Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN TUGAS BESAR

SA-3102 SISTEM DAN REKAYASA IRIGASI


PERENCANAAN IRIGASI KALI CACABAN

Diajukan untuk memenuhi syarat kelulusan mata kuliah SA-3102 Perencanaan


Sistem Irigasi

Dosen :
Dr. Ir. Yadi Suryadi, M.T
Dr. Ana Nurganah Chaidar,ST., MT
Asisten :
Jovian Javas 15816002
Vanessa Lie 15816018
Bernardus Sena Pasereng 15816022
Ronald Hidayat 15816036

Disusun oleh :
Imam Fahrul Islam 15817005

PROGRAM STUDI TEKNIK DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2019
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN TUGAS BESAR (SA-3102) PERENCANAAN
SISTEM IRIGASI
SEMESTER I TAHUN AJARAN 2019/2020

Diajukan untuk memenuhi syarat kelulusan Mata Kuliah SA-3102 Perencanaan


Sistem Irigasi

Disusun oleh :
Imam Fahrul Islam 15817005

Disetujui oleh :
Asisten Asisten Asisten Asisten

Jovian Javas Vanessa Lie Bernardus Sena Pasereng Ronald Hidayat


15816002 15816018 15816022 15815036

Disahkan oleh :

Dosen Dosen

Dr. Ir. Yadi Suryadi, M.T Ir. Ana Nurganah C.H., M.T.
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena
berkat Rahmat dan Ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah tugas irigasi.
Penyusunan laporan ini merupakan syarat kelulusan mata kuliah irigasi tingkat
sarjana di Teknik dan Pengelolaan Sumber Daya Air, Fakultas Teknik Sipil dan
Lingkungan, Institut Teknologi Bandung.
Proses Penyusunan laporan ini tidak terlepas dari berbagai kendala. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak senatiasa
membantu dalam penyusunan laporan ini baik dalam bentuk pikiran, ide, maupun
kritikan. Untuk itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Orang tua yang selalu mendoakan serta memberikan dukungannya dalam
proses penyelesaian tugas ini
2. Dr. Ir. Yadi Suryadi, M.T. dan Ir. Ana Nurganah C.H., M.T. selaku dosen
mata kuliah SA-3102 Sistem dan Rekayasa Irigasi atas bimbingan dan
arahan dalam proses penyusunan makalah ini
3. Seluruh asisten terutama kak Ronald Hidayat, teman teman prodi Teknik
dan Pengelolaan Sumber Daya Air khususnya orang – orang yang ada di
janati park j-21 yang selalu mendukung dari segi moral maupun moril
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan baik isi
maupun susunannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat tidak hanya bagi
penulis juga bagi para pembaca.

Jatinangor, September 2019


Penulis,

Imam Fahrul Islam


15817005
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejarah mencatat pada tahun 1985 Indonesia berhasil mencapai
swasembada beras, karena berhasil memenuhi kebutuhan beras dalam negeri
hingga panen berikutnya. Indonesia pun terlepas seratus persen dari impor beras
negara lain. Bukan hanya dari sektor beras Indonesia juga ingin mandiri di
sektor pangan lainnya. Kementrian Pertanian memasang target pada tahun 2045
Indonesia menjadi negara lumbung pangan dunia yang swasembada di delapan
komoditas pangan utama antaralain beras, bawang merah, cabai, jagung,
kedelai, gula, daging sapi, dan bawang putih. Untuk mencapai itu, tentunya
dibutuhkan perencanaan struktural maupun non struktural yang baik dan
efisien. Salah satu perencanaan struktural yang menunjang target swasembada
pangan adalah irigasi.
Irigasi adalah penggunaan air pada tanah untuk penyediaan cairan yang
dibutuhkan untuk tumbuhan. Berdasarkan peraturan pemerintah No.23 Tahun
1998, irigasi didefinisikan sebagai usaha dalam penyediaan dan pengaturan
pengairan yang bertujuan untuk penunjang pertanian. Sedangkan, menurut
mawardi (1985:5) irigasi merupakan usaha untuk mendapatkan atau
memperoleh air yang menggunakan bangunan dan saluran buatan untuk
memperoleh penunjangnya produksi pertanian. Kegunaan irigasi antara lain
untuk menyediakan jaminan panen pada saat musim kemarau yang pendek,
melunakkan pembajakan dan gumpalan tanah, dan menyediakan lengas tanah
yang diperlukan tumbuhan.
Hakikatnya Indonesia memiliki ketersediaan air yang cukup untuk lahan
pertanian. Namun, dari segi produktifitas dan kualitas kita cenderung kalah
dengan negara – negara yang tidak dikarunia banyak hal seperti negeri ini.
Mengapa hal itu terjadi?, sekitar 80 persen air untuk kebutuhan pertanian
cenderung boros, 60 persen jaringan irigasi belum di manfaatkan optimal, dan
adanya kerusakan keseimbangan hidrologis di daerah aliran sungai. Dari ketiga
hal tersebut menyebabkan air yang melimpah tak efisien dan air pun menjadi
menurun secara kualitas maupun kuantitas akibat ulah tangan manusia itu
sendiri yang merusak alam, dalam konteks ini adalah daerah aliran sungai. Dari
segi sistem irigasinya banyak sekali sistem irigasi yang kurang baik, seperti
contohnya saluran bagi untuk tanaman sama seperti saluran untuk pembuangan
dari bekas aliran tanaman sebelumnya. Idealnya saluran ini dibedakan dimana
saluran bagi dan saluran pembuang memiliki salurannya masing – masing.
Berdasarkan pemaparan diatas dirasa perlu kami mempelajari bagaimana cara
membangun sistem irigasi yang baik untuk pengairan tanaman. Dalam hal ini
penulis membuat sistem irigasi di daerah Kali Cacaban, Tegal.
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari pembuatan laporan ini adalah untuk mengetahui
debit andalan pada Kali Cacaban yang ditentukan demi memenuhi kebutuhan
air untuk irigasi pada petak – petak daerah tanam di sekitar Kali tersebut. Selain
itu juga, kita dapat menentukan pola tanam terbaik di daerah tersebut.
1.3 Ruang Lingkup
Ruang lingkup pada laporan ini yaitu Perencanaan irigasi pada daerah Kali
Cacaban, Tegal, Jawa Tengah. Adapun ruang lingkup penulisan laporan
meliputi :
1. Perencanaan saluran primer, sekunder, dan tersier daerah irigasi
2. Perencanaan petak daerah irigasi
3. Perencanaan bagunan air untuk irigasi
4. Perhitungan kebutuhan air daerah irigasi
5. Perhitungan dimensi saluran dan tinggi muka air dalam saluran
6. Layout bangunan bagi, bangunan bagi sadap, bangunan sadap, dan gorong-
gorong pada saluran

1.4 Metodologi Penyusunan Tugas


Metodologi yang digunakan penulis untuk kelancaran pembuatan laporan
ini untuk mencapai tujuan adalah :
1. Studi Literatur
2. Mengumpulkan Data Wilayah, Data Hidrologi, dan Data iklim yang
mencakup data data temperatur rata-rata, data kecepatan angin rata-rata,
kelembaban rata-rata, dan data lamanya penyinaran matahari pada daerah
tersebut.
3. Pemakaian data – data lain seperti persamaan, tabel, koefisien, dan lain –
lain.

