Makalah Jiwa II Korban Perkosaan Kel 2
Makalah Jiwa II Korban Perkosaan Kel 2
Oleh
Kelompok 3:
KELOMPOK :
1. Yanti (2118018)
2. Asri (2118044)
3. Fadil Ashari (2118028)
4. Sintia Dama (2118017)
5. Nurfitlaina (2118026)
6. Dira Septa Kamudi (2118012)
7. Sri Mulyati (2118021)
8. Sofia Sarti Billi (2118013)
9. Alpin Marhaba (2118019)
10. Adelisya Putri Ma’ruf (2118015)
11. Yustinus Dendo Ngara (2118025)
Prodi S1 Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Gema Insan Akademik
Makassar
2020
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil‘alamin, dengan segala kerendahan hati, kami panjatkan puji dan
syukur kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan karunianya kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN KORBAN PERKOSAAN” dan teman-teman yang ikut berpartisipasi dalam
pembuatan makalah ini.
Kami selaku penulis berharap semoga kelak makalah ini dapat berguna dan juga
bermanfaat serta menambah wawasan tentang pengetahuan kita semua tentang pentingnya
Mempelajari Keperawatan jiwa II. Dalam pembuatan makalah ini kami sangat menyadari masih
sangat banyak terdapat kekurangan di sana sini dan masih butuh saran untuk perbaikannya.
Akhir kata, semoga makalah yang sederhana bisa dengan mudah di mengerti dan dapat
di pahami maknanya. Kami minta maaf bila ada kesalahan kata dalam penulisan makalah ini,
serta bila ada kalimat yang kurang berkenan di hati pembaca.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………
DAFTAR ISI………………………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………..
A. LATAR BELAKANG………………………………………………………
B. RUMUSAN MASALAH…………………………………………………...
C. TUJUAN…………………………………………………………………….
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………
A. Pengertian……………………………………………………………………
B. Gangguan Stress Pasca Marah……………………………………………….
C. Tanda dan Gejala……………………………………………………………..
D. Batasan Karateristik…………………………………………………………..
E. Permasalahan yg Berkaitan Dengan Korban Pemerkosaan………………….
F. Kemungkinan Perilaku Anak-anak dan Remaja yg Trauma…………………
G. Pengobatan……………………………………………………………………
H. Beban Psikologis dan Kesehatan Korban Pemerkosaan……………………..
A. KASUS ASKEP………………………………………………………………
BAB IV PENUTUP………………………………………………………………….
A. PEMBAHASAN KASUS…………………………………………………….
B. PEMBAHASAN INTERVENSI………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini, semakin banyak kasus pelecehan seksual dan perkosaan yang
menimpa anak-anak dan remaja. Kasus pelecehan seksual dan perkosaan sebagian besar
menimpa anak-anak dan remaja putri. Kasus pelecehan seksual dan perkosaan dimulai
dari anak-anak yang masih di bawah umur (Anonim, 2006), pelecehan seks di sekolah
(Anonim, 2006), bahkan kepala sekolah yang seharusnya memberi contoh pada murid-
muridnya melakukan pelecehan seksual kepada siswi-siswinya (Anonim,2007), walikota
yang menghamili ABG (Anonim, 2007), hingga personel tentara perdamaian pun
melakukan pelecehan seksual (Anonim, 2006).
Pelecehan seksual pada dasarnya adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki
muatan seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan
tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif,
seperti: rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan
kesucian, dan sebagainya, pada diri orang yang menjadi korban (Supardi, S.& Sadarjoen,
2006).
Walaupun sebagian besar korban pelecehan seksual dan perkosaan adalah wanita,
akan tetapi dalam beberapa kasus, laki-laki juga dapat menjadi korban pelecehan seksual
yang umumnya dilakukan oleh laki-laki juga. Pada sebagian besar kasus, perkosaan
dilakukan oleh orang sudah sangat dikenal korban, misalnya teman dekat, kekasih,
saudara, ayah (tiri maupun kandung), guru, pemuka agama, atasan, dan sebagainya.
Sedangkan sebagian kasus lainnya, perkosaan dilakukan oleh orang-orang yang baru
dikenal dan semula nampak sebagai orang baik-baik yang menawarkan bantuan,
misalnya mengantarkan korban ke suatu tempat.
Menurut Sadarjoen dalam tulisannya yang dimuat dalam sebuah situs internet,
pelecehan seksual yang terjadi pada anak, memang tidak sesederhana dampak
psikologisnya. Anak akan diliputi perasaan dendam, marah, penuh kebencian yang
tadinya ditujukan kepada orang yang melecehkannya dan kemudian menyebar kepada
obyek-obyek atau orang-orang lain (Supardi, S.& Sadarjoen, 2006).
