Anda di halaman 1dari 21

BAB III

PENATALAKSANAAN LAPAROSKOPI UNTUK UNDESENSUS TESTIS

INTRAABDOMINAL PADA ANAK DITINJAU MENURUT

SUDUT PANDANG ISLAM

3.1. Pandangan Islam Mengenai Undesensus Testis

Menurut literatur kedokteran, undesensus testis merupakan suatu kelainan

pada testis, di mana setelah usia 1 tahun, satu atau kedua testis tidak berada di dalam

kantung skrotum, tetapi masih ada di salah satu tempat yang masih berada di

sepanjang jalur desensus normal kelainan genitalia bawaan yang paling sering

ditemukan pada anak laki-laki, dan sangat mempengaruhi kondisi kesehatan pasien

kelak.

Menurut pandangan Islam, undesensus testis merupakan penyakit pada organ

kelamin anak yang perlu mendapatkan perhatian seksama dari orang tua untuk

mengobati mereka. Pada hakikatnya, seorang anak merupakan tanggung jawab kedua

orang tuanya, sehingga hal-hal yang berkenaan dengan pemenuhan hak-hak anak

seperti hak mendapat kasih sayang, kehidupan yang layak, hak untuk bermain,

mendapatkan pendidikan agama serta kesehatan, merupakan suatu kewajiban bagi

setiap orang tua (Radhawi, 2005). Sebagaimana tercantum dalam sabda Nabi :

50
Artinya :
“Setiap anak dilahirkan atas fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana permisalan hewan yang
dilahirkan oleh hewan, apakah kalian melihat pada anaknya ada yang terpotong
telinganya?” (HR. Imam Al-Bukhari)

Berdasarkan hadits di atas, anak penderita undesensus testis juga merupakan

tanggung jawab orang tuanya sehingga mereka berhak memperoleh pengobatan dan

memperoleh kesembuhan. Demikian pentingnya tanggung jawab orang tua terhadap

anak dalam Islam, sehingga Rasulullah mengancam orang-orang yang menelantarkan

apa yang menjadi tanggungannya dengan dimasukkan ke dalam neraka, sebagaimana

sabda Rasulullah SAW :

Artinya :
“Seorang wanita masuk Neraka karena seekor kucing yang ia kurung kemudian tidak
diberi makan dan dibiarkannya sehingga ia makan serangga sampai mati.”(HR.
Muslim)

Berdasarkan dalil di atas, anak penderita undesensus testis tidak boleh

ditelantarkan dengan tidak memberikannya pengobatan karena Allah memberikan

peringatan kepada orang tua yang menelantarkan anak penderita undesensus testis

dengan neraka. Selain itu dalam hadits lainnya, Rasulullah bersabda :

51
Artinya :
“Rasulullah SAW bersabda,“Cukuplah bagi seseorang berdosa, apabila dia
mengabaikan orang yang makan dan minumnya menjadi tanggungannya". (HR. Abu
Dawud).

Berdasarkan hadits tersebut di atas, seseorang akan berdosa bila

menelantarkan anak yang hidupnya menjadi tanggungannya, termasuk orang tua yang

menelantarkan anaknya karena penyakit seperti undesensus testis juga akan berdosa.

Kewajiban orang tua terhadap anaknya termasuk juga kewajiban untuk

mengupayakan pengobatan bagi anak mereka apabila sakit, dan jangan membiarkan

anak itu menderita dalam penyakitnya karena perbuatan tersebut termasuk ke dalam

perbuatan menyia-nyiakan amanah Allah dan akan dibalas dengan dosa dan neraka

(Muhyidin, 2009).

Selain itu hendaknya orang tua bersabar dan tetap memberikan curahan kasih

sayangnya kepada anak mereka meskipun anak tersebut tidak sesempurna anak yang

lainnya, karena dalam Al-Qur’an Allah berfirman bahwa pada dasarnya anak dan

harta merupakan suatu cobaan dari Allah agar manusia dapat kembali mendekatkan

diri kepada Allah dan memperoleh pahala yang besar (Muhadi dan Muadzin, 2009),

sebagaimana firman berikut :

Artinya :
”Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan
sesungguhnya disisi Allah lah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal {8} : 28).

