Anda di halaman 1dari 218

Agroteknologi Lahan Kering i

Dr. Ir. St. Subaedah, MS.

AGROTEKNOLOGI
LAHAN KERING
ii Dr. Ir. Hj. St. Subaedah, M.S.

Sanksi Pelanggaran Pasal 72


Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang HAK CIPTA
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49
ayat (1) dan ayat (2) di pidana dengan pidana penjara masing-masing
paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,
atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran
Hak Cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
Agroteknologi Lahan Kering iii

Dr. Ir. St. Subaedah, MS.

AGROTEKNOLOGI
LAHAN KERING

Diterbitkan oleh
Penerbit Nas Media Pustaka
Makassar, 2018
iv Dr. Ir. Hj. St. Subaedah, M.S.

AGROTEKNOLOGI
LAHAN KERING
Dr. Ir. St. Subaedah, MS.
- Makassar : © 2018

Layout : Nas Media Creative


Design Cover : Nas Media Creative

Copyright © St Subaedah 2018


Hak cipta ada pada Penerbit Nas Media Pustaka
All right reserved

Cetakan Pertama, Mei 2018

Diterbitkan oleh Penerbit Nas Media Pustaka


CV. Nas Media Pustaka
Anggota IKAPI
Jl. Batua Raya No. 550 Makassar 90233
Telp. 0811-43222-71 / 0853-6363-5252
redaksi@nasmediabooks.com
www.nasmediapustaka.co.id
www.nasmediabooks.com
Instagram : @nasmediapustakapenerbit
Fanspage : Penerbit Nas Media Pustaka

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

St Subaedah.
Agroteknologi Lahan Kering/St Subaedah; –cet. I –Makassar :
Nas Media Pustaka, 2018.
xvi + 202 hlm; 17 x 25 cm
ISBN 978-602-5662-24-9

I. Buku Ajar II. Judul


899.221 1

Dicetak oleh Percetakan CV. Nas Media Pustaka, Makassar


Isi di luar tanggung jawab percetakan
Agroteknologi Lahan Kering v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT berkat rahmat dan
karuniah-Nyalah penyusunan buku yang berjudul “Agroteknologi Lahan
Kering” dapat terwujud.
Buku ini merupakan buku ajar yang disusun berdasarkan hasil kajian
dalam penelitian yang telah dilakukan penulis sejak 2002 sampai 2016. Untuk
itu pada kesempatan ini diucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah memberikan dukungan sehingga buku ini bisa terwujud. Ucapan
terima kasih disampaikan kepada :
1. Kementerian Ristek dan Teknologi yang telah memberikan
dukungan dana penelitian melului Skim penelitian Hibah Bersaing
dan Skim Unggulan Perguruan Tinggi
2. Universitas Muslim Indonesia melalui Lembaga Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya (LP2S) yang telah memfasilitasi kami
dalam pengusulan hingga pelaksanaan penelitian
3. Dekan Fakultas Pertanian UMI, Direktur Program Pascasarjana
UMI, Ketua Program Studi Agroteknologi UMI yang telah
memberi kesempatan kepada kami untuk melakukan penelitian di
luar tugas pokok kami sebagai tenaga pengajar.
4. Reka-rekan sejawat yang membantu dalam pelaksanaan penelitian
hingga terwujudnya buku ini
Disadari dan diakui bahwa buku ini masih jauh dari kesempurnaan,
maka saran dan kritik untuk penyempurnaan buku ini sangat diharapkan.
vi Dr. Ir. Hj. St. Subaedah, M.S.

Akhirul kalam, semoga buku yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi
pembaca, khususnya kepada mahasiswa yang memperdalam kajian mengenai
pengelolaan lahan kering, dan semoga Allah SWT menerima amalan serta
memberikan balasan yang setimpal atas segala dukungan yang telah diberikan
kepada penulis, Amien.

Penulis
Dr. Ir. St. Subaedah, MS.
Agroteknologi Lahan Kering vii

DAFTAR ISI
Hal.
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vii
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR xv
BAB I LAHAN KERING, POTENSI DAN
PERMASALAHANNYA 1
BAB II PENGELOLAAN TANAMAN PENUTUP TANAH DI
LAHAN KERING 7
BAB III PENGELOLAAN TANAMAN PENUTUP TANAH DI
LAHAN KERING DAN PENGARUHNYA
TERHADAP SIFAT KIMIA TANAH 19
BAB IV PENGELOLAAN TANAMAN PENUTUP TANAH DI
LAHAN KERING DAN PENGARUHNYA
TERHADAP SIFAT FISIK TANAH 35
BAB V PENGELOLAAN TANAMAN PENUTUP TANAH DI
LAHAN KERING DAN PENGARUHNYA
TERHADAP SIFAT BIOLOGI TANAH 45
BAB VI PENGENDALIAN GULMA DI LAHAN KERING 51
BAB VII PENGELOLAAN BAHAN ORGANIK TANAH DI
LAHAN KERING 63
BAB VIII PERANAN BAHAN ORGANIK TANAH 85
BAB IX PENGARUH BAHAN ORGANIK TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN DI
LAHAN KERING 101
viii Dr. Ir. Hj. St. Subaedah, M.S.

BAB X MULSA DAN PERANANNYA DALAM BUDIDAYA


TANAMAN DI LAHAN KERING 119
BAB XI MIKORIZA DAN PERANANNYA DALAM
BUDIDAYA TANAMAN DI LAHAN KERING 135
BAB XII PENGELOLAAN AIR DALAM BUDIDAYA
TANAMAN DI LAHAN KERING 153
BAB XIII PENGOLAHAN TANAH DAN KEBERLANJUTAN
PERTANIAN DI LAHAN KERING 161
DAFTAR PUSTAKA 185
Agroteknologi Lahan Kering ix

DAFTAR TABEL
No. Judul Tabel Hal
1. Biomass dan kontribusi N dari beberapa jenis tanaman
penutup tanah pada umur 3 bulan 10
2 Biomass, kandungan N tanaman, nisbah tajuk/akar dari
beberapa jenis tanaman penutup tanah dan N total tanah
pada saat tanaman berumur 3 dan 6 Bulan. 10
3 Kadar N total tanah dari berbagai jenis tanaman penutup
tanah pada periode 1, 2 dan 3 bulan setelah tanam 20
4 Kadar N total tanah pada berbagai jenis dan bentuk
aplikasi tanaman penutup tanah serta pengembalian residu
tanaman jagung 22
5 Kadar P tersedia pada berbagai jenis tanaman penutup
tanah yang berumur tiga bulan 22
6 Kadar P tersedia pada interaksi antara berbagai jenis
tanaman penutup tanah, bentuk aplikasi tanaman penutup
tanah dan pengembalian residu jagung 23
7 Kadar K-dd pada berbagai jenis dan bentuk aplikasi
tanaman penutup tanah serta pada interaksi antara bentuk
aplikasi tanaman penutup tanah dan pengembalian residu
jagung 25
8 Kadar C organik tanah pada berbagai jenis tanaman
penutup tanah yang berumur tiga bulan 25
9 Kadar C-organik tanah pada berbagai jenis dan bentuk
aplikasi tanaman penutup tanah serta pengembalian residu
jagung 26
10 Kadar bahan organik tanah pada berbagai jenis tanaman
penutup tanah yang berumur tiga bulan 27
x Dr. Ir. Hj. St. Subaedah, M.S.

11 Kadar bahan organik tanah pada berbagai jenis dan bentuk


aplikasi tanaman penutup tanah serta pengembalian residu
jagung 27
12 Kadar bahan organik tanah pada berbagai jenis tanaman
penutup tanah yang berumur tiga bulan 29
13 KTK tanah pada berbagai jenis dan bentuk aplikasi
tanaman penutup tanah serta pengembalian residu
jagung 30
14 pH tanah pada berbagai bentuk aplikasi tanaman penutup
tanah dan pengembalian residu serta pada interaksi antara
bentuk aplikasi tanaman penutup tanah dan pengembalian
residu jagung 31
15 Bobot isi tanah pada berbagai jenis dan bentuk aplikasi
tanaman penutup tanah serta pengembalian residu jagung 37
16 Kadar air tanah pada berbagai jenis, bentuk aplikasi
tanaman penutup tanah dan pengembalian residu serta
interaksi antaranya 39
17 Interaksi antara jenis, bentuk aplikasi tanaman penutup
tanah serta pengembalian residu tanaman jagung terhadap
kadar air tanah pada periode 8 mst MT 2001/2002 40
18 Interaksi antara jenis dan bentuk aplikasi tanaman penutup
tanah serta pengembalian residu tanaman jagung terhadap
suhu tanah 43
19 Total mikroorganisme tanah pada berbagai jenis tanaman
penutup tanah yang berumur tiga bulan 46
20 Bakteri total tanah pada berbagai jenis, bentuk aplikasi
tanaman penutup tanah dan pengembalian residu serta
interaksi diantaranya 48
21 Produksi CO2 pada berbagai jenis tanaman penutup tanah 49
22 Jumlah spesies gulma yang tumbuh pada berbagai jenis
tanaman penutup tanah 56
23 Bobot kering gulma periode pengamatan 20 dan 40 hst
serta saat panen pada berbagai jenis tanaman penutup
tanah 57
Agroteknologi Lahan Kering xi

24 Bobot kering gulma pada berbagai jenis, bentuk aplikasi


tanaman penutup tanah dan pengembalian residu tanaman
serta interaksi diantaranya 59
25 N total, Lignin dan Polyfenol dari Tumbuhan Crotalaria
dan Calopogonium 66
26 Kandungan hara dari pupuk kandang padat/segar 69
27 Pengaruh pemberian pupuk kandang terhadap terhadap
sifat kimia tanah 70
28 Pemberian pupuk hijau dan pemupukan N dan P terhadap
Kadar N-total tanah dan P-tersedia setelah tiga bulan
aplikasi 72
29 Kadar hara dari berbagai jenis bahan organik yang
digunakan 74
30 Pengaruh pemberian bahan organik dari jerami padi
terhadap sifat kimia tanah 75
31 Kadar N total tanah dengan penggunaan bahan organik
dari brangkasan tanaman jagung 76
32 KTK tanah dengan penggunaan bahan organik dari
76
brangkasan tanaman jagung
33 Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan bokashi
jerami 77
34 Bobot isi tanah pada periode pengamatan 8 dan 12 minggu
setelah aplikasi berbagai jenis bahan organik 89
35 Kadar air tanah periode pengamatan 4, 8 dan 12 minggu
setelah aplikasi bahan organik 90
36 KTK tanah periode pengamatan 0, 4, 8 dan 12 minggu
setelah aplikasi bahan organik 93
37 pH tanah pada periode 0, 4, 8 dan 12 mst pada pengelolaan
berbagai jenis bahan organik 94
38 Kadar N total tanah dari pemberian berbagai jenis bahan
organik pada saat dua dan tiga bulan setelah aplikasi 95
39 Bakteri total tanah pada periode pengamatan 0, 4, 8, 12
minggu setelah aplikasi (msa) pada berbagai jenis bahan
organik 99
40 Pengaruh pengelolaan bahan organik terhadap tinggi dan
indeks luas daun tanaman jagung umur 8 mst 102
41 Laju tumbuh relatif tanaman jagung pada pengelolaan
berbagai jenis bahan organik 103
xii Dr. Ir. Hj. St. Subaedah, M.S.

42 Laju tumbuh pertanaman tanaman jagung pada berbagai


jenis bahan organik 104
43 Panjang dan diameter tongkol jagung pada berbagai Jenis
bahan organik 104
44 Pengaruh pengelolaan berbagai jenis bahan organik
terhadap bobot tongkol dan bobot 100 butir jagung 105
45 Bobot pipilan kering/tongkol dan bobot pipilan kering /ha
(kadar air biji 15% pada berbagai jenis bahan organik 106
46 Pengaruh Pemanfaatan Berbagai Jenis Bahan Organik dan
Pemupukan Fosfor Terhadap LTR Tanaman Kedelai Pada
Periode 6-8 MST 112
47 Pengaruh Pemanfaatan Berbagai Jenis Bahan Organik dan
Pemupukan Fosfor Terhadap Biomass Tanaman Kedelai
Pada Umur 4 MST 113
48 Pengaruh Pemanfaatan Berbagai Jenis Bahan Organik dan
Pemupukan Fosfor Terhadap Biomass Tanaman Kedelai
Pada Umur 8 MST 114
49 Korelasi antara ketersediaan hara P tanah, serapan hara P
tanaman dan biomas tanaman kedelai pada umur 4 dan 8
MST 115
50 Bobot isi tanah pada periode pengamatan 4 dan 8 minggu
setelah pemberian berbagai jenis mulsa organik 122
51 Kadar air tanah periode pengamatan 4, 6, 8, 10 dan 12 mst
pada pemanfaatan berbagai jenis mulsa organik 124
52 Pengaruh mulsa organik terhadap suhu tanah pada
berbagai waktu pengamatam 126
53 Kadar N total tanah setelah aplikasi berbagai jenis mulsa
organik selama tiga bulan 127
54 KTK tanah setelah aplikasi berbagai jenis mulsa organik
selama tiga bulan 127
55 KTK tanah setelah aplikasi berbagai jenis mulsa organik
selama tiga bulan 128
56 Pengaruh pemanfaatan mulsa organik terhadap tinggi
tanaman dan jumlah daun tanaman jagung 8 mst 129
57 Panjang dan diameter tongkol jagung pada aplikasi mulsa
organik 130
Agroteknologi Lahan Kering xiii

58 Pengaruh pemanfaatan mulsa organik terhadap bobot


tongkol dan bobot 100 butir jagung 130
59 Bobot pipilan kering/tongkol dan bobot pipilan kering/ha
(kadar air biji 15%) pada berbagai mulsa organik 131
60 Pengaruh aplikasi mikoriza terhadap tinggi tanaman jarak
pagar pada umur satu bulan setelah tanam 148
61 Pengaruh aplikasi mikoriza terhadap jumlah tunas tanaman
jarak pagar yang terbentuk 2 bulan setelah pemangkasan 149
62 Interaksi antara perlakuan mikoriza dan pemangkasan
terhadap jumlah tandan buah 149
63 Pengaruh aplikasi mikoriza terhadap jumlah buah per
tandan 150
64 Pengaruh pengolahan tanah terhadap kadar air tanah 165
65 Pengaruh pengolahan tanah terhadap suhu tanah 166
66 Pengaruh interaksi pengolahan tanah dan pemberian
nitrogen terhadap suhu tanah 166
67 Pengaruh pengolahan tanah terhadap bobot isi tanah pada
akhir percobaan 167
68 Pengaruh pengolahan tanah terhadap kadar N total tanah
pada berbagai periode pengamatan 167
69 Interaksi pengolahan tanah dan pemberian nitrogen serta
pemberian bahan organik terhadap pH tanah pada akhir
percobaan 169
70 Pengaruh pengolahan tanah, interaksi antara pada interaksi
antara pemberian bahan organik dengan pengolahan tanah
terhadap bakteri total tanah 170
71 Bobot kering tanaman jagung per ha saat panen terhadap
pengolahan tanah dan pemberian nitrogen dan pemberian
bahan organik 174
72 Pengaruh pengolahan tanah, pemberian bahan organik dan
pemupukan nitrogen terhadap panjang tongkol jagung 176
73 Bobot pipilan jagung per tongkol pada berbagai jenis bahan
organik, pengolahan tanah dan pemberian nitrogen 177
74 Bobot 100 butir jagung pada berbagai jenis bahan organik
dan pengolahan tanah serta pemberian nitrogen 179
xiv Dr. Ir. Hj. St. Subaedah, M.S.

75 Interaksi antara pengolahan tanah dan pemberian nitrogen


serta pemberian bahan terhadap bobot pipilan kering jagung
(ka 15%) per ha MT 2001/2002 180
76 Bobot pipilan kering jagung (ka 15%) per ha terhadap
pengolahan tanah dan pemberian nitrogen serta bahan
organik MT 2002/2003 181
Agroteknologi Lahan Kering xv

DAFTAR GAMBAR
No Judul Gambar Hal
1 Centrosema pubescens 11
2 Mucuna pruriens 13
3 Crotalaria anagyroides 14
4 Calopogonium muconoides 15
5 Pueraria javanica 16
6 Tanaman penutup tanah sebagai mulsa hidup dalam
pertanaman jagung di lahan kering 17
7 Pangkasan tanaman penutup tanah dijadikan 17
8 Penanaman tanaman penutup tanah di antara tanaman
jagung 60
9 Penanaman jagung tanpa tanaman penutup tanah 61
10 Peternakan yang berdampingan dengan lahan pertanian 67
11 Pupuk kandang yang akan disebar ke lahan pertanian 68
12 Tampilan Tumbuhan Chromolaena odorata 73
13 Jerami padi yang sudah dicacah 77
14 Pencampuran bahan (jerami, pupuk kandang, sekam padi,
dedak) dan penyiraman larutan EM-4 78
15 Tumpukan bahan organik jerami padi 79
16 Pengecekan suhu di tumpukan jerami 80
17 Bokashi jerami padi yang siap digunakan 80
18 Pengaruh Jenis Bahan Organik dan Pemupukan Fosfor
Terhadap Kadar P Tanah Tersedia pada periode 4 MST 97
xvi Dr. Ir. Hj. St. Subaedah, M.S.

19 Pengaruh Jenis Bahan Organik dan Pemupukan Fosfor


Terhadap Kadar P Tanah Tersedia pada periode 8 MST 97
20 Penanaman jagung tanpa pemberian bahan organik 108
21 Penanaman jagung dengan pemberian bahan organik 109
22 Pengaruh Jenis Bahan Organik dan Pemupukan Fosfor
Terhadap Laju Tumbuh Relatif Tanaman Kedelai pada
Periode 2-4 MST 111
23 Pengaruh Jenis Bahan Organik dan Pemupukan Fosfor
Terhadap Laju Tumbuh Relatif Tanaman Kedelai pada
Periode 4-6 MST 112
24 Pertumbuhan tanaman kedelai dengan pemberian bahan
organik disertai pemupukan fosfor 116
25 Pembentukan polong tanaman kedelai dengan pemberian
bahan organik disertai pemupukan fosfor 116
26 Serapan Hara P oleh tanaman Jarak Pagar dengan aplikasi
mikoriza dan tanpa mikoriza 150
27 Pengaruh pengolahan tanah, pemupukan N dan pemberian
berbagai jenis bahan organik terhadap pertumbuhan tanaman
jagung di lahan kering 184
Agroteknologi Lahan Kering 1

BA B I
LAHAN KERING, POTENSI DAN
PERMASALAHANNYA

Sumber daya alam merupakan anugerah dan amanat tak ternilai yang
diberikan oleh Allah Subhanahu Wataalah untuk kelangsungan hidup semua
makhluk ciptaannya. Sebagai amanat, sumberdaya alam seyogyanya
dikelolah secara arif dan terukur yang pemanfaatannya tidak melebihi daya
dukung dan kemampuan pemulihan sumberdaya itu sendiri. Salah satu
sumberdaya alam yang sangat besar peranannya bagi kehidupan manusia
dan mahluk hidup lainnya adalah lahan kering. Pemanfaatan lahan kering
untuk pertanian sering diabaikan oleh para pengambil kebijakan yang lebih
tertarik pada peningkatan produksi beras pada lahan sawah. Hal ini mungkin
karena ada anggapan bahwa meningkatkan produksi padi sawah lebih
mudah dan lebih menjanjikan dibanding mengembangkan tanaman pangan
di lahan kering yang memiliki resiko kegagalan yang lebih tinggi
Di Indonesia luas lahan kering diperkirakan lebih kurang 51,07 juta
ha dari lahan pertanian seluas 58,85 juta ha yang berarti bahwa 86,77%
lahan pertanian di Indonesia berupa lahan kering. Dari luas tersebut 4,44 juta
ha terdapat di pulau Jawa dan 46,63 juta ha di luar Jawa. Sementara untuk
wilayah Sulawesi Selatan luas lahan kering 2,5 juta ha dari luas lahan
pertanian 3,2 juta ha, yang berarti 78% lahan pertanian di Sulawesi Selatan
berupa lahan kering (BPS, 2000). Dari data ini dapat diartikan bahwa
sistem pertanian di Indonesia bertumpu pada lahan kering.
Lahan pertanian yang didominasi oleh lahan kering menunjukkan
bahwa sumber air bagi pertanian pada umumnya berasal dari air hujan,
sementara curah hujan merupakan unsur iklim yang sangat beragam.
Keragaman ini ditunjukkan oleh pola curah hujan dan tipe iklimnya.
Berdasarkan jumlah dan distribusi hujan, Irianto, Sosiawan dan Karama
2 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

(1998) membagi lahan kering menjadi lahan kering beriklim basah dan
lahan kering beriklim kering. Lahan kering beriklim basah adalah lahan
dengan curah hujan lebih besar dari 2.000 mm per tahun dengan masa tanam
sistem tadah hujan lebih dari 6 bulan, sedangkan lahan kering beriklim
kering adalah lahan dengan curah hujan lebih kecil dari 2.000 mm per tahun
dan masa tanam kurang dari 6 bulan. Menurut Hidayat et al., (2000), lahan
kering beriklim basah umumnya tersebar di Sumatera, Kalimantan, Papua,
Sulawesi bagian tengah, serta wilayah Jawa Barat (Jabar) dan Jawa Tengah
(Jateng) bagian tengah dan selatan. Lahan kering beriklim kering umumnya
tersebar di Indonesia bagian timur meliputi: Bali, Nusa Tenggara Barat
(NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagian besar Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Utara dan dan Sulawesi Selatan, serta di sedikit wilayah di
Sumatera dan Kalimantan.
Kondisi iklim di Indonesia seperti suhu yang tinggi, curah hujan
yang tidak merata dan kadang-kadang turun dalam bentuk badai, khususnya
Indonesia bagian timur, menyebabkan tanah-tanah di Indonesia didominasi
oleh tanah berpelapukan lanjut seperti Ultisol dan Oxisols. Tanah-tanah ini
secara alamiah tergolong tanah marginal dan rapuh serta mudah terdegradasi
menjadi lahan kritis. Namun, degradasi lahan lebih banyak disebabkan
karena adanya pengaruh intervensi anusia dengan pengelolaan yang tidak
mempertimbangkan kemampuan dan kesesuain lahan. Kemampuan tanah
untuk mendukung kegiatan usaha pertanian atau pemanfaatan tertentu
bervariasi menurut jenis tanah, tanaman dan faktor lingkungan. Oleh
karenanya pemanfaatan lahan ini harus hati-hati dan disesuaikan dengan
kemampuannya, agar tanah dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Usaha pertanian yang dilakukan pada lahan-lahan kering marginal
akan banyak menghadapi kendala biofisik berupa sifat fisik yang tidak baik,
kahat hara, keracunan unsur, hama dan penyakit dan sebagainya. Ketidak
tersediaan unsur hara bukan hanya disebabkan karena tanahnya yang miskin,
tapi juga bisa terjadi karena erosi dan fiksasi hara yang tinggi sehingga tidak
tersedia bagi tanaman. Penyebab lahan kritis karena erosi sangat umum
dijumpai. Erosi cenderung mengangkut lapisan tanah yang relatif subur dan
meninggalkan lapisan tanah bawah yang miskin.
Pengembangan tanaman pangan pada lahan kering disatu sisi
berdampak positif mengingat potensi lahan kering yang begitu luas. Namun
di sisi lain pengembangan tanaman pangan di lahan kering diperhadapkan
pada berbagai kendala antara lain: keterbatasan air dan kesuburan tanah
yang rendah. Di samping masalah kekeringan dan kesuburan tanah, gulma
Agroteknologi Lahan Kering 3

juga merupakan faktor penghambat dalam usahatani tanaman semusim di


lahan kering (Dudung, 1991).
Sehubungan dengan kendala tersebut, maka diperlukan upaya
untuk meningkatkan ketersediaan air yang terbatas sekaligus meningkatkan
kesuburan lahan kering serta menekan pertumbuhan gulma untuk
mempertahankan keberlanjutan dan peningkatan produksi tanaman pangan
di lahan kering.

Definisi Lahan Kering


Lahan kering mempunyai arti yang bermacam-macam. Mulyadi
(1977) dalam Guritno (1996) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan
lahan kering adalah lahan yang tidak pernah tergenang air sepanjang tahun.
Sedang Semaoen, Agustina dan Soemarno (1991) berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan lahan kering adalah lahan yang pemenuhan kebutuhan air
tanamannya tergantung sepenuhnya kepada air hujan dan tidak pernah
tergenang air sepanjang tahun. Istilah lahan kering digunakan oleh
Kelompok Penelitian Agroekosistem (KEPAS, 1986) sebagai padanan dry
land. Uraiannya menyiratkan pengusahaan lahan secara tadah hujan. Istilah
daerah kering yang digunakan mengunjuk lahan setengah ringkai. KEPAS
(1985) menggunakan istilah upland dan lowland untuk mengunjuk
ketinggian kedudukan nisbi lahan. Oleh para ahli tanah di Indonesia
disepakati definisi lahan kering adalah lahan yang dapat digunakan untuk
usaha pertanian dengan menggunakan air secara terbatas dan biasanya
sumber air ini berasal dari air hujan (Guritno, 1996).
Satari et al., (1991) mengemukakan bahwa pertanian lahan kering
adalah budidaya pertanian dengan basis tanah yang sepanjang tahun
mempunyai kelembaban di bawah titik jenuh air. Kelembaban tanahnya
berfluktuasi antara titik layu dan titik jenuh air.
Belakangan ini pengertian yang tersirat dalam istilah lahan kering
yang digunakan masyarakat umum banyak mengarah kepada lahan kering
dengan kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya pada air hujan dan
tidak pernah tergenang air secara tetap (Notohadiprawiro, 1989).

Klasifikasi Lahan Kering


Irianto, Sosiawan dan Karama (1998) membagi lahan kering dalam
dua kelompok yaitu :
4 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

1. Lahan kering beriklim basah. Lahan kering beriklim basah dicirikan


oleh curah hujan yang relatif tinggi yaitu lebih dari 2000 mm/tahun
dengan masa hujan relatif panjang
2. Lahan kering beriklim kering. Lahan beriklim kering dicirikan oleh
curah hujan tahunan yang relatif sangat rendah yaitu kurang dari 2000
mm/tahun, yang mana hujan tersebut tercurah dalam masa yang
pendek yaitu 3-4 bulan, sehingga masa tanam sangat pendek, dengan
distribusi hujan yang tidak merata.
Distribusi hujan yang tidak merata ini mengakibatkan rendahnya
efisiensi penggunaan air hujan karena kesulitan menentukan saat tanam yang
tepat, penggenangan sesaat, kekurangan air pada musim hujan dan
kekeringan pada musim kemarau. Adanya intersepsi air hujan,
evapotranspirasi, aliran permukaan, aliran masuk (ke bawah dan ke
samping), sifat tanah terutama tekstur, porositas dan kandungan bahan
organik mempengaruhi banyaknya air hujan yang tertahan pada partikel-
partikel tanah (Islami dan Utomo, 1995). Lebih lanjut intersepsi akan aktif
pada awal terjadi hujan, aliran permukaan terjadi bila curah hujan > 25
mm/jam, evapotranspirasi meningkat dengan meningkatnya suhu udara.
Kendala utama yang sering dijumpai pada lahan kering beriklim
basah adalah tingkat produktivitas rendah, dicirikan oleh tanah yang
berlapukan lanjut, solum tebal, berwarna kemerahan, kadar liatnya tinggi,
rekasi tanah masam. Kapasitas tukar kation dan kejenuhan basah rendah,
miskin hara terutama fosfot, kandungan bahan organik rendah, kandungan
besi dan aluminium tinggi yang melebihi batas toleransi tanaman serta peka
erosi (Hidayat et al., 2000). Walaupun tantangan dan kendala dalam
pengembangan pertanian di lahan kering terasa berat namun tetap dijadikan
harapan besar bagi keberhasilan pertanian di masa datang mengingat lahan-
lahan persawahan subur secara berlanjut telah dikonversi menjadi lahan non-
pertanian, sementara produktivitasnya telah mengalami pelandaian dan
cenderung menurun akibat pemberian pupuk yang berlebihan (Adiningsih et
al., 2000).

Jenis Tanah
Secara umum, lahan kering daerah tropika basah dan setengah
kering didominasi oleh jenis tanah yang termasuk dalam golongan/ordo
Ultisol, Oksisol dan Inseptisol (Sudjadi dan Satari, 1986). Ultisol dan
Oksisol adalah merupakan tanah-tanah bermasalah (problem soil). Demikian
Agroteknologi Lahan Kering 5

pula Inseptisol yang berassosiasi dengan Ultisol dan Oksisol memiliki sifat-
sifat yang mirip dengan Ultisol dan Oksisol.
Adapun permasalahan yang dihadapi pada tanah ultisol menurut
Sudjadi (1984) adalah sebagai berikut:
(1) kejenuhan Al tinggi
(2) sering mengandung Mn dalam konsentrasi yang beracun
(3) sangat miskin hara
(4) kejenuhan basa, kadar bahan organik dan pH rendah
(5) fiksasi P kuat
(6) kapasitas menahan air rendah, sehingga mudah terjadi kekeringan
(7) erodibilitas tanah tinggi karena lapisan permukaan tanah mudah
manpat oleh tekanan beban yang menyebabkan laju infiltrasi lambat,
(8) permeabilitas tanah rendah
Sementara permasalahan tanah oksisol adalah sebagai berikut:
(1) kejenuhan Al tinggi
(2) kapasitas tukar kation (KTK) tanah sangat rendah
(3) Sangat miskin hara
(4) kahat unsur hara sulfur, Boron dan Molibdenum
(5) fiksasi fosfor kuat
(6) struktur tanah sangat kasar, yang menyebabkan kemampuan tanah
menahan air rendah sehingga mudah terjadi kekeringan.
Kandungan bahan organik yang rendah yang umum dijumpai pada
lahan kering, akan mengurangi kemampuan tanah menahan air dan juga
evapotranspirasi yang tinggi akibat suhu udara yang tinggi yang akan
memperparah keterbatasan air yang tersedia. Oleh karena itu masalah
keterbatasan air pada lahan kering harus diatasi dengan peningkatan efisiensi
penggunaan air hujan yang dapat dilakukan dengan konservasi tanah dan air
dengan metode vegetatif yang didasarkan pada peranan tanaman (Utomo,
1994). Tanaman-tanaman yang menutup permukaan tanah, selain berperan
untuk melindungi permukaan tanah dari daya dispersi dan daya
penghancuran oleh butir-butir hujan serta melindungi tanah permukaan dari
daya kikis aliran permukaan, juga besar pula sumbangannya dalam
memperkaya bahan-bahan organik tanah yang menyebabkan agregasi tanah
meningkat sehingga menambah daya serap air dan mengurangi penguapan
dari permukaan tanah yang akan meningkatkan kadar air tanah (Utomo,
1994; Kartasapoetra, Kartasapoetra dan Sutedjo, 2000).
6 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Menurut Utomo et al., (1992) problem utama dalam pengelolaan


lahan kering adalah kurangnya perlindungan permukaan tanah dari terpaan
butiran hujan dan radiasi matahari serta pesatnya pertumbuhan gulma di satu
sisi dan disisi lainnya kurangnya unsur hara dan suplai bahan organik. Hal
ini akan menyebabkan pemadatan tanah yang mengakibatkan menurunnya
laju infiltrasi dan meningkatnya laju run-off atau erosi. Radiasi matahari
yang mengenai permukaan tanah akan meningkatkan laju oksidasi bahan
organik, sehingga meningkatkan kehilangan unsur hara dan bahan organik.
Oleh karena itu dalam pengusahaan lahan kering secara sederhana dapat
diselaraskan dengan penutupan tanah misalnya dengan penggunaan tanaman
penutup atau vegetasi yang akan melindungi permukaan tanah dari hal-hal
tersebut di atas.
Ekosistem lahan kering sangat kompleks, sistem pertaniannya
beragam yang berhubungan dengan kondisi biofisik dan sosial ekonomi.
Selanjutnya Partoharjono (1999) mengemukakan bahwa karakteristik lahan
kering dicirikan oleh tingginya kepadatan penduduk, ketidak stabilan
produksi dan kerapuhan lingkungan yang mendorong penggunaan lahan
yang intensif yang akan menyebabkan ketidak berlanjutan produksi dan
kerusakan lingkungan. Oleh karena itu dalam penanganan masalah lahan
kering diperlukan adanya suatu teknologi yang berorientasi pada sistem
pertanian yang berkelanjutan (Guritno, 1996; Partoharjono, 1999).
Agroteknologi Lahan Kering 7

BA B II
PENGELOLAAN TANAMAN PENUTUP DI
LAHAN KERING

Pada bagian pendahuluan dari tulisan ini telah dijelaskan bahwa


problem utama dalam pengelolaan lahan kering adalah ketersediaan air yang
terbatas, rendahnya kesuburan tanah serta pesatnya perkembangan gulma.
Sehubungan dengan kendala tersebut, maka diperlukan upaya untuk
meningkatkan ketersediaan air yang terbatas sekaligus meningkatkan
kesuburan lahan kering serta menekan pertumbuhan gulma untuk
mempertahankan keberlanjutan dan peningkatan produksi tanaman pangan
di lahan kering. Tujuan ini dapat dicapai dengan penggunaan dan
pengelolaan tanaman penutup tanah (Arsyad, 1976; 1989; Noordwijk, et
al.,1992; Adiningsih dan Mulyadi, 1993; Tollenar, Mihajlovic dan Vyn,
1993; Reijntjes, Haverkort dan Waters-Bayer, 1999; Vyn et al., 1999;
Samosir, 2000).
Penggunaan tanaman penutup tanah dapat meningkatkan
ketersediaan air tanah dengan mengurangi penguapan dan juga kemampuan
untuk meningkatkan kandungan bahan organik yang akan memperbaiki
kemampuan tanah menahan air dan meningkatkan kandungan hara tanah
meliputi nitrogen, fosfat dan unsur mikro yang dimobilisasi dan
terkonsentrasi pada lapisan atas tanah sehingga dapat dimanfaatkan oleh
tanaman dan oleh karenanya integrasi tanaman penutup tanah dalam
budidaya jagung di lahan kering diharapkan dapat meningkatkan
ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan oleh tanaman sehingga akan
meningkatkan produktivitas tanaman.
Meningkatnya kandungan bahan organik dari tanaman penutup
tanah juga berdampak positif terhadap perbaikan sifat fisik tanah seperti
tanah lebih gembur, kepadatan tanah menurun sehingga akan mengurangi
8 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

aktivitas pengolahan tanah dalam persiapan lahan. Penutupan permukaan


lahan oleh tanaman penutup tanah juga berdampak pada penekanan
pertumbuhan berbagai jenis gulma. Oleh karena itu tindakan pengendalian
gulma pada pertanaman lahan kering dapat dikurangi atau ditiadakan,
bergantung pada seberapa besar penekanan yang diberikan tanaman penutup
tanah terhadap gulma.
Penggunaan tanaman penutup tanah khususnya dari kelompok
legum juga dapat meningkatkan kandungan nitrogen tanah karena
kemampuan tanaman legum untuk melakukan fiksasi N bebas dari udara.
Hal ini berarti bahwa penggunaan tanaman penutup tanah berpotensi untuk
menurunkan jumlah pupuk N yang dibutuhkan dalam produksi tanaman
jagung. Oleh karena itu pemasukan legum ke dalam pertanaman lahan
kering diharapkan dapat mengurangi biaya pemupukan, keadaan ini sangat
membantu petani, khususnya petani lahan kering yang kebanyakan tingkat
ekonomi lemah.
Adanya penutupan tanah oleh tanaman penutup tanah juga akan
menghindarkan kehilangan hara melalui pencucian dan aliran permukaan
yang akan membawa lapisan top soil tanah, sehingga dalam jangka panjang
penggunaan tanaman penutup tanah diharapkan dapat meningkatkan
kesuburan tanah baik fisik, kimia maupun biologi tanah. Hal ini penting
dalam memperkecil meluasnya lahan kritis yang sudah mencapai 30 juta ha
(Sugito, 1997). Luas lahan kritis ini akan bertambah setiap tahunnya dan ini
menunjukkan bahwa usaha-usaha ke arah pelestarian sumberdaya lahan
belum nampak nyata di lapangan.
Tanaman penutup tanah adalah tanaman-tanaman yang khusus
ditanam untuk melindungi tanah dari ancaman kerusakan oleh erosi dan atau
untuk memperbaiki sifat kimia dan fisik tanah (Utomo, 1994; Arsyad, 1989;
Samosir, 2000). Selanjutnya dikemukakan oleh Reinjntjes et al., (1999)
bahwa tanaman penutup tanah digunakan untuk menciptakan iklim mikro
tanah yang baik, mengurangi penguapan, dan melindungi tanah dari erosi,
juga dapat menyuburkan tanah karena sifat-sifat pertumbuhannya serta
kuantitas dan kualitas bahan organik yang dihasilkan. Tanaman penutup
tanah mempunyai kemampuan untuk menyuburkan tanah baik fisik, kimia
maupun biologi, bahkan kadang-kadang pula mempunyai peranan sebagai
makanan ternak, penahan erosi dan fungsi ekonomi yang lain (Sutidjo, 1986;
Noordwijk et al., 1992; Sutarno dan Atmowijoyo, 1999).
Tanaman penutup tanah penting untuk pengelolaan dan kesuburan
tanah serta pengendalian erosi. Tanaman ini dapat menghasilkan biomass
Agroteknologi Lahan Kering 9

yang penting dari daunnya, ranting-rantingnya dan akar-akarnya untuk


merangsang kehidupan tanah dan melindungi permukaan tanah. Pepohonan,
semak-semak, polongan, rerumputan, dan gulma dapat digunakan sebagai
tanaman penutup tanah, yang menjadi salah satu sumber pupuk organik yang
murah untuk membentuk atau mempertahankan bahan organik dan
kesuburan tanah (Arsyad, 1989; Reijntjes, et al., 1999; Kartasapoetra et al.,
2000; Samosir, 2000 ). Berbagai macam spesies legum maupun non legum,
semak, tanaman men-jalar dapat digunakan sebagai tanaman penutup tanah
dengan syarat-syarat sebagai berikut: produksi biomass tinggi, sistem
perakaran dalam, pertumbuhan awal yang cepat, lebih banyak daun daripada
kayu, pengikat nitrogen, daya gabung yang bagus, penggunaan air efisien,
serta pembentukan bibit mudah (Arsyad, 1976; 1989; Isse et al., 1999).
Penggunaan tanaman penutup tanah dari jenis legum mempunyai
keuntungan karena kemampuannya mengikat nitrogen dari udara.
Pengikatan nitrogen tersebut berlangsung melalui suatu hubungan yang
saling menguntung-kan antara tanaman legum dengan bakteri pengikat
nirogen yaitu Rhizobium dengan terbentuknya bintil akar. Cox dan Atkins
(1979) menamakan kerjasama tersebut sebagai hubungan mutualisme.
Adanya hubungan yang saling menguntungkan ini telah diketahui sejak
tahun 1838 dan sejak itu telah digunakan untuk menyuburkan tanah dengan
sistem rotasi (Suseno, 1974).
Peranan tanaman penutup tanah jenis legum dalam meningkatkan
kandungan nirogen tanah banyak mendapat perhatian, karena unsur nitrogen
pada umumnya merupakan faktor pembatas utama dalam produksi tanaman
budidaya, sehingga peningkatan produksi tanaman biasanya dihubungkan
dengan peningkatan pupuk nitrogen. Dalam hal kuantitas total yang
dibutuhkan untuk produksi tanaman budidaya, N termasuk peringkat
keempat diantara 16 unsur esensial (Gardner, Pearce dan Mitchell, 1991;
Hakim dan Helal, 1999). Nitrogen adalah penyusun protein, dan protein
berada dalam semua tubuh tanaman. Nitrogen merangsang pertumbuhan
vegetatif tanaman dan memberikan tanaman warna hijau. Defisiensi nitrogen
menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat dengan daun yang berwarna
kekuningan dan perkembangan sistem perakaran yang jelek (Handayanto,
1998). Kemampuan tanaman penutup tanah dalam menyediakan unsur
nitrogen serta perbaikan sifat-sifat tanah lainnya sangat beragam bergantung
pada banyak faktor seperti spesies, tipe pertumbuhan, dan lingkungan
tumbuh. Beberapa peneliti telah mengungkapkan keragaman pengaruh
spesies tanaman penutup tanah tersebut. Diantaranya penelitian yang
10 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

dilakukan oleh Hairiah dan Noordwijk (1989) yang diperlihatkan pada Tabel
1 menunjukkan bahwa Crotalaria juncea memberikan biomas dan
kontribusi N yang tertinggi sedang Centrosema pubescens menghasilkan
biomass dan kontribusi N yang terendah.
Tabel 1 Biomass dan kontribusi N dari beberapa jenis tanaman penutup
tanah pada umur 3 bulan
Jenis Tanaman Biomass Kandungan Kontribusi
C/N N/P
Penutup Tanah (t. ha-1) N (%) N (kg.ha-1)
C. pubescens 1,37 2,08 17 36 5,5
Mucuna pruriens 3,62 2,85 20 71 4,7
Crotalaria juncea 9,08 1,87 23 198 6,0
C. muconoides 2,54 2,04 18 65 5,2
Sumber : Hairiah dan Noordwijk (1989).
Rendahnya kontribusi N dari tanaman penutup tanah Centrosema
pubescens ini berhubungan dengan rendahnya biomas tanaman pada umur
yang masih mudah, namun kandungan N per kg biomas cukup tinggi, tetapi
dengan meningkatnya umur tanaman produksi biomas makin meningkat
yang akan memberikan kontribusi N yang tertinggi. Hal ini dapat dilihat
pada Tabel 2 dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Hairiah, Utomo dan
Heide (1992) pada tanah ultisol di Lampung, mendapatkan hasil yang
menunjukkan bahwa pada umur 3 bulan, Crotalaria juncea memberikan
masukan N-total tanah yang tertinggi yaitu sekitar 100 kg ha-1, sedang pada
umur 6 bulan Centrosema pubescens memberikan kontribusi N-total tanah
yang tertinggi yaitu sekitar 226 kg ha-1. Mucuna pruriens memiliki masa
pertumbuhan yang lebih pendek (6 bulan) dari pada jenis yang lain,
sehingga pada umur 6 bulan tidak menunjukkan peningkatan kontribusi N.
Tabel 2 Biomass, kandungan N tanaman, nisbah tajuk/akar dari beberapa
jenis tanaman penutup tanah dan N total tanah pada saat tanaman
berumur 3 dan 6 Bulan.
Biomass N Nisbah N-total tanah
Jenis tanaman
(ton ha-1) (%) tajuk/ (kg ha-1)
penutup tanah
3 bln 6 bln 3 bln 6 bln akar 3 bln 6 bln
Mucuna pruriens 2,1 2,7 3,2 2,7 14 70 76
C. mucunoides 2,4 4,5 2,8 2,4 4 83 136
C. pubescens 2,3 5,3 3,0 3,4 4 86 226
Crotalaria juncea 2,9 5,9 2,7 1,2 4 100 81
Rumput-rumputan 1,9 4,0 1,4 1,5 5 31 35
Sumber : Hairiah, Utomo dan Heide (1992).
Agroteknologi Lahan Kering 11

Beberapa contoh jenis tanaman penutup tanah beserta


karakteristiknya adalah sebagai berikut:

Centrosema pubescens Benth


Centrosema pubescens termasuk sub famili Papilionaceae dari
famili Leguminoceae (Gambar 1). Spesies ini berasal dari Amerika selatan
dan sekarang banyak ditanam di daerah-daerah tropik dan sub tropik.
Tanaman kacangan ini termasuk tanaman menahun, perakarannya dalam,
pangkal batang melilit ke kiri atau sebagian menjalar di atas tanah dan dapat
membentuk akar-akar pada buku-buku batang. Cabang batang antara 1 – 4
m. Daun majemuk beranak daun 3 berbentuk bundar telur dengan ukuran 3-
9cm x 1,5-6 cm. Bunga berwarna ungu keputihan, polong panjang dengan
ukuran 4 –17 mm x 6 –7 mm. Biji lonjong sampai persegi, berwarna hitam
kecoklatan dan berbercak cokelat (Sutarno dan Atmowidjojo, 1999). Sistem
perakarannya dalam tapi rhizoma menyebar dekat permukaan tanah dan
mengandung banyak nodul (Hairiah dan Noordwijk, 1989).

Gambar 1 Centrosema pubescens


(Foto Subaedah, 2007)

Bunga berwarna ungu keputihan, polong panjang dengan ukuran 4


–17 mm x 6 –7 mm. Biji lonjong sampai persegi, berwarna hitam kecoklatan
12 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

dan berbercak cokelat. Sistem perakarannya dalam tapi rhizoma menyebar


dekat permukaan tanah dan mengandung banyak nodul.
Tanaman ini tahan keadaan kering dan bila telah tumbuh baik,
tahan hidup di bawah naungan. Pada tanah-tanah yang kesuburannya sedang
dan mengalami kekurangan unsur P dan unsur-unsur mikro, tanaman ini
masih mempunyai respon yang baik, demikian pula pada tanah masam
dengan drainase jelek (Direktorat Jenderal Perkebunan, 1983). Tanaman ini
bersifat tahunan yang akan memberikan biomas dan kontribusi N yang
makin meningkat dengan meningkatnya umur tanaman, seperti yang
ditunjukkan oleh hasil penelitian Hairiah et al., (1992) pada Tabel 2.

Mucuna pruriens
Tumbuhan ini termasuk sub famili Papilionaceae dari famili
Leguminoceae (Gambar 2). Spesies ini berasal dari Amerika Selatan. Jenis
ini mempunyai penyebaran yang sangat luas di daerah tropis. Tanaman ini
pertumbuhannya merambat, dan termasuk tanaman semusim. Dapat tumbuh
pada tanah masam, beradaptasi baik pada tanah-tanah dengan tingkat
kesuburan yang rendah dan tahan kekeringan (Kretschmer, 1989). Hasil
penelitian Hairiah (1992) di Lampung menunjukkan bahwa Mucuna
pruriens lebih toleran terhadap kesuburan tanah yang rendah dan kadar Al
yang tinggi dibandingkan dengan Centrosema pubescens. Dari penelitian
yang sama diperoleh informasi bahwa Mucuna pruriens mampu
memberantas gulma alang-alang mulai pada umur 6 minggu setelah tanam.
Tanaman ini berakar dangkal dengan banyak nodul (Hairiah dan Noordwijk,
1989).
Mucuna pruriens lebih toleran terhadap kesuburan tanah yang
rendah dan kadar Al yang tinggi dibandingkan dengan Centrosema
pubescens. Mucuna pruriens mampu memberantas gulma alang-alang mulai
pada umur 6 minggu setelah tanam. Tanaman ini berakar dangkal dengan
banyak nodul.

Crotalaria anagyroides
Crotalaria termasuk sub famili Papilionaceae dari famili
Leguminoceae (Gambar 3). Tanaman ini termasuk terna yang
pertumbuhannya tegak dan tingginya dapat mencapai 2 m. Batang kaku,
berbulu halus, ramping serta beralur memanjang, cabang-cabang berbulu
Agroteknologi Lahan Kering 13

tebal. Daun sederhana. Pembungaan agak renggang; mahkota kuning,


bundarq. Buah polong lonjong melebar 4,5 cm x 1,5-2,5 cm. Tanaman ini
merupakan tumbuhan tropik dan sub tropik, menghendaki curah hujan
tahunan 900 – 2800 mm. Tumbuh toleran terhadap cekaman kekeringan
dapat tumbuh liar di hutan, padang rumput serta ditempat tandus dengan
ketinggian tempat dari 0 sampai 1500 m dari permukaan laut (Sutarno dan
Atmowidjojo, 1999). Tanaman ini berakar dalam dengan sejumlah kecil
nodul (Hairiah dan Noordwijk, 1989).
Tanaman ini dapat dikembangkan dengan biji. Tanaman ini dapat
digunakan sebagai makanan ternak dan tidak meracuni ternak. Di beberapa
negara di daerah tropis tanaman legum ini dipakai untuk penutup tanh dan
sekaligus untuk perbaikan tanah.

Gambar 2 Mucuna pruriens


(Foto Subaedah, 2002)
14 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Gambar 3 Crotalaria anagyroides


(Foto Subaedah, 2002)

Calopogonium muconoides Desv.


Tanaman ini merambat dan melilit ke kiri atau merayap di atas
permukaan tanah dengan panjang batang 1 – 4 m. berbatang keras dan
ditumbuhi rambut-rambut yang agak panjang, berwarna kelabu atau coklat
dan tumbuh mengarah ke bawah. Daun penumpu berbentuk segitiga,
berukuran 2-4 mm. Tanaman ini termasuk family leguminosae yang dapat
merambat atau menjalar. Tanamanan ini berasal dari daerah tropic Amerika.
Toleran terhadap tanah masam (Gambar 4).
Daun trifoliate, bentuk anak daun lonjong telur atau lonjong belah
ketupat. Kedua permukaan daun ditumbuhi rambut-rambut panjang. Panjang
daun 2,5 -12 cm dan lebar daun antara 2-10 cm. Bunga berwarna ungu yang
panjangnya 2,5-11 cm. Polong buah berambut dengan panjang polong 20-40
mm dan lebar 4 – 5 mm (Dirjen Perkebunan, 1983). Biji berbentuk segi
empat dengan warna kekuningan atau coklat kemerahan,
Daun trifoliate, bentuk anak daun lonjong telur atau lonjong belah
ketupat. Kedua permukaan daun ditumbuhi rambut-rambut panjang. Panjang
daun 2,5 -12 cm dan lebar daun antara 2-10 cm. Bunga berwarna ungu yang
panjangnya 2,5-11 cm. Polong buah berambut dengan panjang polong 20-40
Agroteknologi Lahan Kering 15

mm dan lebar 4 – 5 mm (Dirjen Perkebunan, 1983). Biji berbentuk segi


empat dengan warna kekuningan atau coklat kemerahan,

Pueraria Javanica
Pueraria Javanica adalah tanaman penutup tanah dari kelompok
LCC (Legume Cover Crop) yang biasa digunakan oleh perkebunan karet
dan kelapa sawit sebagai tumbuhan pioneer yang dapat meningkatkan
kesuburan tanah (Gambar 5). Pueraria javanica adalah sejenis kacangan
yang cepat menjalar sebab memiliki keunggulan dalam mengikat unsur N
(nitrogen) yang sangat dibutuhkan oleh tanaman utama (karet atau kelapa
sawit) yang belum dewasa, juga kacangan ini menurunkan suhu tanah pada
saat kemarau. Daun tanaman ini termasuk daun majemuk. Pada pangkal
daun terdapat dua daun penumpu yang ujungnya meruncing. Daun letaknya
tersebar dan terdiri atas tiga helaian daun yang bagian bawahnya berwarna
hijau keabuan berbulu halus dan rapat (Dirjen Perkebunan, 1983).

Gambar 4 Calopogonium muconoides


(Foto Subaedah, 2013)
16 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Gambar 5 Pueraria javanica

Tanaman penutup tanah dapat dikelola dengan kombinasi dan


konfigurasi yang berbeda, seperti misalnya:
1. Untuk perbaikan masa bera, ini dapat dilakukan dengan menggantikan
vegetasi bera alami dengan tanaman penutup tanah untuk mempercepat
regenerasi kesuburan tanah dan memungkinkan budidaya permanen,
misalnya yang dilakukan di Nigeria Selatan dengan pemberaan satu
musim dengan Crotalaria sp yang akan meningkatkan kandungan karbon
organik tanah sebesar 12%, 4,3 kg fosfat/ ha serta 45,3 kg potassium/ha
yang setara dengan pemberaan alami selama 4 tahun (Agboola, 1980
dalam Reijntjes et al., 1999). Penelitian yang dilakukan oleh Subaedah
(2004) menunjukkan bahwa penanaman tanaman penutup tanah mucuna,
crotalaria dan centrosema diperoleh kadar N total tanah antara 0,23 -
0,24% atau lebih tinggi 53 hingga 60% dibandingkan tanpa tanaman
penutup tanah.
2. Penggunaan mulsa hidup, larikan tanaman pangan disebarkan dalam
tanaman rerumputan atau polongan yang rendah namun rapat, misalnya
Centrosema pubescens, Pueraria phaseoloides, Arachis prostrata;
larikan tanaman penutup tanah dicabut dengan tangan atau dimatikan
dengan herbisida ketika tanaman-tanaman pangan itu disebarkan
sehingga mengurangi pengolahan lahan hingga nol (Reijntjes et al.,
1999). Pada penelitian yang dilakukan oleh Subaedah (2004), tentang
Agroteknologi Lahan Kering 17

bentuk aplikasi tanaman penutup tanah yang terdiri dari dua bentuk
aplikasi yaitu:
(a) sebagai mulsa hidup dimana tanaman penutup tanah ditanam diantara
barisan tanaman jagung (Gambar 6)
(b) tanaman penutup tanah dipangkas kemudian lahan bekas penanaman
tanaman penutup tanah ditanami jagung dan hasil pangkasannya
dijadikan sebagai mulsa (Gambar 7).

