Anda di halaman 1dari 34

MANAJEMEN KEPERAWATAN

RANGKUMAN TM 10

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Keperawatan

Dosen Pengampu : Ns. Linda Wieke Noviyanti, S.Kep., M.Kep.

Disusun Oleh :

Farizka Ari Aisyah

NIM. 195070209111005

PROGRAM STUDI SI KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020

1. Konsep Pelayanan Prima


Pelayanan prima sangat penting dilaksanakan dalam memberikan pelayanan keperawatan kepada
pasien karena selain berkonstribusi dalam meningkatkan kualitas layanan, pelayanan prima juga dapat
meningkatkan kepuasan pasien dan mendorong pasien untuk datang kembali berobat di rumah sakit
tersebut (Aziz, Y.A dan Wahidin, 2010). Pelayanan prima dalam konteks pelayanan rumah sakit berarti
pelayanan yang diberikan kepada pasien yang berdasarkan standar kualitas untuk memenuhi kebutuhan
dan keinginan pasien sehingga pasien dapat memperoleh kepuasan yang akhirnya dapat meningkatkan
kepercayaannya kepada rumah sakit (Endarini, 2001).

Unsur-unsur yang terdapat dalam pelayanan prima adalah kesederhanaan, kejelasan, kepastian,
keamanan, keterbukaan, efisien, ekonomis, keadilan merata serta ketepatan waktu. Dimensi mutu
pelayanan yaitu tangible (yang teramati : penampilan karyawan, peralatan, fasilitas fisik serta peralatan
komunikasi), reability (keandalan : kemampuan memberikan pelayanan yang
diinformasikan/dijanjikan), responsiveness (ketanggapan : kemampuan untuk membantu pelanggan
dengan pelayanan yang secepatnya), competence (kemampuan : memiliki semua kemampuan termasuk
pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlukan memberikan pelayanan secara efektif), courtesy
(sopan santun : sikap hormat, bijaksana serta keramahan dari tenaga medis yang memberikan
pelayanan), credibility (derajat kepercayaan dan kejujuran), security (keamanan), accessability
(kemudanan untuk dihubungi), communication (komunikasi dengan bahasa yang mudah dimengerti),
understanding (pengertian : usaha untuk memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan).

2. Aplikasi pelayanan prima dalam praktik keperawatan


Aplikasi pelayanan prima dapat tidak berarti harus selalu dimulai dengan menciptakan jenis
pelayanan yang baru sama sekali. Justru ide dasarnya adalah bagaimana caranya agar dapat
meningkatkan pelayanan yang telah ada selama ini agar lebih dapat memberdayakan pasien. Dengan
demikian, akuntabilitas rumah sakit sebagai lembaga pemberi jasa pelayanan kesehatan akan menjadi
lebih tinggi, dan niscaya meningkatkan kepercayaan pasien kepada rumah sakit. Pelayanan prima dalam
konteks pelayanan rumah sakit berarti pelayanan yang diberikan kepada pasien yang berdasarkan
standar kualitas untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pasien sehingga pasien dapat memperoleh
kepuasan yang akhirnya dapat meningkatkan kepercayaannya kepada rumah sakit.
 Berdasarkan tahapan pelayanan, pelayanan di Rumah Sakit dapat dibagi 3 jenis, yaitu:

3. Pelayanan pratransaksi: kegiatan pelayanan sblm melakukan tatap muka dengan


dokter/perawat;
 Pelayanan saat transaksi: kegiatan pelayanan pada saat tatap muka dengan dokter/perawat;
 Pelayanan Pasca Transaksi: kegiatan pelayanan sesudah tatap muka dengan dokter/perawat.

4. Kepuasan pelanggan internal dan eksternal


Rumah sakit sebagai salah satu sektor yang bergerak di bidang jasa pelayanan kesehatan tidak terlepas
dari penilaian oleh pelangganya , baik oleh pelanggan internal (dokter, perawat, tenaga – tenaga lain di
rumah sakit), maupun pelanggan eksternal (pasien / keluarganya dan sebagainya )
Indikatornya adalah bekerja dengan sungguh-sungguh mengutamakan kepuasan pelanggan eksternal dan
internal ditujukan dengan pencapaian kinerja pelayanan yang baik dengan meminimalisir komplain
pelanggan.

5. Manajemen rumah sakit dan rawat jalan


1. Rawat inap

Rawat inap adalah pemeliharaan kesehatan rumah sakit dimana penderita tinggal/mondok sedikitnya
satu hari berdasarkan rujukan dari pelaksana pelayanan kesehatan lain. Pelayanan kesehatan perorangan
yang meliputi observasi, diagnosa pengobatn, keperawatan, rehabilitasi medik, dengan menginap di
ruang inap pada saran kesehatan rumah sakit pemerintah dan swasta, serta perawatan rumah bersalin
yang oleh karena penyakitnya penderita harus menginap (Robot et al., 2018)

Rawat jalan Dari ketiga jenis pelayanan di rumah sakit, instalasi rawat jalan merupakan salah satu
bagian integral dari kegiatan jasa pelayanan rumah sakit yang memberikan kontribusi yang berarti bagi
rumah sakit. Keberhasilan pelayanan rawat jalan merupakan salah satu cerminan mutu rumah sakit
sekaligus sebagai pintu masuk pasien sebagai konsumen dan pelanggan.Terdapat beberapa unit pokok di
instalasi rawat yaitu, klinik umum, klinik gigi, dan klinik spesialis.Sebagian besar pasien akan mengarah
pada klinik spesialis, sejalan dengan tuntutan pasar berupa pelayanan spesialis yang bermutu dengan
availibilitas yang baik. Pada praktek sehari-hari, klinik spesialis mempunyai peran yang besar dalam
membangun citra rumah sakit secara keseluruhan (Kriswidiati, 2014)

6. Homecare dan hospice


Perawatan hospis atau Hospice care adalah perawatan pasien terminal (stadium akhir) dimana
pengobatan terhadap penyakitnya tidak diperlukan lagi. Perawatan ini bertujuan meringankan
penderitaan dan rasa tidak nyaman dari pasien, berlandaskan pada aspek bio-psiko-spiritual. Perawatan
paliatif dan hospis memberi manfaat bukan hanya bagi pasien dan keluarga tetapi juga bagi rumah sakit
dan sistem kesehatan secara keseluruhan. Prinsip tentang hospice care yaitu memberikan perawatan
suportif kepada orang-orang ditahap akhir penyakit terminal dan fokus pada kenyamanan dan kualitas
hidup, bukan pada penyembuhan.

Di Indonesia penatalaksanaan hospice care masih belum terfokus, karena masih banyak dikaitkan
bahwa antara palliative care, hospice care dan homecare adalah sama dan masih belum adanya rumah
sakit di Indonesia yang menyediakan program perawatan hospice care yang dilakukan di Rumah Sakit.
Seperti halnya dengan perawatan paliatif, perawatan hospis juga tidak hanya dilakukan di rumah sakit.
Perawatan hospis dan home care diberikan oleh tim multi disiplin kesehatan dimana seorang perawat
menjadi koordinatornya. Rumah adalah tempat yang paling banyak dipilih oleh pasien bila mereka
mengetahui bahwa penyakitnya tidak dapat disembuhkan. Perawatan di hospis atau home care bertujuan
untuk mempertahankan konsep paripurna dan individualistik meliputi perawatan fisiologis, psikologis,
sosial, kultural, dan spiritual. Jenis pelayanan ini diharapkan dapat mempertahankan pola hidup klien
sebelumnya sehingga dapat mempertahankan kondisi kualitas hidup klien sesuai dengan harapannya.
Pengukuran kualitas hidup diukur berdasarkan kepuasan klien terhadap domain kehidupan meliputi
fisik, fungsional, sosial, spiritual, psikologis, dan ekonomi.

Perbedaan pelayanan hospice dan homecare

Hospice Homecare
Prinsip : perawatan suportif kepada orang Prinsip pengelolaan homecare ;
ditahap akhir Dilakukan oleh perawat/tim yang memiliki
Tujuan : Memelihara kesehatan klien keahlian khusus, mengaplikasi konsep
dasar, menentukan data dari hasil
pengkajian, data yang ditampilkan
sistematik dan akurat, pengembangan
dilakukan berdasarkan rencana
keperawatan dan diagnosa

7. Aplikasi Pelayanan Prima


 Pelayanan yang belum prima mengakibatkan terjadinya ketidakpuasan pasien
 Pelayanan rumah sakit yang belum optimal mengakibatkan terjadinya peningkatan length of stay
pasien

8. Jurnal Terkait Pelayanan Prima


 Berdasarakan penelitian Mudawah Ami (2015) menyatakan bahwa pelayanan prima di rumah sakit dapat
meningkatkan kepuasan pelanggan.
 Pelatihan pelayanan prima dapat meningkatkan kualitas kinerja dan pelayanan di rumah sakit. Hal
tersebut meningkatkan pada kesembuhan dan kepuasan klien (Suroso et al., 2015)
 Mutu pelayanan prima dapat dilihat dari sikap, tindakan, empati dan bukti fisik yang dilakukan oleh
keperawatan dalam melakukan tindakan (Zaky, Novita Andriani 2020)

Aziz, Y.A dan Wahidin, K. (2010) ‘Copceptualising The Service Excellence and Its Antecedents: The
Development Of The Structural Equation Model. Journal Of Tourism, Hospitality and Culinary
Arts’.

Endarini, S. (2001) Pelayanan Prima. Makalah (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Kanwil Departem en
Kesehatan Propinsi DIY..

Kriswidiati (2014) ‘Analisis Faktor-Faktor Manajemen Pelayanan Rawat Jalan Yang Mendukung Utilisasi Klinik
Spesialis Di Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang’, Kesehatan Masyarakat (e-journal), pp. 1–11.

Robot, R. P. et al. (2018) ‘Aplikasi Manajemen Rawat Inap dan Rawat Jalan di Rumah Sakit’, Jurnal Teknik
Informatika, 13(4). doi: 10.35793/jti.13.4.2018.28109.