52
Berdasarkan dalil tersebut, anak yang menderita undesensus testis juga

merupakan suatu cobaan bagi orang tua untuk menjalaninya dengan sabar dan ihtiar

untuk mencari pengobatan. Dalam Islam, anjuran untuk berobat apabila sakit juga

telah diterangkan oleh Rasulullah SAW dalam berbagai sabdanya yang menjelaskan

bahwa Rasulullah pernah menyuruh para sahabat yang sakit agar berobat, karena

Allah SWT ketika menurunkan penyakit juga menurunkan obatnya (Muhadi dan

Muadzin, 2009). Sebagaimana tercantum dalam hadist Rasulullah saw :

Artinya :
“Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat?” Beliau menjawab: “Iya, wahai para
hamba Allah, berobatlah. Sebab Allah tidaklah meletakkan sebuah penyakit
melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu penyakit.” Mereka bertanya:
“Penyakit apa itu?” Beliau menjawab: “Penyakit tua.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari,
Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi).

Selain itu juga disebutkan dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu

Hurairah, yaitu:

Artinya :
”Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit melainkan menurunkan pula
obatnya”(HR. Imam Al-Bukhari).”

Dari hadits Rasullulah saw tersebut di atas menganjurkan berobat apabila

sakit, karena Allah SWT menurunkan penyakit beserta obatnya kecuali penyakit tua.

53
Akan tetapi perlu diyakini bahwa proses penyembuhan terhadap suatu penyakit

hendaklah ada kecocokan obat dengan penyakit dan tidak lepas dari izin Allah SWT,

manusia berusaha untuk pengobatan tetapi Allah SWT yang menyembuhkan (Abduh,

2010). Sebagaimana dalam hadits Rasulullah SAW :

Artinya :
“Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan penyakitnya
maka dia akan sembuh dengan seizin Allah SWT” (HR. Muslim)

Menurut tinjauan Islam, anak yang mengalami undesensus testis mengalami

hambatan pada pemenuhan tujuan syariat Islam yang meliputi lima pemeliharaan,

antara lain pemeliharaan nyawa, pemeliharaan akal, pemeliharaan harta,

pemeliharaan agama dan pemeliharaan keturunan, yang dikenal dengan maqashid

asy-syariah (tujuan syariat Islam) (Zuhroni, 2010). Adapun dampak UDT

intraabdominal terhadap pencapaian kelima maslahah tersebut, antara lain :

1) Hifzh al-Nafs (pemeliharaan nyawa)

Hifzh al-Nafs adalah berbagai upaya yang dilakukan untuk tujuan memelihara nyawa

dan fungsi vital badan, misalnya larangan membunuh, anjuran menjaga kesehatan

badan dan anjuran berobat apabila sakit. Undesensus testis yang dibiarkan akan

berisiko terjadi kanker testis yang dapat mengancam nyawa pasien kelak, sehingga

menghambat pemeliharaan nyawa.

2) Hifzh al-‟Aql (pemeliharaan akal)

Hifzh al -„Aql merupakan segala upaya yang bertujuan untuk menjaga pikiran atau

akal agar selalu jernih, misalnya pelarangan mengonsumsi narkoba dan khamr karena

54
efek buruknya terhadap akal pikiran. Undesensus testis mampu berdampak negatif

pada psikologis pasien dan menumpukkan rasa rendah diri, terlebih lagi bila terjadi

komplikasi infertil atau kemandulan pada pasien yang akan membuat pasien

terbebani mentalnya dengan stres.

3) Hifzh al-Mal (pemeliharaan harta)

Hifzh al-mal adalah upaya-upaya yang bertujuan untuk menjaga harta benda

seseorang, misalnya dengan melakukan penghematan, investasi dan bekerja.

Undesensus testis memerlukan terapi hormonal dan atau terapi pembedahan, yang

mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, namun bila didiamkan maka kelak biaya yang

dikeluarkan akan jauh lebih besar untuk mengatasi komplikasi yang terjadi pada

pasien.

