Anda di halaman 1dari 99

SKRIPSI

PERAWATAN MANDIRI KATETER DOUBLE LUMEN PADA


PASIEN HEMODIALISA DI RUMAH SAKIT ISLAM
SAKINAH MOJOKERTO

HENI DWI MASYITAH


NIM : 201807024

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA SEHAT PPNI
MOJOKERTO
2020
SKRIPSI

PERAWATAN MANDIRI KATETER DOUBLE LUMEN PADA


PASIEN HEMODIALISA DI RUMAH SAKIT ISLAM
SAKINAH MOJOKERTO

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan


Pada Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bina Sehat PPNI
Kabupaten Mojokerto

HENI DWI MASYITAH


NIM : 201807024

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA SEHAT PPNI
MOJOKERTO
2020

i
SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwaskripsi ini adalah hasil karya sendiri dan belum

pernah dikumpulkan orang lain untuk memperoleh gelar dari berbagai jenjang

pendidikan di Perguruan Tinggi manapun, dan apabila terbukti ada unsur

Plagiarisme saya siap untuk dibatalkan kelulusannya.

Mojokerto, Agustus 2020

Yang menyatakan

HENI DWI MASYITAH


NIM : 201807024

ii
LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk diajukan dalam ujian akhir program

Judul : Perawatan Mandiri Kateter Double Lumen Pada Pasien Gagal

Ginjal Kronik Yang Dilakukan Hemodialisa di Rumah Sakit Islam

Sakinah Mojokerto

Nama : HENI DWI MASYITAH

NIM : 201807024

Pada tanggal : Agustus 2020

Oleh:

Pembimbing I

Duwi Basuki, M.Kep


NIK. 162 601 061

Pembimbing II

Lutfi Wahyuni, S.Kep. Ns.,, M.Kes


NIK. 162 601 060

iii
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipertahankan di depan Tim Penguji Skripsi Pada Program Studi S1 Ilmu
Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bina Sehat PPNI Kabupaten
Mojokerto
Judul : Perawatan Mandiri Kateter Double Lumen Pada Pasien Gagal
Ginjal Kronik Yang Dilakukan Hemodialisa di Rumah Sakit Islam
Sakinah Mojokerto
Nama : HENI DWI MASYITAH
NIM : 201807024
Pada tanggal : Agustus 2020

Mengesahkan:

Tim Penguji

Ketua :Ifa Ro’ifah, S.Kep. Ns., M.Kes (..............................)

Anggota : Duwi Basuki, M.Kep (..............................)

Anggota : Lutfi Wahyuni, S.Kep. Ns., M.Kes (..............................)

Mengetahui,
Ka.Prodi S1 Ilmu Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bina Sehat PPNI
Kabupaten Mojokerto

Ana Zakiyah, M.Kep


NIK. 162 601 036

iv
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas

rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikanskripsi dengan judul

“Perawatan Mandiri Kateter Double Lumen Pada Pasien Gagal Ginjal

Kronik Yang Dilakukan Hemodialisa di Rumah Sakit Islam Sakinah

Mojokerto”. Selesainya penulisanskripsi ini tak lepas dari bantuan dan dukungan

serta bimbingan dari berbagai pihak, maka penulis mengucapkan terimakasih

yang sebesar-besarnya dengan hati tulus kepada:

1. Direktur RSI Sakinah Mojokerto dan Kepala Ruangan Hemodialisa yang telah

memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian

2. Dr. M. Sajidin, S.Kp, M.Kes selaku Ketua STIKes Bina Sehat PPNI

Kabupaten Mojokerto

3. Ana Zakiyah, M.Kep selaku Ka. Prodi S1 Keperawatan

4. Duwi Basuki, M.Kep selaku pembimbing I ; Skripsi yang telah meluangkan

waktu dalam bimbingan kepada penulis

5. Lutfi Wahyuni, S.Kep. Ns., M.Kes selaku pembimbing IISkripsi yang telah

meluangkan waktu dalam bimbingan kepada penulis

6. Staff Dosen dan Karyawan STIKes Bina Sehat PPNI Kabupaten Mojokerto.

7. Responden yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan data

yang dibutuhkan oleh peneliti.

v
Akhirnya penulis menyadari bahwaskripsi ini jauh dari sempurna sehingga

memerlukan kritik dan saran untuk menyempurnakan penyususnanskripsi ini.

Mojokerto, Agustus 2020

Penulis

vi
MOTTO

Percayalah pada dirimu dan semua yang kamu miliki. Kamu harus sadar bahwa

kamu lebih besar daripada hambatan yang kamu hadapi

By: Christian D. Larson

vii
PERSEMBAHAN

Alhamdulillahirobbil alamin, sujud syukur kepada Allah SWT atas limpahan

kemudahan dan kesulitan selama dilakukan proses mengerjakan Skripsi ini dari

awal hingga akhir. Sholawat dan salam selalu terlimpahkan kepada junjungan kita

Nabi Muhammad SAW.

Aku persembahkan karya sederhanaku ini untuk:

1. Ayah dan ibu tercinta yang selalu mendo’akan di setiap langkahku, yang telah

memberikan kasih sayang yang sangat besar dan tulus, segala dukungan dan

cinta kasih tiada mungkin dapat ku balas, selalu menssuport selama saya

merasa down.

2. Saudaraku dan keluarga besarku yang selalu memberikan dukungan

3. Teman-teman terdekatku yang senantiasa selalu mendampingi,

menyemangati, dan selalu ada untukku dalam keadaan apapun, terimakasih

buat sri andini yang selalu ku repotkan, selalu menemani dan memberikan

semangat rela gak tidur demi menemaniku mengerjakan skripsi.

4. Terima kasih kepada pembimbing Skripsiku, ibu Duwi Basuki, M,Kep dan Ibu

Lutfi Wahyuni, S.Kep. Ns., M.Kes atas ilmu yang telah diberikan selama ini.

Hingga saya bisa menyelesaikan Skripsi ini tepat pada waktunya. Terima

kasih kepada Ibu Ifa Ro’ifah, S.Kep. Ns, M.Kes atas waktunya untuk bersedia

menguji dan memberikan masukan terhadap pengerjaan Skripsi ini.

5. Seluruh dosen pengajar di STIKes Bina Sehat PPNI Mojokerto. Terima kasih

banyak untuk semua ilmu, didikan dan pengalaman yang sangat berarti yang

telah bapak ibu berikan kepada saya.

viii
ABSTRACT

Independent Treatment of Double Lumen Catheter in Patients with Chronic


Kidney Failure who Performed Hemodialysis at Sakinah
Islamic Hospital, Mojokerto

By:
Heni Dwi Masyitah

The increasing incidence of chronic renal failure made sufferers have to undergo
hemodialysis as a substitute for renal function through vascular access double
lumen catheters. Infection of the hemodialysis catheter was a cause of increased
morbidity and mortality in hemodialysis patients. The purpose of this study was to
determine the independent treatment of double lumen catheter in chronic renal
failure patients who underwent hemodialysis at RSI Sakinah Mojokerto. The
research design used a descriptive survey method. The population in this study
were 120 patients with chronic renal failure who were undergoing hemodialysis at
RSI Sakinah Mojokerto. The sampling technique used simple random sampling to
obtain 30 respondents. The variable of this study was self-care double lumen
catheter in chronic renal failure patients who were undergoing hemodialysis. The
measuring instrument in this study was the standard operational checklist for self-
care procedures for double lumen catheters. Data analysis used mode. The results
suggested that the respondents who performed double lumen catheter care
according to the Standar Operasional Prosedur (SOP) were 17 people (56.7%),
and those who did not comply with the Standar Operasional Prosedur (SOP) were
14 people (43.3%). The analysis suggested that most of the respondents
performed double lumen catheter treatment according to the Standar Operasional
Prosedur (SOP). This is because the respondent has undergone hemodialysis for
more than 1 year, so they already know what to do to keep the catheter clean and
care for it independently.

Keywords: care, catheter, hemodialysis

ix
ABSTRAK

Perawatan Mandiri Kateter Double Lumen Pada Pasien Gagal Ginjal


Kronik Yang Dilakukan Hemodialisa di Rumah Sakit Islam Sakinah
Mojokerto

Oleh:
Heni Dwi Masyitah

Makin tingginya kejadian gagal ginjal kronik yang membuat penderitanya


harus menjalani hemodialisa sebagai pengganti fungsi ginjal melalui akses
vaskuler kateter double lumen.Infeksi pada kateter hemodialisis merupakan
penyebab meningkatnya angka morbidatas dan mortalitas pada pasien
hemodialisis.Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perawatan mandiri kateter
double lumen pada pasien gagal ginjal kronik yang dilakukan hemodialisa di RSI
Sakinah Mojokerto.Desain penelitian ini menggunakan metode deskriptif
survey.Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien gagal ginjal kronik
yang dilakukan hemodialisa di RSI Sakinah Mojokerto sejumlah 120
orang.Teknik sampling menggunakan simple random sampling sehingga
didapatkan 30 orang responden.Variabel penelitian ini adalah perawatan mandiri
kateter double lumen pada pasien gagal ginjal kronik yang dilakukan
hemodialisa.Alat ukur dalam penelitian ini adalah checklist standar operasional
prosedur perawatan mandiri kateter double lumen.Analisa data menggunakan
modus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang melakukan
perawatan kateter double lumen sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) yaitu
17 orang (56,7%), dan yang tidak sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP)
yaitu 14 orang (43,3%). Hasil analisa menunjukkan bahwa sebagian besar
responden melakukan perawatan kateter double lumen sesuai Standar Operasional
Prosedur (SOP). Hal ini disebabkan karena responden sudah menjalani
hemodialisa sudah lebih dari 1 tahun sehingga sudah mengtahui apa yang harus
dilakukan untuk menjaga kebersihan kateter dan merawatnya secara mandiri.

Kata Kunci: double lumen, hemodialisa, perawatan

x
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL DALAM i


SURAT PERNYATAAN ii
LEMBAR PERSETUJUANiii
LEMBAR PENGESAHAN iv
KATA PENGANTAR v
MOTTO vii
PERSEMBAHAN viii
ABSTRACT ix
ABSTRAK x
DAFTAR ISI xi
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR GAMBARxv
DAFTAR LAMPIRAN xvi
BAB 1PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 4
1.1 Tujuan Penelitian 4
1.4 Manfaat Penelitian 4
1.4.1 Bagi Perawat 4
1.4.2 Bagi Peneliti Selanjutnya 5
BAB 2TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1 Konsep Gagal Ginjal Kronik 6
2.1.1 Pengertian 6
2.1.2 Etiologi 7
2.1.3 Stadium 9
2.1.4 Faktor Resiko Gagal Ginjal Kronik 10
2.1.5 Manifestasi Klinik 13

xi
2.1.6 Pendekatan Klinik 15
2.1.7 Patofisiologi 17
2.1.8 Pathway 19
2.1.9 Penatalaksanaan 20
2.1.10 Komplikasi 20
2.2 Hemodialisa 23
2.2.1 Pengertian 23
2.2.2 Tujuan Hemodialisa 25
2.2.3 Indikasi dan Kontra Indikasi Hemodialisa 25
2.2.4 Prosedur Hemodialisis26
2.3 Konsep Pemasangan Kateter Hemodialisa 31
2.3.1 Akses Vaskuler Hemodialisis 31
2.3.2 Prosedur Membuat Akses Vaskuler 38
2.3.3 Prosedur Perawatan Akses Vaskuler Mandiri oleh Pasien 39
2.4 Jurnal Pendukung 40
2.5 Kerangka Teori 44
2.6 Kerangka Konseptual 45
BAB 3METODE PENELITIAN 46
3.1 Desain Penelitian 46
3.2 Populasi, Sampling, dan Sampel 46
3.2.1 Populasi 46
3.2.2 Sampling 47
3.2.3 Sampel47
3.3 Identifikasi Variabel Penelitian dan Definisi Operasional. 48
3.3.1 Variabel 48
3.3.2 Definisi Operasional 49
3.4 Prosedur Penelitian 49
3.5 Pengumpulan Data 52
3.5.1 Instrumen 52
3.5.2 Lokasi dan waktu penelitian 52
3.6 Analisis data 52

xii
3.6.1 Teknik Pengolahan Data 52
3.7 Etika Penelitian 54
3.7.1 Tanpa Nama (anonymity) 54
3.7.2 Lembar persetujuan responden (informed concent) 55
3.7.3 Kerahasiaan (cofidentiallity) 55
BAB 4HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 55
4.1 Hasil Penelitian 55
4.1.1 Data Umum 55
1. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur 55
2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin 55
3. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan 56
4. Karakteristik Responden Berdasarkan Lama HD 56
4.1.2 Data Khusus Perawatan Mandiri Kateter Double Lumen 57
4.2 Pembahasan Perawatan Mandiri Kateter Double Lumen pada Pasien Gagal
Ginjal Kronik yang Dilakukan Hemodialisa 57
BAB 5SIMPULAN DAN SARAN 62
5.1 Simpulan 62
5.2 Saran 62
5.2.1 Bagi Pasien 62
5.2.2 Bagi Tempat Penelitian 62
5.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya 64
DAFTAR PUSTAKA 65

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.4 Jurnal Penelitian Terkait...................................................................


