Anda di halaman 1dari 64

Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi

di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi


Universitas Surabaya

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI MAGISTER ILMU FARMASI


DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
(RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG)
Jalan Jaksa Agung Supraptop No. 2, Klojen, Malang, Jawa Timur

Disusun Oleh Kelompok 2 :

Imanda Dyah R (114119001)


Agnes Christina Ay (114119005)
Linda W Wongkar (114119014)
I Nyoman Yoga Diputra (114119019)
I Gede Agus Sindhu Aditama (114119020)
Chintya Farah Septi Nelya (114119028)
Gusti Ayu Putu Laksmi Puspa Sari (114119507)
I Gusti Agung Ari Kusuma Yana (114119509)
Vira Chandra Dewi (114119510)
Yunita Rahmawati (114119512)
Heryanti Pusparisa (114119513)

PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIS


UNIVERSITAS SURABAYA
2021
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI MAGISTER ILMU FARMASI DARING
DI RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
JALAN JAKSA AGUNG SUPRAPTOP NO. 2, MALANG
(12 April – 8 Mei 2021)

Disusun Oleh :
KELOMPOK 2

Imanda Dyah R (114119001)


Agnes Christina Ay (114119005)
Linda W Wongkar (114119014)
I Nyoman Yoga Diputra (114119019)
I Gede Agus Sindhu Aditama (114119020)
Chintya Farah Septi Nelya (114119028)
Gusti Ayu Putu Laksmi Puspa Sari (114119507)
I Gusti Agung Ari Kusuma Yana (114119509)
Vira Chandra Dewi (114119510)
Yunita Rahmawati (114119512)
Heryanti Pusparisa (114119513)

Disetujui oleh:

Pembimbing Akademis Pembimbing Klinis

Dr. apt. Marisca E. G., S.H., M.H., S.Farm., M.Farm-Klin apt. Rani Nur Badriyah, M.Farm., Klin
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

DAFTAR ISI
BAB I: TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................1
DEFINISI ..........................................................................................................................1
ETIOLOGI .......................................................................................................................1
PATOFISIOLOGI ...........................................................................................................2
DIAGNOSIS .....................................................................................................................4
MANIFESTASI KLINIS .................................................................................................9
KOMPLIKASI .................................................................................................................9
TATALAKSANA ............................................................................................................10

BAB II: PROFIL KASUS ..............................................................................................17


DATA PASIEN................................................................................................................17
CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN ...................................................................18
DATA KLINIS PASIEN.................................................................................................23
DATA LABORATORIUM PASIEN.............................................................................24
PROFIL PENGOBATAN PASIEN...............................................................................25
TERAPI KRS ..................................................................................................................26

BAB III: PEMBAHASAN ..............................................................................................27


ANALISIS DAN ASUHAN KEFARMASIAN .............................................................49

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................56


DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................57
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEMAM THYPOID
1. DEFINISI

Demam tifoid akut merupakan penyakit infeksi akut bersifat sistemik yang
disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang dikenal
dengan Salmonella typhi. Penyakit ini masih sering dijumpai di negara berkembang
yang terletak di subtropis dan daerah tropis seperti Indonesia. Menurut WHO, ada 3
macam klasifikasi demam tifoid dengan perbedaan gejala klinik:

1) Demam tifoid akut non komplikasi

Demam tifoid akut dikarakterisasi dengan adanya demam berkepanjangan abnormalis


fungsi bowel (konstipasi pada pasien dewasa, dan diare pada anak- anak), sakit kepala,
malaise, dan anoksia. Bentuk bronchitis biasa terjadi pada fase awal penyakit selama
periode demam,sampai 25% penyakit menunjukkan adanya rose spot pada dada,
abdomen dan punggung

2) Demam tifoid dengan kompilkasi

Pada demam tifoid akut keadaan mungkin dapat berkembang menjadi komplikasi
parah. Bergantung pada kualitas pengobatan dan keadaan kliniknya, hingga 10% pasien
dapat mengalami komplikasi, mulai dari melena, perforasi, susu dan peningkatan
ketidaknyamanan abdomen.

3) Keadaan karier

Keadaan karier tifoid terjadi pada 1- 5% pasien, tergantung umur pasien. Karier tifoid
bersifat kronis dalam hal sekresi Salmonella typhi di feses.

2. ETIOLOGI
Typhoid fever merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang
termasuk gram negatif dalam famili Enterobacteriaceae (Bhandari et al, 2020). Salmonella
typhi mengandung tiga jenis antigen :
 O, terletak dalam dinding sel bakteri

1
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

 H, terletak dalam flagellum (ekor)


 Vi, terletak pada lapisan teruar dinding sel
Hal tersebut menyebabkan sel retikuloendotelial memproduksi antibodi/ aglutinin O, H, dan
Vi (Bhandari et al, 2020)

3. PATOFISIOLOGI
Perjalanan penyakit Salmonella typhi melalui beberapa proses, diawali dengan melalui
makanan dan minuman yang tercemar melalui jalur oral-fekal. Yang kemudian tubuh akan
melakukan mekanisme pertahanan melalui beberapa proses respon imun baik lokal maupun
sistemik, spesifik dan non-spesifik serta humoral dan seluler.
Salmonella typhi yang masuk ke saluran cerna tidak selalu akan menyebabkan infeksi, karena
untuk menimbulkan infeksim Salmonella typhi harus dapat mencapai usus halus. Keasaman
lambung (PH ≤ 3,5) menjadi salah satu faktor penting yang menghalangi Salmonella typhi
mencapai usus halus. Namun sebagian besar kuman Salmonella typhi dapat bertahan karena
memiliki gen ATR (acid tolerance response). Achlorhydria akibat penuaan, gastrektomi,
pompa proton inhibitor, pengobatan histamin antagonis reseptor H2, atau pemberian antacid
dapat menurunkan dosis infektif yang mempermudah kuman untuk lolos menuju usus halus.

Gambar 1. Infeksi Salmonella di epitel usus (Idrus, 2020)

2
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

Setelah masuk ke saluran cerna dan mencapai usus halus, Salmonella typhi akan
menemui dua mekanisme non spesifik yaitu motilitas dan flora normal usus berupa bakteri-
bakteri anaerob. Motilitas usus bersifat fisik berupa kekuatan peristaltik usus untuk
menghanyutkan kuman keluar. Di usus halus kuman akan menembus mukosa usus
diperantarai microbial binding terhadap epitel menghancurkan Microfold cells (M cells)
sehingga sel-sel epitel mengalami deskuamasi, menembus epitel mukosa usus, masuk dalam
lamina propria, menetap dan berkembang biak. Kuman akan berkembang biak dalam sel
mononuklear sebelum menyebar ke dalam aliran darah.

Di dalam sel fagosit mononuklear, kuman masuk menginfeksi Peyer’spatches, yaitu


jaringan limfoid yang terdapat di ileum terminal dan bermultiplikasi, kemudian kuman
menembus kelenjar limfoid intestinal dan duktus torasikus masuk ke dalam aliran darah
sistemik. Setelah 24-72 jam terjadi bakteriemia primer namun jumlah kuman belum terlalu
banyak maka gejala klinis belum tampak. Bakteriemia primer berakhir setelah kuman masuk
ke dalam organ retikuloendotelial system (RES) di hati limpa, kelenjar getah bening
mesenterium dan kelenjar limfoid intestinal untuk berkembang biak. Di organ ini kuman
menjalani masa inkubasi selama 10-14 hari, dalam organ RES kuman berkembang pesat dan
kembali masuk ke peredaran darah dan menimbulkan bakteriemia sekunder. Pada saat terjadi
bakteriemia sekunder, dapat ditemukan gejala-gejala klinis dari demam tifoid.

Pada dinding sel Salmonella typhi terdapat pirogen LPS (endotoksin) dan sedikit
peptidogikan. Endotoksin merupakan pirogen eksogen yang sangat poten untuk merangsang
respons imun makrofag dan sel lain untuk menginduksi sekresi sitokin. Sebagai reseptor,
Komponen CD14 akan berikatan dengan LPS. Ikatan tersebut kemudian berikatan pula
dengan kelompok molekul Toll-like receptors (TLR). Aktivasi yang terjadi akan menstimulasi
produksi sitokin dan aktivasi reseptor sitokin : reseptor sitokin tipe I (untuk IL-2, IL-3, IL-4,
IL-5, IL-7, IL-9, IL 11, IL-12, IL-13, IL-15) ; reseptor sitokin tipe II (untuk 1FN-á/â, IFN-ã,
IL-10); reseptor TNF (untuk TNF, CD4OL, Fas); reseptor superfamili immunoglobulin (IL-1,
M-CSF). Laju infeksi demam tifoid sangat ditentukan oleh aktivitas aktivasi reseptor
tersebut. Berbagai sitokin tersebut mengikuti sirkulasi sistemik, menginduksi produksi
prostaglandin, memengaruhi stabilitas pusat termoregulasi berefek terhadap pengaturan suhu
tubuhdan menyebabkan demam.

3
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

Sitokin tersebut pula yang menimbulkan dampak pada pusat nafsu makan
menyebabkan nafsu makan menurun, memengaruhi ambang nyeri, sehingga timbul nyeri
pada kepala, sendi, otot-otot, dan nyeri pada daerah saluran cerna. Sitokin memengaruhi
perubahan pada plaque peyeri, inflamasi pada mukosa saluran cerna, menyebabkan motilitas
saluran cerna terganggu, sehingga muncul keluhan mual, muntah, diare, nyeri abdomen,
perdarahan, perforasi, sedangkan konstipasi terjadi pada tahap lanjut. Kondisi patologis
akibat infeksi merangsang hiperaktivitas RES dan menimbulkan pembengkakan hati dan
limpa.

Pentingnya imunitas dalam penegakan diagnosis ditunjukkan dari kenaikan titer


antibodi terhadap antigen Salmonella typhi. Peran imunitas seluler yaitu dalam penyembuhan
penyakit. Pada infeksi primer, respon humoral melalui sel limfosit B akan berdiferensiasi
menjadi sel plasma yang akan merangsang terbentuknya immunoglobulin (Ig). Pada infeksi
akut, yang pertama terbentuk antibodi O (IgM) yang muncul pada hari ke 3-4 demam,
kemudian disusul antibodi pada infeksi kronik yaitu antibodi flagela H (IgG).

Gambar 2. Patofisiologi demam tifoid (Idrus, 2020)

4. DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat oleh
pemeriksaan laboratorium penunjang. Penelitian yang menggunakan berbagai metode

4
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita


demam tifoid secara menyeluruh masih terus dilakukan hingga saat ini.
Diagnosis definitif demam tifoid tergantung pada isolasi Salmonella typhi dari darah,
sumsum tulang atau lesi anatomi tertentu. Adanya gejala klinis dari karakteristik demam
tifoid atau deteksi dari respon antibodi spesifik adalah sugestif demam tifoid tetapi tidak
definitive. Kultur darah adalah gold standard dari penyakit ini. Adapun pemeriksaan lain nya
dapat berupa tes widal, ELISA, PCR, dan biopsi pada rose spot.

