Anda di halaman 1dari 10

RESUME I

“TINGKAT STRESS ORANGTUA MEMPENGARUHI PERILAKU

ADAPTIF ANAK RETARDASI MENTAL DI SLB-BC KEPANJEN


KABUPATEN MALANG”

Dosen Pengampu : Isna Ovari, S.Kp,. M.Kep


Mata Kuliah : Keperawatan Jiwa I
Oleh : Nadila Octavia (19010007)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PEKANBARU MEDICAL CENTER
T.A 2021
JURNAL

1. Judul Jurnal TINGKAT STRESS


ORANGTUA
MEMPENGARUHI
PERILAKU ADAPTIF ANAK
RETARDASI MENTAL DI
SLB-BC KEPANJEN
KABUPATEN MALANG

2. ISSN 2442-6873

3. Tahun 2020

4. Penulis 1. Istafia
2. Faizatur Rohmi
3. Ronal Surya Aditya

5. Publikasi Jurnal Keperawatan Terapan


(e-Journal)
6. Reviewer Nadila Octavia

7. Tanggal 10 Juni 2021

 Pendahuluan

Penantian akan hadirnya anak dapat berubah menjadi suatu kekecewaan jika anak
dilahirkan mengalami keterbelakangan mental atau retardasi mental (Pratiwi, 2007).
Retardasi mental merupakan gangguan fungsi intelektual yang ditandai Intelligence Quoyient
(IQ) dibawah 70 dan gangguan fungsi adaptif yaitu kemampuan beradaptasi dengan
kehidupan sosial sesuai tingkat perkembangan dan budaya yang terjadi sebelum usia 18 tahun
(Istiarini et al., 2014).
Skala anak retardasi mental yang telah saya observasi pada sekolah luar biasa BC
Kepanjen terdapat 74 siswa dari jumlah total semua siswa yaitu 96 siswa. Berdasarkan hasil
obserasi dan wawancara yang saya dapat di Sekolah Luar Biasa BC Kepanjen dan beberapa
orang tua siswa mengatakan lebih mudah stres karena banyaknya beban yang ditanggungnya,
sering kelelahan fisik karena harus membantu dan mendampingi anaknya dalam melakukan
aktifitas sehari-hari.
Dalam mengatasi stress, orang tua dapat menggunakan jenis 2 koping, yaitu problem
focused coping (koping yang terfokus pada masalah), dan emotion focused coping (koping
yang terfokus pada emosi) (Lazaruz & Folkman. 1984). (Wardani, 2009).
 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian Non-Eksperimen korelasional (hubungan/ asosiasi).
Menggunakan pendekatan survey cross sectional. Data diambil dari pengukuran atau
observasi pada tingkat strees orangtua dengan perilaku anak yang menderita retardasi mental
pada SLB BC Kepanjen. Populasi yang saya ambil yaitu 74 responden. Sampel yang
digunakan 74 responden menggunakan total sampling. Untuk instrumen yang digunakan
dalam pengukuran tingkat stress yaitu Depression Anxiety Stress Scale (DASS 42) dan
perilaku adaptif anak retardasi mental yang sebelumnya sudah dilakukan uji validitas di SLB
BC Dharma Wanita Turen.
 Hasil Penelitian
Berdasarkan tabel diatas, menunjukkan bahwa distribusi karakteristik responden
berdasarkan usia orangtua yaitu usia 26-35 tahun sebanyak 6 (8,1%), usia 36-45 tahun
sebanyak 39 (52,7%), usia 46-55 tahun sebanyak 23 (31,1%), usia 56-65 tahun sebanyak 6
(8,1%). Distribusi karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin orangtua paling banyak
adalah perempuan yaitu sebanyak 63 (85,1%), berdasarkan jenis kelamin laki-laki kurang
dari setengah responden berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 11 (14,9%). Distribusi
karakteristik responden berdasarkan pendidikan terakhir SD sebanyak 24 (32,4%), SMP
sebanyak 25 (33,8%), SMA sebanyak 20 (27.0%), dan perguruan tinggi sebanyak 5 (6,8%).
Dan distribusi karakteristik responden berdasarkan status pekerjaan yaitu bekerja sebanyak