Suroso et al. (2015) ‘PELAYANAN KEPERAWATAN PRIMA BERBASIS BUDAYA Pendahuluan’, Jurnal
Keperawatan Indonesia, 18(1), pp. 38–44. Available at: http://e-resources.perpusnas.go.id/.
Mudawah Ami (2015) ‘PELATIHAN SERVICE EXCELLENCE PERAWAT DALAM MENINGKATKAN
KUALITAS PELAYANAN DI RUMAH SAKIT’.
Zaky, A., Novita Andriani, A. and Awal Bros Pekanbaru, Stik. (2020) ‘Journal of STIKes Awal Bros Pekanbaru’,
Ojs.Stikesawalbrospekanbaru.Ac.Id, (2014), pp. 41–47. Available at:
http://ojs.stikesawalbrospekanbaru.ac.id/index.php/jsabp/article/view/33.
Lampiran Jurnal

PELATIHAN SERVICE EXCELLENCE PERAWAT DALAM MENINGKATKAN


KUALITAS PELAYANAN DI RUMAH SAKIT

Armi Mawaddah
Armi_mawaddah21@yahoo.co.id

ABSTRAK

Pelayanan prima (service excellent) adalah kepedulian kepada pelanggan dengan memberikan layanan terbaik
untuk memfasilitasi kemudahan pemenuhan kebutuhan dan mewujudkan kepuasannya agar mereka selalu loyal
kepada perusahaan. Kualitas pelayanan di setiap institusi layanan kesehatan diharapkan dapat memenuhi
kepuasan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan. TUJUAN Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui
sejauhmana pelayanan prima (service excellence) dapat meningkatkan kualitas pelayanan di rumah sakit. Metode
dalam penulisan ini yaitu dengan mendeskripsikan dan menggambarkan tentang pelatihan service excellence
dalam meningkatkan kualitas pelayanan di rumah sakit. Adapun pengambilan data dengan menggunakan data
sekunder dan dari jurnal-jurnal penelitian. Hasil Pelatihan service exelence mempunyai pengaaruh terhadap
peningkatan kualitas pelayanan di rumah sakit. Rekomendasi: diharapkan rumah sakit memberikan pelatihan
service exelence secara merata kepada seluruh karyawan yang ada di Rumah sakit.
Kata Kunci : Service exelence, Perawat, Kualitas Pelayanan

1. Latar Belakang

Saat ini, rumah sakit berada dalam iklim persaingan yang sangat ketat. Masyarakat sebagai
pelanggan berada dalam posisi yang lebih kuat karena semakin banyak pilihan rumah sakit yang dapat
melayaninya. Pada saat yang bersamaan, masyarakat juga semakin kritis terhadap pelayanan kesehatan.
Dalam kondisi seperti ini, agar tetap dapat eksis melayani pelanggannya, rumah sakit harus memiliki
sumberdaya manusia yang berkualitas. Kualitas pelayanan tidak bisa lepas dari kepuasan pelanggan
(Palupi, 2013). Salah satu aspeknya adalah kemauan dan kemampuan dalam memberikan pelayanan
yang prima. Bukan pandangan aneh lagi apabila seseorang berada di rumah sakit pasti yang terlintas di
pikirannya adalah rasa takut dan bosan terhadap suasana rumah sakit, sering ditemui rumah sakit
memberikan pelayanan yang tidak memuaskan kepada pelanggan, khususnya pada tenaga medis yang
memberikan pelayanan kurang memuaskan dan akhirnya berdampak pelanggan tidak ingin berobat lagi
di rumah sakit tersebut. Jika kita berbicara kepuasan pelayanan tentunya kesuksesan tidak hanya
ditentukan oleh bagian customers services, melainkan peran serta seluruh departemen di rumah sakit
dituntut juga untuk menerapkan pelayanan prima (rivai, et all, 2019). Terciptanya kepuasan pasien akan
memberikan keuntungan banyak bagi rumah sakit itu sendiri, yaitu dapat menjalin hubungan yang
harmonis antara produsen dan konsumen, membentuk rekomendasi dari mulut ke mulut yang
menguntungkan sebuah perusahaan (rumah sakit), dan menciptakan dasar yang baik bagi pembelian
ulang serta terciptanya loyalitas pelanggan (Tjiptono dalam Nugrahaningsih, 2016).

Pelayanan prima (service excellent) adalah kepedulian kepada pelanggan dengan memberikan
layanan terbaik untuk memfasilitasi kemudahan pemenuhan kebutuhan dan mewujudkan kepuasannya
agar mereka selalu loyal kepada perusahaan (Atep Adya Barata 2004 : 21). Sepuluh dimensi kualitas
pelayanan yang telah dikemukakan para pakar pemasaran sebelumnya, dirangkum menjadi lima dimensi
pokok, yaitu: Keandalan (realibility) yakni kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan
dengan segera, akurat, dan memuaskan. Bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, peralatan,
personel dan sarana komunikasi. Daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan para staff untuk
membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan tanggap. Jaminan (assurance), mencakup
kesopanan, kemampuan dan pengetahuan karyawan serta kemampuan mereka untuk menimbulkan
kepercayaan dan keyakinan, bebas dari bahaya, resiko dan keraguan. Empati (emphaty), meliputi
kemudahan dalam melakukan hubungan, kepedulian atau kesedihan karyawan untuk peduli, memberi
perhatian pribadi bagi pelanggan (Lupiyoadi, 2006).

Kualitas pelayanan di setiap institusi layanan kesehatan diharapkan dapat memenuhi kepuasan
pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan. Kepuasan pasien sendiri memiliki pengaruh terhadap
peningkatan kualitas rumah sakit atau klinik tersebut (Shelton, 2000). Muttaqin (2008) menyatakan
pelayanan berkualitas merupakan harapan semua pasien yang menerima jasa pelayanan kesehatan.
Meski demikian, tidak semua rumah sakit mampu memberikan pelayanan yang diinginkan. Hal ini
disebabkan karena pelayanan kesehatan yang berkualitas hanya dapat diberikan oleh tenaga yang
professional yang memiliki pengetahuan dan kemampuan yang baik, sehingga pasien dapat merasa
nyaman (Silalahi dan Novy, 2013). Pengetahuan dan kemampuan tenaga professional dapat ditingkatkan
dengan memberikan pelatihan-pelatihan (Rivai, 2019).
Payaman Simanjuntak (2005) mendefinisikan pelatihan merupakan bagian dari investasi SDM
(human investment) untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan kerja, dan dengan demikian
meningkatkan kinerja pegawai. Pelatihan biasanya dilakukan dengan kurikulum yang disesuaikan
dengan kebutuhan jabatan, diberikan dalam waktu yang relatif pendek, untuk membekali seseorang
dengan keterampilan kerja (Nofiyadi, 2018). Selama ini, pelayanan prima menjadi salah satu prinsip
utama yang dipegang oleh perusahaan komersil dalam menjaga kualitas dan kerjasama. Ketika
memasuki sebuah dealer mobil, konsumen akan disambut dengan keramah tamahan customer service.
Terdapat Standar operasional khusus tentang bagaimana cara menyapa konsumen hingga menawarkan
pelayanan yang mampu membuat konsumen merasa senang dan nyaman (Puspitasari, 2019).

2. Tujuan

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana pelayanan prima (service excellence) dapat
meningkatkan kualitas pelayanan di rumah sakit.

3. Metode
Metode dalam penulisan ini yaitu dengan mendeskripsikan dan menggambarkan tentang
pelatihan service excellence dalam meningkatkan kualitas pelayanan di rumah sakit. Adapun
pengambilan data dengan menggunakan data sekunder dan dari jurnal-jurnal penelitian.

4. Hasil

Hasil penelitian yang dilakukan Murbarani 2014 tentang Analisis Kualitas Pelayanan Menurut
Brady And Cronin Di Poli Anak yaitu Penilaian terhadap kualitas interaksi cukup baik karena nilai rata-
rata komposit keseluruhan 3,49. Sub variabel yang nilai mean kompositnya ≥3,49 yaitu kesopanan
dokter dan perawat saat memberikan pelayanan, pelayanan dokter dan perawat tanpa memandang status
sosial (tidak ada diskriminasi), keramahan dokter, perhatian untuk mendengar keluhan pasien (empati)
dan ketanggapan dokter. Tetapi masih terdapat sub variabel yang nilai mean kompositnya ≤3,49 yaitu
keramahan perawat, perhatian perawat untuk mendengar keluhan pasien (empati) dan ketanggapan
perawat.

Hasil Penelitian Immas (2013) tentang Pengaruh Kualitas Pelayanan terhadap Kepuasan Pasien
Di Rumah Sakit Islam Kota Magelang yaitu Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa dimensi
keandalan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan pasien, dimensi daya tanggap
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan pasien, dimensi jaminan mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap kepuasan pasien, dimensi empati mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap kepuasan pasien, dimensi berwujud mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan
pasien. Dimensi keandalan, daya tanggap, jaminan, empati, dan berwujud secara parsial dan simultan
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan pasien.

Hasil penelitian yang dilakukan Suasnawa (2017) tentang Pengaruh Pelayanan Prima dan
Customer Relationship Management terhadap Loyalitas Pasien yang dimediasi oleh Kepuasan dan
Kepercayaan yaitu pelayanan prima berpengaruh positif terhadap kepuasan dan kepercayaan pasien di
Rumah Sakit Umum Bali Royal. Variabel Customer Relationship Managemen (CRM) berpengaruh
positif terhadap kepuasan dan kepercayaan pasien di Rumah Sakit Umum Bali Royal. Selain itu,
kepuasan dan kepercayaan berpengaruh positif terhadap kepercayaan pasien di Rumah Sakit Bali Royal.

Berdasarkan hasil penelitian Wadhani tentang pengaruh pelatihan service exelence untuk
meningkatkan pelayanan perawat yang berorientasi pada kepuasan pasien di rumah sakit yaitu dengan
menggunakan kuasi eksperimen dengan rancangan pre-post test control group design, yang dibagi dlam
dua kelompok yaitu keompok eksperimen dan kelompok control. Pelaksanaan pelatihan dilakukan
selama empat kali pertemuan masing-masing selama 3-4 jam. Evaluasi hasil pelatihan dilakukan dalam
tenggang waktu selama tiga minggu setelah pelaksanaan pelatihan, dan follow up diberikan enam
minggu setelah pelatihan, hasilnya adalah layanan perawat meningkat secara signifikan setelah pelatihan
service exelence diberikan (Wardhani, 2011).