39

Tabel 3.1 Definisi Operasional Perawatan Mandiri Kateter Double Lumen


Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Dilakukan Hemodialisa
Rumah Sakit Islam Sakinah Mojokerto...........................................
46

Tabel 4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur di RSI Sakinah


Mojokerto Pada Bulan Agustus 2020..............................................
55

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin di RSI Sakinah


Mojokerto Pada Bulan Agustus 2020..............................................
55

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pendidikan di RSI Sakinah


Mojokerto Pada Bulan Agustus 2020..............................................
56

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Lama HD di RSI Sakinah


Mojokerto Pada Bulan Agustus 2020..............................................
56

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Perawatan Mandiri Kateter


Double Lumen di RSI Sakinah Mojokerto Pada Bulan Agustus
2020..................................................................................................
57

xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Pathway Gagal Ginjal Kronik...............................................................19


Gambar 2.2 Pirau Arterivenosa..............................................................................32
Gambar 2.3 Catheter Double Lumen (CDL).............................................................32
Gambar 2.4 Hemodialisa Kateter Femoralis.............................................................34
Gambar 2.5 Hemodialisa Kateter Subclavia.............................................................35
Gambar 2.6 AV Graft.............................................................................................37
Gambar 2.7 Kerangka Teori....................................................................................44
Gambar 2.8 Kerangka Konseptual...........................................................................45
Gambar 3.1 Kerangka Kerja Penerapan Standar Operasional Prosedur (Standar
Operasional Prosedur (SOP)) Pemasangan Kateter di Ruang
Hemodialisa Rumah Sakit Islam Sakinah Mojokerto
..........................................................................................................
47

xv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Surat Pengantar Penelitian

Lampiran 2: Surat Balasan Penelitian dari RSI Sakinah

Lampiran 4: Lembar Permohonan Menjadi Responden

Lampiran 5: Lembar Persetujuan Menjadi Responden

Lampiran 6: Instrumen Penelitian

Lampiran 7: Tabulasi Data

Lampiran 8: Lembar Bimbinganskripsi Pembimbing 1

Lampiran 9: Lembar Bimbinganskripsi Pembimbing 2

xvi
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pasien gagal ginjal kronik akan mengalami penurunan laju filtrasi

glomerulus sehingga ginjal tidak lagi mampu menjalankan fungsinya, hal ini

mengharuskan pasien gagal ginjal kronik untuk dilakukan hemodialisis.

Hemodialisis (HD) adalah salah satu terapi pengganti ginjal yang

menggunakan alat khusus dengan tujuan mengatasi gejala dan tanda akibat

LFG yang rendah sehingga diharapkan dapat memperpanjang usia dan

meningkatkan kualitas hidup pasien (Sari, 2017). Pasien hemodialiasis

menggunakan kateter untuk membersihkan darahnya. Kateter double lumen

adalah sebuah alat yang terbuat dari bahan plastic PVC mempunyai 2 cabang,

selang merah (arteri) untuk keluarnya darah dari tubuh ke mesin dan selang

biru (vena) untuk masuknya darah dari mesin ke tubuh (Allen R.

Nissenson,dkk, 2004). Infeksi pada kateterhemodialisis merupakanpenyebab

meningkatnya angkamorbidatas dan mortalitas padapasien hemodialisis.

Kejadianbakteremia 10 kali lebih seringterjadi pada kateter

hemodialysisdibandingkan pada arteri-venousfistula atau arteri-venous

graft(Trianto et al., 2015). Sehingga membutuhkan perawatan mandiri oleh

pasien dan keluarganya.

Hasil systematic review dan metaanalysis yang dilakukan oleh Hill et

al, 2016, mendapatkan prevalensi global PGK sebesar 13,4%. Menurut hasil

1
2

Global Burden of Disease oleh WHO tahun 2010, PGK merupakan penyebab

kematian peringkat ke-27 di dunia tahun 1990 dan meningkat menjadi urutan

ke-18 pada tahun 2010 (Kemenkes RI, 2017). Hasil Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian

Kesehatan RI pada tahun 2018, pravelensi gagal ginjal di Indonesia sebesar

0,8% (Kemenkes RI, 2019). Unit dialisis untuk Penyakit Ginjal Kronik di

Jawa Timur sebanyak 83 unit yang memiliki 1024 atau 11% dari 9119 alat

dialisis yang ada di Indonesia. Data Indonesian Renal Registry menunjukkan

bahwa insidensi PGK di Indonesia sebesar 30.831 pasien dan di Jawa Timur

Sebesar sebanyak 4.828 pasien (15,65%) (Tim IRR, 2018).

Data di RSI Sakinah Mojokerto bulan November 2019 terdapat 120

pasien gagal ginjal kronik yang dilakukan hemodialisis dengan rata-rata 30

orang setiap hari. Hasil observasi pada pasien yang terpasang CDL dari 33

pasien setiap harinya hanya 1% yang mengalami resiko infeksi.

Penyakit ginjal kronik menurut (S. C. Smeltzer, 2016) disebabkan oleh

Infeksi Saluran Kemih (ISK), penyakit peradangan, nifrosklerosis hipertensif,

gangguan kongenital dan herediter, gangguan metabolik, nefropati toksik.

Gangguan metabolik pada penderita diabetes mellitus akan menyebabkan

nefropati, infeksi pielonefritis dapat menyebabkan hilangnya jaringan

fungsional ginjal, obat traktus urinarius, gangguan imunologis, hipertensi,

gangguan tubulus primer, gangguan kongenital dan hereditas akan dapat

menyebabkan kerusakan ginjal sehingga terjadi gagal ginjal kronik (Wijaya &

Putri, 2013). Pasien gagal ginjal kronik membutuhkan pembersihan darah


3

secara rutin (hemodialisis). Dalam proses hemodialisis dilakukan dengan

menggunakan kateter. CDL (Catheter Double Lument) adalah suatu saluran

yang dimasukkan ke dalam suatu vena sentral di daerah leher, dada atau lipat

paha. Kateter ini di luar tubuh memisah menjadi dua saluran, melalui prosedur

operasi. Akses ini sangat tidak ideal karena dapat menimbulkan berbagai

macam komplikasi seperti bekuan darah yang menyumbat akses, infeksi dan

jangka lama vena tempat pemasangan kateter akan mengalami penyempitan

sehingga tidak dapat digunakan lagi untuk akses hemodialisis. Semua tindakan

perawatan ini harus dilakukan dengan benar sesuai dengan Standar

Operasional Prosedur (SOP) karena jika perawatandilakukan tidak benar akan

menyebabkan infeksi. Bila pada CDL (Catheter Double Lument) adanya rasa

nyeri pada tempat keluarnya kateter, pendarahan atau keluar cairan dari daerah

kateter, suhu tubuh lebih dari 38 celsius dan keteter keluar dari tempat

penusuk maka akan terjadi resiko infeksi. Infeksi merupakan penyebab utama

meningkatnya angka kesakitan dan angka kematian pada pasien hemodialysis.

(Kemenkes RI, 2018).

Salah satu upaya untuk mencegah terjadinya resiko infeksi salah

satunya dapat dilakukan perawatan kateter double lumen. Yang bertujuan

untuk mencegah terjadinya infeksi, mencegah adanya bekuan darah diselang

kateter double lumen, kateter dapat digunakan dalam waktu tertentu dan aliran

darah menjadi lancar. Tindakan perawatan dapat dilakukan desinfektan pada

area kulit di sekitar lokasi penusukan (exit site) dengan menggunakan alkohol

70% dan diulangi sampai kulit bebas dari kotoran, kemudian berikan
4

desinfektan dengan bethadine solution secara sirkuler dari arah dalam keluar

dan berikan heparin pekat sesuai dengan anjuran yang tertera dalam selang

pada kateter double lumen (unit hemodialisi). (Fresensius Medical Care.

2009). Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti

tentang perawatan mandiri kateter double lumen diruang Hemodialisa di RSI

Sakinah Mojokerto.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah perawatan mandiri kateter double lumen pada pasien

gagal ginjal kronik yang dilakukan hemodialisa di RSI Sakinah Mojokerto?

1 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui perawatan mandiri kateter double lumen pada

pasien gagal ginjal kronik yang dilakukan hemodialisa di RSI Sakinah

Mojokerto.

2 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Perawat

Mengetahui perawatan mandiri double lumen pada pasien gagal ginjal

kronik yang dilakukan hemodialisa sudah sesuai dengan Standar Operasional

Prosedur (SOP) atau belum sehingga dapat meringankan tugas perawat sendiri

untuk memberikan pelayanan yang lebih baik dan berkualitas demi keselamatan

pasien.
5

Bagi Tempat Penelitian

Mengetahui perawatan mandiri kateter double lumen pada pasien

gagal ginjal kronik yang dilakukan hemodialisa sehingga dapat dijadikan

sebagai monitoring, dan evaluasi bagi perawat pelaksana.

1.4.2 Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian

selanjutnya tentang manajemen keperawatan di ruang hemodialisa dan

dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu keperawatan.

Bagi Responden

Hasil Penelitian dapat menjadi pentingnya pasien dan keluarga

untuk melakukan perawatan kateter double lumen.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini dijelaskan tentang tinjauan teori yang mendasari penelitian ini

yang meliputi: 1) konsep Gagal Ginjal Kronik, 2) konsep Hemodialisa, 3) Konsep

Pemasangan Kateter Hemodialisa, 4) Standar Operasional Prosedur (SOP)

Perawatan Kateter Double Lumen, 5) Kerangka Teori, dan 6) Kerangka

Konseptual

3 Konsep Gagal Ginjal Kronik

2.1.1 Pengertian

Gagal ginjal kronik merupakan penurunan fungsi ginjal progresif

yang irreversibel ketika ginjal tidak mampu mempertahankan

keseimbangan metabolik, cairan, dan elektrolit yang menyebabkan

terjadinya uremia dan azotemia (Bayhakki, 2013). Gagal ginjal kronik

adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam,

mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya

berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu

keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang

ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal

yang tetap berupa dialysis atau transplantasi ginjal (Lubis et al., 2014).

Gagal ginjal kronik merupakan gangguan fungsi ginjal yang

progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk

mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,

6
7

menyebabkan uremia atau terjadi retensi urea dan sampah nitrogen lain

dalam darah (S. & Smeltzer & Bare, 2017). Gagal ginjal kronik adalah

pengembangan dari gagal ginjal yang berlangsung progresif dan lambat

(Nuari, N & Widayati, 2017).

Berdasarkan berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa

gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi ginjal yang bersifat lambat dan

progresif > 3 bulan yang ditandai dengan penurunan lanju filtrasi ginjal.

2.1.2 Etiologi

Penyebab gagal ginjal kronik menurut Smeltzer (2016) adalah

sebagai berikut:

1. Infeksi Saluran Kemih

Infeksi saluran kemih (ISK) sering terjadi dan menyerang manusia

tanpa memandang usia, terutama wanita. Infeksi saluran kemih

umumnya dibagi dalam dua kategori : Infeksi saaluran kemih bagian

bawah (uretritis, sistitis, prostatis) dan infeksi saluran kencing bagian

atas (pielonepritis akut). Sistitis kronik dan pielonepritis dan infeksi

saluran kencing bagian ginjal tahap akhir pada anak-anak.

2. Penyakit Peradangan

Kematian yang diakibatkan oleh gagal ginjal umumnya disebabnya

oleh glomerulonepritis Kronik. Pada glomerulonepritis kronik, akan

terjadi kerusakan glomerulus secara progresif yang pada akhirnya akan

menyebabkan terjadinya gagal ginjal.


8

3. Nifrosklerosis Hipertensif

Hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki kaitan yang erat.

Hipertensi mungkin merupakan penyakit primer dan menyebabkan

kerusakan pada ginjal, sebaliknya gagal ginjal kronik dapat

menyebabkan hipertensi atau ikut berperan pada hipertensi melalui

mekanisme retensi natrium dan air, serta pengaruh vasopresor dari

sistem renin angitensin.

4. Gangguan Kongenital dan Herediter

Asidosis tubulus ginjal dan penyakit polikistik ginjal merupakan

penyakit herediter yang terutama mengenai tubulus ginjal. Keduanya

dapat berakhir dengan gagal ginjal meskipun lebih sering dijumpai

pada penyakit polikistik.

5. Gangguan Metabolik

Penyakit metabolik yang dapat mengakibatkan gagal ginjal kronik

antara lain diabetes melitus, gout, hiperparatiroidisme primer dan

amiloidosis.

6. Nefropati Toksik

Ginjal khusnya rentan terhadap efek toksik, obat-obatan dan bahan –

bahan kimia karena alasan-alasan :

a. Ginjal menerima 25% dari curah jantung, sehingga sering dan

mudah kontak dengan zat kimia dalam jumlah yang besar.

b. Interstitium yang hiperosmotik memungkinkan zat kimia

dikonsentrasikan pada daerah yang relatif hipovaskular.


9

c. Ginjal merupakan jalur ekskresi obligatorik untuk kebanyakan

obat, sehingga insufisiensi ginjal mengakibatkan penimbunan obat

dan meningkatkan konsentrasi dalam cairan tubulus

2.1.3 Stadium

Dalam Wijaya dan Putri (2013), gagal ginjal kronik dibagi 3 stadium :

1. Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin

serum normal dan penderita asimptomatik.

2. Stadium 2 : insufisiensi ginjal, dimana lebih dari 75 % jaringan telah

rusak, Blood Urea Nitrogen (BUN) meningkat, dan kreatinin serum

meningkat.

3. Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia.

