Anda di halaman 1dari 23

ASUHAN NEONATUS DENGAN

JEJAS PERSALINAN

A. PENDAHULUAN
Pada saat persalinan, perlukaan atau trauma kelahiran kadang-kadang tidak dapat
dihindarkan dan lebih sering ditemukan pada persalinan yang terganggu oleh salah satu
sebab. Penanganan persalinan secara sempurna dapat mengurangi frekuensi peristiwa
tersebut. Pada Bab ini akan dibahas beberapa jejas persalinan yang terjadi pada neonatus
seperti Kaput Suksedaneum, Sefal Hematoma, trauma pada fleksus brachialis, fraktur
klavikula, dan fraktur humerus.

B. TUJUAN INSTRUKSIONAL
1. Tujuan Instruksional Umum
Untuk mengetahui tentang asuhan neonatus dengan jejas persalinan.
2. Tujuan Instruksional Khusus
a. Untuk mendeskripsikan macam-macam jejas persalinan pada neonatus
b. Untuk mengetahui pengertian dari masing-masing jejas persalinan pada neonatus
c. Untuk mengetahui etiologi dari masing-masing jejas persalinan pada neonatus
d. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari masing-masing jejas persalinan pada
neonatus
e. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari masing-masing jejas persalinan pada
neonatus

C. SUB POKOK BAHASAN


1. Kaput Suksedaneum
2. Sefal Hematoma
3. Trauma Pada Fleksus Brachialis
4. Fraktur Klavikula dan Fraktur Humerus

D. MATERI
1. Kaput Suksedaneum
a. Pengertian
Kaput Suksedaneum adalah pembengkakan difus jaringan lunak kepala, yang
dapat melampaui sutura garis tengah. Kelainan ini akibat sekunder dari tekanan
uterus atau dinding vagina pada kepala bayi sebatas kaput (Saifuddin, Abdul Bari:
2000, Hal.400).
Kaput Suksedaneum adalah benjolan difusi di kepala akibat tekanan yang keras
di kepala saat di jalan lahir dan terjadi pembendungan sirkulasi kapiler dan limfe
yang disertai dengan pengeluaran cairan tubuh ke jaringan ekstra vasa (Khosim, M.
Sholeh: 2003, Hal. 79).
Kaput Suksedaneum:
1) Berisi cairan serum dan sering barcampur sedikit darah.
2) Diluar periosteum hingga dapat melampaui sutura.
3) Sering teraba adanya benjolan mulase di daerah sutura akibat tumpang tindih
tulang kepala di daerah sutura sebagai upaya bayi untuk mengecilkan lingkaran
kepala agar dapat melampaui jalan lahir.
4) Umumnya mulase ditemukan pada sutura sagitalis dan terlihat segera setelah bayi
lahir.
5) Mulase jelas terlihat pada bayi prematur dan akan hilang sendiri dalam 1-2 hari
(Khosim, M. Sholeh: 2003, Hal.79).

b. Etiologi
Kaput Suksedaneum karena tekanan yang keras pada kepala saat di jalan lahir:
1) Partus lama
Proses persalinan yang panjang dan sulit sering menyebabkan pengumpulan
cairan di bawah kulit kepala bayi, sehingga kepala bayi terlihat bengkak atau
edema. Hal ini dapat hilang dalam kurun waktu 1 hari. Benjolan ini tidak
menimbulkan gejala sisa dan dampak perkembangan otak.
2) Partus Obstruksi
3) Persalinan dengan vaccum ekstraksi (Rustam, Mochtar: 1998, Hal. 385).

c. Mekanisme Klinis
Kaput Suksedaneum merupakan benjolan yang difus di kepala, terletak pada
presentasi kepala pada waktu bayi lahir. Kelainan ini timbul akibat tekanan yang
keras pada kepala ketika memasuki jalan lahir hingga tejadi pembendungan sirkulasi
kapiler dan limfe disertai pengeluaran cairan tubuh ke jaringan ekstra vasa. Benjolan
caput berisi cairan serum dan bercampur darah. Secara klinis benjolan ditemukan
pada daerah presentasi lahir pada perabaan teraba benjolan lunak berbatas tidak tegas,
tidak berfluktuasi tetapi bersifat edema tekan. Benjolan terletak di luar periousteum
hingga dapat melampaui sutura. Kulit pada permukaan benjolan sering berwarna
kemerahan atau ungu dan kadang-kadang ditemukan adanya bercak peteki atau
ekimosis.
Kaput Suksedaneum dapat terlihat segera setelah bayi lahir dan akan hilang
sendiri dalam waktu 2-3 hari. Umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus
(Markum, A.H: 1991, Hal.267).