34 (45,9%), dan tidak bekerja sebanyak 40 (54,1%).
Kriteria tingkat stress diperoleh pada kategori stress normal sebanyak 3 (4,1%), stress
ringan sebanyak 9 (12,2%), stres sedang sebanyak 14 (20,3%), stres berat sebanyak 47
(63,5%). Kategori perilaku adaptif anak diperoleh kategori sedang sebanyak 67 (90,5%), dan
baik sebanyak 7 (9,5%).
 Pembahasan
Identifikasi Tingkat Stress Orangtua Anak Retardasi Mental
Hasil penelitian yang diperoleh didapatkan bahwa tingkat stress pada orangtua dengan anak
retardasi mental di SLB BC Kepanjen Kabupaten Malang dari 74 responden orangtua yang
menjadi responden terbanyak terjadi pada rentang kategori strees berat sebanyak 47 orangtua
dengan presentase 63,5%. Pada penelitian ini orangtua yang banyak mengalami stress yaitu
terjadi pada perempuan atau bisa disebut sebagai ibu daripada laki-laki atau ayah didapatkan
perempuan sebanyak 63 (85,1%).
Identifikasi Perilaku Adaptif Anak Retardasi Mental
Berdasarkan penelitian ini pada didapatkan bahwa perilaku adaptif anak untuk kategori
sedang sebanyak 67 (95,5%) dan perilaku baik sebanyak 7 (9,5%). Pada penelitian ini untuk
perilaku anak retardasi mental di ketahui dari orangtuanya. Anak retardasi mental memiliki
hambatan pada perilaku, ketika disekolah anak tidak bisa duduk tenang, sering berpindah
tempat duduk, seringkali berbicara secara berlebihan, tidak bisa bermain dengan tenang, dan
berlarian tanpa rasa lelah. Hal ini sesuai dengan penelitian (Nunung sitepu, 2018), yang
berjudul hubungan spiritualitas orangtua terhadap perilaku adaptif anak retardasi mental di
SLB, berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh hasil bahwa sebanyak 22 orang (73,3%)
menunjukkan perilaku adaptif baik dan sebanyak 8 orang (26,7%) menunjukkan perilaku
adaptif sedang.
Hubungan Tingkat Stress Orang tua Dengan Perilaku Anak di Kabupaten
Malang
Dari hasil analisa data yang dilakukan dengan menggunakan uji statistic korelasi Spearman
Rank melalui pengolahan data dengan bantuan computerisasi . Teknik tersebut digunakan
untuk menentukan adanya hubungan 2 variabel dengan skala data ordinal dan rasio.
Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai koefisien korelasi sebesar r=0,837 yang
menunjukkan kategori tinggi dan didapatkan taraf signifikan p=0,037 dengan demikian p <
0,05 hal ini berarti Ha diterima yang artinya ada hubungan antara tingkat stress orangtua
dengan perilaku anak retardasi mental. Koefisiensi korelasi yang bertanda positif
menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat stress orangtua dengan perilaku anak
retardasi mental, hal ini dikarenakan data demografis responden dengan usia tergolong pada
usia 36-45 tahun sebanyak 39 orangtua (52,7%), berjenis kelamin perempuan sejumblah 63
(86,1%).
 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan antara Tingkat Stress Orangtua Dengan
Perilaku Anak Retardasi Mental Di Kabupatan Malang yang bertempat pada SLB BC
Kepanjen dapat disimpulkan bahwa sebagian besar orangtua dengan anak kecacatan mental
seperti retardasi mental memiliki tingkat stress lebih tinggi terjadi pada seorang ibu (63,5%).
Hasil penelitian ini diperoleh bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat stress
orangtua dengan perilaku anak retardasi mental. Dengan koefisien korelasi berada pada
tingkat lemah dengan hasil r=0,037.