4) Hifzh al-Din (pemeliharaan agama)

Hifzh ad-din adalah berbagai upaya yang dilakukan untuk tujuan memelihara

keutuhan agama dan kualitas ibadah kepada Allah, termasuk di dalamnya yaitu upaya

untuk menyempurnakan amalan dan ibadah. Berbagai hambatan pada nyawa, akal

dan harta mampu berdampak negatif pada kualitas dan kuantitas ibadah pasien

kepada Allah.

5) Hifzh al-Nasl (pemeliharaan keturunan)

Hifzh al-nasl adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk memelihara keturunan

seseorang, misalnya anjuran untuk menikah dan memiliki keturunan yang sehat.

Komplikasi kemandulan pada undesensus testis dapat merampas kesempatan pasien

untuk memiliki keturunan, sehingga undesensus testis berpotensi menghambat

pemeliharaan keturunan.

55
Menurut Zuhroni (2010), sesuatu yang dapat menghambat terpenuhinya

kelima tujuan syariat Islam disebut sebagai mudharat, sedangkan hal-hal yang dapat

mendorong tercapainya tujuan syariat Islam disebut sebagai maslahah.

Pasien yang mengalami undesensus testis mengalami hambatan dalam

pemenuhan maqashid asy-syariah, sehingga dapat dikatakan undesensus testis adalah

suatu mudharat bagi pasien, sedangkan upaya-upaya yang dapat mengurangi atau

bahkan menyembuhkan undesensus testis dikatakan sebagai maslahah atau manfaat.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa undesensus testis menurut

tinjauan Islam merupakan penyakit pada organ kelamin anak yang perlu diobati oleh

orang tuanya sebagai salah satu hak anak yang harus dipenuhi, karena undesensus

testis dapat menghambat pencapaian kelima tujuan syariat Islam pasien (maqashid

asy-syariah), oleh karena itu orang tua yang memiliki anak dengan undesensus testis

wajib mengupayakan kesembuhan anaknya dengan cara berobat menggunakan

pengobatan yang sesuai dengan penyakitnya dan atas seizin Allah.

3.2. Pandangan Islam Mengenai Penatalaksanaan Laparoskopi

Menurut pandangan ilmu kedokteran, teknik laparoskopi merupakan suatu

teknik yang dilakukan dalam rangka menentukan lokasi testis yang undesen dengan

cara membuat sayatan kecil di sekitar tali pusar. Melalui sayatan itu, dokter bedah

akan memasukkan alat laparoskop, yaitu suatu tabung kecil yang memiliki kamera

dan lampu kecil di ujungnya. Kamera itu akan memperlihatkan kondisi di dalam

rongga perut melalui sebuah monitor sehingga memudahkan dokter bedah untuk

mencari testis yang ada di dalam rongga perut. Teknik laparoskopi memanfaatkan

56
alat-alat canggih yang merupakan hasil kemajuan teknologi di bidang medis (Alan

dan Patrick, 2011; Argos et.al, 2013).

Menurut tinjauan Islam, pada dasarnya segala bentuk teknologi dan

pengetahuan boleh diterapkan selama memberikan manfaat dan tidak menimbulkan

mudharat sesuai dengan kaidah hukum fiqhiyyah. Hal ini didasarkan atas kebolehan

manusia dalam mengambil manfaat dari apapun ciptaan Allah yang ada di bumi,

selagi hal tersebut memberikan maslahah atau kebaikan bagi umat manusia

(Qaradhawi, 2011), sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya :

Artinya :
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah (2) : 29).

Selain itu dijelaskan juga dalam kaidah fiqhiyyah :

Artinya :
”Hukum asal sesuatu yang bermanfaat adalah boleh dan hukum asal sesuatu yang
berbahaya adalah haram”

Islam memperbolehkan dan menganjurkan manusia untuk memanfaatkan

teknologi dan ilmu pengetahuan dalam rangka menciptakan alat canggih yang

memberikan manfaat besar bagi seluruh manusia, termasuk dalam menciptakan

laparoskopi. Akan tetapi, mengenai pembedahan dan penyayatan badan, dalam Islam

57
pada dasarnya tidak diperbolehkan. pada dasarnya pengobatan dengan pembedahan

tidak diperbolehkan dalam ajaran Islam. Hal ini dikarenakan terapi pembedahan

berprinsip pada melakukan pengirisan atau penyayatan suatu bagian badan manusia

yang berarti akan merusak jaringan badan tersebut (As-Synqithy, 2012). Sehingga

akan bertentangan dengan firman Allah yang menjelaskan bahwa manusia diciptakan

dan dimuliakan oleh Allah dibandingkan mahluk yang lainnya karena susunan tubuh

manusia yang sempurna terutama dari sisi bentuk rupa dan akalnya (Mustofa, 2005).

