Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

MULTIPLE MYELOMA

Disusun Oleh :
Wahyu Ramadhan
1102015246

Pembimbing :
dr. Abdul Waris, Sp. RAD

KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI


PERIODE 2 SEPTEMBER 2019 – 5 OKTOBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSTAS YARSI
RSUD KABUPATEN BEKASI

1
BAB I
PENDAHULUAN

Kelainan sel plasma adalah neoplasma monoklonal yang berkaitan satu


sama lain karena dalam perkembangannya mereka berasal dari progenitor yang
sama dalam turunan limfosit B. Multipel mieloma merupakan salah satu kelainan
sel plasma yang ditandai dengan proliferasi ganas dari sel plasma. Penyakit ini
diakibatkan dari proliferasi sel plasma yang tidak terkendali yang diturunkan dari
penggandaan tunggal. Tumor, yang merupakan hasilnya dan respons dari penjamu
terhadapnya adalah berupa kegagalan fungsi dari sejumlah organ serta gejala nyeri
tulang atau patah tulang, gagal ginjal, mudah terserang anemia, hiperkalsemia,
dan seringkali kelainan pembekuan darah, gejala neurologis, dan manifestasi di
pembuluh darah karena hipervisikositas darah.1
Kerusakan tulang pada multiple myeloma disebabkan oleh peningkatan
aktifitas osteoklas dan penghambatan aktifitas osteoblas akibat sekresi berbagai
faktor hormon oleh sel mieloma sehingga memicu kedua keadaan tersebut.2
Peningkatan aktifitas osteoklas dan penurunan aktifitas osteoblas ini
mengakibatkan destruksi tulang berbentuk lesi litik dengan batas tegas tanpa
sklerotik di tepinya, dengan ukuran hampir seragam dan memberikan gambaran
“punch out”. Lesi litik yang terjadi pada pasien multiple myeloma mencapai 70-
80% dan sering berkaitan dengan nyeri tulang dan fraktur.3
Berbagai modalitas radiologi dapat dipergunakan untuk mendeteksi
keterlibatan tulang yang terjadi pada multiple myeloma, yaitu bone survey,
computed tomography (CT), magnetic resonance imaging (MRI), dan positron
emission tomography (PET). Masing-masing modalitas ini memiliki keunggulan
dan kekurangan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Multiple myeloma adalah keganasan sel B dari sel plasma yang
memproduksi protein imunoglobulin monoklonal. Hal ini ditandai dengan adanya
proliferasi clone dari sel plasma yang ganas pada sumsum tulang, protein
monoklonal pada darah atau urin, dan berkaitan dengan disfungsi organ.
Proliferasi berlebihan dalam sumsum tulang menyebabkan matriks tulang
terdestruksi dan produksi imunoglobulin abnormal dalam jumlah besar, dan
melalui berbagai mekanisme menimbulkan gejala dan tanda klinis.4
Setelah sumsum tulang banyak terkonsentrasi oleh sel plasma ganas, sel
normal sumsum tulang terdepresi, sel hemopoietik normal terdestruksi, akhirnya
sumsum tulang mengalami kegagalantotal, destruksi matriks tulang menimbulkan
osteosklerosis, lesi osteolitik, fraktur patologis, dan nyeri turang. Dalam serum
muncul sejumlah besar protein monoklonal atau subunit rantai polipeptida produk
dari proliferasi sel plasma monoklonal, sedangkan imunoglobulin normal
berkurang.5

2.2 Epidemiologi
Insidensi mieloma meningkat seiring dengan pertambahan usia. Angka
tengah (median) usia pada waktu diagnosis adalah 68 tahun. Jarang terdapat di
bawah usia 40 tahun. Angka kejadian dalam satu tahun adalah sekitar 4 per
100.000 orang dan tampaknya sama pada semua negara di seluruh dunia. Laki-
laki sedikit lebih sering terkena daripada perempuan dengan insidensi 1,4 : 1, dan
orang kulit hitam hampir dua kali lebih sering terkena daripada orang kulit putih,
sementara insiden pada orang Asia lebih rendah dibandingkan kelompok kulit
putih dan orang kulit hitam. Risiko terjadi multipel mieloma hampir 3,7 kali lipat
pada orang yang merupakan keturunan pertama penderita multipel mieloma.1
Prevalensi multipel mieloma sekitar 1% dari semua jenis kanker dan 10%
dari semua jenis keganasan hematologik. Setiap tahun lebih dari 30.000 kasus
baru didiagnosis di Amerika Serikat, dan kurang lebih 10.580 penduduk amerika
(5.640 laki-laki dan 4.940 wanita) diperkirakan telah meninggal karena multipel

2
mieloma pada tahun 2008. Di Jerman ada sekitar 6500 kasus baru multipel
myeloma setiap tahun dan merupakan penyakit paling sering ketiga pada kelainan
darah setelah leukemia dan limfoma non hodgkin.6,7
Berdasarkan data registrasi dari Rumah Sakit Kanker Dharmais terjadi
peningkatan kasus multiple myeloma setiap tahunnya, dilaporkan tahun 2011
terdapat 19 kasus sedangkan tahun 2012 meningkat mencapai 23 kasus.8

