Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

NEPHROLITHIASIS

Disusun oleh:
Alya Rihhadatul Fano (1102017019)
N Sinta Fauziah Ulfah (1102017160)
Shavira Wadya Putri Wahyudi (1120107215)

Pembimbing:
dr. Ryan Indra, Sp. Rad

KEPANITRAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
2021
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. X
Umur : 60 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku : Betawi
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Tanggal Pemeriksaan : 4 Mei 2013
Nomor Rekam Medis : 40089

1.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Nyeri pinggang kanan
Keluhan Tambahan : Mual

Riwayat penyakit sekarang :


Seorang pria berusia 60 tahun datang ke rumah sakit RSUD Undata pada bulan
januari 2018 dengan keluhan nyeri pada pinggang kanan, yang dirasakan sejak
kurang lebih setahun yang lalu, nyeri yang dirasakan bersifat hilang timbul, tetapi
beberapa bulan belakangan, keluhan nyeri pasien semakin memberat. Pasien juga
mengeluhkan mual, keluhan lain disangkal berupa, demam, muntah, batuk, dan
sesak. BAB biasa. BAK lancar.

Riwayat penyakit dahulu


Pasien pernah mengalami kencing bercampur darah beberapa bulan yang lalu dan
pasien mengaku pernah mengalami keluhan serupa sekitar 1 tahun yang lalu. DM
(-), hipertensi (-).

1
Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang serupa.

1.3 Pemeriksaan Fisik


a. Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan Umum : Tampak Sakit Berat
Kesadaran : Composmentis
Vital Sign :
- Tekanan darah : 110/75 mmHg
- Nadi : 85 kali/menit
- Pernafasan : 20 kali/ menit
- Suhu : 36,40 C
- BB : 70 Kg
- Panjang badan : 174 cm

b. Status Generalis

KEPALA
Mata : tidak ada kelainan
Telinga : tidak ada kelainan
Hidung : tidak ada kelainan
Mulut : tidak ada kelainan
Leher : tidak ada kelainan
THORAX
PULMO
Inspeksi : Bentuk dada nomal, pergerakan dada simentris & dinamis,
retraksi (-/-)
Palpasi : Ketinggalan gerak (-/-), fremitus taktil dan vokal kanan =
kiri,
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler, wheezing (-/-), rhonki (-/-)

2
JANTUNG
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Teraba iktus kordis pada ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Bunyi jantung I & bunyi jantung II reguler, murmur (-),
gallop (-)

ABDOMEN
Inspeksi : Datar, tidak tampak kelainan.
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Perkusi : Timpani seluruh lapang perut.
Palpasi : Nyeri ketok CVA (+), Ballotement (+).

KAKI DAN TANGAN


Kulit : normal
Sendi-sendi : normal
Otot : normal
Tulang : normal
Nyeri tekan : (-)
Edema : tidak ada

c. Pemeriksaan Penunjang

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
DARAH LENGKAP
Nilai
Pemeriksaan Hasil Satuan
normal
Hemoglobin 10.6 g/dL 10.1-12.9
Hematokrit 35 % 32.0-44.0
Eritrosit 4.79 106/ul 3.20-5.20
Trombosit 439 103/ul 150-450
Leukosit 16 103/ul 6.0-14.0

3
KIMIA DARAH
Nilai
Pemeriksaan Hasil Satuan
normal
Natrium 137 mmol/ L 136-146
Kalium 4.9 Mmol/ L 3.5-5.0
Klorida (Cl) 99 106/ul 4.60-6.20
Glukosa
98 Mg/ dL 80-170
Sewaktu Stik

URIN LENGKAP DAN SEDIMEN URIN

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal


pH 5.0 - 4.60-6.20

Protein 0.4 g/ dL Negatif

Leukosit 500 Leu/µL Negatif

PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Ø Pada pemeriksaan ultrasonografi didapatkan kesan hydronefrosis desktra
grade 3, dan nefrolithiasis desktra ukuran 2,04 cm.

Ø Pada pemeriksaan ct-scan tanpa kontras didapatkan kesan staghorn stone


renal dekstra dan spondylosis lumbalis.

4
5
d. Resume
Pasien laki-laki berumur 60 tahun masuk rumah sakit RSUD Undata pada
bulan januari 2018 dengan keluhan nyeri kolik pada pinggang kanan, yang
dirasakan sejak kurang lebih setahun yang lalu, nyeri yang dirasakan
bersifat hilang timbul, tetapi beberapa bulan belakangan, keluhan nyeri
pasien semakin memberat. Pasien juga mengeluhkan mual, keluhan lain
disangkal berupa, demam, muntah, batuk, dan sesak. BAB biasa. BAK
lancar. Riwayat penyakit sebelumnya, pasien pernah mengalami kencing
bercampur darah beberapa bulan yang lalu dan pasien mengaku pernah
mengalami keluhan serupa sekitar 1 tahun yang lalu. DM (-), hipertensi (-),
tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang serupa.

