Anda di halaman 1dari 84

PELAKSANAAN

PENDIDIKAN ISLAM
DI MADINAH
A. Pendidikan Islam pada masa Rasulullah di Madinah
Di Madinah, Rasul disambut dengan baik oleh
masyarakat Madinah yang tulang punggung utamanya
adalah kelompok Aus dan Khazraj. Di bawah
kepemimpinan Nabi bersatulah Muhajirin (orang-orang
yang datang dari Mekkah) dan Ansar (orang-orang
Madinah yang menjadi pengikut Rasul). Di Madinah ini,
Rasul berperan sebagai pemimpin masyarakat Madinah
termasuk di dalamnya juga orang orang Yahudi, sesuai
dengan bunyi Piagam Madinah.
Ayat ayat yang turun di Madinah telah menyentuh
soal soal yang di luar akidah dan ibadah, telah banyak
muncul ayat ayat sosial kemasyarakatan, yang
maknanya ajaran Islam telah mencakup berbagai
dimensi selain dari akidah, ibadah, dan akhlak.
Kebutuhan masyarakat pun sudah semakin meluas.
Di Madinah, kaum Muslimin memiliki kedaulatan
yang berdiri sendiri dan lepas dari tekanan kaum
Quraisy Mekkah. Mereka sudah bebas menentukan
nasibnya sendiri. Karena itu pulalah dalam pendidikan,
aktivitasnya telah lebih banyak yang dapat dilakukan
secara terbuka. Kedaulatan dalam bidang politik dan
sosial yang dialami masyarakat Muslim mempunyai
pengaruh besar terhadap perkembangan pendidikan
Islam.
1. Aktivitas Nabi di Madinah
Pada periode ini, tahun 622–632 M atau tahun 1–
11 H. Ada dua aktivitas yang sangat penting yang
dilakukan oleh Rasulullah setelah tiba di Madinah.
Berbeda dengan periode di Makkah, pada periode
Madinah Islam merupakan kekuatan politik. Ajaran
Islam yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat
banyak turun di Madinah. Nabi Muhammad juga
mempunyai kedudukan, bukan saja sebagai kepala
agama, tetapi juga sebagai kepala Negara.
Cara Nabi melakukan pembinaan dan pengajaran
pendidikan agama Islam di Madinah adalah sebagai
berikut:
a. Pembentukan dan pembinaan masyarakat
baru, menuju satu kesatuan sosial dan politik.
Nabi Muhammad SAW mulai meletakkan dasar-
dasar terbentuknya masyarakat yang bersatu padu
secara intern (ke dalam), dan ke luar diakui dan
disegani oleh masyarakat lainnya (sebagai satu
kesatuan politik). Dasar-dasar tersebut adalah:
1) Nabi Muhammad saw mengikis habis sisa-sisa
permusuhan dan pertentangan anatara suku,
dengan jalan mengikat tali persaudaraan
diantara mereka.
2) Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Nabi
Muhammad menganjurkan kepada kaum
Muhajirin untuk berusaha dan bekerja sesuai
dengan kemampuan dan pekerjaan masing-
masing seperti waktu di Makkah.
3) Untuk menjalin kerja sama dan saling
menolong dalam rangka membentuk tata
kehidupan masyarakat yang adil dan makmur,
turunlah syari’at zakat dan puasa, yang
merupakan pendidikan bagi warga masyarakat
dalam tanggung jawab sosial, baik secara
material maupun moral.
4) Suatu kebijaksanaan yang sangat efektif dalam
pembinaan dan pengembangan masyarakat
baru di Madinah, adalah disyari’atkannya
media komunikasi berdasarkan wahyu, yaitu
shalat juma’at yang dilaksanakan secara
berjama’ah dan adzan.
Rasa harga diri dan kebanggaan sosial tersebut
lebih mendalam lagi setelah Nabi Muhammad
SAW mendapat wahyu dari Allah untuk
memindahkan kiblat dalam shalat dari Baitul
Maqdis ke Baitul Haram Makkah, karena dengan
demikian mereka merasa sebagai umat yang
memiliki identitas.
Setelah selesai Nabi Muhammad
mempersatukan kaum muslimin, sehingga
menjadi bersaudara, lalu Nabi mengadakan
perjanjian dengan kaum Yahudi, penduduk
Madinah. Dalam perjanjian itu ditegaskan, bahwa
kaum Yahudi bersahabat dengan kaum muslimin,
tolong- menolong , bantu-membantu, terutama
bila ada serangan musuh terhadap Madinah.
b. Pendidikan Sosial Politik dan
Kewarganegaraan
Materi pendidikan sosial dan kewarnegaraan
Islam pada masa itu adalah pokok-pokok pikiran
yang terkandung dalam konstitusi Madinah, yang
dalam prakteknya diperinci lebih lanjut dan di
sempurnakan dengan ayat-ayat yang turun selama
periode Madinah.
Tujuan pembinaan adalah agar secara
berangsur-angsur, pokok-pokok pikiran konstitusi
Madinah diakui dan berlaku bukan hanya di
Madinah saja, tetapi luas, baik dalam kehidupan
bangsa Arab maupun dalam kehidupan bangsa-
bangsa di seluruh dunia.
c. Pendidikan Anak dalam Islam
Dalam Islam, anak merupakan pewaris ajaran
Islam yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad
saw dan generasi muda muslimlah yang akan
melanjutkan misi menyampaikan Islam ke seluruh
penjuru alam. Oleh karenanya banyak peringatan-
peringatan dalam Alquran berkaitan dengan itu.
Diantara peringatan-peringatan tersebut antara
lain:
 Pada surat At-Tahrim ayat 6 terdapat
peringatan agar kita menjaga diri dan anggota
keluarga (termasuk anak-anak) dari
kehancuran (api neraka)
 Pada surat An-Nisa ayat 9, terdapat agar
janagan meninggalkan anak dan keturunan
dalam keadaan lemah dan tidak berdaya
menghadapi tantangan hidup.
 Pada surat Al-Furqan ayat 74, Allah SWT
memperingatkan bahwa orang yang
mendapatkan kemuliaan antara lain adalah
orang-orang yang berdo’a dan memohon
kepada Allah SWT, agar dikaruniai keluarga
dan anak keturunan yang menyenangkan hati.
Adapun garis-garis besar
materi pendidikan anak
dalam Islam yang
dicontohkan oleh Nabi
Muhammad SAW
sebagaimana yang
diisyaratkan oleh Allah
SWT dalam surat Luqman
ayat 13-19 adalah sebagai berikut:

1) Pendidikan Tauhid
2) Pendidikan Shalat
3) Pendidikan adab sopan dan santun dalam
bermasyarakat
4) Pendidikan adab dan sopan santun dalam
keluarga
5) Pendidikan kepribadian
6) Pendidikan kesehatan
7) Pendidikan Akhlak
d. Pembentukan Negara Madinah
Aktivitas yang dilakukan Nabi Muhammad
selanjutnya adalah membina dan mengembangkan
persatuan dan kesatuan masyarakat Islam yang
baru tumbuh tersebut, dalam rangka mewujudkan
satu kesatuan sosial dan politik. Kaum anshor dan
kaum muhajirin yang berasal dari daerah yang
berbeda dengan membawa
adat kebiasaan yang
berbeda pula sebelum
bersatu membentuk
masyarakat Islam.
e. Mendirikan Masjid
Masjid
Quba merupakan masjid pertama yang
dijadikan Rasulullah sebagai institusi pendidikan.
Melalui pendidikan masjid ini, Rasulullah
memberikan pengajaran dan pendidikan Islam.
Ayat-ayat Al Qur’an yang diterima di Madinah
sebanyak 22 surat, sepertiga dari isi Al Qur’an.

2. Materi Pendidikan Islam di Madinah


Materi pendidikan Islam sewaktu nabi di Madinah
adalah sebagai berikut:
a. Pendidikan Al-Qur'an.
Sama seperti halnya pada periode Mekkah,
pada periode Madinah juga, manakala ayat ayat
Al-Qur'an turun, maka Rasulullah
menyampaikannya kepada sahabatnya, menyuruh
baca, dihafal atau ditulis. Pada waktu-waktu
tertentu Rasul mengadakan tadarusan, Al-Qur'an
dengan sahabat-sahabatnya, sebagaimana halnya
Rasul setiap Ramadhan bertadarus Al-Qur'an
dengan Jibril. Rasul sangat memperhatikan sekali
tentang Al-Qur'an. Penulis-penulis Al-Qur'an pun
bermunculan dan yang terkenal di antaranya Zaid
bin Tsabit, lebih banyak lagi yang menghafal Al-
Qur'an, sehingga ketika terjadi perang yamamah
pada masa Abu Bakar sahabat yang gugur yang
mampu menghafal Al-Qur'an sejumlah 70 orang.
b. Pendidikan Keagamaan (Akidah, Ibadah,
Muamalah dan Akhlak).
Dalam bidang ini, Rasulullah melanjutkan
pendidikan yang telah dilaksanakan di Mekkah.
Kalau pada periode Mekkah keimanan telah
mantap, maka dalam periode Madinah ini
dilanjutkan dengan pendidikan ibadah, muamalat,
dan akhlak. Pendidikan ibadah, Rasulullah
mendidik pula sahabat sahabatnya untuk
melaksanakan shalat, dan shalat ini dilaksanakan
dengan berjamaah di masjid, begitu juga
Rasulullah mendidik mereka melakukan puasa,
zakat, dan mengerjakan haji. Semua rukun rukun
Islam yang lima telah dipraktikkan secara
sempurna di Madinah. Dalam bidang muamalat
melaksanakan hukum Islam yang berkenaan
dengan jual beli, pinjam meminjam, perserikatan,
jinayah, hudud, dan lain lain. Sedangkan dalam
bidang akhlak, Rasulullah melanjutkan usaha-
usaha yang telah dirintis di Mekkah bahkan ada
sekelompok sahabat yang disebut ahl suffah yang
kerja mereka ialah membersihkan batin mereka
dari segala macam-macam penyakit hati.
c. Pendidikan Sosial Kemasyarakatan.
Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, maka
beliau melaksanakan pembinaan persaudaraan di
kalangan umat Islam, khususnya di antara Ansar
dan Muhajirin. Ansar kaum penolong penduduk
asli Kota Madinah, sedang kan Muhajirin adalah
penduduk Mekkah yang pindah bersama Rasul ke
Madinah. Rasulullah
mengikat tali
persaudaraan yang kukuh
di antara kedua kelompok
itu. Dari pembinaan
tersebut terbentuklah
masyarakat Muslim dan
Rasulullah berfungsi sebagai pemimpin mereka.
Untuk memudahkan terbentuknya komunikasi di
antara anggota masyarakat, maka masjid di
samping sebagai tempat ibadah juga berfungsi
sebagai tempat menyelesaikan masalah yang
berkenaan dengan sosial kemasyarakatan.
3. Lembaga Pendidikan Periode Madinah
a. Masjid
Di masjid itulah beliau bermusyawarah mengenai
berbagai urusan, mendirikan shalat berjamaah,
membacakan al-Qur’an, maupun membacakan
dan menjelaskan ayat-ayat yang baru diturunkan.
Dengan demikian, masjid itu merupakan pusat
pendidikan dan pengajaran.
b. Suffah
Pada masa Rasulullah suffah adalah suatu tempat
yang telah dipakai untuk aktivitas pendidikan.
Biasanya tempat ini menyediakan pemondokan
bagi pendatang baru dan mereka yanh tergolong
miskin. Disini para siswa diajarkan membaca dan
menghafal al-Qur’an secara benar dan dijadikan
pula Islam dibawah bimbingan langsung dari
Rasulullah. Dengan demikian jika dilihat dari
perkembangan pendidikan Islam pada zaman
sekarang, suffah sama halnya dengan pendidikan
di pondok pesantren.
4. Metode yang dikembangkan oleh Nabi
Muhammad SAW
a. Dalam bidang keimanan: melalui Tanya jawab
dengan penghayatan yang mendalam dan di
dukung oleh bukti-bukti yang rational dan ilmiah.
b. Materi ibadah: disampaikan dengan metode
demonstrasi dan peneladanan sehingga mudah
didikuti masyarakat.
c. Bidang akhlak: Nabi menitikberatkan pada
metode peneladanan. Nabi tampil dalam
kehidupan sebagai orang yang memiliki
kemuliaan dan keagungan baik dalam ucapan
maupun perbuatan.
Pendidikan Islam pada
Masa Khulafaur Rasyidin
A. Pendidikan Islam pada masa pemerintahan Khalifah
Abu Bakar As-Shiddiq (11-13 H/632-634M)
Abu Bakar As-Shiddiq, nama lengkapnya adalah
Abdullah bin Abi Quhafa At-Tamimi. Di zaman pra
Islam bernama Abdul Ka’bah, kemudian diganti oleh
nabi menjadi Abdullah. Dijuluki Abu Bakar (orang yang
paling awal) memeluk Islam. Gelar AsSiddiq
diperolehnya karena beliau dengan segera membenarkan
Nabi SAW. dalam berbagai peristiwa terutama Isra’ dan
Mi’raj.
Abu Bakar As-Siddiq, Khalifah Islam pertama yang
dilantik oleh seluruh komunitas muslim sepeninggal
Nabi Muhammad SAW. Ketika Rasulullah SAW.
hendak wafat, beliau menunjuk Abu Bakar untuk
menggantikannya menjadi imam shalat, sebab shalat
merupakan salah satu kegiatan agama yang terpenting.
Umar bin Khattab berkata: “Abu Bakar, bukankah Nabi
sudah menyuruhmu, supaya Engkaulah yang memimpin
Muslimin Bersembahyang? Engkaulah penggantinya
(khalifah), kami akan mengikrarkan orang yang disukai
oleh Rasulullah di antara kita semua ini,” Ikrar ini
disebut “Ikrar Saqifa” Kata-kata ini sangat menyentuh
hati Muslimin yang hadir. Pihak Muhajirin datang
memberikan ikrar, kemudian pihak Anshar juga
memberikan ikrarnya maka di angkatlah Abu Bakar As-
Siddiq sebagai khalifah pertama.
Masa awal kekhalifahan Abu Bakar diguncang
pemberontakan oleh orang-orang murtad, orang-orang
yang mengaku sebagai Nabi dan orang-orang yang
enggan membayar zakat. Berdasarkan hal ini Abu Bakar
memusatkan perhatiannya untuk memerangi para
pemberontak yang dapat mengacaukan keamanan dan
mempengaruhi orang-orang Islam yang masih lemah
imannya untuk menyimpang dari ajaran Islam.