d. Tanda dan Gejala


Kelainan ini sebagai akibat sekunder dari tekanan uterus atau dinding vagina
pada kepala bayi sebatas caput. Keadaan ini dapat pula terjadi pada kelahiran spontan
dan biasanya menghilang dalam 2-3 hari setelah lahir.
Tanda dan gejala:
1) Adanya oedema di kepala
2) Pada perabaan teraba lembut dan lunak.
3) Oedem melampaui sela-sela tulang tengkorak
4) Batas tidak jelas.
5) Biasanya menghilang dalam waktu 2-3 hari tanpa pengobatan
Suction dari vacuum ekstractor dapat menyebabkan bengkak berbentuk lingkaran
dan berwarna ungu “chignon” di atas kulit kepala bayi. Tepi dari kulit kepala dapat
terjadi ekskoriasi dan kulit kepala yang terkoyak, yang manadapat menyebabkan
pengelupasan jaringan. Ketika suction yang berlebihan dihasilkan dari bagian
vacuum atau saat seluruh lingkaran dari kulit kepala dapat terkelupas dari kepala. Hal
ini selalu berbahaya terhadap infeksi. Dimana ada laserasi dan agen antiseptic
diberikan, bedah plastic mungkin diperlukan (Yasmin, Asih: 2000, Hal.57).

e. Implikasi Keperawatan
1) Dapatkan riwayat persalinan dan kelahiran secara menyeluruh untuk
mengidentifikasi setiap masalah.
2) Inspeksi bayi baru lahir dengan ketat selama pengkajian awal bayi baru lahir
terhadap setiap tanda benjolan.
3) Beritahu orang tua bahwa edema akan diabsorbsi secara bertahap dan menghilang
dalam 3 hari (Yasmin, Asih: 2000, Hal.58).

f. Penatalaksanaan
1) Bayi dirawat seperti pada perawatan bayi normal
2) Awasi keadaan umum bayi
3) Lingkungan harus dalam keadaan baik, cukup ventilasi, masuk sinar matahari
4) Pemberian ASI yang adekuat, ajarkan ibu cara menetekkan dengan tiduran untuk
mengurangi anak jangan sering diangkat, agar benjolan tidak meluas
5) Mencegah terjadi infeksi dengan cara :
(a) Perawatan tali pusat dengan baik
(b) Personal hygiene yang baik
6) Memberikan penyuluhan kepada orangtua tentang :
(a) Keadaan trauma pada bayi, tidak usah cemas karena benjolan akan
menghilang 2-3 hari
(b) Perawatan bayi sehari-hari
(c) Manfaat dan cara pemberian ASI
7) Bila kulit kepala terluka dapat terjadi infeksi. Bila hal ini terjadi berikan
antibiotika dan lakukan drainase (Kosim, M. Sholeh: 2003, Hal. 80).

g. Diagnosa Banding
Tabel 8.1. Diagnosa Banding antara Kaput Suksedaneum dan Sefal Hematoma

Kaput
Pembanding Sefal Hematoma
Suksedaneum
Terjadinya karena Oedem Perdarahan
Isinya Getah bening Darah
Batas Pinggir Melampaui sela- Menurut batas pinggir
sela tengkorak tengkorak
Perabaan Lembut Mula-mula keras, lama-
lama teraba alun
Hilangnya 2-3 hari Lama, memakan waktu
berminggu-minggu
(Kosim, M. Sholeh: 2003, Hal. 78-79).

