AGROTEKNOLOGI
LAHAN KERING
ii Dr. Ir. Hj. St. Subaedah, M.S.
AGROTEKNOLOGI
LAHAN KERING
Diterbitkan oleh
Penerbit Nas Media Pustaka
Makassar, 2018
iv Dr. Ir. Hj. St. Subaedah, M.S.
AGROTEKNOLOGI
LAHAN KERING
Dr. Ir. St. Subaedah, MS.
- Makassar : © 2018
St Subaedah.
Agroteknologi Lahan Kering/St Subaedah; –cet. I –Makassar :
Nas Media Pustaka, 2018.
xvi + 202 hlm; 17 x 25 cm
ISBN 978-602-5662-24-9
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT berkat rahmat dan
karuniah-Nyalah penyusunan buku yang berjudul “Agroteknologi Lahan
Kering” dapat terwujud.
Buku ini merupakan buku ajar yang disusun berdasarkan hasil kajian
dalam penelitian yang telah dilakukan penulis sejak 2002 sampai 2016. Untuk
itu pada kesempatan ini diucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah memberikan dukungan sehingga buku ini bisa terwujud. Ucapan
terima kasih disampaikan kepada :
1. Kementerian Ristek dan Teknologi yang telah memberikan
dukungan dana penelitian melului Skim penelitian Hibah Bersaing
dan Skim Unggulan Perguruan Tinggi
2. Universitas Muslim Indonesia melalui Lembaga Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya (LP2S) yang telah memfasilitasi kami
dalam pengusulan hingga pelaksanaan penelitian
3. Dekan Fakultas Pertanian UMI, Direktur Program Pascasarjana
UMI, Ketua Program Studi Agroteknologi UMI yang telah
memberi kesempatan kepada kami untuk melakukan penelitian di
luar tugas pokok kami sebagai tenaga pengajar.
4. Reka-rekan sejawat yang membantu dalam pelaksanaan penelitian
hingga terwujudnya buku ini
Disadari dan diakui bahwa buku ini masih jauh dari kesempurnaan,
maka saran dan kritik untuk penyempurnaan buku ini sangat diharapkan.
vi Dr. Ir. Hj. St. Subaedah, M.S.
Akhirul kalam, semoga buku yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi
pembaca, khususnya kepada mahasiswa yang memperdalam kajian mengenai
pengelolaan lahan kering, dan semoga Allah SWT menerima amalan serta
memberikan balasan yang setimpal atas segala dukungan yang telah diberikan
kepada penulis, Amien.
Penulis
Dr. Ir. St. Subaedah, MS.
Agroteknologi Lahan Kering vii
DAFTAR ISI
Hal.
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vii
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR xv
BAB I LAHAN KERING, POTENSI DAN
PERMASALAHANNYA 1
BAB II PENGELOLAAN TANAMAN PENUTUP TANAH DI
LAHAN KERING 7
BAB III PENGELOLAAN TANAMAN PENUTUP TANAH DI
LAHAN KERING DAN PENGARUHNYA
TERHADAP SIFAT KIMIA TANAH 19
BAB IV PENGELOLAAN TANAMAN PENUTUP TANAH DI
LAHAN KERING DAN PENGARUHNYA
TERHADAP SIFAT FISIK TANAH 35
BAB V PENGELOLAAN TANAMAN PENUTUP TANAH DI
LAHAN KERING DAN PENGARUHNYA
TERHADAP SIFAT BIOLOGI TANAH 45
BAB VI PENGENDALIAN GULMA DI LAHAN KERING 51
BAB VII PENGELOLAAN BAHAN ORGANIK TANAH DI
LAHAN KERING 63
BAB VIII PERANAN BAHAN ORGANIK TANAH 85
BAB IX PENGARUH BAHAN ORGANIK TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN DI
LAHAN KERING 101
viii Dr. Ir. Hj. St. Subaedah, M.S.
DAFTAR TABEL
No. Judul Tabel Hal
1. Biomass dan kontribusi N dari beberapa jenis tanaman
penutup tanah pada umur 3 bulan 10
2 Biomass, kandungan N tanaman, nisbah tajuk/akar dari
beberapa jenis tanaman penutup tanah dan N total tanah
pada saat tanaman berumur 3 dan 6 Bulan. 10
3 Kadar N total tanah dari berbagai jenis tanaman penutup
tanah pada periode 1, 2 dan 3 bulan setelah tanam 20
4 Kadar N total tanah pada berbagai jenis dan bentuk
aplikasi tanaman penutup tanah serta pengembalian residu
tanaman jagung 22
5 Kadar P tersedia pada berbagai jenis tanaman penutup
tanah yang berumur tiga bulan 22
6 Kadar P tersedia pada interaksi antara berbagai jenis
tanaman penutup tanah, bentuk aplikasi tanaman penutup
tanah dan pengembalian residu jagung 23
7 Kadar K-dd pada berbagai jenis dan bentuk aplikasi
tanaman penutup tanah serta pada interaksi antara bentuk
aplikasi tanaman penutup tanah dan pengembalian residu
jagung 25
8 Kadar C organik tanah pada berbagai jenis tanaman
penutup tanah yang berumur tiga bulan 25
9 Kadar C-organik tanah pada berbagai jenis dan bentuk
aplikasi tanaman penutup tanah serta pengembalian residu
jagung 26
10 Kadar bahan organik tanah pada berbagai jenis tanaman
penutup tanah yang berumur tiga bulan 27
x Dr. Ir. Hj. St. Subaedah, M.S.
DAFTAR GAMBAR
No Judul Gambar Hal
1 Centrosema pubescens 11
2 Mucuna pruriens 13
3 Crotalaria anagyroides 14
4 Calopogonium muconoides 15
5 Pueraria javanica 16
6 Tanaman penutup tanah sebagai mulsa hidup dalam
pertanaman jagung di lahan kering 17
7 Pangkasan tanaman penutup tanah dijadikan 17
8 Penanaman tanaman penutup tanah di antara tanaman
jagung 60
9 Penanaman jagung tanpa tanaman penutup tanah 61
10 Peternakan yang berdampingan dengan lahan pertanian 67
11 Pupuk kandang yang akan disebar ke lahan pertanian 68
12 Tampilan Tumbuhan Chromolaena odorata 73
13 Jerami padi yang sudah dicacah 77
14 Pencampuran bahan (jerami, pupuk kandang, sekam padi,
dedak) dan penyiraman larutan EM-4 78
15 Tumpukan bahan organik jerami padi 79
16 Pengecekan suhu di tumpukan jerami 80
17 Bokashi jerami padi yang siap digunakan 80
18 Pengaruh Jenis Bahan Organik dan Pemupukan Fosfor
Terhadap Kadar P Tanah Tersedia pada periode 4 MST 97
xvi Dr. Ir. Hj. St. Subaedah, M.S.
BA B I
LAHAN KERING, POTENSI DAN
PERMASALAHANNYA
Sumber daya alam merupakan anugerah dan amanat tak ternilai yang
diberikan oleh Allah Subhanahu Wataalah untuk kelangsungan hidup semua
makhluk ciptaannya. Sebagai amanat, sumberdaya alam seyogyanya
dikelolah secara arif dan terukur yang pemanfaatannya tidak melebihi daya
dukung dan kemampuan pemulihan sumberdaya itu sendiri. Salah satu
sumberdaya alam yang sangat besar peranannya bagi kehidupan manusia
dan mahluk hidup lainnya adalah lahan kering. Pemanfaatan lahan kering
untuk pertanian sering diabaikan oleh para pengambil kebijakan yang lebih
tertarik pada peningkatan produksi beras pada lahan sawah. Hal ini mungkin
karena ada anggapan bahwa meningkatkan produksi padi sawah lebih
mudah dan lebih menjanjikan dibanding mengembangkan tanaman pangan
di lahan kering yang memiliki resiko kegagalan yang lebih tinggi
Di Indonesia luas lahan kering diperkirakan lebih kurang 51,07 juta
ha dari lahan pertanian seluas 58,85 juta ha yang berarti bahwa 86,77%
lahan pertanian di Indonesia berupa lahan kering. Dari luas tersebut 4,44 juta
ha terdapat di pulau Jawa dan 46,63 juta ha di luar Jawa. Sementara untuk
wilayah Sulawesi Selatan luas lahan kering 2,5 juta ha dari luas lahan
pertanian 3,2 juta ha, yang berarti 78% lahan pertanian di Sulawesi Selatan
berupa lahan kering (BPS, 2000). Dari data ini dapat diartikan bahwa
sistem pertanian di Indonesia bertumpu pada lahan kering.
Lahan pertanian yang didominasi oleh lahan kering menunjukkan
bahwa sumber air bagi pertanian pada umumnya berasal dari air hujan,
sementara curah hujan merupakan unsur iklim yang sangat beragam.
Keragaman ini ditunjukkan oleh pola curah hujan dan tipe iklimnya.
Berdasarkan jumlah dan distribusi hujan, Irianto, Sosiawan dan Karama
2 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.
(1998) membagi lahan kering menjadi lahan kering beriklim basah dan
lahan kering beriklim kering. Lahan kering beriklim basah adalah lahan
dengan curah hujan lebih besar dari 2.000 mm per tahun dengan masa tanam
sistem tadah hujan lebih dari 6 bulan, sedangkan lahan kering beriklim
kering adalah lahan dengan curah hujan lebih kecil dari 2.000 mm per tahun
dan masa tanam kurang dari 6 bulan. Menurut Hidayat et al., (2000), lahan
kering beriklim basah umumnya tersebar di Sumatera, Kalimantan, Papua,
Sulawesi bagian tengah, serta wilayah Jawa Barat (Jabar) dan Jawa Tengah
(Jateng) bagian tengah dan selatan. Lahan kering beriklim kering umumnya
tersebar di Indonesia bagian timur meliputi: Bali, Nusa Tenggara Barat
(NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagian besar Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Utara dan dan Sulawesi Selatan, serta di sedikit wilayah di
Sumatera dan Kalimantan.
Kondisi iklim di Indonesia seperti suhu yang tinggi, curah hujan
yang tidak merata dan kadang-kadang turun dalam bentuk badai, khususnya
Indonesia bagian timur, menyebabkan tanah-tanah di Indonesia didominasi
oleh tanah berpelapukan lanjut seperti Ultisol dan Oxisols. Tanah-tanah ini
secara alamiah tergolong tanah marginal dan rapuh serta mudah terdegradasi
menjadi lahan kritis. Namun, degradasi lahan lebih banyak disebabkan
karena adanya pengaruh intervensi anusia dengan pengelolaan yang tidak
mempertimbangkan kemampuan dan kesesuain lahan. Kemampuan tanah
untuk mendukung kegiatan usaha pertanian atau pemanfaatan tertentu
bervariasi menurut jenis tanah, tanaman dan faktor lingkungan. Oleh
karenanya pemanfaatan lahan ini harus hati-hati dan disesuaikan dengan
kemampuannya, agar tanah dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Usaha pertanian yang dilakukan pada lahan-lahan kering marginal
akan banyak menghadapi kendala biofisik berupa sifat fisik yang tidak baik,
kahat hara, keracunan unsur, hama dan penyakit dan sebagainya. Ketidak
tersediaan unsur hara bukan hanya disebabkan karena tanahnya yang miskin,
tapi juga bisa terjadi karena erosi dan fiksasi hara yang tinggi sehingga tidak
tersedia bagi tanaman. Penyebab lahan kritis karena erosi sangat umum
dijumpai. Erosi cenderung mengangkut lapisan tanah yang relatif subur dan
meninggalkan lapisan tanah bawah yang miskin.
Pengembangan tanaman pangan pada lahan kering disatu sisi
berdampak positif mengingat potensi lahan kering yang begitu luas. Namun
di sisi lain pengembangan tanaman pangan di lahan kering diperhadapkan
pada berbagai kendala antara lain: keterbatasan air dan kesuburan tanah
yang rendah. Di samping masalah kekeringan dan kesuburan tanah, gulma
Agroteknologi Lahan Kering 3
Jenis Tanah
Secara umum, lahan kering daerah tropika basah dan setengah
kering didominasi oleh jenis tanah yang termasuk dalam golongan/ordo
Ultisol, Oksisol dan Inseptisol (Sudjadi dan Satari, 1986). Ultisol dan
Oksisol adalah merupakan tanah-tanah bermasalah (problem soil). Demikian
Agroteknologi Lahan Kering 5
pula Inseptisol yang berassosiasi dengan Ultisol dan Oksisol memiliki sifat-
sifat yang mirip dengan Ultisol dan Oksisol.
Adapun permasalahan yang dihadapi pada tanah ultisol menurut
Sudjadi (1984) adalah sebagai berikut:
(1) kejenuhan Al tinggi
(2) sering mengandung Mn dalam konsentrasi yang beracun
(3) sangat miskin hara
(4) kejenuhan basa, kadar bahan organik dan pH rendah
(5) fiksasi P kuat
(6) kapasitas menahan air rendah, sehingga mudah terjadi kekeringan
(7) erodibilitas tanah tinggi karena lapisan permukaan tanah mudah
manpat oleh tekanan beban yang menyebabkan laju infiltrasi lambat,
(8) permeabilitas tanah rendah
Sementara permasalahan tanah oksisol adalah sebagai berikut:
(1) kejenuhan Al tinggi
(2) kapasitas tukar kation (KTK) tanah sangat rendah
(3) Sangat miskin hara
(4) kahat unsur hara sulfur, Boron dan Molibdenum
(5) fiksasi fosfor kuat
(6) struktur tanah sangat kasar, yang menyebabkan kemampuan tanah
menahan air rendah sehingga mudah terjadi kekeringan.
Kandungan bahan organik yang rendah yang umum dijumpai pada
lahan kering, akan mengurangi kemampuan tanah menahan air dan juga
evapotranspirasi yang tinggi akibat suhu udara yang tinggi yang akan
memperparah keterbatasan air yang tersedia. Oleh karena itu masalah
keterbatasan air pada lahan kering harus diatasi dengan peningkatan efisiensi
penggunaan air hujan yang dapat dilakukan dengan konservasi tanah dan air
dengan metode vegetatif yang didasarkan pada peranan tanaman (Utomo,
1994). Tanaman-tanaman yang menutup permukaan tanah, selain berperan
untuk melindungi permukaan tanah dari daya dispersi dan daya
penghancuran oleh butir-butir hujan serta melindungi tanah permukaan dari
daya kikis aliran permukaan, juga besar pula sumbangannya dalam
memperkaya bahan-bahan organik tanah yang menyebabkan agregasi tanah
meningkat sehingga menambah daya serap air dan mengurangi penguapan
dari permukaan tanah yang akan meningkatkan kadar air tanah (Utomo,
1994; Kartasapoetra, Kartasapoetra dan Sutedjo, 2000).
6 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.
BA B II
PENGELOLAAN TANAMAN PENUTUP DI
LAHAN KERING
dilakukan oleh Hairiah dan Noordwijk (1989) yang diperlihatkan pada Tabel
1 menunjukkan bahwa Crotalaria juncea memberikan biomas dan
kontribusi N yang tertinggi sedang Centrosema pubescens menghasilkan
biomass dan kontribusi N yang terendah.
Tabel 1 Biomass dan kontribusi N dari beberapa jenis tanaman penutup
tanah pada umur 3 bulan
Jenis Tanaman Biomass Kandungan Kontribusi
C/N N/P
Penutup Tanah (t. ha-1) N (%) N (kg.ha-1)
C. pubescens 1,37 2,08 17 36 5,5
Mucuna pruriens 3,62 2,85 20 71 4,7
Crotalaria juncea 9,08 1,87 23 198 6,0
C. muconoides 2,54 2,04 18 65 5,2
Sumber : Hairiah dan Noordwijk (1989).
Rendahnya kontribusi N dari tanaman penutup tanah Centrosema
pubescens ini berhubungan dengan rendahnya biomas tanaman pada umur
yang masih mudah, namun kandungan N per kg biomas cukup tinggi, tetapi
dengan meningkatnya umur tanaman produksi biomas makin meningkat
yang akan memberikan kontribusi N yang tertinggi. Hal ini dapat dilihat
pada Tabel 2 dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Hairiah, Utomo dan
Heide (1992) pada tanah ultisol di Lampung, mendapatkan hasil yang
menunjukkan bahwa pada umur 3 bulan, Crotalaria juncea memberikan
masukan N-total tanah yang tertinggi yaitu sekitar 100 kg ha-1, sedang pada
umur 6 bulan Centrosema pubescens memberikan kontribusi N-total tanah
yang tertinggi yaitu sekitar 226 kg ha-1. Mucuna pruriens memiliki masa
pertumbuhan yang lebih pendek (6 bulan) dari pada jenis yang lain,
sehingga pada umur 6 bulan tidak menunjukkan peningkatan kontribusi N.
Tabel 2 Biomass, kandungan N tanaman, nisbah tajuk/akar dari beberapa
jenis tanaman penutup tanah dan N total tanah pada saat tanaman
berumur 3 dan 6 Bulan.
Biomass N Nisbah N-total tanah
Jenis tanaman
(ton ha-1) (%) tajuk/ (kg ha-1)
penutup tanah
3 bln 6 bln 3 bln 6 bln akar 3 bln 6 bln
Mucuna pruriens 2,1 2,7 3,2 2,7 14 70 76
C. mucunoides 2,4 4,5 2,8 2,4 4 83 136
C. pubescens 2,3 5,3 3,0 3,4 4 86 226
Crotalaria juncea 2,9 5,9 2,7 1,2 4 100 81
Rumput-rumputan 1,9 4,0 1,4 1,5 5 31 35
Sumber : Hairiah, Utomo dan Heide (1992).
Agroteknologi Lahan Kering 11
Mucuna pruriens
Tumbuhan ini termasuk sub famili Papilionaceae dari famili
Leguminoceae (Gambar 2). Spesies ini berasal dari Amerika Selatan. Jenis
ini mempunyai penyebaran yang sangat luas di daerah tropis. Tanaman ini
pertumbuhannya merambat, dan termasuk tanaman semusim. Dapat tumbuh
pada tanah masam, beradaptasi baik pada tanah-tanah dengan tingkat
kesuburan yang rendah dan tahan kekeringan (Kretschmer, 1989). Hasil
penelitian Hairiah (1992) di Lampung menunjukkan bahwa Mucuna
pruriens lebih toleran terhadap kesuburan tanah yang rendah dan kadar Al
yang tinggi dibandingkan dengan Centrosema pubescens. Dari penelitian
yang sama diperoleh informasi bahwa Mucuna pruriens mampu
memberantas gulma alang-alang mulai pada umur 6 minggu setelah tanam.
Tanaman ini berakar dangkal dengan banyak nodul (Hairiah dan Noordwijk,
1989).
Mucuna pruriens lebih toleran terhadap kesuburan tanah yang
rendah dan kadar Al yang tinggi dibandingkan dengan Centrosema
pubescens. Mucuna pruriens mampu memberantas gulma alang-alang mulai
pada umur 6 minggu setelah tanam. Tanaman ini berakar dangkal dengan
banyak nodul.
Crotalaria anagyroides
Crotalaria termasuk sub famili Papilionaceae dari famili
Leguminoceae (Gambar 3). Tanaman ini termasuk terna yang
pertumbuhannya tegak dan tingginya dapat mencapai 2 m. Batang kaku,
berbulu halus, ramping serta beralur memanjang, cabang-cabang berbulu
Agroteknologi Lahan Kering 13
Pueraria Javanica
Pueraria Javanica adalah tanaman penutup tanah dari kelompok
LCC (Legume Cover Crop) yang biasa digunakan oleh perkebunan karet
dan kelapa sawit sebagai tumbuhan pioneer yang dapat meningkatkan
kesuburan tanah (Gambar 5). Pueraria javanica adalah sejenis kacangan
yang cepat menjalar sebab memiliki keunggulan dalam mengikat unsur N
(nitrogen) yang sangat dibutuhkan oleh tanaman utama (karet atau kelapa
sawit) yang belum dewasa, juga kacangan ini menurunkan suhu tanah pada
saat kemarau. Daun tanaman ini termasuk daun majemuk. Pada pangkal
daun terdapat dua daun penumpu yang ujungnya meruncing. Daun letaknya
tersebar dan terdiri atas tiga helaian daun yang bagian bawahnya berwarna
hijau keabuan berbulu halus dan rapat (Dirjen Perkebunan, 1983).
bentuk aplikasi tanaman penutup tanah yang terdiri dari dua bentuk
aplikasi yaitu:
(a) sebagai mulsa hidup dimana tanaman penutup tanah ditanam diantara
barisan tanaman jagung (Gambar 6)
(b) tanaman penutup tanah dipangkas kemudian lahan bekas penanaman
tanaman penutup tanah ditanami jagung dan hasil pangkasannya
dijadikan sebagai mulsa (Gambar 7).