Abu Bakar mengirim pasukan untuk menumpas para


pemberontak di Yamamah. Dalam penumpasan ini
banyak umat Islam yang gugur, yang terdiri dari sahabat
dekat SAW. dan para hafiz Al-Qur’an sehingga
mengurangi jumlah sahabat yang hafal Al-Qur’an. Oleh
karena itu, Umar bin Khattab menyarankan kepada
khalifah Abu Bakar untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-
Qur’an, kemudian untuk merealisasikan saran tersebut,
diputuskan bahwa Zaid bin Tsabit ditugaskan untuk
mengumpulkan semua tulisan Al-Qur’an yang masih
berserakan ditempatnya. Menurut Jalaludin As-Suyuti
bahwa pengumpulan Al-Qur’an ini termasuk salah satu
jasa besar dari Khalifah Abu Bakar.
Lembaga pendidikan pada masa Abu Bakar masih
seperti lembaga pendidikan pada masa Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam, namun dari segi kuantitas
maupun kualitas sudah banyak mengalami
perkembangan.
1. Kutab. Pada masa Abu Bakar lembaga pendidikan
Kutab mencapai tingkat kemajuan yang berarti.
Kemajuan lembaga Kutab ini terjadi ketika
masyarakat muslim telah menaklukkan beberapa
daerah dan menjalin kontak dengan bangsa-bangsa
yang telah maju.
Materi pendidikan yang diajarkan pada Kutab
adalah:
 membaca dan menulis
 membaca Al-Qur’an dan menghafalnya
 Pendidikan keimanan, yaitu menanamkan bahwa
satu-satunya yang wajib disembah adalah Allah
 Pendidikan akhlak, seperti adab masuk rumah
orang, sopan santun bertetangga, bergaul dalam
masyarakat, dan lain sebagainya
 Pendidikan ibadah seperti pelaksanaan shalat,
puasa dan haji
 Kesehatan seperti tentang kebersihan, gerak gerik
dalam shalat merupakan didikan untuk
memperkuat jasmani dan rohani
2. Masjid merupakan lembaga pendidikan lanjutan
setelah anak tamat belajar pada kutab. Di masjid ini
ada dua tingkatan, yaitu tingkat menengah dan
tingkat tinggi. Yang membedakan antara kedua
tingkatan tersebut adalah tingkat menengah, gurunya
belum mencapai status ulama besar, sedangkan pada
tingkat tinggi, para pengajarnya adalah ulama yang
memiliki pengetahuan yang mendalam dan integritas
kesalehan dan kealiman yang diakui oleh masyarakat.
Materi pendidikan pada tingkat menengah dan
tinggi adalah
 Al-Qur’an dan tafsirnya
 Hadits dan syarahnya
 Fiqih (tasyri’)

B. Pendidikan Islam pada masa pemerintahan Khalifah


Umar Bin Khattab (13-23 H/634-644M)
Umar bin Khattab, nama lengkapnya adalah Umar
bin Khattab bin Nufail keturunan Abdul Uzza Al-
Quraisy dari suku Adi, salah satu suku yang
terpandang mulia. Umar dilahirkan di Mekkah empat
tahun sebelum kelahiran Nabi SAW. Umar masuk
Islam pada tahun kelima setelah kenabian dan menjadi
salah satu sahabat terdekat Rasulullah SAW. serta
dijadikan sebagai tempat rujukan oleh Rasulullah
SAW. llam mengenai hal-hal yang penting. Beliau
dapat memecahkan masalah yang rumit tentang siapa
yang berhak mengganti Rasulullah SAW. dalam
memimpin umat setelah Rasulullah SAW wafat.
Dengan memilih dan membai’at Abu Bakar sebagai
Khalifah Rasulullah SAW. sehingga beliau mendapat
penghormatan yang tinggi dan dimintai nasihatnya
serta menjadi tangan kanan Khalifah yang baru itu.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, kondisi
politik dalam keadaan stabil, usaha perluasan wilayah
Islam memperoleh hasil yang gemilang. Wilayah Islam
pada masa Umar bin Khattab meliputi semenanjung
Arabia, Palestina, Syiria, Irak, Persia dan Mesir.
Berkaitan dengan usaha pendidikan Islam itu, Khalifah
Umar mengangkat dan menunjuk guru-guru untuk tiap
daerah yang ditaklukkan, yang bertugas mengajarkan
isi Al-Qur‟an dan ajaran Islam kepada penduduk yang
baru masuk Islam karena negara Islam sudah
menyebar luas keluar Jazirah Arabia.
Selain di Madinah, pusat pendidikan Islam juga
tersebara di kota-kota besar, diantaranya:
 Kota Mekkah dan Madinah (Hijaz)
 Kota Basrah dan Kufah (Iraq)
 Kota Damsyik dan Palestina (Syria)
 Kota Fustat (Mesir).
Panglima dan gubernur yang diangkat Umar adalah
para sahabat Rasulullah SAW yang telah memiliki
ilmu pengetahuan agama yang luas, mereka juga
adalah ulama. Seperti Abu Musa Al-Asy’ari gubernur
Basrah adalah seorang ahli fiqh, ahli hadits dan ahli
Qur’an. Ibnu Mas’ud dikirim oleh Umar sebagai guru,
beliau adalah seorang ahli dalam tafsir dan fiqh, juga
beliau meriwayatkan hadits. Muaz bin Jabal, Ubadah,
dan Abu Darda’ dikirim ke Damsyik untuk
mengajarkan ilmu agama dan Al-Qur’an. Muaz bin
Jabal mengajar di Palestina, Ubadah di Hims dan Abu
Darda di Damsyik, Amru Ibnu Al-Ash seorang
panglima dari khalifah Umar berhasil mengalahkan
Mesir. Beliau adalah seorang yang memiliki keahlian
dalam hadis, terkenal sebagai pencatat hadis Nabi
SAW. Sedangkan di Madinah gudangnya ulama,
seperti Umar sendiri seorang ahli hukum dan
pemerintahan, memiliki keberanian dan kecakapan
dalam melakukan ijtihad. Abdullah bin Umar adalah
pengumpul hadis. Ibnu Abbas ahli tafsir Al-Qur’an dan
ilmu faraid, Ibnu Mas’ud ahli Al-Qur’an dan hadis.Ali
ahli hukum juga tafsir.
Masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab, Ali
bin Abi Tholib telah menumpahkan perhatiannya pada
perkembangan ilmu pengetahuan. Bersama dengan
sepupunya Abdullah bin Abbas mengadakan kuliah
atau pengajian sekali seminggu di masjid Jami’ dalam
bidang ilmu bahasa, fiqih, hadis dan termasuk filsafat
khususnya logika. Begitu pula para sahabat yang lain
menyampaikanberbagai jenis mata pelajaran di
berbagai tempat. Dalam hal pendidikan Umar
membangun tempat-tempat pendidikan (sekolah), juga
menggaji guru-guru, imam, muazzin dari dana baitul
mal. Khalifah Umar ibnu Khatab merupakan seorang
pendidik yang melakukan penyuluhan pendidikan di
kota Madinah, beliau juga menerapkan pendidikan di
masjid-masjid dan pasar pasar, serta mengangkat guru-
guru untuk tiap-tiap daerah yang ditaklukkan. Mereka
bertugas mengajarkan isi Al-Qur’an, fiqih, dan ajaran
Islam lainnya kepada penduduk yang baru masuk
Islam.

C. Pendidikan Islam pada masa pemerintahan Khalifah


Usman Bin Affan (23- 36H/644-656M)
Usman bin Affan, nama lengkapnya adalah Usman
bin Affan bin Abil Ash bin Umayyah dari suku Quraisy.
Beliau memeluk Islam karena ajakan Abu Bakar dan
menjadi salah seorang sahabat dekat Nabi SAW.. Usman
ibn Affan terkenal sebagai orang yang berbudi pekerti
luhur, sangat pemalu, dermawan, lemah lembut, penuh
kasih sayang, pemaaf, selalu berprasangka baik,
bersikap toleransi, suka bergaul dengan orang lain,
lapang dada dan sabar, paling kuat menjaga hubungan
kekerabatan dan terlalu lemah serta tunduk kepada
keluarga. Beliau sangat kaya tetapi berlaku sederhana
dan sebagian besar kekayaannya digunakan untuk
kepentingan Islam
Pelaksanaan pendidikan Islam pada masa Khalifah
Usman bin Affan, tidak jauh berbeda dengan masa-masa
sebelumnya. Pendidikan pada masa ini hanya
melanjutkan apa yang telah ada. Hanya sedikit
perubahan yang mewarnai pelaksanaan pendidikan
Islam dari apa yang telah ada. Para sahabat besar
Rasulullah SAW yang berpengaruh dan dekat dengan
Rasulullah SAW masa Khalifah Umar tidak diizinkan
meninggalkan Madinah, maka pada masa Khalifah
Usman diberikan sedikit kelonggaran untuk keluar
Madinah dan menetap di daerah-daerah yang mereka
sukai. Di daerah-daerah yang baru tersebut mereka
mengajarkan ilmu-ilmu keislaman yang mereka miliki
dan dapatkan langsung dari Rasulullah SAW.
Pada masa Khalifah Utsman dilakukan pula
pengelompokan pada obyek pendidikan Islam dan
menerapkan metode pendidikan yang disesuaikan
dengan kelompok tersebut). Pengelompokan ini
merupakan awal mula adanya klasifikasi dalam obyek
pendidikan Islam yang terdiri dari:
1. Kelompok pertama adalah orang dewasa atau orang
tua yang baru masuk Islam. Metode pendidikan yang
dilakukan pada kelompok ini adalah ceramah,
hafalan, latihan, dan contoh-contoh.
2. Kelompok kedua adalah anak-anak yang orang
tuanya telah lama masuk Islam atau yang baru
menganut Islam. Kelompok ini diajarkan dengan
menggunakan metode hafalan dan latihan.
3. Kelompok ketiga adalah orang tua yang telah lama
menganut Islam. Metode pendidikan yang digunakan
dalam mengajarkan kelompok ini adalah ceramah,
diskusi, tanya jawab, dan hafalan.
4. Kelompok keempat adalah orang yang
mengkhususkan dirinya menuntut ilmu secara luas
dan mendalam.
Pada masa Khalifah Utsman, masyarakat sudah
merasa puas terhadap pendidikan Islam yang telah
berjalan pada masa-masa sebelumnya. Namun, yang
penting untuk dicatat, suatu prestasi yang gemilang telah
dicapai pada masa pemerintahan khalifah ketiga ini
adalah usaha pembukuan kitab suci Al-Qur’an yang
mempunyai pengaruh yang luar biasa bagi pendidikan
Islam. Khalifah Usman melanjutkan usaha yang dulu
dirintis oleh Khalifah Abu Bakar yaitu pengumpulan Al-
Qur’an dari hafalan-hafalan para sahabat penghafal Al-
Qur’an. Bundelan itu disimpan oleh Khalifah Abu
Bakar, kemudian diserahkan kepada Khalifah kedua
Umar bin Khattab, setelah itu dititipkan Khalifah Umar
kepada puterinya Hafsah binti Umar yang juga istri
Rasulullah SAW.
Enam tahun pertama kekhalifahan Usman bin Affan,
pendidikan Islam mengalami perkembangan dan
kemajuan yang pesat. Sedangkan pada enam tahun
terakhir masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan
pendidikan Islam tidak mengalami kemajuan yang
berarti. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya
persoalan-persoalan sosial politik yang pada akhirnya
pemerintahan Khalifah Usman bin Affan mengalami
kekacauan, baik di lingkungan keluarga maupun
dilingkungan masyarakat. Masalah tersebut memicu
terjadinya pemberontakan di berbagai kalangan
masyarakat, akibat dari pemberontakan tersebut
Khalifah Usman terbunuh.

D. Pendidikan Islam pada masa pemerintahan Khalifah Ali


Bin Abi Thalib (36- 41H/656-661M)
Khalifah keempat khulafaur rasyidin juga sepupu dan
sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW adalah Ali
ibnu Abi Thalib. Beliau lahir di Mekah tahun 603 M.
Beliau adalah orang yang pertama masuk Islam dari
kalangan remaja. Sepeninggal Usman, sebagian kaum
muslimin menginginkan Ali bin Abi Thalib naik
menjadi khalifah keempat, pada mulanya Ali menolak,
tapi akhirnya mau menerima setelah mendapat desakan
dari sebagian kaum muslimin.
Naiknya Ali menjadi khalifah tidak disetujui oleh
Bani Umayyah yang merupakan keluarga terdekat
khalifah Usman. Apalagi Khalifah Ali dengan segera
memecat pejabat-pejabat penting yang dulu diangkat
Usman. Sebagai contoh, Khalifah Ali memecat gubernur
Syria Muawiyah bin Abi Sofyan sebagai gubernur Syria,
namun Muawiyah tidak terima malah dia mengangkat
dirinya menjadi khalifah dan menentang Ali dengan
alasan menuntut bela kematian Usman kepada Ali. Di
satu sisi Ali menghadapi tantangan yang lain yaitu
datangnya dari Aisyah, Thalhah dan Zubeir yang
menentang Ali karena Ibnu Zubeir berambisi menjadi
khalifah. Ali memusatkan perhatian untuk menghadapi
pasukan Aisyah, Thalhah dan Zubeir terlebih dahulu,
maka terjadilah peperangan yang dikenal dengan nama
Perang Jamal (perang onta), karena panglima perangnya
Aisyah pada waktu itu mengendarai onta. Pada
peperangan ini pasukan Ali memperoleh kemenangan,
Kemudian Ali bersiap-siap untuk menghadapi tantangan
dari pasukan Muawiyah yang sudah siap-siap untuk
menentang Ali di sebuah tempat yang bernama Shiffin.
Dalam peperangan tersebut pasukan Ali hampir
memperoleh kemenangan, namun dalam pasukan
Muawiyah terdapat seorang ahli politik yang sangat
lihai, beliau mengusulkan supaya pasukan Muawiyah
mengangkat mushaf Al-Qur’an tinggi-tinggi ke atas
dengan ujung tombak sebagai ajakan damai. Melihat hal
tersebut sebagai seorang ahli strategi militer Ali
mengetahui bahwa itu hanya tipu muslihat, Ali
menginginkan perang dilanjutkan karena kemenangan
sedikit lagi akan diperoleh, namun Ali menghadapi
desakan dari sebagian pasukannya yang menginginkan
perang dihentikan karena musuh mengajak berdamai.
Karena Ali terus didesak, maka dengan sangat terpaksa
Ali menghentikan peperangan. Maka dicapailah
perundingan damai (tahkim). Dalam peristiwa tahkim
tersebut pasukan Ali terkalahkan oleh kelicikan Amru
bin Ash di pihak Muawiyah bin Abi Sofyan. Karena
tidak setuju dengan tahkim sebagian pasukan Ali keluar
dari barisan Ali dan membentuk kelompok tersendiri.
Mereka inilah dalam sejarah dikenal dengan nama
golongan Khawarij.
Menurut golongan Khawarij, siapa saja yang terlibat
dalam peristiwa tahkim adalah kafir, maka mereka
berusaha untuk membunuh Ali bin Abi Thalib,
Muawiyah bin Abu Sofyan dan Amru bin Ash. Karena
Ali tidak pernah menggunakan pengawal pribadi, salah
seorang Khawarij yang bernama Abdurrahman bin
Muljam berhasil menikam khalifah keempat ini pada
subuh hari. Kekacauan dan pemberontakan yang terjadi
pada masa Khalifah Ali, membuat Syalabi berkomentar:
“Sebenarnya tidak pernah ada barang satu haripun,
keadaaan yang stabil selama masa pemerintahan Ali.
Saat kericuhan politik di masa Ali ini terjadi, hampir
dapat dipastikan bahwa kegiatan pendidikan Islam
mendapat hambatan dan gangguan walaupun tidak
terhenti sama sekali. Khalifah Ali pada saat itu tidak
sempat lagi memikirkan masalah pendidikan, karena
seluruh perhatiannya ditumpahkan pada masalah
keamanan dan kedamaian bagi masyarakat Islam.

E. Visi, Misi, dan Tujuan Pendidikan pada masa


pemerintahan Khulafaur Rasyidin
1. Visi Pendidikan
Visi pendidikan pada masa khulafaur rasyidin
secara ekplisit sulit di jumpai. Namun dari berbagai
fakta dan data yang dapat ditemui, visi pendidikan
pada masa khulafaur rasyidin masih belum berbeda
dengan visi pendidikan pada masa Rasulullah SAW.
Hal ini disebabkan karena para khulafaur rasyidin
mengikuti jejak Rasulullah. Visi tersebut adalah
unggul dalam bidang keagamaan sebagai landasan
membangun kehidupan umat.
Visi ini sejalan dengan kondisi dan situasi yang
ada pada masa itu. Sebagaimana telah dikemukakan
diatas. Setelah wafatnya Rasulullah, timbul sejumlah
kelompok yang goyah keimanan dan keislamannya,
bahkan tidak mau lagi melaksanakan ajaran agama
sebagaimana yang mereka laksanakan pada masa
Rasulullah masih hidup. Mereka tidak ada yang mau
membayar zakat, bahkan ada yang mengaku sebagai
nabi. Dengan pertimbangan ini, maka visi pendidikan
masih ditekankan pada penguatan bidang keagamaan
dan praktik kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Misi Pendidikan
Sejalan dengan penjabaran visi pendidikan di atas,
maka misi pendidikan pada masa khulafaur rasyidin
dikemukakan sebagai berikut:
a. Memantapkan dan menguatkan keyakinan dan
kepatuhan kepada ajaran islam yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW. dengan cara memahami,
menghayati, dan mengamalkannya secara
konsisten. Usaha ini diperkuat dengan sikap tegas
yang ditunjukkan oleh Abu Bakar yang
memerangi orang-orang yang ingkar atau murtad
terhadap ajaran Islam, seperti tidak mau
membayar zakat, dan mengaku sebagai nabi.
b. Menyediakan sarana, prasarana, dan fasilitas yang
memungkinkan terlaksananya ajaran agama.
Usaha ini dilakukan khulafaur rasyidin dengan
mengumpulkan Al Qur’an yang berserakan (pada
masa Khalifah Abu Bakar), menyalin kembali
( pada masa Khalifah Usman Bin Affan),
membentuk lembaga dan pranata sosial, seperti
membentuk lembaga yudikatif dan eksekutif,
menertibkan system pembayaran gaji dan pajak
tanah (pada masa khalifat Umar Bin Khattab),
membangun jalan, jembatan, masjid, dan
memperluas masjid Nabi di Madinah (pada masa
khalifah Usman bin Affan).
c. Menumbuhkan semangat cinta tanah air dan bela
negara yang memungkinkan Islam dapat
berkembang ke seluruh dunia. Upaya ini
dilakukan khulafaur rasyidin, antara lain
memperluas wilayah dakwah Islam selain ke
Jazirah Arabia juga ke Irak, dan ke Syirian ( pada
masa Khalifah Abu Bakar), ke Palestina, ke
wilayah Syirian lainnya dan Mesir ( pada masa
khalifah Umar bin Khattab).
d. Melahirkan para kader pemimpin umat, pendidik,
dan da’i yang tangguh dalam mewujudkan syi’ar
Islam. Upaya yang dilakukan khulafaur rasidin
antara lain, menyelenggarakan halaqah kajian
terhadap Al Quran, Al Hadits, hukum islam, dan
fatwa. Upaya ini pada tahap selanjutnya
melahirkan para ulama dari kalangan para Tabi’in.
3. Tujuan Pendidikan
Adapun tujuan pendidikan pada masa khulafaur
rasyidin adalah melahirkan umat yang memiliki
komitmen yang tulus dan kukuh terhadap
pelaksanaan ajaran Islam sebagaimana yang di
ajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