Gambar 8.1 Sefal Hematoma dan Kaput Suksedaneum


Gambar 8.2 Kaput Suksedaneum

2. Sefal Hematoma
a. Definisi
Sefal Hematoma adalah perdarahan yang terjadi di bawah periosteum satu atau
lebih tulang-tulang tengkorak kepala (Oxorn, Harry: 1996, Hal. 48).
Sefal Hematoma adalah pembengkakan pada kepala karena adanya penumpukan
darah yang disebabkan pendarahan subperiosteum akibat robeknya pembuluh darah
yang melintasi tulang kepala ke jaringan periosteum (Kosim, M.Sholeh: 2003, Hal.
79).
Sefal Hematoma adalah pendarahan sub periosteum akibat keruasakan jaringan
periosteum karena tarikan/tekanan jalan lahir dan tidak pernah melampaui batas
sutura garis tengah (Saifuddin, Abdul Bari: 2000, Hal. 400).

b. Etiologi
Sefal Hematoma disebabkan oleh trauma pada tulang kepala, antara lain :
1) Tekanan pada kepala yang lama tehadap serviks, perineum, atau os pubis waktu
persalinan..
2) Kerusakan yang disebabkan oleh daun-daun forcep.
3) Kekuatan tangensial yang menyebabkan pergeseran jaringan lunak kulit kepala
dan laserasi pembuluh-pembuluh darah.
4) Kekuatan vertikal yang menarik kulit kepala dari tulang yang ada di bawahnya.
5) Partus sungsang dengan kesukaran lahir kepala.
6) Rotasi kepala secara manual yang sulit.
7) Kompresi dan relaksasi yang cepat dari kekuatan yang bekerja pada kepala janin.
8) Moulage terlalu keras sehingga selaput tengkorak robek (Oxorn, Harry: 1996,
Hal. 48).

c. Manifestasi Klinis
1) Kulit kepala membengkak dan merah.
2) Biasanya tidak terdeteksi hari ke 2 atau ke 3 oleh garis sutura, biasanya di daerah
parietal.
3) Batas tegas atau jelas dan tidak melampaui sutura.
4) Pada perabaan mula-mula keras lambat laun lunak.
5) Bayi tidak menunjukkan keadaan terganggu.
6) Kadang-kadang terdapat anemia dan ikterus.
7) Fraktur tengkorak jarang dijumpai.
8) Umumnya tidak ditemukan kelainan neurologi.
9) Darah akan diresorbsi dalam waktu 6 – 12 minggu.
10) Bisa terjadi infeksi spontan, tetapi jarang.
11) Klasifikasi bekuan darah bisa terjadi.
12) Insiden lesi yang luas dan bermakna kurang dari 1 persen.
13) Hematoma tetap tidak berubah.
14) Restruksi penumpukan cairan di salah satu area (Oxorn, Harry: 1996, Hal. 48).

d. Klasifikasi
Menurut jaringan yang terkena ada 2 jenis yaitu :
1) Subgaleal
a) Pengertian
Galea merupakan lapiasan aponeurotik yang melekat secara longgar pada sisi
sebelah dalan periosteum. Pembuluh-pembuluh darah vena di daerah ini dapat
tercabik sehingga mengakibatkan hematoma yang berisi sampai sebanyak 250
ml darah. Terjadi anemia dan bisa menjadi shock. Hematoma tidak terbatas
pada suatu daerah tertentu.
b) Penyebab
Perdarahan yang letaknya antara aponeurosis epikranial dan periosteum.
Dapat terjadi setelah tindakan ekstraksi vakum. Jarang terjadi karena
komplikasi tindakan mengambil darah janin untuk pemeriksaan selama
persalinan, risiko terjadinya terutama pada bayi dengan gangguan hemostasis
darah.

c) Gambaran Klinis
Kadang-kadang sukar didiagnosis, karena terdapat edema menyeluruh pada
kulit kepala. Perdarahan biasanya lebih berat dibandingkan dengan
perdarahan subperiostel. Bahaya ikterus lebih besar.
d) Pengobatan
Pengawasan dan pengobatan terhadap kelainan hemostasisnya (Kosim, M.
Sholeh: 2003, Hal.78).
2) Subperiosteal
a) Pengertian
Karena periosteum melekat pada tulang tengkorak di garis-garis sutura, maka
hematoma terbatas pada daerah yang dibatasi oleh sutura-sutura tersebut.
Jumlah darah pada tipe subperiosteal ini lebih sedikit dibandingkan pada tipe
subgaleal. Fraktur tengkorak bisa menyertai.
b) Gambaran Klinis
Kulit kepala membengkak. Biasanya tidak terdeteksi samapai hari ke 2 atau
ke 3. Dapat lebih dari 1 tempat. Perdarahan dibatasi oleh garis sutura,
biasanya di daerah parietal.
c) Perjalanan Klinis dan Diagnosis
Pinggirnya biasanya mengalami klasifikasi. Bagian tengah tetap lunak dan
sedikit darah akan diserap oleh tubuh. Mirip fraktur depresi pada tengkorak.
Kadang-kadang menyebabkan ikterus neonatorum.
d) Pengobatan
Tidak perlu, jangan melakukan aspirasi. Ibu harus diberitahu bahwa akan
memakan waktu sampai beberapa minggu bahkan bulan sampai benjolannya
hilang (Saifuddin, Abdul Bari: 2000, Hal. 400).