K/DOQI merekomendasikan pembagian penyakit ginjal kronik menurut

Bayhakki (2013) berdasarkan stadium dari tingkat penurunan LFG :

1. Stadium 1 : kerusakan ginjal LFG yang masih normal (> 90 ml /

menit / 1,73 m2)

2. Stadium 2 : kerusakan ginjal dengan LFG turun ringan atau disebut

insufisiensi ginjal kronik (60-89 mL/menit/1,73 m2)

3. Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG turun sedang antara 30-59

mL/menit/1,73m2

4. Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG turun berat antara 15-

29mL/menit/1,73m2

5. Stadium5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15mL/menit/1,73m2 atau

gagal ginjal terminal.


10

Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance

Creatinin Test) dapat digunakan dengan rumus :

Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85

2.1.4 Faktor Resiko Gagal Ginjal Kronik

Menurut (Pranandari & Supadmi, 2015), faktor resiko gagal ginjal kronik

antara lain:

1. Usia

Hal ini disebabkan karena semakin bertambah usia, semakin

berkurang fungsi ginjal dan berhubungan dengan penurunan kecepatan

ekskresi glomerulus dan memburuknya fungsi tubulus. Penurunan

fungsi ginjal dalam skala kecil merupakan proses normal bagi setiap

manusia seiring bertambahnya usia, namun tidak menyebabkan

kelainan atau menimbulkan gejala karena masih dalam batas-batas

wajar yang dapat ditoleransi ginjal dan tubuh. Namun, akibat ada

beberapa faktor risiko dapat menyebabkan kelainan dimana penurunan

fungsi ginjal terjadi secara cepat atau progresif sehingga menimbulkan

berbagai keluhan dari ringan sampai berat, kondisi ini disebut gagal

ginjal kronik (GGK) atau chronic renal failure (CRF).


11

2. Jenis Kelamin

Secara klinik laki-laki mempunyai risiko mengalami gagal

ginjal kronik 2 kali lebih besar daripada perempuan.Hal ini

dimungkinkan karena perempuan lebih memperhatikan kesehatan dan

menjaga pola hidup sehat dibandingkan laki-laki, sehingga laki-laki

lebih mudah terkena gagal ginjal kronik dibandingkan perempuan.

Perempuan lebih patuh dibandingkan laki-laki dalam menggunakan

obat karena perempuan lebih dapat menjaga diri mereka sendiri serta

bisa mengatur tentang pemakaian obat

3. Riwayat Hipertensi

Secara klinik pasien dengan riwayat penyakit faktor risiko

hipertensi mempunyai risiko mengalami gagal ginjal kronik 3,2 kali

lebih besar daripada pasien tanpa riwayat penyakit faktor risiko

hipertensi. Peningkatan tekanan darah berhubungan dengan kejadian

gagal ginjal kronik.Hipertensi dapat memperberat kerusakan ginjal

telah disepakati yaitu melalui peningkatan tekanan intraglomeruler

yang menimbulkan gangguan struktural dan gangguan fungsional pada

glomerulus. Tekanan intravaskular yang tinggi dialirkan melalui arteri

aferen ke dalam glomerulus, dimana arteri aferen mengalami

konstriksi akibat hipertensi

4. Riwayat Diabetes Mellitus

Secara klinik riwayat penyakit faktor risiko diabetes melitus

mempunyai risiko terhadap kejadian gagal ginjal kronik 4,1 kali lebih
12

besar dibandingkan dengan pasien tanpa riwayat penyakit faktor risiko

diabetes melitus. Salah satu akibat dari komplikasi diabetes melitus

adalah penyakit mikrovaskuler, di antaranya nefropati diabetika yang

merupakan penyebab utama gagal ginjal terminal. Berbagai teori

tentang patogenesis nefropati seperti peningkatan produk glikosilasi

dengan proses non-enzimatik yang disebut AGEs (Advanced

Glucosylation End Products), peningkatan reaksi jalur poliol (polyol

pathway), glukotoksisitas, dan protein kinase C memberikan kontribusi

pada kerusakan ginjal. Kelainan glomerulus disebabkan oleh

denaturasi protein karena tingginya kadar glukosa, hiperglikemia, dan

hipertensi intraglomerulus. Kelainan atau perubahan terjadi pada

membran basalis glomerulus dengan proliferasi dari sel-sel

mesangium. Keadaan ini akan menyebabkan glomerulosklerosis dan

berkurangnya aliran darah, sehingga terjadi perubahan-perubahan pada

permeabilitas membran basalis glomerulus yang ditandai dengan

timbulnya albuminuria

5. Kebiasaan Merokok

Pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis yang

mempunyai riwayat merokok mempunyai risiko dengan kejadian gagal

ginjal kronik lebih besar 2 kali dibandingkan dengan pasien tanpa

riwayat merokok. Efek merokok fase akut yaitu meningkatkan pacuan

simpatis yang akan berakibat pada peningkatan tekanan darah,

takikardi, dan penumpukan katekolamin dalam sirkulasi. Pada fase


13

akut beberapa pembuluh darah juga sering mengalami vasokonstriksi

misalnya pada pembuluh darah koroner, sehingga pada perokok akut

sering diikuti dengan peningkatan tahanan pembuluh darah ginjal

sehingga terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus dan fraksi filter

2.1.5 Manifestasi Klinik

Dalam Wijaya dan Putri (2013) disebutkan bahwa manifestasi klinik GGK

antara lain:

1. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat

badan berkurang, mudah tersinggung, depresi

2. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas

dangkal atau sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem

yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga

sangat parah.

Manifestasi klinik menurut Smeltzer (2016) antara lain : hipertensi,

(akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem

renin– angiotensin–aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem

pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada

lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan

cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu

berkonsentrasi).

Manifestasi klinik menurut Suyono (2001 dalam Wijaya & Putri, 2013)

adalah sebagai berikut:


14

1. Gangguan kardiovaskuler

Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi

perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan

irama jantung dan edema.

2. Gangguan Pulmoner

Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara

krekels.

3. Gangguan gastrointestinal

Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan

metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada saluran

gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia.

4. Gangguan muskuloskeletal

Resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan),

burning feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak

kaki), tremor, miopati (kelemahan dan hipertropi otot – otot

ekstremitas.

5. Gangguan Integumen

Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat

penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.

6. Gangguan endokrim

Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan

menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan

metabolic lemak dan vitamin D.


15

7. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa

Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan

natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia,

hipokalsemia.

8. System hematologi

Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin,

sehingga rangsangan eritopoesis pada sum – sum tulang berkurang,

hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana

uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan

trombositopeni.

2.1.6 Pendekatan Klinik

Menurut Lubis (2014), pendekatan klinik GGK adalah sebagai berikut:

1. Gambaran Klinis

Gambaran klinis pasien gagal ginjal kronik meliputi :

a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus,

infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,

hiperurikemia, SLE, dan lain-lain.

b. Sindroma Uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia,

mual,muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume

overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis,

kejang-kejang sampai koma.


16

c. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi

renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan

elektrolit (sodium, kalium, klorida)

2. Gambaran Laboratoris

Gambaran laboratorium gagal ginjal kronik meliputi :

a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya

b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan

kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung

mempergunakan rumus Kockcroft – Gault. Kadar kreatinin serum

saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.

c. Kelainan biokomiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,

peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia,

hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia,

hipokalsemia, asidosis metabolik.

d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria,

cast, isosteinuria

3. Gambaran Radiologis

Gambaran radiologis gagal ginjal kronik meliputi :

a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak.

b. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak

bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran

terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah

mengalami kerusakan.
17

c. Pielografi antegrad atau retrograde dilakukan sesuai dengan

indikasi.

d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang

mengecil, korteks menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal,

kista, massa, kalsifikasi

e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjalan bila ada

indikasi

2.1.7 Patofisiologi

Menurut Bayhakki (2013), patogenesis gagal ginjal kronik

melibatkan penurunan dan kerusakan nefron yang diikuti kehilangan

fungsi ginjal yang progresif. Total laju filtrasi glomerulus (LFG) menurun

dan klirens menurun, BUN dan kreatinin meningkat. Nefron yang masih

tersisa mengalami hipertrofi akibat usaha menyaring jumlah cairan yang

lebih banyak. Akibatnya, ginjal kehilangan kemampuan memekatkan

urine. Tahapan untuk melanjutkan ekskresi, sejumlah besar urine

dikeluarkan, yang menyebabkan klien mengalami kekurangan cairan.

Tubulus secara bertahap kehilangan kemampuan menyerap elektrolit.

Biasanya, urine yang dibuang mengandung banyak sodium sehingga

terjadi poliuri (Veronika, 2017).

Pada gagal ginjal kronik, fungsi ginjal menurun secara drastis yang

berasal dari nefron. Insifisiensi dari ginjal tersebut sekitar 20% sampai

50% dalam hal GFR (Glomerular Filtration Rate). Pada penurunan fungsi

rata-rata 50% , biasanya muncul tanda dan gejala azotemia sedang, poliuri,
18

nokturia, hipertensi dan sesekali terjadi anemia. Selain itu, selama terjadi

kegagalan fungsi ginjal maka keseimbangan cairan dan elektrolit pun

terganggu. Pada hakikatnya tanda dan gejala gagal ginjal kronis hampir

sama dengan gagal ginjal akut, namun awitan waktunya saja yang

membedakan. Perjalanan dari gagal ginjal kronis membawa dampak yang

sistemik terhadap seluruh sistem tubuh dan sering mengakibatkan

komplikasi (Bayhakki, 2013).


19

2.1.8 Pathway
Gangguan metabolik Infeksi Gangguan Gangguan tubulus Gangguan kongenital &
(pielonefritis) Obat tr. urinarius Hipertensi
(DM) imunologis primer herediter

Hilangnya jaringan Kerusakan struktur Iskemia Gangguan fungsi


Nefropati GFR menurun
fungsional ginjal ginjal ginjal ginjal

Gagal Ginjal Kronik

Sekresi eritropetin Sekresi air dan zat Retensi cairan Konsentrasi vit D Peningkatan PO4 dan Penimbunan asam
ginjal terlarut elektrolit aktif ↓ Ca dalam plasma dalam cairan tubuh

Kristalisasi urea
Produksi sel darah Produksi renin Konsentrasi Ca pH darah ↓
Ca + dalam tulang ↓
merah menurun terionisasi serum
Akumulasi toksin plasma ↓
Angiotensin I Asidosis metabolik
Anemia
Resti kerusakan Osteomalasia
Angiotensin II
integritas kulit Kussmaul sign
Perubahan perfusi Perubahan proses
jaringan pikir Intoleransi aktivitas
Intoleransi aktivitas Perubahan nutrisi Peningkatan TD Pola nafas tidak efektif

Gambar 2. 1 Pathway Gagal Ginjal Kronik(Wijaya & Putri, 2013)


2.1.9 Penatalaksanaan

Menurut Lubis (2014), penatalaksanaan gagal ginjal kronik meliputi :

1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid

condition)

3. Memperlambat perburukkan fungsi ginjal.

4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

6. Terapi pengganti ginjal berupa dialysis atau transplantasi ginjal

2.1.10 Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi pada gagal ginjal kronis menurut (Alam

& Hadibroto, 2012) meliputi:

1. Anemia

Pada GGK, anemia terjadi karena berkurangnya produksi

hormon eritropoeitin (EPO) akibat berkurangnya massa sel-sel tubulus

ginjal. Hormon ini diperlukan oleh sumsum tulang untuk merangsang

pembentukan sel-sel darah merah dalam jumlah yang cukup untuk

mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Jika eritropoietin berkurang,

maka sel-sel darah merah yang terbentuk pun akan berkurang,

sehingga timbullah anemia.

2. Neoropati perifer (kerusakan saraf)

Beberapa penyakit metabolik lainnya mempunyai kaitan yang

erat dengan neuropati perifer. Uremia atau gagal ginjal kronik,

20
21

mempunyai resiko 10-90% mengembangkan gejala neuropati, dan

mungkin terdapat kaitan antara gagal hati dan neuropati

perifer.Terakumulasinya lemak di dalam pembuluh darah

(aterosklerosis) dapat memutus suplai darah kepada saraf perifer

tertentu. Tanpa oksigen dan nutrisi, saraf tersebut perlahan akan mati.

3. Komplikasi kardiopulmoner

Penderita GGK juga berisiko mengalami gagal jantung atau

penyakit jantung iskemik. Gagal jantung adalah suatu keadaan dimana

jantung tidak dapat memompa darah dalam jumlah yang memadai ke

seluruh tubuh. Jantung tetap bekerja tetapi kekuatan memompa atau

daya tampungnya berkurang. Gagal jantung bisa menyerang jantung

bagian kiri, bagian kanan atau keduanya. Gagal jantung pada GGK

biasanya didahului oleh anemia. Jika tidak diobati, anemia pada GGK

bisa menimbulkan masalah yang serius. Jumlah sel darah merah yang

rendah akan memicu jantung sehingga jantung bekerja lebih keras. Hal

ini menyebabkan pelebaran bilik jantung kiri yang disebut LVH (left

ventricular hypertrophy). Lama kelamaan, otot jantung akan melemah

dan tidak mampu memompa darah sebagaimana mestinya sehingga

terjadilah gagal jantung. Hal ini dikenal dengan nama sindrom

kardiorenal.

4. Komplikasi Gastrointestinal

Dapat berupa anoreksia, nausea, muntah yang dihubungkan

dengan terbentuknya zat toksik (amoniak, metal guanidin) akibat


22

metabolisme protein yang terganggu oleh bakteri usus sering pula

faktor uremikum akibat bau amoniak dari mulut. Sehingga

terkristalisasi dari keringat dan membentuk serbuk putih di kulit

(bekuan uremik). Beberapa penderita merasakan gatal di seluruh

tubuh. Disamping itu sering timbul stomatitis. Gastritis erosif hampir

dijumpai pada 90% kasus GGK, bahkan kemungkinan terjadi ulkus

peptikum dan kolitis uremik.