2.3 Etiologi
Penyebab mieloma tidak diketahui. Mieloma ditemukan meningkat pada
mereka yang terpajan radiasi nuklir 20 tahun setelah Perang Dunia ke II. Tidak
ada bukti langsung yang menunjukkan adanya onkogenik dalam mieloma pada
manusia. Berbeda dari tumor sel B lainnya, perubahan-perubahan kromosom yang
tetap tidak ditemukan pada pasien dengan mieloma. Rangsangan kronik antigen
dapat memegang dalam transformasi penggandaan tunggal sel B. Mieloma lebih
banyak terjadi dari yang diperkirakan pada para petani, pekerja kayu, dan mereka
yang terpajan dengan hasil dari petroleum.1
Timbulnya neoplasma pada pasien mieloma melibatkan sel yang lebih
muda pada proses diferensiasi sel B daripada yang terjadi pada sel plasma. Sel B
yang beredar membawa imunoglobulin permukaan yang mengandung idiotope
komponen M yang terdapat dalam plasma pasien mieloma. Penggandaan
keganasan melampaui mekanisme kontrol pada tahap diferensiasi sel pra-plasma
dan pajanan kronik terhadap rangsangan antigen mendorong sel menuju
diferensiasi akhir. Dalam sebagian besar kasus, masih sulit dibedakan antara
penyakit sel plasma jinak dan ganas berdasarkan kriteria morfologis saja. 1

2.4 Anatomi dan Fisiologi


Lokasi predominan multiple myeloma mencakup tulang-tulang seperti
vertebra, tulang iga, tengkorak, pelvis, dan femur. Awal dari pembentukan tulang
terjadi di bagian tengah dari suatu tulang.Bagian ini disebut pusat-pusat
penulangan primer. Sesudah itu tampak pada satu atau kedua ujung-ujungnya
yang disebut pusat-pusat penulangan sekunder. Bagian-bagian dari perkembangan
tulang panjang adalah sebagai berikut:9

3
1. Diafisis
Diafisis merupakan bagian dari tulang panjang yang dibentuk oleh pusat
penulangan primer, dan merupakan korpus dari tulang.
2. Metafisis
Metafisis merupakan bagian tulang yang melebar di dekat ujung akhir
batang (diafisis).
3. Lempeng epifisis
Lempeng epifisis adalah daerah pertumbuhan longitudinal pada
anakanak, yang akan menghilang pada tulang dewasa.
4. Epifisis
Epifisis dibentuk oleh pusat-pusat penulangan sekunder.

Gambar 1. Perkembangan tulang panjang


Kebanyakan sel-sel darah normal berkembang dari sel-sel dalam sumsum
tulang yang disebut sel-sel induk (stem cells). Sumsum tulang adalah materi yang
lunak di pusat dari kebanyakan tulang-tulang. Stem cells menjadi dewasa ke
dalam tipe-tipe yang berbeda dari sel-sel darah dan setiap tipe mempunyai
pekerjaan khusus. 9
Pada kanker, sel-sel baru terbentuk ketika tubuh tidak memerlukan sel-sel
baru, dan sel-sel yang tua atau rusak tidak mati ketika mereka harus mati. Sel-sel
ekstra ini dapat membentuk massa dari jaringan yang disebut pertumbuhan atau
tumor. Multiple myeloma terbentuk ketika sel plasma menjadi abnormal. Sel yang
abnormal membelah untuk membuat salinan-salinan dari dirinya sendiri. Sel-sel

4
yang baru membelah berulang-ulang, membuat semakin banyak sel-sel abnormal.
Sel-sel plasma abnormal ini disebut sel-sel multiple myeloma. Pada waktunya,
sel-sel multiple myeloma berkumpul dalam sumsum tulang. Mereka mungkin
merusak bagian yang padat dari tulang. Sel-sel myeloma membuat antibodi-
antibodi yang disebut protein-protein M dan protein-protein lain. Protein-protein
ini dapat berkumpul dalam darah, urin, dan organ-organ. 9

2.5 Patofisiologi
Pada MM terjadi kerusakan genetik dari perkembangan limfosit B pada
saat perubahan isotipe, sehingga terjadi perubahan bentuk sel plasma normal
menjadi sel MM yang ganas. Sel-sel ini berasal dari klonal tunggal,
bermultiplikasi dalam sumsum tulang dan mengerumuni sel-sel normal sumsum
tulang kemudian memproduksi sejumlah besar imunoglobulin monoklonal (M).
Sel-sel plasma ganas ini menstimulasi osteoklast yang menyebabkan resorpsi dan
menghambat osteoblas (yang fungsinya membentuk tulang baru) dan
menyebabkan lesi-lesi lisis tulang. Lesi ini merupakan tanda khas MM dan
hiperkalsemia diduga terjadi karena peningkatan aktifitas osteoklas.10
Patogenetik awal dalam perkembangan myeloma adalah terbatasnya
jumlah klonal sel plasma dan secara klinik dikenal dengan Monoclonal
Gammopathy Of Undetermined Significance (MGUS), yang ditandai dengan level
serum M protein < 3 gram/dl, klonal sel plasma dalam sumsum tulang < 10% dan
tidak ada kelainan sel B, tidak ada kerusakan organ tapi mempunyai risiko 1%
pertahun progresif menjadi MM. MGUS bukan merupakan suatu keganasan tapi
diperkirakan merupakan prekursor untuk MM, berkembang sampai mencapai
20% individu.10
Setelah terjadi perubahan kelas imunoglobulin, sel-sel myeloma dari
kelenjar limfe kembali ke sumsum tulang, terjadilah pertumbuhan, sehingga tidak
terjadi apoptosis sel myeloma. Perlekatan sel myeloma pada sel-sel stroma dalam
sumsum tulang akan menginduksi produk sitokin dan protein inflamasi, sebagian
dikenal sebagai osteoclast activating factors (OAFs) yang termasuk didalamnya
adalah interleukin (IL)-6, IL-1, tumor necrosis factor (TNF), IL-11, macrophage
inflammatory protein-1 (MIP-1), hepatocyte growth factor (HGF) dan