Hal ini dapat dilihat pada firman Allah sebagai berikut :

Artinya:
”Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya.” (QS. At-Tin {95} : 4).

Selain itu pada ayat yang lainnya Allah berfirman :

Artinya :
”Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang
telah Kami ciptakan” (QS. Al-Israa {17} : 70).

Karena kesempurnaan susunan tubuhnya itulah maka manusia dimuliakan,

sehingga berbagai tindakan yang dapat merusak kesempurnaan susunan tubuh

manusia itu dilarang, salah satunya adalah dengan melakukan pengirisan atau

58
penyayatan pada badan untuk mencapai bagian organ yang sakit. Karena tindakan

tersebut berpotensi merusak kesempurnaan manusia sehingga menurunkan

kemuliaannya. Namun dalam kondisi tertentu, apabila pengobatan yang halal tidak

memberikan respon kesembuhan penyakit, maka diperbolehkan melakukan

pengobatan yang dilarang atau diharamkan syariat Islam, semisal pada kondisi yang

benar-benar terpaksa demi keselamatan. Ketentuan yang membolehkan melakukan

pengobatan dengan barang-barang haram dalam keadaan benar–benar terpaksa secara

tegas tercantum dalam firman Allah SWT: (Zuhroni, 2010)

Artinya :
“Katakanlah,“Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu
yang diharamkan memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah
yang mengalir, daging babi, karena semua itu kotor atau hewan yang disembelih
bukan atas (nama) Allah. Tetapi barang siapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang
dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-An’am {6}:145)

Dalam ayat lain firman-Nya :

Artinya :
“Dan mengapa kamu tidak mau memakan dari apa (daging hewan) yang (ketika
disembelih) disebut nama Allah, padahal Allah telah menjelaskan kepadamu apa
yang diharamkan-Nya kepadamu, kecuali jika kamu dalam keadaan terpaksa.” (QS.
Al-An’am (6) : 119)

59
Dalam kaidah fiqhiyah kedua juga disebutkan : (Djazuli, 2010)

Artinya :
“Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang terlarang”

Ayat-ayat dan kaidah tersebut menjelaskan kebolehan yang diharamkan karena suatu

keterpaksaan, bahwa dalam keadaan darurat atau sangat mendesak seseorang boleh

melakukan hal yang diharamkan, segala hal yang pada mulanya diharamkan tetapi

karena sangat diperlukan untuk meringankan malapetaka atau kesulitan-kesulitan,

maka hilanglah keharaman atau kemakruhannya untuk sementara waktu selama

keadaan darurat atau kebutuhan itu berlaku. Allah SWT memberikan kemudahan bagi

manusia agar tidak menyulitkan hidup (Zuhdi, 2001). Adapun unsur–unsur

diberlakukannya hukum darurat, yaitu :

1. Kondisi darurat yang dihadapi, syaratnya :

a. Bahaya tersebut sedang berlangsung

b. Bahaya yang dihadapi besar

2. Perbuatan yang dilakukan untuk mengatasi kondisi darurat syaratnya :

a. Perbuatan tersebut lazim (pasti bisa) untuk mengatasi darurat

b. Perbuatan tersebut relevan dengan bahaya yang dihadapi

3. Objek darurat, disyaratkan terjadinya atas diri atau harta sendiri atau harta orang

lain.

