Bab Ii Kajian Pustaka
Bab Ii Kajian Pustaka
KAJIAN PUSTAKA
1.1.Osteosarkoma
2.1.1 Epidemiologi
Dengan perkiraan insidensi 2 kasus per 1 juta orang per tahun, osteosarkoma
merupakan tumor tulang primer ganas yang paling umum selain tumor hemopoetik intraosseus
(Lamoureux et al., 2007). Insidens osteosarkoma sekitar 20% dari semua tumor tulang dan
sekitar 5% dari seluruh tumor pediatrik. Osteosarkoma berada pada urutan ke-5 tumor ganas
pada anak usia 15-19 tahun, dan urutan ke-2 pada orang dewasa muda setelah limfoma (Wang
et al., 2011). Insidensi osteosarkoma memiliki distribusi usia bimodal, puncak pertama pada
dekade ke-2 kehidupan dan puncak kedua pada orang tua. Insiden yang lebih tinggi terjadi pada
anak laki-laki, juga dilaporkan terdapat pada anak-anak Afrika dan Amerika (Bakhshi S dan
Radhakrishnan V, 2010).
Osteosarkoma sering ditemukan pada daerah metafisis tulang panjang; femur distal,
tibia proksimal, dan humerus proksimal merupakan daerah yang paling sering, karena
merupakan daerah pertumbuhan yang aktif pada tubuh (Wang et al., 2012). Distribusi statistik
berhubungan dengan pertumbuhan tulang: osteosarkoma lebih sering terjadi pada orang yang
tinggi dibanding orang yang pendek dan pada binatang yang besar dari pada yang lebih kecil.
Dua studi telah menunjukan bahwa pada pasien osteosarkoma muda pada usia pertumbuhan,
mereka lebih tinggi daripada populasi normal dengan usia sama (Lamoureux et al., 2007).
Angka bertahan hidup pada osteosarkoma nonmetastase kurang dari 10% pada sekitar
tahun 1970 pada saat pembedahan hanya satu-satunya pengobatan. Sejak tahun 1980,
penggunaan berbagai obat kemoterapi dan kemajuan teknik bedah telah meningkatkan angka
7
8
bertahan hidup secara drastis pada osteosarkoma non metastase hingga 65%. Angka
bertahan hidup pada osteosarkoma dengan metastase adalah 10-20% (Bielack et al. 2002).
sebagian besar tumor bersifat sporadik tanpa pola familial. Pemahaman kita tentang etiologi
osteosarkoma masih sangat terbatas. Paparan terhadap bahan kimia beryllium oksida, protesa
orthopedi, dan virus FBJ menyebabkan osteosarkoma pada model binatang namun peran pada
manusia masih belum diketahui. Simian Vacuolating (SV40) viral DNA ditemukan pada 50%
osteosarkoma, namun masih belum jelas apakah virus SV40 berperan dalam tumorigenesis
interval antara paparan radiasi dan munculnya tumor sangat lama, dan menjadi tidak relevan
terhadap berkembangnya osteosarkoma sekunder post radiasi tumor primer tertentu (Bakhshi
Sebagian pasien osteosarkoma datang dengan nyeri dan bengkak pada region tertentu
setelah terjadinya trauma atau aktivitas fisik. Diagnosis osteosarkoma biasanya dibuat
berdasarkan gambaran radiologis dan lokasi lesi tumor serta biopsi patologis untuk konfirmasi.
Osteosarkoma tampak dalam gambaran radiologis sebagai gambaran lesi litik, sklerotik, atau
campuran litik-sklerotik. Sekitar 20% pasien osteosarkoma datang dengan gambaran radiologis
metastasis paru, dimana 80% pasien dengan osteosarkoma lokal berkembang menjadi
metastasis setelah menjalani tindakan bedah reseksi saja. Kematian pada osteosarkoma
biasanya merupakan akibat dari metastasis pulmoner progresif dengan komplikasi gagal nafas
mengandung sel stem mesenkimal ganas dengan proliferasi tinggi dan produksi osteoid
dan/atau tulang oleh sel tumor. Secara histologis, osteosarkoma dapat dibagi menjadi beberapa
kondroblastik dan fibroblastik masing-masing 10%. Tipe yang lain meliputi nonplastik,
teleangiektatik, giant cell rich, dan small cell. Osteosarkoma konvensional merupakan sarkoma
primer intramedula yang tergolong high grade (Bakhshi S dan Radhakrishnan V, 2010).