5. Pembahasan

Hasil penelitian yang dilakukan Murbarani 2014 tentang Analisis Kualitas Pelayanan Menurut
Brady And Cronin Di Poli Anak yaitu Penilaian terhadap kualitas interaksi cukup baik karena nilai rata-
rata komposit keseluruhan 3,49. Sub variabel yang nilai mean kompositnya ≥3,49 yaitu kesopanan
dokter dan perawat saat memberikan pelayanan, pelayanan dokter dan perawat tanpa memandang status
sosial (tidak ada diskriminasi), keramahan dokter, perhatian untuk mendengar keluhan pasien (empati)
dan ketanggapan dokter. Tetapi masih terdapat sub variabel yang nilai mean kompositnya ≤3,49 yaitu
keramahan perawat, perhatian perawat untuk mendengar keluhan pasien (empati) dan ketanggapan
perawat.

Kualitas pelayanan kesehatan adalah tingkat kesempatan pelayanan kesehatan, yang disatu pihak
dapat menimbulkan kepuasan pada setiap pasien sesuai dengan kepuasan rata-rata penduduk, serta dilain
pihak tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan kode etik yang telah ditetapkan (Sulistyo
dalam Immas, 2013). Pelayanan prima dilaksanakan demi mencapai kepuasan pelanggan bahkan
menjadi perhatian penting dalam pemerintah daerah di Amerika Serikat (Abdelkader Benmansour,
2018). Hal ini membuktikan bahwa pelayanan memiliki peran penting dalam sebuah sistem yang
dijalankan berkaitan dengan kualitas, baik kualitas hidup maupun kualitas produk. Semakin tinggi
kualitas pelayanan, maka semakin rendah tingkat kekhawatiran pelanggan terhadap pelayanan sebuah
instansi (Simamora et al., 2019).

Pengaruh pelatihan pelayanan prima terhadap kepuasan pasien yang dilihat dari keramahan,
Informatif, Komunikatif, Responsif, Suportif dan Cekatan petugas dalam memberikan pelayanan, dari
hasil dapt dilihat bahwa keenam indikator kepuasan pasien seluruhnya memiliki pengaruh (Nofiyadi,
2018). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hadjam (2001) bahwa Pelatihan Pelayanan Prima
cukup efektif untuk meningkatkan kualitas pelayanan prima pada perawat di Rumah Sakit. Hal tersebut
tampak dari kulitas pelayanan prima pada perawat sesudah mendapatkan pelatihan pelayanan prima
lebih tinggi daripada kualitas pelayanan prima pada perawat sebelum mendapatkan pelatihan.

Kepuasan pasien sebagai pengguna jasa merupakan salah satu indikator dalam menilai mutu jasa
pelayanan. Kepuasan yang tinggi akan menunjukkan keberhasilan dalam memberikan pelayanan yang
bermutu (Kusniati, 2016). Kepuasan konsumen pada hakekatnya merupakan tingkat perasaan dimana
seseorang menyatakan hasil perbandingan atas kinerja produk (jasa) yang diterima dan yang
diharapkan. Setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda tergantung dari system nilai yang
berlaku pada diri masing-masing, semakin banyak aspek-aspek nilai yang sesuai dengan keinginan
pelanggan dapat dikatakan makin tinggi pula tingkat kepuasan yang dirasakan oleh pelanggan (Winardi,
2012).

Masyarakat yang puas dengan pelayanan yang didapatkan cenderung akan mematuhi rencana
pengobatan yang telah disepakati, namun sebaliknya masyarakat yang kurang puas cenderung tidak
mematuhi dan akan berganti fasilitas pelayanan kesehatan lain atau rumah sakit lain. Demi
mempertahankan kesetiaan pengguna layanan maka banyak rumah sakit terus mengembangkan program
pelayanan yang berkualitas pagi para konsumen dalam memenuhi kepuasan pelayanan kesehatan
(Kelana, 2015).

6. Penutup
Keseimpulan dari kajian ini adalah terdapat pengaruh pelatihan service exelence terhadap
peningkatan kualitas layanan kesehatan dan terhadap kepuasan pasien. Diharapkan rumah sakit
memberikan pelatihan service exelence secara merata kepada seluruh karyawan yang ada di Rumah
sakit.
Daftar Pustaka
Hadjam. (2001). Efektivitas Pelayanan Prima Sebagai Upaya Meningkatkan Pelayanan Di Rumah
Sakit (Perspektif Psikologi). Jurnal Psikologi. ISSN:0215-8884.
Immas. (2013). Pengaruh Kualitas Pelayanan terhadap Kepuasan Pasien Di Rumah Sakit Islam
KotaMagelang. https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jiab/article/viewFile/2992/2856 .
Di unduh tgl 05/11/2019.
Kelana. (2015). Pengaruh Penerapan Pelayanan Prima (Service Exelence) Perawat Terhadap Tingkat
Kepuasan Pasien di Rumah Sakit Universitas Tanjungpura Kota
Pontianak.http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jmkeperawatanFK/article/download/11004/10483 .
Diunduh Tanggal 14/12/2019.
Kusniati. (2016). Pengaruh Kualitas Jasa dan Nilai Pelanggan Terhadap Minat Kunjungan Ulang
Melalui Kepuasan Pasien di Poli Umum di RSISA Semarang. Jurnal Manajemen Kesehatan
Indonesia Volume 4, No. 02.
Lupiyoadi, Rambat. 2006, Manajemen Pemasaran Jasa. Jakarta : Salemba Empat.
Murbarani. (2014). Analisis Kualitas Pelayanan Menurut Brady And Cronin Di Poli Anak.I. Jurnal
Administrasi Kesehatan Indonesia Volume 2 Nomor 1 Januari-Maret 2014.
Nofiyadi. (2018). Pengaruh Pelatihan Pelayanan Prima Terhadap Kepuasan Pelanggan Rawat Jalan
Di Rumah Sakit Permata Hati Duri. Ensklopedia of Jurnal Vol 1 No.1
http://jurnal.ensiklopediaku.org.
Nugrahaningsih. (2016). Hubungan Sikap Perawat Dengan Kepuasan Pasien Dalam Pelayanan
Keperawatan Di Bangsal Pavilliun RSUD Salatiga.
http://digilib.stikeskusumahusada.ac.id/files/disk1/29/01-gdl-wahyunugra-1439-1-wahyunu-i.pdf .
Diunduh Tanggal 05/11/2019.
Palupi. (2013). Analisis Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pasien Rawat Inap Di RS.
Panti Waluyo Surakarta.
https://www.ejurnal.unisri.ac.id/index.php/Exsplorasi/article/viewFile/773/640 . Diunduh Tanggal
05/11/2019.
Puspitasari et all. (2018). Supervisi Klinik Dalam Pelaksanaan Pelayanan Keperawatan Sebagai
Upaya Peningkatan Kompetensi Perawat di Rumah Sakit. Jurnal Perawat Indonesia, Volume 2 No. 2
Hal 51-61. E ISSN 2548-7051.
Rivai et all. (2019). Peningkatan Pengetahuan Karyawan Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji
Makassar Pasca Pelatihan Pelayanan Prima. Jurnal Terapan untuk Pengabdian Masyarakat
Volume 2 Nomor 1 Tahun 2019.
FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN MUTU PELAYANAN
PRIMA DIRUANG RAWAT INAP KELAS II DAN III RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH PETALA BUMI PROVINSI RIAU TAHUN 2016
Factors Associated with Quality of Service Excellence in The Room Hospitalization
Class II and III General Hospital Area Petala Bumi Riau Province 2016

Marian Tonis 1), Rizal Husfaudin 2)


1)
STIKes Awal Bros Pekanbaru, 23) STIKes Hang Tuah Pekanbaru e-
mail : mariantonis676@gmail.com
ABSTRACT

The research was based on flukuasi the number of visits the patient at the last three years in
inpatient installationin PetalaBumiHospitalsRiau Province, specifically class II and III. The matter is
assumed as one of the causes are not yet optimal achievement of excellent service quality in
PetalaBumiHospitalsRiau Province, so need to look for to know the factors that relate to the quality
of service in the inpatient room class II and III in PetalaBumi HospitalsRiau Provincein 2016. This type
of research is quantitative research using Cross Sectional design research. Sample research as many
as 100 patients who are admitted in class II and III using the technique of accidental sampling and
measuring instruments used in the research questionnaire. Technique of data analysis using chi-
square test in which computerized data processing use. From the results of research shows there is a
connection between the factors of attitude(p-value = 0,028, OR=2,667), actio(p-value =
0,001,OR=4,195)n, empathy (p-value = 0,023, OR=2,846) and tangible (p-value = 0,000, OR=8,500)
against hospitalization patients excellent service class II and III. Related to the installation are
expected to improve the quality of service of the medical officer in the room hospitalization
especially classes II and III as well as the always direct review of facilities in the inpatient room class
II and III in order to achieve the quality of service in a Petala Bumi Hospital Riau Province.