F. Sistem Pendidikan pada Masa Khulafaur Rasyidin


1. Kurikulum Pendidikan
Kurikulum pendidikan di Madinah selain berisi
tentang materi pengajaran yang berkaitan dengan
pendidikan keagamaan, yakni Al Qur’an, Al Hadits,
Hukum Islam, kemasyarakatan, ketatanegaraan,
pertahanan keamanan, dan kesejahteraan sosial.
2. Sasaran peserta didik
Peserta didik pada masa khulafaur rasyidin terdiri
dari masyarakat yang tinggal di Mekkah dan
Madinah. Namun yang khusus mendalami bidang
Kajian keagamaan hingga menjadi seorang yang
mahir, alim dan mendalam penguasaannya di bidang
ilmu agama yang jumlahnya masih terbatas. Sasaran
pendidikan dalam artian umum, yakni membentuk
sikap mental keagamaan adalah seluruh umat Islam
yang ada di Mekkah dan Madinah.
Adapun sasaran pendidikan dalam artian khusus
yakni membentuk ahli ilmu agama adalah sebagian
kecil dari kalangan tabi’in yang selanjutnya menjadi
ulama.
3. Tenaga pendidik
Yang menjadi pendidik di zaman khulafaur
rasyidin antara lain adalah Abdullah ibn Umar, Abu
Hurairah, Ibn Abbas, Siti Aisyah, Anas bin Malik,
Zaid bin Tsabit, Abu dzar al-Ghifari. Dari mereka
itulah kemudian lahir para siswa yang kemudian
menjadi ulama dan pendidik. Berkaitan dengan
masalah pendidikan ini, Khalifah Umar bin Khattab
merupakan seorang pendidik yang melakukan
penyuluhan pendidikan di kota Madinah. Selanjutnya
beliau juga mengangkat para sahabat-sahabat untuk
bertugas menjadi guru di daerah. Seperti
Abdurrahman bin Ma’qal dan Imran bin al-Hasim
ditugaskan mengajar ke Bashrah.
Adapun kriteria pendidik yang telah ditentukan
oleh khulafaur rasyidin sebagaimana kriteria yang
diberikan oleh Rasulullah yaitu, bahwa orang yang
dapat di angkat menjadi pendidik hendaknya
memiliki sifat-sifat tertentu yakni menguasai materi
pembelajaran dengan baik, kompetensi pedagogis,
yaitu menguasai teknik menyampaikan pelajaran
dengan efisien dan efektif, memengaruhi dan
membentuk pribadi siswa dengan baik, memiliki
kompetensi kepribadian dan akhlak mulia, serta
memiliki kompetensi social, yakni kemampuan
berkomunikasi dan kerja sama yang baik dengan para
siswa, orang tua siswa dan masyarakat pada
umumnya. Selain itu, seorang pendidik selain harus
tampil bersih dan rapi, juga senantiasa menjaga dan
memelihara kesehatan.
4. Metode dan Pendekatan
Pembelajaran Adapun metode yang di gunakan
oleh khulafaur rasyidin dalam mengajar antara lain
dengan bentuk halaqah. Yakni guru duduk di
sebagian ruangan masjid kemudian di kelilingi para
siswa. Guru menyampaikan ajaran kata demi kata
dengan artinya dan kemudian menjelaskan
kandungannya. Sementara para siswa menyimak,
mencatat, dan mengulangi apa yang dikemukakan
oleh guru.
5. Pusat-pusat dan Lembaga Pendidikan
Pada masa khulafaur rasyidin pusat-pusat
pendidikan bukan hanya terdapat di Mekkah dam
Madinah, melainkan juga sudah tersebar di berbagai
daerah kekuasaan islam lainnya. Misalnya pada masa
khalifah Ummar bin Khattab, pusat pendidikan selain
Madinah dan Mekkah juga Mesir, Syiria dan
Basyrah, Kuffah, dan Damsyik. Adapun lembaga-
lembaga pendidikan yang di gunakan masih sama
dengan di zaman rasulullah, yaitu masjid, suffah,
kuttab, dan rumah.
6. Pembiayaan dan fasilitas Pendidikan
Pada masa khulafaur rasyidin, sebagian besar
waktu banyak di gunakan untuk melakukan
konsolidasi ke dalam, yakni memantapkan komitmen
sebagian umat Islam kepada ajaran Islam,
memadamkan berbagai pemberontakan serta
perluasan wilayah dakwah Islam.Dengan demikian
kesempatan untuk melakukan pembangunan dan
mengadakan berbagai fasilitas masih belum
mendapat perhatian yang memadai.

Namun, upaya pengumpulan Al Qur’an,


kemudian di lanjutkan dengan menulisnya kembali
hingga menjadi Al Qur’an standard hingga
sekarang.Upaya ini ada hubungannya dengan
penyediaan bahan kajian, pegangan, dan pedoman
bagi penyelenggaraan dakwah dan pendidikan.
Kemudian pada system Umar bin Khattab mulai di
atur dan ditertibkan system pembayaran gaji dan
pajak tanah. Dengan demikian para guru dan pejabat
negara lainnya mendapatkan gaji yang memadai
sehingga mereka dapat bertugas dengan tenang.
7. Evaluasi dan Lulus Pendidikan
Kegiatan evaluasi pendidikan masih berlangsung
secara lisan dan perbuatan, yakni bahwa kemampuan
seseorang dalam menguasai bahan pelajaran di lihat
pada kemampuan untuk mengemukakan,
mengajarkan, dan mengamalkan ajaran tersebut. Para
sahabat yang dinilai memiliki kecakapan dalam ilmu
agama, seperti tafsir, hadits, fatwa, dan sejarah
kemudian di percaya oleh masyarakat untuk
mengajar atau menyampaikan ilmunya kepada orang
lain. Kepercayaan masyarakat itulah sesungguhnya
merupakan proses dan standar evaluasi yang lebih
objektif dan murni, karena kepercayaan publik pada
umumnya menggambarkan keadaan yang
sesungguhnya dan bersifat objektif.
Periode Bani Umayyah
di Damaskus
A. Pemerintahan Dinasti Umayyah
Sistem pendidikan agama Islam priode dinasti
umayyah tidak terlepas dengan bagaimana proses
terbentuknya bani umayyah sampai masa jatuhnya di
Damaskus, hingga bangkit kembali di Andalusia.
Adapun pemerintahan dinasti umayyah diklasifikasikan
menjadi dua, diantaranya :
1. Pengambil Alih Kekuasaan
Bani Umayyah adalah keturunan dari Umayyah
bin Abdul Syams bin Abdul Manaf, seorang
pemimpin suku Quraisy. Sebelumnya, antara Bani
Umayyah dan Bani Hasyim sering terjadi
pertengkaran untuk memperebutkan kehormatan dan
kepemimpinan masyarakat Quraisy.
Hingga datanglah Nabi Muhammad SAW beserta
pengikutnya masuk ke kota Mekkah pada tahun 8
H/630 M. Kedatangan Nabi Muhammad SAW dapat
meredam pertentangan antara Bani Umayyah dan
Bani Hasyim. Karena Bani Umayyah tidak mampu
melawan baginda Rasullullah SAW, ia pun menyerah
dan menyatakan bersedia masuk Islam.
Kesungguhannya masuk Islam, terbukti dengan
loyalitas dan dedikasi tinggi terhadap agama Islam.
Bani Umayyah juga terlibat dalam peperangan kaum
muslim dengan penuh semangat kepahlawanan.
Pada masa Nabi Muhammad SAW, Muawiyah
bin Abu Sufyan diangkat menjadi penulis wahyu.
Sementara, masa Umar Bin Khattab beliau diangkat
sebagai Gubernur Syam.
Pada tahun 41 H/661 M, Muawiyah bertemu
dengan Amr dan Husain di Kuffa. Di kota ini, banyak
Muawiyah yang dijadikan khalifah karena kaum
muslim kembali bersatu dibawah pimpinan seorang
khalifah. Sejak saat itulah, Khulafa, ar-Rasyidun
berganti periode Dinasti Umayyah yang berkuasa
dari tahun 41 H/661 M sampai 132 H/750 M.
2. Pembentukan Dinasti Umayyah
Pada awalnya, Hasan ibn Ali telah memperispkan
diri untuk menghadapi Mu,’awiyah di Kufah, dibantu
oleh Qais ibn Sa'ad ibn Ubadah al-Anshari an
Abdullah ibn Abbas. Namun, ketika sampai di
Madain, salah seorang anggota pasukan berteriak
Qais telah terbunuh. Teriakan itu membuat pasukan
Hasan bercerai berai berlarian.
Saat itu pula, sebagaian orang yang membuat
kekacauan menyerbu masuk ke tempat persinggahan
Hasan. Mereka melanggar kehormatannya dan
merampok habis harta benda Hasan.
Melihat kekacauan ini, Hasan memutuskan untuk
menempuh jalan perdamaian dengan Mu’awiyah.
Walaupun adiknya, Husain bin Ali tidak
menyetujuinya. Hingga akhirnya, Hasan ingin
mengirimkan surat perdamaian kepada Mu'awiyah,
tetapi Husain tetap menentang keputusan Hasan.
Belum saja surat perdamaian itu sampai ke tangan
Mu’awiyah, Abdullah ibn Amir dan Abd al-Rahman
ibn Samurah ibn Habib Syam utusan Mu’awiyah,
telah membawa blangko kosong yang sudah
ditandangi dan di stempel. Mu'awiyah menginginkan
Hasan mengajukan syarat perdamaian di blangko
tersebut. Kemudian Hasan pun menuliskan
persyaratan yang akan diajukan, sebagai berikut :
a. Mu’awiyah harus menyerahkan apa yang terdapat
di bait al maal Kufah yang jumlahnya mencapai
5.000.000 dirham.
b. Menyerahkan Pajak negeri Ahwaz setiap
tahunnya.
c. Jangan mencaci Ali dihadapan dirinya.
Tanpa mempertimbangkan persyaratan yang
diajukan oleh Hasan, Mu’awiyah langsung
menyetujuinya, sebab hal yang terpenting adalah
Hasan mengundurkan diri.
Akhirnya, tercapailah perdamaian yang dikenal
sebagai tahun persatuan (‘amu al-Jama’ah). Bahkan,
Ibnu Said bersama tentaranya yang dulu mengabdi
kepada Hasan, berpindah untuk mengabdi
Mu’awiyah. Sehingga, ambisi Mu’awiyah untuk
menjadi pemimpin umat sudah tercapai walaupun
dengan cara yang licik dan tidak sehat.

B. Sistem Pendidikan Pada Periode Bani Umayyah di


Damaskus.
Sistem pendidikan yang berkembang pada masa ini
sebenarnya sama dengan pendidikan yang berkembang
pada masa sekarang. Pendidikan yang ada pada waktu
itu terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu, tingkat pertama,
tingkat menengah, dan tingkat tinggi. Adapun tempat
belajar pada waktu itu terbagi menjadi tiga, yaitu
Kuttab, Masjid, dan Majelis Sastra.
Kuttab adalah tingkat pertama untuk belajar menulis,
membaca atau menghafal al-Qur’an dan mempelajari
pokok-pokok dari agama Islam. Di samping itu murid-
murid juga mempelajari tata bahasa Arab, cerita-cerita
nabi, hadis dan pokok agama. Peserta yang dididik
terdiri dari anak-anak dari lapisan sosial manapun.
Bahkan, sebagian anak-anak yang kurang mampu diberi
makan dan pakaian dengan cuma-cuma. Anak-anak
perempuan pun diberi hak belajar yang sama dengan
laki-laki. Setalah lulus, maka murid-murid melanjutkan
pendidikan ke Masjid.
Masjid merupakan pusat pendidikan yang terdiri dari
tingkat menengah dan tingkat tinggi. Pendidikan tingkat
menengah kembali mendalami al-Qur’an, Tafsir, Hadis,
dan Fiqih. Selain itu, murid-murid juga diajarkan
kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa, ilmu hitung, dan
ilmu perbintangan. Masjid dijadikan sebagai pusat
aktifitas ilmiah. Pada tingkat menegah gurunya
belumlah ulama besar, berbeda halnya dengan tingkat
tinggi yang diberi pengajaran oleh ulama yang memiliki
ilmu yang mendalam dan termasyhur kealiman dan
kesalehannya.
Umumnya pelajaran yang diberikan guru kepada
muridnya pada tingkat pertama dan menengah dilakukan
satu persatu atau perseorangan. Sedangkan pada tingkat
tinggi pelajaran diberikan dalam satu halaqah yang
dihadiri oleh para pelajar secara bersamasama. Selain
itu, adapula Majelis Sastra yang merupakan tempat
berdiskusi membahas masalah kesusasteraan dan juga
sebagai tempat berdiskusi mengenai urusan politik.
Perhatian penguasa Umayyah sangat besar pada
pencatatan kaidah-kaidah nahwu, pemakaian Bahasa
Arab dan mengumpulkan syair-syair Arab dalam bidang
Syariah, kitabah dan berkembangnya semi prosa.
Bahkan dilakukan pula pen-terjemahan ilmu-ilmu dari
bahasa lain ke dalam bahasa Arab.
Berdasarkan uraikan di atas dapat dikatakan bahwa
perkembangan pendidikan Islam tidak lepas dari
peranan ulama-ulama yang begitu giat mempelajari
ilmu. Para ulama 6 mendirikan madrasah-madrasah pada
tiap-tiap kota. Kecintaan para ulama terhadap ilmu
membuat mereka tergerak mempelajari ilmu tidak hanya
pada satu ulama. Sehingga mereka melakukan
pengembaraan ke berbagai tempat untuk menambah
ilmu agama.
Ulama-ulama yang ada memiliki murid-murid, jadi
ketika ulama tersebut wafat murid-muridnya, ulama
tabi’in akan melanjutkan perjuangan untuk menuntut
ilmu. Begitu seterusnya sampai kepada kita sekarang.
Dengan adanya interaksi yang baik antara guru dan
murid inilah yang menciptakan suatu keharmonisan
dalam proses pembelajaran berbagai ilmu pengetahuan.
Pencarian ilmu yang dilakukan oleh pencinta ilmu yang
dilakukan dengan mengembara ke berbagai wilayah atau
negara lain untuk belajar kepada ulama tertentu juga
mengindikasikan adanya percampuran budaya setempat
dengan Islam.

C. Kemajuan Yang Dicapai Dinast Umayyah


Adapun kemajuan yang dicapai pada pertumbuhan dan
perkembangan pendidikan Islam priode Bani Umayyah
di Damaskus, sebagai berikut:
1. Bidang Arsitektur
Kemajuan di bidang arsitektur dapat diihat pada
masa al-Walid, terdapat pembangunan masjid agung
yang dikenal dengan nama Masjid Damaskus. Masjid
ini didirikan oleh Abu Ubaidah bin Jarrah. Dalam
pembangunannya beliau mendatangkan 12.000
tukang bangunan dari Romawi dengan luas masjid
300x200 dan memiliki pilar serta dinding-dinding
yang berukiran indah. Selain masjid, perkembangan
arsitektur juga terlihat pada Kuba Batu Masjidil al-
Aqsha yang dikenal dengan Kubah Ash-Shakhra di
Yerusalem.
2. Bidang Pengetahuan
Adapun kemajuan yang dicapai Dinasti Umayyah
di bidang pengetahuan dapat dilihat dari Al-Walid
yang mendirikan sekolah kedokteran dan melarang
penderita kusta meminta-minta di jalanan, bahkan
memberikan subsidi bagi mereka.
3. Bidang Perluasan Wilayah
Pada masa pemerintahan Umar ibn Khattab
terdapat 8 provinsi, sementara pada masa Dinasti
Umayyah bertambah dua menjadi 10 provinsi. Setiap
provinsi tersebut dikepalai oleh seorang Gubernur
yang bertanggung jawab langsung kepada khalifah.
4. Bidang Politik
Pada priode Dinasti Umayyah di Damaskus,
dibuatlah suatu tatanan pemerintahan yang baru
untuk memenuhi tuntunan perkembangan wilayah
supaya administrasi negara lebih teratur.
5. Bidang Sastra
Kesastraan berkembang pesat pada masa Dinasti
Umayyah. Dapat dilihat ketika Walid ibn Abdul
Malik berkuasa terjadi penyeragaman bahasa, yaitu
semua administrasi negara harus memakai bahasa
Arab.
6. Bidang Seni Rupa
Pada masa Dinasti Umayyah, kesenian yang
berkembang pesat yaitu seni ukir dan pahat, dimana
kaligrafi sebagai motifnya.
7. Bidang Ilmu Tasawuf
Bidang ilmu tasawuf yang berkembang pada masa
Dinasti Umayyah, meliputi ajaran untuk menekuni
ibadah dan menjauhkan diri dari kesenangan
duniawi, hingga dikenal dengan sebutan kaum Sufi.
Tokoh terkenal yang termasuk didalam-nya, seperti
Hasan al-Basri.