Langkah Pengerjaan :
1. Menentukan titik bendung pada Kali Cacaban
2. Membuat DAS yang outlet nya itu titik bendung yang sudah kita plotting,
dan stasiun disekitar Kali Cacaban
3. Menghitung curah hujan rencana dengan probabilitas 80% dan 50%, juga
menghitung debit andalan dengan probabilitas 80% dan 50%.
4. Merencanakan daerah yang akan dialiri air di peta yang diberikan (Kali
Cacaban)
5. Menyusun jaringan irigasi beserta petaknya
6. Menghitung dan mengolah data yang diperoleh dari studi literature
Adapun hasil akhir tugas ini adalah perencanaan jaringan irigasi pada derah
Kali Cacaban, Tegal, Jawa Tengah yang meliputi kebutuhan air, deimensi
saluran, dan tinggi muka air saluran.
1.5 Sistematika Penulisan
Berikut merupakan sistematika penulisan dari laporan tugas besar mata
kuliah Perencanaan Sistem dan Rekayasa Irigasi :
▪ BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang yang melatar belakangi penulis untuk
membuat tulisan ini, maksud dan tujuan penulisan, ruang lingkup,
metodologi penyusunan tugas dan sistematika penulisan.
▪ BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisikan teori – teori yang menunjang penulisan dari tugas
besar ini seperti, pengertian dari irigasi, manfaat irigasi, teori perencanaan
petak, saluran dan bangunan air, teori perhitungan ketersediaan air, teori
perhitungan kebutuhan air, teori keseimbangan air, dan sistem tata nama.
▪ BAB III KONDISI DAS KALI CACABAN
Bab ini berisikan kondisi lokasi DAS Kali Cacaban berupa luas
DAS, data curah hujan, dan data klimatologi yang menunjang segala hal
untuk perencanaan sistem dan rekayasa irigasi di daerah tersebut.
▪ BAB IV SISTEM IRIGASI DAS KALI CACABAN
Bab ini memuat perencanaan petak dan saluran irigasi, perhitungan
kebutuhan dan ketersediaan air pada Kali Cacaban, dan evaluasi
keseimbangna air.
▪ BAB V PERENCANAAN DAN PERHITUNGAN DIMENSI SALURAN
Bab ini berisikan tata cara yang dilakukan untuk merencanakan dan
menghitung dimensi saluran dan tinggi muka air untuk desain dari irigasi
yang akan dialirakan ke petak sawah.
▪ BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini memuat simpulan akhir dan saran dari penulis.
BAB II
TIJAUAN PUSTAKA
2.1 Hidrologi
2.1.1 Daerah Aliran Sungai
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang dibatasi oleh
punggung – punggung gunung atau penggunungan dimana air hujan
yang jatuh di daerah tersebut akan mengalir menuju sungai utama pada
suatu titik atau stasiun yang ditinjau. DAS di kalsifikasikan menjadi
daerah hulu, tengah dan hilir. DAS bagian hulu mempunyai fungsi
konservasi untuk perlindungan fungsi tata air, bagian hulu ini harus
dijaga kondisi lingkungannya agar tidak terdegradasi. Indikasinya
adalah dengan dilihat luas tutupan lahan, kualitas air, kemampuan
menyimpan air, dan curah hujan. Perlindungan pada DAS bagian hulu
sangatlah penting karena DAS bagian tengah dan hilir mempunyai
keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi yang terjadi. Oleh karena itu,
jika bagian hulu sudah rusak maka hal ini akan terintegrasikan ke
seluruh bagian DAS. Bagian selanjutnya adalah bagian tengah, fungsi
dari DAS bagian tengah ini adalah fungsi pemanfaatan air sungai yang
berguna untuk kepentingan sosial dan ekonomi. Hal ini dapat
diindikasikan dari kuantitas air, kemampuan menyalurkan air, dan
ketinggian muka air tanah serta terkait pada prasarana pengairan seperti
sungai, waduk, dan danau. Berikutnya adalah DAS bagian hilir, bagaian
hilir mempunyai fungsi yang sama seperti DAS bagian tengah namun
bagian hilir mempunya ciri lain yaitu dari segi kebutuhan pertanian, air
bersih dan pengelolaan air limbah.
2.1.2 Curah Hujan Wilayah
Stasiun hujan hanya memberikan kedalaman hujan di titik dimana
stasiun tersebut berada; sehingga hujan pada luasan lainnya harus
diperkirakan dari titik pengukuran tersebut. Apabila suatu daerah
memiliki lebih dari satu stasiun maka akan di dapat perbedaan
pengukuran dari masing – masing stasiun. Dalam anlisis hidrologi
dibutuhkan hujan rerata pada suatu daerah tersebut, yang dapat
dilakukan untuk menghitung itu semua adalah dengan tiga metode
berikut yaitu metode aritmatik, metode polygon thiessen, dan metode
isohiyet.
1. Metode Aritmatik
Metode ini paling sederhana, pengukuran yang dilakukan di
beberapa stasiun dalam waktu yang bersamaan dijumlahkan dan
kemudian dibagi jumlah stasiun. Stasiun hujan yang digunakan
dalam hitungan adalah yang berada dalam DAS, tetapi stasiun di luar
DAS tangkapan yang masih berdekatan juga bisa diperhitungkan.
Metode rata-rata aljabar memberikan hasil yang baik apabila :
• Stasiun hujan tersebar secara merata di DAS.
• Distribusi hujan relatif merata pada seluruh DAS.
(Triatmojo, 2008)

Dimana :
Hi = hujan pada masing – masing stasiun 1, 2,.., n dalam area
yang di tijau
N = jumlah stasiun pengamat
Rh = rata – rata hujan

2. Metode Polygon Thiessen


Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun
yang mewakili luasan di sekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS
dianggap bahwa hujan adalah sama dengan yang terjadi pada stasiun
yang terdekat, sehingga hujan yang tercatat pada suatu stasiun
mewakili luasan tersebut. Metode ini digunakan apabila penyebaran
stasiun hujan di daerah yang ditinjau tidak merata, pada metode ini
stasium hujan minimal yang digunakan untuk perhitungan adalah
tiga stasiun hujan. Hitungan curah hujan rata-rata dilakukan dengan
memperhitungkan daerah pengaruh dari tiap stasiun. Metode
poligon Thiessen banyak digunakan untuk menghitung hujan rata-
rata kawasan. Poligon Thiessen adalah tetap untuk suatu jaringan
stasiun hujan tertentu. Apabila terdapat perubahan jaringan stasiun
hujan seperti pemindahan atau penambahan stasiun, maka harus
dibuat lagi poligon yang baru. (Triatmodjo, 2008).