4. Orang yang berada dalam kondisi darurat, syaratnya :

60
a. Orang tersebut tidak mempunyai kewajiban syar‟i yang lain untuk mengatasi

bahaya atau kondisi darurat.

b. Orang tersebut tidak mempunyai unsur kesengajaan untuk menciptakan kondisi

darurat

Undesensus testis intraabdominal merupakan kondisi penyakit yang perlu

mendapatkan penanganan pembedahan karena penyakit ini tidak merespon terhadap

pengobatan farmakologis. Kondisi inilah yang termasuk dalam kesulitan atau keadaan

darurat sehingga dalam rangka melepaskan dari kondisi sulit tersebut maka dilakukan

operasi pembedahan pada perut untuk mencari testis yang ada di dalam perut dengan

teknik laparotomi atau laparoskopi. Pemilihan kedua teknik tersebut pada prinsipnya

sama, yaitu mencari dan mengeksplorasi lokasi testis dalam perut, hanya saja

laparoskopi cukup memberikan sayatan kecil pada perut dan pencarian dilakukan

menggunakan bantuan alat endoskopi yaitu semacam kamera kecil yang terhubung

pada layar monitor, sehingga dengan teknik ini perdarahan dapat dikurangi, risiko

infeksi semakin kecil, waktu penyembuhan juga semakin singkat.

Menurut pandangan Islam, bedah medis termasuk bagian dari pengobatan. Secara

umum, pengobatan termasuk disyariatkan dalam Islam namun ulama berbeda tentang

hukumnya. Beberapa pendapat yang terkenal, masing-masing didukung oleh dalil

yang menguatkannya, diantaranya adalah sebagai berikut : (As-Synqithy, 2012)

1. Mubah, menurut pendapat pendapat mayoritas ilmuwan dari kalangan Ulama

Hanafiyah, Malikiyyah, Syafi‟iyah, dan Hanabilah, namun mereka berbeda pendapat

tentang lebih utamanya, berobat atau tidak.

61
2. Wajib, merupakan pendapat sebagian ulama Hanabilah. Menurut sebagian

ulamayang lain, hal tersebut jika diyakini akan kesembuhannya.Menurut fatwa yang

dikeluarkan oleh Majma‟ al-Fiqh al-Islami.

Hukum berobat tergantung pada keadaan dan kondisi pasien :

1. Berobat menjadi wajib jika tidak dilakukan akan mengancam jiwa, atau kehilangan

anggota tubuhnya, atau akan menjadi lemah, atau penyakitnya akan dapat menulari

orang lain.

2. Berobat hukumnya sunnah jika tidak dilakukan akan menjadikan tubuhnya lemah

namun tidak separah kondisi yang di atas.

3. Berobat hukumnya mubah jika tidak sampai pada kedua kondisi di atas.

4. Berobat hukumnya makruh jika dengan berobat ditakutkan akan mengalami

keadaan yang lebih buruk dari pada dibiarkan saja. Dengan demikian, hukum bedah

medis, secara umum sangat tergantung dengan keadaan dan kondisi pasien. Secara

khusus Ulama sepakat membolehkan operasi medis rekonstruksi anggota tubuh yang

mengalami masalah tertentu. Menurut para ulama, memperbaiki dan memulihkan

kembali fungsi organ yang rusak, baik bawaan sejak lahir maupun adanya

kecelakaan, dan hal-hal sejenis itu dibenarkan, karena niat dan motivasi utamanya

adalah pengobatan. Di antara ayat yang dijadikan sebagai pembolehan terhadap

operasi medis, dianggap sebagai upaya menjaga kehidupan dan menghindari

kebinasaan atau mafsadah (As-Synqithy, 2012). Antara lain tercakup dalam QS. al-

Maidah {5}:32.

62
Artinya :
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa
yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain,
atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan
seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia
semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan
(membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka
sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka
bumi. (QS. Al-Maidah {5}:32)

Pembolehan operasi medis juga tercakup dalam perintah umum Nabi SAW

agar berobat yang secara teknis pelaksanaannya diserahkan kepada ahlinya untuk

menggunakan cara pengobatan yang tepat dan dibutuhkan, kecuali dengan yang

diharamkan (Qaradhawi, 2011).

Terapi pembedahan pada kasus undesensus testis intraabdominal termasuk ke

dalam bedah medis yang termasuk dalam upaya pengobatan. Hukum melakukan

pembedahan ini menjadi wajib karena pengobatannya hanya dengan melalui operasi

serta jika tidak dilakukan akan mengancam jiwa karena akan menimbulkan

komplikasi lainnya.