Pemeriksaan Fisik :
Kesan Umum
Kesan sakit : Sakit berat
Kesadaran : CM
Tekanan darah : 110/75 mmHg
Nadi : 85 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Tax : 36,4 ºC
BB : 70 kg
TB : 174 cm

Pemeriksaan Fisik :
Mata : Anemia -/-, Ikterus -/-, Refleks Pupil +/+ (isokor)
Leher : JVP = PR + 0cmH2O
Thorak (Cor) :
Inspeksi : Iktus Kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus Kordis teraba
Perkusi : Batas kanan : PSL kanan
Batas kiri : MCL kiri ICS V

6
Batas atas : ICS II
Auskultasi : J1J2 tunggal reguler, murmur (-)
Thorak (Pulmo) :
Inspeksi : Simetris statis & dinamis
Perkusi : sonor/sonor
Palpasi : VF & VT N/N
Auskultasi : Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen : Distensi (-), Bising Usus (+) normal,
Ballotement (+), nyeri ketok CVA (+)
Ekstremitas : Akral hangat (+), Edema (-)

Pemeriksaan Penunjang:
§ Pemeriksaan Urin Lengkap dan Sedimen Urin: Protein (+2) dan Leukosit
(+3)
§ Pemeriksaan USG: hydronefrosis desktra grade 3,dan nefrolithiasis
desktra uk. 2,04 cm
§ Pemeriksaan CT- Scan tanpa kontras: staghorn stone renal dekstra dan
spondylosis lumbalis

e. Diagnosis Kerja
Nefrolithiasis berbentuk staghorn stone ren dextra

1.7 Diagnosis Banding


Ø Flank Pain
Ø Hydronephrosisrenal dextra

1.8 Penatalaksanaan
Tindakan OSS ( open stone surgery) dengan teknik nefrolitotomi

1.9 Prognosis

Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam

7
Quo ad Fungtionam : Dubia ad Bonam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad Bonam

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Nefrolitiasis (batu ginjal) merupakan salah satu penyakit ginjal, dimana
ditemukannya batu yang mengandung komponen kristal dan matriks organik yang
merupakan penyebab terbanyak kelainan saluran kemih (Fauzi & Putra, 2016).

2.2 Epidemiologi
Penelitian yang dilakukan oleh Scales CD et all (2012) tentang “Prevalenced
of Kidney Stones in the United States”, menyatakan prevalensi kejadian batu ginjal
di Amerika Serikat sebesar 8,8% dengan rasio laki-laki lebih tinggi dibandingkan
perempuan. Sementara di Indonesia, berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2013 menyatakan prevalensi kejadian batu ginjal sebesar 6 dari
1.000 penduduk (Fildayanti, et al., 2019).
Di Indonesia, penyakit ginjal yang paling sering ditemui adalah gagal ginjal
dan nefrolitiasis. Prevalensi tertinggi penyakit nefrolitiasis yaitu di daerah DI
Yogyakarta (1,2%), diikuti Aceh (0,9%), Jawa Barat, Jawa Tengah , dan Sulawesi
Tengah masing-masing (0,8%). Prevalensi penyakit ini diperkirakan sebesar 7%
pada perempuan dewasa dan 13% pada laki-laki dewasa (Fauzi & Putra, 2016).

2.3 Etiologi
Etiologi dari pembentukan batu ginjsl masih idiopatik (belum jelas).
Berdasarkan studi epidemiologi, ada beberaoa faktor yang mempengaruhi
terbentuknya batu ginjal, yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik yaitu
keturunan, umur (paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun) dan jenis kelamin
(perbandingan pasien laki-laki dan pasien perempuan adalah 3:1), sementara faktor
ekstrinsik yaitu geografi, iklim dan temperature (pada daerah yang temperaturnya
lebih tinggi, pembentukan batu ginjal lebih banyak), asupan air (jika asupan air
kurang dan kadar mineral kalsium didalamnya tinggi), diet (diet banyak purin,
oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya penyakit batu saluran kemih) dan
pekerjaan (seseorang dengan pekerjaan yang banyak duduk atau kurang aktivitas
atau sedentary life (Fildayanti, et al., 2019).
Risiko pertumbuhan batu ginjal meningkat pada seseorang dengan
penambahan berat bedan dan obesitas. Demikian pula, diabetes melitus dikaitkan
dengan peningkatan risiko pembentukan batu ginjal. Pasien dengan diabetes
memiliki pH urin yang lebih rendah, yang dapat meningkatkan risiko batu asam
urat. Demikian pula, jumlah oksalat urin yang lebih tinggi telah terdeteksi pada
pasien diabetes (Pfau & Knauf, 2016).
Konsentrasi bahan-bahan pembentuk batu yang tinggi di dalam darah dan
urine serta kebiasaan makan atau obat-obatan dapat mempercepat pembentukan
batu. Makanan yang dimaksud adalah bayam, kangkung, kaacng panjang, daun
sawi hijau, buncis dan daun singkong. Obat yang dimaksud adalah loop diuretics,
carbonic anhydras inhibitors, dan laxatives (Fildayanti, et al., 2019). Obat yang
mengkristal dalam urin (seperti atazanavir, acyclovir, sulfadiazine, methotrexate,
triamterene, quinolones, atau aminopenicillins) juga dapat menyebabkan
nefrolitiasis. Selain itu, obat-obatan yang mengubah pH urin (sperti topiramate dan
acetazolamide) dapat mempengaruhi pembentukan batu ginjal (Pfau & Knauf,
2016).

2.4 Klasifikasi
§ Klasifikasi Berdasarkan Komposisi

Batu Komposisi dari batu sangat penting untuk menjadi dasar diagnostik dan
penanganan lebih lanjut. Tidak ada sistem klasifikasi khusus untuk batu ginjal,
tetapi batu ginjal dapat diklasifikasikan berdasarkan komposisinya (Ernawati,
2019).

a) Batu kalsium : 80% dari batu ginjal. Batu kalsium dibedakan menjadi kalsium
oksalat dan kalsium fosfat.Kalsium oksalat merupakan 80% dari semua batu
kalsium dengan faktor risiko termasuk volume urin rendah,
hiperkalsiuria,hyperuricosuria, hyperoxaluria, dan hypocitraturia. Kalsium
fosfat (hidroksi apatit)merupakan 20% dari semua batu kalsium dengan faktor