BAB III
PENGELOLAAN TANAMAN PENUTUP TANAH
DI LAHAN KERING DAN PENGARUHNYA
TERHADAP SIFAT KIMIA TANAH
Tabel 4. Kadar N total tanah pada berbagai jenis dan bentuk aplikasi
tanaman penutup tanah serta pengembalian residu tanaman
jagung
N total tanah (%)
1 bst 2 bst 3 bst
MT MT MT MT MT MT
Jenis perlakuan
2001/ 2002/ 2001/ 2002/ 2001/ 2002/
2002 2003 2002 2003 2002 2003
Jenis TPT
Tanpa TPT 0,28 tn 0,32 tn 0,19 b 0,18 b 0,18 b 0,17 b
TPT Cp 0,29 0,31 0,28 a 0,28 a 0,28 a 0,29 a
TPT Ca 0,29 0,33 0,27 a 0,30 a 0,28 a 0,30 a
TPT Mp 0,29 0,32 0,28 a 0,30 a 0,29 a 0,30 a
Bentuk aplikasi
TPT Hidup 0,29 tn 0,32 tn 0,26 tn 0,27 tn 0,26 tn 0,26 tn
TPT Mulsa 0,28 0,32 0,25 0,25 0,26 0,27
Pengembalian
Residu tan.
Residu (+) 0,29 tn 0,33 tn 0,26 tn 0,27 a 0,28 a 0,27 tn
Residu (-) 0,28 0,31 0,25 0,25 b 0,24 b 0,26
Keterangan: - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada
kolom/perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada Uji
BNT 0,05.
- tn : tidak nyata berdasarkan hasil analisis sidik ragam
- bst : bulan setelah aplikasi
Tabel 5. Kadar P tersedia pada berbagai jenis tanaman penutup tanah yang
berumur tiga bulan
Jenis perlakuan P tersedia (ppm)
tanpa TPT 8,46 b
TPT C.pubescens 9,05 ab
TPT C.anagyroides 9,71 a
TPT M. pruriens 9,45 a
Keterangan : - angka diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada Uji BNT 0,05.
Pada Tabel 6 disajikan data hasil penelitian tentang bentuk aplikasi
tanaman penutup tanah yang disertai pengembalian residu tanaman jagung
ke dalam pertanaman di lahan kering dan diperoleh hasil yang menunjukkan
adanya kerjasama antara jenis, bentuk aplikasi dan pengembalian residu
tanaman jagung dalam meningkatkan kadar P tersedia.
Tabel 6. Kadar P tersedia pada interaksi antara berbagai jenis tanaman
penutup tanah, bentuk aplikasi tanaman penutup tanah dan
pengembalian residu jagung
P tersedia (ppm)
Jenis perlakuan Jenis tanaman penutup tanah
Tanpa TPT TPT Cp TPT Ca TPT Mp
Bentuk aplikasi x
residu jagung
TPT Hidup x Res.(+) 14,97 b 15,94 a 15,35 ab 15,51 ab
TPT Hidup x Res.(-) 15,26 ab 15,48 ab 15,21 ab 15,16 ab
TPT Mulsa x Res.(+) 15,17 ab 16,02 a 15,59 ab 16,03 a
TPT Mulsa x Res.(-) 14,70 b 15,33 ab 15,39 ab 15,48 ab
Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada tidak
berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- TPT : Tanaman penutup tanah
- Cp : Centrosema pubescens, Mp : Mucuna pruriens,
- Ca: Crotalaria anagyroides
- Res. (+) : pengembalian residu tanaman ke lahan
- Res. (-) : tanpa pengembalian residu
Tabel 7. Kadar K-dd pada berbagai jenis dan bentuk aplikasi tanaman
penutup tanah serta pada interaksi antara bentuk aplikasi tanaman
penutup tanah dan pengembalian residu jagung
K dapat ditukar (me.100 g-1)
Jenis perlakuan
MT 2001/2002 MT 2002/2003
Jenis TPT
Tanpa TPT 0,30 b 0,32 b
TPT C. pubescens 0,36 a 0,37 a
TPT C.anagyroides 0,36 a 0,38 a
TPT M. pruriens 0,34 a 0,34 b
Bentuk aplikasi TPT
TPT Hidup 0,33 tn 0,34 tn
TPT Mulsa 0,34 0,37
Bentuk aplikasi x residu jagung
TPT Hidup x Residu(+) 0,32 b 0,35 tn
TPT Hidup x Residu(-) 0,34 ab 0,33
TPT Mulsa x Residu(+) 0,36 a 0,38
TPT Mulsa x Residu(-) 0,33 ab 0,36
Keterangan:- angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada MT/jenis
perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- tn: tidak nyata berdasarkan analisis ragam
Tabel 10. Kadar bahan organik tanah pada berbagai jenis tanaman penutup
tanah yang berumur tiga bulan
Jenis perlakuan Bahan Organik (%)
tanpa TPT 2,36 b
TPT C.pubescens 2,81 a
TPT C.anagyroides 2,86 a
TPT M. pruriens 2,93 a
Keterangan : angka diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada Uji BNT 0,05.
Tabel 11. Kadar bahan organik tanah pada berbagai jenis dan bentuk
aplikasi tanaman penutup tanah serta pengembalian residu
jagung
Bahan organik (%)
Jenis perlakuan
MT 2001/2002 MT 2002/2003
Jenis TPT
Tanpa TPT 2,49 b 2,62 c
TPT C. pubescens 3,51 a 3,75 b
TPT C.anagyroides 3,46 a 3,83 ab
TPT M. pruriens 3,50 a 4,15 a
Bentuk aplikasi TPT
TPT Hidup 3,26 tn 3,60 tn
TPT Mulsa 3,23 3,57
Pengembalian residu tan.jagung
Residu dikembalikan 3,36 a 3,94 a
Residu dikeluarkan 3,12 b 3,23 b
Keterangan:- angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada MT/jenis
perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- tn: tidak nyata berdasarkan analisis ragam
28 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.
Tabel 12. Kadar bahan organik tanah pada berbagai jenis tanaman penutup
tanah yang berumur tiga bulan
Jenis perlakuan KTK (me.100 g-1)
tanpa TPT 26,50 b
TPT C.pubescens 30,00 a
TPT C.anagyroides 33,00 a
TPT M. pruriens 32,83 a
Keterangan : angka diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata pada Uji BNT 0,05.
Pengaruh jenis tanaman penutup tanah, bentuk aplikasi dan
pengembalian residu tanaman jagung terhadap KTK tanah sudah nampak
nyata sejak MT 2001/2002. KTK tanah akhir percobaan MT 2001/2002
dengan penggunaan Mucuna pruriens, meningkat setinggi 63% (34,17
me.100g-1) sedangkan pada MT 2002/2003 penggunaan TPT Crotalaria
anagyroides diperoleh KTK yang lebih tinggi 43% (36,38 me.100g-1), dan
tidak berbeda nyata dengan kedua tanaman penutup tanah lainnya yang
masing-masing meningkatkan KTK tanah sekitar 27% (32,43 me.100g-1)
dan 20% (30,46 me.100g-1) dibandingkan dengan tanpa tanaman penutup
tanah dengan KTK yang diperoleh 20,92 me.100g-1 dan 25,46 me.100g-1
(Tabel 13).
Demikian pula aplikasi tanaman penutup tanah dalam bentuk mulsa
seperti yang tertera pada Tabel 13 meningkatkan KTK tanah setinggi 8%
(30,21 me.100g-1) dibanding aplikasi tanaman penutup tanah dalam bentuk
hidup tetapi hanya terjadi pada MT tahun pertama. Pengembalian residu
tanaman jagung juga meningkatkan KTK tanah untuk kedua MT yang
digunakan antara 16% (31,33 me.100g-1) dan 10% (32,74 me.100g-1)
dibanding tanpa residu dengan KTK yang dicapai antara 26,91 me.100g-1
dan 29,62 me.100g-1.
30 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.
Tabel 13. KTK tanah pada berbagai jenis dan bentuk aplikasi tanaman
penutup tanah serta pengembalian residu jagung
KTK (me.100 g-1)
Jenis perlakuan
MT 2001/2002 MT 2002/2003
Jenis TPT
Tanpa TPT 20,92 c 25,46 b
TPT C. pubescens 30,50 b 30,46 ab
TPT C.anagyroides 31,00 b 36,38 a
TPT M. pruriens 34,17 a 32,43 a
Bentuk aplikasi TPT
TPT Hidup 28,08 b 30,68 tn
TPT Mulsa 30,21 a 31,68
Pengembalian residu tanaman jagung
Residu dikembalikan 31,33 a 32,74 a
Residu dikeluarkan 26,96 b 29,62 b
Keterangan:- angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada MT/jenis
perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- tn: tidak nyata berdasarkan hasil analisis ragam
Tabel 14. pH tanah pada berbagai bentuk aplikasi tanaman penutup tanah
dan pengembalian residu serta pada interaksi antara bentuk
aplikasi tanaman penutup tanah dan pengembalian residu jagung
pH Tanah
Jenis perlakuan Jenis tanaman penutup tanah
Tanpa TPT TPT Cp TPT Ca TPT Mp
Bentuk aplikasi TPT MT 2001/2002
TPT Hidup 5,77 bc 5,58 d 5,85 abc 6,02 a
TPT Mulsa 5,58 d 5,72 cd 5,93 ab 5,95 a
Pengembalian residu
tanaman jagung
Residu dikembalikan 5,72 cd 5,60 d 5,95 ab 6,08 a
Residu dikeluarkan 5,63 d 5,70 cd 5,83 bc 5,88 b
Bentuk aplikasi x MT 2002/2003
residu jagung
TPT Hidup x Res.(+) 5,85 bc 6,13 ab 5,80 bc 6,50 a
TPT Hidup x Res.(-) 5,85 bc 5,20 d 6,00 bc 6,23 ab
TPT Mulsa x Res.(+) 5,90 bc 5,77 c 5,75 c 5,97 bc
TPT Mulsa x Res.(-) 5,75 c 6,03 bc 6,05 b 5,83 bc
Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada MT /jenis
perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
Dari Tabel 14 juga terlihat bahwa kerjasama antara ketiga faktor yang
dicobakan juga nampak nyata meskipun hanya terjadi pada MT 2002/2003
dengan pH tanah tertinggi dicapai pada Mucuna pruriens yang diaplikasikan
dalam bentuk hidup disertai pengembalian residu tanaman jagung dengan
pH 6,50, diikuti oleh Centrosema pubescens yang diaplikasikan dalam
bentuk hidup disertai pengembalian residu dengan pH tanah yang dicapai
6,13 dan berbeda nyata dengan tanpa tanaman penutup tanah dengan atau
tanpa residu dengan pH tanah antara 5,75–5,90.
Adanya tanaman penutup tanah baik dalam bentuk hidup maupun yang
dihamparkan dipermukaan tanah sebagai mulsa akan meningkatkan kadar N
total tanah dari hasil dekomposisi residu tanaman khusunya legum penutup
tanah. Di samping itu adanya residu tanaman yang dihamparkan akan
mematahkan kekuatan butir–butir hujan yang sampai kepermukaan tanah
sehingga dapat mengurangi kehilangan hara tanah melalui aliran permukaan
atau oleh pencucian. Pencucian melalui profil tanah dapat terjadi kalau
presipitasi melebihi evapotranspirasi potensial. Jumlah dan frekuensi
pencucian ditentukan oleh jumlah, tipe dan distribusi curah hujan musiman
(Samosir, 2000). Berkaitan dengan distribusi curah hujan yang tidak merata
32 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.
yang pada bulan tertentu intensitas curah hujan demikian tinggi, sehingga
sangat potensial untuk terjadinya pencucian hara.
Dibandingkan dengan tanpa tanaman penutup tanah, pengamatan
kadar fosfor tersedia, kalium dapat ditukar, C organik, KTK, bahan organik
serta pH tanah pada akhir percobaan menunjukkan bahwa penggunaan
ketiga jenis tanaman penutup tanah meningkatkan kadar P tersedia sekitar 9
hingga 15%, K-dd hingga 20%, KTK hingga 43%, C-organik dan bahan
organik hingga 58%, demikian juga aplikasi tanaman penutup tanah dalam
bentuk mulsa dan pengembalian residu tanaman serta interaksi diantaranya
dapat meningkatkan kadar P tersedia sekitar 9%, kadar K-dd meningkat
hingga 12%, KTK meningkat hingga 10%, C-organik dan bahan organik
meningkat hingga 21% serta pH tanah yang diperoleh 6,50.
Demikian juga aplikasi tanaman penutup tanah dalam bentuk mulsa
dan pengembalian residu tanaman serta interaksi diantaranya dapat
meningkatkan kadar P tersedia sekitar 9%, kadar K-dd meningkat hingga
12%, KTK meningkat hingga 10%, C-organik dan bahan organik meningkat
hingga 21% serta pH tanah yang diperoleh 6,50.
Pengaruh baik dari penggunaan tanaman penutup tanah dan juga
pengembalian residu tanaman jagung ini berkaitan dengan proses
dekomposisi residu tanaman yang akan melepaskan berbagai unsur hara ke
tanah secara berangsur-angsur. Beberapa hara, misalnya kalium dapat
dilepas ke tanah dengan pencucian bahan mulsa organik (residu tanaman)
yang belum melapuk, selain itu pengembalian residu tanaman dari golongan
serealia seperti jagung banyak mengandung kalium (Samosir, 2000)
sehingga pengembalian residu jagung terhadap suplai kalium berpengaruh
nyata. Di samping itu pengaruh baik dari tanaman penutup tanah ataupun
dengan pengembalian residu tanaman berkaitan dengan kemampuannya
untuk menambah bahan organik tanah melalui batang, ranting dan daun-
daunnya. Penambahan bahan organik ini akan memperbaiki kesuburan tanah
lapisan atas. Tanaman penutup tanah umumnya mempunyai sistim perakaran
yang dalam sehingga mampu menyerap hara dari lapisan bawah tanah dan
kemudian mengembalikannya ke lapisan atas tanah dalam bentuk bahan
organik. Bahan organik merupakan kunci kesuburan tanah karena
memperbesar kemampuan tanah memegang hara dan dengan demikian
meningkatkan kemampuan tanah menyediakan hara untuk tanaman,
mengurangi pencucian hara, menambah kemampuan tanah menahan air dan
kemantapan struktur tanah serta sebagai sumber energi bagi biota tanah
(Samosir, 1997).
Agroteknologi Lahan Kering 33
BAB IV
PENGELOLAAN TANAMAN PENUTUP DI
LAHAN KERING DAN PENGARUHNYA
TERHADAP SIFAT FISIK TANAH
Tabel 15. Bobot isi tanah pada berbagai jenis dan bentuk aplikasi tanaman
penutup tanah serta pengembalian residu jagung
Bobot isi tanah (g.cc-1)
Jenis perlakuan
MT 2001/2002 MT 2002/2003
Jenis TPT
Tanpa TPT 1,60 a 1,62 a
TPT C. pubescens 1,31 b 1,33 b
TPT C.anagyroides 1,29 b 1,29 b
TPT M. pruriens 1,34 b 1,29 b
Bentuk aplikasi TPT
TPT Hidup 1,34 tn 1,35 tn
TPT Mulsa 1,43 1,40
Pengembalian residu tan. jagung
Residu dikembalikan 1,32 b 1,33 b
Residu dikeluarkan 1,45 a 1,42 a
Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada MT/jenis
perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT
0,05.
- tn: tidak nyata berdasarkan hasil analisis ragam
Penurunan bobot isi tanah ini disebabkan oleh adanya tanaman
penutup tanah dan oleh pengembalian residu tanaman sebelumnya yang
akan menghalangi kontak langsung antara butir-butir hujan yang jatuh
dengan permukaan tanah yang akan menghancurkan struktur tanah, sehingga
akan menghalangi terjadinya pemadatan tanah.
Selain itu penggunaan tanaman penutup tanah, pengembalian
residu tanaman akan menambah bahan organik tanah. Peningkatan bahan
organik tanah ini akan memperbaiki sifat fisik melalui perbaikan agregat
tanah yang stabil (Sugito, et al., 1995).
Selanjutnya Buckman and Brady (1980) mengemukakan bahwa
bahan organik tanah berperan sebagai pembentuk butir mineral yang
menyebabkan terjadinya keadaan gembur pada tanah dan meningkatkan
porositas tanah.
kadar air tanah dapat dipertahankan lebih lama dibanding tanpa perlakuan
tanaman penutup tanah.
Tabel 16 menunjukkan bahwa interaksi antara jenis tanaman
penutup tanah dan pengembalian residu nyata pengaruhnya pada periode
pengamatan 4 dan 6 mst MT 2002/2003, dengan kadar air tanah tertinggi
yang dapat dipertahankan pada periode pengamatan 4 mst dengan
penggunaan Mucuna pruriens disertai pengembalian residu tanaman yang
dapat mempertahan kadar air tanah lebih tinggi 42% (kadar air tanah
39,29%) dan berbeda nyata dibandingkan dengan tanpa tanaman penutup
tanah yang menghasilkan kadar air tanah 27,58%, tetapi tidak berbeda nyata
dengan interaksi kedua tanaman penutup tanah lainnya dengan
pengembalian residu tanaman (Centrosema pubescens dan Crotalaria
anagyroides) yang masing-masing menghasilkan kadar air tanah 35,35%
dan 35,16%.
Sedangkan untuk periode pengamatan 6 mst penggunaan Mucuna
pruriens disertai pengembalian residu tanaman yang dapat mempertahan
kadar air tanah lebih tinggi 38% (kadar air tanah 38,63%), diikuti oleh
interaksi Centrosema pubescens dan Crotalaria anagyroides dengan
pengembalian residu yang masing-masing menghasilkan kadar air tanah
34,73% dan 34,49% dan berbeda nyata dibandingkan dengan tanpa tanaman
penutup tanah yang menghasilkan kadar air tanah 27,75% (Tabel 16).
Agroteknologi Lahan Kering 39
Tabel 16. Interaksi antara berbagai jenis tanaman penutup tanah dan
pengembalian residu terhadap kadar air tanah
Kadar air tanah (%)
Periode Pengamatan
Jenis
6 mst 12 mst
Perlakuan
MT MT MT MT
2001/2002 2002/2003 2001/2002 2002/2003
Jenis TPT x Residu
tanpa TPT x Res(+) 28,95tn 27,75 c 19,88 tn 19,47tn
tanpa TPT x Res (-) 28,21 29,68bc 17,47 17,80
TPT Cp x Res (+) 33,60 34,49ab 25,71 26,13
TPT Cp x Res (-) 30,98 31,44bc 25,63 20,75
TPT Ca x Res (+) 33,52 34,73ab 24,17 24,05
TPT Ca x Res (-) 28,61 30,93bc 21,81 20,52
TPT Mp x Res (+) 33,84 38,63 a 24,16 26,82
TPT Mp x Res (-) 29,42 31,80bc 22,82 21,52
Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom
yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- tn: tidak nyata berdasarkan hasil analisis ragam
- TPT : tanaman penutup tanah, Cp : Centrosema
pubescens, Mp : Mucuna pruriens, Ca: Crotalaria
anagyroides
kadar air tanah yang dapat dipertahankan masing-masing lebih tinggi 25%
(kadar air tanah 35,17% dan 35,11%), diikuti oleh penggunaan Crotalaria
anagyroides dalam bentuk hidup disertai pengembalian residu dengan kadar
air tanah yang dapat dipertahankan lebih tinggi 24% (kadar air tanah
34,96%) dibandingkan dengan tanpa penggunaan tanaman penutup tanah
disertai pengembalian residu dengan kadar air tanah 28,07% (Tabel 17).