63
3.3. Pandangan Islam Mengenai Penatalaksanaan Laparoskopi Pada

Undesensus Testis Intraabdominal

Menurut pandangan ilmu kedokteran, teknik laparoskopi mempunyai

beberapa keunggulan dalam penanganan dan diagnostik undesensus testis

intraabdominal, di antaranya yaitu kemampuannya dengan cepat menentukan lokasi

testis intraabdominal untuk kemudian dilanjutkan dengan koreksi pembedahan

orkidopeksi atau orkidektomi pada saat yang bersamaan, memberikan kesempatan

bagi dokter bedah untuk menentukan tipe sayatan yang sesuai, luka yang dihasilkan

lebih kecil dibandingkan dengan laparotomi eksplorasi sehingga teknik ini mampu

meminimalisir perdarahan selama operasi, mengurangi rasa nyeri pasca operasi dan

mempercepat penyembuhan.

Pada prinsipnya syariat Islam menganjurkan belajar ilmu kedokteran dan

mempraktekkannya karena tujuannya untuk kemaslahan manusia, bermanfaat bagi

mereka dan kesehatan tubuh mereka. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan

operasi. Menurut para ulama, memperbaiki dan memulihkan kembali fungsi organ

yang rusak, baik bawaan sejak lahir maupun karena eksiden dan hal-hal sejenis itu

dibenarkan dalam Islam karena niat dan motivasi utamanya adalah penyempurnaan

fungsi sebagai bentuk pengobatan. Di antara ayat yang dapat dijadikan sebagai dalil

pembolehan terhadap bentuk operasi medis, dianggap sebagai upaya menjaga

kehidupan dan menghindari dari yang dapat membinasakannya (Zuhroni, 2010).

Antara lain dinyatakan dalam ayat Al-Qur’an :

64
Artinya:
“Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barang
siapa yang membunuh seseorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang
lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia
telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara
kehidupan seorang manusia maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan
manusia semuanya”(QS. Al-Maidah {5}: 32)

Allah SWT menghargai setiap upaya mempertahankan kehidupan manusia,

menjauhkan diri dari hal yang dapat membinasakannya, operasi medis dilakukan

adalah dalam rangka seperti itu. Banyak jenis penyakit yang pengobatannya hanya

dengan operasi bahkan kadang-kadang jika itu tidak di lakukan atau terlambat

dilakukan akan mengancam kehidupannya (Zuhroni, 2010).

Pada masa teknologi masih sederhana, di zaman Nabi berbekam (al-hijamat)

yang dapat dianggap sebagai salah satu bentuk operasi masa itu telah dipraktekkan

dan dianjurkan Nabi. Berbekam merupakan tindakan untuk mengeluarkan darah kotor

dari dalam tubuh. Bahkan nabi pernah melakukannya (Zuhroni, 2010). Sebagaimana

dinyatakan dalam hadist Nabi:

65
Artinya:
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berbekam di tengah-tengah
kepalanya: ketika di lahyil jamal yaitu ketika hendak menuju Makkah, sementara
beliau sedang berihram." Al Anshari berkata; telah mengabarkan kepada kami
Hisyam bin Hasan telah menceritakan kepada kami Ikrimah dari Ibnu Abbas
radliallahu 'anhuma bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah
berbekam di kepalanya” (HR. Imam Al-Bukhari, Muslim, An-Nasai, Ibnu Majah,
dan Ahmad)

Jabir bin ‘Abdillah menyatakan:

Artinya :
"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengutus seorang dokter kepada Ubai, kemudian
dokter tersebut memotong uratnya." (HR Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Ibn
Majah)

Pembolehan operasi juga tercakup dalam perintah Nabi untuk berobat yang

secara teknis pelaksanaannya diserahkan kepada ahlinya untuk menggunakan cara

pengobatan yang tepat dan dibutuhkan, kecuali dengan yang diharamkan oleh Allah

SWT. Berdasarkan nash-nash di atas ulama sepakat membolehkan operasi medis

untuk kemaslahatan manusia, kecuali teknik operasi dengan menggunakan besi panas

66
(mencos) dan memotong urat yang diperselisihkan para ulama (Zuhroni, 2010 dan

As-Synqithy, 2012).