Gambar 3. Pemeriksaan demam tifoid

(a) Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman


Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri Salmonella typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum. Berkaitan dengan
patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum
tulang pada awal penyakit atau dalam minggu pertama, sedangkan pada stadium berikutnya
atau minggu kedua dan ketiga di dalam urin maupun feses.

Kultur organisme penyebab merupakan prosedur yang paling efektif dalam menduga
demam enterik, dimana kultur untuk demam tifoid dapat menjelaskan dua pertiga dari kasus
septikemia yang diperoleh dari komunitas yang dirawat di rumah sakit. Kultur darah adalah
prosedur untuk mendeteksi infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri atau jamur.
Tujuannya adalah mencari etiologi bakteremi dan fungemi dengan cara kultur secara aerob
dan anerob, identifikasi bakteri dan tes sensitivitas antibiotik yang diisolasi. Hal ini
dimaksudkan untuk membantu klinisi dalam pemberian terapi antibiotik yang terarah dan
rasional.

(b) Uji Serologis


5
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

Uji Widal

Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896.
Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita
yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela
(H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Semakin tinggi titernya, semakin besar kemungkinan infeksi ini. Uji Widal ini dilakukan
untuk deteksi antibodi terhadap kuman Salmonella typhi. Pada uji ini terjadi suatu reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Salmonella typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin.
Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan
dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah menentukan adanya aglutinin dalam
serum penderita tersangka demam tifoid.

Uji Tubex

Uji Tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit) dan mudah
untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-Salmonella typhi O9 pada serum pasien,
dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada partikel latex
yang berwarna dengan lipopolisakarida Salmonella typhi yang terkonjugasi pada partikel
magnetik latex. Hasil positif uji Tubex ini menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae
serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada Salmonella typhi. Infeksi oleh
Salmmonella paratyphi akan memberikan hasil negatif.

(c) Pemeriksaan kuman secara molekuler


Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella typhi yang akurat adalah
mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri Salmonella typhi dalam darah dengan
teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction
(PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk Salmonella typhi. Spesifisitas PCR
sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya
dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/ml darah. Kendala yang sering dihadapi pada
penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif
palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan
dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam

6
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup
tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih
belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas
dalam laboratorium penelitian.

Berikut merupakan patofisiologi molekuler terkait typhoid:

Gambar 4. Patofisiologi Tyhphoid Akibat Bakteri Salmonella (Cummings et al., 2009)


Salmonella dengan flagella dan tanpa flagella di lumen usus sebelum bisa masuk ke
lapisan yang lebih dalam lagi harus melewati barrier/hambatan diawal yaitu lapisan

7
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

glycocalyx, peptide antimicrobial, dan sIgA. Kemudian salmonella yang berhasil masuk
melalui beberapa cara, yaitu:
1. lewat epitel saluran cerna melalui Microfold cells (M cells) dengan endositosis
2. masuk melalui uptake oleh CX3CR1 (kemokin reseptor) dan sel dendritic.
Salmonella di lumen usus, di sel epitel saluran cerna, di peyer patch mengekspresikan
protein FliC, yang kemudian berinteraksi dengan TLR-5 (toll like receptors) kemudian terjadi
respon inflamasi dengan dihasilkannya IL-8 dan CCL20 (chemokine ligand 20) oleh sel
epitel, lalu memicu terjadinya inflamasi, lalu merekrut makrofag, neutrophil, sel
dendrit+CCR6 (chemokine receptor 6). Interaksi bakteri salmonella dengan neutrophil,
makrofag, sel dendrit+CCR6 ini akan menghasilkan 3 kemungkinan yang terjadi, yaitu:
1. Fagositosis salmonella oleh sel dendrit atau makrofag, menyebabkan kematian sel
yang inflamasi (atau disebut proses piroptosis). Pada proses piroptosis ini tidak ada
rekuitmen APC (antigen-presenting cells), dan dari proses piroptosis ini diriilis IL-18
dan IL-1β dan merilis Ags untuk diuptake oleh APC pengamat.
2. Uptake bakteri, dimana bakteri bertahan di dalam fagosit/makrofag. Lalu dihasilkan
NO oleh APC  terjadi penghambatan aktivasi sel-T dan meningkatnya regulasi
MHC (major histocompatibility complex) dan molekul ko-stimulator di sel dendritic
3. Bakteri difagositosis oleh neutrophil/makrofag dan terdegradasi.
Sel denritic + CCR6 yang telah matang di peyer patch memproses dan mempresentasikan
Ag ke sel-T naif. Ag yang diperoleh untuk pemrosesan dan presentasi ini dihambat oleh
bakteri salmonella di lumen usus, atau peyer patch.(Cummings et al., 2009)
Sel dendritic dewasa yang sudah memproses dan mempresentasikan Ag di permukaan
MHC akan ada umpan balik dengan sel T naif. Sel dendritic memproduksi TNFa dan IL-12
akan meningkatkan aktivasi dan perluasan sel T spesifik Ag. Rilisnya IFN-gamma oleh sel-T
yang teraktivasi akan merangsang fungsi sel dendritic, kemudian sel T memori yang
teraktivasi tadi akan mengekspresikan reseptor homing α4β7 dan CCR6+ yang kemudian
akan mempengaruhi sel-sel tersebut pindah ke usus yang meradang selama terjadinya infeksi
sekunder.(Cummings et al., 2009)
Bakteri yang tadi ada di APC/makrofag tadi akan dapat menyebar ke bagian mesenteric
lymph node (D), dimana di sini juga terjadi proses presentasi Ag ke sel T.
Bakteri salmonella di sini telah beradaptasi, tidak lagi mengekspresikan FliC, dan secara aktif
dapat menggang APC/makrofag. Penyebaran bakteri salmonella secara sistemik ke limfa dan

8
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

hati mirip dengan penyebaran di bagian mesenteric lymph node. Bakteri akan bereplikasi di
dalam APC. Selanjutnya, sel T tidak akan mengenali bakteri salmonella yang tumbuh secara
intraselluler di sistemik (limfa dan hati) maupun yang ada di dalam makrofag.(Cummings et
al., 2009)

5. MANIFESTASI KLINIS

Gejala demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala ringan yang tidak memerlukan
perawatan hingga gejala berat yang memerlukan perawatan. Masa inkubasi demam tifoid
berlangsung ntara 10-14 hari. Pada awal periode penyakit ini, penderita demam tifoid
mengalami demam. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore hingga
malam hari. Pada saat demam tinggi, dapat disertai dengan gangguan system saraf pusat,
seperti kesadaran menurun, penurunan kesadaran mulai dari apatis sampai koma. Gejala
sistemik lain yang menyertai adalah nyeri kepala, malaise, anoreksia, nausea, myalgia, nyeri
perut dan radang tenggorokan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat
bervariasi. Pasien dapat mengeluh diare, obtipasi, atau optipasi kemudian disusul dengan
diare, lidah tampak kotor dengan warna putih ditengah, hepatomegaly dan splenomegaly.

6. KOMPLIKASI

(a) Komplikasi Interestinal

1. Pendarahan Interestinal

Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk luka lonjong dan memanjang
terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah
maka akan terjadi pendarahan. Selanjutnya jika luka menembus dinding usus maka
perforasi dapat terjadi. Selain karena luka, pendarahan juga dapat terjadi karena koagulasi
darah

2 Perforasi usus

9
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

Perforasi usus biasanya terjadi pada minggu ketiga, namun juga dapat timbul pada
minggu pertama. Gejala yang terjadi adalah nyeri perut hebat di kuadran kanan bawah
kemudian menyebar ke seluruh perut. Tanda-tanda lainnya adalah nadi cepat, tekanan
darah turun dan bahkan dapat terjadi syok leukositosis dengan pergeseran ke kiri dengan
menyokong adanya perforasi

(b) Komplikasi Ekstra-Intestinal

1.Hepatitis tifosa

Pembengkakan hati dari ringan sampe sedang.Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien
dengan malnutrisi dan system imun yang kurang. Hepatitis tifosa ditandai dengan
peningkatan kadar triaminase dan ikterus disertai atau tanpa kenaikan kadar triaminasi

2.Pakreasitis tifosa

Pankreasitis dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun
farmakologik. Penatalaksanaan pakreasitis sama seperti pankreasitis pada umumnya,
antibiotik yang diberikan adalah antibiotik intravena, antibiotik yang diberikan adalah
seftriaxon dan kuinolon

3.Miokarditis

Pada pasien dengan miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskular atau dapat berupa
keluhan sakit dada, gagal jantung kohesif, aritma, syok kardiogenik dan perubahan
elektrokardiograf. Komplikasi ini disebabkan kerusakan mikrokardium oleh kuman
S.typhi

4.Neuropsikiatrik

Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa gangguan kesadaran, disorientasi, delirium,


obtundasi, stupor bahkan koma.

7. TATALAKSANA
Tujuan tatalaksana terapi dari demam tifoid ini adalah (KMK RI, 2006):
- Optimalisasi pengobatan dan mempercepat penyembuhan
- Observasi terhadap perjalanan penyakit

10
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

- Minimalisasi komplikasi
- Isolasi untuk menjamin pencegahan terhadap pencemaran dan atau kontaminasi
Hal utama yang perlu diperhatikan dalam terapi untuk mengetahui keberhasilan
pengobatan adalah (KMK RI, 2006):
- Suhu tubuh serta penanda vital lain (nadi, nafas, tekanan darah) yang harus diukur
secara berkala. Kurva suhu harus dibuat secara sempurna pada lembar rekam medis
- Keseimbangan cairan
Cairan yang masuk (infus atau minum) dan cairan tubuh yang keluar (urin, feses)
harus seimbang
- Deteksi dini terhadap timbulnya komplikasi
- Adanya koinfeksi dan atau efek toksik obat
- Resistensi anti mikroba
- Kemajuan pengobatan secara umum

7.1 Terapi Penunjang (KMK RI, 2006) (MMIDSP.com, 2019)


Tirah Baring
Pasien yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk mecegah
komplikasi, terutama bila ada pendarahan dan perforasi. Bila gejala klinis berat, pasien
harus istrirahat total. Bila terjadi penurunan kesadaran maka posisi tidur pasien harus
diubah-ubah pada waktu tertentu untuk mencegah komplikasi pneumonia hipostatik dan
decubitus. Apabila gejala membaik dapat dilakukan mobilisasi secara bertahap.
Nutrisi
- Cairan
Pasien harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan
parenteral diindikasikan pada pasien dengan gejala klinis yang berat, adanya
komplikasi, penurunan kesadaran, serta sulit untuk makan.
- Diet
Diet yang mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah selulose
(serat) untuk mencegah perburukan perdarahan dan perforasi. Diet pada penderita
tifoid dapat diklasifikasikan menjadi: diet cair dan bubur lunak (pada kondisi klinis
yang buruk), tim dan nasi biasa (pada kondisi klinis yang baik).
Simptomatik