Pelecehan seksual dan perkosaan dapat menimbulkan efek trauma yang
mendalam pada para korbannya. Korban pelecehan seksual dan perkosaan juga dapat
mengalami gangguan stres akibat pengalaman traumatis yang telah dialaminya.
Gangguan stres yang dialami korban pelecehan seksual dan perkosaan seringkali disebut
Gangguan Stres Pasca Trauma (Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah yang dimaksud dengan korban perkosaan?
2. Apa saja gangguan stress pasca trauma korban perkosaan?
3. Apa saja tanda dan gejala korban perkosaan?
4. Apa saja batasan karakteristik
5. Apa saja permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan korban pemerkosaan?
6. Apa saja kemungkinan perilaku anak-anak dan remaja yang mengalami trauma?
7. Bagaimana pengobatan pada korban pemerkosaan?
8. Apa saja beban psikologis dan kesehatan korban pemerkosaan?
C. TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada pasien korban pemerkosaan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Perkosaan (rape) merupakan bagian dari tindakan kekerasan (violence), sedangkan
kekerasan dapat berupa kekerasan secara fisik, mental, emosional dan hal-hal yang sangat
menakutkan pada korban. Perkosaan adalah suatu penetrasi penembusan penis ke vagina
perempuan yang tidak dikehendaki, tanpa persetujuan dan tindakan itu diikuti dengan pemaksaan
baik fisik maupun mental.
Pengertian pemerkosaan berdasarkan Pasal 381 RUU KUHP :
1. Seorang laki-laki dengan perempuan bersetubuh, bertentangan dengan kehendaknya, tanpa
persetubuhan atau dengan persetubuhan yang dicapai melalui ancaman atau percaya Ia suaminya
atau wanita dibawah 14 tahun dianggap perkosaan.
2. Dalam keadaan ayat (1), memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan,
benda bukan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan.
Perkosaan adalah tindakan kekerasaan atau kejahatan seksual berupa hubungan seksual
yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan dengan kondisi atas kehendak dan
persetujuaan perempuan, dengan persetujuan perempuan namun dibawah ancaman, dengan
persetujuan perempuan namun melalui penipuan. Dalam KUHP pasal 285 disebutkan perkosaan
adalah kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa seseorang perempuan bersetubuh dengan
dia (laki-laki) diluar pernikahan.
Kalimat korban perkosaan menurut arti leksikal dan gramatikal adalah suatu kejadian,
perbuatan jahat, atau akibat suatu kejadian, atau perbuatan jahat. Perkosaan adalah
Menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi, merogol.
(Mendikbud,2010: 525, 757).
D. Batasan Karakteristik
1. Fase akut
a. Respons somatic
Peka rangsang gastrointerstinal (mual, muntah, anoreksia)
Ketidaknyamanan genitourinarius (nyeri, pruritus)
Ketegangan otot-otot rangka (spasme, nyeri).
b. Respons psikologis
Menyangkal
Syok emosional
Marah
Takut – akan mengalami kesepian, atau pemerkosa akan kembali
Rasa bersalah
Panik melihat pemerkosa atau adegan penyerangan
c. Respons seksual
Tidak percaya pada laki-laki
Perubahan dalam perilaku seksual
2. Fase jangka panjang
Setiap respons pada fase akut dapat berlanjut jika tidak pernah terjadi resolusi
a. Respons psikologis
Fobia
Mimpi buruk atau gangguan tidur
Ansietas
Depresi
G. Pengobatan
Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan korban pemerkosaan, yaitu dengan
menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi.
1. Farmakoterapi
Mulai terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang sudah dikenal. Terapi
dengan anti depresiva pada gangguan stress pasca traumatik ini masih kontroversial. Obat yang
biasa digunakan adalah benzodiazepin, litium, camcolit dan zat pemblok beta – seperti
propranolol, klonidin, dan karbamazepin. Obat tersebut biasanya diresepkan sebagai obat yang
sudah diberikan sejak lama dan kini dilanjutkan sesuai yang diprogramkan, dengan kekecualian,
yaitu benzodiazepin – contoh, estazolam 0,5 – 1 mg per os, Oksanazepam10-30 mg per os,
Diazepam (valium) 5 – 10 mg per os, Klonazepam 0,25 – 0,5 mg per os, atau Lorazepam 1- 2 mg
per os atau IM – juga dapat digunakan dalam UGD atau kamar praktek terhadap ansietas yang
gawat dan agitasi yang timbul bersama gangguan stres pasca traumatik tersebut (Kaplan et al,
1997).
