Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH BUDIDAYA PAKAN ALAMI

“BUDIDAYA DUNALIELA SP”

Dosen Pengasuh :

Dr.Hj Rini Marlida,MP

Oleh:

Sari Cahyati (19542430015)

PROGRAM STUDY BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS ACHMAD YANI BANJARMASIN

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “BUDIDAYA DUNALIELA
SP”

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr.Hj Rini Marlida,MP

selaku dosen penanggung jawab mata kuliah BUDIDAYA PAKAN ALAMI yang telah
membimbing penulis dalam menyelesaikan makalah ini.

Demikian yang dapat penulis sampaikan, penulis menyadari makalah ini masih jauh dari
sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan makalah selanjutnya.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih

Banjarbaru,03 Mei 2021

Penulis

SARI CAHYATI

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1

A. LATAR BELAKANG ........................................................................................... 1

BAB II

PEMBAHASAN ............................................................................................................... 3

A. Dunaliella salina .................................................................................................... 3


B. Klasifikasi& Spesies Dunaliella salina ................................................................... 3
C. Pertumbuhan Dunaliella salina.............................................................................. 4
D. Ekstraksi Senyawa Antimikroba ............................................................................ 5
E. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Dunaliella salina ................................................ 7
F. Identifikasi Senyawa Antibakteri Dengan KG-SM ................................................. 9
G. Mekanisme Kerja Senyawa Antibakteri ................................................................. 11
H. Morfologi Dunaliella salina ................................................................................... 13
I. Habitat Dunaliella salina ........................................................................................ 13
J. Siklus Hidup dan Pertumbuhan Dunaliella salina ................................................... 14
K. Cara Budidaya Dunaliella Sebagai Pakan Alami Ikan ............................................ 15

BAB III

PENUTUP ........................................................................................................................ 19
A. Kesimpulan .................................................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tingginya keanekaragaman hayati laut memiliki potensi sumberdaya laut dan selayaknya
dapat dimanfaatkan secara optimal, baik berpotensi dalam bidang lingkungan, ekonomi, maupun
kesehatan khususnya dalam bidang farmasi. Salah satu keanekaragaman hayati potensial adalah
mikroalga. Saat ini, mikroalga telah menjadi alternatif untuk dikembangkan karena memiliki
potensi yang besar, terutama dalam bidang farmasi karena beberapa jenis mikroalga memiliki
kandungan senyawa utama seperti protein, karbohidrat dan lemak. Selain itu mikroalga juga
memproduksi senyawa metabolit sekunder seperti asam lemak dan pigmen yang dapat digunakan
sebagai senyawa bioaktif dalam bidang farmasi untuk antiinflamasi, antivirus, antikanker,
antifungi, dan antimikroba (Borowitzka, 1994). Mikroalga sebagai salah satu komoditi hasil
perairan dewasa ini telah menjadi alternatif untuk dikembangkan karena memiliki potensi yang
besar untuk dimanfaatkan.

Mikroalga merupakan mikroorganisme atau jasad renik dengan tingkat organisasi sel
termasuk dalam tumbuhan tingkat rendah. Mikroalga dikelompokkan dalam filum Thallophyta
karena tidak memiliki akar, batang, dan daun sejati, namun memiliki zat pigmen klorofil yang
mampu melakukan fotosintesis (Kabinawa 2001). Selain itu, air dan karbon dioksida dengan
adanya energi surya dari matahari dan garam-garam hara dapat menghasilkan senyawa organik
seperti karbohidrat. Karena kemampuannya membentuk zat organik dari zat anorganik, maka
disebut sebagai produsen primer (Nontji, 1993).

Seiring perkembangan bioteknologi mikroalga, sejumlah penelitian mulai ditujukan untuk


menghasilkan produk bermanfaat yang bernilai tinggi diantaranyasebagai sumber bahan kimia
yang dapat menghasilkan produk seperti gliserol, vitamin, protein, pigmen, enzim, dan bahan-
bahan bioaktif lain. Bahan-bahan bioaktif yang telah diketahui dapat dihasilkan dari mikroalga
yaitu antioksidan,toksin, bahan obat-obatan, dan zat pengatur pertumbuhan (Kabinawa 1994).

Aplikasi bioteknologi sumberdaya perairan berperan dalam mengetahui sekaligus


menghasilkan bahan aktif termasuk antimikroba sehingga diperoleh bahan aktif yang dapat

1
dimanfaatkan untuk manusia dan lingkungan. Potensi sumber daya alam terutama mikroalga
belum banyak diungkap dan diteliti sehingga informasi yang dapat diperoleh masih sangat
terbatas. Berbagai hasil penelitian mengenai bahan aktif termasuk antimikroba dari mikroalga
telah dilaporkan oleh para pakar (Hashimoto 1979 dalam Indhira 2004).

Senyawa antimikroba dari mikroalga umumnya belum teridentifikasi, namun beberapa


telah diketahui komponen penyusunnya, ada yang terdiri dari asam lemak, fenol, dan asam
organik. Hasil penelitian melaporkan beberapa mikroalga yang memiliki potensi sebagai
antimikroba antara lain Pophyridium cruentum, Lyngbya sp, Spirulina platensis, Phormidium sp
dan Chlorella sp. Sedangkan dari jenis Dunaliella yang diketahui memiliki potensi antimikroba
antara lain Dunaliella primolecta dengan kandungan senyawa asam gama-linoenat, Dunaliella
bardawil dengan kandungan senyawa metabolisme karoten seperti neophytadiene dan betaionone
serta Dunaliella salina dengan kandungan senyawa asam linoleate dan asam palmitat (Weldy dan
Huesemann, 2007).

Antimikroba pada mikroalga dapat diekstraksi dari biomassa atau ekstraselulernya.


Beberapa metode ekstraksi telah dilakukan untuk mendapatkan senyawa antimikroba dari
Dunaliella salina. Ekstraksi dengan metode ini dilakukan secara bertingkat dengan beberapa
pelarut seperti metanol, n-heksana dan diklorometan dan hasilnya menunjukkan adanya zona
hambat terhadap Escherichhia colli dan Staphylococcus aureus dengan komponen senyawa fenol
dan asam 1,2dikarboksilat (Weldy dan Huesemann, 2007).