Tabel 17. Interaksi antara jenis, bentuk aplikasi tanaman penutup tanah
serta pengembalian residu tanaman jagung terhadap kadar air
tanah pada periode 8 mst MT 2001/2002
Kadar air tanah (%)
Bentuk aplikasi x Jenis tanaman penutup tanah
residu jagung Tanpa
TPT Cp TPT Ca TPT Mp
TPT
TPT Hidup x Residu (+) 28,07 b 32,22 ab 34,96 ab 35,11 ab
TPT Hidup x Residu (-) 28,57 ab 25,26 b 33,22 ab 26,43 b
TPT Mulsa x Residu (+) 29,70 ab 35,17 a 34,27 ab 30,42 ab
TPT Mulsa x Residu (-) 29,13 ab 26,18 b 25,72 b 30,66 ab
Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada uji BNT 0,05.
- TPT : tanaman penutup tanah, Cp : Centrosema
pubescens, Mp : Mucuna pruriens, Ca: Crotalaria
anagyroides
tanah yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 18 dan Tabel 19. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa terdapat pengaruh kerjasama antara jenis,
bentuk aplikasi dan pengembalian residu terhadap suhu tanah untuk periode
pengamtan 4 dan 6 minggu setelah aplikasi untuk kedua MT yang digunakan
(MT 2001/2002 dan MT 2002/2003). Suhu tanah terendah umumnya
diperoleh pada penggunaan Mucuna pruriens yang diaplikasikan dalam
bentuk hidup disertai dengan pengembalian residu dengan suhu tanah untuk
kedua musim tanam dan kedua periode pengamatan berkisar antara 26,92 oC
– 27,35oC, diikuti oleh penggunaan Centrosema pubescens yang
diaplikasikan dalam bentuk hidup disertai pengembalian residu dengan suhu
tanah untuk kedua MT yang digunakan dan kedua periode pengamatan
antara 27,25oC - 27,92oC dan berbeda nyata dengan tanpa tanaman penutup
tanah yang tidak disertai residu maupun yang disertai residu dengan suhu
tanah yang dicapai antara 27,72oC – 28,15oC dan antara 27,96oC – 28,29oC
(Tabel 18).
Keberadaan tanaman penutup tanah diantara tanaman jagung nyata
pengaruhnya terhadap suhu tanah periode pengamatan 10 dan 12 minggu
setelah tanam untuk kedua MT yang digunakan. Suhu tanah periode
pengamatan 10 mst MT 2001/2002 terendah pada penggunaan Mucuna
pruriens dengan suhu tanah yang diperoleh 28,31oC dan berbeda nyata
dengan tanpa tanaman penutup tanah dan penggunaan Crotalaria
anagyroides yang masing-masing menghasilkan suhu tanah 29,04oC dan
28,93oC.
Agroteknologi Lahan Kering 43
Tabel 18. Interaksi antara jenis dan bentuk aplikasi tanaman penutup tanah
serta pengembalian residu tanaman jagung terhadap suhu tanah
Suhu tanah (oC)
Jenis TPT TPT Hidup TPT Mulsa
Residu (+) Residu(-) Residu (+) Residu(-)
Periode 4 mst
MT 2001/2002
Tanpa TPT 27,72 ab 28,16 ab 28,24 ab 28,71 a
TPT C.pubescens 27,25 bc 28,17 ab 27,95 ab 26,97 c
TPT C.anagyroides 28,42 ab 27,81 ab 27,48 bc 28,65 a
TPT M. pruriens 26,92 c 27,87 ab 27,30 bc 27,39 bc
MT 2002/2003
Tanpa TPT 27,74 abc 27,96 abc 28,31 ab 28,46 a
TPT C.pubescens 27,58 bcd 28,36 ab 27,70 abc 27,77 abc
TPT C.anagyroides 28,00 abc 27,35 cd 27,37 cd 28,30 ab
TPT M. pruriens 26,85 d 27,60 abc 27,98 abc 28,02 abc
Periode 6 mst
MT 2001/2002
Tanpa TPT 28,15 a 28,16 a 28,64 a 28,71 a
TPT C.pubescens 27,58 ab 28,32 a 28,04 a 26,97 b
TPT C.anagyroides 28,42 a 27,80 ab 27,82 ab 28,72 a
TPT M. pruriens 27,35 b 27,94 ab 27,63 ab 28,05 a
MT 2002/2003
Tanpa TPT 28,05 b 28,29 ab 28,64ab 28,80 a
TPT C.pubescens 27,92 bc 28,69 ab 28,04b 28,10 b
TPT C.anagyroides 28,33 a 27,68 bc 27,70c 28,63 ab
TPT M. pruriens 27,18 c 27,94 bc 28,27ab 28,07 b
Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada MT yang sama
tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
Suhu tanah pada periode pengamatan yang sama MT 2002/2003
menunjukkan bahwa Mucuna pruriens dan Centrosema pubescens diperoleh
suhu tanah terendah yaitu 28,24 oC, diikuti oleh Crotalaria anagyroides
dengan suhu tanah 28,71 oC dan berbeda nyata dengan tanpa tanaman
penutup tanah dengan suhu tanah 29,45 oC. Pada periode pengamatan 12 mst
MT 2002/2003 diperoleh suhu tanah terendah 27,74 oC pada penggunaan
Mucuna pruriens, diikuti oleh kedua tanaman penutup tanah lainnya yang
masing-masing dengan suhu tanah 28,27oC dan 28,30oC dan berbeda nyata
dengan suhu tanah yang diperoleh dengan tanpa tanaman penutup tanah
(29,88 oC).
Demikian pula aplikasi tanaman penutup tanah dalam bentuk hidup
memperlihatkan pengaruhnya dalam menurunkan suhu tanah kecuali pada
periode pengamatan 12 mst dengan suhu tanah yang diperoleh 27,85 oC -
44 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.
BA B V
PENGELOLAAN TANAMAN PENUTUP DI
LAHAN KERING DAN PENGARUHNYA
TERHADAP SIFAT BIOLOGI TANAH
penutup tanah nyata diperoleh bakteri total tanah yang lebih tinggi yaitu
antara 4,85 105.g-1- 5,24105.g-1 bakteri total tanah, sementara tanpa tanaman
penutup tanah diperoleh bakteri total tanah hanya 3,56105.g-1. Tanaman
penutup tanah Mucuna pruriens dapat meningkatkan jumlah
mikroorganisme dalam tanah sebanyak 47% (5,24.105.g-1) diikuti oleh
Centrosema pubescens sebanyak 46 % (5,21 .105.g-1) dan Crotalaria
anagyroides sebanyak 36% (4,85 .105.g-1) dibandingkan dengan tanpa
tanaman penutup tanah (3,56.105.g-1).
Tabel 19. Total mikroorganisme tanah pada berbagai jenis tanaman penutup
tanah yang berumur tiga bulan
Jenis perlakuan Bakteri total (105. g.-1)
tanpa TPT 3,56 b
TPT C.pubescens 5,21 a
TPT C.anagyroides 4,85 a
TPT M. pruriens 5,24 a
Keterangan : angka diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
Uji BNT 0,05.
Pengaruh jenis aplikasi tanaman penutup dan pengembalian residu
tanaman terhadap total miroorganisme tanah yang disajikan pada Tabel 20
diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa banyaknya poplasi bakteri total
tanah memperlihatkan bahwa keberadaan tanaman penutup tanah nampak
pengaruhnya pada MT 2001/2002 dengan jumlah bakteri tertinggi dijumpai
pada Mucuna pruriens yang meningkatkan populasi bakteri total tanah
sebanyak 91% (5,29.105.g-1), diikuti oleh Crotalaria anagyroides dan
Centrosema pubescens yang menghasilkan populasi bakteri total tanah
masing-masing sebanyak 68% (4,66.105.g-1) dan 65% (4,56.105.g-1)
dibandingkan dengan tanpa tanaman penutup tanah yang hanya
menghasilkan populasi bakteri total tanah sebanyak 2,77.105.g-1.
Kerjasama antara jenis tanaman penutup tanah dan pengembalian
residu tanaman jagung seperti yang tertera pada Tabel 20 baru nampak
pengaruhnya pada MT 2002/2003 dengan populasi bakteri total tanah lebih
banyak 80% (6,24.105.g-1) dibandingkan dengan interaksi tanpa tanaman
penutup tanah dengan pengembalian residu (3,47.105.g-1), demikian pula
interaksi antara aplikasi dalam bentuk mulsa dengan pengembalian residu
jagung meningkatkan populasi bakteri total sebanyak 43% (4,81.105.g-1),
diikuti oleh aplikasi dalam bentuk hidup disertai residu tanaman yang
meningkatkan populasi bakteri total tanah masing-masing 31% (4,41.105.g-1)
Agroteknologi Lahan Kering 47
Tabel 20. Bakteri total tanah pada berbagai jenis, bentuk aplikasi tanaman
penutup tanah dan pengembalian residu serta interaksi
diantaranya
Bakteri total (105.g.-1)
Jenis perlakuan
MT 2001/2002 MT 2002/2003
Jenis TPT
Tanpa TPT 2,77 b 3,18 tn
TPT C. pubescens 4,56 a 3,94
TPT C.anagyroides 4,66 a 4,15
TPT M. pruriens 5,29 a 5,41
Jenis TPT x residu jagung
Tanpa TPT x Residu (+) 3,06 tn 3,47 b
Tanpa TPT x Residu (-) 2,49 2,90 b
TPT Cp x Residu (+) 5,37 4,74 ab
TPT Cp x Residu (-) 3,74 3,14 b
TPT Ca x Residu (+) 4,85 4,14 b
TPT Ca x Residu (-) 4,47 4,16 b
TPT Mp x Residu (+) 5,85 6,24 a
TPT Mp x Residu (-) 4,74 4,58 ab
Bentuk aplikasi x residu jagung
TPT Hidup x Res.(+) 4,49 tn 4,41 a
TPT Hidup x Res.(-) 4,03 3,51 b
TPT Mulsa x Res.(+) 5,07 4,81 a
TPT Mulsa x Res.(-) 3,69 3,37 b
Keterangan:- angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada MT/jenis
perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- tn: tidak nyata berdasarkan hasil analisis ragam
BAB VI
PENGENDALIAN GULMA
DI LAHAN KERING
Penyebaranya dapat melalui biji atau dengan cara vegetatif. Contoh gulma
darat diantaranya Agerathum conyzoides, Digitaria spp, Imperata
cylindrical, Amaranthus spinosus. Gulma air merupakan gulma yang
hidupnya berada di air. Jenis gulma air dibedakan menjadi tiga, yaitu gulma
air yang hidupnya terapung di permukaan air (Eichhorina crassipes, Silvinia
spp, gulma air yang tenggelam di dalam air (Ceratophylium demersum), dan
gulma air yang timbul ke permukaan tumbuh dari dasar (Nymphae sp,
Sagitaria spp).
Adapun siifat-sifat umum dari gulma adalah sebagai berikut:
(i) Daya adaptasinya besar
(ii) Daya saing terhadap tanaman budidaya kuat
(iii) Berkembang biak dengan cepat
(iv) Dormansi lama
Kemampuan bersaing dengan tanaman utama akan mengakibatkan
kerugian bagi tanaman yang dibudidayakan. Adapun kerugian yang
ditimbulkan oleh gulma:
(i) Mengurangi hasil yang diperoleh (10-20%)
(ii) Mengurangi kualitas tanaman
(iii) Menjadi inang (host) bagi penyakit/hama
(iv) Menjadi allelopathy
(vi) Menambah tenaga kerja
Untuk mencegah berbagai kerugian yang dapat ditimbulkan oleh
gulma, tindakan pengendalian gulma harus dilakukan. Pearson (1973)
mengemukakan, untuk memungkinkan hasil yang tinggi pada tanaman,
khususnya pertanaman di lahan kering, pengendalian gulma secara intensif
harus dilakukan. Pengendalian gulma dapat dilakukan dengan beberapa cara,
yaitu preventif, mekanis, kultur teknis, penggunaan herbisida, biologis dan
secara terpadu yang merupakan gabungan dua atau lebih cara-cara yang
disebut sebelumnya.
Pengendalian gulma di masa sekarang dan ke depan diharapkan
metode kimiawi akan berkurang terutama dihubungkan dengan kepentingan
sosial dan kelestarian lingkungan, sementara metode budidaya dan biologi
akan diharapkan lebih banyak berperan. Penggunaan tanaman penutup tanah
merupakan salah satu cara pengendalian gulma secara biologis (Reijntjes, et
al., 1999).
54 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.
Tabel 22. Bobot kering gulma pada periode pengamatan 20, 40 dan 90
hari setelah penanaman berbagai jenis tanaman penutup tanah
Jenis tanaman penutup Jumlah Spesies Gulma
tanah 20 hst 40 hst 90 hst
Tanpa TPT 4,00 a 4,33 a 5,50 a
TPT Centrosema 4,17 a 3,00 a 3,50 b
TPT Crotalaria 3,17 a 4,67 a 5,50 a
TPT Mucuna 2,00 b 2,50 b 3,00 b
Keterangan: - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- hst: hari setelah tanam
Pengamatan jumlah spesies gulma pada percobaan ini menunjukkan
bahwa penggunaan tanaman penutup tanah menekan pertumbuhan gulma,
yang diperlihatkan oleh spesies gulma gulma yang lebih rendah
dibandingkan perlakuan tanpa tanaman penutup tanah. Penurunan jumlah
spesies gulma dengan penggunaan tanaman penutup tanah yang
diaplikasikan dalam bentuk hidup berkaitan dengan tertutupnya permukaan
tanah oleh tanaman penutup tanah sehingga akan menghambat
perkecambahan gulma. Pada umumnya gulma memerlukan cahaya untuk
perkecambahannya (Klingman et al., 1975). Dengan terhambatnya
perkecambahan biji-biji gulma maka gulma yang tumbuh dan berkompetisi
dengan tanaman jagung menjadi berkurang.
penutup tanah berkisar antara 44% (bobot kering gulma 16,21 g.m -2), 46%
(bobot kering gulma 11,53 g.m-2) dan 33% (bobot kering gulma 12,52g.m-2),
dan untuk tanaman penutup tanah Crotalaria anagyroides berkisar antara
29% (bobot kering gulma 20,42 g.m-2),20% (bobot kering gulma 17,02g.m-2)
dan 6% (bobot kering gulma 17,52 g.m-2) pada masing-masing periode
pengamatan 20 hst, 40 hst dan saat panen.
Tabel 23. Bobot kering gulma periode pengamatan 20, 40 dan 90 hari
setelah tanam berbagai jenis tanaman penutup tanah
Bobot kering gulma (g.m-2)
Jenis perlakuan
20 hst 40 hst 90 hst
tanpa TPT 28,76 a 21,24 a 18,70 a
TPT Centrosema 16,21 b 11,53 bc 12,52 bc
TPT Crotalaria 20,42 b 17,02 ab 17,52 ab
TPT Mucuna 11,78 c 9,60 c 8,19 c
Keterangan:- angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- hst: hari setelah penanaman tanaman penutup tanah
Penggunaan tanaman penutup tanah jenis Mucuna pruriens lebih
efektif dalam menekan pertumbuhan gulma yang diperlihatkan oleh bobot
kering gulma yang terendah pada semua percobaan. Fakta ini sejalan dengan
kemampuan Mucuna pruriens menutup permukaan tanah lebih cepat. Pada
penggunaan jenis Crotalaria anagyroides terlihat bahwa bobot kering gulma
lebih berat dari tanaman penutup tanah lainnya. Hal ini dapat dikaitkan
dengan type pertumbuhan Crotalaria anagyroides yang tegak sehingga
kemampuan menutup tanah lebih rendah yang berarti bahwa penaungan
Crotalaria anagyroides masih dapat memberikan ruang bagi gulma untuk
dapat berkecambah dan tumbuh.
Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Subaedah (2004) pada
musim tanam (MT) tahun 2001/2002 dan MT 2002/2003 tentang
pengelolaan tanaman penutup yang dikombinasikan dengan penambahan
residu tanaman sebelumnya sebagai mulsa dalam mengendalikan
pertumbuhan gulma diperoleh hasil yang dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24 menunjukkan bahwa penekanan pertumbuhan gulma
tertinggi (95%–96%) dijumpai pada periode pengamatan akhir percobaan
MT 2002/2003 dengan perlakuan Mucuna pruriens yang diaplikasikan
dalam bentuk hidup dengan bobot kering gulma 1,41 g.m-2 dan berbeda
nyata dibandingkan dengan tanpa tanaman penutup tanah yang
58 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.
menghasilkan bobot kering gulma 32,69 g.m-2 dan 27,89 g.m-2, diikuti
periode pengamatan 40 hst MT 2002/2003 dengan penekanan pertumbuhan
gulma hingga 96% (tanpa tanaman penutup tanah bobot kering gulma 24,93
g.m-2 dan 26,26 g.m-2 dan dengan Mucuna pruriens yang diaplikasikan
dalam bentuk hidup diperoleh 1,13 g.m-2).
Demikian pula interaksi antara bentuk aplikasi dan pengembalian
residu secara umum juga tidak nyata pengaruhnya kecuali pada periode
pengamatan 20 hst MT 2002/2003 dengan bobot kering gulma pada
perlakuan aplikasi tanaman penutup tanah dalam bentuk hidup disertai
pengembalian residu lebih rendah 28-38% (bobot kering gulma 8,14 g.m-2)
dan berbeda nyata dibandingkan dengan aplikasi tanaman penutup tanah
dalam bentuk mulsa dengan atau tanpa pengembalian residu dengan bobot
kering gulma yang dihasilkan antara 11,35 –13,24 g.m-2, tetapi tidak berbeda
nyata dengan aplikasi tanaman penutup tanah dalam bentuk yang sama tanpa
residu dengan bobot kering gulma yang diperoleh 10,70 g.m-2.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penggunaan tanaman
penutup tanah menekan pertumbuhan gulma sekitar 31 hingga 43% dan
untuk penggunaan Mucuna pruriens menekan pertumbuhan gulma sekitar
56 hingga 59% (bobot kering gulma 8,19-11,78 g.m-2) (Tabel 23) begitu
pula penggunaan Mucuna pruriens dan aplikasinya dalam bentuk hidup,
serta pengembalian residu tanaman baik sebagai faktor tunggal masing-
masing ataupun interaksi diantaranya dapat menekan pertumbuhan gulma
hingga 96% (bobot kering gulma 1,13-3,06 g.m-2) (Tabel 24).
Data bobot kering gulma yang disajikan pada Tabel 24
memperlihatkan bahwa perlakuan tanaman penutup tanah memberikan
bobot kering gulma yang lebih rendah dari perlakuan tanpa tanaman penutup
tanah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fisk et al.,
(2001) yang mendapatkan bahwa penggunaan tanaman penutup tanah
diperoleh bobot kering gulma yang nyata lebih ringan (2,47g.m-2) dibanding
tanpa tanaman penutup tanah (8,6 g.m-2).
Agroteknologi Lahan Kering 59
Tabel 24. Bobot kering gulma pada berbagai jenis, bentuk aplikasi tanaman
penutup tanah dan pengembalian residu tanaman serta interaksi
diantaranya
bebas tumbuh tanpa adanya penghalang dari tanaman penutup tanah. Pada
umumnya gulma memerlukan cahaya untuk perkecambahannya (Klingman
et al., 1975). Dengan terhambatnya perkecambahan biji-biji gulma maka
gulma yang tumbuh dan berkompetisi dengan tanaman jagung menjadi
berkurang.