D. Kemunduran dan Runtuhnya Bani Umayyah


Berakhir pada masa pemerintahan Hisyam ibn Abdul
Malik (724-743). Oleh para pakar sejarah Arab, Hisyam
dipandang sebagai negarawan ketiga dalam Dinasti
Umayyah setelah Muawiyah dan Abdul Malik.
Dengan kematian Hisyam pada 743 M, rezim
Umayyah memasuki fase kemuduran. Empat
penggantinya, kecuali Marwan II yang menjadi khalifah
terakhir, terbukti tidak cakap, atau bisa dikatakan tidak
bermoral dan rusak.
Bahkan, beberapa khalifah sebelum Hisyam pun,
yang dimulai oleh Yazid I, lebih suka berburu, pesta
minum, tenggelam dalam alunan musik dan puisi,
daripada membaca al-Quran atau mengurus persoalan
negara. Berikut ini faktor-faktor yang menyebabkan
kemunduran Dinasti Umayyah, hingga pada akhirnya
meruntuhkan imperium tersebut.
1. Rusaknya Moral para Khalifah Dinasti Umayyah
Pasca-wafatnya Hisyam, praktik-praktik
menyimpang di lingkungan istana bertambah parah.
Kejayaan yang diraih pada masa sebelumnya,
menyebabkan para khalifah gemar berfoya-foya
dengan kemewahan. Lebih parah lagi perilaku
menyimpang itu sudah menjadi fenomena umum.
Bahkan keluarga khalifah sudah tidak lagi
berdarah Arab murni. Yazid III (744) adalah khalifah
pertama yang lahir dari seorang budak. Dua khalifah
penerusnya juga lahir dari seorang mantan budak
yang dimerdekakan. Rusaknya peradaban, terutama
menyangkut minuman keras, perempuan dan
nyanyian telah menjadi virus di masyarakat dan
mulai menggerogoti pemuda Arab.
2. Kekacauan Suksesi Kepemimpinan
Keadaan itu semakin kacau ketika mereka
dihadapkan pada suksesi kepemimpinan. Tidak
adanya aturan yang pasti dan tegas tentang peralihan
kekuasaan secara turun-temurun menimbulkan
gangguan yang serius di tingkat negara. Muawiyah I
memang telah mengantisipasi masalah itu dengan
menunjuk putranya sebagai pengganti dirinya, tetapi
prinsip senioritas kesukuan Arab klasik dalam
persoalan kepemimpinan menjadi penghalang
terbesar.
Di antara 14 khalifah Umayyah, hanya empat
khalifah yang berhasil mewariskan kekuasaan pada
anak-anaknya, yaitu Muawiyah I, Yazid I, Marwan I
dan Abdul Malik. Persoalan menjadi semakin rumit
dengan munculnya tradisi baru yang diperkenalkan
oleh pendiri keluarga Marwan yang menunjuk
anaknya Abdul Malik sebagai penggantinya,
kemudian diikuti oleh anaknya yang lain Abdul Aziz.

Ketika berkuasa, Abdul Malik ikut melakukan


tradisi sebelumnya. Ia mengalihkan kekuasaan dari
saudaranya, Abdul Aziz, kepada anaknya sendiri al
Walid, sambil menempatkan anaknya yang lain,
Sulayman pada urutan kedua pewaris kekuasaan.
Pada gilirannya, al-Walid juga tidak berhasil
menggulingkan saudaranya, Sulayman ibn Abdul
Malik, untuk menempatkan anaknya sebagai
khalifah.
3. Melemahnya Kekuatan Militer Suriah
Beberapa khalifah Umayyah masa belakangan
berusaha meningkatkan peranan militer Suriah untuk
menguasai kelompok Arab lainnya dan memperkuat
pasukan tempur pada beberapa wilayah perbatasan
imperium dengan tentara-tentara yang cakap dan
profesional. Pusat-pusat militer mengirimkan tentara
Suriah untuk menghadapi perlawanan-perlawanan
dari daerah yang diduduki.
Pasukan Turki mendesak Bangsa Arab keluar dari
Transoxiana. Khazars, masyarakat Nomadik yang
tinggal di Caucasus, mengalahkan pasukan Arab di
Ardabil, menyerbu Armenia dan menguasai wilayah-
wilayah sampai sejauh Mosul. Pada tahun 740,
Yunani, dengan gemilang mengalahkan serbuan
pasukan Arab di Acrazas, Anatolia dan berhasil
menghancurkan sebagian besar militer Suriah.
Pasukan penyerbu Arab dan Berber dikalahkan di
Prancis Tengah pada 732 M, dan pemberontakan
Berber atas nama Khawarij berlangsung di Afrika
Utara menghancurkan sebuah pasukan militer Suriah
yang teridiri dari 27.000 orang. Sisa dari pasukan ini
melarikan diri ke Spanyol dan kelak akan membantu
Abdurrahman mendirikan Emirat Umayyah di
Andalusia.
Sejumlah kekalahan ini mengakhiri fase imperial
dari Dinasti Umayyah dan meninggalkan militer
Suriah dalam keadaan sekarat dengan hanya
beberapa ribu pasukan yang tersisa. Setelah satu abad
memperkokoh negara dengan kekuatan militer,
dinasti ini sekarang dalam keadaan tanpa basis
militer yang mendukung efektivitas pemerintahan
usat. Dengan kata lain peluang untuk menggulingkan
pemerintahan Umayyah melalui jalan militer terbuka
lebar.
4. Perpecahan di Masyarakat
Kelemahan klasik dan khas dari kehidupan sosial
orang Arab yang selalu menekankan individualisme,
semangat kesukuan dan pertikaian kembali
menampakkan wujudnya pada masa kemunduran
Dinasti Umayyah. Ikatan persaudaraan berdasarkan
iman yang pada awalnya dibangun oleh Islam, secara
berangsur mulai longgar.
Dinasti Umayyah tidak lepas dari persaingan
antara suku-suku Arab Utara diwakili oleh Suku
Qays dan suku-suku Arab Selatan diwakili Suku
Kalb. Sejak awal pendirian dinasti, dua suku itu terus
bertarung memperebutkan hegemoni kekuasaan.
Persaingan mencapai puncaknya pada masa
kemuduran, sehingga pada periode ini para khalifah
lebih merupakan pemimpin kelompok tertentu, bukan
pemegang kedaulatan atas sebuah kerajaan yang
utuh.
Di setiap tempat, di ibu kota dan berbagai
provinsi, pertikaian turun temurun antara dua
kelompok yang saling bersebrangan ini semakin
mengkristal. Akibatnya ekspansi muslim pun
menjadi melambat hingga akhirnya berhenti. Potensi
perpecahan antara suku etnis dan kelompok politik
yang tumbuh semakin kuat menjadi sebab utama
terjadinya gejolak politik dan kekacauan yang
mengganggu stabilitas negara.
5. Kemunculan Kelompok-Kelompok Pemberontak
Selain perpecahan antar suku dan konflik di
antara anggota keluarga kerajaan, faktor lain yang
menjadi sebab utama jatuhnya kekhalifahan
Umayyah adalah munculnya berbagai kelompok
yang memberontak dan merongrong kekuasaan
mereka.
Kelompok Syiah, yang tidak pernah menyetujui
pemerintahan Dinasti Umayyah dan tidak pernah
memaafkan kesalahan mereka terhadap Ali dan
Husain, kini semakin aktif dibanding masa-masa
sebelumnya. Pengabdian dan ketaatan mereka
terhadap keturuan Ahlu Bait berhasil menarik simpati
publik. Di sekeliling mereka berkumpul orang-orang
yang merasa tidak puas, baik dari sisi politik,
ekonomi, ataupun sosial, terhadap pemerintahan
Dinasti Umayyah.