Dunaliella merupakan salah satu mikroalga yang cukup banyak diteliti terutama sebagai
sumber -karoten dan gliserol. Pemanfaatan Dunaliella cukup beragam mulai dari sebagai
makanan kesehatan seperti yang telah dipasarkan di negara-negara maju. Dunaliella salina juga
dapat dimanfaatkan sebagai jasad pakan yang cukup baik. Telah dilakukan pemurnian sebagian
komponen antibiotic Dunaliella primolecta yang memiliki aktivitas antibiotik terhadap bakteri
Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis, Bacillus cereus, dan Enterobacter antibakteri (Becker,
1994).

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Dunaliella salina

Secara morfologi, Dunaliella merupakan mikroalga yang bersifat uniseluler, mempunyai


sepasang flagella yang sama panjangnya, sebuah kloroplast berbentuk cangkir, dan tidak
memiliki dinding sel. Dunaliella sering juga disebut sebagai flagellata uniseluler hijau (green
unicellulair flagellata). Bentuk sel Dunaliella juga tidak stabil dan beragam, dapat berbentuk
lonjong, bulat silindris, ellip dan lain-lain. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan,
pertumbuhan, dan intensitas sinar matahari (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).

Dunaliella memiliki kisaran toleransi pH yang luas mulai dari pH 1 (Dunaliella acidophila)
sampai pH 11 (Dunaliella salina). Demikian halnya juga dengan suhu, mulai dari -35C sampai
40C. Spesies Dunaliella dapat tumbuhoptimal pada pH 6-6,5 dan kisaran suhu antara 22-25C
dengan salinitas air 30-35. Dunaliella termasuk kelompok Chlorophyceae yang mengandung
klorofil a dan b serta karotenoid yang umumnya berupa -karoten (Borowitzka, 1988).

B. Klasifikasi Dunaliella salina

Klasifikasi Dunaliella (Bougis 1979 dalam Isnansetyo dan Kurniastuty 1995)


adalah sebagai berikut:
Phylum : Chlorophyta

Kelas: Chlorophyceae

Ordo : Volvocales

Famili : Polyblepharidaceae

Genus : Dunaliella

Spesies : Dunaliella salina

3
Dunaliella salina merupakan alga hijau uniseluler dari kelas Chlorophyta yang dapat tumbuh
pada berbagai kondisi lingkungan seperti suhu rendah, salinitas, pH, dan cahaya yang tinggi.

Dunaliella salina adalah sejenis mikro-alga hijau halofil yang terutama ditemukan di
ladang garam laut. Dikenal karena aktivitas antioksidannya karena kemampuannya untuk
menghasilkan karotenoid dalam jumlah besar, ia digunakan dalam kosmetik dan suplemen
makanan.
Genus Dunaliella banyak dimanfaatkan sebagai makanan kesehatan seperti halnya
dengan Chlorella karena kandungan proteinnya yang tinggi. Spesies dari genus Dunaliella ini
cukup banyak dan telah dimanfaatkan diantaranya Dunaliella viridis, Dunaliella primolecta,
Dunaliella salina, Dunaliella acidophila, Dunaliella bardawil, Dunaliella parva dan Dunaliella sp.
Pemanfaatan Dunaliella cukup beragam mulai dari sebagai makanan kesehatan seperti yang telah
dipasarkan di negara-negara maju, Dunaliella salina juga sebagai jasad pakan yang cukup baik
dan mendapat perhatian besar di beberapa negara seperti Australia, Amerika dan Israel karena
menghasilkan gliserol dan -karoten (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).

Reproduksi dilakukan secara vegetatif dan generatif. Reproduksi secara aseksual terjadi
dengan pembelahan secara memanjang. Saat proses pembelahan inti, maka pirenoid akan
melebar melintang dan menyebabkan dua flagella saling berjauhan. Pada pirenoid dan kloroplas
akan terbentuk suatu lekukan yang kemudian akan membelah dan menjadi individu-individu
baru, masing-masing dengan satu flagella dan satu sel anak yang belum mempunyai stigma.
Stigma yang terbentuk ini merupakan hasil proses metamorfosis dari kromatofora (Tjahjo et al.,
2002).

Reproduksi seksual terjadi dengan cara melakukan isogami melalui konjugasi. Zigot
berwarna merah atau hijau dikelilingi oleh dinding sporollenin yang halus dan sangat tipis.
Nukleus zigot akan membelah secara meiosis. Pembelahan ini terjadi setelah tahap istrahat dan
terbentuk lebih dari 32 sel yang dibebaskan melalui retakan atau celah pada dinding sel induk
(Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).

C. Pertumbuhan Dunaliella salina

4
Pengamatan pertumbuhan bertujuan untuk mengetahui fase-fase pertumbuhan
sel Dunaliella salina selama penelitian. Berdasarkan hasil pengamatan, ternyata sel
tidak mengalami fase adaptasi, hal ini dikarenakan tidak adanya modifikasi media
kultur yang digunakan dan saat dilakukan kultivasi stok kultur berada pada kondisi
fase logaritmik, sehingga sel-sel yang diinokulasikan cepat beradaptasi terhadap
media kultur yang baru. Pertumbuhan sel diamati setiap hari hingga mencapai fase
stasioner, yaitu hari ke 16-18. Setelah kultur mencapai fase stasioner, dilakukan pemanenan
dengan cara disentrifus, endapan yang diperoleh, dikeringkan menggunakan oven pada suhu
50oC agar kandungan nutrisi yang terdapat dalam biomassa tidak rusak. Proses pemanenan
dilakukan saat sel pada fase stasioner, hal ini dikarenakan pada fase ini pembentukkan
senyawa metabolit sekunder seperti asam lemak yang dapat sebagai senyawa antibakteri
telah mencapai maksimum (Naviner et.al., 1999).