Berdasarkan data bobot kering gulma terlihat bahwa keefektifan
penekanan pertumbuhan gulma berbeda di antara tanaman penutup tanah
yang digunakan. Penggunaan tanaman penutup tanah jenis Mucuna pruriens
lebih efektif dalam menekan pertumbuhan gulma yang diperlihatkan oleh
bobot kering gulma yang terendah pada semua percobaan. Fakta ini sejalan
dengan kemampuan Mucuna pruriens menutup permukaan tanah lebih
cepat. Pada penggunaan jenis Crotalaria anagyroides terlihat bahwa bobot
kering gulma lebih berat dari tanaman penutup tanah lainnya. Hal ini dapat
dikaitkan dengan type pertumbuhan Crotalaria anagyroides yang tegak
sehingga kemampuan menutup tanah lebih rendah yang berarti bahwa
penaungan Crotalaria anagyroides masih dapat memberikan ruang bagi
gulma untuk dapat berkecambah dan tumbuh.
BAB VII
PENGELOLAAN BAHAN ORGANIK TANAH DI
LAHAN KERING
(1997) menunjukkan bahwa kandungan total polifenol larut dan tanin tak
larut dalam bahan organik tidak berkorelasi nyata terhadap pelepasan N.
Tetapi nisbah (lignin+polifenol) / N secara konsisten berhubungan dengan
pelepasan N. Pendapat ini diperkuat oleh Handayanto et al. (1997) yang
mengatakan bahwa kapasitas pengikatan protein dan nisbah (lignin +
polifenol)/N dapat digunakan sebagai indikator terbaik tehadap pelepasan N.
Penelitian yang dilakukan oleh Subaedah et al., (2007) dengan
menggunakan dua jenis bahan oraganik yang berasal dari Calopogonium
muconoides dan Crotalaria juncea diperoleh kandungan N total, Lignin dan
Polyfenol yang disajikan pada Tabel 25 menunjukkan bahwa kandungan N
total dari kedua jenis bahan organik yang digunakan cukup tinggi yaitu
masing-masing 3,02% dan 3,27%, sementara kandungan lignin pada
Calopogonium cukup tinggi yaitu 21,32 %, namun kandungan lignin pada
Crotalaria cukup rendah yaitu 7,42% dan pada kandungan polyfenol dari
kedua bahan organik cenderung sama yaitu masing-masing 0,65 dan 0,78.
Dari hasil analisis senyawa N-total dan kandungan polyfenol
tumbuhan liar Calopogonium dan Crotalaria, maka disimpulkan bahwa
kedua jenis tumbuhan liar merupakan bahan organik yang berkualiatas
tinggi, sedangkan berdasarkan kandungan ligninnya maka tumbuhan liar
Crotalaria juga termasuk berkuliatas tinggi.
Tabel 25. N total, Lignin dan Polyfenol dari Tumbuhan Crotalaria dan
Calopogonium
Jenis Bahan Organik N total (%) Lignin (%) Polyfenol (%)
Calopogonium muconoides 3,02 21,32 0,65
Crotalaria juncea 3,27 7,42 0,78
Proses dekomposisi atau mineralisasi, di samping dipengaruhi oleh
kualitas bahan organiknya, juga dipengaruhi oleh frekuensi penambahan
bahan organik, ukuran partikel bahan, kekeringan, dan cara pengelolaannya
(dicampur atau disebarkan di permukaan) (Vanlauwe et al., 1997).
Pengeringan bahan mempunyai pengaruh terhadap konsentrasi polifenol
larut. Pengeringan pada suhu 55oC akan mengurangi konsentrasi polifenol
larut (Mafongoya et al., 1997). Pencampuran bahan yang berbeda
kualitasnya akan berdampak pada peningkatan pelepasan hara. Hal ini
sangat penting dalam kaitannya dengan sinkronisasi.
Agroteknologi Lahan Kering 67
Pupuk Kandang.
Sejak dahulu, pupuk kandang sudah digunakan sebagai sumber
hara utama. Di Amerika 73 % dari kotoran ternak yang dihasilkan dalam
kandang (157 juta ton) diberikan dalam tanah sebagai pupuk. Taksiran total
N, P, dan K masing-masing sebesar 0,787; 0,572; dan 1,093 juta ton
diberikan setiap tahun, yang setara dengan 8, 21, 0,572 % kebutuhan pupuk
setiap tahun sebagai pupuk komersial (Power dan Papendick, 1997).
Demikian pula di Eropa, lahan-lahan pertanian berdampingan dengan
peternakan, sehingga kotoran ternak dapat digunakan ke lahan pertanian
tanpa memerlukan baiaya transportasi pengangkutan pupuk kandang yang
dibutuhkan dalam jumlah banyak (Gambar 10 dan 11).
Pupuk Hijau.
Pupuk hijau adalah tanaman-tanaman yang khusus ditanam untuk
melindungi tanah dari ancaman kerusakan oleh erosi dan atau untuk
memperbaiki sifat kimia dan fisik tanah. Tanaman yang dikelompokkan
sebagai pupuk hijau mempunyai syarat-syarat sebagai berikut: produksi
biomass tinggi, sistem perakaran dalam, pertumbuhan awal yang cepat, lebih
Agroteknologi Lahan Kering 71
banyak daun daripada kayu, pengikat nitrogen, daya gabung yang bagus,
penggunaan air efisien, serta pembentukan bibit mudah (Arsyad, 1989; Isse
et al., 1999).
Penggunaan tanaman pupuk hijau dari jenis legum seperti
Crotalaria juncea mempunyai keuntungan karena kemampuannya mengikat
nitrogen dari udara. Pengikatan nitrogen tersebut berlangsung melalui suatu
hubungan yang saling menguntungkan antara tanaman legum dengan bakteri
pengikat nirogen yaitu Rhizobium dengan terbentuknya bintil akar. Cox dan
Atkins (1979) menamakan kerjasama tersebut sebagai hubungan
mutualisme. Adanya hubungan yang saling menguntungkan ini telah
diketahui sejak tahun 1838 dan sejak itu telah digunakan untuk
menyuburkan tanah dengan sistem rotasi (Suseno, 1974).
Tanaman pupuk hijau yang berbentuk pohon biasa digunakan
sebagai pohon pelindung atau sebagai tanaman pagar dalam sistem pertanian
lorong antara lain Glerisedia sepium (gamal) mengandung 3,46 % N,
Leucaena glauca (lamtoro), dan Sesbania grandiflora (turi putih)
mengandung 2,42 % N. Sementara tumbuhan air yang banyak
dikembangkan sebagai pupuk hijau adalah Azolla (A.mexicana, A.
microphylla dan A. pinnata). Tanaman air ini termasuk tanaman penambat
N2 udara. Azolla apabila dimasukkan dalam tanah, pada kondisi tergenang
akan mengalami mineralisasi dan selama 2 minggu mampu melepas 60-80
% dari N yang dikandungnya. Dilaporkan di Asia, penggunaan Azolla untuk
budidaya padi sawah mampu memasok 20-40 kg N ha-1 ke dalam tanah dan
mampu meningkatkan hasil padi 19,23 % atau 0,5 t ha-1. Apabila
penggunaan azolla diberikan dua kali yaitu sebelum dan sesudah tanam,
peningkatan hasil padi bisa mencapai 38,46 % atau 1 t ha-1 (Giller dan
Welson, 1991).
Kemampuan tanaman pupuk hijau dalam menyediakan unsur
nitrogen serta perbaikan sifat-sifat tanah lainnya sangat beragam bergantung
pada banyak faktor seperti spesies, tipe pertumbuhan, dan lingkungan
tumbuh. Beberapa peneliti telah mengungkapakan keragaman pengaruh
spesies tanaman pupuk hijau tersebut. Diantaranya penelitian yang
dilakukan oleh Hairiah dan Van Noordwijk (1989) yang menunjukkan
bahwa tanaman pupuk hijau Crotalaria juncea memberikan biomas dan
kontribusi N yang tertinggi sedang Centosema pubescens menghasilkan
biomass dan kontribusi N yang terendah.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Hairiah, Utomo dan Van der
Heide (1992) pada tanah ultisol di Lampung, mendapatkan hasil yang
72 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.
Sisa Tanaman
Pengelolaan sisa tanaman memegang peranan utama dalam
mengatur ketersediaan hara yang terkandung dalam sisa tanaman. Sisa
tanaman sering digunakan untuk berbagai tujuan. Di lingkungan petani,
sebagian besar jerami padi digunakan untuk alas ternak dan sebagai pakan
ternak. Untuk tujuan ini, sebagian besar hara yang terkandung dalam sisa
tanaman, kemungkinan dikembalikan ke tanah dalam bentuk pupuk kandang
jika kotoran ternak tersebut ditangani dengan tepat. Jumlah dan komposisi
sisa tanaman yang dikembalikan ke tanah secara langsung sebagai pupuk
merupakan variabel-variabel penting dalam mengatur imobilisasi ataupun
mineralisasi hara dalam tanah. Jerami padi dan jagung merupakan sisa
tanaman yang mempunyai nisbah C/N yang tinggi, sehingga perlu adanya
waktu pemeraman (incubation), atau pengomposan terlebih dahulu dalam
praktek pemakaiannya. Peningkatan ketersediaan N dalam tanah dari
pengaruh sisa tanaman bervariasi luas tergantung pada tipe residu,
kandungan N, Iklim dan praktek pengolahan tanahnya (Power dan
Papendick, 1997).
Upaya penggunaan bahan organik yang berasal dari limbah
pertanaman sebelumnya (jerami padi) sangat berpotensi untuk digunakan,
mengingat besarnya limbah jerami yang dihasilkan. Untuk setiap penanaman
padi dengan tingkat produksi 6 t ha-1, maka akan dihasilkan jerami padi
Agroteknologi Lahan Kering 75
Tabel 31. Kadar N total tanah dengan penggunaan bahan organik dari
brangkasan tanaman jagung
N total tanah (%)
Jenis perlakuan
2 bst 3 bst
Dengan Residu 0,27 a 0,28 a
Tanpa Residu 0,25 b 0,24 b
Keterangan: - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada Uji BNT 0,05.
- bst: bulan setelah aplikasi
Pengamatan terhadap kapasitas tukar kation (KTK) tanah dengan
pemberian residu tanaman jagung juga telah diamati dan memberikan hasil
yang disajikan pada Tabel 32 dan menunjukkan bahwa pengembalian residu
tanaman jagung juga meningkatkan KTK tanah untuk kedua musim tanam
yang digunakan yaitu antara 16% (31,33 me.100g-1) dan 10% (32,74
me.100g-1) dibanding tanpa residu dengan KTK yang dicapai antara 26,91
me.100g-1 dan 29,62 me.100g-1.
Tabel 32. KTK tanah dengan penggunaan bahan organik dari brangkasan
tanaman jagung
4. Jerami yang telah dicacah, pupuk kandang, sekam padi dan dedak dicampur
secara merata, kemudian larutan EM-4 dan gula disiramkan kedalam bahan
campuran tersebut (Gambar 14)
Limbah Agroindustri
Pada prinsipnya hampir semua limbah industri yang menggunakan
bahan baku dari hasil pertanian dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan
Agroteknologi Lahan Kering 81
Sampah Kota.
Sampah kota merupakan bahan organik yang banyak kita temukan
di kota-kota besar, yang merupakan permasalahan lingkungan dalam
penanganannya. Usaha penggunaan sampah kota untuk aplikasi langsung di
lahan pertanian, umumnya mengalami berbagai permasalahan. Ada beberapa
alasan yang menjadi penyebab mengapa penggunaan sampah kota tidak
banyak yang digunakan sebagai pupuk organik antara lain:
i. masalah ekonomi pengumpulannya dan pemindahan bahan
ii. kesulitan pemisahan dan pensortiran bahan yang tidak terlapukan
secara biologis (kaca, plastik, logam)
iii. kandungan hara khususnya N setiap bahan sangat bervariasi.
Apabila bahan yang tahan lapuk telah dipilah-pilah, suatu teknologi
yang dapat direkomendasikan untuk pemanfaatan sampah kota adalah
pengomposan. Sifat yang perlu diperhatikan dalam penggunaan sampah
kota adalah:
i. Adanya kontaminasi gelas, plastik dan logam, sehingga bahan-bahan
ini perlu dikeluarkan dari bahan pupuk
ii. Kandungan hara. Nilai C/N bahan pada umumnya masih relatif
tinggi sehingga perlu pengomposan
iii. Komposisi organik sampah kota sangatlah bervariasi, bahkan
kadang-kadang terdapat senyawa organik yang bersifat racun bagi
tanaman
iv. Terdapat banyak sekali macam mikrobia dalam sampah kota baik
bakteri, fungi dan actinomycetes, bahkan perlu diwaspadai adanya
mikrobia patogen bagi tumbuhan atau manusia.
ada dalam tanah berubah menjadi tidak tersedia karena berubah menjadi
senyawa organik mikrobia. Kejadian ini disebut sebagai immobilisasi hara.
Untuk menghindari imobilisasi hara, bahan perlu dilakukan proses
pengomposan terlebih dahulu. Proses pengomposan adalah suatu proses
penguraian bahan organik dari bahan dengan nisbah C/N tinggi (mentah)
menjadi bahan yang mempunyai nisbah C/N rendah (kurang dari 15)
(matang) dengan upaya mengaktifkan kegiatan mikrobia pendekompuser
(bacteri, fungi, dan actinomicetes).
Pengomposan bertujuan untuk mematangkan bahan organik yang
masih mentah. Bahan organik yang masih mentah (C/N tinggi), seperti
jerami padi, jagung dan sampah kota, apabila diberikan secara langsung ke
dalam tanah akan berdampak negatip terhadap ketersediaan hara tanah.
Faktor- faktor yang mempengaruhi proses pengomposan adalah
sebagai berikut:
1. Kelembaban dijaga pada kondisi tidak terlalu kering maupun terlalu
basah atau tergenang
2. Aerasi timbunan dalam kondisi tidak terlalu anaerob dan tidak terlalu
aerob. Terlalu aerob udara bebas masuk ke dalam timbunan dan N
banyak yang menguap sebagai NH3;
3. Suhu dijaga agar tidak terlalu tinggi, jika suhu tinggi akan menyebabkan
asam-asam hasil proses dekomposisi akan menurunkan. Untuk menjaga
suhu, maka perlu dilakukan pembalikan timbunan;
4. Penambahan kapur untuk menetralisir pH
5. Penambahan hara untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas
kompos. Penambahan hara dapat dilakukan menambah pupuk N dan P
6. Struktur bahan bahan dibuat tidak terlalu kasar dengan cara dicincang
untuk mempercepat proses dekomposis
7. Tinggi timbunan tidak terlalu tinggi (kurang lebih 1,5 m)
8. Timbunan diberi penutup untuk mencegah sinar matahari langsung dan
hujan.
Menurut Rusmarkam (2001), ada beberapa prinsip dan cara
pengomposan antara lain:
1. Ditimbun pada permukaan tanah yang telah dipadatkan (kraal methode)
84 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.
2. Ditimbun pada galian tanah (50-75 cm), separo di dalam tanah (50-75
cm) dan separo di atas permukaan (Heat & trench methode)
3. Langsung pada bak penampungan kotoran ternak (Bengalore methode),
4. Menggunakan kotak pengomposan dari pagar beton yang tertutup
(anaerob) selama 18 hari dan seterusnya diberikan aerasi dari lobang-
lobang bagian dasar kotak.
Pembuatan kompos semakin berkembang dengan diperkaya dengan
mikroorganisme yang dapat mempercepat dekomposisi seperti Trichoderma
sp. (Sugito et al., 1995). Pada akhir-akhit ini, telah banyak digunakan
teknologi efektif mikroorganisme (EM-4) yang merupakan permentant
(pengurai) limbah organik menjadi pupuk organik, yang mengandung
bakteri Lactobacillus, ragi, actomycete, dan jamur pengurai selulosa yang
dapat membantu proses dekomposisi (Anwar, 1999). Hasil penelitian
Subaedah et al., (2018) menyimpulkan bahwa penggunaan EM-4 dapat
mempercepat proses dekomposisi dari jerami padi.
BAB VIII
PERANAN BAHAN ORGANIK TANAH
Tabel 34. Bobot isi tanah pada periode pengamatan 8 dan 12 minggu setelah
aplikasi berbagai jenis bahan organik
Bobot isi tanah (g.cc-1)
Jenis perlakuan
8 mst 12 mst
tn
Tanpa bahan organik 1,75 1,93 a
BO C. pubescens 1,39 1,39 b
BO C.muconoides 1,37 1,37 b
BO C.anagyroides 1,45 1,45 b
Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- tn : tidak nyata berdasarkan hasil analisis ragam
- mst: minggu setelah aplikasi
Penurunan bobot isi tanah pada periode pengamatan 12 minggu
setelah aplikasi terlihat bahwa pemberian bahan organik diperoleh bobot isi
tanah yang lebih rendah yaitu antara 1,37-1,45 g.cc-1 dan berbeda nyata
dengan tanpa bahan organik dengan dengan bobot isi tanah sebesar 1,93
g.cc-1 (Tabel 34). Hasil ini serupa dengan apa yang diperoleh Erfandi dan
Suwardjo (1991) yang melaporkan bahwa bobot isi tanah pada penggunaan
bahan organik dari Mucuna pruriens menurun sekitar 18% (0,86 g.cc-1)
dibanding tanpa bahan organik (1,06 g.cc-1). Penelitian lain yang juga
dilakukan oleh Erfandi (1988) menemukan bahwa penggunaan pangkasan
tanaman yang disebarkan dipermukaan tanah (Lamtoro, Flemingia dan
Kaliandra) diperoleh rata-rata bobot isi tanah lebih rendah 14% (1,1 g.cc-1)
dibanding tanpa bahan organik dengan rata-rata bobot isi 1,28 g.cc-1.
Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- tn : tidak nyata
- mst : minggu setelah aplikasi bahan organik
Agroteknologi Lahan Kering 91
vander Waal’s dan ikatan koordinasi dengan ion logam (pertukaran ligan).
Tiga faktor yang menentukan adsorbsi pestisida dengan bahan organik :
(1) karakteristik fisika-kimia adsorbenya (koloid humus)
(2) sifat pestisidanya
(3) Sifat tanahnya, yang meliputi kandungan bahan organik, kandungan dan
jenis lempungnya, pH, kandungan kation tertukarnya, lengas, dan
temperatur tanahnya (Stevenson, 1982).
Tabel 36. KTK tanah periode pengamatan 0, 4, 8 dan 12 minggu setelah
aplikasi bahan organik
KTK (me.100 g-1)
Jenis perlakuan
0 mst 4 mst 8 mst 12 mst
Tanpa bahan organik 20,92 tn 22,18 tn
22,49 tn 24,16 b
BO C. pubescens 24,49 24,49 27,82 31,33 a
BO C.mucunoides 23,18 23,48 28,6 34,13 a
BO C.anagyroides 21,25 21,55 27,83 31,82 a
Keterangan: - angka diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada Uji BNT 0,05.
- tn : tidak nyata berdasarkan hasil analisis ragam
- mst : minggu setelah aplikasi bahan organik
Pengaruh penambahan bahan organik terhadap pH tanah dapat
meningkatkan atau menurunkan tergantung oleh tingkat kematangan bahan
organik yang kita tambahkan dan jenis tanahnya. Penambahan bahan
organik yang belum masak (misal pupuk hijau) atau bahan organik yang
masih mengalami proses dekomposisi, biasanya akan menyebabkan
penurunan pH tanah, karena selama proses dekomposisi akan melepaskan
asam-asam organik yang menyebabkan menurunnya pH tanah. Namun
apabila diberikan pada tanah yang masam dengan kandungan Al tertukar
tinggi, akan menyebabkan peningkatan pH tanah, karena asam-asam organik
hasil dekomposisi akan mengikat Al membentuk senyawa komplek (khelat),
sehingga Al tidak terhidrolisis lagi. Dilaporkan bahwa penambahan bahan
organik pada tanah masam, antara lain inseptisol, ultisol dan andisol mampu
meningkatkan pH tanah dan mampu menurunkan Al tertukar tanah (Suntoro,
2001; Cahyani., 1996). Peningkatan pH tanah juga akan terjadi apabila
bahan organik yang kita tambahkan telah terdekomposisi lanjut (matang),
karena bahan organik yang telah termineralisasi akan melepaskan
mineralnya, berupa kation-kation basa. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
94 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.