5
parathyroid hormone-related peptide (PTHrP), jalur sitokin ini bertanggungjawab
baik pada stimulasi osteoklas dan hambatan terhadap osteoblas.11
Osteoclast activating factors (OAF) seperti IL1-β, limfotoksin dan tumor
necrosis factor (TNF) bertanggung jawab atas osteolisis dan osteoporosis yang
demikian khas untuk penyakit ini. Karena kelainan tersebut pada penyakit ini
dapat terjadi fraktur (mikro) yang menyebabkan nyeri tulang, hiperkalsemia dan
hiperkalsiuria. Konsentrasi imunoglobulin normal dalam serum yang sering
sangat menurun dan fungsi sumsum tulang yang menurun dan neutropenia yang
kadang-kadang ada menyebabkan kenaikan kerentanan terhadap infeksi. 11

2.6 Manifestasi Klinis


Myeloma dibagi menjadi asimptomatik myeloma dan simptomatik atau
myeloma aktif, bergantung pada ada atau tidaknya organ yang berhubungan
dengan myeloma atau disfungsi jaringan, termasuk hiperkalsemia, insufisiensi
renal, anemia, dan penyakit tulang. Gejala yang umum pada multiple myeloma
adalah lemah, nyeri pada tulang dengan atau tanpa fraktur ataupun infeksi.
Anemia terjadi pada sekitar 73% pasien yang terdiagnosis. Lesi tulang
berkembang pada kebanyakan 80% pasien. Pada suatu penelitian, dilaporkan 58%
pasien dengan nyeri tulang. Kerusakan ginjal terjadi pada 20 sampai 40% pasien.4
Fraktur patologis sering ditemukan pada multiple myeloma seperti fraktur
kompresi vertebra dan juga fraktur tulang panjang (contoh: femur proksimal).
Gejala-gejala yang dapat dipertimbangkan kompresi vertebra berupa nyeri
punggung, kelemahan, mati rasa, atau disestesia pada ekstremitas. Imunitas
humoral yang abnormal dan leukopenia dapat berdampak pada infeksi yang
melibatkan infeksi seperti gram-positive organisme (eg, Streptococcus
pneumoniae, Staphylococcus aureus) dan Haemophilus influenzae. Kadang
ditemukan pasien datang dengan keluhan perdarahan yang diakibatkan oleh
trombositopenia. Gejala-gejala hiperkalsemia berupa somnolen, nyeri tulang,
konstipasi, nausea, dan rasa haus.12

2.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding

6
Diagnosis multiple myeloma dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan patologi
anatomi. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan :13
 Pucat yang disebabkan oleh anemia
 Ekimosis atau purpura sebagai tanda dari thrombositopeni
 Gambaran neurologis seperti perubahan tingkat sensori , lemah, atau
carpal tunnel syndrome.
 Amiloidosis dapat ditemukan pada pasien multiple myeloma seperti
makroglossia dan carpal tunnel syndrome.
 Gangguan fungsi organ visceral seperti ginjal, hati, otak, limpa akibat
infiltrasi sel plasma (jarang).
Pada pemeriksaan laboratorium pasien dengan multiple myeloma, secara
khas pada pemeriksaan urin rutin dapat ditemukan adanya proteinuria Bence
Jones. Dan pada apusan darah tepi, didapatkan adanya formasi Rouleaux. Selain
itu pada pemeriksaan darah rutin, anemia normositik normokrom ditemukan pada
hampir 80% kasus. Jumlah leukosit umumnya normal, namun dapat juga
ditemukan pancytopenia, koagulasi yang abnormal dan peningkatan LED.14
Pada pemeriksaan patologi anatomi pasien dengan multiple myeloma,
didapatkan sel plasma berproliferasi di dalam sumsum tulang. Sel-sel plasma
memiliki ukuran yang lebih besar 2 – 3 kali dari limfosit, dengan nuklei eksentrik
licin (bulat atau oval) pada kontur dan memiliki halo perinuklear. Sitoplasma
bersifat basofilik.14