D. Ekstraksi Senyawa Antimikroba

Ekstraksi adalah suatu proses penarikan komponen yang diinginkan dari suatu bahan
ataupun proses pemisahan satu atau beberapa zat yang diinginkan dari campurannya dengan
bantuan pelarut. Adapun beberapa faktor yang berpengaruhterhadap proses ekstraksi adalah lama
ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang digunakan. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan
jenis pelarut adalah daya melarutkan, titik didih, sifat toksik, mudah tidaknya terbakar, dan sifat
korosif terhadap peralatan ekstraksi (Karger et al., 1973).

Ekstraksi dapat dibedakan menjadi tiga cara pengoperasiannya yaitu ekstraksi dengan
menggunakan pelarut (solvent extraction), ekstraksi dengan penekanan yang sering disebut
penekanan mekanik dan ekstraksi dengan pemanasan (rendering). Menurut jenis pelarutnya,
solvent extraction dapat dilakukan dengan dua cara yaitu aqueous phase (dilakukan dengan
menggunakan air) dan organic phase (dilakukan dengan menggunakan pelarut organik) (Winarno
et al., 1973).

5
Menurut Harborne (1987), metode ekstraksi dapat dikelompokkan menjadi
dua yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus Ekstraksi sederhana terdiri atas:

a) Maserasi yaitu metode ekstraksi dengan cara merendam bahan dalam pelarut
dengan atau tanpa pengadukan.
b) Perkolasi yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan.
c) Reperkolasi yaitu perkolasi dimana hasil perkolasi digunakan untuk melarutkan
sampel dalam perkolator sampai senyawa kimianya terlarutkan.
d) Evakolasi yaitu perkolasi dengan pengurangan tekanan udara.
e) Diakolasi yaitu perkolasi dengan penambahan tekanan udara.

Ekstraksi khusus terdiri atas :


a) Sokletasi yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan untuk melarutkan sampel
kering dengan menggunakan pelarut yang bervariasi.
b) Arus balik yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana sampel dan
pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang berlawanan.
c) Ultrasonik yaitu ekstraksi dengan menggunakan alat yang menghasilkan frekuensi
bunyi atau getaran antara 25-100 kHz.

Prinsip ekstraksi adalah zat yang akan diekstrak hanya dapat larut dalam pelarut yang
digunakan, sedangkan zat lainnya tidak akan larut. Oleh karena itu, pemilihan pelarut
yang sesuai akan sangat penting. Gaya yang bekerja dalam proses ekstraksi adalah
perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan cairan ekstraksi di luar sel.
Bahan pelarut mengalir ke dalam ruang sel sehingga menyebabkan protoplasma
membengkak dan menyebabkan kandungan sel akan berdifusi ke luar sel. Metode
ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang akan diekstrak. Suatu senyawa
menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda. Bahan dan
senyawa kimia akan mudah larut pada pelarut yang relative sama kepolarannya. Semakin
besar konstanta dielektrik, maka semakin polar pelarut tersebut (Achmadi, 1992).

6
Biomassa diekstraksi menggunakan pelarut petroleum eter, aseton, dan etanol dengan
cara maserasi dan digesti. Metode ini digunakan karena lebih mudah dilakukan dan lebih
praktis dibandingkan dengan metode lain. Cara ekstraksi dengan metode maserasi dapat
memberikan suatu perbedaan konsentrasi antar cairan penyari dengan cairan di dalam sel.
Hal ini menyebabkan isi sel akan larut secara difusi sampai terjadi keseimbangan
konsentrasi antara cairan penyari dengan cairan di dalam sel. Keadaan bergerak pada
proses maserasi menyebabkan turunnya perpindahan zat aktif, sedangkan ekstraksi
dengan metode digesti dapat memberikan hasil ekstrak dengan kadar yang lebih tinggi
karena pada cara ini menggunakan pemanasan yang dapat meningkatkan kelarutan
ekstrak (Harborne, 1987).

Biomassa Dunaliella salina diekstraksi sampai terlihat pucat agar senyawa antibakteri
yang terkandung dalam biomassa dapat terekstrak secara optimal. Penggunaan pelarut
dengan tingkat kepolaran yang berbeda, bertujuan untuk mendapatkan senyawa yang
tersari dari masing-masing pelarut yang berbeda pula (Harborne, 1987).

Pelarut petroleum eter bersifat non polar yang merupakan campuran hidrokarbon cair
yang bersifat mudah menguap dan akan melarutkan senyawasenyawa yang bersifat non
polar pada selubung sel dan dinding sel seperti lemaklemak, terpenoid dan steroid.
Aseton sebagai pelarut semi polar akan melarutkan senyawa bersifat semi polar seperti
polifenol dan senyawa xanthon. Etanol sebagai pelarut polar akan melarutkan senyawa
yang bersifat polar seperti karbohidrat, dan klorofil. Pada tahap awal ekstraksi, biomassa
yang telah ditambahkan pelarut dipecah selnya dengan sonifier bertujuan untuk
memecahkan dinding sel mikroalga sehingga memudahkan penarikan senyawa-senyawa
metabolit sekunder yang terkandung dalam Dunaliella salina oleh pelarut, sehingga
proses ekstraksi dapat optimal (Harborne, 1987).

E. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Dunaliella salina

Bakteri uji yang digunakan pada penelitian ini adalah Escherichia coli sebagai
bakteri Gram negatif dan Staphylococcus aureus sebagai bakteri Gram positif. Masing-
masing ekstrak diuji aktivitas antibakterinya dengan menggunakan metode difusi agar

7
cara cakram dan dilakukan analisis kualitatif terhadap ekstrak yang menghasilkan zona
hambat paling besar. Konsentrasi larutan uji yang digunakan adalah 100%, 75%, dan
50%. Perbedaan konsentrasi yang digunakan dilakukan untuk mengetahui besarnya
potensi aktivitas larutan uji dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Berdasarkan hasil
yang telah diperoleh, menunjukkan bahwa kedua bakteri uji menunjukkan adanya zona
hambat di sekeliling lubang pada semua konsentrasi ekstrak yang diuji. Konsentrasi
ekstrak pada masing-masing metode ekstraksi (maserasi dan digesti) berbanding lurus
dengan ukuran diameter zona hambat yaitu semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka
diameter zona hambat akan besar, dan sebaliknya (Pelczar dan Chan, 2005).