e. Penatalaksanaan
1) Keperawatan
Sebagai tenaga kesehatan kita beritahukan Orang Tua bahwa:
a) Sefal Hematoma perlu waktu 6–12 minggu sampai dapat diabsorbsi
seluruhnya.
b) Wasapada karena ikterik dapat berakibat lisisnya darah yang terjebak dalam
ruangan menyebabkan pelepasan bilirubin indirect dalan jumalh besar.
c) Yakinkan ibu bahwa keadaan bayi tidak mengkhawatirkan, Sefal Hematoma
dapat hilang dalam beberapa minggu.
d) Bila kulit kepala terluka, hematoma dapat mengalami infeksi, bila hal ini
terjadi berikan antibiotik dan lakukan drainase dan lakukan pencegahan
infeksi denga cara perawatan tali pyasat dan personal hygiene yang baik.
e) Pemberian ASI yang adekuat, ajari ibu cara meneteki dengan tiduran, lebih
hati-hati dan jangan sering diangkat dari tempat tidur.
f) Lingkungan harus dalan keadaan baik, cukup ventilasi, sinar matahari bisa
masuk.
g) Awasi keadaan umum bayi.
h) Bayi dirawat seperti pada perawatan bayi normal.
i) Apabila bayi tampak kuning, nasehati ibu untuk membawa bayinya kembali.
2) Medik
a) Tindakan spesifik tidak diperlukan, kecuali pengamatan dan perlindungan
kepala terhadap cidera.
b) Pemerikasaan Sinar-X menyingkirkan kemungkinan fraktur.
c) Transfusi darah diberikan jika timbul anemia berat.
d) Aspirasi merupakan kontra indikasi. Tindakan ini akan menimbulkan infeksi.
e) Tindakan pembedahan diperlukan hanya kalau pendarahannya luas dan
berlanjut sehingga hematoma semakin membesar.
f) Pemeriksaan radiologi dilakukan jika ditemukan gejala susunan saraf
pusat/Sefal Hematoma yang besar disertai kesukaran lahir kepala
denagn/tanpa tarikan cunam yang sulit/kurang sempurna. (Kosim, M. Sholeh:
2003. Hal. 80-81).

f. Prognosis
Untuk subperiosteal, bagian tengah tetap lunak dan sedikit demi sedikit darah akan
diserap oleh tubuh. Mirip fraktur depresi pada tengkorak. Kadang-kadang
menyebabakan ikterus neonatorum (Rendle, John: 1994, Hal. )

g. Perbedaan Sefal Hematoma dengan Kaput Suksedaneum


Tabel 8. 2 Perbedaan Cephel Hematoma dengan Kaput Suksedaneum

Sefal Hematoma Kaput Suksedaneum


1) Mungkin belum timbul untuk 1) Sudah ada pada waktu lahir
beberapa jam
2) Lunak, tidak ada lekukan 2) Lunak, ada tekukan bila
ditekan
3) Batas tegasterbatas pada satu 3) Pembengkakan yang merata
tulang, tidak melewati sutura
4) Terbatas pada satu tulang, 4) Terletak diatas sutura dan
tidak melewati sutura melewatinya

5) Tetap di tempatnya semula 5) Bisa berubah-ubah letaknya,


6) Timbul setelah beberapa jam, mencari tempat terendah
bertambah besar untuk 6) Tersebar pada waktu lahir
beberapa lama dan baru dan segera mulai mengecil
hilang setelah berminggu- dan hilang dalam beberapa
minggu atau berbulan-bulan jam
(Saifuddin, Abdul Bari: 2000, Hal. 400)
Gambar 8.3 Perbedaan Kaput Suksedaneum dengan Cephalhematoma