10
risiko termasuk rendah volume urin, hiperkalsiuria, hipokitraturia, pH urin
tinggi, dan kondisi terkait termasuk primer hiperparatiroidisme dan asidosis
tubulus ginjal.
b) Batu asam urat : 10% hingga 20% dari batu ginjal. Disebabkan oleh karena pH
urin < 5,5 maupun hyperuricosuria. Orang dengan artritis gout juga bisa
terbentuk batu di ginjal. Penyebab paling umum dari asam urat nefrolitiasis
adalah idiopatik, dan batu asam urat adalah lebih sering terjadi pada pria
daripada wanita (Alelign & Petros, 2018)
c) Batu sistin : 1% dari batu ginjal yang disebabkan oleh kesalahan metabolisme
bawaan, cystinuria, autosomalrecessive (gangguan yang menghasilkan
reabsorpsi tubular ginjal abnormal dari asam amino sistin, ornithine, lysine, dan
arginine).
d) Batu struvite : 1% hingga 5% dari batu ginjal, juga dikenal sebagai batu infeksi;
terdiri dari magnesium,amonium, dan fosfat. Batu ini sering disebut sebagai
batu staghorn dan dapat dikaitkan dengan organisme pemecah urea, seperti
spesies Proteus, Pseudomonas, dan Klebsiella. E coli bukan organisme
penghasil urease.
e) Batu Drug-Induced : terdapat sekitar 1% dari semua jenis batu ginjal. Obat-
obatan seperti guaifenesin, triamterene, atazanavir, dan obat sulfa
menyebabkan terbentuknya batu ini. Orang yang menggunakan protease
inhibitor indinavir sulfat, obat yang digunakan untuk mengobati infeksi HIV
berisiko mendapatkan batu ginjal. Obat litogenik dapat mengendap untuk
membentuk calculi renal. Di sisi lain, obat ini dapat menyebabkan
pembentukan batu melalui aksi metaboliknya dengan mengganggu
metabolisme kalsium oksalat atau purin (Alelign & Petros, 2018).

§ Klasifikasi Berdasarkan Ukuran dan Lokasi

Berdasarkan diameter ukurannya secara dua dimensi dibagi menjadi >5 cm, 4-
10 cm, 10-20 cm, dan > 20 cm. Sedangkan berdasarkan posisi anatominya kalkuli
dibagi menjadi: calyx superior, medius, atau inferior; pelvis renali; ureter

11
proksimal, medius, dan distal; dan vesica urinaria (Ernawati, 2019).

2.5 Patofisiologi
Teori proses pembentukan batu saluran kemih
Tujuh puluh lima persen dari batu ginjal adalah batu kalsium. Enam puluh
persen tersusun dari kalsium oksalat, 20% dari campuran kalsium oksalat dan
hydroxyapatite, 10% dari asam urat dan struvite (magnesium ammonium fosfat)
dan 2% adalah batu brushite (Pearle et al, 2012).
Mekanisme pembentukan kristal kalsium pada batu ginjal meliputi
supersaturasi, nukleasi kristal, pertumbuhan kristal dan agregasi kristal. Kristal

12
terbentuk dalam cairan tubulus ginjal akibat dari peningkatan ekskresi zat penyusun
batu, volume urin, perubahan pada pH urin, atau kombinasi dari faktor-faktor ini.

A. Supersaturasi
Supersaturasi adalah keadaan dimana larutan mengandung lebih banyak zat
sehingga tidak dapat larut yang seharusnya pada keadaan normal dapat larut.
Supersaturasi dinyatakan sebagai rasio kalsium, urat dan oksalat atau
konsentrasi kalsium fosfat terhadap kelarutannya, yang merupakan kekuatan
pendorong dalam pembentukan batu. Titik dimana saturasi larutan tercapai dan
mulai terjadi kristalisasi disebut sebagai produk termodinamik (Ksp). Pada
tingkat supersaturasi di atas 1, kristal dapat berinti dan tumbuh, tetapi jika
supersaturasi dibawah 1 maka kristal akan larut. Supersaturasi kalsium oksalat
tergantung pada pH urin, namun supersaturasi kalsium fosfat meningkat dengan
cepat ketika pH urin meningkat dari 6 hingga 7 (Ratkalkar & Kleinman, 2011).
Peran dari konsentrasi solut sudah jelas: semakin tinggi konsentrasi 2 ion,
semakin besar kemungkinan terjadinya presipitasi. Konsentrasi ion yang
rendah menyebabkan undersaturasi and peningkatan solubilitas. Bila
konsentrasi ion meningkat, aktivitas produk akan mencapai poin spesifik yang
disebut dengan solubility product (Ksp). Konsentrasi di atas poin ini
memungkinkan pertumbuhan kristal dan nukleasi heterogenik. Semakin
meningkat konsentrasi larutan, aktivitas produk akan mencapai formation
product (Kfp). Supersaturasi di atas level ini bersifat tidak stabil dan nukleasi
homogenik spontan bisa terjadi (Stoller, 2013).
Mengalikan dua konsentrasi ion menunjukkan konsentrasi produk.
Konsentrasi produk sebagian besar ion lebih besar dari solubilitas produk.
Faktor lain yang ikut berperan dalam pembentukan batu adalah complexation.
Complexation mempengaruhi keberadaan ion spesifik. Sebagai contoh,
natrium melakukan complexation dengan oksalat dan menurunkan bentuk
bebasnya, sementara sulfat bisa melakukan complexation dengan kalsium.
Formasi kristal dimodifikasi oleh beberapa macam bahan yang ditemukan
dalam saluran kemih, seperti magnesium, sitrat, pyrophosphate, dan berbagai

13
macam metal. Inhibitor inibisa beraksi pada tempat aktif terbentuknya kristal
atau sebagai inhibitor dalam larutan (seperti sitrat) (Pearle et al, 2012).

