ASP Sessi 1
ASP Sessi 1
(EAA 402)
MODUL Sesi 1
MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH
DISUSUN OLEH
Dr. Rilla Gantino., S.E., Ak., MM
Perkembangan sistem tata kelola pemerintahan di Indonesia sejak 1998 mengalami kemajuan
yang sangat pesat. Dalam kurun waktu yang relative singkat, pemerintah Indonesia telah
melewati serangkaian proses reformasi sektor publik, khususnya reformasi manajemen
keuangan keuangan daerah. Pada dasarnya reformasi manajemen keuangan daerah merupakan
hasil dari gerakan reformasi tahun 1998 setelah Indonesia mengalami krisis multidimensi.
Reformasi manajemen keuangan daerah ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal yang dimulai 1 Januari 2001.
Tujuan pelaksanaan otonomi daerah tersebut secara umum yaitu untuk meningkatkan
kemandirian daerah, memperbaiki transparansi dan akuntabilitas publik atas pengelolaan
keuangan daerah. Meningkatkan responsivitas pemerintah terhadap kebutuhan publik,
meningkatkan partisipasi publik dalam pembangunan daerah, meningkatkan efisiensi dan
efektivitas pengelolaan keuangan dan pelayanan publik serta mendorong demokratisasi di
daerah.
Reformasi manajemen keuangan daerah di Indonesia dapat dikatakan cukup terlambat hampir
dua dasawarsa dibandingkan dengan reformasi yang telah dilakukan di Negara-negara maju di
Eropa dan Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia termasuk terlambat jika dibandingkan
Negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, Singapura dan Selandia Baru yang sejak 1970an
dan 1980an telah melakukan serangkaian reformasi di bidang manajemen keuangan publik.
Singapura misalnya, telah menggunakan anggaran berbasis kinerja sejak tahun 1980an,
sedangkan pemerintah Indonesia baru menerapkannya tahun 2001. Pemerintah Inggris telah
mereformasi sektor publiknya dengan konsep New Public Management (NPM) sejak tahun
1980an. Amerika Serikat menggunakan anggaran dengan pendekatan Planning Programing
Budgeting System (PPBS) secara luas tahun 1965 dan Zero Base Budgeting (ZBB) tahun 1973.
Selandia Baru secara radikal menggunakan akrual basis sejak tahun 1990an.
Secara historis, perjalanan reformasi manajemen keuangan daerah di Indonesia dapat dibagi
dalam tiga fase, yaitu:
Fungsi manajemen terbagi atas tiga tahapan utama, yaitu: adanya proses perencanaan, adanya
tahapan pelaksanaan, dan adanya tahapan pengendalian/ pengawasan. Oleh karena itu fungsi
manajemen keuangan daerah terdiri dari unsur-unsur pelaksanaan tugas yang dapat terdiri
dari tugas :
Perubahan sistem anggaran dilakukan sebagai langkah reformasi keuangan daerah. Perubahan
sistem penganggaran tersebut meliputi perubahan dalam proses penganggaran dan
perubahan struktur anggaran. Perubahan proses penganggaran terkait dengan perubahan
proses penyusunan anggaran yang sebelumnya bersifat sentralis dan top down diubah
menjadi sistem anggaran partisipatif. APBD sebelum reformasi disahkan oleh presiden
melalui menteri dalam negeri, dengan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, APBD cukup
disahkan oleh DPRD.
Apabila terjadi sisa anggaran pada akhir periode maka sisa anggaran tersebut tidak akan
hangus, tetapi dapat digunakan sebagai sumber pembiayaan untuk tahun anggaran berikutnya
yang masuk dalam katagori Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA). Ada tidaknya SILPA
dan besar kecilnya sangat tergantung pada tingkat belanja yang dilakukan pemda serta kinerja
pendapatan daerah. Jika pada tahun anggarantertentu tingkat belanja daerah relative rendah
atau terjadi efisiensi anggaran, maka dimungkinkan akan diperoleh SILPA yang lebih tinggi.