Gambar 8.4 Sefal Hematoma

Gambar 8.5 Sefal Hematoma


3. Trauma Pada Fleksus Brachialis
a. Pengertian
Fleksus brachialis adalah anyaman (latin: fleksus ) serat saraf yang berjalan
dari tulang belakang C4-T1, kemudian melewati bagian leher dan ketiak, dan
akhirnya keseluruh lengan ( atas dan bawah ). Serabut saraf akan didistribusikan
kebeberapa bagian lengan. Jaringan saraf dibentuk oleh cervical yang
bersambuangan dengan dada dan tulang belakang urat dan pengadaan di lengan dan
bagian bahu (Prawirohardjo: 2002, Hal 401-402).

b. Trauma pada Fleksus Brachialis


Proses kelahiran sangat dipengaruhi oleh kehamilan. Dalam  kehamilan yang
tidak ada gangguan, diharapkan kelahiran bayi yang normal, di mana bayi
dilahirkan cukup bulan, pengeluaran dengan tenaga ibu mengedan denga cara tidak
dipaksakan dan kontaraksi kandung ramin tanpa mengalami akfiksi yang berat
maupun trauma lahir seperti trauma pada fleksus brachialis (JHPIEGO: 2008, Hal
73-77).

c. Macam-macam plesksus brachialis yaitu:


1) Paralis wajah dan cedera pleksus brachialis
Cedera pada wajah termasuk memar karena penggunaan forsep atau paralis
wajah yang disebabkan oleh forsep maupun tekanan sakkrum ibu. Tanda-tanda
paralis wajah termasuk wajah asimetris. Salah satu mata mungkin tetap
terbuka. Tindakan kebidanan dapat meliputi konsultasi penggunaan pelindung
mata ( eye patch) dan tetesan mata untuk lubrikasi. Paralis ini bersifat
sementara.
2) Cedera fleksus brachialis dapat terjadi saat prenatal atau selama proses
kelahiran saat traksi digunakan di leher. Cedera tersebut dapat terjadi pada
kelahiran persentasi bokong atau kelahiran yang diperberat distosia bahu. Bahu
baru lahir yang mengalami cedera fleksus brachialis rewel dan merasa nyeri.
Manifentasi cedera bergantung pada radiks saraf yang terkena dan derajat
cedera. Radiks saraf dapat terkena adalah radiks saraf servikal C5 dan
C6( paralis Erb-Duchenne ), radiks C8 dan T1 ( paralis Klumpke ), atau
keduanya (JHPIEGO: 2008, Hal 73-77).
d. Etiologi
Cedera fleksus brachialis sering terjadi dan ditemukan pada hampir 1 dan
biasanya terjadi setelah persalinan yang sulit, namun kadangkala sesudah persalinan
yang tampaknya mudah, bayi baru lahir dengan mengalami kelumpuhan. Paralisis
Dukchenne atau Erb meliputi paralisis mulkulus deltoideus dan infraspinatus
disamping lengan tanpak lemas dan tergantung disisi tubuh, dengan lengan bawah
dalam keadaan ekstensi serta rotasi ke dalam. Fungsi jari-jari tangan biasanya tidak
terganggu (Prawirohardjo: 2002, Hal 401).
Lesi ini terjadi akibat regangan atau robekan pada radiks superior pleksus
brachialis yang mudah mengalami tegangan ekstrim akibat tarikan kepala ke lateral,
sehingga dengan tajam memfleksikan pleksus tersebut kea rah salah satu bahu.
Mengingat traksi dengan arah ini sering dilakukan untuk melahirkan bahu pada
presentasi verteks yang normal, paralisis Erb dapat tejadi pada persalinan yang
tampak mudah. Karena itu, dalam melakukan ekstraksi kedua bahu bayi, kita harus
berhati-hati agar tidak melakukan flaksi lateral leher yang berlebihan. Yang paling
sering terjadi, pada kasus dengan persentasi kepala, janin yang menderita paralisis
ini memiliki ukuran khas abnormal yang besar, yaitu denga berat 4000 gram atau
lebih (Prawirohardjo: 2002, Hal 401).
Pada ekstraksi bokong, kita harus memberikan perhatian terutama untuk
mencegah ekstensi kedua lengan lewat kepala. Lengan yang ektensi bukan saj
memperlambat persalinan bokong namun juga meningkatkan resiko paralisis.
Prognosis keadaan ini biasanya baik bial dilakukan fisioterapi segera dan tepat.
Namun, demikian kadangkala terdapat kasus yag tidak berhasil diatasi dengan
segala tindakan dan lengan bayi mengalami paralisis permanen (Prawirohardjo:
2002, Hal 401).