Penatalasanaan klinis osteosarkoma saat ini meliputi kemoterapi pre dan post operasi
dan reseksi. Hanya 20% pasien osteosarkoma dapat disembuhkan tanpa kemoterapi. Agen
tumor primer memerlukan reseksi dengan batas lebar (wide margin), diikuti dengan
ukuran, lokasi tumor, respon terhadap kemoterapi, dan remisi paska pembedahan. Pada pasien
yang datang tanpa metastasis, sekitar 70% dari mereka dapat bertahan hidup hingga waktu yang
lama, 30% lainnya mengalami relaps dalam 5 tahun. Metastasis pulmoner merupakan bentuk
paling sering metastasis jauh. Rerata angka bertahan hidup setelah rekurensi kurang dari 1
tahun. Reseksi pada tumor yang rekuren atau metastasis paru dapat meningkatkan angka
mempunyai insidensi 1000 kali lebih tinggi manjadi osteosarkoma. RB1 terletak pada 13q14
(Alonso J, et al., 2001). Perubahan genetik RB1 ditemukan pada 70% kasus osteosarkoma
sporadik (Tang et al., 2008). Lost of heterozygosity (LOH) pada lokus RB1 ditemukan pada
60-70% pada osteosarkoma, dimana perubahan struktural (30%) dan point mutation (10%)
lebih jarang terjadi. LOH pada lokus RB1 merupakan faktor prognosis jelek pada osteosarkoma
RB merupakan regulator penting proses siklus sel G1/S. Selama transisi G1/S, RB
kompleks dengan RB terfosforilasi siklik D1. Peningkatan ekspresi gen ini menyebabkan
11
inaktivasi jalur RB. CDK diatur oleh serangkaian protein inhibitor, termasuk p16 INK4a, sebagai
regulator negatif terhadap kemajuan siklus sel. Hilangnya ekspresi 16 INK4a tampak pada
Gen supresor tumor TP53 terletak pada 17q13, yang merupakan regio abnormal pada
osteosarkoma (Sandberg AA, dan Bridge JA. 2003). TP53 mengkode faktor transkripsi dan
mengatur gen yang terlibat dalam siklus sel, respon kerusakan DNA, dan apoptosis. Perubahan
TP53 diamati dalam osteosarkoma menunjukan point mutation (20-30% sebagian besar
missense mutation), penyusunan gen dalam jumlah besar (10-20%), dan hilangnya alel (75-
80%) (Bodey B, et al., 1997). Hubungan TP53 dengan osteosarkoma didukung dengan resiko
tinggi osteosarkoma pada pasien dengan sindrom Li-Fraumeni, penyakit autosomal dominan
yang ditandai dengan mutasi TP53 (Pompetti F, et al., 1996). Mutasi TP53 ditemukan pada 3%
kasus osteosarkoma sporadik. Mutasi TP53 tidak berhubungan dengan tingkat tumor
osteosarkoma dan/atau metastasis. Akan tetapi, mutasi TP53 dan berkurangnya Rb1
al., 2008).
Penyakit paget pada tulang merupakan penyakit tulang herediter yang ditandai dengan
remodelling cepat pada tulang menyebabkan formasi tulang abnormal. Sekitar 1% pasien
dengan penyakit Paget tulang berkembang menjadi osteosarkoma. Hubungan genetik penyakit
Rantai helix RECQ terdiri dari protein yang mengandung domain helikase DNA
homolog dan mutasi 3 dari 5 rantai helix RECQ dan berhubungan dengan sindrom predisposisi
kanker, yang dinamai sindrom Rothmund-Thomson, sindrom Bloom, dan sindrom Werner.
Aktivitas telomerase (TERT) tidak terdeteksi pada sel normal, lesi jinak dan sarkoma
low-grade dan hanya muncul pada sebagian kecil osteosarkoma. Aktivitas TERT pada
osteosarkoma memiliki hubungan terbalik dengan angka kejadian metastase pulmonal pada
MMP merupakan endopeptidase bergantung enzim yang dikontrol oleh proenzim dan
inhibisi tissue inhibitor of MMP (TIMP). MMP2 dan MMP9 memiliki ekspresi berlebihan pada
ekspresi MMP1 tipe membran berhubungan dengan prognosis jelek pada pasien osteosarkoma.
Upregulation TIMP1 berhubungan dengan hasil klinis yang jelek pada osteosarkoma
berfungsi sebagai supresor tumor. Merlin memediasi kontak inhibisi pertumbuhan melalui
pertumbuhan sel sebagai respon hyaluronat melalui interaksi spesifik dengan ekor sitoplasmik
CD44. Osteosarkoma yang berdiferensiasi baik memiliki ekspresi CD44 yang lebih tinggi.
Merlin mengatur stabilitas ikatan adheren melalui interaksinya dengan sitoskeleton aktin.
Hilangnya fungsi ini menyebabkan peningkatan kejadian tumorigenesis dan metastasis (Tang
et al., 2008).
Ezrin merupakan gen terkait metastasis yang memiliki potensi metastasis yang berbeda-
beda. Ezrin terlibat dalam sinyal transduksi intraseluler mengatur migrasi sel dan metastasis
dan diekspresikan dalam berbagai kanker, beberapa diantaranya berhubungan dengan hasil
Ekspresi S1000A6 dilaporkan pada 84% spesimen osteosarkoma. Ekspresi S100A6 yang
berlebihan pada osteosarkoma mengurangi motilitas sel dan pertumbuhan independen (Tang et
al., 2008).
Annexin 2 (AnxA2) berkurang pada kejadian metastase. AnxA2 perannya dalam supresi
yang terikat melalui reseptor CXCR, memegang peran penting dalam penyusunan ulang
sitoskeleteon, adhesi pada sel endothelial, dan migrasi terarah. CXCR4/SDF-1 berperan
penting dalam kemajuan tumor. Migrasi dan adhesi sel osteosarkoma dipromosikan dengan
2.5. Biopsi
histopatologis, untuk konfirmasi dengan gambaran klinis dan radiologis. Daerah biopsi dipilih
Biopsi yang tidak tepat dapat menjadi hambatan untuk menegakkan diagnosis yang
tepat dan dapat menimbulkan efek buruk pada terapi selanjutnya. Mankin et al. mengevaluasi
penelitian terhadap 597 pasien yang menjalani biopsi untuk sarkoma tulang dan jaringan lunak.