RESUME II
“KOPING MALADAPTIF SAAT DITINGGALKAN KELUARGA
SEBAGAI FAKTOR RISIKO PENURUNAN KUALITAS HIDUP
LANJUT USIA”
Dosen Pengampu : Isna Ovari, S.Kp,. M.Kep
Mata Kuliah : Keperawatan Jiwa I
Oleh : Nadila Octavia (19010007)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PEKANBARU MEDICAL CENTER
T.A 2021
JURNAL
1. Judul Jurnal KOPING MALADAPTIF SAAT
DITINGGALKAN
KELUARGA
SEBAGAI FAKTOR RISIKO
PENURUNAN KUALITAS
HIDUP LANJUT USIA

2. ISSN 978-979-3812-42-7

3. Tahun 18 Februari 2017

4. Penulis 1. Sri Handayani1


2. Nur Wulan Agustina

5. Publikasi THE 5TH URECOL


PROCEEDING
6. Reviewer Nadila Octavia

7. Tanggal 10 Juni 2021

 Pendahuluan
Mekanisme koping terbagi menjadi dua yaitu mekanisme adaptif dan maladaptif.
Mekanisme koping adaptif merupakan mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi,
pertumbuhan, belajar, dan mencapai tujuan. Lansia yang memiliki koping adaptif ditunjukan
dengan kemampan berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik
relaksasi, latihan seimbang, dan aktivitas konstruktif (Stuart dan Sundeen, 2011). Sedangkan
mekanisme koping maladaptif merupakan respon individu yang dapat meyebabkan disfungsi
secara personal, sosial, maupun dalam pekerjaan respon koping maladaptif seperti merasa
terasingkan, ketergantungan, dan kurang percaya diri yang dapat mengakibatkan lansia cepat
marah, berdiam diri dan menarik diri, akibatnya tubuh menjadi rentan (Gunawan, 2013).
Penelitian Noni (2013) mendapatkan data bahwa 59,7% lansia mempunyai mekanisme
koping maladaptif (banyak tidur, melamun, hanya terpaku atau diam, tidak mampu
menyelesaikan masalah).
Koping merupakan cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah dan
menyesuaikan diri terhadap perubahan. Reaksi koping lansia terhadap permasalahan sangat
bervariasi, dan dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya: kesehatan, keyakinan,
keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial, dukungan sosial, dan dukungan
keluarga (Mu’tadin, 2002).
Gambaran kualitas hidup yang kurang pada lansia dapat ditunjukan dalam aktivitas
sehari-hari seperti ketergantungan obat-obatan, ketergantungan bantuan medis, keterbatasan
(Sekarwiri 2008). Gambaran kualitas hidup yang buruk pada lansia wanita yang menonjol
adalah mudah tersinggung, sukar tidur, tertekan, gugup, kesepian, tidak sabar, tegang, cemas
dan depresi (Kuntjoro (2002). Hasil penelitian Iqbal (2014) menemukan bahwa sebanyak
46,7% lansia yang tinggal di panti mempunyai kualitas hidup buruk.
 Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah survey analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel
diambil secara nonprobability sampling tipe purpusive sampling pada lansia di Desa Buntalan
Klaten yang memenuhi kriteria. Kriteria inklusi penelitian adalah (1) Memilih lansia yang
ditinggal keluarga (Suami, Anak) < 10 tahun (2) berusia 60 tahun ke atas. Kritera eksklusi
penelitian adalah (1) lansia yang mengalami : sakit berat, demensia, gangguan penglihatan
dan pendengaran (2) lansia yang menaglami gangguan komunikasi. Besar sampel adalah 33
lansia.