2. Psikoterapi
Anxiety Management
Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk membantu
mengatasi gejala korban pemerkosaan dengan lebih baik melalui :
Relaxation Training
Yaitu belajar untuk mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan
kelompok otot-otot utama.
Breathing retraining
Yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan-lahan, santai dan menghindari bernafas
dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak
baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala.
Positive thinking dan self-talk
Yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika
menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor).
Assertiveness Training
Yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau
menyakiti orang lain.
Thought Stopping
Yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang
membuat kita stress (Anonim, 2005).
Cognitive therapy
Terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan
mengganggu kegiatan-kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan mungkin menyalahkan
diri sendiri karena tidak hati-hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran
yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan
pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu
mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim, 2005).
Exposure therapy
Pada exposure terapi, terapis membantu menghadapi situasi yang khusus, orang lain, obyek,
memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak
realistik dalam kehidupan sehari-hari. Terapi ini dapat berjalan dengan dua cara :
Exposure in the imagination
Terapis bertanya kepada penderita untuk mengulang-ulang cerita secara detail kenangan-
kenangan traumatis sampai mereka tidak mengalami hambatan untuk menceritakannya.
Exposure in reality
Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari karena
menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misalnya : kembali ke rumah setelah terjadi
perampokan di rumah). Ketakutan itu akan bertambah kuat jika kita berusaha untuk mengingat
situasi tersebut dibanding berusaha untuk melupakannya. Pengulangan situasi yang disertai
penyadaran yang berulang-ulang akan membantu kita menyadari bahwa situasi lampau yang
menakutkan tidak lagi berbahaya dan kita dapat mengatasinya (Anonim, 2005).
Play therapy
Terapi bermain digunakan untuk menerapi anak-anak dengan trauma. Terapis menggunakan
permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat
membantu anak-anak untuk lebih merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman
traumatiknya (Anonim, 2005).
Support Group Therapy
Seluruh peserta dalam Support Group Therapy merupakan korban perkosaan, yang mempunyai
pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa bumi) dimana dalam
proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis mereka, kemdian
mereka saling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005).
Terapi Bicara
Sejumlah studi penelitian membuktikan bahwa terapi berupa saling berbagi cerita mengenai
trauma mampu memperbaiki kondisi kejiwaan penderita. Dengan berbagi pengalaman, korban
bisa memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang dipendamnya selama ini. Bertukar cerita
dengan sesama penderita membuat mereka merasa senasib, bahkan merasa dirinya lebih baik
dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma yang dideritanya dan
melawan kecemasan (Anonim, 2005).
Peran Perawat
1. Pentingnya mengkomunikasikan empat ucapan berikut ini pada korban perkosaan :
a. Saya prihatin hal ini terjadi padamu
b. Anda aman disini
c. Saya senang anda hidup
d. Anda tidak bersalah. Anda adalah koban. Ini bukan kesalahan anda. Apapun
keputusan yang anda buat pada saat pengorbanan adalah hak seseorang karena anda
hidup.
Korban yang telah diperkosa secara seksual takut terhadap kehidupannya dan harus
diyakinkan kembali keamanannya. Ia mungkin juga sangat ragu-ragu dengan dirinya
dan menyalahkan diri sendiri, dan penyataan-pernyataan ini membangkitkan rasa
percaya secara bertahap dan memvalidasi harga diri.
2. Jelaskan setiap prosedur pengkajian yang akan dilakukan dan mengapa. Pastikan bahwa
pengumpulan data dilakukan dalam perawatan, cara tidak menghakimi, untuk
menurunkan ketakutan atau ansietas dan untuk meningkatkan rasa percaya.
3. Pastikan bahwa pasien memiliki privasi yang adekuat untuk semua intervensi-intervensi
segera pasca-krisis. Cobakan sedikit mungkin orang yang memberikan perawatan segera
atau mengumpulkan bukti segera. Pasien pasca-trauma sangat rentan. Penambahan orang
dalam lingkungannya meningkatkan perasaan rentan ini dan bertindak meningkatkan
ansietas.
4. Dorong pasien untuk menghitung jumlah serangan. Dengarkan, tapi tidak menyelidiki.
Mendengarkan dengan tidak menghakimi memberikan kesempatan untuk katarsis bahwa
pasien perlu memulai pemulihan. Jumlah yang rinci mungkin dibutuhkan untuk tindak
lanjut secara legal, dan seorang klinisi sebagai pembela pasien, dapat menolong untuk
mengurangi trauma dari pengumpulan bukti.