e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kebidanan meliputi rujukan untuk membebat yang terkena
dekat dengan tubuh dan konsultasi dengan tim pediatrik. Orang tua harus
dianjurkan untuk sebisa mungkin menghindari menyentuh ekstremitas yang tekena
selama minggu pertama karena adanya nyeri. Orang tua dapat diyakinkan bahwa
pada mayoritas kasus, paralisis hilang dalam 3-6 bulan, dengan perbaikan awal
dibuktikan dalam beberapa minggu. Terapi ini bermanfaat setelah pembengkakan
pertama berkurang (JHPIEGO: 2008, Hal 73).

f. Komplikasi
Cedera pada radiks lebih tinggi, yaitu pada pleksus brachialis (C3-C5) dapat
menyebabkan tanda gangguan pernapasan yang signifikan karena paralisis saraf
frenikus dan gangguan diafragma. Bayi baru lahir yang mengalami tipe cedera saraf
ini bernapas sangat dangkal dengan ekskursi pernapasan dan memerlukan dukungan
pernapsan agresif saat lahir (JHPIEGO: 2008, Hal 73).  

Gambar 8.6 Flexus Brachialis


4. Fraktur Klafikula dan Flaktur Humerus
a. Fraktur Klafikula
1) Definisi
Fraktur klavikula (tulang kolar) merupakan cedera yang sering terjadi akibat
jatuh atau hantaman langsung ke bahu. Lebih dari 80% fraktur ini terjadi pada
sepertiga tengah atau proksimal klavikula (JHIPEGO: 2008, Hal 75).

2) Tanda
Klavikula membantu mengangkat bahu ke atas, ke luar, dan ke belakang
thorax. Maka bila klavikula patah, pasien akan terlihat dalam posisi
melindungi-bahu jatuh ke bawah dan mengimobilisasi lengan untuk
menghindari gerakan bahu (JHIPEGO: 2008, Hal 75).

3) Penanganan
Tujuan penanganan adalah menjaga bahu tetap dalam posisi normalnya dengan
cara reduksi tertutup dan imobilisasi. Modifikasi spika bahu (gips klavikula)
atau balutan berbentuk angka delapan atau strap klavikula dapat digunakan
untuk mereduksi fraktur ini, menarik bahu ke belakang, dan mempertahankan
dalam posisi ini. Bila dipergunakan strap klavikula, ketiak harus diberi
bantalan yang memadai untuk mencegah cedera kompresi terhadap pleksus
brakhialis dan arteri aksilaris. Peredaran darah dan saraf kedua lengan harus
dipantau. Fraktur 1/3 distal klavikula tanpa pergeseran dan terpotongnya
ligamen dapat ditangani dengan sling dan pembatasan gerakan lengan. Bila
fraktur 1/3 distal disertai dengan terputusnya ligamen korakoklavikular, akan
terjadi pergeseran, yang harus ditangani dengan reduksi terbuka dan fiksasi
interna (JHIPEGO: 2008, Hal 75-76).

4) Komplikasi
Komplikasi fraktur klavikula meliputi trauma saraf pada pleksus brakhialis,
cedera vena atau arteria subklavia akibat frakmen tulang, dan malunion
(penyimpangan penyatuan). Malunion merupakan masalah kosmetik bila
pasien memakai baju dengan leher rendah (JHIPEGO: 2008, Hal 76).
5) Pendidikan Kesehatan
Pasien diingatkan untuk tidak menaikkan lengan lebih tinggi dari bahu sampai
ujung patahan tulang mengalami penyatuan (sekitar 6 minggu) namun didorong
untuk melakukan latihan siku, pergelangan tangan dan jari-jari untuk mencapai
gerakan bahu yang sempurna. Aktivitas berlebihan harus dibatasi kurang lebih
selama 3 bulan (JHIPEGO: 2008, Hal 76).