Keterangan: - angka diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada Uji BNT 0,05.
- tn : tidak nyata berdasarkan hasil analisis ragam
- mst : minggu setelah aplikasi bahan organik
Peran bahan organik terhadap ketersediaan hara dalam tanah tidak
terlepas dengan proses mineralisasi yang merupakan tahap akhir dari proses
perombakan bahan organik. Dalam proses mineralisasi akan dilepas mineral-
mineral hara tanaman dengan lengkap (N, P, K, Ca, Mg dan S, serta hara
mikro) dalam jumlah yang bervariasi dan relatif kecil. Hara N, P dan S
merupakan hara yang relatif lebih banyak untuk dilepas dan dapat digunakan
tanaman.
Bahan organik sumber nitrogen (protein) pertama-tama mengalami
peruraian menjadi asam-asam amino yang dikenal dengan proses aminisasi,
yang selanjutnya oleh sejumlah besar mikrobia heterotrofik mengurai
menjadi amonium yang dikenal sebagai proses amonifikasi. Amonifikasi ini
dapat berlangsung hampir pada setiap keadaan, sehingga amonium dapat
merupakan bentuk nitrogen anorganik (mineral) yang utama dalam tanah
Agroteknologi Lahan Kering 95
(Tisdel dan Nelson, 1974). Nasib dari amonium ini antara lain dapat secara
langsung diserap dan digunakan tanaman untuk pertumbuhannya, atau oleh
mikroorganisme untuk segera dioksidasi menjadi nitrat yang disebut dengan
proses nitrifikasi. Nitrifikasi adalah proses bertahap yaitu proses nitritasi
yang dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas dengan menghasilkan nitrit, yang
segera diikuti oleh proses oksidasi berikutnya menjadi nitrat yang dilakukan
oleh bakteri Nitrobacter yang disebut dengan nitratasi. Nitrat merupakan
hasil proses mineralisasi yang banyak disukai atau diserap oleh sebagian
besar tanaman budidaya. Namun nitrat ini mudah tercuci melalui air
drainase dan menguap ke atmosfer dalam bentuk gas (pada drainase buruk
dan aerasi terbatas) (Killham, 1994).
Kemampuan bahan organik dalam meningkatkan kadar N-total tanah
telah diteliti oleh Subaedah (2004) dan memperoleh hasil seperti yang
disajikan pada Tabel 38. Kadar N total tanah periode pengamatan dua bulan
setelah aplikasi bahan organi pada Tabel 38 menunjukkan bahwa
penggunaan ketiga jenis bahan organik mengandung N total tanah yang
lebih tinggi antara 55% - 67% (0,28% -0,30%) dibandingkan dengan tanpa
bahan organik. Pada periode pengamatan 3 bulan setelah aplikasi bahan
organik menunjukkan bahwa kadar N total tanah meningkat antara 55% -
76% (0,30%) dengan pemberian bahan organik dibandingkan dengan tanpa
bahan organik.
Tabel 38. Kadar N total tanah dari pemberian berbagai jenis bahan organik
pada saat dua dan tiga bulan setelah aplikasi
Kadar N total tanah (%)
Jenis Bahan organik
2 bst 3 bst
tanpa Bahan Organik 0,18 b 0,17 b
BO Centrosema 0,28 a 0,29 a
BO Calopogonium 0,30 a 0,30 a
BO Mucuna 0,30 a 0,30 a
Keterangan: - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada taraf α 0,05 berdasarkan uji
BNT.
- bst : bulan setelah aplikasi
Pengaruh bahan organik terhadap ketersediaan P dapat secara
langsung melaui proses mineralisasi atau secara tidak langsung dengan
membantu pelepasan P yang terfiksasi. Stevenson (1982) menjelaskan
96 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.
Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
100 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.
Agroteknologi Lahan Kering 101
BAB IX
PENGARUH BAHAN ORGANIK TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN
DI LAHAN KERING
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada Uji BNT 0,05.
berbeda nyata dengan tanpa bahan organik yang menghasilkan LTR senilai
0,32 g.g-1.mgg-1 (Tabel 41).
Tabel 41. Laju tumbuh relatif tanaman jagung pada pengelolaan berbagai
jenis bahan organik
Laju tumbuh relatif (g.g-1.mgg-1)
Jenis perlakuan
2 - 4 mst 4-6 mst 6-8 mst
Tanpa bahan organik 1,25 c 0,62 b 0,32 b
BO C. pubescens 1,40 b 0,82 a 0,44 a
BO C. muconoides 1,49 a 0,79 a 0,43 a
BO C. anagyroides 1,40 b 0,74 a 0,41 a
Keterangan:- angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada Uji BNT 0,05.
- mst: minggu setelah tanam
Tabel 42. Laju tumbuh pertanaman tanaman jagung pada berbagai jenis
bahan organik
Laju tumbuh pertanaman (g.m-2.hari-1)
Perlakuan
2-4 mst 4-6 mst 6-8 mst
Tanpa bahan organik 3,43 tn 10,03 b 12,78 b
BO C. pubescens 3,81 12,71 a 22,01 a
BO C. muconoides 4,30 13,45 a 24,35 a
BO C. anagyroides 3,90 12,76 a 23,32 a
Keterangan:- angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada Uji BNT 0,05.
- tn : tidak nyata berdasarkan analisis ragam
- mst : minggu setelah tanam
(6,34 t.ha-1) dibanding tanpa bahan organik dengan hasil yang diperoleh 4,91
t.ha-1.
Tabel 45. Bobot pipilan kering/tongkol dan bobot pipilan kering /ha (kadar
air biji 15% pada berbagai jenis bahan organik
Bobot pipilan Bobot pipilan
Perlakuan
kering (g/tongkol) kering (t/ha)
Tanpa Bahan organik 78,69 b 4,91 b
BO C. pubescens 108,98 a 6,33 a
BO C. muconoides 109,63 a 6,34 a
BO C. anagyroides 114,63 a 6,59 a
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada uji BNT 0,05.
Pengaruh baik dari pengelolaan bahan organik terhadap
pertumbuhan tanaman yang diperlihatkan oleh tanaman yang lebih tinggi,
indeks luas daun, laju tumbuh relatif dan laju tumbuh pertanaman yang lebih
besar, disebabkan adanya pemberian bahan organik yang akan menghasilkan
senyawa-senyawa perangsang tumbuh yang berasal dari eksudat tanaman,
dan juga berasal dari hasil aktivitas mikrobia dalam tanah. (Stevenson,
1982) Di samping itu, perbaikan sifat fisik, kimia tanah dan biologi tanah
sebagaimna telah dijelaskan dalam bab sebelumnya (Bab VIII).
Perbaikan sifat fisik tanah seperti peningkatan kadar air tanah hingga
20% lebih tinggi dibanding tanpa penggunaan bahan organik. Peningkatan
kadar air tanah ini sangat berarti bagi pertanian lahan kering mengingat
masalah pokok dalam pengelolaan lahan kering sebagai sumberdaya
pertanian adalah keterbatasan air. Air merupakan bagian dari protoplasma,
bahan baku fotosintesis, pelarut unsur hara dan pengangkut hasil fotosintesis
dari daun (Gardner, et al., 1991), dengan tersedianya air maka proses
metabolisme dalam tubuh tanaman dapat berjalan lancar sehingga
pertumbuhan tanaman juga dapat berlangsung secara maksimal. Di samping
itu penggunaan bahan organik juga meningkatkan kadar C organik tanah
hingga 54%. Bahan organik merupakan kunci kesuburan tanah karena
dengan bahan organik yang tinggi tidak hanya merupakan gudang hara,
tetapi juga memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah yang akan menciptakan
lingkungan tanah yang kondusif bagi pertumbuhan tanaman.
Pengamatan terhadap komponen hasil dan hasil tanaman jagung
menunjukkan bahwa pengelolaan bahan organik dapat meningkatkan hasil
tanaman jagung hingga 34% (Tabel 45). Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Vyn et al., (2000) yang melaporkan bahwa
Agroteknologi Lahan Kering 107
bahan organik meningkatkan hasil jagung yang nyata lebih tinggi 11,6%
(9,62 ton ha-1) dibanding tanpa bahan organik (8,62 ton ha-1).
Pengaruh baik dari pengelolaan bahan organik berhubungan dengan
kemampuan bahan organik dalam memperbaiki pertumbuhan tanaman. Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian Andrade et al., (1999) yang melaporkan
bahwa laju tumbuh pertanaman merupakan penduga yang baik dalam
menentukan hasil pipilan jagung. Selanjutnya Andrade et al., (2002)
melaporkan bahwa produksi biji jagung pertanaman akan meningkat dengan
meningkatnya laju tumbuh pertanaman sampai pada batas tertentu dimana
laju tumbuh pertanaman > 4 g.hr-1 pada periode pemunculan bunga
mempunyai persentase peningkatan jumlah biji yang mulai menurun. Hasil
pengamatan laju tumbuh pertanaman menunjukkan bahwa penggunaan
bahan organik meningkatkan laju tumbuh tanaman jagung hingga 47%
(22,01-24,35 g.m-2.hari-1) untuk periode 6-8 mst dan untuk periode 2-4 mst
diperoleh LTP antara 4,04 – 4,27 g.m-2.hari-1 (Tabel 41). Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Duncan, (1981) dalam Gardner et al., (1991) yang
menemukan bahwa laju tumbuh tanaman jagung periode 6-8 mst sebesar 18-
25 g.m-2.hari-1. Dengan kemampuan bahan organik meningkatkan laju
pertumbuhan tanaman maka akan memberikan kontribusi terhadap hasil
pipilan jagung yang merupakan akumulasi dari pertumbuhan tanaman.
Gambar hasil penelitian Subaedah et al., (2007) disajikan pada Gambar 20
dan 21.
Menurut Gardner, et al., (1991) investasi hasil assimilasi dalam
pertumbuhan tanaman selama periode vegetatif menentukan produktivitas
pada tingkat perkembangan berikutnya seperti jumlah biji. Selanjutnya
dikemukakan bahwa agar diperoleh hasil panen yang tinggi maka tanaman
harus dapat menghasilkan indeks luas daun yang cukup untuk menyerap
sebagian besar cahaya guna mencapai produksi maksimum. Hasil
pengamatan ILD menunjukkan bahwa penggunaan bahan organik
menghasilkan ILD tanaman jagung yang nyata lebih tinggi (2,97-3,13)
dibanding tanpa bahan organik dengan ILD senilai 2,23; (Tabel 40). Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian Dwyer and Stewart (1986) yang melaporkan
bahwa nilai ILD tanaman jagung maksimal antara 2,5-3,25, sementara hasil
penelitian Pearce, Mock and Bailey (1975) menemukan nilai ILD tanaman
jagung maksimal antara 2,58-4,61. Demikian juga hasil penelitian Subaedah
et al., (2016) yang menghasilkan ILD tanaman jagung antara 3,88-4,91.
Daun adalah organ tanaman yang sangat berkontribusi pada
kehidupan tanaman, karena pada daun tersebut berlangsung proses
108 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.
organik dari pupuk kandang hanya menghasilkan nilai laju tumbuh relatif
antara 0,435-0,473 g.g-1.mgg-1.
Laju tumbuh relatif periode 6-8 MST yang disajikan pada Tabel 46
menunjukkan bahwa pemberian bahan organik dan pemupukan fosfor nyata
mempengaruhi laju pertumbuhanan tanaman, dengan nilai laju tumbuh
relatif periode 6-8 MST pada tanaman kedelai yang diberi perlakuan bahan
organik baik dari jenis tumbuhan liar maupun dari pupuk kandang lebih
tinggi yaitu 0,236-0,269 g.g-1mgg-1 dan berbeda nyata dengan perlakuan
tanpa pemberian bahan organik yang hanya mempunyai laju tumbuh 0,122
g.g-1mgg-1. Sedang pada perlakuan pemupukan fosfor terlihat bahwa
pemberian fosfor sampai 100 kg P205.ha-1 nyata diperoleh nilai LTR yang
lebih tinggi yaitu 0,249 g.g-1mgg-1 dibandingkan dengan pemupukan fosfor
50 kg P2O5.ha-1.
Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris (a,b) dan
pada kolom (x,y) tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT
0,05
Jumlah Polong
Pengaruh pemberian berbagai dosis bahan organik (pupuk
kandang) yang dikombinasikan dengan pupuk SP-36 berbagai dosis
menunjukkan bahwa bahwa jumlah polong kedelai terbanyak diperoleh pada
perlakuan pemupukan fosfor 100 kg SP-36 ha-1 dengan jumlah polong per
tanaman sebanyak 75.47 polong dan berbeda nyata dengan jumlah polong
yang diperoleh pada pemupukan fosfor dengan 50 dan 150 kg SP-36 ha-1.
Pada perlakuan pemberian bahan organik dengan dosis 20 ton ha -1
cenderung menghasilkan jumlah polong yang terbanyak.
Tabel 49. Korelasi antara ketersediaan hara P tanah, serapan hara P tanaman
dan biomas tanaman kedelai pada umur 4 dan 8 MST
Koefisien Korelasi (r)
Biomas tanaman
4 MST 8 MST
Ketersediaan hara P tanah 0,54 0,86
Serapa hara P tanaman 0,57 0,80
Tabel 49 juga menunjukkan bahwa bobot biomassa tanaman sangat
dipengaruhi oleh besarnya serapan hara P yang masing-masing dipengaruhi
sebesar 57 dan 80% untuk periode pengamatan 4 dan 8 minggu setelah
tanam. Serapan hara akan berdampak pada kandungan hara dalam tanaman
sehingga akan sangat menentukan pertumbuhan tanaman. Penelitian yang
dilakukan oleh Tampubolon, Ermadani dan Itang (2001) juga menunjukkan
bahwa pemupukan P nyata meningkatkan ketersediaan hara P,
meningkatkan serapan hara P oleh tanaman kedelei dan sekaligus
memperbaiki pertumbuhan dan meningkatkan hasil tanaman kedelai.
Ketersediaan hara fosfor yang meningkatkan biomas tanaman terjadi karena
fosfor merupakan unsur yang mutlak diperlukan di awal tahap pertumbuhan,
penyimpanan cadangan makanan dan pengangkutan energi dalam tanaman
serta pertumbuhan akar yang akan merangsang pertumbuhan tanaman
berjalan lebih baik (Gardner, et al., 1991).
Pengaruh baik dari pemanfaatan bahan organik terhadap
pertumbuhan tanaman kedelai yang diperlihatkan oleh laju tumbuh relatif
yang lebih pesat serta biomas tanaman yang lebih berat, disebabkan adanya
perbaikan ketersediaan hara P yang makin meningkat dengan pemanfaatan
bahan organik dibandingkan dengan tanpa bahan organik (Gambar 22 dan
23). Demikian juga pada pengamatan komponen produksi yang diamati
melalui jumlah polong menunjukkan bahwa pemberian bahan organik
dengan dosis yang lebih besar (20 t ha-1) cenderung menghasilkan produksi
yang lebih tinggi. Peningkatan kadar P tanah ini sangat berarti bagi
pertanian lahan kering mengingat masalah pokok dalam pengelolaan lahan
kering sebagai sumberdaya pertanian adalah masalah ketersediaan unsur P
yang sering membatasi pertumbuhan tanaman.
Gambar hasil penelitian pengaruh pemberian berbagai jenis bahan
organik disertai pemupukan fosfor terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman
kedelai dapat dilihat pada Gambar 24 dan 25.
116 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.
BA B X
MULSA DAN PERANANNYA DALAM
BUDIDAYA TANAMAN DI LAHAN KERING
e) mengurangi evaporasi
f) mempertahankan kelembaban tanah.
Pengaruhnya terhadap sifat kimia tanah yaitu dalam hal meningkatkan
kadar bahan organik yang akan meningkatkan ketersediaan unsur hara
(khususnya mulsa organik). Pengaruhnya terhadap biologi tanah adalah
meningkatnya aktivitas mikroba dekat permukaan tanah (Arsyad, 1989;
Reijntjes et al., 1999; Samosir, 2000).
Penggunaan mulsa organik apakah itu sebagai mulsa hidup ataupun
residu tanaman dalam budidaya pertanian merupakan salah satu metode
mempertahankan siklus bahan organik dan hara yang akan menjamin
keberlanjutan sistem produksi, sebaliknya apabila residu tanaman tidak
dikembalikan (umumnya residu tanaman dibakar atau diangkut ke luar lahan
oleh petani) maka akan semakin banyak pupuk anorganik yang harus
ditambahkan ke lahan untuk mempertahankan kesuburan tanah. Hal ini
sejalan dengan yang dikemukakan Buckman and Brady (1980) bahwa
pengembalian residu tanaman ke lahan, akan menyumbangkan unsur hara
sehingga akan mengurangi pemakaian pupuk anorganik dan dampak yang
lebih jauh adalah mempertahankan kelestarian lahan. Mulsa organik berupa
jerami, sekam, alang-alang dan sebagainya, dipengaruhi oleh ketebalan
lapisan mulsa organik. Ketebalan lapisan mulsa organik yang dianjurkan
adalah antara 5-10 cm. Mulsa yang terlalu tipis akan kurang efektif dalam
mengendalikan gulma. Ketebalan mulsa yang diberikan pada permukaan
tanah berkisar antara 2-7 cm.
Kemampuan mulsa untuk memperbaiki pertumbuhan tanaman tidak
terlepas dari peranan mulsa dalam memperbaiki sifat-sifat tanah. Mulsa
yang digunakan dapat mengurangi penguapan air dari tanah, di samping
memelihara porositas tanah di lapisan permukaan sehingga tanah lebih
mampu meresapkan air. Kondisi kelembaban yang lebih terpelihara dengan
pemberian mulsa, akan menyebabkan tanaman dapat mengembangkan
akarnya dengan baik sehingga memperbesar suplai hara untuk tanaman.
Dengan suplai hara dan air yang lebih terjamin, maka tanaman dapat tumbuh
lebih cepat, perkembangan akar kedalam tanah lebih cepat sehingga
tanaman dapat menggunakan persediaan air dari tanah lapisan bawah untuk
pertumbuhannya secara maksimal.
Penggunaan tanaman penutup tanah baik sebagai mulsa hidup ataupun
sisa tanamannya dalam usahatani lahan kering sangat besar artinya dalam
pemberdayaan lahan kering. Hasil penelitian Thamrin dan Hanafi (1992)
tentang peranan mulsa sisa tanaman terhadap kadar air tanah di lahan kering
Agroteknologi Lahan Kering 121
rata-rata bobot isi tanah lebih rendah (1,38 g.cc-1) dibanding tanpa penutup
tanah yang menghasilkan rata-rata bobot isi 1,51 g.cc-1. Demikian juga total
ruang pori tanah meningkat denggunaan mulsa organik (total ruang pori
45,0%) dibandingkan tanpa penggunaan mulsa dengan total ruang pori yang
dihasilkan 40,2%
Penurunan bobot isi tanah ini disebabkan oleh adanya mulsa yang
menutupi permukaan tanah akan menghalangi kontak langsung antara butir-
butir hujan yang jatuh dengan permukaan tanah yang akan menghancurkan
struktur tanah, sehingga akan menghalangi terjadinya pemadatan tanah.
Disamping itu penggunaan mulsa organik di atas permukaan tanah akan
menambah bahan organik tanah dari dekomposisi batang, ranting dan daun
dari mulsa yang digunakan. Peningkatan bahan organik tanah ini akan
memperbaiki sifat fisik tanah melalui perbaikan agregat tanah yang stabil
(Sugito, et al., 1995). Selanjutnya Buckman and Brady (1980)
mengemukakan bahwa bahan organik tanah berperan sebagai pembentuk
butir mineral yang menyebabkan terjadinya keadaan gembur pada tanah dan
mengurangi pemadatan tanah.