Di Irak, yang mayoritas penduduknya menganut


paham Syiah, pada awalnya melakukan oposisi
karena tidak diberi kebebasan, kini mulai berubah
menjadi sentimen keagamaan. Sementara itu, di
kalangan Sunni sekalipun, mereka ikut mengecam
para khalifah karena teralu mementingkan kehidupan
duniawi, serta mengabaikan hukum al-Quran dan
Hadis. Mereka selalu berisaga penuh untuk
menjatuhkan sanksi keagamaan terhadap segala
bentuk penentangan yang mungkin muncul.
6. Revolusi Abbasiyah dan Keruntuhan Dinasti
Umayyah
Selain kedua kelompok di atas, kekuatan
destruktif lainnya mulai bergerak aktif untuk
meyerang Dinasti Umayyah. Keluarga Abbas, para
keturunan paman Nabi, alAbbas ibn Abdul Muthalib
ibn Hasyim, mulai menegaskan tuntutan mereka
untuk menduduki pemerintahan.
Dengan cerdik, mereka bergabung dengan
pendukung Ali. Mereka menggunakan ikatan sebagai
keluarga Hasyim untuk menggalang persekutuan.
Bani Abbas memanfaatkan kekecewaan publik dan
menampilkan diri sebagai pembela sejati agama
Islam. Pada perkembangannya para keturunan Abbas
segera menjelma sebagai pemimpin gerakan anti
Umayyah.
Sebagai markas dan pusat propaganda, mereka
memilih sebuah desa kecil di sebelah selatan Laut
Mati, al-Mumaymah. Tempat ini terliaht seperti
tempat terpencil dan jauh dari keramaian dunia,
tetapi kenyataannya mreupakan daerah strategis yang
berdekatan dengan jalur perdagangan dan
persimpangan rute jamaah haji. Di tempat inilah
berdiri panggung sejarah pertama dan paling nyata
dari gerakan propaganda politik.
Di satu sisi, pemerintahan Umayyah yang Arab-
sentris memunculkan kekecewaan dari beberapa
kelompok masyarakat yang merasa dianaktirikan
oleh penguasa. Orang Islam non-Arab pada
umumnya, dan khususnya muslim Persia, memilki
alasan kuat untuk kecewa.
Selain karena tidak memperoleh kesetaraan
ekonomi dan sosial yang sama dengan muslim Arab,
mereka secara umum diposisikan sebagai kalangan
mawalli (muslim non-Arab), dan tidak selalu bebas
dari kewajiban membayar pajak kepala yang biasa
dikenakan terhadap non-muslim.
Permasalahan lain yang semakin menegaskan
kekecewaan mereka adalah kesadaran bahwa mereka
memiliki budaya yang lebih tinggi dan lebih tua,
kenyataan yang bahkan diakui oleh Arab sendiri. Di
tengah-tengah massa yang kecewa itulah aliansi
Syiah-Abbas menemukan lahan yang subur untuk
melakukan propaganda.
Dari Irak yang selalu menjadi pendukung setia
kelompok Ali, doktrin Syiah menyebar ke Persia dan
menancapkan akarnya khususnya di provinsi timur
laut, Khurasan. Di Persia, jalan telah terbuka dengan
adanya pertikaian antara Azd dan Mudhar yang
melekat dalam ingatan orang Arab. Pertikaian
tersebut semakin memuluskan jalan masuk
propaganda Syiah-Abbas.
Keruntuhan Dinasti Umayyah semakin dekat
ketika terbentuk aliansi antara kekuatan Syiah,
Khurasan, dan Abbasiyah yang dimanfaatkan oleh
kelompok terakhir untuk kepentingan mereka sendiri.
Koalisi ini dipimpin oleh Abu al-Abbas, cicit al-
Abbas, paman Nabi. Di bawah kepemimpinannya,
Islam revolusioner bangkit menentang tatanan yang
telah ada dengan menawarkan gagasan teokrasi dan
janji untuk kembali kepada tatanan ortodoksi.
Pada 9 Juni 747 M, pemberontakan dimulai ketika
seorang pendukung Abbasiyah, Abu Muslim, seorang
mantan budak Persia, mengibarkan bendera hitam. 12
Bendera itu pada awalnya merupakan warna bendera
perang Rasulullah, tapi kini menjadi lambang
Abbasiyah. Dengan memimpin suku Azd (Yaman),
Abu Muslim memasuki kota Marw, tapi mayoritas
pengikutnya adalah petani Iran dan kelompok
mawalli, bukan orang Arab.
Dihadapkan dengan serangan itu, Nashr ibn
Sayyar, gubernur Umayyah di Khurasan, segera
meminta bantuan kepada Marwan II. Namun,
meskipun Marwan II lebih unggul dalam kemampuan
dan semangat dibanding para pendahulunya di era
kemunduran, ia tetap tidak bisa memberikan bantuan
kepada gubernurnya itu. Dikarenakan ia sendiri
sedang sibuk menghadapi pemberontakan di sekitar
ibu kota kerajaan yang tersebar dari Palestina hingga
Hims.
Marwan II yang didukung oleh suku Qays,
melakukan kesalahan besar dengan memindahkan
bukan saja kediamannya, tetapi juga birokrasi negara
ke Harran di Mesopotamia. Pemindahan pusat
birokrasi ini justru menjauhkannya dari orang-orang
Suriah selaku pendukung utamanya yang akhirnya
justru mulai memberontak.
Selain golongan-golongan yang telah disebutkan
di atas, orang Khawarij di Irak-yang selalu menjadi
lawan mematikan bagi pihak penguasa-kini juga
mulai memberontak. Di Spanyol, pertikaian turun-
temurun telah merobek provinsi Islam paling barat
itu.
Selama tiga tahun, Marwan II yang saat itu
berusia sekitar 60 tahun, memimpin pertempuran
melawan para pemberontak Suriah dan Khawarij,
serta membuktikan dirinya sebagai jenderal yang
cakap. Sebagai pemimpin militer, dalam pertempuran
itu ia mengubar formasi baris (shuhuf), yang
merupakan formasi perang pasukan Nabi, menjadi
sistem legiun (Karadis) unit-unit kecil yang lebih
padu dan memiliki mobilitas tinggi.
Meskipun secara strategi perang unggul, keadaan
sudah terlampau parah untuk diperbaiki. Pengaruh
Dinasti Umayyah dengan cepat mulai terbenam
seiring bertambah panasnya pemberontakan. Satu
demi satu kota-kota penting Umayyah jatuh, dimulai
dari ibukota Khurasan, Marw, diikuti kemudian pada
749 dengan jatuhnya Kufah yang menyerah kepada
pemberontak tanpa perlawanan berarti.
Pada hari Kamis 30 Oktober 749, pengakuan
publik diberikan di masjid kepada Abu al-Abbas
sebagai khalifah. Dengan demikian, khalifah
Abbasiyah pertama telah 13 diangkat. Di berbagai
tempat, pasukan berbendera putih Dinasti Umayyah
dikalahkan oleh pasukan berbendera hitam
Abbasiyah dan sekutu-sekutunya.
Sementara itu, Marwan memberikan perlawanan
akhir yang sia-sia. Dengan pasukan sekitar 12.000
orang, ia bergerak dari Harran. Pada Januari 750, di
sisi kiri Sungai Zab besar, Marwan dihadapkan
dengan pasukan lawan yang dipimpin oleh Abdullah
ibn Ali, paman dari khalifah Abbasiyah yang baru
diangkat. Namun, keinginan dan semangat untuk
menang sudah tidak lagi dimiliki oleh pasukan
Suriah, sehingga kekalahan mereka bisa dipastikan.
Setelah pertempuran di Zab, jalan masuk ke
Suriah terbuka lebar bagi pasukan Abbasiyah. Satu
demi satu, kota-kota besarnya membuka pintu
mereka untuk Abdullah dan pasukan Khurasannya.
Hanya kota Damaskus yang harus dikepung, namun
setelah beberapa hari, kota besar itu menyerah pada
26 April 750.
Dari Palestina, Abdullah mengirimkan pasukan
untuk mengejar khalifah yang melarikan diri.
Marwan akhirnya ditangkap dan dibunuh pada 5
Agustus 750 di luar sebuah gereja yang menjadi
tempat perlingdungannya di Bushir, Mesir dan di
tempat itulah ia kemudian dimakamkan. Menurut
Mas’udi, kepala dan simbol kekhalifahannya
kemudian diserahkan kepada Abu al-Abbas.
Orang-orang Abbasiyah kini berencana
memusnahkan keluarga Dinasti Umayyah. Bahkan,
jenderal mereka, Abdullah, tidak ragu-ragu
menghabisi orang-orang yang dekat dengan keluarga
istana.
Pada 25 Juni 750, ia mengundang 80 orang di
antara mereka sebuah undangan makan di Abu
Futhrus, sebuah kuil kuno di Sungai Awja dekat
Jaffa, kemudian menghabisi mereka ketika jamuan
makan sedang berlangsung. Setelah menutup jasad-
jasad yang sudah meninggal dan sekarat, ia dan para
komandannya melanjutkan jamuan makan itu, sambil
diiringi rintihan manusia yang sedang meregang
nyawa.
Tidak berhenti disitu, para agen dan mata-mata
disebar ke seluruh dunia Islam untuk memburu dan
mebunuh keturunan keluarga Umayyah yang
melarikan diri, yang beberapa di antara mereka
bahkan bersembunyi di bawah tanah. Salah satu
pelarian paling dramatis adalah pelarian
Abdurrahman ibn Muawiyah ibn Hisyam ke Spanyol,
tempat dibangunnya Dinasti Umayyah baru di
Andaluisia. Bahkan jasad yang sudah tidak bernyawa
sekalipun tidak luput dari kemarahan dan pembalasan
dendam orang Abbasiyah. Jasad para khalifah di
Damaskus, Qinnasrin dan tempat-tempat lainnya
digali dari kuburnya , lalu dirusak oleh Abdullah.
Jasad Sulayman di Dabik juga digali kembali,
demikian pula jasad Hisyam di Rushafah-yang
diawetkan-dibakar menjadi abu setelah sebelumnya
dicambuk sebanyak 80 kali. Hanya makam Umar ibn
Abdul Aziz yang tidak mengalami nasib serupa.
Dengan jatuhnya Dinasti Umayyah, kejayaan dan
hegemoni Suriah berakhir. Orang Suriah sudah jauh
terlambat untuk menyadari bahwa pusat pengaruh
Islam telah lepas dari tangan mereka dan berpindah
ke timur. Meskipun mereka sudah berupaya
melakukan perlawanan militer untuk meraih kembali
kekuasaan, semua upaya mereka sia-sia.
Akhirnya, mereka hanya bisa mengharapkan
kedatangan Sufyani, semacam juru selamat yang
ditunggu-tunggu untuk membawa mereka keluar dari
kekangan orang Irak yang menindas mereka.
Namun, kejatuhan Dinasti Umayyah mengandung
arti lebih dari itu. Periode Arab murni dalam sejarah
Islam telah berakhir dan era kerajaan Arab murni kini
sedang bergerak cepat menuju akhir.
Dinasti Abbasiyah yang menyebut diri mereka
sebagai daulah, menandai sebuah era baru dan
memang benar-benar menjadi era baru. Orang Irak
telah terbebas dari kendali orang Suriah, dendam
Syiah dianggap telah terbalaskan, dan para mawali
juga telah terbebas. Kufah di perbatasan Suriah-Irak
kemudian dijadikan sebagai ibukota pemerintahan
yang baru. Orang Khurasan menjadi pasukan
pengawal khalifah dan orang Persia menduduki
posisi-posisi penting dalam pemerintahan.
Sejak saat itu, aristokrasi Arab murni telah
tergantikan dengan hirarki pejabat yang diambil dari
beragam bangsa di dalam wilayah kekuasaan
khalifah. Muslim Arab dan para pemeluk Islam baru
mulai melakukan koalisi dan saling melindungi.
Arabisme memang telah runtuh namun kekuasaan
Islam terus berlanjut dan memasuki babak ketiga
dalam sejarahnya.
Masa Khalifah Bani
Umayyah di Spanyol
A. Sejarah masuknya Islam ke Spanyol
Spanyol di duduki oleh umat islam pada zaman
khalifah Al-Walid pada tahun 705-715 Masehi. Dia
adalah seorang khalifah dari Daulah Bani Umayyah
yang berpusat di Damaskus. Dalam penaklukan Spanyol
terdapat tiga pahlawan islam yang dapat dikatakan
sebagai orang yang sangat berjasa dalam memimpin
satuan-satuan pasukan untuk menuju ke Spanyol Mereka
adalah Tharif ibn Malik, Thariq ibn Ziyad, dan Musa bin
Nushair. Dari tiga nama tersebut nama Thariq ibn Ziyad
yang paling terkenal karena pasukannya lebih besar dan
hasilnya lebih nyata. Dengan pasukan yang besar dia
menyebrangi selat Gibraltar dan satu per satu kota yang
dilewatinya dapat ditaklukkannya. Setelah Musa ibn
Nushair berhasil menaklukkan Sidonia, Karmona,
Seville, dan Merida serta mengalahkan penguasa
kerajaan Gothic dia bergabung dengan Thariq ibn Ziyad
di Toledo. Selanjutnya, mereka berhasil menguasai
seluruh kota-kota penting di Spanyol, termasuk bagian
utaranya mulai dari Saragosa sampai Navarre.
Sukses Thariq ibn Ziyad di masa Al-Walid (Daulah
Bani Umayyah) diikuti oleh Abdurrahman Ad-Dakhil
(penguasa pertama Daulah Bani Umayyah-Spanyol),
yang berusaha menata sistem pemerintahan. Dia melihat
masyarakat spanyol adalah masyarakat yang heterogen,
baik berdasarkan strata social, suku, ras, maupun agama.
Dia memiliki tentara yang terorganisir dengan baik yang
jumlahnya tidak kurang dari 40.000 tentara, dan juga
membangun angkatan laut yang kuat. Gebrakan lain
yang dilakukan oleh Abdurrahman Ad-Dakhil adalah
mendirikan masjid agung Cordova dan sekolah-sekolah
di kota-kota besar di Spanyol.
PERKEMBANGAN ISLAM DI SPANYOL
Sejak pertama kali menginjakkan kaki ditanah
Spanyol hingga jatuhnya kerajaan islam terakhir di sana,
Islam memainkan peranan yang sangat besar, masa itu
berlangsung lebih dari tujuh setengah abad. Sejarah
panjang yang dilalui ummat islam di Spanyol itu dapat
dibagi menjadi enam periode, yaitu:
1. Periode Pertama (711-755 M)
Pada periode ini, Spanyol berada di bawah
pemerintahan para wali yang diangkat oleh khalifah
Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Pada
periode ini stabilitas politik negeri Spanyol belum
terkendali gangguan keamanan masih banyak terjadi
di beberapa wilayah, karena pada masa ini adalah
masa peletakan dasar, asas dan tujuan invansi islam
di Spanyol.
2. Periode Kedua (755-912 M)
Pada masa ini Spanyol berada di bawah
pemerintahan seorang yang bergelar amir (panglima
atau gubernur), tetapi tidak tunduk pada pusat
pemerintahan islam, yang ketika itu dipegang oleh
Khalifah Abbasiyah di Baghdad. Amir pertama
adalah Abdurrahman Ad Dakhil, dia adalah
keturunan Bani Umayyah yang berhasil lolos dari
kejaran Bani Abbas. Pada masa ini umat islam di
Spanyol mulai memperoleh kemajuan-kemajuan,
baik dalam bidang politik dan peradaban serta
pendidikan.
3. Periode Ketiga (912-1013 M)
Periode ini berlangsung mulai dari pemerintahan
Abd Al-Rahman III sampai munculnya Muluk al-
Thowaif (raja-raja kelompok). Pada periode ini
Spanyol diperintah oleh penguasa dengan gelar
“khalifah”. Pada periode ini juga umat Islam di
Spanyol mencapai puncak kemajuan dam kejayaan
menyaingi Daulat Abbasiyah di Baghdad. Abd Al-
Rahman Al-Nashir mendirikan Universitas Cordova.
Perpustakaannya memiliki koleksi ratusan ribu buku.
Hakam II juga seorang kolektor buku dan pendiri
perpustakaan.
4. Periode Keempat (1013-1086 M)
Pada periode ini Spanyol terpecah menjadi lebih
dari tiga puluh negara kecil di bawah perintah raja-
raja golongan atau al-Muluk- Thowaif yang terpusat
disuatu kota, seperti Sevilla, Cordova, Toledo, dan
sebagainya. Yang terbesar diantaranya adalah
Abadiyyah di Sevilla. Pada masa ini umat Islam di
Spanyol mengalami pertikaian internal.
5. Periode Kelima (1086-1248 M)
Periode ini terdapat satu kekuatan yang masih
dominan, yaitu dinasti Murabithun dan dinasti
Muwahhidun. Dinasti Murabithun pada mulanya
adalah gerakan agama di afrika utara yang didirikan
oleh Yusuf ibn Tasyfi pada tahun 1062 M. ia berhasil
mendirikan sebuah kerajaan yang berpusat di
Marakesh. Ia masuk ke Spanyol atas undangan raja-
raja islam yang tengah mempertahankan kekuasaan
dari serangan raja-raja Kristen.
6. Periode Keenam (1248-1492 M)
Pada periode ini, islam hanya berkuasa di daerah
Granada, dibawah dinasti Bani ahmar (1232- 1492).
Peradaban kembali mengalami kemajuan seperti
zaman Abdurrahman An-Nasir. Akan tetapi, secara
politik, dinasti ini hanya berkuasa diwilayah yang
kecil. Kekuasaan islam yang merupakan pertahanan
terakhir di Spanyol ini berakhir, karena perselisihan
orang-orang istana dalam memperebutkan kekuasaan.

B. Pola Pendidikan Islam di Andalusia.


Berdasarkan literatur-literatur yang membahas
sejarah pendidikan dan sejarah peradaban Islam secara
garis besarnya pendidikan Islam di Andalusia terbagi
dua bagian yaitu:
1. Kuttab
Sejak Islam pertama kali menginjakkan kakinya
di Andalusia hingga jatuhnya kerajaan Islam terakhir
dan sekitar tujuh setengah abad lamanya, Islam
memainkan peranan yang besar, baik dalam bidang
Intelektual (filsafat, sains, fikih, musik dan kesenian,
bahasa dan sastra) juga kemegahan bangunan fisik
(Cordova dan Granada).
Umat muslim Andalusia telah menoreh catatan
sejarah yang mengagumkan dalam bidang
intelektual, banyak perestasi yang mereka peroleh
khususnya perkembangan pendidikan Islam.
Pertumbuhan lembaga-lembaga pendidikan Islam
sangat tergantung pada penguasa yang menjadi
pendorong utama bagi kegiatan pendidikan. Di
Andalusia menyebar lembaga pendidikan yang
dinamakan Kuttab selain Masjid. Kuttab termasuk
lembaga pendidikan terendah yang sudah tertata
dengan rapi dan para siswa mempelajari berabagai
macam disiplin Ilmu Pengetahuan diantaranya:
a. Fikhi.
Oleh karena umat Islam di Andalusia penganut
Mazhab Maliki, maka para siswa mendapatkan
materi –materi pelajaran fikhi dari Imam Mazhab
Maliki. Yang memperkenalkan mazhab ini adalah
Ziyad ibn Abd. Al-Rahman, perkembangan
selanjutnya dilakukan seorang qadhi pada masa
Hisyam ibn abd. Al-Rahman yaitu Ibnu Yahya.
Dan masih banyak ahli-ahli fikhi lainnya
diantaranya Abu Bakr ibn al-Quthiyah, Munzir
ibn Sa’id al-Baluthi dan ibn Hazam. Yang sangat
populer saat itu.
b. Bahasa dan Arab
Bahasa Arab telah menjadi bahasa administrasi
dalam pemerintahan Islam di Andalusia, hal ini
dapat diterima oleh orang-orang Islam dan non
Islam, bahkan penduduk asli menomorduakan
bahasa asli mereka, para siswa diwajibkan
berdialog dengan melalui bahasa arab, sehingga
bahasa ini cepat populer dan menjadi bahasa
keseharian. Mereka yang ahli dan mahir bahasa
Arab baik keterampilan berbicara maupun tata
bahasa adalah Ibn Sayyidih, Ibn Malik yang
mengarang Al-fiyah, Ib Khuruf, Ibn Al-Hajj, Abu
Ali al-Isybili, Abu al-Hasan Ibn Usfur dan Abu
Hayyan al- Gharnathi. Seiring kemajuan di bidang
bahasa , muncul banyak karya sastra seperti Al-
Íqd al-Farid karya Ibn Abd. Rabbih, al-Dzakhirah
fi Mahasin ahl al-Jazirah oleh Ibn Bassam, Kitab
al-Qalaid buah karya al-Fath ibn Khaqan dan
banyak lagi yang lain
c. Seni Musik Dan Seni Suara
Dalam bidang musik dan suara, Islam di
Andalusia mencapai kecemerlangan dengan
tokohnya al-Hasan ibn Nafi yang dijuluki Zaryab.
Ia selalu tampil mempertunjukan kebolehannya.
Kepawaiannya bermusik dan seni membuat ia
menjadi orang termasyhur dikala itu, ilmu yang
dimilikinya diajarkan kepada anak-anaknya, baik
laki-laki maupun perempuan dan juga kepada para
budak, sehingga kemasyhurannya tersebar luas.
2. Pendidikan Tinggi
Di kawasan Andalusia yang pernah menjadi pusat
pemerintahan Islam, juga banyak dibangun banyak
perguruan tinggi terkenal seperti Universitas
Cordoba, Sevilla, Malaga, Granada dan yang lainnya.
Orang-orang Eropa yang pertama kali belajar sains
dan ilmu pengetahuan banyak tertarik untuk belajar
di berbagai perguruan tinggi di Andalusia. Sehingga,
lahirlah kemudian murid-murid yang menjadi para
pemikir dan filosof terkenal Eropa. Sejak itu,
dimulailah zaman Renaissance-nya Eropa. Perguruan
Tinggi Oxford dan Cambridge di Inggris merupakan
tiruan dari lembaga pendidikan di daerah Andalusia
yang menggabungkan pendidikan, pusat riset, dan
perpustakaan.
Sebagaimana halnya siswa belajar pendidikan
pada tingkat rendah (Kuttab) juga mempunyai
kesempatan seluas-luasnya melanjutkan pendidikan
pada tingkat tinggi yaitu Universitas Cordova yang
berdiri megah di Andalusia. Unversitas Cordova
berdiri tegak bersanding dengan Masjid
Abdurrahman III yang akhirnya berkembang
menjadilembaga pendidikan tinggi yang terkenal
yang setara dengan Uniersitas Al-Azhar di Cairo dan
Universitas Nizamiyah di Bagdad. Unversitas
Cordova memiliki perpustakaan yang menampung
sekitar empat juta buku dan meliputi buku astronomi,
matematika, kedokteran,teologi dan hukum, jumlah
muridnya mencapai seribu orang. Selain itu terdapat
Universitas Sevilla, Malaga dan Granada. Para
mahasiswa diajarkan tiologi, hukum Islam,
kedokteran, kima, filsafat dan astronomi.

C. Faktor Pendukung Perkembangan Pendidikan Islam di


Andalusia
1. Adanya dukungan dari penguasa, membuat
pendidikan Islam cepat sekali majunya, karena
penguasa sangat mencintai ilmu pengetahuan dan
berwawasan jauh ke depan.
2. Adanya beberapa sekolah dan universitas di beberapa
kota di Andalusia yang sangat terkenal (Universitas
Cordova, Sevilla, Malaga, dan Granada).
3. Banyaknya para sarjana Islam yang datang dari ujung
Timur dan ujung barat wilayah Islam dengan
membawa berbagai buku dan berbagai gagasan. Ini
menunjukkan bahwa, meskipun ummat Islam terdiri
dari beberapa kesatuan politik, terdapat juga apa
yang disebut kesatuan budaya Islam.
Adanya persaingan antara abbasiyah di Baghdad dan
Umayyah di Andalusia dalam bidang ilmu pengetahuan
dan peradaban. Kompetisi dalam bidang ilmu
pengetahuan dengan didirikannya Universitas Cordova
yang menyaingi Universitas di Baghdad yang
merupakan persaingan positif, tidak selalu dalam
peperangan.