5. Disfungsi seksual

Gangguan sistem endokrin yang terjadi pada GGK

menyebabkan berkurangnya produksi hormon testosteron. Hormon ini

diperlukan untuk menghasilkan sperma (spermatogenesis),

merangsang libido dan untuk fungsi seksual yang normal. Selain itu,

secara emosional penderita GGK juga mengalami perubahan emosi.

Perasaan cemas, khawatir dan depresi dapat menyebabkan terkurasnya

energi, berkurangnya kemampuan dan hilangnya keinginan untuk

melakukan berbagai aktivitas, termasuk aktivitas seksual.

6. Defek skeletal

Kelainan tulang pada GGK yang terjadi akibat gangguan

metabolisme mineral disebut sebagai osteodistrofi renal. Pada keadaan

ini, ginjal gagal mempertahankan keseimbangan kadar kalsium dan

fosfat dalam darah. Jika kadar fosfat dan kalsium dalam darah sangat

tinggi (hasil kali kadar kalsium dan fosfat mencapai > 70 mg/dL) maka

selain demineralisasi tulang, pada GGK akan terjadi pengendapan


23

garam kalsium fosfat di berbagai jaringan lunak (kalsifikasi

metastatik). Ginjal yang sehat menghasilkan kalsitriol, suatu bentuk

aktif vitamin D, yang bertugas membantu menyerap kalsium dari

makanan ke dalam tulang dan darah. Jika kadar kalsitriol turun sangat

rendah maka penyerapan kalsium dari makanan juga terganggu,

akibatnya kadar hormon paratiroid akan meningkat dan merangsang

pengambilan kalsium dari tulang dan tulang akan menjadi rapuh.

Kalsitriol dan hormon paratiroid bekerja sama untuk menjaga

keseimbangan kalsium dan kesehatan tulang.

4 Hemodialisa

2.1.11 Pengertian

Hemodialisa adalah proses pembuangan zat-zat sisa

metabolisme,zat toksik lainnya melalui membran semi permeabel sebagai

pemisah antara darah dan cairan diaksat yang sengaja dibuat dalam

dializer (Wijaya & Putri, 2013).

Hemodialisis adalah proses membersihkan darah di luar tubuh, dan

melibatkan pengambilan darah dari pembuluh darah dan melewatinya

melalui filter sintetis, yang dikenal sebagai dialyzer. Darah dibersihkan di

dialyzer sebelum dikembalikan ke tubuh, itulah sebabnya dialyzer juga

disebut sebagai "ginjal buatan." Proses ini dikendalikan oleh mesin

dialisis, yang memompa darah di sekitar sirkuit, menambahkan dalam

antikoagulan, dan mengatur proses pembersihan, antara lain. Hemodialisis


24

biasanya memakan waktu sekitar tiga hingga enam jam dan dilakukan

setidaknya tiga kali seminggu, biasanya di pusat dialisis (Fresenuis

Medical Care, 2018)

Hemodialisa adalah terapi pengganti pada gagal ginjal terminal

dengan mengalirkan darah ke dalam suatu zat yang terdiri dari 2

kompartemen yaitu :

a. Kelompok darah yang didalamnya mengalir darah dibatasi oleh selaput

semipermiabel buatan

b. Kompartemen yang berisi cairan dialisat bebas pirogen berisi larutan

dengan komposisi elektrolit mirip serum normal (Wijaya & Putri,

2013).

Hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari

darah pasien melewati membran semipermeabel (alat dialisis) ke dalam

dialisat. Alat dialisis juga dapat digunakan untuk memindahkan sebagian

besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi

dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air plasma

(dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran semipermeabel

(Nuari & Widayari, 2017).

Hemodialisis adalah suatu cara untuk mengeluarkan produk sisa

metabolisme melalui membran semipermeabel atau yang disebut dialyzer.

Sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia itu

dapat berupa air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan

zat-zat lain (Haryanti & Nisa, 2015).


25

2.1.12 Tujuan Hemodialisa

Menurut Wijaya dan Putri (2013), hemodialisa bertujuan untuk:

1. Membuang sisa produk metabolisme protein seperti : urea,kreatinin

dan asam urat

2. Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding

antara darah dan bagian cairan

3. Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh

4. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh

2.1.13 Indikasi dan Kontra Indikasi Hemodialisa

Menurut Wijaya dan Putri (2013), indikasi hemodialisis adalah:

1. Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA

untuk sementara sampai fungsi ginjalnya pulih (laju filtrasi glomerolus

< 5 ml)

2. Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila

terdapat indikasi :

a. Hiperkalemia (K+ darah > 6 meq/l )

b. Asidosis

c. Kegagalan terapi konservatif

d. Kadar ureum/kreatin tinggi dalam darah (Ureum >200 mg%

,Kreatinin serum > 6 mEq/l

e. Kelebihan cairan

f. Mual dan munah hebat

3. Intoksikasi obat dan zat kimia


26

4. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berat

5. Sindrom hepaterenal dengan kriteria :

a. K+ PH darah <7,10 => Asidosis

b. Oliguria/an uria >5 hr

c. GFR < P 5ml/pada darah >200 mg/dll

Menurut Nuari dan Widayati (2017), kontra indikasi hemodialisis

adalah hipotesis yang tidak responsif terhadap pressor, penyakit stadium

terminal, sindrom otak organik, tidak ditemukan akses vaskuler pada

hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi,

penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis

hati lanjut dengan encephalopati dan keganasan lanjut.

2.1.14 Prosedur Hemodialisis

Menurut (Daugirdas et al., 2015), prosedur melakukan hemodialisis adalah

sebagai berikut:

1. Membilas dan melumasi dialyzer (pengaturan sekali pakai). Teliti

Membilas dialyzer adalah penting karena dapat mengurangi

insidensi atau keparahan reaksi dialyzer anafilaksis berdasarkan

untuk menghilangkan alergen yang dapat larut (mis., etilen oksida

dalam dialer yang disterilkan dengan etilen oksida).

2. Memperoleh akses vaskular

a. Kanula vena perkutan. Bekuan atau residual heparin pertama kali

disedot dari setiap lumen kateter. Patensi lumina kateter diperiksa

dengan mengairi dengan jarum suntik berisi salin. Untuk dialisis


27

akut, dialisis bebas heparin menjadi lebih populer dan secara rutin

digunakan di beberapa pusat. Jika heparin akan digunakan, dosis

pemuatan heparin diberikan ke port kateter vena dan dibilas

dengan larutan garam. Setelah 3 menit (agar heparin bercampur

dengan darah), aliran darah dimulai.

b. Fistula Arteriovenous (AV). Kedua jarum ditempatkan di vena hilir

ke anastomosis. Aliran melalui ekstremitas vena distal ke

proksimal; karenanya, jarum arteri ditempatkan secara distal.

Beberapa tips tentang penempatan jarum adalah sebagai berikut:

1) Pada pasien dengan tungkai vena yang distensi buruk, aplikasi

singkat tourniquet dapat membantu dalam menentukan

lokasinya. Turniket ini harus dihapus selama dialisis, karena

kehadirannya akan mendorong resirkulasi.

2) Pilihan ukuran jarum optimal. Ukuran jarum yang lebih besar

dapat digunakan ketika laju aliran darah yang lebih tinggi

diinginkan.

3) Siapkan situs penyisipan jarum dengan chlorhexidine atau

desinfektan lain yang sesuai.

4) Jarum arteri. Masukkan terlebih dahulu, setidaknya 3 cm dari

situs AV anastomosis. Jarum harus dimasukkan bevel ke atas,

menunjuk ke hulu atau hilir.

5) Jarum vena. Masukkan bevel ke atas, arahkan ke hilir (biasanya

ini akan menuju jantung). Titik penyisipan biasanya


28

dimasukkan setidaknya 3-5 cm ke hilir ke jarum arteri untuk

meminimalkan masuknya darah yang dialisis ke jarum arteri

(resirkulasi), meskipun satu penelitian menunjukkan bahwa

penempatan jarum yang lebih dekat tidak menghasilkan

resirkulasi.

6) Sudut insersi jarum. Ini tergantung pada kedalaman akses dari

permukaan kulit, dan biasanya 20-35 derajat untuk fistula AV,

dan 30 derajat untuk cangkok A

c. AV graft. Anatomi graft harus diketahui dan lebih disukai

digambarkan dalam bagan pasien. Pedoman untuk menempatkan

jarum sama dengan untuk fistula AV. Penggunaan tourniquet tidak

pernah diperlukan. Setelah jarum ditempatkan, jika heparin

digunakan, dosis pemuatan heparin diberikan ke jarum vena dan

disiram dengan larutan garam. Setelah 3 menit, aliran melalui

sirkuit darah dimulai.

3. Memulai dialisis.

Laju aliran darah awalnya diatur pada 50 mL / menit, kemudian

100 mL / menit, sampai seluruh sirkuit darah terisi dengan darah. Saat

sirkuit darah terisi, cairan priming dalam dialyzer dan tubing dapat

diberikan kepada pasien atau dibuang. Dalam contoh terakhir, garis

darah vena dipertahankan untuk mengalir sampai kolom darah

melewati dialyzer dan mencapai perangkap udara vena. Pada pasien

yang tidak stabil, cairan priming biasanya diberikan kepada pasien


29

untuk membantu menjaga volume darah. Setelah sirkuit diisi dengan

darah dan kadar darah yang tepat di ruang infus vena dipastikan, laju

aliran darah harus segera ditingkatkan ke tingkat yang diinginkan.

Tingkat tekanan pada monitor inflow (arteri), antara situs akses dan

pompa darah, dan monitor outflow (vena), antara dialyzer dan

perangkap udara vena, dicatat, dan batas tekanan ditetapkan sedikit di

atas dan di bawah tekanan operasi untuk memaksimalkan probabilitas

bahwa pompa darah akan berhenti dan alarm akan berbunyi jika terjadi

pemisahan saluran. Jika terjadi pemisahan garis, tekanan dalam garis

darah akan dengan cepat mendekati nol. Seperti itu, itu harus memicu

saklar batas tekanan yang ditetapkan dengan benar. Batas tekanan yang

lebih rendah pada pengukur tekanan vena harus diatur dalam 10-20

mm Hg dari tekanan operasi; celah yang lebih besar dapat

menyebabkan kegagalan alarm untuk dipicu dengan pemisahan garis.

Sayangnya, bahkan batas tekanan vena yang ditetapkan dengan benar

mungkin tidak menghentikan pompa jika jarum vena terlepas atau jika

ada pemisahan saluran. Aliran solusi dialisis sekarang dapat dimulai.

Pada mesin dengan pengontrol ultrafiltrasi, laju penghilangan cairan

yang diinginkan diputar dengan cepat.

6. Bunyi bip, bel, dan alarm. monitor pada mesin solusi dialisis. Monitor

rangkaian solusi dialisis. Bahaya dialisis terhadap solusi dialisis yang

terlalu terkonsentrasi, encer, atau panas. Pemantauan dan komplikasi

pasien. Tekanan darah pasienharus dipantau sesering yang diperlukan,


30

tetapi setidaknya setiap 15 menit untuk dialisis akut pada pasien yang

tidak stabil. Manifestasi dan pengobatan hipotensi dan komplikasi lain

selama dialisis

7. Penghentian dialisis. Darah dalam sirkuit ekstrakorporeal dapat

dikembalikan menggunakan saline atau udara. Jika saline digunakan,

pasien biasanya menerima 100-300 mL cairan ini selama prosedur bilas,

meniadakan jumlah cairan yang dikeluarkan oleh ultrafiltrasi. Namun, jika

tekanan darah pasien rendah pada akhir dialisis, bolus saline akan

membantu meningkatkan tekanan darah dengan cepat. Ketika udara

digunakan, pompa darah pertama kali dimatikan, dan garis darah arteri

dijepit dekat dengan pasien. Garis darah arteri kemudian terputus hanya

distal ke penjepit, membukanya ke udara. Pompa darah dihidupkan

kembali pada tingkat yang dikurangi (20–50 mL / menit), dan udara

diizinkan untuk memindahkan darah dalam dialyzer. Ketikaudara

mencapai perangkap udara vena, atau ketika gelembung udara pertama

kali terlihat pada garis darah vena, garis vena dijepit, pompa darah

dimatikan, dan prosedur pengembalian dihentikan. Penggunaan udara

untuk mengembalikan darah meningkatkan risiko emboli udara, dan

prosedur terminasi harus diawasi dengan sangat hati-hati ketika

pengembalian udara dilakukan.

8. Pemantauan setelah dialisis


31

5 Konsep Pemasangan Kateter Hemodialisa

2.1.15 Akses Vaskuler Hemodialisis

Akses vaskuler adalah cara yang relatif sederhana untuk

mengakses sistem peredaran darah pasien yang dapat digunakan selama

beberapa bulan, yang berarti pasien dengan penyakit ginjal kronis dapat,

untuk pertama kalinya, diobati dengan dialisis. Pirau berada di piring kecil

yang akan melekat pada tubuh pasien, misalnya pada lengan. Satu kanula

Teflon ditanam dengan pembedahan di pembuluh darah dan yang lain di

arteri. Di luar tubuh, kanula bergabung dalam hubung singkat sirkulasi -

karenanya dinamai "shunt." Selama dialisis, shunt akan dibuka dan

dihubungkan ke dialyzer (Fresenuis Medical Care, 2018).