Hi = hujan pada masing-masing stasiun 1,2,…,n


Li = luas polygon / wilayah pengaruh masing-masing
stasiun 1,2,…,n
N = jumlah stasiun yang ditinjau
Rh = rata – rata hujan

3. Meode isohiyet
Isohyet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan
kedalaman hujan yang sama. Pada metode Isohyet, dianggap bahwa
hujan pada suatu daerah di antara dua garis Isohyet adalah merata
dan sama dengan nilai rata-rata dari kedua garis Isohyet tersebut.
Metode Isohyet merupakan cara paling teliti untuk menghitung
kedalaman hujan rata-rata di suatu daerah, pada metode ini stasiun
hujan harus banyak dan tersebar merata, metode Isohyet
membutuhkan pekerjaan dan perhatian yang lebih banyak dibanding
dua metode lainnya. (Triatmodjo, 2008)
Dalam perhitungan tugas besar ini stasiun hujan yang di tinjau
adalah 3 stasiun tedekat dengan sungai dan metode yang digunakan
hanya metode aritmatik dan metode polygon thiessen.
2.2 Sistem Irigasi
Irigasi berasal dari irriagtie dalam bahasa belanda atau irrigation berasal
dalam bahasa inggris. Irigasi merupakan usaha pemenuhan kebutuhan air guna
keperluaan pertanian/perkebunan sesuai dengan kebutuhan tanaman.
Pemenuhan kebutuhan air tersebut memiliki cara yang berbeda – beda antara
lain :
1. Irigasi Gravitasi
Irigasi gravitasi adalah irigasi yang memanfaatkan gaya tarik
gravitasi untuk mengalirkan air dari sumber ketempat yang membutuhkan.
2. Irigasi bawah tanah
Irigasi bawah tanah adalah irigasi yang men-suply air langsung ke
daerah akar tanaman yang membutuhkannya melalui aliran air tanah.
Dengan demikian tanaman diberi air tidak lewat permukaan, tetapi dari
bawah permukaan dengan mengatur muka air tanah.
3. Irigasi siraman
Pemberian air dengan cara menyiram atau dengan meniru hujan
(sprinkling), dimana pada praktiknya penyiraman ini dilakukan dengan cara
pengaliran air lewat pipa dengan tekanan tertentu (4 – 6 atm), sehingga
dapat membasahi areal yang cukup luas.
4. Irigasi tetesan
Irigasi ini prinsipnya mirip dengan irigasi siraman, hanya pipa
tersiernya dibuat melalui jalur pohon dan tekanannya lebih kecil karena
hanya untuk menetes saja.
Berdasarkan cara pengaturan, pengukuran aliran air, dan kelengkapan
fasilitas, jaringan irigasi dapat dibedakan dalam tiga tingkatan, yaitu :
1. Jaringan irigasi sederhana
Pada jaringan irigasi sederhanan pemabagian air tidak diukur atau
diatur, air lebih mengalir ke saluran pembuangan. Para petani pemakai air
itu tergabung dalam satu kelompok jaringan irigasi yang sama, sehingga
tidak memerlukan keterlibatan pemerintah didalam organisasi jaringan
irigasi semacam ini. Persediaan air biasanya berlimpah dengan kemiringan
berkisar antara sedang sampai curam. Oleh karena itu hampir-hampir tidak
diperlukan teknik yang sulit untuk sistem pembagian airnya. Namun,
jaringan irigasi sederhana ini memiliki kelemahan – kelemahan serius.
Pertama, ada pemborosan air dan karena pada umumnya jaringan ini terletak
di daerah yang tinggi, air yang terbuang itu tidak
selalu dapat mencapai daerah rendah yang lebih subur. Kedua, terdapat
banyak penyadapan yang memerlukan lebih banyak biaya lagi dari
penduduk karena setiap desa membuat jaringan dan pengambilan sendiri-
sendiri. Karena bangunan pengelaknya bukan bangunan tetap/permanen,
maka umurnya mungkin pendek.

Gambar 1 Jaringan irigasi sederhana (Sumber KP 01:2013)

2. Jaringan irigasi semi teknis


Perbedaan antara jaringan irigasi sederhana dan jaringan semiteknis
adalah jaringan semiteknis ini bendungnya terletak di sungai lengkap
dengan bangunan pengambilan dan bangunan pengukur di bagian hilirnya.
Mungkin juga dibangun beberapa bangunan permanen di jaringan saluran.
Adalah mungkin bahwa pengambilan dipakai untuk melayani/mengairi
daerah yang lebih luas dari daerah layanan pada jaringan sederhana. Oleh
karena itu biayanya ditanggung oleh lebih banyak daerah layanan.
Organisasinya akan lebih rumit jika bangunan tetapnya berupa bangunan
pengambilan dari sungai, karena diperlukan lebih banyak keterlibatan dari
pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum.
Gambar 2 Jaringan irigasi semi teknis (sumber : KP 01 2013)

3. Jaringan irigasi teknis


Salah satu prinsip dalam perencanaan jaringan teknis adalah
pemisahan antara jaringan irigasi dan jaringan pembuang/pematus. Hal ini
berarti bahwa saluran irigasi ataupun pembuang bekerja sesuai dengan
fungsinya masing – masing, dari pangkal hingga ujung. Saluran irigasi
mengalir air ke petak – petak sawah dan saluran pembuang mengalirkan air
dari petak sawah ke saluran pembuang alami dan selanjutnya diterukan ke
laut.
Petak tersier memiliki fungsi sentral dalam jaringan irigasi teknis.
Sebuah petak tersier idealnya memiliki luas maksimum 50 ha, tetapi dalam
keadaan tertentu masih bisa ditolerir sampai 75 ha. Perlunya pemabatasan
maksimum luas dari petak sawah agar pemabagian air menjadi lebih efektif
dan efisien hingga mencapai lokasi sawah terjauh.
Jaringan saluran tersier dan kuarter mengalirkan air ke sawah.
Kelebihan air ditampung dalam suatu jaringan saluran pembuang tersier dan
kuarter yang kemudian dialirkan ke jaringan pembuang sekunder dan
kuarter. Jaringan irigasi teknis yang didasarkan pada prinsip-prinsip diatas
adalah cara pembagian air yang paling efisien dengan mempertimbangkan
waktu-waktu merosotnya persediaan air serta kebutuhan petani. Jaringan
irigasi teknis memungkinkan dilakukannya pengukuran aliran, pembagian
air irigasi, dan pembuangan air lebih secara efisien. Jika petak tersier hanya
memperoleh air pada satu tempat saja dari jaringan utama, hal ini akan
memerlukan jumlah bangunan yang lebih sedikit di saluran primer,
eksploitasi yang lebih baik, dan pemeliharaan yang lebih murah. Kesalahan
dalam pengelolaan air di petak-petak tersier juga tidak akan mempengaruhi
pembagian air di jaringan utama.