11
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

- Roboransia/ Vitamin
- Anti piretik (diberikan untuk kenyamanan pasien, terutama pasien anak)
- Anti emetik (diberikan apabila pasien mengalami muntah hebat)

7.2 Terapi Empiris


Pemberian antibiotik harus dimulai sedini mungkin sejak diagnosis ditegakkan
(baik diagnosis konfirmasi, probable, maupun suspect) untuk mencegah komplikasi,
kekambuhan, dan perkembangan karier kronis (KMK, 2006)
Terapi empiris dimulai dengan pemberian obat golongan Sefalosforin sampai hasil kultur
darah tersedia. Golongan Sefalosforin yang dapat diberikan adalah Cefixim 2x400
mg/hari per-oral atau Ceftriaxon 2x1g/hari per-intravena. Bila pemberian terapi awal
adalah Cefixim oral, maka dapat diganti ke Ceftriaxon intravena apabila tidak ada
perubahan gejala klinis selama 5 hari atau adanya tanda-tanda komplikasi. Tidak
disarankan pemberian Azittomisin pada pemberian terapi empiris ini. Segera ganti
regimen pengobatan apabila hasil kultur telah tersedia. (MMIDSP.com, 2019)

7.3 Terapi Definitif


Sebelum antibiotik diberikan akan lebih baik apabila diambil spesimen darah atau
sumsum tulang terlebih dahulu untuk untuk pemeriksaan biakan kuman Salmonella typhi
(biakan gaal) agar terapi dapat diberikan secara optimal sesuai jenis antibiotik yang
dibutuhkan. Terapi antibiotik pada kasus demam tifoid ini biasanya menggunakan hanya
satu macam regimen antibiotik.
Pemilihan antibiotik harus mempertimbangkan :
- Sensitivitas dan potensinya untuk tifoid
- Mempunyai sifat farmakokinetik yang dapat berpenetrasi dengan baik ke jaringan
serta mempunyai afinitas yang tinggi menuju orhan sasaran
- Mempunyai spektrum yang sempit
- Cara pemberian yang mudah dan dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien, termasuk
anak-anak dan wanita hamil
- Mempunyai efek samping obat yang minimal
- Tidak mudah resisten dan efektif mencegah karier

12
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

Antibiotika yang diberikan pada terapi awal demam tifoid adalah antibiotika lini
pertama sesuai dengan kepekaan tertinggi suatu daerah tertentu. Bila pemberian antibiotik
lini pertama tidak efektif dapat diberikan antibiotik lini kedua. Berikut antibiotik yang
dapat diberikan pada pasien demam tifoid : (MMIDSP.com, 2019) (KMK, 2006)

ANTIBIOTIKA DOSIS KELEBIHAN DAN


KEKUARANGAN
Lini Pertama
Kloramfenikol Dewasa : 4x500mg - Merupakan obat yang sering
(maksimal 2g/hari) digunakan dan telah lama dikenal
selama 14 hari efektif untuk tifoid
Anak : - Murah dan dapat diberikan per oral
50-100mg/KgBB/hari dan sensitivitasnya masih tinggi
terbagi dalam 4 bagian - Pemberian po/iv
dosis. maksimal 2g/hari - Tidak diberikan bila leukosit
selama 10-14 hari <2000/mm3
- Pemberian cukup lama sehingga
cukup sering menimbulkan karier dan
relaps
Tiamfenikol Dewasa : 4x500mg - Dapat digunakan untuk anak dan
Anak : dewasa
50mg/KgBB/hari selama - Dilaporkan cukup sensitive pada
5-7 hari bebas panas beberapa daerah
Ampisilin Dewasa : 3-4g/hari - Aman untuk penderita hamil
ATAU selama 14 hari - Sering dikombinasi dengan
Amoksisilin Anak : kloramfenikol pada pasien kritis
100 mg/KgBB/hari - Tidak mahal
selama 10 hari - Pemberian po/iv
TMP – SMX Dewasa : - Tidak mahal
(Kotrimoksazol) 2x(160-800mg)/ hari - Pemberian per-oral
selama 14 hari
Anak :
TMP
6-10mg/KgBB/hari atau
SMX
30-50mg/KgBB/hari
selama 10 hari

13
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

Lini Kedua
Seftriakson Dewasa : 4x500mg - Cepat menurunkan suhu, lama
(maksimal 2g/hari) pemberian pendek dan dapat dosis
selama 14 hari tunggal serta cukup aman untuk anak
Anak : - Pemberian melalui iv
50-100mg/KgBB/hari - Diberikan pada pasien yang
terbagi dalam 4 bagian mengalami MDR Tifoid (Resisten
dosis. Maksimal 2g/hari terhadap terapi lini pertama)
selama 10-14 hari
Sefiksim Anak : - Aman untuk anak
15-20mg/KgBB terbagi - Efektif
dalam 2 bagian dosis - Pemberian per-oral
selama 10 hari
Quinolon Siprofloksasin : - Pefloksasin dan Flefoksasin lebih
2x500mg 1 minggu cepat menurunkan suhu
Ofloksasin : - Efektif mencegah relaps dan karier
2x(200-400mg) 1 - Pemberian per-oral
minggu - Anak : tidak dianjurkan (<18 th),
Pefloksasin : karena efek samping pada
1x400mg 1 minggu pertumbuhan tulang
Fleroksasin :
1x400mg 1 minggu
Lini Ketiga
Azitromisin BB<60Kg : - Pemberian per-oral
LD 1g/hari, kemudian - Diberikan pada pasien yang
500mg/hari selama 7-10 mengalami XDR (resisten terhadap
hari semua antibiotic, kecuali Azitromisin
BB>60Kg : dan Karbapenem)
1g/hari selama 7-10 hari - Diberikan pada pasien tifoid dengan
Anak : ESBL positif
8-10mg/KgBB/hari
selama 7-10 hari
Meropenem Dewasa : Pemberian per-intravena
3x1g/hari selama 10-14
hari
Anak :
60mg/KgBB/hari terbagi

14
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

dalam 3 bagian dosis


selama 10-14 hari
Imipenem Dewasa : Pemberian per-intravena
4x500mg/hari atau
3x1g/hari selama 10-14
hari
Anak :
20-60mg/KgBB/hari
terbagi dalam 3-4 bagian
dosis selama 10-14 hari
Ertapenem Dewasa : Pemberian per-intravena
1g/hari selama 10-14
hari
Tabel 1. Terapi Antibiotik pada Demam Tifoid (KMK, 2006) (MMIDSP.com, 2019)

7.4 Terapi Komplikasi Tifoid (KMK, 2006)


Tifoid Toksik
- Pemberian antibiotic spektrum luas (dapat ganda) secara parenteral, seperti kombinasi
Ampisilin dengan Kloramfenikol
- Pemberian kortikosteroid seperti Dexamethason 4x10mg (pada Dewasa) dan 1-
3mg/KgBB/hari (pada Anak-anak) selama 3-5 hari secara intranvena
Syok Septik
- Kegagalan hemodinamika ditasi secara optimal
- Pemberian antibiotika spektrum luas (dapat ganda) melaui parenteral
- Dipertimbangkan pemberian obat vasoaktif (seperti Dopamin) bila syok mengarah ke
irreversible
Perdarahan dan Perforasi
- Dipertimbangkan pemberian transfusi darah, terutama pada pasien dengan perdarahan
5ml/KgBB/jam dengan pemeriksaan hemostatsis normal
- Pemberian antibiotika spektrum luas dengan pemberian parenteral, seperti Ampisilin
+ Kloramfenikol + Metronidazol
- Pemasangan tube hidung – lambung

7.5 Terapi Pencegahan (MMIDSP.com, 2019)

15
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian vaksin yang dapat melawan tifoid.
Pemberian vaksin Vi Polisakarida dosis tunggal dapat diberikan pada anak >2 tahun serta
orang dewasa, kemudian diberikan vaksin ulangan setelah 3 tahun. Sedangkan vaksin
tifoid terkonjugasi dapat diberikan pada bayi ≥6 bulan, anak – anak, serta orang dewasa
yang dapat memberikan perlindungan selama 3 tahun. Namun, tidak ada vaksin yang
100% efektif dan memerlukan ulangan, karena efektivitas vaksin dapat berkurang seiring
dengan berjalannya waktu.

7.6 Terapi Mandiri di Rumah (KMK RI, 2006)


Pengobatan demam tifoid dapat dilakukan dirumah, namun dengan
mempertimbangkan hal-hal berikut :
- Pasien mengikuti resep yang telah diberikan dokter
- Pasien dengan gejala klinis ringan, tanpa komplikasi atau komorbid yang
membahayakan
- Pasien mempunyai kesadaran yang baik, serta dapat makan – minum dengan baik
pula
- Pasien dan keluarga paham terkait cara merawat, serta tanda bahaya yang mungkin
timbul
Rumah tangga mempunyai system pembuangan ekskreta (feses, urin, muntahan) yang
memenuhi syarat kesehatan

16
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

BAB II
PROFIL KASUS

DATA PASIEN

NAMA/USIA Nn. IL (15 thn)

BB/TB -/-

ALAMAT Malang

DIAGNOSA AWAL Probable typhoid dd DHF + epitaxis +


vomiting

DIAGNOSA AKHIR

MRS / KRS 01/06/2020

ALASAN MRS Demam dirasakan sejak ± 1 minggu


terakhir, demam terus – menerus, hanya
turun sebentar bila minum obat penurun
panas. Mual (+), muntah (+) 3x, pasien
sempat mimisan beberapa kali. Pasien
pernah travel ke daerah endemik malaria.
Pasien juga mengeluh mengalami
penurunan nafsu makan, nyeri kepala, dan
nyeri belakang mata.