D. Kejayaan dan Keberhasilan Bani Umayyah


Pada masa Bani Umayyah berkuasa, harus diakui
banyak sekali keberhasilan yang di capai, jika dapat
diklasifikan, maka yang paling utama dapat dilihat dari 2
aspek, yaitu: (1) Wilayah kekuasaan dan Perpolitikan
dan (2) Perkembangan Keilmuan, berikut diantaranya:
1. Ekspansi (perluasan wilayah/daerah kekuasaan)
secara besar-besaran. Daerah-daerah itu meliputi
Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah
Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan,
daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia,
Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.
2. Muawiyah banyak berjasa dalam pembangunan di
berbagai bidang.
3. Mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu
dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan
peralatannya di sepanjang jalan.
4. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata
dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan
khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang
menjadi profesi tersendiri, Qadhi adalah seorang
spesialis dibidangnya.
5. Abd al-Malik mengubah mata uang Bizantium dan
Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai
Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada
tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan
Arab.
6. Khalifah Abd al-Malik juga berhasil melakukan
pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan
dan memberlakukan Bahasa Arab sebagai bahasa
resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilan
Khalifah Abd al-Malik diikuti oleh puteranya al-
Walid ibn Abd al-Malik (705-715 M) seorang yang
berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan
pembangunan. Dia membangun panti-panti untuk
orang cacat. Semua personel yang terlibat dalam
kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara secara
tetap.
7. Dia juga membangun jalan jalan raya yang
menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya,
pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan
mesjid-mesjid yang megah.
8. Pada aspek politik, Bani Umayyah menyusun tata
pemerintahan yang sama sekali baru untuk
memenuhi tuntutan perkembangan wilayah dan
administrasi negara yang lebih teratur. Selain
mengangkat Penasihat sebagai pendamping, Khalifah
Bani Umayyah di bantu beberapa sekretaris yaitu:
Katib ar-Rasail, sekretaris yang bertugas
menyelenggarakan administrasi dan surat menyurat
dengan para pembesar setempat; Katib al-Kharaj,
sekretaris yang bertugas menyelenggarakan
penerimaan dan pengeluaran negara; Katib al-Jundi,
sekretaris yang bertugas menyelenggarakan segala
hal yang berkaitan dengan ketentaraan; Katib asy-
Syurtah, sekretaris yang bertugas sebagai
pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum; Katib
al-Qudat, sekretaris yang menyelenggarakan tertib
hukum melalui badan-badan peradilan dan hukum
setempat.
9. Perkembangan Keilmuan. Pada masa pemerintahan
dinasti umayyah, kota Makkah dan Madinah menjadi
tempat berkembangnya music, lagu dan puisi.
Sementara di Irak (Bashrah dan Kufah) berkembang
menjadi pusat aktivitas intelektual di dunia Islam.
Sedangkan di Marbad, kota satelit di Damaskus,
berkumpul para pujangga, filsuf, ulama, dan
cendikiawan lainnya. Beberapa ilmu yang
berkembang pesat seperti :
a. Pengembangan Bahasa Arab. Pada Dinasti
Umayyah, Bahasa arab dijadikan Bahasa resmi
dalam tata usaha negara dan pemerintahan
sehingga pembukuan dan surat-menyurat
menggunakan Bahasa arab.
b. Ilmu Qiraat. Ilmu seni membaca al-Quran yang
merupakan syariat tertua yang mulai
dikembangkan pada masa khulafaa Rasyidin.
Pada dinasti ini lahir para ahli qiraat ternama
seperti Abdullah bin Qusair.
c. Ilmu Tafsir. Salah satu bukti perkembangan ilmu
tafsir masa itu adalah dibukukannya ilmu tafsir
oleh mujahid.
d. Ilmu Hadits. Pada masa ini, hadits-hadits nabi
berupaka untuk dikumpulkan, kemudian di teliti
asal-usul nya, hingga akhirnya menjadi satu ilmu
yang berdiri sendiri yang dinamakan ilmu hadits.
Di antara ahli hadits yang terkenal pada masa ini
adalah Al-Auzi Abdurrahman bin Amru, Hasan
Basri, Ibnu Abu Malikah, Asya’bi Abu Amru
Amir bin Syurahbil.
e. Ilmu Fikih. Pada awal mulanya perkembangan
ilmu fiqh didasari pada dibutuhkannya adanya
peraturan-peraturan sebagi pedoman dalam
menyelesaikan berbagai masalah. Al-Quran dan
hasits dijadikan sebagai dasar fiqh Islam. diantara
ahli fiqh yang terkenah adalah Sa’ud bin Musib,
Abu Bakar bin Abdurahman, Qasim Ubaidillah,
Urwah, dan Kharijah.
10.Seni dan Budaya Pada masa bani Umayah ini
berkembang seni Arsitektur terutama setelah
ditaklukkananya spanyol oleh Thariq bin Ziyat.
Ekspresi seni ini diwujudkan pada bangunan-
bangunan masjid yang didirikan mada masa ini.
Arsitektur bangunannya memadukan antara budaya
Islam dengan budaya sekitar.

E. Keruntuhan Dinasti Umayyah


Kejayaan Dinasti Umayyah mulai menurun ketika
kelompok yang tidak puas terhadap pemerintahan mulai
muncul. Bani Abbasiyyah memimpin upaya perlawanan
ini dan pada akhirnya melemahkan kekuasaan Bani
Umayyah.
Pertengahan abad ke-6 menjadi masa-masa krusial
Kekhalifahan Umayyah. Pada periode ini, Umayyah
mulai mengalami kekalahan dari pasukan Abbasiyyah.
Hingga akhirnya, pada 750 M Damaskus berhasil
direbut oleh Abbasiyyah yang praktis membuat
pemerintahan Umayyah jatuh.
Khalifah terakhir Dinasti Umayyah di Damaskus,
adalah Marwan II bin Muhammad (744- 750). Sejak itu,
berakhirlah era Umayyah di Damaskus dan dimulailah
era baru di Andalusia dengan pusatnya di Cordoba,
Spanyol.
Pemerintahan Kekhalifahan Umayyah di Cordoba
berlangsung cukup lama. Namun, keruntuhan mulai
terlihat pada perjalanan awal abad ke-9. Mulai muncul
intrik dan pergolakan di kalangan sendiri. Wilayah
kekuasaan Umayyah pun sedikit demi sedikit tercerai-
berai.
Pada 1031, Hisyam III selaku Khalifah Umayyah di
Cordoba saat itu, mengundurkan diri dari jabatannya.
Situasi semakin kacau lantaran mengalami krisis
kepemimpinan. Tidak adanya pemimpin yang mumpuni
membuat dewan menteri terpaksa menghapus jabatan
khalifah.
Pemerintahan Umayyah di Andalusia pun terpecah-
belah menjadi negara-negara kecil hingga akhirnya
kekuasaan Islam di Cordoba benar-benar musnah.
Ada juga beberapa faktor yang menyebabkan dinasti
Bani Umayah lemah dan membawanya pada
kehancuran. Faktor-faktor itu ialah:
1. System penggantian khalifah melalui garis keturunan
adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih
menekankan aspek senioritas. Pengatutrannya tidak
jelas. Ketidakjelasan system enggantian khalifah ini
menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat
dikalangan anggota keluarga istana.
2. Latar belakang terbentuknya dinasti Umayah tidak
bias dipisahkan dari konflik-konflik politik yang
terjadi dimasa Ali.
3. Pada masa bani Umayah, pertentangan etnis antara
suku Arabia (Bani Qays) dan Arabia selatan (Bani
Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum islam
makin meruncing.
4. Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayah juga
disebabkan oleh sikap hidup mewah dilingkungan
istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggu
memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka
mewarisi kekuasaan.
5. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti
Bani Umayah adalah munculnya kekuatan yang di
pelopori oleh keturunan Al-Abbas ibn Abd Al-
Muthalib.

F. Kontribusi Terhadap Pendidikan Masa Sekarang


Adapun nilai-nilai yang masih aktual dan up-to-date
untuk diaplikasikan pada sistem pendidikan saat ini
adalah:
1. Perlunya Harmonisasi akal dan wahyu
Di kalangan umat Islam tidak dikenal adanya
perbedaan antara ulum Asy’siyyaah, ulmu
Naqliyyah, dan ulum Aqliyah. Namun dalam
implementasinya sebagian lembaga pendidikan 11
yang berlabelkan Islam masih mempunyai pandangan
diskriminasi pengetahuan dengan bahasa “Belajar
Filsafat, Kimia, Biologi, Matematika, dan sebagainya
yang sekarang sedang dikembangkan bahkan
diperluas oleh orang non-muslim adalah “haram”
sementara belajar Ushul Fiqih, Fikih dan sebagainya
adalah “wajib”. Tentunya dengan pandangan seperti
ini kita akan terus terbelakang, sementara Barat
dengan menggunakan akalnya untuk menguasai
berbagai IPTEK tentu saja semakin dapat menguasai
dunia. Hal ini sudah terbukti dengan masa
Renaissance (sekitar abad 14-17).
Bukankah pada dasarnya Islam tidak
mengesampingkan akal untuk memperoleh
kebenaran, banyak sekali ayat al-Quran yang dan
hadits yang menunjukan dan memerintahkan untuk
menggunakan akal. Seperti tercantumdalam Q.S al-
Imran: 190-191, QS. Ar.Rum: 8; alAraf,. QS. An-
Nahl:44,QS. Al”ghasiah:13, QS. Ar-Ra’du:3, QS az-
Zumar:42, QS Yunus:24. Ayat ini merupakan
perintah untuk menggunakan akal untuk memikirkan
sesuatu yang terdapat disekelilingnya.
Dengan demikian pendidikan Islam harus mampu
mengintegrasikan akal dan wahyu untuk menjadi
suatu kesatuan yang harmonis. Pemaksimal
wahyutanpa keikutsertaan akal akan menimbulkan
ketimpangan, demikian pulasebaliknya, menuhankan
akal dengan menyingkirkan keterlibatan wahyu akan
melahirkan “kegersangan intelektual” dengan
demikian keduanya perlu disandingkan dalam
suasana “Dialogis harmonis”. Dengan kata lain
“agama tanpa ilmu akan lumpuh, dan ilmu tanpa
agama akan buta”. Singkat kata, kebenaran wahyu
dan akal bukan untuk dipertentangkan tetapi di
bersamakan, yang mana semua ini perlu di breack
down dalam sistem pendidikan Islam, akhir kata
“rabbana atina fi- al-dunya hasanah wa fi al- Akhirati
hasanah wa qina azda ba al-Nar”.
2. Adanya Pertukaran Pelajar sehingga tidak hanya
Belajar pada Satu Lembaga.
Untuk keluar dari scientific critizisme. Pertukaran
pemikiran, diperbolehkan dengan syarat tidak
merampas apa yang di gariskan oleh nilai-nilai yang
terkandung dalam Islam, misalkan dalam teori etika,
tindakan moral mengasumsikan adanya otonomi
perbuatan manusia. Oleh karenanya haruslah
bertanggung jawab kepada diri sendiri, bukannya
kepada Tuhan. Lebih dari itu, untuk mencapai derajat
kemanusiannya seperti prima manusiaharus
meniadakan Tuhan dan menggali serta mampu
mengaktualisasikan potensi kemanusiaannya.
Dalam sejarah pemikiran Barat kita mencatat
bahwa untuk mencapai derajat filusuf biasanya
mereka bentrok dengan doktrin gereja tentang Tuhan.
Sedangkan dalam Islam justru ketika tindakan kita di
orientasikan pada Tuhan yang maha absolut, yang
maha bebas kita tidak akan terjebak dalam
relativisme dunia dan ahirat. Menurut Kant Puncak
rasionalitas pada akhirnya akan mengantarkan pada
pintu keimanan yang bersifat Supra Natural. Tuhan,
keimanan dan kemerdekaan bukanlah objek ilmu
pengetahuan. Semua berada diluar jangkauan rasio,
namun puncak rasionalitas mengantarkan manusia
untuk melakukan loncatan kea arah sana.
Dengan demikian Islam, etika Islam memiliki
antisipasi jauh kedepan dengan dua ciri utama (1)
Islam agama yang tidak menentang fitrah manusia
(Humanistic) (2) Islam sangat rasionalistik, hal ini
terbukti dalam al-Quran sebagai pedoman ajarannya
dengan pesan-pesan yang terkandung didalamnya
kini telah menjadi bagian integral dari realitas sejarah
masa lampau dan tetap hidup sampai kini. Tanpa
adanya revisi dan campur tangan Tuhan, baik isi
maupun redaksinya. Kita bias membuat suatu
pengadilan kalau saja al-Quran bertentangan dengan
rasionalistik, maka bisa dipastikan bahwa Islam telah
terdistorsi dalam perjalanan sejarahnya, lebih dari itu
etika Islam akan teranomali dalam kehidupan
modern.
3. Terdapat Lembaga-Lembaga Pendidikan di
Pusat-Pusat Kota sebagai Sarana Pendidikan.
Penyediaan sarana prasarana pendidikan dari
pemerintah sebagai fasilitas yang mendukung
kemajuan pendidikan dengan tujuan para guru dapat
melakukan pengembangan bidang ilmu yang
dikuasainya serta melakukan kaderisasi ilmu dengan
maksimal. Penerjemahan Buku-buku atau Ilmu-ilmu
dari Bahasa Asing ke Bahasa Nasional dan
Disempurnakan untuk Kepentingan Keilmuan Islam.
Manusia merupakan “animal simbolicium”, yaitu
makhluk yang hidup dengan simbol-simbol,
berbahasa pada dasarnya berfikir, dan berpikir tidak
mungkin tanpa bahasa, meskipun berbahasa tidak
selalu harus berbicara ataupun menulis. Karena
adanya rasionalitas dan kemampuan berbahasa maka
suatu masyarakat tercipta, komunikasi antara mereka
berlangsung, dan dunia disekitarnya memperoleh
makna, barangkali fenomena inilah yang di
isyaratkan dalam surat al-Baqarah ayat 31 dimana
Allah telah mengajarkan ‘nama-nama’ pada Adam.
Masa Khalifah Bani Abbasiyah Di
Baghdad
A. Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah dalam Islam
Kekhalifahan Abbasiyah atau Bani Abbasiyah
merupakan kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di
Baghdad, Irak. Pada masanya kekhalifahan Abbasiyah
berkembang pesat dan menjadikan Islam sebagai pusat
pengetahuan dunia. Kekuasaannya dimulai setelah
merebutnya dari Bani Umayyah dan menaklukkan
semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah
merujuk kepada keturunan paman termuda Nabi
Muhammad seperti yang diceritakan dalam sejarah
peristiwa isra miraj, Abbas bin Abdul Muthalib (566 –
652) dan itu sebabnya juga masih termasuk kepada Bani
Hasyim.
Anggota dari bani Umayyah yang selamat melarikan
diri dari Damaskus dan menuju Spanyol dengan
menyeberangi Laut Tengah lalu mendirikan
Kekhalifahan Umayyah. Keturunan bani Umayyah yang
selamat memerintah Spanyol untuk waktu yang lama.
Bani Abbasiyah menjadi dinasti kekhalifahan terlama
sepanjang sejarah berdirinya agama Islam yang berkuasa
mulai tahun 750 M – 1258 M (132 H – 656 H), dan
ibukota pemerintahan dipindahkan ke Baghdad dari
Damaskus pada 762 M. Dalam sejarah berdirinya dinasti
Abbasiyah, mereka memerintah seluruh Asia Barat dan
Afrika Utara.
Bani Abbasiyah lebih fokus kepada dataran Irak dan
Iran daripada wilayah pesisir seperti Israel, Suriah,
Lebanon dan Mesir. Baghdad dengan cepat berkembang
menjadi kota besar dan maju dihuni oleh sekitar hampir
setengah juta orang pada tahun 800-an masehi. Banyak
kelompok bangsa berbeda yang tinggal di Baghdad
seperti Arab, Persia, Yahudi dan Yunani, dengan bahasa
Arab, Aram dan Persia. Selain Islam yang menjadi
agama mayoritas, ada juga penganut agama lain seperti
Kristen, Yahudi dan Zoroaster. Pemerintahan Abbasiyah
berkembang selama tiga abad dan mulai meredup
setelah bangsa Turki yang sebelumnya menjadi bagian
dari tentara kekhalifahan bernama Mamluk mulai naik
daun. Hingga sekarang, keturunan dari Bani Abbasiyah
termasuk suku al – Abbasi banyak tinggal di timur laut
Tikrit, Irak.
1. Awal Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah berdiri setelah mereka berhasil
menaklukkan Dinasti Umayyah. Keturunan Al-Abbas
menjadi pendiri dinasti Abbasiyah, yaitu Abdullah
alSaffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-
Abbas. Kelompok Abbasiyah merasa lebih layak
memegang tonggak kekuasaan daripada Bani
Umayyah karena mereka berasal dari Bani Hasyim
yang lebih dekat garis keturunannya dengan Nabi
Muhammad. Saat itulah sejarah runtuhnya bani
Umayyah.
Sejarah berdirinya dinasti Abbasiyah tidak dapat
dilepaskan dari peperangan yang berdarah dan
bergejolak. Pada awalnya, cicit dari Abbas bernama
Muhammad bin Ali berkampanye untuk
mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada
keluarga Bani Hasyim di Parsi ketika Umar bin
Abdul Aziz masih memerintah. Pertentangan
semakin memuncak pada masa pemerintahan
khalifah Marwan II. Menjelang berakhirnya dinasti
Umayyah, ada kelompok dari Bani Hasyim yang
teraniaya sehingga melakukan perlawanan.
Kelompok Bani Hasyim keturunan Ali dipimpin oleh
Abu Salamah dan keturunan Abbas dipimpin oleh
Ibrahim Al- Iman.
Selain itu juga ikut kelompok keturunan bangsa
Persia, pimpinan Abu Musli alKhurasany bekerja
sama menaklukkan dinasti Umayyah. Pada akhirnya
kaum Abbasiyah berhasil menaklukkan pemimpin
terakhir Umayyah, yaitu Marwan bin Muhammad.
Abu Abbas al-Saffah berhasil meruntuhkan Bani
Umayyah dan diangkat sebagai khalifah. Selama tiga
abad bani Abbasiyah memegang kekuasaan
kekhalifahan, mengusung kepemimpinan gaya Islam
dan menyuburkan kembali ilmu pengetahuan dan
pengembangan budaya di Timur Tengah.
2. Masa Kejayaan Dinasti Abbasiyah
Sejarah berdirinya dinasti Abbasiyah memasuki
masa kejayaannya dengan menerapkan pola
pemerintahan yang berbeda – beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial dan budaya. Pusat
pemerintahan saat itu terletak di Kuffah.
Kepemimpinan kemudian digantikan oleh Abu Jafar
al-Mansur mulai 750 – 775 M, saudara dari Abu
Abbas. Ia membangun kota baru yang diberi nama
Baghdad, dimana terdapat istana bernama Madinat
as-Salam. Pada periode awal sekitar 750 – 847 M,
kegiatan perluasan 8 wilayah masih diutamakan
dinasti Abbasiyah dan membuat pondasi sistem
pemerintahan yang akan menjadi panduan bagi
kepemimpinan selanjutnya.
Setelah Abu Jafar, Abbasiyah dipimpin oleh
Harun al-Rasyid mulai 789 – 809 M. Ia mendirikan
perpustakaan terbesar pada zamannya bernama Baitul
Hikmah, sehingga orang – orang terpelajar dari
kalangan Barat dan Muslim datang ke Baghdad untuk
mendalami ilmu pengetahuan. Setelah itu Abbasiyah
dipimpin oleh al-Amin dan alMakmun al-Rasyid,
putra Harun al-Rasyid. Al Makmun memimpin sejak
813 – 833 M dan memperluas Baitul Hikmah
menjadi akademi ilmu pengetahuan pertama di dunia.
Ia juga mendirikan Majalis al-Munazharah yang
mengadakan pengajian di rumah, masjid dan istana
khalifah, dan menjadi tanda akan bangkitnya
kekuatan penuh dari Timur dengan Baghdad sebagai
pusat kebudayaan dan puncak keemasan Islam.
Pada masa ini juga banyak diterjemahkan buku –
buku karya kuno dari Yunani dan Syria kuno ke
dalam bahasa Arab. Paham Muktazilah dianut al-
Makmun sebagai mazhab negara, yaitu menggunakan
akal sebagai dasar untuk memahami dan
menyelesaikan persoalan teologi, yang merintis
pembahasan teologi Islam secara detil dan filosofis
sehingga muncul filsafat Islam. Selanjutnya dalam
sejarah berdirinya dinasti Abbasiyah dipimpin oleh
Khalifah al-Mutawakkil mulai 847 – 861 M. Ia
berbeda dengan khalifah sebelumnya karena lebih
cenderung ke cara berpikir ahlun sunnah. Dalam
sejarah berdirinya dinasti Abbasiyah, ia hidup pada
satu zaman dengan para tokoh besar Islam seperti
Abdul Malik bin Habib (imam Mazhab Maliki),
Abdul Azis bin Yahya alGhul (murid Imam Syafi’i),
Abu Utsman bin Manzini (pakar ilmu nahwu) dan
Ibnu Kullab, seorang tokoh dalam bidang ilmu
kalam.
Terjadi perselisihan mengenai penerus
kekhalifahan setelah al-Mutawakkil karena sebelum
dirinya wafat, ia hendak menurunkan mandat kepada
anak – anaknya yaitu al-Muntashir, al-Mu’taz dan al-
Muayyad. Tetapi ia kemudian mengubah susunan
penerusnya menjadi al-Mu’taz lebih dulu, namun al-
Muntashir tidak menerimanya. Akibatnya posisi al-
Muntashir langsung diturunkan dengan paksa,
bersamaan dengan berlangsungnya ketidak senangan
orang – orang Turki kepada al-Mutawakkil karena
beberapa sebab. Al-Muntashir dan orang – orang
Turki kemudian sepakat untuk membunuh al-
Mutawakkil. Setelah ayahnya dibunuh, al-Muntashir
menjadi pemimpin khalifah namun hanya selama
enam bulan karena ia justru berbalik menjelekkan
orang Turki dan dibunuh oleh mereka.
Sejarah berdirinya dinasti Abbasiyah kemudian
mengalami kemunduran sejak saat itu. Banyak pula
faktor lain yang mempengaruhinya karena kurangnya
perhatian pada persoalan politik, seperti pemisahan
diri Afrika Utara untuk membentuk pemerintahan
merdeka bernama Kekhalifahan Fathimiyah. Para
gubernur di berbagai propinsi seperti dinasti
Samaniyah mulai bertindak lebih bebas, dan para
jenderal Turki di pasukan Abbasiyah juga semakin
lama semakin sulit dikendalikan oleh para khalifah.
Kesulitan komunikasi antara pusat pemerintahan sulit
dilakukan pada masa itu karena wilayah kekuasaan
yang sangat luas, bahkan tingkat kepercayaan antara
penguasa dan para pelaksana pemerintahan sangat
rendah. Begitu juga keuangan negara yang sulit
karena negara perlu mengeluarkan biaya yang sangat
besar untuk angkatan bersenjata. Pemisahan –
pemisahan wilayah pun mulai terjadi, sebagian besar
karena perbedaan cara mengelola daerah kekuasaan
yang berbeda dengan Bani Umayyah.
Pada masa Bani Umayyah, wilayah kekuasaannya
tetap sejajar dengan batas – batas wilayah kekuasaan
Islam. Namun pada masa pemerintahan Abbasiyah,
kekuasaan mereka tidak pernah diakui di Spanyol
dan seluruh Afrika Utara kecuali sebagian kecil
Mesir. Dalam kenyataannya banyak wilayah berada
dalam kekuasaan khalifah hanya dalam bentuk
pengiriman upeti pajak dari gubernurnya masing –
masing. Pada saat kekhalifahan Abbasiyah mulai
menunjukkan kemunduran, propinsi – propinsi
tersebut mulai melepaskan diri dan tidak lagi
membayar pajak, bahkan berusaha menguasai
kekhalifahan itu sendiri. Sejarah perang uhud juga
terjadi setelah kekhalifahan abbasiyah selesai, dan
menjadikan kekuasaan bercampur tangan serta
menimpulkan berbagai perang seperti dalam sejarah
perang badar.