Tingkat kesalahan dalam diagnosis 13,5% dan tingkat komplikasi 15,9%. Kejadian ini lebih
banyak terjadi apabila biopsi dilakukan di institusi rujukan dibandingkan di pusat onkologi
keganasan dan biopsi harus ditunda sampai pencitraan lengkap. Faktanya staging lesi
membantu untuk menentukan pendekatan anatomi yang tepat terhadap tumor dan
mengkhususkan daerah tumor yang mewakili penyakit yang mendasari. Sebagai alternatif
terhadap biopsi terbuka, telah dikembangkan percutaneous core-needle biopsy (Lee, S.T. dan
Beberapa tehnik biopsi antara lain: fine needle aspiration biopsy, core needle biopsy,
tergantung oleh kerjasama erat antara ortopedi onkologi dan ahli patologi.
15
2.6.Klasifikasi
2.6.1. Intramedular
2.6.1.1. Konvensional
Tipe klasik osteosarkoma, merupakan tipe yang paling sering ditemukan pada 80%
kasus dan biasanya mengenai orang pada usia dekade pertama dan kedua. Osteosarkoma
merupakan tipe high-grade dan berasal dari kavitas intramedular. Gambaran radiologis
menunjukkan gambaran lesi tulang osteolitik dan/atau osteoblastik dengan degenerasi kortikal.
Pada 80% kasus terjadi pada daerah metafisis, tetapi tumor juga dapat timbul pada apofisis
hingga polihidral, dengan gambaran nukleus pleomorfik dan mitosis. Gambaran produksi
tulang dan osteoid pada evaluasi histopatologis merupakan kunci dalam menentukan diagnosis.
berdasarkan matriks ekstra seluler dominan yang diproduksi sel tumor: osteoblastik,
2.6.1.2.Telangiektatik
Merupakan 4% dari semua kasus osteosarkoma, sebagian besar muncul pada anak dan
dewasa muda. Sekitar 25% pasien osteosarkoma telangiektatik datang dengan fraktur
patologis. Gambaran radioogis menunjukan lesi eksentrik dan osteolitik yang meluas hingga
permukaan metafisis femur distal atau tibia proximal; bentuk lesi mungkin menyerupai
aneurysmal bone cyst. Lesi terdiri dari multiple sinusoid terisi darah, yang dapat dengan mudah
yang dilatasi, sedikit osteoid, dan sel osteosarkoma high-grade, yang ditemukan dalam septa.
16
Secara umum gambaran histologis menyerupai aneurysmal bone cyst, akan tetapi, septa pada
osteosarkoma teleangiektatik tampak jelas sel sarkoma high-grade (Wang et al., 2012)
2.6.1.3.Low-grade
Ditemukan pada 1-2% dari seluruh osteosarkoma dan biasanya mengenai individu pada
usia dekade ke-3 atau ke-4. Lesi biasanya hanya melibatkan femur dan tibia sekitar lutut.
Pemeriksaan radiologis menunjukan gambaran litik yang relatif tidak agresif atau gambaran
lesi fibro-osseus yang tampak sebagai proses blastik dengan osifikasi dan sklerosis septal yang
bervariasi. Tumor dapat menyerupai fibrous diplasia, tetapi MRI atau CT biasanya menunjukan
microtrabeculae dan stroma fibrous. Tampak sedikit osteoid, yang atipik dan bermitosis
2.6.1.4.Small-cell
Osteosarkoma tipe ini merupakan varian yang jarang, sekitar 1,5% dari semua kasus
osteosarkoma. Tipe ini mirip dengan osteosarkoma tipe klasik karena memiliki distribusi usia
yang sama dan sering terjadi pada distal femur. Pada gambaran radiologis tampak proses
destruksi dengan area litik dan sklerosis yang bervariasi. Pada MRI tampak gambaran massa
jaringan lunak yang besar, mirip dengan Ewing sarcoma. (Messerschmitt, et al., 2009)
Pemeriksaan histopatologi tampak sel kecil, bulat dan ganas dalam matriks osteoid.
Meskipun lesi menyerupai Ewing sarkoma, produksi osteoid dan sel tumor yang berbentuk
2.6.2. Superfisial
17
Osteosarkoma superfisial tumbuh dari permukaan tulang panjang tanpa mengenai kanal
medula. Puncak insidensi terjadi pada dekade ke-3 dan lebih sering terjadi pada wanita
2.6.2.1. Parosteal
Osteosarkoma parosteal tumbuh dari permukaan luas tulang metafisis dan analisa radiologis
menunjukan massa lobulated dan ossified dengan densitas tinggi pada bagian posterior distal
femur, tanpa melibatkan kavitas medula. Osteosarkoma tipe ini sifatnya tumbuh lambat
dengan komponen tulang. Adanya gambaran trabekula menyerupai tulang dengan orientasi
parallel dan pola “pulled steel wool”. Sekitar 25-30% terjadi diferensiasi pada bagian kartilago
Sekitar 1-2% dari semua osteosarkoma. Tipe ini lebih agresif daripada tipe parosteal.