STATUS PASIEN

17
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN

TGL PERKEMBANGAN PASIEN (SUBYEKTIF + OBYEKTIF)

01/06/20 Subyektif: Obyektif:


Demam ± 1 minggu Pemeriksaan Fisik
terakhir terus- KU: lemah
menerus , Mual (+), TD: 90/60 mmHg
Muntah (+), Pernah Nadi: 86x/min
travel ke daerah RR: 20x/min
endemic malaria, Suhu: 37°C
penurunan nafsu Sesak (-), Demam (+), Nyeri sendi (+),
makan, nyeri kepala, Mimisan (+), Pusing (±)
nyeri bekalang mata
Data Laboratorium:
-

TGL PERKEMBANGAN PASIEN (SUBYEKTIF + OBYEKTIF)

02/06/20 Subyektif: Obyektif:


- Pemeriksaan Fisik
KU: lemah
TD: 100/60 mmHg
Nadi: 86x/min
RR: 20x/min
Suhu: 37°C
Sesak (-), Demam (+), Nyeri sendi (+), Mimisan (+)
Data Laboratorium:

18
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

Parameter Nilai 8/3/21


Normal

K (3,8-5 ) 3,5
mEq/L

Ca 7,6 – 11,0 12

MCV 81,1 -96,0 69.4


mm3

MCH 27 -31,2 pg 33,3

RBC 4,33-5,95 x 4,21


106 / μl

Swab antigen Negatif Negatif


covid-19

Hbs Ag - -

GDA <200 90
mg/dL

TGL PERKEMBANGAN PASIEN (SUBYEKTIF + OBYEKTIF)

03/06/20 Subyektif: Obyektif:


- Pemeriksaan Fisik
KU: lemah
TD: 90/60 mmHg
Nadi: 88x/min
RR: 18x/min
Suhu: 36°C
Sesak (±), Demam (+), Nyeri sendi (+),
Mimisan (+), Sakit Kepala (±)

19
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

Data Laboratorium:

Parameter Nilai Normal 8/3/21

K (3,8-5 ) mEq/L -

Ca 7,6 – 11,0 -

MCV 81,1 -96,0 91,4


mm3

MCH 27 -31,2 pg 31,3

RBC 4,33-5,95 x 106 4,20


/ μl

WBC 4,3-10,3 x 103 10,3


/dl

TGL PERKEMBANGAN PASIEN (SUBYEKTIF + OBYEKTIF)

04/06/20 Subyektif: Obyektif:


- Pemeriksaan Fisik
KU: cukup
TD: 100/70 mmHg
Nadi: 80x/min
RR: 18x/min
Suhu: 37,2°C
Sesak (±), Demam (+), Nyeri sendi (+),
Mimisan (-)

20
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

Data Laboratorium:

Parameter Nilai 8/3/21


Normal

K (3,8-5 ) -
mEq/L

Ca 7,6 – 11,0 -

MCV 81,1 -96,0 90,9


mm3

MCH 27 -31,2 pg 31,6

RBC 4,33-5,95 x 4,15


106 / μl

WBC 4,3-10,3 x 7,07


3
10 /dl

HCT 38-42% 37,8%

21
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

TGL PERKEMBANGAN PASIEN (SUBYEKTIF + OBYEKTIF)

05/06/20 Subyektif: Obyektif:


- Pemeriksaan Fisik
KU: cukup; TD: 90/60 mmHg; Nadi: 80x/min; RR:
20x/min
Suhu: 36,2°C; Sesak (-), Demam (+), Nyeri sendi (-),
Mimisan (-)
Data Laboratorium:

Parameter Nilai Normal 8/3/21

K (3,8-5 ) mEq/L -

Ca 7,6 – 11,0 -

MCV 81,1 -96,0 mm3 91,0

MCH 27 -31,2 pg 31,4

RBC 4,33-5,95 x 106 / 4,23


μl

WBC 4,3-10,3 x 103 /dl 8,56

HCT 38-42% 38,5%

Typhi O ≤ 1/80 (-)

Typhi H ≤ 1/80 (-)

Para Typhi A ≤ 1/80 (-)

Para Typhi B ≤ 1/80 (-)

22
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

IgM Salmonella (-) +

IgM Salmonella <2: (-); 3: 4


score borderline; 4-10:
positif

TGL PERKEMBANGAN PASIEN (SUBYEKTIF + OBYEKTIF)

06/06/20 Subyektif: Obyektif:


- Pemeriksaan Fisik
KU: cukup
TD: 100/70 mmHg
Nadi: 88x/min
RR: 24x/min
Suhu: 37°C
Sesak (-), Demam (-), Nyeri sendi (-),
Mimisan (-), Pusing (±)
Data Laboratorium:
-

07/06/20 Subyektif: Obyektif:


- Pemeriksaan Fisik
KU: cukup
TD: 100/70 mmHg
Nadi: 80x/min
RR: 20x/min
Suhu: 36,5°C
Sesak (-), Demam (-), Nyeri sendi (-),
Mimisan (-), Pusing (±)
Data Laboratorium:
-

23
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

DATA KLINIS PASIEN

Data Tanggal
Nilai Normal
Klinik
1/6 2/6 3/6 4/6 5/6 6/6 7/6
KU Lemah Lemah Lemah Cukup Cukup Cukup Cukup
Suhu 36°-37° C 37 37 36 37,2 36,2 37 36,5
Tekanan
< 120/80 mmHg 90/60 100/60 90/60 100/70 90/60 100/70 100/70
darah
Nadi 60-100 x / menit 86 86 88 80 80 88 80
RR 20 – 24 x / menit 20 20 18 18 20 24 20
Sesak - - ± ± - - -
Demam + + + + + - -
Nyeri sendi + + + + - - -
Mimisan + + + - - - -
Pusing ± ± ± ±

DATA LABORATORIUM

Data Lab Nilai Normal Tanggal

2/6 3/6 4/6 5/6


SGOT (0-38) U/L 14

SGPT (0-41) U/L 7

GDA <200 mg/dL 90


BUN (5-20)mg/dl 11,2
Albumin (3,6-5,2)g/dl

Kreatinin <1,5 mg/dL 0,56

24
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

(136-144)
Na 136
mEq/L
K (3,8-5 )mEq/L 3,5
(98-110 )
Cl 109
mEq/L
Ca 7,6 – 11,0 12
4,3-10,3 x 103
WBC 8,2 10,3 7,07 8,56
/dl
HB 13,0-18,0 g/dl 14,0 13,2 13,1 13,3
81,1 -96,0
MCV 69,4 91,4 90,9 91,0
mm3
MCH 27 -31,2 pg 33,3 31,3 31,6 31,4
MCHC 31,8-35,4 g/dl 34,5 34,2 34,7 34,5
PLT 150-450x103/m3/m3 313 287 298 306

Tanggal
Data Lab Nilai Normal
2/6 3/6 4/6 5/6
HCT 38-42% 40,6 38,4 37,8 38,5
4,33-5,95 x 106
RBC 4,21 4,20 4,15 4,23
/ µl
HbsAg - -
Typhi O ≤ 1/80 (-)
Typhi H ≤ 1/80 (-)
Para Typhi A ≤ 1/80 (-)
Para Typhi B ≤ 1/80 (-)
IgM Salmonela (-) +
< 2 : (-)
IgM Salmonela
3 : Borderline
Score 4
4– 10 : Positif

25
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

Swab Antigen
Negatif Neg
Covid 19

PROFIL PENGOBATAN PADA SAAT MASUK RUMAH SAKIT

Regimen Tanggal pemberian obat

Jenis Obat Rute Dosis 1/6 2/6 3/6 4/6 5/6 6/6 7/6

21
RL IVFD 28 tpm √ √
tpm

Ciprofloxacin Drip 2 x 400 mg √ √ -

Ranitidin Iv 2 x 1 amp √ √ √ √

Ondansetron Iv 3 x 8 mg √ √ √ √

Paracetamol Po 3 x 500 mg √ √ √ √ √ √

Dexamethasone Iv 1 amp √ -

O2 Masker Nasal 3 lpm √ √ √

Diphenhydramin Iv 1 amp √ -

Ceftriaxone Iv 2 x 1 gr √

Kloramfenikol Iv 4 x 500 mg √ √ √

Diet lunak Po 2100 kkal/hri √ √ √

D ½ NS IVFD 21 tpm √ √ √

Domperidon Po 3 x 1 tab √ √ √

TERAPI KRS

26
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

Terapi KRS

Kloramfenikol Po 4 x 500 √
mg

Ranitidin Po 2x1 √
tab

Paracetamol Po 3 x 500 √
mg

27
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

BAB III
PEMBAHASAN

PROBLEM MEDIS :
1. Problem Medis : Tifoid
a. Terapi : Ciprofloxacin
b. DRP : Tidak Ada DRP
c. Analisa Terapi :
Pada tanggal 01 juni nona IL, 15 tahun MRS karena mengalami demam yang
dirasakan sejak ± 1 minggu terakhir, demam terus – menerus dan hanya turun
sebentar bila minum obat penurun panas. Pasien sudah mual dan muntah sebanyak 3x
dan pasien sempat mimisan beberapa kali, pasien pernah travel ke daerah endemik
malaria dan pasien juga mengeluh mengalami penurunan nafsu makan, nyeri kepala,
serta nyeri belakang mata. Pasien juga memiliki riwayat penyakit radang usus, DHF,
Typhoid, dan akan mimisan jika kelelahan dengan panas tinggi.

Pada saat MRS, pasien diberikan ciprofloxacin. Namun, pada tanggal 02 juni,
penggunaan ciprofloxacin dihentikan karena pasien memiliki alergi seperti sesak,
mual, muntah dan gatal.

Profil obat ciprofloxacin :

 Dosis Pustaka : Oral : 500mg tiap 12 jam selama 7- 14 hari. IV: 400mg tiap
12jam selama 7-14 hari. Dosis yang diberikan : 2x400mg IV telah sesuai
(Lacy, 2009)
 Indikasi : anti bakteri pada kasus tifoid
 Mekanisme kerja obat : Sebagai agen antibakteri fluoroquinolone. Bekerja
sebagai bakterisidal yang disebabkan dari penghambatan topoisomerase tipe
II (DNA-gyrase) dan topoisomerase IV, yang diperlukan untuk replikasi,
transkripsi, perbaikan dan rekombinasi DNA bakteri (EMC, 2019)
 Interaksi : tidak interaksi terhadap obat lain yang digunakan pasien
 Monitoring efektifitas : infeksi membaik, WBC normal, igM salmonella
negative

1
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

 Monitoring efek samping: flatulence, phlebitis di tempat injeksi dan tanda-


tanda alergi (British Medical Association, 2018)

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


364 tahun 2006 maka pemberian antibiotik pada pasien dengan tifoid dapat
dipertimbangkan berdasarkan :

 Antibiotika dapat langsung diberikan pada kasus tifoid. Pemilihan antibitoik


berdasarkan kepekaan tertinggi pada daerah tersebut
 Lini pertama :
Kloramfenikol diberikan 50-100mg/kgBB/hr maksimal 2 gram selama 10-
14hari dibagi 4 dosis
Ampisilin atau amoksilin (aman untuk penderita hamil) diberikan
100mg/kg/jr selama 10hari
Trimetoprim-sulfametoksazol diberikan TMP 6-10mg/kgBB/hr atau SMX
30-50mg/kg/hr selama 10hari
 Lini kedua :
Seftriakson untuk pasien dewasa dan anak 80mg/kgBB/hr selama 10hari
Sefixim efektif untuk anak 15-20mg/kgBB/hr dibari 2 dosis selama 10 hari
Quinolone 2x500mg (1minggu)
 Bila penderita pernah mendapat tifoid serta memiliki predisposisi untuk carier
maka pengobatan pertama adalah golongan quinolone.
 Jangan memilih antimikroba yang dikenal tidak potensial untuk tifoid
meskipun hasil tes kepekaan dengan sensitifitas yang tinggi.
 Saat memilih antibiotika pertimbangkan efikasi, tingkat kepekaan, harga
dan efek samping.