Gambar 6 Tanaman penutup tanah sebagai mulsa hidup dalam pertanaman


jagung di lahan kering
(Foto Subaedah, 2002)

Gambar 7 Pangkasan tanaman penutup tanah dijadikan mulsa dalam


pertanaman jagung di lahan kering
(Foto Subaedah, 2002)
18 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

3. Penanaman secara tumpangsari. Misalnya dalam perkebunan kopi dengan


menanam tanaman penutup tanah seperti Centrosema pubescens,
Pueraria javanica, Calopogonium mucunoides, Crotalaria sp diantara
tanaman kopi (Direktorat Jenderal Perkebunan, 1983).
Agroteknologi Lahan Kering 19

BAB III
PENGELOLAAN TANAMAN PENUTUP TANAH
DI LAHAN KERING DAN PENGARUHNYA
TERHADAP SIFAT KIMIA TANAH

Tanaman penutup tanah berpotensi memperbaiki sifat kimia tanah,


Perbaikan sifat tanah ini terjadi karena biomassa yang dihasilkan oleh
tanaman penutup tanah menjadi sumber bahan organik tanah. Menurut
Hairiah et al., (2000) tanaman penutup tanah dapat memberikan masukan
bahan organik sebanyak 2–3 ton ha-1 pada umur tiga bulan dan 3–6 ton ha-1
jika dibiarkan selama enam bulan. Meningkatnya bahan organik tanah akan
memperbaiki sifat fisik dan sifat kimia tanah setelah biomassa tanaman
penutup tanah mengalami pelapukan. Peningkatan bahan organik tanah
mengakibatkan agregat tanah menjadi lebih mantap, pengikatan unsur P
pada tanah masam berkurang, penyediaan unsur hara secara lengkap dan
berimbang, serta meningkatnya kegiatan biologi di dalam tanah. Bahan
organik akan meningkatkan Kapasitas Tukar Kation tanah dan bila bahan
organik telah mengalami mineralisasi akan menyediakan nitrogen, fosfor
dan belerang bagi tanaman (Tisdale and Nelson, 1975).
Untuk mengetahui pengaruh tanaman penutup tanah terhadap
perbaikan sifat kimia di lahan kering, telah dilakukan penelitian tentang
pengelolaan tanaman penutup tanah dan pengaruhnya terhadap sifat kimia
tanah di lahan kering oleh Subaedah, (2004) dengan hasil yang diperoleh
sebagaimana diuraikan berikut ini:

Pengaruh Tanaman Penutup Tanah Terhadap Kadar N Total Tanah


Pengaruh penanaman tanaman penutup tanah terhadap kadar N
total tanah baru nampak nyata 3 bulan setelah tanam. Dari hasil analisis
20 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

kadar N total tanah akhir percobaan terlihat bahwa penanaman tanaman


penutup tanah Mucuna pruriens dan Centrosema pubescens meningkat 60%
(N total tanah 0,24%), diikuti oleh tanaman penutup Crotalaria anagyroides
yang meningkatkan kadar N total tanah 53% (N total tanah 0,23%)
dibandingkan dengan kadar N total tanah tanpa tanaman penutup tanah
dengan kadar N total tanah 0,15% (Tabel 3). Dari tabel yang sama, juga
dapat dilihat bahwa apabila kadar N total tanah pada periode pengamatan
satu bulan setelah tanam dibandingkan dengan kadar N total pada periode
tiga bulan setelah tanam terlihat adanya penurunan. Penurunan kadar N total
tanah ini cukup tinggi pada tanah tanpa tanaman penutup tanah yaitu
sebanyak 48% (kadar N total tanah pada umur satu bulan 0,29% dan pada
umur 3 bulan 0,15%) sedangkan apabila ditanami tanaman penutup tanah
penurunan hanya berkisar 20–23% (kadar N total tanah pada umur satu
bulan dengan penggunaan tanaman penutup tanah antara 0,29–0,31% dan
pada umur tiga bulan antara 0,23– 0,24%).
Tabel 3. Kadar N total tanah dari berbagai jenis tanaman penutup tanah
pada periode 1, 2 dan 3 bulan setelah tanam
Kadar N total tanah (%)
Jenis perlakuan
1 bst 2 bst 3 bst
tanpa TPT 0,29 tn 0,16 tn 0,15 b
TPT C.pubescens 0,29 0,21 0,24 a
TPT C.anagyroides 0,30 0,23 0,23 a
TPT M. pruriens 0,31 0,20 0,24 a
Keterangan: - angka diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada Uji BNT 0,05.
- tn : tidak nyata berdasarkan analisis ragam.
Pengaruh jenis dan bentuk aplikasi serta pengembalian residu
tanaman sebelumnya ke lahan pertanian seperti yang disajikan pada Tabel 4
menunjukkan bahwa kadar N total tanah nyata dipengaruhi oleh adanya
tanaman penutup tanah pada periode pengamatan 2 bulan setelah aplikasi
untuk musim tanam (MT) 2001/2002 dan MT 2002/2003 sedangkan pada
bulan pertama belum nampak pengaruhnya dengan kadar N total tanah
antara 0,28 - 0,29%. Kadar N total tanah periode 2 bulan setelah aplikasi
tanaman penutup tanah untuk MT 2001/2002 dan MT 2002/2003
menunjukkan bahwa penggunaan ketiga jenis tanaman penutup tanah
(Centrosema pubescens, Crotalaria anagyroides dan Mucuna pruriens)
mengandung N total tanah yang lebih tinggi 42 - 47% (0,27-0,28%) dan
antara 55 - 67% (0,28-0,30%) dibandingkan dengan tanpa tanaman penutup
tanah dengan kadar N total tanah yang dicapai 0,19% dan 0,18%. Pada
Agroteknologi Lahan Kering 21

periode pengamatan 3 bulan setelah aplikasi untuk kedua MT (MT


2001/2002 dan MT 2002/2003) menunjukkan bahwa kadar N total tanah
meningkat antara 55-76% (0,30%) dengan penggunaan tanaman penutup
tanah dibandingkan dengan tanpa tanaman penutup tanah yang masing-
masing untuk kedua MT mengandung 0,18 dan 0,17%. Sedangkan aplikasi
tanaman penutup tanah dalam bentuk hidup dan mulsa tidak nampak adanya
perbedaan yang berarti terhadap kadar N total tanah dengan kisaran antara
0,25-0,28%.
Pengembalian residu tanaman jagung juga nampak pengaruhnya
terhadap kadar N total tanah pada periode pengamatan 2 bulan setelah tanam
MT 2002/2003 dan 3 bst untuk MT 2001/2002 dengan kadar N total tanah
yang lebih tinggi 8% (0,27%) dibanding tanpa residu (0,25%) untuk periode
pengamatan 2 bst dan 17% (0,28%) lebih tinggi dibanding tanpa
pengembalian residu tanaman (0,24 %) untuk periode 3 bst (Tabel 4).
Dari Tabel 4, apabila kita membandingkan kadar N total tanah
dengan penggunaan tanaman penutup tanah dan tanpa tanaman penutup
tanah periode 1 bulan setelah aplikasi (bst) dan 3 bst terlihat adanya
penurunan kadar N total tanah. Penurunan kadar N total tanah cukup tinggi
pada tanah yang tidak ditanami tanaman penutup tanah dengan penurunan
35 hingga 47% (0,28% menjadi 0,18% dan 0,32% menjadi 0,17%),
sedangkan pada tanah yang ditanami tanaman penutup tanah penurunan dari
3% (0,29% pada pengamatan 1 bst dan 0,28% pada akhir percobaan) sampai
6% (antara 0,31 - 0,33% menjadi 0,29 - 0,30%).
Peningkatan kadar nitrogen tanah pada legum penutup tanah
disebabkan kemampuan tanaman legum untuk bersimbiose dengan bakteri
Rhizobium yang merupakan salah satu jenis bakteri pemfiksasi N dari udara
dengan membentuk nodul akar pada tanaman tersebut sehingga tanaman
mampu memenuhi sebagian besar kebutuhan nitrogen dari hasil fiksasi
tersebut (Tisdale, Nelson and Beaton 1985). Nitrogen yang difiksasi oleh
tanaman legum dapat digunakan oleh tanaman inang, atau mungkin
dieksudasi dari nodul dan masuk kedalam tanah yang akan meningkatkan
kadar nitrogen tanah atau dilepaskan dari hasil dekomposisi pengembalian
residu legum setelah tanaman legum tersebut mati.
22 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Tabel 4. Kadar N total tanah pada berbagai jenis dan bentuk aplikasi
tanaman penutup tanah serta pengembalian residu tanaman
jagung
N total tanah (%)
1 bst 2 bst 3 bst
MT MT MT MT MT MT
Jenis perlakuan
2001/ 2002/ 2001/ 2002/ 2001/ 2002/
2002 2003 2002 2003 2002 2003
Jenis TPT
Tanpa TPT 0,28 tn 0,32 tn 0,19 b 0,18 b 0,18 b 0,17 b
TPT Cp 0,29 0,31 0,28 a 0,28 a 0,28 a 0,29 a
TPT Ca 0,29 0,33 0,27 a 0,30 a 0,28 a 0,30 a
TPT Mp 0,29 0,32 0,28 a 0,30 a 0,29 a 0,30 a
Bentuk aplikasi
TPT Hidup 0,29 tn 0,32 tn 0,26 tn 0,27 tn 0,26 tn 0,26 tn
TPT Mulsa 0,28 0,32 0,25 0,25 0,26 0,27
Pengembalian
Residu tan.
Residu (+) 0,29 tn 0,33 tn 0,26 tn 0,27 a 0,28 a 0,27 tn
Residu (-) 0,28 0,31 0,25 0,25 b 0,24 b 0,26
Keterangan: - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada
kolom/perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada Uji
BNT 0,05.
- tn : tidak nyata berdasarkan hasil analisis sidik ragam
- bst : bulan setelah aplikasi

Pengaruh Pengelolaan Tanaman Penutup Tanah Terhadap Kadar P-


Tersedia
Hasil analisis kadar P tersedia setelah tiga bulan penanaman
tanaman penutup tanah menunjukkan bahwa penggunaan tanaman penutup
tanah Crotalaria anagyroides meningkatkan kadar P-tersedia hingga 15%
(9,71 ppm) dibandingkan tanpa tanaman penutup tanah (8,46 ppm),
sementara TPT Centrosema dan Mucuna masing-masing meningkatkan
Kadar P-tersedia sebesar 6,97% dan 11,7% (Tabel 5).
Agroteknologi Lahan Kering 23

Tabel 5. Kadar P tersedia pada berbagai jenis tanaman penutup tanah yang
berumur tiga bulan
Jenis perlakuan P tersedia (ppm)
tanpa TPT 8,46 b
TPT C.pubescens 9,05 ab
TPT C.anagyroides 9,71 a
TPT M. pruriens 9,45 a
Keterangan : - angka diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada Uji BNT 0,05.
Pada Tabel 6 disajikan data hasil penelitian tentang bentuk aplikasi
tanaman penutup tanah yang disertai pengembalian residu tanaman jagung
ke dalam pertanaman di lahan kering dan diperoleh hasil yang menunjukkan
adanya kerjasama antara jenis, bentuk aplikasi dan pengembalian residu
tanaman jagung dalam meningkatkan kadar P tersedia.
Tabel 6. Kadar P tersedia pada interaksi antara berbagai jenis tanaman
penutup tanah, bentuk aplikasi tanaman penutup tanah dan
pengembalian residu jagung
P tersedia (ppm)
Jenis perlakuan Jenis tanaman penutup tanah
Tanpa TPT TPT Cp TPT Ca TPT Mp
Bentuk aplikasi x
residu jagung
TPT Hidup x Res.(+) 14,97 b 15,94 a 15,35 ab 15,51 ab
TPT Hidup x Res.(-) 15,26 ab 15,48 ab 15,21 ab 15,16 ab
TPT Mulsa x Res.(+) 15,17 ab 16,02 a 15,59 ab 16,03 a
TPT Mulsa x Res.(-) 14,70 b 15,33 ab 15,39 ab 15,48 ab

Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada tidak
berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- TPT : Tanaman penutup tanah
- Cp : Centrosema pubescens, Mp : Mucuna pruriens,
- Ca: Crotalaria anagyroides
- Res. (+) : pengembalian residu tanaman ke lahan
- Res. (-) : tanpa pengembalian residu

Kadar P tersedia meningkat 9% dengan penggunaan Centrosema


pubescens dan Mucuna pruriens yang diaplikasikan dalam bentuk mulsa
disertai pengembalian residu yang masing-masing mengandung kadar P
tersedia 16,02 dan 16,03 ppm, diikuti oleh Crotalaria angyroides yang
24 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

diaplikasikan dalam bentuk mulsa dan pengembalian residu meningkatkan


kadar P tersedia sebanyak 8% (15,94 ppm) dan berbeda nyata dibandingkan
interaksi antara tanpa tanaman penutup tanah dan tanpa residu (14,70 ppm)
(Tabel 6).

Pengaruh Pengelolaan Tanaman Penutup Tanah Terhadap Kadar K


Dapat Ditukar (dd)
Kadar K-dd yang disajikan pada Tabel 7 nyata dipengaruhi oleh
penanaman tanaman penutup tanah baik untuk musim tanam (MT)
2001/2002 maupun untuk MT 2002/2003. Penggunaan Centrosema
pubescens dan Crotalaria anagyroides meningkatkan kadar K-dd tanah
sebanyak 20% (0,36 me.100g-1), diikuti oleh Mucuna pruriens yang
meningkatkan K-dd tanah 13% (0,34 me.100g-1) dibandingkan dengan tanpa
tanaman penutup tanah (0,30 me.100g-1) untuk MT 2001/2002, sedangkan
untuk MT 2002/2003 Centrosema pubescens dan Crotalaria anagyroides
meningkatkan kadar K-dd tanah antara 16–19% (0,37– 0,38 me.100g-1) dan
berbeda nyata dibandingkan dengan tanpa tanaman penutup tanah (0,32
me.100g-1) dan juga berbeda nyata dengan Mucuna pruriens dengan K-dd
tanah 0,34 me.100g-1. Aplikasi tanaman penutup tanah dalam bentuk mulsa
juga meningkatkan kadar K-dd tanah 9% (0,37 me.100g-1) dibanding
aplikasi dalam bentuk hidup (0,34 me.100g-1) walaupun ini baru nampak
pada MT tahun kedua (2002/2003).
Interaksi antara aplikasi tanaman penutup tanah dalam bentuk
mulsa dan pengembalian residu tanaman jagung juga meningkatkan kadar
K-dd tanah 6% (0,36 me.100g-1), diikuti oleh aplikasi tanaman penutup
tanah dalam bentuk hidup ataupun mulsa tanpa adanya residu yang masing-
masing meningkatkan K-dd 6% (0,34 me.100g-1) dan 3% (0,33 me.100g-1)
dibandingkan dengan tanaman penutup tanah yang diaplikasikan dalam
bentuk hidup disertai pengembalian residu tanaman akan tetapi pengaruh ini
hanya nyata pada MT 2001/2002.
Agroteknologi Lahan Kering 25

Tabel 7. Kadar K-dd pada berbagai jenis dan bentuk aplikasi tanaman
penutup tanah serta pada interaksi antara bentuk aplikasi tanaman
penutup tanah dan pengembalian residu jagung
K dapat ditukar (me.100 g-1)
Jenis perlakuan
MT 2001/2002 MT 2002/2003
Jenis TPT
Tanpa TPT 0,30 b 0,32 b
TPT C. pubescens 0,36 a 0,37 a
TPT C.anagyroides 0,36 a 0,38 a
TPT M. pruriens 0,34 a 0,34 b
Bentuk aplikasi TPT
TPT Hidup 0,33 tn 0,34 tn
TPT Mulsa 0,34 0,37
Bentuk aplikasi x residu jagung
TPT Hidup x Residu(+) 0,32 b 0,35 tn
TPT Hidup x Residu(-) 0,34 ab 0,33
TPT Mulsa x Residu(+) 0,36 a 0,38
TPT Mulsa x Residu(-) 0,33 ab 0,36
Keterangan:- angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada MT/jenis
perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- tn: tidak nyata berdasarkan analisis ragam

Pengaruh Pengelolaan Tanaman Penutup Tanah Terhadap Kadar C-


Organik
Hasil analisis kadar C-organik tanah, dengan adanya tanaman penutup
tanah menyebabkan terjadinya peningkatan C-organik berturut-turut
sebanyak 19% (1,63%), 21% (1,66%) dan 24% (1,70%) masing-masing oleh
tanaman penutup tanah Centrosema pubescens, Crotalaria anagyroides dan
Mucuna pruriens dibandingkan dengan tanpa tanaman penutup tanah (Tabel
8).
Tabel 8. Kadar C organik tanah pada berbagai jenis tanaman penutup tanah
yang berumur tiga bulan
Jenis perlakuan C Organik (%)
tanpa TPT 1,37 b
TPT C.pubescens 1,63 a
TPT C.anagyroides 1,66 a
TPT M. pruriens 1,70 a
Keterangan : - angka diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada Uji BNT 0,05.
26 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Pada penelitian tentang jenis dan bentuk aplikasi TPT serta


pengembalian residu tanaman ke dalam pertanaman yang disajikan pada
Tabel 9 juga diperoleh hasil yang sama yaitu meningkatnya kadar C-organik
dengan adanya penanaman tanaman penutup tanah, yang mana peningkatan
kadar C-organik tertinggi (58%) pada MT 2002/2003 dengan Mucuna
pruriens (C-organik tanah 2,41%) dan setinggi 46% (C-organik tanah 2,22
%) dengan Crotalaria anagyroides dibandingkan dengan tanpa tanaman
penutup tanah (1,52%). Sedangkan MT 2001/2002 meningkat setinggi 41%
(C-organik tanah 2,03%) dengan penggunaan Centrosema pubescens dan
Mucuna pruriens dan berbeda nyata dengan tanpa tanaman penutup tanah
yang menghasilkan C-organik 1,44%, tetapi tidak berbeda nyata dengan
kadar C-organik yang diperoleh dengan penggunaan Crotalaria anagyroides
yaitu 2,01%. Begitupula pengembalian residu tanaman jagung meningkatkan
kadar C-organik tertinggi pada MT tahun kedua yaitu setinggi 21% (C-
organik tanah 2,28%) dan setinggi 8% (C-organik tanah 1,95%) untuk MT
tahun pertama dibandingkan dengan tanpa pengembalian residu tanaman
yang masing-masing menghasilkan C-organik tanah 1,81 dan 1,88%.
Sementara bentuk aplikasi tanaman penutup tanah tidak memperlihatkan
perbedaan yang berarti dengan C-organik tanah yang dihasilkan antara 1,86-
1,89% dan 2,07- 2,09% (Tabel 9).
Tabel 9. Kadar C-organik tanah pada berbagai jenis dan bentuk aplikasi
tanaman penutup tanah serta pengembalian residu jagung
C-organik tanah (%)
Jenis perlakuan
MT 2001/2002 MT 2002/2003
Jenis TPT
Tanpa TPT 1,44 b 1,52 c
TPT C. pubescens 2,03 a 2,17 b
TPT C.anagyroides 2,01 a 2,22 ab
TPT M. pruriens 2,03 a 2,41 a
Bentuk aplikasi TPT
TPT Hidup 1,89 tn 2,09 tn
TPT Mulsa 1,86 2,07
Pengembalian residu tanaman jagung
Residu dikembalikan 1,95 a 2,28 a
Residu dikeluarkan 1,81 b 1,88 b
Keterangan:- angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada MT/jenis
perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- tn: tidak nyata berdasarkan analisis ragam
Agroteknologi Lahan Kering 27

Pengaruh Pengelolaaan Tanaman Penutup Tanah Terhadap Kadar


Bahan Organik Tanah
Kadar bahan organik tanah setelah tiga bulan penanaman tanaman
penutup tana nyata dipengaruhi oleh adanya tanaman penutup tanah.
Penggunaan tanaman penutup tanah Mucuna pruriens meningkatkan bahan
organik sebanyak 24% (bahan organik tanah 2,93%) kemudian diikuti oleh
Crotalaria anagyroides dan Centrosema pubescens yang masing-masing
meningkatkan bahan organik tanah sebanyak 21% (bahan organik tanah
2,86%) dan 19% (bahan organik tanah 2,81%) dibandingkan dengan tanpa
tanaman penutup tanah dengan kandungan bahan organik tanah yang
dihasilkan 2,36% (Tabel 10)

Tabel 10. Kadar bahan organik tanah pada berbagai jenis tanaman penutup
tanah yang berumur tiga bulan
Jenis perlakuan Bahan Organik (%)
tanpa TPT 2,36 b
TPT C.pubescens 2,81 a
TPT C.anagyroides 2,86 a
TPT M. pruriens 2,93 a
Keterangan : angka diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada Uji BNT 0,05.

Tabel 11. Kadar bahan organik tanah pada berbagai jenis dan bentuk
aplikasi tanaman penutup tanah serta pengembalian residu
jagung
Bahan organik (%)
Jenis perlakuan
MT 2001/2002 MT 2002/2003
Jenis TPT
Tanpa TPT 2,49 b 2,62 c
TPT C. pubescens 3,51 a 3,75 b
TPT C.anagyroides 3,46 a 3,83 ab
TPT M. pruriens 3,50 a 4,15 a
Bentuk aplikasi TPT
TPT Hidup 3,26 tn 3,60 tn
TPT Mulsa 3,23 3,57
Pengembalian residu tan.jagung
Residu dikembalikan 3,36 a 3,94 a
Residu dikeluarkan 3,12 b 3,23 b
Keterangan:- angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada MT/jenis
perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- tn: tidak nyata berdasarkan analisis ragam
28 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Pada Tabel 11 terlihat bahwa penggunaan tanaman penutup tanah


nyata meningkatkan kadar bahan organik tanah pada akhir percobaan baik
untuk MT 2001/2002 maupun MT 2002/2003. Peningkatan kadar bahan
organik tertinggi dicapai pada MT tahun kedua dengan penggunaan Mucuna
pruriens yang meningkatkan kadar bahan organik tanah setinggi 58%
(kandungan bahan organik tanah 4,15%) dan berbeda nyata dengan tanpa
tanaman penutup tanah dan penggunaan Centrosema pubescens yang
masing-masing menghasilkan kadar bahan organik tanah 2,62% dan 3,75%.
Demikian pula pada MT 2001/2002 tahun pertama terjadi peningkatan
bahan organik tanah 41% dengan penggunaan Mucuna pruriens dan
Centrosema pubescens dengan kadar bahan organik yang dihasilkan 3,51%
diikuti oleh Crotalaria anagyroides yang menghasilkan kadar bahan organik
tanah 3,46% dan berbeda nyata dengan tanpa tanaman penutup tanah yang
menghasilkan bahan organik 2,49%. Sedangkan aplikasi tanaman penutup
tanah dalam bentuk hidup dan bentuk mulsa tidak memperlihatkan
perbedaan yang nyata dengan kadar bahan organik yang dihasilkan antara
3,23-3,26% dan 3,57-3,60%. Untuk Pengembalian residu tanaman jagung
diperoleh kadar bahan organik yang lebih tinggi masing-masing 3,36% dan
3,94% dan berbeda nyata dibanding tanpa pengembalian residu tanaman
jagung yang menghasilkan 3,12% dan 3,23% bahan organik tanah (Tabel
11).

Pengaruh Pengelolaan Tanaman Penutup Tanah Terhadap Kapasitas


Tukar Kation tanah
Pengamatan terhadap kapasitas tukar kation (KTK) tanah setelah tiga
bulan penanaman tanaman penutup tanah menunjukkan bahwa adanya
tanaman penutup tanah Centrosema pubescens, Crotalaria anagyroides dan
Mucuna pruriens meningkatkan KTK tanah masing-masing sebanyak 13%
(30,00 me.100g-1), 25% (33,00 me. 100g-1) dan 24% (32,83 me. 100g-1)
dibandingkan dengan control (tanpa tanaman penutup tanah) dengan KTK
yang dicapai 26,50 me. 100g-1 (Tabel 12).
Agroteknologi Lahan Kering 29

Tabel 12. Kadar bahan organik tanah pada berbagai jenis tanaman penutup
tanah yang berumur tiga bulan
Jenis perlakuan KTK (me.100 g-1)
tanpa TPT 26,50 b
TPT C.pubescens 30,00 a
TPT C.anagyroides 33,00 a
TPT M. pruriens 32,83 a

Keterangan : angka diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata pada Uji BNT 0,05.
Pengaruh jenis tanaman penutup tanah, bentuk aplikasi dan
pengembalian residu tanaman jagung terhadap KTK tanah sudah nampak
nyata sejak MT 2001/2002. KTK tanah akhir percobaan MT 2001/2002
dengan penggunaan Mucuna pruriens, meningkat setinggi 63% (34,17
me.100g-1) sedangkan pada MT 2002/2003 penggunaan TPT Crotalaria
anagyroides diperoleh KTK yang lebih tinggi 43% (36,38 me.100g-1), dan
tidak berbeda nyata dengan kedua tanaman penutup tanah lainnya yang
masing-masing meningkatkan KTK tanah sekitar 27% (32,43 me.100g-1)
dan 20% (30,46 me.100g-1) dibandingkan dengan tanpa tanaman penutup
tanah dengan KTK yang diperoleh 20,92 me.100g-1 dan 25,46 me.100g-1
(Tabel 13).
Demikian pula aplikasi tanaman penutup tanah dalam bentuk mulsa
seperti yang tertera pada Tabel 13 meningkatkan KTK tanah setinggi 8%
(30,21 me.100g-1) dibanding aplikasi tanaman penutup tanah dalam bentuk
hidup tetapi hanya terjadi pada MT tahun pertama. Pengembalian residu
tanaman jagung juga meningkatkan KTK tanah untuk kedua MT yang
digunakan antara 16% (31,33 me.100g-1) dan 10% (32,74 me.100g-1)
dibanding tanpa residu dengan KTK yang dicapai antara 26,91 me.100g-1
dan 29,62 me.100g-1.
30 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Tabel 13. KTK tanah pada berbagai jenis dan bentuk aplikasi tanaman
penutup tanah serta pengembalian residu jagung
KTK (me.100 g-1)
Jenis perlakuan
MT 2001/2002 MT 2002/2003
Jenis TPT
Tanpa TPT 20,92 c 25,46 b
TPT C. pubescens 30,50 b 30,46 ab
TPT C.anagyroides 31,00 b 36,38 a
TPT M. pruriens 34,17 a 32,43 a
Bentuk aplikasi TPT
TPT Hidup 28,08 b 30,68 tn
TPT Mulsa 30,21 a 31,68
Pengembalian residu tanaman jagung
Residu dikembalikan 31,33 a 32,74 a
Residu dikeluarkan 26,96 b 29,62 b
Keterangan:- angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada MT/jenis
perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- tn: tidak nyata berdasarkan hasil analisis ragam

Pengaruh Pengelolaan Tanaman Penutup Tanah terhadap pH Tanah


pH tanah mempengaruhi ketersediaan hara tanah. Hasil analisis pH
tanah pada Tabel 14 menunjukkan bahwa untuk MT 2001/2002 pH tertinggi
diperoleh pada penggunaan Mucuna pruriens yang diaplikasikan dalam
bentuk hidup yaitu 6,02, diikuti oleh penggunaan Mucuna pruriens yang
diaplikasikan dalam bentuk mulsa dan Crotalaria anagyroides yang
diaplikasikan dalam bentuk mulsa dengan pH masing-masing 5,95 dan 5,93
dan berbeda nyata dengan pH tanah yang diperoleh tanpa tanaman penutup
tanah dengan pH tanah yang diperoleh 5,77 dan 5,58. Sedangkan kerjasama
antara Mucuna pruriens dan pengembalian residu tanaman jagung diperoleh
pH tanah tertinggi senilai 6,08, kemudian diikuti oleh Crotalaria
anagyroides dengan pengembalian residu tanaman jagung dengan pH tanah
yang diperoleh 5,95 dan berbeda nyata dengan tanpa tanaman penutup tanah
dengan atau tanpa pengembalian residu dengan pH tanah 5,72 dan 5,63.
Agroteknologi Lahan Kering 31

Tabel 14. pH tanah pada berbagai bentuk aplikasi tanaman penutup tanah
dan pengembalian residu serta pada interaksi antara bentuk
aplikasi tanaman penutup tanah dan pengembalian residu jagung
pH Tanah
Jenis perlakuan Jenis tanaman penutup tanah
Tanpa TPT TPT Cp TPT Ca TPT Mp
Bentuk aplikasi TPT MT 2001/2002
TPT Hidup 5,77 bc 5,58 d 5,85 abc 6,02 a
TPT Mulsa 5,58 d 5,72 cd 5,93 ab 5,95 a
Pengembalian residu
tanaman jagung
Residu dikembalikan 5,72 cd 5,60 d 5,95 ab 6,08 a
Residu dikeluarkan 5,63 d 5,70 cd 5,83 bc 5,88 b
Bentuk aplikasi x MT 2002/2003
residu jagung
TPT Hidup x Res.(+) 5,85 bc 6,13 ab 5,80 bc 6,50 a
TPT Hidup x Res.(-) 5,85 bc 5,20 d 6,00 bc 6,23 ab
TPT Mulsa x Res.(+) 5,90 bc 5,77 c 5,75 c 5,97 bc
TPT Mulsa x Res.(-) 5,75 c 6,03 bc 6,05 b 5,83 bc
Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada MT /jenis
perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
Dari Tabel 14 juga terlihat bahwa kerjasama antara ketiga faktor yang
dicobakan juga nampak nyata meskipun hanya terjadi pada MT 2002/2003
dengan pH tanah tertinggi dicapai pada Mucuna pruriens yang diaplikasikan
dalam bentuk hidup disertai pengembalian residu tanaman jagung dengan
pH 6,50, diikuti oleh Centrosema pubescens yang diaplikasikan dalam
bentuk hidup disertai pengembalian residu dengan pH tanah yang dicapai
6,13 dan berbeda nyata dengan tanpa tanaman penutup tanah dengan atau
tanpa residu dengan pH tanah antara 5,75–5,90.
Adanya tanaman penutup tanah baik dalam bentuk hidup maupun yang
dihamparkan dipermukaan tanah sebagai mulsa akan meningkatkan kadar N
total tanah dari hasil dekomposisi residu tanaman khusunya legum penutup
tanah. Di samping itu adanya residu tanaman yang dihamparkan akan
mematahkan kekuatan butir–butir hujan yang sampai kepermukaan tanah
sehingga dapat mengurangi kehilangan hara tanah melalui aliran permukaan
atau oleh pencucian. Pencucian melalui profil tanah dapat terjadi kalau
presipitasi melebihi evapotranspirasi potensial. Jumlah dan frekuensi
pencucian ditentukan oleh jumlah, tipe dan distribusi curah hujan musiman
(Samosir, 2000). Berkaitan dengan distribusi curah hujan yang tidak merata
32 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

yang pada bulan tertentu intensitas curah hujan demikian tinggi, sehingga
sangat potensial untuk terjadinya pencucian hara.
Dibandingkan dengan tanpa tanaman penutup tanah, pengamatan
kadar fosfor tersedia, kalium dapat ditukar, C organik, KTK, bahan organik
serta pH tanah pada akhir percobaan menunjukkan bahwa penggunaan
ketiga jenis tanaman penutup tanah meningkatkan kadar P tersedia sekitar 9
hingga 15%, K-dd hingga 20%, KTK hingga 43%, C-organik dan bahan
organik hingga 58%, demikian juga aplikasi tanaman penutup tanah dalam
bentuk mulsa dan pengembalian residu tanaman serta interaksi diantaranya
dapat meningkatkan kadar P tersedia sekitar 9%, kadar K-dd meningkat
hingga 12%, KTK meningkat hingga 10%, C-organik dan bahan organik
meningkat hingga 21% serta pH tanah yang diperoleh 6,50.
Demikian juga aplikasi tanaman penutup tanah dalam bentuk mulsa
dan pengembalian residu tanaman serta interaksi diantaranya dapat
meningkatkan kadar P tersedia sekitar 9%, kadar K-dd meningkat hingga
12%, KTK meningkat hingga 10%, C-organik dan bahan organik meningkat
hingga 21% serta pH tanah yang diperoleh 6,50.
Pengaruh baik dari penggunaan tanaman penutup tanah dan juga
pengembalian residu tanaman jagung ini berkaitan dengan proses
dekomposisi residu tanaman yang akan melepaskan berbagai unsur hara ke
tanah secara berangsur-angsur. Beberapa hara, misalnya kalium dapat
dilepas ke tanah dengan pencucian bahan mulsa organik (residu tanaman)
yang belum melapuk, selain itu pengembalian residu tanaman dari golongan
serealia seperti jagung banyak mengandung kalium (Samosir, 2000)
sehingga pengembalian residu jagung terhadap suplai kalium berpengaruh
nyata. Di samping itu pengaruh baik dari tanaman penutup tanah ataupun
dengan pengembalian residu tanaman berkaitan dengan kemampuannya
untuk menambah bahan organik tanah melalui batang, ranting dan daun-
daunnya. Penambahan bahan organik ini akan memperbaiki kesuburan tanah
lapisan atas. Tanaman penutup tanah umumnya mempunyai sistim perakaran
yang dalam sehingga mampu menyerap hara dari lapisan bawah tanah dan
kemudian mengembalikannya ke lapisan atas tanah dalam bentuk bahan
organik. Bahan organik merupakan kunci kesuburan tanah karena
memperbesar kemampuan tanah memegang hara dan dengan demikian
meningkatkan kemampuan tanah menyediakan hara untuk tanaman,
mengurangi pencucian hara, menambah kemampuan tanah menahan air dan
kemantapan struktur tanah serta sebagai sumber energi bagi biota tanah
(Samosir, 1997).
Agroteknologi Lahan Kering 33

Peningkatan bahan organik dengan penggunaan tanaman penutup


tanah juga berarti meningkatkan kapasitas tukar kation tanah di lapisan atas
sehingga akan memperbesar proporsi kation-kation, seperti kalium yang
dipegang tanah dalam bentuk dapat dipertukarkan sehingga tersedia bagi
tanaman. Bahan organik juga melepaskan fosfor yang terfiksasi oleh Al dan
Fe maupun yang dijerap oleh Ca sehingga fosfor tersedia bagi tanaman
(Buckman and Brady, 1980; Griffin, Honeycutt and He, 2003).
Peningkatan perbaikan sifat kimia tanah ini terjadi karena adanya
pengembalian residu tanaman baik dari tanaman penutup tanah maupun dari
tanaman jagung yang dikembalikan ke lahan pada akhir percobaan.
Pengembalian residu tanaman yang dikembalikan terdiri dari pengembalian
residu tanaman penutup tanah yang cepat mengalami dekomposisi dan
pengembalian residu dari tanaman jagung yang proses dekomposisinya lebih
lama. Adanya pengembalian residu tanaman yang berbeda kualitasnya
memungkinkan bahan organik dapat dipertahankan lebih lama yang akan
meningkatkan kandungan bahan organik tanah. Meningkatnya kandungan
bahan organik tanah juga berdampak pada peningkatan kapasitas tukar
kation tanah, demikian pula peningkatan unsur hara seperti nitrogen, fosfor
dan kalium dari hasil mineralisasi bahan organik tersebut (Buckman and
Brady, 1980).
34 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.
Agroteknologi Lahan Kering 35

BAB IV
PENGELOLAAN TANAMAN PENUTUP DI
LAHAN KERING DAN PENGARUHNYA
TERHADAP SIFAT FISIK TANAH

Selain sebagai pengikat nitrogen dari udara, tanaman penutup tanah


juga memperbaiki sifat fisik tanah. Van Noordwijk et al., (1992)
mengemukakan bahwa tanaman penutup tanah dapat memperbaiki sifat
fisik, kimia dan biologi tanah. Perbaikan sifat fisik ini terjadi karena
meningkatnya bahan organik tanah. Hasil penelitian tentang pengaruh
tanaman penutup tanah terhadap perbaikan sifat fisik, diantaranya yang
dilakukan oleh Sidik et al., 1998 yang meneliti beberapa jenis tanaman
penutup tanah seperti Centrosema pubescens, Brachiaria decumberns dan
Pueraria javanica, menunjukkan bahwa Centrosema pubescens memberikan
pengaruh lebih baik terhadap pori aerasi dan permeabilitas tanah. Fitomassa
tanaman penutup tanah yang sudah kering berupa daun dan batang yang
sudah mati akan menjadi mulsa yang menutupi permukaan tanah.
Arsyad (1989) mengemukakan bahwa mulsa dari tanaman penutup
tanah mempunyai banyak keuntungan dari segi sifat fisik, kimia dan biologi
tanah. Keuntungan yang dimaksud antara lain: dapat mengurangi penguapan
tanah yang berlebihan, menghindarkan tanah dari pukulan air hujan,
menghambat aliran permukaan, mempertahankan kelembaban dan suhu
tanah, meningkatkan kegiatan biologi tanah, menghambat pertumbuhan
gulma, memelihara dan menambah kesuburan tanah. Adanya tanaman
penutup tanah yang menutupi permukaan tanah berpotensi untuk melindungi
tanah dari terpaan butiran hujan, sehingga agregat-agregat tanah tetap stabil.
Untuk melihat pengaruh pengelolaan tanaman penutup tanah
terhadap sifat fisik tanah, maka telah dilakukan penelitian oleh Subaedah
36 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

(2004) dalam bentuk percobaan lapang di lahan kering Kabupaten


Jeneponto, Sulawesi Selatan. Hasil penelitian yang diperoleh diuraikan
berikut ini:

Pengaruh Pengelolaan Tanaman Penutup Tanah Terhadap Bobot Isi


Tanah
Penggunaan tanaman penutup tanah mempengaruhi bobot isi tanah,
demikian pula pengembalian residu tanaman nyata menurunkan bobot isi
tanah untuk kedua musim tanam yang dicobakan (MT 2001/2002 dan MT
2002/2003). Penurunan bobot isi tanah dengan penggunaan tanaman
penutup tanah antara 16-19% (1,29-130 g.cc-1) untuk MT 2001/2002 dan
antara 18-20% (1,29-1,30 g.cc-1) untuk MT 2002/2003 dibanding tanpa
tanaman penutup tanah dengan bobot isi yang diperoleh untuk kedua musim
tanam adalah 1,60 g.cc-1 dan 1,62 g.cc-1. Demikian pula pengembalian
residu tanaman jagung untuk kedua musim tanam dapat menurunkan bobot
isi masing-masing 10% (1,32 g.cc-1) dan 6% (1,33 g. cc-1) dibanding tanpa
pengembalian residu tanaman dengan bobot isi tanah yang dicapai masing-
masing 1,45 g.cc-1 dan 1,42 g.cc-1, sementara aplikasi tanaman penutup
tanah dalam bentuk hidup ataupun dalam bentul mulsa tidak
memperlihatkan perbedaan yang berarti dengan bobot isi tanah antara 1,34-
1,43g.cc-1 (Tabel 15). Hasil ini serupa dengan apa yang diperoleh Erfandi
dan Suwardjo (1991) yang melaporkan bahwa bobot isi tanah pada
penggunaan Mucuna pruriens menurun sekitar 18% (0,86 g.cc-1) dibanding
tanpa penutup tanah (1,06 g.cc-1). Penelitian lain yang juga dilakukan oleh
Erfandi (1988) menemukan bahwa penggunaan pangkasan tanaman yang
disebarkan dipermukaan tanah (Lamtoro, Flemingia dan Kaliandra)
diperoleh rata-rata bobot isi tanah lebih rendah 14% (1,1 g.cc -1) dibanding
tanpa penutup tanah yang menghasilkan rata-rata bobot isi 1,28 g.cc-1.
Agroteknologi Lahan Kering 37

Tabel 15. Bobot isi tanah pada berbagai jenis dan bentuk aplikasi tanaman
penutup tanah serta pengembalian residu jagung
Bobot isi tanah (g.cc-1)
Jenis perlakuan
MT 2001/2002 MT 2002/2003
Jenis TPT
Tanpa TPT 1,60 a 1,62 a
TPT C. pubescens 1,31 b 1,33 b
TPT C.anagyroides 1,29 b 1,29 b
TPT M. pruriens 1,34 b 1,29 b
Bentuk aplikasi TPT
TPT Hidup 1,34 tn 1,35 tn
TPT Mulsa 1,43 1,40
Pengembalian residu tan. jagung
Residu dikembalikan 1,32 b 1,33 b
Residu dikeluarkan 1,45 a 1,42 a
Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada MT/jenis
perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT
0,05.
- tn: tidak nyata berdasarkan hasil analisis ragam
Penurunan bobot isi tanah ini disebabkan oleh adanya tanaman
penutup tanah dan oleh pengembalian residu tanaman sebelumnya yang
akan menghalangi kontak langsung antara butir-butir hujan yang jatuh
dengan permukaan tanah yang akan menghancurkan struktur tanah, sehingga
akan menghalangi terjadinya pemadatan tanah.
Selain itu penggunaan tanaman penutup tanah, pengembalian
residu tanaman akan menambah bahan organik tanah. Peningkatan bahan
organik tanah ini akan memperbaiki sifat fisik melalui perbaikan agregat
tanah yang stabil (Sugito, et al., 1995).
Selanjutnya Buckman and Brady (1980) mengemukakan bahwa
bahan organik tanah berperan sebagai pembentuk butir mineral yang
menyebabkan terjadinya keadaan gembur pada tanah dan meningkatkan
porositas tanah.

Pengaruh Pengelolaan Tanaman Penutup Tanah Terhadap Kadar Air


Tanah
Dengan adanya tanaman penutup tanah, permukaan tanah tertutup
oleh fitomassa tanaman penutup tanah berupa daun dan batang ataupun
serasahnya sehingga penguapan air tanah dapat diperkecil. Dengan demikian
38 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

kadar air tanah dapat dipertahankan lebih lama dibanding tanpa perlakuan
tanaman penutup tanah.
Tabel 16 menunjukkan bahwa interaksi antara jenis tanaman
penutup tanah dan pengembalian residu nyata pengaruhnya pada periode
pengamatan 4 dan 6 mst MT 2002/2003, dengan kadar air tanah tertinggi
yang dapat dipertahankan pada periode pengamatan 4 mst dengan
penggunaan Mucuna pruriens disertai pengembalian residu tanaman yang
dapat mempertahan kadar air tanah lebih tinggi 42% (kadar air tanah
39,29%) dan berbeda nyata dibandingkan dengan tanpa tanaman penutup
tanah yang menghasilkan kadar air tanah 27,58%, tetapi tidak berbeda nyata
dengan interaksi kedua tanaman penutup tanah lainnya dengan
pengembalian residu tanaman (Centrosema pubescens dan Crotalaria
anagyroides) yang masing-masing menghasilkan kadar air tanah 35,35%
dan 35,16%.
Sedangkan untuk periode pengamatan 6 mst penggunaan Mucuna
pruriens disertai pengembalian residu tanaman yang dapat mempertahan
kadar air tanah lebih tinggi 38% (kadar air tanah 38,63%), diikuti oleh
interaksi Centrosema pubescens dan Crotalaria anagyroides dengan
pengembalian residu yang masing-masing menghasilkan kadar air tanah
34,73% dan 34,49% dan berbeda nyata dibandingkan dengan tanpa tanaman
penutup tanah yang menghasilkan kadar air tanah 27,75% (Tabel 16).
Agroteknologi Lahan Kering 39

Tabel 16. Interaksi antara berbagai jenis tanaman penutup tanah dan
pengembalian residu terhadap kadar air tanah
Kadar air tanah (%)
Periode Pengamatan
Jenis
6 mst 12 mst
Perlakuan
MT MT MT MT
2001/2002 2002/2003 2001/2002 2002/2003
Jenis TPT x Residu
tanpa TPT x Res(+) 28,95tn 27,75 c 19,88 tn 19,47tn
tanpa TPT x Res (-) 28,21 29,68bc 17,47 17,80
TPT Cp x Res (+) 33,60 34,49ab 25,71 26,13
TPT Cp x Res (-) 30,98 31,44bc 25,63 20,75
TPT Ca x Res (+) 33,52 34,73ab 24,17 24,05
TPT Ca x Res (-) 28,61 30,93bc 21,81 20,52
TPT Mp x Res (+) 33,84 38,63 a 24,16 26,82
TPT Mp x Res (-) 29,42 31,80bc 22,82 21,52

Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom
yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- tn: tidak nyata berdasarkan hasil analisis ragam
- TPT : tanaman penutup tanah, Cp : Centrosema
pubescens, Mp : Mucuna pruriens, Ca: Crotalaria
anagyroides

Kerjasama antara bentuk aplikasi dan pengembalian residu seperti


yang tertera pada Tabel 17 juga nampak pengaruhnya tetapi hanya pada
periode pengamatan 10 mst MT 2001/2002 dengan kadar air tanah yang
dapat dipertahankan dengan penggunaan tanaman penutup tanah dalam
bentuk hidup disertai pengembalian residu lebih tinggi 22% (kadar air tanah
31,14%) diikuti oleh aplikasi tanaman penutup tanah dalam bentuk hidup
tanpa pengembalian residu yang dapat mempertahankan kadar air tanah
masing-masing lebih tinggi 19% (kadar air tanah 30,15%) dan 9,5% (kadar
air tanah 27,84%) dibandingkan dengan aplikasi tanaman penutup tanah
dalam bentuk mulsa tanpa adanya residu dengan kadar air tanah 25,41%.
Interaksi antara ketiga faktor yang dicobakan yaitu jenis, bentuk
aplikasi dan pengembalian residu juga nampak berpengaruh terhadap kadar
air tanah yang diperoleh, walaupun hanya terjadi pada periode pengamatan 8
mst MT 2001/2002, dengan kadar air tanah tertinggi yang dapat
dipertahankan diperoleh pada interaksi penggunaan Centrosema pubescens
dalam bentuk mulsa disertai pengembalian residu dan pada interaksi antara
Mucuna pruriens dalam bentuk hidup disertai pengembalian residu dengan
40 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

kadar air tanah yang dapat dipertahankan masing-masing lebih tinggi 25%
(kadar air tanah 35,17% dan 35,11%), diikuti oleh penggunaan Crotalaria
anagyroides dalam bentuk hidup disertai pengembalian residu dengan kadar
air tanah yang dapat dipertahankan lebih tinggi 24% (kadar air tanah
34,96%) dibandingkan dengan tanpa penggunaan tanaman penutup tanah
disertai pengembalian residu dengan kadar air tanah 28,07% (Tabel 17).
Tabel 17. Interaksi antara jenis, bentuk aplikasi tanaman penutup tanah
serta pengembalian residu tanaman jagung terhadap kadar air
tanah pada periode 8 mst MT 2001/2002
Kadar air tanah (%)
Bentuk aplikasi x Jenis tanaman penutup tanah
residu jagung Tanpa
TPT Cp TPT Ca TPT Mp
TPT
TPT Hidup x Residu (+) 28,07 b 32,22 ab 34,96 ab 35,11 ab
TPT Hidup x Residu (-) 28,57 ab 25,26 b 33,22 ab 26,43 b
TPT Mulsa x Residu (+) 29,70 ab 35,17 a 34,27 ab 30,42 ab
TPT Mulsa x Residu (-) 29,13 ab 26,18 b 25,72 b 30,66 ab

Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada uji BNT 0,05.
- TPT : tanaman penutup tanah, Cp : Centrosema
pubescens, Mp : Mucuna pruriens, Ca: Crotalaria
anagyroides

Penggunaan tanaman penutup tanah (Centrosema pubescens,


Crotalaria anagyroides dan Mucuna pruriens) baik dalam bentuk hidup
maupun dalam bentuk mulsa dapat mempertahankan kadar air tanah yang
lebih tinggi hingga 40% (21,42 - 25,86% untuk periode 12 minggu setelah
aplikasi) dibandingkan dengan tanpa tanaman penutup tanah (18,42%),
demikian juga interaksi antara ketiga jenis tanaman penutup tanah dalam
bentuk hidup ataupun mulsa disertai pengembalian residu diperoleh kadar
air tanah yang lebih tinggi hingga 25% (30,42-35,17% untuk periode 8 mst)
dibandingkan tanpa penggunaan tanaman penutup tanah dengan adanya
residu (28,07%). Dengan adanya tanaman penutup tanah, permukaan tanah
tertutup oleh fitomassa tanaman penutup tanah berupa daun dan batang
ataupun serasahnya sehingga penguapan air tanah dapat diperkecil. Dengan
demikian kadar air tanah dapat dipertahankan lebih lama dibanding tanpa
perlakuan tanaman penutup tanah.
Perbaikan kadar air tanah dengan penggunaan tanaman penutup
tanah ataupun pengembalian residu tanaman dan interaksi diantaranya juga
Agroteknologi Lahan Kering 41

berkaitan dengan meningkatnya kandungan bahan organik tanah dengan


penggunaan tanaman penutup tanah. Tanah-tanah dengan kandungan bahan
organik yang tinggi akan mempunyai kemampuan menahan air tanah yang
lebih banyak, hal ini berkaitan dengan sifat polaritas air yang bermuatan
negatif dan positif yang selanjutnya akan terikat dengan partikel tanah dan
bahan organik (Sugito, Nuraini dan Nihayati, 1995). Oleh karena itu
semakin tinggi kandungan bahan organik tanah semakin banyak air yang
dapat diikat oleh tanah.

Pengaruh Pengelolaan Tanaman Penutup Tanah Terhadap Suhu tanah


Pengelolaan tanaman penutup tanah di lahan kering juga
berdampak positif pada penurunan suhu tanah. Suhu tanah dipengaruhi oleh
jumlah serapan radiasi matahari oleh permukaan tanah, sehingga dengan
adanya penutupan tanah oleh tanaman penutup tanah ataupun residu
tanaman sebelumnya akan menghalangi radiasi matahari langsung mengenai
permukaan tanah sehingga suhu tanah yang diperoleh lebih rendah daripada
tanpa penutupan tanah. Tadjang (1990) mengemukakan bahwa variasi suhu
tanah dipengaruhi oleh faktor luar seperti radiasi surya, keawanan,
presipitasi, dan faktor dalam seperti kandungan air tanah, kandungan bahan
organik tanah serta dipengaruhi oleh vegetasi yang ada. Adanya
pengembalian residu tanaman yang dihamparkan sebagai mulsa di
permukaan tanah akan menahan udara diantara bahan mulsa dan karena
udara yang diam mempunyai konduktivitas panas yang rendah, sehingga
panas dipindahkan dari permukaan mulsa ke permukaan tanah lebih lambat.
Modifikasi suhu tanah dapat dilakukan dengan jalan merubah
jumlah energi surya yang sampai ke permukaan tanah, misalnya dengan
merubah warna permukaan tanah, menutup permukaan tanah (pemberian
mulsa) dengan bahan alami atau sintetis atau dengan merubah bentuk
permukaan tanah. Penutupan tanah oleh tanaman penutup tanah ataupun
pengembalian residu tanaman dapat menurunkan suhu tanah melalui
beberapa aspek yaitu merubah jumlah masukan energi surya dengan
merubah warna permukaan penyerap dan juga merubah hantaran kalor
karena adanya lapisan penghalang antara radiasi surya dengan permukaan
tanah serta adanya kadar air tanah dan kadar bahan organik yang lebih tinggi
pada tanah yang tertutupi oleh tanaman penutup tanah.
Pengaruh pengelolaan tanaman penutup tanah terhadap suhu tanah
diamati dengam mengukur suhu tanah pada kedalaman 20 cm dari permukan
42 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

tanah yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 18 dan Tabel 19. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa terdapat pengaruh kerjasama antara jenis,
bentuk aplikasi dan pengembalian residu terhadap suhu tanah untuk periode
pengamtan 4 dan 6 minggu setelah aplikasi untuk kedua MT yang digunakan
(MT 2001/2002 dan MT 2002/2003). Suhu tanah terendah umumnya
diperoleh pada penggunaan Mucuna pruriens yang diaplikasikan dalam
bentuk hidup disertai dengan pengembalian residu dengan suhu tanah untuk
kedua musim tanam dan kedua periode pengamatan berkisar antara 26,92 oC
– 27,35oC, diikuti oleh penggunaan Centrosema pubescens yang
diaplikasikan dalam bentuk hidup disertai pengembalian residu dengan suhu
tanah untuk kedua MT yang digunakan dan kedua periode pengamatan
antara 27,25oC - 27,92oC dan berbeda nyata dengan tanpa tanaman penutup
tanah yang tidak disertai residu maupun yang disertai residu dengan suhu
tanah yang dicapai antara 27,72oC – 28,15oC dan antara 27,96oC – 28,29oC
(Tabel 18).
Keberadaan tanaman penutup tanah diantara tanaman jagung nyata
pengaruhnya terhadap suhu tanah periode pengamatan 10 dan 12 minggu
setelah tanam untuk kedua MT yang digunakan. Suhu tanah periode
pengamatan 10 mst MT 2001/2002 terendah pada penggunaan Mucuna
pruriens dengan suhu tanah yang diperoleh 28,31oC dan berbeda nyata
dengan tanpa tanaman penutup tanah dan penggunaan Crotalaria
anagyroides yang masing-masing menghasilkan suhu tanah 29,04oC dan
28,93oC.
Agroteknologi Lahan Kering 43

Tabel 18. Interaksi antara jenis dan bentuk aplikasi tanaman penutup tanah
serta pengembalian residu tanaman jagung terhadap suhu tanah
Suhu tanah (oC)
Jenis TPT TPT Hidup TPT Mulsa
Residu (+) Residu(-) Residu (+) Residu(-)
Periode 4 mst
MT 2001/2002
Tanpa TPT 27,72 ab 28,16 ab 28,24 ab 28,71 a
TPT C.pubescens 27,25 bc 28,17 ab 27,95 ab 26,97 c
TPT C.anagyroides 28,42 ab 27,81 ab 27,48 bc 28,65 a
TPT M. pruriens 26,92 c 27,87 ab 27,30 bc 27,39 bc
MT 2002/2003
Tanpa TPT 27,74 abc 27,96 abc 28,31 ab 28,46 a
TPT C.pubescens 27,58 bcd 28,36 ab 27,70 abc 27,77 abc
TPT C.anagyroides 28,00 abc 27,35 cd 27,37 cd 28,30 ab
TPT M. pruriens 26,85 d 27,60 abc 27,98 abc 28,02 abc
Periode 6 mst
MT 2001/2002
Tanpa TPT 28,15 a 28,16 a 28,64 a 28,71 a
TPT C.pubescens 27,58 ab 28,32 a 28,04 a 26,97 b
TPT C.anagyroides 28,42 a 27,80 ab 27,82 ab 28,72 a
TPT M. pruriens 27,35 b 27,94 ab 27,63 ab 28,05 a
MT 2002/2003
Tanpa TPT 28,05 b 28,29 ab 28,64ab 28,80 a
TPT C.pubescens 27,92 bc 28,69 ab 28,04b 28,10 b
TPT C.anagyroides 28,33 a 27,68 bc 27,70c 28,63 ab
TPT M. pruriens 27,18 c 27,94 bc 28,27ab 28,07 b
Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada MT yang sama
tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
Suhu tanah pada periode pengamatan yang sama MT 2002/2003
menunjukkan bahwa Mucuna pruriens dan Centrosema pubescens diperoleh
suhu tanah terendah yaitu 28,24 oC, diikuti oleh Crotalaria anagyroides
dengan suhu tanah 28,71 oC dan berbeda nyata dengan tanpa tanaman
penutup tanah dengan suhu tanah 29,45 oC. Pada periode pengamatan 12 mst
MT 2002/2003 diperoleh suhu tanah terendah 27,74 oC pada penggunaan
Mucuna pruriens, diikuti oleh kedua tanaman penutup tanah lainnya yang
masing-masing dengan suhu tanah 28,27oC dan 28,30oC dan berbeda nyata
dengan suhu tanah yang diperoleh dengan tanpa tanaman penutup tanah
(29,88 oC).
Demikian pula aplikasi tanaman penutup tanah dalam bentuk hidup
memperlihatkan pengaruhnya dalam menurunkan suhu tanah kecuali pada
periode pengamatan 12 mst dengan suhu tanah yang diperoleh 27,85 oC -
44 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

28,33 oC lebih rendah dan berbeda nyata dibandingkan dengan aplikasi


tanaman penutup tanah dalam bentuk mulsa dengan suhu tanah 28,31oC -
28,99oC. Pengembalian residu tanaman secara umum juga tidak berpengaruh
dalam menurunkan suhu tanah kecuali periode pengamatan akhir percobaan
dengan suhu tanah 28,19oC yang nyata lebih rendah dibandingkan dengan
tanpa pengembalian residu (28,90 oC). Hasil percobaan ini serupa dengan
yang diperoleh Sauer, Hatfield dan Prueger (1996) yang melaporkan bahwa
penempatan pengembalian residu tanaman jagung menurunkan suhu tanah
sekitar 0,5oC pada kedalaman 0,05 m.
Agroteknologi Lahan Kering 45

BA B V
PENGELOLAAN TANAMAN PENUTUP DI
LAHAN KERING DAN PENGARUHNYA
TERHADAP SIFAT BIOLOGI TANAH

Pengelolaan tanaman penutup tanah juga berpengaruh terhadap


sifat biologi tanah. Hal ini disebabkan karena tanaman penutup tanah
merupakan sumber bahan organik yang akan menyebabkan aktivitas dan
populasi mikrobiologi dalam tanah meningkat, terutama yang berkaitan
dengan aktivitas dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Pengaruh
tanaman penutup tanah terhadap perbaikan sifat biologi tanah telah
dilaporkan oleh Suhardjo, Rachman dan Suwardjo (1989) yang menyatakan
bahwa tanaman penutup tanah berpengaruh nyata terhadap populasi fauna
tanah. Adanya tanaman penutup tanah akan memperbaiki lingkungan mikro
sehingga memberi kehidupan yang paling baik bagi fauna tanah,
mengakibatkan keanekaragaman fauna yang tinggi dan dengan adanya
bahan organik yang banyak akan menyebabkan tingginya aktivitas fauna
tanah. Besarnya aktifitas mikroorganisme dapat diamati dengan
menganalisis berapa banyak mikroorganisme total di tanah tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Subaedah (2004) dengan
mengamati total mikroorganisme tanah pada perlakuan pengelolaan tanaman
penutup tanah di lahan kering diperoleh hasil yang diuraikan sebagai
berikut:

Pengaruh Pengelolaan Tanaman Penutu Tanah Terhadap Populasi


Bakteri Total Tanah
Hasil pengamatan pengaruh penanaman tanaman penutup tanah
yang disajikan pada Tabel 19 menunjukkan bahwa penggunaan tanaman
46 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

penutup tanah nyata diperoleh bakteri total tanah yang lebih tinggi yaitu
antara 4,85 105.g-1- 5,24105.g-1 bakteri total tanah, sementara tanpa tanaman
penutup tanah diperoleh bakteri total tanah hanya 3,56105.g-1. Tanaman
penutup tanah Mucuna pruriens dapat meningkatkan jumlah
mikroorganisme dalam tanah sebanyak 47% (5,24.105.g-1) diikuti oleh
Centrosema pubescens sebanyak 46 % (5,21 .105.g-1) dan Crotalaria
anagyroides sebanyak 36% (4,85 .105.g-1) dibandingkan dengan tanpa
tanaman penutup tanah (3,56.105.g-1).
Tabel 19. Total mikroorganisme tanah pada berbagai jenis tanaman penutup
tanah yang berumur tiga bulan
Jenis perlakuan Bakteri total (105. g.-1)
tanpa TPT 3,56 b
TPT C.pubescens 5,21 a
TPT C.anagyroides 4,85 a
TPT M. pruriens 5,24 a
Keterangan : angka diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
Uji BNT 0,05.
Pengaruh jenis aplikasi tanaman penutup dan pengembalian residu
tanaman terhadap total miroorganisme tanah yang disajikan pada Tabel 20
diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa banyaknya poplasi bakteri total
tanah memperlihatkan bahwa keberadaan tanaman penutup tanah nampak
pengaruhnya pada MT 2001/2002 dengan jumlah bakteri tertinggi dijumpai
pada Mucuna pruriens yang meningkatkan populasi bakteri total tanah
sebanyak 91% (5,29.105.g-1), diikuti oleh Crotalaria anagyroides dan
Centrosema pubescens yang menghasilkan populasi bakteri total tanah
masing-masing sebanyak 68% (4,66.105.g-1) dan 65% (4,56.105.g-1)
dibandingkan dengan tanpa tanaman penutup tanah yang hanya
menghasilkan populasi bakteri total tanah sebanyak 2,77.105.g-1.
Kerjasama antara jenis tanaman penutup tanah dan pengembalian
residu tanaman jagung seperti yang tertera pada Tabel 20 baru nampak
pengaruhnya pada MT 2002/2003 dengan populasi bakteri total tanah lebih
banyak 80% (6,24.105.g-1) dibandingkan dengan interaksi tanpa tanaman
penutup tanah dengan pengembalian residu (3,47.105.g-1), demikian pula
interaksi antara aplikasi dalam bentuk mulsa dengan pengembalian residu
jagung meningkatkan populasi bakteri total sebanyak 43% (4,81.105.g-1),
diikuti oleh aplikasi dalam bentuk hidup disertai residu tanaman yang
meningkatkan populasi bakteri total tanah masing-masing 31% (4,41.105.g-1)
Agroteknologi Lahan Kering 47

dibandingkan dengan interaksi antara aplikasi dalam bentuk mulsa tanpa


adanya residu (3,37.105.g-1).
Peningkatan populasi bakteri total tanah tersebut disebabkan
penggunaan tanaman penutup tanah dan aplikasinya dalam bentuk mulsa
serta pengembalian residu tanaman jagung dapat meningkatkan kandungan
bahan organik tanah. Mikroorganisme tanah menggunakan bahan organik
tanah sebagai sumber energi bagi perkembangannya (Hardjowigono, 1987;
Handayanto, 1998). Selain itu kadar air tanah yang tinggi akibat penggunaan
tanaman penutup tanah juga berdampak positif bagi perkembangan
mikroorganisme tanah, karena mikroorganisme tanah merupakan organisme
aquatik dan bahkan dalam tanah pun memerlukan air yang cukup tinggi
untuk menjalankan aktivitasnya (Huang dan Schnitzer, 1997).
Peningkatan populasi bakteri total tanah ini akan berdampak pada
proses dekomposisi bahan organik yang akan berjalan lebih baik yang pada
akhirnya akan melepaskan hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman.
Samosir (1997) mengemukakan bahwa bahan organik dan unsur-unsur hara
yang kurang mobil seperti fosfor dan kalium menjadi lebih banyak dijumpai
pada lapisan tanah atas. Karena kandungan hara dan air lebih tersedia pada
tanah lapisan atas maka tanaman muda akan tumbuh lebih cepat dan akan
mengembangkan akarnya lebih cepat pula. Akar yang lebih cepat
berkembang dapat lebih mampu menyerap hara tanaman yang tersedia di
tanah sebelum hara itu tercuci atau terfiksasi, sehingga akan mendorong
pertumbuhan tanaman dewasa yang lebih baik. Hal ini disebabkan karena
adanya residu dari tanaman penutup tanah dan tanaman jagung yang
ditinggalkan di atas permukaan tanah yang akan menciptakan lingkungan
yang optimum bagi perkembangan mikroorganisme yang beragam. Residu
tanaman meningkatkan kuantitas dan kualitas substrak organik yang tersedia
bagi organisme tanah (Samosir, 2000).
48 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Tabel 20. Bakteri total tanah pada berbagai jenis, bentuk aplikasi tanaman
penutup tanah dan pengembalian residu serta interaksi
diantaranya
Bakteri total (105.g.-1)
Jenis perlakuan
MT 2001/2002 MT 2002/2003
Jenis TPT
Tanpa TPT 2,77 b 3,18 tn
TPT C. pubescens 4,56 a 3,94
TPT C.anagyroides 4,66 a 4,15
TPT M. pruriens 5,29 a 5,41
Jenis TPT x residu jagung
Tanpa TPT x Residu (+) 3,06 tn 3,47 b
Tanpa TPT x Residu (-) 2,49 2,90 b
TPT Cp x Residu (+) 5,37 4,74 ab
TPT Cp x Residu (-) 3,74 3,14 b
TPT Ca x Residu (+) 4,85 4,14 b
TPT Ca x Residu (-) 4,47 4,16 b
TPT Mp x Residu (+) 5,85 6,24 a
TPT Mp x Residu (-) 4,74 4,58 ab
Bentuk aplikasi x residu jagung
TPT Hidup x Res.(+) 4,49 tn 4,41 a
TPT Hidup x Res.(-) 4,03 3,51 b
TPT Mulsa x Res.(+) 5,07 4,81 a
TPT Mulsa x Res.(-) 3,69 3,37 b
Keterangan:- angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada MT/jenis
perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- tn: tidak nyata berdasarkan hasil analisis ragam

Pengaruh Pengelolaan Tanaman Penutup Tanah Terhadap Respirasi


Tanah
Respirasi tanah merupakan salah satu metode untuk mengukur
aktivitas biologi tanah. Pada tanah yang diberi bahan organik segar, jumlah
mikroorganisme yang mula-mula sedikit dapat bertambah dengan sangat
cepat. Kegiatan dari mikroorganisme dapat dipantau melalui pengukuran
CO2 yang dibebaskan dari tanah.
Pengaruh pengelolaan tanaman penutup tanah terhadap respirasi
tanah telah diamati oleh Subaedah, et al., (2007). Hasil analisis data
menunjukkan bahwa jenis tanaman penutup tanah berpengaruh nyata
terhadap respirasi tanah yang diperlihatkan oleh perbedaan produksi CO2
untuk periode inkubasi 0, 4 dan 8 msa (Tabel 21). Perbedaan jumlah C02
yang dihasilkan dari masing-masing perlakuan seperti yang disajikan pada
Agroteknologi Lahan Kering 49

Tabel 21 menunjukkan bahwa produksi CO2 tertinggi dijumpai pada


penggunaan bahan organik Crotalaria anagyroides yaitu sebesar 1,92 mg C-
CO2.cm-2hari-1dan berbeda nyata dengan produksi CO2 yang dihasilkan pada
perlakuan tanpa bahan organik dan juga berbeda nyata dengan Centrosema
pubescens. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh jumlah karbon yang
dimiliki oleh masing-masing jenis bahan organik. Bahan organik dari
Crotalaria anagyroides memiliki jumlah karbon yang nyata lebih tinggi dari
kedua jenis bahan organik lainnya karena biomas lebih besar, sehingga
respirasi tanahnya juga besar (Crotalaria anagyroides memiliki bobot
kering yang lebih berat yaitu 379,18 g.m-2, sementara Centrosema
pubescens yang hanya menghasilkan 299,25 g.m-2). Hal ini terkait dengan
tipe pertumbuhan tanaman Crotalaria anagyroides yang berbentuk perdu
dengan cabang-cabang yang berkayu sementara Centrosema pubescens dan
Calopogonium muconoides mempunyai bentuk pertumbuhan yang
merambat di atas permukaan tanah.
Tabel 21. Produksi CO2 pada berbagai jenis tanaman penutup tanah
Produksi CO2 (mg C-CO2.cm-2hari-1)
Perlakuan
4 mst 8 mst 12 mst
Tanpa TPT 0,80 c 0,78 c 0,72 tn
TPT C. pubescens 1,30 b 1,30 b 0,87
TPT C.muconoides 1,79 a 1,73 a 0,85
TPT C.anagyroides 1,72 ab 1,62 a 0,85
Keterangan: - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- mst: minggu setelah inkubasi tanaman penutup tanah
- tn: tidak nyata berdasarkan analisis ragam
Karbon adalah sumber energi dan penyusun sel tubuh bagi
mikroorganisme, sehingga semakin besar jumlah karbon maka aktivitas
mikroorganisme akan meningkat dan mengakibatkan respirasi tanah yang
tinggi.
Produksi CO2 yang dibebaskan seperti yang disajikan pada Tabel 21
menunjukkan pula bahwa CO2 yang dibebaskan mula-mula tinggi lalu
menurun. Adanya pola respirasi yang demikian menunjukkan bahwa
banyaknya karbon sangat menentukan terhadap aktivitas mikroorganisme
tanah yaitu di awal inkubasi sumber karbon relatif cukup banyak maka
aktivitas mikroorganisme cukup tinggi dan dengan lamanya waktu inkubasi
50 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

sumber karbon semakin berkurang maka aktivitas mikroorganisme juga


berkurang.
Agroteknologi Lahan Kering 51

BAB VI
PENGENDALIAN GULMA
DI LAHAN KERING

Gulma dan Kerugian yang Ditimbulkan


Gulma merupakan salah satu faktor yang membatasi pertumbuhan
tanaman di lahan kering. Gulma selalu berada di sekitar tanaman yang
dibudidayakan dan berassosiasi dengan tanaman yang diusahakan dan akan
menimbulkan persaingan dengan tanaman bila persediaan sumberdaya yang
dibutuhkan berada dibawah kebutuhan masing-masing. Persaingan ini
berdampak negatif terhadap tanaman yang dibudidayakan karena gulma
mempunyai kemampuan bersaing yang lebih kuat.
Batasan gulma bersifat teknis dan plastis. Teknis, karena berkait
dengan proses produksi suatu tanaman pertanian. Keberadaan gulma
menurunkan hasil karena mengganggu pertumbuhan tanaman produksi
melalui kompetisi. Plastis, karena batasan ini tidak mengikat suatu
spesies tumbuhan. Pada tingkat tertentu, tanaman berguna dapat menjadi
gulma. Sebaliknya, tumbuhan yang biasanya dianggap gulma dapat pula
dianggap tidak mengganggu. Contohnya: kedelai yang tumbuh di sela-sela
pertanaman monokultur jagung dapat dianggap sebagai gulma, namun pada
sistem tumpang sari keduanya merupakan tanaman utama. Meskipun
demikian, beberapa jenis tumbuhan dikenal sebagai gulma utama,
seperti teki dan alang-alang.
Gulma adalah tumbuhan yang mudah tumbuh pada setiap tempat,
mulai dari tempat yang miskin nutrisi sampai yang kaya nutrisi
(Moenandir, 1988). Sedang menurut Sastroutomo (1990) gulma adalah
jenis-jenis tumbuhan yang sering kali menimbulkan gangguan pada
tanaman yang dibudidayakan.
52 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Gulma berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan hasil


tanaman. Pengaruh negatif dari gulma merupakan akibat langsung ataupun
tidak langsung. Pengaruh langsung ialah terjadinya persaingan antara gulma
dengan tanaman dalam hal memperebutkan sarana tumbuh yang diperlukan
seperti unsur hara, cahaya, udara, air tanah dan ruang tumbuh (Klingman,
Ashton dan Noordhoff., 1975; Anderson, 1977). Pada saat sumberdaya
tumbuh yang tersedia lebih kecil dari yang dibutuhkan oleh tanaman dan
gulma maka persaingan mulai terjadi (Etherington, 1976; Aldrich, 1984).
Dengan adanya persaingan tersebut tanaman tidak dapat memperoleh
sumberdaya sejumlah yang diperlukannya yang akan mengakibatkan
pertumbuhan dan hasil menjadi lebih rendah. Pengaruh tidak langsung dari
gulma terhadap tanaman diantaranya gangguan hama atau penyakit menjadi
lebih parah, karena beberapa spesies gulma dapat menjadi inang sementara
bagi beberapa hama atau patogen penyebab penyakit (Madkar,
Kuntohartono dan Mangoensoekardjo, 1986). Selanjutnya menurut Sugito
(1999), alasan utama rendahnya hasil tanaman dengan adanya gulma adalah
karena kemampuan kompetisi gulma terhadap cahaya matahari, air dan
unsur hara yang diperlukan lebih besar.
Pengenalan suatu jenis gulma dapat dilakukan dengan melihat
keadaan morfologinya, habitatnya, dan bentuk pertumbuhanya. Berdasarkan
keadaan morfologinya, dikenal gulma rerumputan (grasses), teki-tekian
(sedges), dan berdaun lebar (board leaf). Golongan gulma rurumputan
kebanyakan berasal dari famili gramineae (poaceae). Ukuran gulma
golongan rerumputan bervariasi, ada yang tegak, menjalar, hidup semusim,
atau tahunan. Batangnya disebut culms, terbagi menjadi ruas dengan buku-
buku yang terdapat antara ruas. Batang tumbuh bergantian pada dua buku
pada setiap antara ruas daun terdiri dari dua bagian yaitu pelepah daun dan
helaian daun., contoh gulma rerumputan Panicium repens, Eleusine indica,
Axonopus compressus dan masih banyak lagi. Golongan teki-tekian
kebanykan berasal dari famili Cyperaceae. Golongan ini dari
penampakannya hampir mirip dengan golongan rerumputan, bedanya
terletak pada bentuk batangnya. Batang dari golongan teki-tekian berbentuk
segitiga. Selain itu golongan teki-tekian tidak memiliki umbi atau akar
rimpang didalam tanah. Contoh golongan teki-tekian: Cyprus rotundus,
Cyprus compresus. Golongan gulma berdaun lebar antara lain: Mikania spp,
Ageratum conyzoides, Euparotum odorotum.
Berdasarkan habitat tunbuhanya, dikenal gulma darat, dan gulma
air. Gulma darat merupakan gulma yang hidup didarat, dapat merupakan
gulma yang hidup setahun, dua tahun, atau tahunan (tidak terbatas).
Agroteknologi Lahan Kering 53

Penyebaranya dapat melalui biji atau dengan cara vegetatif. Contoh gulma
darat diantaranya Agerathum conyzoides, Digitaria spp, Imperata
cylindrical, Amaranthus spinosus. Gulma air merupakan gulma yang
hidupnya berada di air. Jenis gulma air dibedakan menjadi tiga, yaitu gulma
air yang hidupnya terapung di permukaan air (Eichhorina crassipes, Silvinia
spp, gulma air yang tenggelam di dalam air (Ceratophylium demersum), dan
gulma air yang timbul ke permukaan tumbuh dari dasar (Nymphae sp,
Sagitaria spp).
Adapun siifat-sifat umum dari gulma adalah sebagai berikut:
(i) Daya adaptasinya besar
(ii) Daya saing terhadap tanaman budidaya kuat
(iii) Berkembang biak dengan cepat
(iv) Dormansi lama
Kemampuan bersaing dengan tanaman utama akan mengakibatkan
kerugian bagi tanaman yang dibudidayakan. Adapun kerugian yang
ditimbulkan oleh gulma:
(i) Mengurangi hasil yang diperoleh (10-20%)
(ii) Mengurangi kualitas tanaman
(iii) Menjadi inang (host) bagi penyakit/hama
(iv) Menjadi allelopathy
(vi) Menambah tenaga kerja
Untuk mencegah berbagai kerugian yang dapat ditimbulkan oleh
gulma, tindakan pengendalian gulma harus dilakukan. Pearson (1973)
mengemukakan, untuk memungkinkan hasil yang tinggi pada tanaman,
khususnya pertanaman di lahan kering, pengendalian gulma secara intensif
harus dilakukan. Pengendalian gulma dapat dilakukan dengan beberapa cara,
yaitu preventif, mekanis, kultur teknis, penggunaan herbisida, biologis dan
secara terpadu yang merupakan gabungan dua atau lebih cara-cara yang
disebut sebelumnya.
Pengendalian gulma di masa sekarang dan ke depan diharapkan
metode kimiawi akan berkurang terutama dihubungkan dengan kepentingan
sosial dan kelestarian lingkungan, sementara metode budidaya dan biologi
akan diharapkan lebih banyak berperan. Penggunaan tanaman penutup tanah
merupakan salah satu cara pengendalian gulma secara biologis (Reijntjes, et
al., 1999).
54 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Tanaman penutup tanah adalah tanaman-tanaman yang sengaja


ditanam dengan tujuan untuk melindungi tanah dari ancaman kerusakan oleh
erosi dan atau untuk memperbaiki sifat kimia dan fisik tanah (Arsyad, 1989).
Selanjutnya Van Noordwijk et al (1992) mengemukakan bahwa cover crop
selain dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, juga dapat
menekan pertumbuhan gulma.
Penggunaan tanaman penutup tanah merupakan salah satu teknik
penting dalam mengurangi pertumbuhan gulma. Tertekannya pertumbuhan
gulma dengan adanya cover crop dapat disebakan oleh berkurangnya
intensitas cahaya yang diterima oleh gulma sehingga biji-biji gulma tidak
dapat berkecambah karena tidak adanya cahaya matahari sebagai
perangsang bagi perkecambahan atau karena pengaruh allelopati yang
dihasilkan oleh cover crop (Fisk et al, 2001).
Menurut Lal (1975) dalam Samosir (2000) tanaman penutup tanah
adalah tanaman yang sengaja ditanam diantara tanaman lainnya dengan
tujuan untuk konservasi tanah dan juga dapat menekan pertumbuhan gulma.
Untuk maksud tersebut, maka tanaman yang dapat dijadikan tanaman
penutup tanah harus cepat pertumbuhannya dan segera menutupi tanah
untuk dapat menekan gulma tetapi tidak sampai menyaingi tanaman utama.
Interfensi cover crop dengan tanaman yang nampaknya termasuk kompetisi
terhadap air dan hara atau pengaruh allelopati dapat dikurangi dengan
memilih spesies tanaman penutup tanah yang kurang bersaing, membunuh
sebagian tanaman penutup tanah jika pertumbuhannya terlalu pesat dan
mengatur jarak tanam dengan tanaman utama (Samosir, 2000).
Peranan tanaman penutup tanah dalam pengendalian gulma telah
banyak diteliti diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Sriyani et al.,
(1999) yang menunjukkan bahwa pengendalian gulma secara intensif dalam
praktek pertanian akan menyebabkan kehilangan tanah (erosi), sebaliknya
penggunaan tanaman penutup tanah dapat meminimumkan erosi dan
mengurangi jenis gulma yang tumbuh. Sedang hasil penelitian Caamal-
Maldonado et al., (2001) menunjukkan bahwa legume tanaman penutup
tanah dapat menekan pertumbuhan gulma dan dari penelitian ini juga
dilaporkan bahwa legume cover crop dapat menurunkan biomas gulma
sebesar 68%. Selanjutnya dari hasil penelitian Fisk et al., (2001) melaporkan
bahwa tanaman penutup tanah dapat mengurangi kepadatan gulma yang
tumbuh dan menurunkan berat kering gulma.
Kemampuan tanaman penutup tanah dalam mengendalikan
pertumbuhan gulma sangat beragam bergantung pada banyak faktor
Agroteknologi Lahan Kering 55

diantaranya jenis dan tipe pertumbuhan. Beberapa peneliti telah


mengungkapkan keragaman pengaruh jenis cover crop tersebut. Diantaranya
penelitian yang dilakukan oleh Guritno, Sitompul dan Van der Heide (1992)
pada tanah Ultisol di Lampung dalam upaya mereklamasi lahan alang-alang
dan mengkombinasikan mulsa hidup dengan metode pengendalian alang-
alang (secara fisik dan kimiawi). Tanaman cover crop yang dicoba berupa
Mucuna prueriens var Utilis, Canavalium ensiformis, Crotalaria juncea,
Pueraria phaseoloides dan Stylonsanthes viscosa. Dari hasil penelitian
diperoleh bahwa Mucuna prueriens var Utilis yang dikombinasikan dengan
herbisida Round Up dapat 100% menekan pertumbuhan alang-alang setelah
3 bulan pembersihan lahan.
Selanjutnya Okigbo (1990) dalam Samosir (2000) dari hasil
penelitiannya menyarankan bahwa penggunaan cover crop sebaiknya dari
spesies Centrosema dan Psopocarpus karena jenis ini selain dapat
mengurangi gulma juga dapat menjaga kesuburan tanah dan pengendalian
erosi. Sedang Lake dan Harvey (1986) dalam Samosir (2000) menganjurkan
penggunaan cover crop yang pertumbuhannnya tegak seperti Crotalaria sps
untuk mengurangi persaingan dengan tanaman utama.
Penggunaan tanaman penutup tanah dalam mengendalikan gulma
juga telah diteliti oleh Subaedah (2004) dan Subaedah et al., (2007).
Penelitian ini mencoba mengamati pengaruh aplikasi tanaman penutup tanah
dan pengembalian residu tanaman sebelumnya sebagai mulsa terhadap
pertumbuhan dan produksi tanaman jagung dan pengaruhnya terhadap
jumlah spesies gulma yang tumbuh dan bobot kering gulma. Hasil penelitian
yang diperoleh diuraikan sebagai berikut:

Pengaruh Pengelolaan Tanaman Penutup Tanah Terhadap Jumlah


Spesies Gulma Yang Tumbuh
Pengaruh aplikasi tanaman penutup tanah dipertanaman jagung
terhadap jumlah spesies gulma yang tumbuh pada umur 20, 40 hari setelah
tanam jagung dan saat panen nyata dipengaruhi oleh adanya aplikasi
tanaman penutup tanah. Tabel 22 menunjukkan bahwa pada umur 20, 40
HST serta saat panen, jumlah spesies gulma terendah dijumpai pada aplikasi
TPT Mucuna pruriens yaitu masing-masing 2,0; 2,5 dan 3,0 spesies.
56 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Tabel 22. Bobot kering gulma pada periode pengamatan 20, 40 dan 90
hari setelah penanaman berbagai jenis tanaman penutup tanah
Jenis tanaman penutup Jumlah Spesies Gulma
tanah 20 hst 40 hst 90 hst
Tanpa TPT 4,00 a 4,33 a 5,50 a
TPT Centrosema 4,17 a 3,00 a 3,50 b
TPT Crotalaria 3,17 a 4,67 a 5,50 a
TPT Mucuna 2,00 b 2,50 b 3,00 b
Keterangan: - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- hst: hari setelah tanam
Pengamatan jumlah spesies gulma pada percobaan ini menunjukkan
bahwa penggunaan tanaman penutup tanah menekan pertumbuhan gulma,
yang diperlihatkan oleh spesies gulma gulma yang lebih rendah
dibandingkan perlakuan tanpa tanaman penutup tanah. Penurunan jumlah
spesies gulma dengan penggunaan tanaman penutup tanah yang
diaplikasikan dalam bentuk hidup berkaitan dengan tertutupnya permukaan
tanah oleh tanaman penutup tanah sehingga akan menghambat
perkecambahan gulma. Pada umumnya gulma memerlukan cahaya untuk
perkecambahannya (Klingman et al., 1975). Dengan terhambatnya
perkecambahan biji-biji gulma maka gulma yang tumbuh dan berkompetisi
dengan tanaman jagung menjadi berkurang.

Pengaruh Pengelolaan Tanaman Penutup Tanah Terhadap Bobot


Kering Gulma Yang Tumbuh
Hasil percobaan pengaruh pengelolaan tanaman penutup tanah
terhadap bobot kering gulma yang tumbuh disajikan pada Tabel 23 yang
menunjukkan bahwa tanaman penutup tanah jenis Mucuna pruriens
menekan pertumbuhan gulma yang tertinggi pada semua periode
pengamatan berturut-turut 20 hst, 40 hst dan pada akhir percobaan adalah
sebesar 59% (bobot kering gulma 11,78 g.m-2), 55% (bobot kering gulma
9,60 g.m-2) dan 56% (bobot kering gulma 8,19 g.m-2) dibandingkan dengan
tanpa tanaman penutup tanah dengan bobot kering gulma yang dihasilkan
secara berturut-turut 28,76 g.m-2; 21,24 g.m-2; dan 18,70 g.m-2, kemudian
diikuti oleh Centrosema pubescens dan Crotalaria anagyroides.
Penekanan pertumbuhan gulma akibat penanaman tanaman
penutup tanah Centrosema pubescens dibandingkan dengan tanpa tanaman
Agroteknologi Lahan Kering 57

penutup tanah berkisar antara 44% (bobot kering gulma 16,21 g.m -2), 46%
(bobot kering gulma 11,53 g.m-2) dan 33% (bobot kering gulma 12,52g.m-2),
dan untuk tanaman penutup tanah Crotalaria anagyroides berkisar antara
29% (bobot kering gulma 20,42 g.m-2),20% (bobot kering gulma 17,02g.m-2)
dan 6% (bobot kering gulma 17,52 g.m-2) pada masing-masing periode
pengamatan 20 hst, 40 hst dan saat panen.
Tabel 23. Bobot kering gulma periode pengamatan 20, 40 dan 90 hari
setelah tanam berbagai jenis tanaman penutup tanah
Bobot kering gulma (g.m-2)
Jenis perlakuan
20 hst 40 hst 90 hst
tanpa TPT 28,76 a 21,24 a 18,70 a
TPT Centrosema 16,21 b 11,53 bc 12,52 bc
TPT Crotalaria 20,42 b 17,02 ab 17,52 ab
TPT Mucuna 11,78 c 9,60 c 8,19 c
Keterangan:- angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- hst: hari setelah penanaman tanaman penutup tanah
Penggunaan tanaman penutup tanah jenis Mucuna pruriens lebih
efektif dalam menekan pertumbuhan gulma yang diperlihatkan oleh bobot
kering gulma yang terendah pada semua percobaan. Fakta ini sejalan dengan
kemampuan Mucuna pruriens menutup permukaan tanah lebih cepat. Pada
penggunaan jenis Crotalaria anagyroides terlihat bahwa bobot kering gulma
lebih berat dari tanaman penutup tanah lainnya. Hal ini dapat dikaitkan
dengan type pertumbuhan Crotalaria anagyroides yang tegak sehingga
kemampuan menutup tanah lebih rendah yang berarti bahwa penaungan
Crotalaria anagyroides masih dapat memberikan ruang bagi gulma untuk
dapat berkecambah dan tumbuh.
Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Subaedah (2004) pada
musim tanam (MT) tahun 2001/2002 dan MT 2002/2003 tentang
pengelolaan tanaman penutup yang dikombinasikan dengan penambahan
residu tanaman sebelumnya sebagai mulsa dalam mengendalikan
pertumbuhan gulma diperoleh hasil yang dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24 menunjukkan bahwa penekanan pertumbuhan gulma
tertinggi (95%–96%) dijumpai pada periode pengamatan akhir percobaan
MT 2002/2003 dengan perlakuan Mucuna pruriens yang diaplikasikan
dalam bentuk hidup dengan bobot kering gulma 1,41 g.m-2 dan berbeda
nyata dibandingkan dengan tanpa tanaman penutup tanah yang
58 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

menghasilkan bobot kering gulma 32,69 g.m-2 dan 27,89 g.m-2, diikuti
periode pengamatan 40 hst MT 2002/2003 dengan penekanan pertumbuhan
gulma hingga 96% (tanpa tanaman penutup tanah bobot kering gulma 24,93
g.m-2 dan 26,26 g.m-2 dan dengan Mucuna pruriens yang diaplikasikan
dalam bentuk hidup diperoleh 1,13 g.m-2).
Demikian pula interaksi antara bentuk aplikasi dan pengembalian
residu secara umum juga tidak nyata pengaruhnya kecuali pada periode
pengamatan 20 hst MT 2002/2003 dengan bobot kering gulma pada
perlakuan aplikasi tanaman penutup tanah dalam bentuk hidup disertai
pengembalian residu lebih rendah 28-38% (bobot kering gulma 8,14 g.m-2)
dan berbeda nyata dibandingkan dengan aplikasi tanaman penutup tanah
dalam bentuk mulsa dengan atau tanpa pengembalian residu dengan bobot
kering gulma yang dihasilkan antara 11,35 –13,24 g.m-2, tetapi tidak berbeda
nyata dengan aplikasi tanaman penutup tanah dalam bentuk yang sama tanpa
residu dengan bobot kering gulma yang diperoleh 10,70 g.m-2.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penggunaan tanaman
penutup tanah menekan pertumbuhan gulma sekitar 31 hingga 43% dan
untuk penggunaan Mucuna pruriens menekan pertumbuhan gulma sekitar
56 hingga 59% (bobot kering gulma 8,19-11,78 g.m-2) (Tabel 23) begitu
pula penggunaan Mucuna pruriens dan aplikasinya dalam bentuk hidup,
serta pengembalian residu tanaman baik sebagai faktor tunggal masing-
masing ataupun interaksi diantaranya dapat menekan pertumbuhan gulma
hingga 96% (bobot kering gulma 1,13-3,06 g.m-2) (Tabel 24).
Data bobot kering gulma yang disajikan pada Tabel 24
memperlihatkan bahwa perlakuan tanaman penutup tanah memberikan
bobot kering gulma yang lebih rendah dari perlakuan tanpa tanaman penutup
tanah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fisk et al.,
(2001) yang mendapatkan bahwa penggunaan tanaman penutup tanah
diperoleh bobot kering gulma yang nyata lebih ringan (2,47g.m-2) dibanding
tanpa tanaman penutup tanah (8,6 g.m-2).
Agroteknologi Lahan Kering 59

Tabel 24. Bobot kering gulma pada berbagai jenis, bentuk aplikasi tanaman
penutup tanah dan pengembalian residu tanaman serta interaksi
diantaranya

Bobot kering gulma (g.m -2)


20 hst 40 hst
Jenis perlakuan MT MT MT MT
2001/2002 2002/2003 2001/2002 2002/2003
Bentuk aplikasi TPT x
residu tan.
TPT H x Res (+) 13,63 tn 8,14 c 9,01 tn 11,40 tn
TPT H x Res (-) 11,02 10,70 bc 10,18 11,20
TPT M x Res (+) 19,68 11,35 ab 14,94 14,76
TPT M x Res (-) 18,11 13,24 a 15,23 15,11
Jenis TPT x bentuk
aplikasi
Tanpa TPT 20,06 tn 15,22 tn 17,57 a 24,93 a
Tanpa TPT 23,29 18,47 16,72 a 26,26 a
TPT Cp x TPT H 12,03 8,68 8,94 b 9,48 c
TPT Cp x TPT M 19,45 12,28 16,20 a 11,51 c
TPT Ca x TPT H 14,33 10,78 10,47 b 9,72 c
TPT Ca x TPT M 21,71 10,60 17,16 a 18,18 b
TPT Mp x TPT H 2,89 3,06 1,42 c 1,13 e
TPT Mp x TPTM 11,13 7,83 10,26 b 6,31 d
Keterangan: - Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom/jenis
perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- tn: tidak nyata berdasarkan analisis ragam.
- TPT H : aplikasi TPT dalam bentuk mulsa hidup
- TPT M : aplikasi TPT dalam bentuk mulsa yang sudah
dimatikan
- Res (+): Residu tanaman sebelumnya dikembalikan ke lahan;
- Res (-): Residu dikeluarkan dari lahan
Penurunan bobot kering gulma dengan penggunaan tanaman
penutup tanah yang diaplikasikan dalam bentuk hidup berkaitan dengan
tertutupnya permukaan tanah oleh tanaman penutup tanah sehingga akan
menghambat perkecambahan dan pertumbuhan gulma, sementara pada
perlakuan tanpa tanaman penutup tanah, gulma tumbuh bebas tanpa adanya
penaungan dari tanaman penutup tanah (Gambar 8 dan 9). Pada Gambar 8
terlihat bagaimana tanaman penutup tanah menutup permukaan tanah secara
sempurna sehingga tidak ruang bagi gulma untuk tumbuh, sementara pada
Gambar 9 terlihat perlakuan tanpa tanaman penutup tanah, dimana gulma
60 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

bebas tumbuh tanpa adanya penghalang dari tanaman penutup tanah. Pada
umumnya gulma memerlukan cahaya untuk perkecambahannya (Klingman
et al., 1975). Dengan terhambatnya perkecambahan biji-biji gulma maka
gulma yang tumbuh dan berkompetisi dengan tanaman jagung menjadi
berkurang.
Berdasarkan data bobot kering gulma terlihat bahwa keefektifan
penekanan pertumbuhan gulma berbeda di antara tanaman penutup tanah
yang digunakan. Penggunaan tanaman penutup tanah jenis Mucuna pruriens
lebih efektif dalam menekan pertumbuhan gulma yang diperlihatkan oleh
bobot kering gulma yang terendah pada semua percobaan. Fakta ini sejalan
dengan kemampuan Mucuna pruriens menutup permukaan tanah lebih
cepat. Pada penggunaan jenis Crotalaria anagyroides terlihat bahwa bobot
kering gulma lebih berat dari tanaman penutup tanah lainnya. Hal ini dapat
dikaitkan dengan type pertumbuhan Crotalaria anagyroides yang tegak
sehingga kemampuan menutup tanah lebih rendah yang berarti bahwa
penaungan Crotalaria anagyroides masih dapat memberikan ruang bagi
gulma untuk dapat berkecambah dan tumbuh.

Gambar 8. Penanaman tanaman penutup tanah di antara tanaman jagung


(Foto Subaedah, 2002)
Agroteknologi Lahan Kering 61

Gambar 9. Penanaman jagung tanpa tanaman penutup tanah


(Foto, Subaedah, 2002)
Penekanan pertumbuhan gulma selain dipengaruhi oleh jenis
tanaman penutup tanah juga dipengaruhi oleh bentuk aplikasi dan
pengembalian residu tanaman jagung serta interaksi diantaranya. Pada Tabel
24 terlihat bahwa perlakuan penggunaan Mucuna pruriens yang
diaplikasikan dalam bentuk hidup, demikian pula pengembalian residu
tanaman jagung yang dihamparkan di atas permukaan tanah sebagai mulsa
akan berdampak pada penekanan pertumbuhan gulma. Purwowidodo,
(1983); Arsyad (1989) mengemukakan bahwa mulsa yang dihamparkan di
atas permukaan tanah juga berfungsi untuk menekan pertumbuhan gulma.
Data bobot kering gulma pada Tabel 24 juga menunjukkan bahwa
penggunaan pangkasan tanaman penutup sebagai mulsa memberikan bobot
kering gulma yang lebih berat dibandingkan aplikasi tanaman penutup tanah
dalam bentuk hidup. Hal ini disebabkan karena pangkasan tanaman penutup
tanah yang diberikan dalam bentuk mulsa akan mengalami perombakan
sehingga lama kelamaan mulsa akan menipis dan dengan sendirinya cahaya
matahari dapat menembus permukaan tanah dan pada akhirnya biji gulma
dapat terangsang untuk berkecambah dan tumbuh dengan laju pertumbuhan
yang pesat karena tidak mengalami persaingan dengan tanaman penutup
tanah.
Pengaruh baik dari tanaman penutup tanah yang diaplikasikan dalam
bentuk hidup berkaitan dengan kemampuan tanaman ini untuk menutup
permukaan tanah secara sempurna dengan bertambahnya umur tanaman,
sehingga diduga kemampuan tanaman penutup tanah yang diaplikasikan
62 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

dalam bentuk hidup untuk menekan pertumbuhan gulma disebabkan karena


persaingan antara tanaman penutup tanah dengan gulma adalah persaingan
terhadap cahaya dan ruang tumbuh. Pada Gambar 8 dapat dilihat bagaimana
pengaruh tanaman penutup tanah dalam menutup permukaan tanah,
sehingga tidak ada ruang tumbuh bagi gulma untuk tumbuh dan berkembang
biak, karena semua ruang sudah tertutupi oleh tanaman penutup tanah.
Sementara pada Gambar 9 terlihat bahwa gulma dapat tumbuh bebas pada
lahan tanpa tanaman penutup tanah.
Berdasarkan kebutuhan cahaya untuk perkecambahan, gulma
dikelompokkan dalam 3 golongan yaitu yang memerlukan cahaya, yang
tidak memerlukan cahaya dan yang tidak dipengaruhi ada tidaknya cahaya
(Copeland, 1967). Dengan tertutupnya permukaan tanah oleh fitomass segar
dan pengembalian residu tanaman, perkecambahan gulma-gulma tersebut
menjadi terhambat. Kalaupun masih ada biji gulma yang mampu
berkecambah, pertumbuhannya tertekan karena intensitas cahaya yang
diperoleh tidak mencukupi untuk pertumbuhan yang optimal serta ruang
tumbuh yang telah terisi oleh tanaman penutup tanah.
Peranan cahaya dalam perkecambahan biji tidak saja dipengaruhi
oleh kuantitas cahaya tetapi juga oleh kualitasnya. Pengaruh kualitas cahaya
terhadap perkecambahan berlangsung melalui peranan fitokrom. Respon
fitokrom terhadap kualitas cahaya dapat berubah-ubah, dalam arti dapat
berpengaruh positif merangsang perkecambahan dan sebaliknya dapat
berpengaruh negatif menghambat perkecambahan tergantung pada panjang
gelombang yang mengenai fitokrom tersebut. Spektrum merah dengan
panjang gelombang 560-700 nm merangsang perkecambahan sedang ultra
violet dengan panjang gelombang < 200 nm dan spektrum merah jauh
dengan panjang gelombang > 700 nm menghambat perkecambahan
(Copeland, 1967; Sugito, 1999).
Daun tanaman mengabsorbsi cahaya merah dan biru, sedang cahaya
merah-jauh relatif lebih banyak ditransparansikan, sehingga cahaya yang
langsung ke permukaan tanah sebagian besar adalah spektrum cahaya merah
jauh yang bersifat menghambat perkecambahan biji gulma (Fitter dan Hay,
1987). Selain untuk perkecambahan, cahaya diperlukan oleh tanaman
termasuk gulma untuk fotosintesis yang akan menghasilkan energi yang
diperlukan untuk pertumbuhannya. Penaungan tanaman penutup tanah
terhadap gulma yang tumbuh di bawah kanopinya menyebabkan
berkurangnya cahaya yang dapat diterima oleh gulma dan pada akhirnya
fotosintat yang dihasilkan oleh gulma tidak mencukupi untuk
pertumbuhannya.
Agroteknologi Lahan Kering 63

BAB VII
PENGELOLAAN BAHAN ORGANIK TANAH DI
LAHAN KERING

Salah satu masalah yang dihadapi dalam pemanfaatan lahan kering


untuk budidaya tanaman adalah rendahnya kadar bahan organik tanah,
sementara bahan organik merupakan salah satu komponen yang sangat
penting bagi ekosistem tanah, karena merupakan sumber dan pengikat hara,
juga sebagai substrat bagi mikroba tanah (Syekfani. 1998). Oleh karena itu
upaya pengelolaan bahan organik tanah yang tepat perlu menjadi perhatian
yang serius, agar tidak terjadi degradasi bahan organik tanah.
Bahan organik dihasilkan oleh tumbuhan melalui proses
fotosintesis, sehingga unsur C merupakan penyusun utama dari bahan
organik tersebut yang berada dalam bentuk senyawa-senyawa polisakarida
(Sugito. Nuraeni dan Nihayati. 1995). Bahan organik merupakan kunci
kesuburan tanah karena memperbesar kemampuan tanah mengikat hara,
dengan demikian meningkatkan kemampuan tanah menyediakan hara untuk
tanaman, mengurangi pencucian hara, menambah kemampuan tanah
menahan air, sehingga ketersediaan air tanah meningkat dan kemantapan
struktur tanah serta sebagai sumber energi bagi biota tanah (Samosir, 1997).
Bahan organik juga meningkatkan kandungan CO2 eksternal dan CO2
internal yang akan meningkatkan laju fotosintesis (Mir Alam, Nasaruddin
dan Darmawan, 2008).
Meningkatnya kandungan bahan organik akan memperbaiki
kemampuan tanah menahan air (Subaedah, Nirwana dan Suriaynti, 2014)
dan meningkatkan kandungan hara tanah meliputi nitrogen, fosfat dan unsur
mikro yang dimobilisasi dan terkonsentrasi pada lapisan atas tanah
(Subaedah, Aladin dan Nirwana, 2016). sehingga dapat dimanfaatkan oleh
tanaman dan oleh karenanya integrasi bahan organik dalam budidaya
64 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

tanaman di lahan kering yang mengalami cekaman abiotis diharapkan dapat


meningkatkan ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan oleh tanaman
sehingga akan meningkatkan produktivitas tanaman.
Penambahan bahan organik secara kontinyu pada tanah merupakan
cara pengelolaan yang murah dan mudah. Namun demikian, walaupun
pemberian bahan organik pada lahan pertanian telah banyak dilakukan,
umumnya produksi tanaman masih kurang optimal, karena rendahnya unsur
hara yang disediakan dalam waktu pendek, serta rendahnya tingkat
sinkronisasi antara waktu pelepasan unsur hara dari bahan organik dengan
kebutuhan tanaman akan unsur hara. Kualitas bahan organik sangat
menentukan kecepatan proses dekomposisi dan mineralisasi bahan organik.

Kualitas Bahan Organik


Kualitas bahan organik menentukan lama tidaknya proses
dekomposisi, oleh karena itu informasi tentang kualitas bahan organik yang
digunakan dapat menjadi acuan dalam pemilihan bahan organik yang tepat
untuk meningkatkan sinkronisasi dan efisiensi penggunaan hara tanaman.
Sinkroni adalah matching/kesesuaian menurut waktu, ketersediaan unsur
hara dan kebutuhan tanaman akan hara. Apabila penyediaan unsur hara tidak
match, maka akan terjadi defisiensi unsur hara atau kelebihan unsur hara,
meskipun jumlah total penyediaan sama dengan jumlah total kebutuhan
(Handayanto, 1999). Komponen kualitas bahan organik yang penting
meliputi nisbah C/N, kandungan lignin, kandungan polifenol, dan kapasitas
polifenol mengikat protein (Handayanto, 1997; Stevenson, 1982; Becker dan
Ladha, 1997). Heal et al. (1997) menyatakan C/N, lignin, dan polifenol
sering digunakan sebagai indeks jangka pendek pupuk hijau.
Nisbah C/N dapat digunakan untuk memprediksi laju mineralisasi
bahan organik (Heal at al., 1997). Bahan organik akan termineralisasi jika
nisbah C/N dibawah nilai kritis 25 – 30, dan jika diatas nilai kritis akan
terjadi imobilisasi N. Untuk mineralisasi P nilai kritis C/P sebesar 200-300,
dan untuk mineralisasi S nilai kritis sebesar 200-400 (Stevenson, 1982).
Selanjutnya dikemukakan oleh Tisdale dan Nelson (1975) bahwa bahan
organik dengan C/N < 20 lebih cepat terdekomposisi dan menghasilkan
sedikit humus, dibandingkan bahan organik dengan nisbah C/N lebih tinggi.
Selama terjadinya dekomposisi terjadi juga mineralisasi unsur hara N, P, S
dan unsur mikro serta dibentuk pula humus, yang akan mengakibatkan
perbaikan pada sifat-sifat tanah.
Agroteknologi Lahan Kering 65

Menurut Arsyad (1989) bahwa bahan organik yang berasal dari


legum penutup tanah, merupakan sumber bahan organik berkualitas tinggi,
karena kemampuannya untuk terdekomposisi lebih cepat. Dekomposisi
bahan organik adalah perombakan yang dilakukan oleh sejumlah organisme
dalam tanah terhadap bahan organik menjadi senyawa yang lebih sederhana
disertai pembentukan senyawa organik yang bersifat kompleks
(Handayanto, 1998).
Proses dekomposisi segera dimulai bila tanah diberi bahan organik,
terutama bahan organik segar yang merupakan sasaran berbagai jazad yang
ada dalam tanah. Akan tetapi kecepatan dekomposisi dipengaruhi oleh sifat
bahan organik dan sifat tanah. Sifat bahan organik yang mempengaruhi
dekomposisi adalah ukuran, nisbah C/N dan komposisi kimianya (Sutanto,
2002).
Jika bahan organik mempunyai kandungan lignin tinggi kecepatan
mineralisasi N akan terhambat. Lignin adalah senyawa polimer pada
jaringan tanaman berkayu, yang mengisi rongga antar sel tanaman, sehingga
menyebabkan jaringan tanaman menjadi keras dan sulit untuk dirombak oleh
organisme tanah. Pada jaringan berkayu, kandungan lignin bisa mencapai 38
% (Stevenson, 1982). Perombakan lignin akan berpengaruh pada kualitas
tanah dalam kaitannya dengan susunan humus tanah. Dalam perombakan
lignin ini, di samping jamur (fungi-ligninolytic) juga melibatkan kerja enzim
(antara lain enzim lignin peroxidase, manganeses peroxidase, laccases dan
ligninolytic) (Hammel, 1997).
Polifenol berpengaruh terhadap kecepatan dekomposisi bahan
organik, semakin tinggi kandungan polifenol dalam bahan organik, maka
akan semakin lambat terdekomposisi dan termineralisasi. Polifenol adalah
senyawa aromatik hidroksil yang secara umum dapat dikelompokkan
menjadi dua jenis, yakni: polifenol sulit larut dan polifenol mudah larut
Handayanto, 1998). Berdasarkan kualitas bahan organiknya, tanaman dapat
dikelompokan dalam dua kelompok yaitu kualitas tinggi apabila kandungan
N paling sedikit 2,5%, kandungan lignin dan polyfenol masing-masing
<15% dan <4%. Selanjutnya dikemukakan oleh Handayanto et al., (1994)
bahwa kecepatan dekomposisi dan mineralisasi N sangat ditentukan oleh
oleh kualitas bahan organik,yaitu kadar N, konsentrasi lignin dan polifenol.
Sifat khas dari polifenol adalah kemampuannya dalam membentuk
kompleks dengan protein, sehingga protein sulit dirombak oleh organisme
perombak. Selain itu, polifenol juga dapat mengikat enzim organisme
perombak, sehingga aktivitas enzim menjadi lemah. Mafongoya et al.
66 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

(1997) menunjukkan bahwa kandungan total polifenol larut dan tanin tak
larut dalam bahan organik tidak berkorelasi nyata terhadap pelepasan N.
Tetapi nisbah (lignin+polifenol) / N secara konsisten berhubungan dengan
pelepasan N. Pendapat ini diperkuat oleh Handayanto et al. (1997) yang
mengatakan bahwa kapasitas pengikatan protein dan nisbah (lignin +
polifenol)/N dapat digunakan sebagai indikator terbaik tehadap pelepasan N.
Penelitian yang dilakukan oleh Subaedah et al., (2007) dengan
menggunakan dua jenis bahan oraganik yang berasal dari Calopogonium
muconoides dan Crotalaria juncea diperoleh kandungan N total, Lignin dan
Polyfenol yang disajikan pada Tabel 25 menunjukkan bahwa kandungan N
total dari kedua jenis bahan organik yang digunakan cukup tinggi yaitu
masing-masing 3,02% dan 3,27%, sementara kandungan lignin pada
Calopogonium cukup tinggi yaitu 21,32 %, namun kandungan lignin pada
Crotalaria cukup rendah yaitu 7,42% dan pada kandungan polyfenol dari
kedua bahan organik cenderung sama yaitu masing-masing 0,65 dan 0,78.
Dari hasil analisis senyawa N-total dan kandungan polyfenol
tumbuhan liar Calopogonium dan Crotalaria, maka disimpulkan bahwa
kedua jenis tumbuhan liar merupakan bahan organik yang berkualiatas
tinggi, sedangkan berdasarkan kandungan ligninnya maka tumbuhan liar
Crotalaria juga termasuk berkuliatas tinggi.
Tabel 25. N total, Lignin dan Polyfenol dari Tumbuhan Crotalaria dan
Calopogonium
Jenis Bahan Organik N total (%) Lignin (%) Polyfenol (%)
Calopogonium muconoides 3,02 21,32 0,65
Crotalaria juncea 3,27 7,42 0,78
Proses dekomposisi atau mineralisasi, di samping dipengaruhi oleh
kualitas bahan organiknya, juga dipengaruhi oleh frekuensi penambahan
bahan organik, ukuran partikel bahan, kekeringan, dan cara pengelolaannya
(dicampur atau disebarkan di permukaan) (Vanlauwe et al., 1997).
Pengeringan bahan mempunyai pengaruh terhadap konsentrasi polifenol
larut. Pengeringan pada suhu 55oC akan mengurangi konsentrasi polifenol
larut (Mafongoya et al., 1997). Pencampuran bahan yang berbeda
kualitasnya akan berdampak pada peningkatan pelepasan hara. Hal ini
sangat penting dalam kaitannya dengan sinkronisasi.
Agroteknologi Lahan Kering 67

Sumber Bahan Organik


Sumber bahan organik yang dapat digunakan dapat berasal dari:
kotoran hewan (pupuk kandang), pupuk hijau, sisa tanaman, sampah kota
dan limbah industri.

Pupuk Kandang.
Sejak dahulu, pupuk kandang sudah digunakan sebagai sumber
hara utama. Di Amerika 73 % dari kotoran ternak yang dihasilkan dalam
kandang (157 juta ton) diberikan dalam tanah sebagai pupuk. Taksiran total
N, P, dan K masing-masing sebesar 0,787; 0,572; dan 1,093 juta ton
diberikan setiap tahun, yang setara dengan 8, 21, 0,572 % kebutuhan pupuk
setiap tahun sebagai pupuk komersial (Power dan Papendick, 1997).
Demikian pula di Eropa, lahan-lahan pertanian berdampingan dengan
peternakan, sehingga kotoran ternak dapat digunakan ke lahan pertanian
tanpa memerlukan baiaya transportasi pengangkutan pupuk kandang yang
dibutuhkan dalam jumlah banyak (Gambar 10 dan 11).

Gambar 10. Peternakan yang berdampingan dengan lahan pertanian


(Foto Subaedah, 2015)
68 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Gambar 11. Pupuk kandang yang akan disebar ke lahan pertanian


(Foto Subaedah, 2015)
Pupuk kandang didefinisikan sebagai semua produk buangan dari
binatang peliharaan yang dapat digunakan untuk menambah hara,
memperbaiki sifat fisik, dan biologi tanah. Apabila dalam pemeliharaan
ternak tersebut diberi alas seperti sekam pada ayam, jerami pada sapi,
kerbau dan kuda, maka alas tersebut akan bercampur menjadi satu kesatuan
dan disebut sebagai pupuk kandang (pukan). Dengan demikian susunan
kimianya tergantung dari:
(1) jenis ternak
(2) umur dan keadaan hewan
(3) sifat dan jumlah amparan
(4) cara pengelolaan pupuk sebelum dipakai
Hewan hanya menggunakan setengah dari bahan organik yang
dimakan, dan selebihnya dikeluarkan sebagai kotoran. Sebagian dari padatan
yang terdapat dalam pupuk kandang terdiri dari senyawa organik serupa
dengan bahan makanannya, antara lain selulosa, pati dan gula, hemiselulosa
dan lignin seperti yang terdapat dalam humus ligno-protein. Penyusun
pupuk kandang yang paling penting adalah komponen hidup, yaitu
organisme tanah, pada sapi perah seperempat hingga setengah bagian
kotoran hewan merupakan jaringan mikrobia (Brady, 1990).
Agroteknologi Lahan Kering 69

Pupuk kandang telah mengalami proses pra-perombakkan di dalam


rumen (perut besar). Chesson (1997) menjelaskan, di dalam rumen proses
perombakan bahan organik dapat berlangsung secara efisien karena
mikrobia dapat bekerja secara optimal. Hal ini ditunjang oleh rumen
merupakan habitat yang ideal bagi berlangsungnya perombakan, antara lain
karena:
(1) keadaan yang selalu terkontrol
(2) tidak terdapat faktor pembatas dalam suplai hara N dan P
(3) keadaan anaerob penuh
(4) jumlah dan macam mikroorganisme yang adaptif dalam rumen tinggi
(5) tersedia cukup air (aqueous) pada lingkungan rumen
(6) banyak bahan hijauan yang termakan
Laju perombakan dalam rumen lebih cepat dibanding di tanah,
waktu yang diperlukan untuk merombak dinding sel dalam rumen hanya
sehari, namun bila di tanah perlu waktu beberapa minggu.
Kandungan hara dalam pupuk kandang sangat menentukan kualitas
pupuk kandang. Kandungan unsur hara di dalam pupuk kandang tidak hanya
tergantung dari jenis ternak, tetapi juga tergantung dari makanan dan air
yang diberikan, umur dan bentuk fisik dari ternak (Tabel 26).
Tabel 26. Kandungan hara dari pupuk kandang padat/segar
Sumber
Kadar Bahan
pupuk N P2O5 K2O CaO C/N
air organik
kandang
-----------------------------%-------------------------------------------
Sapi 80 16 0,30 0,20 0,15 0,2 20-25
Kerbau 81 12,7 0,25 0,18 0,17 0,4 25-28
Kambing 64 31 0,70 0,40 0,25 0,4 20-25
Ayam 57 29 1,50 1,30 0,80 4,0 9-11
Kuda 73 22 0,50 0,25 0,30 0,2 24

Sumber: Pinus Lingga (1991)


Kenyataan di lapangan menunjukkan ketersediaan hara dari pupuk
kandang sangat bervariasi, yang tergantung oleh beberapa faktor seperti:
sumber dan komposisi pupuk kandang, cara dan waktu aplikasi, jenis tanah
dan iklimnya, dan sistem pertaniannya. Penanganan pupuk kandang yang
benar harus memperhatikan keadaan alas kandang dan cara penyimpananya,
yang akan menentukan mutu pupuk dari kehilangan hara yang berlebih
(Power dan Papendick, 1997).
70 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Bagi petani lahan kering, pupuk kandang merupakan kunci


eberhasilan usahanya, walaupun ketersediaannya semakin berkurang. Hasil
penelitian pemberian pupuk kandang yang dikombinasikan dengan pupuk
SP-36 pada tanaman kedelai dan pengaruhnya terhadap sifat kimia tanah
diperlihatkan pada Tabel 27 yang menunjukkan bahwa pemberian pupuk
kandang dapat memperbaiki sifat kimia tanah. Kadar N total meningkat dari
0,09% menjadi 0,35% dengan penggunaan pupuk kandang, demikian juga
kadar P-tersedia meningkat dari 10,6 ppm menjadi 25,3 ppm, sementara
KTK tanah meningkat dari 20,35 c mol.kg-1 menjadi 24,26 c mol kg-1
dengan penggunaan pupuk kandang (Subaedah dan Ralle, 2015)
Tabel 27. Pengaruh pemberian pupuk kandang terhadap terhadap sifat kimia
tanah
Sifat Kimia Tanah
Perlakuan N-tot P-tersedia K-dd KTK
pH tanah (%) (ppm) cmol.kg-1 cmol.kg-1
Tanpa BO 5,9 0,09 10,6 0,21 20,35
Pupuk Kandang 6,4 0,35 25,3 0,35 24,26

Keterangan : BO : bahan organik


Nitrogen adalah salah satu hara utama bagi sebagian besar tanaman
yang dapat diperoleh dari pupuk kandang. Kekurangan kalium pada
sebagian lokasi tertentu tidak dapat dikoreksi dengan takaran umum pupuk
kandang. Kebutuhan beberapa tanaman dapat diperoleh dengan aplikasi
pupuk kandang kurang lebih 25 t ha-1. Nitrogen dari pupuk kandang
umumnya dirubah menjadi bentuk nitrat tersedia. Nitrat adalah mudah larut
dan bergerak ke daerah perakaran tanaman. Bentuk ini sama dengan bentuk
yang bisa diambil oleh tanaman dari sumber pupuk anorganik dari pabrik.
Penggunaan pupuk kandang sebagai pupuk tanaman merupakan suatu siklus
unsur hara yang sangat bermanfaat dalam mengoptimalkan penggunaan
sumber daya alam yang terbarukan, di sisi lain penggunaan pupuk kandang
dapat mengurangi unsur hara yang bersifat racun bagi tanaman.