Ekstrak Dunaliella salina yang diperoleh dengan cara maserasi, menunjukkan


hasil zona hambat terbesar ditunjukkan oleh bakteri E. coli pada ekstrak etanol dan
zona hambat terkecil ditunjukkan pada ekstrak aseton. Sedangkan pada bakteri S.aureus
zona hambat terkecil terdapat pada ekstrak aseton dan zona hambat terbesar dihasilkan
oleh ekstrak etanol. Pada ekstrak Dunaliella salina yang diperoleh dengancara digesti
menunjukkan hasil bahwa zona hambat terbesar terhadap bakteri S. aureus pada ekstrak
etanol dan terkecil pada ekstrak aseton. Demikian pula halnya, pada bakteri E.coli zona
hambat terkecil pada ekstrak aseton dan terbesar pada eksrak etanol (Pelczar dan Chan,
2005).

Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, ternyata zona hambat terbesar yang
terbentuk pada bakteri Staphylococcus aureus dan Eschericia coli ditunjukkan pada
ekstrak etanol (maserasi dan digesti) dibandingkan dengan ekstrak aseton dan ekstrak
petroleum eter. Sedangkan jika membandingkan antara kedua bakteri uji yang digunakan
ternyata pada semua ekstrak yang diuji, zona hambat bakteri Gram positif
(Staphylococcus aureus) lebih besar dibandingkan Gram negatif (Eschericia coli). Hal ini
dikarenakan adanya perbedaan sensitifitas antara bakteri Gram poritif (Staphylococcus
aureus) dengan bakteri Gram negatif (Escherichia coli), yaitu adanya perbedaan struktur
dinding sel (Pelczar dan Chan, 2005).

8
Pada bakteri Gram positif, struktur dinding selnya tebal (15-80 nm) dan
memiliki lapisan tunggal (mono), sedangkan pada bakteri Gram negatif yaitu
Escherichia coli, struktur dinding selnya tipis (10-15 nm) dan memiliki tiga lapisan
(multi). Disamping itu juga karena struktur dinding sel bakteri Gram positif berupa
kandung lemak yang rendah (1-4%) dibandingkan dengan bakteri Gram negatif,
kandungan lemaknya tinggi (11-22%) yang menyebabkan sulitnya terabsorpsi
senyawa antibakteri ke dalam sel Escherichia coli. Senyawa antibakteri yang mudah
terabsorsi ke dalam sel menyebabkan bakteri tersebut mati (Pelczar dan Chan, 2005).

Selain hal diatas, berdasarkan hasil identifikasi dengan KG-SM menunjukkan


adanya senyawa fenol dalam semua ekstrak Dunaliella salina yang menyebabkan
zona hambat pada E. coli lebih kecil dibandingkan dengan Staphylococcus aureus. E.
coli lebih resisten terhadap fenol dan ketahanannya terhadap fenol dalam ekstrak uji
dapat mempengaruhi pembentukkan zona hambat mati dan juga dilaporkan bahwa
fenol memiliki kemampuan antibakteri yang lebih kuat terhadap bakteri Gram positif
dibandingkan dengan bakteri Gram negatif. Fenol memilliki kecenderungan mengikat
protein bakteri sehingga menghambat aktivitas enzim yang akhirnya mengganggu
aktivitas enzim metabolisme bakteri (Pelczar dan Chan, 2005).

Dunaliella salina yang diekstrak dengan cara digesti menunjukkan zona hambat
yang lebih besar dibandingkan dengan maserasi, hal ini dikarenakan metode digesti
menggunakan pemanasan yang dapat meningkatkan kelarutan senyawa-senyawa
antibakteri dalam ekstrak sehingga dapat memberikan hasil ekstrak dengan kadar yang
lebih tinggi dibandingkan dengan metode maserasi. Kontrol negatif yang digunakan pada
penelitian ini adalah larutan petroleum eter, aseton, dan etanol, hasilnya menunjukkan
tidak adanya zona hambat pada kedua bakteri uji, hal ini menunjukkan ekstrak Dunaliella
salina mempunyai sifat antibakteri. Selain itu juga dilakukan kontrol positif
menggunakan antibiotik kloramfenikol yang bertujuan untuk menguji sensitivitas bakteri
Staphylococcus aureus dan Eschericia coli. Mekanisme kerja dari antibiotik
kloramfenikol digolongkan sebagai antibiotic dengan spektrum luas yaitu efektif terhadap

9
bakteri Gram positif dan Gram negative (Pelczar dan Chan, 2005).

F. Identifikasi Senyawa Antibakteri Dengan KG-SM

Uji kualitatif dengan KG-SM dilakukan pada ekstrak yang mempunyai zona
hambat terbesar, yaitu ekstrak etanol yang didapat dengan cara maserasi dan digesti.
Hasil KG-SM yang diperoleh dari ekstrak etanol secara maserasi dengan kualitas
persen diatas 90% terdapat senyawa Asam Heksadekanoat (12.98 %), Asam metil
ester Heksadekanoat (0.67%), Asam 8,11-metil ester Oktadekadieoat (1.76%), Asam
9,12-Oktadekadienoat (19.70%), yang merupakan senyawa golongan asam lemak
Sedangkan hasil KG-SM ekstrak etanol secara digesti adalah senyawa golongan
asam lemak, terpenoid, dan fenol, yaitu Asam Heksadekanoat (17.08%), Asam 9,
12Oktadekadienoat (22.73%), Asam 9, 12-metil ester Oktadekadienoat (2.89%),
Neophytadiena (0,68%), Phytol (16.06%) (Herrero et al., 2006).