Gambaran radiologis tampak masa radiolusen, tanpa melibatkan kavitas medulla, massa
biasanya terletak pada tibia proximal dan femur distal. Gambaran “sunburst appearance” atau
tumor intermediate-grade yang sebagian besar mengandung matriks kartilago dengan area
Kurang dari 1% keseluruhan kasus osteosarkoma. Permukaan tumor tumbuh dari femur
atau tibia; gambaran radiologis menunjukkanlesi permukaan dengan mineralisasi parsial dan
penyebaran tumor ke jaringan lunak sekitarnya. Sering ditemukan disrupsi pada korteks di
bawahnya. Gambaran histologis menunjukan adanya sel spindel high-grade yang atipik dan
2.7. Pengobatan
Pengobatan multi disiplin diperlukan pada pasien dengan osteosarkoma, meliputi ahli
meliputi kemoterapi preoperatif (neoadjuvant), pembedahan reseksi luas, dan kemoterapi post
operatif (adjuvant). Pasien tanpa metastasis klinis yang terdeteksi dianggap memiliki
2009).
2.7.1. Kemoterapi
Agen kemoterapi yang paling efektif dalam pengobatan osteosarkoma antara lain
al., 2009).
19
Gambar 2.2.
namun Cancer Stem Cell (CSC) yang kemoresisten dapat selamat dan memperbarui diri
dan membentuk benjolan lagi. Hal ini yang menyebabkan terjadi rekurensi.
B. Respon yang diharapkan pada osteosarkoma, kombinasi kemoterapi dan terapi yang
menarget CSC. Terapi tidak hanya membunuh sel tumor tetapi juga CSC. CSC akan
kelelahan untuk tumbuh dan hasilnya adalah eradikasi lengkap terhadap tumor (Wang et
al., 2012).
Saat ini, kemoterapi dan pembedahan hanya menyembuhkan 70% kanker karena
kemoresistensi. Osteosarkoma cancer stem cell (CSC) dianggap bertanggung jawab terhadap
kemoresistensi. Pengobatan kemoterapi saat ini dapat memperkecil ukuran osteosarkoma CSC,
namun sel osteosarkoma ini dapat memperbarui diri dan membentuk benjolan dan
Tujuan neoadjuvant kemoterapi untuk mengobati metastasis yang terdeteksi atau yang
dianggap mikrometastasis. Selain itu juga dapat mengurangi ukuran tumor dengan mengurangi
Pembedahan dilakukan 3-4 minggu setelah pemberian dosis terakhir kemoterapi (Sidari VA
2.7.1.1.1 Cisplatin
Cisplatin (Cis-diammine dicloro platinum (II) atau Cis-DDP) adalah obat primer pada
kanker ovarium, serviks dan endometrium. Rumus molekulnya adalah PtCl2H6N2 dengan
berat molekul 300.1. Larut dalam air pada konsentrasi 1 mg/ml. Hanya cis- isomer yang aktif
sebagai regimen terapi. Cisplatin juga merupakan bahan neutral inorganic, berbentuk square
Mekanisme kerja cisplatin sebagai agen kemoterapi adalah melalui interaksi dengan
DNA yang menyebabkan perubahan struktur pada DNA, umur hidup sel dan program
apoptosis. Molekul Cisplatin murni akan mengalami proses aktivasi melalui tahap yang
melibatkan penggantian molekul cis-chloro ligand dengan molekul air. Kompleks Cisplatin
dengan air (monoaquated) merupakan kompleks yang sangat reaktif tetapi pembentukannya
dihambat oleh ikatan dengan molekul nukleofil endogen seperti Glutathion (GSH), Metionin,
mengalami perubahan menjadi tidak aktif jika berikatan dengan molekul intrasel dan
Sebagian besar Kemoterapi bekerja pada siklus sel tertentu, oleh karena itu perlu
dipahami kinetika sel dalam siklus pembelahan. Setiap sel yang membelah diri akan mengikuti
pola replikasi sel yang disebut waktu generasi yang terdiri atas lima fase yaitu fase G 1, fase S,
fase G 2, fase M, fase G 0. Fase G1 adalah fase dimana diproduksi enzim untuk sintesis DNA
dan RNA. Pada fase S mulai terjadi sintesis DNA. Pada fase M terjadi mitosis, sel membelah
dari satu menjadi dua. Sel-sel yang tidak aktif akan masuk ke fase G 0, dimana proses
makromolekuler tidak aktif sehingga sel yang masuk fase ini menjadi tidak terhadap
kemoterapi. Pada proses karsinogenesis akan lebih banyak sel berada dalam fase aktif jika
dibandingkan sel normal. Pada jaringan normal sebagian besar populasi sel akan berada pada
melalui aktivasi checkpoint pada siklus sel yang akan menginduksi berhentinya fase S untuk
sementara waktu yang diikuti oleh inhibisi Cdc2-cylin A atau B kinase yang akan menyebabkan
berhentinya fase G2/M. Jalur kedua adalah melalui inhibisi DNA pada fase G1, cyclin
dependent kinase akan menyebabkan aktivasi checkpoint yang difasilitasi oleh Cdk4 inhibitor
p16. Hal ini menyebabkan terjadi akumulasi sel di fase G2 dan M (Vita De et al., 2011).
