Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH SEJARAH MATEMATIKA

BERHITUNG SEBELUM DAN SESUDAH PARADOKS


ZENO

Disusun Oleh :

Putri Inggriyani (1301617031)

Khairul Fahmi (1301617042)

Intan Isma Fauziyah (1301617065)

Pendidikan Matematika B

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Negeri Jakarta

2017 / 2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...........................................................................................................2
BAB I PejamaENDAHULUAN............................................................................3
A. Latar Belakang...............................................................................................3
B. Rumusan Masalah..........................................................................................4
C. Tujuan.............................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................5
Berhitung sebelum paradoks Zeno ...........................................................5
Berhitung sesudah paradoks Zeno ............................................................5
Sejarah Mesopotamia ...............................................................................9
Sejarah Mesir Kuno.................................................................................13

BAB III PENUTUP..............................................................................................16


A. Kesimpulan...................................................................................................16
B. Saran.............................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................2

BAB 1

2
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Berhitung merupakan bagian dari matematika, diperlukan untuk


menumbuhkembangkan keterampilan berhitung yang sangat diperlukan dalam
kehidupan sehari-hari, terutama konsep bilangan yang merupakan juga dasar bagi
pengembangan kemampuan matematika. Kegiatan berhitung juga kegiatan yang
telah dilakukan oleh orang – orang pada zaman Yunani Kuno.

Paradoks adalah suatu istilah yang mengacu kepada suatu pernyataan yang
secara logika terlihat benar tetapi salah dalam realitasnya. Salah satu paradoks yang
terkenal dalam filsafat atau matematika adalah pernyataan yang dikemukaan oleh
Zeno dari Elea, yang kemudian dikenal sebagai paradoks Zeno.

Kalau kita menelaah lebih jauh mengenai bentuk berhitung pada zaman
sebelum dan sesudah zaman paradoks Zeno, maka kita akan dapat menemukan
perbedaan mengenai cara orang – orang pada zaman dahulu menangani masalah
atau kasus yang berhubungan dengan berhitung.

Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang perkembangan


menghitung dari sebelum paradoks Zeno hingga sesudah paradoks Zeno, samapai
dengan sejarah berhitung dari sebelum dan sesudah paradoks Zeno.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana berhitung pada masa sebelum paradoks Zeno ?
2. Bagaimana berhitung pada masa sesudah paradoks Zeno ?
3. Bagaimana sejarah Mesopotamia dalam proses berhitung ?
4. Bagaimana sejarah Mesir Kuno dalam proses berhitung ?
5.

C. Tujuan
1. Mengetahui proses berhitung pada masa sebelum paradoks Zeno
2. Mengetahui proses berhitung pada masa sesudah paradoks Zeno
3. Mengetahui sejarah Mesopotamia dalam proses berhitung
4. Mengetahui sejarah Mesir Kuno dalam proses berhitung
5.

3
BAB II

PEMBAHASAN

4
Berhitung Sebelum Paradoks Zeno

Jika kita meneliti atau menelaah bentuk berhitung pada zaman sebelum paradoks
Zeno dan pada zaman sesudah itu maka kita akan temukan perbedaan yang nyata
mengenai cara orang-orang kuno itu menangani berhitung. Itulah sebabnya paradoks
Zeno dijadikan perbatasan pada peralihan berhitung dari zaman sebelum paradoks itu ke
zaman sesudahnya.

Sebelum paradoks Zeno, berhitung lebih bercorak praktis. Mereka cukup


mengikuti cara pemecahkan soal berhitung sesuai dengan yang diajarkan oleh para ahli
berhitung yang ada sebelum mereka. Pada masa sebelum paradoks Zeno ini persoalan
yang diberikan biasanya tidak rumit dan dapat diselesaikan oleh kalangan masyarakat.

Adapun contoh soal yang dibuat pada masa sebelum paradoks zeno ini seperti
“Berapakah jumlah roti yang harus dibagikan kepada dua orang sehingga orang pertama
mendapat bagian roti lebih banyak daripada orang kedua apabila orang kedua itu
diberikan roti sebanyak sekian”. Atau soal yang lain misalnya “Berapakah luas persegi
apabila persegi itu memiliki sisi sekian”. Seperti inilah gambaran soal yang diberikan
kepada mereka pada zaman sebelum paradoks zeno ini.

Untuk menjawab pertanyaan  yang diberikan, mereka tidak perlu mencari dan
menjelaskan cara menyelesaikan atau cara mereka mendapatkan jawabannya seperti
demikian. Yang terpenting disini adalah mereka menemukan jawabannya karena
jawaban itulah yang diminta oleh soal-soal berhitung.

Berhitung Sesudah Paradoks Zeno

Sesudah paradoks zeno soal-soal berhitung bertambah dengan bentuk berhitung


yang menunjukkan corak yang berbeda dengan itu. Paling sedikit ada 2 hal yang
menonjol pada cara mereka menghadapi masalah berhitung yang membedakan mereka
dari orang-orang yang sebelumnya:

Pertama, terdapat soal-soal berhitung baru yang jawabannya tidak cukup


dengan menampilkan hasil akhirnya saja. Jawaban itu harus disertai pembuktian yang
demonstratif untuk menunjukkan mengapa jawaban itu demikian. Di dalam pembuktian
demonstratif itu semua pemikiran diturunkan dari aksioma atau dari dalil-dalil yang
sebelumnya telah dibuktikan kebenarannya. Hal ini dikenal juga sebagai prosedur

5
penurunan (derivatif procedure). Demikianlah tidak cukup seseorang mengatakan
bahwa panjang garis tertentu pada segitiga anu adalah setengah panjang alas segitiga
itu, jawaban itu harus dibuktikan