Pupuk Hijau.
Pupuk hijau adalah tanaman-tanaman yang khusus ditanam untuk
melindungi tanah dari ancaman kerusakan oleh erosi dan atau untuk
memperbaiki sifat kimia dan fisik tanah. Tanaman yang dikelompokkan
sebagai pupuk hijau mempunyai syarat-syarat sebagai berikut: produksi
biomass tinggi, sistem perakaran dalam, pertumbuhan awal yang cepat, lebih
Agroteknologi Lahan Kering 71

banyak daun daripada kayu, pengikat nitrogen, daya gabung yang bagus,
penggunaan air efisien, serta pembentukan bibit mudah (Arsyad, 1989; Isse
et al., 1999).
Penggunaan tanaman pupuk hijau dari jenis legum seperti
Crotalaria juncea mempunyai keuntungan karena kemampuannya mengikat
nitrogen dari udara. Pengikatan nitrogen tersebut berlangsung melalui suatu
hubungan yang saling menguntungkan antara tanaman legum dengan bakteri
pengikat nirogen yaitu Rhizobium dengan terbentuknya bintil akar. Cox dan
Atkins (1979) menamakan kerjasama tersebut sebagai hubungan
mutualisme. Adanya hubungan yang saling menguntungkan ini telah
diketahui sejak tahun 1838 dan sejak itu telah digunakan untuk
menyuburkan tanah dengan sistem rotasi (Suseno, 1974).
Tanaman pupuk hijau yang berbentuk pohon biasa digunakan
sebagai pohon pelindung atau sebagai tanaman pagar dalam sistem pertanian
lorong antara lain Glerisedia sepium (gamal) mengandung 3,46 % N,
Leucaena glauca (lamtoro), dan Sesbania grandiflora (turi putih)
mengandung 2,42 % N. Sementara tumbuhan air yang banyak
dikembangkan sebagai pupuk hijau adalah Azolla (A.mexicana, A.
microphylla dan A. pinnata). Tanaman air ini termasuk tanaman penambat
N2 udara. Azolla apabila dimasukkan dalam tanah, pada kondisi tergenang
akan mengalami mineralisasi dan selama 2 minggu mampu melepas 60-80
% dari N yang dikandungnya. Dilaporkan di Asia, penggunaan Azolla untuk
budidaya padi sawah mampu memasok 20-40 kg N ha-1 ke dalam tanah dan
mampu meningkatkan hasil padi 19,23 % atau 0,5 t ha-1. Apabila
penggunaan azolla diberikan dua kali yaitu sebelum dan sesudah tanam,
peningkatan hasil padi bisa mencapai 38,46 % atau 1 t ha-1 (Giller dan
Welson, 1991).
Kemampuan tanaman pupuk hijau dalam menyediakan unsur
nitrogen serta perbaikan sifat-sifat tanah lainnya sangat beragam bergantung
pada banyak faktor seperti spesies, tipe pertumbuhan, dan lingkungan
tumbuh. Beberapa peneliti telah mengungkapakan keragaman pengaruh
spesies tanaman pupuk hijau tersebut. Diantaranya penelitian yang
dilakukan oleh Hairiah dan Van Noordwijk (1989) yang menunjukkan
bahwa tanaman pupuk hijau Crotalaria juncea memberikan biomas dan
kontribusi N yang tertinggi sedang Centosema pubescens menghasilkan
biomass dan kontribusi N yang terendah.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Hairiah, Utomo dan Van der
Heide (1992) pada tanah ultisol di Lampung, mendapatkan hasil yang
72 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

menunjukkan bahwa pada umur 3 bulan, pupuk hijau Crotalaria juncea


memberikan masukan N-total tanah yang tertinggi yaitu sekitar 100 kg ha -1,
Centrosema pubescens memberikan kontribusi N-total tanah sebesar 86 kg
ha-1, sedang Mucuna 70 kg ha-1 . Pada umur 6 bulan Crotalaria juncea
memberikan masukan N-total tanah sebesar 81 kg ha-1, Centrosema
pubescens memberikan kontribusi N-total tanah yang tertingi yaitu sebesar
226 kg ha-1, sedang Mucuna 76 kg ha-1.
Penelitian Adiningsih dan Mulyadi (1993) mendapatkan bahwa
Mucuna sp menyumbangkan 23,2 kg N; 2,0 kg P dan 19,7 kg K.ha-1 ke
lahan atau setara dengan 51,6 kg urea; 10 kg TSP dan 39,4 kg KCl ha -1.
Sementara Kuo, Sainju dan Jellum (1997) melaporkan bahwa tanaman
pupuk hijau winter mempengaruhi kandungan N tanah, dan besarnya
konsentrasi N ditentukan oleh biomass tanaman pupuk hijau atau ratio
konsentrasi N dan karbohidrat terlarut.
Hasil Penelitian Subaedah et al., (2007) tentang pengaruh
pemberian pupuk hijau disertai pemupukan N dan P terhadap sifat kimia
tanah yang disajikan pada Tabel 28 menunjukkan bahwa kadar N-total dan
P-tersedia menunjukkan bahwa pemberian Crotalaria mampu meningkatkan
kadar N-total tanah hingga 11% lebih tinggi (Kadar N total tanah 0,30%)
dibandingkan dengan tanpa pemberian bahan organik dengan kadar N total
tanah 0,27%. Demikian juga pada hasil analisis kadar P tersedia
menunjukkan bahwa pemberian bahan organik Crotalaria dapat
meningkatkan kadar P tersedia hingga 25,6% dengan kadar P tersedia
sebesar 10,70 ppm sedangkan tanpa pemberian bahan organik kadar P
tersedia sebesar 8,52 ppm.
Tabel 28. Pemberian pupuk hijau dan pemupukan N dan P terhadap Kadar
N-total tanah dan P-tersedia setelah tiga bulan aplikasi
Pemupukan N dan P
Jenis Bahan Tanpa pupuk 67,5 kg N + 135 kg N + Rata-
Organik N dan P 33 kg P2O5 66 kg P2O5 rata
N-total (%)
Tanpa pupuk hijau 0,22 0,26 0,32 0,27
Crotalaria 0,25 0,29 0,36 0,30
Calopogonium 0,24 0,27 0,33 0,28
Rata-rata 0,24 0,27 0,34
P –tersedia (ppm)
Tanpa pupuk hijau 8,33 9,12 8,12 8,52
Crotalaria 10,78 10,56 10,75 10,70
Calopogonium 9,46 10,06 9,05 9,52
Rata-rata 9,52 9,91 9,31
Agroteknologi Lahan Kering 73

Pada akhir-akhir ini, mengingat semakin terbatasnya bahan organik


yang tersedia di suatu daerah, dikembangkan tanaman-tanaman non-legum
untuk dapat digunakan sebagai bahan pupuk hijau, seperti misalnya
tumbuhan Chromolaena odorata (Gambar 12) termasuk dalam famili
Asteraceae dan genus Eupatorium (Gautier, 1992). Di Sulawesi Selatan
disebut ”Jonga-jonga”. Tanaman ini berbentuk perdu, tegak, bercabang
banyak dan berbau. Tinggi tanaman dapat mencapai 2 – 6 m, ranting bulat,
berambut pendek dan rapat. Daun berhadapan berbentuk bulat telur atau
belah ketupat, bulat telur memanjang atau bulat telur lanset, pangkalnya
berangsur menyempit sepanjang tangkai daun dan daunnya cukup runcing.
Tepi daun begerigi kasar, permukaan daun berbulu. Bunga bergerombol
(compositae) tersusun dalam karangan bunga berbentuk malai rata, dan
berbau harum (Van Steenis, et al., 1988). Biomass Chromolaena odorata
mengandung hara cukup tinggi yaitu 2,65% N, 0,53% P dan 1,9% K
(Suntoro, 2001).

Gambar 12. Tampilan Tumbuhan Chromolaena odorata


(Foto Subaedah, 2009)
Pada penelitian yang dilakukan oleh Subaedah dan Nirwana (2009)
menunjukkan bahwa kadar C-organik dari tumbuhan liar Chromolaena yang
digunakan sebagai sumber bahan organik tidak berbeda jauh dengan pupuk
kandang yaitu 35,6% sementara pupuk kandang mengandung 42%. Namun
demikian pada kandungan unsur N, P dan K terlihat pupuk kandang lebih
74 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

tinggi, sementara tumbuhan liar yang digunakan yaitu Chromolaena dan


Crotalaria mempunyai kandungan unsur N, P dan K yang relatif sama.
Berdasarkan hasil analisis kadar hara dari bahan organik yang
digunakan seperti yang tertera pada Tabel 29 berarti bahwa untuk setiap ton
Chromolaena mengandung 5,2 kg N dan 2,1 kg P serta 1,9 kg K, sedang
Crotalaria untuk setiap ton mengandung 3,2 kg N, 2,2 kg P dan 1,0 kg K.
Hal ini berarti bahwa tumbuhan Chromolaena termasuk jenis tumbuhan
yang berpotensi untuk digunakan sebagai pupuk hijau.
Tabel 29. Kadar hara dari berbagai jenis bahan organik yang digunakan
Jenis Bahan C-organik N-total
P (%) K (%)
Organik (%) (%)
Chromolaena 35,6 0,52 0,21 0,19
Crotalaria 32,5 0,32 0,22 0,19
Pupuk Kandang 42,0 0,89 1,48 0,48
Sumber: Subaedah, 2009

Sisa Tanaman
Pengelolaan sisa tanaman memegang peranan utama dalam
mengatur ketersediaan hara yang terkandung dalam sisa tanaman. Sisa
tanaman sering digunakan untuk berbagai tujuan. Di lingkungan petani,
sebagian besar jerami padi digunakan untuk alas ternak dan sebagai pakan
ternak. Untuk tujuan ini, sebagian besar hara yang terkandung dalam sisa
tanaman, kemungkinan dikembalikan ke tanah dalam bentuk pupuk kandang
jika kotoran ternak tersebut ditangani dengan tepat. Jumlah dan komposisi
sisa tanaman yang dikembalikan ke tanah secara langsung sebagai pupuk
merupakan variabel-variabel penting dalam mengatur imobilisasi ataupun
mineralisasi hara dalam tanah. Jerami padi dan jagung merupakan sisa
tanaman yang mempunyai nisbah C/N yang tinggi, sehingga perlu adanya
waktu pemeraman (incubation), atau pengomposan terlebih dahulu dalam
praktek pemakaiannya. Peningkatan ketersediaan N dalam tanah dari
pengaruh sisa tanaman bervariasi luas tergantung pada tipe residu,
kandungan N, Iklim dan praktek pengolahan tanahnya (Power dan
Papendick, 1997).
Upaya penggunaan bahan organik yang berasal dari limbah
pertanaman sebelumnya (jerami padi) sangat berpotensi untuk digunakan,
mengingat besarnya limbah jerami yang dihasilkan. Untuk setiap penanaman
padi dengan tingkat produksi 6 t ha-1, maka akan dihasilkan jerami padi
Agroteknologi Lahan Kering 75

sebanyak 6 t ha-1. Dengan demikian jerami padi sangat besar potensinya


untuk dijadikan sebagai sumber pupuk organik. Disamping itu jerami padi
banyak mengandung hara, seperti N : 30 kg ha-1, P: 2 kg ha-1, K: 93 kg ha-1,
Ca: 10 kg. ha-1 (Rahman, Daria dan Santoso, 2002).
Hasil penelitian Ralle dan Subaedah (2015) tentang pemberian
jerami padi dan pengaruhnya terhadap sifat kimia tanah pada Tabel 30
menunjukkan bahwa pemberian jerami padi meningkatkan N-total tanah dari
0,09% menjadi 0,42%, P-tersedia meningkat dari 10,6 pp menjadi 26,5 ppm.
Demikian pula kadar K-dd meningkat dari 0,21 cmol.kg-1 menjadi 0,42
cmol.kg-1. Pada parameter kapasitas tukar kation (KTK) tanah menunjukkan
bahwa pemberian bahan organik jerami padi diperoleh nilai KTK yang lebih
tinggi yaitu 24,26 cmol.kg-1, sedangkan tanpa pemberian bahan organik
KTK tanah hanya sebesar 20,36 cmol.kg-1.
Tabel 30. Pengaruh pemberian bahan organik dari jerami padi terhadap sifat
kimia tanah
Sifat Kimia Tanah
pH N-tot P-tersedia K-dd KTK
Perlakuan tanah (%) (ppm) cmol.kg-1 cmol.kg-1
Tanpa BO 5,9 0,09 10,6 0,21 20,35
Jerami padi 5,8 0,42 26,5 0,42 24,22
Keterangan : BO : bahan organik
Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Subaedah, (2004)
tentang penggunaan residu tanaman jagung menunjukkan bahwa
pengembalian residu tanaman jagung ke pertanaman nampak pengaruhnya
terhadap kadar N total tanah pada periode pengamatan 2 dan 3 bulan setelah
aplikasi dengan kadar N total tanah yang lebih tinggi 8% (0,27%) dibanding
tanpa pengembalian residu (0,25%) untuk periode pengamatan 2 bulan
setelah aplikasi residu dan 17% (0,28%) lebih tinggi dibanding tanpa
pengembalian residu tanaman (0,24 %) untuk periode 3 bulan setealh
aplikasi residu tanaman.
76 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Tabel 31. Kadar N total tanah dengan penggunaan bahan organik dari
brangkasan tanaman jagung
N total tanah (%)
Jenis perlakuan
2 bst 3 bst
Dengan Residu 0,27 a 0,28 a
Tanpa Residu 0,25 b 0,24 b

Keterangan: - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada Uji BNT 0,05.
- bst: bulan setelah aplikasi
Pengamatan terhadap kapasitas tukar kation (KTK) tanah dengan
pemberian residu tanaman jagung juga telah diamati dan memberikan hasil
yang disajikan pada Tabel 32 dan menunjukkan bahwa pengembalian residu
tanaman jagung juga meningkatkan KTK tanah untuk kedua musim tanam
yang digunakan yaitu antara 16% (31,33 me.100g-1) dan 10% (32,74
me.100g-1) dibanding tanpa residu dengan KTK yang dicapai antara 26,91
me.100g-1 dan 29,62 me.100g-1.
Tabel 32. KTK tanah dengan penggunaan bahan organik dari brangkasan
tanaman jagung

KTK (me.100 g-1)


Jenis perlakuan
MT 2001/2002 MT 2002/2003
Residu tanaman dikembalikan 31,33 a 32,74 a
Residu tanaman dikeluarkan 26,96 b 29,62 b
Keterangan:- angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
Pengolahan tanah memainkan peran yang sangat penting dalam
mengatur pendauran kembali hara yang terimobilisasikan dalam sisa
tanaman. Pembajakan atau pencangkulan, tidak hanya menyebabkan residu
terpendam, akan tetapi juga terjadi pembalikan dan penghancuran tanah
permukaan, sehingga akan meningkatkan porositas tanah. Kondisi ini akan
mempercepat dekomposisi sisa tanaman dan pelepasan hara ke tanah.
Dilaporkan, penambahan jerami 5 t ha-1 di Oxisol mampu meningkatkan
kadar K-potensial tanah dan hasil gabah kering giling (Santoso, 1999).
Peneliti yang lain melaporkan bahwa penggunaan kompos kulit durian
mampu meningkatkan P-tersedia, C-organik tanah dan hasil biji jagung
(Lahuddin, 1999).
Agroteknologi Lahan Kering 77

Kelemahan dari penggunan bahan organik yang berasal dari sisa


tanaman seperti jerami padi atau brangkasan jagung adalah proses pelapukan
yang memakan waktu lebih lama. Oleh karena itu untuk mempercepat
proses pelapukan agar terjadi sinkronisasi antara pelepasan hara dengan
kebutuhan tanaman, maka diperlukan pengomposan terlebih dahulu. Adapun
proses pengomposan dari sisa tanaman (jerami padi) sebagai berikut:
1. Bahan-bahan yang diperlukan dalam pembuatan bokashi jerami padi
disajikan pada Tabel 33.
Tabel 33. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan bokashi jerami
Bahan Volume
• Jerami padi 50 kg
• Pupuk kandang 12,5 kg
• Dedak 10 kg
• Sekam padi 12,5 kg
• Gula pasir 250 g
• EM-4 250 cc
• Air 5L

2. Bahan organik (jerami padi) dicacah terlebih dahulu, seperti gambar


berikut

Gambar 13. Jerami padi yang sudah dicacah


(Foto Subaedah, 2016)
3. EM-4 dan gula dilarutkan ke dalam air sebanyak 5000 cc
78 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

4. Jerami yang telah dicacah, pupuk kandang, sekam padi dan dedak dicampur
secara merata, kemudian larutan EM-4 dan gula disiramkan kedalam bahan
campuran tersebut (Gambar 14)

Gambar 14. Pencampuran bahan (jerami, pupuk kandang, sekam padi,


dedak) dan penyiraman larutan EM-4
(Foto Subaedah, 2016)
5. Bila campuran bahan organik dikepal dengan tangan, air tidak menetes
dan bila kepalan tangan dilepas adonan tidak terburai, berarti adonan
bahan organik tersebut sudah siap untuk dikomposkan
6. Campuran adonan bahan organik tersebut digundukkan di atas ubin yang
kering, kemudian ditutup dengan karung plastik selama 2 - 4 minggu
(Gambar 15).
Agroteknologi Lahan Kering 79

Gambar 15. Tumpukan bahan organik jerami padi


(Foto Subaedah, 2016)
7. Gundukan adonan dipertahankan suhunya pada suhu maksimal 50oC, bila
suhunya lebih dari 50oC, suhu diturunkan dengan cara mengaduk adonan
jerami (Gambar 16)
8. Setelah mengecek suhu bahan baku bokashi tersebut dititup kembali
9. Pengecekan suhu sebaiknya dilakukan setiap tiga hari sekali, untuk
mencegah suhu yang terlau tinggi, karena suhu yang tinggi dapat
mengakibatkan kompos jerami menjadi rusak karena terjadinya proses
pembusukan
10. Setelah 14 hari, bokashi jerami padi telah selesai terfermentasi dan siap
digunakan sebagai pupuk organik (Gambar 17)
80 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Gambar 16. Pengecekan suhu di tumpukan jerami


(Foto Subaedah, 2016)

Gambar 17. Bokashi jerami padi yang siap digunakan


(Foto Subaedah, 2016)

Limbah Agroindustri
Pada prinsipnya hampir semua limbah industri yang menggunakan
bahan baku dari hasil pertanian dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan
Agroteknologi Lahan Kering 81

organik. Limbah organik dari industri sering merupakan masalah lingkungan


yang menyulitkan dalam penangannannya. Beberapa masalah yang harus
diperhatikan untuk diatasi dalam kaitannya dengan penggunaan limbah
untuk pupuk antara lain : (1) adannya logam mikro dan atau logam berat
(misal Zn, Cu, Ni, Cd, Cr, dan Pb), (2) kemungkinan adanya senyawa
organik racun, (3) kemungkinan adanya bibit penyakit (patogen), dan (4)
adanya kelebihan N lepas ke lingkungan.
Sutanto (2002) mengemukakan beberapa jenis limbah dari industri
pabrik gula yang biasa digunakan misalnya bagas tebu dan blotong.
Bagas/ampas tebu paling banyak mengandung bahan padat setelah batang
tebu diekstrak kandungan niranya. Bagas mengandung N yg rendah tetapi
penggunaanya dapat memperbaiki sifat fisik tanah dan dalam jangka
panjang memperbaiki kesuburan tanah. Abu bakar dari bagas juga dapat
dimanfaatkan sebagai pupuk karena kaya akan kalium (2-5% K2O). Blotong
merupakan limbah padat hasil penggilingan tebu. Bloton banyak
mengandungbahan organik dan hara yang umumnya dimanfaatkan sebagai
sumber pupuk organik atau bahan pembenah tanah. Komposisi blotong
bervariasi tergantuing pada varietas, kandungan bagas, pupuk yang
digunakan, iklim dan proses pemurnian gula. Komposisi blotong: minyak &
lilin (5-15%), serat (15-30%), gula (5-15%), protein padat (5-15%) abu total
(9-20%), kadar air (65-80%) (Sutanto, 2002).
Limbah padat pabrik kelapa sawit dikelompokkan menjadi dua
yaitu limbah yang berasal dari proses pengolahan dan yang berasal dari basis
pengolahan limbah. Limbah padat yang berasal dari proses pengolahan
berupa tandan kosong kelapa sawit (TKKS), cangkang atau tempurung,
serabut atau serat, sludge atau lumpur, dan bungkil. Untuk 1 ton kelapa
sawit akan mampu menghasilkan limbah berupa tandan kosong kelapa sawit
sebanyak 23% atau 230 kg, limbah cang menghasilkan 6,5% atau 65 kg.
Tandan kosong kelapa sawit mengandung berbagai unsur hara makro dan
mikro yang sangat penting bagi pertumbuhan tanaman, antara lain 48,2% C,
2,9% K2O, 0,8% N, 0,22% P2O5, 0,30% MgO, 23 ppm Cu dan 51 ppm Zn
(Singh dan Kapoor, 1999).
Dalam pemanfaatan limbah dari industri, perlu diketahui jenis
bahan baku industri yang bersangkutan, serta proses perubahan yang terjadi,
sehingga akan diketahui pula bahan ikutan yang mungkin terbawa dalam
limbah industrinya.
82 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Sampah Kota.
Sampah kota merupakan bahan organik yang banyak kita temukan
di kota-kota besar, yang merupakan permasalahan lingkungan dalam
penanganannya. Usaha penggunaan sampah kota untuk aplikasi langsung di
lahan pertanian, umumnya mengalami berbagai permasalahan. Ada beberapa
alasan yang menjadi penyebab mengapa penggunaan sampah kota tidak
banyak yang digunakan sebagai pupuk organik antara lain:
i. masalah ekonomi pengumpulannya dan pemindahan bahan
ii. kesulitan pemisahan dan pensortiran bahan yang tidak terlapukan
secara biologis (kaca, plastik, logam)
iii. kandungan hara khususnya N setiap bahan sangat bervariasi.
Apabila bahan yang tahan lapuk telah dipilah-pilah, suatu teknologi
yang dapat direkomendasikan untuk pemanfaatan sampah kota adalah
pengomposan. Sifat yang perlu diperhatikan dalam penggunaan sampah
kota adalah:
i. Adanya kontaminasi gelas, plastik dan logam, sehingga bahan-bahan
ini perlu dikeluarkan dari bahan pupuk
ii. Kandungan hara. Nilai C/N bahan pada umumnya masih relatif
tinggi sehingga perlu pengomposan
iii. Komposisi organik sampah kota sangatlah bervariasi, bahkan
kadang-kadang terdapat senyawa organik yang bersifat racun bagi
tanaman
iv. Terdapat banyak sekali macam mikrobia dalam sampah kota baik
bakteri, fungi dan actinomycetes, bahkan perlu diwaspadai adanya
mikrobia patogen bagi tumbuhan atau manusia.

Pengelolaan bahan organik.


Bahan organik yang masih mentah dengan nisbah C/N tinggi,
apabila diberikan secara langsung ke dalam tanah akan berdampak negatip
terhadap ketersediaan hara tanah. Bahan organik langsung akan disantap
oleh mikrobia untuk memperoleh energi. Populasi mikrobia yang tinggi,
akan memerlukan hara untuk tumbuh dan berkembang, yang diambil dari
tanah yang seyogyanya digunakan oleh tanaman, sehingga mikrobia dan
tanaman saling bersaing merebutkan hara yang ada. Akibatnya hara yang
Agroteknologi Lahan Kering 83

ada dalam tanah berubah menjadi tidak tersedia karena berubah menjadi
senyawa organik mikrobia. Kejadian ini disebut sebagai immobilisasi hara.
Untuk menghindari imobilisasi hara, bahan perlu dilakukan proses
pengomposan terlebih dahulu. Proses pengomposan adalah suatu proses
penguraian bahan organik dari bahan dengan nisbah C/N tinggi (mentah)
menjadi bahan yang mempunyai nisbah C/N rendah (kurang dari 15)
(matang) dengan upaya mengaktifkan kegiatan mikrobia pendekompuser
(bacteri, fungi, dan actinomicetes).
Pengomposan bertujuan untuk mematangkan bahan organik yang
masih mentah. Bahan organik yang masih mentah (C/N tinggi), seperti
jerami padi, jagung dan sampah kota, apabila diberikan secara langsung ke
dalam tanah akan berdampak negatip terhadap ketersediaan hara tanah.
Faktor- faktor yang mempengaruhi proses pengomposan adalah
sebagai berikut:
1. Kelembaban dijaga pada kondisi tidak terlalu kering maupun terlalu
basah atau tergenang
2. Aerasi timbunan dalam kondisi tidak terlalu anaerob dan tidak terlalu
aerob. Terlalu aerob udara bebas masuk ke dalam timbunan dan N
banyak yang menguap sebagai NH3;
3. Suhu dijaga agar tidak terlalu tinggi, jika suhu tinggi akan menyebabkan
asam-asam hasil proses dekomposisi akan menurunkan. Untuk menjaga
suhu, maka perlu dilakukan pembalikan timbunan;
4. Penambahan kapur untuk menetralisir pH
5. Penambahan hara untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas
kompos. Penambahan hara dapat dilakukan menambah pupuk N dan P
6. Struktur bahan bahan dibuat tidak terlalu kasar dengan cara dicincang
untuk mempercepat proses dekomposis
7. Tinggi timbunan tidak terlalu tinggi (kurang lebih 1,5 m)
8. Timbunan diberi penutup untuk mencegah sinar matahari langsung dan
hujan.
Menurut Rusmarkam (2001), ada beberapa prinsip dan cara
pengomposan antara lain:
1. Ditimbun pada permukaan tanah yang telah dipadatkan (kraal methode)
84 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

2. Ditimbun pada galian tanah (50-75 cm), separo di dalam tanah (50-75
cm) dan separo di atas permukaan (Heat & trench methode)
3. Langsung pada bak penampungan kotoran ternak (Bengalore methode),
4. Menggunakan kotak pengomposan dari pagar beton yang tertutup
(anaerob) selama 18 hari dan seterusnya diberikan aerasi dari lobang-
lobang bagian dasar kotak.
Pembuatan kompos semakin berkembang dengan diperkaya dengan
mikroorganisme yang dapat mempercepat dekomposisi seperti Trichoderma
sp. (Sugito et al., 1995). Pada akhir-akhit ini, telah banyak digunakan
teknologi efektif mikroorganisme (EM-4) yang merupakan permentant
(pengurai) limbah organik menjadi pupuk organik, yang mengandung
bakteri Lactobacillus, ragi, actomycete, dan jamur pengurai selulosa yang
dapat membantu proses dekomposisi (Anwar, 1999). Hasil penelitian
Subaedah et al., (2018) menyimpulkan bahwa penggunaan EM-4 dapat
mempercepat proses dekomposisi dari jerami padi.

Proses pengomposan aerobik sampah kota


Untuk penggunaan sampah kota sebagai pupuk organik, maka
diperlukan pengomposan terlebih dahulu. Menurut Sutanto (2002) langkah-
langkah pengomposan aerobik sampah kota adalah sebagai berikut:
1. Sampah yang telah diambil dan telah dipisahkan dari sampah anorganik
ditumpuk dengan ketinggian tidak lebih dari 1,5 m, kemudian tumpukan
sampah ini diusahakan jangan terjadi pemadatan untuk menjamin
pasokan aliran udara (aerasi) di antara celah-celah antar sampah. aktifitas
biologi (mikrobia) mulai berjalan untuk mulai proses perombakan
sampah organik.
2. Proses perombakan aerobik ini berlangsung kurang lebih 45 hari. Selama
proses pengomposan berlangsung perlu kondisi kelembaban dan sirkulasi
udara yang cukup baik untuk aerasi. Pada hari ke 5-25 suhu dalam
tumpukan akan meningkat. Tumpukan bahan semakin lama akan semakin
menyusut.
3. Proses pengomposan akan lebih cepat jika di tambahkan dengan EM4,
atau penambahan hara (pupuk kandang). Untuk menjaga kelembaban
perlu penyiraman secara periodik.
4. Pembalikan bahan perlu dilakukan. Kompos sudah matang jika
temperatur stabil dan tidak panas lagi serta bentuk fisiknya berubah.
Agroteknologi Lahan Kering 85

BAB VIII
PERANAN BAHAN ORGANIK TANAH

Bahan organik mencakup semua bahan yang berasal dari jaringan


tanaman dan hewan, baik yang hidup maupun yang telah mati, pada
berbagai tahap (fase) dekomposisi. Bahan organik tanah lebih mengacu pada
bahan (sisa jaringan tanaman / hewan yang telah mengalami perombakan /
dekomposisi baik sebagian / seluruhnya, yang telah mengalami humifikasi
maupun yang belum.
Kandungan bahan organik tanah, biasanya diukur berdasarkan
kandungan C-organik. Kandungan karbon bahan organik bervariasi antara
45%-60% dan konversi C organik menjadi bahan organik sama dengan % C-
organik x 1,724. Tanah yang masih asli (belum dimanfaatkan oleh manusia)
mempunyai keseimbangan dan karakteristik kandungan bahan organik.
Keseimbangan tersebut akan berubah apabila tanah itu telah dimanfaatkan
untuk lahan pertanian, apalagi jika hasil panen termasuk limbahnya diangkut
keluar dari lahan. Oleh karena itu diperlukan cara-cara teknik budidaya yang
dapat mempertahankan kandungan bahan organik tanah, misalnya dengan
pendauran ulang limbah pertanaman dengan pengomposan atau pupuk hijau,
pergiliran tanaman atau teknik-teknik budidaya tanaman lainnya yang
bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya lahan sekaligus
mempertahankan kelestariannya.
Bahan organik tanah memegang peranan penting dalam berbagai
hal, seperti mempengaruhi pertumbuhan tumbuhan melalui pengaruhnya
terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah.

Peranan Bahan Organik Tanah Terhadap Struktur Tanah


Bahan organik tanah merupakan salah satu bahan pembentuk
agregat tanah, yang mempunyai peran sebagai bahan perekat antar partikel
tanah untuk bersatu menjadi agregat tanah, sehingga bahan organik penting
86 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

dalam perbaikan sifat fisik tanah (dalam pembentukan struktur tanah).


Pengaruh pemberian bahan organik terhadap struktur tanah sangat berkaitan
dengan tekstur tanah yang diperlakukan. Pada tanah lempung yang berat,
terjadi perubahan struktur gumpal kasar dan kuat menjadi struktur yang
lebih halus tidak kasar, dengan derajat struktur sedang hingga kuat, sehingga
lebih mudah untuk diolah. Komponen organik seperti asam humat dan asam
fulvat dalam hal ini berperan sebagai sementasi pertikel lempung dengan
membentuk komplek lempung-logam-humus (Stevenson, 1982). Pada tanah
pasir bahan organik dapat diharapkan merubah struktur tanah dari berbutir
tunggal menjadi bentuk gumpal, sehingga meningkatkan derajat struktur dan
ukuran agregat atau meningkatkan kelas struktur dari halus menjadi sedang
atau kasar (Scholes et al., 1994). Bahkan bahan organik dapat mengubah
tanah yang semula tidak berstruktur (pejal) dapat membentuk struktur yang
baik atau remah, dengan derajat struktur yang sedang hingga kuat.
Mekanisme pembentukan agregat tanah oleh adanya peran bahan
organik ini dapat digolongan dalam empat bentuk:
(1) Penambahan bahan organik dapat meningkatkan populasi
mikroorganisme tanah, seperti jamur dan actinomycetes. Melalui
pengikatan secara fisik butir-bitir primer oleh miselia jamur dan
actinomycetes, sehingga akan terbentuk agregat walaupun tanpa adanya
fraksi lempung;
(2) Penambahan bahan organik meningkatkan pengikatan secra kimia butir-
butir lempung melalui ikatan antara gugus-gugus positip dalam butir
lempung dengan gugus negatif (karboksil) senyawa organik yang
berantai panjang (polimer);
(3) Penambahan bahan organik meningkatkan pengikatan secara kimia butir-
butir lempung melalui ikatan antara bagian-bagian negatif dalam
lempung dengan gugusan negatif (karboksil) senyawa organik berantai
panjang dengan perantaraan basa-basa Ca, Mg, Fe dan ikatan hidrogen;
(4) Penambahan bahan organik meningkatkan pengikatan secara kimia butir-
butir lempung melalui ikatan antara bagian-bagian negatif dalam
lempung dengan gugus positif (gugus amina, amida, dan amino)
senyawa organik berantai panjang (polimer) (Seta, 1987).
Kandungan bahan organik yang cukup di dalam tanah dapat
memperbaiki kondisi tanah agar tidak terlalu berat dan tidak terlalu ringan
dalam pengolahan tanah. Berkaitan dengan pengolahan tanah, penambahan
bahan organik akan meningkatkan kemampuan tanah untuk diolah pada
Agroteknologi Lahan Kering 87

lengas yang rendah. Di samping itu, penambahan bahan organik akan


memperluas kisaran kadar lengas untuk dapat diolah dengan alat-alat dengan
baik, tanpa banyak mengeluarkan energi akibat perubahan kelekatan tanah
terhadap alat. Pada tanah yang bertekstur halus (lempung), pada saat basah
mempunyai kelekatan dan liat yang tinggi, sehingga sukar diolah (tanah
berat), dengan tambahan bahan organik dapat meringankan pengolahan
tanah. Pada tanah ini sering terjadi retak-retak yang berbahaya bagi
perkembangan akar, maka dengan tambahan bahan organik, retak akan
berkurang. Pada tanah pasir yang semula tidak lekat, tidak liat, pada saat
basah, dan gembur pada saat lembab dan kering, dengan tambahan bahan
organik dapat menjadi agak lekat dan liat serta sedikit teguh, sehingga
mudah diolah.

Peranan Bahan Organik Terhadap Porositas Tanah


Pengaruh bahan organik terhadap sifat fisika tanah yang lain adalah
terhadap peningkatan porositas tanah. Porositas tanah adalah ukuran yang
menunjukkan bagian tanah yang tidak terisi bahan padat tanah, tetapi terisi
oleh udara dan air. Pori- pori tanah dapat dibedakan menjadi pori mikro,
pori meso dan pori makro. Pori-pori mikro sering dikenal sebagai pori
kapiler, pori meso dikenal sebagai pori drainase lambat, dan pori makro
merupakan pori drainase cepat. Tanah pasir yang banyak mengandung pori
makro sulit menahan air, sedang tanah lempung yang banyak mengandung
pori mikro drainasenya jelek. Pori dalam tanah menentukan kandungan air
dan udara dalam tanah serta menentukan perbandingan tata udara dan tata
air yang baik.
Penambahan bahan organik pada tanah berpasir, akan
meningkatkan pori yang berukuran menengah dan menurunkan pori makro.
Dengan demikian akan meningkatkan kemampuan tanah dalam menahan air
(Stevenson, 1982). Pada tanah lempung, pemberian bahan organik akan
meningkatkan pori meso dan menurunkan pori mikro. Dengan demikian
akan meningkatkan pori yang dapat terisi udara dan menurunkan pori yang
terisi air, artinya akan terjadi perbaikan aerasi untuk tanah lempung berat.
Terbukti penambahan bahan organik (pupuk kandang) akan meningkatkan
pori total tanah dan akan menurunkan berat volume tanah (Wiskandar,
2002).
Aerasi tanah sering terkait dengan pernafasan mikroorganisme dalam
tanah dan akar tanaman, karena aerasi terkait dengan O2 dalam tanah.
88 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Dengan demikian aerasi tanah akan mempengaruhi populasi mikrobia dalam


tanah.

Peranan Bahan Organik Terhadap Bulk Density Tanah


Bulk density merupakan petunjuk kepadatan tanah.Makin padat
suatu tanah makin tinggi bulk density, yang berarti makin sulit meneruskan
air atau ditembus akar tanaman. Tanah yang lebih padat memilki bulk
density yang lebih besar dari tanah yang sama tetapi kurang padat. Pada
umumnya tanah lapisan atas pada tanah mineral mempunyai bulk density
yang lebih rendah dibandingkan dengan tanah dibawahnya. Nilai bulk
density tanah mineral berkisar 1- 0,7 gram/cc, sedangkan tanah organik
umumny a memiliki bulk density antara 0,1- 0,9 gram/cc (Hardjowigeno,
2003). Bulk Density (BD) yaitu bobot padatan (pada kering konstan) dibagi
total volume (padatan + pori), BD tanah yang ideal berkisar antara 1,3 -1,35
g/cc3, BD pada tanah berkisar > 1,65 g/cc3 untuk tanah berpasir ; 1,0- 1,6
g/cc3 pada tanah geluh yang mengandung bahan organik tanah sedang -
tinggi, BD mungkin lebih kecil dari 1 g/cc3pada tanah dengan kandungan
bahan organik tinggi.
Bulk Density sangat bervariasi antar horizon tergantung pada tipe
dan derajat agregasi, tekstur dan bahan organik tanah. Bulk density sangat
sensitif terhadap pengolahan tanah. Apabila tanah mengandung terlalu
banyak liat, maka tanah tersebut dapat menyimpan air dalam jumlah yang
besar, akan tetapi air tidak mudah meresap kedalam tanah tersebut karena air
akan mengalir pada permukaan tanah dan menyebabkan erosi.
Pemberian bahan organik akan menurunkan bobot isi tanah, karena
bahan organik tanah akan memperbaiki sifat fisik tanah melalui perbaikan
agregat tanah yang stabil (Sugito, et al., 1995). Selanjutnya Buckman and
Brady (1980) mengemukakan bahwa bahan organik tanah berperan sebagai
pembentuk butir mineral yang menyebabkan terjadinya keadaan gembur
pada tanah dan mengurangi pemadatan tanah.
Hasil penelitian Subaedah et al., (2007) tentang pemberian bahan
organik dan pengaruhnya terhadap bobot isi tanah seperti yang tertera pada
Tabel 34 menunjukkan pemberian bahan organik nyata menurunkan bobot
isi tanah untuk periode pengamatan 12 minggu setelah aplikasi bahan
organik.
Agroteknologi Lahan Kering 89

Tabel 34. Bobot isi tanah pada periode pengamatan 8 dan 12 minggu setelah
aplikasi berbagai jenis bahan organik
Bobot isi tanah (g.cc-1)
Jenis perlakuan
8 mst 12 mst
tn
Tanpa bahan organik 1,75 1,93 a
BO C. pubescens 1,39 1,39 b
BO C.muconoides 1,37 1,37 b
BO C.anagyroides 1,45 1,45 b
Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- tn : tidak nyata berdasarkan hasil analisis ragam
- mst: minggu setelah aplikasi
Penurunan bobot isi tanah pada periode pengamatan 12 minggu
setelah aplikasi terlihat bahwa pemberian bahan organik diperoleh bobot isi
tanah yang lebih rendah yaitu antara 1,37-1,45 g.cc-1 dan berbeda nyata
dengan tanpa bahan organik dengan dengan bobot isi tanah sebesar 1,93
g.cc-1 (Tabel 34). Hasil ini serupa dengan apa yang diperoleh Erfandi dan
Suwardjo (1991) yang melaporkan bahwa bobot isi tanah pada penggunaan
bahan organik dari Mucuna pruriens menurun sekitar 18% (0,86 g.cc-1)
dibanding tanpa bahan organik (1,06 g.cc-1). Penelitian lain yang juga
dilakukan oleh Erfandi (1988) menemukan bahwa penggunaan pangkasan
tanaman yang disebarkan dipermukaan tanah (Lamtoro, Flemingia dan
Kaliandra) diperoleh rata-rata bobot isi tanah lebih rendah 14% (1,1 g.cc-1)
dibanding tanpa bahan organik dengan rata-rata bobot isi 1,28 g.cc-1.

Peranan Bahan Organik Terhadap Kadar Air Tanah


Pengaruh bahan organik terhadap peningkatan kadar air tanah
berkaitan dengan peningkatan porositas tanah dengan penambahan bahan
organik dan juga berkaitan dengan aerasi tanah. Penambahan bahan organik
akan meningkatkan kemampuan tanah menahan air sehingga kemampuan
menyediakan air tanah untuk pertumbuhan tanaman meningkat. Kadar air
yang optimal bagi tanaman dan kehidupan mikroorganisme adalah sekitar
kapasitas lapang. Penambahan bahan organik di tanah pasir akan
meningkatkan kadar air tanah pada kapasitas lapang, akibat dari
meningkatnya pori yang berukuran menengah (meso) dan menurunnya pori
makro, sehingga daya menahan air meningkat, dan berdampak pada
peningkatan ketersediaan air untuk pertumbuhan tanaman (Scholes et al.,
1994). Salah satu asas konservasi tanah dan air adalah bagaimana
90 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

memperbesar jumlah air yang terinfiltrasi ke dalam tanah yang dapat


dilakukan dengan metode vegetatif dan metode mekanik (Utomo,1994).
Metode vegetatif adalah penggunaan tanaman ataupun sisanya untuk
memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan penahanan air yang langsung
mempengaruhi besarnya air yang dapat ditahan oleh tanah. Pada tanah
berlempung dengan penambahan bahan organik akan meningkatkan
infiltrasi tanah akibat dari meningkatnya pori meso tanah dan menurunnya
pori mikro.
Pengaruh penambahan bahan organik terhadap kadar air tanah
telah diteliti oleh Subaedah et al., (2007) dan diperoleh hasil yang
menunjukkan bahwa kadar air tanah pada saat 4, 8 dan 12 minggu setelah
aplikasi bahan organik berpengaruh nyata sampai sangat nyata (Tabel 35).
Tabel 35 menunjukkan bahwa kadar air tanah pada periode pengamatan 4
dan 12 minggu setelah aplikasi bahan organik pemberian bahan organik dari
Centrosema pubescens dan Calopogonium mucunoides meningkatkan kadar
air tanah sekitar 9-16% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (kadar air
tanah dengan Centrosema pubescens dan Calopogonium mucunoides
masing-masing 27,94% dan 29,73%, sedangkan tanpa bahan organik kadar
air tanah hanya 25,57%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Thamrin dan
Hanafi (1992) yang melaporkan bahwa penggunaan bahan organik sisa
tanaman di lahan dapat mempertahankan kadar air tanah yang lebih tinggi
dibandingkan tanpa bahan organik.
Tabel 35. Kadar air tanah periode pengamatan 4, 8 dan 12 minggu setelah
aplikasi bahan organik
Kadar Air Tanah (%)
Jenis Perlakuan
4 mst 8 mst 12 mst
Tanpa bahan organik 23,76 c 27,93tn 25,57 b
BO C. pubescens 29,01 a 30,80 27,94 a
BO C. muconoides 28,33 a 30,60 29,73 a
BO C. anagyroides 26,38 b 29,37 26,76 ab

Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- tn : tidak nyata
- mst : minggu setelah aplikasi bahan organik
Agroteknologi Lahan Kering 91

Peranan Bahan Organik Tanah Terhadap Erosi Tanah


Erosi tanah adalah suatu peristiwa hilang atau terkikisnya tanah
atau bagian tanah dari suatu tempat yang terangkut ke tempat lain, baik
disebabkan oleh pergerakan air ataupun angin (Arsyad,1983). Erosi tanah
terjadi akibat aksi dispersi dan tenaga pengangkut oleh air hujan yang
mengalir di permukaan tanah (run off).
Proses Erosi Tanah
• Proses erosi tanah bermula dengan terjadinya penghancuran agregat-
agregat tanah sebagai akibat pukulan air hujan yang mempunyai energi
lebih besar dari daya tahan tanah.
• Hancuran dari tanah ini akan menyumbat pori-pori tanah, maka kapasitas
infiltrasi tanah akan menurun dan mengakibatkan air mengalir di
permukaan tanah dan disebut sebagai limpasan permukaan.
• Jika tenaga limpasan permukaan sudah tidak mampu lagi mengangkut
bahan-bahan hancuran tersebut, maka bahan-bahan ini akan diendapkan.
Secara sederhana ada 3 kejadian pada saat proses erosi tanah
terjadi, yaitu:
1. Penghancuran agregat-agregat tanah;
2. Pengangkutan lapisan tanah;
3. Pengendapan/sedimentasi tanah.
Peran bahan organik dalam penurunan laju erosi berkaitan dengan
perbaikan struktur tanah yaitu dengan semakin mantapnya agregat tanah,
sehingga menyebabkan ketahanan tanah terhadap pukulan air hujan
meningkat. Di samping itu, dengan meningkatnya kapasitas infiltrasi air
akibat perbaikan porositas tanah dan akan berdampak pada aliran permukaan
dapat diperkecil, sehingga erosi dapat berkurang (Stevenson, 1982).

Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Kimia Tanah


Pengaruh bahan organik terhadap kesuburan kimia tanah antara
lain terhadap kapasitas pertukaran kation, kapasitas pertukaran anion, pH
tanah, daya sangga tanah dan terhadap ketersediaan hara tanah. Penambahan
bahan organik akan meningkatkan muatan negatif sehingga akan
meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK). Bahan organik memberikan
konstribusi yang nyata terhadap kapasitas tukar kation tanah. Sekitar 20 – 70
92 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

% kapasitas pertukaran kation tanah pada umumnya bersumber pada koloid


humus (contoh: Molisol), sehingga terdapat korelasi antara bahan organik
dengan kapasitas tukar kation tanah (Stevenson, 1982).
Kapasitas tukar kation (KTK) menunjukkan kemampuan tanah
untuk menahan kation-kation dan mempertukarkan kation-kation tersebut
termasuk kation hara tanaman. Kapasitas tukar kation penting untuk
kesuburan tanah. Humus dalam tanah sebagai hasil proses dekomposisi
bahan organik merupakan sumber muatan negatif tanah, sehingga humus
dianggap mempunyai susunan koloid seperti lempung, namun humus tidak
semantap koloid lempung, dia bersifat dinamik, mudah dihancurkan dan
dibentuk.
Sumber utama muatan negatif humus sebagian besar berasal dari
gugus karboksil (-COOH) dan fenolik (-OH) nya (Brady, 1990). Dilaporkan
bahwa penambahan jerami 10 t ha–1 pada Ultisol mampu meningkatkan
15,18 % KTK tanah dari 17,44 menjadi 20,08 cmol kg–1 (Cahyani, 1996).
Muatan koloid humus bersifat berubah-ubah tergantung dari nilai pH larutan
tanah. Dalam suasana sangat masam (pH rendah), hidrogen akan terikat kuat
pada gugus aktifnya yang menyebabkan gugus aktif berubah menjadi
bermuatan positip (-COOH 2+ dan -OH2+), sehingga koloid koloid yang
bermuatan negatif menjadi rendah, akibatnya KTK turun. Sebaliknya dalam
suasana alkali (pH tinggi) larutan tanah banyak OH-, akibatnya terjadi
pelepasan H+ dari gugus organik dan terjadi peningkatan muatan negatif (-
COO-, dan –O-), sehingga KTK meningkat. Dilaporkan bahwa penggunaan
bahan organik (kompos) memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap
karakteristik muatan tanah masam (Ultisol) dibanding dengan pengapuran
(Sufardi et al., 1999).
Penelitian yang dilakukan oleh Subaedah et al., (2007) melaporkan
bahwa kapasitas tukar kation tanah dipengaruhi oleh pemberian bahan
organik dari hasil pengamatan dua minggu setelah aplikasi. Kapasitas tukar
kation tanah tanah dengan pengelolaan tanaman penutup tanah berkisar
antara 29% - 41% lebih tinggi (KTK tanah 31,33 - 34,13 me.100 g-1)
dibandingkan dengan tanpa bahan organik dengan kapasitas tukar
kationtanah yang diperoleh sebesar 24,16 me.100g-1 (Tabel 36).
Fraksi organik dalam tanah dapat berperan untuk menurunkan
kandungan pestisida secara nonbiologis, yaitu dengan cara mengadsorbsi
pestisida dalam tanah. Mekanisme ikatan pestisida dengan bahan organik
tanah dapat melalui: pertukaran ion, protonisasi, ikatan hidrogen, gaya
Agroteknologi Lahan Kering 93

vander Waal’s dan ikatan koordinasi dengan ion logam (pertukaran ligan).
Tiga faktor yang menentukan adsorbsi pestisida dengan bahan organik :
(1) karakteristik fisika-kimia adsorbenya (koloid humus)
(2) sifat pestisidanya
(3) Sifat tanahnya, yang meliputi kandungan bahan organik, kandungan dan
jenis lempungnya, pH, kandungan kation tertukarnya, lengas, dan
temperatur tanahnya (Stevenson, 1982).
Tabel 36. KTK tanah periode pengamatan 0, 4, 8 dan 12 minggu setelah
aplikasi bahan organik
KTK (me.100 g-1)
Jenis perlakuan
0 mst 4 mst 8 mst 12 mst
Tanpa bahan organik 20,92 tn 22,18 tn
22,49 tn 24,16 b
BO C. pubescens 24,49 24,49 27,82 31,33 a
BO C.mucunoides 23,18 23,48 28,6 34,13 a
BO C.anagyroides 21,25 21,55 27,83 31,82 a

Keterangan: - angka diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada Uji BNT 0,05.
- tn : tidak nyata berdasarkan hasil analisis ragam
- mst : minggu setelah aplikasi bahan organik
Pengaruh penambahan bahan organik terhadap pH tanah dapat
meningkatkan atau menurunkan tergantung oleh tingkat kematangan bahan
organik yang kita tambahkan dan jenis tanahnya. Penambahan bahan
organik yang belum masak (misal pupuk hijau) atau bahan organik yang
masih mengalami proses dekomposisi, biasanya akan menyebabkan
penurunan pH tanah, karena selama proses dekomposisi akan melepaskan
asam-asam organik yang menyebabkan menurunnya pH tanah. Namun
apabila diberikan pada tanah yang masam dengan kandungan Al tertukar
tinggi, akan menyebabkan peningkatan pH tanah, karena asam-asam organik
hasil dekomposisi akan mengikat Al membentuk senyawa komplek (khelat),
sehingga Al tidak terhidrolisis lagi. Dilaporkan bahwa penambahan bahan
organik pada tanah masam, antara lain inseptisol, ultisol dan andisol mampu
meningkatkan pH tanah dan mampu menurunkan Al tertukar tanah (Suntoro,
2001; Cahyani., 1996). Peningkatan pH tanah juga akan terjadi apabila
bahan organik yang kita tambahkan telah terdekomposisi lanjut (matang),
karena bahan organik yang telah termineralisasi akan melepaskan
mineralnya, berupa kation-kation basa. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
94 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

yang diperoleh Subaedah et al., (2007) yang menunjukkan bahwa pH tanah


pada awal percobaan dengan penambahan berbagai jenis bahan organik dan
tanpa bahan organik diperoleh pH tanah yang lebih rendah, namun dengan
adanya penambahan bahan organik dari brangkasan tanaman penutup tanah
yang dihamparkan dipermukaan tanah menyebabkan peningkatan pH tanah
dan pada akhir percobaan (tiga bulan setelah aplikasi) pH tertinggi diperoleh
pada penggunaan bahan organik C. mucunoides dengan pH tanah 6,13,
diikuti oleh perlakuan penggunaan bahan organik C.pubescens dan
C.anagyroides dengan pH tanah masing-masing 6,11 dan 6,07. Nilai pH
tanah dari ketiga bahan organik yang digunakan berbeda nyata dengan
perlakuan kontrol dengan pH tanah yang dicapai hanya 5,72 (Tabel 37).

Tabel 37. pH tanah pada periode 0, 4, 8 dan 12 mst pada pengelolaan


berbagai jenis bahan organik
pH tanah
Jenis perlakuan
0 mst 4 mst 8 mst 12 mst
Tanpa bahan organik 5,76 tn 5,69 tn
5,69 tn 5,72 b
BO C. pubescens 6,02 6,03 6,06 6,11 a
BO C. muconoides 5,95 5,96 5,96 6,13 a
BO C. anagyroides 6,01 6,01 6,01 6,07 a

Keterangan: - angka diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada Uji BNT 0,05.
- tn : tidak nyata berdasarkan hasil analisis ragam
- mst : minggu setelah aplikasi bahan organik
Peran bahan organik terhadap ketersediaan hara dalam tanah tidak
terlepas dengan proses mineralisasi yang merupakan tahap akhir dari proses
perombakan bahan organik. Dalam proses mineralisasi akan dilepas mineral-
mineral hara tanaman dengan lengkap (N, P, K, Ca, Mg dan S, serta hara
mikro) dalam jumlah yang bervariasi dan relatif kecil. Hara N, P dan S
merupakan hara yang relatif lebih banyak untuk dilepas dan dapat digunakan
tanaman.
Bahan organik sumber nitrogen (protein) pertama-tama mengalami
peruraian menjadi asam-asam amino yang dikenal dengan proses aminisasi,
yang selanjutnya oleh sejumlah besar mikrobia heterotrofik mengurai
menjadi amonium yang dikenal sebagai proses amonifikasi. Amonifikasi ini
dapat berlangsung hampir pada setiap keadaan, sehingga amonium dapat
merupakan bentuk nitrogen anorganik (mineral) yang utama dalam tanah
Agroteknologi Lahan Kering 95

(Tisdel dan Nelson, 1974). Nasib dari amonium ini antara lain dapat secara
langsung diserap dan digunakan tanaman untuk pertumbuhannya, atau oleh
mikroorganisme untuk segera dioksidasi menjadi nitrat yang disebut dengan
proses nitrifikasi. Nitrifikasi adalah proses bertahap yaitu proses nitritasi
yang dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas dengan menghasilkan nitrit, yang
segera diikuti oleh proses oksidasi berikutnya menjadi nitrat yang dilakukan
oleh bakteri Nitrobacter yang disebut dengan nitratasi. Nitrat merupakan
hasil proses mineralisasi yang banyak disukai atau diserap oleh sebagian
besar tanaman budidaya. Namun nitrat ini mudah tercuci melalui air
drainase dan menguap ke atmosfer dalam bentuk gas (pada drainase buruk
dan aerasi terbatas) (Killham, 1994).
Kemampuan bahan organik dalam meningkatkan kadar N-total tanah
telah diteliti oleh Subaedah (2004) dan memperoleh hasil seperti yang
disajikan pada Tabel 38. Kadar N total tanah periode pengamatan dua bulan
setelah aplikasi bahan organi pada Tabel 38 menunjukkan bahwa
penggunaan ketiga jenis bahan organik mengandung N total tanah yang
lebih tinggi antara 55% - 67% (0,28% -0,30%) dibandingkan dengan tanpa
bahan organik. Pada periode pengamatan 3 bulan setelah aplikasi bahan
organik menunjukkan bahwa kadar N total tanah meningkat antara 55% -
76% (0,30%) dengan pemberian bahan organik dibandingkan dengan tanpa
bahan organik.
Tabel 38. Kadar N total tanah dari pemberian berbagai jenis bahan organik
pada saat dua dan tiga bulan setelah aplikasi
Kadar N total tanah (%)
Jenis Bahan organik
2 bst 3 bst
tanpa Bahan Organik 0,18 b 0,17 b
BO Centrosema 0,28 a 0,29 a
BO Calopogonium 0,30 a 0,30 a
BO Mucuna 0,30 a 0,30 a

Keterangan: - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada taraf α 0,05 berdasarkan uji
BNT.
- bst : bulan setelah aplikasi
Pengaruh bahan organik terhadap ketersediaan P dapat secara
langsung melaui proses mineralisasi atau secara tidak langsung dengan
membantu pelepasan P yang terfiksasi. Stevenson (1982) menjelaskan
96 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

ketersediaan P di dalam tanah dapat ditingkatkan dengan penambahan bahan


organik melalui 5 aksi seperti tersebut di bawah ini:
(1) Melalui proses mineralisasi bahan organik terjadi pelepasan P mineral
(PO43-)
(2) Melalui aksi dari asam organik atau senyawa pengkelat yang lain hasil
dekomposisi, terjadi pelepasan fosfat yang berikatan dengan Al dan Fe
yang tidak larut menjadi bentuk terlarut (Stevenson, 1982)
(3). Bahan organik akan mengurangi jerapan fosfat karena asam humat dan
asam fulvat berfungsi melindungi sesquioksida dengan memblokir situs
pertukaran
(4).Penambahan bahan organik mampu mengaktifkan proses penguraian
bahan organik asli tanah
(5). Membentuk kompleks fosfo-humat dan fosfo-fulvat yang dapat ditukar
dan lebih tersedia bagi tanaman, sebab fosfat yang dijerap pada bahan
organik secara lemah.
Untuk tanah-tanah berkapur yang banyak mengandung Ca dan Mg
fosfat tinggi, karena dengan terbentuk asam karbonat akibat dari pelepasan
CO2 dalam proses dekomposisi bahan organik, mengakibatkan kelarutan P
menjadi lebih meningkat.
Hasil penelitian Nirwana dan Subaedah (2009) menunjukkan
bahwa pemberian berbagai jenis bahan organik seperti yang disajikan pada
Gambar 18 dan 19 menunjukkan bahwa kadar P tersedia dari tanah lebih
tinggi yaitu antara 12,55 ppm – 13,33 ppm dengan pemberian berbagai jenis
bahan organik dibandingkan tanpa pemberian bahan organik dengan kadar P
tersedia 12,23 ppm - 12,44 ppm. Pada periode pengamatan 4 minngu setelah
aplikasi bahan organik (Gambar 18) menunjukkan bahwa perlakuan bahan
organik dan interaksinya dengan pemupukan fosfor 100 kg P2O5 ha-1
diperoleh kandungan hara P tanah tersedia yang lebih tinggi atau meningkat
2,25% dibandingkan atau dengan pemupukan fosfor 50 kg P2O5 ha-1.
Pola yang sama juga ditunjukkan pada periode pengamatan 8
minggu setelah aplikasi bahan organik (Gambar 19) dimana peningkatan
kadar hara P tanah tersedia mencapai 3,66%. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan Jamil, et al. (2008) yang menyimpulkan
bahwa penggunaan pupuk fosfor dan pupuk organik (pupuk kandang sapi
dan blotong) nyata meningkatkan ketersediaan hara fosfor tersedia.
Agroteknologi Lahan Kering 97

Gambar 18. Pengaruh Jenis Bahan Organik dan Pemupukan Fosfor


Terhadap Kadar P Tanah Tersedia pada periode 4 MST
Keterangan: B0 = tanpa bahan organik, B1 = BO Chromalaena odorata
B2 = BO Crotalaria juncea B3 = BO Pupuk Kandang Sapi

Gambar 19. Pengaruh Jenis Bahan Organik dan Pemupukan Fosfor


Terhadap Kadar P Tanah Tersedia pada periode 8 MST
98 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Asam-asam organik hasil proses dekomposisi bahan organik juga


dapat berperan sebagai bahan pelarut batuan fosfat, sehingga fosfat terlepas
dan tersedia bagi tanaman. Hasil proses penguraian dan mineralisasi bahan
organik, di samping akan melepaskan fosfor anorganik (PO43-) juga akan
melepaskan senyawa-senyawa P-organik seperti fitine dan asam nucleic, dan
diduga senyawa P-organik ini, tanaman dapat memanfaatkannya. Proses
mineralisasi bahan organik akan berlangsung jika kandungan P bahan
organik tinggi, yang sering dinyatakan dalam nisbah C/P. Jika kandungan P
bahan tinggi, atau nisbah C/P rendah (kurang dari 200), akan terjadi
mineralisasi atau pelepasan P ke dalam tanah, namun jika nisbah C/P tinggi
lebih dari 300 justru akan terjadi imobilisasi P atau kehilangan P (Stevenson,
1982).
Bahan organik di samping berperan terhadap ketersediaan N dan P,
juga berperan terhadap ketersediaan S dalam tanah. Di daerah humida, S-
protein, merupakan cadangan S terbesar untuk keperluan tanaman.
Mineralisasi bahan organik akan menghasilkan sulfida yang berasal dari
senyawa protein tanaman. Di dalam tanaman, senyawa sestein dan metionin
merupakan asam amino penting yang mengandung sulfur penyusun protein
(Mengel dan Kirkby, 1987). Protein tanaman mudah sekali dirombak oleh
jasad mikro.
Belerang (S) hasil mineralisasi bahan organik, bersama dengan N,
sebagian S diubah menjadi mantap selama pembentukan humus. Di dalam
bentuk mantap ini, S akan dapat terlindung dari pembebasan cepat (Brady,
1990). Seperti halnya pada N dan P, proses mineralisasi atau imobilisasi S
ditentukan oleh nisbah C/S bahan organiknya. Jika nisbah C/S bahan
tanaman rendah yaitu kurang dari 200, maka akan terjadi mineralisasi atau
pelepasan S ke dalam tanah, sedang jika nisbah C/S bahan tinggi yaitu
lebih dari 400; maka justru akan terjadi imobilisasi atau kehilangan S
(Stevenson, 1982).