Gambar 8.7 Fraktur Kalvikula

b. Fraktur Humerus
1) Pengertian
a) Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan
menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and
Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas
tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari
yang dapat diserap oleh tulang. Pernyataan ini sama yang diterangkan
dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical Surgical Nursing (Lisauer,
Avroy: 2008, Hal 43).
b) Patah Tulang Humerus adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari
tulang humerus yang terbagi atas :
(1) Fraktur Suprakondilar Humerus
(2) Fraktur Interkondiler Humerus
(3) Fraktur Batang Humerus
c) Fraktur Kolum Humerus (Lisauer, Avroy: 2008, Hal 43).

2) Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur:


a) Tipe Ekstensi yaitu trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi,
lengan bawah dalam posisi supinasi.
b) Tipe Fleksi yaitu trauma terjadi ketika siku dalam posisi fleksi, sedang
lengan dalam posisi pronasi (Lisauer, Avroy: 2008, Hal 43-44).

3) Anatomi dan Fisiologi


a) Struktur Tulang
Tulang sangat bermacam-macam baik dalam bentuk ataupun ukuran,
tapi mereka masih punya struktur yang sama. Lapisan yang paling luar
disebut Periosteum dimana terdapat pembuluh darah dan saraf. Lapisan
dibawah periosteum mengikat tulang dengan benang kolagen disebut
benang sharpey, yang masuk ke tulang disebut korteks. Karena itu korteks
sifatnya keras dan tebal sehingga disebut tulang kompak. Korteks tersusun
solid dan sangat kuat yang disusun dalam unit struktural yang disebut
Sistem Haversian. Tiap sistem terdiri atas kanal utama yang disebut Kanal
Haversian (JHPIEGO:2008, Hal 75-76).
Lapisan melingkar dari matriks tulang disebut Lamellae, ruangan
sempit antara lamellae disebut Lakunae (didalamnya terdapat osteosit) dan
Kanalikuli. Tiap sistem kelihatan seperti lingkaran yang menyatu. Kanal
Haversian terdapat sepanjang tulang panjang dan di dalamnya terdapat
pembuluh darah dan saraf yang masuk ke tulang melalui Kanal Volkman.
Pembuluh darah inilah yang mengangkut nutrisi untuk tulang dan
membuang sisa metabolisme keluar tulang. Lapisan tengah tulang
merupakan akhir dari sistem Haversian, yang didalamnya terdapat
Trabekulae (batang) dari tulang.Trabekulae ini terlihat seperti spon tapi
kuat sehingga disebut Tulang Spon yang didalam nya terdapat bone
marrow yang membentuk sel-sel darah merah. Bone Marrow ini terdiri
atas dua macam yaitu bone marrow merah yang memproduksi sel darah
merah melalui proses hematopoiesis dan bone marrow kuning yang terdiri
atas sel-sel lemak dimana jika dalam proses fraktur bisa menyebabkan Fat
Embolism Syndrom (FES) (JHPIEGO:2008, Hal 75-76).
Tulang terdiri dari tiga sel yaitu osteoblast, osteosit, dan osteoklast.
Osteoblast merupakan sel pembentuk tulang yang berada di bawah tulang
baru. Osteosit adalah osteoblast yang ada pada matriks. Sedangkan
osteoklast adalah sel penghancur tulang dengan menyerap kembali sel
tulang yang rusak maupun yang tua. Sel tulang ini diikat oleh elemen-
elemen ekstra seluler yang disebut matriks. Matriks ini dibentuk oleh
benang kolagen, protein, karbohidrat, mineral, dan substansi dasar
(gelatin) yang berfungsi sebagai media dalam difusi nutrisi, oksigen, dan
sampah metabolisme antara tulang daengan pembuluh darah. Selain itu,
didalamnya terkandung garam kalsium organik (kalsium dan fosfat) yang
menyebabkan tulang keras.sedangkan aliran darah dalam tulang antara 200
– 400 ml/ menit melalui proses vaskularisasi tulang (Black,J.M,et al,1993
dan Ignatavicius, Donna. D,1995) (JHPIEGO:2008, Hal 75-76).
b) Tulang Panjang
Adalah tulang yang panjang berbentuk silinder dimana ujungnya
bundar dan sering menahan beban berat (Ignatavicius, Donna. D, 1995).
Tulang panjang terdiriatas epifisis, tulang rawan, diafisis, periosteum, dan
medula tulang. Epifisis (ujung tulang) merupakan tempat menempelnya
tendon dan mempengaruhi kestabilan sendi. Tulang rawan menutupi
seluruh sisi dari ujung tulang dan mempermudah pergerakan, karena
tulang rawan sisinya halus dan licin. Diafisis adalah bagian utama dari
tulang panjang yang memberikan struktural tulang. Metafisis merupakan
bagian yang melebar dari tulang panjang antara epifisis dan diafisis.
Metafisis ini merupakan daerah pertumbuhan tulang selama masa
pertumbuhan (JHPIEGO:2008, Hal 75-76).
c) Tulang Humerus
Tulang humerus terbagi menjadi tiga bagian yaitu kaput (ujung atas),
korpus, dan ujung bawah (JHPIEGO:2008, Hal 75-76).
d) Kaput
Sepertiga dari ujung atas humerus terdiri atas sebuah kepala, yang
membuat sendi dengan rongga glenoid dari skapla dan merupakan bagian
dari banguan sendi bahu. Dibawahnya terdapat bagian yang lebih ramping
disebut leher anatomik. Disebelah luar ujung atas dibawah leher anatomik
terdapat sebuah benjolan, yaitu Tuberositas Mayor dan disebelah depan
terdapat sebuah benjolan lebih kecil yaitu Tuberositas Minor. Diantara
tuberositas terdapat celah bisipital (sulkus intertuberkularis) yang membuat
tendon dari otot bisep. Dibawah tuberositas terdapat leher chirurgis yang
mudah terjadi fraktur (Prawirohardjo: 2002, Hal 403).
e) Korpus
Sebelah atas berbentuk silinder tapi semakin kebawah semakin pipih.
Disebelah lateral batang, tepat diatas pertengahan disebut tuberositas
deltoideus (karena menerima insersi otot deltoid). Sebuah celah benjolan
oblik melintasi sebelah belakang, batang, dari sebelah medial ke sebelah
lateral dan memberi jalan kepada saraf radialis atau saraf muskulo-spiralis
sehingga disebut celah spiralis atau radialis (Prawirohardjo: 2002, Hal
403).
f) Ujung Bawah
Berbentuk lebar dan agak pipih dimana permukaan bawah sendi
dibentuk bersama tulang lengan bawah. Trokhlea yang terlatidak di sisi
sebelah dalam berbentuk gelendong-benang tempat persendian dengan
ulna dan disebelah luar etrdapat kapitulum yang bersendi dengan radius
(Prawirohardjo: 2002, Hal 403).