Efek kemoterapi Cisplatin merupakan proses yang kompleks, dimulai dari masuknya
obat ke sel sampai menyebabkan apoptosis. Hal ini dipengaruhi komponen intrasel, yang
menghambat apoptosis yang otomatis akan menyebabkan sel kanker resisten terhadap Cisplatin
(Siddik, 2003).
Ekspresi dan aktivitas protein Bcl-2 mempunyai peran penting dalam mengontrol
proses apoptosis sebagai respon terhadap terapi pada kanker ovarium. Kerusakan DNA yang
disebabkan oleh Cisplatin akan merangsang aktivasi p53. Pengaktifan p53 selanjutnya akan
antiapoptosis yaitu Bcl-2 mRNA yang berperan dalam apoptosis. Fungsi p53 yang menurun
mencegah cisplatin dalam menginduksi apoptosis pada kanker ovarium. Bax, Bad dapat
membentuk heterodimer dengan Bcl-xl dan Bcl-2 untuk mengantagonis aktivitas antiapoptosis
Pada sel yang resisten , Cisplatin tidak berhasil menyebabkan kerusakan DNA sehingga
tidak terjadi pengaktifan p53 yang merupakan langkah awal dari proses apoptosis. Sel kanker
yang tumbuh dianggap sebagai sel sehat oleh tubuh , sehingga tubuh berkompensasi untuk
melindungi sel kanker dari proses apoptosis dengan meningkatan produksi protein yang
antiapoptosis (Bcl-2) . Dampaknya adalah tidak terjadi apoptosis dan sel menjadi imortal.
Fungsi p53 yang menurun mencegah Cisplatin dalam menginduksi apoptosis pada kanker
ovarium. Bax, Bad dapat membentuk heterodimer dengan Bcl-xl dan Bcl-2 untuk
Hal ini dibuktikan pada beberapa penelitian terkini. Pada penelitian oleh siddik dkk
dilakukan pengukuran kadar protein dengan metode western blot dan didapatkan peningkatan
kadar protein Bcl-2 secara signifikan pada sel kanker yang resisten terhadap cisplatin.
Kemudian dua galur kanker ovarium diberikan gossypol yang berfungsi sebagai inhibitor Bcl-
2 dan didapatkan hanya satu galur yang pertumbuhan selnya berhasil diinhibisi oleh gossypol
Bila Bcl-2 mengalami overekspresi, protein Bcl-2 akan menekan apoptosis yang di
induksi oleh bermacam - macam agen baik invitro, maupun in vivo .Kemampuan produksi
protein Bcl-2 yang berlebihan untuk mencegah kematian sel tanpa mempengaruhi proliferasi
23
menyebabkan gen Bcl-2 digolongkan sebagai kategori baru dari onkogen. Sel mengalami
resistensi terhadap agen kemoterapi bila terdapat inaktivasi factor apoptosis dan peningkatan
sinyal imortalitas sehingga bersifat antagonis terhadap sinyal apoptosis. Salah satu
mekanismenya adalah melalui gangguan regulasi protein Bcl-2 yang akan menginhibisi
aktivasi caspase-3 dan selanjutnya akan menghambat proses apoptosis (Reed et al., 1998).
2.7.1.1.2 Doxorubicin
terapeutik antitumor manusia. Sensitivitas Doxorubicin adalah hasil difusi obat ke nukleus dan
serangkaian pensinyalan yang diprakarsai oleh interaksi doxorubicin dengan DNA. Hal ini
apoptosis sel. Doxorubicin tampaknya memiliki banyak efek antitumor tetapi yang paling baik
dipahami adalah interaksinya dengan topoisomerase IIα (TOP2A). Enzim ini terlibat dalam
memisahkan benang DNA yang terjerat dan sebagai bagian dari fungsinya yang secara transien
penyelesaian proses tersebut, menghasilkan banyak protein yang terikat DSBs. DSBs memiliki
banyak konsekuensi negatif bagi sel dan terutama memicu program apoptosis tergantung-
caspase yang melibatkan aktivasi master regulator p53 dan FOXO3, dan penekanan terhadap
jalur sinyal pro-pertumbuhan, yang mengarah ke perubahan rasio protein keluarga Bcl-2 anti /
pro-apoptosis. Respon kerusakan DNA ini, adalah faktor utama yang menjelaskan efek
antitumor dari doxorubicin dan hanya dengan memblokir respons hilir terhadap kerusakan
DNA ini, sudah cukup untuk menumpulkan toksisitas doxorubicin. Beberapa mekanisme lain
telah diamati juga terlibat dalam sitotoksisitas doxorubicin dan ini termasuk pembentukan
24
TOP2Aindependent DNA adducts, penghambatan sintesis DNA dan RNA dan produksi
pada nucleus, penurunan kerusakan DNA dan penurunan penekanan peristiwa lanjutan yang
Kemoterapi post operatif dimulai 2 minggu setelah reseksi pembedahan dengan asumsi
luka operasi telah sembuh sempurna. Kemoterapi post operatif menggunakan regimen terpi
yang sama dengan kemoterapi pre operatif jika 90% nekrosis tumor ditemukan pada saat
2.7.2. Pembedahan
Reseksi bedah dilakukan pada semua tumor yang terdeteksi, termasuk metastasis dan
merupakan langkah pertama pengobatan osteosarkoma. Ada 2 pilihan operasi yang dapat
dilakukan, eksisi dan amputasi. Batas eksisi pembedahan harus meliputi tumor, pseudokapsul
Saat ini prosedur limb salvage merupakan tujuan yang diharapkan dalam operasi suatu
osteosarkoma. Maka dari itu melakukan reseksi tumor dan melakukan rekonstruksinya kembali
dan mendapatkan fungsi yang memuaskan dari ekstremitas merupakan salah satu keberhasilan
akan lebih aman dan mudah sehingga amputasi tidak perlu dilakukan pada 90 sampai 95% dari
25
penderita osteosarkoma. Dalam penelitian terbukti tidak terdapat perbedaan survival rate
antara operasi amputasi dengan limb-sparing resection. Amputasi terpaksa dikerjakan apabila
prosedur limb-salvage tidak dapat atau tidak memungkinkan lagi dikerjakan. Setelah
melakukan reseksi tumor, terjadi kehilangan cukup banyak dari tulang dan jaringan lunaknya,
(Purba D, 2016).