Peranan Bahan Organik Terhadap Biologi Tanah


Bahan organik merupakan sumber energi bagi makro dan
mikro-fauna tanah. Penambahan bahan organik dalam tanah akan
menyebabkan aktivitas dan populasi mikrobiologi dalam tanah meningkat,
terutama yang berkaitan dengan aktivitas dekomposisi dan mineralisasi
bahan organik. Beberapa mikroorganisme yang beperan dalam dekomposisi
bahan organik adalah fungi, bakteri dan aktinomisetes. Di samping
mikroorganisme tanah, fauna tanah juga berperan dalam dekomposi bahan
Agroteknologi Lahan Kering 99

organik antara lain yang tergolong dalam protozoa, nematoda, Collembola,


dan cacing tanah. Fauna tanah ini berperan dalam proses humifikasi dan
mineralisasi atau pelepasan hara, bahkan ikut bertanggung jawab terhadap
pemeliharaan struktur tanah (Tian, et al., 1997). Mikro flora dan fauna tanah
ini saling berinteraksi dengan kebutuhannya akan bahan organik, kerena
bahan organik menyediakan energi untuk tumbuh dan bahan organik
memberikan karbon sebagai sumber energi.
Penelitian yang dilakukan oleh Subaedah, et al., (2007) tentang
pengaruh penggunaan berbagai jenis bahan organik terhadap bakteri total
tanah yang disajikan pada Tabel 39. Tabel 39 menunjukkan banyaknya
populasi bakteri total tanah dengan pemberian berbagai jenis bahan organik
nampak pengaruhnya pada periode pengamatan 4 dan 8 minggu setelah
aplikasi bahan organik dengan peningkatan jumlah bakteri untuk periode
pengamatan 4 dan 8 minggu setelah aplikasi bahan organik pada
penggunaan bahan organik berkisar antara 54% - 68% (bakteri total tanah
4,29.105 - 4,66.105.g-1 ) dan antara 18-63% (3,44.105- 4,74.105.g-1) dan
berbeda nyata dengan populasi bakteri yang dihasilkan pada perlakuan tanpa
bahan organik (2,77.105.g-1 dan 2,90 .105.g-1. Peningkatan populasi bakteri
total tanah tersebut disebabkan penggunaan tanaman penutup tanah dalam
bentuk mulsa dapat meningkatkan kandungan bahan organik tanah.
Mikroorganisme tanah menggunakan bahan organik tanah sebagai sumber
energi bagi perkembangannya (Hardjowigono, 2003; Handayanto, 1998).
Peningkatan populasi bakteri total tanah ini akan berdampak pada proses
dekomposisi bahan organik yang akan berjalan lebih baik yang pada
akhirnya akan melepaskan hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman.
Tabel 39. Bakteri total tanah pada periode pengamatan 0, 4, 8, 12 minggu
setelah aplikasi (msa) pada berbagai jenis bahan organik
Bakteri total tanah (10 5. g-1)
Jenis perlakuan
4 mst 8 mst 12 mst
Tanpa bahan organik 2,77 b 2,90 b 2,18 tn
BO C. pubescens 4,29 a 4,14 a 3,49
BO C.muconoides 4,66 a 3,44 a 3,15
BO C.anagyroides 4,56 a 4,74 a 3,01

Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
100 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.
Agroteknologi Lahan Kering 101

BAB IX
PENGARUH BAHAN ORGANIK TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN
DI LAHAN KERING

Pengaruh positip dari penambahan bahan organik terhadap


pertumbuhan tanaman adalah terdapatnya senyawa-senyawa yang
mempunyai pengaruh terhadap aktivitas biologis yang ditemukan di dalam
tanah, seperti senyawa perangsang tumbuh (auxin), dan vitamin (Stevenson,
1982). Senyawa-senyawa ini di dalam tanah berasal dari eksudat tanaman,
pupuk kandang, kompos, sisa tanaman dan juga berasal dari hasil aktivitas
mikrobia dalam tanah. Di samping itu, diindikasikan asam organik dengan
berat molekul rendah, terutama bikarbonat (seperti suksinat, ciannamat,
fumarat) hasil dekomposisi bahan organik, dalam konsentrasi rendah dapat
mempunyai sifat seperti senyawa perangsang tumbuh, sehingga berpengaruh
positip terhadap pertumbuhan tanaman. Beberapa hasil penelitian tentang
pengaruh pemberian berbagai jenis bahan organik terhadap pertumbuhan
dan produksi tanaman pangan dari hasil penelitian Subaedah, et al., (2007);
Nirwana dan Subaedah (2009) diuraikan berikut ini.

Pengaruh Pengelolaan Bahan Organik Tanah terhadap Pertumbuhan


dan Hasil Tanaman Jagung
Tinggi tanaman dan indeks luas daun tanaman jagung
Pengaruh pengelolaan bahan organik terhadap tinggi tanaman dan
indeks luas daun tanaman jagung menunjukkan bahwa pemberian bahan
organik berpengaruh nyata, yang diperlihatkan oleh tanaman jagung yang
lebih tinggi (182,60 cm) dengan pengelolaan Centrosema. pubescens, dikuti
oleh tanaman jagung yang ditanam dengan pemberian bahan organik
102 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Calopogonium mucunoides dan Crotalaria anagyroides dengan tinggi


tanaman masing-masing 178,22 cm dan 181,69 cm dan ini berbeda nyata
dibanding tanpa pemberian bahan organik dengan tinggi tanaman yang
dicapai hanya 171,76 cm. Sementara indeks luas daun (ILD) dengan
penggunaan bahan organik Centrosema. pubescens, Calopogonium
mucunoides dan Crotalaria anagyroides masing-masing adalah 3,11; 2,97
dan 3,13 dan berbeda nyata dengan kontrol (tanpa pemberian bahan organik)
yang menghasilkan indeks luas daun senilai 2,23 (Tabel 40).
Tabel 40. Pengaruh pengelolaan bahan organik terhadap tinggi dan indeks
luas daun tanaman jagung umur 8 mst

Perlakuan Tinggi Tanaman ((cm) Indeks Luas Daun


Tanpa bahan organik 171,76 b 2,23 b
BO C. pubescens 182,60 a 3,11 a
BO C. mucunoides 178,22 ab 2,97 a
BO C. anagyroides 181,69 a 3,13 a

Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada Uji BNT 0,05.

Laju tumbuh relatif (LTR) tanaman jagung


Hasil perhitungan laju tumbuh relatif (LTR) tanaman jagung
menunjukkan bahwa keberadaan bahan organik berpengaruh nyata terhadap
LTR untuk semua periode pengamatan. Dari percobaan ini terlihat bahwa
LTR tanaman jagung tertinggi diperoleh pada periode pengamatan 2-4 mst
dengan penggunaan bahan organik dari Clopogonium mucunoides dengan
LTR 1,49 g.g-1.mgg-1 dan berbeda nyata dengan tanpa bahan organik yang
menghasilkan LTR 1,25 g.g-1.mgg-1dan juga berbeda nyata dengan bahan
organik lainnya (Centrosema pubescens, dan Crotalaria anagyroides) yang
menghasilkan LTR tanaman jagung antara 1,28 dan1,40 g.g-1.mgg-1.
Selanjutnya untuk periode pengamatan 4-6 diperoleh LTR tanaman jagung
tertinggi dengan penggunaan bahan organik Centrosema pubescens, yaitu
senilai 0,82 g.g-1.mgg-1, diikuti oleh Calopogonium muconoides dan
Crotalaria anagyroides yang masing-masing menghasilkan LTR 0,79 g.g-
1
.mgg-1 dan 0,74 g.g-1.mgg-1 dan berbeda nyata dengan kontrol atau tanpa
bahan organik yang menghasilkan LTR senilai 0,62 g.g-1.mgg-1. Pola yang
sama juga terjadi untuk periode pengamatan 6-8 mst dengan LTR yang
dicapai antara 0,41 – 0,44 g.g-1.mgg-1 dengan penggunaan bahan organik dan
Agroteknologi Lahan Kering 103

berbeda nyata dengan tanpa bahan organik yang menghasilkan LTR senilai
0,32 g.g-1.mgg-1 (Tabel 41).
Tabel 41. Laju tumbuh relatif tanaman jagung pada pengelolaan berbagai
jenis bahan organik
Laju tumbuh relatif (g.g-1.mgg-1)
Jenis perlakuan
2 - 4 mst 4-6 mst 6-8 mst
Tanpa bahan organik 1,25 c 0,62 b 0,32 b
BO C. pubescens 1,40 b 0,82 a 0,44 a
BO C. muconoides 1,49 a 0,79 a 0,43 a
BO C. anagyroides 1,40 b 0,74 a 0,41 a
Keterangan:- angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada Uji BNT 0,05.
- mst: minggu setelah tanam

Laju tumbuh pertanaman (LTP) tanaman jagung


Laju tumbuh pertanaman (LTP) tanaman jagung menunjukkan
bahwa penggunan berbagai jenis bahan organik berpengaruh nyata terhadap
LTP untuk semua periode pengamatan. Dari percobaan ini terlihat bahwa
LTP tanaman jagung tertinggi diperoleh pada periode pengamatan 6-8 mst
dengan penggunaan ketiga jenis TPT (Centrosema pubescens, Crotalaria
anagyroides dan Calopogonium mucunoides) dengan LTP antara 22,01–
24,35 g.m-2.hari-1 dan berbeda nyata dengan tanpa bahan organik yang
menghasilkan LTP 12,78 g.m-2.hari-1. Selanjutnya untuk periode
pengamatan 4-6 mst diperoleh LTP tanaman jagung dengan penggunaan
bahan organik lebih tinggi (antara 12,71–13,45 g. m-2.hari-1) dan berbeda
nyata dengan tanpa bahan organik yang menghasilkan LTP senilai 10,03
g.m-2. hari-1. Laju tumbuh pertanaman terendah dijumpai pada periode
pengamatan 2-4 mst dengan LTP yang dicapai antara 3,8 – 4,30 g.m-2.hari-1
dengan penggunaan bahan organik dan tidak berbeda nyata dengan tanpa
bahan organik yang menghasilkan LTP senilai 3,43 g.m-2.hari-1 (Tabel 42).
104 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Tabel 42. Laju tumbuh pertanaman tanaman jagung pada berbagai jenis
bahan organik
Laju tumbuh pertanaman (g.m-2.hari-1)
Perlakuan
2-4 mst 4-6 mst 6-8 mst
Tanpa bahan organik 3,43 tn 10,03 b 12,78 b
BO C. pubescens 3,81 12,71 a 22,01 a
BO C. muconoides 4,30 13,45 a 24,35 a
BO C. anagyroides 3,90 12,76 a 23,32 a
Keterangan:- angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada Uji BNT 0,05.
- tn : tidak nyata berdasarkan analisis ragam
- mst : minggu setelah tanam

Panjang dan diameter tongkol jagung


Hasil pengamatan komponen produksi tanaman jagung seperti
panjang tongkol dan diameter tongkol dipengaruhi oleh pengelolaan bahan
organik. Adanya pemberian bahan organik di pertanaman jagung, baik itu
dari bahan organik Centrosema pubescens, Calopogonium muconoides
maupun Crotalaria anagyroides diperoleh tongkol yang nyata lebih panjang
yaitu antara 16,84 – 17,99 cm dari pada tongkol tanaman jagung yang
dihasilkan oleh perlakuan tanpa adanya bahan organik (13,54 cm) (Tabel
43). Pada tabel yang sama juga menunjukkan bahwa penggunaan bahan
organik diperoleh diameter tongkol yang lebih lebar yaitu antara 4,05 – 4,23
cm dan berbeda nyata dengan tanpa penggunaan bahan organik yang hanya
menghasilkan tongkol jagung dengan diameter 3,87 cm.
Tabel 43. Panjang dan diameter tongkol jagung pada berbagai Jenis bahan
organik
Perlakuan Panjang Tongkol (cm) Diameter Tongkol (cm)
Tanpa bahan organik 13,54 b 3,87 b
BO C. pubescens 17,96 a 4,10 a
BO C. muconoides 16,84 a 4,05 a
BO C. anagyroides 17,99 a 4,23 a
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
Agroteknologi Lahan Kering 105

Bobot Tongkol Jagung dan Bobot 100 Butir


Hasi analisis data menunjukkan bawa pengelolaan bahan organik
mempengaruhi bobot tongkol jagung dan bobot 100 butir jagung yang
diperlihatkan oleh tongkol yang lebih berat dengan penggunaan ketiga jenis
bahan organik yang digunakan (Centrosema pubescens, Calopogonium
muconoides maupun Crotalaria anagyroides) dengan bobot tongkol antara
175,09-176,98 g/tongkol dibandingkan tanpa penggunaan bahan organik
dengan bobot tongkol yang dihasilkan hanya seberat 125,54 g (Tabel 44).
Sedangkan pada pengamatan bobot 100 butir biji jagung pada tabel yang
sama menunjukkan bahwa penggunaan bahan organik khususnya dari jenis
C.anagyroides dan C.muconoides diperoleh bobot 100 butir jagung yang
nyata lebih berat yaitu antara 27,09 – 27,59 g dibandingkan dengan tanpa
bahan organik dengan bobot 100 butir biji jagung yang dihasilkan yaitu
25,17 g.
Tabel 44. Pengaruh pengelolaan berbagai jenis bahan organik terhadap
bobot tongkol dan bobot 100 butir jagung
Perlakuan Bobot Tongkol (g) Bobot 100 butir (g)
Tanpa bahan organik 125,54 b 25,17 b
BO C. pubescens 175,09 a 26,96 ab
BO C. muconoides 176,98 a 27,59 a
BO C. anagyroides 176,34 a 27,09 a
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.

Bobot Pipilan Kering Jagung/Tongkol dan Bobot Pipilan Kering


Jagung/ha (Kadar air biji 15%)
Hasil analisis data bobot pipilan kering jagung/tongkol (kadar air
biji 15%) menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan berbagai jenis bahan
organik diperoleh bobot pipilan kering jagung/tongkol yang nyata lebih
berat yaitu antara 108,98 – 114,63 g dibandingkan dengan bobot pipilan
kering jagung/tongkol yang diperoleh dari perlakuan tanpa bahan organi
yang hanya mencapai 78,69 g (Tabel 45). Pada analisis hasil panen per
satuan luas pada tabel yang sama yang diamati berdasarkan bobot pipilan
kering jagung per ha (kadar air 15%) terlihat bahwa penggunaan bahan
organik dari Calopogonium mucunoides diperoleh hasil pipilan jagung yang
meningkat 34% (6,59 t.ha-1), diikuti oleh Centrosema pubescens dan
Crotalaria anagyroides dengan peningkatan hasil 29% (6,33 t.ha-1) dan 29%
106 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

(6,34 t.ha-1) dibanding tanpa bahan organik dengan hasil yang diperoleh 4,91
t.ha-1.
Tabel 45. Bobot pipilan kering/tongkol dan bobot pipilan kering /ha (kadar
air biji 15% pada berbagai jenis bahan organik
Bobot pipilan Bobot pipilan
Perlakuan
kering (g/tongkol) kering (t/ha)
Tanpa Bahan organik 78,69 b 4,91 b
BO C. pubescens 108,98 a 6,33 a
BO C. muconoides 109,63 a 6,34 a
BO C. anagyroides 114,63 a 6,59 a
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada uji BNT 0,05.
Pengaruh baik dari pengelolaan bahan organik terhadap
pertumbuhan tanaman yang diperlihatkan oleh tanaman yang lebih tinggi,
indeks luas daun, laju tumbuh relatif dan laju tumbuh pertanaman yang lebih
besar, disebabkan adanya pemberian bahan organik yang akan menghasilkan
senyawa-senyawa perangsang tumbuh yang berasal dari eksudat tanaman,
dan juga berasal dari hasil aktivitas mikrobia dalam tanah. (Stevenson,
1982) Di samping itu, perbaikan sifat fisik, kimia tanah dan biologi tanah
sebagaimna telah dijelaskan dalam bab sebelumnya (Bab VIII).
Perbaikan sifat fisik tanah seperti peningkatan kadar air tanah hingga
20% lebih tinggi dibanding tanpa penggunaan bahan organik. Peningkatan
kadar air tanah ini sangat berarti bagi pertanian lahan kering mengingat
masalah pokok dalam pengelolaan lahan kering sebagai sumberdaya
pertanian adalah keterbatasan air. Air merupakan bagian dari protoplasma,
bahan baku fotosintesis, pelarut unsur hara dan pengangkut hasil fotosintesis
dari daun (Gardner, et al., 1991), dengan tersedianya air maka proses
metabolisme dalam tubuh tanaman dapat berjalan lancar sehingga
pertumbuhan tanaman juga dapat berlangsung secara maksimal. Di samping
itu penggunaan bahan organik juga meningkatkan kadar C organik tanah
hingga 54%. Bahan organik merupakan kunci kesuburan tanah karena
dengan bahan organik yang tinggi tidak hanya merupakan gudang hara,
tetapi juga memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah yang akan menciptakan
lingkungan tanah yang kondusif bagi pertumbuhan tanaman.
Pengamatan terhadap komponen hasil dan hasil tanaman jagung
menunjukkan bahwa pengelolaan bahan organik dapat meningkatkan hasil
tanaman jagung hingga 34% (Tabel 45). Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Vyn et al., (2000) yang melaporkan bahwa
Agroteknologi Lahan Kering 107

bahan organik meningkatkan hasil jagung yang nyata lebih tinggi 11,6%
(9,62 ton ha-1) dibanding tanpa bahan organik (8,62 ton ha-1).
Pengaruh baik dari pengelolaan bahan organik berhubungan dengan
kemampuan bahan organik dalam memperbaiki pertumbuhan tanaman. Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian Andrade et al., (1999) yang melaporkan
bahwa laju tumbuh pertanaman merupakan penduga yang baik dalam
menentukan hasil pipilan jagung. Selanjutnya Andrade et al., (2002)
melaporkan bahwa produksi biji jagung pertanaman akan meningkat dengan
meningkatnya laju tumbuh pertanaman sampai pada batas tertentu dimana
laju tumbuh pertanaman > 4 g.hr-1 pada periode pemunculan bunga
mempunyai persentase peningkatan jumlah biji yang mulai menurun. Hasil
pengamatan laju tumbuh pertanaman menunjukkan bahwa penggunaan
bahan organik meningkatkan laju tumbuh tanaman jagung hingga 47%
(22,01-24,35 g.m-2.hari-1) untuk periode 6-8 mst dan untuk periode 2-4 mst
diperoleh LTP antara 4,04 – 4,27 g.m-2.hari-1 (Tabel 41). Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Duncan, (1981) dalam Gardner et al., (1991) yang
menemukan bahwa laju tumbuh tanaman jagung periode 6-8 mst sebesar 18-
25 g.m-2.hari-1. Dengan kemampuan bahan organik meningkatkan laju
pertumbuhan tanaman maka akan memberikan kontribusi terhadap hasil
pipilan jagung yang merupakan akumulasi dari pertumbuhan tanaman.
Gambar hasil penelitian Subaedah et al., (2007) disajikan pada Gambar 20
dan 21.
Menurut Gardner, et al., (1991) investasi hasil assimilasi dalam
pertumbuhan tanaman selama periode vegetatif menentukan produktivitas
pada tingkat perkembangan berikutnya seperti jumlah biji. Selanjutnya
dikemukakan bahwa agar diperoleh hasil panen yang tinggi maka tanaman
harus dapat menghasilkan indeks luas daun yang cukup untuk menyerap
sebagian besar cahaya guna mencapai produksi maksimum. Hasil
pengamatan ILD menunjukkan bahwa penggunaan bahan organik
menghasilkan ILD tanaman jagung yang nyata lebih tinggi (2,97-3,13)
dibanding tanpa bahan organik dengan ILD senilai 2,23; (Tabel 40). Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian Dwyer and Stewart (1986) yang melaporkan
bahwa nilai ILD tanaman jagung maksimal antara 2,5-3,25, sementara hasil
penelitian Pearce, Mock and Bailey (1975) menemukan nilai ILD tanaman
jagung maksimal antara 2,58-4,61. Demikian juga hasil penelitian Subaedah
et al., (2016) yang menghasilkan ILD tanaman jagung antara 3,88-4,91.
Daun adalah organ tanaman yang sangat berkontribusi pada
kehidupan tanaman, karena pada daun tersebut berlangsung proses
108 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

fotosintesis. Perbedaan ukuran daun sampai batas tertentu akan berpengaruh


terhadap jumlah hasil assimilasi yang terbentuk sebagai simpanan cadangan
untuk pertumbuhan dan hasil tanaman. Di samping itu pengaruh baik dari
penggunaan bahan organik tanah tidak terlepas dari kemampuan bahan
organik tanah untuk mempertahankan kadar air tanah tetap tinggi dan
meningkatnya kadar N total tanah. Gardner, et al., (1991) mengemukakan
bahwa pertumbuhan tanaman itu terutama ditentukan oleh ketersediaan air
dan unsur nitrogen. Kekurangan air dan N menurunkan pertumbuhan
vegetatif dan hasil panen dengan cara mengurangi pengembangan daun dan
penurunan laju fotosintesis. Selanjutnya dikemukakan oleh Andrade et al.,
(2002) bahwa produksi pipilan jagung berkorelasi secara linear dengan laju
pertumbuhan tanaman selama air dan hara cukup tersedia. Dengan demikian
kemampuan bahan organik tanah dalam memperbaiki ketersediaan hara,
khususnya N, P dan K serta meningkatnya ketersediaan air tanah dan
kandungan bahan organik tanah merupakan faktor yang sangat menentukan
keberhasilan pertumbuhan yang pada akhirnya menentukan hasil yang
diperoleh.

Gambar 20. Penanaman jagung tanpa pemberian bahan organik


(Foto Subaedah, 2007)
Agroteknologi Lahan Kering 109

Gambar 21 Penanaman jagung dengan pemberian bahan organik


(Foto Subaedah, 2007)

Pengaruh Pengelolaan bahan organik terhadap Pertumbuhan dan Hasil


Tanaman Kedelai di lahan kering
Pemacuan peningkatan produksi kedelai di dalam negeri telah
banyak diupayakan, baik secara intensifikasi maupun ekstensifikasi.
Peningkatan produksi melalui ekstensifikasi merupakan hal yang makin sulit
dilakukan mengingat persaingan akan penggunaan lahan semakin besar,
sehingga alternatif peningkatan produksi melalui intensifikasi relatif lebih
tepat. Usaha peningkatan produksi melalui intensifikasi telah banyak
diupayakan oleh petani, misalnya dengan menggunakan pupuk anorganik,
seperti pupuk nitrogen, fosfor dan kalium. Namun demikian di lahan kering
marginal, penggunaan pupuk anorganik sering tidak efektif (khususnya
pupuk fosfor). Hal ini disebabkan karena lahan kering yang dicirikan oleh
pH tanah yang rendah akan menyebakan terjadinya fiksasi P oleh Al,
sehingga fosfor menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Untuk meningkatkan
efisiensi pemupukan salah satu cara ialah mengusahakan peningkatan bahan
organik tanah (Buckman and Brady, 1980).
110 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Bahan organik meningkatkan pergerakan P dan kadar P dalam


larutan tanah. Dekomposisi bahan organik menghasilkan asam-asam organik
antara lain asam humat dan asam fulvat. Asam humat dan asam fulfat
banyak mengikat kation-kation polivalen seperti Ca++. Fe++ dan Al+++
membentuk kelat Ca. Fe dan Al (Ahmad dan Tan. 1991) sehingga P dilepas
ke dalam larutan tanah dan akhirnya dapat diserap oleh tanaman.
Hasil penelitian Nirwana dan Subaedah (2009), demikian juga
penelitian yang dilakukan Ralle dan Subaedah (2015) tentang pengaruh
pemberian berbagai jenis bahan organik disertai pemupukan fosfor terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai. Uraian tentang hasil penelitian
yang diperoleh adalah sebagai berikut:

Laju Tumbuh Relatif (LTR) Tanaman Kedelai


Analisis laju tumbuh relatif tanaman kedelai yang diamati pada
penelitian ini mulai pada periode pengamatan 2, 4, 6 dan 8 minggu setelah
tanam (mst). Hasil perhitungan laju tumbuh relatif tanaman kedelai
menunjukkan bahwa pemanfaatan bahan organik tidak memperlihatkan
adanya pengaruh yang nyata untuk periode pengamatan 2-4 MST dan 4-6
MST serta periode pengamatan 6-8 MST (Tabel 45). Namun demikian dari
hasil analisis nilai rata-rata LTR pada Gambar 24 terlihat bahwa
penggunaan bahan organik diperoleh nilai LTR yang lebih pesat yaitu
antara 0,676 – 0,802 g.g-1.mgg-1, sementara pada perlakuan tanpa bahan
organik mempunyai nilai LTR antara 0,578 – 0,622 g.g-1.mgg-1. Dari
Gambar 24 juga menunjukkan bahwa pemberian bahan organik
Chromolaena dan pupuk kandang serta tanpa pemberian bahan organik
menunjukkan pola yang sama dimana terjadi peningkatan LTR dengan
meningkatnya dosis pupuk fosfor yang diberikan.
Analisis laju tumbuh relatif tanaman kedelai yang hasilnya
disajikan pada Gambar 22 menunjukkan bahwa terjadi perbedaan pola laju
tumbuh tanaman kedelai antara tanaman kedelai yang diberi bahan organik
dengan tanaman kedelai yang tidak diberi bahan organik untuk oeriode
pengamatan 4-6 minggu setelah tanam. Pada tanaman kedelai yang diberi
bahan organik dari Chromolaena, Crotalaria dan pupuk kandang terlihat
bahwa nilai laju tumbuh relatif lebih tinggi dengan meningkatnya dosis
pupuk P yang diberikan. Gambar 23 juga menunjukkan bahwa penggunaan
tumbuhan liar Crotalaria diperoleh nilai laju tumbuh relatif yang lebih tinggi
yaitu antara 0,503-0,556 g.g-1.mgg-1, sementara pada pemberian bahan
Agroteknologi Lahan Kering 111

organik dari pupuk kandang hanya menghasilkan nilai laju tumbuh relatif
antara 0,435-0,473 g.g-1.mgg-1.
Laju tumbuh relatif periode 6-8 MST yang disajikan pada Tabel 46
menunjukkan bahwa pemberian bahan organik dan pemupukan fosfor nyata
mempengaruhi laju pertumbuhanan tanaman, dengan nilai laju tumbuh
relatif periode 6-8 MST pada tanaman kedelai yang diberi perlakuan bahan
organik baik dari jenis tumbuhan liar maupun dari pupuk kandang lebih
tinggi yaitu 0,236-0,269 g.g-1mgg-1 dan berbeda nyata dengan perlakuan
tanpa pemberian bahan organik yang hanya mempunyai laju tumbuh 0,122
g.g-1mgg-1. Sedang pada perlakuan pemupukan fosfor terlihat bahwa
pemberian fosfor sampai 100 kg P205.ha-1 nyata diperoleh nilai LTR yang
lebih tinggi yaitu 0,249 g.g-1mgg-1 dibandingkan dengan pemupukan fosfor
50 kg P2O5.ha-1.

Gambar 22. Pengaruh Jenis Bahan Organik dan Pemupukan Fosfor


Terhadap Laju Tumbuh Relatif Tanaman Kedelai pada
Periode 2-4 MST
112 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Gambar 23. Pengaruh Jenis Bahan Organik dan Pemupukan Fosfor


Terhadap Laju Tumbuh Relatif Tanaman Kedelai pada
Periode 4-6 MST
Keterangan = B0 : tanpa bahan organik, B1: bahan organik Chromolaena,
B2 : Bahan organik Crotalaria, B3 : bahan organik pupuk
kandang

Tabel 46. Pengaruh Pemanfaatan Berbagai Jenis Bahan Organik dan


Pemupukan Fosfor Terhadap LTR Tanaman Kedelai Pada
Periode 6-8 MST
Pemupukan Fosfor
Jenis Bahan Organik P1(50 kg P2 (100 kg
Rata-rata
SP36/ha) SP36/ha)
Tanpa Bahan Organik 0,130 0,114 0,122 b
BO Chromolaena 0,231 0.306 0,269 a
BO Crotalaria 0,219 0,286 0,253 a
Pupuk Kandang 0,182 0,290 0,236 a
Rata-rata 0,191 b 0,249 a
Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom
yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada taraf
5%.
Agroteknologi Lahan Kering 113

Biomass Tanaman Kedelai


Pengamatan biomassa tanaman yang didasarkan pada bobot kering
oven total tanaman (disertai akar yang terangkut) pada umur 4 minggu
setelah tanam menunjukkan bahwa pemanfaatan bahan organik dan
pemupukan fosfor serta interaksi antara keduanya nyata pengaruhnya
dengan bobot kering terberat 0,770 g.tanaman-1 diperoleh pada interaksi
antara pemanfaatan bahan organik pupuk kandang dengan pemupukan
fosfor 50 kg. P2O5 ha-1 dan tidak berbeda nyata dengan pemanfaatan bahan
organik dari Crotalaria juncea dan Chromolaena odorata dengan bobot
kering tanaman antara 0,607- 0.703 g.tanaman-1 (Tabel 47).
Biomas tanaman kedelai pada periode pengamtan 8 minggu
setelah tanam menunjukkan bahwa pemanfaatan bahan organik Crotalaria
juncea dan interaksinya dengan pemupukan fosfor 100 kg P2O5 ha-1 nyata
diperoleh biomas tanaman yang terberat yaitu 3,290 g tanaman-1, namun
tidak berbeda nyata dengan perlakuan bahan organik dari Chromolaena
odorata dan pupuk kandang dengan dosis P yang sama, tetapi berbeda nyata
dengan perlakuan tanpa bahan organik (Tabel 48). Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Bertham (2002) yang melaporkan bahwa
pemberian bahan organik berupa kompos bersamaan dengan pemberian
pupuk P meningkatkan pertumbuhan tanaman yang diperlihatkan oleh berat
kering akar dan bagian atas tanaman yang nyata lebih berat.
Tabel 47. Pengaruh Pemanfaatan Berbagai Jenis Bahan Organik dan
Pemupukan Fosfor Terhadap Biomass Tanaman Kedelai Pada
Umur 4 MST
Pemupukan Fosfor
Jenis Bahan Organik
P1(50 kg SP36/ha) P2 (100 kg SP36/ha)
Tanpa Bahan Organik 0,460 bz 0,663 ay
b
BO Chromolaena 0,597 y 0.703 ax
BO Crotalaria 0,670 ax 0,607 ax
a
Pupuk Kandang 0,770 x 0,707 ax
Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris (a,b) dan
pada kolom (x,y) tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT
0,05
114 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Tabel 48. Pengaruh Pemanfaatan Berbagai Jenis Bahan Organik dan


Pemupukan Fosfor Terhadap Biomass Tanaman Kedelai Pada
Umur 8 MST
Pemupukan Fosfor
Jenis Bahan Organik
P1(50 kg SP36/ha) P2 (100 kg SP36/ha)
Tanpa Bahan Organik 1.573 by 2.163 ay
b
BO Chromolaena 2.637 x 3,153 ax
a
BO Crotalaria 2.820 x 3.290 ax
Pupuk Kandang 2.677 bx 3,233 ax

Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris (a,b) dan
pada kolom (x,y) tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT
0,05

Jumlah Polong
Pengaruh pemberian berbagai dosis bahan organik (pupuk
kandang) yang dikombinasikan dengan pupuk SP-36 berbagai dosis
menunjukkan bahwa bahwa jumlah polong kedelai terbanyak diperoleh pada
perlakuan pemupukan fosfor 100 kg SP-36 ha-1 dengan jumlah polong per
tanaman sebanyak 75.47 polong dan berbeda nyata dengan jumlah polong
yang diperoleh pada pemupukan fosfor dengan 50 dan 150 kg SP-36 ha-1.
Pada perlakuan pemberian bahan organik dengan dosis 20 ton ha -1
cenderung menghasilkan jumlah polong yang terbanyak.

Korelasi antara ketersediaan hara P dan serapan hara P terhadap


biomassa tanaman kedelai
Hasil uji korelasi antara ketersediaan P tanah dan serapan hara P
terhadap biomassa tanaman kedelai pada periode pengamatan 4 dan 8
minggu setelah tanam pada Tabel 49 menunjukkan bahwa terdapat korelasi
positif antara ketersediaan hara P dan serapan hara P dengan biomassa
tanaman kedelai. Korelasi antara ketersediaan hara P dengan biomassa
tanaman kedelai pada periode pengamatan 4 dan 8 minggu setelah tanam
masing-masing sebesar 0,54 dan 0,86. Hal ini berarti bahwa 54% biomassa
tanaman kedelai dipengaruhi oleh ketersediaan hara P tanah pada umur 4
minggu setelah tanam, sementara pada periode 8 minggu setelah tanam
bobot biomassa tanaman kedelai dipengaruhi 86% oleh ketersediaan hara P.
Agroteknologi Lahan Kering 115

Tabel 49. Korelasi antara ketersediaan hara P tanah, serapan hara P tanaman
dan biomas tanaman kedelai pada umur 4 dan 8 MST
Koefisien Korelasi (r)
Biomas tanaman
4 MST 8 MST
Ketersediaan hara P tanah 0,54 0,86
Serapa hara P tanaman 0,57 0,80
Tabel 49 juga menunjukkan bahwa bobot biomassa tanaman sangat
dipengaruhi oleh besarnya serapan hara P yang masing-masing dipengaruhi
sebesar 57 dan 80% untuk periode pengamatan 4 dan 8 minggu setelah
tanam. Serapan hara akan berdampak pada kandungan hara dalam tanaman
sehingga akan sangat menentukan pertumbuhan tanaman. Penelitian yang
dilakukan oleh Tampubolon, Ermadani dan Itang (2001) juga menunjukkan
bahwa pemupukan P nyata meningkatkan ketersediaan hara P,
meningkatkan serapan hara P oleh tanaman kedelei dan sekaligus
memperbaiki pertumbuhan dan meningkatkan hasil tanaman kedelai.
Ketersediaan hara fosfor yang meningkatkan biomas tanaman terjadi karena
fosfor merupakan unsur yang mutlak diperlukan di awal tahap pertumbuhan,
penyimpanan cadangan makanan dan pengangkutan energi dalam tanaman
serta pertumbuhan akar yang akan merangsang pertumbuhan tanaman
berjalan lebih baik (Gardner, et al., 1991).
Pengaruh baik dari pemanfaatan bahan organik terhadap
pertumbuhan tanaman kedelai yang diperlihatkan oleh laju tumbuh relatif
yang lebih pesat serta biomas tanaman yang lebih berat, disebabkan adanya
perbaikan ketersediaan hara P yang makin meningkat dengan pemanfaatan
bahan organik dibandingkan dengan tanpa bahan organik (Gambar 22 dan
23). Demikian juga pada pengamatan komponen produksi yang diamati
melalui jumlah polong menunjukkan bahwa pemberian bahan organik
dengan dosis yang lebih besar (20 t ha-1) cenderung menghasilkan produksi
yang lebih tinggi. Peningkatan kadar P tanah ini sangat berarti bagi
pertanian lahan kering mengingat masalah pokok dalam pengelolaan lahan
kering sebagai sumberdaya pertanian adalah masalah ketersediaan unsur P
yang sering membatasi pertumbuhan tanaman.
Gambar hasil penelitian pengaruh pemberian berbagai jenis bahan
organik disertai pemupukan fosfor terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman
kedelai dapat dilihat pada Gambar 24 dan 25.
116 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Gambar 24. Pertumbuhan tanaman kedelai dengan pemberian bahan


organik disertai pemupukan fosfor
(Foto Subaedah, 2015)

Gambar 25. Pembentukan polong tanaman kedelai dengan pemberian


bahan organik disertai pemupukan fosfor
(Foto Subaedah, 2015)
Agroteknologi Lahan Kering 117

Bahan organik meningkatkan pergerakan P dan kadar P dalam


larutan tanah. Dekomposisi bahan organik menghasilkan asam-asam organik
antara lain asam humat dan asam fulvat. Asam humat dan asam fulfat
banyak mengikat kation-kation polivalen seperti Ca++, Fe++ dan Al+++
membentuk kelat Ca, Fe dan Al (Ahmad dan Tan, 1991) sehingga P dilepas
ke dalam larutan tanah dan akhirnya dapat diserap oleh tanaman yang akan
memperbaiki pertumbuhan dan produksi tanaman.
118 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.
Agroteknologi Lahan Kering 119

BA B X
MULSA DAN PERANANNYA DALAM
BUDIDAYA TANAMAN DI LAHAN KERING

Pemberian mulsa merupakan salah satu komponen penting dalam


teknik budidaya di lahan kering guna meningkatkan pertumbuhan dan hasil
tanaman.
Mulsa adalah suatu lapisan yang diberikan pada permukaan tanah
sebagai pelindung untuk mencegah penguapan air tanah, mengatur suhu dan
mengendalikan gulma (Purwowidodo, 1983: Reijntjes, et al., 1999).
Selanjutnya Samosir (2000) mengemukakan bahwa tanaman penutup tanah
yang sengaja ditanam diantara tanaman lainnya dengan tujuan untuk
konservasi tanah juga dapat dipandang sebagai mulsa (mulsa hidup).
Beberapa macam mulsa telah banyak digunakan dalam bidang
pertanian yaitu mulsa organik yang berasal dari sisa tanaman dan mulsa
anorganik, seperti plastik dan aluminium. Mulsa yang berasal dari residu
tanaman atau pangkasan tanaman memiliki beberapa kelebihan, seperti
konduktivitas termal yang rendah, sehingga aliran panas ke dalam tanah
sangat lemah akibatnya suhu permukaan tanah pada siang hari lebih rendah
jika dibandingkan dengan tanah yang terbuka, di samping itu mulsa dari
residu tanaman mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kadar bahan
organik tanah (Samosir, 2000).
Mulsa berperan dalam memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi
tanah. Pengaruhnya terhadap sifat fisik tanah adalah sebagai berikut:
a) mengurangi daya tumbuk langsung butir-butir hujan
b) memperkecil fluktuasi kelembaban dam suhu tanah
c) mengurangi aliran permukaan dan erosi
d) memperbesar infiltrasi
120 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

e) mengurangi evaporasi
f) mempertahankan kelembaban tanah.
Pengaruhnya terhadap sifat kimia tanah yaitu dalam hal meningkatkan
kadar bahan organik yang akan meningkatkan ketersediaan unsur hara
(khususnya mulsa organik). Pengaruhnya terhadap biologi tanah adalah
meningkatnya aktivitas mikroba dekat permukaan tanah (Arsyad, 1989;
Reijntjes et al., 1999; Samosir, 2000).
Penggunaan mulsa organik apakah itu sebagai mulsa hidup ataupun
residu tanaman dalam budidaya pertanian merupakan salah satu metode
mempertahankan siklus bahan organik dan hara yang akan menjamin
keberlanjutan sistem produksi, sebaliknya apabila residu tanaman tidak
dikembalikan (umumnya residu tanaman dibakar atau diangkut ke luar lahan
oleh petani) maka akan semakin banyak pupuk anorganik yang harus
ditambahkan ke lahan untuk mempertahankan kesuburan tanah. Hal ini
sejalan dengan yang dikemukakan Buckman and Brady (1980) bahwa
pengembalian residu tanaman ke lahan, akan menyumbangkan unsur hara
sehingga akan mengurangi pemakaian pupuk anorganik dan dampak yang
lebih jauh adalah mempertahankan kelestarian lahan. Mulsa organik berupa
jerami, sekam, alang-alang dan sebagainya, dipengaruhi oleh ketebalan
lapisan mulsa organik. Ketebalan lapisan mulsa organik yang dianjurkan
adalah antara 5-10 cm. Mulsa yang terlalu tipis akan kurang efektif dalam
mengendalikan gulma. Ketebalan mulsa yang diberikan pada permukaan
tanah berkisar antara 2-7 cm.
Kemampuan mulsa untuk memperbaiki pertumbuhan tanaman tidak
terlepas dari peranan mulsa dalam memperbaiki sifat-sifat tanah. Mulsa
yang digunakan dapat mengurangi penguapan air dari tanah, di samping
memelihara porositas tanah di lapisan permukaan sehingga tanah lebih
mampu meresapkan air. Kondisi kelembaban yang lebih terpelihara dengan
pemberian mulsa, akan menyebabkan tanaman dapat mengembangkan
akarnya dengan baik sehingga memperbesar suplai hara untuk tanaman.
Dengan suplai hara dan air yang lebih terjamin, maka tanaman dapat tumbuh
lebih cepat, perkembangan akar kedalam tanah lebih cepat sehingga
tanaman dapat menggunakan persediaan air dari tanah lapisan bawah untuk
pertumbuhannya secara maksimal.
Penggunaan tanaman penutup tanah baik sebagai mulsa hidup ataupun
sisa tanamannya dalam usahatani lahan kering sangat besar artinya dalam
pemberdayaan lahan kering. Hasil penelitian Thamrin dan Hanafi (1992)
tentang peranan mulsa sisa tanaman terhadap kadar air tanah di lahan kering
Agroteknologi Lahan Kering 121

menunjukkan bahwa pemberian mulsa jerami dapat mempertahankan kadar


air tanah yang lebih tinggi dibandingkan tanpa mulsa. Dengan meningkatnya
cadangan air tanah maka reaksi-reaksi kimia dan aktivitas tanaman akan
semakin meningkat, mengingat air sebagai media pelarut unsur hara yang
sangat diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Pengaruh Mulsa terhadap Sifat Fisik Tanah


Mulsa yang dihamparkan di permukaan tanah akan memberikan
pengaruh terhadap sifat fisik tanah, seperti:
a. Mulsa melindungi lapisan atas tanah dari pukulan butir-butir hujan yang
jatuh yang akan menghancurkan struktur tanah
b. Bahan Mulsa yang melapuk memperbaiki struktur tanah dengan
memperbaiki agregasi tanah. Dengan membaiknya struktur tanah, maka
pengolahan tanah dapat dikurangi
c. Adanya lapisan penutup di permukaan tanah akan melindungi tanah dari
terpaan radiasi matahari langsung yang akan menyebabakan rendahnya
suhu, terlindungnya permukaan tanah dari angin, sehingga akan
mengurangi pengapan dan pada akhirnya akan mempertahankan kadar air
tanah
d. Pemberian mulsa juga akan mencegah hujan menghancurkan agregat-
agregat tanah, sehingga mengurangi terisinya pori-pori tanah dengan
bagian-bagian tanah yang telah hancur
e. Pori-pori tanah dapat terisi oleh air lebih banyak, sehingg lebih banyak
air yang bisa ditahan oleh tanah
f. Pemberia mulsa juga dapat memperbesar infiltrasi air, akibat
membaiknya struktur tanah, sehinngga kehilangan air melalui aliran
permukaan dapat dikurangi.
Penelitian tentang pengaruh mulsa terhadap bobot isi tanah telah
dilakukan oleh Subaedah et al., (2007) dengan hasil penelitian yang
diperoleh sebagaimana disajikan pada Tabel 50 yang menunjukkan bahwa
pemberian mulsa menurunkan bobot isi tanah antara 23-25% (1,29-1,30
g.cc-1) untuk periode pengamatan 4 minggu setelah aplikasi mulsa dibanding
tanpa mulsa dengan bobot isi yang diperoleh adalah 1,62 g.cc -1. Hasil ini
serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ardinal, Saidi dan
Gusmini (2012) menemukan bahwa penggunaan mulsa organik diperoleh
122 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

rata-rata bobot isi tanah lebih rendah (1,38 g.cc-1) dibanding tanpa penutup
tanah yang menghasilkan rata-rata bobot isi 1,51 g.cc-1. Demikian juga total
ruang pori tanah meningkat denggunaan mulsa organik (total ruang pori
45,0%) dibandingkan tanpa penggunaan mulsa dengan total ruang pori yang
dihasilkan 40,2%
Penurunan bobot isi tanah ini disebabkan oleh adanya mulsa yang
menutupi permukaan tanah akan menghalangi kontak langsung antara butir-
butir hujan yang jatuh dengan permukaan tanah yang akan menghancurkan
struktur tanah, sehingga akan menghalangi terjadinya pemadatan tanah.
Disamping itu penggunaan mulsa organik di atas permukaan tanah akan
menambah bahan organik tanah dari dekomposisi batang, ranting dan daun
dari mulsa yang digunakan. Peningkatan bahan organik tanah ini akan
memperbaiki sifat fisik tanah melalui perbaikan agregat tanah yang stabil
(Sugito, et al., 1995). Selanjutnya Buckman and Brady (1980)
mengemukakan bahwa bahan organik tanah berperan sebagai pembentuk
butir mineral yang menyebabkan terjadinya keadaan gembur pada tanah dan
mengurangi pemadatan tanah.
Tabel 50. Bobot isi tanah pada periode pengamatan 4 dan 8 minggu setelah
pemberian berbagai jenis mulsa organik
Bobot isi tanah (g.cc-1)
Perlakuan
4 mst 8 mst
Tanpa mulsa 1,62 a 1,75 tn
Mulsa C. pubescens 1,30 b 1,39
Mulsa C. muconoides 1,29 b 1,37
Mulsa C. anagyroides 1,30 b 1,45
Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada uji BNT 0,05.
- mst: minggu setelah aplikasi mulsa

Pengaruh Mulsa Organik Dalam Meningkatkan Kadar air Tanah


Kemampuan mulsa dalam mempertahan kadar air tanah di lahan
kering banyak mendapat perhatian, karena salah satu faktor yang membatasi
pencapaian produksi tanaman yang tinggi adalah terjadinya stress air (Dale
dan Daniels, 1995).
Penelitian yang dilakukan oleh Heryani et al., (2013) tentang
peranan mulsa sisa tanaman terhadap kadar air tanah menunjukkan bahwa
Agroteknologi Lahan Kering 123

air tersedia dengan penggunaan mulsa jerami lebih tinggi dibandingkan


tanpa mulsa. Hal ini disebabkan oleh sifat mulsa yang dapat mengurangi
evaporasi, serta dapat memperbaiki kapasitas tanah menahan air, karena
penguapan dari tanah akan tertahan oleh mulsa sehingga air akan jatuh
kembali lagi ke tanah. Penggunaan mulsa sisa tanaman dapat menurunkan
evaporasi sebesar 34-50% (Hartifield et al., 2001). Khurshid et al., (2006)
dan Muhammad et al., (2009) mengemukakan bahwa penggunaan mulsa
dapat memperbaiki kondisi tanah dan meningkatkan kandungan air tanah.
Pemakaian mulsa jerami dapat meningkatkan kandungan air tanah.
Pemakaian mulsa jerami dapat menaikkan kapasitas menahan air dan
memperbaiki sifat-sifat fisik tanah (Sinukaban, 2007). Mulsa juga dapat
menurunkan kecepatan aliran permukaan, evaporasi dan meningkatkan
jumlah air yang disimpan di dalam profil tanah (Mahrer et al., 1984).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Subaedah et al., (2016)
menyimpulkan bahwa pemberian mulsa di lahan kering dapat
mempertahankan kadar air tanah yang lebih tinggi hingga 40% (kadar air
tanah 21,42 - 25,86%) dibandingkan dengan tanpa mulsa (kadar air tanah
18,42%).
Hasil penelitian Subaedah et al., (2007) tentang pengaruh
pemberian mulsa organik terhadap kadar air tanah menunjukkan bahwa
aplikasi mulsa organik pada pertanaman jagung berpengaruh nyata sampai
sangat nyata terhadap kadar air tanah. Hasil pengamatan kadar air tanah
pada saat 4, 6, 8, 10 dan 12 minggu setelah aplikasi mulsa menunjukkan
bahwa kadar air tanah pada saat tanaman jagung berumur 4 minggu
menunjukkan bahwa aplikasi mulsa organik Centrosema dan Mucuna
diperoleh kadar air tanah yang nyata lebih tinggi yaitu antara 68,25-70,50 %
atau meningkat sebesar 16-20% dibandingkan dengan perlakuan tanpa
mulsa dengan kadar air tanah 58,79% (Tabel 51).
Tabel 51 juga menunjukkan bahwa kadar air tanah pada
pengamatan 10 minggu setelah aplikasi mulsa berbeda nyata antara
perlakuan tanpa mulsa dengan penggunaan mulsa, yang mana pemberian
mulsa Centrosema dan Mucuna meningkatkan kadar air tanah sekitar 9 –
16% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (kadar air tanah dengan
mulsa Centrosema dan Mucuna masing-masing 27,94-29,73%, sedangkan
tanpa mulsa kadar air tanah hanya 25,57%). Pada periode pengamatan 12
minggu setelah aplikasi mulsa terlihat bahwa kadar air tanah dengan
penggunaan mulsa Centrosema dan Mucuna nyata lebih tinggi yaitu masing-
124 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

masing 29,01 % dan 28,33% dibandingkan tanpa mulsa dengan kadar air
tanah yang diperoleh hanya sampai 23,76%.
Tabel 51. Kadar air tanah periode pengamatan 4, 6, 8, 10 dan 12 mst pada
pemanfaatan berbagai jenis mulsa organik
Kadar Air Tanah (%)
Perlakuan
4 mst 6 mst 8 mst 10 mst 12 mst
Tanpa mulsa 58,79 c 28,53 tn 27,93 tn 25,57 b 23,76 c
Mulsa Centrosema 70,50 a 27,14 30,80 27,94 a 29,01 a
Mulsa Mucuna 68,25 a 29,59 30,60 29,73 a 28,33 a
Mulsa Crotalaria 64,65 b 27,83 29,37 26,76 ab 26,38 b
Keterangan: - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- tn: tidak nyata berdasarkan analisis ragam
- mst : minggu setelah tanam aplikasi mulsa
Meningkatnya kadar air tanah dengan penggunaan mulsa
disebabkan karena dengan adanya mulsa, maka permukaan tanah tertutup
oleh daun dan batang ataupun serasahnya sehingga penguapan air tanah
dapat diperkecil. Dengan demikian kadar air tanah dapat dipertahankan lebih
lama dibanding tanpa mulsa.
Peningkatan kadar air tanah ini sangat berarti bagi pertanian lahan
kering mengingat masalah pokok dalam pengelolaan lahan kering sebagai
sumberdaya pertanian adalah keterbatasan air. Air merupakan bagian dari
protoplasma, bahan baku fotosintesis, pelarut unsur hara dan pengangkut
hasil fotosintesis dari daun (Gardner, et al., 1991), dengan tersedianya air
maka proses metabolisme dalam tubuh tanaman dapat berjalan lancar
sehingga pertumbuhan tanaman juga dapat berlangsung secara maksimal.
Penggunaan mulsa organik dari jenis Centrosema dan Mucuna
dapat meningkatkan kadar air tanah lebih tinggi 4-11% dan 7-10%
dibanding dengan mulsa dari jenis Crotalaria (Tabel 51 periode pengamatan
10 dan 12 mst). Hal ini dapat dihubungkan dengan habitus pertumbuhan
ketiga jenis tanaman, dimana tanaman Centrosema dan Mucuna mempunyai
tipe pertumbuhan yang menjalar/merambat, sementara Crotalaria
mempunyai habitus pertumbuhan berbentuk semak, sehingga dengan bobot
biomass yanga sama akan menghasilkan ketebalan mulsa yang berbeda.
Dalam hal ini penggunnaan mulsa Mucuna dan Centrosema lebih tebal
dibandingkan dengan Crotalaria, sehingga kemampuan mempertahankan
kadar air tanah pada penggunaan mulsa organik dari jenis Centrosema dan
Mucuna nyata lebih tinggi dibandingkan dengan Crotalaria.
Agroteknologi Lahan Kering 125

Meningkatnya kadar air tanah akan berpengaruh terhadap


menurunnya suhu tanah yang berdampak positif terhadap meningkatnya
aktifitas biota tanah (Utomo, 1994).