Gambar 3 Jaringan irigasi teknis (Sumber : KP 01 2013)

2.3 Perencanaan Petak, Saluran, dan Bangunan Air


2.3.1 Perencanaan Petak
Petak ikhtisar adalah cara penggambaran berbagai macama bagian
suatu jaringan irigasi yang saling berhubungan. Peta ikhtisar detail
yang biasa disebut peta petak. Petak irigasi dibagi 3 bagian antara lain:
1. Petak Tersier
Perencanaan dasar yang berkenaan dengan unit tanah adalah
petak tersier. Petak ini menerima air irigasi yang dialirkan dan
diukur pada bangunan sadap. Bangunan sadap tersier mengalirkan
airnya ke saluran tersier. Luas petak tersier yang ideal maksimum
50 ha, tapi dalam keadaan tertentu dapat ditolelir sampai
seluas 75 ha, disesuaikan dengan kondisi topografi dan kemudahan
eksploitasi dengan tujuan agar pelaksanaan Operasi dan
Pemeliharaan lebih mudah. Petak tersier harus
mempunyai batas-batas yang jelas seperti misalnya parit, jalan,
batas desa dan batas perubahan bentuk medan (terrain fault). Petak
tersier dibagi menjadi petak – petak kuarter, masing – masing
seluas kurang lebih 8 – 15 ha. Apabila memungkinkan lebih baik
petak sawah berbentuk bujur sangkar dari pada segi empat; karena,
pembagian air lebih efisien pada petak bujur sangkar. Petak tersier
harus terletak langsung berbatasan dengan saluran sekunder
ataupun saluran primer jika tidak memungkinkan maka
memerlukan saluran tersier. Panjang saluran tersier sebaiknya
kurang dari 1.500 m, tetapi dalam kenyataan kadang – kadang
panjang saluran ini mencapai 2.500m.
2. Petak Sekunder
Petak sekunder terdiri dari beberapa petak tersier yang
kesemuanya dilayani oleh satu saluran sekunder. Biasanya petak
sekunder menerima air dari bangunan bagi yang terletak di saluran
primer atau sekunder. Batas-batas petak sekunder pada umumnya
berupa tanda-tanda topografi yang jelas, seperti misalnya saluran
pembuang. Luas petak sekunder bisa berbeda-beda, tergantung
pada situasi daerah. Saluran sekunder sering terletak di punggung
medan mengairi kedua sisi saluran hingga saluran pembuang yang
membatasinya. Saluran sekunder boleh juga direncana
sebagai saluran garis tinggi yang mengairi lereng-lereng medan
yang lebih rendah saja.
3. Petak Primer
Petak primer terdiri dari beberapa petak sekunder, yang
mengambil air langsung dari saluran primer. Petak primer dilayani
oleh satu saluran primer yang mengambil airnya langsung dari
sumber air, biasanya sungai. Proyek-proyek irigasi tertentu
mempunyai dua saluran primer. Ini menghasilkan dua petak primer.
Daerah di sepanjang saluran primer sering tidak dapat dilayani
dengan mudah dengan cara menyadap air dari saluran sekunder.
Apabila saluran primer melewati sepanjang garis tinggi, daerah
saluran primer yang berdekatan harus dilayani langsung dari
saluran primer.
2.3.2 Perencanaan Saluran
a. Saluran Pembawa
Berfungsi membawa air dari sumber ke petak sawah. Dilihat dari
area layan dan kapasitasnya, dapat dibedakan menjadi:
1) Saluran Primer
Berfungsi membawa air dari sumbernya dan
membagikannya ke saluran sekunder. Saluran primer ini harus
dibangun mengikuti garis kontur tertinggi. Panjang maksimal
saluran primer adalah 50 km.
2) Saluran Sekunder
Fungsi utama dari saluran sekunder adalah membawa air dari
saluran primer dan membagikannya ke saluran tersier. Apabila
terdapat lebih dari satu saluran sekunder yang menerima air dari satu
saluran primer, maka pembagian air menggunakan bantuan
bangunan bagi. Sebaiknya saluran pemberi merupakan saluran
punggung sehingga dapat membagi air pada kedua belah sisi.
Saluran punggung adalah saluran yang memotong atau melintang
terhadap garis tinggi sedemikian rupa sehingga melalui daerah (titik
tertinggi) dari daerah sekitarnya.
3) Saluran Tersier
Fungsi utamanya adalah membawa air dari saluran sekunder
dan membagikannya ke petak-petak sawah dengan luas petak
maksimal adalah 100 Ha. Saluran irigasi tersier mengambil air dari
saluran sekunder dengan bantuan bangunan sadap. Pada tanah terjal
saluran mengikuti kemiringan medan, sedangkan pada tanah
bergelombang atau datar, saluran mengikuti kaki bukit atau tempat-
tempat tinggi.
b. Saluran Pembuang
- Saluran pembuang kuarter terletak didalam satu petak tersier,
menampung air langsung dari sawah dan membuang air tersebut
kedalam saluran pembuang tersier.
- Saluran pembuang tersier terletak di dan antara petak-petak
tersier yang termasuk dalam unit irigasi sekunder yang sama dan
menampung air, baik dari pembuang kuarter maupun dari
sawah-sawah. Air tersebut dibuang ke dalam jaringan pembuang
sekunder.
- Saluran pembuang sekunder menampung air dari jaringan
pembuang tersier dan membuang air tersebut ke pembuang
primer atau langsung ke jaringan pembuang alamiah dan ke luar
daerah irigasi.
- Saluran pembuang primer mengalirkan air lebih dari saluran
pembuang sekunder ke luar daerah irigasi. Pembuang primer
sering berupa saluran pembuang alamiah yang mengalirkan
kelebihan air tersebut ke sungai, anak sungai atau ke laut
2.3.3 Perencanaan Bangunan Air
Bangunan utama (head works) didefinisikan sebagai kompleks
bangunan yang direncanakan di dan sepanjang sungai atau aliran air
untuk membelokkan air ke dalam jaringan saluran agar dapat dipakai
untuk keperluan irigasi. Bangunan utama bisa mengurangi kandungan
sedimen dan mengukur banyaknya air yang masuk. Berdasarkan sumber
airnya bangunan utama dapat diklasifikasikan menjadi :
1) Bendung
Bendung adalah suatu bangunan air yang dibangun
melintang sungai atau sudetan yang sengaja dibuat untuk
meninggikan elevasi muka air untuk mendapatkan ketinggian yang
diperlukan agar air dapat dialirkan ke saluran irigasi dan petak
tersier. Terdapat beberapa jenis bendung, diantaranya adalah
bendung tetap (weir), bendung gerak (barrage) dan bendung karet
(inflamable weir) Pada bangunan bendung biasanya dilengkapi
dengan bangunan pengelak, peredam energi, bangunan
pengambilan, bangunan pembilas , kantong lumpur dan tanggul
banjir
2) Bangunan Bagi dan Sadap
- Bangunan bagi, Bangunan yang terletak pada saluran primer
atau sekunder yang membagi air ke saluran-saluran sekunder
atau ke saluran sekunder lainnya. Bangunan bagi terdiri dari
pintu-pintu dan mengatur air yang mengalir ke berbagai saluran.
- Bangunan sadap, Bangunan yang terletak di saluran primer
ataupun sekunder yang memberi air kepada saluran tersier.
- Bangunan bagi-sadap, Bangunan yang berfungsi membagi
sekaligus memberi air ke saluran tersier. Bangunan ini
merupakan kombinasi dari bangunan bagi dan bangunan sadap.
3) Bangunan Pengukur dan Pengatur
Bangunan/pintu pengukur berfungsi mengukur debit yang
melaluinya. Biasa dibangun pada hulu saluran primer, pada cabang
saluran dan pada bangunan sadap tersier, agar pengelolaan air irigasi
menjadi efektif.
4) Bangunan Pembawa
Bangunan yang membawa air dari ruas hulu ke ruas hilir saluran.
Aliran melalui bangunan ini bisa superkritis atau subkritis.
Bangunan pembawa dengan kemiringan aliran superkritis,
diperlukan di lereng yang medannya lebih curam daripada
kemiringan maksimum saluran. Contoh bangunan ini: Bangunan
Terjun, Got Miring. Bangunan pembawa dengan aliran subkritis,
contoh gorong – gorong.
2.4 Perhitungan Ketersediaan Air
Perhitungan ketersediaan air ditunjukkan untuk menghitung seberapa
banyak air yang tersedia yang dapat dialirkan ke lahan. Perhitungan
ketersediaan air dengan menggunakan metode NRECA. Pada pendekatan
metoda NRECA, lebih ditekankan pada perbandingan masukan dengan
keluaran. Harga parameter ini harus dicari dengan metode trial and error
sehingga dapat digunakan untuk memperkirakan keluaran berdasarkan harga
masukan. Kalibrasi nilai parameter – parameter ini akan semakin baik jika data
masukan dan keluaran semakin banyak. Nilai parameter hasil kalibrasi
selanjutnya dapat digunakan untuk diterapkan pada sistem (siklus hidrologi)
lain yang dianggap mempunyai kemiripan sifat hidrologi.
2.5 Perhitungan Kebutuhan Air
Perhitungan kebutuhan air diperlukan untuk menghitung seberapa banyak air
yang harus dialiri ke lahan sehingga kebutuhan tanaman terpenuhi. faktor
yang mempengaruhi penentuan kebutuhan air adalah sebagai berikut:
2.5.1 Evapotranspitasi (ETo)
Merupakan banyaknya uap air yang dilepaskan ke udara sebagai
hasil dari proses evaporasi dan transpirasi. Ada beberapa metode dalam
menentukan jumlah evapotranspirasi potensial. Diantaranya:
a. Metode Blaney Criddle, adalah sebuah metode yang membutuhkan
data temperature dan data prosentase penyinaran untuk mencari nilai
dari evapotranspirasi potensial
b. Metode Thornwaite, parameter yang diperlukan adalah data
temperature dan data prosentase penyinaran matahari.
c. Metode Penman-Monteith, parameter yang diperlukan diantaranya:
data temperatur, kelembababan udara, prosentase penyinaran
matahari dan kecepatan angina
Parameter dengan cakupan yang lebih luas ada pada metode
Penman-Monteith. Dengan parameter yang lebih banyak, maka sebuah
perhitungan dapat semakin akurat karena semakin memiliki banyak
pertimbangan. Pada laporan ini, nilai evapotranspirasi dicari
menggunakan metode dari Penman-Monteith
Penghitungan evapotranspirasi tanaman acuan dengan metode
Penman-Monteith (Monteith, 1965) adalah :