Kedua, pada zaman paradoks Zeno atau sesudahnya, tidak saja berhitung itu
menampilkan soal-soal praktis melainkan manampilkan pula soal-soal yang berkenaan
dengan unsur dasar pengetahuan berhitung itu sendiri, yakni bilangan. Isi paradoks
Zeno itu sudah menunjukkan betapa unsur bilangan yang membentuk berhitung telah
dipermasalahkan. Pada peristiwa pelari yang menempuh jarak lari tertentu tidak saja
dikemukakan soal berupa berapa lama pelari itu baru sampai ketujuannya atau berapa
kecepatan lari  yang diperlukan untuk mencapai tujuan apabila data yang diperlukan
oleh perhitungan itu telah diketahui, tetapi dikemukakan juga soal yang menyangkut
masalah bagaimana mungkin pelari itu dapat mencapai tujuannya. Bahwa pelari itu
akhirnya mencapai tujuan sudah jelas bagi umum namun justru di dalam hal yang sudah
jelas itulah timbul soal baruyang menghendaki pembuktian demonstratif. Dan bersama
itu muncul soal-soal yang bukan saja terletak dalam segi berhitung melainkan juga
terletak dalam segi pengertian bilangan.

Dalam hal ini digunakan paradoks zeno sebagai batas antara dua corak berhitung
yakni pada masa sebelum paradoks dan masa sesudahnya maka itu bukan berarti bahwa
paradoks zeno itulah yang menimbulkan peralihan demikian. Paradoks zeno hanyalah
suatu cermin yang mencerminkan pola berpikir orang-orang kuno sekitar zaman zeno
itu.

Kemajuan ilmu pengetahuan berhitung berkembang karena banyak sekali


disiplin ilmu yang membutuhkan perhitungan. Misalnya, Thales telah mengabstrasikan
pengertian garis menjadi garis teoretis. Anaximander telah mengemukakan pikiran
tentang apeiron sehingga membawa masalah ketakterhinggaan kedalam pikiran
manusia, Pythagoras telah mengaitkan bilangan degan besaran-besaran, Anaxagoras
telah mengemukakan pikiran tentang bibit yang tak hingga banyaknya sehingga
bersama Democritus menampilkan pengertian atom yang menjadi satuan dasar dalam
berbagai besaran, dan Parmenides telah mengemukakan pengertian ketunggalan alam
atau monoisme sera pengertian keberseteruan kontinum. Hal ini semua menjadikan
mereka mempelajari ilmu berhitung dengan lebih mendalam.

6
Demikianlah kita dapat menyimpulkan bahwa berhitung pada zaman sebelum
paradoks Zeno lebih bercorak praktis, sedangkan pada zaman sesudah itu lebih bercorak
teoretis. Dan bersama itu kita mengenal dua jenis bahan berhitung vang berkembang
pada zaman sebolum dan pada zaman sesudah paradoks Zeno yang masing-masing
dapat saja diungkapkan secara praktis atau secara teoretis.

Pertama adalah berhitung tentang jumlah sesuatu. Berhitung tentang jumlah


sesuatu dengan cepat dapat berkembang menjadi alabar, tentunya tidak dalam bentuk
alabar yang kita kenal sekarang ini. Langkah dari berhitung tentang Jumlah sesuatu ke
aljabar adalah cukup sederhana.

Kedua adalah tentang ukuran bentuk sesuatu. Berhitung tentang ukuran bentuk
sesuatu kemudian dapat berkembang menjadi ilmu ukur. Dari berhitung mengenai
panjang suatu garis, luas suatu budang, atau isi suatu ruang pengetahuan itu kemudian
berkembang menjadi pembuktian tentang kesamaan dan perbandingan dalam ilmu ukur
dan juga cara-cara untuk membangun suatu bentuk yang diketahui.

Dalam pengertian kedua jenis berhitung ini sekiranya kita melihat ke peta
wilayah tempat berhitung zaman kuno itu bertambah, maka kita sebenarnya dapat saja
menarik garis pemisah pada peta itu. Berhitung dari wilayah Mesopotamia ke timur
sampai ke wilavah India Kuno dan Cina Kuno lehih menekankan corak berhtung aljabar
atau berhitung tentang jumlah sesuatu, sedangkan berhitung di wilayah Mesir Kuno dan
Yunan Kuno vang terletak di sebelah barat lebih menekankan corak berhitung ilmu ukur
atau berhitung tentang ukuran bentuk sesuatu. Oleh karena itu kita dapat juga
mengatakan bahwa berhitung di sebelan timur itu sebagai berhitung Kuno-timur
meliputi Mesopotamia dan wilayah-wilayah sebelah timur lainnva, sedangkan berhitung
di sebelah barat sebagai Berhitung Kuno-barat meliputi Mesir Kuno dan Yunani Kuno.

Pada zaman Berhitung Kuno-timur banvak dipergunakan dalam bidang


perbintangan baik di Mesopotamia, di India Kuno, maupun di Arab Kuno. Dan dari
ilmu perbintangan mereka mengambil langkah samping ke astrologi dan peramalan.
Tetapi sebaliknva, Berhitung Kuno-barat yang timbul juga karena pengukuran tanah di
Mesir Kuno lebih banyak berkaitan dengan bentuk bentuk yang nyata di bumi atau di
dalam masyarakat.