Berdasarkan pedoman penggunaan antibiotik di RSSA tahun 2019, pasien


dengan demam tifoid dapat diberikan ciprofloxacin 15mg/kg/hari dengan interval
pemberian 12jam (Gambar 1)

2
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

Gambar 1 Pedoman penggunaan antibiotik di RSSA tahun 2019

Berdasarkan pustaka sebelumnya maka pemberian ciprofloxacin pada saat


pasien MRS sudah sesuai. Ciprofloxacin saat ini merupakan obat pilihan untuk
sebagian besar kasus demam tifoid (Veeraraghavan et al., 2018). Pasien memiliki
riwayat tifoid oleh karena itu dapat langsung diberikan golongan quinolone dan
ciprofloxacin merupakan salah satu antibiotika yang direkomendasikan pada pedoman
penggunaan antibiotika di RSSA tahun 2019 dan penghentian ciprofloxacin juga
sudah sesuai karena pasien mengalami reaksi alergi.

2. Problem Medis : Nausea dan Vomitting


a. Terapi : Ranitidine
b. DRP : Tidak Ada DRP
c. Analisa Terapi :
Profil obat ranitidine :
 Dosis pustaka usia 12–17 tahun 50 mg tiap 8 jam, dosis dapat dilarutkan 20
mL dan diberikan selama 2 menit.
 Dosis yang diberikan 2 x 1 ampul (50mg/2ml)
 Indikasi : mual
 Mekanisme kerja : Ranitidine adalah antagonis H2 histamin spesifik yang
bekerja cepat. Ranitidine menghambat sekresi sekresi dan menurunkan volume
asam lambung (EMC, 2016)
 Interaksi : tidak interaksi terhadap obat lain yang digunakan pasien
 Monitoring efektifitas : ph intragastric >4
 Monitoring efek samping : tidak ada eso yang sering terjadi (>10%), cek
SGOT,SGPT, serum kreatine (British Medical Association, 2018)

3
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

Pada tanggal 01/06 hingga 04/06 pasien diberikan ranitidine 2x1 ampul.
Penelitian yang telah ada menunjukan bahwa pada pasien dengan tifoid akan
mengalami mual dan muntah serta nyeri abdomen dan penelitian yang telah ada
menyatakan untuk mengatasi hal tersebut dapat diberikan omeprazole atau
ranitidine. Berdasarkan fornas 2019, pemberian omeprazole injeksi hanya dapat
diberikan jika pasien dirawat di IGD atau rawat inap dengan riwayat perdarahan
saluran cerna. Oleh karena itu diberikan alternatif lain seperti ranitidine injeksi
25mg/ml yang dapat diberikan sebanyak 2 ampul per hari untuk memenuhi kebutuhan
pasien (Britto et al., 2017; Kemenkes RI, 2019). Penelitian Dehghani et al, 2011
menunjukan bahwa pemberian ranitidine efektif mengatasi keluhan terhadap GI
seperti mual-muntah sebanyak 43.2% (response rate). Selain itu, ranitidine juga
memiliki response rate yang lebih tinggi (68.4% ) dibanding obat lainnya seperti
omeprazole dan cimetidine dalam mengatasi abdominal pain pada anak-anak
(Dehghani et al., 2011).

Kesimpulan : pemilihan ranitidine sudah sesuai

3. Problem Medis : Nausea dan Vomitting


a. Terapi : Ondansentron 3x8mg
b. DRP : Tidak Ada DRP
c. Analisa Terapi :
Profil obat ondansetron
 Dosis Pustaka
Berat badan 10.1kg-41kg = 4mg/12jam. Dosis maksimum 32mg/hari.
Berat badan diatas 41kg = 8mg/12jam. Dosis maksimum 32mg/hari (British
Medical Association, 2018)
 Dosis yang diberikan 3 x 8mg
 Indikasi = mual-muntah
 Mekanisme kerja ondansetron yaitu melalui blokade reseptor 5-HT3 sentral di
pusat muntah dan zona pemicu kemoreseptor dan blokade reseptor 5-HT3
perifer pada saraf vagal ekstrinsik usus dan saraf aferen tulang belakang
(Katzung, 2018)

4
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

 Monitoring efektifitas : mual-muntah berkurang


 Monitoring efek samping: konstipasi, sakit kepala, nyeri ditempat injeksi
(British Medical Association, 2018)

Analisis Terapi dan Pustaka Penunjang :

Pada tanggal 01/06 hingga 04/06 pasien diberikan ondansentron 3x8mg


untuk mengatasi keluhan mual dan muntah. Namun, hingga saat ini belum
ditemukan algoritme khusus mengenai pemilihan anti emetik pada pasien anak
dengan tifoid yang mengalami mual dan muntah.

Berdasarkan penelitian, pada kasus pasien anak dengan infeksi yang


mengalami mual dan muntah dapat diberikan ondansetron karena ondansetron yang
diberikan sebelum terapi rehidrasi oral menunjukan manfaat yang lebih baik jika
dibandingkan dengan pasien yang tidak menggunakan ondansentron (Gambar 2,3 &
4) dan dikaitkan dengan penurunan muntah serta penurunan kebutuhan akan terapi
cairan intravena dan lama rawat inap di rumah sakit (DeCamp et al., 2008).

Gambar 2 Ondansetron menurunkan resiko emesis yang persisten dibandingkan


kelompok control dengan RR 0.45 (0.33-0.66) dan ondansetron menurunkan frekuensi
vomiting dengan nilai NNT = 5

5
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

Gambar 3 Ondansetron menurunkan kebutuhan cairan intravena dibandingkan


kelompok control dengan RR 0.41 (0.28-0.62) dan nilai NNT =5 pada kelompok
ondansetron

Gambar 4 Ondansetron menyebabkan penurunan resiko masuk rumah sakit akibat


nausea & vomiting dibandingkan kelompok control RR 0.52 (0.27-0.95) dengan NNT
= 14

Kesimpulan : pemberian ondansentron sudah sesuai

4. Problem Medis : Terapi Cairan


a. Terapi : Ringer lactate IVFD 28tpm
b. DRP : Tidak Ada DRP
c. Analisa Terapi :
Profil Ringer Lactate
Pada tanggal 01/06 hingga 03/06 pasien diberikan ringer lactate .

Dosis yang diberikan pada pasien tidak dapat dihitung karena tidak
ditemukannya data berat badan pasien. Pada kasus, pasien diberikan 28tpm cairan
ringer lactate dan akan dihabiskan dalam waktu 17.85jam.

=17.85 jam

6
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

Cairan kristaloid memiliki beberapa keuntungan seperti aman, nontoksik,


bebas reaksi, dan murah sedangkan kerugian dari cairan kristaloid yang hipotonik dan
isotonik adalah kemampuannya terbatas untuk tetap berada dalam ruang intravaskular.
Cairan kristaloid yang paling banyak digunakan adalah normal saline dan ringer
laktat. Cairan kristaloid memiliki komposisi yang mirip cairan ekstraselular.
Penggunaan cairan normal saline dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan
timbulnya asidosis hiperkloremik, sedangkan penggunaan cairan ringer laktat dalam
jumlah yang berlebihan dapat menyebabkan alkalosis metabolik yang disebabkan
adanya peningkatan produksi bikarbonat akibat metabolisme laktat.

Berdasarkan pustaka, untuk menghitung kebutuhan cairan pasien maka dapat


digunakan Formula Holliday – Segar :

 (100 ml/kg/hari untuk 10 kg pertama,


 50 ml/kg/hari untuk 10 kg, berikutnya dan
 20 ml/kg/hari untuk berat lebih dari 20 kg).
Selama periode 24 jam, anak laki-laki jarang membutuhkan lebih dari 2.500
ml dan anak perempuan jarang membutuhkan lebih dari 2.000 ml cairan.
Pada pasien ini, indikasi pemakaian sebagai terapi pemeliharaan karena pasien
mengalami mual-muntah. Cairan RL memiliki manfaat untuk mengisi kembali
volume intravaskuler sehingga memungkinkan perfusi organ yang adekuat (Davis,
2019) dan pada kasus ini, tidak ditemukan adanya interaksi yang signifikan atau
sering terjadi. Penggunaan RL perlu dilakukan monitoring efektifitas seperti
mengecek nilai K, Na, Ca tetap berada di rentang normal dan monitoring efek
samping yang umum terjadi seperti edema dan hyponatremia (Ribeiro et al., 2009).

7
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

Gambar 5 Perbandingan cairan coloid dan kristaloid (Ribeiro et al., 2009)

Profil Paracetamol

8
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

INDIKASI,
DOSIS
NAMA OBAT DOSIS MEKANISME MONITORING
YANG INTERAKSI
PUSTAKA KERJA OUTCOME/ESO
DIBERI
OBAT

Ranitide (
terjadi
peningkatan
AUC, cara
mengatasi
dengan
meminum 1 Efektivitas : suhu
jam ranitide tubuh 36°-37° C
480-750 adjunctive
sebelum efek samping :
mg setiap treatment atau
diberikan Skin reactions,
4-6 jam, terapi
paracetamol) Stevens-Johnson
maksimal penunjang
Klorampenikol syndrome , toxic
4 dosis (antipiretik),
Paracetamol 3 x 500 (penggunaan epidermal
sehari NSAIDs
(acetaminophen) mg PO paracetamol necrolysis , Blood
(BNF for (menghambat
dengan disorders,
Children, cox,
klorampenikol leucopenia,
2017) mengahmbat
meningkatkan neutropenia,
prostaglandin)
half-life thrombocytopenia
klorampenikol, (BNF,2018)
perlu
dilakukan
monitoring
efek samping
klorampenikol
Dipenhidramin
(efek kecil
9
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

terhadap
absorbs)
(stokley, 2008)

DRP :tidak terdapat drp pada pengobatan paracetamol

Perkembangan Obat Paracetamol

Mekanisme Kerja

Paracetamol (acetaminophen) adalah obat over-the-counter (OTC) yang paling umum


digunakan di dunia. Terlepas dari popularitas dan penggunaannya selama bertahun-tahun,
keamanan aplikasinya dan mekanisme aksinya masih belum jelas. Saat ini, diyakini bahwa
parasetamol adalah obat multidirectional dan setidaknya beberapa jalur metabolisme terlibat
dalam aksi analgesik dan antipiretiknya. Mekanisme kerja parasetamol terdiri dari
penghambatan siklooksigenase (COX-1, COX-2, dan COX-3) dan keterlibatan dalam sistem
endocannabinoid dan jalur serotonergik. Selain itu, par-acetamol mempengaruhi saluran
potensial reseptor transien (TRP) dan saluran kalium Kv7 dengan gerbang tegangan dan
menghambat saluran kalsium Cav3.2 tipe-T. Ini juga memberikan dampak pada L-arginin di
jalur sintesis oksida nitrat (NO). Namun, tidak semua efek ini telah dikonfirmasi dengan
jelas. Oleh karena itu, tujuan dari makalah kami adalah untuk merangkum pengetahuan
terkini tentang mekanisme aksi parasetamol dengan perhatian khusus pada keamanannya
(Przybyła et al., 2021).