Akses vaskular adalah jalur hidup pasien hemodialsisis. Akses

vaskular memungkinkan perawatan hemodialisa yang menyelamatkan jiwa

(Melnick, 2016).

Teknik akses vaskuler diklasifikasikan sebagai berikut (Anang

Ma’ruf, 2018):

1. Akses Vaskuler Eksternal (sementara)

a. Pirau Arterivenosa/Shunt External/AV Shunt Scribner

Shunt Scribner dibuat dengan memasang selang silastic

dengan ujung teflon yang sesuai ke dalam arteri radialis dan vena

sefalika pada pergelangan lengan atau ke dalam arteri tibialis

posterior dan vena saphenousus pada pergelangan kaki. Bila shunt

ingin digunakan, maka selang silastic dihubungkan secara langsung


32

dengan selang darah dan mesin dialisa, jika tidak digunakan maka

selang dihubungkan dengan konektor teflon. Adapun kerugian

karena pemakaian shunt Scribner adalah trombosis, mudah tercabut

dan perdarahan. Karena banyaknya kekurangan shunt Scribner

tersebut, maka shunt ini sekarang sudah jarang dipakai untuk

hemodialisis.

Gambar 2. 2Pirau Arterivenosa

b. Catheter Double Lumen (CDL)

CDL adalah sebuah alat yang terbuat dari bahan plastic PVC

yang mempunyai 2 cabang, selang merah (arteri) untuk keluarnya

darah dari tubuh ke mesin dan selang biru (vena) untuk masuknya

darah dari mesin ke tubuh (Allen R Nissesnson, dkk, 2004)

Gambar 2. 3Catheter Double Lumen (CDL)


33

Lokasi penusukan kateter dobel lumen dapat dilakukan

dibeberapa tempat yaitu:

1) Vena Femoralis

Pengertian kateter femoralis menurut Hartigan (dalam

Ma’ruf, 2018) adalah pemasangan kanul kateter secara

perkutaneous pada vena femoralis.Kateter dimasukkan ke dalam

vena femoralis yang terletak di bawah ligamen inguinalis.

Pemasangan kateter femoral lebih mudah daripada

pemasangan pada kateter subclavia atau jugularis internal dan

umumnya memberikan akses lebih cepat pada sirkulasi.Panjang

kateter femoral sedikitnya 19 cm sehingga ujung kateter terletak

di vena cava inferior.

Indikasi pemasangan kateter femoral adalah pada pasien

dengan PGTA dimana akses vaskular lainnya mengalami

sumbatan karena bekuan darah tetapi memerlukan HD segera atau

pada pasien yang mengalami stenosis pada vena

subclavian.Sedangkan kontraindikasi pemasangan keteter femoral

adalah pada pasien yang mengalami thrombosis ileofemoral yang

dapat menimbulkan resiko emboli (Ma’ruf, 2018).

Komplikasi yang umumnya terjadi adalah hematoma,

emboli, thrombosis vena ileofemoralis, fistula arteriovenousus,

perdarahan peritoneal akibat perforasi vena atau tusukan yang

menembus arteri femoralis serta infeksi (Nuari & Widayati,


34

2017).Tingginya angka kejadian infeksi tersebut, maka

pemakaian kateter femoral tidak lebih dari 7 hari.

Gambar 2. 4Hemodialisa Kateter Femoralis

2) Vena Subclavia

Kateter double lumen dimasukkan melalui midclavicula

dengan tujuan kateter tersebut dapat sampai ke suprasternal.

Kateter vena subclavikula lebih aman dan nyaman digunakan

untuk akses vascular sementara dibandingkan kateter vena

femoral, dan tidak mengharuskan pasien dirawat di rumah sakit.

Hal ini disebabkan karena rendahnya resiko terjadi infeksi dan

dapat dipakai selama 6-8 minggu kecuali ada komplikasi, seperti

pneumotoraks, stenosis vena subklavikula, dan menghalangi

akses pembuluh darah di lengan ipsilateral oleh karena itu

pemasangannya memerlukan operator yang terlatih daripada

pemasangan pada kateter femoral. Dengan adanya komplikasi ini


35

maka kateter vena subklavikula ini sebaiknya dihindari dari

pasien yang mengalami fistula akibat hemodialisa.

Gambar 2. 5Hemodialisa Kateter Subclavia

3) Vena Jugularis Internal

Kateter dimasukkan pada kulit dengan sudut 200 dari

sagital, dua jari di bawah clavicula, antara sternum dan kepala

clavicula dari otot sternocleidomastoideus.Pemakaian kateter

jugularis internal lebih aman dan nyaman.Dapat digunakan

beberapa minggu dan pasien tidak perlu di rawat di rumah

sakit.Kateter jugularis internal memiliki resiko lebih kecil terjadi

pneumothoraks daripada subclavian dan lebih kecil terjadi

thrombosis.

2. Akses Vaskuler Internal (permanen)

a. AV Shunt atau AV Fistula

AV Shunt adalah penyambungan pembuluh darah vena dan

arteri dengan tujuan untuk memperbesar aliran darah vena supaya

dapat digunakan untuk keperluan hemodialisis.


36

Keuntungan pemakaian AV Shunt dapat digunakan untuk

waktu beberapa tahun, sedikit terjadi infeksi, aliran darahnya tinggi

dan memiliki sedikit komplikasi seperti thrombosis.Sedangkan

kerugiannya adalah memerlukan waktu cukup lama sekitar 6 bulan

atau lebih sampai fistula siap dipakai dan dapat gagal karena fistula

tidak matur atau karena gangguan masalah kesehatan lainnya.

Teknik penyambungan atau anatomosis pada AV Shunt

adalah sebagai berikut:

1) Sideto End adalah teknik penyambungan dengan

menyambungkan pembuluh darah vena yang dipotong dengan

sisi pembuluh darah arteri.

2) Side to side adalah teknik penyambungan dengan

menyambungkan sisi pembuluh darah vena dengan sisi

pembuluh darah arteri.

3) End to End adalah teknik penyambungan dengan

menyambungkan pembuluh darah vena yang dipotong dengan

pembuluh darah arteri yang juga di potong.

4) Endto side adalah teknik penyambungan dengan

menyambungkan pembuluh darah arteri yang dipotong dengan

sisi pembuluh darah vena.

Teknik penyambungan side to end merupakan teknik yang

tersering dilakukan karena aliran darah vena yang menuju ke

jantung adalah yang terbesar volumenya dan mencegah terjadinya


37

hipertensi vena selain itu teknik ini juga dapat mencegah

pembengkakan (Ma’ruf, 2018).

b. AV Graft

AV Graft adalah suatu tindakan pembedahan dengan

menempatkan graft polytetrafluoroethylene (PRFE) pada lengan

bawah atau lengan atas (arteri brachialis ke vena basilica

proksimal). Keuntungannya graft ini dapat dipakai dalam waktu

lebih kurang 3 minggu untuk bias dipakai. Kerugiannya dapat

terjadi thrombosis dan infeksi lebih tinggi daripada pemakaian AV

Shunt. Akhir-akhir ini di temukan bahwa graft PTFE dilakukan

pada dinding dada (arteri aksilaris ke vena aksilaris atau arteri

aksilaris ke vena jugularis) atau pada paha (arteri femoralis ke vena

femoralis).

Gambar 2. 6AV Graft


38

2.1.16 Prosedur Membuat Akses Vaskuler

Menurut (Daugirdas et al., 2015), prosedur membuat akses

vaskuler adalah sebagai berikut:

1. Pasang tourniquet ke lengan akses.

2. Desinfeksikan situs akses per unit protokol.

3. Pasang jarum suntik 10 mL yang diisi dengan 8 mL saline normalsolusi

untuk jarum, tetapi jangan prima jarum sampaisegera sebelum kanulasi.

4. Pegang jarum dengan sayap kupu-kupu dan perdana jarum

dengan salin normal sampai semua udara telah dibersihkan.Jepit jarum

tertutup. Lepaskan tutup pelindung dansegera lanjutkan dengan

kanulasi.

5. Kanulasi fistula dengan hati-hati menggunakan sudut penyisipan 25

°.Ketika kilas balik darah diamati (jarum mungkin perluuntuk dijepit

untuk melihat kilas balik darah), ratakan sudutnyadari jarum, sejajar

dengan kulit, dan maju perlahanke dalam fistula lumen.

6. Saat jarum berada di kapal, lepaskan tourniquetdan rekatkan jarum

dengan aman per unit protokol. Jika darahkilas balik terlihat, aspirasi

kembali 1–5 mL dengan 10-mLjarum suntik.

7. Bilas jarum dengan larutan salin normal danpenjepit. Jarum suntik

harus disedot dan dibilas dengan mudah. Monitoruntuk tanda atau

gejala infiltrasi. Pasien biasanyamengalami nyeri tajam segera setelah

infiltrasi salineatau darah ke jaringan.


39

8. Ulangi langkah 1-7 untuk jarum kedua kecuali darah kembalimelalui

kateter vena direncanakan.

2.1.17 Prosedur Perawatan Akses Vaskuler Mandiri oleh Pasien

Menurut RSI Sakinah (2018), perawatan akses vaskuler mandiri oleh

pasien adalah dengan cara:

1. Bila AV fistula masih abru, untuk membantu memperbesar vena dapat

dilakukan dengan meremas bola karet pada lengan yang terdapat AV fistula

2. Selalu menjaga kebersihan terutama pada akses untuk menghindari infeksi

akses

3. Jangan mengukur tekanan darah pada lengan yang terdapat akses vaskuler

4. Jangan mengangkat beban berat menggunakan lengan yang terdapat akses

vaskuler

5. Jangan menggunakan perhiasan atau baju yang sempit pada lengan yang

terdapat akses vaskuler agar aliran darah tetap lancar

6. Cimino jngan tertindih saat tidur

7. Cek akses anda setiap hari dengan merabanya, adakah getaran yang kuat

8. Kateter HD hanya digunakan untuk akses hemodialisa

9. Jaga kebersihan lokasi terpasangnya kateter HD

10. Kasa pembalut kateter harus selalu bersih dan kering

11. Klem pada kateter HD harus selalu dalam keadaan tertutup


40

2.1.18 Faktor Yang Mempengaruhi Perawatan Mandiri

Perawatan mandiri pasien hemodialisa dipengaruhi oleh beberapa

faktor menurut beberapa peneliti:

1. Usia. Usia merupakan bagian esensial yang harus diperhatikan dengan

baik untuk mencapaikemandirian perawatan diri. Usia lebih muda

lebih mempunyai kemampuan untuk merawat dirinya dibandingkan

usia yang lebih tua (Wijayanti et al., 2018).

2. Jenis kelamin. Jenis kelamin menjadi pembeda pelaksanaan perawatan

diriyang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan karena dipengaruhi

oleh faktor pikososial dan budaya. Perempuan lebih cenderung

menunjukkan dampak psikososial positif karena lebih sabar selama

masaperawatan(Astuti et al., 2018).

3. Tingkat pendidikan. Pendidikan merupakan perantara pengetahuan

yang harus dimiliki oleh pasien. Semakin tinggi tingkat pendidikan

maka kemampuan kontrol diri seseorang terhadap pencarian manfaat

dalam menjalankan proses perawatan dan pengobatan semakin tinggi

sehingga memberikan pemahaman yang lebihbaik terhadap

perawatanyangdijalani(Astuti et al., 2018).

6 Jurnal Pendukung

Tabel 2.1 Jurnal yang Berhubungan dengan Penelitian


No Judul Variabel Metode Hasil
1 Hubungan Lama Independen: Analitik Sebagian besar
Kerja Dengan lama kerja korelasi perawat tidak
Kepatuhan Dependen: patuh dalam
Perawat Dalam kepatuhan melaksanakan
Melaksanakan perawat dalam Standar
41

No Judul Variabel Metode Hasil


Standar melaksanaan Operasional
Operasional Standar Prosedur (SOP)
Prosedur (SOP) Operasional pemasangan
Pemasangan Infus Prosedur (SOP) infus. Tidak
Di RSU GMIM pemasangan terdapat
Pancaran Kasih infus hubungan
Manado antara
lama kerja
Frisilia Moniung dengan
Sefti Rompas kepatuhan
Jill Lolong perawat
dalam
e-jurnal melaksanakan
Keperawatan (e Standar
-Kep) Volume 4 Operasional
Nomor 2, Prosedur (SOP)
November pemasangan
2016 infus

2 Perilaku Independen: Jenis penelitian Perilaku


Kepatuhan Kepatuhan yang digunakan kepatuhan
Perawat Perawat adalah perawat
Melaksanakan Melaksanakan penelitian melaksanakan
Standar Standar Explanatory Standar
Operasional Operasional Research Operasional
Prosedur (SOP) Prosedur (SOP) dengan Prosedur (SOP)
Terhadap rancangan resiko pasien
Kejadian Dependen: Cross sectional jatuh sebagian
Keselamatan keselamatan besar perawat
Pasien di Rumah pasien tidak patuh
Sakit X Kendari terhadap
Standar
Iriyanto Pagala, Operasional
Zahroh Prosedur (SOP)
Shaluhiyah, Baju
Widjasena

Jurnal Promosi
Kesehatan
Indonesia Vol.
12 / No. 1 /
Agustus 2017
3 Analisis Pelaksanaan Deskriptif Standar
Pelaksanaan Rekam Medis kualitatif Operasional
Rekam Medis Bagian Filing Prosedur (SOP)
42