7
Kita mengetahui bahwa Berhitung Kuno-timur dan Berhitung Kuno-barat telah
memberikan saham yang besar dalam pengetahuan berhitung kita sekarang ini. Yang
belum banyak kita ketahui ialah berapa besar saham itu dan dalam bentuk apa pada
setiap masa di zaman kuno itu. Pengetahuan kita akan pengetahuan berhitung pada
zaman sebelum paradoks Zeno masih terbatas sekali. Pengetahuan berhitung pada
zaman Mesopotamia kuno itu hanya kita peroleh dari bata bertulis yang kita temukan
pada waktu sekarang. Ini berarti bahwa pengetahuan kita mengenai pengetahuan
berhitung Mesopotamia, pertama, terbatas pada bahan-bahan yang dirasa penting oleh
orang-orang Mesopotamia sehingga mereka mencatatnya pada bata-bertulis, dan kedua,
terbatas pula pada bata bertulis yang masih dapat kita temukan pada waktu ini. Dan itu
pun masih dihambat oleh bahasa dan tulisan yang tidak lagi kita pahami. Pengetahuan
tentang berhitung Mesopotamia baru berkembang setelah tahun 1935 sesudah ada orang
yang mampu memecahkan tulisan dan bahasa kuno itu.

Menurut bata-bata bertulis yang terkumpul pada masa kini khususnya bata-bata
tetulis yang mencatat masalah berhitung kita dapat membagi perkembangan berhitung
Mesopotamia ke dalam tiga tahap. Tahap pertama berkisar pada zaman akhir Sumeria
vakni sekitar 4100 tahun yang lampau. Tahap kedua berkisar pada zaman Raja
Hammurabi sekitar 3.800 atau 3.600 tahun lalu. Dan tahap ketiga berkisar pada zaman
Babilonia Baru dan zaman kemudian yakni antara zaman Raja Nebuchadnezzar sampai
ke zaman Persia dan Seleucid dari sekitar 2.600 tahun lalu. Penahapan ini pun tentunya
hanya bersifat sementara karena penemuan ketmudian selalu dapat mengubah
penahapan itu.

Pada dasarnya pertumbuhan pengetahuan berhitung pada zaman kuno di


Mesopotamia merupakan suatu kisah tersendiri menjelujuri masa-masa kebangkitan dan
keruntuhan kerajaan. Namun karena wilayah Mesopotamia ini terbuka untuk serangan-
serangan dari luar maka ketatanegaraan wilayah itu penuh dengan pengantian kerajaan
dari berbagai suku bangsa. Kiranya ada baiknya di sini kalau kita melihat juga sejarah
Mesopotamia secara selayang pandang serta menempatkan tahapan perkembangan
berhitung Mesopotamia ke dalam sejarah ketatanegaraan itu.

Sejarah Mesopotamia

8
Sampai pada zaman sekitar 4.700 tahun lalu di wilayah Mesopotamia terdapat
berapa negara-kota yang berdiri sendiri-sendiri. Masing-masing dihuni oleh bangsa
Sumeria dan bangsa Akkadia. Antara lain kita mengenal Lagash, Umma. Eshnunna
Kish, uruk (Erech), Nippur. Barulah pada zaman sekitar 4.400 tahun lalu, seorang
Akkadia Kish yang dikenal bernama Sargon auu Sharru-kinu mempersatukan negara-
negara kota itu ke bawah kekuasaannya. Ibu kota kerajaan Akkadia itu adalah Agade.
Dua abad kemudian kerajaan itu pun runtuh, kemudian pada zaman sekitar 4 100 tahun
lalu dari Ur bangkit pula seorang pemimpin Akkadia yang Raja Ur Namur dari Sumeria
dan Akkadia. Pada zaman inilah kita menemukan peninggalan bata bertulis sebagai
tanda bahwa pengetahuan berhitung pada zaman itu telah berkembang. Tetapi zaman itu
tidak lama karena seabad kemudian kerajaan itu pun runtuh juga.

Pada zaman sekitar 3.800 tahun lalu kira-kira 1792 sM) bangkit lagi seorang raja
besar bernama Hammurabi. Wilayah kekuasaannya melampaui batas Sumeria dan
akkadia dan bernama Babilonia. Pada zaman ini pun perkembangan berhitung di
wilayah itu seperti tampak pada peninggalan bata bertulis yang kita temukan sekarang
ini. Tetapi kerajaan ini iuga tidak bertahan lama. Kurang dari seabad kemudian
Babilonia runtuh.

Kemudian pada zaman sekitar 3.400 tahun lalu (kira-kira tahun 1380 sM) di
utara wilayah itu bangkit kerajaan Asiria yang beribu kota di Nineveh. Di bawah Raja
Shalmaneser I. Asiria menguasai Babilonia sehingga dinasti Kassite di Babilona itu
menjadi taklukannya. Tiga abad kemudian setelah pemerintahan Raja Tiglath-Pileser
pada zaman sekitar 3.100 tahun lalu Asiria menjadi lemah untuk kemudian bangkit
kembali menradi kuat pada zaman sekitar 2.900 tahun lalu. Namun di bawah Raja
Bellshazzar, Asiria pun runtuh pada zaman sekitar 2.600 tahun lalu (kira-kira pada
tahun 612 sM). Selama zaman pengetahuan berhitung mereka maju dengan cepat
sampai ke perhitungan pergerakan bintang dan benda langir lainnya.

Keruntuhan Asiria disusul oleh bangkitnya Babilonia Baru di bawah Raja


Nebuchadnezzar Tetapi kerajaan ini kembali runtuh pada tahun 539 sM dan dikuasai
Persia Pada tahun 331 sM Babilonia beralih ke dalam kekuasan Iskandar Zulkarnaen
untuk kemudian dikuasai lagi oleh Seleucid setahun kemudian. Pada tahun 141 sM
Babilonia beralih ke tangan Parthian dan pada tahun 226 jatuh ke tangan Sassanian.

9
Selama sekitar 1 000 tahun ini banyak peninggalan berhitung yang kita temukan dalam
bata bertulis tentunya pengetahuan berhitung itu telah bercampur baur dengan
pengetahuan berhitung dari Yunani Kuno.

Dari tangan Sassanian daerah itu kemudian jatuh ke tangan Arab pada tahun 63
untuk selanjutnya dihancurkan oleh serangan Mongol pada tahun 1258. Selama 3 abad
wilayah itu kacau balau, kemudian jatuh ke tangan Ottoman dan terakhir menjadi
negara Iraq pada akhir Perang Dunia Pertama. Pengetahuan berhitung mereka sejak
dikuasai Arab telah menjadi pengetahuan berhitung Arab.

Selama kebangkitan dan keruntuhan kerajaan itu pengetahuan berhitung


Mesopotamia Kuno mengalami berbagai kenajuan. Antara lain dapat dicatat bahwa
pada zaman sekitar 3.200 tahun lalu mereka telah memiliki katalogi perbintangan yang
dikenal luas. Pada zaman sekitar 2.800 tahun lalu mereka sudah mampu menentukan
letak dan gerak bintang. Dan bahkan pada tahun 747 sM mereka telah menggunakan
peninggalan bertarikh menurut tarikh Nabonassar sehingga perhitungan tahun diurut
mulai dari zaman itu seperti halnya kita sekarang menggunakan Masehi.

Itulah sepintas lalu sejarah ketatanegaraan Mesopotamia dan demikian pula kita
dapat melihat letak ketiga tahap pengetahuan berhitung mereka dalam kerangka sejarah
itu. Sejarah kuno itu sendiri banyak diperoleh dari bata bertulis yang ditemukan di
wilayah Mesopotamia. Sejak pertengahan abad lalu para ahi purbakala telah
menemukan sekitar setengah juta bata bertulis. Di antaranya lebih dari 50.000 berasal
dari kota Nippur.

Bata-bata bertulis itu umumnya tersimpan pada berbagai museum. Dan oleh
karena itu bata bertulis dikenal dengan nama menurut nama museum tempat mereka
disimpan. Atau juga menurut nama para ahli yang pertama kali menilikinya, dan nama
orang yang menjadi pengumpul (kolektor) benda-benda purbakala. kini kita mengenal
bata bertulis Strassburg, bata bertulis Yale, Louvre, Istambul, dan demikian seterusnya.

Sampai pada saat ini telah diketahui bahwa paling sedikit terdapat 300 bata
bertulis matematik dan selanjutnya dari jumlah itu terdapat sekitar 200 bata bertulis
daftar (tabel) matematik.

10
Pada umumnya bata bertulis itu berisikan catatan kesusastraan, utang-piutang,
perjanjian, dan berbagai kegiatan hidup masyarakat yang dinamis. Bahkan Kode
Hammurabi yang terkenal itu juga ditemukan pada bata bertulis demikian.

Pada umumnya bata bertulis matematik berisikan tiga hal. Pertama, soal-soal
berhitung tentang jumlah sesuatu. Kedua, soal-soal berhitung tentang ukuran bentuk
sesuatu. Dan ketiga, daftar-daftar (tabel) berhitung yang dipergunakan untuk menunjang
pemecahan soal-soal berhitung. Masalah yang ditampilkan di dalam berhitung itu juga
bermacam-macam dari gali tanah sampai panen. Salah satu bata bertulis yang disimpan
di British Museum mencatat 32 soal berhitung yang dapat dikelompokkan sebagai
berikut:

1. Jumlah tanah yang dipindahkan serta tugas yang diberikan pada para
pekerja dalam suatu pekerjaan teknik bangunan
2. Jumlah bata dalam pembuatan tembok
3. Pembagian skala pada jam-air
4. Waktu yang diperlukan dalam pekerjaan penenunan
5. Penilaian panen dari sawah yang terdapat di berbagai tempat
6. Tinggi pada busur lingkaran

Berhitung di Mesopotamia menggunakan banyak daftar berhitung. Berbeda


dengan orang Mesir Kuno yang memecahkan perkalian melalui kelipatan dua. Orang
Mesopotamia nenghitung perkalian dengan bantuan daftar perkalian. Demikianlah
mereka memiliki daftar perkalian. Orang Mesopotamia juga telah mempunyai daftar
pangkat. Dalam salah satu bata bertulis Istambul ditemukan daltar seperti itu.

11
Dalam berhitung tentang ukuran bentuk sesuatu atau ilmu ukur orang
Mesopotamia telah memecahkan soal-soal yang berkenaan dengan luas dan isi dari
berbagai bentuk ilmu ukur. Mereka juga telah memecahkan soal yang telah menarik
perhatian orang sejak zaman kuno yakni soal lingkaran. Dalam perhitungan mereka, π
adalah sebesar 3.

Demikianlah kita menemukan beberapa soal berhitung pada bata bertulis di


Mesopotamia, antara lain, sebagai berikut:

 Dalam bata bertulis Louvre yang berasal dari zaman sekitar 3.800 tahun lalu
terdapat soal," Berapakah waktu diperlukan oleh sejumlah uang untuk menjadi
dua kali lipat apabila bunga berganda tahunan adalah 20 persen?”
 Dalam bata bertulis Strassburg tercatat soal," Suatu bidang yang terdiri atas
jumlah dua bujur sangkar mempunyai luas sebesar 1000. Sisi dari bujur sangkar
pertama adalah 10 lebih kecil dari 2/3 sisi bujur sangkar kedua. Berapakah
panjang sisi-sisi bujur sangkar itu?”.

Ternyata tidak semua soal-soal mereka itu sederhana. Pada bata bertulis yang
terdapat di British Museum tercantum suatu soal penggalian tanah yang cukup rumit.
Orang Mesopotamia menggunakan dua jenis satuan panjang dalam pengukuran yakni
hasta (atau cubitus dalan bahasa Latin) dan gar dengan ketentuan bahwa 1 gar sama
dengan 12 hasta. Dan biasanya kedalaman diukur dalam satuan gar.

Di antara berbagai bata bertulis Mesopotamia yang banyak menarik perhatian


adalah bata bertulis Plimpton 322. Bata tertulis itu menceritakan bilangan-bilangan.
Semula bilangan-bilangan itu tidak dianggap penting karena mereka tidak
mencerminkan besaran-besaran matematik yang sudah kita kenal. Tetapi kini
diperkirakan bahwa bilangan-bilangan itu bersangkutan dengan hitungan dalam ilmu
ukur segitiga.

Berhitung di Mesopotamia itu ditemukan pada bata bertulis dari zaman sebelum
paradoks Zeno. Dan berhitung sebelum paradoks Zeno terdapat juga di Mesir Kuno.
Pengetahuan kita akan berhitung di Mesir Kuno kita temukan dari papirus, ukiran pada
paramida, ukiran pada tugu, namun jumlahnya terbatas. Untuk memperoleh gambaran
tentang letak berhitung Mesir Kuno dalam sejarah ketatanegaraan Mesir. Ada baiknya
kita melihan lintas lalu setarah ketatanegaraan Mesir dari zaman kuno sampai masa kini.

12
Sejarah Mesir Kuno

Sebelum zaman sekitar 5 100 tahun lalu Mesir terdiri atas dua bagian yang
terpisah, yakni Mesir Hulu (Upper Egypt) dan Mesir Hilir (Lower Egypt). Mesir Hulu
berpusat di Nekhen, menggunakan lambang tanaman, sedangkan Mesir Hilir berpusat di
Buto, menggunakan lambang lebah. Pada zaman sekitar 5.100 tahun lalu, seorang
firaun bernama Menes atau Narmer mempersatukan kedua bagian Mesir itu. Sejak itu
dimulailah dinasti-dinasti Mesir yang berjumlah 31 dan terbagi dalam bcherapa tahapan
zaman.

Menes adalah firaun pertama dari dinasti pertama tetapi kita tidak hanya
mengenal firaun- firaun berikutnya. Dua dinasti pertama Mesir itu berlangsung dari
tahun 3110 sampai 2665 sM. Pada dinasti ke-3 sampai ke-6 Mesir mulai banyak
membangun piramida dan zaman itu dikenal sebagai zaman Kerajaan Tua serta
berlangsung dari tahun 2665 sampai 2180 sM. Setelah zaman kerraan Tua Mesir
terpecah-pecah di bawah firaun-firaun lemah dari dinasti ke-7 sarapan ke-11 atau dari
tahun 2180 sampai 2052 sM. Zaman itu dikenal sebagai Masa Peralihan Pertama.

Mesir bersatu kembali di bawah dinasti ke-12 dengan firaun yang kuat. Ibu kota
dipindahkan ke Thebes. Zaman itu dikenal sebagai zaman Kerajaan Menengah dan
berlangsung dari tahun 2052 sampai 1786 sM. Kemudian sekali lagi Mesir terpecah-
pecah di bawah firaun-firaun lemah dari dinasti ke-13 sampai ke-17 atau dari tahun
1786 sampai 1544 sM. Zaman itu juga dikenal sebagai Masa Peralihan Kedua.

Selanjutnya sekali lagi Mesir diperintah oleh firaun-firaun kuat dari dinasti ke-
18 sampai ke-20 yang berlangsung dari tahun 1544-1075 sM. Zaman ini dikenal sebagai
zaman Kerajaan Baru dan pada zaman itulah firaun-firaun terkenal berkuasa. Antara
lain terdapat Amenhotep, Thutmose, Hatsheput (firaun wanita), Tutankhamen, dan
Ramses.

Kemudian Mesir masuk ke zaman Masa Belakangan dari tahun 1075 melalui
dinasti ke-21 sampai dari sampai ke-25. Setelah itu Mesir beralih ke dinasti Saite atau
dinasti ke-26 dari tahun 664 sampai 525 sM.

Kebangkitan Persia yang telah menguasai Babilonia di Mesopotamia sampai ke


Mesir sehingga sejarah Mesir memasuki suatu zaman di bawah kekuasaan Persia.
Zaman itu dikenal sebagai Masa Persia Pertama berlangsung dari tahun 525 sampai 404

13
sM dengan dinasti ke-27. Kemudian setelah Persia dapat dienyahkan dari Mesir
terdapatlah dinasti ke-28 sampai ke-30 melalui suatu zaman yang dikenal sebagai
Kerajaan Mesir Terakhir dari tahun 404 sampai 341 sM. Pada zaman itu Mesir mula-
mula diperintah oleh para pendeta agung yang bertindak atas nana kultur Amon tetapi
kemudian muncul juga firaun-firaun dari Libya dan Ethiopia.

Setelah itu Mesir kembali diperintah oleh Persia dari tahun 341 sampai 322 sM
melalui dinasti ke-31. Zaman itu dikenal sebagai Masa Persia Kedua. Kebangkitan
Iskandar Zulkarnaen menyebabkan Mesir kemudian beralih ke zaman berikutnya yakni
Masa Yunani dari tahun 332 sampai 30 sM. Pada zaman itu terdapat Ptolemaeus turun
temurun dan Alexander serta berakhir pada Cleopatra yang terkenal.