Pengaruh Mulsa Terhadap Suhu tanah


Pemberian mulsa yang dihamparkan dipermukaan tanah juga
berpengaruh positif terhadap suhu tanah.
a. Mulsa dapat menahan udara diantara bahan mulsa dan karena udara yang
diam mempunyai konduktivitas panas yang rendah, panas dipindahkan
dengan lambat dari permukaan mulsa ke permukaan tanah
b. Mulsa pada permukaan berpengaruh baik pada fluktuasi harian maupun
musiman dari suhu tanah.
c. Pengaruh utama pada suhu harian adalah menurunkan suhu maksimum
pada siang hari pada lahan-lahan terbuka di bawa kondisi panas dan
kering tanpa banyak berpengaruh pada suhu minimum.
Hasil penelitian pengaruh mulsa organik terhadap suhu tanah pada
kedalaman 20 cm dari permukaan tanah yang dilakukan pada musim tanam
2007 menunjukkan bahwa pengamatan suhu tanah pada periode 4 minggu
setelah aplikasi mulsa organik menunjukkan bahwa suhu tanah dipengaruhi
oleh pengelolaan mulsa. Suhu tanah seperti yang disajikan pada Tabel 52
dengan penggunaan mulsa organik pada awal penanaman menunjukkan
bahwa mulsa centrosema diperoleh suhu tanah terendah yaitu 27,74 oC, dan
berbeda nyata dengan tanpa mulsa dengan suhu tanah 29,88 oC. Pada periode
pengamatan 4 mst jagung diperoleh suhu tanah terendah 28,24 oC pada
penggunaan Centrosema dan Crotalaria yang masing-masing dengan suhu
tanah 28,24oC dan berbeda nyata dengan suhu tanah yang diperoleh dengan
tanpa mulsa (29,45 oC).
Hasil percobaan ini serupa dengan yang diperoleh Sauer, Hatfield
dan Prueger (1996) yang melaporkan bahwa penempatan pengembalian
residu tanaman jagung menurunkan suhu tanah sekitar 0,5 oC pada
kedalaman 0,05 m.
126 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Tabel 52. Pengaruh mulsa organik terhadap suhu tanah pada berbagai waktu
pengamatam
Suhu tanah (oC)
Jenis Mulsa
4 mst 8 mst 12 mst
Tanpa mulsa 29,45 a 29,37 tn 28,78 tn
Mulsa C. pubescens 28,24 b 28,79 27,83
Mulsa C. muconoides 28,71 b 28,50 28,08
Mulsa C. anagyroides 28,24 b 29,08 27,63
Keterangan:- angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- tn: tidak nyata berdasarkan analisis ragam
- mst : minggu setelah tanam aplikasi mulsa
Suhu tanah dipengaruhi oleh jumlah serapan radiasi matahari oleh
permukaan tanah, sehingga dengan adanya penutupan tanah oleh mulsa akan
menghalangi radiasi matahari langsung mengenai permukaan tanah sehingga
suhu tanah yang diperoleh lebih rendah daripada tanpa penutupan tanah.
Tadjang (1990) mengemukakan bahwa variasi suhu tanah dipengaruhi oleh
faktor luar seperti radiasi surya, keawanan, presipitasi, dan faktor dalam
seperti kandungan air tanah, kandungan bahan organik tanah serta
dipengaruhi oleh vegetasi yang ada. Adanya mulsa di permukaan tanah akan
menahan udara diantara bahan mulsa dan karena udara yang diam
mempunyai konduktivitas panas yang rendah, sehingga panas dipindahkan
dari permukaan mulsa ke permukaan tanah lebih lambat.

Pengaruh Mulsa Terhadap Kesuburan Tanah


Pemberian mulsa, khususnya mulsa organik dapat memperbaiki
kesuburan tanah dengan meningkatnya kandungan bahan organik tanah.
Mulsa organik yang telah mengalami dekomposisi akan melepaskan
berbagai unsur hara ke tanah dan tanaman secara berangsur-angsur.
Kandungan hara yang terkandung dari mulsa organik sangat tergantung dari
jenis bahan organik yang digunakan sebagai mulsa.

Pengaruh Mulsa Organik Terhadap Kadar N Total Tanah


Hasil analisis kadar N total setelah aplikasi mulsa organik selama
tiga bulan dari penelitian Subaedah et al. (2007) yang disajikan pada Tabel
53. menunjukkan bahwa aplikasi mulsa organik dapat meningkatkan kadar
N total hingga 60% dibandingkan tanpa mulsa (kadar N total tanah dengan
Agroteknologi Lahan Kering 127

pemberian mulsa organik antara 0,23% sampai 0,24%, sementara tanpa


mulsa kadar N-total tanah hanya mencapai 0,15%),
Tabel 53. Kadar N total tanah setelah aplikasi berbagai jenis mulsa organik
selama tiga bulan
Perlakuan N total Tanah (%)
tanpa mulsa 0,15 b
Mulsa Centrosema 0,24 a
Mulsa Crotalaria 0,23 a
Mulsa Mucuna 0,24 a
Keterangan : Angka diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada Uji BNT 0,05.

Pengaruh Mulsa Organik Terhadap Kadar KTK Tanah


Pengaruh mulsa organik terhadap KTK yang disajikan pada Tabel
54 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kapasitas tukar kation tanah
(KTK) dari 26,50 me.100 g-1 menjadi 30,00 me.100 g-1sampai 33,00 me.100
g-1. Hal ini berarti bahwa terjadi peningkatan KTK dengan pemberian mulsa
organik sebesar 13,21 – 24,53% (Subaedah et al., 2007).
Tabel 54. KTK tanah setelah aplikasi berbagai jenis mulsa organik selama
tiga bulan
Perlakuan KTK(me.100 g-1)
tanpa mulsa 26,50 b
Mulsa Centrosema 30,00 a
Mulsa Crotalaria 33,00 a
Mulsa Mucuna 32,83 a
Keterangan : Angka diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada Uji BNT 0,05.

Pengaruh Mulsa Organik Terhadap Kadar C-organik Tanah


Hasil analis C-organik tanah menunjukkan bahwa pemberian mulsa
organik nyata pengaruhnya terhadap C-organik tanah. Tabel 55
menunjukkan bahwa pemberian mulsa organik diperoleh C-organik sebesar
1,63-1,70% sementara tanpa mulsa organik hanya diperoleh C-organik
sebesar 1,37%. Hal ini berarti bahwa pemberian mulsa organik
meningkatkan kandungan C-organik tanah sebanyak 18,97% - 24,09%.
(Subaedah et al., 2007).
128 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Tabel 55. KTK tanah setelah aplikasi berbagai jenis mulsa organik selama
tiga bulan
Perlakuan C Organik (%)
tanpa mulsa 1,37 b
Mulsa Centrosema 1,63 a
Mulsa Crotalaria 1,66 a
Mulsa Mucuna 1,70 a
Keterangan : Angka diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada Uji BNT 0,05.
Perbaikan sifat tanah ini terjadi karena mulsa organik akan
mengalami proses dekomposis yang akan meningkatkan kadar bahan
organik tanah. Peningkatan bahan organik tanah mengakibatkan agregat
tanah menjadi lebih mantap, pengikatan unsur P pada tanah masam
berkurang, penyediaan unsur hara secara lengkap dan berimbang, serta
meningkatnya kegiatan biologi di dalam tanah. Bahan organik akan
meningkatkan Kapasitas Tukar Kation tanah dan bila bahan organik telah
mengalami mineralisasi akan menyediakan nitrogen, fosfor dan belerang
bagi tanaman (Tisdale and Nelson, 1975). Bahan organik merupakan kunci
kesuburan tanah karena memperbesar kemampuan tanah memegang hara
dan dengan demikian meningkatkan kemampuan tanah menyediakan hara
untuk tanaman, mengurangi pencucian hara, menambah kemampuan tanah
menahan air dan kemantapan struktur tanah serta sebagai sumber energi bagi
biota tanah (Samosir, 1997).

Pengaruh Mulsa Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman


Jagung
Percobaan tentang pengaruh pemberian mulsa organik terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman jagung dilahan kering telah dilakukan oleh
Subaeda, et al., (2007) dengan hasil yang diperoleh sebagai berikut:

Tinggi Tanaman
Hasil percobaan menunjukkan bahwa pemanfaatan mulsa organik
berpengaruh nyata terhadap komponen pertumbuhan tanaman jagung yang
diperlihatkan oleh tinggi tanaman yang berpengaruh nyata. Pengamatan
tinggi tanaman jagung 8 minggu setelah tanam (mst) menunjukkan bahwa
keberadaan mulsa organik dalam pertanaman jagung dapat menghasilkan
tanaman jagung yang nyata lebih tinggi yaitu antara 178,21 cm – 182,59 cm
Agroteknologi Lahan Kering 129

dibandingkan dengan tanpa mulsa yang hanya menghasilkan tanaman


jagung yang tingginya mencapai 171,75 cm (Tabel 56).
Pengamatan jumlah daun pada tabel yang sama menunjukkan
bahwa jumlah daun tanaman jagung tidak dipengaruhi oleh adanya mulsa
organik, dengan jumlah daun yang dihasilkan baik dengan penggunaan
mulsa organik ataupun tanpa mulsa berkisar antara 12,80 - 13,50 helai.
Tabel 56. Pengaruh pemanfaatan mulsa organik terhadap tinggi tanaman dan
jumlah daun tanaman jagung 8 mst
Jenis perlakuan Tinggi tanaman (cm) Jumlah daun (helai)
Tanpa mulsa 171,75 b 12,80 tn
Mulsa Centrosema 182,59 a 13,29
Mulsa Mucuna 181,68 a 13,50
Mulsa Crotalaria 178,21 ab 13,41

Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom
yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- mst: minggu setelah tanam
- tn : tidak berbeda nyata berdasarhan analisis ragam

Panjang Tongkol Jagung dan Diameter Tongkol


Hasil pengamatan komponen produksi tanaman jagung seperti
panjang tongkol dan diameter tongkol dipengaruhi oleh pemanfaatan mulsa
organik. Tabel 57 menunjukkan bahwa adanya mulsa organik di pertanaman
jagung, baik itu dari Centrosema, Mucuna maupun Crotalaria diperoleh
tongkol yang nyata lebih panjang yaitu antara 16,84 – 17,99 cm dari pada
tongkol tanaman jagung yang dihasilkan oleh perlakuan tanpa mulsa dengan
panjang tongkol hanya 13,54 cm. Pada Tabel 57 juga menunjukkan bahwa
penggunaan mulsa organik diperoleh diameter tongkol yang lebih lebar yaitu
antara 4,05 – 4,23 cm dan berbeda nyata dengan tanpa penggunaan mulsa
yang hanya menghasilkan tongkol jagung dengan diameter 3.87 cm.
130 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Tabel 57. Panjang dan diameter tongkol jagung pada aplikasi mulsa organik
Jenis perlakuan Panjang tongkol (cm) Diameter Tongkol (cm)
Tanpa mulsa 13.54 b 3.87 b
Mulsa Centrosema 17.96 a 4.10 a
Mulsa Mucuna 16.84 a 4.05 a
Mulsa Crotalaria 17.99 a 4.23 a

Keterangan: - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada


kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji
BNT 0,05.

Bobot Tongkol Jagung dan Bobot 100 Butir


Hasil pengamatan bobot tongkol jagung dan bobot 100 butir
jagung pada Tabel 58 menunjukkan bahwa penggunaan mulsa organik
berpengaruh nyata, dimana pemanfaatan mulsa organik apakah itu dari
mulsa Centrosema, Mucuna maupun dari Crotalaria diperoleh bobot tongkol
yang nyata lebih berat yaitu antara 175,09 -176,98 g/tongkol dibandingkan
tanpa mulsa dengan bobot tongkol yang dihasilkan hanya seberat 123,54 g.
Sedangkan pada pengamatan bobot 100 butir jagung menunjukkan bahwa
penggunaan mulsa organik, khususnya dari jenis Crotalaria dan Mucuna
diperoleh bobot 100 butir jagung yang nyata lebih berat yaitu antara 27,09 –
27,59 g dibandingkan dengan tanpa penggunaan mulsa dengan bobot 100
butir jagung yang dihasilkan yaitu 25, 17 g.
Tabel 58. Pengaruh pemanfaatan mulsa organik terhadap bobot tongkol dan
bobot 100 butir jagung

Jenis perlakuan Bobot Tongkol (g) Bobot 100 butit (g)


Tanpa mulsa 123,54 b 25,17 b
Mulsa Centrosema 175,09 a 26,96 ab
Mulsa Mucuna 176,98 a 27,59 a
Mulsa Crotalaria 176,34 a 27,09 a

Keterangan: - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada


kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji
BNT 0,05.
Agroteknologi Lahan Kering 131

Bobot Pipilan Kering Jagung/Tongkol dan Bobot Pipilan Kering


Jagung/ha (kadar air biji 15%)
Pengamatan terhadap bobot pipilan kering jagung/tongkol (kadar
air 15%) menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan berbagai jenis mulsa
organik diperoleh bobot pipilan kering jagung/tongkol yang nyata lebih
berat yaitu antara 108,98 -114,63 g dibandingkan dengan bobot pipilan
kering jagung/tongkol yang diperoleh dari perlakuan tanpa mulsa yang
hanya mencapai 123,54 g (Tabel 59). Pada analisis hasil panen per satuan
luas pada Tabel 59 yang diamati berdasarkan bobot pipilan kering jagung
per ha (kadar air 15%) terlihat bahwa antara jagung yang diberi mulsa
organik dan yang tanpa mulsa terlihat perbedaan yang nyata, dimana hasil
panen per satuan luas pada perlakuan mulsa organik Mucuna dan Crotalaria
masing-masing diperoleh 5,200 ton/ha dan 5,554 ton/ha atau terjadi
peningkatan hasil antara 54-65% dengan penggunaan mulsa organik
Mucuna dan Crotalaria dibandingkan tanpa mulsa dengan hasil pipilan
kering jagung yang diperoleh hanya 3,363 ton/ha.
Tabel 59. Bobot pipilankering/tongkol dan bobot pipilan kering/ha (kadar
air biji 15%) pada berbagai mulsa organik
Bobot pipilan Bobot pipilan kering
Jenis perlakuan
kering/Tongkol (g) (t.ha-1)
Tanpa mulsa 78,69 b 3,363 b
Mulsa Centrosema 108,98 a 4,860 ab
Mulsa Mucuna 109,63 a 5,200 a
Mulsa Crotalaria 114,63 a 5,554 a
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penggunaan mulsa organik
nyata memperbaiki komponen pertumbuhan vegetatif tanaman jagung yang
diperlihatkan oleh tanaman yang lebih tinggi (Tabel 56).
Pengaruh baik dari penggunaan mulsa organik terhadap tinggi
tanaman adalah disebabkan adanya penutupan permukaan tanah oleh mulsa.
Penutupan permukaan tanah akan meningkatkan kadar air tanah
dibandingkan tanpa mulsa (Tabel 51).
Hasil pengamatan peubah kadar air tanah menunjukkan bahwa
penggunaan mulsa organik dapat mempertahankan kadar air tanah lebih
tinggi hingga 22% pada pengamatan 12 minggu setelah tanam jagung
dibanding tanpa penggunaan mulsa. Meningkatnya kadar air tanah dengan
132 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

penggunaan mulsa disebabkan karena dengan adanya mulsa, maka


permukaan tanah tertutup oleh daun dan batang ataupun serasahnya
sehingga penguapan air tanah dapat diperkecil. Dengan demikian kadar air
tanah dapat dipertahankan lebih lama dibanding tanpa mulsa.
Peningkatan kadar air tanah ini sangat berarti bagi pertanian lahan
kering mengingat masalah pokok dalam pengelolaan lahan kering sebagai
sumberdaya pertanian adalah keterbatasan air. Air merupakan bagian dari
protoplasma, bahan baku fotosintesis, pelarut unsur hara dan pengangkut
hasil fotosintesis dari daun (Gardner, et al., 1991), dengan tersedianya air
maka proses metabolisme dalam tubuh tanaman dapat berjalan lancar
sehingga pertumbuhan tanaman juga dapat berlangsung secara maksimal.
Meningkatnya cadangan air tanah maka reaksi-reaksi kimia dan aktivitas
tanaman akan semakin meningkat, mengingat air sebagai media pelarut unsur
hara yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Hal ini dapat dilihat dari data yang disajikan pada Tabel 53, 54 dan 55. yang
menunjukkan peningktan N-total tanah, KTK tanah dengan pemberian mulsa
organik.
Pengamatan terhadap komponen hasil dan hasil tanaman jagung
menunjukkan bahwa penggunaan mulsa organik dapat meningkatkan hasil
tanaman jagung hingga 65% (Tabel 59).
Pengaruh baik dari penggunaan mulsa organik terhadap peningkatan
hasil tanaman jagung berhubungan dengan kemampuan mulsa organik dalam
memperbaiki pertumbuhan tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Andrade et al., (1999) yang melaporkan bahwa pertumbuhan tanaman
merupakan penduga yang baik dalam menentukan hasil pipilan jagung.
Dengan kemampuan mulsa organik memperbaiki pertumbuhan vegetatif
tanaman (tinggi tanaman) maka akan memberikan kontribusi terhadap hasil
pipilan jagung yang merupakan akumulasi dari pertumbuhan tanaman.
Menurut Gardner, et al., (1991) investasi hasil assimilasi dalam pertumbuhan
tanaman selama periode vegetatif menentukan produktivitas pada tingkat
perkembangan berikutnya seperti jumlah biji. Hal ini terlihat dari penelitian
Mustaha (1999) yang menyimpulkan bahwa pemberian mulsa jerami pada
tanaman jagung dapat meningkatkan hasil pipilan kering jagung hingga
sebesar 42% dibanding tanpa pemberian mulsa
Gardner, et al., (1991) juga mengemukakan bahwa ketersediaan air
merupakan salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan tanaman.
Kekurangan air akan menurunkan pertumbuhan vegetatif dan hasil panen
dengan cara mengurangi pengembangan daun dan penurunan laju
Agroteknologi Lahan Kering 133

fotosintesis. Selanjutnya dikemukakan oleh Andrade et al., (2002) bahwa


produksi pipilan jagung berkorelasi secara linear dengan laju pertumbuhan
tanaman selama air dan hara cukup tersedia. Dengan demikian kemampuan
mulsa organik dalam memperbaiki ketersediaan air tanah merupakan faktor
yang sangat menentukan keberhasilan pertumbuhan yang pada akhirnya
menentukan hasil yang diperoleh.
Di samping komponen pertumbuhan vegetatif yang menentukan
besarnya hasil pipilan jagung yang diperoleh, tingginya hasil dengan
pemberian mulsa organik juga tidak terlepas dari semakin baiknya
perkembangan parameter komponen hasil tanaman jagung yang meliputi
panjang tongkol, diameter tongkol, bobot tongkol, bobot pipilan per tongkol
dan bobot 100 butir akibat pengggunaan mulsa organik yang merupakan
penentu langsung besarnya hasil jagung yang diperoleh.
Buah jagung terdiri atas tongkol dan biji. Biji-biji jagung tersusun
dalam barisan yang melekat secara lurus atau berkelok-kelok pada tongkol
jagung, sehingga dengan tongkol yang panjang dan diameter yang lebar
akan memungkinkan ruang peletakan biji lebih luas pula yang pada akhirnya
akan menghasilkan tongkol yang bobotnya lebih berat, demikian pula
dengan bobot pipilan per tongkol dan bobot 100 butir yang lebih berat akan
menghasilkan bobot pipilan jagung yang diperoleh akan lebih berat pula.
Walaupun terdapat perbedaan yang nyata antara mulsa Centrosema
dan Mucuna dengan mulsa Crotalaria dalam hal kemampuannya
mempertahankan kadar air tanah, tetapi tidak terdapat perbedaan yang nyata
terhadap komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil tanaman
jagung/ha diantara ketiga jenis mulsa organik yang digunakan. Hal ini
berarti ketiga mulsa organik yang digunakan mampu mempertahankan
kadar air tanah dalam kisaran yang dapat menunjang pertumbuhan dan
produksi tanaman yang optimal.
134 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.
Agroteknologi Lahan Kering 135

BAB XI
MIKORIZA DAN PERANANNYA DALAM
BUDIDAYA TANAMAN DI LAHAN KERING

Peningkatan produksi pangan di lahan kering merupakan suatu


keharusan untuk dilakukan dalam rangka mengimbangi pertambahan jumlah
penduduk yang semakin meningkat, namun demikian dalam pemanfaatan
lahan kering untuk usaha pertanian diperhadapkan pada banyak masalah,
diantaranya keterbatasan air dan rendahnya kesuburan tanah. Sementara air
dan hara merupakan faktor yang sangat menentukan pertumbuhan dan
produksi tanaman. Oleh karena itu dalam pemanfaatan lahan kering secara
optimal, maka kendala yang dihadapi ini harus diatasi.
Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala
yang dihadapi dalam pemfaatan lahan kering secara optimal adalah dengan
penggunaan mikoriza. Mikoriza adalah jamur yang hidup di dalam tanah dan
dapat berasosiasi dengan tumbuhan. Jika dibandingkan dengan tumbuhan
yang tidak memiliki mikoriza, akar tumbuhan yang memiliki mikoriza
ternyata lebih efisien karena penyerapan air dan hara dibantu jamur.
Benang-benang hifa jamur memiliki akses dan jangkauan lebih luas dalam
mengeksploitasi nutrisi pada suatu area (Smith and Read, 1997). Simbiosis
mutualisme yang berlangsung antara mikoriza dengan tanaman inang
dimana tanaman inang dapat menyediakan fotosintat untuk mikoriza sebagai
sumber energi, sedangkan mikoriza mensuplai mineral-mineral anorganik
yang berasal dari tanah untuk tanaman inang.
Mikoriza berpotensi besar sebagai pupuk hayati karena salah satu
sumber mikroorganisme. Mikroorganisme tersebut dapat memfasilitasi
penyerapan hara dalam tanah sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman. Akan tetapi adakalanya asosiasi mikoriza tidak selalu
menguntungkan tanaman inangnya tergantung pada faktor lingkungan (Paul
136 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

and Pang, 1980). Dengan demikian hanya beberapa atau tidak semua
mikoriza bermanfaat bagi tanaman inangnya, karena terdapat perbedaan
kemampuan spesies mikoriza dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman,
maka perlu dilakukan identifikasi mikoriza dari beberapa family tumbuhan
yang akan di jadikan sebagai sumber Mikoriza.
Mikoriza merupakan salah satu jenis pupuk organik yang
mempunyai kemampuan untuk menyerap unsur hara dalam bentuk terikat
dan tidak tersedia bagi tanaman, karena adanya hifa ekternal. Mikoriza
menginfeksi akar tanaman kemudian memperoduksi jalinan hifa secara
intensif sehingga tanaman yang bermikoriza akan mampu meningkatkan
kapasitasnya dalam penyerapan unsur hara (Smith and Read, 1997).
Mikoriza merupakan suatu bentuk simbiosis mutualistik antara jamur dan
akar tanaman (Brundrett, 1996).
Berdasarkan struktur dan cara jamur menginfeksi akar, mikoriza
dapat dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu:
i. Ektomikoriza: jamur yang menginfeksi tidak masuk ke dalam sel akar
tanaman dan hanya berkembang diantara dinding sel jaringan korteks.
Akar yang terinfeksi membesar dan bercabang.
ii. Endomikoriza: jamur yang menginfeksi masuk ke dalam jaringan sel
korteks dan akar yang terinfeksi tidak membesar.
Peranan penting mikoriza dalam pertumbuhan tanaman adalah
kemampuannya untuk menyerap unsur hara baik makro maupun mikro.
Selain itu akar yang mempunyai mikoriza dapat menyerap unsur hara dalam
bentuk terikat dan yang tidak tersedia bagi tanaman. Hifa eksternal pada
mikoriza dapat menyerap unsur fosfat dari dalam tanah, dan segera diubah
menjadi senyawa polifosfat.
Penelitian mengenai mikoriza telah banyak dilakukan, bahkan
usaha untuk memproduksinya telah mulai banyak dirintis. Hal ini
disebabkan oleh peranannya yang cukup membantu dalam meningkatkan
kualitas tanaman. Seperti yang disampaikan oleh Yusnaini (1998), bahwa
mikoriza dapat membantu meningkatkan produksi kedelai pada tanah ultisol
di Lampung. Bahkan pada penelitian lebih lanjut dilaporkan bahwa
penggunaan mikoriza ini dapat meningkatkan produksi jagung yang
mengalami kekeringan sesaat pada fase vegetatif dan generatif (Yusnaini et
al., 1999). Setiadi (2003), menyebutkan bahwa mikoriza juga sangat
berperan dalam meningkatkan toleransi tanaman terhadap kondisi lahan
kritis, yang berupa kekeringan dan banyak terdapatnya logam-logam berat.
Agroteknologi Lahan Kering 137

JENIS MIKORIZA
Mikoriza berasal dari kata Miko (Myces = cendawan) dan Riza
yang berarti akar tanaman. Nuhamara (2009) mengatakan bahwa mikoriza
adalah suatu struktur yang khas yang mencerminkan adanya interaksi
fungsional yang saling menguntungkan antara suatu tumbuhan tertentu
dengan satu atau lebih galur mikobion dalam ruang dan waktu. Asosiasi
simbiotik antara jamur dengan akar tanaman yang membentuk jalinan
interaksi yang kompleks dikenal dengan mikoriza yang secara harfiah berarti
“akar jamur” (Atmaja, 2001). Struktur yang terbentuk dari asosiasi ini
tersusun secara beraturan dan memperlihatkan spektrum yang sangat luas,
baik dalam hal tanaman inang, jenis cendawan maupun penyebaranya.
Mikoriza tersebar sampai ke daerah tropis dan dari daerah bergurun pasir
sampai ke hutan hujan yang melibatkan 80% jenis tumbuhan yang ada.
Berdasarkan struktur tubuh dan cara infeksi terhadap tanaman
inang, mikoriza dapat digolongkan menjadi menjadi tiga kelompok yaitu:
a. Ektomikoriza adalah assosiasi jamur yang menginfeksi tidak masuk
ke dalam sel akar tanaman dan hanya berkembang diantara dinding
sel jaringan korteks. Akar yang terinfeksi membesar dan bercabang
b. Endomikoriza adalah assosiasi jamur yang menginfeksi masuk ke
dalam jaringan sel korteks dan akar yang terinfeksi tidak membesar.
c. Ektendomikoriza adalah asosiasi jamur mikoriza yang jalinan
hifanya terbentuk di dalam dan di luar jaringan akar
Pola asosiasi antara cendawan dengan akar tanaman inang
menyebabkan terjadinya perbedaan morfologi akar antara ektomikoriza
dengan endomikoriza. Pada ektomikoriza, jaringan hifa cendawan tidak
sampai masuk kedalam sel tapi berkembang di antara sel kortek akar
membentuk "hartig net dan mantel dipermukaan akar. Sedangkan
endomikoriza, jaringan hifa cendawan masuk kedalam sel kortek akar dan
membentuk struktur yang khas berbentuk oval yang disebut vesicle dan
sistem percabangan hifa yang disebut arbuscule, sehingga endomikoriza
disebut juga fungi micorrhizae arbuscular (FMA).
Mikoriza merupakan suatu bentuk simbiosis mutualistik antara
jenis jamur tertentu dengan perakaran tanaman (Brundrett, 1996). Simbiosis
ini terdapat hampir pada semua jenis tanam. Kabirun (1994)
mengelompokkan jamur mikoriza ini dalam dua jenis, yaitu endomikoriza
dan ektonikoriza. Namun pada umumnya mikoriza lebih banyak
138 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

dikelompokkan menjadi tiga, yaitu dengan adanya penambahan kelompok


mikoriza yang merupakan bentuk peralihan dari kedua jenis tadi, yaitu
ektendomikoriza (Harley and Smith, 1983) .
Jamur ektomikoriza memasuki akar dan mengganggu sebagian
lamela tengah di antara sel korteks. Susunan hifa di sekeliling sel korteks ini
disebut jaring Hartig. Ektomikoriza biasanya juga menyusun jaringan hifa
dengan sangat rapat pada permukaan akar yang disebut selubung. Selubung
ini sering disebut dengan selubung Pseudoparenkim (Kabirun 1994).
Kebanyakan jamur yang membentuk mikoriza adalah Basidiomycetes
(famili Amanitaceae, Boletaceae, Cortinariaceae, Russulaceae,
Tricholomataceae, Rhizopogonaceae, dan Sclerodermataceae).
Beberapa ordo dari Ascomycetes, terutama Eurotiales, Tuberales, Pezizales,
dan Helotiales mempunyai spesies yang diduga membentuk ektomikoriza
dengan pohon.

1. Endomikoriza
Pada jenis endomikoriza, jaringan hifa cendawan masuk kedalam
sel kortek akar dan membentuk struktur yang khas berbentuk oval yang
disebut vesicle dan sistem percabangan hifa yang disebut arbuscule,
sehingga endomikoriza disebut juga Fungi Micorrhiza Arbuskula (FMA).
Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) adalah struktur system
perakaran yang terbentuk sebagai maniferstasi adanya simbiosis mutalistik
anatara cendawan (myces) dan perakaran (rhiza). Endomikoriza banyak
mendapat perhatian karena penyebarannya lebih luas dan dapat berasosiasi
dengan hampir 90% spesies tanaman tingkat tinggi, salah satunya adalah
fungi mikoriza arbuskula (Cruz et al., 2000).
Jamur endomikoriza masuk ke dalam sel korteks dari akar serabut
(feeder roots). Jamur in tidak membentuk selubung yang padat, namun
membentuk miselium yang tersusun longgar pada permukaan akar. Jamur
juga membentuk vesikula dan arbuskular yang besar di dalam sel korteks,
sehingga sering disebut dengan FMA (fungi mikoriza arbuscuar) atau
Vesicular-Arbuscular Miccorhizal, sebagai contoh jenis Globus dan
Acaulospora.
Menurut Bonfante dan Bianciotto (1995), fase kontak dan proses
infeksi FMA dengan akar tanaman dapat dijelaskan sebagai berikut:
Agroteknologi Lahan Kering 139

a. Pada keadaan tidak ada tanaman inang, hifa yang terbentuk dari spora
sebelum simbiosia (presimbiotik) berhenti tumbuh dan akhirnya mati.
b. Adanya akar tanaman inang, jamur melalui hifanya akan kontak dengan
tanaman inang dan mulai proses simbiotik. Fase kontak dimulai dengan
kejadian seperti pertentangan pertumbuhan jamur dengan akar tanaman,
pola percabangan akar baru, dan pada akhirnya terbentuk apresorium.
Apresorium merupakan struktur penting dalam siklus hidup FMA. Hal ini
diinterpretasikan sebagai kejadian kunci bagi pengenalan interaksi yang
berhasil dengan bakal calon tanaman inang.
Fase kontak akan diikuti dengan fase simbiotik. Sejak fase itu,
jamur menyempurnakan proses morfogenesis kompleks dengan
memproduksi hifa interseluler dan intraseluler, vesikula, dan arbuskula.
Aspek morfologi fase itu secara luas dapat dilacak dengan amenggunakan
kombinasi mikroskop sinar dan elektron.
Selanjutnya menurut Linderman (1988), hifa jamur mengisi kortek
akar, bercabang-cabang diantara sel-sel dan titik penetrasinya. Bentuk yang
khusus pada jamur adalah struktur seperti “haustorium (arbuskula atau
kumparan hifa) di dalam sel korteks, dipisahkan dari sitoplasma inang oleh
membran sel inang dan dinding sel jamur.
FMA bersimbiosis dengan akar tanaman dan merupakan cendawan
simbiotik obligat yang termasuk ke dalam kelas Zygomycetes dan ordo
Glomalaes. Glomales mencakup dua sub ordo yaitu Glomineae dan
Gigasporineae. Sub ordo Glomineae terdiri dari dua famili yaitu Glomaceae
dengan genus Glomus dan Sclerosystis, dan Acaulosporaceae dengan genus
Acaulospora dan Entrophospora. Sub ordo Gigasporineae terdiri atas satu
famili, yaitu Gigasporaceae dengan genus Gigaspora dan Scutellospora
(Smith dan Read, 1997). Cendawan itu bersimbiosis dengan tanaman yang
termasuk ke dalam divisio Angiospermae, Gymnoaspermae, Bryophyta dan
Pteridophyta.
Struktur utama fungi mikoriza arbuscular (FMA) adalah
Arbuskula, vesikula, hifa eksternal dan spora.

Arbuskula
Arbuskula adalah struktur hifa yang bercabang-cabang seperti
pohon-pohon kecil yang mirip haustorium (membentuk pola dikotom),
berfungsi sebagai tempat pertukaran nutrisi antara tanaman inang dengan
140 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

jamur. Struktur ini mulai terbentuk 2-3 hari setelah infeksi, diawali dengan
penetrasi cabang hifa lateral yang dibentuk oleh hifa ekstraseluler dan
intraseluler ke dalam dinding sel inang.
Arbuskula dengan cepat mengalami desintegrasi atau terjadi
lisis/pecah dan membebaskan P ke tanaman inang. Luas permukaan
arbuskula aktif secara metabolik per meter akar berkurang dengan waktu,
sedangkan hifa mempunyai area permukaan lebih besar sesudah 63 hari
setelah tanam (Smith dan Smith, 1995). Arbuskula menyediakan area
permukaan yang lebih luas untuk pertukaran metabolik. Arbuskula
merupakan struktur FMA yang bersifat labil di dalam akar tanaman. Sifat
kelabilan tersebut sangat tergantung pada metabolisme tanaman, bahan
makanan dan intensitas radiasi matahari (Mosse, 1981; Brundrett, 2003).
Pembentukan struktur tersebut dipengaruhi jenis tanaman, umur tanaman,
dan morfologi akar tanaman.

Vesikel
Vesikel merupakan suatu struktur berbentuk lonjong atau bulat,
mengandung cairan lemak, yang berfungsi sebagai organ penyimpanan
makanan atau berkembang menjadi klamidospora, yang berfungsi sebagai
organ reproduksi dan struktur tahan. Vesikel selain dibentuk secara
interseluler ada juga yang secar intraseluler. Pembentukan vesikel diawali
dengan adanya perkembangan sitoplasma hifa yang menjadi lebih padat,
multinukleat dan mengandung partikel lipid dan glikogen. Sitoplasma
menjadi semakin padat melalui proses kondensasi, dan organel semakin sulit
untuk dibedakan sejalan dengan akumulasi lipid selama maturasi (proses
pendewasaan).
Vesikel biasanya dibentuk lebih banyak di luar jaringan korteks
pada daerah infeksi yang sudah tua, dan terbentuk setelah pembentukan
arbuskula. Jika suplai metabolik dari tanaman inang berkurang, cadangan
makanan itu akan digunakan oleh cendawan sehingga vesikel mengalami
degenerasi. Pada ordo Glomales tidak semua genus memiliki vesikula.
Gigaspora dan Scutellospora adalah dua genus yang tidak membentuk
vesikula di dalam akar. Oleh karena itu, ada dua pendapat yaitu ada yang
menyebut cendawan mikoriza vesikula-arbuskula dan ada pla yang
menggunakan istilah FMA. Nama vesikula-arbuskula tampaknya berdasrkan
karakteristik struktur arbuskula yang terdapat di dalam sel-sel korteks dan
vesikula yang terdapat di dalam atau di antara sel-sel korteks akar tanaman
(Brundrett, 2003).
Agroteknologi Lahan Kering 141

Hifa Eksternal
Hifa eksternal merupakan struktur lain dari FMA yang berkembang
di luar akar. Hifa ini berfungsi menyerap hara dan air di dalam tanah.
Adanya hifa eksternal yang berasosiasi dengan tanaman akan berperan
penting dalam perluasan bidang adsorpsi akar sehingga memungkinkan akar
menyerap hara dan air dalam jangkauan yang lebih jauh (Mosse, 1981).
Distribusi hifa eksternal ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan abiotik dan
biotik seperti sifat kimia tanah, fisika tanah, kandungan bahan organik,
mikroflora dan mikrofauna tanah.

Spora
Spora merupakan propagul yang bertahan hidup dibandingkan
dengan hifa yang ada di dalam akar tanah. Spora terdapat pada ujung hifa
eksternal dan dapat hidup selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Perkecambahan spora bergantung pada lingkungan seperti pH, temperatur,
dan kelembaban tanah serta kadar bahan organik (Jolocoeur dkk, 1998).
FMA mempunyai peran biologis yang cukup penting khususnya bagi
tanaman yaitu:
a) meningkatkan penyerapan hara
b) sebagai pelindung hayati (bioprotektor)
c) meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan, dan
d) berperan sinergis dengan mikroorganisme lain.

Peran Fungi Micoriza Arbuscular (FMA) dalam Penyerapan Hara


Telah banyak dibuktikan bahwa FMA mampu memperbaiki
penyerapan hara dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Mikoriza itu
menginfeksi akar tanaman kemudian memperoduksi jalinan hifa secara
intensif sehingga tanaman yang bermikoriza akan mampu meningkatkan
kapasitasnya dalam penyerapan unsur hara. Unsur hara yang diserap
tanaman yang terinfeksi FMA terutama P, karena P diperlukan tanaman
dalam jumlah relatif banyak, tetapi ketersediaannya terutama pada tanah-
tanah masam menjadi terbatas sehingga seringkali menjadi salah satu faktor
pembatas dalam meningkatkan produktivitas tanaman. Selain unsur P unsurr
mikro seperti Cu, Zn, dan B dapat ditingkatkan penyerapannya pada
tanaman yang berasosiasi dengan mikoriza (Marschner, 1992). Selain itu
142 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

juga Quimet et al., (1996) mengungkapkan bahwa akar yang terinfeksi


mikoriza mampu menigkatkan penyerapan NH4+ dan NO3- serta Mg.
Ruiz – Lozano et al., (1995) menyatakan bahwa FMA dapat
meningkatan ketahanan tanaman pada kondisi kekurangan air melalui
peningkatakn penyerapan hara, transpirasi daun dan efisiensi penggunaan air
sehingag terjadi penurunan nisbah akar terhadap pucuk. Keadaan itu
menunjukkan bahwa fotosintesis tanaman menigkat dan fotosintat lebih
banyak digunakan untuk pertumbuhan pucuk. Kemampuan Fungi Mikoriza
Arbuscukar tersebut dapat dijadikan alat biologis untuk mengefisienkan
penggunaan pupuk anorganik.
Mikoriza sangat penting peranannya bagi tanaman terutama pada
tanah-tanah yang kandungan fosfornya rendah. Adanya perbaikan fosfor
yang tersedia di dalam tanah dan jenis tanamannya. Dalam membicarakan
mekanisme pengambilan unsur hara fosfor oleh tanaman bermikoriza ada
tiga komponen yang perlu di perhatikan yaitu tanah, tanaman, dan
cendawan. Terjadinya peningkatan penerapan fosfor pada tanaman yang
bermikoriza ini ditentukan oleh (1) spesies tanaman, keperluan tanaman
akan fosfor dan kemampuan tanaman untuk menggunakan fosfor tanah
dengan sebaik-baiknya, (2) kandungan fosfor dalam tanah, (3) infeksi
mikoriza yang bergantung pada tanaman dan adaptasi cendawan pada tanah
lingkungan, serta (4) efisiensi spesies cendawannya. Semua fosfor diambil
apakah melalui simbion ataukah langsung oleh akar tanaman semuanya
memang berasal dari akar tanah. Mikoriza menggunakan sumber fosfor
tanah yang sama seperti akar yang tidak bermikoriza. Namun mikoriza dapat
menyerap fosfor tanah lebih banyak dari akar yang tidak bermikoriza.

Peran FMA Sebagai Pelindung Hayati


Selain perbaikan nutrisi, telah banyak dilaporkan bahwa FMA juga
mampu meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan patogen tular
tanah dan juga dapat membantu pertumbuhana tanaman pada tanah yang
tercemar logam berat seperti lahan bekas tambang (bioremidiator)
(Linderman, 1988; Setiadi, 2000).
Tanaman yang berasosiasi dengan FMA akan mengalami
perubahan dalam morfologi dan fisiologi untuk menahan serangan patogen
akar. Menigkatnya ketahanan tumbuhan terhadap infeksi patogen dan parasit
akar disebabkan oleh kemampuan FMA memproduksi antibiotika guna
menghadang patogen tanah (Quimet et al., 1996). Lignifikasi dinding sel
Agroteknologi Lahan Kering 143

tanaman inang akan menghambat serangan patogen akar dan perubahan


secara fisiologis pada tanaman yang bermikoriza meningkatkan konsentrasi
P dan K serta hara lain sehingga akan menurunkan kepekaan tanaman
terhadap serangan hama dan penyakit. Pada tanaman yang bermikoriza,
mengandung isoflavonoid lebih tinggi sehingga tanaman lebih tanhan
terhadap serangan karena senyawa tersebut dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme patogen tanah.
Kontrol biologis terhadap penyakit tanaman mungkin sangat
dipengaruhi oleh FMA melalui satu atau lebih mekanisme antara lain :
a. meningkatkan hara tanaman
b. kompetisi pada fotosintat inang dan daerah infeksi
c. perubahan morfologi pada akar dan jaringan akar
d. perubahan pada unsur kimia dan jaringan tanaman
e. pengurangan stress abaiotik
f. perubahan mikroorganisme pada rizosfer.
Menurut Miller dan Jastrow (1990) kontribusi FMA tanaman
disamping perannya dalam pelapukan hara tanah juga berperan dalam siklus
biokimia melalui pertukaran rasio konsentrasi unsur hara antara tanah, FMA
dengan tanaman. FMA juga bertindak menurunkan mobilitas hara melalui
suplai hara lebih besar kepada tanaman inang. Di samping itu, FMA
menjaga stabilitas agregasi tanah pada penambahan bahan organik yang
cukup tinggi.
Mikoriza dari anggrek adalah endomikoriza, yaitu hifa simbion
yang menembus sel dan sangat erat asosiasinya dengan sitoplasma. Jamur
endomikoriza jelas mempunyai enzim yang dapat menghancurkan selulose
dinding sel. Hasil penelitian Krupa dan Fries (1971), menunjukkan bahwa
akar yang bermikoriza dapat memproduksi bahan atsiri yang bersifat
fungistatik yang jauh lebih banyak dibanding dengan akar yang tidak
bermikoriza. Bahan ini bila terdapat dalam jumlah cukup banyak dapat
membatsi perkembangan jamur ektomikoriza hingga keadaan simbiotik
terjadi. Dengan demikian bahan atsiri dan bukan atsiri dapat menahan
patogen dalam akar, dan juga dapat menahan patogen di dalam rhizosfer.
144 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Peran FMA dalam Meningkatkan Ketahanan Tanaman terhadap


Kekeringan
Peran FMA sebetulnya secara tidak langsung meningkatkan
ketahanan terhadap kadar air yang ekstrim. Cendawan mikoriza dapat
mempengaruhi kadar air tanaman inang (Morte et al., 2000). Ada beberapa
dugaan tanaman bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan, antara lain :
a) Adanya mikoriza menyebabkan resistensi akar terhadap gerakan air
menurun sehingga transpor air ke akar meningkat.
b) Peningkatan status P tanaman sehingga daya tahan tanaman
terhadap kekeringan meningkat. Tanaman yang mengalami kahat P
cenderung peka terhadap kekeringan.
c) Pertumbuhan yang lebih baik serta ditunjang adanya hifa eksternal
cendawan yang dapat menjangkau air jauh ke dalam tanah, sehingga
tanaman dapat bertahan pada kondisi lingkungan yang tidak
menguntungkan (Auge, 2001).
d) Peengaruh tidak langsung karena adanya hifa eksternal yang
menyebabkan FMA efektif dalam mengagregasi butir tanah
sehingga kemmpuan tanah menyimpan air meningkat.

Peran Sinergis FMA dengan Mikroorganisme Lain


Interaksi antara FMA dengan rhizobia pada legume telah diketahui
bersifat sinergistik. Interaksi itu tampak jelas pada lahan-lahan dengan kadar
P rendah. Keberadaan FMA pada tanaman leguminosa sangat diperlukan
karena pembentukan bintil akar dan efektivitas fiksais N oleh bakteri yang
terdapat di bintil akar dapat ditingkatkan (Setiadi, 2000). Selain dengan
Rhizobium, keberadaan FMA juga bersifat sinergisitik dengan mikroba
potensial lainnya
seperti bakteri fiksasi N bebas dan pelarut fosfat (Zhu et al., 2003).

2. Ektomikoriza
Pada ektomikoriza, jaringan hifa cendawan tidak sampai masuk
kedalam sel tapi berkembang diantara sel kortek akar membentuk "hartig net
dan mantel dipermukaan akar.
Agroteknologi Lahan Kering 145

Penghalang Mekanis Yang Dibentuk Oleh Selubung Cendawan


Ektomikoriza
Marx dan Davey (1972), menyimpulkan bahwa selubung dari
ektomikoriza adalah penghalang fisik terhadap penembusan P. cinnamomi,
karena pada pengamatan histologis dari berbagai ektomikoriza pada Pinus
yang dibentuk berbagai simbion jamur yang telah diinokulasi dengan
zoospora atau miselium, ektomikoriza yang telah masak dan mempunyai
selubung yang lengkap tidak terserang oleh P. cinnamomi, sedang yang
tidak bermikoriza terserang 100%.
Kenyataan lain menunjukkan bahwa pada meristem akar tanaman
yang bersimbiosis dengan tanaman namun selubung yang terbentuk belum
matang terbentuk akan mudah terserang patogen ini. Sebaliknya, serangan
tidak tampak dalam jaringan yang ujung akarnya telah tertutup seluruhnya
oleh selubung ektomikoriza. Jaring Hartig yang mengelilingi sel korteks
dapat berfungsi sebagai penghalang fisik tambahan. Pada jaringan meristem
yang tidak terlindungi oleh mikoriza maupun dari infeksi melalui ujung akar
yang dipotong dengan sengaja, menunjukkan bahwa penyebaran P.
cinnamomi akan tertahan.
Penahan kimiawi yang diproduksikan oleh inang. Simbiosis antara
Rhizoctonia repens dengan berbagai anggrek diketahui menghasilkan bahan
anti jamur sebagai responnya, antara lain: orchinol, coumarin, hircinol, dan
suatu bahan seperti fenol sebagai respon terhadap spesies lain dari
Rhizoctonia dan jamur pembentuk ektomikoriza dan patogen lainnya.
Orchinol tidak dijumpai pada anggrek yang tidak terinfeksi. Produksi dari
berbagai bahan penghambat ini dipandang sebagai cara anggrek
mempertahankan diri, yang menyebabkan simbion dalam keadaan seimbang,
karena tanpa cara pertahanan diri ini mungkin simbion akan menyebabkan
penyakit anggrek. Akibat dari pembentukkan bahan penghambat ini, yang
terjadi pada seluruh bagian umbi, adalah bahwa bahan tersebut melindungi
jaringan dari infeksi jasad penyebab penyakit.

Perlindungan oleh Populasi Jasad Renik dalam Rhizosfer


Rhizosfer merupakan pertahanan luar dari tanaman terhadap serangan
patogen akar. Populasi jasad renik dalam bagian tanah ini biasanya lebih
banyak dibandingkan dengan tanah di luar rhizosfer. Rhizosfer dari
ektomikoriza sebenarnya adalah “rizosfer ektomikoriza”, karena selubung
berhubungan langsung dengan rhizosfer. Perbedaan mikroflora dari
146 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

rhizosfer diduga karena adanya simbion jamur ini. Setiap habitat mikro
mengandung flora mikro yang khas. Pengaruh mikoriza tertentu pada flora
dalam rhizosfer dapat menentukan apakah infeksi oleh patogen dapat
berlangsung dan kemungkinan beberapa macam ektomikoriza dapat
membentuk penghalang rhizosfer lebih baik dari pada yang lain. Perbedaan
antara populasi jasad renik dalam rhizosfer ini tentu menyebabkan adanya
perbedaan kompetisi jasad renik di dekat akar.

Interaksi Dari Nematoda Parasitik Dan Patogen Cendawan Pada


Ektomikoriza
Banyak nematode yang parasitik pada tanaman terdapat dalam
tanah hutan dan pesemaian. Namatoda parasitik pada akar biasanya terbatas
pada akar serabut, yaitu yang biasanya terinfeksi oleh jamur ektomikoriza.
Beberapa nematoda ternyata telah dilaporkan dapat secara langsung
memakan hifa mikoriza. Namun dijumpai satu spesies, Rhizopogon
roseolus, ternyata memproduksi toksin yang mematikan nematoda. A.
avenae juga mencegah pembentukan ektomikoriza S. granulatus pada Pinus
resinosa. Oleh karena nematoda tidak memasuki akar serabut maka
nematoda secara langsung menekan mikoriza sebelum terjadi simbiosis
dengan akar tanaman.
Tanaman yang mempunyai mikoriza cenderung lebih tahan
terhadap kekeringan dibandingkan dengan tanaman yang tidak mempunyai
mikoriza. Rusaknya jaringan kortek akibat kekeringan dan matinya akar
tidak permanen pengaruhnya pada akar yang bermikoriza. Setelah periode
kekurangan air, akar yang bermikoriza akan cepat kembali normal. Hal ini
disebabkan karena hifa jamur mampu menyerap air yang ada pada pori –
pori tanah saat akar tanaman tidak mampu lagi menyerap air. Penyerapan
hifa yang sangat luas di dalam tanah menyebabkan jumlah air yang diambil
akan meningkat.
Akar tanaman yang terbungkus oleh mikoriza akan menyebabkan
akar tersebut terhindar dari serangan hama dan penyakit. Infeksi patogen
akar akan terhambat, disamping itu mikoriza akan menggunakan semua
kelebihan karbohidrat dan eksudat akar lainnya, sehingga tercipta
lingkungan yang tidak cocok bagi pertumbuhan patogen. Dipihak lain, jamur
mikoriza ada yang dapat melepaskan antibiotik yang dapat mematikan
patogen. Mikoriza dapat mengurangi perkembangan penyakit busuk akar
yang disebabkan oleh Phytopthora cinamomi dan dapat juga menekan
serangan nematoda bengkak akar (Marx, 1972). Beberapa hasil penelitian
Agroteknologi Lahan Kering 147

juga menunjukkan bahwa jamur mikoriza dapat menghasilkan hormon


seperti sitokinin, giberalin dan vitamin.
Penelitian mengenai mikoriza telah mulai banyak dilakukan,
bahkan usaha untuk memproduksinya telah mulai banyak dirintis. Hal ini
disebabkan oleh peranannya yang cukup membantu dalam meningkatkan
kualitas tanaman. Seperti yang disampaikan oleh Yusnaini (1998), bahwa
FMA dapat membantu meningkatkan produksi kedelai pada tanah ultisol di
Lampung. Bahkan pada penelitian lebih lanjut dilaporkan bahwa
penggunaan FMA ini dapat meningkatkan produksi jagung yang mengalami
kekeringan sesaat pada fasee vegetatif dan generatif (Yusnaini et al., 1999).
Setiadi (2003), menyebutkan bahwa mikoriza juga sangat berperan dalam
meningkatkan toleransi tanaman terhadap kondisi lahan kritis, yang berupa
kekeringan dan banyak terdapatnya logam-logam berat.
Namun demikian masih terdapat beberapa kendala yang perlu
dihadapi dalam upaya pemanfaatan mikoriza ini dalam skala besar masih
sulit.

Peran Mikoriza Terhadap Pertumbuhan Tanaman


Peranan FMA dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi
tanaman telah banyak dilaporkan dan dari hasil penelitian belakangan ini
banyak laporan yang memuat aplikasi dan usaha produksi inokulan FMA
yang diusahakan secara komersil. Dela Cruz (1988) mengemukakan bahwa
beberapa manfaat dari aplikasi mikoriza yaitu: menambah daya serap N, K,
Ca dan beberapa unsur mikro, meningkatkan ketahanan tanaman terhadap
kekeringan, mengendalikan infeksi akar dan patogen, memproduksi senyawa
pertumbuhan, merangsang aktivitas beberapa organisme yang
mengutungkan seperti Rhizobium, membantu memperbaiki struktur dan
agregasi tanah serta peredaran unsur hara mineral.
Sejumlah zat yang dikeluarkan oleh myselia jamur-jamur
menyebabkan bengkakan akar pendek. Untuk mempertahankan keadaan
fisiologis yang khusus ini, jamur harus dapat menyediakan aliran auxin yang
berkesinambungan kepada akar-akar keil yang yang terinfeksi dan dosisnya
harus tepat sehingga terbentuk struktur morfologi yang khas. Adanya
konsentrasi N yang tinggi dapat menyebabkan terhentinya simbiosis.
148 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Hasil penelitian Subaedah et al., (2010) tentang pengaruh aplikasi


mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman jarak pagar diperoleh hasil sebagai
berikut:

Tinggi Tanaman
Hasil analisis data menunjukkan pemberian mikoriza menghasilkan
tanaman yang lebih tinggi yaitu 52,81 cm dibandingkan perlakuan tanpa
mikoriza yang hanya menghasilkan tanaman dengan tinggi 48,07 cm (Tabel
60). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sunarti (2004)
yang menunjukkan bahwa inokulasi jamur mikoriza pada bibit kelapa sawit
menghasilkan berat basah bibit yang lebih berat dibandingkan tanpa aplikasi
mikoriza. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Subaedah (2007a
dan 2007b) menyimpulkan bahwa aplikasi mikoriza 7,5 g/tanaman dapat
meningkatkan ketersediaan fosfat bagi tanaman dan menghasilkan bibit
yang pertumbuhannya nyata lebih baik dibandingkan tanpa aplikasi
mikoriza.
Tabel 60. Pengaruh aplikasi mikoriza terhadap tinggi tanaman jarak pagar
pada umur satu bulan setelah tanam
Perlakuan Tinggi Tanaman (cm)
Tanpa Mikoriza 48,07 b
Dengan Mikoriza 52,81 a
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama berbeda nyata
pada uji BNT 0,05

Jumlah Tunas
Jumlah tunas yang terbentuk setelah 2 bulan penanaman dari hasil
analisis data menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara pemberian
mikoriza dan pemangkasan. Tabel 61 memperlihatkan bahwa perlakuan
pemangkasan yang disertai dengan pemberian mikoriza menghasilkan
jumlah tunas yang nyata lebih banyak yaitu sebesar 2,56 dibandingkan
dengan pemangkasan tanpa aplikasi mikoriza dengan jumlah tunas yang
dicapai hanya 1,89.
Agroteknologi Lahan Kering 149

Tabel 61. Pengaruh aplikasi mikoriza terhadap jumlah tunas tanaman jarak
pagar yang terbentuk 2 bulan setelah pemangkasan

Perlakuan Pemangkasan
Aplikasi Mikoriza Tanpa Dengan
Pemangkasan Pemangkasan
Tanpa Mikoriza 0,00 a 1,89 b
Dengan Mikoriza 0,00 a 2,56 a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom
yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT taraf
0,05

Jumlah Tandan Buah


Pengamatan jumlah tandan buah menunjukkan bahwa terdapat
interaksi antara perlakuan mikoriza dengan perlakuan pemangkasan. Tabel
62 menunjukkan bahwa interaksi antara pemangkasan tanaman jarak pagar
dengan pemberian mikoriza diperoleh jumlah tandan buah yang lebih
banyak yaitu 4,11 buah dan berbeda nyata dengan perlakuan tanpa
pemangkasan dan tanpa pemberian mikoriza.
Tabel 62. Interaksi antara perlakuan mikoriza dan pemangkasan terhadap
jumlah tandan buah

Perlakuan Perlakuan Mikoriza


Pemangkasan Tanpa Mikoriza Dengan Mikoriza
Tanpa Pemangkasan 2,33 b 1,00 b
Dengan Pemangkasan 2,11 b 4,11 a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata berdasarkan uji BNT taraf 0,05

Jumlah Buah per Tandan


Pengamatan terhadap jumlah buah jarak pagar per tandan
menunjukkan aplikasi mikoriza menunjukkan diperoleh jumlah buah per
tandan yang nyata lebih banyak yaitu 5,33 buah dibandingkan dengan tanpa
mikoriza yang hanya menghasilkan 4,11 buah per tandan (Tabel 63).
150 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Tabel 63. Pengaruh aplikasi mikoriza terhadap jumlah buah per tandan
Perlakuan Jumlah Buah/tandan
Tanpa Mikoriza 4,11 b
Dengan Mikoriza 5,33 a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda nyata
pada uji BNT 0,05

Analisis Serapan Hara P


Analisis serapan hara P oleh tanaman jarak pagar disajikan pada
Gambar 26 yang menunjukkan bahwa analisis serapan hara P meningkat
dengan pemberian mikoriza. Peningkatan kadar P diperlihatkan dengan
meningkatnya kadar P dalam jaringan tanaman jarak pagar antara 0,31-
0,33% dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian mikoriza yang
hanya mengandung 0,26-0,28%, atau dengan kata lain terjadi peningkatan
serapan hara P pada tanaman yang diberi mikoriza sebesar 10,71-26,92%
dibandingkan dengan perlakuan tanpa mikoriza.