No Judul Variabel Metode Hasil


Bagian Filing Rawat rekam medis
Rawat Jalan bagian filing
Jalan Berdasarkan Berdasarkan rawat jalan
Standard Standard diketahui
Operating Operating bahwa
Procedures Procedures pelaksanaan
(Standar (Standar rekam medis
Operasional Operasional bagian filing
Prosedur (SOP)) Prosedur rawat jalan
Rekam Medis Di (SOP)) belum sesuai
RStandar Rekam Medis dengan Standar
Operasional Operasional
Prosedur (SOP) Prosedur (SOP)
Dr. Soeradji rekam medis
Tirtonegoro yang ada
Klaten

Nopita
Cahyaningrum

INFOKES, VOL.
3 NO. 1 Agustus
2013
4 Hubungan Independen: Analitik Penerapan
Penerapan penerapan korelasi dengan Standar
Standar Standar rancangan cross Operasional
Operasional Operasional sectional Prosedur (SOP)
Prosedur (SOP) Prosedur (SOP) penerimaan
Penerimaan penerimaan pasien baru di
Pasien Baru pasien unit rawat inap
Dengan Puskesmas
Tingkat Kepuasan Dependen: Bareng adalah
Pasien kepuasan tidak sesuai
pasien prosedur
Wemvi Kusuma
Sari, Iswanto
Karso, Miftachul
Huda

Jurnal Ilmiah
Keperawatan, Vol
3 No 2 September
2017 ISSN :
2528-3022
5 Tinjauan Pelaksanaan Jenis penelitian Petugas dalam
43

No Judul Variabel Metode Hasil


Pelaksanaan Standar adalah melaksanakan
Standar Operasional deskriptif standar
Operasional Prosedur dengan operasional
Prosedur Pasien Pasien Gawat pendekatan prosedur pasien
Gawat Darurat Darurat cross sectional gawat darurat
yang Dirujuk di dirujuk belum
Rsu Jati Husada sepenuhnya
Karanganyar sesuai dengan
Standar
Bayu Langlang Operasional
Kartika, Antik Prosedur (SOP)
Pujihastuti yang ada

IJMS –
Indonesian
Journal On
Medical Science –
Volume 2 No 1 –
Agustus 2015
44

7 Kerangka Teori

Penyebab gagal ginjal kronik: Gagal Manifestasi Klinik GGK:


Infeksi Saluran Kemih Ginjal Gejala dini : lethargi, sakit
Penyakit Peradangan Kroni kepala, kelelahan fisik dan
Nifrosklerosis k mental, berat badan
Hipertensif berkurang, mudah
tersinggung, depresi
Gangguan Kongenital
Gejala yang lebih lanjut :
dan Herediter anoreksia, mual disertai
Gangguan Metabolik muntah, nafas dangkal atau
Nefropati Toksik sesak nafas baik waktu ada
Faktor resiko: kegiatan atau tidak, udem
Usia yang disertai lekukan, pruritis
Jenis Kelamin mungkin tidak ada tapi
Riwayat Hipertensi mungkin juga sangat parah.
Riwayat Diabetes
Mellitus
Kebiasaan Merokok
PenatalaksanaanGGK: Hemodialis Kegagalan fungsi
Terapi penyakit dasarnya sa tubuh yaitu ginjal
Pencegahan komorbid
Memperlambat ↓ fungsi ginjal.
Pencegahan dan terapi terhadap Prosedur
komplikasi Hemodialissa
Terapi pengganti ginjal
Akses Vaskuler

Akses Eskternal Akses Internal

Pirau Arterivenosa/Shunt AV shunt atau AV Fistula


External/AV Shunt Scribner AV Graft
Catheter Double Lumen (CDL)
Vena femoralis
Vena Subclavia Perawatan mandiri CDL sesuai
Vena Jugularis Internal Standar Operasional Prosedur
(SOP)

Gambar 2. 7 Kerangka Teori


45

8 Kerangka Konseptual

Pasien GGK yang


dilakukan hemodialisa

Prosedur hemodialisa

1. Akses internal
2. Akses
eksternal

Faktor yang 1. AV
mempengaruhi shunt/fistula
Perawatan Mandiri: 2. AV graft
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Tingkat
pendidikan Perawatan Mandiri
Kateter Double Lumen

Sesuai Standar Operasional Tidak sesuai Standar


Prosedur (SOP) Operasional Prosedur (SOP)

Tidak ada tanda-tanda Ada tanda-tanda


resiko infeksi resiko infeksi

:
: diteliti
: tidak diteliti

Gambar 2. 8 Kerangka Konseptual


BAB 3

METODE PENELITIAN

9 Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan bentuk rancangan yang digunakan dalam

melakukan prosedur penelitian (Hidayat, 2012). Desain yang digunakan dalam

penelitian ini adalah descriptive, merupakan suatu metode yang bertujuan

menggambarkan atau mendeskripsikan secara akurat dari sejumlah

karakteristik masalah yang ingin diteliti.Penelitian deskriptif adalah penelitian

yang bertujuan untuk menjelaskan, memberi suatu nama, situasi atau

fenomena dalam menemukan ide baru (Nursalam, 2016). Dalam penelitian ini

menggambarkan tentang perawatan mandiri kateter double lumen pada pasien

gagal ginjal kronik yang dilakukan hemodialisa di RSI Sakinah Mojokerto.

10 Populasi, Sampling, dan Sampel

3.1.1 Populasi

Menurut (Setiadi, 2013), mengatakan bahwa populasi adalah wilayah

generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan

karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan

kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini adalah

seluruh pasien gagal ginjal kronik yang dilakukan hemodialisa di RSI

Sakinah Mojokerto sejumlah 120 orang.

46
47

3.1.2 Sampling

Teknik sampling merupakan proses seleksi sampel yang digunakan

dalam penelitian, sehingga sampel tersebut dapat mewakili populasi yang

ada. Dalam penelitian ini pengambilan sampel menggunakan teknik non

probabilitysampling tipe sample random samplingyaitu teknik

pengambilan sampel dari anggota populasi yang dilakukan secara acak

tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu(Hidayat, 2012).

Menurut Arikunto (2012), apabila besar populasi lebih dari 100, maka

sampel boleh diambil 10-15% atau 20-25% dari total populasi. Sampel

penelitian ini menggunakan 25% total populasi, sehingga dapat dihitung

dengan rumus persentase:

25
n x 120
100

3000
n
100

n = 30 orang

3.1.3 Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto,

2012). Sampel yang baik yaitu sampel yang memiliki populasi atau yang

representatif artinya yang menggambarkan keadaan populasi atau

mencerminkan populasi secara maksimal tetapi walaupun mewakili,

sampel bukan merupakan duplikat dari populasi. Sampel dalam penelitian

ini adalah Sebagian pasien gagal ginjal kronik yang dilakukan hemodialisa

di RSI Sakinah Mojokerto sejumlah 30 orang.


48

11 Identifikasi Variabel Penelitian dan Definisi Operasional.

3.1.4 Variabel

Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau

ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan peneliti tentang sesuatu

(Notoatmodjo, 2012). Variabel dalam penelitian ini adalah perawatan

mandiri kateter double lumen pada pasien gagal ginjal kronik yang

dilakukan hemodialisa.
49

3.1.5 Definisi Operasional

Definisi Operasional adalah mendefinisikan variabel secara

operasional berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga

memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran

secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena (Hidayat, 2010).

Tabel 3.1 Definisi Operasional Perawatan Mandiri Kateter Double


Lumen Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Dilakukan
Hemodialisa di Rumah Sakit Islam Sakinah Mojokerto
Definisi
Variabel Indikator Alat ukur Skala Kriteria
Operasional
Perawatan Upaya yang Standar Ceklist Ordinal 1. Sesuai
mandiri dilakukan Operasional Standar Standar
kateter oleh pasien Prosedur (SOP) Operasional Operasional
double lumen dan keluarga Perawatan kateter Prosedur Prosedur
dalam double lumen (SOP) (SOP)
melakukan perawatan 2. Tidak sesuai
perawatan double Standar
mandiri lumen Operasional
kateter Prosedur
double (SOP)
lumen

12 Prosedur Penelitian

Kerangka kerja adalah pertahapan (langkah-langkah dalam aktifitas

dan ilmiah) mulai dari penetapan populasi, sampel, dan seterusnya yaitu

kegiatan sejak awal penelitian dilaksanakan (Nursalam, 2016). Langkah-

langkah dalam penelitian ini adalah:

1. Mengurus perizinan dari Ketua Stikes Bina Sehat PPNI Mojokerto dan

Direktur RSI Sakinah serta tembusan Kepala Ruangan Hemodialisa

sesuai dengan prosedur perizinan penelitian.


50

2. Meminta data pasien di ruang Hemodialisa RSI Sakinah Mojokerto.

3. Peneliti menjelaskan kepada Kepala perawat ruang hemodialisa tentang

penelitian yang dilakukan dengan memperkenalkan diri terlebih dahulu.

4. Menjelaskan maksud dan tujuan penelitian pada kepala perawat ruang

hemodialisa

5. Mengidentifikasi perawatan mandiri pasien gagal ginjal yang dilakukan

kateter double lumen diruang hemodialisa.

6. Memberikan informed consent yang harus ditanda lengani oleh

responden

7. Melakukan wawancara (mengumpulkan data) sesuai Standar

Operasional Prosedur (SOP) atau tidak sesuai Standar Operasional

Prosedur (SOP) dan observasi kateter double lumen.

8. Melakukan analisa data dengan melalui editing, coding, scoring, dan


tabulating.
51

Kerangka kerja dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Populasi :
Sebagian pasien gagal ginjal kronik diruang Hemodialisa di RSI Sakinah
Mojokerto sejumlah 120 orang.

Sampling :
Teknik simple random sampling.

Sampel:
Seluruh pasien gagal ginjal kronik diruang Hemodialisa di RSI Sakinah
Mojokerto sejumlah 30 orang

Pengumpulan data :
Dengan melakukan pengumpulan data menggunakan lembar observasi dan
Standar Operasional Prosedur (SOP) perawatan kateter double lumen.

Pengolahan data :
Editing. Coding, Scoring, Tabulating

Penyajian data :
Tabel distribusi frekuensi dan persentase. Analisa data dengan analisis
deskriptif

Diseminasi :
Perawatan Mandiri Kateter Double Lumen Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik
Yang Dilakukan Hemodialisa

Gambar 3.1 Kerangka Kerja Tentang Perawatan Mandiri Kateter Double


Lumen Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Dilakukan
Hemodialisa di Rumah Sakit Islam Sakinah Mojokerto.
52

13 Pengumpulan Data

3.1.6 Instrumen

Instrumen penelitian merupakan alat bantu bagi peneliti dalam

mengumpulkan data (Arikunto, 2016). Dalam penelitian ini instrumen

berupa Standar Operasional Prosedur (SOP) perawatan kateter double

lumen dan lembar observasi.

3.1.7 Lokasi dan waktu penelitian

Lokasi penelitian ini mengambil diruang Hemodialisa di RSI

Sakinah Mojokerto. Penelitian ini dimulai bulan November 2019 sampai

dengan Agustus 2020.

14 Analisis data

3.1.8 Teknik Pengolahan Data

Setelah data terkumpul dilakukan pengadaan dengan tahap sebagai

berikut :

3.6.1.1 Editing

Data perlu diedit untuk memudahkan pengolahan data selanjutnya.

Peneliti melakukan editing dengan cara memastikan bahwa ceklist telah

terisi seluruhnya dan tidak ada satu tindakan yang terlewatkan dari

penilaian.

3.6.1.2 Coding

Peneliti memberikan kode berpa angka pada tabulasi hasil

penelitian sesuai dengan kode di bawah ini:


53

1) Data umum pasien gagal ginjal kronik

a) Usia

Kode 1: 17-25 tahun

Kode 2: 25-35 tahun

Kode 3: 36-30 tahun

Kode 4: 46-59tahun

Kode 5: ≥ 60 tahun

b) Jenis Kelamin

Kode 1: Laki-laki

Kode 2: Perempuan

c) Pendidikan Pasien

Kode 1: SD

Kode 2: SMP

Kode 3: SMA

Kode 4: Perguruan Tinggi

d) Lama HD

Kode 1: < 1 tahun

Kode 2: 1-2 tahun

Kode 3: 2-3 tahun

Kode 4: > 3 tahun

Data Khusus

a) Perawatan Kateter double lumen

Kode 1: Sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP)


54

Kode 2: Tidak Sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP)

3.6.1.3 Scoring

Scoring untuk variabel perawatan kateter doble lumen adalah nilai 0 untuk

langkah tindakan yang tidak dilakukan (tidak ada tanda-tanda resiko

infeksi) dan nilai 1 untuk langkah tindakan yang dilakukan sesuai dengan

Standar Operasional Prosedur (SOP) (ada tanda-tanda infeksi) dan lembar

observasi.

3.6.1.4 Tabulating

Tabulating adalah usaha untuk menyajikan data, terutama

pengolahan data yang menjurus ke analisis kuantitatif. Pengolahan data ini

menggunakan tabel distribusi frekuensi.

15 Etika Penelitian

Pada pelaksanaan penelitian, penelitian harus mengajukan permohonan

ijin pada institusi STIKES Bina Sehat PPNI Kabupaten Mojokerto,

kemudian meminta izin dari Direktur RSI Sakinah Mojokerto. Setelah

disetujui maka penelitian dapat dilakukan dengan terlebih dahulu

menyebarkan lembar persetujuan menjadi responden dengan menekankan

pada masalah etika meliputi :

3.6.2 Tanpa Nama (anonymity)

Untuk menjaga kerahasiaan responden peneliti tidak

mencantumkan nama responden dan lembar pengumpulan data yang telah

diisi pada lembar tersebut hanya diberikan pada kode tertentu.