Tabel 50. Bobot isi tanah pada periode pengamatan 4 dan 8 minggu setelah
pemberian berbagai jenis mulsa organik
Bobot isi tanah (g.cc-1)
Perlakuan
4 mst 8 mst
Tanpa mulsa 1,62 a 1,75 tn
Mulsa C. pubescens 1,30 b 1,39
Mulsa C. muconoides 1,29 b 1,37
Mulsa C. anagyroides 1,30 b 1,45
Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada uji BNT 0,05.
- mst: minggu setelah aplikasi mulsa
masing 29,01 % dan 28,33% dibandingkan tanpa mulsa dengan kadar air
tanah yang diperoleh hanya sampai 23,76%.
Tabel 51. Kadar air tanah periode pengamatan 4, 6, 8, 10 dan 12 mst pada
pemanfaatan berbagai jenis mulsa organik
Kadar Air Tanah (%)
Perlakuan
4 mst 6 mst 8 mst 10 mst 12 mst
Tanpa mulsa 58,79 c 28,53 tn 27,93 tn 25,57 b 23,76 c
Mulsa Centrosema 70,50 a 27,14 30,80 27,94 a 29,01 a
Mulsa Mucuna 68,25 a 29,59 30,60 29,73 a 28,33 a
Mulsa Crotalaria 64,65 b 27,83 29,37 26,76 ab 26,38 b
Keterangan: - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- tn: tidak nyata berdasarkan analisis ragam
- mst : minggu setelah tanam aplikasi mulsa
Meningkatnya kadar air tanah dengan penggunaan mulsa
disebabkan karena dengan adanya mulsa, maka permukaan tanah tertutup
oleh daun dan batang ataupun serasahnya sehingga penguapan air tanah
dapat diperkecil. Dengan demikian kadar air tanah dapat dipertahankan lebih
lama dibanding tanpa mulsa.
Peningkatan kadar air tanah ini sangat berarti bagi pertanian lahan
kering mengingat masalah pokok dalam pengelolaan lahan kering sebagai
sumberdaya pertanian adalah keterbatasan air. Air merupakan bagian dari
protoplasma, bahan baku fotosintesis, pelarut unsur hara dan pengangkut
hasil fotosintesis dari daun (Gardner, et al., 1991), dengan tersedianya air
maka proses metabolisme dalam tubuh tanaman dapat berjalan lancar
sehingga pertumbuhan tanaman juga dapat berlangsung secara maksimal.
Penggunaan mulsa organik dari jenis Centrosema dan Mucuna
dapat meningkatkan kadar air tanah lebih tinggi 4-11% dan 7-10%
dibanding dengan mulsa dari jenis Crotalaria (Tabel 51 periode pengamatan
10 dan 12 mst). Hal ini dapat dihubungkan dengan habitus pertumbuhan
ketiga jenis tanaman, dimana tanaman Centrosema dan Mucuna mempunyai
tipe pertumbuhan yang menjalar/merambat, sementara Crotalaria
mempunyai habitus pertumbuhan berbentuk semak, sehingga dengan bobot
biomass yanga sama akan menghasilkan ketebalan mulsa yang berbeda.
Dalam hal ini penggunnaan mulsa Mucuna dan Centrosema lebih tebal
dibandingkan dengan Crotalaria, sehingga kemampuan mempertahankan
kadar air tanah pada penggunaan mulsa organik dari jenis Centrosema dan
Mucuna nyata lebih tinggi dibandingkan dengan Crotalaria.
Agroteknologi Lahan Kering 125
Tabel 52. Pengaruh mulsa organik terhadap suhu tanah pada berbagai waktu
pengamatam
Suhu tanah (oC)
Jenis Mulsa
4 mst 8 mst 12 mst
Tanpa mulsa 29,45 a 29,37 tn 28,78 tn
Mulsa C. pubescens 28,24 b 28,79 27,83
Mulsa C. muconoides 28,71 b 28,50 28,08
Mulsa C. anagyroides 28,24 b 29,08 27,63
Keterangan:- angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- tn: tidak nyata berdasarkan analisis ragam
- mst : minggu setelah tanam aplikasi mulsa
Suhu tanah dipengaruhi oleh jumlah serapan radiasi matahari oleh
permukaan tanah, sehingga dengan adanya penutupan tanah oleh mulsa akan
menghalangi radiasi matahari langsung mengenai permukaan tanah sehingga
suhu tanah yang diperoleh lebih rendah daripada tanpa penutupan tanah.
Tadjang (1990) mengemukakan bahwa variasi suhu tanah dipengaruhi oleh
faktor luar seperti radiasi surya, keawanan, presipitasi, dan faktor dalam
seperti kandungan air tanah, kandungan bahan organik tanah serta
dipengaruhi oleh vegetasi yang ada. Adanya mulsa di permukaan tanah akan
menahan udara diantara bahan mulsa dan karena udara yang diam
mempunyai konduktivitas panas yang rendah, sehingga panas dipindahkan
dari permukaan mulsa ke permukaan tanah lebih lambat.
Tabel 55. KTK tanah setelah aplikasi berbagai jenis mulsa organik selama
tiga bulan
Perlakuan C Organik (%)
tanpa mulsa 1,37 b
Mulsa Centrosema 1,63 a
Mulsa Crotalaria 1,66 a
Mulsa Mucuna 1,70 a
Keterangan : Angka diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada Uji BNT 0,05.
Perbaikan sifat tanah ini terjadi karena mulsa organik akan
mengalami proses dekomposis yang akan meningkatkan kadar bahan
organik tanah. Peningkatan bahan organik tanah mengakibatkan agregat
tanah menjadi lebih mantap, pengikatan unsur P pada tanah masam
berkurang, penyediaan unsur hara secara lengkap dan berimbang, serta
meningkatnya kegiatan biologi di dalam tanah. Bahan organik akan
meningkatkan Kapasitas Tukar Kation tanah dan bila bahan organik telah
mengalami mineralisasi akan menyediakan nitrogen, fosfor dan belerang
bagi tanaman (Tisdale and Nelson, 1975). Bahan organik merupakan kunci
kesuburan tanah karena memperbesar kemampuan tanah memegang hara
dan dengan demikian meningkatkan kemampuan tanah menyediakan hara
untuk tanaman, mengurangi pencucian hara, menambah kemampuan tanah
menahan air dan kemantapan struktur tanah serta sebagai sumber energi bagi
biota tanah (Samosir, 1997).
Tinggi Tanaman
Hasil percobaan menunjukkan bahwa pemanfaatan mulsa organik
berpengaruh nyata terhadap komponen pertumbuhan tanaman jagung yang
diperlihatkan oleh tinggi tanaman yang berpengaruh nyata. Pengamatan
tinggi tanaman jagung 8 minggu setelah tanam (mst) menunjukkan bahwa
keberadaan mulsa organik dalam pertanaman jagung dapat menghasilkan
tanaman jagung yang nyata lebih tinggi yaitu antara 178,21 cm – 182,59 cm
Agroteknologi Lahan Kering 129
Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom
yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- mst: minggu setelah tanam
- tn : tidak berbeda nyata berdasarhan analisis ragam
Tabel 57. Panjang dan diameter tongkol jagung pada aplikasi mulsa organik
Jenis perlakuan Panjang tongkol (cm) Diameter Tongkol (cm)
Tanpa mulsa 13.54 b 3.87 b
Mulsa Centrosema 17.96 a 4.10 a
Mulsa Mucuna 16.84 a 4.05 a
Mulsa Crotalaria 17.99 a 4.23 a
BAB XI
MIKORIZA DAN PERANANNYA DALAM
BUDIDAYA TANAMAN DI LAHAN KERING
and Pang, 1980). Dengan demikian hanya beberapa atau tidak semua
mikoriza bermanfaat bagi tanaman inangnya, karena terdapat perbedaan
kemampuan spesies mikoriza dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman,
maka perlu dilakukan identifikasi mikoriza dari beberapa family tumbuhan
yang akan di jadikan sebagai sumber Mikoriza.
Mikoriza merupakan salah satu jenis pupuk organik yang
mempunyai kemampuan untuk menyerap unsur hara dalam bentuk terikat
dan tidak tersedia bagi tanaman, karena adanya hifa ekternal. Mikoriza
menginfeksi akar tanaman kemudian memperoduksi jalinan hifa secara
intensif sehingga tanaman yang bermikoriza akan mampu meningkatkan
kapasitasnya dalam penyerapan unsur hara (Smith and Read, 1997).
Mikoriza merupakan suatu bentuk simbiosis mutualistik antara jamur dan
akar tanaman (Brundrett, 1996).
Berdasarkan struktur dan cara jamur menginfeksi akar, mikoriza
dapat dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu:
i. Ektomikoriza: jamur yang menginfeksi tidak masuk ke dalam sel akar
tanaman dan hanya berkembang diantara dinding sel jaringan korteks.
Akar yang terinfeksi membesar dan bercabang.
ii. Endomikoriza: jamur yang menginfeksi masuk ke dalam jaringan sel
korteks dan akar yang terinfeksi tidak membesar.
Peranan penting mikoriza dalam pertumbuhan tanaman adalah
kemampuannya untuk menyerap unsur hara baik makro maupun mikro.
Selain itu akar yang mempunyai mikoriza dapat menyerap unsur hara dalam
bentuk terikat dan yang tidak tersedia bagi tanaman. Hifa eksternal pada
mikoriza dapat menyerap unsur fosfat dari dalam tanah, dan segera diubah
menjadi senyawa polifosfat.
Penelitian mengenai mikoriza telah banyak dilakukan, bahkan
usaha untuk memproduksinya telah mulai banyak dirintis. Hal ini
disebabkan oleh peranannya yang cukup membantu dalam meningkatkan
kualitas tanaman. Seperti yang disampaikan oleh Yusnaini (1998), bahwa
mikoriza dapat membantu meningkatkan produksi kedelai pada tanah ultisol
di Lampung. Bahkan pada penelitian lebih lanjut dilaporkan bahwa
penggunaan mikoriza ini dapat meningkatkan produksi jagung yang
mengalami kekeringan sesaat pada fase vegetatif dan generatif (Yusnaini et
al., 1999). Setiadi (2003), menyebutkan bahwa mikoriza juga sangat
berperan dalam meningkatkan toleransi tanaman terhadap kondisi lahan
kritis, yang berupa kekeringan dan banyak terdapatnya logam-logam berat.
Agroteknologi Lahan Kering 137
JENIS MIKORIZA
Mikoriza berasal dari kata Miko (Myces = cendawan) dan Riza
yang berarti akar tanaman. Nuhamara (2009) mengatakan bahwa mikoriza
adalah suatu struktur yang khas yang mencerminkan adanya interaksi
fungsional yang saling menguntungkan antara suatu tumbuhan tertentu
dengan satu atau lebih galur mikobion dalam ruang dan waktu. Asosiasi
simbiotik antara jamur dengan akar tanaman yang membentuk jalinan
interaksi yang kompleks dikenal dengan mikoriza yang secara harfiah berarti
“akar jamur” (Atmaja, 2001). Struktur yang terbentuk dari asosiasi ini
tersusun secara beraturan dan memperlihatkan spektrum yang sangat luas,
baik dalam hal tanaman inang, jenis cendawan maupun penyebaranya.
Mikoriza tersebar sampai ke daerah tropis dan dari daerah bergurun pasir
sampai ke hutan hujan yang melibatkan 80% jenis tumbuhan yang ada.
Berdasarkan struktur tubuh dan cara infeksi terhadap tanaman
inang, mikoriza dapat digolongkan menjadi menjadi tiga kelompok yaitu:
a. Ektomikoriza adalah assosiasi jamur yang menginfeksi tidak masuk
ke dalam sel akar tanaman dan hanya berkembang diantara dinding
sel jaringan korteks. Akar yang terinfeksi membesar dan bercabang
b. Endomikoriza adalah assosiasi jamur yang menginfeksi masuk ke
dalam jaringan sel korteks dan akar yang terinfeksi tidak membesar.
c. Ektendomikoriza adalah asosiasi jamur mikoriza yang jalinan
hifanya terbentuk di dalam dan di luar jaringan akar
Pola asosiasi antara cendawan dengan akar tanaman inang
menyebabkan terjadinya perbedaan morfologi akar antara ektomikoriza
dengan endomikoriza. Pada ektomikoriza, jaringan hifa cendawan tidak
sampai masuk kedalam sel tapi berkembang di antara sel kortek akar
membentuk "hartig net dan mantel dipermukaan akar. Sedangkan
endomikoriza, jaringan hifa cendawan masuk kedalam sel kortek akar dan
membentuk struktur yang khas berbentuk oval yang disebut vesicle dan
sistem percabangan hifa yang disebut arbuscule, sehingga endomikoriza
disebut juga fungi micorrhizae arbuscular (FMA).
Mikoriza merupakan suatu bentuk simbiosis mutualistik antara
jenis jamur tertentu dengan perakaran tanaman (Brundrett, 1996). Simbiosis
ini terdapat hampir pada semua jenis tanam. Kabirun (1994)
mengelompokkan jamur mikoriza ini dalam dua jenis, yaitu endomikoriza
dan ektonikoriza. Namun pada umumnya mikoriza lebih banyak
138 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.
1. Endomikoriza
Pada jenis endomikoriza, jaringan hifa cendawan masuk kedalam
sel kortek akar dan membentuk struktur yang khas berbentuk oval yang
disebut vesicle dan sistem percabangan hifa yang disebut arbuscule,
sehingga endomikoriza disebut juga Fungi Micorrhiza Arbuskula (FMA).
Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) adalah struktur system
perakaran yang terbentuk sebagai maniferstasi adanya simbiosis mutalistik
anatara cendawan (myces) dan perakaran (rhiza). Endomikoriza banyak
mendapat perhatian karena penyebarannya lebih luas dan dapat berasosiasi
dengan hampir 90% spesies tanaman tingkat tinggi, salah satunya adalah
fungi mikoriza arbuskula (Cruz et al., 2000).
Jamur endomikoriza masuk ke dalam sel korteks dari akar serabut
(feeder roots). Jamur in tidak membentuk selubung yang padat, namun
membentuk miselium yang tersusun longgar pada permukaan akar. Jamur
juga membentuk vesikula dan arbuskular yang besar di dalam sel korteks,
sehingga sering disebut dengan FMA (fungi mikoriza arbuscuar) atau
Vesicular-Arbuscular Miccorhizal, sebagai contoh jenis Globus dan
Acaulospora.
Menurut Bonfante dan Bianciotto (1995), fase kontak dan proses
infeksi FMA dengan akar tanaman dapat dijelaskan sebagai berikut:
Agroteknologi Lahan Kering 139
a. Pada keadaan tidak ada tanaman inang, hifa yang terbentuk dari spora
sebelum simbiosia (presimbiotik) berhenti tumbuh dan akhirnya mati.
b. Adanya akar tanaman inang, jamur melalui hifanya akan kontak dengan
tanaman inang dan mulai proses simbiotik. Fase kontak dimulai dengan
kejadian seperti pertentangan pertumbuhan jamur dengan akar tanaman,
pola percabangan akar baru, dan pada akhirnya terbentuk apresorium.
Apresorium merupakan struktur penting dalam siklus hidup FMA. Hal ini
diinterpretasikan sebagai kejadian kunci bagi pengenalan interaksi yang
berhasil dengan bakal calon tanaman inang.
Fase kontak akan diikuti dengan fase simbiotik. Sejak fase itu,
jamur menyempurnakan proses morfogenesis kompleks dengan
memproduksi hifa interseluler dan intraseluler, vesikula, dan arbuskula.
Aspek morfologi fase itu secara luas dapat dilacak dengan amenggunakan
kombinasi mikroskop sinar dan elektron.
Selanjutnya menurut Linderman (1988), hifa jamur mengisi kortek
akar, bercabang-cabang diantara sel-sel dan titik penetrasinya. Bentuk yang
khusus pada jamur adalah struktur seperti “haustorium (arbuskula atau
kumparan hifa) di dalam sel korteks, dipisahkan dari sitoplasma inang oleh
membran sel inang dan dinding sel jamur.
FMA bersimbiosis dengan akar tanaman dan merupakan cendawan
simbiotik obligat yang termasuk ke dalam kelas Zygomycetes dan ordo
Glomalaes. Glomales mencakup dua sub ordo yaitu Glomineae dan
Gigasporineae. Sub ordo Glomineae terdiri dari dua famili yaitu Glomaceae
dengan genus Glomus dan Sclerosystis, dan Acaulosporaceae dengan genus
Acaulospora dan Entrophospora. Sub ordo Gigasporineae terdiri atas satu
famili, yaitu Gigasporaceae dengan genus Gigaspora dan Scutellospora
(Smith dan Read, 1997). Cendawan itu bersimbiosis dengan tanaman yang
termasuk ke dalam divisio Angiospermae, Gymnoaspermae, Bryophyta dan
Pteridophyta.
Struktur utama fungi mikoriza arbuscular (FMA) adalah
Arbuskula, vesikula, hifa eksternal dan spora.
Arbuskula
Arbuskula adalah struktur hifa yang bercabang-cabang seperti
pohon-pohon kecil yang mirip haustorium (membentuk pola dikotom),
berfungsi sebagai tempat pertukaran nutrisi antara tanaman inang dengan
140 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.
jamur. Struktur ini mulai terbentuk 2-3 hari setelah infeksi, diawali dengan
penetrasi cabang hifa lateral yang dibentuk oleh hifa ekstraseluler dan
intraseluler ke dalam dinding sel inang.
Arbuskula dengan cepat mengalami desintegrasi atau terjadi
lisis/pecah dan membebaskan P ke tanaman inang. Luas permukaan
arbuskula aktif secara metabolik per meter akar berkurang dengan waktu,
sedangkan hifa mempunyai area permukaan lebih besar sesudah 63 hari
setelah tanam (Smith dan Smith, 1995). Arbuskula menyediakan area
permukaan yang lebih luas untuk pertukaran metabolik. Arbuskula
merupakan struktur FMA yang bersifat labil di dalam akar tanaman. Sifat
kelabilan tersebut sangat tergantung pada metabolisme tanaman, bahan
makanan dan intensitas radiasi matahari (Mosse, 1981; Brundrett, 2003).
Pembentukan struktur tersebut dipengaruhi jenis tanaman, umur tanaman,
dan morfologi akar tanaman.
Vesikel
Vesikel merupakan suatu struktur berbentuk lonjong atau bulat,
mengandung cairan lemak, yang berfungsi sebagai organ penyimpanan
makanan atau berkembang menjadi klamidospora, yang berfungsi sebagai
organ reproduksi dan struktur tahan. Vesikel selain dibentuk secara
interseluler ada juga yang secar intraseluler. Pembentukan vesikel diawali
dengan adanya perkembangan sitoplasma hifa yang menjadi lebih padat,
multinukleat dan mengandung partikel lipid dan glikogen. Sitoplasma
menjadi semakin padat melalui proses kondensasi, dan organel semakin sulit
untuk dibedakan sejalan dengan akumulasi lipid selama maturasi (proses
pendewasaan).
Vesikel biasanya dibentuk lebih banyak di luar jaringan korteks
pada daerah infeksi yang sudah tua, dan terbentuk setelah pembentukan
arbuskula. Jika suplai metabolik dari tanaman inang berkurang, cadangan
makanan itu akan digunakan oleh cendawan sehingga vesikel mengalami
degenerasi. Pada ordo Glomales tidak semua genus memiliki vesikula.
Gigaspora dan Scutellospora adalah dua genus yang tidak membentuk
vesikula di dalam akar. Oleh karena itu, ada dua pendapat yaitu ada yang
menyebut cendawan mikoriza vesikula-arbuskula dan ada pla yang
menggunakan istilah FMA. Nama vesikula-arbuskula tampaknya berdasrkan
karakteristik struktur arbuskula yang terdapat di dalam sel-sel korteks dan
vesikula yang terdapat di dalam atau di antara sel-sel korteks akar tanaman
(Brundrett, 2003).