Gambar 26. Serapan Hara P oleh tanaman Jarak Pagar dengan aplikasi
mikoriza dan tanpa mikoriza
Keterangan : TM : tanpa mikoriza, M : dengan mikoriza
Agroteknologi Lahan Kering 151

Parameter produksi yang diamati juga memperlihatkan adanya


pengaruh yang signifikan dari aplikasi mikoriza yang diperlihatkan oleh
jumlah tandan buah, jumlah buah per tandan yang lebih banyak, demikian
pula produksi buah per tanaman nyata lebih berat dibandingkan dengan
tanpa aplikasi mikoriza. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian yang
diperoleh Hodiyah (2008) yang melaporkan bahwa produksi jagung
dipengaruhi oleh inokulasi mikoriza, begitupula dengan hasil penelitian
Sastrahidayat (1997) pada beberapa tanaman dan menyimpulkan bahwa
pemberian mikoriza berpengaruh positif terhadap produksi beberapa
tanaman.
Pengaruh baik dari aplikasi mikoriza terhadap pertumbuhan dan
produksi tanaman juga didukung oleh Mosse (1981) yang mengemukakan
bahwa keberhasilan tanaman yang bermikoriza tumbuh lebih baik dari pada
tanaman tanpa mikoriza adalah berkaitan dengan serapan unsure hara yang
lebih baik. Selanjutnya menurut Manjunath dan Habte (1988), miselium
jamur mikoriza yang berada di rhizozpher mampu meningkatkan
pengambilan fosfor dari tanah dengan cara memperluas permukaan yang
bersinggungan dengan tanah. Hal ini dapat dilihat pada parameter kadar P
dalam jaringan tanaman (Gambar 20) yang menunjukkan bahwa aplikasi
mikoriza meningkatkan kadar P dalam jaringan tanaman. Peningkatan
penyerapan P pada tanaman yang berasosiasi dengan mikoriza dapat
disebabkan oleh hifa eksternal yang berkembang di dalam tanah. Kabirun
(1994) menjelaskan bahwa jangkauan akar tanaman yang berasosiasi dengan
hifa eksternal tersebut dapat meningkatkan penyerapan hara sampai 300 kali
lebih luas dibandingkan dengan tanaman yang tidak berasosiasi dengan
mikoriza.
Mikoriza merupakan suatu bentuk hubungan simbiosis mutualisme
antar cendawan dengan akar tanaman. Baik cendawan maupun tanaman
sama-sama memperoleh keuntungan dari asosiasi ini, antara lain berupa
pengambilan unsur hara dan adaptasi tanaman yang lebih baik. Hifa
cendawan mampu menyerap fospat yang ada pada pori-pori tanah saat akar
tanaman tidak mampu lagi menyerap air. Penyebab utama adalah mikoriza
secara efektif dapat meningkatkan penyerapan unsur hara terutama unsur
hara P karena hifa dari mikoriza. Fospor yang telah diserap oleh hifa
eksternal akan segara diubah menjadi senyawa polifospat di dalam hifa
internal dan akan dipecah menjadi posfat organik.
152 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.
Agroteknologi Lahan Kering 153

BAB XII
PENGELOLAAN AIR DALAM BUDIDAYA
TANAMAN DI LAHAN KERING

Air merupakan salah satu kebutuhan penting dalam keberlanjutan


pertanian, karena air merupakan bahan yang menjadi mata rantai yang kuat
pada proses fotosintesis dan transpirasi. Air merupakan salah satu faktor
yang membatasi produksi tanaman. Ketersediaan air di suatu wilayah
merupakan faktor penentu pengembangan kawasan pertanian. Oleh karena
itu untuk memperoleh produksi yang berkelanjutan diperlukan pengelolaan
air agar tersedia dalam jumlah yang cukup untuk pertumbuhan tanaman,
namun kelebihan air tidak dikehendaki karena akan menyebabkan terjadinya
degradasi lahan, akibat perkolasi atau run off.
Menurut Gardner, et al, (1991) fungsi air bagi tanaman dalam fese
pertumbuhan dan perkembangannya adalah sebagai berikut:
a. Merupakan bahan penyusun utama dari pada protoplasma.
b. Merupakan reagen dalam tubuh tanaman, yaitu pada proses fotosintesis.
c. Air merupakan pelarut substansi (bahan-bahan) pada berbagai hal dalam
reaksi-reaksi kimia
d. Air meningkatkan aktifitas fisiologi tanaman
e. Air digunakan untuk memelihara tekanan turgor. Sebagai pendorong
proses respirasi, sehingga penyediaan energi meningkat dan energi ini
digunakan untuk pertumbuhan.
f. Secara tidak langsung dapat memelihara suhu tanaman.
Kekurangan air akan menyebabkan tanaman menjadi kerdil,
perkembangannya menjadi abnormal. Kekurangan yang terjadi terus
menerus selama periode pertumbuhan akan menyebabkan tanaman tersebut
menderita dan kemudian mati. Sedang tanda-tanda pertama yang terlihat
ialah layunya daun-daun. Peristiwa kelayuan ini disebabkan karena
154 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

penyerapan air tidak dapat mengimbangi kecepatan penguapan air dari


tanaman. Jika proses tranpirasi ini cukup besar dan penyerapan air tidak
dapat mengimbanginya, maka tanaman tersebut akan mengalmi kelayuan
sementara (transcient wilting), sedang tanaman akan mengalami kelayuan
tetap, apabila keadaan air dalam tanah telah mencapai permanent wilting
percentage. Tanaman dalam keadaan ini sudah sulit untuk disembuhkan
karena sebagaian besar sel-selnya telah mengalami plasmolisia.
Kelangkaan air (water scarcity) sangat menghambat proses
produksi pertanian khususnya di lahan kering beriklim kering. Hujan
merupakan sumber air utama tanaman di sebagian besar wilayah Indonesia.
Sekitar 1% dari 183 juta ha lahan di Indonesia mempunyai curah hujan
tahunan >1.000 mm (Tabel 1). Di daerah arid dan semi arid, curah hujan
yang >1.000 mm mampu mendukung pertanian dengan diterapkannya
teknologi hemat air. Curah hujan sebesar 1.000 mm tahun-1 bila
dimanfaatkan secara efisien akan dapat menunjang proses produksi untuk
dua musim tanam tanaman semusim dengan asumsi bahwa kebutuhan air
secara umum untuk tanaman semusim lahan kering adalah 120 mm bulan -1
(Oldeman et al., 1980).
Kebutuhan air suatu tanaman menurut Tadjang (1990) adalah
jumlah air yang diperlukan untuk memenuhi kehilangan air melalui
evapotranspirasi (ET-tanaman) tanaman yang sehat, tumbuh pada sebidang
lahan yang luas dengan kondisi tanah yang tidak mempunyai kendala
(kendala lengas tanah dan kesuburan tanah) dan mencapai potensi produksi
penuh pada kondisi lingkungan tumbuh tertentu.
Besarnya evapotrasnpirasi-tanaman dipengaruhi oleh beberapa
faktor, seperti:
a. Pengaruh iklim terhadap kebutuhan air tanaman diberikan oleh ETo
(evapotranspirasi tanaman referensi), yaitu “laju evapotranspirasi dari
permukaan berumput luas setinggi 8-15 cm, rumput hijau yang tingginya
seragam, tumbuh aktif, secara lengkap menaungi permukaan tanah dan
tidak kekurangan air”. Empat metode yang dapat digunakan adalah
Blaney-Criddle, Radiasi, Penman dan Evaporasi Panci, dimodifikasi
untuk menghitung ETo dengan menggunakan data iklim harian selama
periode 10 atau 30 hari.
b. Pengaruh karakteristik tanaman terhadap kebutuhan air tanaman
diberikan oleh koefisien tanaman (kc) yang menyatakan hubungan antara
ETo dan ET tanaman (ETtanaman= kc . ETo). Nilai-nilai kc beragam
Agroteknologi Lahan Kering 155

dengan jenis tanaman, fase pertumbuhan tanaman, musim pertumbuhan,


dan kondisi cuaca yang ada.
c. Pengaruh kondisi lokal dan praktek pertanian terhadap kebutuhan air
tanaman, termasuk variasi lokal cuaca, tinggi tempat, ukuran petak lahan,
adveksi angin, ketersediaan lengas lahan, salinitas, metode irigasi dan
kultivasi tanaman.
Dalam sistem pertanian, sumber air selain berasal dari hujan, juga
dari irigasi. Input utama dalam sistem pertanian lahan kering adalah berasal
air hujan. Air hujan yang digunakan dalam sistem pertanian, sebagian akan
berkurang karena evaporasi, transpirasi, run-off, interflow dan sebagian
tersimpan dalam bentuk air tanah dan menjadi bagian penting dalam
pengelolaan lahan. Pertanian lahan kering diperhadapkan pada masalah
ketersedian air yang terbatas, yang akan menghambat pertumbuhan
tanaman. Oleh karena itu dalam pemanfaatan lahan kering diperlukan
teknologi pengeloalan air.
Konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air yang jatuh
ke tanah seefisien mungkin dan pengaturan waktu aliran yang tepat,
sehingga tidak terjadi banjir yang merusak pada musim hujan dan terdapat
cukup air pada musim kemarau.
Konservasi air dapat dilakukan melalui:
1. meningkatkan pemanfaatan dua komponen hidrologi, yaitu air
permukaan, dan air tanah
2. meningkatkan efisiensi pemakaian air irigasi (Arsyad, 1989).
Pengelolaan air permukaan (surface water management) meliputi:
a) pengendalian aliran permukaan;
b) pemanenan air (water harvesting);
c) meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah;
d) pengolahan tanah;
e) penggunaan bahan pembenah tanah
f) melapisi saluran air.
Pengelolaa air bawah permukaan tanah (sub-surface water
management) dapat dilakukan dengan jalan :
a) perbaikan drainase;
b) pengendalian perkolasi (deep percolation) dan aliran bawah
permukaan (sub-surface flow
156 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

c) perubahan struktur tanah lapisan bawah. Perbaikan drainase akan


meningkatkan efisiensi pemakaian air oleh tanaman, karena hilangnya
air yang berlebih (excess water) akan memungkinkan akar tanaman
berkembang lebih luas ke lapisan tanah yang lebih dalam daripada
hanya terbatas di lapisan atas yang dangkal yang akan cepat kering
jika permukaan air tanah menurun.
Teknologi konservasi air dirancang untuk meningkatkan masuknya
air ke dalam tanah melalui infiltrasi dan pengisian kantong-kantong air di
daerah cekungan serta mengurangi kehilangan air melalui evaporasi. Untuk
mencapai kedua hal tersebut upaya-upaya konservasi air yang dapat
diterapkan adalah teknik pemanenan air (water harvesting), dan teknologi
pengelolaan kelengasan tanah.
Penerapan teknologi panen air dimaksudkan untuk mengurangi
volume air aliran permukaan dan meningkatkan cadangan air tanah serta
ketersediaan air bagi tanaman. Dengan demikian pengelolaan lahan kering
tidak semata-mata tergantung kepada air hujan, melainkan dapat
dioptimalkan melalui pemanfaatan sumber air permukaan (surface water)
maupun air tanah (groundwater).
Efisiensi penggunaan air (EPA) dinyatakan dalam banyaknya hasil
yang di dapat per satuan air yang digunakan, yang dapat dinyatakan dalam
kilogram bahan keing per meter kubik air. Efisiensi penggunaan air irigasi
dapat ditingkatkan dengan jalan :
a) mengurangi banyaknya air yang diberikan;
b) mengurangi kebocoran-kebocoran saluran irigasi;
c) meningkatkan produktivitas;
d) pergiliran pemberian air;
e) pemberian air secara terputus.
Konservasi air merupakan tindakan yang diperlukan untuk
melestarikan sumber daya air. Namun dalam konteks pemanfaatan, Agus et
al, (2002) mengemukakan bahwa penggunaan air hujan yang jatuh ke
permukaan tanah secara efisien merupakan tindakan konservasi. Strategi
konservasi air diarahkan untuk mengupayakan peningkatan cadangan air
pada zona perakaran tanaman melalui pengendalian aliran permukaan
(runoff) yang biasanya merusak dengan cara pemanenan aliran permukaan,
peningkatan infiltrasi dan mengurangi evaporasi. Agus et al. (2002)
mengemukakan bahwa ada dua pendekatan yang dapat ditempuh untuk
mengefisienkan penggunaan air, yaitu (a) melalui pemilihan tanaman yang
Agroteknologi Lahan Kering 157

sesuai dengan keadaan iklim dan (b) melalui teknik konservasi air seperti
penggunaan mulsa, gulud dan teknik tanpa olah tanah.
Aliran permukaan merupakan komponen penting dalam
hubungannya dengan konservasi air (Troeh et al., 1991; Arsyad, 2000). Oleh
sebab itu tindakan-tindakan yang berhubungan dengan pengendalian dan
pengelolaan aliran permukaan dapat diformulasikan dalam strategi
konservasi air. Aspek penting yang perlu diperhatikan adalah sebanyak
mungkin air hujan meresap ke dalam tanah untuk ditahan sebanyak-
banyaknya di daerah-daerah cekungan atau lembah, sehingga dapat
digunakan sebagai sumber air untuk pengairan di musim kemarau maupun
pada periode pendek saat dibutuhkan oleh tanaman pada musim hujan.
Konservasi air juga dapat dilakukan dengan mengurangi penguapan air
melalui evaporasi dengan meningkatkan penutupan permukaan tanah dengan
mulsa (Suwardjo, 1981; Abdurachman dan Sutono, 2002) dan teknologi ini
sudah sangat populer di kalangan petani.
Pemanenan air (water harvesting) adalah tindakan menampung air
hujan dan aliran permukaan untuk disalurkan ke tempat penampungan
sementara dan atau tetap (permanen) yang sewaktu-waktu dapat digunakan
untuk mengairi tanaman yang diusahakan pada saat diperlukan. Teknologi
panen air selain berfungsi menyediakan sumber air irigasi pada musim
kemarau dapat pula berfungsi mengurangi banjir pada musim hujan.
Panen air hujan dan aliran permukaan ditujukan untuk :
(1) menurunkan volume aliran permukaan dan meningkatkan cadangan
air tanah;
(2) meningkatkan ketersediaan air tanaman terutama pada musim
kemarau;
(3) mengurangi kecepatan aliran permukaan sehingga daya kikis dan daya
angkutnya menurun (Agus et al., 2002).
Teknologi pemanenan air sangat bermanfaat untuk lahan yang
tidak memiliki jaringan irigasi atau sumber air bawah permukaan tanah
(groundwater). Selain dapat dimanfaatkan untuk pengairan, air yang
tertampung dapat juga digunakan untuk pemeliharaan ikan, keperluan rumah
tangga, dan minum ternak terutama pada musim kemarau.
Teknologi pemanenan air sangat diperlukan pada kawasan dengan
karakteristik sebagai berikut: (a) kawasan beriklim kering dan semikering
(>4 bulan kering berturut-turut sepanjang tahun) atau 3-4 bulan tanpa hujan
158 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

sama sekali; (b) kawasan dimana produksi tanaman pangan terbatas karena
rendahnya ketersediaan air di dalam tanah; (c) semua lahan berlereng
(bergelombang sampai berbukit) dengan kondisi fisik tanah yang buruk,
sehingga tidak dapat menyimpan/menahan air dalam waktu yang lama; dan
(d) daerah beriklim basah yang mempunyai periode kritis (stres air). Secara
umum, tindakan konservasi tanah yang dapat menurunkan limpasan air
permukaan seperti penterasan (Haryati et al., 1992; Haryati et al., 1995;
Rachman et al., 1989) atau sistem budidaya lorong (alley cropping) pada
lahan miring dapat memperbesar infiltrasi, sehingga meningkatkan daya
simpan air tanah.
Agus et al., (1998) mengemukkan bahwa penerapan teknologi
pemanenan air dapat memberikan beberapa keuntungan, antara lain:
a. meningkatkan ketersediaan air bagi manusia, tanaman dan ternak;
b. meningkatkan intensitas tanam, produksi, pendapatan petani, dan
produktivitas tenaga kerja petani;
c. mengurangi dan mencegah bahaya banjir dan sedimentasi;
d. menampung hasil sedimentasi yang dapat dikembalikan ke lahan usaha
tani

Teknologi Pengelolaan Kelengasan tanah


Pengelolaan air pada lahan kering dapat dilakukan melalui
pengelolaan kelengasan tanah. Upaya untuk mengelola kelengasan tanah
dengan jalan meningkatkan kemampuan tanah menahan air atau dengan
jalan mengurangi penguapan air dari tanah.

Pengelolaan bahan organik


Usaha tani di lahan kering berlereng biasanya dilakukan cukup
intensif, sehingga perlu dibarengi dengan upaya pengendalian degradasi
lahan melalui penerapan teknik konservasi air (dan tanah) serta pengelolaan
bahan organik. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas
tanah, sehingga mampu mendukung keberlanjutan usaha tani di lahan
kering.
Bahan organik dalam tanah dapat meningkatkan kemampuan tanah
menahan air melalui pengikatan molekul-molekul air lewat gugus-gugus
fungsionalnya dan pengisian pori-pori mikro tanah akibat agregasi yang
Agroteknologi Lahan Kering 159

lebih baik (Stevenson, 1982). Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh
Subaedah, et al., (2005) bahwa peningkatan bahan organik tanah juga akan
meningkatkan kemampuan tanah menahan air, yang diperlihatkan oleh
meningkatnya kadar air tanah. Bahan organik di dalam tanah berfungsi
sebagai perekat dalam pembentukan dan pemantapan agregat tanah,
sehingga agregat tanah tidak mudah hancur karena pukulan butir air hujan.
Agregat tanah yang hancur menjadi butiran tunggal dapat menyumbat pori-
pori tanah, sehingga kapasitas infiltrasi tanah menurun dan tanah peka
terhadap erosi. Penyumbatan
pori tanah yang berakibat pada pengurangan total pori juga akan berdampak
pada kapasitas tanah menahan air. Bahan organik dapat berasal dari pupuk
kandang, sisa tanaman, hasil pangkasan tanaman pagar dari suatu sistem
pertanaman lorong, hasil pangkasan tanaman penutup tanah atau
didatangkan dari luar lahan pertanian.
Kemampuan tanah menahan air dapat bervariasi antara satu tempat
dengan tempat lainnya, yang salah satunya disebabkan oleh kandungan
bahan organik yang berbeda. Demikian juga pemberian bahan organik ke
dalam tanah untuk peningkatan kemampuan menahan air sangat ditentukan
oleh takaran dan macam bahan organik yang diaplikasikan.
Bahan organik di dalam tanah berfungsi sebagai perekat
(cementing agent) dalam pembentukan dan pemantapan agregat tanah,
sehingga agregat tanah tidak mudah hancur karena pukulan butir air hujan.
Agregat tanah yang hancur menjadi butiran tunggal dapat menyumbat pori-
pori tanah, sehingga kapasitas infiltrasi tanah menurun dan tanah peka
terhadap erosi. Penyumbatan pori tanah yang berakibat pada pengurangan
total pori juga akan berdampak pada kapasitas tanah menahan air. Bahan
organik dapat berasal dari pupuk kandang, sisa tanaman, hasil pangkasan
tanaman pagar dari suatu sistem pertanaman lorong, hasil pangkasan
tanaman penutup tanah atau didatangkan dari luar lahan pertanian.

Penggunaan Mulsa
Prinsip penggunaan mulsa adalah menutup permukaan tanah
dengan material tertentu seperti bahan organik (jerami padi, brangkasan
jagung, pangkasan tanaman dan lain-lain) atau bahan sintesis seperti plastik
yang bertujunan untuk mengurangi kehilangan air melalui penguapan
(evaporasi), sehingga kadar air tanah dapat dipertahankan lebih lama.
160 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Teknologi Irigasi
Irigasi merupakan usaha pemberian air pada tanaman untuk
memenuhi kebutuhan air bagi pertumbuhannya. Teknologi irigasi yang
dapat diterapkan oleh petani adalah teknologi sederhana yang mudah untuk
diaplikasikan serta efisien dalam penggunaan air. Kartiwa dan Daria (2012)
mengemukkan teknologi irigasi yang dapat diterapkan di lahan kering
adalah sebagai berikut:

Teknologi irigasi parit


Teknologi irigasi parit merupakan salah satu teknik irigasi lahan
kering untuk tanaman palawija seperti jagung, kedelai, kacang tanah atau
sayuran. Teknik ini menggunakan air lebih efisien karena irigasi hanya
disalurkan pada parit yang persis berada disamping barisan tanaman.

Teknologi Irigasi Tetes


Teknologi irigasi tetes merupakan teknologi irigasi yang bertujuan
memanfaatkan ketersediaan air yang sangat terbatas secara efisien dan
meningkatkan nilai pendayagunaan air. Teknologi ini sangat cocok
diterapkan pada lahan kering iklim kering dengan topografi relatif landai.
Prinsip pendistribusian air pada sistem irigasi tetes adalah dengan
menyalurkan air dari tangki penampungan yang ditempatkan pada posis
yang lebih tinggi dari lahan usahatani melalui selang irigasi.

Teknologi Irigasi Curah Bergerak


Irigasi curah bergerak merupakan irigasi tipe curah yang tidak
permanen sehingga dapat dipindahkan secara cepat. Irigasi tipe ini dapat
mendistribusikan air dengan debit yang cukup tinggi dan dengan jangkauan
cukup jauh. Teknik irigasi ini cocok untuk pertanaman jagung atau untuk
perkebunan tebu.
Agroteknologi Lahan Kering 161

BAB XIII
PENGOLAHAN TANAH
DAN KEBERLANJUTAN PERTANIAN
DI LAHAN KERING

Pengolahan tanah adalah setiap manipulasi mekanik terhadap tanah


yang diperlukan untuk menciptakan keadaan tanah yang baik bagi
pertumbuhan tanaman. Pengolahan tanah merupakan cara yang diakui paling
praktis untuk memodifikasi sifat fisik tanah agar pertumbuhan tanaman
optimum (Glinski dan Lipiec, 1990).
Tujuan pokok pengolahan tanah adalah menyiapkan tempat
pesemaian, menciptakan daerah perakaran yang baik, membenamkan sisa-
sisa tanaman, dan memberantas gulma (Arsyad, 1976). Selanjutnya
ditambahkan bahwa peranan pengolahan tanah dalam pengawetan tanah
dapat berpengaruh positif atau negatif karena dengan pengolahan tanah,
tanah menjadi gembur dan lebih cepat menyerap air sehingga mengurangi
aliran permukaan, tetapi pengaruh ini adalah sementara karena tanah yang
diolah terus menerus sehingga menjadi gembur lebih mudah tererosi.
Pada budidaya tanaman jagung pengolahan tanah untuk
mendapatkan keadaan tanah yang gembur sudah lazim dilakukan. Pada
umumnya tanah diolah beberapa kali, biasanya dengan membajak atau
mencangkul diikuti penggaruan atau meratakan beberapa waktu kemudian.
Cara pengolahan tanah yang demikian disebut sebagai pengolahan tanah
konvensional. Akan tetapi dalam beberapa dekade belakangan ini dalam
budidaya tanaman jagung timbul pemikiran untuk mengurangi intensitas
pengolahan tanah bahkan kalau mungkin meniadakannya. Pengurangan
intensitas pengolahan tanah tersebut lazim disebut sebagai sistim olah tanah
konservasi yang bertujuan untuk menghindarkan kerusakan tanah.
162 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Menurut Sinukaban (1989) sistim olah tanah konservasi adalah


setiap cara pengolahan tanah yang bertujuan untuk mengurangi besarnya
erosi dan aliran permukaan dan kalau mungkin dapat mempertahankan atau
meningkatkan produksi. Teknologi konservasi telah diadopsi dalam praktek
pertanian di Indonesia, seperti pengolahan tanah minimum, tanpa olah tanah
(Zero-tillage), penanaman menurut kontur, penggunaan sisa tanaman
sebagai mulsa, strip cropping, pembuatan teras individu, teras bangku dan
lain-lain (Sinukaban, 1999). Teknologi konservasi dengan penggunaan sisa-
sisa tanaman yang cukup banyak menutupi hampir seluruh permukaan
tanah, dan penanaman tanpa olah tanah akan merupakan teknik konservasi
tanah yang paling efektif menekan erosi sepanjang tahun dengan produksi
tanaman utama yang cukup tinggi. Sebaliknya penanaman tanpa olah tanah
tanpa disertai sisa tanaman sebagai mulsa tidak direkomendasi-kan sebagi
teknik konservasi tanah (Sinukaban, 1989). Selanjutnya dikemukakan oleh
Smart dan Bradford (1999) bahwa sistim olah tanah konservasi memberikan
keuntungan ekonomi lebih besar dibandingkan dengan sistem olah tanah
konvensional.
Donahue et al., (1983) mengemukakan bahwa pengurangan
intensitas pengolahan tanah melalui pengolahan tanah minimum dan
mengolah tanah sekitar baris yang akan ditanami merupakan alternatif untuk
mengurangi kehilangan air tanah melalui evaporasi. Pengurangan evaporasi
ini berarti akan mempertahankan kadar air tanah yang ada, dan hal ini sangat
besar manfaatnya dalam pengelolaan lahan kering mengingat masalah utama
dalam pengelolaan lahan kering adalah terbatasnya ketersediaan air bagi
pertumbuhan tanaman.
Berbagai percobaan tentang pengolahan tanah telah dilakukan oleh
banyak peneliti. Waddell dan Weil (1996) melaporkan bahwa sistim olah
tanah konservasi menurunkan run-off dan meningkatkan infiltrasi serta pori
makro dibanding dengan olah tanah konvensional. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Moyo (1998) menunjukkan bahwa pengolahan tanah secara
konvensional me-ningkatkan run-off dan kehilangan tanah yang nyata lebih
tinggi dari pengolahan tanah konservasi (penggunaan sisa tanaman). Dari
percobaan ini juga dilaporkan bahwa produksi jagung dengan penggunaan
sisa tanaman sebagai mulsa lebih tinggi dibanding olah tanah konvensional
walaupun tidak berbeda nyata. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wibawa
et al., (1999) dilaporkan bahwa olah tanah minimum memberikan
pertumbuhan dan produksi jagung yang lebih tinggi (1797 kg.ha -1)
dibanding dengan sistim olah tanah konvensional (1208 kg.ha-1).
Agroteknologi Lahan Kering 163

Penelitian yang dilakukan oleh Norwood (1999) dari tahun 1991


hingga 1995 tentang penggunaan air dan hasil beberapa tanaman (jagung,
sorghum, bunga matahari dan kedelai) di lahan kering sebagai akibat
pengolahan tanah menunjukkan bahwa rata-rata kandungan air tanah pada
saat tanam dan panen lebih tinggi pada perlakuan tanpa olah tanah dibanding
dengan olah tanah konvensional yang menyebabkan penggunaan air lebih
banyak dan ini berdampak positip pada peningkatan hasil, dan pada tanaman
jagung diperoleh peningkatan hasil sampai 25%.
Penggunaan tanaman penutup tanah juga merupakan salah satu
teknik olah tanah konservasi karena tanaman penutup tanah dapat berfungsi
menahan daya perusak butir-butir hujan yang jatuh dan aliran air di atas
permukaan tanah, menambah bahan organik tanah, menyerap dan menahan
air hujan yang jatuh. Hal ini menyebabkan berkurangnya kekuatan dispersi
air hujan dan mengurangi jumlah serta kecepatan aliran permukaan,
sehingga mengurangi erosi dan memperbaiki struktur tanah (Arsyad, 1976).
Penelitian yang dilakukan oleh Rainbault et al., (1990) yang
bertujuan untuk melihat respon tanaman jagung dengan perlakuan tanaman
penutup tanah dan sistim pengolahan tanah menunjukkan bahwa tanaman
jagung sangat respon terhadap pengolahan tanah dan dari hasil penelitian ini
juga dilaporkan bahwa penggunaan tanaman penutup tanah dapat
mengurangi pengaruh buruk dari perlakuan tanpa olah tanah. Hal ini
disebabkan tanaman penutup tanah dapat menciptakan kondisi tanah yang
sesuai dengan tujuan pengolahan tanah.
Frye (1984) mengemukakan bahwa Departemen Pertanian AS
menaksir sekitar 65 % produksi tanaman penting termasuk jagung ditanam
dengan tanpa olah tanah pada tahun 2000 dan dari 35 juta ha lahan yang
ditanami tanaman jagung 50% diantaranya menggunakan tanaman penutup
tanah dengan sistem tanpa olah tanah.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Drury et al., (1999) yang
meng-kombinasikan antara tanaman penutup tanah dan sistim olah tanah
memperoleh hasil yang menunjukkan bahwa perlakuan tanpa olah tanah
dapat menurunkan temperatur tanah 1 – 2oC dan meningkatkan kadar air
tanah 2 – 5%. Dari penelitian ini juga dilaporkan bahwa pada perlakuan
tanpa olah tanah dan tanpa tanaman penutup tanah menyebabkan
pemunculan kecambah tanaman jagung lebih lambat 3 – 4 hari yang pada
akhirnya mengurangi kecambah yang tumbuh sebesar 24% dan hasil jagung
menurun 13% dibanding olah tanah konvensioanal, tetapi pada perlakuan
tanpa olah tanah disertai dengan tanaman penutup tanah meningkatkan
164 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

pemunculan kecambah dan hasil jagung yang lebih tinggi walaupun tidak
berbeda nyata dengan olah tanah konvensional.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Frye et al., (1981) dalam Frye
(1984) yang mencoba mengkombinasikan sistem olah tanah dan pemupukan
N pada empat lokasi yang berbeda di Kentucky mendapatkan hasil bahwa
sistim tanam tanpa olah tanah dapat meningkatkan efisiensi penggunaan
pupuk N. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi jagung lebih besar
pada sistim olah tanah konvensional dibanding perlakuan tanpa olah tanah
jika tidak disertai dengan pemupukan N, namun dengan meningkatnya dosis
pupuk N, maka hasil jagung lebih tinggi dengan perlakuan tanpa olah tanah
dibanding dengan olah konvensional.
Penelitian pengaruh pengolahan tanah dan pemupukan nitrogen
juga dilaporkan oleh Utomo, Suprapto, dan Sunyoto (1989), yang
menunjukkan bahwa pengambilan N oleh tanaman jagung (umur 8 minggu)
yang ditanam tanpa olah tanah lebih tinggi dibanding olah tanah
konvensional. Dari penelitian ini juga dilaporkan bahwa hasil jagung yang
diperoleh pada tanpa olah tanah dan tanpa pemupukan N lebih rendah dari
pengolahan konvensional, akan tetapi pada perlakuan tanpa olah tanah
disertai dengan pemupukan 200 kg N/ha hasil jagung mencapai 5740 kg
sedangkan olah tanah konvensional dengan dosis yang sama hanya
menghasilkan 4479 kg.ha-1. Hal ini berarti bahwa ada pengaruh interaksi
antara efisiensi pemupukan nitrogen dengan sistim olah tanah.
Pengaruh pengolahan tanah dalam waktu yang panjang pada
tanaman gandum juga telah diteliti oleh Camara, Payne dan Rasmussem
(2003) dan mengemukakan bahwa pengurangan pengolahan tanah (olah
tanah konservasi) disatu pihak dapat meningkatkan hasil tanaman gandum
sebesar 20 % yang disebabkan oleh konservasi air tanah, mengurangi
evaporasi dan menurunkan suhu tanah serta meningkatkan infiltrasi tetapi
dipihak lain olah tanah konservasi menurunkan hasil yang disebabkan oleh
terhambatnya perkecambahan dan pertumbuhan kecambah karena kondisi
media perkecambahan yang tidak mendukung.
Penelitian yang dilakukan oleh Subaedah (2004) tentang pengaruh
pengolahan tanah, penggunaan bahan organik serta pemupukan nitrogen
terhadap perbaikan sifat tanah di lahan kering dengan hasil yang diperoleh
diuraikan berikut ini.
Agroteknologi Lahan Kering 165

Pengaruh Pengolahan Tanah, Pemberian Bahan Organik terhadap


Kadar Air Tanah
Kadar air tanah dapat dipertahankan tetap tinggi dengan olah tanah
minimum. Hal ini dapat dilihat dari data yang disajikan pada Tabel 64 yang
nampak meningkatkan kadar air tanah walaupun tidak berlaku untuk semua
periode pengamatan. Kadar air tanah meningkat 10% (35,50%) untuk
periode pengamatan 4 minggu setelah tanam, meningkat 9% (32,21%) untuk
periode pengamatan 6 minggu setelah tanam, meningkat 25% (26,25%)
untuk periode pengamatan 8 minggu setelah tanam, meningkat 1,3 dan 27 %
(27,26 dan 25,19%) untuk periode pengamatan 10 minggu setelah tanam
jika dibandingkan dengan olah tanah konvensional dengan kadar air tanah
untuk periode pengamatan 4, 6, 8 dan 10 minggu setelah tanam masing-
masing sebesar 35,50%; 29,52%; 20,96%; 26,35 dan 19,80%.
Tabel 64. Pengaruh pengolahan tanah terhadap kadar air tanah
Kadar Air Tanah (%)
Jenis perlakuan
4 mst 6 mst 8 mst 10 mst 12 mst
OT Minimum 35,50 a 32,21a 26,25 a 25,19 a 22,69 tn
OT Konvensional 32,36 b 29,52b 20,96 b 19,80 b 22,35
Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom
yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- mst: minggu setelah tanam
- tn : tidak berbeda nyata berdasarkan analisis ragam

Pengaruh Pengolahan Tanah, Pemberian Bahan Organik terhadap


Suhu Tanah
Hasil pengamatan suhu tanah menunjukkan bahwa pengolahan
tanah minimum menurunkan suhu tanah dibandingkan dengan suhu tanah
yang diperoleh pada olah tanah konvensional, dengan suhu terendah adalah
27,44 oC diperoleh pada periode pengamatan 4 mst, diikuti oleh suhu tanah
yang diperoleh pada periode pengamatan 8 mst yaitu 27,78 oC dan 27,80oC
untuk periode pengamatan 10 mst dan berbeda nyata dengan olah tanah
konvensional yang menghasilkan suhu tanah masing-masing 28,48 dan
28,78 oC (Tabel 65).
166 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Tabel 65. Pengaruh pengolahan tanah terhadap suhu tanah

Suhu Tanah oC
Perlakuan Periode Pengamatan
4 mst 6 mst 8 mst 10 mst
OT Minimum 27,44 a 28,04 tn 27,78 a 27,80 a
OT Konvensional 28,19 b 28,35 28,48 b 28,78 b

Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom
yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- mst: minggu setelah tanam
- tn : tidak nyata berdasarkan analisis ragam
Tabel 66. Pengaruh interaksi pengolahan tanah dan pemberian nitrogen
terhadap suhu tanah
Suhu tanah (oC)
Perlakuan
MT 2001/2002 MT 2002/2003
OT.Min x 0 kg N 28,89 tn 28,15 b
OT.Min x 45 kg N 28,58 28,62 ab
OT.Min x 90 kg N 28,74 28,61 ab
OT.Min x 135 kg N 28,80 28,30 b
OT.Konv x 0 kg N 29,00 29,30 a
OT.Konv x 45 kg N 28,81 28,29 b
OT.Konv x 90 kg N 28,78 28,66 ab
OT.Konv x 135 kg N 29,34 29,67 a

Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom
yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- tn : tidak berbeda nyata berdasarkan analisis ragam

Pengaruh Pengolahan Tanah, Pemberian Bahan Organik terhadap


Bobot Isi Tanah
Bobot isi tanah akhir percobaan dipengaruhi oleh perlakuan olah
tanah minimum untuk kedua MT yang digunakan (MT 2001/2002 dan
2002/2003) diperoleh bobot isi tanah yang lebih ringan masing-masing 7%
(1,38 g.cc-1) dan 6% (1,36 g.cc-1) dibanding olah tanah konvensional (1,49
g.cc-1 dan 1,45 g.cc-1). (Tabel 67)
Agroteknologi Lahan Kering 167

Tabel 67. Pengaruh pengolahan tanah terhadap bobot isi tanah pada akhir
percobaan
Bobot isi tanah (g.cc-1)
Perlakuan
MT 2001/2002 MT 2002/2003
OT Minimum 1,38 a 1,36 a
OT Konvensional 1,49 b 1,45 b
Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada
kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji
BNT 0,05.

Pengaruh Pengolahan Tanah, Pemberian Bahan Organik terhadap


Kadar N Total Tanah
Analisis kadar N total menunjukkan bahwa pengolahan tanah
mempengaruhi kadar N total tanah. Pada Tabel 68, kadar N total tanah
periode pengamatan 2 bulan setelah tanam untuk musim tanam 2001/2002
dan MT 2002/2003 yang masing-masing lebih tinggi 9% (N total tanah
0,24%) dan 9,5% (N total tanah 0,23%) dibandingkan dengan olah tanah
konvensional yang masing-masing mengandung N total tanah 0,22% dan
0,21%. Untuk periode pengamatan 3 bulan setelah tanam masing-masing
diperoleh kadar N total tanah yang meningkat 17% (N total tanah 0,21%)
dan 11% (N total tanah 0,21%) dan berbeda nyata dibandingkan dengan olah
tanah konvensional (N total tanah 0,18% dan 0,19%).
Tabel 68. Pengaruh pengolahan tanah terhadap kadar N total tanah pada
berbagai periode pengamatan
Kadar N total tanah (%)
1 bst 2 bst 3 bst
Perlakuan MT MT MT MT MT MT
2001/2002 2002/2003 2001/2002 2002/2003 2001/2002 2002/2003

OT
Minimum 0,33 tn 0,34 tn 0,24 a 0,23 a 0,21 a 0,21 a
OT
Konvensional 0,32 0,31 0,22 b 0,21 b 0,18 b 0,19 b
- angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
Keterangan :
sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
-bst : bulan setelah tanam
- MT: musim tanam
- tn : tidak berbeda nyata berdasarkan analisis ragam
Pengaruh Pengolahan Tanah, Pemberian Bahan Organik terhadap pH
Tanah
168 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Interaksi antara pengolahan tanah dan pemberian nitrogen serta


pemberian bahan organik menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kadar
pH tanah akhir percobaan MT 2001/2002 dan MT 2002/2003.
pH tanah untuk MT 2001/2002 tertinggi (6,27) diperoleh pada
interaksi antara pemberian bahan organik Centrosema pubescens dengan
pengolahan tanah konvensional dan pemberian nitrogen sebanyak 135 kg ha -
1
, diikuti oleh bahan organik yang sama dan olah tanah yang sama dengan
pemberian nitrogen sebanyak 90 kg ha-1 dengan pH tanah yang diperoleh
6,17. Pada MT 2002/2003 terlihat bahwa interaksi antara bahan organik
Centrosema pubescens dengan olah tanah konvensional serta pemberian
nitrogen sebanyak 45 kg ha-1 diperoleh pH tanah tertinggi yaitu 6,40 diikuti
oleh penggunaan bahan organik yang sama dan olah tanah yang sama
dengan tanpa pemberian nitrogen dengan pH tanah yang diperoleh 6,27
(Tabel 69).
Agroteknologi Lahan Kering 169

Tabel 69. Interaksi pengolahan tanah dan pemberian nitrogen serta


pemberian bahan organik terhadap pH tanah pada akhir
percobaan
pH Tanah
Jenis perlakuan Pemberian bahan organik
Tanpa BO BO Cp BO Ca BO Mp
MT 2001/2002
OT.Min x 0 kg N 5,50 cd 5,47 cd 5,50 cd 5,50 cd
OT.Min x 45 kg N 5,87 a 5,63 cd 5,67 cd 5,67 cd
OT.Min x 90 kg N 5,53 cd 5,97 ab 5,53 cd 5,53 cd
OT.Min x 135 kg N 5,57 cd 5,80 b 5,73 bc 5,73 bc
OT.Konv x 0 kg N 5,30 d 5,83 ab 5,47 cd 5,47 cd
OT.Konv x 45 kg N 5,67 cd 5,97 ab 5,68 cd 5,68 cd
OT.Konv x 90 kg N 5,87 abc 6,17 a 5,90 ab 5,90 ab
OT.Konv x 135 kg N 5,87 abc 6,27 a 5,93 ab 5,87 ab
MT 2002/2003
OT.Min x 0 kg N 5,60 cd 5,43 d 5,23 d 5,40 d
OT.Min x 45 kg N 6,13 ab 5,63 cd 5,60 cd 5,80 bc
OT.Min x 90 kg N 5,70 bc 5,97 ab 5,70 bc 5,83 abc
OT.Min x 135 kg N 5,53 cd 5,73 bc 5,33 d 5,67 cd
OT.Konv x 0 kg N 5,50 cd 6,27 ab 5,63 cd 6,07 abc
OT.Konv x 45 kg N 6,07 ab 6,40 a 5,90 abc 6,01 abc
OT.Konv x 90 kg N 5,83 ab 5,50 cd 6,20 ab 5,73 bc
OT.Konv x 135 kg N 5,83 ab 5,70 bc 5,45 d 6,33 a
Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada MT yang sama
tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05

Pengaruh Pengolahan Tanah, Pemberian Nitrogen dan Bahan Organik


terhadap Kadar Bakteri Total Tanah
Hasil pengamatan populasi bakteri total tanah akhir percobaan
menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara penggunaan bahan organik
dengan pengolahan tanah. Pada Tabel 70 menunjukkan bahwa interaksi
antara pemberian bahan organik Mucuna pruriens dan olah tanah minimum
meningkatkan populasi bakteri total setinggi 72% (4,05.10 5.g-1), kemudian
diikuti oleh interaksi antara bahan organik Crotalaria anagyroides dan olah
tanah minimum meningkatkan populasi bakteri total sebanyak 68%
(3,96.105.g-1), dibandingkan dengan interaksi antara tanpa bahan organik dan
olah tanah minimum (2,36.105.g-1) akan tetapi pengaruh ini hanya nampak
pada musim tanam 2002/2003.
170 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Tabel 70. Pengaruh pengolahan tanah, interaksi antara pada interaksi antara
pemberian bahan organik dengan pengolahan tanah terhadap
bakteri total tanah
Total bakteri (105.g-1)
Jenis perlakuan
MT 2001/2002 MT 2002/2003
Pengolahan tanah
OT Minimum 3,31a 3,53 a
OT Konvensional 2,82 b 3,00 b
Bahan organik x Olah tanah
Tanpa BO x OT.Min 2,32 tn 2,36 b
Tanpa BO x OT.Konv 2,12 2,14 b
BO Cp x OT. Min 3,75 3,74 a
BO Cp x OT. Konv 2,20 2,21 b
BO Ca x OT. Min 3,95 3,96 a
BO Ca x OT. Konv 3,68 3,76 a
BO Mp x OT. Min 3,22 4,05 a
BO Mp x OT.Konv 3,27 3,92 a

Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom/jenis
perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- BO : bahan organik, BO Cp : bahan organik Centrosema,
BOMp : bahan organik Mucuna, BO Ca: bahan organik
Crotalaria
Interaksi antara pemberian bahan organik Mucuna pruriens dan
olah tanah minimum pada Tabel 70 menunjukkan peningkatkan populasi
bakteri total setinggi 72% (4,05.105.g-1), kemudian diikuti oleh interaksi
antara bahan organik Crotalaria anagyroides dan olah tanah minimum
meningkatkan populasi bakteri total sebanyak 68% (3,96.105.g-1),
dibandingkan dengan interaksi antara tanpa bahan organik dan olah tanah
minimum (2,36.105.g-1) akan tetapi pengaruh ini hanya nampak pada MT
tahun kedua.
Perlakuan olah tanah minimum dibandingkan dengan olah tanah
konvensional (Tabel 64) mampu meningkatkan kadar air tanah dari 10%
(dari 32,36% menjadi 35,50% periode 4 mst) sampai 27% (dari 19,80%
menjadi 25,19% untuk periode 10 mst). Olah tanah minimum merupakan
salah satu metode mekanik dalam konservasi tanah dan air. Olah tanah
minimum dalam konservasi tanah dan air dimaksudkan untuk
memperlambat aliran permukaan, menampung dan menyalurkan aliran
permukaan dengan kekuatan yang telah menurun, memperbaiki atau
memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah dan memperbaiki aerasi tanah
Agroteknologi Lahan Kering 171

sehingga dapat meningkatkan penyediaan air tanah (Utomo, 1994).


Selanjutnya Arsyad (1989) mengemukakan bahwa pengolahan tanah dapat
berpengaruh positif dan negatif. Pengolahan tanah mengakibatkan tanah
menjadi gembur dan lebih cepat menyerap air hujan akan tetapi pengaruh ini
bersifat sementara karena tanah yang selalu diolah akan lebih mudah
tererosi. Sebaliknya pengolahan tanah minimum merupakan cara konservasi
air yang efektif disebabkan tidak hanya oleh berkurangnya pemadatan tanah
oleh mesin/alat pengolah tanah, akan tetapi juga oleh permukaan tanah yang
kasar yang dapat menahan sejumlah air pada permukaan tanah yang tidak
diolah tersebut. Menurut Sinukaban (1990) keefektifan olah tanah minimum
dalam konservasi tanah dan air berkaitan dengan persentase penutupan tanah
yang tertutup dan kekasaran permukaan tanah.
Hasil pengamatan suhu tanah juga terlihat bahwa pemberian bahan
organik diperoleh suhu tanah yang lebih rendah (27,45oC-27,93oC dan
27,73oC-28,05oC) dibanding tanpa bahan organik (28,63oC dan 28,82oC),
demikian juga olah tanah minimum diperoleh suhu tanah yang lebih rendah
(27,44oC-27,80oC) dibandingkan dengan olah tanah konvensional dengan
suhu tanah yang diperoleh 28,19oC dan 28,78oC (Tabel 65 dan 66). Pada
sistim olah tanah minimum pengembalian residu tanaman yang dihamparkan
di atas permukaan tanah sebagai mulsa akan menghalangi kontak langsung
antara sinar matahari dengan permukaan tanah, sehingga suhu tanah yang
diperoleh lebih rendah. Sementara tingginya suhu tanah pada olah tanah
konvensional dapat dikaitkan dengan cara pengolahan tanah yang dilakukan.
Pada sistem olah tanah konvensional lahan dibersihkan dari sisa tanaman
kemudian dibajak dan digaru. Pengolahan tanah tersebut dimaksudkan untuk
mempersiapkan media tumbuh yang baik bagi pertumbuhan tanaman
meskipun tidak selalu menguntungkan. Adanya pengolahan tanah
menyebabkan bidang penguapan menjadi lebih besar dan kemungkinan pipa
kapiler ikut rusak atau terputus. Kondisi seperti ini menyebabkan evaporasi
menjadi lebih besar, di pihak lain sumbangan air dari air kapiler menjadi
terhambat. Kesemuanya ini menyebabkan volume tanah cepat kering dan
bersamaan dengan hal tersebut suhu tanah juga meningkat.
Pengaruh pengolahan tanah terhadap kadar N total tanah
menunjukkan bahwa kadar N total tanah meningkat 9 hingga 17% dengan
pengolahan tanah minimum (dari 0,18% menjadi 0,21% dan 0,24%),
demikian juga pemberian nitrogen sebanyak 45 kg N/ha dapat meningkatkan
kadar N total tanah sekitar 10 hingga 11% dibandingkan dengan tanpa
pemberian N (Tabel 68). Hal ini disebabkan pada sistim olah tanah
172 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

minimum pengolahan tanah hanya dilakukan pada barisan tanaman jagung


yang akan ditanami sedang residu tanaman sebelumnya baik itu dari
tanaman penutup tanah ataupun dari tanaman jagung dihamparkan di atas
permukaan tanah yang akan meningkatkan kadar N total tanah dari hasil
dekomposisi residu tanaman khusunya legum penutup tanah. Di samping itu
adanya residu tanaman yang dihamparkan akan mematahkan kekuatan
butir–butir hujan yang sampai kepermukaan tanah sehingga dapat
mengurangi kehilangan hara tanah melalui aliran permukaan atau oleh
pencucian. Pencucian melalui profil tanah dapat terjadi kalau presipitasi
melebihi evapotranspirasi potensial. Jumlah dan frekuensi pencucian
ditentukan oleh jumlah, tipe dan distribusi curah hujan musiman (Samosir,
2000).
Implementasi praktek-praktek konservasi tanah (olah tanah
minimum) telah mengurangi kehilangan N total tanah dan P dalam aliran
permukaan dengan menambah penutupan tanah (Samosir, 2000). Olah tanah
minimum pada tanaman jagung di Missipi mampu mengurangi kehilangan N
total lima kali dan P sembilan kali dibandingkan pengolahan tanah secara
konvensional (Mc Dowell and Mc Gregor, 1984). Pengaruh baik dari olah
tanah minimum juga dapat dikaitkan dengan tingginya kadar air tanah yang
dapat dipertahankan dengan olah tanah minimum. Dengan meningkatnya
kadar air tanah proses dekomposisi bahan organik juga meningkat. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian Thonnissen et al., (2000) pada tanaman
sayuran yang menunjukkan bahwa dekomposisi legum penutup tanah dan
pelepasan nitrogen nyata lebih tinggi pada musim hujan dibanding musim
kemarau.
Pengaruh olah tanah minimum disertai pemberian bahan organik
dalam perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah berkaitan dengan
pengurangan frekuensi dan intensitas pengolahan tanah. Dalam teknik olah
tanah konservasi (termasuk olah tanah minimum) pengembalian residu
tanaman sebelumnya tetap dipertahankan di atas permukaan tanah yang akan
menambah kadar bahan organik tanah. Peningkatan bahan organik juga
berarti meningkatkan kapasitas tukar kation tanah di lapisan atas sehingga
akan memperbesar proporsi kation-kation, seperti kalium yang dipegang
tanah dalam bentuk dapat dipertukarkan sehingga tersedia bagi tanaman.
Bahan organik juga melepaskan fosfor yang terfiksasi oleh Al dan Fe
maupun yang dijerap oleh Ca sehingga fosfor tersedia bagi tanaman
(Buckman and Brady, 1980; Griffin, Honeycutt and He, 2003).
Agroteknologi Lahan Kering 173

Pengaruh Pengolahan Tanah, Pemupukan N dan Pemberian Bahan


Organik terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Pangan di
Lahan Kering
Untuk melihat bagaimana pengaruh pengolahan tanah yang
dikombinasikan dengan pemberian nitrogen dan pemberian bahan organik
terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman tanaman jagung di lahan
kering telah dilakukan penelitian pada musim tanam tahun 2001/2002 dan
musim tanam 2002/2003 di lahan kering Kabupaten Jeneponto (Subaedah,
2004) dengan hasil penelitian sebagai berikut:

Bobot kering tanaman jagung


Penanaman tanaman jagung dengan pemberian bahan organik
nampak nyata pengaruhnya terhadap bobot kering tanaman jagung per ha
saat panen pada MT 2002/2003 dengan bobot kering tanaman yang terberat
(7,45 t.ha-1) diperoleh pada pemberian bahan organik Mucuna pruriens,
diikuti oleh penanaman tanaman jagung dengan pemberian Centrosema
pubescens dan Crotalaria anagyroides dengan bobot kering yang diperoleh
masing-masing adalah 7,37 t.ha-1 dan berbeda nyata dengan bobot kering
tanaman jagung yang ditanam pada lahan tanpa pemberian bahan organik
adalah 7,35 t.ha-1 (Tabel 71).
Pada Tabel 71 juga menunjukkan bahwa interaksi antara olah tanah
dan pemberian nitrogen juga nampak berpengaruh terhadap bobot kering
tanaman per ha untuk kedua MT (MT 2001/2002 dan MT 2002/2003) yang
dicobakan, dengan bobot kering tanaman terberat diperoleh pada interaksi
antara olah tanah minimum dengan pemberian nitrogen sebanyak 90 kg.ha -1
untuk kedua MT yang dicobakan dengan bobot kering yang dicapai masing-
masing adalah 7,39 dan 7,73 t.ha-1, dan berbeda nyata dengan interaksi
lainnya kecuali dengan interaksi antara olah tanah minimum dan pemberian
nitrogen sebanyak 135 kg.ha-1 dengan bobot kering tanaman jagung yang
dicapai masing-masing adalah 7,12 dan 7,34 t.ha-1.
174 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Tabel 71. Bobot kering tanaman jagung per ha saat panen terhadap
pengolahan tanah dan pemberian nitrogen dan pemberian bahan
organik
Bobot kering tanaman jagung (t.ha-1)
Jenis perlakuan
MT 2001/2002 MT 2002/2003
tn
Tanpa bahan organik 5,73 6,04 b
BO C. pubescens 7,01 7,37 a
BO C.anagyroides 7,14 7,37 a
BO M. pruriens 7,17 7,45 a
OT x Pemberian N(kg N/ha)
OT.Min x 0 kg N 6,30 c 6,59 c
OT.Min x 45 kg N 6,60 c 6,76 c
OT.Min x 90 kg N 7,39 a 7,73 a
OT.Min x 135 kg N 7,12 ab 7,34 ab
OT.Konv x 0 kg N 6,56 c 6,85 c
OT.Konv x 45 kg N 6,77 bc 7,13 b
OT.Konv x 90 kg N 6,74 bc 7,14 b
OT.Konv x 135 kg N 6,82 bc 6,92 c

Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- tn : tidak nyata berdasarkhan analisis ragam
- OT.Min: olah tanah minimum; OT Konv: olah tanah
konvensional

Panjang tongkol jagung


Hasil analisis data panjang tongkol jagung menunjukkan bahwa
pemberian bahan organik pengaruhnya nampak nyata sejak MT 2001/2002
dengan tongkol terpanjang 17,99 cm diperoleh pada penggunaan bahan
organik Centrosema pubescens, diikuti oleh bahan organik Mucuna pruriens
dan Crotalaria anagyroides dengan panjang tongkol masing-masing 17,93
cm dan 17,78 cm dan berbeda nyata dengan penggunaan lahan tanpa bahan
organik (16,20 cm) sedangkan untuk MT 2002/2003 penggunaan bahan
organik Mucuna pruriens menghasilkan tongkol jagung yang terpanjang
17,05 cm kemudian diikuti oleh Centrosema pubescens dan Crotalaria
anagyroides dengan panjang tongkol masing-masing 17,02 cm dan 16,97 cm
dan berbeda nyata dengan penggunaan lahan tanpa bahan organik (15,25
cm) (Tabel 72).
Pengaruh pemberian nitrogen terhadap panjang tongkol seperti
yang tertera pada Tabel 72 juga sudah nampak nyata sejak MT 2001/2002
Agroteknologi Lahan Kering 175

dengan tongkol terpanjang 18,78 cm diperoleh pada pemberian nitrogen


sebanyak 135 kg/ha dan berbeda nyata dengan tanpa pemberian nitrogen dan
pemberian nitrogen sebanyak 45 dan 90 kg/ha dengan panjang tongkol
antara 16,52–17,76 cm. Untuk MT 2002/2003 pemberian nitrogen sebanyak
90 kg/ha diperoleh tongkol yang terpanjang 17,22 cm, diikuti oleh
pemberian nitrogen sebanyak 45 dan 90 kg/ha dengan tongkol masing-
masing 16,42 dan 17,22 cm dan berbeda nyata dibandingkan tanpa
pemberian nitrogen (15,42 cm).
Tabel yang sama juga menunjukkan bahwa interaksi antara olah
tanah dan pemberian nitrogen baru nampak nyata pada MT tahun kedua
dengan tongkol yang terpanjang 17,64 cm diperoleh pada olah tanah
minimum dengan pemberian nitrogen sebanyak 135 kg/ha, diikuti oleh
pemberian nitrogen sebanyak 90 kg.ha-1 pada olah tanah yang sama dengan
panjang tongkol 17,56 cm dan berbeda nyata dengan interaksi antara olah
tanah minimum dengan pemberian nitrogen sebanyak 0 dan 45 kg.ha -1 yang
masing-masing menghasilkan tongkol dengan panjang 14,88 dan 16,05 cm
dan juga berbeda nyata dengan olah tanah konvensional tanpa pemberian
nitrogen dengan panjang tongkol yang dihasilkan 15,96 cm.
176 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Tabel 72. Pengaruh pengolahan tanah, pemberian bahan organik dan


pemupukan nitrogen terhadap panjang tongkol jagung
Panjang tongkol (cm)
Jenis Perlakuan
MT 2002/2003 MT 2002/2003
Pemberian B.organik
Tanpa BO 16,20 b 15,25 b
BO C. pubescens 17,99 a 17,02 a
BO C.anagyroides 17,78 a 16,97 a
BO M. pruriens 17,93 a 17,05 a
Pemberian N(kg N/ha)
0 16,52 c 15,42 b
45 16,85 c 16,47 a
90 17,76 b 17,22 a
135 18,78 a 17,19 a
OT x pemberian N
OT.Min x 0 kg N 16,51tn 14,88 c
OT.Min x 45 kg N 16,67 16,05 b
OT.Min x 90 kg N 17,73 17,56 a
OT.Min x 135 kg N 18,54 17,64 a
OT.Konv x 0 kg N 16,54 15,96 bc
OT.Konv x 45 kg N 17,02 16,89 ab
OT.Konv x 90 kg N 17,95 16,88 ab
OT.Konv x 135 kg N 18,03 16,73 ab
Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom/jenis
perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- tn : tidak nyata berdasarkhan analisis ragam
- OT.Min: olah tanah minimum;
- OT Konv: olah tanah konvensional

Bobot pipilan jagung per tongkol


Respon bobot pipilan jagung per tongkol terhadap pemberian
bahan organik sudah nampak pengaruhnya sejak MT tahun pertama (MT
2001/2002), dengan bobot pipilan jagung per tongkol untuk kedua musim
tanam yang digunakan diperoleh pada pemberian bahan organik Mucuna
pruriens dengan bobot pipilan jagung masing-masing 103,92 g dan 110,38 g
dan berbeda nyata dengan penggunaan bahan organik lainnya dan juga
dengan perlakuan tanpa pemberian bahan organik dengan bobot pipilan
jagung per tongkol antara 86,80–95,98 g dan antara 83,19–98,83 g. Olah
tanah minimum juga nampak mempengaruhi bobot pipilan jagung per
tongkol dengan bobot pipilan yang dihasilkan masing-masing 98,80 g dan
Agroteknologi Lahan Kering 177

103,20 g per tongkol dan berbeda nyata dengan olah tanah konvensional
yang menghasilkan bobot pipilan jagung seberat 92,47 g/tongkol dan 93,42
g/tongkol (Tabel 73).
Begitu pula dengan pemberian nitrogen pada tabel yang sama
menghasilkan bobot pipilan jagung per tongkol yang lebih berat yaitu antara
96,55–100,07 g dan berbeda nyata dengan tanpa pemberian nitrogen yang
hanya menghasilkan bobot pipilan jagung per tongol seberat 88,28 g untuk
MT 2001/2002. Untuk MT 2002/2003 bobot pipilan jagung per tongkol
terberat (102,78 g) diperoleh pada pemberian nitrogen sebanyak 90 kg/ha
diikuti oleh pemberian nitrogen sebanyak 135 kg.ha -1 dengan bobot pipilan
jagung seberat 100,67 g dan berbeda nyata dengan tanpa pemberian nitrogen
dan pemberian nitrogen sebanyak 45 kg.ha-1 yang menghasilkan pipilan
jagung sebanyak 91,21 dan 96,58 g/tongkol.
Tabel 73. Bobot pipilan jagung per tongkol pada berbagai jenis bahan
organik, pengolahan tanah dan pemberian nitrogen

Bobot pipilan jagung pertongkol


Jenis perlakuan (g/tongkol)
MT 2001/2002 MT 2002/2003
Pemberian bahan organik
Tanpa B. Organik 86,80 c 83,19 c
BO C. pubescens 95,87 b 98,33 b
BO C.anagyroides 95,98 b 98,83 b
BO M. pruriens 103,92 a 110,38 a
Pengolahan tanah
OT Minimum 98,80 a 103,20 a
OT Konvensional 92,47 b 93,42 b
Pemberian N(kg N/ha)
0 88,28 b 91,21 c
45 96,55 a 96,58 bc
90 100,07 a 102,78 ab
135 97,66 a 100,67 a

Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom/jenis
perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT
0,05.