55

3.6.3 Lembar persetujuan responden (informed concent)

Lembar persetujuan yang diedarkan sebelum penelitian

dilaksanakan kepada seluruh obyek yang diteliti dengan maksud supaya

responden mengetahui tujuan peneliti. Jika subyek bersedia diteliti, maka

mereka menandalengani lembar persetujuan tersebut, tetapi juika tidak

tersedia maka peneliti harus menghormati hak responden.

3.6.4 Kerahasiaan (confidentiallity)

Subyek mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan

harus dirahasiakan, untuk itu perlu adanya anonimity/tanpa nama dan

confidentially/rahasia.

16 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini adalah:

1. Pada saat dilakukan penelitian beberapa responden kurang kooperatif

2. Penelitian ini dilakukan dalam masa pandemi Covid 19 yang

mengharuskan peneliti untuk menerapkan protokol kesehatan sehingga

pihak rumah sakit membatasi jumlah pasien yang boleh diteliti


56
BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini membahas tentang hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Agustus

2020 tentang karakteristik responden dan data khusus perawatan mandiri kateter

double lumen pada pasien gagal ginjal kronik yang dilakukan hemodialisa.

17 Hasil Penelitian

4.1.1 Data Umum

1. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur

Tabel 4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur di RSI Sakinah


Mojokerto Pada Bulan Agustus 2020
Umur Frekuensi Persentase (%)
17-25 tahun 0 0
26-35 tahun 1 3,3
36-45 tahun 6 20,0
46-59 tahun 16 53,4
≥ 60 tahun 7 23,3
Total 30 100,0
Sumber: Data primer penelitian tahun 2020

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berumur

45-59 tahun yaitu 16 orang (53,4%).

2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin di RSI


Sakinah Mojokerto Pada Bulan Agustus 2020
Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)
Laki-laki 22 73,3
Perempuan 8 26,7
Total 30 100,0
Sumber: Data primer penelitian tahun 2020

55
56

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden adalah

laki-laki yaitu 22 orang (73,3%).

3. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pendidikan di RSI Sakinah


Mojokerto Pada Bulan Agustus 2020
Pendidikan Frekuensi Persentase (%)
SD 0 0
SMP 11 36,7
SMA 18 60,0
Perguruan Tinggi 1 3,3
Total 30 100,0
Sumber: Data primer penelitian tahun 2020

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden

berpendidikan SMAyaitu 18 orang (60%).

4. Karakteristik Responden Berdasarkan Lama HD

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Lama HD di RSI Sakinah


Mojokerto Pada Bulan Agustus 2020
Lama HD Frekuensi Persentase (%)
< 1 tahun 19 63,4
1-2 tahun 10 33,3
2-3 tahun 1 3,3
Total 30 100,0
Sumber: Data primer penelitian tahun 2020

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden dilakukan

hemodialisa selama < 1 tahun yaitu 19 orang (63,4%).


57

4.1.2 Data Khusus Perawatan Mandiri Kateter Double Lumen

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Perawatan Mandiri Kateter


Double Lumen di RSI Sakinah Mojokerto Pada Bulan Agustus
2020
Perawatan Mandiri Kateter Frekuensi Persentase (%)
Double Lumen
Sesuai Standar Operasional
17 56,7
Prosedur (SOP)
Tidak Sesuai Standar
13 43,3
Operasional Prosedur (SOP)
Total 30 100,0
Sumber: Data primer penelitian tahun 2020

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa sebagian besarresponden melakukan

perawatan kateter double lumen sesuai Standar Operasional Prosedur

(SOP) yaitu 17 orang (56,7%).

18 Pembahasan Perawatan Mandiri Kateter Double Lumen pada Pasien

Gagal Ginjal Kronik yang Dilakukan Hemodialisa

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden melakukan

perawatan kateter double lumen sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) yaitu

17 orang (56,7%), dan yang tidak sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP)

sebanyak 13 orang (43,3%).Hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan

oleh (Wijayanti et al., 2018) dimana lebih dari separuh responden mempunyai self

management dalam perawatan akses vaskuler hemodialisa yang baik dengan

persentasi sebesar 51%.

Pasien gagal ginjal kronik membutuhkan pembersihan darah secara rutin

(hemodialisis). Dalam proses hemodialisis dilakukan dengan menggunakan

kateter. CDL (Catheter Double Lument) adalah suatu saluran yang dimasukkan ke
58

dalam suatu vena sentral di daerah leher, dada atau lipat paha. Kateter ini di luar

tubuh memisah menjadi dua saluran, melalui prosedur operasi. Akses ini sangat

tidak ideal karena dapat menimbulkan berbagai macam komplikasi seperti bekuan

darah yang menyumbat akses, infeksi dan jangka lama vena tempat pemasangan

kateter akan mengalami penyempitan sehingga tidak dapat digunakan lagi untuk

akses hemodialisis. Semua tindakan perawatan ini harus dilakukan dengan benar

sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) karena jika

perawatandilakukan tidak benar akan menyebabkan infeksi. Bila pada CDL

(Catheter Double Lument) adanya rasa nyeri pada tempat keluarnya kateter,

pendarahan atau keluar cairan dari daerah kateter, suhu tubuh lebih dari 38 celsius

dan keteter keluar dari tempat penusuk maka akan terjadi resiko infeksi. Infeksi

merupakan penyebab utama meningkatnya angka kesakitan dan angka kematian

pada pasien hemodialysis. (Kemenkes RI, 2018).

Responden yang melakukan perawatan sesuai Standar Operasional

Prosedur (SOP) disebabkan karena pasien yang menjalani hemodialisa akan

diajarkan cara melakukan perawatan kateter yang benar agar menghindari infeksi,

karena perlukaan pada tubuh yang terbuka merupakan jalan masuk untuk

mikroorganisme patogen penyebab infeksi sehingga pasien harus melakukan

perawatan dengan benar sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) yang

disampaikan oleh perawat setelah melakukan HD.

Responden yang tidak melakukan perawatan sesuai Standar Operasional

Prosedur (SOP) terjadi pada responden yang baru masa-masa awal menjalani

hemodialisa (< 1 tahun) sehingga menimbulkan terjadinya infeksi yang


59

berdasarkan hasil wawancara dengan pasien, rata-rata infeksi timbul setelah 3-4

bulan setelah pemasangan kateter akibat lumen sering dibiarkan terbuka,

kebersihan yang kurang terjaga, kadang tidak dikeringkan, sehingga membuat

kuman mudah masuk, karena lingkungan area akses vaskuler yang lembab akan

mudah ditempeli kuman, dan luman terbuka akan memudah kuman masuk.

Responden yang melakukan perawatan sesuai Standar Operasional Prosedur

(SOP) adalah 50% dari responden yang berusia 36-45 tahun, 62,5% dari

responden yang berusia 46-59 tahun, dan 57,1% dari responden yang berusia ≥ 60

tahun, sedangkan yang tidak sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) adalah

100% dari responden yang berusia 26-35 tahun, 50% dari responden yang berusia

36-45 tahun, 37,5% dari responden yang berusia 46-59 tahun, dan 42,9% dari

responden yang berusia ≥ 60 tahun. Usia merupakan bagianesensial yang harus

diperhatikandengan baik untuk mencapaikemandirian perawatan diri. Usia lebih

muda lebih mempunyaikemampuan untuk merawat dirinya dibandingkan usia

yang lebih tua (Wijayanti et al., 2018). Usiayang semakin tua, cenderung lebih

mematuhi SOP karena sudah lebih lama mengalami sakit dan menjalani

hemodialisa sehingga sudah memahami apa yang harus dilakukan dalam

merawata akses vaskuler untuk menghindari infeksi pada dirinya sendiri.

Responden yang melakukan perawatan sesuai Standar Operasional Prosedur

(SOP) adalah 50% responden laki-laki, 75% responden perempuan, sedangkan

yang tidak sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) adalah 50% dari responden

laki-laki, 25% responden perempuan. Jeniskelamin menjadi pembedapelaksanaan

perawatan diriyang dilakukan olehlaki-laki dan perempuan karenadipengaruhi


60

oleh faktor pikososialdan budaya. Perempuan lebih cenderung menunjukkan

dampakpsikososial positif karena lebih sabar selama masaperawatan(Astuti et al.,

2018).Responden perempuan cenderung lebih mematuhi Standart Operasional

Prosedur (SOP) dikarenakan perempuan lebih telaten dan lebih sabar dalam

melakukan perawatan dirinya sendiri, sehingga lebih bersih dalam menjaga akses

vaskuler, sedangkan laki-laki dengan pembawaan yang lebih keras cenderung

kurang sabar dalam melakukan perawatan diri, apalagi yang dilakukan setiap hari,

seperti menutup lumen, mengeringkan daerah akses vaskuler.

Responden yang melakukan perawatan sesuai Standar Operasional Prosedur

(SOP) adalah 36,7% dari responden berpendidikan SMP, 60,0% responden

dengan pendidikan SMA, dan 100% dari responden yang berpendidikan

perguruan tinggi, sedangkan yang tidak sesuai Standar Operasional Prosedur

(SOP) adalah 63,3% dari responden berpendidikan SMP, 40,0% responden

dengan pendidikan SMA. Pendidikan tinggi seseorang akan mendapatkan

informasi baik dari orang lain maupun media massa. Semakin banyak informasi

yang masuk, semakin banyak pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan.

Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi

dapat diperoleh pada pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang suatu

objek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek

ini akan menentukan sikap seseorang terhadap objek tertentu. Semakin banyak

aspek positif dari objek yang diketahui akan menumbuhkan sikap positif terhadap

objek tersebut(Fitriani, 2015). Menurut peneliti, semakin tinggi pendidikan

responden, maka perilaku responden semakin baik, demikian juga halnya dengan
61

perawatan kateter yang juga termasuk dalam bentuk perilaku kesehatan, sehingga

responden dengan pendidikan yang lebih tinggi cenderung melakukan perawatan

sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) karena pendidikan yang lebih tinggi

akan memudahkan responden untuk menerima informasi tentang Standar

Operasional Prosedur (SOP) perawatan mandiri kateter double lumen sehingga

dapat diterapkan dengan benar sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP),

sedangkan yang tidak sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) adalah

responden dengan pendidikan dasar dan sebagian kecil responden dengan

pendidikan menengah, sehingga kemampuan untuk menerima informasi kurang

yang membuat responden tidak mematuhi Standar Operasional Prosedur (SOP)

perawatan kateter double lumen.


BAB 5

SIMPULAN DAN SARAN

19 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian perawatan mandiri kateter double lumen pada

Perawatan mandiri kateter double lumen pada pasien gagal ginjal kronik yang

dilakukan hemodialisa di Rumah Sakit Islam Sakinah yang sesuai diharapkan

tidak terjadi resiko infeksi.pasien gagal ginjal kronik yang dilakukan

hemodialisa di Rumah Sakit Islam Sakinah didapatkan besar hasil sesuai

dengan Standart Operasional Prosedur (SOP).

20 Saran

5.1.1 Bagi Pasien

Diharapkan untuk melakukan perawatan mandiri double lumen

kateter sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang diberikan

oleh rumah sakit, terutama dalam hal membiarkan ujung kateter terbuka

sehingga menjadi port de entree bagi mikroorganisme patogen penyebab

infeksi, dan juga menjaga akses vaskuler bersih dan kering.

5.1.2 Bagi Tempat Penelitian

Membuatkan leaflet Standar Operasional Prosedur (SOP)

perawatan mandiri double lumen kateter, sehingga tidak hanya

disampaikan saja kepada pasien, tetapi ada wujud fisik berupa leaflet atau

booklet sehingga pasien dapat melakukan perawatan sesuai Standar

62
63

Operasional Prosedur (SOP) dan dilakukan dengan tepat untuk mencegah

infeksi
64

5.1.3 Bagi Peneliti Selanjutnya

Melakukan pengembangan penelitian selanjutnya tentang faktor

yang mempengaruhi kepatuhan pasien gagal ginjal kronik dalam

melakukan perawatan mandiri kateter double lumen atau dampak dari

perawatan kateter double lumen seperti kejadian infeksi.