7
Gambar 2. Aspirasi sumsum tulang memperlihatkan sel-sel plasma multiple
myeloma. Tampak sitoplasma berwarna biru, nukleus eksentrik, dan zona pucat
perinuclear (halo).
Kriteria minimal untuk menegakkan diagnosis multiple myeloma pada
pasien yang memiliki gambaran klinis multiple myeloma dan penyakit jaringan
konektif, metastasis kanker, limfoma, leukemia, dan infeksi kronis telah
dieksklusi adalah sumsum tulang dengan >10% sel plasma atau plasmasitoma
dengan salah satu dari kriteria berikut :13
 Protein monoclonal serum (biasanya >3g/dL)
 Protein monoclonal urine
 Lesi litik pada tulang
Keadaan yang dapat menjadi diagnosis banding multiple myeloma berupa
metastasis tumor ke tulang. Delapan puluh persen penyebaran tumor ganas ke
tulang disebabkan oleh keganasan primer payudara, paru, prostat, ginjal dan
kelenjar gondok. Penyebaran ini ternyata ditemukan lebih banyak di tulang skelet
daripada ekstremitas. Bone Survey atau pemeriksaan tulang-tulang secara
radiografik konvensional adalah pemeriksaan semua tulang-tulang yang paling
sering dikenai lesi-lesi metastatik yaitu skelet ekstremitas bagian proksimal.
Sangat jarang lesi megenai sebelah distal siku atau lutut. Bila ada lesi pada bagian
tersebut harus dipikirkan kemungkinan multiple myeloma.
Gambaran radiologik dari metastasis tulang terkadang bisa memberi
petunjuk dari mana asal tumor. Sebagian besar proses metastasis memberikan
gambaran “lytic” yaitu bayangan radiolusen pada tulang. Sedangkan gambaran
"blastic" adalah apabila kita temukan lesi dengan densitas yang lebih tinggi dari
tulang sendiri. Keadaan yang lebih jarang ini kita temukan pada metastasis dari
tumor primer seperti prostat, payudara, lebih jarang pada karsinoma kolon, paru,
pankreas. Sedangkan pada multiple myeloma ditemukan gambaran lesi litik
multiple berbatas tegas, punch out, dan bulat. Selain gambaran radiologik,
ditemukannya proteinuri Bence Jones pada pemeriksaan urin rutin dapat
menyingkirkan adanya metastasis tumor ke tulang.

2.8 Aspek Radiologi

8
Berbagai modalitas radiologi dapat dipergunakan untuk mendeteksi
keterlibatan tulang yang terjadi pada multiple myeloma, yaitu foto polos x-ray,
Computed Tomography (CT), Magnetic Resonance Imaging (MRI), dan Positron
Emission Tomography (PET).
1. Foto polos x-ray
Gambaran foto x-ray dari multiple myeloma berupa lesi litik multiple,
berbatas tegas, punch out, dan bulat pada calvaria, vertebra, dan pelvis.
Lesi terdapat dalam ukuran yang hampir sama. Lesi lokal ini umumnya
berawal di rongga medula, mengikis tulang, dan secara progresif
menghancurkan tulang kortikal. Sebagai tambahan, tulang pada pasien
myeloma, dengan sedikit pengecualian, mengalami demineralisasi difus.
Pada beberapa pasien, ditemukan gambaran osteopenia difus pada
pemeriksaan radiologi. 20% penderita menunjukkan gambaran radiologi
yang normal.15,16
Saat timbul gejala sekitar 80-90% di antaranya telah mengalami
kelainan tulang. Film polos memperlihatkan :
 Osteoporosis umum dengan penonjolan pada trabekular tulang,
terutama vertebra yang disebabkan oleh keterlibatan sumsum pada
jaringan myeloma. Hilangnya densitas vertebra mungkin
merupakan tanda radiologis satu-satunya pada myeloma multiple.
Fraktur patologis sering dijumpai.
 Fraktur kompresi pada corpus vertebra, tidak dapat dibedakan
dengan osteoprosis senilis.
 Lesi-lesi litik “punch out lesion” yang menyebar dengan batas
yang jelas, lesi yang berada di dekat korteks menghasilkan internal
scalloping.
 Ekspansi tulang dengan perluasan melewati korteks, menghasilkan
massa jaringan lunak. Walaupun semua tulang dapat terkena,
distribusi berikut ditemukan pada suatu penelitian yang melibatkan
banyak kasus: kolumna vertebra 66%, costa 44%, calvaria 41%,
pelvis 28%, femur 24%, clavicula 10% dan scapula 10%.16

9
Gambar 3. Foto skull lateral yang menggambarkan sejumlah lesi litik
“punch out lesion” yang khas pada calvaria, yang merupakan karakteristik
dari gambaran multiple myeloma.

Gambar 4. Foto pelvis menunjukkan adanya lesi litik di ilium kiri, dan lesi litik
yang banyak sepanjang tulang femur sesuai dengan gambaran multiple myeloma

10
Gambar 5. Lateral radiografi tulang belakang. Menunjukkan lesi litik destruktif
pada vertebra yang dihasilkan dari suatu plasmacytoma

Gambar 6. Foto femur menunjukkan adanya endosteal scalloping (erosi pada


korteks interna) pada pasien multiple myeloma

11
2. CT
CT Scan menggambarkan keterlibatan tulang pada myeloma serta menilai
resiko fraktur pada tulang yang kerusakannya sudah berat. Diffuse
osteopenia dapat memberi kesan adanya keterlibatan myelomatous
sebelum lesi litik sendiri terlihat. Pada pemeriksaan ini juga dapat
ditemukan gambaran sumsum tulang yang tergantikan oleh sel tumor,
osseous lisis, destruksi trabekular dan korteks. Namun, pada umumnya
tidak dilakukan pemeriksaan kecuali jika adanya lesi fokal.17

Gambar 7. Demineralisasi difus dan lesi litik yang terlihat pada hampir
seluruh dada, konsisten dengan multipel myeloma. Kompresi dari vertebra
T9 dengan deformitas.

12
Gambar 8. CT Scan sagital T1 – gambaran weighted pada vertebra
lumbalis menunjukkan adanya infiltrasi difus sumsum yang disebabkan
oleh multiple myeloma.

Gambar 9. Lytic expansile mass dari C5. Pada CT Scan tranversal C5


menunjukkan adanya perluasan massa jaringan lunak (expansile soft-tissue
mass) pada sepanjang sisi kanan Vertebra Cervikal 5 dengan kerusakan
tulang terkait.

13
3. MRI
MRI potensial digunakan pada multiple myeloma karena modalitas ini
baik untuk resolusi jaringan lunak. Secara khusus, gambaran MRI pada
deposit myeloma berupa suatu intensitas bulat , sinyal rendah yang fokus
di gambaran T1, yang menjadi intensitas sinyal tinggi pada sekuensi T2.
Namun, hampir setiap tumor muskuloskeletal memiliki intensitas
dan pola menyerupai myeloma. MRI meskipun sensitif terhadap adanya
penyakit namun tidak spesifik. Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis
multiple myeloma seperti pengukuran nilai gamma globulin dan aspirasi
langsung sumsum tulang untuk menilai plasmasitosis. Pada pasien dengan
lesi ekstraosseus, MRI dapat berguna untuk menentukan tingkat
keterlibatan dan untuk mengevaluasi kompresi tulang.15,16,17

Gambar 10. Foto potongan sagital T1 weighted-MRI pada lumbar-sakral


memperlihatkan adanya diffusely mottled marrow yang menunjukkan
adanya diffuse involvement pada sumsum tulang dengan multiple
myeloma. Juga didapatkan gambaran fraktur kompresi pada seluruh
vertebra yang tervisualisasi. Pada V-T10 terdapat adanya focal mass-like
lesion yang menunjukkan suatu plasmacytoma.

14
Gambar 11. (A) Foto polos lateral view vertebra lumbal memperlihatkan
beberapa lesi litik, salah satunya di L5 (panah) (B) MDCT terlihat lesi
yang sama pada foto polos di L5 (panah) (C) MRI T1-weigted potongan
sagital terlihat signal homogen pada L5 tanpa lesi fokal

4. Radiologi Nuklir
Myeloma merupakan penyakit yang menyebabkan overaktifitas pada
osteoklas. Scan tulang radiologi nuklir mengandalkan aktifitas osteoblastik
(formasi tulang) pada penyakit dan belum digunakan rutin, pemeriksaan
ini menggunakan radiofarmaka Tc-99m senyawa kompleks fosfat yang
diinjeksikan secara intravena. Tingkat false negatif skintigrafi tulang untuk
mendiagnosis multiple myeloma tinggi. Scan dapat positif pada radiograf
normal, membutuhkan pemeriksaan lain untuk konfirmasi.18

15
Gambar 12. FDG PET scan pada pasien multiple myeloma dengan difuse
yang berat disertai focal disease
5. Angiografi
Gambaran angiografi tidak spesifik. Tumor dapat memiliki zona
perifer dari peningkatan vaskularisasi. Secara umum, teknik ini tidak
digunakan untuk mendiagnosis multiple myeloma.19

2.8.1 Gambaran radiologi multiple myeloma


Terdapat empat macam gambaran radiologis mieloma multipel yaitu lesi
tunggal (plasmasitoma), keterlibatan tulang yang difus (mielomatosis),
osteopenia/ osteoporosis difus, dan sklerotik.20,21
1. Lesi litik
Lesi litik pada pasien mieloma multipel mencapai 70-80%. Lesi ini
merupakan hallmark pada mieloma multipel dan tanda keganasan
aktif. Lesi litik pada mieloma dapat memperlihatkan lesi litik tunggal
ataupun difus. Lesi litik tunggal (plasmacytoma) murni tanpa reaksi
sklerosis, kadang-kadang berupa lesi litik mouth-eaten atau permeative
dan ekspansil. Paling sering dijumpai pada igae atau pelvis, namun
dapat juga ditemukan pada tulang panjang.14