900
0.408𝛥𝑅𝑛 + 𝛾 𝑈2 (𝑒𝑠 − 𝑒𝑎)
(𝑇 + 273)
ET0 =
𝛥 + 𝛾(1 + 0.34𝑈2)

Dengan pengertian:
ET0 : evapotranspirasi tanaman acuan, (mm/hari).
Rn : radiasi matahari netto diatas permukaan tanaman, (MJ/m2/hari).
T : suhu udara rata-rata, (o C).
U2 : kecepatan angina pada ketinggian 2 m dari atas permukaan tanah
(m/s)
es : tekanan uap air jenuh, (KPa)
ea : tekanan uap air actual, (KPa)
Δ : kemiringan kurva tekanan uap air terhadap suhu, (KPa/ o C)
γ : konstanta psikrometrik, (KPa/ o C)
2.5.2 Curah hujan efektif
Untuk irigasi tanaman padi, curah hujan efektif tengah bulanan
diambil 80% dari curah hujan rata-rata tengah bulanan dengan
kemungkinan tak terpenuhi 20%. Curah hujan efektif ini didapat dari
analisis data curah hujan. Analisis data curah hujan dilakukan dengan
maksud untuk menentukan:
a. Curah hujan efektif, dimana diperlukan dalam menghitung
kebutuhan irigasi. Curah hujan efektif atau andalan adalah bagian dari
keseluruhan curah hujan yang secara efektif tersedia untuk kebutuhan
air tanaman.
b. Curah hujan lebih ( excess rainfall ) dipakai untuk menghitung
kebutuhan pembuangan / drainase dan debit banjir.
Jadi yang dimaksud Re = Rh adalah curah hujan efektif yang
harganya adalah 0.7*R80. Sedangkan R80 adalah curah hujan dengan
kemungkinan 80% terjadi. Cara mencari R80 adalah sebagai berikut :
1) Mengumpulkan data curah hujan bulanan selama kurun waktu “n”
tahun dari beberapa stasiun curah hujan yang terdekat dengan daerah
rencana pengembangan irigasi. Minimal diperlukan 3 stasiun curah
hujan.
2) Rata-rata data curah hujan dari beberapa stasiun yang diperoleh.
3) Mengurutkan (sorting) data curah hujan per bulan tersebut dari yang
terkecil hingga terbesar.
4) Mencari R80 dengan acuan R80 adalah data yang ke “M”
5) Dimana 𝑀 = (0,2 × 𝑁)+1
6) N : jumalah data curah hujan yang digunakan perbulan Menghitung
Re dimana Re = 0.7 * R80
2.5.3 Pola Tanam
Pola tanam seperti yang diusulkan dalam tahap studi akan ditinjau
dengan memperhatikan kemampuan tanah menurut hasil-hasil survey.
Perencanaan pola tanam ini sangat perlu memperhatikan curah hujan
yang terjadi. Baik curah hujan maksimum ataupun minimum. Dari
analisa tersebut, pola tanam dapat ditentukan dengan
mempertimbangkan kelebihan dan kelemahannya
2.5.4 Koefisien Tanaman
Koefisien tanaman diberikan untuk menghubungkan
evapotranspirasi (ETo) dengan evapotranspirasi tanaman acuan
(Etanaman) dan dipakai dalam rumus penman. Koefisien yang dipakai
harus didasarkan pada pengalaman yang terus-menerus dari proyek
irigasi di daerah tersebut. Harga-harga koefisien tanaman padi dan
kedelai diberikan pada tabel sebagai berikut :
Tabel 1 Koefisien Tanaman