Sejak tahun 30 sM Mesir menjadi provinsi kekaisaran Romawi sampai tahun


619. Ditaklukkan Persia pada tahun itu Mesir kemudian kembali dikuasai Romawi pada
tahun 628 tetapi tidak lama kemudian Mesir jatuh ke tangan Arab pada tahun 642 di
bawah Amir Ibn al-As. Ketika Arab ditaklukkan oleh Ottoman pada tahun 1517 Mesir
pun menjadi bagian dari kalifat Ottoman sampai kemudian jatuh ke tangan Inggris pada
tahun 1882 dan akhirnya merdeka penuh pada tahun 1950-an.

Itulah sepintas lalu sejarah ketatanegaraan Mesir dan di dalam kerangka itulah
papirus matematik dapat dilihat. Semua papirus matematik yang kita temukan kini
berasal dari zaman sebelum paradoks Zeno.

Kini papirus-papirus matematik itu tersimpan di museum museum sehingga


memperoleh nama museum tempat mereka disimpan. Atau juga memperoleh nama ahli
purbakala yang pertama kali memiliki mereka. Di antaranva kita mengenal Papirus
Rhind menurut A. Henry Rhind atau juga dikenal sebagai Papirus Ahmes karena Ahmes
yang menyalin papirus itu pada tahun sekitar 1650 sM. Ada Papirus Moskou, Papirus
Rollin, dan demikian seterusnya.

Isi papirus itu terutama menyangkut masalah praktis di dalam masyarakat.


Antara lain mengenai kekerasan roti atau bir, campuran makanan untuk ternak dan
unggas, penyimpanan padi-padian, luas tanah, isi bentuk ruang, lingkaran, silinder,
segitiga, dan tentunya piramida. Secara garis besar berhitung itu berkenaan dengan
jumlah sesuatu dan ukuran bentuk sesuatu atau dapat juga dikatakan aljabar dan ilmu
ukur. Sebagai bagian dari Berhitung-Kuno barat tekanan berhitung itu lebih banyak ke

14
ilmu ukur. Hal ni juga ternyata dari perhitungan lingkaran mereka yang lebih teliti dari
perhitungan lingkaran di Mesopotamia.

Salah satu cara berhitung yang dipergunakan di Mesir Kuno adalah melalui
“Penjajagan Dengan Jawaban Palsu” (Rules of False Position). Cara ini pun kemudian
banyak ditemukan dalam berhitung di India Kuno.

Dalam berhitung tentang ukuran bentuk sesuatu atau ilmu ukur orang Mesir
Kuno telah menggunakan berbagai rumus untuk menentukan luas sebagai bentuk ilmu
ukur. Sebagai gambaran kita dapat melihat beberapa soal atau gambaran yang tercantum
dalam papirus. Di dalam papirus Rhind kita dapat menemukan hal sebagai berikut :

Apabila Anda bertanya berpakah 2/3 dari 1/5, ambilah kelipatan dua dan enam.
Anda dapat meneruskan seperti ini untuk pecahan–pecahan lainnya. Untuk bilangan 2/3
orang mesir Kuno menggunakan bilangan berpembilang satu sehingga perhitungan –
perhitungan terutama dilakukan melalui penyebut bilangan pecahan itu. Kita lihat 2/3
mereka nyatakan dengan bilangan berpembilang satu sehingga itulah sebabnya maka
dikatakan supaya mengambil kelipatan dua dan kelipatan enam. Dan yang dilipatkan
adalah penyebutnya. Dan perhitungan demikian kita temukan hasil berbentuk 1/10 +
1/30.

Selanjutnya dalam Papirus Moskou terdapat uraian yang menyatakan : Apabila


anda dieritahu bahwa suatu piramida terpancung mempunyai tinggi tegak 6 dengan 4
pada alas dan 2 pada puncak, maka anda menguadratkan 4 ini untuk memperoleh 16.
Anda melipatduakan 4 dengan hasil 8. Anda mengudratkan 2 dengan hasil 4. Anda
menjumlahkan 16, 8, dan 4 ini dan mendaatkan hasil 28. Anda mengambil 1/3 dari 6

15
dengan hasil 2. Anda melipatduakan 28 dengan hasil 56. Anda kan temukan bahwa ini
benar.

Dan pada papirus yang ditemukan di dekat Kahun tercantum hal sebagi berikut :
suatu permukaan dengan 100 satuan luas akan ditampilkan sebaai jumlah dua bujur
sangkar dengan perbandingan sisi – sisi satu terhadap lainnya adalah sebagi 1 : ¾.

Demikianlah telah kita lihat beberapa hal tentang berhitung di Mesir Kuno dan
di Mesopotamia. Mereka sering dalam bentuk : Lakukanlah ini dan Lakukanlah itu. Dan
dari apa yang dilakukan ini ditemukanlah jawabannya. Berhitung in telah dilakukan dari
zaman jauh sebelum paradok Zeno.

Sejak jaman Thalaes Yunani Kuno memilki atau menemukan berbagai


pemikiran tentang alam seta mereka mengungkapkannya dalam paham – paham
mereka.pemikiran mreka itu terbagi dalam dua golongan utama. Ada pemikir yang lebih
memikirkan tentang bahan yang membentuk alam ini, seperti air, udara, tanah, air,
neutron, bibit, dan atom. Mereka memikirkan tentang benda sehingga pemikian mereka
disebut sebagai golongan materialis. Di samping mereka terdapat orang – orang yang
memikirkan bentuk – bentuk benda itu tanpa membahas benda itu. Mereka melihat bena
dari bentuknya seperti segitig, persegi, maupun kubus. Bahkanbilngan pun mereka
ungkapkan dalam bentuk, seperti bilangan segitiga, bilangan persegi, maupun bilangan
kubus. Pemikiran mereka dapat kita namakan sebagi golongan formalis. Dan diantara
kedua jenis itu orang Yunani lebih cenderung ke berhitung tentang bentuk sehingga
mereka kemudian lebih banyak memajukan ilmu ukur dibaningkan ilmu yang lainnya.
Matemika yunani Kuno adlah salah satu bagian dari berhitun Kuno barat yang lebih
meekankan lmu ukur.