Berdasarkan analisis kualitatif terhadap ekstrak etanol dengan metode


maserasi, senyawa dengan persentase kualitatif diatas 90% sebagian besar merupakan
senyawa golongan asam lemak. Sedangkan untuk ekstrak etanol secara digesti, senyawa
dengan persentase kualitatif diatas 90% antara lain asam lemak, golongan terpenoid dan
fenol. Hal ini yang menyebabkan zona hambat pada ekstrak yang dihasilkan dengan
metode digesti lebih besar dibandingkan dengan ekstraksi dengan maserasi. Disamping
itu, juga karena luas area asam lemak yang dihasilkan dari metode digesti (45,73%) lebih
besar dibandingkan dengan metode maserasi (36.06%). Senyawa asam lemak yang
terdapat pada ekstrak etanol dengan cara digesti maupun maserasi adalah Asam
Heksadekanoat (asam palmitat) dan Asam 9,12-Oktadekadienoat (asam linoleat). Hal ini
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Borowitzka (1988) bahwa, senyawa yang bersifat
sebagai antibakteri dalam mikroalga Dunaliella salina adalah 3-trans heksadekanoat dan
asam linolenat yang merupakan golongan asam lemak (Herrero et al., 2006).

Asam Heksadekanoat (asam palmitat), Asam 9,12-Oktadekadienoat (asam


linoleat), dan neophytadiena merupakan senyawa yang bersifat sebagai antibakteri. Hal

10
ini sesuai dengan hasil analisis kualitatif dengan menggunakan KG-SM pada penelitian
ini, bahwa senyawa antibakteri yang diidentifikasi adalah Asam Heksadekanoat, Asam
9,12-Oktadekadienoat, dan neophytadiena di samping senyawa lainnya. Perbedaan
kandungan senyawa antibakteri yang terdapat pada Dunaliella salina sangat dipengaruhi
oleh komposisi media kultur yang digunakan, faktor lingkungan tempat tumbuhnya,
intensitas cahaya yang diterima dan cara mengekstraksi mikroalga tersebut (Weldy dan
Huesemann, 2011).

G. Mekanisme Kerja Senyawa Antibakteri

Cara kerja penghambatan dan kerusakan mikroba oleh senyawa antimikroba


berbeda-beda. Mekanisme senyawa antimikroba dalam menghambat pertumbuhan
mikroba dibagi menjadi beberapa cara, yaitu: kerusakan pada dinding sel, perubahan
permeabilitas sel, penghambatan sintesis protein dan asam nukleat dan menghambat
enzim-enzim metabolik (Branen dan Davidson, 1993).

1) Kerusakan pada dinding sel

Dinding sel bakteri mengandung peptidoglikan yang terdiri dari turunan gula
yaitu asam N-asetilglukosamin, asam N-asetilmuramat, dan suatu peptida yang
terdiri dari asam amino yaitu L-alanin, D-alanin, D-glutamat, dan lisin. Lapisan
peptidoglikan merupakan suatu molekul raksasa. Bakteri Gram positif memiliki 40 lapisan
peptidoglikan yang merupakan 50% dari bahan dinding sel sedangkan bakteri Gram negatif
hanya ada 1-2 lapisan peptidoglikan dan merupakan 10% dari bahan dinding sel (Pelczar dan
Chan, 2005).

Antimikroba dapat menghambat sintesa dinding sel mikroba yaitu dengan menghambat
pembentukan peptidoglikan yang merupakan komponen penting dari dinding sel mikroba.
Mekanisme kerusakan dinding sel dapat juga disebabkan oleh adanya akumulasi komponen
lipofilik yang terdapat pada dinding sel atau membrane sel, sehingga menyebabkan
perubahan komposisi penyusun dinding sel, contohnya penisilin dan sefalosporin (Nychas

11
dan Tassou 2000 dalam Parhusip 2006).

2) Perubahan permeabilitas sel

Senyawa antimikroba dapat menyerang membrane sitoplasma dan mempengaruhi integritasnya.


Membran sitoplasma berperan pada keutuhan sel dimana mempertahankan bahan-bahan tertentu
di dalam sel serta mengatur aliran keluar masuknya bahan-bahan lain. Kerusakan pada membran
ini mengakibatkan peningkatan permeabilitas dan terjadi kebocoran sel yang diikuti dengan
keluarnya materi intraseluler. Mekanisme minyak atsiri (karvakrol, sitral, dan geraniol) adalah
mengganggu lapisan fosfolipid dari membran sel yang menyebabkan peningkatan permeabilitas
dan kehilangan unsur penyusun sel, contoh antimikroba ini adalah polimiksin dan golongan
polien (Kim et al. 1995 dalam Parhusip 2006).

3) Penghambatan sintesis protein dan asam nukleat

Sintesis protein adalah pembentukan rantai polipeptida dari asam-asam amino


melalui ikatan peptida. Senyawa antimikroba mampu menghambat sintesis protein
bakteri yaitu senyawa tersebut dapat bereaksi dengan komponen sel ribosom 50 S
yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya sintesis protein dan dilanjutkan
terbentuknya pasangan yang tidak tepat dan akhirnya mengganggu pembentukan
protein, contohnya tetrasiklin, kloramfenikol, dan eritromisin. Senyawa antimikroba
juga dapat menghambat sintesa asam nukleat (DNA dan RNA) dengan cara
menghambat DNA girase yang berfungsi dalam penataan kromosom sel mikroba,
contohnya enrofloksasin (Setiabudy dan Ganiswara, 1995).

4) Menghambat Enzim-enzim Metabolik

Enzim yang berperan dalam metabolisme dan juga pertumbuhan pada sel mikroba dapat
dihambat aktivitasnya oleh komponen antibakteri sehingga berakibat terganggunya aktivitas
maupun pertumbuhan mikroba-mikroba tersebut. Konsentrasi dari antibakteri yang tinggi juga
dapat menyebabkan terjadinya koagulasi pada enzim. Komponen antibakteri dapat menghambat
pertumbuhan atau bahkan membunuh mikrooganisme melalui inaktivasi enzim-enzim

12
metaboliknya. Senyawa antibakteri sulfit, nitrit dan asam benzoat dapat menginaktivasi berbagai
enzim metabolik bakteri (Brown 1962 dalam Parhusip 2006).