Tetapi sebaliknya jika belanja daerah tinggi, maka SILPA yang diperoleh akan semakin kecil,
bahkan jika belanja daerah lebih besar dari pendapatan daerah sehingga menyebabkan terjadi
deficit fiskal, maka dimungkinkan tidak terdapat SILPA untuk tahun anggaran bersangkutan,
tetapi justru terjadi Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran (SIKPA). Dengan demikian
keberadaan SILPA tersebut memberikan sinyal adanya kinerja anggaran yang baik pada tahun
anggaran bersangkutan.
Secara garis besar terdapat dua pendekatan utama yang memiliki perbedaan mendasar dalam
perkembangan anggaran sektor publik yaitu :
1. Anggaran tradisional atau konvensional
Anggaran tradisional atau konvensional merupakan pendekatan yang banyak dianut oleh
negara-negara berkembang. Ciri-ciri dari pendekatan ini antara lain:
a. Incrementalism, yaitu hanya melakukan penambahan atau pengurangan jumlah pada
item-item anggaran tahun sebelumnya, tanpa melakukan pengkajian yang mendalam.
Kelemahan pendekatan ini adalah tidak menjamin terpenuhinya kebutuhan riil saat ini
dan dapat menyebabkan terjadinya kesalahan yang terus berlanjut, karena tidak dikaji
lebih lanjut apakah pengeluaran yang terjadi pada periode sebelumnya telah
didasarkan pada kebutuhan yang wajar.
c. Sentralis, yaitu penyiapan anggaran dilakukan secara terpusat dan tidak tersedianya
informasi yang memadai, sehingga menyebabkan lemahnya perencanaan anggaran,
yang akan menyebabkan terjadinya kesenjangan anggaran ( budgetary slack)
e. Tahunan, untuk proyek investasi, anggaran tahunan terlalu pendek, sehingga akan
mendorong munculnya praktik-praktik yang tidak diinginkan seperti kolusi dan
korupsi.
f. Prinsip anggaran bruto, prinsip anggaran kurang sistematik dan tidak rasional, karena
tidak didasarkan pada jumlah bersih.
a. Dari sistem sentralisasi pada Bagian Keuangan Sekretariat Daerah menjadi sistem
desentralisasi ke masing-masing SKPD. Konsekuensinya setiap SKPD harus
menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan SKPD. Badan
Pengelola Keuangan Daerah selanjutnya bertugas mengkonsolidasikan laporan
keuangan seluruh SKPD menjadi laporan keuangan pemda.
Perubahan sistem akuntansi dari sistem tata buku tunggal (single entry system )
menjadi sistem tata buku berpasangan (double entry system).
Perubahan basis akuntansi dari basis kas (cash basis) menjadi basis akrual (accrual
basis).
Perubahan dari single entry menuju double entry akan lebih cepat memberikan pengaruh
penguatan terhadap akuntabilitas publik. Selama ini, basis pencatatan transaksi yang
digunakan pada hampir semua lembaga pemerintahan di Indonesia adalah basis kas (cash
basis), yang banyak mengandung kelemahan yang mendasar yaitu tidak mencerminkan
kinerja yang sesungguhnya karena dengan sistem cash basis tingkat efisiensi dan efektivitas
Secara garis besar, pengelolaan manajemen keuangan daerah dapat dibagi menjadi dua bagian,
yaitu manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah. Kedua komponen
tersebut akan sangat menentukan kedudukan suatu pemerintah daerah dalam rangka
melaksanakan otonomi daerah. Beberapa peraturan perundangundanganyangmenjadi acuan
utama pengelolaan keuangan daerah dan reformasi tersebut dilaksanakan dilima bidang, yaitu:
Berikut ini akan dibahas secara singkat konsep utama manajemen keuangan daerah 17
berdasarkan peraturan terbaru, yaitu PP Nomor 58 Tahun 2005 dan Permendagri Nomor 13
Tahun 2006. Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka
penyelenggraan pemerintahan daerah yang dapat dilinai dengan uang, termasuk segala bentuk
kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Terdapat empat
dimensi penting yang tercermin dari pengertian tersebut adanya dimensi hak dan kewajiban,
tujuan dan perencanaan, penyelenggaraan dan pelayanan publik, nilai uang dan barang
(investasi dan inventarisasi). Uraian tersebut menunjukkan bahwa keuangan daerah harus
dikelola dengan baik agar semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang
dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan daerah, sehingga dengan adanya
pengelolaan keuangan daerah pendapatan dan pengeluaran daerah dapat dialokasikan dengan
baik dan efisien.