Keywords : factors associated with quality of service excellent, attitude, action, tangible

9. PENDAHULUAN sangat diperlukan untuk meningkatkan mutu


Perkembangan dunia kesehatan yang dewasa
ini bergerak sangat cepat disertai dengan
adanya tantangan-tantangan yang semakin
luas dan kompleks,hal tersebut membuat
pemberi layanan kesehatan harus cepat dan
tanggap dalam menjalankan fungsi dan
tanggung jawabnya melayanai masyarakat.
Pelayanan prima menjadi tuntutan
masyarakat, sejalan dengan peningkatan
kebutuhan dan kesadaran dalam kehidupan
bernegara dan bermasyarakat sebagai impas
dari kemajuan teknologi.
Mutu pelayanan kesehatan diprovinsi Riau
belum bisa berjalan dengan baik disemua
sektor, dikarenakan terbatasnya anggaran.
Peningkatan anggaran kesehatan masih
pelayanan kesehatan terhadap masyarakat, bersama- sama dalam suatu organisasi untuk
karena selama ini alasan yang sering kita memelihara dan meningkatkan kesehatan,
dengar dari pemerintah justru adanya mencegah dan menyembuhkan penyakit,
keterbatasan anggaran dalam pelayanan serta memulihkan kesehatan perorangan,
kesehatan terhadap masyarakat (profil keluarga, kelompok, maupun masyarakat
kesehatan provinsi Riau 2013). (Sondakh dkk, 2013).
Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya Menurut Lovelock dalam Daryanto dkk (2014)
yang diselenggarakan secara sendiri atau mengemukakan lima prinsip yang harus
diperhatikan bagi penyelenggara pelayanan
publik, yaitu meliputi : Tangible (terjemah), 54 orang (54%) dan pada tingkat pendidikan
Realible (handal), Responsiveness (tanggung mayoritas responden adalah SLTA sebanyak
jawab), Asurance (jaminan) serta Emphaty 33 orang (33%). Mayoritas responden
(perhatian). Dan unsur – unsur melayani mengatakan sikap perawat yang buruk
prima, sesuai keputusan Menpan No. 81 berjumlah 52 orang (52%) dan sikap perawat
Tahun 1993, yaitu : kesederhanaan, kejelasan baik berjumlah 48 orang (48%),
dan kepastian, keamanan, keterbuakaan, Dari analisis univariat mayoritas responden
efisien, ekonomis, dan keadilan yang merata. mengatakan tindakan perawat baik sebanyak
Pelayanan prima adalah pelayanan dengan 55 orang (55%) dan tindakan perawat buruk
standar kualitas yang tinggi dan selalu sebanyak 45 orang (45%), mayoritas
mengikuti perkembangan kebutuhan responden mengatakan empati perawat buruk
pelanggan setiap saat, secara konsisten dan sebanyak 62 orang (62%) dan empati perawat
akurat (Rahmayanti, 2010). baik sebanyak 38 orang (38%), mayoritas
responden mengatakan bukti fisik pada ruang
rawat inap nyaman sebanyak 56 orang (56%)
10. METODE PENELITIAN dan bukti fisik tidak nyaman sebanyak 44
Jenis Kuantitatif dengan menggunakan desain (44%), mayoritas responden mengatakan baik
penelitian Cross Sectional. Penelitian ini telah terhadap mutu pelayanan prima 50 orang
dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah (50%) serta pelayanan prima buruk berjumlah
Petala Bumi Provinsi Riau 2016 dan Waktu 50 orang (50%).
Kegiatan penelitian akan dilakukan pada Analisis bivariat sikap perawat dengan mutu
bulan maret-april 2016. Populasi dalam pelayanan prima diperoleh bahwa ada
penelitian ini adalah pasien yang dirawat inap sebanyak 20 (38,5%) dari 52 pasien yang
kelas II dan III Rumah Sakit Umum Daerah merasakan sikap perawat buruk, mereka
Petala Bumi Provinsi Riau 2809 orang dengan menyakatan mutu pelayanan baik, pasien
besar sampel sebanyak 100 responden. Jenis menyatakan sikap perawat baik ada 30
data yang dikumpulkan adalah Data primer (62,5%) dari 48 pasien. p= 0,028 dan
diperoleh melalui pengisian kuesioner, yang OR=2.667. Tindakan perawat dengan mutu
dirancang oleh peneliti dan dibagikan kepada pelayanan prima diperoleh bahwa ada
responden yang menjadi sampel pada sebanyak 14 (31,1%) dari 45 pasien yang
penelitian, Data sekunder yaitu data yang merasakan tindakan perawat buruk, mereka
yang diperoleh dari rumah sakit tempat menyakatan mutu pelayanan baik. Pasien
penelitian dilakukan, studi kepustakaan dan merasakan tindakan perawat baik ada 36
serta jurnal – jurnal. Pengolahan dan (65,5%) dari 55 pasien . p= 0,001 dan
penyajian data yang dilakukan setelah data OR=4.195. Empati perawat dengan mutu
dikumpulkan, yaitu dengan tahapan: editing, pelayanan prima diperoleh bahwa ada
coding, entry, cleaning, tabulating. Penelitian sebanyak 25 (40,3%) dari 62 pasien yang
ini dilakukan dengan analisis data univariat merasakan empati perawat buruk, mereka
Dilakukan untuk mendeskripsikan semua menyakatan mutu pelayanan baik. Sedangkan
variabel baik variabel independen maupun pasien merasakan empati perawat baik ada
dependen untuk memperoleh gambaran 25 (65,8%) dari 38 pasien. p= 0,023 dan
tingkat sikap, tindakan, empati dan bukti fisik OR=2.846. Bukti fisik dengan mutu pelayanan
dengan dependen pelayanan prima. Analisis prima diperoleh bahwa ada sebanyak 10
bivariat digunakan untuk mengetahui (22,7%) dari 44 pasien yang merasakan bukti
hubungan variabel independen dengan fisik buruk, mereka menyatakan mutu
variabel dependen dengan pengujian statistik pelayanan baik. Sedangkan pasien
chi-square dengan menggunakan sistim merasakan bukti fisik baik ada 40 (71,4%) dari
komputerisasi dengan derajat kepercayaan 56 pasien. p= 0,000 dan OR=8,500.
95% dengan alpha 0,05.
HASIL
Mayoritas responden berumur <36 tahun
berjumlah 53 orang (53 %), mayoritas
responden berjenis kelamin laki-laki berjumlah
e
Mutu Pelayanan Prima P OR
Bukti Fisik Buruk Baik Jumlah Valu n % n % N %
seperti berpikir positif dan menghargai orang penelitian yang dilakukan oleh
lain.
TidakHasil3 penelitian
77,
1 , ini 44sejalan
22 10 dengan
8.500

Nyaman 4 3 0 7 0 0,000 (3.41 Prthama, dkk (2015) tentang hubungan


Nyaman 1 28, 4 71, 56 10 2- pengetahuan dengan sikap perawat dalam
21.17
pelaksanaan family centered care di ruang
6 6 0 4 0
rawat inap anak. Hasil penelitian ini
Jumlah 5 50, 5 50, 10 10 7) menunjukkan sikap memiliki pengaruh
0 0 0 0 0 0

Chi-Square=21.469

Mutu Pelayanan P OR
Sikap yang sangat besar terhadap kepuasan
Petugas Prima Jumlah Valu pasien ruang rawat inap anak RS Santo
n
Buruk% n Baik
% N %
Buruk 3 61, 2 38, 52 10
e
2.667(1.1 Yusup Bandung dan RS Sekar Kamulyan
8 Kuningan. Sikap dalam penelitian ini
2 5 0 5 0 0,02 8-5.985)
Baik 1 37, 3 62, 48 10 8 adalah Nilai-nilai yang dimiliki perawat
8 5 0 5 0 untuk menerima, merespon, dan
Jumla 5 50, 5 50, 10 10 menghargai dalam pelaksanaan family
h 0 0 0 0 0 0
Chi-Square=4.848 value) sebesar 0,028 (p< 0,05).
Sikap menurut Barata dalam Putri
(2015) adalah perilaku atau perangai yang
Mutu P OR harus ditonjolkan ketika menghadapi
Tindak Pelayanan Jumlah Val
an Prima ue pelanggan,
Petuga Buruk Baik
s n % n % N %
4.195(1.81
Buruk 3 68, 1 31, 45 10
1 8 4 1 0 0,00 0-9.728)
1
Baik 1 34, 3 65, 55 10
9 5 6 5 0
Juml 5 50, 5 50, 10 10
a 0 0 0 0 0 0
h
Chi-
Square=10.343

Mutu P OR
Empati Pelayanan Jumlah Valu
Petuga Prima e
s Buruk Baik
n % n % N %
Buruk 3 59, 2 40, 62 10 2.846(1.22
7 7 5 3 0 0,02 8-6.597)
Baik 1 34, 2 65, 38 10 3
3 2 5 8 0
Jumla 5 50, 5 50, 10 10
h 0 0 0 0 0 0
Chi-Square=5.136