B. Sistem pendidikan pada masa bani Abbasiyah di


Baghdad
Masa pemerintahan Daulah Abbasiyah merupakan
masa kejayaan Islam dalam berbagai bidang, khususnya
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada zaman ini
umat Islam telah banyak melakukan kajian kritis tentang
ilmu pengetahuan, sehingga ilmu pengetahuan baik aqli
(rasional) ataupun yang naqli mengalami kemajuan
dengan 10 pesatnya. Secara garis besar perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi mencapai puncak
kejayaan pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid. Hal
ini dapat dilihat dari adanya gerakan penerjemahan buku
dari berbagai bangsa dan bahasa. Sehingga dengan
gerakan penerjemahan buku tersebut, lahirlah para tokoh
Islam sesuai dengan keahliannya. Kemajuan ilmu
pengetahuan bukan hanya pada bidang sastra dan seni
saja juga berkembang, meminjam istilah Ibnu Rusyd,
Ilmu-ilmu Naqli dan Ilmu Aqli. Ilmu-ilmu Naqli seperti
Tafsir, Teologi, Hadis, Fiqih, Ushul Fiqh dan lain-lain
dan juga berkembang ilmu-ilmu Aqli seperti Astronomi,
Matematika, Kimia, Bahasa, Sejarah, Ilmu Alam,
Geografi, Kedokteran dan lain sebagainya.
Perkembangan ini memunculkan tokoh-tokoh besar
dalam sejarah ilmu pengetahuan, dalam ilmu bahasa
muncul antara lain Ibnu Malik At-Thai seorang
pengarang buku nahwu yang sangat terkenal Alfiyah
Ibnu malik, dalam bidang sejarah muncul sejarawan
besar Ibnu Khaldun serta tokoh-tokoh besar lainnya
yang memiliki pengaruh yang besar bagi perkembangan
ilmu pengetahuan selanjutnya (Saryadi AlFaqier. Masa
Bani Abbasiyah II (Masa Jaya/ Khalifah Harun Al-
Rasyid). Kemajuankemajuan tersebut karena didukung
oleh banyak hal, di antaranya adalah sistem pendidikan
Islam. Beberapa hal atau komponen pendidikan yang
mendukung kemajuan dan kejayaan Daulah Abbasiyah
yaitu:

1. Kurikulum
Kurikulum pada lembaga pendidikan Islam di
masa Klasik pada mulanya berkisar pada bidang studi
tertentu. Namun seiring perkembangan sosial dan
kultural, materi kurikulum semakin luas (Hanun
Asrohah, 1999:73). Perkembangan kehidupan
intelektual dan kehidupan keagamaan dalam Islam
membawa situasi lain bagi kurikulum pendidikan
Islam. Maka diajarkanlah ilmu-ilmu baru seperti
tafsir, hadits, fikih, tata bahasa, sastra, matematika,
teologi, filsafat, astronomi, dan kedokteran.
Pada masa kejayaan Islam, dalam (Hanun
Asrohah, 1999:73) mata pelajaran bagi kurikulum
sekolah tingkat rendah adalah Al-Qur'an, dan Agama,
membaca, menulis, dan syai'ir. Dalam berbagai kasus
ditambahkan nahwu, cerita, dan berenang. Dalam
kasus-kasus lain dikhususkan untuk membaca Al-
Qur'an dan mengajarkan sebagai Prinsip-prinsip
pokok agama. Sedangkan untuk anak-anak amir dan
penguasa, kurikulum tingkat rendahnya sedikit
berbeda yaitu ditegaskan pentingnya pengajaran
khitabah. ilmu sejarah, cerita perang, cara-cara
pergaulan, disamping ilmu-ilmu pokok seperti Al-
Quran, syair, dan fiqih.
2. Metode Pengajaran
Metode pengajaran, terjadi proses internalisasi
dan pemilikan ilmu, pelajar akan dengan mudah
menyerap ilmu yang disampaikan guru-gurunya.
Menurut Rahmawati (2005:73). Pada masa
Abbasiyah, pengajaran yang diberikan kepada murid-
murid dilakukan seorang demi seorang dan belum
berkelas-kelas seperti sekarang. Jadi guru harus
mengajar muridnya dengan berganti-ganti. Mereka
belajar dengan duduk bersila mengelilingi gurunya
atau yang disebut berhalaqah. Cara halaqah ini
merupakan metode mengajar yang dipakai di
lembaga pendidikan tingkat tinggi. Sedangkan
menurut Hanun Asrohah, (1999:77) metode
pengajaran pada masa Daulah Abbasiyah dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu lisan,
hafalan, dan tulisan. Metode lisan bisa berupa dikte,
ceramah, qira'at, dan diskusi. Dikte (imlaq) adalah
metode untuk menyampaikan pengetahuan yang
dianggap baik dan aman karena pelajar mempunyai
catatan. Metode ini dianggap penting karena pada
masa itu buku-buku cetak sangat sulit dimiliki.
Metode ceramah juga disebut Al-sama' sebab dalam
metode ini guru menjelaskan sedangkan siswa
mendengarkan.
Metode hafalan dipakai pada masa lalu juga
sangat khas dan merupakan ciri umum pendidikan
masa kini. Sedangkan metode tulisan dianggap
sebagai metode yang paling penting dalam proses
belajar mengajar pada masa itu karena merupakan
metode pengkopian karya-karya ulama. Dalam
Rahmawaty (2005:18) yang dikutip dari Charles
Michael Stanton menjelaskan bahwa sebelum guru
menyampaikan materi, ia terlebih dahulu menyusun
ta'liqah tenaga pengajar atau guru berdasarkan
catatan perkuliahannya, hasil bacaan, dan
pendapatnya tentang materi yang bersangkutan.
Ta'liqah memuat rincian jumlah pelajaran dan dapat
disampaikan dalam jangka waktu 4 tahun.
3. Murid
Komponen atau faktorlain yang mendukung
kemajuan sistem pendidikan Islam pada masa
Abbasiyah yaitu kehidupan muridnya. Menurut
Rahmawaty (2005:80) ciri utama kehidupan murid
pada sekolah dasar masa itu bahwa ia diharuskan
belajar membaca dan menulis bahan pengajaran yang
berupa syair. Mereka tidak hanya 12 belajar
membaca saja, melainkan juga menghafalkan Al-
Qur'an. Murid-murid yang berhasil menghafal
seluruh Al-Qur'an lebih cepatakan diberi
keistimewaan dengan diperbolehkan libur. Mereka
yang berhasil lulus dengan hasil gemilang akan
dikirab dengan naik unta dan di sepanjang jalan
mereka dilempari buah almond. Belajar di tingkat
dasar tidak ditentukan lamanya, melainkan
tergantung dari kemampuan anak. Murid yang cerdas
otaknya akan cepat selesai, sedang murid yang
kurang mampu akan lambat dan lama belajarnya.
4. Konsep Pendidikan Islam
Konsep pendidikan yang ditemukan pada masa
Daulah Abbasiyah khususnya pada masa
kekhalifahan Al-Ma'mun ,yaitu konsep dasar
pendidikan multikultural. Penerapan konsep ini di
institusi Bayt al-Hikamah dengan institusi lain
berbeda. Adapun penerapan konsep dasar pendidikan
multikultural di Bayt al-Hikmah bersifat eksternal
dan umum, yaitu semua orang bebas berekspresi,
terbuka, toleransi dan kesetaraan dalam mencari
ilmu, menerjemahkan, beribadah, bekerja, dan
melakukan segala kegiatan yang bermanfaat.