5. Diskusikan dengan pasien siapa yang dapat dihubungi untuk memberikan dukungan atau
bantuan. Berikan informasi tentang rujukan setelah perawatan. Karena ansietas berat dan
rasa takut, pasien mungkin membutuhkan bantuan dari orang lain selama periode segera
pasca-krisis. Berikan informasi rujukan tertulis untuk referensi selanjutnya (mis.,
psikoterapis, klinik kesehatan jiwa, kelompok pembela masyarakat.
6. Discharge Planning
Hasil yang diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan
penganiayaan seksual (sexual abuse) antara lain:
a. Anak tidak mengalami ansietas panik lagi.
b. Anak mendemonstrasikan derajat percaya kepada perawat primer.
c. Anak menerima perhatian dengan segera terhadap cedera fisiknya.
d. Anak memulai perilaku yang konsisten terhadap respons berduka.
e. Anak mendapatkan perhatian segera untuk cedera fisiknya jika ada.
f. Anak menyatakan secara verbal jaminan keamanannya dengan segera.
g. Anak mendiskusikan situasi kehidupannya dengan perawat primer.
h. Anak mampu menyatakan secara verbal pilihan –pilihan yang tersedia untuk
dirinya yang dari hal ini ia menerima bantuan.
i. Anak mendemosntrasikan rasa percaya kepada perawat utama melalui
mendiskusikan perlakuan penganiayaan melalui penggunaan terapi bermain.
j. Anak mendemonstrasikan suatu penurunan dalam perilaku agresif.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Kasus
Seorang Mrs.S berusia 11 tahun datang ke RSJ di antar oleh keluarga dengan keluhan
bahwa si anak melakukan percobaan bunuh diri. Ibu pasien mengatakan bahwa anaknya
menjadi korban pemerkosaan. ibu mengatakan beberapa hari sebelumnya pasien
mengungkapkan bahwa dia telah membuat aib keluarga dan mengatakan dirinya tidak
berguna lagi. Ibu mengatakan saat ini anaknya mengalami trauma berat dan ketika ibu
pasien masuk ke kamarnya ibu pasien melihat si anak mengkonsumsi narkotika. Ibu juga
mengatakan bahwa si anak tidak mau beraktivitas seperti biasa, mudah curiga dan emosi
kepada orang lain sehingga tidak mau berinteraksi dengan orang sekitar dan mengurung
diri dikamar. Saat dilakukan pengkajian pasien tidak mau di ajak berkomunikasi, tidak
menatap lawan bicara, lebih banyak menunduk dan pasien tampak ketakutan.
1. Pengkajian
Anamnesa
Nama : Mrs.S
Umur : 11 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Faktor presipitasi : Ibu mengatakan bahwa anaknya menjadi korban
pemerkosaan
Factor fisiologis : Pasien tampak lemas
Factor psikologis : Pasien tampak ketakutan
Pasien tampak panic
Pasien mudah curiga kepada orang lain
Pasien mengatakan membaut aib keluarga
Pasien mengatakan bahwa dinya tidak berguna lagi
Perilaku : Pasien tidak mau beriteraksi kepada orang lain
Respon emosional : Pasien mudah emosi
2. Analisa Data
No Data Pasien Masalah Keperawatan
1 DS : Resiko bunuh diri
- Keluarga mengatakan bahwa
pasien melakukan pencobaan
bunuh diri
- Ibu mengatakan bahwa pasien
menjadi korban pemerkosaan
- Ibu mengatakan bahwa melihat
anaknya mengkonsumsi narkotika
pasca kejadian pemerkosaan
DO :
-
2 DS : Isolasi sosial
- Ibu mengatakan bahwa pasien
mudah curiga kepada orang lain
- Ibu mengataan pasien tdak mau
beriteraksi kepada orang lain
- Ibu mengatakan pasien
mengurung diri di kamar
DO :
- Pasien tidak mau berkomunikasi
- Pasien tampak ketakutan
3 DS : Harga diri rendah
- Pasien mengatakan bahwa dia
telah membuat aib keluarga
- Pasien mengatakan bahwa dirinya
sudah tidak berguna lagi
- Keluarga mengatakan pasien tidak
mau beraktivitas seperti biasanya
DO :
- Pasien tidak mau menatap lawan
bicara
- Pasien tampak menunduk
3. Pohon masalah