Agama Islam diturunkan oleh Allah untuk merealisasikan dan memperbanyak

kemaslahatan (kebaikan) serta untuk melenyapkan kerusakan. Oleh karena itu Islam

memerintahkan bahkan mewajibkan setiap manusia untuk melakukan berbagai

perbuatan baik, seperti shalat, puasa, zakat, menyambung silaturahmi dan lain

sebagainya. Islam juga mengharamkan semua keburukan. Namun terkadang dalam

kondisi tertentu, seseorang tidak bisa melakukan semua kebaikan yang diketahuinya

dan tidak bisa menghindari semua keburukan yang dilarang syari’at. Artinya dia

harus memilih.

Dalam proses memilih, beberapa ayat Qur’an menganjurkan agar seseorang

mendahulukan mashlahah yang lebih besar atau mendahulukan mafsadah yang lebih

kecil serta ada larangan untuk melakukan sesuatu yang mafsadahnya lebih dominan

dari pada mashlahatnya (As-Sa’di, 2011). Semisal apabila ada dua pengobatan atau

lebih yang berbenturan dan tidak mungkin dilakukan semuanya karena suatu sebab,

maka dianjurkan memilih pengobatan yang terbaik, sebagaimana firman Allâh SWT :

Artinya :
“Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah,
padahal Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? Tidak sama di
antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum
penaklukan (Mekah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang

67
menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada
masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid {57} : 10)

Selain itu disebutkan juga dalam surah lain :

Artinya :
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak
mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta
mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan
jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka
Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang
berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar” (QS. An-Nisaa {4} : 95)

Dalam hal ini, maka dibandingkan operasi laparotomi yang menyediakan

eksplorasi luas rongga abdomen, maka Islam lebih menganjurkan operasi

laparoskopi, karena hanya menimbulkan luka sayatan yang kecil, mengurangi risiko

perdarahan dan infeksi, laparoskopi juga mempersingkat masa penyembuhan pasca

operasi.

Sebaliknya, apabila ada dua atau lebih pengobatan yang sama-sama

menimbulkan kerusakan pada badan dan kerusakan itu tidak bisa dihindari semuanya,

namun manusia harus melakukan salah satunya, maka dianjurkan untuk memilih

yang paling ringan dampak buruknya. Penerapan kaidah ini bisa ditemukan dalam

Qur’an, yaitu :

68
Artinya :
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:
"Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari
jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir
penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah
lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi
kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada
kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu
dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia
amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka
kekal di dalamnya” (QS. Al-Baqarah {2} : 217)

Dalam hal ini berarti antara laparotomi yang menimbulkan luka operasi yang

lebar, perdarahan yang banyak serta risiko infeksi yang tinggi, maka terapi

laparoskopi lebih dianjurkan pada undesensus testis intraabdominal karena mampu

meminimalisir berbagai kerusakan yang ditimbulkan oleh laparotomi, meskipun

dalam pengerjaannya dokter bedah kurang leluasa dalam mengeksplorasi rongga

abdomen.

Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa undesensus testis

intraabdominal merupakan penyakit pada organ kelamin anak yang perlu mendapat

69
pengobatan, karena berpotensi menghambat pemeliharaan tujuan syariat Islam.

Sebagai tanggung jawab orang tua, maka orang tua berkewajiban mencari pengobatan

untuk anak mereka, dengan pengobatan yang sesuai dengan syariat Islam. Pada

undesensus testis intraabdominal, satu-satunya pengobatan yang tersedia adalah

dengan pembedahan pada perut untuk mencari testis yang ada di rongga perut,

melalui operasi laparotomi. Meskipun operasi laparotomi banyak menimbulkan

keburukan atau mudharat, namun karena tidak ada pilihan pengobatan lain maka

laparotomi menjadi diwajibkan bagi pasien. Dengan hadirnya laparoskopi yang

mampu meminimalisir mudharat dari laparotomi, maka sesuai dengan kaidah

fiqhiyyah, pasien dianjurkan untuk memilih pengobatan yang lebih besar kadar

maslahahnya atau mendahulukan pengobatan yang lebih ringan kadar mudharatnya,

yaitu terapi laparoskopi.

70

Anda mungkin juga menyukai