C. Kemajuan yang dicapai Bani Abbasiyah


Kemajuan yang dibawakan oleh Dinasti Abbasiyah
dalam bidang agama, filsafat dan sains tidak bisa
dilepaskan dari keberadaan kota Baghdad sebagai pusat
perkembangan ilmu pengetahuan. Baghdad adalah
sebuah kota yang didirikan atas inisiatif Al-Manshur
yang terletak di sebelah Barat sungai Tigris. letak kota
Baghdad tidak hanya menjadikan Baghdad sebagai ibu
kota Negara saja. Melainkan sebagai pusat perdagangan,
pusat kajian ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh
karena itu zaman ini dinamakan sebagai era keemasan
bagi umat Islam, dimana pada zaman ini kedaulatan
kaum muslimin telah sampai pada puncaknya, kekayaan
Negara berlimpah, kekuasaan Islam bertambah besar
serta luas yang membentang kepenjuru dunia.
Peradaban Islam pada masa kejayan dan keemasan
telah memenuhi dunia Islam dengan cahaya ilmu yang
menghiasi masjid-masjid, sekolah-sekolah, majlis-majlis
dan toko-toko buku. Pemerintahan Abbasiyah telah
membangkitkan kebudayaan, yang pada masa itu, masih
dalam perluasan dan penakhlukan bani Umayyah.
Abbasiyah datang ke Baghdad dan membangun
pemerintahannya kembali. Pada masa dinasti
Abbasiyyah ini kejayaan politik dan intelektual
berkembang pesat. Kekhalifahan Baghdad yang
didirikan oleh Al-Saffah dan AL- Manshur mencapai
masa keemasannya antara khalifah ketiga, Al-Mahdi,
dan khalifah kesembilan, Al-Watsiq, dan lebih khusus
lgi pada masa Harun Ar-Rasyid dan anaknya Al-
Ma‟mun. karena dua khalifah yang hebat itu Abbasiyah
memiliki kesan baik dalam ingatan publik, dan kota
Baghdad menjadi salah satu kota yang menjadi pusat
peradaban.
Khalifah Al-Manshur memerintahkan penterjemahan
buku-buku ilmiah dan karya sastra dari berbagai negara
besar pada masa itu. Para peminat ilmu dan
kesusasteraanpun diundang ke Baghdad. Itulah sebabnya
kota ini dikenal sebagai kota inetelektual dan merupakan
profesor masyarakat Islam. Pada masa kekhalifahan
Harun Al-Rasyid dan khalifah Al-Ma’mun, kota
Baghdad menjadi puncak kemajuan ketika itu Baghdad
menjadi pusat peradaban dan kebuadayaan tertinggi di
dunia.
Ilmu pengetahuan dan kesusastraan yang
diterjemahkan kedalam bahasa Arab dan dikembangkan
oleh para sarjana muslim. Diantaranya adalah:
1. Dari Yunani banyak diterjemahkan buku-buku yang
berhubungan dengan filsafat, mantiq, tatanegara
(politik) dan astronomi. Tiga perempat abad setelah
berdirinya Baghdad. Dunia litratur Arab telah
memiliki karya-karya, filsafat, terutama karya
Aristoteless, serta karya komentator neo-Platonis,
dan tulisan-tulisan kedokteran Galen. Hanya dalam
kurun beberapa tahun para sarjana Arab telah
menyerap ilmu dan budaya yang dikembangkan
selama berabad-abad oleh orang Yunani. Ada salah
satu akademik kedokteran dan filsafat yang
didasarkan atas tradisi Yunani Kuno, tetapi bahasa
pengantar yang digunakan adalah bahasa Armaik,
yang didirikan sekitar 555 M oleh Anusyirwan.
2. Dari Persia, banyak diterjemahkan buku-buku yang
berhubungan dengan ilmu astronomi, hukum,
sejarah, kesenian musik, kaligrafi atau yang disebut
seni menulis (belles-Letters) dan kesusteraan.
Pengaruh sastra Persia yang dkenalkan dalam bahasa
Arab paling awal dan yang diwariskan kepada kita
dalah Kalilah wa Dimnah (Kisah Tentang Bidpai)
sebuah karya terjemahan dari bahasa Persia Tengah,
yang merupakan karya terjemahan dari bahasa
Sansekerta.
3. Dari Mesir banyak diterjemahkan buku-buku yang
berhubungan dengan ilmu kimia, dan anatomi
(biologi).
4. Dari Kaldani, banyak diterjemahkan buku-buku yang
berhubungan dengan ilmu pertanian.
Dan pada saat itu juga para ulama menemukan
berbagai keahlian berupa penemuan berbagai bidang-
bidang ilmu pengetahuan, antara lain:
1. Ilmu Umum
Dalam bidang Umum berkembang berbagai
kajian dalam bisang filsafat, logika, metafisika,
astronomi, musik, kedokteran, kimia, sejarah, dan
sastra.
a. Ilmu Filsafat
1) Abu Ishaq Al- Kindi (809-873 M) buku
karangan sebanyak 231 judul.
2) Abu Nasr Al-Farabi (wafat tahun 916 M)
dalam usia 80 tahun. Karyanya lebih dari 12
buah buku ia memperoleh gelar Al-Mualimuts
Tsani (The Second Teacher), yaitu guru kedua,
sedangkan guru pertama dalam bidang filsafat
adalah Aristoteles.
3) Ibnu Bajah (wafat tahun 523 H)
4) Ibnu Thufail (wafat tahun 581 H), penulis
buku novel filsafat Hayy bin Yaqdzan.
5) Ibnu Shina (980-1037 M). Terkenal dengan
Avicenna, beliau seorang filsup yang
menghidupkan filsafat Yunani aliran
Aristoteles dan Plato. karangankarangan yang
terkenal antara lain: Asy-Syifa, dan Al-Qanun
fi Ath-Thib (Canon of Medicine).
6) Al-Ghazali (1085-1101 M). dikenal sebagai
Hujjatul Islam, karangannya AlMunqizh
Minadh Dhalal, TahafutAl-Falasifah, Mizanul
Amal, Ihya Ullumuddin dan lain-lain.
7) Ibnu Rusyd (1126-1198 M). Dibarat dikenal
dengan Averros. karangannya: AlKuliyah fi
Ath-Thib, Tafsir Urjuza, Kasful Afillah dan
lain-lain.
b. Bidang kedokteran
1) Abu Zakariyah Yahya bin Mesuwaih (w. 242
H), seorang ahli farmasi dirumah sakit
Jundhisapur Iran.
2) Jabir bin Hayyan (wafat 778 M). dikenal
sebagai bapak kimia.
3) Hurain bin Ishaq (810-878 M). ahli mata yang
terkenal disamping sebagai penterjemah
bahasa asing.
4) Thabib bin Qurra (836-901 M).
5) Ar-Razi atau Razes (809-873 M). Penulis buku
mengenai kedokteran anak. Adapun karangan
bukunya yang terkenal di Eropa, yang berjudul
Al Hawi yang berbicara tentang ilmu
kedokteran adapun karangan terkenal yang
mengenai cacar dan campak yang
diterjemahkan dalam bahasa lain. Beliau juga
dikenal sebagai “Galien Arab”.
6) Ibn Sina dengan bukunya Al-Qanun fi al-Tib
yang digunakan hingga pertengahan abad ke
17, tentang teori praktik ilmu kedokteran, serta
membahas pengaruh obat-obatan yang
diterjemahkan kedalam bahasa Eropa Canon of
Medicine. Beliau juga mengarang buku Al-
Syifa’ tentang fisika, metafisika dan
matematika yang berjumblah 18 jilid.
c. Bidang Matematika
1) Al-Khawarismi adalah pengarang kitab Al
Gebra (Al Jabar wal Muqabalah, ilmu hitung),
penemu angka (0) Logaritma. Sedangkan
angka latin: 1,2,3,4,5,6,7,8,9,0 disebut angka
Arab karena diambil dari Arab. Sebelumnya
dikenal angka Romawi I, II, III, IV, V dan
seterusnya. Pada perkembangan selanjutnya
Ibnu Haitam berhasil menemukan ilmu untuk
mengukur sudut yang diberi nama
Trigonometri.
2) Abu Al-Wafa Muhammad bin Muhammad bin
Ismail bin Al-Abbas (940-998 M) terkenal
sebagai ahli ilmu matematika.
d. Bidang Fisika Al-Farqani dan al- Bairuni, yang
berpendapat bahwa bumi berputar pada porosnya,
sebelum pendapat itu ditemukan oleh Galilio.
e. Bidang Astronomi dan ilmu kimia
1) Al-Fazari : muslim pertama pencipta Astro
lobe.
2) Jabir Al-Batani / Al Betagnius (w. 319 H). al
Batani adalah pencipta teropong bintang
pertama. Karyanya yang terkenal adalah kitab
Ma’rifat Mathiil Buruj Baina Arbai Al-Falak.
3) Abul wafat: menemukan jalan ketiga dari
bulan
4) Al Farghoni atau Al Fragenius menyusun
buku-buku Ikhtiar astronomi yang sempat
diterjemahkan kebahasa latin oleh Gerard
Cremona.
5) Al-Haitham ahli optic penemu teori benda
pengirim cahaya ke mata sebagai lawan teori
sebelumnya, bahwa mata mengirim cahaya
kesuatu benda.
6) Raihan Al Biruni (w. 440 H). karyanya adalah
At-Tafhim li Awal As-Sina At-Tanjim.
7) Abu Manshur Al-Falaki (w. 272 H) karyanya
yang terkenal adalah Isbat Al-Ulum dan Hayat
Al-Falak.
8) Dalam bidang ilmu kimia tokoh-tokoh Islam
yang berperan dalam ilmu ini:
 Jabir Ibn Hayyan perintis Al-Jabar dan bapak
Alkemi.
 Ar Razi pengarang buku besar kimia yang
isisnya baru dijumpai orangorang diabad ke
20.
f. Bidang sejarah
Dalam bidang sejarah, ulama yang terkenal
adalah:
1) Ahmad bin Ya‟kubi (w. 895 M) karyanya
adalah Al-Buldan (negeri-negeri), dan At-
Tarikh (Sejarah).
2) Ibnu Ishaq
3) Ibnu Hisyam
4) Al-Maqrizi
5) Abdullah bin Muslim Al-Qurtubah (w. 889
M), penulis buku Al-Imamah wa As Siyasah,
Al-Ma’arif, ‘Uyumul Ahbar, dan lain-lain.
6) Ath Thabari (w. 923 M), penulis buku kitab
Al-Umam wa Al-Muluk.
7) Al-Baladzuri (w. 892 M), pemulis buku-buku
sejarah.
g. Bidang Geografi
Dalam bidang ilmu bumi atau geografi ulama
yang terkenal:
1) Ahmad El Yakubi, penjelajah yang pernah
mengadakan perjalanan sampai ke Armenia,
Iran, India, Mesir, Maghribi, dan menulis buku
dengan karyanya al Buldan.
2) Ibnu Khurdazabah ( dengan bukunya al
mawalik wa al Mawalik dan al-Mas’udi yang
menulis hasil laporan kunjungannya
keberbagai dunia Islam di abad ke 10 dalam
bukunya Muruj al-Zabab.
3) Ibn Hauqal
4) Al-Bairuni
5) Abu Muhammad Al-Hasan Al-Hamadani (w.
334 H/946 M), karyanya berjudul Sifatu
Jazirah Al-Arab.
6) Abul Hasan Al-Mas‟udi (w. 345 H.956 M),
seseorang penjelajah yang mengadakan
perjalanan sampai Persia, India, Srilangka,
Cina dan menulis buku Muruj Az-Zahab wa
Ma’adin Al-Jawahir.
h. Bidang seni dan budaya Beberapa seniman ukir
terkenal : Badr dan Tarif (961-976 M). pada masa
ini berkembang seni budaya, seperti seni suara
yang mana adanya penyair-penyair seperti Abu
Nawas, Abu Atahiyah, Abd Taman, Da‟bal Al-
Khuzan. Adapun seni drama yang sangat digemari
oleh Abu Al Al-Mu‟ary. Demikian pula seni
musik yang mana pada zaman itu terkenal nama
Yunus bin Sulaiman Al-Khatib sebagai pengarang
musik yang pertama dalam Islam. Adapun seni-
seni yang lainnya seperti: seni pahat, seni sulam,
seni lukis, seni bangunan dan lain-lainnya.
i. Sastra
1) Abu Nawas adalah seorang penyair terkenal
dengan cerita humornya.
2) An-Nasyasi, penulis buku Alfu Lailah wa
Lailah (The Arabian Night), adalah buku cerita
sastra Seribu Satu Malam yang sangat terkenal
dan diterjemahkan ke dalam hampir seluruh
bahasa dunia.
2. Ilmu Naqli
a. Ilmu Tafsir
Dalam ilmu ini ada 2 metode yaitu Tafsir bi al-
ra’yi dan tafsir bi al-ma’tsur. Ilmu Tafsir dalam
masa ini berkembang pesat karena ilmu ini sangat
dibutuhkan terutama oleh orang-orang non Arab
yang baru masuk Islam. Mereka butuh tentang
makna dan penafsiran Al-Quran. Hal ini yang
menyebabkan beberapa aliran muncul dalam ilmu
tafsir. Sedangkan para ahli Tafsir terkemuka yang
muncul pada zaman Abbasiyah adalah Abu Yunus
Abdus Salam Al Qazwani yang merupakan salah
satu penganut aliran Tafsir bi al Ra’yi. Sedangkan
yang muncul dari aliran Tafsir bi al-Aqli adalah
Amar Ibnu Muhammad alKhawarismi, Amir al-
Hasan bin Sahl. Adapun Para musyafir yang
termashur: Ibnu Jarir ath Tabari, Ibnu Athiyah al
Andalusi (wafat 147 H), As Suda, Mupatil bin
Sulaiman (wafat 150 H), Muhammad bin Ishak,
Abu Muslim Muhammad bin Bahar Isfahani dan
lain-lain.
b. Ilmu Hadist
Pada zaman ini hadits menjadi sumber hukum
setelah al-Quran, berkembang dengan cara
menelusuri keontetikan (shohih) Hadis. Sehingga
Daulah Abbasiyah banyak menghasilkan
pembekuan hadis yang terdapat dalamk itab-kitab
yang masih bisa dipelajari sampai sekarang ini.
Abbasiyah telah memunculkan ahliahli hadits
ternama seperti:
1) Imam Bukhori (194-256 H) karyanya Shahih
Al-Bukhari,
2) Imam Muslim (wafat 231 H) karyanya Shahih
Muslim,
3) Ibnu Majah (wafat 273 H) karyanya Sunan
Ibnu Majah,
4) Abu Dawud (wafat 275 H), karyanya Sunan
Abu Dawud,
5) Imam An-Nasai, karyanya Sunan A-Nasai,
6) At Tarmidzi, Imam Baihaqi dan lain-lain.
c. Ilmu Kalam
Dalam ilmu kalam para Teolog berfokus pada
bbidang aqidah sebagai opjek bahasan yang
meliputi keesaan Tuhan, sifat-sifat, perbuatan
Tuhan dan lain-lain. Pada masa ini para Ulama’
kalam terbagi menjadi dua aliran, pertama aliran
yang mengikuti aliran salaf yang diwakili oleh
Mu’tazilah. Aliran salaf berpegang pada arti
Lafdiyah/tekstual dalam mengartikan ayat-ayat
mutasabihat. Sedangkan aliran rasionalisme
makai ra’yu dalam mengartikan ayat.10 Kejayaan
kaum Mu‟tazilah berjasa besardalam menciptakan
ilmu kalam, diantaranya para pelopor itu adalah:
1) Imam Abul Hasan Al-Asy‟ari dan Imam Abu
Manshur Al-Maturidi, tokoh Asy‟ariyah,
2) Wasil bin Atha‟, Abu Huzail al- Allaf (w. 849
M) pendiri Mu‟tazilah,
3) Al-Juba’I,
4) Adh Dhaam, Abu Hasan Asy‟ary, Hujjatul
Islam Imam Ghazali.
d. Ilmu Tasawuf
Ilmu ini telah menaruh pengaruh yang besar
bagi kebudayaan Islam. Perkembangan ilmu ini
mulai dari perkumpulan-perkumpulan tidak resmi
dan diskusi keagamaan dan latihan spiritual
dengan membaca dzikir berulang-ulang. Hal ini
berlangsung dimana-mana khususnya di masjid,
kemudian ini menjadi konsep-konsep spiritual
yang diberinama Tasawuf yang berkembang
sampai abad 9 Hijriah. Ahli-ahli dan ulama-
ulamanya adalah: Al Qusyairy (wafat 465 H).
karangannya: ar Risalatul Qusyairiyah,
Syahabuddin (wafat 632 H) Karangan: Awariful
Ma’arif, Imam Ghazali: karangannya al Bashut, al
Wajiz dan lain-lain.
e. Ilmu Fiqih atau Hukum
Imam Malik bin Anas (713-795 M), Imam
Syafi’i (767-820 M), Imam Abu Hanifah (700-
767 M), Imam Ahmad bin Hambal (780-855 M).
f. Ilmu Bahasa Bahasa Arab
Dijadikan sebagai bahasa Ilmu Pengetahuan,
disamping sebagai alat komunikasi antarbangsa.
Di antar para ahli ilmu bahasa adalah:
1) Imam Sibawaih (w. 183 H), karyanya terdiri
dari 2 jilid setebal 1.000 halaman,
2) Al-Kiasi,
3) Abu Zakaria Al-Farra (w. 208 H). kitab
Nahwunya terdiri dari 6.000 halaman lebih.

D. Kemunduran dan runtuhnya Bani Abbasiyah


Adapun penyebab runtuhnya Bani Abbasiyah yaitu
Karena rentang waktu kekuasaan yang panjang, terjadi
konflik-konflik yang menyebabkan runtuhnya Dinasti
Abbasiyah. Ada dua faktor penyebab runtuhnya Dinasti
Abbasiyah, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1. Faktor Internal Runtuhnya Bani Abbasiyah
Faktor internal penyebab runtuhnya Dinasti
Abbasiyah adalah perebutan kekuasaan yang terjadi
di dalam istana Abbasiyah. Pemicunya adalah
peralihan sistem kekuasaan menjadi monarchi
oriented, yaitu hanya satu putra mahkota dan tidak
diberi kesempatan untuk kandidat lain. Perilaku
amoral para khalifah dan pembesar istana 20
menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat dan
meminta kemerdekaan dari kepemimpinan dinasti
ini.

2. Faktor Eksternal Runtuhnya Bani Abbasiyah


Faktor eksternal penyebab runtuhnya Dinasti
Abbasiyah adalah Wilayah Abbasiyah yang terlalu
luas menyebabkan banyak wilayah yang tidak
dipantau dan dibina secara intensif oleh pemerintah
Abbasiyah, sehingga pemerintahan Abbasiyah tidak
adil dalam memberikan hak wilayah bagian dari
baitul maal untuk pembangunan infrastruktur berupa
bangunan fisik, seperti irigasi, jalan raya, jembatan
penghubung kota dan sarana pendidikan.
Perang salib yang berlangsung selama kurang
lebih 200 tahun (1096-1287M) yang menyebabkan
fasilitas-fasilitas pendidikan dan fasilitas umum yang
rusak. Serangan Tentara Mongol dari tahun 1220 M
oleh penguasa Timur Leng, Jengis Khan. Berdiri
kerajaan Turki Usmani tahun 1292 M. Pada awalnya
Turki Usmani bertujuan untuk menyelamatkan
wilayah-wilayah Abbasiyah yang telah dihancurkan
pasukan Mongol, tetapi muncullah perang terbuka
dengan wilayah-wilayah Abbasiyah yang berdekatan
dengan wilayah Turki Usmani.

Anda mungkin juga menyukai