16
Lesi litik difus (Mielomatosis) paling sering ditemukan pada vertebra
dan kalvaria, berupa lesi litik multipel, bentuk elips, batas tegas
dengan ukuran yang hampir sama . Pola destruksi dapat geografis,
moth-eaten ataupun permeatif. Pada kalvaria, karakteristiknya berupa
area detruksi tulang berbentuk bulat “punched- out” dengan ukuran
hampir seragam. Area destruksi pada iga berbentuk seperti renda dan
lesi litik kecil dapat disertai massa jaringan lunak sedangkan di tulang
pipih ataupun tulang panjang, dijumpai endosteal scalloping tanpa
reaksi periosteal.14,21
Lesi litik pada mieloma multipel disebabkan karena peningkatan
osteoklas yang mengakibatkan destruksi tulang dengan batas tegas dan
litik, hal ini juga yang membedakannya dengan metastasis tulang.
Metastasis tulang selain menghasilkan faktor yang memicu osteoklas
tetapi cenderung memicu reaksi tulang sehingga mengakibatkan
kerusakan tulang yang ireguler dan ragged. Perbedaan lain yaitu
mieloma dapat mengenai diskus intervertebralis tetapi jarang terjadi
pada metastasis tulang dan metastasis selalu mengenai pedikel tapi
jarang pada mieloma.21

2. Osteoporosis
Osteoporosis umumnya ditemukan pada vertebra dan dapat disertai
dengan fraktur kompresi. Semakin tinggi derajat osteoporosis maka
akan semakin tinggi kemungkinan dan jumlah fraktur kompresi.
Gambaran utama osteoporosis pada radiografi adalah peningkatan
radiolusensi dan penipisan korteks. Radiolusensi yang bertambah
disebabkan oleh resorpsi dan penipisan ataupun hilangnya trabekula
sedangkan penipisan korteks merupakan hasil dari resorpsi osseus
korteks.22
Ada beberapa metode yang digunakan untuk menilai osteoporosis
ini yaitu indeks Saville dan indeks Singh. Indeks Saville di gunakan
untuk penilaian osteoporosis pada korpus vertebra. Ada 4 derajat
osteoporosis pada indeks ini yaitu:

17
Derajat 1: densitas tulang sedikit menurun dengan endplate terlihat
prominen.
Derajat 2: garis vertikal pada korpus terlihat jelas dengan endplate
menipis.
Derajat 3 : lebih berat dari tahap 2, endplate tidak terlihat jelas
Derajat 4: korpus vertebra terlihat seperti gambaran hantu, densitas
hampir sama dengan jaringan lunak sekitar, tidak terlihat pola
trabekular.22
Pada tahun 1972, indeks Singh digunakan untuk mendiagnosis
osteoporosis berdasarkan asumsi bahwa trabekula di femur proksimal
akan hilang secara berurutan sesuai ketebalan aslinya. Para peneliti
mengatakan ketebalan dan ruang trabekula pada berbagai kelompok
trajektorial tergantung pada intensitas tekanan pada trabekula ini, dan
dengan bertambah hilangnya massa tulang maka hanya trabekula yang
terlihat pada radiografi. Terdapat 6 tahapan gambaran trabekula pada
proksimal femur, semakin berkurang trabekula maka semakin tinggi
derajat osteoporosisnya.23 Tahap-tahap tersebut adalah:
Tahap 6: Semua kelompok trabekular normal terlihat dan tulang femur
proksimal sepenuhnya tampak ditempati oleh tulang cancellous.
Tahap 5: Struktur utama trabekular tensil dan trabekular tekan terlihat.
Segitiga Ward terlihat menonjol.
Tahap 4: Trabekula tensil utama berkurang jumlahnya namun masih
bisa ditelusuri dari korteks lateral ke bagian atas kolum femur
Tahap 3: Terdapat diskontinuitas dari trabekula tensil utama
Tahap 2: Hanya trabekula tekan utama yang jelas terlihat, trabekula
yang lain kurang lengkap atau sedikit diserap.
Tahap 1: Trabekula tekan utama berkurang jumlahnya dan tidak lagi
terlihat prominen.21

3. Lesi blastik (sklerotik)

Sclerosing mieloma memberikan gambaran lesi litik-blastik dengan


tepi sklerotik, ditemukan terutama pada sindroma POEMS

18
(Polineuropati, organomegali, endokrinopati, M protein dan
perubahan kulit). Lesi sklerotik sangat jarang dijumpai pada
mieloma yaitu kurang dari 1%. Selain ditemukan adanya lesi
litik, blastik dan osteoporosis sering ditemukan fraktur pada
vertebra maupun tulang panjang, fraktur ini merupakan fraktur
patologis.24