Pengelolaan keuangan daerah kemudian adalah seluruh kegiatan yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan
daerah. Adapun ruang lingkup keuangan daerah meliputi:
a. Hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan pinjaman.
b. Kewajiban daerah untuk menyelenggrakan urusan pemerintahan daerah dan membayar
tagihan pihak ketiga.
c. Penerimaan daerah.
d. Pengeluaran daerah.
e. Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga,
piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan
yang dipisahkan pada perusahaan daerah.
f. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan
tugas pemerintahan daerah dan/atau kepentingan umum.
Perencaaan anggaran daerah dapat dikaji dari sisi makro dan mikro sebagai berikut (PPE-FE-
UGM, 2005).
a. Konsep Makro Perencanaa Anggran Daerah 18 Anggaran daerah merupakan rencana kerja
pemerintah daerah yang diwujudkan dalam bentuk uang (rupiah) selama periode waktu
tertentu (satu tahun). Anggaran ini digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya
pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi
pengeluaran dimasa-masa yang akan darang, sumber pengembangan ukuran-ukuran
standar untuk evaluasi kinerja dan sebagai alat untuk memotivasi para pegawai dan alat
koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja.
Struktur anggaran APBD hanya menyajikan informasi tentang jumlah sumber pendapatan dan
penggunaan dana. Sementara itu, informasi tentang kinerja yang ingin dicapai, keadaan dan
kondisi ekonomi serta potensinya tidak tergambarkan dengan jelas. Informasi tersebut
diperlukan sebagai tolok ukur yang harus dijadikan acuan dalam perencanaan anggaran.
Karena ketidakpastian tersebut, maka sistem perencanan tersebut maka sistem perencanaan
anggaran yang digunakan selama ini tidak dapat memberikan gambaran yang komprehensif
mengenai inisiatif, aspirasi 19 dan kebutuhan riil masyarakat dan potensi sumberdaya yang
dimilikinya.
Untuk menghasilkan struktur anggaran yang sesuai dengan harapan dan kondisi normatif
tersebut, maka APBD yang pada hakekatnya merupakan penjabaran kuantitatif dari tujuan
dan sasaran pemerintah daerah serta tugas pokok dan fungsi unit kerja harus disusun dalam
struktur yang berorientasi pada suatu tingkat kerja tertentu. Artinya, APBD harus mampu
memberikan gambaran yang jelas tentang tuntutan besarnya pembiayaan atas berbagai sasaran
yang hendak dicapai, tugas-tugas dan fungsi pokok sesuai dengan kondisi, potensi, aspirasi
dan kebutuhan ril dimasyarakat untuk suatu tahun tertentu. Dengan demikian alokasi dana
yang digunakan untuk membiayai berbagai program dan kegiatan dapat memberikan manfaat
yang benarbenar dirasakan masyarakat dan kepuasan publik sebagai wujud
pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan yang berorientasi pada
kepentingan publik dapat dicapai.
Dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah adalah:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4438);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5679).
Peraturan Pemerintah ini menentukan proses penyusunan APBD, dimulai dari pembuatan
KUA dan PPAS, kemudian dilanjutkan pembuatan RKA SKPD oleh masing-masing SKPD.
RKA SKPD ini kemudian dijadikan dasar untuk membuat rancangan Perda tentang APBD
dan rancangan Perkada tentang penjabaran APBD. Rancangan Perda dan rancangan Perkada
yang telah disusun oleh Kepala Daerah kemudian diajukan kepada DPRD untuk dibahas
sehingga tercapai kesepakatan bersama. Rancangan Perda dan rancangan Perkada tersebut
kemudian diajukan kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk kabupaten/kota
atau Menteri untuk provinsi guna dievaluasi. Hasil evaluasi yang menyatakan rancangan
Perda dan rancangan Perkada sudah sesuai dengan dokumen yang mendukung, dijadikan
dasar oleh Kepala Daerah untuk menetapkan rancangan Perda menjadi Perda tentang APBD
dan rancangan Perkada menjadi Perkada tentang penjabaran APBD.