Sejarah berhiutung atau matematika Yunani Kuno dapat ditahapkan dalam tiga
zaman besar. Pertama adalah zaman rasionlisme Ionik, kedua adalah zaman Hellenistik ,
dan ketiga adalah zaman di bawah kekuasaan Romawi. Berakhirnya zaman ketiga atau
juga berakhirnya perkembangan matematika di Yunani Kuno, kiranya dapat dilihat pada
sejarah ketatanegaraan Yunani itu sendiri.

Peralihan zaman Ionik ke zaman Hellenistik terjadi seiring menurunnya


perkembangan pegetahuan di Yunani Kuno saat Perang Peloponnesus (perang antara
Sparta dengan Athena tahun 431 SM) yang kemudian maju lagi pada zaman kekuasaan

16
Macedonia di bawah rintisan Iskandar Zulkarnaen. Selanjutnya setelah Yunani beralih
ke tangan Romawi, maka pengetahuan matematika masuk ke dalam tahap ketiga dan
terakhir.

Dalam satu hal pengetahuan berhitung kita dengan pengetahuan berhitung di


Yunani Kuno berbeda dengan pengetahuan kita tentang berhitung di Mesopotamia dan
Mesir Kuno. Di kedua tempat ini kita tidak mengetahui siapa saja yang menjadi ahli
berhitung tetapi di Yunani Kuno kita mengetahui nama dan karya para ahli mereka.
Mesipun kita tidak menemukan karya asli mereka namun karya itu masih sampai
ketangan kita melalui komentar, salinan, terjemahan, dan terjemahan dari terjemahan.

Perkembangan matematika di Yunani Kuno ditandai juga oleh cara atau metode
mereka dalam menguraikan atau memecahkan soal matematika. Paling sedikit ada tiga
cara yang digunakan oleh orang–orang Yunani Kuno itu dalam berhitung.

Pertama adalah cara pembuktian melalui dalil – dalil. Pembuktian selalu


diakukan melaui dalil – dalil yang sebelumnya telah ditemukan kebenarannya.dan
apabila kita menelaah pembuktian dalil – dalil itu maka akan kita temukan juga bukti
dalil – dalil itu sendiri berdasarkan dalil – dalil lain lagi yang sebelumnya telah
dibuktikan kebenarannya melalui dalil – dalil lain. Tetunya kita tidak dapat mundur
terus dnegan dalil – dalil itu sehingga pada akhirnya kita akn bertemu pada pernyataan –
pernyataan dasar yang kebenarannya telah nyata dengan sendirinya. Pernyataan dasar
seperti ini kita temukan dalam Stoicheia jilid X dari Euclides. Euclides menamakan
pernyataan seperti itu sebagai aksioma dan postulat. Terdapat lima aksioma dan lima
postulat Euclides

Aksioma 1. Hal – hal yang sama dengan hal lain yang sama adalah sama satu
terhadapnya.

Aksioma 2. Apabila yang sama ditambahkan kepada yang sama maka keseluruhan
mereka adalah sama pula.

Aksioma 3. Apabila yang sama dikurangkan dari yang sama maka sisa mereka adalah
sama pula.

Aksioma 4. Hal – hal yang saling berimpit satu terhadap satu lainnya adalah sama satu
terhadap lainnya.

17
Aksioma 5. Keseluruhan adalah leboh besar dari sebagian.

Sedangkan postulat – postulat Euclides terutama bersangkutan dengan teori ilmu


ukur sehingga tidak kita bicarakan di sini.

Dengan aksioma dan postulat ini secara berantai tersusunlah ilmu ukur dan
berhitung pada zaman Yunani Kuno.

Kedua adalah metoda menghabiskan (method of exhaution). Metode ini


terutama dipergunakan untuk menghitung sesuatu yang tidak dapat dihitung secara
langsung dan sekaligus. Mula –mula dihitung sebagiandan kemudian dengan suatu cara
sebagian sisa dihitung lagi. Demikianlah sisa – sisa ituterhitung sehingga akhirnya
semua habis terhitung. Salah satu metode menghabiskan ini adalahadalh metode
menghabiskan dari Archimedes untuk menghitung luas daerah yang dibatasi oleh garis
lengkung.

Ketiga adalah cara “atom” ilmu ukur. Ara ini terutama berguna dalam ilmu ukur
terapan. Apabila bagian garis atau bidang yang diambil itu adalah sangat kecil sekali
maka apa pun bentuk garis dan bidang itu selalu dapat dianggap sebagai garis lurus atau
bidang datar.

Dengan ketiga cara ini – terutama cara ketiga dan kedua – kita dapat membagi
matematika di Yunani Kuno ke dalam tiga kelompok besar. Kelompok pertama adalah
bahan – bahan yang tersusun menjadi Stoichea dari Euclides. Pada waktu itu Euclides
menyusunnya dengan mengumpulkan pengetahuan matematika yang ada pada orang –
orang Yunani Kuno sampai pada zaman itu. Kelompok kedua adalah ilmu ukur tinggi
yakni ilmu ukur yang berkenaan dengan garis lengkung dan bidang lengkung masing –
masing yang bukan garis lurus dan lingkaran serta yang bukan bidang datar dan bidang
permukaan bola. Kelompok ketiga adalah pengembangan soal pergerakan yang
berhubungan dengan renik, hal nilai batas, dan proses penjumlahan. Dalam semua
kelompok ini tetap ditekankan pada ilmu ukur.