4. Fraktur patologis
Fraktur adalah suatu disrupsi kontinuitas pada tulang, bisa komplit
maupun tidak komplit. Fraktur patologis merupakan suatu fraktur yang
terjadi pada tulang yang abnormal. Kelainan tulang dapat disebabkan
oleh penyakit metabolik (misalnya osteoporosis, osteomalasia, atau?.\
penyakit Paget, lesi jinak, sarkoma, limfoma, metastasis dan
mieloma.24
Pasien mieloma multipel dengan osteoporosis memiliki
kecendrungan terjadi fraktur dua kali lipat dibandingkan yang tidak
disertai osteopororis. Ditemukan fraktur kompresi berkorelasi dengan
derajat osteoporosis, semakin tinggi derajat osteoporosis maka
semakin tinggi pula fraktur yang terjadi. Fraktur secara umum
merupakan wedge fracture ketika ketinggian korpus sisi anterior
berkurang dibanding sisi posterior, endplate fracture ketika ketinggian
korpus bagian tengah berkurang dibandingkan sisi posterior dan crush
fracture ketika semua ketinggian korpus vertebra berkurang
dibandingkan korpus vertebra terdekat. 25 Suatu metode yang
digunakan untuk menentukan fraktur kompresi yaitu metode Genant.
Genant et al, membagi fraktur kompresi menjadi 4 tahap yaitu :
Tahap 0: tidak ditemukan fraktur kompresi
Tahap 1: fraktur ringan ( 20%-25% penurunan ketinggian korpus)
Tahap 2: fraktur sedang (25%-40% penurunan ketinggian korpus)
Tahap 3: fraktur berat ( penurunan ketinggian komparatif > 40%).
Prediksi terjadi fraktur pada destruki tulang yang disebabkan oleh
metastastasis ataupun mieloma sangat penting dalam rangka edukasi

19
kepada pasien. Indikasi klasik untuk impending fraktur patologis yaitu
lebih dari setengah lebar tulang mengalami destruksi, ukuran destruksi
tulang > 2.5 cm, avulsi dari trokanter minor dan nyeri yang tidak
berkurang dengan radioterapi. 25

2.9 Pengobatan
Penentuan pengobatan multiple myeloma tergantung pada kriteria diagnostik,
stratifikasi dan gejala awal, pada penderita yang asimtomatik tidak memerlukan
pengobatan, karena pengobatan tidak akan memberikan hasil klinik yang
menguntungkan, tetapi pada penderita tersebut harus dimonitor untuk
progresivitas penyakitnya, dengan mengevaluasi tiap 3 – 6 bulan.1,8,19 Pada
penderita yang simtomatik membutuhkan pengobatan yang berupa transplantasi
sumsum tulang Hemotopoietic Stem Cell Transplantation (HSCT) dan
kemoterapi.7
Selama lebih dari 35 tahun pengobatan standar multiple myeloma pada
penderita yang baru terdiagnosa adalah mephalan dan prednison yang
menghasilkan respon rate 50% tapi complete response rate kurang dari 10%.
Dengan pengobatan mephalan-prednisone (MP) angka rata-rata hidup kurang
lebih 3 tahun, dengan HSCT menjadi 5 tahun.5,20-23 Regimen kemoterapi yang
lain seperti VBMCP (vincristine, carmustine, mephalan, cyclophosphamide,
prednisone) dan VAD (vincristin, doxorubisin, dexamethasone) menunjukan
respon rate yang lebih tinggi yaitu 60 – 70%, tapi angka harapan hidup tidak jauh
beda dengan MP. 7
Terapi dosis tinggi yang diikuti dengan autologous stem cell
transplantation telah menghasilkan peningkatan respon dan angka harapan hidup
pada penderita yang baru terdiagnosa, dimana hasilnya mencapai 75 – 90%
respon rate dan complete respon rate 20 – 40%. Pendekatan ini diterapkan pada
penderita dengan usia < 65 tahun dengan performance status yang baik. 7
Ada 2 tipe transplantasi sel sumsum tulang yaitu autologous dan
allogeneic. Autologous stem cell transplant menggunakan sel sumsum tulang
penderita sendiri, cukup aman dan risiko rendah untuk timbulnya komplikasi
serius. Allogeneic stem cell transplantation berasal dari orang lain yang

20
merupakan saudara sekandung seperti saudara perempuan atau laki. Selain itu ada
yang disebut dengan tandem (double) autologous stem cell transplantation yaitu
penderita mendapat 2 x transplant autologous dengan jangka waktu 6 – 12 bulan
setelah transplantasi yang pertama, akan tetapi mempunyai efek samping yang
banyak. 7
Pada saat ini pendekatan pengobatan untuk penderita yang baru
terdiagnosa MM dipandu sebagai penderita yang merupakan calon untuk
autologous haematopoetic stem cell transplantation. Kebanyakan senter di
Australia biasanya akan mempertimbangkan untuk transplantasi pada penderita ≤
65 tahun tergantung pada kesehatan secara umum. Autologous stem cell
transplantation untuk MM mempunyai mortalitas 1 – 2%.7
Pada saat ini telah didapatkan data-data yang mendukung adanya
perbaikan dalam harapan hidup dari beberapa obat imunomodulator baru yang
diperkenalkan yakni thalidomide, lenalidomide dan penghambat enzim proteasom
yaitu bortezomib yang dikombinasi dengan obat lama. Masing-masing obat-obat
ini mempunyai banyak mekanisme kerja, dengan target baik melalui intraselular
akses maupun lingkungan sekitar tumor. 7

2.10 Prognosis
Harapan hidup berkisar dari beberapa bulan hingga lebih dari 10 tahun.
Prognosis dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu massa tumor, Bence Jones
proteinuria, hiperkalsemia, dan gagal ginjal. Pengobatan konvensional memiliki
harapan hidup sekitar tiga tahun sedangkan dengan transplantasi stem cell dan
kemoterapi dosis tinggi harapan hidup 5 tahun lebih dari 50%. Lima tahun angka
harapan hidup pada multipel mieloma sekitar 45%, harapan hidup lebih tinggi
pada penderita usia muda dan harapan hidup yang lebih rendah pada penderita
usia lanjut.26