H. Morfologi Dunaliella salina

D. salina merupakan mikroalga uniseluler halophilic yang memiliki lapisan mucus berupa mantel
tetapi tidak memiliki dinding sel (Lin, et al., 2014). D. salina memiliki dua buah flagella, berasal
dari kelas chlorophyceae (Alisahi, et al., 2014) dan memiliki daya gerak (Jayappriyan, et al.,
2013). Karakteristik utama dari mikroalga ini yang membedakannya dengan mikroalga lainnya
adalah tidak adanya dinding sel poliskararida (Macias-Sanchez, et al., 2009). Meskipun
demikian, D. salina dilapisi oleh mantel glikoprotein yang disebut glycocalyx dengan panjang
antara 5-25µm dan lebar 3-13µm (Ramos, et al., 2011). Mikroalga D. salina memiliki ukuran sel
dengan panjang berkisar antara 9-11µm (AbuSara, et al., 2011). Pada lingkungan laut, mikroalga
D. salina terlihat berwarna hijau, akan tetapi pada kondisi dengan salinitas dan intensitas cahaya
yang tinggi, mikroalga ini berubah warna menjadi merah (Dhanam dan Dhandayuthapani, 2013).

I. Habitat Dunaliella salina

Mikroalga D. salina merupakan salah satu organisme laut yang rentan terhadap perubahan atau
tekanan ekologis sehingga menjadi sasaran utama terkena bahan-bahan pencemar seperti logam
berat dan sebagainya (Balaira, et al., 2017). Mikroalga D. salina pertama kali ditemukan di
pesisir Atlantik Prancis oleh Dunal pada tahun 1838, kemudian pada tahun 1905 diidentifikasi
oleh Teodoresco dan diberi beri nama dunal. Genus Dunaliella merupakan alga hijau uniseluler
yang habitatnya tersebar di lingkungan hipersaline (Amaninejad, et al., 2013). Spesies
D. salina juga dapat ditemukan di lingkungan euryhaline pada semua benua (Ramos, et al.,
2011). Faktor lingkungan yang diduga mempengaruhi kandungan pigmen, biomassa dan
pertumbuhan sel mikroalga D. salina adalah salinitas (Zainuddin, 2017).

Menurut Alisahi, et al. (2014), mikroalga D. salina merupakan mikroorganisme uniseluler


yang memiliki dua flagella dan berasal dari kelompok alga hijau. Mikroalga D. salina tersebar
luas dan dapat ditemukan di wilayah hipersalin. Mikroalga D. salina merupakan alga yang kaya
akan kandungan β-karoten dan gliserol. Alga ini dapat menghasilkan β-karoten sampai 14% dari
berat keringnya di bawah kondisi stress, seperti terlalu tingginya salinitas, suhu dan cahaya serta
keterbatasan nutrisi.

13
J. Siklus Hidup dan Pertumbuhan Dunaliella salina

Mikroalga merupakan tumbuhan bersel tunggal, berkembang biak sangat cepat dengan daur
hidup relatif pendek. Mikroalga dapat tumbuh jauh lebih cepat dengan hanya membutuhkan
media tumbuh yang lebih sedikit. Mikroalga biasanya menggandakan dirinya sekitar 24 jam
sekali, namun pada fase eksponensial biasanya lebih singkat yaitu hanya 3,5 jam sekali (Darsi, et
al., 2012). Sementara pada saat melakukan kultur, pemanenan mikroalga D. salina dilakukan
pada fase stasioner dengan menggunakan modifikasi flokulan yaitu metode pengendapan yang
menggunakan NaOH (Zainuddin, et al., 2017). Berikut adalah fase-fase pertumbuhan pada
mikroalga D. salina menurut Astrid, et al. (2013).
1. Fase adaptasi, merupakan fase istirahat dimana populasi mikroalga tidak mengalami
pertambahan. Fase adaptasi terjadi pada hari pertama dan kedua karena tidak terjadi
penurunan jumlah D. salina.
2. Fase eksponensial, merupakan fase yang tejadi setelah fase adaptasi yang ditandai
dengan pembelahan sel-sel baru dan laju pertumbuhan tetap. Pertumbuhan D. salina pada
fase eksponensial ditandai dengan adanya peningkatan yang sangat cepat dari jumlah
populasi D. salina yang dimulai pada hari pertama pengamatan sampai puncak populasi.
Fase ini biasanya tejadi pada hari kedua dan ketiga.
3. Fase penurunan relatif, merupakan fase yang terjadi setelah fase logaritmik. Pada fase ini
jumlah kematian lebih kecil dibandingkan pertumbuhannya sehingga penurunan grafik
tidak signifikan. Puncak populasi ada pada fase penurunan relatif pada perlakuan A, B, C,
dan K terjadi pada hari ketiga, sedangkan perlakuan D dan E puncak populasi terjadi
pada hari kelima.
4. Fase stasioner, merupakan fase yang terjadi setelah fase berkurangnya pertumbuhan
relatif. Fase ini ditandai dengan pertumbuhan mulai mengalami penurunan dibandingkan
dengan fase logaritmik. Pada fase ini laju reproduksi sama dengan laju kematian dalam
arti pemberian dan pengurangan plankton relatif sama atau seimbang sehingga kepadatan
fitoplankton cenderung tetap. Fase stasioner biasanya tejadi pada jam kultur ke-84
(Yarti, et al., 2014).
Kandungan β-karoten pada D. salina akan mengalami peningkatan selama fase
stasioner karena β-karoten yang dihasilkan akan digunakan untuk bertahan hidup
(Zainuri, et al., 2006).
5. Fase kematian, merupakan fase yang ditandai degan penurunan jumlah/ kepadatan
mikroalga yang lebih cepat dari laju reproduksi. Pada fase ini jumlah sel menurun secara
geomtrik yang dipengaruhi oleh ketersediaan cahaya, temperatur dan umur plankton.
Fase kematian biasanya terjadi pada hari ke-6 setelah tejadi puncak populasi.