2.5.5 Perkolasi dan Rembesan


Perkolasi adalah peristiwa meresapnya air ke dalam tanah dimana
tanah dalam keadaan jenuh. Laju perkolasi bergantung pada sifat-sifat
tanah. Data-data mengenai perkolasi akan diperoleh dari penelitiian
kemampuan tanah. Apabila padi sudah ditanam di daerah proyek maka
pengukuran laju perkolasi dapat dilakukan langsung di sawah. Laju
perkolasi normal pada tanah lempung sesudah dilakukan penggenangan
berkisar antaara 1 sampai 3 mm/hari. Pada daerah-daerah miring,
perembesan dari sawah ke sawah dapat mengakibatkan banyak
kehilangan air. Pada daerah-daerah dengan kemiringan diatas 5%, akan
terjadi kehilangan 5mm/hari akibat perkolasi dan renbesan. Pada tanah-
tanah yang lebih ringan, laju perkolasi dapat lebih tinggi. Pada tugas ini,
nilai perkolasi yang digunakan sebesar 2 mm/hari.
2.5.6 Penggantian Lapisan Air
Penggantian lapisan air dilakukan setengah bulan sekali. Di
Indonesia penggantian air ini sebesar 3,3 mm/hari selama sebulan
2.5.7 Penyiapan Lahan
Untuk petak tersier, jangka waktu yang dianjurkan untuk penyiapan
lahan adalah 1.5 bulan. Kebutuhan air untuk pengolahan lahan sawah
(puddling) diambil 250 mm. Ini meliputi penjenuhan (presaturation) dan
penggenangan sawah, pada awal transplantasi akan ditambahkan lapisan
50 mm lagi. Angka 250 mm diatas mengasumsikan bahwa tanah
bertekstur berat, cocok digenangi dan lahan tersebut belum ditanami
selama 2,5 bulan. Jika tanah itu dibiarkan berair lebih lama lagi maka
diambil 300 mm sebagai kebutuhan air untuk penyiapan lahan.
Kebutuhan air untuk penyiapan lahan termasuk kebutuhan air untuk
persemaian. Dalam penentuan kebutuhan air, dibedakan antara
kebutuhan air pada masa penyiapan lahan dan kebutuhan air pada masa
tanam. Penjelasannya sebagai berikut :
a. Kebutuhan air pada masa penyiapan
lahan Kebutuhan air untuk penyiapan lahan umumnya menentukan
kebutuhan maksimum air irigasi pada suatu proyek irigasi. Faktor-
faktor penting yang menentukan besarnya kebutuhan air untuk
penyiapan lahan adalah:
- Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
pekerjaan penyiapan lahan.
- Jumlah air yang diperlukan untuk penyiapan lahan. Pada
umumnya jumlah air yang dibutuhkan untuk penyiapan lahan
dapat ditentukan berdasarkan kedalaman serta porositas tanah
di sawah. Untuk perhitungan kebutuhan air total selama
penyiapan lahan digunakan metode yang dikembangkan oleh
Van de Goor dan Zijlstra (1968). Metode tersebut didasarkan
pada laju air yang konstan l/dt selama periode penyiapan lahan
dan menghasilkan rumus sebagai berikut :
𝑀 × 𝑒^𝑘
𝐼𝑅 =
𝑒𝑘 − 1
Dimana :
LP : Kebutuhan air total dalam mm/hari
M : Kebutuhan air untuk mengganti/mengkompensasi kehilangan
air akibat evaporasi dan perkolasi di sawah yang sudah dijenuhkan
M : Eo + P
Eo : 1,1 x Eto
P : Perkolasi
K : M.T/S T : Jangka waktu penyiapan lahan (hari)
S : kebutuhan air untuk penjenuhan ditambah dengan lapisan air 50
mm yakni 250 + 50 = 300 mm seperti yang sudah diterangkan diatas.
Tabel 2 Kebutuhan air pada masa penyiraman