Agroteknologi Lahan Kering 141
Hifa Eksternal
Hifa eksternal merupakan struktur lain dari FMA yang berkembang
di luar akar. Hifa ini berfungsi menyerap hara dan air di dalam tanah.
Adanya hifa eksternal yang berasosiasi dengan tanaman akan berperan
penting dalam perluasan bidang adsorpsi akar sehingga memungkinkan akar
menyerap hara dan air dalam jangkauan yang lebih jauh (Mosse, 1981).
Distribusi hifa eksternal ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan abiotik dan
biotik seperti sifat kimia tanah, fisika tanah, kandungan bahan organik,
mikroflora dan mikrofauna tanah.
Spora
Spora merupakan propagul yang bertahan hidup dibandingkan
dengan hifa yang ada di dalam akar tanah. Spora terdapat pada ujung hifa
eksternal dan dapat hidup selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Perkecambahan spora bergantung pada lingkungan seperti pH, temperatur,
dan kelembaban tanah serta kadar bahan organik (Jolocoeur dkk, 1998).
FMA mempunyai peran biologis yang cukup penting khususnya bagi
tanaman yaitu:
a) meningkatkan penyerapan hara
b) sebagai pelindung hayati (bioprotektor)
c) meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan, dan
d) berperan sinergis dengan mikroorganisme lain.
2. Ektomikoriza
Pada ektomikoriza, jaringan hifa cendawan tidak sampai masuk
kedalam sel tapi berkembang diantara sel kortek akar membentuk "hartig net
dan mantel dipermukaan akar.
Agroteknologi Lahan Kering 145
rhizosfer diduga karena adanya simbion jamur ini. Setiap habitat mikro
mengandung flora mikro yang khas. Pengaruh mikoriza tertentu pada flora
dalam rhizosfer dapat menentukan apakah infeksi oleh patogen dapat
berlangsung dan kemungkinan beberapa macam ektomikoriza dapat
membentuk penghalang rhizosfer lebih baik dari pada yang lain. Perbedaan
antara populasi jasad renik dalam rhizosfer ini tentu menyebabkan adanya
perbedaan kompetisi jasad renik di dekat akar.
Tinggi Tanaman
Hasil analisis data menunjukkan pemberian mikoriza menghasilkan
tanaman yang lebih tinggi yaitu 52,81 cm dibandingkan perlakuan tanpa
mikoriza yang hanya menghasilkan tanaman dengan tinggi 48,07 cm (Tabel
60). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sunarti (2004)
yang menunjukkan bahwa inokulasi jamur mikoriza pada bibit kelapa sawit
menghasilkan berat basah bibit yang lebih berat dibandingkan tanpa aplikasi
mikoriza. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Subaedah (2007a
dan 2007b) menyimpulkan bahwa aplikasi mikoriza 7,5 g/tanaman dapat
meningkatkan ketersediaan fosfat bagi tanaman dan menghasilkan bibit
yang pertumbuhannya nyata lebih baik dibandingkan tanpa aplikasi
mikoriza.
Tabel 60. Pengaruh aplikasi mikoriza terhadap tinggi tanaman jarak pagar
pada umur satu bulan setelah tanam
Perlakuan Tinggi Tanaman (cm)
Tanpa Mikoriza 48,07 b
Dengan Mikoriza 52,81 a
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama berbeda nyata
pada uji BNT 0,05
Jumlah Tunas
Jumlah tunas yang terbentuk setelah 2 bulan penanaman dari hasil
analisis data menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara pemberian
mikoriza dan pemangkasan. Tabel 61 memperlihatkan bahwa perlakuan
pemangkasan yang disertai dengan pemberian mikoriza menghasilkan
jumlah tunas yang nyata lebih banyak yaitu sebesar 2,56 dibandingkan
dengan pemangkasan tanpa aplikasi mikoriza dengan jumlah tunas yang
dicapai hanya 1,89.
Agroteknologi Lahan Kering 149
Tabel 61. Pengaruh aplikasi mikoriza terhadap jumlah tunas tanaman jarak
pagar yang terbentuk 2 bulan setelah pemangkasan
Perlakuan Pemangkasan
Aplikasi Mikoriza Tanpa Dengan
Pemangkasan Pemangkasan
Tanpa Mikoriza 0,00 a 1,89 b
Dengan Mikoriza 0,00 a 2,56 a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom
yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT taraf
0,05
Tabel 63. Pengaruh aplikasi mikoriza terhadap jumlah buah per tandan
Perlakuan Jumlah Buah/tandan
Tanpa Mikoriza 4,11 b
Dengan Mikoriza 5,33 a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda nyata
pada uji BNT 0,05
Gambar 26. Serapan Hara P oleh tanaman Jarak Pagar dengan aplikasi
mikoriza dan tanpa mikoriza
Keterangan : TM : tanpa mikoriza, M : dengan mikoriza
Agroteknologi Lahan Kering 151
BAB XII
PENGELOLAAN AIR DALAM BUDIDAYA
TANAMAN DI LAHAN KERING
sesuai dengan keadaan iklim dan (b) melalui teknik konservasi air seperti
penggunaan mulsa, gulud dan teknik tanpa olah tanah.
Aliran permukaan merupakan komponen penting dalam
hubungannya dengan konservasi air (Troeh et al., 1991; Arsyad, 2000). Oleh
sebab itu tindakan-tindakan yang berhubungan dengan pengendalian dan
pengelolaan aliran permukaan dapat diformulasikan dalam strategi
konservasi air. Aspek penting yang perlu diperhatikan adalah sebanyak
mungkin air hujan meresap ke dalam tanah untuk ditahan sebanyak-
banyaknya di daerah-daerah cekungan atau lembah, sehingga dapat
digunakan sebagai sumber air untuk pengairan di musim kemarau maupun
pada periode pendek saat dibutuhkan oleh tanaman pada musim hujan.
Konservasi air juga dapat dilakukan dengan mengurangi penguapan air
melalui evaporasi dengan meningkatkan penutupan permukaan tanah dengan
mulsa (Suwardjo, 1981; Abdurachman dan Sutono, 2002) dan teknologi ini
sudah sangat populer di kalangan petani.
Pemanenan air (water harvesting) adalah tindakan menampung air
hujan dan aliran permukaan untuk disalurkan ke tempat penampungan
sementara dan atau tetap (permanen) yang sewaktu-waktu dapat digunakan
untuk mengairi tanaman yang diusahakan pada saat diperlukan. Teknologi
panen air selain berfungsi menyediakan sumber air irigasi pada musim
kemarau dapat pula berfungsi mengurangi banjir pada musim hujan.
Panen air hujan dan aliran permukaan ditujukan untuk :
(1) menurunkan volume aliran permukaan dan meningkatkan cadangan
air tanah;
(2) meningkatkan ketersediaan air tanaman terutama pada musim
kemarau;
(3) mengurangi kecepatan aliran permukaan sehingga daya kikis dan daya
angkutnya menurun (Agus et al., 2002).
Teknologi pemanenan air sangat bermanfaat untuk lahan yang
tidak memiliki jaringan irigasi atau sumber air bawah permukaan tanah
(groundwater). Selain dapat dimanfaatkan untuk pengairan, air yang
tertampung dapat juga digunakan untuk pemeliharaan ikan, keperluan rumah
tangga, dan minum ternak terutama pada musim kemarau.
Teknologi pemanenan air sangat diperlukan pada kawasan dengan
karakteristik sebagai berikut: (a) kawasan beriklim kering dan semikering
(>4 bulan kering berturut-turut sepanjang tahun) atau 3-4 bulan tanpa hujan
158 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.
sama sekali; (b) kawasan dimana produksi tanaman pangan terbatas karena
rendahnya ketersediaan air di dalam tanah; (c) semua lahan berlereng
(bergelombang sampai berbukit) dengan kondisi fisik tanah yang buruk,
sehingga tidak dapat menyimpan/menahan air dalam waktu yang lama; dan
(d) daerah beriklim basah yang mempunyai periode kritis (stres air). Secara
umum, tindakan konservasi tanah yang dapat menurunkan limpasan air
permukaan seperti penterasan (Haryati et al., 1992; Haryati et al., 1995;
Rachman et al., 1989) atau sistem budidaya lorong (alley cropping) pada
lahan miring dapat memperbesar infiltrasi, sehingga meningkatkan daya
simpan air tanah.
Agus et al., (1998) mengemukkan bahwa penerapan teknologi
pemanenan air dapat memberikan beberapa keuntungan, antara lain:
a. meningkatkan ketersediaan air bagi manusia, tanaman dan ternak;
b. meningkatkan intensitas tanam, produksi, pendapatan petani, dan
produktivitas tenaga kerja petani;
c. mengurangi dan mencegah bahaya banjir dan sedimentasi;
d. menampung hasil sedimentasi yang dapat dikembalikan ke lahan usaha
tani
lebih baik (Stevenson, 1982). Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh
Subaedah, et al., (2005) bahwa peningkatan bahan organik tanah juga akan
meningkatkan kemampuan tanah menahan air, yang diperlihatkan oleh
meningkatnya kadar air tanah. Bahan organik di dalam tanah berfungsi
sebagai perekat dalam pembentukan dan pemantapan agregat tanah,
sehingga agregat tanah tidak mudah hancur karena pukulan butir air hujan.
Agregat tanah yang hancur menjadi butiran tunggal dapat menyumbat pori-
pori tanah, sehingga kapasitas infiltrasi tanah menurun dan tanah peka
terhadap erosi. Penyumbatan
pori tanah yang berakibat pada pengurangan total pori juga akan berdampak
pada kapasitas tanah menahan air. Bahan organik dapat berasal dari pupuk
kandang, sisa tanaman, hasil pangkasan tanaman pagar dari suatu sistem
pertanaman lorong, hasil pangkasan tanaman penutup tanah atau
didatangkan dari luar lahan pertanian.
Kemampuan tanah menahan air dapat bervariasi antara satu tempat
dengan tempat lainnya, yang salah satunya disebabkan oleh kandungan
bahan organik yang berbeda. Demikian juga pemberian bahan organik ke
dalam tanah untuk peningkatan kemampuan menahan air sangat ditentukan
oleh takaran dan macam bahan organik yang diaplikasikan.
Bahan organik di dalam tanah berfungsi sebagai perekat
(cementing agent) dalam pembentukan dan pemantapan agregat tanah,
sehingga agregat tanah tidak mudah hancur karena pukulan butir air hujan.
Agregat tanah yang hancur menjadi butiran tunggal dapat menyumbat pori-
pori tanah, sehingga kapasitas infiltrasi tanah menurun dan tanah peka
terhadap erosi. Penyumbatan pori tanah yang berakibat pada pengurangan
total pori juga akan berdampak pada kapasitas tanah menahan air. Bahan
organik dapat berasal dari pupuk kandang, sisa tanaman, hasil pangkasan
tanaman pagar dari suatu sistem pertanaman lorong, hasil pangkasan
tanaman penutup tanah atau didatangkan dari luar lahan pertanian.
Penggunaan Mulsa
Prinsip penggunaan mulsa adalah menutup permukaan tanah
dengan material tertentu seperti bahan organik (jerami padi, brangkasan
jagung, pangkasan tanaman dan lain-lain) atau bahan sintesis seperti plastik
yang bertujunan untuk mengurangi kehilangan air melalui penguapan
(evaporasi), sehingga kadar air tanah dapat dipertahankan lebih lama.
160 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.
Teknologi Irigasi
Irigasi merupakan usaha pemberian air pada tanaman untuk
memenuhi kebutuhan air bagi pertumbuhannya. Teknologi irigasi yang
dapat diterapkan oleh petani adalah teknologi sederhana yang mudah untuk
diaplikasikan serta efisien dalam penggunaan air. Kartiwa dan Daria (2012)
mengemukkan teknologi irigasi yang dapat diterapkan di lahan kering
adalah sebagai berikut:
BAB XIII
PENGOLAHAN TANAH
DAN KEBERLANJUTAN PERTANIAN
DI LAHAN KERING
pemunculan kecambah dan hasil jagung yang lebih tinggi walaupun tidak
berbeda nyata dengan olah tanah konvensional.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Frye et al., (1981) dalam Frye
(1984) yang mencoba mengkombinasikan sistem olah tanah dan pemupukan
N pada empat lokasi yang berbeda di Kentucky mendapatkan hasil bahwa
sistim tanam tanpa olah tanah dapat meningkatkan efisiensi penggunaan
pupuk N. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi jagung lebih besar
pada sistim olah tanah konvensional dibanding perlakuan tanpa olah tanah
jika tidak disertai dengan pemupukan N, namun dengan meningkatnya dosis
pupuk N, maka hasil jagung lebih tinggi dengan perlakuan tanpa olah tanah
dibanding dengan olah konvensional.
Penelitian pengaruh pengolahan tanah dan pemupukan nitrogen
juga dilaporkan oleh Utomo, Suprapto, dan Sunyoto (1989), yang
menunjukkan bahwa pengambilan N oleh tanaman jagung (umur 8 minggu)
yang ditanam tanpa olah tanah lebih tinggi dibanding olah tanah
konvensional. Dari penelitian ini juga dilaporkan bahwa hasil jagung yang
diperoleh pada tanpa olah tanah dan tanpa pemupukan N lebih rendah dari
pengolahan konvensional, akan tetapi pada perlakuan tanpa olah tanah
disertai dengan pemupukan 200 kg N/ha hasil jagung mencapai 5740 kg
sedangkan olah tanah konvensional dengan dosis yang sama hanya
menghasilkan 4479 kg.ha-1. Hal ini berarti bahwa ada pengaruh interaksi
antara efisiensi pemupukan nitrogen dengan sistim olah tanah.
Pengaruh pengolahan tanah dalam waktu yang panjang pada
tanaman gandum juga telah diteliti oleh Camara, Payne dan Rasmussem
(2003) dan mengemukakan bahwa pengurangan pengolahan tanah (olah
tanah konservasi) disatu pihak dapat meningkatkan hasil tanaman gandum
sebesar 20 % yang disebabkan oleh konservasi air tanah, mengurangi
evaporasi dan menurunkan suhu tanah serta meningkatkan infiltrasi tetapi
dipihak lain olah tanah konservasi menurunkan hasil yang disebabkan oleh
terhambatnya perkecambahan dan pertumbuhan kecambah karena kondisi
media perkecambahan yang tidak mendukung.
Penelitian yang dilakukan oleh Subaedah (2004) tentang pengaruh
pengolahan tanah, penggunaan bahan organik serta pemupukan nitrogen
terhadap perbaikan sifat tanah di lahan kering dengan hasil yang diperoleh
diuraikan berikut ini.
Agroteknologi Lahan Kering 165
Suhu Tanah oC
Perlakuan Periode Pengamatan
4 mst 6 mst 8 mst 10 mst
OT Minimum 27,44 a 28,04 tn 27,78 a 27,80 a
OT Konvensional 28,19 b 28,35 28,48 b 28,78 b
Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom
yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- mst: minggu setelah tanam
- tn : tidak nyata berdasarkan analisis ragam
Tabel 66. Pengaruh interaksi pengolahan tanah dan pemberian nitrogen
terhadap suhu tanah
Suhu tanah (oC)
Perlakuan
MT 2001/2002 MT 2002/2003
OT.Min x 0 kg N 28,89 tn 28,15 b
OT.Min x 45 kg N 28,58 28,62 ab
OT.Min x 90 kg N 28,74 28,61 ab
OT.Min x 135 kg N 28,80 28,30 b
OT.Konv x 0 kg N 29,00 29,30 a
OT.Konv x 45 kg N 28,81 28,29 b
OT.Konv x 90 kg N 28,78 28,66 ab
OT.Konv x 135 kg N 29,34 29,67 a
Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom
yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- tn : tidak berbeda nyata berdasarkan analisis ragam
Tabel 67. Pengaruh pengolahan tanah terhadap bobot isi tanah pada akhir
percobaan
Bobot isi tanah (g.cc-1)
Perlakuan
MT 2001/2002 MT 2002/2003
OT Minimum 1,38 a 1,36 a
OT Konvensional 1,49 b 1,45 b
Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada
kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji
BNT 0,05.
OT
Minimum 0,33 tn 0,34 tn 0,24 a 0,23 a 0,21 a 0,21 a
OT
Konvensional 0,32 0,31 0,22 b 0,21 b 0,18 b 0,19 b
- angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
Keterangan :
sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
-bst : bulan setelah tanam
- MT: musim tanam
- tn : tidak berbeda nyata berdasarkan analisis ragam
Pengaruh Pengolahan Tanah, Pemberian Bahan Organik terhadap pH
Tanah
168 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.
Tabel 70. Pengaruh pengolahan tanah, interaksi antara pada interaksi antara
pemberian bahan organik dengan pengolahan tanah terhadap
bakteri total tanah
Total bakteri (105.g-1)
Jenis perlakuan
MT 2001/2002 MT 2002/2003
Pengolahan tanah
OT Minimum 3,31a 3,53 a
OT Konvensional 2,82 b 3,00 b
Bahan organik x Olah tanah
Tanpa BO x OT.Min 2,32 tn 2,36 b
Tanpa BO x OT.Konv 2,12 2,14 b
BO Cp x OT. Min 3,75 3,74 a
BO Cp x OT. Konv 2,20 2,21 b
BO Ca x OT. Min 3,95 3,96 a
BO Ca x OT. Konv 3,68 3,76 a
BO Mp x OT. Min 3,22 4,05 a
BO Mp x OT.Konv 3,27 3,92 a
Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom/jenis
perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- BO : bahan organik, BO Cp : bahan organik Centrosema,
BOMp : bahan organik Mucuna, BO Ca: bahan organik
Crotalaria
Interaksi antara pemberian bahan organik Mucuna pruriens dan
olah tanah minimum pada Tabel 70 menunjukkan peningkatkan populasi
bakteri total setinggi 72% (4,05.105.g-1), kemudian diikuti oleh interaksi
antara bahan organik Crotalaria anagyroides dan olah tanah minimum
meningkatkan populasi bakteri total sebanyak 68% (3,96.105.g-1),
dibandingkan dengan interaksi antara tanpa bahan organik dan olah tanah
minimum (2,36.105.g-1) akan tetapi pengaruh ini hanya nampak pada MT
tahun kedua.
Perlakuan olah tanah minimum dibandingkan dengan olah tanah
konvensional (Tabel 64) mampu meningkatkan kadar air tanah dari 10%
(dari 32,36% menjadi 35,50% periode 4 mst) sampai 27% (dari 19,80%
menjadi 25,19% untuk periode 10 mst). Olah tanah minimum merupakan
salah satu metode mekanik dalam konservasi tanah dan air. Olah tanah
minimum dalam konservasi tanah dan air dimaksudkan untuk
memperlambat aliran permukaan, menampung dan menyalurkan aliran
permukaan dengan kekuatan yang telah menurun, memperbaiki atau
memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah dan memperbaiki aerasi tanah
Agroteknologi Lahan Kering 171
Tabel 71. Bobot kering tanaman jagung per ha saat panen terhadap
pengolahan tanah dan pemberian nitrogen dan pemberian bahan
organik
Bobot kering tanaman jagung (t.ha-1)
Jenis perlakuan
MT 2001/2002 MT 2002/2003
tn
Tanpa bahan organik 5,73 6,04 b
BO C. pubescens 7,01 7,37 a
BO C.anagyroides 7,14 7,37 a
BO M. pruriens 7,17 7,45 a
OT x Pemberian N(kg N/ha)
OT.Min x 0 kg N 6,30 c 6,59 c
OT.Min x 45 kg N 6,60 c 6,76 c
OT.Min x 90 kg N 7,39 a 7,73 a
OT.Min x 135 kg N 7,12 ab 7,34 ab
OT.Konv x 0 kg N 6,56 c 6,85 c
OT.Konv x 45 kg N 6,77 bc 7,13 b
OT.Konv x 90 kg N 6,74 bc 7,14 b
OT.Konv x 135 kg N 6,82 bc 6,92 c
Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- tn : tidak nyata berdasarkhan analisis ragam
- OT.Min: olah tanah minimum; OT Konv: olah tanah
konvensional
103,20 g per tongkol dan berbeda nyata dengan olah tanah konvensional
yang menghasilkan bobot pipilan jagung seberat 92,47 g/tongkol dan 93,42
g/tongkol (Tabel 73).