Indikator Kinerja dalam APBD sudah dimasukkan dalam format RKA, namun dalam proses
pembahasan anggaran yang terjadi selama ini di Pemerintahan Daerah lebih fokus pada
jumlah uang yang dikeluarkan dibandingkan Keluaran (output) dan Hasil (outcome) yang
akan dicapai. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa penganggaran pendekatan Kinerja
lebih fokus pada Keluaran (output) dan Hasil (outcome) dari Kegiatan.
Peraturan Pemerintah ini juga mempertegas fungsi verifikasi dalam SKPD, sehingga
pelimpahan kewenangan penerbitan SPM kepada SKPD atau Unit SKPD yang merupakan
wujud dari pelimpahan tanggung jawab pelaksanaan anggaran belanja dapat sesuai dengan
tujuan awal yaitu penyederhanaan proses pembayaran di SKPKD.
Peraturan Pemerintah ini juga mengembalikan tugas dan wewenang bendahara sebagai
pemegang kas dan juru bayar yang sebagian fungsinya banyak beralih kepada Pejabat
Pengelola Teknis Kegiatan (PPTK). Pemisahan tugas antara pihak yang melakukan otorisasi,
pihak yang menyimpan uang, dan pihak yang melakukan pencatatan juga menjadi fokus
Peraturan Pemerintah ini. Pemisahan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kecurangan
selama Pengelolaan Keuangan Daerah serta meningkatkan kontrol internal Pemerintah Daerah.
Proses pelaksanaan dan penatausahaan ini harus meningkatkan koordinasi antar berbagai
pihak dalam penyusunan laporan keuangan berbasis akrual. Dokumen pelaksanaan dan
penatausahaan juga harus mengalir sehingga bisa mendukung pencatatan berbasis akrual.
Penambahan jumlah laporan keuangan yang harus dibuat oleh Pemerintah Daerah merupakan
dampak dari penggunaan akuntansi berbasis akrual. Pemberlakuan akuntansi berbasis akrual
ini merupakan tantangan tersendiri bagi setiap Pemerintah Daerah karena akan ada banyak hal
yang dipersiapkan oleh Pemerintah Daerah salah satunya yaitu sumber daya manusia.
3. Berdasarkan Undang Undang No. 15 Tahun 2006, lembaga tinggi negara yang
berkewajiban melakukan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan
Negara adalah :
a. Badan Pemeriksa Keuangan
b. Lembaga Pengawas
c. Itjen Departemen
d. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
6. Neraca pemerintah daerah pada hakekatnya berisi informasi berikut ini, kecuali :
a. Aset
b. Hutang
c. Ekuitas Dana
d. Penerimaan Pembiayaan
7. Berikut ini yang merupakan informasi yang terdapat dalam Laporan Realisasi
Anggaran adalah :
a. Aset
b. Hutang
c. Ekuitas Dana
d. Penerimaan Pembiayaan
8. Berikut ini yang merupakan informasi yang terdapat dalam Laporan Arus Kas :
a. Aset
b. Hutang
c. Ekuitas Dana
d. Penerimaan Kas dari kegiatan Operasional
9. Informasi yang disajikan di Laporan Realisasi Anggaran relatif sama dengan informasi
yang ada di Laporan Arus Kas. Sehubungan dengan itu, pernyataan berikut ini yang salah
adalah :
15. Berikut ini adalah pemahaman yang benar dari standar akuntansi pemerintahan (SAP)
a. Standar akuntansi merupakan pedoman penyusunan laporan keuangan oleh
entitas pelaporan
b. SAP merupakan serangkaian prosedur
c. SAP pedoman pelaksanaan anggaran
d. SAP disusun oleh Menteri keuangan atau Kepala Daerah
D. Kunci Jawaban
1. D 6. D 11. D
2. B 7. D 12. B
3. A 8. D 13. B
4. B 9. 8 14. B
5. C 10. A 15. A
E. Daftar Pustaka
1. Prof. Dr. Mardiasmo, MBA, Ak, CA. 2002. Otonomi dan Manajemen keuangan
Daerah. Yogyakarta: Andi Yogyakarta
2. Prof. Dr. Mardiasmo, MBA, Ak, CA. 2018. Akuntansi Sektor Publik ,Yogyakarta:
Andi Yogyakarta
3. Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
4. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia