 um dan panjang berkisar 130 hingga 170
um.
Biasanya, vektor yang umum berperan
dalam penyebaran B. malayi adalah nyamuk yang
berasal dari genera Mansonia dan Aedes.Ketika
nyamuk menghisap darah manusia, nyamuk yang
terinfeksi B.malayi menyelipkan larva B.malayi ke
dalam inang manusia. Dalam tubuh manusia,
larva B.malayi berkembang menjadi cacing
dewasa yang biasanya menetap di dalam
pembuluh limfa. Cacing dewasa dapat
memproduksi mikrofilaria yang dapat menyebar
hinggamencapai darah tepi. Ketika nyamuk
menggigit manusia yang telah terinfeksi,
mikrofilaria dapat terhisap bersamaan dengan
darah kedalam perut nyamuk.
Setelah masuk kedalam tubuh nyamuk,
mikrofilaria meninggalkan selubungnya.
Mikrofilaria kemudian berenang melalui dinding
proventikulus dan porsi kardiak (bagian dalam
perut nyamuk), hingga mencapai otot toraksis
(otot dada). Di dalam otot toraksis, larva filaria
berkembang menjadi larva tahap akhir.
Larva tahap akhir berenang melalui
homocoel (rongga tubuh) hingga sampai pada

11
prosbosis (sungut) nyamuk. Ketika tiba di dalam
probosis nyamuk, cacing tersebut siap
menginfeksi inang manusia yang selanjutnya
infeksi B.malayi terbatas pada wilayah Asia.
Beberapa negara yang mempunyai
prevalensi B.malayi antara lain adalah Indonesia,
Malaysia, Filipina, dan India. Kehidupan cacing ini
biasanya berada pada manusi dan hewan (kera,
anjing, kucing). Terdapat dua bentuk B. malayi
yang dapat dibedakan bedasarkan periodisitas
mikrofilarianya pada darah tepi. Bentuk yang
pertama, bentuk periodis nokturnal, hanya dapat
ditemukan pada darah tepi pada malam
hari.Bentuk yang kedua, bentuk subperiodis,
dapat ditemukan pada darah tepi setiap saat,
hanya saja jumlah mikrofilaria terbanyak
ditemukan di malam hari.
c. Brugia timori
Pada kedua jenis kelamin, ujung
anteriornya melebar pada kepalanya yang
membulat ekornya berbentuk seperti pita dan
agak bundar pada tiap sisi terdapat 4 papil sirkum
oral yang teratur pada bagian luar dan bagian
dalam membentuk lingkaran, esophagus
panjangnya lebih kurang 1 mm dengan ujung
yang kurang jelas diantara otot dan kelenjar.
Cacing dewasa hidup di dalam saluran dan
pembuluh limfe, sedangkan microfilaria di jumpai
didalam darah tepi hospes definitif. Bentuk cacing
dewasa mirip bentuknya dengan W. bancrofti,
sehingga sulit dibedakan. Panjang cacing betina
Brugia malayi dapat mencapai 55 mm, dan cacing
jantan 23 cm. Brugia timori betina panjang
badannya sekitar 39 mm dan yang jantan
panjangnya dapat mencapai 23 mm.
Mikrofilaria Brugia mempunyai selubung,
panjangnya dapat mencapai 260 mikron pada
B.malayi dan 310 mikron pada B.timori. Ciri khas
mikrofilaria B.malayi adalah bentuk ekornya yang

12
mengecil, dan mempunyai dua inti terminal,
sehingga mudah dibedakan dari mikrofilaria W.
bancrofti. 30 Brugia ada yang zoonotik, tetapi ada
yang hanya hidup pada manusia. Pada B.malayi
bermacam-macam, ada yang nocturnal periodic
nocturnal subperiodic, atau non periodic, B. timori
bersifat periodic nokturna.
Brugia timori ditularkan oleh Anopheles
didalam tubuh nyamuk betina, mikrofilaria yang
terisap waktu menghisap darah akan melakukan
penetrasi pada dinding lambung dan berkembang
dalam otot thorax hingga menjadi larva filariform
infektif, kemudian berpindah ke probosis. Saat
nyamuk menghisap darah, larva filariform infektif
akan ikut terbawa dan masuk melalui lubang
bekas tusukan nyamuk di kulit. Larva infektif
tersebut akan bergerak mengikuti saluran limfa
dimana kemudian akan mengalami perubahan
bentuk sebanyak dua kali sebelum menjadi cacing
dewasa.2