DAFTAR PUSTAKA

Alam, S., & Hadibroto, I. (2012). Gagal Ginjal. PT Gramedia Pustaka Utama.
Anang Ma’ruf. (2018). Penatalaksanaan-Akses-Vaskuler. 031, 1–49.
http://ipdijatim.org/wp-content/uploads/2017/12/penatalaksanaan-akses-
vaskuler.pdf
Arikunto, S. (2016). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka
Cipta.
Astuti, P., Herawati, T., & Kariasa, I. made. (2018). Faktor-faktor yang
Berhubungan Dengan Self Management pada Pasien Hemodialisis di Kota
Bekasi. Health Care Nursing Journal, 1.
Bayhakki. (2013). Seri Asuhan Keperawatan Klien Gagal Ginjal Kronik. EGC.
Daugirdas, J. T., Blake, P. G., & Ing, T. S. (2015). Handbook of dialysis: Fifth
edition. In Handbook of Dialysis: Fifth Edition.
FRESENUIS MEDICAL CARE. (2018). Understanding hemodialysis. Fresenuis
Medical Care.
Hidayat, A. A. A. (2012). Metode Penelitian Untuk Mahasiswa Keperawatan.
Salemba Medika.
Kemenkes RI. (2017). InfoDATIN Ginjal.
Kemenkes RI. (2019). Profil Kesehatan Indonesia 2018 [Indonesia Health Profile
2018]. http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-
kesehatan-indonesia/Data-dan-Informasi_Profil-Kesehatan-Indonesia-
2018.pdf
Lubis, A., Tarigan, R. R., Nasution, B. R., Ramadani, S., & Vegas, A. (2014).
Pedoman penatalaksanaan gagal ginjal kronik. Medan: Divisi Nefrologi-
Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara RSUP. H Adam Malik Medan, 1–31.
Melnick, D. M. (2016). Vascular access for hemodialysis. Illustrative Handbook
of General Surgery: Second Edition, 747–757. https://doi.org/10.1007/978-3-
319-24557-7_41
Nuari, N, A., & Widayati, D. (2017). Gangguan Pada Sistem Perkemihan &
Penatalaksanaan Keperawatan. In Gangguan Pada Sistem Perkemihan &
Penatalaksanaan Keperawatan.
Nursalam. (2016). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis.
Jakarta: Salemba Medika.

65
66

Pranandari, R., & Supadmi, W. (2015). Faktor Risiko Gagal Ginjal Kronik Di
Unit Hemodialisis Rsud Wates Kulon Progo. Applied Physics Letters, 25(7),
415–418. https://doi.org/10.1063/1.1655531
Sari, D. K. (2017). Hubungan Lama Menjalani Terapi Hemodialisis Dengan
Kualitas Hidup Pasien Penyakit Ginjal Kronik Di Instalasi Hemodialisis
RSUD Abdul Moeloek. Medikal Bedah.
Setiadi. (2013). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Graha Ilmu.
Smeltzer, S. &, & Bare, B. (2017). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi
8. EGC. https://doi.org/10.1037/1524-9220.4.1.3
Smeltzer, S. C. (2016). Buku Saku Ilmu Keperawatan Medikal Bedah. EGC.
Tim IRR. (2018). 10 th Report Of Indonesian Renal Registry 2017 10 th Report
Of Indonesian Renal Registry 2017.
Trianto, Semadi, N., & Widiana, G. R. (2015). FAKTOR RISIKO INFEKSI
KATETER HEMODIALISIS DOUBLE LUMEN NON-TUNNELLED.
Jurnal Ilmiah Kedokteran, 46(September), 152–155.
Wijaya, A., & Putri, Y. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. Nuha Medika.
Wijayanti, D., Dinarwiyata, D., & Tumini, T. (2018). Self Care Management
Pasien Hemodialisa Ditinjau Dari Dukungan Keluarga Di Rsud Dr.Soetomo
Surabaya. Jurnal Ilmu Kesehatan, 6(2), 109.
https://doi.org/10.32831/jik.v6i2.162
67

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian


68

Lampiran 2. Balasan Penelitian dari RSI Sakinah


69

Lampiran 4. Permohonan Menjadi Responden


LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Dengan hormat,

Yang bertanda lengan di bawah ini, mahasiswa Program Studi S1

Keperawatan STIKES Bina Sehat PPNI Kabupaten Mojokerto:

Nama :HENI DWI MASYITAH

NIM :201807024

Akan mengadakan penelitian dengan judul “Perawatan Mandiri Kateter

Double Lumen Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Dilakukan

Hemodialisa di Rumah Sakit Islam Sakinah Mojokerto”.

Untuk kepentingan di atas, maka saya mohon kesediaan saudara untuk

menjadi responden dalam penelitian ini.Selanjutnya saya mohon saudara untuk

memberikan jawaban secara jujur. Jawaban yang saudara berikan dijamin

kerahasiaannya dan tidak perlu mencantumkan nama pada lembar kuesioner.

Demikian permohonan saya, atas kesediaan dan kerjasamanya,

sayasampaikan terima kasih

Mojokerto,Agustus 2020

Hormat saya

Peneliti
70

Lampiran 5. Lembar Persetujuan Menjadi Responden

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN


(INFORMED CONCENT)

Yang bertandalengan dibawah ini

Kode responden :

Alamat :

Setelah mendapat penjelasan tentang tujuan dan manfaat penelitian yang

diselenggarakan oleh mahasiswa STIKES Bina Sehat PPNI Kabupaten

Mojokerto, maka saya

( Bersedia / Tidak Bersedia* )

Untuk berperan serta sebagai responden.

Apabila sesuatu hal yang merugikan diri saya akibat penelitian ini, maka

saya akan bertanggung jawab atas pilihan saya sendiri dan tidak akan menuntut di

kemudian hari.

*) Coret yang tidak dipilih

Mojokerto,Agustus 2020
Yang bersangkutan
71

Lampiran 6. Kuesioner

DATA UMUM RESPONDEN

Perawatan Mandiri Kateter Double Lumen Pada Pasien Gagal Ginjal


Kronik Yang Dilakukan Hemodialisa di Rumah Sakit
Islam Sakinah Mojokerto

Kode Responden :( )
Umur :
( ) 17-25 tahun
( ) 26-35 tahun
( ) 36-30 tahun
( ) 46-59 tahun
( ) ≥ 60 tahun
Jenis kelamin :
( ) Laki-laki
( ) Perempuan
Pendidikan :
( ) SD
( ) SMP
( ) SMA
( )Perguruan Tinggi
Lama Hemodialisa :
( ) < 1 tahun
( ) 1-2 tahun
( ) 2-3 tahun
( ) > 3 tahun
72

LEMBAR OBSERVASI

Standar Operasional Prosedur (SOP)PERAWATAN MANDIRI KATETER


HEMODIALISA
No Tindakan Dilakukan Tidak Skor
dilakukan
1 Bila AV fistula masih abru, untuk
membantu memperbesar vena dapat
dilakukan dengan meremas bola karet pada
lengan yang terdapat AV fistula
2 Selalu menjaga kebersihan terutama pada
akses untuk menghindari infeksi akses
3 Jangan mengukur tekanan darah pada
lengan yang terdapat akses vaskuler
4 Jangan mengangkat beban berat
menggunakan lengan yang terdapat akses
vaskuler
5 Jangan menggunakan perhiasan atau baju
yang sempit pada lengan yang terdapat
akses vaskuler agar aliran darah tetap lancar
6 Cimino jangan tertindih saat tidur
7 Cek akses anda setiap hari dengan
merabanya, adakah getaran yang kuat
8 Kateter HD hanya digunakan untuk akses
hemodialisa
9 Jaga kebersihan lokasi terpasangnya kateter
HD
10 Kasa pembalut kateter harus selalu bersih
dan kering
11 Klem pada kateter HD harus selalu dalam
keadaan tertutup
Total Skor

(Sumber: RSI Sakinah, 2020)


73

Tabulasi Responden

Perawatan Mandiri Kateter Double Lumen Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang
Dilakukan Hemodialisa di Rumah Sakit Islam
Sakinah Mojokerto

Res Jenis Lama


Umur Pendidikan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Total Kriteria Kode
p Kelamin HD
Tidak sesuai
Standar
1 2 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 10 2
Operasional
Prosedur (SOP)
Sesuai Standar
2 3 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 Operasional 1
Prosedur (SOP)
Tidak sesuai
Standar
3 3 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 10 2
Operasional
Prosedur (SOP)
Tidak sesuai
Standar
4 4 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 10 2
Operasional
Prosedur (SOP)
Tidak sesuai
Standar
5 4 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 10 2
Operasional
Prosedur (SOP)
Sesuai Standar
6 5 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 Operasional 1
Prosedur (SOP)
Sesuai Standar
7 4 2 3 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 Operasional 1
Prosedur (SOP)
Sesuai Standar
8 4 1 3 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 Operasional 1
Prosedur (SOP)
Sesuai Standar
9 5 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 Operasional 1
Prosedur (SOP)
Sesuai Standar
10 4 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 Operasional 1
Prosedur (SOP)
Sesuai Standar
11 4 2 3 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 Operasional 1
Prosedur (SOP)
Sesuai Standar
12 4 1 3 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 Operasional 1
Prosedur (SOP)
Tidak sesuai
Standar
13 3 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 10 2
Operasional
Prosedur (SOP)
Sesuai Standar
14 4 1 2 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 Operasional 1
Prosedur (SOP)
Sesuai Standar
15 5 2 3 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 Operasional 1
Prosedur (SOP)
74

Sesuai Standar
16 5 1 3 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 Operasional 1
Prosedur (SOP)
Sesuai Standar
17 4 1 3 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 Operasional 1
Prosedur (SOP)
Sesuai Standar
18 4 2 3 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 Operasional 1
Prosedur (SOP)
Tidak sesuai
Standar
19 4 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 10 2
Operasional
Prosedur (SOP)
Sesuai Standar
20 4 2 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 Operasional 1
Prosedur (SOP)
Tidak sesuai
Standar
21 4 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 10 2
Operasional
Prosedur (SOP)
Tidak sesuai
Standar
22 5 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 10 2
Operasional
Prosedur (SOP)
Tidak sesuai
Standar
23 5 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 9 2
Operasional
Prosedur (SOP)
Tidak sesuai
Standar
24 4 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 10 2
Operasional
Prosedur (SOP)
Sesuai Standar
25 3 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 Operasional 1
Prosedur (SOP)
Tidak sesuai
Standar
26 3 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 8 2
Operasional
Prosedur (SOP)
Sesuai Standar
27 3 2 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 Operasional 1
Prosedur (SOP)
Sesuai Standar
28 4 1 4 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 Operasional 1
Prosedur (SOP)
Tidak sesuai
Standar
29 5 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 10 2
Operasional
Prosedur (SOP)
Tidak sesuai
Standar
30 4 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 10 2
Operasional
Prosedur (SOP)
75

Tabel Distribusi Frekuensi

Frequency Table
Umur
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 26-35 tahun 1 3.3 3.3 3.3
36-45 tahun 6 20.0 20.0 23.3
46-59 tahun 16 53.3 53.3 76.7
>= 60 tahun 7 23.3 23.3 100.0
Total 30 100.0 100.0

Jenis_Kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Laki-laki 22 73.3 73.3 73.3
Perempuan 8 26.7 26.7 100.0
Total 30 100.0 100.0

Pendidikan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid SMP 11 36.7 36.7 36.7
SMA 18 60.0 60.0 96.7
Perguruan Tinggi 1 3.3 3.3 100.0
Total 30 100.0 100.0

Lama_HD
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid < 1 tahun 19 63.3 63.3 63.3
1-2 tahun 10 33.3 33.3 96.7
2-3 tahun 1 3.3 3.3 100.0
Total 30 100.0 100.0
76

Perawatan_Kateter
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Sesuai Standar
Operasional Prosedur 17 56.7 56.7 56.7
(SOP)
Tidak Sesuai Standar
Operasional Prosedur 13 43.3 43.3 100.0
(SOP)
Total 30 100.0 100.0
77

Tabel Silang Data Umum dengan Perawatan Kateter Double Lumen

Umur * Perawatan_Kateter Crosstabulation


Perawatan_Kateter
Sesuai Standar Tidak Sesuai Standar
Operasional Operasional
Prosedur (SOP) Prosedur (SOP) Total
Umur 26-35 tahun Count 0 1 1
% within Umur .0% 100.0% 100.0%
36-45 tahun Count 3 3 6
% within Umur 50.0% 50.0% 100.0%
46-59 tahun Count 10 6 16
% within Umur 62.5% 37.5% 100.0%
>= 60 tahun Count 4 3 7
% within Umur 57.1% 42.9% 100.0%
Total Count 17 13 30
% within Umur 56.7% 43.3% 100.0%

Jenis_Kelamin * Perawatan_Kateter Crosstabulation


Perawatan_Kateter
Sesuai Standar Tidak Sesuai Standar
Operasional Operasional
Prosedur (SOP) Prosedur (SOP) Total
Jenis_Kelamin Laki-laki Count 11 11 22
% within Jenis_Kelamin 50.0% 50.0% 100.0%
Perempuan Count 6 2 8
% within Jenis_Kelamin 75.0% 25.0% 100.0%
Total Count 17 13 30
% within Jenis_Kelamin 56.7% 43.3% 100.0%
78

Pendidikan * Perawatan_Kateter Crosstabulation


Perawatan_Kateter
Sesuai Standar Tidak Sesuai Standar
Operasional Operasional
Prosedur (SOP) Prosedur (SOP) Total
Pendidikan SMP Count 3 8 11
% within Pendidikan 27.3% 72.7% 100.0%
SMA Count 13 5 18
% within Pendidikan 72.2% 27.8% 100.0%
Perguruan Tinggi Count 1 0 1
% within Pendidikan 100.0% .0% 100.0%
Total Count 17 13 30
% within Pendidikan 56.7% 43.3% 100.0%

Lama_HD * Perawatan_Kateter Crosstabulation


Perawatan_Kateter
Sesuai Standar Tidak Sesuai Standar
Operasional Operasional
Prosedur (SOP) Prosedur (SOP) Total
Lama_HD < 1 tahun Count 6 13 19
% within Lama_HD 31.6% 68.4% 100.0%
1-2 tahun Count 10 0 10
% within Lama_HD 100.0% .0% 100.0%
2-3 tahun Count 1 0 1
% within Lama_HD 100.0% .0% 100.0%
Total Count 17 13 30
% within Lama_HD 56.7% 43.3% 100.0%
79
80

Anda mungkin juga menyukai