B. Nukleasi Kristal
Nukleasi adalah fase pembentukan kristal padat dalam suatu larutan. Fase
ini penting dalam tahap pembentukan batu. Urin bukanlah larutan murni dan
nukleasi dalam urin sering terjadi pada permukaan kristal yang sudah terjadi
sebelumnya. Proses ini disebut nukleasi heterogen. Tempat terjadinya nukleasi
heterogen di dalam urin bisa berupa sel epitel, sel darah merah, debris, kristal
urin dan bakteri urin. Proses nukleasi dalam larutan murni disebut juga nukleasi
homogen. Pada nukleasi sekunder, deposit kristal baru terjadi pada permukaan
kristal jenis yang sama yang sebelumnya telah terbentuk. Kristalisasi merupakan
fase awal pembentukan batu saluran kemih. Batu terjadi akibat perubahan fase,
di mana garam yang tidak larut berkumpul menjadi satu dan transformasi ini
dipengaruhi oleh keadaan supersaturasi (Ratkalkar & Kleinman, 2011).
Teori nukleasi mengatakan bahwa batu berasal dari kristal atau benda asing
di dalam urin yang mengalami supersaturasi. Namun, teori ini dipertanyakan
karena batu tidak selalu terbentuk pada pasien hiperekskretor atau dalam resiko
dehidrasi. Bahkan pemeriksaan urin 24 jam pasien-pasien batu cenderung
normal (Pearle et al, 2012).

C. Pertumbuhan Kristal
Pertumbuhan kristal mikroskopis dicapai oleh pergerakan ion dari larutan ke
kristal yang tumbuh. Pertumbuhan kristal dipengaruhi oleh ukuran dan bentuk
molekul, level supersaturasi, pH, dan defek pada struktur kristal. Kemungkinan
besar pertumbuhan batu dicapai melalui agregasi kristal yang terbentuk
sebelumnya atau nukleasi kristal sekunder pada lapisan matriks permukaan yang
lain (Ratkalkar & Kleinman, 2011).

D. Agregasi Kristal

14
Agregasi adalah proses dimana ada aglomerasi kristal yang terbentuk dalam
larutan bebas menjadi partikel multikomponen yang lebih besar. Ini mencakup
fenomena nukleasi sekunder kristal baru di permukaan yang sudah terbentuk.
Struktur batu menunjukkan parameter batu tumbuh ke ukuran yang signifikan
secara klinis. Batu ginjal dapat dianggap sama dengan beton, campuran zat
pengikat (semen), dan partikulat seperti pasir, kerikil, atau kaca. Batu adalah
agregasi kristal dan matriks organik, yang terakhir berfungsi sebagai agen
pengikat. Matriks organik mengandung protein, lipid, polisakarida, dan bahan
yang berasal dari sel lainnya (Ratkalkar & Kleinman, 2011).

E. Interaksi Kristal
Interaksi kristal merupakan proses pelekatan kristal ke sel tubular ginjal.
Mekanisme terjadinya interaksi sangat kompleks, dimulai dari proses kristalisasi
akibat kondisi urin yang jenuh. kemudian kristal yang terbentuk akan melekat
pada sel epitel tubular ginjal. Interaksi kristal merupakan proses awal
terbentuknya batu ginjal. Ada beberapa zat yang memiliki efek penghambatan
pada kalsium oksalat yaitu glikoprotein dan sitrat dengan mekanisme
menghalangi pengikatan krital kalsium oksalat monohidrat ke membran sel
(Aggarwal , Narula, Kakkar, & Tandon, 2013).

Penghambat pembentukan batu saluran kemih


Terbentuk atau tidaknya batu di dalam saluran kemih ditentukan juga oleh
adanya keseimbangan antara zat-zat pembentuk batu dan inhibitor, yaitu zat-zat
yang mampu mencegah timbulnya batu. Dikenal beberapa zat yang dapat
menghambat terbentuknya batu saluran kemih, yang bekerja mulai dari proses
reabsorbsi kalsium di dalam usus, proses pembentukan inti batu atau kristal, proses
agregasi kristal, hingga retensi kristal.
Ion magnesium (Mg++) dikenal dapat menghambat pembentukan batu
karena jika berikatan dengan oksalat, membentuk garam magnesium oksalat
sehingga jumlah oksalat yang akan berikatan dengan kalsium (Ca++) untuk

15
membentuk kalsium oksalat menurun. Demikian pula sitrat jika berikatan dengan
ion kalsium (Ca++) membentuk garam kalsium sitrat; sehingga jumlah kalsium yang
akan berikatan dengan oksalat ataupun fosfat berkurang. Hal ini menyebabkan
kristal kalsium oksalat atau kalsium fosfat jumlahnya berkurang.
Beberapa protein atau senyawa organik lain mampu bertindak sebagai
inhibitor dengan cara menghambat pertumbuhan kristal, menghambat agregasi
kristal, maupun menghambat retensi kristal. Senyawa itu antara lain adalah:
glikosaminoglikan (GAG), protein Tamm Horsfall (THP) atau uromukoid,
nefrokalsin, dan osteopontin. Defisiensi zat-zat yang berfungsi sebagai inhibitor
batu merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya batu saluran kemih.

2.6 Manifestasi Klinis


Penyakit ini memiliki gejala yang cukup khas dengan adanya rasa nyeri
pada daerah pinggang ke bawah. Nyeri bersifat kolik atau non kolik. Nyeri dapat
menetap dan terasa sangat hebat. Mual dan muntah sering hadir, namun demam
jarang dijumpai. Dapat juga muncul adanya bruto atau mikrohematuria (Fauzi &
Putra, 2016).
Kolik ginjal merupakan gejala nefrolitiasis yang paling sering timbul.
Lokalisasi nyeri cenderung bergantung dengan posisi batu di sepanjang saluran
kemih dan dapat menjalar ke testis atau labia. Intensitasnya dapat bervariasi dari
tekanan yang tumpul atau sensasi yang sedikit menarik hingga rasa sakit yang
menyiksa. Gejala tambahan seperti mual, muntah, dysuria dan keinginan untuk
buang air kecil yang terus-menerus (terutama bila batu berada di ureter bagian
distal) (Pfau & Knauf, 2016).

2.7 Cara Diagnosis dan Diagnosis Banding


Anamnesis
Gejala utama yang dapat muncul pada nefrolitiasis adalah adanya keluhan
rasa nyeri pada pinggang ke arah bawah dan depan. Nyeri dapat bersifat kolik atau
non kolik. Nyeri dapat menetap dan terasa sangat hebat. Mual dan muntah sering
hadir, namun demam jarang di jumpai pada penderita, dapat juga muncul adanya

16
bruto atau mikrohematuria. Selain dari keluhan khas yang didapatkan pada
penderita nefrolitiasis, ada beberapa hal yang harus digali mengenai riwayat diet,
batu pada saluran kemih, infeksi saluran kemih, gangguan ginjal, riwayat batu
saluran kemih di keluarga, dan penyakit lain (Purnomo, 2013)

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Pada
pasien nefrolitiasis sering ditemukan Nyeri ketok pada Costovertebral Angel
(CVA), teraba ginjal pada sisi sakit akibat hidronefrosis, terlihat tanda-tanda gagal
ginjal, retensi urine, dan jika disertai infeksi didapatkan demam/menggigil
(Purnomo, 2013). Tanda-tanda sepsis, termasuk demam, takikardia, dan hipotensi,
mungkin menunjukkan adanya batu yang infeksi, memerlukan rujukan urologi
segera (BMJ, 2018).

Pemeriksaan Laboratorium
Tes laboratorium awal pada semua pasien dengan dugaan nefrolitiasis
adalah urinalisis, CBC, dan serum kimia untuk memasukkan elektrolit, BUN /
kreatinin (untuk menilai fungsi ginjal), kalsium, fosfor, dan uric acid. Urinalisis
sangat membantu dalam memastikan diagnosis batu ginjal karena terdapat
hematuria mikroskopis pada sebagian besar pasien. Namun, tidak adanya hematuria
tidak menyingkirkan nefrolitiasis. Adanya lebih dari 5 hingga 10 sel darah putih
per lapang pandang besar dalam urin atau piuria dapat menunjukkan adanya infeksi
saluran kemih atau inflamasi sekunder. Kristal kalsium oksalat urin, asam urat, atau
sistin dapat menunjukkan sifat kalkulus, meskipun hanya kristal sistin yang
patognomonik. PH urin lebih besar dari 7 menunjukkan adanya organisme pemecah
urea, seperti spesies Proteus, Pseudomonas, atau Klebsiella, dan batu struvite. pH
urin kurang dari 5,5 menggambarkan adanya batu asam urat (BMJ, 2018).

17
Pencitraan
Modalitas pencitraan yang paling tepat ditentukan oleh klinis pasien, yang
akan berbeda tergantung jika sudah dicurigai adanya batu ginjal (Fauzi & Putra,
2016).

Non-Contrast Helicat Computed Tomography (NCCT) Scan


CT-Scan non krontras merupakan modalitas pencitraan yang lebih dianjurkan
karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi serta secara akurat
menentukan keberadaan, ukuran, dan lokasi dari batu; jika negatif, nefrolitiasis
dapat disingkirkan dengan kemungkinan tinggi. Ct-Scan non-kontras dosis rendah
(<4 mSv) lebih dianjurkan untuk pasien dengan indeks massa tubuh (BMI) ≤30 kg
/ m², membatasi potensi paparan radiasi serta mempertahankan sensitivitas dan
spesifisitas pada 90% atau lebih tinggi. Namun, CT dosis rendah tidak
direkomendasikan untuk mereka dengan BMI>30 kg / m², karena sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih rendah pada pasien ini. Namun, ada risiko paparan radiasi
yang signifikan dengan pemindaian CT berulang (BMJ, 2018).
CT-Scan memungkinkan akuisisi data 3D yang cepat termasuk informasi tentang
ukuran batu dan kepadatan, jarak dari kulit ke batu dan anatomi sekitarnya, tetapi
dengan biaya cukup mahal dan adanya peningkatan paparan radiasi. Protokol dosis
rendah dan dosis sangat rendah tampaknya menghasilkan hasil yang sebanding
dengan protokol dosis standar dengan protokol pengecualian untuk mendeteksi batu
atau batu yang sangat kecil pada pasien obesitas ( Manza & Fauzi, 2016).

Plain Abdominal Radiography (KUB)


Dapat menentukan apakah batu bersifat radiopak dan dapat digunakan untuk
memantau aktivitas penyakit. Batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat
radiopak, sedangkan asam urat murni dan batu indinavir bersifat radiolusen dan
batu sistin sebagian bersifat radiolusen. KUB dapat menunjukkan gambaran
fluoroskopik dari sebuah batu, yang menentukan apakah batu tersebut dapat
ditargetkan dengan Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) (BMJ, 2018).

18
Foto Polos Abdomen
Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat kemungkinan
adanya batu radio- opak di saluran kemih. Batu-batu jenis kalsium oksalat dan
kalsium fosfat bersifat radio-opak dan paling sering dijumpai diantara batu jenis
lain, sedangkan batu asam urat bersifat nonopak (radio-lusen).
Tabel 2. Urutan radiopasitas beberapa batu saluran kemih

Jenis batu Radioopasitas


Urat/Sistin Non opak
Kalsium Opak
MAP Semiopak

Gambar 4. Foto polos abdomen Gambar 5. Terlihat gambaran


normal radioopak membentuk pelvis renalis
yang membesar. Menandakan batu
pada kalix minor dan mayor. Pada
gambaran radiologis disebut dengan
batu staghorn

Pielografi Intra Vena (PIV)


Pemeriksaan ini bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal.
Selain itu PIV dapat mendeteksi adanya batu semi-opak ataupun batu non opak
yang tidak dapat terlihat oleh foto polos perut. Jika PIV belum dapat menjelaskan
keadaan sistem saluran kemih akibat adanya penurunan fungsi ginjal, sebagai
penggantinya adalah pemeriksaan pielografi retrograd (Purnomo, 2013).

19
Gambar 6. Tampak konkremen opak
Gambar 7. Tampak batu pada sistem
pada Abdomen kanan setinggi
pelvokalises ginjal kanan
vertebra Lumbalis II-III

Ultrasonografi
USG dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan PIV,
yaitu pada keadaan-keadaan: allergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang
menurun, dan pada wanita yang sedang hamil. Pemeriksaan USG dapat menilai
adanya batu di ginjal atau di buli-buli (yang ditunjukkan sebagai echoic shadow),
hidronefrosis, pionefrosis, atau pengkerutanginjal (Purnomo, 2013).
Ultrasonografi dapat digunakan untuk mendiagnosis batu ginjal, terutama
pada kehamilan atau keadaan lain untuk menghindari paparan radiasi, meskipun
memiliki sensitivitas yang rendah untuk mendiagnosis batu ureter mid dan distal
(BMJ, 2018). Kombinasi ultrasonografi dengan KUB telah diusulkan sebagai
protokol evaluasi awal ketika CT scan tidak dapat dilakukan atau tidak tersedia.
Pada pasien yang diketahui sebelumnya memiliki batu radiopak, sudah disarankan
bahwa kombinasi ultrasonografi ginjal dan KUB adalah pilihan yang baik untuk
pencitraan tindak lanjut; sensitivitas 58% hingga 100% dan spesifisitas 37% hingga

20
100% telah dilaporkan untuk kombinasi modalitas ini (BMJ, 2018).

Gambar 8. Nefroitiasis. Struktur hyperechoic dengan shadowing

Gambar 9. USG abdomen, tampak adanya calculus dengan hiperechoic


shadow pada renal sinistra dan hidronefrosis dengan pelebaran pelvis renalis

21
Diagnosis Banding
Diagnosis banding batu ginjal (nefrolitiasis) bergantung pada gejala yang muncul.

Gambar 11. Diagnosis Banding Batu Ginjal (Ferreira & Sarti, 2019)

2.8 Tata laksana


Tujuan utama penatalaksanaan pada pasien nefrolitiasis adalah mengatasi
nyeri, menghilangkan batu yang sudah ada dan mencegah terjadinya pembentukan
batu yang berulang. Terdapat berbagai terapi dan intervensi yang dapat dilakukan
untuk pengobatan nefrolitiasis, diantaranya (Magfiroh, 2019):
A. Terapi Medikamentosa
Terapi medika mentosa yang diberikan bertujuan untuk mengurangi rasa
nyeri. Pada pasien dengan kemungkinan pengeluaran batu secara spontan, dapat
diberikan regimen MET (medical expulsive therapy) berupa calcium channel
blocker untuk relaksasi otot polos uretra dan alpha blocker yang juga bermanfaat
untuk merelaksasikan otot polos uretra dan saluran urinari bagian bawah.
Sehingga dengan demikian batu dapat keluar dengan mudah (85% batu yang
berukuran kurang dari 5 mm dapat keluar spontan) (Eka Fildayanti, 2019).
Terdapat juga berbagai pilihan pengobatan yang tersedia tergantung pada ukuran
dan jenis batu.
1. Small stones
Batu-batu ini biasanya dikeluarkan dengan sendirinya dari tubuh. Asupan
jumlah air yang cukup (4- 5 liter/hari) dapat membantu mengeluarkan batu

22
melalui urin. Untuk meredakan nyeri akibat gerakan batu, dapat digunakan obat
pereda nyeri. Biasanya dokter meresepkan alpha blocker sebagai obat relaksasi
otot ureter dan dapat juga membantu membersihkan batu ginjal lebih cepat
dengan disertai nyeri ringan. Selain itu, obat diuretik juga dapat menyebabkan
peningkatkan aliran urin sehingga digunakan untuk membilas keluar batu
tersebut. Batu berukuran <5 mm biasanya akan keluar secara spontan.
Pengobatan farmakologis: Diuretik tiazid (dengan natrium restriksi) dapat
digunakan, untuk batu ca-oksalat dan batu ca-fosfat, untuk mengurangi kalsium
urin. Suplemen alkali, seperti kalium sitrat, bisa dipraktekkan untuk
meningkatkan konsentrasi rendah sitrat dalam urin. PH urin bisa ditingkatkan
dengan menggunakan suplementasi Alkali, dengan ini berarti risiko formasi batu
berpotensi meningkat; Oleh karena itu berhati-hatilah karena pemantauan pH
harus dilakukan pada pasien (Akram, 2019).

2. Large stones
Ekskresi batu besar dari tubuh sendiri tidak dapat dilakukan karena ukurannya
yang besar. Kejadian patologi seperti nefron rusak, perdarahan, atau Infeksi
saluran kemih yang sedang berlangsung (ISK) disebabkan oleh batu-batu ini.
Adanya tanda-tanda infeksi saluran kemih (ISK), kegagalan pengambilan cairan
oral, atau adanya indikasi rawat inap dan manajemen aktif adanya gambaran
klinis infeksi ginjal, kegagalan asupan cairan atau gangguan tunggal fungsi
ginjal (Akram, 2019).

Tabel Tindakan Atau Terapi Untuk Pencegahan Timbulnya Kembali Batu


Saluran Kemih
Jenis Faktor Penyebab Jenis Obat/Tindakan Mekanisme Kerja Obat
Batu Timbulnya Batu
Kalsium Hiperkalsiuria 1. Natrium selulosa Mengikat Ca dalam usus
absortif fosfat
2. Thiazide
3. Orthofosfat

23
Hiperkalsiuria renal Thiazide Meningkatkan reabsorbsi
Ca di tubuus
Hiperkalsiuria Paratiroidektomi Menurunkan resorpsi Ca
resorptif dari tulang
Hipositraturi Potasium sitrat Meningkatkan pH, sitrat
dan menurunkan Ca urine
Hipomagnesiuri Magneisum sitrat Meningkatkan Mg urine

Hiperurikosuri Allopurinol Menurunkan urat

Potasium Alkali Meningkatkan pH

Hiperoksaluria Allopurinol Menurunkan urat


Potasium alkali
Kalsium suplemen
MAP Infeksi Antibiotika Eradikasi infeksi
AHA (Amino Urease inhibitor
Hydroxamic Acid)
Urat Dehidrasi (pH urine Hidrasi cukup Meningkatkan pH
turun) Potasium alkali (Nat Menurunkan urat
Hiperurikosuri baik)
Allopurinol

B. ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)


ESWL pertama kali ditemukan pada tahun 1980 oleh Caussy. Bekerja
dengan menggunakan gelombang kejut yang dihasilkan dari luar tubuh untuk
menghancurkan batu di dalam tubuh. Batu akan dipecah menjadi bagian-bagian
kecil sehingga mudah dikeluarkan melalui saluran kemih. ESWL ditujukan untuk
terapi pada batu ginjal berukuran sedang (Magfiroh, 2019).

24
C. Minimal Invasif
- PCNL (Percutaneus Nephro Lithotomy)
Teknik ini mengeluarkan batu yang berada pada saluran ginjal dengan cara
menginsisi kulit lalu memasukkan alat endoskopi pada sistem kaliks ginjal.
Batu kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu menjadi fragmen-
fragmen kecil (Fildayanti, et al., 2019).
- Ureteroskopi atau retero renoskopi yaitu memasukkan alat ureteroskopi per
uretra guna melihat keadaan ureter atau sistem pielo kaliks ginjal. Dengan
memakai energi tertentu, batu yang berada di dalam ureter maupun sistem
pelvikaliks dapat dipecah dengan bantuan ureteroskopi atau
ureterorenoskopi ini (Fildayanti, et al., 2019).

D. Open Stone Surgery (OSS)


OSS merupakan suatu tindakan pembedahan terbuka berupa pielolitotomi
atau nefrolitotomi. Tindakan ini dilakukan dengan melakukan insisi pada kulit lalu
mengekspos ginjal sehingga memudahkan untuk proses pengangkatan batu ginjal,
terutama staghorn stone (Fildayanti, et al., 2019).

25
Gambar 12. Algoritma untuk diagnosis batu ginjal akut (Ferreira & Sarti,
2019)

2.9 Komplikasi
Ketika kondisi seperti ini berjalan terus tanpa dilakukannya pengobatan yang
tepat, banyak komplikasi yang dapat terjadi terutama komplikasi yang berhubungan
langsung dengan fungsi ginjal. Berikut adalah komplikasi yang sering didapatkan
pada pasien batu ginjal yang tidak melakukan pengobatan tidak tepat dan tidak
tuntas (Eka Fildayanti, 2019):
a) Obstruksi, karena aliran urin terhambat oleh batu.
b) Infeksi saluran kemih
c) Infeksi dapat terjadi karena batu menimbulkan inflamasi saluran kemih dan
terhambatnya aliran urin.
d) Gagal ginjal akut

26
Gagal ginjal akut dapat terjadi karena urin yang tidak dapat mengalir,
akan kembali lagi ke ginjal, menekan bagian dalam ginjal dan mempengaruhi
aliran darah keginjal, sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada organ
tersebut.

2.10 Pencegahan
Setelah batu dikeluarkan dari saluran kemih, tindakan selanjutnya yang
tidak kalah pentingnya adalah upaya menghindari timbulnya kekambuhan. Angka
kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7% per tahun atau kurang lebih 50%
dalam 10 tahun (Purnomo, 2013).
Pencegahan yang dilakukan adalah berdasarkan atas kandungan unsur yang
menyusun batu saluran kemih yang diperoleh dari analisis batu. Pada umumnya
pencegahan itu berupa:
a) Menghindari dehidrasi dengan minum cukup dan diusahakan produksi urine
sebanyak 2-3 liter per hari,
b ) Diet untuk mengurangi kadar zat-zat komponen pembentuk batu,
c) Aktivitas harian yang cukup, dan
d) Pemberian medikamentosa.

Beberapa diet yang dianjurkan untuk mengurangi kekambuhan adalah:


a) rendah protein, karena protein akan memacu ekskresi kalsium urine dan
menyebabkan suasana urine menjadi lebih asam,
b) rendah oksalat,
c) rendah garam karena natriuresis akan memacu timbulnya hiperkalsiuri, dan
d) rendah purin. Diet rendah kalsium tidak dianjurkan kecuali pada pasien yang
menderita hiperkalsiuri absorbtif tipe II (Purnomo, 2013).

Beberapa diet yang dianjurkan untuk mengurangi kekambuhan adalah: (1)


rendah protein, karena protein akan memacu ekskresi kalsium urine dan
menyebabkan suasana urine menjadi lebih asam, (2) rendah oksalat, (3) rendah
garam karena natriuresis akan memacu timbulnya hiperkalsiuri, dan (4) rendah

27
purin. Diet rendah kalsium tidak dianjurkan kecuali pada pasienyang menderita
hiperkalsiuri absorbtif tipe II (Purnomo, 2013).

2.11 Prognosis
Nefrolitiasis adalah penyakit dengan proses seumur hidup. Tingkat
kekambuhan nefrolitiasis adalah 50% dalam 5 tahun. Pasien dengan risiko tertinggi
untuk kambuh seringkali adalah mereka yang tidak patuh dengan terapi medis dan
perubahan pola makan / gaya hidup, atau jika ada kelainan metabolik yang
mendasari. Batu sisa fragmen dari pembedahan biasanya akan keluar secara spontan
selama ukurannya <4 mm (Antonelli & Maalouf, 2018). Batu ginjal yang tidak bisa
keluar akan menjadi obstruktif dan selanjutnya bisa menyebabkan gagal ginjal akut,
atau bisa juga menjadi nidus infeksi yang akhirnya bisa mematikan. Jika pasien
menjalani pemasangan tabung nefrostomi, maka ada kemungkinan terjadi
perdarahan, cedera sistem pengumpul ginjal, cedera organ viseral, komplikasi paru,
komplikasi tromboemboli, dan migrasi batu ekstrarenal (Nojaba & Guzman N,
2020).

28
BAB III
DISKUSI KASUS

Seorang laki-laki berusia 60 tahun datang dengan keluhan nyeri kolik pada
pinggang bagian kanan yang semakin memberat disertai mual. Nyeri kolik yang
dihasilkan akibat aktivitas otot polos sistem kaliks maupun ureter meningkat dalam
usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran kemih, sehingga menyebabkan
meningkatnya tekanan intraluminal yang berakibat terjadinya peregangan saraf
terminal dan memberikan sensasi nyeri. Keluhan sudah dirasakan sejak 1 tahun
yang lalu, nyeri yang dirasakan bersifat hilang timbul. Pasien pernah mengalami
kencing bercampur darah beberapa bulan yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan Ballotement (+), nyeri ketok CVA(+)
dan pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal. Pada pemeriksaan radiologi
ultrasonografi (USG) didapatkan kesan hidronefrosis dextra grade 3 dan
nefrolitiasis dextra ukuran 2,04 cm. Pada pemeriksaan CT-Scan tanpa kontras
didapatkan kesan staghorn stone renal dextra dan spondilosis lumbalis. Hal ini
sesuai dengan teori bahwa pemeriksaan CT-Scan memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih tinggi untuk menentukan lokasi dan ukuran batu. Untuk
penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan tindakan operatif berupa OSS (open
stone surgery) dengan teknik nefrolitotomi.

29
DAFTAR PUSTAKA

Aggarwal , K. P., Narula, S., Kakkar, M. & Tandon, C., 2013. Nephrolitiasis:
Molecular Mechanism of Renal Stone Formation and the Critical Role
Played by Modulatoros. Hindnawi Publishing Corporation , p. 21.
Akram, M., 2019. Nephrolithiasis; Prevalence, Risk factors and Therapeutic
Strategies: A Review. Madridge Journal of Internal and Emergency
Medicine, Volume 1, pp. 90-95.
Alelign, T. & Petros, B., 2018. Kidney Stone Disease: An Update on Current
Concepts. Advance in Urology, p. 12.
Antonelli, J. & Maalouf, N., 2018. Nephrolithiasis.
Ernawati, S., 2019. Uji Aktivitas Penghambat Pembentukan Batu Ginjal Ekstrak
Etanol Rimpang Homalomena occulta pada Tikus Wistar yang Diinduksi
dengan Etilen Glikol, s.l.: University of Muhammadiyah Malang.
Fauzi, A. & Putra, M. M. A., 2016. Nefrolitiasis. Majority, Volume 5, pp. 69-73.
ldayanti, W. E., A. & S., 2019. Election of Open Stone Surgery (OSS) as Treatment
to Case on Staghorn Stone. Jurnal Medical Profession, Volume 1, pp. 16-
22.
Magfiroh, F., 2019. Pengaruh Ekstrak Etanol Rimpang Nampu (Homalomena
occulta) terhadap Penghambatan Pembentukan Kristal Kalsium Oksalat
pada Batu Ginjal dengan Metode Mikroskopik, s.l.: University of
Muhammadiyah Malang.
Manza , M. & Fauzi, A., 2016. Nefrolitiasis. Majority.
Nojaba, L. & Guzman N, 2020. Nephrolithiasis.
Paulsen, F. & Waschke, J., 2013. Sobotta Atlas Anatomi Manusia: Anatomi Umum
dan Muskuloskeletal. Jakarta: EGC.
Pfau, A. & Knauf, F., 2016. Update on Nephrolithiasis: Core Curriculum 2016. Am
J Kidney Dis., Volume 6, pp. 973-985.
Purnomo, B. B., 2013. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: CV. Sagung Seto.
Ratkalkar, V. N. & Kleinman, J. G., 2011. Mechanism of stone formation. NIH
Public Access, pp. 187-197.

30
Schünke, M., Schulte, E. & Schumacher, U., 2013. Prometheus: Atlas Anatomi
Manusia. Jakarta: EGC.

31
32

Anda mungkin juga menyukai