10
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

Gambar 1.1 metabolisme asam arakidonat (Przybyła et al., 2021)

11
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

Gambar 1.2 Mekanisme kerja Paracetamol (Przybyła et al., 2021)

Evidence Based Medicine

Menurut penelitian dengan judul “Double blind comparison of ibuprofen and paracetamol
for adjunctive treatment of uncomplicated typhoid fever” oleh HA VINH et.al tahun 2004
yang dilakukan pada 80 anak-anak dengan unclompicated typhoid fever diberikan ibuprofen
10 mg/kg atau paracetamol 12 mg/kg secara random setiap 6 jam selama 36 jam. Ditemukan
hasil bahwa penurunan demam median (kisaran) waktu (jam) lebih pendek pada kelompok
ibuprofen dibandingkan dengan kelompok parasetamol (68, 4 hingga 260 vs. 104, 12 hingga
404; P = 0,055) seperti halnya area di bawah kurva waktu suhu di atas 37 ° C (74, 0 hingga
237 vs 127, 0 sampai 573; P 0,013). Perbedaannya terjadi terutama pada anak-anak yang
terinfeksi dengan NaR S. typhi yang infeksinya merespons lebih lambat ke pengobatan
antibiotik. Ada tidak ada efek samping utama yang terkait dengan penggunaan salah satu
obat. Tidak ada perbedaan antara keduanya dua kelompok pengobatan dalam konsentrasi

12
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

sirkulasi interleukin-6 dan faktor nekrosis tumor selama pengobatan. Kesimpulan efek
antipiretik ibuprofen lebih unggul dari parasetamol pada anak-anak dengan demam tifoid,
terutama yang berkepanjangan demam. Kedua antipiretik itu tampaknya aman (Vinh et al.,
2004).

Gambar 1.3 Plot Kaplan-Meier tentang waktu penurunan demam pada anak-anak pada
penyakit demam tifoid menerima ofloxacin dalam kombinasi dengan ibuprofen (______)
atau paracetamol (------) (Vinh et al., 2004).

Gambar 1.4 respon terapi terhadap pemberian ofloxaxin plus ibuprofen atau paracetamol
(Vinh et al., 2004). Dexametazon

13
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

INDIKASI,
NAMA DOSIS
DOSIS MEKANISME MONITORING
OBAT YANG INTERAKSI
PUSTAKA KERJA OUTCOME/ESO
DIBERI
OBAT

adjunctive
Efektivitas :
treatment
0,4 – 20 sesak (-), gatal-
(antiflamasi,
mg sehari gatal (-)
5 mg alergi),
(BNF for efek samping :
Dexametason per Mekanisme : -
Children, iritasi pada
ampul menghambat
2017) penggunaan
aktivitas
intravena
enzim
(BNF,2018)
fosfolipase A2

DRP :tidak terdapat drp pada pengobatan dexamatazone

Perkembangan Obat

Mekanisme Kerja

Dexametasone sebagai antiinflamasi glukokortikoid bekerja dengan hambatan aktivitas dari


enzim fosfolipase A2 sehingga senyawa arakidonat tidak terbentuk dan menghambat jalur
cox dan menghasilkan leukotriene (McGee et al., 2019).

Evidence Based Medicine

Dalam sebuah jurnal tentang “Quinolone Allergy” dikatakan bahwa Manajemen terapi alergi
kuinolon didasarkan pada tiga prinsip dasar: penghentian agen penyebab, inisiasi agen
alternatif, dan perawatan suportif seperti terapi kortikosteroid, penggantian cairan dengan
elektrolit dan substitusi albumin. Selain itu, agen penyelamat seperti kortikosteroid, antagonis

14
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

histamin, antibodi anti-IgE, atau agonis beta-adrenergik kerja pendek dapat digunakan
berdasarkan tingkat keparahan klinis manifestasi " (McGee et al., 2019).

Indikasi,
Dosis Dosis Yang Monitoring
Nama Obat Mekanisme Interaksi
Pustaka Diberi Outcome/ESO
Kerja Obat

Oksigen - 3 lpm Adjunctive - Efektivitas :


mask treatment kondisi umum
membaik

Efek samping :
-

DRP : tidak terdapat drp pada pemberian oksigen

Pemberian oksigen

Perkembangan Obat (-)

1. Diphenhydramine

Nama Obat Dosis Dosis yang Indikasi Interaksi Monitoring


Pustaka diberikan
Diphenhydramin Anak: 10 mg / Indikasi : Tidak ada Efektivitas
5mg/kg/hari mL (1 mengatasi reaksi : gejala
ampul) alergi akibat alergi
(DIH,2017)
secara IV ciprofloxacin. membaik
sesak (-),
Mekanisme kerja
mual (-),
: sebagai
muntah (-),
antagonis
gatal-gatal
reseptor histamin
(-)
H1,
diphenhydramine ESO : -

15
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

bersaing dengan
histamin bebas
untuk menempati
reseptor histamin
H1 terutama di
saluran
pencernaan,
uterus, pembuluh
darah besar dan
otot bronkus.
Ikatan obat
Diphenhydramine
dengan reseptor
histamin H1
mengurangi efek
negatif yang
diakibatkan oleh
ikatan histamin
bebas dengan
reseptor histamin
H1 seperti reaksi
inflamasi,
vasodilatasi,
bronkokonstriksi
dan edema. Juga
dapat
menurunkan
konsentrasi ion
kalsium sehingga
dapat
menstabilkan

16
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

sel mast sehingga


pengeluaran
histamin
berkurang.
(Katzung 11th Ed,
2015)

Pasien atas nama Nn. IL mendapat terapi dipenhydramin 10 mg/mL secara IV, dimana dosis
pustaka tergantung pada berat badan pasien yaitu 5 mg/kg/hari (DIH, 2017). Tujuan
pemberian terapi dipenhidramin untuk mengatai reaksi alergi akibat ciprofloxacine.
Dipehidramin sebagai antagonis reseptor histamin H1, bersaing dengan histamin bebas untuk
menempati reseptor histamin H1 terutama di saluran pencernaan, uterus, pembuluh darah
besar dan otot bronkus. Ikatan obat diphenhydramine dengan reseptor histamin H1
mengurangi efek negatif yang diakibatkan oleh ikatan histamin bebas dengan reseptor
histamin H1 seperti reaksi inflamasi, vasodilatasi, bronkokonstriksi dan edema. Juga dapat
menurunkan konsentrasi ion kalsium sehingga dapat menstabilkan sel mast sehingga
pengeluaran histamin berkurang (Katzung 11th Ed, 2015). Monitoring efektivitas dari
dipenhidramin yaitu perbaikan gejala alergi akibat ciprofloxacine yang dialami pasien yakni
sesak, mual, muntah dan gatal-gatal. Dari Analisa tidak diperoleh DRP terkait penggunaan
dipenhidramin.

2. Ceftriaxone

Nama Obat Dosis Dosis Indikasi Interaksi Monitoring


Pustaka yang
diberikan
Ceftriaxone Terapi 2x1 Indikasi : Sebagai - Efektivitas :
empiris : 2 gram terapi antibiotic suhu, tekanand
gram per hari secara empiris karena cepat arah, nadi dan
(Principles IV menurunkan suhu, RR normal,
of Internal lama pemberian demam (-),

17
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

Medicine pendek, dan dapat Nyeri sendi (-),


19th ed.; dosis tunggal serta Sesak (-),
2015) cukup aman untuk mimisan (-),
anak. pusing (-)
Dewasa :2-4
gram per hari Mekanisme kerja : ESO : ruam,
selama 3-5 Ceftriaxone memiliki gatal, mual,
hari cincin beta laktam reaksi
yang menyerupai hipersensitivitas,
Anak :
struktur asam amino
80mg/kg reaksi situs
D-alanyl-D-alanine
BB/ hari, injeksi
yang digunakan untuk
dosis tunggal (Injectable
membuat
selama 5 hari Medicine
peptidoglikan. Tautan
Administrations
(Pedoman silang peptidoglikan
Guide, 2010)
Pengendalian dikatalisasi oleh
Demam enzim transpeptidase
Tifoid, 2006) yang
merupakan Penicillin-
Binding Proteins
(PBP). Karena
strukturnya yang
mirip dengan asam
amino D-alanyl-D-
alanine, ceftriaxone
secara ireversibel
berikatan
dengan Penicillin-
Binding
Proteins (PBP) yang
terletak pada
membran dalam

18
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

bakteri. Ikatan ini


kemudian
menginaktivasi PBP
sehingga
mengganggu proses
transpeptidasi
peptidoglikan yang
berperan menentukan
kekuatan dan rigiditas
membran sel. Sebagai
hasilnya, sel akan
lisis akibat rusaknya
integritas membran
sel. (Katzung 11th Ed,
2015)

Pasien atas nama Nn. IL mendapat terapi ceftriaxone 2 kali 1 gram secara IV, dimana dosis
Pustaka untuk terapi empiris direkomendasikan 2 gram sehari (Principles of Internal
Medicine 19th ed.; 2015). Tujuan pemberian terapi ceftriaxone sebagai terapi antibiotic
empiris karena cepat menurunkan suhu, lama pemberian pendek, dan dapat dosis tunggal
serta cukup aman untuk anak. Ceftriaxone memiliki cincin beta laktam yang menyerupai
struktur asam amino D-alanyl-D-alanine yang digunakan untuk membuat peptidoglikan.
Tautan silang peptidoglikan dikatalisasi oleh enzim transpeptidase yang
merupakan Penicillin-Binding Proteins (PBP). Karena strukturnya yang mirip dengan asam
amino D-alanyl-D-alanine, ceftriaxone secara ireversibel berikatan dengan Penicillin-Binding
Proteins (PBP) yang terletak pada membran dalam bakteri. Ikatan ini kemudian
menginaktivasi PBP sehingga mengganggu proses transpeptidasi peptidoglikan yang
berperan menentukan kekuatan dan rigiditas membran sel. Akibanya, sel akan lisis akibat
rusaknya integritas membran sel. (Katzung 11th Ed, 2015)

Monitoring efektivitas dari ceftriaxone yakni terjadi perbaikan suhu, tekanan darah, nadi dan
RR menjadi normal, tidak ada keluhan demam, nyeri sendi, sesak, mimisan, pusing. Perlu

19
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

untuk monitoring efek samping ceftriaxone antara lain munculnya ruam, gatal, mual, dan
reaksi hipersensitivitas lainnya pada bagian injeksi (Injectable Medicine Administrations
Guide, 2010). Dari Analisa tidak diperoleh DRP terkait penggunaan ceftriaxone.