memberikan stabilitas fiksasi yang baik sehingga penderita dapat menginjak (weight-bearing)
dan mobilisasi secara cepat, memberikan stabilitas sendi yang baik, dan fungsi dari ekstremitas
yang baik dan memuaskan. Endoprostesis metal dapat meminimalisasi komplikasi post operasi
2.8.Prognosis
Pasien tanpa penyakit metastasis memiliki angka harapan hidup lebih dari 70% jika
pasien osteosarkoma, angka harapan hidup jangka panjang adalah 10-20%. Kecilnya angka ini
berhubungan dengan adanya metastasis pulmoner. Sebagian besar pasien yang tidak selamat
dikarenakan gagal nafas akibat metastasis. Okada et al. melaporkan angka harapan hidup 91%
pada pasien osteosarkoma parosteal, low grade tumor, pada follow up 5 tahun. Sedangkan
Faktor prognosis buruk pada pasien dengan osteosarkoma meliputi adanya metastasis,
tumor primer pada daerah aksial tulang, peningkatan ekspresi alkaline fosfatase atau laktat
dehidrogenase, respon yang buruk pada kemoterapi preoperatif, tumor tulang discontinue dan
Pada saat diagnosis ditegakkan, kurang lebih 80% penderita osteosarkoma telah
mengalami metastasis. Namun, proses metastasis secara klinis nampak hanya pada 20%
penderita ostesarkoma. Metastasis paling sering terjadi pada paru-paru. Penderita yang
didiagnosis osteosarkoma yang juga mengalami metastasis memiliki prognosis yang buruk.
Kemampuan bertahan hidup penderita osteosarkoma yang sudah mengalami metastasis hanya
berkisar 10-50% saja. Hingga saat ini tidak ada patokan baku dalam tatalaksana terapi pada
kombinasi dengan doxorubicin, ifosfamide, etoposide, cisplatin dan metrotexate dosis tinggi
hingga saat ini masih digunakan. Pediatric Oncology Group Trial menggunakan ifosfamide
dosis tinggi dan etoposide sebagai terapi induksi diikuti dengan metrotexate dosis tinggi,
doxorubicin dan cisplatin kombinasi dengan ifosfamide dosis rendah dan etoposide memiliki
59% tingkat respons positif dengan kemampuan bertahan hidup hingga 2 tahun sebesar 39%
pada penderita osteosarkoma dengan metastasis ke paru-paru dan 58% pada penderita
Sekitar 50% kejadian rekurensi lokal terjadi dalam kurun 12 bulan setelah terminasi
dari terapi dan hanya 5% dari kejadian ini muncul setelah 5 tahun. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Gelderbrom, pada 564 penderita osteosarkoma, penderita yang mengalami
rekurensi dalam 2 tahun setelah terdiagnosis memiliki prognosis yang lebih buruk
dibandingkan dengan penderita yang mengalami rekurensi setelah 2 tahun. Penderita dengan
respons histologis yang baik terhadap kemoterapi neoadjuvant memiliki tingkat overall
survival yang lebih baik. Risiko terjadinya metastasis paru-paru dalam kurun waktu 5 tahun
dilakukan terapi pembedahan yang agresif baik dengan ataupun tanpa kemoterapi. Kontrol dari
osteosarkoma setelah terjadi rekurensi tergantung pada komplit atau tidaknya reseksi
pembedahan dari lokasi-lokasi metastasis yang terdeteksi secara klinis. Bila reseksi
pembedahan tidak dapat dilakukan karena sesuatu hal, maka risiko progresivitas penyakit dan
kematian akan meningkat. Kemampuan untuk mencapai reseksi komplit dari rekurensi ini
adalah faktor prognostik yang paling penting pada saat relaps pertama kali (Hauben EI, et al.,
2006).
Peran dari kemoterapi sistemik terhadap penderita osteosarkoma yang disertai dengan
rekurensi masih belum memiliki prosedur yang baku. Ifosfamide yang dikominasikan dengan
etoposide menunjukkan aktifitas yang positif pada sepertiga penderita osteosarkoma rekuren
dimana mereka sebelumnya belum pernah menerima terapi kemoterapi jenis tersebut.
