Di Susun Oleh :
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan
rahmat serta Hidayah-Nya, sehingga makalah tentang Analisis Lingkungan Dengan
Orang Kelainan Jiwa Di Wilayah Kerja Puskesmas Ampenan ini dapat terselesaikan.
Dalam penulisan makalah ini kami berusaha menyajikan bahan dan bahasa yang
sederhana, singkat serta mudah dicerna isinya oleh para pembaca. Kami menyadari
bahwa makalah ini jauh dari sempurna serta masih terdapat kekurangan dan kekeliruan
dalam penulisan makalah ini. Maka kami berharap adanya masukan dari berbagai pihak
untuk perbaikan dimasa yang akan mendatang. Akhir kata, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua dan dipergunakan dengan layak sebagaimana mestinya.
Penulis
HALAMAN PENGESAHAN
ANGGOTA KELOMPOK :
TELAH DISAHKAN
PADA TANGGAL DI
OLEH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan kondisi sehat baik secara fisik, mental, sosial maupun spiritual
yang mengharuskan setiap orang hidup secara produktif baik secara sosial maupun
ekonomis. Dari definisi diatas disimpulkan kesehatan setiap manusia harus dilihat sebagai
suatu bagian yang utuh yang mendiskripsikan bahwa sehat bukan hanya dilihat dari keadaan
fisik yang sehat tetapi juga sehat secara sosial, mental maupun spiritual. Kesehatan jiwa
adalah keadaan mental yang sejahtera yang menghasilkan kehidupan yang harmonis dan
produktif, sebagai kesatuan yang utuh untuk kualitas hidup setiap orang dengan menyimak
dari segi kehidupan manusia (Dirtjen Buk, 2013).
Tingginya pertumbuhan manusia dan permasalahan beban hidup menyebabkan
seseorang menjadi depresi. Semakin besar suatu masalah gangguan jiwa seperti masalah
gangguan jiwa berat dan gangguan mental emosional, memungkinkan pencegahan gangguan
jiwa, peningkatan derajat kesehatan jiwa dan penanggulangan permasalahan gangguan jiwa
di masyarakat tidak berhasil. Permasalahan seperti ini banyak terjadi di beberapa kota – kota
besar di Indonesia seperti Yogyakarta, Bali, Aceh, Jawa Tengah, Sulawesi dan lainnya.
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, presentase gangguan jiwa berat
paling banyak terjadi di Yogyakarta dengan presentase 0,27% dan Aceh 0,26% dan paling
rendah di Kalimantan Barat dengan presentase 0,07% (Riskesdas, 2013).
Menurut Riskesdas 2018 prevalensi (per mil) rumah tangga dan anggota rumah tangga
di Provinsi NTB sebesar 0,96‰ dan Indonesia sebesar 6,7‰. Diperkirakan jumlah orang
dengan gangguan jiwa berat tahun 2019 sebanyak 13.129 jiwa. Jumlah ODGJ Berat yang
mendapat pelayanan kesehatan sebesar 68,47% (8.989 orang). Pelayanan kesehatan ODGJ
Berat tertinggi ditemukan di Kabupaten Lombok Barat yaitu sebesar 109% (1.944 orang),
dan Pelayanan kesehatan ODGJ Berat terendah terdapat di Kabupaten Lombok Utara
sebesar 41,36% (237 orang) (Dinkes, 2019).
Di daerah wilayah kerja Puskesmas Ampenan, ditemukan 10 ODGJ yang dapat dikaji
dari sekian banyak kasus ODGJ di wilayah tersebut. Sehingga kami tertarik untuk
membahas faktor apa saja yang membuat angka ODGJ dapat meningkat.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui faktor predisposisi dan presipitasi gangguan
jiwa di wilayah kerja Puskesmas Ampenan.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui faktor-faktor predisposisi gangguan jiwa
b. Mengeathui faktor-faktor presipitasi gangguan jiwa
BAB II
PEMBAHASAN
A. Differences/Doubt
Apakah saja faktor-faktor yang dapat menimbulkan gangguan jiwa dan apa saja yang dapat
dilakukan untuk mengurangi angka kejadian gangguan jiwa ?
B. Description
Pada tanggal 29 September 2021 kami melaksanakan pengkajian untuk praktikum
keperawatan jiwa di wilayah kerja Puskesmas Ampenan. Hasil pengkajian didapatkan
bahwa di wilayah tersebut terdapat banyak pasien dengan gangguan jiwa. Pasien-pasien
yang kami temui ada yang mengalami halusinasi, harga diri rendah, deficit perawatan diri,
resiko perilaku kekerasan, dan isolasi sosial. Selama ini faktor utama yang menyebabkan
banyaknya angka kejadian gangguan jiwa di wilayah tersebut disebabkan oleh faktor
ekonomi. Kami berfikir apakah ada faktor penyebab lain yang dapat memicu terjadinya
gangguan jiwa di wilayah tersebut selain dari faktor ekonomi dan apa yang dapat kami
lakukan untuk mengurangi angka kejadian gangguan jiwa di wilayah tersebut.
C. Dissection (dianalisis)
Pada saat menemukan masalah pada pasien, kami hanya fokus menilai kondisi pasien
berdasarkan keluhan utama, riwayat penyakit masa lalu, riwayat penyakit keluarga, dsb.