14
K. Cara Budidaya Dunaliella Sebagai Pakan Alami Ikan adalah

Memperbanyak mikroalga atau dunaliella guna untuk mendapatkan secara masal untuk
menjadi sumber pakan alami budidaya ikan. Dunaliella merupakan mikroalga uniselular dengan
dua flagela dan termasuk kedalam alga hijau (Chlorophyta, Chloropyceae). Dunaliella memiliki
morfologi tubuh seperti Chlamydomonas dengan dua perbedaan utama yang terdapat pada
dinding sel Dunaliella. Dunaliella memiliki dua flagella yang sama panjang dan tunggal, bentuk
kloroplas seperti cangkir. Bentuk sel yang bervariasi, menjadi oval, bulat, silindris, ellips. Sel
dalam setiap spesies tertentu dapat berubah bentuk dengan perubahan kondisi, akan menjadi
bulat jika kondisi tidak mendukung. Ukuran sel juga bervariasi dengan kondisi pertumbuhan dan
intensitas cahaya yang mempengaruhi. Sel – sel akan membelah dengna memanjang menjadi
bagian – bagian lain dengan memanjang pada kondisi motil. Dlam kondisi tertentu, sel
Dunaliella dapat berkembang ke tahap palmelladan tertanam di dalam lapisan tebal lendir, atau
membentuk aplanospore dengan dinding tebal dan kasar.

 Parameter Dunaliella
Dunaliella: salinitas optimum 18-22 % NaCl, untuk produksi carotenoid > 27% NaCl, dan masih
bertahan pada 31% NaCl; suhu optimal 20-40 derajat C, pH optimal 9 dan bertahan pada pH 11.
 Jenis-jenis makanan
Jenis-jenis makanan alami yang dimakan ikan sangat beragam, tergantung pada jenis ikan dan
tingkat umurnya. Beberapa jenis pakan alami yang dibudidayakan adalah : (a) Chlorella; (b)
Tetraselmis; (c) Dunaliella; (d) Diatomae; (e) Spirulina; (f) Brachionus; (g) Artemia; (h)
Infusoria; (i) Kutu Air; (j) Jentik-jentik Nyamuk; (k) Cacing Tubifex/Cacing Rambut; dan
(l) Ulat Hongkong
 Pakan Buatan
Bentuk pakan buatan ditentukan oleh kebiasaan makan ikan.
 Larutan, digunakan sebagai pakan burayak ikan dan udang (berumur 2-30 hari). Larutan
ada 2 macam, yaitu : (1) Emulsi, bahan yang terlarut menyatu dengan air pelarutnya; (2)
Suspensi, bahan yang terlarut tidak menyatu dengan air pelarutnya.
 Tepung halus, digunakan sebagai pakan benih (berumur 20-40 hari). Tepung halus
diperoleh dari remah yang dihancurkan.
 Tepung kasar, digunakan sebagai pakan benih gelondongan (berumur 40-80 hari). Tepung
kasar juga diperoleh dari remah yang dihancurkan.
 Remah, digunakan sebagai pakan gelondongan besar/ikan tanggung (berumur 80-120
hari). Remah berasal dari pellet yang dihancurkan menjadi butiran kasar.

15
 Pellet, digunakan sebagai pakan ikan dewasa yang sudah mempunyai berat > 60-75 gram
dan berumur > 120 hari.
 Waver, berasal dari emulsi yang dihamparkan di atas alas aluminium atau seng dan
dkeringkan, kemudian diremas-remas.

 Persiapan Tempat Dunaliella


Dunaliella Dalam wadah 1liter
1. Dapat menggunakan botol erlenmeyer. Botol, slang plastik, dan batu aerasi dicuci dengan
deterjen dan dibilas dengan larutan klorin 150 ml/ton.
2. Wadah diisi air medium dengan kadar garam 28 permil yang telah disaring dengan saringan 15
mikron. Kemudian disterilkan dengan cara direbus, diklorin 60 ppm dan dinetralkan dengan 20
ppm 3. Na2S2O3, atau disinari lampu ultraviolet.
3. Medium dipupuk dengan jenis dan takaran sebagai berikut :
Natrium nitrat – NaNO3 = 84 mg/l
Natrium dihidrofosfat-NaH2PO4 = 10 mg/l atau Natrium fosfat-Na3PO4 = 27,6 mg/l atau
Kalsium fosfat-Ca3(PO4)2 = 11,2 mg/l
Besi klorida – FeCl3 = 2,9 mg/l
EDTA (Ethylene dinitrotetraacetic acid) = 10 mg/l
Tiamin-HCl (vitamin B1) = 9,2 mg/l
Biotin = 1 mikrogram/l
Vitamin B12 = 1mikrogram/l
Tembaga sulfat kristal CuSO4.5H2O = 0,0196 mg/l
Seng sulfat kristal ZnSO4.7H2O = 0,044 mg/l
Natrium molibdat-NaMoO4.7H2O = 0,02 mg/l
Mangan klorida kristal-MnCl2.4H2O = 0,0126 mg/l
Kobalt korida kristal-CoCl2.6H2O = 3,6 mg/l
Dunaliella Dalam wadah 1 galon (3 liter):
- Dapat menggunakan botol “carboys” atau stoples.
- Persiapan sama dengan dalam wadah 1 liter.
- Medium dipupuk dengan jenis dan takaran sebagai berikut :
Urea-46 = 100 mg/l

16
Kalium hidrofosfat-K2HPO4 = 10 mg/l
Agrimin = 1 mg/l
Besi klorida-FeCl3 = 2 mg/l
EDTA (Ethylene dinitrotetraacetic acid) = 2 mg/l
Vitamin B1 = 0,005 mg/l
Vitamin B12 = 0,005 mg/l
Dunaliella Dalam wadah 200 liter dan 1 ton
1. Wadah 200 liter dapat menggunakan akuarium, dan untuk 1 ton menggunakan bak dari kayu,
bak semen, atau bak fiberglass.
2. Persiapan lain sama.
3. Medium dipupuk dengan jenis dan takaran sebagai berikut :
Urea-46 = 100 mg/liter
Pupuk 16-20-0 = 5 mg/liter
Kalium hidrofosfat-K2HPO4 = 5 mg/liter atau Kalium dihidrofosfat-K2H2PO4 = 5 mg/liter
Agrimin = 1 mg/liter
Besi klorida-FeCl3 = 2 mg/liter
4. Untuk wadah 1 ton dapat hanya menggunakan urea 60-100 mg/liter dan TSP 20-50 mg/liter.