2.6. Marfologi Bakteri Filariasis


Siklus hidup dan morfologi Pada umumnya
Wbancrofti bersifat periodik nokturna, dimana mikrofilaria
hanya ditemukan dalam darah tepi pada malam hari,
yaitu diantara jam 10 malam hingga jam 2-4 pagi. Pada
siang hari mikrofilaria terdapat di kapiler ala! dalam
(paru-paru,jantung,ginjal dsb). Mikrofilaria yang terhisap
oleh nyamuk, akan melepaskan sarungnya di dalam
lambung, menembus dinding lambung dan bersarang
dian tara otot-otot toraks, kemudian berkembang menjadi
larva infektif (l3) dalam jangka waktu 6-14 hari.
Gerakan larva ini sangat aktif, akan berimigrasi mula-
mula ke rongga abdomen, kepala kemudian proboscis
nyamuk. Apabila nyamuk infektif ini menggigit manusia,
maka larva tersebut secara aktif akan ikut masuk melalui
luka tusuk dan bersarang di saluran limfe. Di dalam

13
tubuh man usia larva L3 mengalami dua kali pergantian
kulit, tumbuh menjadi L4,L5 atau cacing dewasa.
Siklus hidup parasit ini memerfukan waktu sangat
panjang. Masa pertumbuhan parasit dalam hidup
nyamuk kurang lebih dua minggu. Sementara pada
manusia, belum diketahui secara pasti, beberapa literatur
menyebutkan kurang lebih 7-12 bulan. Pada tubuh
manusia cacing dewasa jantan dan betina hidup di
saluran dan kelenjar limfe, bentuknya halus seperti
benang dan berwarna putih. Cacing jantan panjangnya ±
40 mm diameter 0,1 mm. Sementara cacing betina
panjang 80-100 mm dengan diameter 0,24- 0,30 mm.
Cacing betina bersifat ovovivipar dan dapat
menghasilkan puluhan ribu mikrofilaria. Mikrofilaria ini
hidup di dalam darah dan terdapat di a !iran darah tepi
yang pada waktu-waktu tertentu, sehingga mempunyai
periodisitas.
2.7. Mekanisme Penularan Filariasis
Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan
yang mengandung mikrofilaria, mikrofilaria akan terbawa masuk
ke dalam lambung nyamuk dan melepaskan selubungnya
kemudian menembus dinding lambung nyamuk bergerak
menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Mikrofilaria
akan mengalami perubahan bentuk menjadi larva stadium I
(L1), bentuknya seperti sosis berukuran 125-250µm x 10-17µm
dengan ekor runcing seperti cambuk setelah 3 hari. Larva
tumbuh menjadi larva stadium II (L2) disebut larva preinfektif
yang berukuran 200- 300µm x 15-30µm dengan ekor tumpul
atau memendek setelah 6 hari. Pada stadium II larva
menunjukkan adanya gerakan. Kemudian larva tumbuh menjadi
larva stadium III (L3) yang berukuran 1400µm x 20µm. Larva
stadium L3 tampak panjang dan ramping disertai dengan
gerakan yang aktif setelah 8-10 hari pada spesies Brugia dan
10-14 hari pada spesies Wuchereria. Larva stadium III (L3)
disebut sebagai larva infektif.
Apabila seseorang mendapat gigitan nyamuk infektif
maka orang tersebut berisiko tertular filariasis. Pada saat
nyamuk infektif menggigit manusia, maka larva L3 akan keluar

14
dari probosisnya dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan
nyamuk kemudian menuju sistem limfe. Larva L3 Brugia malayi
dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun
waktu 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti memerlukan
waktu lebih 9 bulan (Depkes RI, 2005).

2.8. Gejala dan Tanda Filariasis


1. Demam. Demam biasanya terjadi selama 3
sampai 5 hari.
2. Kedinginan. Selain demam, Anda biasanya akan
merasa kedinginan atau meriang. ...
3. Sakit kepala
4. Pembengkakan kelenjar getah bening. ...
5. Radang saluran kelenjar getah bening
6. Abses filarial. .
7. Pembengkakan dini

2.9. Pencegahan Filariasis


Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan cara
yaitu:"
1. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat di
daerah endemis mengenai cara penularan dan
cara pengendalianvektor (nyamuk).
2. Mengidentifikasikan vektor dengan mendeteksi
adanya larva infektif dalam nyamuk dengan
menggunakan umpan manusia; mengidentifikasi
waktu dan ternpat menggigit nyamuk serta
ternpat perkembangbiakannya.
3. Pengendalian vektor jangka panjang yang
rnungkin memerlukan perubahan konstruksi
rumah dan termasuk pemasangan kawat kasa
serta pengendalian lingkungan untuk
memusnahkan tempat perindukan nyamuk.
4. Lakukan pengobatan misalnya dengan
menggunakandiethylcarbamazine citrate.