3. Kloramfenikol

Nama Obat Dosis Dosis yang Indikasi Interaksi Monitoring


Pustaka diberikan
Kloramfenikol Dewasa : 4 x 4 x 500 mg Indikasi : - Efektivitas :
500 mg (2 IV antimikroba suhu, tekanan
gram) selama lini pertama darah, nadi, RR
14 hari PO / untuk tifoid. dan RBC
IV (Pedoman normal, demam
Pengendalian (-), Nyeri sendi
Anak : 50-
Demam Tifoid, (-), Sesak (-)
100 mg/kg
2006)
BB/hari, max ESO : mulut
2 gr selama Mekanisme kering, mual,
10-14 hari, kerja : muntah, diare,
dibagi 4 ruam, gangguan
Menghambat
dosisi visual, sensasi
sintesis protein,
kesemutan di
(Pedoman melekat pada
ekstremitas
Pengendalian subunit 50S
(Injectable
Demam dari ribosom.
Medicine
Tifoid, 2006) Obat ini
Administrations
menganggu
Guide, 2010)
pengikatan
asam amino
baru pada
rantai peptida
yang sedang

20
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

dibentuk,
terutama
peptidil
transferase.
(Katzung 11th
Ed, 2015)
Pasien atas nama Nn. IL mendapat terapi kloramfenikol 4 kali 500 mg secara IV, dimana
dosis pustaka untuk terapi demam tifoid pada pasien dewasa disarankan 4 kali 500 mg (2
gram) selama 14 hari PO atau IV (Pedoman Pengendalian Demam Tifoid, 2006). Tujuan
pemberian terapi kloramfenikol sebagai antimikroba lini pertama untuk tifoid (Pedoman
Pengendalian Demam Tifoid, 2006). Kloramfenikol menghambat sintesis protein, melekat
pada subunit 50S dari ribosom sehingga menganggu pengikatan asam amino baru pada rantai
peptida yang sedang dibentuk, terutama peptidil transferase (Katzung 11th Ed, 2015).

Monitoring efektivitas dari kloramfenikol yakni perbaikan suhu, tekanan darah, nadi, RR dan
RBC menjadi normal. Tidak ada keluhan demam, nyeri sendi dan sesak. Perlu untuk
monitoring efek samping kloramfenikol antara lain mulut kering, mual, muntah, diare, ruam,
gangguan visual, sensasi kesemutan di ekstremitas (Injectable Medicine Administrations
Guide, 2010). Dari Analisa tidak diperoleh DRP terkait penggunaan ceftriaxone.

21
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

D 1⁄2 NS menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit. Sebagai larutan kristaloid isotonis
dimana dehidrasi yang disebabkan oleh mual muntah mengakibatkan meningkatnya
kemungkinan kekurangan volume cairan, sehingga tidak terjadi komplikasi yang
diakibatkan oleh dehirasi semisal kekentalan darah dan syok hipovolemik. Kegunaan
cairan kristaloid untuk resusitasi defisit cairan dan untuk nutrisi anak. Larutan intravena
yang mengandung dekstrosa dan natrium klorida diindikasikan untuk pengisian cairan
parenteral, kalori karbohidrat minimal, dan natrium klorida sesuai dengan kondisi klinis
pasien. Pasien diberikan infus D5 ¼ NS untuk menjaga keseimbangan cairan dan
elektrolit pasien serta memberi asupan kalori pada pasien.(Gorelick & Shaw, 1995)

Monitoring outcome/eso dari terapi D 1⁄2 NS yaitu efektivitas: Keseimbangan kadar


elektrolit, kalori tercukupi, dan ESO: Edema perifer, edema paru, hyponatremia.
(Gorelick & Shaw, 1995) Dari analisis diperoleh DRP : Dosis 1700 ml D1/2 NS diatas
rentang (Berdasarkan Na)

22
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

Penelitian Hamza Hanif et al metode RCT, open label, two-arm trial pada 240 pasien
anak yang menderita muntah akut yang membandingkan pasien yang diberi ondansentron
dengan pasien yang diberi domperidone menunjukkan bahwa anak -anak dalam
kelompok ondansetron outcome membaik dan episode muntah mereka berhenti (87%)
dibandingkan dengan anak-anak dalam kelompok domperidone (81%) pada 6 jam setelah
intevensi (p>0,05) dan 95% pada kelompok ondansetron outcome membaik dan hanya
85% pada kelompok domperidone pada 24 jam setelah intervensi (p=0,01).(Hanif et al.,
2019)

Penelitian meta-analysis dari 24 RCT pada 3482 pasien anak rawat inap yang mengalami
muntah (vomiting) menunjukkan bahwa ondansentron signifikan lebih baik dalam
mengatasi atau menghentikan muntah (vomiting cessation) pada pasien dibandingkan
domperidone dengan nilai sebesar OR 0.30 (95% CI= 0.06-0.81). (Niño-Serna et al.,
2020)

23
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

ANALISIS DAN ASUHAN KEFARMASIAN


1. Problem Medis I : Thypoid
Terapi : Ciprofloxacin 500 mg
DRP : Pasien mengalami reaksi alergi
Analisis terapi :
Nn. IL didiagnosa mengalami Probable Typhoid dd DHF. Terapi yang diberikan
seperti tersebut diatas. Pasien ini mengalami reaksi alergi seperti sesak, mual, muntah,
dan gatal-gatal. Thypoid adalah penyakit infeksi bakteri yang menyerang sistem
pencernaan manusia yang disebabkan oleh salmonella typhi dengan gejala demam satu
minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa
gangguan kesadaran.(Purwaningtyas & Prameswari, 2017)Terapi yang diberikan adalah
Cipprofolaxin 2 x 400 mg secara drip,dimana menurut kemenkes nomor
364/MENKES/SK/V/2006 terkait pengendalian demam tifoid (Kmk3642006.Pdf, n.d.) :

Terapi Typhoid ada beberapa antibiotik yang bisa diberikan yaitu Kloramfenikol,
Seftriakson, Ampisilin dan Amoksisilin, Quinolone, Cefixime,
Tiamfenicol.(Kmk3642006.Pdf, n.d.)
Pada kasus ini diketahui dari riwayat penyakit dahulu pasien mengalami typhoid
ditunjang juga dari hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 05/06/2020 hasil IgM
Salmonela positif. pasien mengeluhkan demam sejak 1 minggu terakhir dan turun ketika

24
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

minum obat pereda demam, mual, muntah. kemudian pasien pada tanggal 01/06/2020
mendapat terapi Ciprofloxaxin 2 x 400 mg drip. pada tanggal 02/06/2020 pasien
mengalami reaksi alergi setelah diberikan infuse ciprofloxacin dimana pasien mengalami
reaksi alergi seperti sesak, mual, muntah, dan gatal-gatal.sehingga pada tanggal
04/06/2020 pasien diberikan terapi Kloramfenikol 4 x 500 mg.

2. Problem Medis 2 : Anti emetic


Terapi : Ranitidin dan ondansetron
DRP : Tidak ada DRP
Analisis terapi :
Mual – Muntah adalah perasaan yang tidak nyaman didaerah epigastrik. Kejadian
ini biasanya disertai dengan menurunnya tonus otot lambung, kontraksi, sekresi,
meningkatnya aliran darah kemukosa intestinal, hipersalivasi, keringat dingin, detak
jantung meningkat dan perubahan ritme pernapasan.(Efendy, 2016) Pada kasus ini pasien
mengeluhkan mual dan muntah tiga kali.pada tgl 01/06/2020 pasien sudah mendapatkan
randitin 2 x 50 mg IV dan ondansetron 3 x 8 mg, kemudain di data klinik pasien tidak ada
keluhan mual dan muntah.
Tujuan pemberian antiemetik pada kasus thypoid adalah untuk mengurangi
jumlah cairan yang keluar akibat gangguan pada lambung. Dimana antiemetik merupakan
obat-obatan yang digunakan untuk penatalasksanaan mual dan muntah. Obat anti mual
muntah dapat diklasifikasikan menurut reseptor dimana dapat menekan terjadinya mual
muntah. Antiemetik bekerja secara lokal dan sentral, secara lokal mengurangi reflex
muntah dengan mekanisme kerja mengurangi respon terhadap stimulus yang yang dikirim
ke medula guna memicu terjadinya muntah dan dapat secara sentral dengan cara
menghambat CTZ secara langsung dan menekan pusat muntah.(Setya et al., 2017)

3. Problem Medis 3 : Rehidarasi Cairan


Terapi : RL
DRP : Tidak ada DRP
Analisis terapi :
Rehidrasi cairan adalah kehilangan cairan tubuh yang berlebihan karena
penggantian cairan yang tidak cukup akibat asupan yang tidak memenuhi kebutuhan

25
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

tubuh dan terjadi peningkatan pengeluaran air.(Tutus Eshananda Hars, Hermawan Pamot,
2014) Pada kasus ini pasien mengeluhkan mual dan muntah tiga kali. Kemudian pasien
juga mengalami penurunan nafsu makan dan juga masih demam pada tanggal 01/06/2020
ssampai dengan 05/06/2020 dimana keluhan tersebut bisa diakibatkan karena pasien
mengalami dehidrasi sehingga membutuhkan cairan koloid seperti RL.
Tujuan pemberian RL pada kasus thypoid adalah untuk mengurangi jumlah cairan
yang keluar dan tidak ada intake makanan dan juga cairan oral yang masuk kedalam
tubuh. Dimana perbaikan cairan intravaskuler dapat dilihat dari perbaikan takikardi,
denyut nadi, produksi urin, dan status mental pasien. Pada kasus ini dari data klinik
dengan adanya pemberiamn RL nadi dan RR pasien masih normal.(Mutya, 2017)

Terapi Non farmakologi :


1. Tirah baring dilakukan sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih sampai
14 hari
2. Diet lunak rendah serat, asupan serat maksimal 8 gram,menghindari susu, daging
berserat kasar, lemak, terlalu manis,asam, berbumbu tajam serta diberikan dalam porsi
kecil.
3. Menjaga kebersihan, tangan harus dicuci sebelum menangani makanan, sebelum
menangani makanan, selama persiapan makan, dan setelah menggunakan toilet.
Dari pembahasan diatas, rekapitulasi DRP yang ditemukan dalam kasu ini adalah
sebagai berikut :
Tanggal Subjektif Objektif Assessme Plan Monitoring
dan nt
problem
medis
TGL 1- Tgl 1- Pasien Pada pasien Efektivitas : tanda dan gejala
2/6/2020 2/6/2021 menderita anak-anak, berkurang.
TYPHOID diberikan Reaksi ciprofloxacin Efek Samping :
Ciprofloxaxin Obat yang bukanlah pada tulang dan sendi
drip 2X400 Tidak terapi lini mengganggu pertumbuhan
mg. dikehenda pertama tulang pada masa pertumbuhan

26
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

ki secara rutin, anak. (Tandi dan Joni, 2017)


(ROTD) tetapi setelah Sistem saraf pusat: Sakit
alergi. penilaian kepala (pemberian IV).
(Reaksi risiko dan Tanda dan gejala neurologis
alergi manfaat. (anak-anak; termasuk pusing,
yang Anak-anak, insomnia, gugup, mengantuk),
terjadi : dan Remaja: kurang istirahat (pemberian
Sesak (+), Infeksi ringan IV)
mual (+), hingga Dermatologis: Ruam kulit
Muntah sedang: Oral: (lebih sering terjadi pada anak-
(+), dan 10 mg / kg / anak)
gatal- dosis dua kali Gastrointestinal: Sakit perut
gatal (+). sehari (dosis (lebih sering terjadi pada anak-
Pemberia maksimum: anak), diare (lebih umum
n 500 mg / pada anak-anak), dispepsia
ciprofloxa dosis) dan (lebih sering pada anak-anak),
xin Infeksi berat mual, muntah (lebih sering
menyebab Oral 15 pada anak-anak).
kan reaksi sampai 20
alergi mg/kg/dose
pada anak 2X/hr (dosis
usia 15 th maksimum (DIH, 2017)
(Grouzard 750 mg
, et dosis)
al.,2016) IV 10 mg
kg/dose
setiap 8
sampai 12
jam (max
dosis 400
mg/dose)