5. Wadah dan peralatan lainnya dicuci, kemudian diisi medium dengan kadar garam 18-22
permil. Selanjutnya diberi pupuk cair 1 ml/liter, kemudian diaerasi dan dibiarkan sebentar.

 Pemeliharaan Pakan Alami Dunaliella


Dalam pemeliharaan harus diperhatikan penempatan wadah agar cukup mendapat cahaya,
sehingga fotosintesa dapat berjalan lancar.
Setelah pupuk tercampur merata, bibit dimasukkan sebanyak 1/3 bagian. Wadah ditutup kapas
atau stirofoam yang telah diberi slang untuk mencegah kontaminasi.
Empat hari setelah masa pemeliharaan, dapat dipanen dan dikultur pada wadah yang lebih besar.

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang diperoleh dari makalah tentang Identifikasi dan Uji
Aktivitas Antibakteri Senyawa Aktif Secara Maserasi dan Digesti dalam Berbagai
Pelarut dari Mikroalga Dunaliella Salina adalah sebagai berikut:
1. Sel tidak mengalami fase adaptasi karena tidak adanya modifikasi media kultur
yang digunakan dan saat dilakukan kultivasi stok kultur berada pada kondisi fase
logaritmik.
2. Prinsip ekstraksi adalah zat yang akan diekstrak hanya dapat larut dalam pelarut
yang digunakan, sedangkan zat lainnya tidak akan larut. Biomassa diekstraksi
menggunakan pelarut petroleum eter, aseton, dan etanol dengan cara maserasi
dan digesti karena lebih mudah dilakukan dan lebih praktis dibandingkan dengan
metode lain.
3. Konsentrasi larutan uji yang digunakan adalah 100%, 75%, dan 50%. Perbedaan
konsentrasi ini bertujuan untuk mengetahui besarnya potensi aktivitas larutan uji
dalam menghambat pertumbuhan bakteri.
4. Perbedaan kandungan senyawa antibakteri yang terdapat pada Dunaliella salina
sangat dipengaruhi oleh komposisi media kultur yang digunakan, faktor
lingkungan tempat tumbuhnya, intensitas cahaya yang diterima dan cara
mengekstraksi mikroalga tersebut.
5. Mekanisme senyawa antimikroba dalam menghambat pertumbuhan mikroba
dibagi menjadi beberapa cara, yaitu: kerusakan pada dinding sel, perubahan
permeabilitas sel, penghambatan sintesis protein dan asam nukleat dan
menghambat enzim-enzim metabolik.

18
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi S. S. 1992. Teknik Kimia Organik. Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. IPB. Bogor.

Becker E. W. 1994. Microalgae Biotechnology and Microbiology. Cambridge University Press.


USA.
Borowitzka M. A. 1994. Microalgae as Sources of Pharmaceuticals and Other
Biologically Active Compounds, Algal Biotechnology Laboratory, School of
Biological & Environmental Sciences. Murdoch University. Perth,W. A.
6150.
Branen A. L, Davidson P. M. 1993. Antimicrobial in Foods. Second edition. Marcel
Dekker, Inc. New York.
Harborne J. B. 1978. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. edisi II. (Terj.). Padma W. K. Sudiro. I. ITB. Bandung. hal 3-15 .
Herrero M, Ibanez. E, Cifuentes A, Reglero. G. 2006. Dunaliella salina Microalga
Pressurized Liquid Extracts as Potential Antimicroials. Instituto de
Fermentaciones Industriales CSIC Juan de la Cierva Madrid. Spain.
Indhira TA. 2004. Prospek Bioteknologi Sumberdaya Akuatik dalam Industri
Farmasi. Jurnal Perikanan Fakultas Teknologi Kelautan dan Perikanan
Universitas Hang Tuah. Surabaya. 1(1): 27-30.
Isnansetyo A, Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton.
Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Kanisius. Yogyakarta.
Kabinawa I. N. K. 1994. Kultur Mikroalga: Aspek dan Prospek. Prosiding Seminar
Nasional Bioteknologi Mikroalga. Puslitbang-Biotek. LIPI. Bogor.
Karger B. L., Synder L., Hosvarth C. 1973. An Introduction to Separation. John dan
Sons. Brisbane.
Naviner M, Berge J. P., Duran P., Le Bris H. 1999. Antibacterial Activity of The
Marine Diatom Skeletonema Costatum Againts Aquacultural Pathogens.
Journal Aquaculture. 174: 15-24.
Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Edisi ke-2. Djambatan. Jakarta.

19
Parhusip A. J. N. 2006. Kajian Mekanisme Antibakteri Ekstrak Andaliman
(Zanthoxylum acanthopodium DC) Terhadap Bakteri Patogen Pangan.
[disertasi]. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor.
Pelczar M. J., Chan E. C. S. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi. Volume ke-1,2.
Hadioetomo R. S., Imas T., Tjitrosomo S. S., Angka S. L., Penerjemah.
Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari: Elemen of Microbiology.
Jakarta.
Setiabudy R., Ganiswara V. H. S. 1995. Pengantar Antimikroba. Di dalam:
Ganiswara S. G., Setiabudy R., Suyatna F. D., Purwantyastuti, Nafrialdi.
Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-4. FKUI. Jakarta.
Tjahyo W., Ernawati L., Hanung S. 2002. Budidaya Fitoplankton dan Zooplankton.
Direktorat Jendral Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan:

Proyek Pengembangan Perekayasaan Ekologi Balai Budaya Laut Lampung.

Lampung. hal 30.


Weldy C. S and Huesemann M. 2011. Lipid Production by Dunaliella salina in Batch
Culture: Effects of Nitrogen Limitation and Light Intensity. Science
Undergraduate Laboratory Internship Program at Pacific Northwest National
Lab. (online). http://www.scied.science.doe.gov.
Winarno F. G., Fardiaz D., Fardiaz S.. 1973. Ekstraksi, Kromatografi dan
Elektroforesis. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor.

20

Anda mungkin juga menyukai