Siklofosfamid dan etoposide memiliki aktifitas yang sama dengan gemcitabine dan docetaxel
Faktor-faktor yang diduga membuat hasil akhir yang lebih baik pada rekurensi ke
paru-paru adalah metastasis pada sisi unilateral, interval yang lebih lama antara reseksi tumor
dan terjadinya metastasis dan lokasi tumor pada bagian tepi dari paru-paru. Reseksi dari
metastasis yang kemudian diikuti dengan observasi saja akan menyebabkan overall survival
yang rendah. Hingga saat ini masih terjadi kontroversi terhadap diperlukannya torakotomi
terhadap penanganan dari metastasis ke paru-paru. Hasil penelitian rumah sakit St. Jude
menyebutkan bahwa torakoskopi yang dilakukan tanpa eksplorasi pada keseluruhan paru-paru
ipsilateral adalah terapi yang adekuat terhadap rekurensi paru-paru isolated lebih dari 2 bulan
dari selesainya terapi initial. Memorial Sloan-Kettering Cancer Centre menyebutkan bahwa
28
nodul-nodul tambahan akan dapat ditemukan baik pada paru-paru ipsilateral maupun sisi
kontralateral pada penderita yang mengalami metastasis ke paru-paru (Karplus G, et al., 2009)
buruk. Pada suatu studi yang cukup besar, tingkat 5 tahun EFS (event free survival rate) sebesar
11%. Penderita dengan lesi tulang solid memiliki 5 tahun EFS sebesar 30%. Pada penderita
(ethylenediamine tetramethylene phosphonic acid) baik dengan ataupun tanpa stem sel dapat
menghasilkan tingkat penyakit yang lebih stabil dan atau berkurangnya keluhan nyeri (Franke
M, et al., 2011)
neoadjuvant. Pemeriksaan ini memerlukan minimal 20 coupe. Penilaian dilakukan secara semi
kuantitatif dengan membanding kan luasnya area nekrosis terhadap sisa tumor yang viabel :
Grade 1 : sedikit atau tidak ada nekrosis (0 - 50%) , Grade 2 : nekrosis >50 - < 90%, Grade 3 :
Patogenesis kanker dipengaruhi oleh sistem imun dan inflamasi. Hubungan antara
inflamasi dan kanker pertama kali ditemukan pada tahun 1863 oleh Virchow, yang mengamati
leukosit pada jaringan neoplastik (Liu, 2015).Sel kanker dikenal sebagai nonself antigenpada
sistem imunitas tubuh manusia sehingga ia akan menimbulkan respons imun secara seluler
29
maupun humoral. Imunitas humoral lebih sedikit berperan daripada imunitas seluler dalam
proses penghancuran sel kanker, tetapi tubuh tetap membentuk antibodi terhadap antigen
tumor.
Dua mekanisme antibodi diketahui dapat menghancurkan target kanker yaitu, Antibody
dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC) dan Complement Dependent Cytotoxicity. Pada
ADCC antibodi IgG spesifik berikatan terhadap Tumor Associated Antigen (TAA) dan sel
efektor yang membawa reseptor untuk bagian Fc dari molekul Ig. Antibodi bertindak sebagai
jembatan antara efektor dan target. Antibodi yang terikat dapat merangsang pelepasan
superoksida atau peroksida dari sel efektor. Sel yang dapat bertindak sebagai efektor di sini
adalah limfosit null (sel NK), monosit, makrofag, lekosit PMN menghancurkan sel tumor.
Berbeda dengan sel NK, sel NC kelihatannya distimulasi oleh IL-3 dan relatif tahan terhadap
berikatan dengan sel neoplastik lebih cepat dibanding dengan sel normal. Pengikatan khusus
makrofag yang teraktivasi ke membran sel tumor adalah melalui struktur yang sensitif terhadap
tripsin. Pengikatan akan bertambah kuat dan erat dalam 1 sampai 3 jam dan ikatan ini akan
mematikan sel. Sekali pengikatan terjadi, mekanisme sitotoksisitas melalui makrofag berlanjut
dengan transfer enzim lisosim, superoksida, protease, faktor sitotoksis yang resisten terhadap
inhibitor protease dan yang menyerupai LT. Sekali teraktivasi, makrofag dapat menghasilkan
Makrofag yang teraktivasi dapat menekan proliferasi limfosit, aktivitas NK dan produksi
mediator. Aktivasi supresi dapat berhubungan dengan pelepasan PG atau produksi superoksida.
Ini berarti bahwa makrofag dapat merangsang dan juga menghambat pertumbuhan sel tumor.
Makrofag dapat pula berfungsi sebagai efektor pada ADCC terhadap tumor. Indometasin dapat
menghambat efek perangsangan makrofag pada pertumbuhan tumor ovarium yang mana
30
dapat menimbulkan efek negatif berupa supresi yang disebut makrofag supresor. Hal tersebut
dapat disebabkan oleh tumor itu sendiri atau akibat pengobatan (Dunn, 2004).