11. PEMBAHASAN
a. Sikap
Hubungan sikap petugas
kesehatan dengan mutu pelayanan
prima dalam rumah sakit terlihat
dari hasil tabel distribusi yang
menunjukkan bahwa peningkatan
sikap petugas ke arah yang lebih
baik. Dengan nilai Chi Square
sebesar 4.848 dan signifikansi (p-
centered care di ruang rawat inap anak.
Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang
relevan maka peneliti menyimpulkan
bahwa sikap perawat baik buruknya
tergantung dari pelayanan yang diterima
oleh pasien. Dimana dari hasil kuesioner
pasien lebih banyak memilih jawaban STS
(Sangat Tidak Setuju) pada “Perawat
ramah dengan pasien/keluarga pasien”, hal
ini akan berakibat negatif bagi pandangan
pasien terhadap profesionalisme perawat
dan hal tersebut dapat menjadi tolak ukur
pasien mengenai mutu pelayanan yang
diterima. Berdasarkan hal tersebut
diharapkan perawat dapat memberikan
pelayanan dengan ekspresi wajah ramah,
respon cepat, rasa menghargai serta 3S
(Senyum, Sapa, dan Salam) selalu
disematkan. Hasil observasi pada faktor
sikap yang dilakukan oleh peneliti selama
pengambilan data secara langsung, masih
adanya perawat yang kurang murah
senyum terhadap pasien maupun keluarga
pasien.
b. Tindakan
Hubungan tindakan petugas
kesehatan dengan mutu pelayanan
prima dalam rumah sakit terlihat dari
hasil tabel distribusi yang menunjukkan
bahwa peningkatan tindakan petugas
ke arah yang lebih baik. Dengan nilai
Chi Square sebesar 10.343dan
signifikansi (p-value) sebesar 0,001
(p< .0,05).
Tindakan menurut Barata dalam
Putri (2015) adalah berbagai kegiatan
nyata yang harus dilakukan dalam
memberikan layanan kepada
nilai Chi Square sebesar 5.136 dan
pelanggan.
Ditambahkan oleh Wijaya, Ardiana signifikansi (p-value) sebesar 0,023 (p<
&Prabowo (2014) kualitas pelayanan 0,05).
keperawatan dapat tercermin dalam
pelaksanaan (tindakan) asuhan Empati berarti bahwa perusahaan
keperawatan yang profesional. Perpaduan memahami masalah para pelanggannya
antara profesionalisme dan bertindak demi kepentingan pelanggan
perawat dan memiliki jam operasi yang nyaman
dengan pengetahuan (Porwoastuti, dkk 2015).
dan keterampilan yang meliputi Penelitian serupa juga dilakukan oleh
keterampilan intelektual, teknikal dan Manimaran, dkk pada tahun (2010) di
interpersonal dalam tindakannya harus Rumah Sakit Dindigul, yang memperoleh
mencerminkan perilaku yang di dasari hasil bahwa empati mempunyai hubungan
kepedulian. Itu artinya kepedulian signifikan dengan kepuasan pasien yaitu
merupakan bagian tindakan perawat dalam perawat meluangkan waktu untuk
memberikan pelayanan kesehatan kepada berkomunikasi dengan pasien dan
pasiennya. Tindakan, dalam ini adalah menghibur serta memberikan dorongan
berbagai kegiatan nyata yang harus kepada pasien untuk sembuh.
dilakukan dalam memberikan layanan peneliti menyimpulkan bahwa empati
kepada pasien. Berdasarkan hasil perawat baik buruknya tergantung dari
penelitian dan teori yang relevan maka pelayanan yang diterima oleh pasien.
peneliti menyimpulkan baik buruknya Dimana dari hasil kuesioner pasien lebih
tindakan medis yang diberikan tergantung banyak memilih jawaban STS (Sangat
dari pelayanan yang diterima oleh pasien. Tidak Setuju) pada “Perawat memberikan
Dimana dari hasil kuesioner pasien lebih perhatian terhadap pasien dengan baik” hal
banyak memilih jawaban STS (Sangat ini akan berefek negatif dimata pasien jika
Tidak Setuju) pada “Perawat mengawasi komunikasi individual antara perawat
keadaan pasien secara teratur” hal ini dengan pasien tidak terjalin sehingga akan
sangat dirasakan kurang oleh pasien dan membuat mutu pelayanan yang diterima
dapat mengakibatkan kurangnya mutu pasien tidak sesuai harapan. Berdasarkan
pelayanan yang diterima oleh pasien, hal tersebut diharapkan kepada perawat
sehingga pasien enggan untuk selaku pemberi pelayanan terhadap pasien
memberikan berita positif diluar rumah supaya lebih berkomunikasi, perhatian,
sakit. Berdasarkan hal tersebut diharapkan mendengarkan dan memperhatikan serta
agar perawat selalu mengawasi keadaan memberikan penjelasan terhadap tindakan
secara berkala dan sesalu tepat waktu yang dilakukan terhadap pasien.
serta perawat diharapkan dapat dengan d. Bukti Fisik
tenang menjelaskan kepada pasien terkait Hubungan bukti fisik dengan mutu
hal yang dianggap pasien tidak sesuai pelayanan prima dalam rumah sakit terlihat
dengan keinginannya. Jika berhubungan dari hasil tabel distribusi yang
dengan tindakan medis, maka perawat menunjukkan bahwa peningkatan bukti
menjelaskan kepada pasien sesuai dengan fisik ke arah yang lebih nyaman. Dengan
ilmu medis. Namun jika berhubungan nilai Chi Square sebesar 21.469 dan
dengan kebijakan rumah sakit, perawat signifikansi (p-value) sebesar 0,000 (p<
menjelaskan kepada pasien sesuai dengan 0,05).
kebijakan dan peraturan yang berlaku. Berdasarkan teori Tjiptono (2004) bukti
c. Empati fisik pada pelayanan asuhan keperawatan
Hubungan empati petugas kesehatan di ruang rawat inap merupakan hal yang
dengan mutu pelayanan prima dalam sangat penting untuk menunjang
rumah sakit terlihat dari hasil tabel kesembuhan dari pasien karena bukti fisik
distribusi yang menunjukkan bahwa memberikan petunjuk tentang kualitas jasa
peningkatan empati petugas ke arah yang semakin baik fasilitas yang diberikan oleh
lebih baik. Dengan
rumah sakit maka akan dapat perawat dalam pemberian asuhan
menimbulkan kepuasan. keperawatan seperti, mengadakan
Sejalan dengan penelitian yang pelatihan secara berkesinambungan
dilakukan oleh Bata, dkk (2013) yang sehingga nantinya perawat mampu
menyatakan bahwa bukti langsung memberikan asuhan keperawatan secara
memiliki pengaruh yang besar terhadap maksimal.
kepuasan pasien rawat inap akses sosial.
2. Kepada perawat di Ruang Rawat
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada
hubungan antara bukti langsung dengan InapRSUD Petala Bumi Provinsi Riau:
kepuasan pasien akses sosial dengan nilap a) Mengembangkan sikap yang
p value = 0,001 < 0,05. berorientasi pada kebutuhan pasien
Peneliti menyimpulkan bahwa bukti fisik dalam memberikan pelayanan
baik buruknya tergantung dari apa yang dengan ekspresi wajah ramah,
dirasakan dan dilihat oleh pasien. Dimana respon cepat, rasa menghargai
dari hasil kuesioner pasien lebih banyak
memilih jawaban STS (Sangat Tidak serta 3S (Senyum, Sapa dan Salam)
Setuju) pada “kondisi ruang rawat inap selalu disematkan, sehingga
kelas II dan III bersih”, hal ini dapat persepsi pasien semakin positif
menyebabkan citra rumah sakit akan terkait pelayanan di rumah sakit
berkurang dimata pasien, sebab bukti fisik Umum Daerah Petala Provinsi Riau,
hal pertama yang akan dirasakan oleh khususnya unit rawat inap kelas II
pasien saat pertama kali tiba. Berdasarkan
dan III
hal tersebut diharapkan kepada pihak
Rumah Sakit untuk lebih memperhatikan b) Meningkatkan tindakan yang lebih
kebersihan ruang rawat khususnya kelas III mengobservasi secara berkala
serta memantau fasilitas yang tersedia terhadapa keadaan pasien sesuai
diruang rawat inap, sebab kepuasan dengan penyakitnya serta perawat
pasien tidak hanya berasal dari pelayanan selalu mengawasi keadaan secara
yang diberikan petugas medis, namun
berkala dan selalu tepat waktu.
berasal juga dari apa yang dirasakan dan
dilihat oleh pasien selama dalam masa c) Perlu meningkatkan empati atau
rawat inap. perhatian perawat dalam
Hasil observasi terhadap fasilitas ruang memberikan asuhan keperawatan,
rawat inap ditemukan danya fasilitas yang seperti meluangkan waktu khusus
tidak berfungsi sebagaimana mestinya, untuk berkomunikasi dengan pasien
seperti kipas angin dan colokan listrik di dan mendengarkan keluhan pasien
ruang rawat inap kelas III yang tidak
berfungsi. AC dan TV dikelas II hidup tapi serta memberikan motifasi kepada
tidak berfungsi sesuai dengan harapan pasien agar dapat mempercepat
yang diinginkan pasien. proses kesembuhan pasien.
d) Kepada Instalasi rawat inap
khususnya di ruang kelas II dan III
untuk meningkatkan fasilitas sesuai
12. KESIMPULAN dengan standar serta melakukan
Semua variabel penelitian berhubungan maka perawatan fasilitas secara berkala
dapat disimpulkan bahwa mutu pelayanan
setiap tiga bulan atau enam bulan
prima di RSUD Petala Bumi Provinsi Riau
masih harus lebih ditingkatkan lagi. sekali.
e) Perawat yang bertugas sebaiknya
jangan terlalu banyak duduk di
13. SARAN bangsal (nurse station), hendaknya
1. Pihak manajemen Rumah Sakit, setiap setengah atau satu jam sekali
disarankan untuk lebih meningkatkan perawat melihat keruang rawat
upaya pengembangan keterampilan inap pasien untuk lebih mengetahui
keluhan maupun perkembangan
pasien secara langsung.
14. DAFTAR PUSTAKA
Adiwidjaja, Dhuhaniyati (2012). Implikasi Kesehatan &Akseptabilitsanya.
Pelayanan Prima (Service Jakarta:
Excellence) dan Paket Erlangga.
Agenda Reformasi
Daryanto, S. (2014). Kosumen Dan
Layanan
Pelayann Prima. Yogyakarta: Gava
Kesehatan: Pelajaran
Media.
Menarik Dari Singapura dan
Malaysia Bagi Muninjaya, G. (2012). Manajemen Mutu
Indonesia.https://www.google.Jurnal Pelayanan Kesehatan.Jakarta: Buku
Reformasi, Volume 2, Nomor 2, Juli Kedokteran EGC.
– Desember 2012. Diakses 26
Februari 2016.

Alamsyah, D. (2011). Manajemen


Pelayanan Kesehatan. Yogaykarta:
Nuha Medika.

Andriani, Sunarto (2009).


Hubungan Kualitas
PelayananKesehatan
DenganKepuasan Pasien Rawat Inap
di Badan PelayananKesehatan
Rumah Sakit
Umum DaerahKabupaten
Magelang.https://publikasiilmiah.um
s
.ac.id.Jurnal Kesehatan, ISSN 1979-
7621, Volume. 2, No. 1, Juni 2009.
Diakses 26 Februari 2016.

Bata, Arifin, Darmawansyah. (2013).


Hubungan Kualitas Pelayanan
Kesehatan Dengan Kepuasan Pasien
Pengguna Askes Sosial Pada
Pelayanan Rawat Inap diRSUD
Lakipadada Kabupaten Tana Toraja
Tahun. http://repository.unhas.ac.id.J
urnal Administrasi dan kebijakan
kesehatan Fakultas
kesehatan masyarakat 2013.
Diakses 26
Februari 2016.

Bustami, (2011). Penjaminan Mutu


Pelayanan
Muslim, Karyati. (2011). Manajemen Kebidanan. Yogyakarta:
Rumah Sakit Berbasis Arsitektur Pustakabarupress.
Berorientasi Servis (SOA), Untuk
Mewujudkan Pelayanan Prima Priyono, A. (2006). Pelayanan Satu Atap
Bidang Kesehatan (Rumah Sakit ) Sebagai Strategi Pelayanan Prima Di
Indonesia.
http://repository.gunadarma.ac.id.
Jurnal : Ilmu Komputer dan Teknologi
Komputer, vol 4, Oktober 2011. Diakse
25 Januari 2016.

Mustofa, A. (2008).Hubungan Antara


Persepsi Pasien Terhadap Dimensi Mutu
Pelayanan Keperawatan Dengan
Kepuasan Pasien di Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit Umum Pku
Muhammadiyah Temanggung.
http://jurnal.unimus.ac.id. Jurnal :
Keperawatan, vol. 1 No. 2 Maret
2008 : 23 – 37. Diakse 25 Januari
2016.

Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi


Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.

Notoatmodjo, S. (2010). Metode Penelitian


Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nurmawati. (2010). Mutu Pelayanan


Kebidanan. Jakarta: Trans Info
Media.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


416/MENKES/PER/II/2011. Tentang
Tarif Pelayanan Kesehatan Bagi Peserta
PT ASKES (PERSERO).
Http://Www.Jamsosindonesia.
Diakses 25 Januari 2016.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


340/MENKES/PER/III/2010.Tentang
Klasifikasi Rumah
Sakit.http://bppsdmk.depkes.go.id.
Diakses 26 Februari 2016.

Purwoastuti, Walyuni. (2015). Mutu


Pelayanan Kesehatan dan
Era Otonomi
Daerah.http://fisip.uns.ac.id. Jurnal Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Vol. 2, No. 2 Oktober 2006.Diakses 26 Februari 2016.

Profil Kesehatan Indonesia. (2008). Departemen Kesehatan Republik Indonesia Jakarta, 2009.

http://www.depkes.go.id. Diakses 25 Januari 2016.

Profil kesehatan Provinsi Riau (2013). Dinas Kesehatan Provinsi


Riau.https://www.google.com.Diakse s 26 Februari 2016.

Profil Rumah Sakit Umum Daerah Petala Bumi Pekanbaru (2014).

Prthama, Setyarini, Shinta (2015). Hubungan Pengetahuan Dengan Sikap


Perawat Dalam Pelaksanaan Family Centered Care Di Ruang Rawat Inap
Anak. http//Ejournal.stikesborromeus.ac.id. Diakses 1 Juni 2016.

Putri, A (2015). Faktor – Faktor yang Berhubungan Dengan Pelayanan Prima Pegawai Rawat
Jalan Puskesmas Kecamatan Kebon Jeruk Jakarta Barat. http//uinjkt.ac.id. diakses 1 juni
2016.

Rahmayanti, N. (2010). Manajemen Pelayanan Prima. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sondakh, Marjati, Pipitcahyani. (2013). Mutu Pelayanan Kesehatan Dan Kebidanan. Jakarta:
Salemba Medika.

Sugiyono. (2013). Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009: Http://Www.Kemenpppa.


Diakses 25 Januari 2016.
Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Bandung: Citra Umbara 2012.

Wijaya, Ardiana, Prabowo. (2014). Hubungan Tingkat Kognitif Perawat tentang Caring
dengan Aplikasi Praktek Caring di Ruang Rawat Inap RSU dr. H. Koesnadi Bondowoso.
http//e-Jurnal Pustaka Kesehatan. Diakses 1 juni 2016.

Wira, I (2014). Hubungan Antara Persepsi Mutu Pelayanan Asuhan Keperawatan Dengan
Kepuasan Pasien Rawat Inap Kelas III Di RSUD Wangaya Kota Denpasar.
http//pps.unud.ac.id. diakses 1 juni 2016.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.1, Maret 2015, hal 38-44
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

15. PELAYANAN KEPERAWATAN PRIMA BERBASIS BUDAYA


BERPENGARUH TERHADAP TINGKAT KEPUASAN PASIEN DI
RUMAH SAKIT

Suroso1,2*, Rr Tutik Sri Haryati3, Mustikasari3, Enie Novieastari3

1. Rumah Sakit TNI AL Dokter Soedibjo Sardadi, Jayapura 59112, Indonesia


2. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
3. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*E-mail: nifina_farhan@yahoo.com

Abstrak

Kepuasan pelanggan terhadap pelayanan kesehatan yang diterima dapat diwujudkan dengan melaksanakan pelayanan
prima. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pelayanan prima berbasis budaya terhadap tingkat kepuasan
pasien di rumah sakit. Metode penelitian menggunakan quasi experiment dengan rancangan pre and post with control
group design. Jumlah sampel adalah tiga puluh lima perawat dan seratus empat puluh pasien. Teknik pengambilan
sampel untuk perawat menggunakan total sampling, sementara untuk pasien dilakukan dengan consecutive sampling.
Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh yang bermakna (p< 0,05) terhadap tingkat kepuasan pasien setelah
perawat mendapatkan pelatihan pelayanan prima berbasis budaya pada sebelum dan sesudah di kelompok intervensi.
Rekomendasi yang dapat diberikan adalah perlunya meningkatkan peran supervisi agar keberlangsungannya tetap
terjaga. Selain itu, untuk penelitian berikut dapat juga dilakukan dengan model triangulasi.

Kata kunci: budaya, keperawatan, kepuasan pasien, pelayanan prima

Abstract

Nursing Care Prima Culture-Based Influence to Patient Satisfaction in Hospitals. This research aimed to determine
the effect of service excellent based on culture to patient satisfaction level in installation of hospitalization Hospital
Jayapura. This research is a quasi experiment with pre and post with control group design. The number of samples is
someone 35 nurses and 140 patients. The results showed have significant effect (p< 0.05) on the level of patient
satisfaction after nurses receive training excellent service based onculture pre and post intervention group.
Recommendations can be given is the need to enhance the role of supervision in order to maintain continuity, for the
following research maybe done by triangulation models.

Keywords: culture, nursing, patient satisfaction, service excellence

16. Pendahuluan dan McFarland (2002), yang didasarkan pada


kebudayaan adalah suatu aspek esensial untuk
Pelayanan prima dalam keperawatan adalah memperoleh kesejahteraan, kesehatan,
pelayanan yang berdasarkan perilaku caring, partum- buhan dan ketahanan, serta
dengan sepuluh karatif caring. Menurut Leinenger kemampuan untuk menghadapi rintangan
maupun kematian. Pera- watan yang menjelaskan, menginterpretasikan, dan mem-
mendasarkan budaya adalah bagian prediksikan fenomena asuhan keperawatan
komprehensif serta holistik untuk mengetahui, serta memberikan panduan dalam
pengambilan ke- putusan dan tindakan
keperawatan. Keperawatan transkultural adalah
disiplin ilmu perawatan humanistik dan profesi
yang memiliki tujuan utama untuk melayani
individu dan kelompok.

Praktik perawatan dipengaruhi oleh keyakinan


dan nilai budaya yang cenderung tertanam
dalam pandangan dunia, bahasa, filosofi,
agama, ke- keluargaan, sosial, politik,
pendidikan, ekonomi,
Suroso, et al., Pelayanan Keperawatan Prima Berbasis Budaya Berpengaruh 39

teknologi, etnohistory, dan lingkungan


kebudayaan. Keperawatan yang berdasarkan kompetensi peka budaya juga meningkatkan
budaya dapat meningkatkan kepuasan pasien kepercayaan pasien dan kepuasan pasien
sehingga dapat memengaruhi derajat kesehatan (DeRosa & Kochurka, 2006).
dan kesejahteraan individu, keluarga,
kelompok, dan komunitas di dalam Nilai kultural adalah prinsip-prinsip atau kualitas
lingkungannya. Keperawatan yang ber- yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat
dasarkan budaya dapat terwujud apabila pola, dan diyakini tentang hal-hal baik dan berguna
nilai budaya dan perawatan digunakan secara bagi kelompoknya. Setiap kelompok masyarakat
tepat, aman dan bermakna (Bhui, Warfa, mempunyai nilai-nilai yang berbeda. Perawat
Edonya, McKenzie, & Bhugra, 2007). sebagai tenaga profesional harus mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang nilai-nilai yang
Raso (2006) menyatakan bahwa memahami dianut oleh kliennya sehingga interaksi dapat
bahasa sangat penting. Ketidakmampuan berjalan dengan baik (Sumijatun, 2011).
untuk berkomunikasi tidak hanya membuat
frustasi bagi kedua belah pihak, tetapi juga Perawat sebagai bagian dari sumberdaya
menimbulkan risiko keselamatan pasien dalam manusia yang bekerja di rumah sakit (RS)
rangka untuk merencanakan dan memiliki nilai budaya tertentu, yang
mengoordinasikan sesuai perawatan. menyangkut masyarakat kecil dengan
Douglas, et al., (2009) menyatakan bahwa kebudayaannya sendiri yang sangat mirip
perawat perlu mendapatkan pendidikan dengan suatu desa petani atau suatu masya-
tentang budaya dalam melakukan pelayanan, rakat rumpun kecil dengan suatu kebudayaan
sehingga perawat mempunyai kompetensi tertentu (Foster & Anderson, 2009). Meskipun
atau kemampuan tentang kebudayaan pasien demikian, rumah sakit memiliki kebudayaannya
yang dirawat. Standar praktik untuk sendiri, kebudayaan secara umum sulit untuk
kompetensi perawat berbasis budaya terdiri dicirikan, keperawatan merupakan ilmu tentang
atas keadilan sosial, pemikiran kritis, manusia dan pengalaman sehat-sakit
pengetahuan tentang perawatan lintas manusia yang disampaikan melalui transaksi
budaya, praktik lintas budaya, sistem profesional, ilmiah, estetis, dan etis. Perawatan
kesehatan dan organisasi, pemberdayaan dan kesehatan yang benar adalah yang berfokus
advokasi pasien, tenaga kerja yang bermacam pada gaya hidup, kondisi sosial dan
ragam budaya, pendidikan dan pelatihan, lingkungan, bukan proses diagnosa penyakit
komu- nikasi lintas budaya, kepemimpinan lintas atau pengobatan (Watson, 2002; Tomey &
budaya, kebijakan pengembangan, dan Alligood, 2006).
penelitian berbasis evidence base.
Menurut Bosek dan Savage (2007), perawat
Model keperawatan transkultural adalah perlu melengkapi dirinya dengan cultural
panduan yang baik bagi perawat dalam competency, terutama bagi perawat yang
memberikan pelayanan kepada pasien dengan bertugas pada tatanan komunitas. Apabila klien
struktur budaya masyarakat yang bermacam dirujuk dan dirawat di rumah sakit, klien akan
ragam (Gulbu, 2006; Maier-Lorentz, 2008; membawa budaya yang selama ini dianut
Foster & Anderson, 2009). sehingga perlu bantuan perawat dalam
beradaptasi dengan lingkungannya yang baru.
Kemampuan tentang budaya dalam Kebiasaan hidup klien sehari-hari dapat
keperawatan profesional sangat penting untuk berubah secara drastis, seperti kebiasaan
mengatasi masa- lah kesehatan pasien. makan, mandi, tidur, dan sebagainya. Oleh
Perawatan peka budaya mengelola konflik karena itu, perawat perlu memahami aspek
yang dapat menyebabkan frustrasi, baik budaya yang dianut kliennya. Dengan
kepada pasien maupun keluarga. Manfaat demikian, pengkajian perlu dilakukan secara
yang diperoleh dengan menyiapkan komprehensif dan juga melibatkan orang-
kompetensi budaya kesehatan adalah orang terdekat klien.
mening- katkan efisiensi waktu. Pasien lebih
mendapat informasi dan dapat menurunkan Penelitian ini dilakukan di sebuah rumah sakit
rasa stress pada pasien dan tenaga di Papua dengan dilatarbelakangi bahwa
perawat, kemampuan pasien
banyak mengeluh tentang sikap perawat yang
kurang perhatian dalam pemberian pelayanan Pada kelompok perlakuan diberi pelatihan
sebesar 48%, perawat kurang komunikasi tentang pelayanan prima, sedangkan
terhadap pasien dan keluarga 53%, sikap kelompok kontrol tidak diberi pelatihan.
perawat yang lambat dalam merespons Sebelum perlakuan terhadap kedua kelompok
keluhan atau panggilan pasien sebesar 46%, dilakukan melalui pengukuran awal (pretest)
sarana dan prasarana penun- jang yang kurang untuk tingkat kepuasan responden atau pasien.
memuaskan sebesar 30%. Setelah intervensi, dilaku- kan pengukuran akhir
(post test) terhadap semua kelompok untuk
Berdasarkan hasil wawancara dengan lima menentukan efek perlakuan inap. pada
orang perawat tentang tingkat kepuasan responden yang dalam hal ini pasien rawat
pasien dida- patkan hasil bahwa hampir setiap
bulan terjadi komplain atau keluhan baik dari Hasil analisis data univariat untuk data numerik
pasien maupun keluarga. Keluhan yang disajikan dalam bentuk mean (rerata), median,
dirasakan adalah sikap petugas administrasi standar deviasi, nilai maksimum-minimum,
yang kurang ramah, sikap perawat yang dan CI 95%. Sementara data kategori
cerewet, judes, dan lamban dalam merespons disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi
keluhan pasien serta komunikasi yang kurang dan proporsi. Selanjutnya dilakukan uji
baik terhadap pasien. kesetaraan karakteristik pasien (umur, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, penghasilan, dan
Hasil observasi penulis juga mendapatkan suku/budaya) dan karakteristik perawat (umur,
bahwa sebagian besar perawat terutama yang status kepegawaian, dan tingkat pengetahuan)
shift sore atau malam tidak memakai seragam menggunakan uji Chi Square (CS). Hasil uji
yang lengkap, ada yang memakai sandal jepit, kesetaraan karakteristik pasien dan
ada yang tidak memakai kap, ada yang karakteristik perawat didapatkan data yang
menggunakan seragam atasan saja, ada yang homogen. Kemudian dilanjutkan dengan
memakai seragam hanya bawahan saja, analisis bivariat menggunakan uji Paired t-test.
penampilan terlihat kurang rapi, dan kurang Pene- litian ini sudah lulus uji etik di Fakultas
komunikasi kepada pasien. Ber- dasarkan Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK
kondisi tersebut, pertanyaan penelitian adalah UI).
“apakah ada pengaruh pelayanan prima
berbasis budaya terhadap tingkat kepuasan
pasien di rumah sakit X Jayapura?” 18. Hasil