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Isselbacher dkk. 2012. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam,


Alih bahasa Asdie Ahmad H., Edisi 13, Jakarta : EGC
2. Healy CF, Murray JG, Eustace SJ, Madewell J, O’Gorman PJ, O’Sullivan
P. Multiple myeloma: A Review of Imaging Features and Radiological
Techniques. Hindawi Publishing Corporation Bone Marrow Research.
2011; 2-9.
3. Roodman GD. Case management multiple myeloma. Physicians Practise
IU health physicians. 2012;A1-7
4. Palumbo, Antonio M.D. and Anderson, Kenneth M.D. Medical Progress
Multiple Myeloma. The New England Journal of Medicine, [online].
2011;364:1046-60 [cited 2011 September 23]. Available from:
http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMra1011442
5. Wenqi, Jiang. Mieloma Multipel. Buku Ajar – Onkologi Klinis Edisi 2.
Balai Penerbit FKUI. Jakarta: 2008.
6. Rajkumar, SV. 2018. Multiple myeloma: 2018 update on diagnosis, risk
stratification, and management. Am J Hematol. 2018;93:1091–1110.
7. Suega K. & Sjah YS. 2009. Terapi Terkini Multiple Myeloma. J Peny
Dalam, Volume 10 Nomor 3 Hal : 226-239
8. Registrasi data Rumah Sakit Kanker Dharmais. Data pasien multiple
myeloma tahun 2007-2012. 2013.
9. Baron R,. et all. 2019. Anatomy and Ultrastructure of Bone Histogenesis,
Growth and Remodelling. Endotext – The most accesed source
endocrinology for Medical Professionals, [online]. Available from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK279149/ [cited 20 September
2019].
10. Jagannath S. Pathophysiological underspinnings of multiple myeloma
progression. J Manag Care Pharm 2008;14(7)(suppl S):S7-S11.

22
11. Berenson JM, Vescio RA. Pathogenesis of multiple myeloma. Available
from: http:// highwire.stanford.edu. Acessed on: 12th Jun 2009.
12. Ki Yap, Dr. Multiple Myeloma. Radiopaedia.org, [online]. 2010 [cited
2019 September 20]. Available from:
http://radiopaedia.org/articles/multiple-myeloma-1
13. Syahrir, Mediarty. Mieloma Multipel dan Penyakit Gamopati Lain. Buku
Ajar – Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Penerbit Departemen Ilmu
Penyakit Dalam, FKUI. Jakarta: 2006
14. Galson DL, Silbermann R, Roodman GD. Mechanisms of mieloma
multipel bone disease. BoneKey reports. 2012;135:1-7
15. Besa, Emmanuel C, M.D. Multiple Myeloma. Medscape Reference,
[online] 2011 [cited 2019 September 20]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/204369-overview
16. Kumar, Cotran, Robbins. Mieloma Multipel dan Gangguan Sel Plasma
Terkait – Buku Ajar Patologi Edisi 7, Robbins volume 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta: 2004
17. Berquist, Thomas H. Musculoskeletal Imaging Companion. Lippincott
Williams & Wilkins. 2007
18. Pelayanan Kedokteran Nuklir Diagnostik. Bagian Radiologi, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, [online]. 2005 [cited 2011 April 16]. Available
from: http://www.radiologi.ugm.ac.id/kednuklirdiagnosis.html
19. Multiple Myeloma – PET CT Scan Images. Department of Radiology,
College of Medicine, University of Arkansas for Medical Sciences,
[online] [cited 2019 September 20]. Available from:
http://www.uams.edu/radiology/info/clinical/pet/images.asp
20. Chew FS. Malignant and aggressive tumors. Skeletal radiology: The bare
bone. Lippincott. Williams & Willkins. 2010; 147-148
21. Adam G. Orthopedic Imaging; A Practical Approach, 4th ed. Philadelphia:
Lipincott Williams & Wilkins; 2004. 734-39
22. Kim NJ, Kwon ST, Song IC. Analysis of bone density in mieloma
multipel: A comparison of bone mineral density with Plain radiography,

23
Magnetic resonance imaging dan Clinical staging. J Korean Soc Radiology
2013;68(1);63-9.
23. Sontrapa S, Soontrapa S, Srinakarin J. Singh index screening for femoral
neck osteoporosis. J Med Assoc Thai 2005; 88 (5):13-6
24. Walker RC, Brown TL, Jones-Jackson L, Blance LD, Bartel T. Imaging of
mieloma multipel and related plasma cell dyscrasias. Society of nuclear
medicine. 2012; 1091-1101.
25. Sharan K, Siddiqui JA, Swarnkar G, Chattopadhyay N. Role of calcium-
sensing receptor in bone biology. Indian J Med Res 127. 2008: 274-86
26. Gerecke C, et all. 2016. The Diagnosis and Treatment of Multiple
Myeloma. Dtsch Arztebl Int 2016; 113: 470

24

Anda mungkin juga menyukai