Bobot 100 butir jagung


Hasil percobaan pada Tabel 74 menunjukkan bahwa pemberian
bahan organik nampak nyata pengaruhnya terhadap hasil tanaman jagung
178 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

untuk kedua MT yang digunakan yang diperlihatkan oleh bobot 100 butir.
Bobot 100 butir untuk kedua MT yang dicobakan terberat diperoleh pada
penggunaan bahan organik Mucuna pruriens yaitu 28,77 g dan 28,85 g dan
keduanya berbeda nyata dengan penggunaan lahan tanpa bahan organik
yang masing-masing menghasilkan bobot 100 butir 23,50 g dan 25,24 g.
Perlakuan pemberian bahan organik juga menunjukkan bahwa untuk MT
2001/2002 penggunaan bahan organik Crotalaria anagyroides
menghasilkan bobot 100 butir (28,40 g) yang tidak berbeda nyata dengan
bobot 100 butir yang dihasilkan dengan bahan organik Mucuna pruriens dan
untuk MT 2002/2003 penggunaan bahan organik Centrosema pubescens dan
Crotalaria anagyroides menghasilkan bobot 100 butir (28,50 g dan 27,35 g)
yang tidak berbeda nyata dengan bahan organik Mucuna pruriens.
Olah tanah minimum pada Tabel 74 juga nampak mempengaruhi
bobot 100 butir dengan bobot 100 butir yang diperoleh seberat 27,86 g dan
berbeda nyata dengan olah tanah konvensional yang hanya menghasilkan
bobot 100 butir seberat 26,16 g, tetapi ini hanya terjadi pada MT 2001/2002.
Sedangkan pengaruh pemberian nitrogen terhadap bobot 100 butir pada
tabel yang sama nampak nyata untuk kedua MT yang dicobakan, dengan
bobot 100 butir jagung terberat diperoleh pada pemberian nitrogen sebanyak
135 kg.ha-1 dengan bobot 100 butir masing-masing 28,48 g dan 28,57 g dan
tidak berbeda nyata dengan pemberian nitrogen sebanyak 90 kg.ha -1 yang
masing-masing menghasilkan bobot 100 butir seberat 27,51 g dan 28,20 g
tetapi berbeda nyata dengan tanpa pemberian nitrogen yang menghasilkan
bobot 100 butir seberat 25,15 dan 25,87 g.
Agroteknologi Lahan Kering 179

Tabel 74. Bobot 100 butir jagung pada berbagai jenis bahan organik dan
pengolahan tanah serta pemberian nitrogen.

Bobot 100 butir (g)


Jenis perlakuan
MT 2001/2002 MT 2002/2003
Pemberian B. Organik
Tanpa BO 23,50 c 25,24 b
BO C. pubescens 27,36 b 27,35 ab
BO C.anagyroides 28,40 ab 28,50 a
BO M. pruriens 28,77 a 28,85 a
Pengolahan tanah
OT Minimum 27,86 a 27,34 tn
OT Konvensional 26,16 b 27,64
Pemberian N (kg N/ha)
0 25,15 c 25,87 b
45 26,88 b 27,32 ab
90 27,51 ab 28,20 a
135 28,48 a 28,57 a
Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom/jenis
perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- tn : tidak nyata berdasarkan analisis ragam

Bobot pipilan kering jagung kadar air 15% per ha


Interaksi pengolahan tanah dan pemberian nitrogen dengan
pemberian bahan organik berpengaruh nyata terhadap bobot pipilan kering
per ha akan tetapi hanya terjadi pada MT tahun pertama (MT 2001/2002).
180 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Tabel 75. Interaksi antara pengolahan tanah dan pemberian nitrogen serta
pemberian bahan terhadap bobot pipilan kering jagung (ka 15%)
per ha MT 2001/2002
Olah tanah x Bobot pipilan jagung per ha (ton)
Pemberian N (kg Pemberian bahan organik
N/ha) Tanpa BO BO Cp BO Ca BO Mp
OT. Min x 0 kg N 3,44 e 4,95 c 4,46 cd 5,21 bc
OT. Min x 45 kg N 3,84 e 5,29 bc 6,25 ab 5,95 ab
OT. Min x 90 kg N 4,88 c 5,94 ab 6,52 a 6,58 a
OT. Min x 135 kg N 5,47 bc 5,80 ab 6,21 ab 5,83 ab
OT. Konv x 0 kg N 3,15 e 4,69 c 5,09 c 5,15 c
OT. Konv x 45 kg N 3,75 de 5,52 b 5,26 bc 5,28 bc
OT. Konv x 90 kg N 4,80 c 5,94 ab 6,16 ab 5,96 ab
OT. Konv x 135 kg N 5,26 bc 4,76 c 6,19 ab 6,20 ab
Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada uji BNT 0,05.
- BO : bahan organik, BO Cp : bahan organik Centrosema,
BOMp : bahan organik Mucuna, BO Ca: bahan Crotalaria

Kerjasama antara olah tanah minimum dan pemberian nitrogen


sebanyak 90 kg.ha-1 dengan bahan organik Mucuna pruriens diperoleh hasil
tanaman jagung yang meningkat 34% yang diperlihatkan oleh bobot pipilan
kering jagung sebanyak 6,58 t.ha-1, kemudian diikuti oleh Crotalaria
anagyroides dengan olah tanah dan pemberian nitrogen yang sama
meningkatkan hasil tanaman jagung setinggi 33% dengan bobot pipilan
kering jagung sebanyak 6,52 t.ha-1 jika dibandingkan dengan interaksi antara
olah tanah konvensional tanpa bahan organik dengan pemberian nitrogen
yang sama dengan bobot pipilan jagung per ha sebanyak 4,88 ton. Hasil
terendah dari percobaan ini diperoleh pada perlakuan tanpa bahan organik
dengan olah tanah konvensional dan tanpa adanya pemberian nitrogen
dengan hasil yang dicapai 3,15 ton.ha-1 ( Tabel 75).
Agroteknologi Lahan Kering 181

Tabel 76. Bobot pipilan kering jagung (ka 15%) per ha terhadap pengolahan
tanah dan pemberian nitrogen serta bahan organik MT 2002/2003
Bobot Pipilan Jagung
Jenis perlakuan
per ha (ton)
Pengolahan tanah
OT Minimum 6,29 a
OT Konvensional 5,95 b
Bahan Organik x Nitrogen
Tanpa BO x 0 kg N 3,82 e
Tanpa BO x 45 kg N 4,16 e
Tanpa BO x 90 kg N 5,25 d
Tanpa BO x 135 kg N 5,77 cd
BOs Cp x 0 kg N 5,44 cd
BO Cp x 45 kg N 6,27 bc
BO Cp x 90 kg N 7,14 a
BO Cp x 135 kg N 6,59 bc
BO Ca x 0 kg N 5,74 cd
BO Ca x 45 kg N 6,87 ab
BO Ca x 90 kg N 7,32 a
BO Ca x 135 kg N 6,71 b
BO Mp x 0 kg N 6,04 c
BO Mp x 45 kg N 7,18 a
BO Mp x 90 kg N 7,44 a
BO Mp x 135 kg N 6,18 b

Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom/jenis
perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 0,05.
- BO : bahan organik, BO Cp : bahan organik Centrosema,
BOMp : bahan organik Mucuna, BO Ca: bahan organik
Crotalaria

Untuk MT 2002/2003 seperti yang tertera pada Tabel 76


menunjukkan bahwa perlakuan olah tanah minimum menghasilkan bobot
pipilan kering jagung lebih tinggi 6% (6,29 t.ha-1) dan berbeda nyata dengan
bobot pipilan kering jagung yang dihasilkan pada olah tanah konvensional
yaitu sebanyak 5,95 t.ha-1. Demikian pula interaksi antara jenis Mucuna
pruriens, Crotalaria anagyroides dan Centrosema pubescens dengan
pemberian N sebanyak 90 kg.ha-1 diperoleh hasil jagung yang lebih tinggi
masing-masing 7,44; 7,32 dan 7,14 t.ha-1 dan berbeda nyata dengan interaksi
182 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

antara penggunaan lahan tanpa bahan organik dan tanpa pemberian nitrogen
dengan hasil pipilan kering antara 3,82–5,77 t.ha-1.
Pengaruh pengolahan tanah terhadap pertumbuhan tanaman jagung
menunjukkan bahwa olah tanah minimum baik sebagai faktor tunggal
maupun interaksi olah tanah dengan pemberian nitrogen meningkatkan
pertumbuhan tanaman yang ditunjukkan oleh bobot kering tanaman jagung
yang lebih berat (7,73 t.ha-1) pada perlakuan interaksi antara olah tanah
minimum dan pemberian nitrogen sebanyak 90 kg/ha (Tabel 71).
Pengaruh baik dari olah tanah minimun dapat dikaitkan dengan
peubah kadar air tanah yang menunjukkan bahwa pengolahan tanah
minimum dapat meningkatkan kadar air tanah hingga 27% lebih tinggi
dibanding olah tanah konvensional (Tabel 64 periode pengamatan 10 mst).
Tingginya kadar air tanah berdampak pada peningkatan kelarutan unsur hara
dalam tanah, sehingga serapan unsur hara dapat menjadi lebih banyak.
Unsur hara bergerak di dalam tanah melalui tiga mekanisme yaitu aliran
massa, diffusi dan kontak akar yang kesemuanya ini berjalan baik pada
kondisi air yang tersedia cukup (Syekhfani, 1997). Penyerapan fosfor
meningkat sangat nyata dengan bertambahnya kadar air tanah. Demikian
pula penyerapan K dan pertumbuhan akar tanaman jagung meningkat
dengan meningkatnya kadar air tanah (Samosir, 2000). Dengan tersedianya
air dan hara dalam jumlah yang cukup dan seimbang maka pertumbuhan
tanaman juga dapat berjalan secara maksimal.
Pada peubah suhu tanah (Tabel 65) periode pengamatan 4, 8 dan
10 mst MT 2002/2003 juga terlihat bahwa perlakuan olah tanah minimum
secara nyata menghasilkan suhu tanah yang lebih rendah (27,44; 27,78 dan
27,80oC) dibanding olah tanah konvensoinal. Suhu tanah mempengaruhi
pertumbuhan tanaman baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Secara langsung mempengaruhi perkecambahan, pertumbuhan bibit,
perkembangan akar dan sebagainya. Secara tidak langsung mempengaruhi
penyerapan unsur hara oleh akar tanaman, perkembangan mikroorganisme
dan serangan hama dan penyakit yang kesemuanya ini akan mempengaruhi
pertumbuhan tanaman.
Pengaruh baik dari olah tanah minimum juga dapat dikaitkan
dengan meningkatnya kandungan unsur hara sebagai dampak dari olah tanah
minimum. Hal ini ditunjukkan oleh N total tanah 9% lebih tinggi (Tabel 68).
Pengaruh baik dari olah tanah minimum juga dapat dikaitkan dengan
meningkatnya populasi mikroorganisme (bakteri total) hingga 68% dengan
olah tanah minimum disertai pemberian bahan organik Mucuna pruriens.
Agroteknologi Lahan Kering 183

Peningkatan populasi bakteri total tanah ini akan berdampak pada proses
dekomposisi bahan organik yang akan berjalan lebih baik yang pada
akhirnya akan melepaskan hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman.
Samosir (1997) mengemukakan bahwa olah tanah minimum, bahan organik
dan unsur-unsur hara yang kurang mobil seperti fosfor dan kalium menjadi
lebih banyak dijumpai pada lapisan tanah atas. Karena kandungan hara dan
air lebih tersedia pada tanah lapisan atas maka tanaman muda akan tumbuh
lebih cepat dan akan mengembangkan akarnya lebih cepat pula. Akar yang
lebih cepat berkembang dapat lebih mampu menyerap hara tanaman yang
tersedia di tanah sebelum hara itu tercuci atau terfiksasi, sehingga akan
mendorong pertumbuhan tanaman dewasa yang lebih baik. Selain itu
pengolahan tanah minimum juga menurunkan bobot isi tanah hingga 7%
dibanding olah tanah konvensional (Tabel 67). Kondisi demikian ini akan
menyebabkan perakaran tanaman berkembang lebih baik.
Perakaran yang baik akan menunjang pertumbuhan dan hasil panen
yang maksimal, karena sebagaimana diketahui akar berfungsi sebagai alat
pengabsorbsi air dan mineral yang dibutuhkan untuk proses metabolisme
tanaman (Gardner, et al., 1991). Di samping adanya residu tanaman yang
tetap ditinggalkan di atas permukaan tanah pada olah tanah minimum akan
menyebabkan pertumbuhan gulma tertekan, keadaan ini meningkatkan
pertumbuhan tanaman jagung karena kurangnya gangguan dari gulma dalam
memperoleh sarana tumbuh yang diperlukan (Gambar 27). Keadaan
sebaliknya terjadi pada olah tanah konvensional, adanya pengolahan tanah
yang sempurna menyebabkan bahan organik segar lebih tercampur dengan
tanah, akibatnya mempercepat dekomposisi bahan organik, sehingga unsur-
unsur hara banyak dilepaskan, padahal tanaman muda belum cukup
mengembangkan akarnya sehingga unsur hara lebih banyak yang tercuci
atau terfiksasi tanah sebelum dimanfaatkan oleh tanaman untuk
pertumbuhannya.
184 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Gambar 27. Pengaruh pengolahan tanah, pemupukan N dan pemberian


berbagai jenis bahan organik terhadap pertumbuhan tanaman
jagung di lahan kering (Foto Subaedah, 2002)
Peningkatan bobot pipilan kering jagung pada olah tanah minimum
yang disertai dengan pemberian bahan organik, khususnya bahan organik
dari Mucuna pruriens dan Crotalaria anagyroides demikian juga
interaksinya dengan pemberian nitrogen (Tabel 76) ditunjang oleh
peningkatan bobot pipilan per tongkol 10,5% (103,20 g) dan bobot 100 butir
meningkat sebesar 6,5% (27,86 g) dibanding olah tanah konvensional (Tabel
74 dan 75). Dengan bobot pipilan per tongkol dan bobot 100 butir yang
lebih berat mengindikasikan bahwa biji jagung yang dihasilkan dengan olah
tanah minimum disertai pemberian bahan organik lebih besar dan lebih berat
sehingga akan menghasilkan bobot pipilan jagung per ha yang lebih berat
pula.
Buah jagung terdiri atas tongkol dan biji. Biji-biji jagung tersusun
dalam barisan yang melekat secara lurus atau berkelok-kelok pada tongkol
jagung, sehingga dengan tongkol yang panjang dan diameter yang lebar
akan memungkinkan ruang peletakan biji lebih luas pula yang pada akhirnya
akan menghasilkan tongkol yang bobotnya lebih berat, demikian pula
dengan bobot pipilan per tongkol dan bobot 100 butir yang lebih berat akan
menghasilkan bobot pipilan jagung yang diperoleh akan lebih berat pula.
Agroteknologi Lahan Kering 185

Daftar Pustaka

Abdurachman, A., dan Sutono. 2002. Teknologi pengendalian erosi


lahan berlereng. pp. 103-145. Dalam Abdurachman, A.,
Mappaona, dan Arsil Saleh (Eds.) Teknologi Pengelolaan
Lahan Kering: Menuju Pertanian Produktif dan Ramah
Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat. Bogor.

Adiningsih, J.S. dan Mulyadi. 1993. Alternatif teknik rehabilitasi dan


pemanfaatan lahan alang-alang. Dalam Pemanfaatan lahan alang-
alang untuk usahatani berkelanjutan. pp. 29-50. Prosiding seminar
lahan alang-alang. 1 Desember 1992. Pusat Penelitian tanah dan
Agroklimat, Bogor.

Adiningsih, Sri J., Agus Sofyan dan Dedi Nursyamsi. 2000. Lahan sawah
dan pengelolaannya. Dalam: Sumberdaya Lahan Indonesia dan
Pengelolaannya. pp:165-196. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor.

Ahmad. F.. and K.H. Tan. 1991. Availability of fixed phosphate to corn
(Zea mays L.) seedling as affected by humic acids. Indon. J.
Trop.Agric. 2(2):66-72.

Agus F., A. Abdurachman, dan Piet van der Poel. 1998. Daerah aliran
sungai sebagai unit pengelolaan pelestarian lingkungan dan
peningkatan produksi pertanian. pp. 47-68 dalam Prosiding
Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah
dan Agroklimat: Makalah Review. Cisarua, Bogor, 4-6 Maret
1997. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor

Agus, F., E. Surmaini, dan N. Sutrisno. 2002. Teknologi hemat air


dan irigasi suplemen. pp. 239- 264 dalam Abdurachman et al.
(Eds.). Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Menuju
Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
186 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Aldrich, R. J. 1984. Weed-Crop Ecology. Breton Publishers. 465p.

Anderson, W.P. 1977. Weed Science: Principles. West Publishing


Company. San Francisco. 598p.

Andrade, F.H., C.Vevg, S. Uhart, A. Cirilo, O. Valentinuz and M.


Cantarero. 1999. Kernel Number Determination in Maize. Crop
Sci. 39:453-459.

Andrade, F.H., L.Echarte, R.Rizalli, A.Della Maggiva and M.Cassanovas.


2002. Kernel number prediction in maize under N or water stress.
Crop Sci. 42: 1173-1179.

Anwar, E.K. 1999. Usaha meningkatkan produktivitas lahan pertanian


dengan teknologi efektif mikroorganisme (EM-4). Konggres
Nasional VII. HITI. Bandung

Ardinal. A.Saidi, Gusmini. 2012. Perbaikan sifat fisiko-kimia tanah


Psamment dengan pemulsaan organik dan olah tanah konservasi
pada budidaya jagung. J. Solum 9(1):25-35.

Arsyad, Sitanala. 1976. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen Ilmu-


Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 192p.

--------------- 1989. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor,


Bogor. 290p.

Auge RM. 2001. Water relation, drought and vesicular-arbuscular


mycorrhizal symbiosis. Mycorrhiza, 11:3-42.

Becker, M. and Ladha, J.K. 1997. Synchrony residue N mineralization


with rice N demand an flooded conditions. In Driven by
Nature Plant Litter Quality and Decomposition ( Eds. Cadisch,
G. and Giller, K.E.), pp. 131-138. Department of Biological
Sciences. Wey College. University of London, UK.

Bonfante P and Bianciotto. 1995. Presymbiotic versus symbiotic phase in


arbuscular endomycorrhizal fungi: morphology and cytology. In
Mycorrhiza. pp 229-247. Springer Berlin & Heidelberg

Brady, N.C. 1990. The Nature and Properties of Soil. Mac Millan
Publishing Co., New York.
Agroteknologi Lahan Kering 187

Bertham, Y.H. 1993. Perubahan beberapa sifat fisika dan kimia tanah napal
sebagai akibat pemberian bahan organik dari tanaman koro benguk
(Mucuna pruriens ). Thesis Program Pasca Sarjana Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.

Biro Pusat Statistika. 2000. Land Utilization by Province. www.


bps.go.id.

Buckman, H.O. and N.C. Brady. 1980. The Nature and Properties of Soil.
8th Edition. Eurasia Publishing House Ltd. Ram Nagar, New
Delhi. 639p.

Caamal-Maldonado, J.A., J.J. Jimenez-Osornio, A. Torres-Barragan and


A.L. Anaya. 2001. The use allelopathic legume cover crop and
Mulch species for weeed control in cropping system. Agron. J..
93:27-36.

Camara, K.M., W.A. Payne and P.E. Rasmussen. 2003. Long-Term effect
of tillage, nitrogen and rainfall on Winter wheat yields in the
Pacific North West. Agron. J. 95:828-835

Chesson, A. 1997. Plant Degradation by ruminan: parallels with litter


decomposition in soil, In Driven by Nature Plant Litter Quality
and Decomposition, Department of Biological Sciences. (Eds
Cadisch, G. and Giller, K.E.), pp. 47-66. Wey College, University
of London, UK.

Cox, G.W. and M.D. Atkins. 1979. Agricultural Ecology. W.H. Freeman
and Company. San Francisco. 721p.

Copeland, L. O. 1967. Principles of Seed Science and Technology.


Minneapolis- Burgess. 369p.

Dela Crus, R.E. 1988. General lecture on mycorrhizae. Publ. By workshop


on myco. Inc. Com. UPLB. The Philippine.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 1983. Pedoman Pembangunan Penutup


Tanah Kacangan. Departemen Pertanian. 79p.

Donahue, R.L., R.W. Miller and J.C. Shicluma. 1983. An introduction to


Soil and Plant Growth. 5th. Edit. Prentice Hall Inc. Engelwood
Cliffs. New York-USA. 667p.
188 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Drury, C.F., Chin-Sheng Tan, T.W. Welacky, T.O. Oloya, A.S.hamill, and
S.E. Weaver. 1999. Red clover and tillage influence on soil
temperature, water content, and corn emergence. Agron. J.
91:101-108.

Dudung, A.A. 1991. Konsepsi alih teknologi pertanian lahan kering. Dalam
Prosiding Simposium Nasional Penelitian dan Pembangunan
Sistem Usaha Tani Lahan Kering Yang Berkelanjutan. p.30-42.
Malang 29-31 Agustus 1991.

Erfandi, D., H.Suwardjo dan A. Rahman. 1988. Penelitian alley Cropping


di Kuamang Kuning, Jambi. Dalam Laporan Hasil Penelitian Pola
Usahatani Terpadu di Derah Transmigrasi Kuamang Kuning
Jambi. Pusat Penelitian Tanah, Badan Litbang Pertanian.
Departemen Pertanian.

Erfandi, D., dan H. Suwardjo. 1991. Penelitian Pengembangan Usahatani


Konservasi pada Lahan Pangan PIR BUN SUS-I Ketahun
Bengkulu, Dalam Prosiding Simposium Nasional Penelitian dan
Pengembangan Sistem Usahatani Lahan Kering yang
Berkelanjutan. p.173-185. Malang, 29-31 Agustus 1991.

Etherington, J.R. 1976. Environment and Plant Ecology. Willey Eastern


Limited. New Delhi. 347p

Fisk, J.W.; O.B. Hesterman; A. Shrestha; J.J.Kells; R.R. Harwood; J.M.


Squire, and C.C. Sheaffer. 2001. Weed supression by annual
legume cover crop in no-tillage corn. Agron. J. 93: 319-325.

Fitter, A.H. and R.K.M. Hay. 1987. Environmental Physiology of Plants.


Academic Press, London. 423p.

Frye, W.W. 1984. Energy requirement in no-tillage. In No-Tillage


Agriculture, Principles and Practices. Phillips, R.E. and S.H.
Phillips, (edt). p.127-151. Van Nostrrand Reinhold Company, New
York, Cincinnati, Toronto, London, Melbourne.

Gardner, F.P. , R.B. Pearce and R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman
Budidaya (Terjemahan Herawati Susilo). Universitas Indonesia
(UI-Press). 426p.

Giller, K.E., Wilson, K.J. 1991. Nitogen fixation in tropical cropping


systems. CAB International, London.
Agroteknologi Lahan Kering 189

Glinski, J. and J. Lipiec. 1990. Soil Physical Conditions and Plant Roots.
CRC Press Boca Raton Florida. 250p.

Griffin, T., M.Liebman and J. Jenison Jr. 2000. Cover crops for sweet corn
production in a short-season environment. Agron. J. 92: 144-151.

Griffin, T.S., C.W. Honeycutt and Z. He. 2003. Change in soil phosphorus
from manure application. Soil Sci. Soc. Am. J. 67:645-653.

Guritno, B. 1996. Pengaturan Pola Tanam dalam Upaya Peningkatan


Produktivitas Lahan Kering. Pidato Pengukuhan Sebagai Guru
Besar Dalam Ilmu Pola Tanam pada Fakultas Pertanian Universitas
Brawijaya, Malang.

Guritno, B., S.M. Sitompul and J. van der Heide. 1992. Reclamation of
alang-alang land using cover crops on Ultisol Lampung. Agrivita.
1: 87-89.

Hairiah, K., and M.Van Noordwijk. 1989. Root distribution of leguminous


cover crop in the humid tropics and effects on a subsequent maize
crop. In Nutrient Management for Food Crop Production in
Tropical Farming System. J.Van der Heide, M.Van Noordwijk,
K.W. Smilde and P.de Wiiligen (Edt.) . p. 157-169. Institute for
Soil Fertility, Haren, The Netherlands and Universitas Brawijaya,
Malang.

Hairiah, K., W.H. Utomo and J. Van der Heide. 1992. Biomass production
and performance of leguminous cover crops on an Ultisol in
Lampung. Agrivita. 15 (1):39-44.

Hakim, Nurhayati and M. Helal. 1999. Green manure crop as an alternative


N-fertilizer for sustainable agriculture in humid tropics. In
Proceedings International Seminar: Toward Sustainable
Agriculture in Humid Tropics Facing 21ST Century. p. 250-257.
Bandar Lampung Indonesia, September 27-28, 1999.

Handayanto, E., G.Cadish, K.E. Giller. 1994. Nitrogen release from


prunings of legume hedgerow trees in relation to quality of the
prunings and incubation method. J. Plant and Soil 160(2):237-248

Handayanto, K.E. Giller , E., G.Cadish. 1997. Nitrogen mineralization from


mixtures of legume tree prunings of different quality and recovery
of nitrogen by maize. Soil Biol.Biochem. 29:1417-1426
190 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Handayanto, E. 1998. Pengelolaan Kesuburan Tanah. Fakultas Pertanian


Universitas Brawijaya. Malang. 118p.

Handayanto, E., E.K. Dewi dan Y. Nuraini. 2004. Pengaruh penambahan


sisa tanaman legum terhadap neraca N dan P serta pertumbuhan
tanaman jagung pada typic tropaquent di Malang Selatan. Agrivita
26(3):237-250.

Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.


233p.

Heryani, N., B.Kartiwa, Y.Sugiarto dan T. Andayani. 2013. Pemberian


Mulsa dalam Budidaya Cabai Rawit di Lahan Kering: Dampaknya
terhadap Hasil Tanaman dan Aliran Permukaan. J. Agron.
Indonesia 41 (2) : 147 - 153

Hammel, K.E. 1997. Fungal degradation of lignin, In Driven by


Nature Plant Litter Quality and Decomposition, (Eds Cadisch,
G. and Giller, K.E.), pp. 33-46. Department of Biological
Sciences. Wey College. University of London, UK.

Hatfield, J.L., T.J. Sauer, J.H. Prueger. 2001. Managing soils to achieve
greater wateruse efficiency: A review. Agron. J. 93:271-280.

Heal, O.W., Anderson, J.M. and Swift, M.J. 1997. Plant litte quality and
decomposition: An historical overview. In Dirven by Nature
Plant Litter Quality and Decomposition, (Eds Cadisch, G. and
Giller, K.E), pp. 3-30. Department of Biological Sciences.,Wey
College.,University of London, UK.

Harley JL, Smith SE. 1983. Mycorrhizal symbiosis. Academic Press, New
York.

Haryati, U., M. Thamrin, dan Suwardjo. 1992. Evaluasi beberapa


model teras pada Latosol Gunasari DAS Citanduy. pp. 187-
195 Dalam Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah:
Bidang Konservasi Tanah dan Air. Bogor, 22-24 Agustus 1989.
Puslitbangtanak, Bogor.

Haryati, U., Haryono, dan A. Abdurachman. 1995. Pengendalian erosi dan


aliran
permukaan serta produksi tanaman pangan dengan berbagai
teknik konservasi pada tanah Typic Eutropepts di Ungaran,
Jawa Tengah. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 13: 40-50.
Agroteknologi Lahan Kering 191

Hidayat, A., Hikmatullah dan Djoko Santoso. 2000. Potensi dan pengelolaan
lahan kering dataran rendah. Dalam: Sumberdaya Lahan Indonesia
danPengelolaannya. p. 197-222. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Bogor.

Hodiyah, I. 2008. Hasil jagung yang diinokulasi cendawan mikoriza


arbuskular dan diberi fraksi humat jeram padi pada tanah ultisol. J.
Agrivigor. 7(2): 141-148.

Huang , P.M., dan M. Schitzer. 1997. Interaksi Mineral Tanah dengan


Organik Alami dan Mikroba. Gadjah Mada University Press.
920p.

Irianto, G., H. Sosiawan, dan S. Karama. 1998. Strategi pembangunan


pertanian lahan kering untuk mengantisipasi persaingan global.
Dalam Prociding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil
Penelitian Tanah dan Agroklimat. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat. p. 77-91. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor 10-12 Februari 1998.

Islami, T. dan W.H. Utomo. 1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman.
IKIP Semarang Press, 297p.

Isse, A.A., A.F. MacKenzie, K.Stewart, D.C. Cloutier and D.L. Smith.
1999. Cover crops and nutrient retention for subsequent sweet
corn production. Agron. J. 91: 934-939.

Jamil, D. Harahap, Siti Maryam, dan M. P.Yufdy . 2008. Reklamasi lahan


sawah tadah hujan dengan pupuk fosfor dan bahan organik di
Sumatra Utara. BPTP Sumatera Utara.

Kartasapoetra, G., A.G. Kartasapoetra, dan M..M. Sutedjo. 2000.


Teknologi Konservasi Tanah dan Air (Edisi II). PT. Rineka Cipta,
Jakarta. 194p.

Kartiwa, B dan A.Daria . 2012. Teknologi pengelolaan air di lahan kering.


Dalam Prospek Pertanian Lahan Kering dalam Mendukung
Ketahanan Pangan. Badan Litbang Pertanian, Kementerian
Pertanian.

KEPAS. 1985. The critical upland of Eastern Java. An agroecosystems


analysis. Agency for Agricultural Researce and Development R. I.
Xviii + 213 h.
192 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

--------------- 1986. Agro-ecosistem daerah kering di Nusa Tenggara Timur.


Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. xxviii +
119 h.

Kilham, K. 1994. Soil Ecology . Cambridge Universitas Press. Cambridge.

Klingman, G. C., F.M. Ashton and L.J. Noordhoff. 1975. Weed Science.
Principle and Practices. John Willey & Sons Inc. N.Y. 421p.

Khurshid, K., M. Iqbal, M.S. Arif, A. Nawaz. 2006. Effect of tillage and
mulch on soil physical properties and growth of maize.
International J. Agric. Biol. 8:593- 596.

Kretschmer, A.E. Jr. 1989. Tropical forage legume development, diversity,


and methodology for determining persistence. In Proceedings of a
Trilateral Workshop Held in Honolulu. p. 117-137. Hawai, 18-22
July 1988.

Krupa, S., N. Fries. 1971. Studies on ecomycorrhizae of pine . I.


Production of volatile organic compounds. Canadian J. Of Botany
49(8):1425-1431

Lahuddin. 1999. Pemanfaatan abu janjang kelapa sawit sebagai pupuk di


Indonesia. Universitas Sumatera Utara

Linderman RG (1988) Mycorrhizal interactions with the rhizosphere


microflora: the mycorrhizosphere effect. Phytopathology 78:366–
371

Madkar, O.R., T. Kuntohartono dan S. Mangoensoekardjo. 1986. Masalah


Gulma dan Cara Pengendalian. Himpunan Ilmu Gulma Indonesia.
132p.

Mahrer, Y., O. Naot, E. Rawtiz, J. Katan. 1984. Temperature and moisture


regimes in soil mulched with transparent polyethylene. Soil Sci.
Am. J. 48:362-367.

Mafongoya, P., Dzowela, B.H and Nair, P.K. 1997. Effec of


multipurpose trees, age of cutting and drying methode on pruning
quality, In Dirven by Nature Plant Litter Quality and
Decomposition, (Eds Cadisch, G. and Giller, K.E..), pp. 167-
174. Department of Biological Sciences. Wey College. University
of London. UK.
Agroteknologi Lahan Kering 193

Manjunath, A. dan Habte. 1988. Development of V.A. Mycorrhizal


Infection and the uptake of Immobile Nutrients in Leucaena
Leucocephala. Plant and soil. 106:97-103.

Marschner H.1995. Mineral Nutrition of Higher Plant. Academic Press.


London.

Marx, D.H., 1972. Mycorrhize: A type of root infection beneficial to plant


growth. Reprinted Agric. Age, 15: 13-14.

McDowell, L.L., dan K.C. McGregor. 1984. Plant nutrient losses ijn runoff
from conservation tillage corn. Soil Tillage Res. 4:79-91

Mengel, K. and Kirby, E.A. 1978 Principles of Plant Nutrition.


International Potash Institute. Bern. Swizerland.

Miller, R.M., Jastrow, J.D. 1990. Hierarchy of roots and mycorrhizal fungal
interactions with soil aggregation. Soil Biol. Biochem. 5: 579-584.

Mir Alam, Nasaruddin dan Darmawan. 2008. Potensi CO2 dari bahan
organik dalam meningkatkan CO2 internal dan aktivitas
fotosintesis tanaman kedelai. Jurnal Agrivigor, 7(2):113-121.

Mosse, B., 1981. Vesicular-arbuscular Mycorrhizal Research for Tropical


Agriculture. Hawaii Institute of Tropical Agriculture and Human
Resources, Honolulu, HI., USA.

Moyo, A. 1998. The effect of soil erosion on soil productivity as influenced


by tillage: with special reference to clay and organic matter losses.
In Towards Sustainable Land Use. p. 363-368. Advances in Geo
Ecology.

Moenandir, J., 1988. Pengantar Ilmu dan Pengendalian Gulma. Rajawali


Pers. Jakarta. 122p.

Muhammad, A.P., I. Muhammad, S. Khuram, Anwar-UL-Hassan.


2009. Effect of mulch on soil physical properties and NPK
concentration in Maize ( Zea mays) shoots under two tillage
systems. Int. J. Agric.Biol. 11:120-124

Mustaha, M.A. 1999. Studi Aplikasi Mulsa Jerami Padi dan Cara
Pengolahan Tanah Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman
Jagung Serta Dinamika Populasi Gulma. Tesis Program Pasca
Sarjana , IPB. Bogor .
194 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Nirwana dan St. Subaedah. 2009. Pemanfaatan Bahan Organik


Chromolaena odorata dan Crotalaria juncea bagi Peningkatan
Pertumbuhan Tanaman Kedelai. Laporan Penelitian Hibah
Bersaing. DIKTI.

Noordwijk, Van; M., Widianto, S.M. Sitompul, K. Hairiah dan B. Guritno.


1992. Nitrogen management under high rainfall conditions for
shallow rooted crops: principles and hypotheses. Agrivita 15 (1):
10-18.

Norwood, Charles. 1999. Water use and yield of dryland Row Crops as
Affected by Tillage. Agron. J. 91:108-115.

Notohadiprawiro, T. 1989. Pertanian lahan kering di Indonesia: Potensi,


Prospek, Kendala dan Pengembangannya. Lokakarya Evaluasi
Pelaksanaan Proyek Pengembangan Palawija SFCDPUSAID.
Bogor. 6-8 Desember 1989

Oldeman, L.R., I. Las, and Muladi. 1980. The Agroclimatic Maps of


Kalimantan, Maluku, Irian Jaya and Bali, West and East Nusa
Tenggara. Contributions No. 60, Central Research Institute for
Agriculture, Bogor, 32 p.

Pankhurst, C. E., 1994. Biological indicators of soil health and sustainable


productivity. In Soil Resilience and Sustainable Land Use.
Proceedings of a Symposium Held in Budapest, 28 September-2
October 1992. Including The Second Workshop on The Ecological
Foundations of Sustainable Agriculture.

Partoharjono, S. 1999. Cropping system a sustainable agricultural


technology in the humid tropics. In Proceedings International
Seminar: Toward Sustainable Agriculture in Humid Tropics Faci.
CAB. Internatioanal. ng 21ST Century. p. 29-35.Bandar Lampung
Indonesia, September 27-28, 1999.

Pearce, R.B.; J.J. Mock, and T.B. Bailey. 1975. Rapid method for
estimating leaf area per plant maize. Crop Sci. 15:691-694.

Pearson, L.C. 1973. Principles of Agronomy. Affiliated East-West Press,


PVT, Ltd., New Delhi. 434p.

Power, J.F. and Papendick, R.I. 1997. Sumber-sumber organik hara. In


Tenologi Dan Penggunaan Pupuk, (Eds Engelstad O.P) (Transl.
Didiek Hadjar Goenadi), pp. 752-778. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Agroteknologi Lahan Kering 195

Purwowidodo. 1983. Teknologi Mulsa. Dewaruci Press. Jakarta. 169p.


Quimet R, Camire C, Furlan V. 1996. Effect of Soil, K, Ca, and Mg
saturation and endomycorrhization on growth and nutrient uptake
of sugar maple seedlings. Plant Soil 179 :207-216.

Rachman, A., H. Suwardjo, R.L. Watung dan H. Sembiring. 1989. Efisiensi


teras bangku dan teras gulud dalam pengendalian erosi.
Risalah Diskusi Ilmiah Hasil Penelitian Pertanian Lahan
Kering dan Konservasi Tanah di Daerah Aliran Sungai. Batu
(Malang), 1-3 Maret 1989. P3HTA. Badan Litbang Pertanian.

Rahman, Ahmad; Ai Daria dan J. Santoso. 2002. Pupuk Hijau. Dalam:


Pupuk Organik dan Pupuk Hayati, pp 41-56
Rainbault, B.B., T.J. Vyn dan M. Tollenaar. 1990. Corn response to rye
cover crop management and spring tillage system. Agron. J.. 82:
1088-1093.
Ralle, A., dan St. Subaedah. 2015. Peningkatan Efisiensi Pemupukan
Fosfat Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kedelai di
Lahan Kering Dengan Penggunaan Bahan Organik. Laporan
Penelitian Hibah Bersaing DIKTI.

Reinjtjes, C., B. Haverkort dan A. Waters-Bayer. 1999. Pertanian Masa


Depan (terjemahan Y. Sukoco). Kanisus. 270p.

Ritonga, S. , Z.Nasytion, R. Siagaan. Dan M. Dalimun. 1999. Pengaruh


pupuk kandang dan inokulan EM4 terhadap laju pengomposan
limbah padat industri tapioca. Konggres Nasional VII. HITI.
Bandung.

Ruiz-Lozano JM, Porcel R, Aroca R. 1995. Does the enhanced toleranceof


arbuscular mycorrhizal plants to water deficit involvemodulation of
drought –induced plant responses. Applied and Environmental
Microbiology 61:456-460.
Rusmarkam, A. 2001. Ilmu Kesuburan Tanah, Jurusan Ilmu Tanah. UGM.
Yogyakarta.

Samosir, S.S.R. 1997. Pengelolaan lahan kering menuju pertanian


berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu
Kesuburan Tanah dan Pemupukan Tanah. Fakultas Pertanian
Universitas Hasanuddin. 49p.
--------------- 2000. Pengelolaan Lahan Kering. Program Pasca Sarjana
Universitas Hasanuddin, Makassar. 203p.
196 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Santoso, E., T. Prihartini, dan S. Widati. 1999. Pengaruh pemanfaatan


jerami dan inokulan mikrobia terhadap sifat kimia tanah dan
hasil padi. Konggres Nasional VII HITI. Bandung

Sastrahidayat, I.R. 1997. Aplikasi tablet mikoriza pada beberapa jenis


tanaman di Jawa Timur. Life Sciences. 9(1):43-56.

Sastroutomo, S.S., 1990. Ekologi Gulma. PT. Gramedia Pustaka Utama.


Jakarta. 216p.

Satari, G., N.Hilman, A. Lubis dan H. Akman. 1991. Pengembangan


pertanian lahan kering suatu urun pendapat. Dalam Prosiding
Simposium Nasional Penelitian dan Pembangunan Sistem Usaha
Tani Lahan Kering Yang Berkelanjutan. p.54-58. Malang 29-31
Agustus 1991.
Sauer, T.J., J.L. Harfield and J.H. Prueger. 1996. Corn residue age and
placement effect on evaporation and soil thermal regime. Soil Sci.
Soc. Am. J. 60: 1558-1564.
Scholes, M.C., Swift, O.W., Heal, P.A. Sanchez, JSI., Ingram and R.
Dudal, 1994. Soil Fertility research in response to demand for
sustainability. In The biological managemant of tropical soil
fertility (Eds Woomer, Pl. and Swift, MJ.) John Wiley & Sons.
New York.

Seta, A.K. 1987. Konservasi Sumberdaya Tanah. Kalam Mulia. Jakarta.

Semaoen, M.I., L. Agustina dan Soemarno. 1991. Pendekatan sistem


usahatani yang berkelanjutan di lahan kering. Dalam Prosiding
Simposium Nasional Penelitian dan Pembangunan Sistem Usaha
Tani Lahan Kering Yang Berkelanjutan. p.1-16. Malang 29-31
Agustus 1991.

Setiadi, Y. 2000. Pemanfaatan mikrorganisme dalam kehutanan. Pusat


Antar Universitas Bioteknologi, IPB
Sidik H. T., Morsidi, Sukristiyonubowo, J. Purnomo, dan G. Syamsidi.
1998. Penggunaan amelioran untuk perbaikan sifat fisik dan kimia
tanah serta pertumbuhan tanaman penutup tanah pada areal
timbunan sisa galian penambang batu bara di Tanjung Enim.
Dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan Hasil Penelitian Tanah
dan Agroklimat. p. 23-37. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen
Pertanian, 10-12 Pebruari 1998.
Agroteknologi Lahan Kering 197

Singh, S., and K.K. Kapoor, 1999. Inoculation with phosphate-


solubilizing microorganisms and a vesicular-arbuscular
mycorrhizal fungus improves dry matter yield and nutrient
uptake by wheat grown in a sandy soil. Biol. Fertil. Soils 28 :
139-144.

Sinukaban, N. 1989. Konservasi tanah dan air di Daerah Transmigrasi.


Direktorat Jenderal Penyiapan Pemukiman, Direktorat
Pendayagunaan Lingkungan Pemukiman, Departemen
Transmigrasi.

--------------- 1990. Pengaruh pengolahan tanah konservasi dan pemberian


mulsa jerami terhadap produksi tanaman pangan dan erosi hara.
Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk. 9:32-38.

--------------- 1999. Conservation farming system as a key for farmers


empowerment and sustainable agriculture development in
Indonesia. In Proceedings International Seminar: Toward
Sustainable Agriculture in Humid Tropics Facing 21ST Century. p.
20-28. Bandar Lampung Indonesia, September 27-28, 1999.

--------------- 2007. Konservasi Tanah dan Air. Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor, Bogor

Smart, J.R. and J.M. Bradford. 1999. Conservation tillage corn production
for a semiarid, subtropical environment. Agron.J. 91(1):116-121.

Smith S.E., D.J. Read. 1997. Mycorrhizal Symbiosis. Akademic Press


Ammoccout Brace and Company Publisher. New York.

Smith S.E., F.A Smith. 2012. Fresh perspectives on the roles of


arbuscular mycorrhizal fungi in plant nutrition and growth.
Mycologia, 104(1): 1-13.

Sriyani, N., H. Suprapto, H. Susanto, A.T. Lubis, and Y. Oki. 1999. Weed
Population Dynamic in Coffee Plantation Managed by Different
Soil Conservation Techniques. In Proceedings International
Seminar: Toward Sustainable Agriculture in Humid Tropics
Facing 21ST Century. p. 513 -520. Bandar Lampung Indonesia,
September 27-28, 1999.

Stevenson, F.J. 1986. Cycles of Soil C, N, P, S, Micronutrient. Jhon Willey


and Sons. New York.
198 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Subaedah, St. 2004. Pengelolaan Tanaman Penutup Tanah dan


Pengembalian Residu Tanaman untuk Meningkatkan Produksi
Tanaman Jagung di Lahan Kering Sulawesi Selatan. Disertasi
Doktor, Program Pasca Sarjana, Universitas Brawijaya, Malang.

Subaedah, St. 2007a. Pemanfaatan jamur mikoriza dalam meningkatkan


ketersediaan hara fosfat dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan
bibit jarak pagar. J. Agrivigor. 6(2): 174-177.

Subaedah, St. 2007 b. Aplikasi mikoriza dan hormone tumbuh jatrofert


terhadap pertumbuhan bibit Jarak pagar (Jatropha curcas). J.
Agrotek 2 (1): 108-111.

Subaedah, St., B. Guritno, Syamsulbahri, dan A.Sastrosupadi. 2005.


Respon tanaman jagung pada berbagai jenis dan bentuk aplikasi
tanaman penutup tanah serta pengembalian residu tanaman di
Lahan Kering. Agrivita 27(1): 1-6.

Subaedah, St., N. Jalal, B. Ibrahim, Suriyanti. 2007. Pengelolaan Tanaman


Penutup Tanah Untuk Meningkatkan Produksi Tanaman Jagung di
Lahan Kering Sulawesi Selatan. Laporan Penelitian Hibah
Bersaing DIKTI.

Subaedah, St., Nur Alam, dan Nirwana. 2010. Pengembangan Teknik


Budidaya Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) di Lahan
Kering Sulawesi Selatan dalam Upaya Meningkatkan Ketersediaan
Bahan Baku Biofuel. Laporan Penelitian Hibah Bersaing, DIKTI

Subaedah, St., Nirwana dan Suriyanti. 2014. Improvement of yield maize


in the dry land who experience drought stress with use of organic
matter. Advances in Environmental Biology J. 8 (22):930-934

Subaedah, St., A.Takdir, Netty, Hidrawati. 2016. Evaluation of potential


production of maize genotypes of early maturity in rainfed
lowland. International J. of Biological, Biomolecular,
Agricultural, Food and Biotechnological Engineering Vol:10,
No:10, 2016

Subaedah, S., A. Aladin, Nirwana. 2016. Fertilization nitrogen, phosphor


and application of green manure of Crotalaria juncea in increasing
yield maize in marginal dry land. Agriculture and Agricultural
Science Procedia 9 (2016):20-25.
Agroteknologi Lahan Kering 199

Subaedah, St., Mais Ilsan, Saida. 2018. Pemanfaatan jerami padi sebagai
pupuk organik melaui pemberdayaan kelompok tani di desa
Botolebang Kabupaten Takalar. Jurnal Balireso 3(1):20-28

Sudjadi dan G. Satari. 1986. Pengelolaan lahan kering bermasalah untuk


pertanian. Makalah Kongres PERAGI III dan Seminar Nasional
Agronomi. Jakarta.

Sugito, Yogi. 1997. Kebijaksanaan energi di bidang pertanian menuju era


pembangunan pertanian berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru dalam Ilmu Ekologi Pertanian pada Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya, Malang. 44p.

--------------- 1999. Ekologi Tanaman. Fakultas Pertanian Universitas


Brawijaya, Malang. 127p.

Sugito, Y., Y. Nuraini dan E. Nihayati. 1995. Sistem Pertanian Organik.


Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang. 84p.

Suhardjo, M., Achmad Rachman dan H. Suwardjo. 1989. Pengaruh


tanaman penutup tanah terhadap populasi makrofauna dan sifat
fisik tanah Haplorthox di Citayam, Bogor. Dalam Prosiding
Pertemuan Teknis Penelitian Tanah Bidang Konservasi Tanah dan
Air. p. 1-11. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian 22-
24 Agustus 1989.

Suntoro, 2001. Pengaruh Residu Penggunaan Bahan Organik,


Dolomit dan KCl pada Tanaman Kacang Tanah (Arachis
hypogeae. L.) pada Oxic Dystrudept di Jumapolo,
Karanganyar, Habitat, 12(3) 170-177.

Suseno, H. 1974. Fisiologi Tumbuhan. Metabolisme Dasar dan Beberapa


Aspeknya. Departemean Botani Fakultas Pertanian, IPB. 273p.

Sutarno, H. dan S. Atmowidjojo. 1999. Tumbuhan Penunjang: Peranannya


pada Rehabilitasi Lahan Marginal. Porsea Indonesia, Bogor. 66p.

Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik: Pemasyarakatan dan


Pengembangannya.. Penerbit Kanisus.

Sutidjo, D. 1986. Pengantar Produksi Tanaman Agronomi. Fakultas


Pertanian Institut Pertanian Bogor. 135p.
200 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Suwardjo, H. 1981. Peranan Sisa-sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah


dan Air dalam Usaha Tani Tanaman Semusim. Disertasi Doktor.
Fakultas Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Syekhfani. 1997. Hara-Air Tanah-Tanaman. Jurusan Tanah Fakultas


Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. 114p.

Tadjang, M.H. 1990. Klimatologi Pertanian. Program Pasca Sarjana,


Universitas Hasanuddin, Makassar.

Tampubolon, G. Ermadhani dan Itang, A.M. 2001. Kapasitas jerapan


fosfat Ultisol dan respon tanaman kedelai terhadap konsentrasi
kesetimbangan P dalam larutan tanah. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian
Indonesia, 3(2): 89-93.

Thamrin, M. dan Hanafi, H. 1992. Peranan mulsa sisa tanaman terhadap


konservasi lengas tanah pada sistem budidaya tanaman semusim di
lahan kering. Dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah. p.5-12. Proyek
Penelitian Penyelamat Hutan, Tanah dan Air. Badan Litbang
Pertanian. 29.Oktober 1992.

Thonnissen, C., D.J. Midmore, J.K. Ladka, D.C. Olk and U. Schmidhalter.
2000. Legume decomposition an nitrogen release when applied as
green manure to tropical vegetable production system. Agron.J..
92:253-260.

Tian, G., L. Brussard, B.T., Kang and M.J. Swift. 1997. Soil fauna-
mediated decomposition of plant residues under contreined
environmental and residue quality condition. In Driven by
Nature Plant Litter Quality and Decomposition, Department
of Biological Sciences. (Eds Cadisch, G. and Giller, K.E.), pp.125-
134. Wey College, University of London, UK

Tisdale, S. L., and W.L. Nelson. 1975. Soil Fertility and Fertilizers. Third
Edition. Collier MacMillan International Editions. 694p.

Tisdale, S.l.; W.L. Nelson and J.D. Beaton. 1985. Soil Fertility and
Fertilizers. Fourth Edition. MacMillan Publishing Company.
754p.

Tollenaar, M.; M.Mihajlovic, and T.J. Vyn. 1993. Corn growth following
cover crops: influence of cereal cultivar, cereal removal, and
nitrogen rate. Agron.J. 85:251-255.
Agroteknologi Lahan Kering 201

Utomo, M., H. Suprapto and Sunyoto. 1989. Influence of tillage and


nitrogen fertilization on soil nitrogen, decomposition of alang-
alang (Imperata cylindrica) and corn productivity of alang-alang
Land. In Nutrient Management for Food Crop Production in
Tropical Farming System. J.Van der Heide, M.Van Noordwijk,
K.W. Smilde and P.de Wiiligen (Edt.) p. 367-374. Institute for
Soil Fertility, Haren, The Netherlands and Universitas Brawijaya,
Malang.
Utomo, Wani Hadi. 1994. Erosi dan Konservasi Tanah. IKIP
Malang.194p.
Utomo, W.H., S.M.Sitompul and M.V. Noordwijk. 1992. Effect of
leguminous cover crops on subsequent maize and soybean crops an
Ultisol in Lampung. Agrivita, 15 (1) : 44-53.
Vanlauwe, B. Diel, J. Sanginga, N. and Merckx, R. 1997. Residue
quality and decomposition: An unsteady relationship. In
Dirven by Nature Plant Litter Quality and Decomposition, (
Eds Cadisch, G. and K.E. Giller.), pp. 157-166. Department of
Biological Sciences, Wey College, University of London, UK.

Van Steenis, C.G.G.J.D. den Hoed, S. Blumbergen and P.J. Eyma. 1988.
Flora untuk sekolah di Indonesia. PT. Pradnya Paramita.
Jakarta.

Vyn, T.J; J.G. Fabel; K.J. Janovicek; and E.G. Beauchamp. 2000. Cover
crop effects on nitrogen availability to corn following wheat.
Agron. J. 92: 915-924.
Waddell, J.T. and R. R. Weil. 1996. Water distribution in soil under ridge-
till and no-till corn. Soil Sci. Soc. Am. J. 60:230-237.

Wibawa, G., H. Suryaningtyas, W. Hermawan and E. Saragih. 1999.


Conservation tillage and aplication of corn seed planter (no till
planter) on rubber-based intercropping systems in Indonesia. In
Proceedings International Seminar: Toward Sustainable
Agriculture in Humid Tropics Facing 21ST Century. p. 600-606.
Bandar Lampung Indonesia, September 27-28, 1999.

Wiskandar. 2002. Pemanfaatan pupuk kandang untuk memperbaiki sifat


fisik tanah di lahan kritis yang telah diteras. Konggres Nasional
VII.

Zhu C, Schraut D, Hartung w, Schaffner AR. 2005. Differential responses


of maize MP genes to salt stress and ABA. Journal of
Experimental Botany, 56:2971-2981.
202 Dr. Ir. St. Subaedah, M.S.

Anda mungkin juga menyukai