Intervensi yang dilakukan dengan


17. Metode memberikan pelatihan pelayanan prima berbasis
budaya selama dua hari untuk dua gelombang.
Pelatihan yang diberikan kepada perawat
Penelitian ini adalah penelitian quasi experiment
kelompok intervensi meliputi materi pelayanan
dengan rancangan pre and post with control prima, caring, komuni- kasi terapeutik, dan
group design. Jumlah sampel adalah tiga budaya. Setelah mendapatkan materi pelatihan
puluh lima perawat dan seratus empat puluh dilakukan kegiatan role play, tentang cara
komunikasi dengan pasien meng- gunakan
pasien. Teknik pengambilan sampel untuk
dialek Papua, peserta disimulasikan sebagai
perawat menggunakan total sampling, pasien dan perawat. Kegiatan ini
sementara untuk pasien dilakukan dengan berlangsung selama dua jam, memang tidak
consecutive sampling. semua peserta mendapat kesempatan untuk
melakukan simulasi karena keterbatasan
waktu pelatihan.
Perawat yang menjadi responden dalam
penelitian ini ada dua, yaitu perawat dalam Kegiatan selanjutnya adalah pendampingan,
kelompok intervensi berasal dari RS X dan pendampingan untuk perawat pelaksana
perawat dalam kelompok kontrol berasal dari dilakukan selama dua minggu, perawat
RS Y. Sementara pasien yang dirawat inap diberikan pendam- pingan oleh peneliti dibantu
sebagai responden yang berasal dari RS X oleh tiga kepala
(kelompok intervensi) dan pasien yang dirawat
inap sebagai responden berasal dari RS Y
(kelompok kontrol).
ruang. Kegiatan pendampingan meliputi kegiatan
pelayanan prima berbasis budaya, seperti sehingga ada yang melakukan dan ada yang
cara menyapa pasien dengan dialek Papua, tidak. Selain itu, belum adanya aturan yang
cara men- jelaskan informasi berkaitan dengan tertulis berapa kali pasien diberi kesempatan,
pelayanan keperawatan yang diberikan berapa lama waktu yang disediakan, dan
kepada pasien, cara memfasilitasi pasien jika perlu adanya pemberitahuan dari keluarga untuk
ada kunjungan dari keluarga, tetangga, atau bisa dijadwalkan dalam kegiatan harian perawat
perkumpulan gereja. Kendala yang dihadapi untuk memfasilitasi keluarga dalam
pada saat pendampingan adalah kurangnya memberikan doa kepada pasien sehingga tidak
tenaga pendamping atau mentor sehingga terjadi penumpukan atau jadwal yang sama
hanya kepala ruang yang diharapkan bisa dalam satu waktu.
memberikan pendampingan. Jika kepala
ruangan memiliki jadwal yang padat, seperti Kegiatan pelayanan prima berbasis budaya
rapat, dan kegiatan sosialisasi, perawat yang lain adalah dengan menganalisis budaya
pelaksana sedikit sekali mendapatkan masyarakat Papua yang biasa makan pinang,
bimbingan. dan membuang ludah pinang di sembarang
tempat. Berdasarkan hal tersebut, perawat
Kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan berinisiatif untuk menyediakan suatu tempat
prima berbasis budaya yang dilakukan di yang sudah disiapkan, seperti bak pasir
rumah sakit kelompok intervensi, yaitu dengan tempat membuang ludah pinang, para
memfasilitasi pengunjung pasien yang pasien atau pengunjung yang akan makan
membesuk untuk diberi waktu dalam pinang diarahkan ketempat tersebut, secara
memberikan doa kepada pasien. Pasien yang fasilitas tempat tersebut masih perlu
mendapat kunjungan dari kelompok gereja atau pembenahan agar representatif. Tanggapan
jemaatnya disiapkan ruangan khusus. Dalam dari keluarga pasien atau pengunjung juga baik,
kegiatan ini, sementara, ruangan yang dipakai bahkan ada yang menyarankan agar
adalah ruangan pertemuan perawat. Pasien yang ruangannya diperluas dan dibuat permanen
mendapat kunjungan dari jemaat gereja di sehingga para pengunjung dapat
dorong ke ruangan tersebut, di sinilah para menikmatinya dengan nyaman.
jemaat atau keluarga yang ingin mendoakan
diberi waktu 15-20 menit untuk mendoakan Tabel 1 menunjukkan bahwa rerata skor
agar pasien lekas sembuh. Ternyata kegiatan kepuasan pasien sebelum intervensi adalah
yang dilakukan seperti ini mendapatkan respons -8,81 dan rerata skor kepuasan pasien setelah
positif dari pasien dan keluarga serta pengun- intervensi menjadi 4,95. Hal ini menunjukkan
jung sehingga banyak keluarga dan pengunjung adanya peningkatan rerata skor kepuasan
pasien yang menyatakan bahwa hal semacam pasien sebelum dan sesudah pelaksanaan
ini baik dan tetap terus untuk ditingkatkan dan intervensi pelatihan pelayanan prima berbasis
dipertahankan. Pelaksanaan kegiatan ini budaya pada kelompok intervensi (p= 0,000).
belum tersosialisasi dengan baik ke seluruh Artinya ada pengaruh pelatihan pelayanan
petugas prima berbasis budaya ter- hadap kepuasan
pasien pada kelompok intervensi.

Tabel 1. Perbedaan Kepuasan Pasien Sebelum dan Sesudah Pelatihan terhadap Kelompok Intervensi dan
Kontrol