4) Etiologi
a) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka
dengan garis patah melintang atau miring.
b) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh
dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang
paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan
c) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari
ketiganya, dan penarikan (Prawirohardjo: 2002, Hal 403).

5) Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan
eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka
terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur,
periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan
jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang.
Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai
denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah
putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang
nantinya (Black, J.M, et al, 1993) (Bobac: 2003, Hal 60).
a) Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
(1) Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan
fraktur.
(2) Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya
tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan,
elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
b) Biologi penyembuhan tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain.
Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah
dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang.
Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang (Prawirohardjo: 2002,
Hal 405).

6) Komplikasi Fraktur
a) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi,
CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin
pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting,
perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b) Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut.
Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan
pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan
embebatan yang terlalu kuat.
c) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi
pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang
dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan
tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan
pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam (Prawirohardjo:
2002, Hal 406).

7) Penanganan
Tujuan penanganan adalah menjaga bahu tetap dalam posisi normalnya
dengan cara reduksi tertutup dan imobilisasi. Modifikasi spika bahu (gips
klavikula) atau balutan berbentuk angka delapan atau strap klavikula dapat
digunakan untuk mereduksi fraktur ini, menarik bahu ke belakang, dan
mempertahankan dalam posisi ini. Bila dipergunakan strap klavikula, ketiak
harus diberi bantalan yang memadai untuk mencegah cedera kompresi terhadap
pleksus brakhialis dan arteri aksilaris. Peredaran darah dan saraf kedua lengan
harus dipantau. Fraktur 1/3 distal klavikula tanpa pergeseran dan terpotongnya
ligamen dapat ditangani dengan sling dan pembatasan gerakan lengan. Bila
fraktur 1/3 distal disertai dengan terputusnya ligamen korakoklavikular, akan
terjadi pergeseran, yang harus ditangani dengan reduksi terbuka dan fiksasi
interna (Prawirohardjo: 2002, Hal 407).

Gambar 8.8 Fraktur Humerus

Anda mungkin juga menyukai