Begitu pula dengan pemberian nitrogen pada tabel yang sama
menghasilkan bobot pipilan jagung per tongkol yang lebih berat yaitu antara
96,55–100,07 g dan berbeda nyata dengan tanpa pemberian nitrogen yang
hanya menghasilkan bobot pipilan jagung per tongol seberat 88,28 g untuk
MT 2001/2002. Untuk MT 2002/2003 bobot pipilan jagung per tongkol
terberat (102,78 g) diperoleh pada pemberian nitrogen sebanyak 90 kg/ha
diikuti oleh pemberian nitrogen sebanyak 135 kg.ha -1 dengan bobot pipilan
jagung seberat 100,67 g dan berbeda nyata dengan tanpa pemberian nitrogen
dan pemberian nitrogen sebanyak 45 kg.ha-1 yang menghasilkan pipilan
jagung sebanyak 91,21 dan 96,58 g/tongkol.
Tabel 73. Bobot pipilan jagung per tongkol pada berbagai jenis bahan
organik, pengolahan tanah dan pemberian nitrogen
Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom/jenis
perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT
0,05.
untuk kedua MT yang digunakan yang diperlihatkan oleh bobot 100 butir.
Bobot 100 butir untuk kedua MT yang dicobakan terberat diperoleh pada
penggunaan bahan organik Mucuna pruriens yaitu 28,77 g dan 28,85 g dan
keduanya berbeda nyata dengan penggunaan lahan tanpa bahan organik
yang masing-masing menghasilkan bobot 100 butir 23,50 g dan 25,24 g.
Perlakuan pemberian bahan organik juga menunjukkan bahwa untuk MT
2001/2002 penggunaan bahan organik Crotalaria anagyroides
menghasilkan bobot 100 butir (28,40 g) yang tidak berbeda nyata dengan
bobot 100 butir yang dihasilkan dengan bahan organik Mucuna pruriens dan
untuk MT 2002/2003 penggunaan bahan organik Centrosema pubescens dan
Crotalaria anagyroides menghasilkan bobot 100 butir (28,50 g dan 27,35 g)
yang tidak berbeda nyata dengan bahan organik Mucuna pruriens.
Olah tanah minimum pada Tabel 74 juga nampak mempengaruhi
bobot 100 butir dengan bobot 100 butir yang diperoleh seberat 27,86 g dan
berbeda nyata dengan olah tanah konvensional yang hanya menghasilkan
bobot 100 butir seberat 26,16 g, tetapi ini hanya terjadi pada MT 2001/2002.
Sedangkan pengaruh pemberian nitrogen terhadap bobot 100 butir pada
tabel yang sama nampak nyata untuk kedua MT yang dicobakan, dengan
bobot 100 butir jagung terberat diperoleh pada pemberian nitrogen sebanyak
135 kg.ha-1 dengan bobot 100 butir masing-masing 28,48 g dan 28,57 g dan
tidak berbeda nyata dengan pemberian nitrogen sebanyak 90 kg.ha -1 yang
masing-masing menghasilkan bobot 100 butir seberat 27,51 g dan 28,20 g
tetapi berbeda nyata dengan tanpa pemberian nitrogen yang menghasilkan
bobot 100 butir seberat 25,15 dan 25,87 g.
Agroteknologi Lahan Kering 179
Tabel 74. Bobot 100 butir jagung pada berbagai jenis bahan organik dan
pengolahan tanah serta pemberian nitrogen.
Tabel 75. Interaksi antara pengolahan tanah dan pemberian nitrogen serta
pemberian bahan terhadap bobot pipilan kering jagung (ka 15%)
per ha MT 2001/2002
Olah tanah x Bobot pipilan jagung per ha (ton)
Pemberian N (kg Pemberian bahan organik
N/ha) Tanpa BO BO Cp BO Ca BO Mp
OT. Min x 0 kg N 3,44 e 4,95 c 4,46 cd 5,21 bc
OT. Min x 45 kg N 3,84 e 5,29 bc 6,25 ab 5,95 ab
OT. Min x 90 kg N 4,88 c 5,94 ab 6,52 a 6,58 a
OT. Min x 135 kg N 5,47 bc 5,80 ab 6,21 ab 5,83 ab
OT. Konv x 0 kg N 3,15 e 4,69 c 5,09 c 5,15 c
OT. Konv x 45 kg N 3,75 de 5,52 b 5,26 bc 5,28 bc
OT. Konv x 90 kg N 4,80 c 5,94 ab 6,16 ab 5,96 ab
OT. Konv x 135 kg N 5,26 bc 4,76 c 6,19 ab 6,20 ab
Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada uji BNT 0,05.
- BO : bahan organik, BO Cp : bahan organik Centrosema,
BOMp : bahan organik Mucuna, BO Ca: bahan Crotalaria
Tabel 76. Bobot pipilan kering jagung (ka 15%) per ha terhadap pengolahan
tanah dan pemberian nitrogen serta bahan organik MT 2002/2003
Bobot Pipilan Jagung
Jenis perlakuan
per ha (ton)
Pengolahan tanah
OT Minimum 6,29 a
OT Konvensional 5,95 b
Bahan Organik x Nitrogen
Tanpa BO x 0 kg N 3,82 e
Tanpa BO x 45 kg N 4,16 e
Tanpa BO x 90 kg N 5,25 d
Tanpa BO x 135 kg N 5,77 cd
BOs Cp x 0 kg N 5,44 cd
BO Cp x 45 kg N 6,27 bc
BO Cp x 90 kg N 7,14 a
BO Cp x 135 kg N 6,59 bc
BO Ca x 0 kg N 5,74 cd
BO Ca x 45 kg N 6,87 ab
BO Ca x 90 kg N 7,32 a
BO Ca x 135 kg N 6,71 b
BO Mp x 0 kg N 6,04 c
BO Mp x 45 kg N 7,18 a
BO Mp x 90 kg N 7,44 a
BO Mp x 135 kg N 6,18 b
Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom/jenis
perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- BO : bahan organik, BO Cp : bahan organik Centrosema,
BOMp : bahan organik Mucuna, BO Ca: bahan organik
Crotalaria
antara penggunaan lahan tanpa bahan organik dan tanpa pemberian nitrogen
dengan hasil pipilan kering antara 3,82–5,77 t.ha-1.
Pengaruh pengolahan tanah terhadap pertumbuhan tanaman jagung
menunjukkan bahwa olah tanah minimum baik sebagai faktor tunggal
maupun interaksi olah tanah dengan pemberian nitrogen meningkatkan
pertumbuhan tanaman yang ditunjukkan oleh bobot kering tanaman jagung
yang lebih berat (7,73 t.ha-1) pada perlakuan interaksi antara olah tanah
minimum dan pemberian nitrogen sebanyak 90 kg/ha (Tabel 71).
Pengaruh baik dari olah tanah minimun dapat dikaitkan dengan
peubah kadar air tanah yang menunjukkan bahwa pengolahan tanah
minimum dapat meningkatkan kadar air tanah hingga 27% lebih tinggi
dibanding olah tanah konvensional (Tabel 64 periode pengamatan 10 mst).
Tingginya kadar air tanah berdampak pada peningkatan kelarutan unsur hara
dalam tanah, sehingga serapan unsur hara dapat menjadi lebih banyak.
Unsur hara bergerak di dalam tanah melalui tiga mekanisme yaitu aliran
massa, diffusi dan kontak akar yang kesemuanya ini berjalan baik pada
kondisi air yang tersedia cukup (Syekhfani, 1997). Penyerapan fosfor
meningkat sangat nyata dengan bertambahnya kadar air tanah. Demikian
pula penyerapan K dan pertumbuhan akar tanaman jagung meningkat
dengan meningkatnya kadar air tanah (Samosir, 2000). Dengan tersedianya
air dan hara dalam jumlah yang cukup dan seimbang maka pertumbuhan
tanaman juga dapat berjalan secara maksimal.
Pada peubah suhu tanah (Tabel 65) periode pengamatan 4, 8 dan
10 mst MT 2002/2003 juga terlihat bahwa perlakuan olah tanah minimum
secara nyata menghasilkan suhu tanah yang lebih rendah (27,44; 27,78 dan
27,80oC) dibanding olah tanah konvensoinal. Suhu tanah mempengaruhi
pertumbuhan tanaman baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Secara langsung mempengaruhi perkecambahan, pertumbuhan bibit,
perkembangan akar dan sebagainya. Secara tidak langsung mempengaruhi
penyerapan unsur hara oleh akar tanaman, perkembangan mikroorganisme
dan serangan hama dan penyakit yang kesemuanya ini akan mempengaruhi
pertumbuhan tanaman.
Pengaruh baik dari olah tanah minimum juga dapat dikaitkan
dengan meningkatnya kandungan unsur hara sebagai dampak dari olah tanah
minimum. Hal ini ditunjukkan oleh N total tanah 9% lebih tinggi (Tabel 68).
Pengaruh baik dari olah tanah minimum juga dapat dikaitkan dengan
meningkatnya populasi mikroorganisme (bakteri total) hingga 68% dengan
olah tanah minimum disertai pemberian bahan organik Mucuna pruriens.
Agroteknologi Lahan Kering 183
Peningkatan populasi bakteri total tanah ini akan berdampak pada proses
dekomposisi bahan organik yang akan berjalan lebih baik yang pada
akhirnya akan melepaskan hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman.
Samosir (1997) mengemukakan bahwa olah tanah minimum, bahan organik
dan unsur-unsur hara yang kurang mobil seperti fosfor dan kalium menjadi
lebih banyak dijumpai pada lapisan tanah atas. Karena kandungan hara dan
air lebih tersedia pada tanah lapisan atas maka tanaman muda akan tumbuh
lebih cepat dan akan mengembangkan akarnya lebih cepat pula. Akar yang
lebih cepat berkembang dapat lebih mampu menyerap hara tanaman yang
tersedia di tanah sebelum hara itu tercuci atau terfiksasi, sehingga akan
mendorong pertumbuhan tanaman dewasa yang lebih baik. Selain itu
pengolahan tanah minimum juga menurunkan bobot isi tanah hingga 7%
dibanding olah tanah konvensional (Tabel 67). Kondisi demikian ini akan
menyebabkan perakaran tanaman berkembang lebih baik.
Perakaran yang baik akan menunjang pertumbuhan dan hasil panen
yang maksimal, karena sebagaimana diketahui akar berfungsi sebagai alat
pengabsorbsi air dan mineral yang dibutuhkan untuk proses metabolisme
tanaman (Gardner, et al., 1991). Di samping adanya residu tanaman yang
tetap ditinggalkan di atas permukaan tanah pada olah tanah minimum akan
menyebabkan pertumbuhan gulma tertekan, keadaan ini meningkatkan
pertumbuhan tanaman jagung karena kurangnya gangguan dari gulma dalam
memperoleh sarana tumbuh yang diperlukan (Gambar 27). Keadaan
sebaliknya terjadi pada olah tanah konvensional, adanya pengolahan tanah
yang sempurna menyebabkan bahan organik segar lebih tercampur dengan
tanah, akibatnya mempercepat dekomposisi bahan organik, sehingga unsur-
unsur hara banyak dilepaskan, padahal tanaman muda belum cukup
mengembangkan akarnya sehingga unsur hara lebih banyak yang tercuci
atau terfiksasi tanah sebelum dimanfaatkan oleh tanaman untuk
pertumbuhannya.
184 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.
Daftar Pustaka
Adiningsih, Sri J., Agus Sofyan dan Dedi Nursyamsi. 2000. Lahan sawah
dan pengelolaannya. Dalam: Sumberdaya Lahan Indonesia dan
Pengelolaannya. pp:165-196. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Ahmad. F.. and K.H. Tan. 1991. Availability of fixed phosphate to corn
(Zea mays L.) seedling as affected by humic acids. Indon. J.
Trop.Agric. 2(2):66-72.
Agus F., A. Abdurachman, dan Piet van der Poel. 1998. Daerah aliran
sungai sebagai unit pengelolaan pelestarian lingkungan dan
peningkatan produksi pertanian. pp. 47-68 dalam Prosiding
Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah
dan Agroklimat: Makalah Review. Cisarua, Bogor, 4-6 Maret
1997. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor
Brady, N.C. 1990. The Nature and Properties of Soil. Mac Millan
Publishing Co., New York.
Agroteknologi Lahan Kering 187
Bertham, Y.H. 1993. Perubahan beberapa sifat fisika dan kimia tanah napal
sebagai akibat pemberian bahan organik dari tanaman koro benguk
(Mucuna pruriens ). Thesis Program Pasca Sarjana Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Buckman, H.O. and N.C. Brady. 1980. The Nature and Properties of Soil.
8th Edition. Eurasia Publishing House Ltd. Ram Nagar, New
Delhi. 639p.
Camara, K.M., W.A. Payne and P.E. Rasmussen. 2003. Long-Term effect
of tillage, nitrogen and rainfall on Winter wheat yields in the
Pacific North West. Agron. J. 95:828-835
Cox, G.W. and M.D. Atkins. 1979. Agricultural Ecology. W.H. Freeman
and Company. San Francisco. 721p.
Drury, C.F., Chin-Sheng Tan, T.W. Welacky, T.O. Oloya, A.S.hamill, and
S.E. Weaver. 1999. Red clover and tillage influence on soil
temperature, water content, and corn emergence. Agron. J.
91:101-108.
Dudung, A.A. 1991. Konsepsi alih teknologi pertanian lahan kering. Dalam
Prosiding Simposium Nasional Penelitian dan Pembangunan
Sistem Usaha Tani Lahan Kering Yang Berkelanjutan. p.30-42.
Malang 29-31 Agustus 1991.
Gardner, F.P. , R.B. Pearce and R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman
Budidaya (Terjemahan Herawati Susilo). Universitas Indonesia
(UI-Press). 426p.
Glinski, J. and J. Lipiec. 1990. Soil Physical Conditions and Plant Roots.
CRC Press Boca Raton Florida. 250p.
Griffin, T., M.Liebman and J. Jenison Jr. 2000. Cover crops for sweet corn
production in a short-season environment. Agron. J. 92: 144-151.
Griffin, T.S., C.W. Honeycutt and Z. He. 2003. Change in soil phosphorus
from manure application. Soil Sci. Soc. Am. J. 67:645-653.
Guritno, B., S.M. Sitompul and J. van der Heide. 1992. Reclamation of
alang-alang land using cover crops on Ultisol Lampung. Agrivita.
1: 87-89.
Hairiah, K., W.H. Utomo and J. Van der Heide. 1992. Biomass production
and performance of leguminous cover crops on an Ultisol in
Lampung. Agrivita. 15 (1):39-44.
Hatfield, J.L., T.J. Sauer, J.H. Prueger. 2001. Managing soils to achieve
greater wateruse efficiency: A review. Agron. J. 93:271-280.
Heal, O.W., Anderson, J.M. and Swift, M.J. 1997. Plant litte quality and
decomposition: An historical overview. In Dirven by Nature
Plant Litter Quality and Decomposition, (Eds Cadisch, G. and
Giller, K.E), pp. 3-30. Department of Biological Sciences.,Wey
College.,University of London, UK.
Harley JL, Smith SE. 1983. Mycorrhizal symbiosis. Academic Press, New
York.
Hidayat, A., Hikmatullah dan Djoko Santoso. 2000. Potensi dan pengelolaan
lahan kering dataran rendah. Dalam: Sumberdaya Lahan Indonesia
danPengelolaannya. p. 197-222. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Bogor.
Islami, T. dan W.H. Utomo. 1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman.
IKIP Semarang Press, 297p.
Isse, A.A., A.F. MacKenzie, K.Stewart, D.C. Cloutier and D.L. Smith.
1999. Cover crops and nutrient retention for subsequent sweet
corn production. Agron. J. 91: 934-939.
Klingman, G. C., F.M. Ashton and L.J. Noordhoff. 1975. Weed Science.
Principle and Practices. John Willey & Sons Inc. N.Y. 421p.
Khurshid, K., M. Iqbal, M.S. Arif, A. Nawaz. 2006. Effect of tillage and
mulch on soil physical properties and growth of maize.
International J. Agric. Biol. 8:593- 596.
McDowell, L.L., dan K.C. McGregor. 1984. Plant nutrient losses ijn runoff
from conservation tillage corn. Soil Tillage Res. 4:79-91
Miller, R.M., Jastrow, J.D. 1990. Hierarchy of roots and mycorrhizal fungal
interactions with soil aggregation. Soil Biol. Biochem. 5: 579-584.
Mir Alam, Nasaruddin dan Darmawan. 2008. Potensi CO2 dari bahan
organik dalam meningkatkan CO2 internal dan aktivitas
fotosintesis tanaman kedelai. Jurnal Agrivigor, 7(2):113-121.
Mustaha, M.A. 1999. Studi Aplikasi Mulsa Jerami Padi dan Cara
Pengolahan Tanah Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman
Jagung Serta Dinamika Populasi Gulma. Tesis Program Pasca
Sarjana , IPB. Bogor .
194 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.
Norwood, Charles. 1999. Water use and yield of dryland Row Crops as
Affected by Tillage. Agron. J. 91:108-115.
Pearce, R.B.; J.J. Mock, and T.B. Bailey. 1975. Rapid method for
estimating leaf area per plant maize. Crop Sci. 15:691-694.
--------------- 2007. Konservasi Tanah dan Air. Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Smart, J.R. and J.M. Bradford. 1999. Conservation tillage corn production
for a semiarid, subtropical environment. Agron.J. 91(1):116-121.
Sriyani, N., H. Suprapto, H. Susanto, A.T. Lubis, and Y. Oki. 1999. Weed
Population Dynamic in Coffee Plantation Managed by Different
Soil Conservation Techniques. In Proceedings International
Seminar: Toward Sustainable Agriculture in Humid Tropics
Facing 21ST Century. p. 513 -520. Bandar Lampung Indonesia,
September 27-28, 1999.
Subaedah, St., Mais Ilsan, Saida. 2018. Pemanfaatan jerami padi sebagai
pupuk organik melaui pemberdayaan kelompok tani di desa
Botolebang Kabupaten Takalar. Jurnal Balireso 3(1):20-28
Thonnissen, C., D.J. Midmore, J.K. Ladka, D.C. Olk and U. Schmidhalter.
2000. Legume decomposition an nitrogen release when applied as
green manure to tropical vegetable production system. Agron.J..
92:253-260.
Tian, G., L. Brussard, B.T., Kang and M.J. Swift. 1997. Soil fauna-
mediated decomposition of plant residues under contreined
environmental and residue quality condition. In Driven by
Nature Plant Litter Quality and Decomposition, Department
of Biological Sciences. (Eds Cadisch, G. and Giller, K.E.), pp.125-
134. Wey College, University of London, UK
Tisdale, S. L., and W.L. Nelson. 1975. Soil Fertility and Fertilizers. Third
Edition. Collier MacMillan International Editions. 694p.
Tisdale, S.l.; W.L. Nelson and J.D. Beaton. 1985. Soil Fertility and
Fertilizers. Fourth Edition. MacMillan Publishing Company.
754p.
Tollenaar, M.; M.Mihajlovic, and T.J. Vyn. 1993. Corn growth following
cover crops: influence of cereal cultivar, cereal removal, and
nitrogen rate. Agron.J. 85:251-255.
Agroteknologi Lahan Kering 201
Van Steenis, C.G.G.J.D. den Hoed, S. Blumbergen and P.J. Eyma. 1988.
Flora untuk sekolah di Indonesia. PT. Pradnya Paramita.
Jakarta.
Vyn, T.J; J.G. Fabel; K.J. Janovicek; and E.G. Beauchamp. 2000. Cover
crop effects on nitrogen availability to corn following wheat.
Agron. J. 92: 915-924.
Waddell, J.T. and R. R. Weil. 1996. Water distribution in soil under ridge-
till and no-till corn. Soil Sci. Soc. Am. J. 60:230-237.