Mean SD CI 95% p
Kelompok intervensi
a. Pretest -8.81 14.226 -20,26– 0,001*
7,24
b. Postest 4.95 14.795
Kelompok kontrol
a. Pretest 3,11 12,020 0,37–7,39 0,075
b. Postest 0,41 8,930
*bermakna pada α= 0,05
Hasil analisis pada Tabel 1 menunjukkan
bahwa skor rerata kepuasan pasien sebelum terhadap pasien dan keluarga. Akhtari-Zavare,
intervensi di kelompok kontrol terjadi Abdullah, Hassan, Said, dan Kamali (2010)
penurunan tingkat kepuasan pasien sebelum menjelaskan caring adalah esensi dari kepe-
dan sesudah pelatihan pelayanan prima rawatan yang berarti juga pertanggung jawaban
berbasis budaya kontrol. hubungan antara perawat dengan klien,
dimana perawat melibatkan klien untuk
berpartisipasi dalam memperoleh
19. Pembahasan
pengetahuan, dan mening- katkan derajat
kesehatan. Caring adalah kegiatan langsung
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata skor
untuk memberikan bantuan, dukungan perilaku
kepuasan pasien sebelum intervensi dan setelah
kepada individu atau kelompok melalui
intervensi mengalami peningkatan satu setengah
antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan kondisi
kali lipat lebih puas dari kondisi awal. Artinya ada
manusia atau kehidupan (Leininger & McFarland,
pengaruh pelatihan pelayanan prima berbasis
2002).
budaya terhadap kepuasan pasien pada
kelompok intervensi. Komunikasi perawat
Praktik perawatan yang berbasis nilai budaya
terhadap pasien menjadi faktor yang penting
dipengaruhi oleh bahasa, filosofi, agama, keke-
dalam pemberian pelayanan prima berbasis
luargaan, sosial, politik, pendidikan, ekonomi,
budaya.
teknologi, etnohistory, dan lingkungan. Keun-
tungan dari keperawatan yang berbasis
Pelayanan prima menurut Budiono (2012) adalah
budaya dapat memberikan kepuasan kepada
pelayanan jasa yang dapat membuat pelanggan
pasien sehingga mempengaruhi derajat
merasa mendapatkan pelayanan sesuai
kesehatan dan kesejahteraan individu, keluarga,
harapan, sesuai dengan indikator yang
kelompok, dan komunitas di dalam
ditentukan serta dapat dipertanggungjawabkan,
lingkungannya. Kebudayaan dan keperawatan
sehingga merasa puas. Pelayanan prima
yang seimbang dapat terwujud apabila pola dan
harus memberikan yang terbaik bagi
nilai-nilai perawatan digunakan secara tepat,
pelanggan, melakukan apapun yang mungkin
aman dan bermakna (Beach, et al., 2006).
untuk memuaskan pelanggan, serta membuat
keputusan yang dapat memberikan
keuntungan pada pelanggan tapi tidak merugikan Faktor komunikasi. Komunikasi adalah sesuatu
perusahaan (Gerson, 2011). Pelayanan prima untuk dapat menyusun dan menghantarkan
dilaksanakan dalam rangkaian kegiatan secara suatu pesan dengan cara yang gampang
utuh yang bersifat wajar, lancar, terbuka, sehingga orang lain dapat mengerti dan
sederhana, tepat sasaran, terjangkau, menerima (Nursalam, 2002). Komunikasi dalam
lengkap, dan tidak rumit. praktik keperawatan profesional merupakan
unsur utama bagi perawat dalam
Menurut Narayanasamy (2002), “Caring” yang melaksanakan pelayanan keperawatan untuk
berdasarkan kebudayaan adalah aspek mencapai hasil yang optimal. Adapun faktor-
asensial untuk mengobati dan menyembuhkan faktor yang mempengaruhi penerapan
dimana pengobatan tidak akan mungkin komunikasi terapeutik antara lain: pendidikan,
dilakukan tanpa perawatan, sebaliknya lama bekerja, dan pengetahuan, sikap dan
perawatan dapat tetap eksis tanpa pengobatan. kondisi psikologi (Sumijatun, 2011).
Konsep keperawatan kultural, arti, ekspresi,
pola-pola, proses, dan struktur dari bentuk Komunikasi yang baik dalam pelayanan prima
perawatan transkultural yang beragam dengan yang berkualitas akan membuat pasien menjadi
perbedaan dan persamaan yang ada. Setiap puas. Suatu pelayanan dinilai memuaskan
kebudayaan manusia memiliki pengetahuan dan apabila pelayanan tersebut dapat memenuhi
praktik keperawatan tradisional serta praktik kebutuhan dan harapan pelanggan. Jika
profesional yang bersifat budaya dan individual. pelanggan merasa tidak puas terhadap suatu
pelayanan yang disediakan, maka pelayanan
tersebut dapat dipastikan tidak efektif dan
Pelayanan prima dalam keperawatan adalah
tidak efisien
pelayanan yang didasari oleh tindakan caring
(Suryawati, 2006). Supranto (2006)
mengemukakan bahwa jika pelayanan sehingga ilmu yang didapat setelah pelatihan
keperawatan yang dirasakan tidak sesuai dapat diaplikasikan kepada pasien sehingga
dengan harapan maka pasien akan merasakan meningkatkan kepuasan pasien yang dirawat.
ketidakpuasan terhadap layanan tersebut dan Sikap dan perilaku perawat juga mengalami
akan menimbulkan keluhan atau klaim dari perubahan dari yang kurang care menjadi lebih
pasien. care terhadap pasien, lebih ramah dengan
pasien, penampilan perawat juga menjadi lebih
Menurut Bail (2008) mengemukakan bahwa baik, cara komunikasi lebih efektif dengan
ketidakpuasan pasien dalam menerima pasien dan sebagian perawat sudah mulai
pelayanan keperawatan berhubungan dengan menggunakan dialek Papua ketika berinteraksi
ketidakjelasan prognosis, ketidakjelasan dengan pasien, khususnya pasien yang berasal
penyampaian informasi, dan pembuatan dari suku Papua.
keputusan. Tingkat kepuasan pasien
mengalami peningkatan setelah perawat Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat
mendapatkan pelatihan tentang pelayanan prima kepuasan pasien terhadap kelompok
berbasis budaya, artinya bahwa ada pengaruh intervensi terjadi peningkatan jika
intervensi tentang pelayanan prima berbasis dibandingkan antara sebelum pelatihan dan
budaya terhadap tingkat kepuasan pasien. setelah pelatihan. Hal ini terjadi karena
pemberian pelayanan prima berbasis budaya
Rumah sakit mempunyai tanggung jawab untuk yang dilakukan oleh perawat dapat diterima
selalu meningkatkan kepuasan pasien sehingga dan sesuai dengan budaya lokal di Papua,
rumah sakit juga mempunyai tanggung jawab artinya dalam pemberian pelayanan prima,
untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan kita perlu mempertimbangkan budaya lokal
tindakan perawatnya agar dapat memberikan yang tidak dapat kita hilangkan, tetapi dapat
pelayanan prima kepada pasien maupun kita modifikasi sehingga antara budaya dan
keluarga. pelayanan dapat berjalan seiring, tujuan
akhirnya adalah kepuasan bagi pasien,
keluarga maupun pengunjung (HH, TN).
20. Kesimpulan

Intervensi yang diberikan tentang pelayanan 21. Referensi


prima berbasis budaya local, khususnya budaya
Papua seperti menyediakan tempat khusus bagi Bail, K. (2008). Patient and professional dissatis-
keluarga dan para pengunjung untuk faction: A literature review of prognosis
memberikan doa bagi pasien yang sakit, communication related to hospital settings.
menyediakan bak pasir tempat membuang Contemporary Nurse, 29 (2), 135–146.
ludah pinang, dan membudayakan perawat
agar dalam berkomunikasi dengan pasien
memakai dialek Papua mendapat respons Budiono. (2012). Pelayanan Prima dalam memuaskan
yang baik oleh pasien, keluarga maupun konsumen. Yogyakarta: Penerbit Buku
pengunjung yang datang.
Kedokteran EGC.
Tingkat pengetahuan perawat terkait pelayanan
prima terhadap kelompok intervensi sebelum DeRosa, N., & Kochurka, K. (2006). Implement
dan sesudah pelatihan pelayanan prima ada culturally competent healthcare in your
peningkatan sebesar dua kali lipat, demikian
workplace. Nursing Management, 37(10),
juga hasil observasi yang dilakukan terhadap
perawat yang melakukan pelayanan prima 18–26
ber- basis budaya terdapat peningkatan
sebesar tiga kali lipat jika dibandingkan dengan Douglas, M.K., Pierce, J.U., Rosenkoetter, M., Callister,
sebelumnya. Peningkatan tersebut terjadi
L.C., Hattar-Pollara, M., Lauderdale, J. &
karena perawat telah mendapatkan pelatihan
berupa teori, juga mendapatkan bimbingan Pacquiao, D. (2009). Standards of practice for
selama dua minggu culturally competent nursing care: A request for
comments. Journal of Transcultural Nursing, 20,
257–269. doi: 10.1177/1043659609334678
Foster, G., & Anderson, B. (2009). Antropologi kesehatan. (Priyanti Suryadarma dan Meutia F
Hatta, Penerjemah). Jakarta: Universitas Indonesia.

Gerson, F.R. (2011). Beyound customer service, program-program untuk mempertahankan


pelanggan. Jakarta: Lutan Edukasi.

Gulbu, T. (2006). The implications of transcultural nursing models in the provision of culturally
competent care. Icus Nurs Web J, 25, 1–11.

Bhui, K., Warfa, N., Edonya, P., McKenzie, K., & Bhugra, D. (2007). Cultural competence in mental
healthcare: A review of model evaluations. BMC Health Serv Res., 7 (15), 1–10. doi:
10.1186/1472-6963-7-15.

Leininger, M., & McFarland, M.R. (2002). Transcultural nursing: Concepts, theories, research, and
practice. United States: The McGraw-Hill Companies.

Maier-Lorentz, MM. (2008). Transcultural nursing is importance in nursing practice. Journal of


Cultural Diversity, 15 (1), 37–43.

Beach, M.C., Gary, T.L., Price, E.G., Robinson, K., Gozu, A., Palacio, A., Smarth, C., Jenckes, M.,
Feuerstein, C., Bass, E.B., Powe, N.R., & Cooper, L.A. (2006). Improving health care quality
for racial/ethnic minorities: A systematic review of the best evidence regarding provider
and organization
interventions. BMC Public Health, 24 (6)
104.

Akhtari-Zavare, M., Abdullah, M.Y., Hassan, T.S., Said, S.B., & Kamali, M. (2010). Patient
satisfaction: Evaluating nursing care for patients hospitalized with cancer in Tehran
Teaching Hospitals, Iran. Global Journal of Health Science, 2 (1), 117–126.

Narayanasamy, A. (2002). The ACCESS model: A transcultural nursing practice framework. Br J


Nurs, 11 (9), 643–650.

Raso, R. (2006). Cultural competence: Integral in diverse populations. Journal of Nursing


Management, 37 (7), 56.

Sumijatun. (2011). Membudayakan etika dalam praktek keperawatan. Jakarta: Medika


Salemba.

Supranto, J. (2006). Pengukuran tingkat kepuasan pelanggan untuk menaikkan pangsa pasar.
Jakarta: Rineka Cipta.

Suryawati, C., Dharminto., & Zahroh, S (2006). Penyusunan indikator kepuasanpasien rawat
inap rumah sakit di propinsi Jawa Tengah. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 9 (4),
177–184.

Watson, J. (2002). Caring science as sacred science. Philadelphia: Davis Company.

Anda mungkin juga menyukai