Kelompok pertama mencakup berhitung bilangan,berhitung ilmu ukur, dan


pembuktian secara konstruksi bentuk ilmu ukur. Sudah sejak zaman Phytagoras
terhitung Yunani Kuno membahas bilangan dan bahkan sejak perguruan Phytagiras
berhitung (arithmetike) dipisahkan dari menghitung. Ajaran perguruan Phyagoras ini
kemudian melahirkan qudrivium di Eropa Lama. Quadrivium adalah empat mata

18
pelajaran yang perlu dipelajari meliputi berhitung (teori bilagan), ilmu ukur, music, dan
spherica (astronomi).

Dari teori bilangan itu ditemukan beberapa dalil yang menyatakan bahwa setiap
bilangan bujur sangkar adalah jumlah dari dua bilangan segitiga berurutan, bahwa
bilangan pancakana ke – n sama dengan n ditambah dengan tiga kali bilangan segitiga
ke – (n-1), bahwa setiap urutan bilangan ganjil terhitung mulai dari satu adalah suatu
bilangan bujur sangkar sempurna.

Demikian juga ditemukan bahwa ketiga ukuran sisi segitiga siku – siku
merupakan tanda tiga (triple) Phytagoras. Hubungan ketiga bilangan ganda tiga
Phytagoras itu dinyatakan dalam bentuk

Dari Theodorus diketahui bahwa akar dua dari bilangan – bilangan 3, 5, 6, 7, 8,


10, 12, 13, 14, 15, dan 17 adalah bilangan irasional. Dan pengetahuna tentang irasional
ini ditemukan juga pada Eudoxus dan Theaetetus.

Dalam Stoichea Euclides jilid VIII ditemukan cara- cara penentuan bilangan
persekutuan pembagi terbesar. Dalam jilid IX ditemukan perhitungan suku dan jumlah
dari deret ukur; bilangan sempurna; setiap bilangan bulat llebih dari 1 dapat dinyatakan

19
sebagai hasil kali dari bilangan – bilangan prima melalui hanya satu cara; banyaknya
bilangan prima adalah tak terhingga. Dalam jilid X ditemukan pernyataan bahwa
apabila dari setiap besarandikurangi suatu bagiantidak lebih kecil dari separuhnya,
kemudian sisanya itu dikurangi lagi suatu bagia yang tidak lebih kecil dari separuhnya
dan demikian seterusnya, makan akan tertinggal suatu besaran yang lebih kecil dai
setipa besaran dari jenis yang sama. Pernyataan ini kemudian dipergunakan pada
metode penghabisan oleh Archimedes.

Dari Pappus dan terutama Archimedes ditemukan juga dalil yang menyatakan
bahwa besaran – besaran mempunyai perbandingan satu terhadap lainnya yang dapat,
apabila dikalikan, melampaui satu terhadap lainnya. Dalam bentuk sekarang dalil itu
menyatakan hubungan antar x dan y dalam bentuk y = hx.

Ditemukan juga dalil – dalil perbandingan dari Eudoxus. Isi dalil itu sendiri
sama dengan dalil perbandingan yang kini kita kenal dalam berhitung. Demikian pula
Apollonius. Selain irisan kerucut Apollonius ada beberapa perbandingan perpotongan
garis yang yang dianggap oleh orang – orang Yunani Kuno sebagai potongan yang
dikenal sebagi potongan emas atau perbandingan kedewaan.

Kelompok kedua pada matematika Yunani Kuno mencakup ilmu ukur tinggi
yang membahas lengkungan baik garis lengkung maupun bidang lengkung diluar
lingkaran dan permukaan bola . Kelompok ini terutama membahas masalah
penggandaduaan kubus , triseksi ( membagi tiga sama besar ) sudut , dan
pembujursangkaran lingkaran . Alat untuk memecahkan soal-soal ini dibatasi pada
penggaris lurus dan jangka yang merupakan alat Euclides dengan pengertian bahwa
dengan penggaris lurus kita dapat menggambar garis lurus dengan panjang tak terbatas
melalui dua titik yang berbeda dan dengan jangka kita dapat menggambar lingkaran
dengan setiap titik sebagai pusat serta melalui setiap titik kedua yang diketahui .
Kelompok kedua ini terutama menyangkut ilmu ukur di luar berhitung dan lebih banyak
berhubungan dengan pembuktian dan konstruksi sehingga tidak dibicarakan lebih lanjut
Kelompok ketiga pada Matematika Yunani Kuno menyangkut pengertian yang
berhubungan dengan bilangan kecil , nilai batas , dan proses penjumlahan.

Perkembangan pada kelompok matematika ketiga ini sesungguhnya tidak


banyak sehingga dalam hal paradoks Zeno, kita menemukan komentar simplicius

20
berupa sesuatu yang ditambahkan kepada yang lain tetapi tidak membuatnya lebih
besar, dan disingkirkan dari yang lain tidak membuatnya lebih kecil, adalah ketiadaan.
Kiranya masih cukup kuat naluri manusia untuk membangkitkan perasaaan bahwa
betapa kecil pun sesuatu itu adanya, tetapi kalau banyaknya tidak hingga, maka
jumlahnya juga akan tak hingga. Sebaliknya betapa banyak juga ketiadaan atau nol
dijumlahkan, maka hasilnya juga nol. Perasaan itu ada sekalipun Parmenides dan Zeno
telah menekankan bahwa perasaan dapat menyesatkan. Demikianlah maka peralihan
dari bilangan renik ke nol menjadi masalah yang tidak dapat mereka pecahkan.

21
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

22
DAFTAR PUSTAKA

Naga, Dali S. 1980. Berhitung: Sejarah dan Pengembangannya. Jakarta: PT Gramedia

23

Anda mungkin juga menyukai