2.10. Proses pengobatan filariasis


Obat utama yang digunakan adalah
dietilkarbamazin sitrat (DEC). DEC bersifat membunuh
mikrofilaria dan juga cacing dewasa pada pengobatan

15
jangka panjang. Hingga saat ini, DEC merupakan satu-
satunya obat yang efektif, aman, dan relatif murah. Untuk
filariasis bancrofti, dosis yang dianjurkan adalah 6 mg/kg
berat badan per hari selam 12 hari. Sedangkan untuk
filaria brugia, dosis yang dianjurkan adalah 5 mg/kgberat
badan per hari selam 10 hari. Efek samping dari DEC ini
adalah demam, mengigil, artralgia, sakit kepala, mual,
hingga muntah. Pada pengobatan filariasis brugia, efek
samping yang ditimbulkan lebih berat. Sehingga untuk
pengobatannya dianjurkan dalam dosis rendah, tetapi
waktu pengobatan dilakukan dalam waktu yang lebih
lama.23
Obat lain yang juga dipakai adalah ivermektin.
Ivermektin adalah antibiotik semisintetik dari golongan
makrolid yang mempunyai aktivitas luas terhadap
nematode dan ektoparasit. Obat inihanya
membunuhmikrofilaria. Efek samping yang ditimbulkan
lebih ringan dibandingDEC.2

2.11. Program Filariasis


Keberhasilan program eliminasi filariasis jelas
mensyaratkan pengobatan lokus massal dalam jangka
panjang untuk memutus mata rantai penularan.41
Program ini membutuhkan beberapa aspek riset dan
evaluasi dalam perbaikan program selanjutnya. Menurut
Kyelem et al. (2008) setidaknya ada 3 penelitian penting
yang harus diprioritaskan dalam mendukung program
eliminasi filariasis antara lain: penelitian ‘biologis’ terkait
perkembangan cacing dan vektornya; penelitian terkait
program itu sendiri; dan penelitian berbasis komunitas
sebagai bahan strategi cakupan pengobatan
maksimal.42
Beberapa penelitian terkait agen penyakit ini telah
banyak dilakukan hingga yang terbaru bagaimana kita
memerangi cacing dengan menyerang bagian organ
yang berfungsi sebagai pertahanan cacing terhadap
antibodi kita menggunakan anthelmintic golongan
macrolide, obat ini juga bekerja sebagai penyebab
paralisis faring dan lokomotorik cacing.43 Penelitian lebih
jauh menunjukkan bahwa macrolid ini menghambat
pengeluaran protein excretory secretory (ES) di bagian
ES apparatus pada tubuh larva cacing filaria. 44 Protein
ini berfungsi sebagai kamuflase cacing terhadap system

16
imun host sehingga cacing dapat berkembang di tubuh
host tanpa terdeteksi. Hambatan dari macrolide ini
mengakibatkan system imun kita dapat mengenali parasit
dan dapat segera menghancurkannya.
Penelitian berbasis program adalah bagaimana
pengelolaan manajemen dalam pelaksanaan program
eliminasi, tantangan di lapangan, manajemen dana dan
obat-obatan menjadi sorotan penting untuk
mengembangkan beragam model desain, strategi dan
implementasi. Beberapa tantangan ini terkait dengan
konsistensi komitmen pemerintah saat menghadapi
masalah dan bagaimana mengelola masalah tersebut
dengan sumber daya yang tersedia.45 Sebagaimana
strategi yang di canangkan oleh Pacific program to
eliminate LF (PacELF)46 yang memusatkan strategi
pada pertolongan mandiri penderita filariasis yang
berbasis komunitas, pelaksanaan program pengobatan
massal yang fleksibel dan sesederhana mungkin, serta
penyelarasan kegiatan promosi, surveilans dan
penanganan penderita oleh petugas kesehatan harus
terus dievaluasi dan dikembangkan model, metode dan
implementasinya.
Pengobatan massal yang panjang dan dilakukan
setiap tahun menimbulkan beberapa keluhan dan
kejenuhan masyarakat yang dilibatkan, hal ini
menyebabkan rendahnya cakupan pengobatan di suatu
wilayah. Penelitian berbasis riset operasional sangat
dibutuhkan dalam menemukan model terbaik untuk
meningkatkan cakupan pengobatan tersebut. Model
edukasi pada penderita lymphedema dan kampanye
secara terus menerus
pada masyarakat di sekitar dapat meningkatkan
kesadaran tentang pengobatan massal ini.47 Masyarakat
yang mengetahui secara langsung dari petugas manfaat
pengobatan massal akan dengan sadar dan sukarela
terlibat langsung dalam program pengobatan.31
Hal yang terpenting lainnya adalah pada daerah
endemis B. Malayi mengalami kesulitan untuk eliminasi
karena masih adanya reservoar di lingkungan misalnya
kucing, anjing, kera ekor panjang, dan lutung alias
hirangan. Indonesia sudah mengusulkan ke WHO agar
target eliminasi ditunda 5 tahun lagi yaitu 2025, namun
usulan tersebut belum ada jawaban dari WHO. Namun