Isolasi social
4. Diagnosa
a. Resiko bunuh diri
b. Isolasi sosial
c. Harga diri rendah
5. Intervensi
N Diagnose Kriteria
Tujuan Intervensi
o Keperawatan Evaluasi
1 Resiko bunuh Pasien mampu : Setelah 1 x SP 1
diri - mengidentif pertemuan, - Identifikasi
ikasi pasien mampu : penyebab,
penyebab - Menyebutka tandadan gejala
dan tanda n penyebab, serta akibat dari
perilaku tanda, gejala, perilaku
kekerasan dan akibat kekerasan
- menyebutka perilaku - Latih cara fisik
n jenis kekerasan 1 : tarik nafas
perilaku - Memperagak dalam
kekerasan an cara fisik - Masukkan dalam
yang pernah 1 untuk jadwal harian
dilakukan mengontrol pasien
- menyebutka perilaku
n akibat kekerasan
dari
perilaku
kekerasan
yang
dilakukan
- menyebutka
n cara
mengontrol
perilaku
kekerasan
Setelah 2 x SP 2
pertemuan, - Evaluasi kegiatan
pasien mampu: yang lalu (sp 1)
- Menyebutkan - Latih cara fisik 2:
kegiatan yang pukul kasur atau
sudah bantal
dilakukan - Masukkan dalam
- Memperagak jadwal harian
an cara fisik pasien
untuk
mengontrol
perilaku
kekerasan
Setelah 3 x
pertemuan,
SP 3
pasien mampu :
- Evaluasi kegitan
- Menyebutka
yang lalu (sp 1
n kegiatan
dan 2)
yang sudah
- Latih secara
dilakukan
social/verbal
- Memperagak
- Menolak dengan
an cara
baik
social/ verbal
- Masukkan dalam
untuk
jadwal pasien
mengontrol
perilaku
kekerasan
Setelah 4 x SP 4
pertemuan, - Eveluasi kegiatan
pasien mampu : yang lalu (sp 1,2
- Menyebutka dan 3)
n kegiatan - Latih secara
yang sudah spiritual (bedoa
dilakukan dan sholat)
- Memperagak - Masukkan dalam
an cara jadwal harian
spiritual pasien
Setelah 5 x SP 5
pertemuan, - Evaluasi kegiatan
pasien mampu: yang lalu (sp
- Menyebutka 1,2,3 dan 4)
n kegiatan - Latih patuh obat:
yang sudah (Minum obat
dilakukan secara teratur
- Memperagak dengan 5B dan
an cara patuh susun jadwal
obat. minum obat
secara teratur)
- Masukkan dalam
jadwal harian
pasien
B. Pembahasan intervensi
Kelompok mendapatkan tiga diagnosa dari dari kasus di atas yang pertama itu
adalah resiko bunuh diri intervensinya adalah identifikasi penyebab dan tanda gejala
akibat dari prilaku kekerasannya, latih pasien untuk relaksasi nafas dalam, latih pasien
untuk memukul kasur dan bantal jika mengalami kekambuhan, dan latih dengan cara
spiritual berdoa, shalat sedangkan di jurnal juga di temukan bahwa terapi mendekatkan
diri kepada tuhan bisa membantu pemulihan pasien.
Untuk diagnosa ke dua adalah isolasi social intervensinya adalah Tanyakan
keuntungan dan kerugian berinteraksi dengan orang lain, Tanyakan pendapat pasien
tentang kebiasaan berinteraksi dengan orang lain, Tanyakan apa yang menyebabkan
pasien tidak ingin berinteraksi dengan orang lain, Diskusikan keuntungan bila pasien
memiliki banyak teman dan bergaul akrab dengan mereka, Diskusikan kerugian bila
pasien hanya mengurung diri dan tidak bergaul dengan orang lain, Jelaskan pengaruh
isolasi social terhadap kesehatan fisik. Terapi yang di berikan pada pasien isolasi social
ini lebih mengarah kepada terapi kognitif sedangkan pada jurnal juga di jelaskan bahwa
terapi kognitif juga bisa mengatasi gangguan stress (PTSD) yang di rasakan oleh korban
pemerkosaan. Sedangkan untuk diagnosa ketiga yaitu harga diri rendah pada intervensi
juga lebih mengarah pada terapi kognitif sama seperti diagnosa kedua. ini adalah cara
pemulihan dari jurnal Ada pula terapi yang biasa digunakan untuk PTSD yaitu cognitive-
behavioral therapy (CBT), exposure techniques, somatic experiencing, sensorimotor
therapy, craniosacral therapy, eye movement desensitization and reprocessing (EMDR)
(Pratt, 2010)
DAFTAR PUSTAKA