Penggunaan tabel mempercepat perhitungan di lapangan. Metode


interpolasi digunakan untuk perhitungan yang tidak ada di tabel.
Adapun kebutuhan air total untuk penyiapan lahan sawah dihitung
dengan prosedur sebagai berikut:
a) Menghitung kebutuhan air total seperti yang sudah diterangkan
diatas (LP).
b) Menghitung curah hujan efektif ( Re) c. Menghitung kebutuhan
air selama penyiapan lahan dengan rumus :
𝐷𝑅 = 𝐿𝑃−𝑅𝑒 0,65×8,64
Dimana: 0.65 adalah perkalian harga efisiensi saluran tersier,
sekunder dan primer (0.8 x 0.9 x 0.9) dan 8.64 adalah konstanta
pengubah satuan dari mm/hari ke liter/detik/hektar.
Secara lebih detail diuraikan langkah untuk mempermudah :
I. Menghitung curah hujan efektif ( Re) dengan cara seperti yang
sudah diterangkan diatas.
II. Menghitung evapotranspirasi potensial dengan metoda penman
modifikasi yang sudah diterangkan diatas. M
III. Mencari data perkolasi (P) , jangka waktu penyiapan lahan (T).
dan kebutuhan penjenuhan (S).
IV. Menghitung kebutuhan air total. 𝐸𝑜 = 1,1×𝐸𝑡𝑜
V. Menghitung M, 𝑀 = 𝐸𝑜 +𝑃
VI. Menghitung K, 𝐾 = 𝑀 ×𝑇 𝑆
VII. Menghitung LP , 𝐿𝑃 =𝑀 ×𝑒𝑘 𝑒𝑘 −1
VIII. Menghitung kebutuhan bersi air di sawah untuk padi (NFR)
𝑁𝐹𝑅 = 𝐿𝑃−𝑅𝑒.
IX. Menghitung kebutuhan air irigasi untuk padi ,𝐼𝑅 =𝑁𝐹𝑅 0,65
X. Menghitung kebutuhan air untuk irigasi (DR=a) 𝐷𝑅(𝑎) = 𝐼𝑅 8,64
l/dt/ha
b. Kebutuhan air pada masa tanam untuk padi sawah
Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan air pada
masa tanam sama dengan kebutuhan air pada masa penyiapan lahan.
Namun ada tambahan Penggantian lapisan air. pergantian air
dilakukan sebanyak 2 kali masing-masing 50 mm ( atau 3.3 mm/hari
selama 0.5 bulan ) selama sebulan dan 2 bulan setelah transplantasi.
Berikut prosedur perhitungan:
I. Menghitung curah hujan efektif ( Re) dengan cara seperti yang
sudah diterangkan diatas.
II. Menghitung evapotranspirasi potensial dengan metoda
Penman-Monteith yang sudah diterangkan diatas.
III. Mencari data perkolasi (P) dan Penggantian lapisan air (WLR)
IV. Menghitung Etc, 𝐸𝑡𝑐 = 𝐸𝑡𝑜 ×𝑐
V. Menghitung kebutuhan air total (bersih) disawah untuk padi,
𝑁𝐹𝑅 = 𝐸𝑡𝑐 + 𝑃 +𝑊𝐿𝑅 –𝑅𝑒
VI. Menghitung kebutuhan air irigasi untuk padi (IR), 𝐼𝑅 =
𝑁𝐹𝑅/0,64
VII. Menghitung kebutuhan air untuk irigasi (DR), 𝐷𝑅 = 𝐼𝑅/8,64
2.6 Keseimbangan Air
Kebutuhan air dan ketersediaan air di lahan haruslah seimbang. Untuk
mengetahui hal tersebut, dapat di gunakan neraca air. Neraca air merupakan
neraca masukan dan keluaran air disuatu tempat pada periode tertentu, sehingga
dapat mengetahui jumlah air kelebihan (surplus) ataupun kekurangan (defisit).
Rumus umum neraca air DAS
𝑃 = 𝑅𝑜 +𝐸𝑎 ±∆𝑆𝑡
Dimana:
P : Presipitasi jatuh di DAS (mm/th)
Ea : Evapotranspirasi aktual (mm/th)
Q : Runoff keluar DAS di outlet (mm/th)
ΔSt : Perubahan simpanan air (mm/th)
2.7 Sistem Tata Nama (Nomenklatur)
Nama-nama yang diberikan untuk saluran-saluran irigasi dan pembuang,
bangunan, dan daerah irigasi harus jelas (tidak memiliki tafsiran ganda).
1. Daerah irigasi
Daerah diberi nama sesuai dengan nama daerah setempat atau desa di
daerah itu, biasanya terletak dekat dengan jaringan bangunan utama atau
sungai yang airnya diambil untuk keperluan irigasi
2. Saluran irigasi primer dan sekunder
Saluran irigasi primer sebaiknya diberi nama sesuai dengan daerah
irigasi yag dilayani
3. Saluran irigasi petak tersier
Saluran irigasi tersier Petak tersier diberi nama seperti bangunan sadap
tersier di jaringan utama
.
BAB III
KONDISI DAS KALI CACABAN
3.1 Lokasi DAS Kali Cacaban
Secara administratif DAS Kali Cacaban terletak di Kabupaten Tegal,
Provinsi Jawa tengah.
3.2 Luas DAS Kali Cacaban
Luas Das Kali Cacaban berdasarkan outlet titik bendung yang penulis buat
adalah 5052,280588 Ha2. Luas das didapat menggunakan software Arcgis
dengan tool calculate geometry.

Gambar 4 DAS Kali Cacaban dengan outlet titik bendung (Sumber : Arcgis Pribadi)

3.3 Stasiun Pengukuran Curah Hujan Kali Cacaban


Stasiun pengukuran curah hujan diperlukan untuk memperkirakan supply
air yang akan di alirkan ke daerah DAS Kali Cacaban. Data pengukuran ini di
ambil dari stasiun hujan yang paling dekat dan memiliki luas pengaruh terhadap
Kali Cacaban. Data hujan yang diambil merupakan data curah hujan selama 10
tahun. Penulis melakukan dua metode untuk mementukan curah hujan wilayah
yang nantinya yang akan penulis gunakan. Metode tersebut adalah metode
Aritmatik dan metode Polygon Thiessen. Pada metode Polygon Thiessen luas
pengaruh hujan hanya ada pada dua stasiun yaitu stasiun Sidomulyo dan stasiun
Patuguran. Penulis pada akhirnya memakai Metode Aritmatik karena eror
aritmatik lebih kecil daripada eror polygon thiessen. Berikut data dan
perhitungan curah hujan dari ketiga stasiun :
Tabel 3 Stasiun Hujan

Nama Stasiun Stasiun Sidomulyo Stasiun Stasiun


Bantarbolang Patuguran
Nomor Stasiun 1 2 3
Latitude -7.025150 -7.025150 -7.337380
Longitude 109.061996 109.375 109.061996
Elevasi (m) 100 110 313

Tabel 4 Curah Hujan di Stasiun Sidomulyo

Tabel 5 Curah Hujan di Stasiun Bantarbolang


Tabel 6 Curah Hujan di Stasiun Patuguran

Tabel 7 Metode Aritmatik

Tabel 8 Metode Polygon Thiessen

Tabel 9 Eror Metode Aritmatik


Tabel 10 Eror Metode Polygon Thiessen

3.4 Data Pengukuran Hidrometeorologi DAS Kali Cacaban


Data Hidrometeorologi didapat dari staiun dekat dengan DAS Kali Cacaban.
Dari ketiga stasiun yang penulis dapat, penulis mengambil satu stasiun untuk
diolah data hidrometeorologinya yaitu di stasiun Sidomulyo, berikut merupakan
datanya :
Tabel 11 Kecepatan Angin Rata - Rata