27
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

Disarankan
pemberian
Ciprofloxaxi
n drip 2X400
mg di
STOP/dihenti
kan.
(DIH, 2017
dan(Grouzard
, et al.,2016)

01/06/20x Mual (+), Pemberia Pengguan Efektivitas :


Kekurangan muntah (+) n RL 28 Cairan Rl 1.Monitoring pergantian cairan
Cairan dan 3x, TPM sudah sesuai 2.Elektrolit
Asupan mengeluh IVFD dimana 3. Akses IV (Cairan masuk ke
mengalami cairan Vena).
penurunan kristaloid Efek samping
nafsu diberikan 1.Kelebihan cair
makan, untuk an
nyeri meningkatka 2.Edem Cairan
kepala, dan n (https://www.ncbi.nlm.nih.go
nyeri hemodinamik v/books/NBK500033)
belakang berdasarkan
mata. variable
Riwayat dinamis
penyakit (perubahan
dahulu : tekanan
Radang nadi,variasi
usus, DHF, volume
Typhoid, sekuncup)
mimisan atau static

28
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

jika (tekanan
kelelahan nadi,laju
dengan nadi)
panas Dosis yang
tinggi. direkomenda
Riwayat sikan : 30
Pengobatan ml/kgBB
: (Adiwisastra
(-) NG, Arozal
W,2019)
01 s/d Mual (+), Pemberia Terapi sudah Efektivitas :
04/06/20x muntah (+) n: sesuai Monitoring mual muntah
Anti 3x Ranitidine dimana Efek samping
Emetik Riwayat IV (2 x 1 penggunaan Tidak Umum : Pengelihatan
penyakit ampul) ranitidine Kabur
dahulu : Berdasark untuk
Radang an Drug mengatasi
usus, DHF, Dose in mual muntah
Typhoid, Chlildren dimana pada
mimisan dosis tgl 2/6 pasien
jika Ranitidine mengalami
kelelahan 2-4 mg/kg mual muntah.
dengan per day
panas (Iv doses
tinggi. is one half
Riwayat of oral)
Pengobatan
:
(-)

01- Mual (+), Pemberia Diteruskan Efektivitas :

29
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

04/06/20x muntah (+) n untuk Monitoring ttv (suhu dan


Antiemetic 3x Ondansetr ondansetron demam)
Riwayat on 3 x 8 3 x 8 mg (iv) Efek samping
penyakit mg Dosis Nyeri perut bagian atas
dahulu : kurang maximal
Radang tepat ondansetron :
usus, DHF, 0,15
Typhoid, mg/kgBB
mimisan
jika (Society
kelelahan IP,2018)
dengan
panas
tinggi.
Riwayat
Pengobatan
:
(-)

Asuhan Kefarmasian :
1. Perlu dilakukan pemeriksaan obat ulang (double check) sebelum obat diberikan
kepada pasien.
2. Untuk terapi Thypoid ciprofoxacin dan ceftriaxon dihentikan karena pasien
mengalami reaksi alergi
3. Untuk rehidrasi cairan sudah sesuai dikarenakan pasien belum mau makan dan minum
4. Untuk antiemetik sudah sesuai yaitu diberikan ranitidin,dan perlu dimonitoring ulang
untuk penggunaan ondansetron dimana kalau pasien bpjs ondansetron diberikan jika
pasien pasca kemoterapi,

30
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan yang bisa diambil dari studi penggunaan obat pada kasus ini adalah
sebagai berikut :
a. Penatalaksanaan terapi Typoid pada kasus ini telah sesuai dengan pedoman.

b. Penggunaan terapi cairan yang tepat dan adequat dapat menurunkan tingkat kejadian
syock dan mortalitas pada Typhoid.

c. Penatalaksanaan terapi dyspepsia syndrome sudah sesuai dengan terapi

d. Farmasis perlu memahami dengan tepat pemilihan jenis cairan, cara penggunaan serta
tujuannya untuk mendukung keberhasilan terapi

31
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

DAFTAR PUSTAKA

British Medical Association. (2018). BNF : For Children 2017 2018. P. 296.
Britto, C., Pollard, A. J., Voysey, M., & Blohmke, C. J. (2017). An appraisal of the clinical
features of pediatric enteric fever: Systematic review and meta-analysis of the age-
stratified disease occurrence. In Clinical Infectious Diseases (Vol. 64, Issue 11, pp.
1604–1611). https://doi.org/10.1093/cid/cix229
Cummings, L. A., Deatherage, B. L., & Cookson, B. T. (2009). Adaptive Immune Responses
during Salmonella Infection. EcoSal Plus, 3(2). https://doi.org/10.1128/ecosalplus.8.8.11
Davis, S. (2019). Ringer’s Lactate - StatPearls - NCBI Bookshelf.
DeCamp, L. R., Byerley, J. S., Doshi, N., & Steiner, M. J. (2008). Use of Antiemetic Agents
in Acute Gastroenteritis- A Systematic Review and Meta-analysis. Archives of
Pediatrics & Adolescent Medicine, 162(9), 858.
https://doi.org/10.1001/archpedi.162.9.858
Dehghani, S. M., Imanieh, M. H., Oboodi, R., & Haghighat, M. (2011). The Comparative
Study of the Effectiveness of Cimetidine, Ranitidine, Famotidine, and Omeprazole in
Treatment of Children with Dyspepsia. ISRN Pediatrics, 2011(April), 1–5.
https://doi.org/10.5402/2011/219287
Diseases, V. (n.d.). Typhoid and other invasive salmonellosis. 1–13.
Efendy, M. N. (2016). STUDI PENGGUNAAN OBAT ANTI MUAL DAN MUNTAH
PADA PASIEN PASCA OPERASI (Penelitian dilakukan di Gedung Bedah Pusat
Terpadu RSUD Dr. Soetomo Surabaya) MUHAMMAD. Repository Unair.
EMC. (2016). Ranitidine 50mg/2ml Solution for Injection and Infusion - Summary of Product
Characteristics (SPC) - (eMC).
EMC. (2019). EMC. EMC.
Gorelick, & Shaw. (1995). Clinical Pathway Intravenous Fluid Therapy – Intravenous Fluid
Therapy in Children–. 99(5), 1–6.
Idrus, H. H. (2020). Buku Demam Tifoid Hasta 2020. 1(July), 4–105.
Kemenkes RI. (2019). Formularium Nasional. 8(5), 55.
kmk3642006.pdf. (n.d.).
Lacy, C. (2009). DIH (17th ed.).
McGee, E. U., Samuel, E., Boronea, B., Dillard, N., Milby, M. N., & Lewis, S. J. (2019).

32
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

Quinolone Allergy. Pharmacy, 7(3), 97. https://doi.org/10.3390/pharmacy7030097


Mutya. (2017). Upaya Peningkatan Volume Cairan Pada Pasien. Naskah Publikasi Karya
Tulis Ilmiah, C, Surakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muh.
Przybyła, G. W., Szychowski, K. A., & Gmiński, J. (2021). Paracetamol – An old drug with
new mechanisms of action. Clinical and Experimental Pharmacology and Physiology,
48(1), 3–19. https://doi.org/10.1111/1440-1681.13392
Purwaningtyas, M. L., & Prameswari, G. N. (2017). Higeia Journal of Public Health. Higeia
Journal of Public Health Research and Development, 1(3), 84–94.
Ribeiro, M. A. F., Epstein, M. G., & Alves, L. D. L. D. A. (2009). Volume replacement in
trauma. Ulusal Travma ve Acil Cerrahi Dergisi, 15(4), 311–316.
Setya, H., Surdijati, S., & Hasmono, D. (2017). Studi Penggunaan Antiemetik pada Pasien
Demam Tifoid Rawat Inap di RSUD Kabupaten Sidoarjo Fakultas Farmasi , Universitas
Katolik Widya Mandala , Surabaya , Indonesia Fakultas Farmasi , Universitas
Airlangga , Surabaya , Indonesia Study of the Use of Anti. 4(1), 25–29.
Syndrome, M. (n.d.). Mallory-Weiss Syndrome. 48–50.
Tutus Eshananda Hars, Hermawan Pamot, R. (2014). Journal of Physical Education , Sport ,
Health and Recreations. Journal of Physical Education, Sport, Health and Recreation,
4(2), 102–108.
Veeraraghavan, B., Pragasam, A. K., Bakthavatchalam, Y. D., & Ralph, R. (2018). Typhoid
fever: Issues in laboratory detection, treatment options & concerns in management in
developing countries. Future Science OA, 4(6). https://doi.org/10.4155/fsoa-2018-0003
Vinh, H. A., Parry, C. M., Hanh, V. T. N., Chinh, M. T., House, D., Tham, C. T., Thao, N. T.
T., Diep, T. S., Wain, J., Day, N. P. J., White, N. J., & Farrar, J. J. (2004). Double blind
comparison of ibuprofen and paracetamol for adjunctive treatment of uncomplicated
typhoid fever. Pediatric Infectious Disease Journal, 23(3), 226–230.
https://doi.org/10.1097/01.inf.0000114905.87426.c2
Anon. n.d. “Kmk3642006.Pdf.”
Efendy, Muhammad Nazim. 2016. “STUDI PENGGUNAAN OBAT ANTI MUAL DAN
MUNTAH PADA PASIEN PASCA OPERASI (Penelitian Dilakukan Di Gedung Bedah
Pusat Terpadu RSUD Dr. Soetomo Surabaya) MUHAMMAD.” Repository Unair.

Mutya. 2017. “Upaya Peningkatan Volume Cairan Pada Pasien.” Naskah Publikasi Karya

33
Laporan Praktik Kerja Profesi Magister Ilmu Farmasi
di RSUD Dr. Saiful Anwar Program Studi Magister Ilmu Farmasi
Universitas Surabaya

Tulis Ilmiah C:Surakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muh.

Purwaningtyas, Melorys Lestari, and Galuh Nita Prameswari. 2017. “Higeia Journal of Public
Health.” Higeia Journal of Public Health Research and Development 1(3):84–94.

Setya, Hety, Siti Surdijati, and Didik Hasmono. 2017. “Studi Penggunaan Antiemetik Pada
Pasien Demam Tifoid Rawat Inap Di RSUD Kabupaten Sidoarjo Fakultas Farmasi ,
Universitas Katolik Widya Mandala , Surabaya , Indonesia Fakultas Farmasi ,
Universitas Airlangga , Surabaya , Indonesia Study of the Use of Anti.” 4(1):25–29.

Tutus Eshananda Hars, Hermawan Pamot, Rumini. 2014. “Journal of Physical Education ,
Sport , Health and Recreations.” Journal of Physical Education, Sport, Health and
Recreation 4(2):102–8.

34

Anda mungkin juga menyukai