17
demikian, upaya keras dilakukan untuk dapat mencapai
target maksimal pada eliminasi Filariasis tahun 2020.

2.12. Reciment Antibiotik Filariasis


Ivermektin adalah antibiotik semisintetik dari
golongan makrolid yang mempunyai aktivitas luas
terhadap nematode dan ektoparasit. Obat inihanya
membunuhmikrofilaria. Efek samping yang ditimbulkan
lebih ringan dibandingDEC.2

2.13. Wilayah Indonesia Endemic Filariasis


Di dunia, terdapat 1.39 miliar penduduk yang berisiko
tertular filariasis. Pada tahun 2000, lebih dari 120 juta orang
terinfeksi filariasis dan 40 juta di antaranya mengalami
kecacatan dan tidak dapat bekerja lagi.
Secara global, wilayah Asia Tenggara merupakan
daerah dengan penderita filariasis terbanyak, mencapai
63% kasus global, dengan 9 dari 11 negara merupakan
wilayah endemik. Negara endemik yang termasuk di
dalamnya adalah Bangladesh, India, Indonesia, Maldives,
Myanmar, Nepal, Sri Lanka, Thailand, dan Timor Leste.
Pada tahun 2017, dari 514 kabupaten/kota di wilayah
Indonesia, sebanyak 236 kabupaten/kota termasuk endemis
filariasis. Terdapat 12.677 kasus kronis filariasis pada tahun
2017, jumlah ini menurun jika dibandingkan pada tahun
2016 yang memiliki 13.009 kasus kronis.[15]
Provinsi dengan jumlah kasus kronis filariasis terbanyak
di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Papua: 3.047 kasus kronis
2. Nusa Tenggara Timur: 2.864 kasus kronis
3. Papua Barat: 1.244 kasus kronis
4. Jawa Barat: 907 kasus kronis
5. Aceh: 591 kasus kronis[15]

18
Persentase kabupaten/kota yang telah berhasil
mengeliminasi filariasis terbesar terdapat di Provinsi Gorontalo,
yaitu 67%. Peringkat kedua adalah Banten, dengan 60%
kabupaten/kota endemis di provinsi tersebut telah mencapai
status eliminasi filariasis pada tahun 2017. WHO merilis bahwa
Indonesia dinyatakan telah berhasil menerapkan strategi yang
direkomendasikan oleh WHO dan berada di bawah monitoring
dan evaluasi untuk menunjukkan bahwa eliminasi filariasis telah
tercapai

19
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Filariasis di Indonesia masih merupakan problem kesehatan
masyarakat yang memberikan dampak ekonomi social yang negative
berupa produktivitas kerja yang menurun dan beban ekonomi
sosial.Hampir seluruh wilayah Indonesia adalah daerah endemis
filariasis, terutama wilayah Indonesia Timur yang memiliki prevalensi
lebih tinggi.

B. SARAN
1. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan merupakan syarat utama
untuk menghindari infeksi filariasis
2. Meningkatkan survailens di tingkat puskesmas untuk penemuan
dini kasus filariasis

20
DAFTAR PUSTAKA
http://jurnal.fkm.unand.ac.id/index.php/jkma/article/view/105/111

https://ejournal2.litbang.kemkes.go.id/index.php/jhecds/article/download/1790
/960

http://jurnal.fkm.unand.ac.id/index.php/jkma/article/view/105/111

https://juke.kedokteran.unila.ac.id/

https://ejournal2.litbang.kemkes.go.id/index.php/blb/article/download/712/294

21

Anda mungkin juga menyukai