2.11.1 Limfosit
Limfosit berperan penting dalam respons imun sebagai limfosit T dan limfosit B. Dalam
keadaan normal, jumlah limfosit berkisar 25-35 % atau 1.7-3.5 x10^3/mm. Jumlah limfosit
meningkat (disebut limfositosis) terjadi pada infeksi kronis dan virus. Limfositosis berat
jumlah (disebut leukopenia) selama terjadi sekresi hormon adenokortikal atau pada pemberian
respon imun antitumor yang efektif in vitro. Sebagian sel efektor yang berperan dalam
mekanisme anti tumor adalah sel T-CD8 yang secara fenotip dan fungsional identik dengan sel
CTL yang berperan dalam pembunuhan sel yang terinfeksi virus atau sel alogenik. CTL
berfungsi melakukan survailance dengan mengenal dan membunuh sel yang potensial ganas
yang mengekspresikan peptida yang berasal dari protein seluler mutan atau protein virus
onkogenik yang dipresentasikan oleh molekul MHC Kelas I pada sel dendritik ( Abbas, 2008).
juga memiliki kemampuan melisiskan sel tumor. Penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa
selain efek sitotoksik atau sitolisis, sel T CD8 terbukti dapat menghambat pertumbuhan sel
tumor melalui efek sitostatik khusunya untuk sel tumor yang bermetastase.Peningkatan
sitotoksisitasnya dan efek inhibisi Prostaglandin (PG) E1 dan E2 terhadap sitotoksisitas dari
Peran sel T CD4 dalam imunitas tumor belum jelas. Pada umumnya sel T CD4 tidak
bersifat sitotoksik bagi tumor, tetapi sel-sel itu dapat berperan dalam respon anti tumor dengan
memproduksi berbagai sitokin yang diperlukan untuk perkembangan sel-sel CTL menjadi sel
efektor. Di samping itu sel TCD4 yang diaktivasi oleh antigen tumor dapat mensekresi TNFdan
IFN-ɣ yang mampu meningkatkan ekspresi molekul MHC kelas I dan sensitivitas tumor
2.11.2 Monosit
Monosit adalah baris pertahanan kedua terhadap infeksi bakteri dan benda asing. Sel
ini lebih kuat daripada netrofil dan dapat mengonsumsi partikel debris yang lebih besar.
Monosit berespons lambat selama fase infeksi akut dan proses inflamasi, dan terus berfungsi
selama perjalanan penyakit dan menjadi suatu proses yang kronik. Dalam keadaan normal,
Fungsi monosit adalah untuk membantu sel-sel lain dalam darah menghilangkan
jaringan yang rusak. Monosit juga membantu menghancurkan sel-sel kanker. Monosit
diproduksi di sumsum tulang dan melakukan perjalanan melalui tubuh dalam darah. Saat
monosit mulai melakukan perjalanan, mereka memasuki organ utama seperti hati dan pankreas.
Saat monosit menjadi dewasa, mereka memainkan peran besar dalam sistem kekebalan tubuh.
Ketika jumlah monosit meningkat, ini menunjukkan bahwa tubuh sedang mencoba untuk
melawan penyakit tertentu seperti kanker, infeksi atau kelainan darah. Monosit yang bertambah
banyak sedang mencoba untuk melawan sel-sel jahat. Dalam memainkan peranan dalam sistem
imun, monosit yang masuk dan beredar ke jaringan dikenal sebagai makrofag (Baratawidjaya,
2010).
32
Peranan makrofag saat ini menjadi issue sentral tentang adanya hubungan perubahan
genetik yang menyebabkan kanker dengan aktivasi reaksi inflamasi pro tumor. Perubahan
genetik ini menghasilkan populasi sel dengan sifat-sifat pertumbuhan tidak terkendali yang
merupakan ciri sel kanker dan memiliki kemampuan menginvasi jaringan normal di sekitarnya
serta kemampuan bermetastasis dan tumbuh di tempat yang letaknya jauh dari jaringan asal.
Diantaranya TNF α, ILα1, IL1β, IL-6, IL-8, IL-18, khemokin, MMP-9, VEGF, dan COX-2.
Terlihat bahwa Reactive Oxygen Species (ROS) dan Reactive Nitrogen Intermediates (RNI)
yang dihasilkan oleh sel-sel inflamatorik menyebabkan mutasi sel-sel yang berdekatan (Abbas,
2010).
TNF α yang diproduksi oleh makrofag yang merupakan mediator penting dalam
terjadinya inflamasi terbukti dapat menginduksi transformasi, proliferasi dan promosi tumor.
TNF-α juga meningkatkan kemampuan invasi, angiogenesis dan motilitas sel kanker melalui
jalur persinyalan intraseluler bekerja sama dengan NF-kB, TNFα melalui NF-kB menginduksi
CD147 pada makrofag yang merupakan matrix metalloproteinase inducer yang berakibat
sitokin IL-4,IL-10 dan IL-13 menekan ekspresi MHC kelas II dan mempromosikan proliferasi
sel tumor dengan memproduksi faktor pertumbuhan dan meningkatkan angiogenesis. Sebagian
Rasio limfosit-monosit (RLM) merupakan suatu marker inflamasi yang baru-baru ini
diperkenalkan dan dipergunakan pada banyak penelitian, dimana RLM ini sederhana dan
pada respons inflamasi dan proses aterosklerosis. Nilai RLM mempunyai nilai prediksi pada
prognosis, keparahan dan mortalitas pada banyak kasus keganasan termasuk kelainan darah
dan tumor solid. Nilai RLM yang rendah pre operasi berhubungan dengan prognosis yang