 Hasil Penelitian
Hasil penelitian Putri (2013) didapatkan bahwa sebanyak 62.1% lansia memiliki kualitas
kesehatan yang buruk, dan sebanyak 70,4% lansia memiliki kualitas psikologis buruk.
Penurunan kualitas hidup pada lansia dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti jenis
kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, financial, dukungan keluarga dan
koping (Mubarak, 2009).
Hasil penelitian Ratna (2007) menunjukan terdapat perbedaan makna hidup antara lansia
yang tinggal di panti werdha dengan lansia yang tinggal bersama keluarga. hasil penelitian ini
diperkuat penelitian Ekawati (2011) yang menyimpulkan bahwa lansia yang tinggal di panti
mempunyai risiko penurunan kualitas hidup dibandingkan dengan lansia yang tinggal
bersama dengan keluarga.
Hasil wawancara peneliti terhadap beberapa lansia diperoleh informasi bahwa lansia
tinggal sendirian dirumah. Selain itu lansia merasa mengalami perubahan psikologis seperti
mudah tersinggung, mudah marah, menarik diri (tidak mau mengikuti posyandu lansia).
 Pembahasan
1. Usia Responden
Teori diatas sesuai dengan penelitian bahwa rata-rata usia responden di desa Buntalan Klaten
Tengah yaitu 65 ± 2,40265 tahun. Responden yang memiliki rentang usia 60-64 tahun
sebanyak (45%) memiliki kualitas hidup buruk, sedangkan responden yang berusia 65-90
tahun sebanyak (64%) memiliki kualitas hidup yang buruk.
2. Jenis Kelamin Responden
Penelitian Nawi (2010) yang menyebutkan bahwa lansia perempuan cenderung memiliki
kualitas hidup lebih buruk dibandingkan laki-laki. Didukung pula dengan hasil penelitan
Nofiri (2009) kualitas hidup laki-laki cenderung lebih baik daripada kualitas hidup
perempuan.
3. Status Pernikahan
Hasil penelitian mendapatkan data bahwa koping maladatif lebih banyak dialami oleh lanjut
usia janda atu duda dibandingkan dengan lansia yang tidak menikah.
4. Koping Lanjut usia Saat Ditinggalkan Keluarga
Berdasar hasil penelitian ditemukan bahwa koping maladaptif yang dimilki lansia terlihat
pada rasa putus asa (78%), tidak mau bersosialisasi (27%), selalu pasrah dengan masalah
yang dihadapi (61%) dan lebih suka menangis untuk mengungkapkan perasaan (61%).
Koping maladaptif yang terjadi pada lanjut usia dapat berisiko meneyebbakan gangguan tidur
dan kecemasan.
5. Kualitas Hidup
Berdasarkan hasil penelitian dieproleh data bahwa 58% lanjut usia mempunyai kualitas hidup yang
buruk. Kualitas hidup yang buruk pada lansia terlihat pada kesulitan untuk berjalan sebanyak (43%),
tidak cukup uang untuk memenuhi kebutuhan (51%), dan lansia kesulitan tidur karena merasa cemas
sebanyak (64%).
6. Pengaruh Koping saat ditinggal keluarga dengan Kualitas Hidup Lansia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lansia yang mempunyai koping maladaptif 89,5%
mempunyai kualitas hidup buruk dan responden yang mempunyai koping adaptif sebanyak
71,4% mempunyai kualitas hidup yang baik. Hasil analisis menggunakan uji chi-square
diperoleh Pvalue (0,000) <α (0,05) dan nilai OR sebesar 21,5 sehingga bahwa koping
maladaptif lanjut usia saat ditinggal keluarga berisiko menurunkan kualitas hidup lansia.
 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa :
1. Responden dalam penelitian berusia antara 74 - 90
2. Jenis kelamin responden didominasi oleh perempuan
3. Responden sebagain besar memiliki koping maladaptif
4. Responden sebagian besar memiliki kualitas hidup buruk.
5. Koping lansia saat ditinggal keluarga berisiko menurunkan dengan kualitas hidup lanjut
usia

Anda mungkin juga menyukai