Tabel 12 Suhu Rata - Rata


Tabel 13 Kelembapan Udara Rata - Rata

Tabel 14 Lama Penyinaran Matahari Rata – Rata

Tabel 15 Sinar Matahari Rata - Rata


BAB IV
SISTEM IRIGASI DAERAH KALI CACABAN

4.1. Perencanaan Petak, Saluran, dan Bangunan Air


4.1.1. Perencanaan Petak
Perencanaan petak di daerah irigasi kali cacaban yang akan di aliri
untuk petak sawah dan palawija memiliki kriteria dalam penentuan
petak mana yang akan di aliri irigasi dari kali cacaban ini antara lain
sebagai berikut :
1. Luas Luas minimal petak 50 Ha dan luas maksimal petak 100 Ha
2. Jumlah luas minimal seluruh petak adalah 1000 Ha
3. Petak tidak boleh memotong jalan, pemukiman, sungai atau rel
kereta api
4. Saluran diusahakan tidak memotong jalan
5. Saluran tidak boleh memotong sungai atau rel kereta api
6. Petak memmiliki elevasi yang lebih tinggi dari saluran pembuang
a. Petak Primer
Petak primer terdiri dari beberapa petak sekunder, yang mengambil air
langsung dari saluran primer. Petak primer dilayani oleh satu saluran
primer yang mengambil airnya langsung dari sumber air, biasanya
sungai. Proyek-proyek irigasi tertentu mempunyai dua saluran primer.
Ini menghasilkan dua petak primer. Daerah di sepanjang saluran primer
sering tidak dapat dilayani dengan mudah dengan cara menyadap air
dari saluran sekunder. Apabila saluran primer melewati sepanjang garis
tinggi, daerah saluran primer yang berdekatan harus dilayani langsung
dari saluran primer.
b. Petak Sekunder
Petak sekunder terdiri dari beberapa petak tersier yang kesemuanya
dilayani oleh satu saluran sekunder. Biasanya petak sekunder
menerima air dari bangunan bagi yang terletak di saluran primer atau
sekunder. Batas-batas petak sekunder pada umumnya berupa tanda-
tanda topografi yang jelas, seperti misalnya saluran pembuang. Luas
petak sekunder bisa berbeda-beda, tergantung pada situasi daerah.
Saluran sekunder sering terletak di punggung medan mengairi kedua
sisi saluran hingga saluran pembuang yang membatasinya. Saluran
sekunder boleh juga direncana sebagai saluran garis tinggi yang
mengairi lereng-lereng medan yang lebih rendah saja.
c. Petak Tersier
Perencanaan dasar yang berkenaan dengan unit tanah adalah petak
tersier. Petak ini menerima air irigasi yang dialirkan dan diukur pada
bangunan sadap (off take) tersier yang menjadi tanggung jawab Dinas
Pengairan. Bangunan sadap tersier mengalirkan airnya ke saluran
tersier. Di petak tersier pembagian air, operasi dan pemeliharaan
menjadi tanggung jawab para petani yang bersangkutan, dibawah
bimbingan pemerintah. Ini juga menentukan ukuran petak tersier. Petak
yang kelewat besar akan mengakibatkan pembagian air
menjadi tidak efisien. Faktor-faktor penting lainnya adalah jumlah
petani dalam satu petak, jenis tanaman dan topografi. Di daerah-daerah
yang ditanami padi luas petak tersier idealnya maksimum 50 ha, tapi
dalam keadaan tertentu dapat ditolelir sampai seluas 75 ha, disesuaikan
dengan kondisi topografi dan kemudahan eksploitasi dengan tujuan
agar pelaksanaan Operasi dan Pemeliharaan lebih mudah. Petak tersier
harus mempunyai batas-batas yang jelas seperti misalnya parit, jalan,
batas desa dan batas perubahan bentuk medan (terrain fault).
Petak tersier dibagi menjadi petak-petak kuarter, masing-masing seluas
kurang lebih 8-15 ha. Apabila keadaan topografi memungkinkan,
bentuk petak tersier sebaiknya bujur sangkar atau segi empat untuk
mempermudah pengaturan tata letak dan memungkinkan pembagian
air secara efisien. Petak tersier harus terletak langsung berbatasan
dengan saluran sekunder atau saluran primer. Perkecualian: jika petak-
petak tersier tidak secara langsung terletak di sepanjang jaringan
saluran irigasi utama yang dengan demikian, memerlukan saluran
tersier yang membatasi petak-petak tersier lainnya, hal ini harus
dihindari. Panjang saluran tersier sebaiknya kurang dari 1.500 m, tetapi
dalam kenyataan kadang-kadang panjang saluran ini mencapai 2.500
m. Panjang saluran kuarter lebih baik dibawah 500 m, tetapi prakteknya
kadang-kadang sampai 800 m. Berdasarkan kriteria diatas di dapat 16
petak sawah dengan luas total sebesar 1014.7 Ha.
No Nama Petak Luas Petak ( Ha )
1 C.Ka1 15
2 C.Ka2 90
3 1C.Ki 20
4 CB1.Ki 39
5 CB2.Ki 100
6 2C.Ki 36
7 CB2.Ki1 34.8
8 1D1.Ka 26.4
9 1D1.Ki 58
10 1D2.Ka 87.5
11 1D2.Ki 100
12 1D3.Ka 52.5
13 2D1.Ka 75
14 CB5.Ki 64
15 CB6.Ki 67.5
16 R.Ka 54
Luas Total 1014.7

4.1.2. Perencanaan Saluran


Pada perencanaan saluran sistem irigasi terdapat dua macam saluran,
yaitu saluran pembawa dan pembuang. Saluran pembawa terdiri dari
tiga jenis yaitu saluran primer, saluran sekunder dan saluran tersier.
Saluran primer, saluran ini berfungsi untuk membawa air dari sumber
air (misalnya sungai) dan mengalirkannya ke saluran sekunder. Saluran
ini mengalirkan air langsung dari bendung yang telah dibuat. Saluran
ini dibuat memanjang dan mengikuti kontur yang ada. Saluran
sekunder, saluran ini berfungsi untuk menyadap air dari saluran primer
untuk mengairi daerah di sekitarnya. Saluran sekunder dibuat tegak
lurus terhadap saluran primer, dan mengikuti kontur yang ada. Saluran
tersier, saluran ini berfungsi untuk membawa air dari saluran sekunder
dan membagikannya ke petak-petak sawah dengan luas maksimum 100
hektar. Sedangkan, saluran pembuang berfungsi untuk membuang
kelebihan air dari petak-petak sawah ke saluran eksisiting yang sudah
ada, biasanya sungai. Air berlebihan tersebut bisa dibuang kembali ke
sungai atau bisa juga ke sungai lain yang dekat dengan kawasan
tersebut.
4.1.3. Perencanaan Bangunan Air
Bangunan irigasi yang dipakai adalah bangunan utama, dalam hal ini
bendung (untuk meninggikan muka air di sungai hingga ketinggian
yang diperlukan, sehingga air dapat dialirkan ke lahan di sekitarnya).
Selain itu, dalam sistem irigasi daerah irigasi Kali Cacaban ini, juga
digunakan untuk hal-hal sebagai berikut :
a. Bangunan bagi yang terletak pada saluran primer yang membagi air
ke saluran sekunder, atau pada saluran sekunder yang membagi air
ke saluran sekunder lainnya. Terdiri dari pintu-pintu yang dengan
teliti mengukur dan mengatur air yang mengalir ke berbagai
saluran.
b. Bangunan sadap yang terletak di saluran primer, sekunder, ataupun
tersier yang memberi air ke saluran tersier.
c. Bangunan bagi sadap yang berupa bangunan bagi dan bersama itu
pula sebagai bangunan sadap. Bangunan bagi sadap merupakan
kombinasi dari bangunan bagi dan bangunan sadap (bangunan yang
terletak di saluran primer ataupun sekunder yang memberi air ke
saluran tersier).
Desain yang direncanakan untuk Daerah Irigasi Ujung Jaya adalah 16
petak sawah dengan luas 1014.7 hektar petak tersier. Bentuk dari tiap
petak juga berbeda-beda mengikuti alur kontur untuk mencapai
persyaratan teknis perencanaan petak tersier, yakni 50-100 hektar.
4.1.4. Skema Petak, Saluran Irigasi, dan Bangunan Air
Skema penggambaran sistem irigasi ada dua yaitu skema garis dan
skema balok. Berikut merupakan gambar dari skema garis :

Sedangkan, berdasarkan skema balok seperti berikut :

Anda mungkin juga menyukai