Kami seharusnya mempertimbangkan penyebab lain yang menjadi faktor dari penyebab
angka kejadian gangguan jiwa di wilayah tersebut. Kami menganggap bahwa faktor
ekonomi menjadi satu-satunya faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa namun setelah
mengkaji lebih lanjut dan melihat kondisi sekitar, kami menemukan beberapa hal yang
mungkin menjadi faktor penyebab banyaknya yang mengalami gangguan jiwa.
D. Discover
Kepribadian merupakan pola khas seseorang dalam berpikir, merasakan dan
berperilaku yang relatif stabil dan dapat diperkirakan (Dorland, 2002). Kepribadian berubah
dan berkembang terus sesuai dengan cara penyesuaian terhadap lingkungan sehingga dapat
dikatakan bahwa kepribadian merupakan suatu hasil dan fungsi keturunan dan lingkungan.
Setiap perubahan yang terjadi pada lingkungan juga akan diikuti dengan berubahnya
kepribadian (Sunaryo, 2004).
Menurut (Yanuar, 2017), pasien yang mengalami gangguan jiwa umumnya memiliki
ciri-ciri konsep diri negatif, hal tersebut didukung oleh data dan pernyataan responden
tentang pasien dimasa lalu (sebelum sakit), mereka tidak mengetahui apa kelemahan dan
kelebihannya, mereka umumnya tidak mengetahui apa yang seharusnya dihargai dalam
hidupnya, pesimis terhadap dirinya, merasa tidak disenangi orang lain, peka terhadap kritik,
dan lainnya. Pendataan secara menyeluruh semua pasien yang mengalami gangguan jiwa
agar diketemukan mana saja yang punya potensi untuk terkena gangguan jiwa.
Hal tersebut di dukung oleh penelitian (Fajar, 2016) yang menyatakan bahwa
1. Faktor predisposisi biologis terbanyak adalah adanya gangguan jiwa sebelumnya. Ketika
seorang klien sudah pernah mengalami gangguan jiwa sebelumnya, walau klien telah
dinyatakan sembuh dan dapat kembali ke masyarakat, namun stigma negatif yang ada di
masyarakat telah membuat klien ditolak atau tidak diperlakukan baik di masyarakat.
2. Tipe kepribadian tertutup juga merupakan penyebab terbanyak orang mengalami
gangguan jiwa. Orang dengan tipe kepribadian tertutup akan cenderung menyimpan
segala permasalah sendiri, sehingga masalah akan semakin menumpuk. Hal ini yang
akan membuat klien bukannya menyelesaikan permasalahannya, namun akan bingung
dengan permasalahannya dan dapat membuat klien depresi.
3. Putus obat juga merupakan salah satu faktor presipitasi gangguan jiwa. Klien yang
mengalami gangguan jiwa, kebanyakan harus minum obat seumur hidupnya. Hal ini
yang menyebabkan klien merasa bosan minum obat dan akan menghentikan minum
obat. Selain karena merasa bosan, klien yang mempunyai pengetahuan kurang juga akan
menghentikan minum obat karena merasa. sudah sembuh atau gejala tidak muncul. Hal
ini yang akan memicu kekambuhan gangguan jiwa atau munculnya gangguan jiwa
kembali.
4. Pengalaman tidak menyenangkan yang dialami klien misalnya adanya aniaya seksual,
aniaya fisik, dikucilkan oleh masyarakat atau kejadian lain akan memicu klien
mengalami gangguan jiwa. Klien yang mempunyai mekanisme koping maladaptif akan
membuat klien mudah mengalami gangguan jiwa. Selain itu konflik dengan teman atau
keluarga misalnya karena harta warisan juga dapat membuat klien mengalami gangguan
jiwa. Konflik yang tidak terselesaikan dengan teman atau keluarga akan memicu klien
mengalami stresor yang berlebihan. Jika klien yang mengalami stresor berlebihan namun
mekanisme kopingnya buruk, maka akan membuat klien mengalami gangguan jiwa.
E. Decision
1. Diharapkan kader dan keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami
ODGJ/Gangguan Jiwa dapat mengetahui faktor-faktor dan gejala gangguan jiwa yang
dialami sehingga dapat dilakukan penanganan awal untuk mengatasi gejala/faktor
tersebut agar tidak memperburuk kondisi dari ODGJ tersebut.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. BUTTERFLY HUG
3. Silangkan kedua tangan Anda di atas dada, tepat lengan atau bahu.
4. Mulailah menepuk diri Anda sendiri secara perlahan dan bergantian dari kanan ke
kiri atau kiri ke kanan. Ketika menepuk diri sendiri, tarik napas dalam lalu keluarkan
secara perlahan untuk membantu membuat perasaan menjadi lebih lega.
5. Lakukan butterfly hug ini selama 30 detik atau beberapa menit, hingga Anda mulai
merasa tenang.
2. Tanyakan waktunya
Ex. “Apakah terus menerus terdengar atau sewaktu-waktu ? kapan yang paling sering
didengar suara ?berapa kali serahri bapak alami? Pada keadaan apa suara itu
terdengar? Apakah pada waktu sendiri ?”
3. Tanyakan keluhan klien
Ex. “Apa bapak yang bapak rasakan saat mendengar suara itu?”
4. Tanyakan apa koping sementara klien
Ex. “Apa yang bapak lakukan saat mendengar suara itu ? apakah dengan cara
ituhilang? Bangaimana kalau kita belajar cara-cara untuk mencegah suara-suara itu
muncul?”
5. Sarankan solusi
Ex. “Bapak, ada 4 cara untung mencegah suara-suara iu muncul. Pertema, dengan
menghardik suara tersebut. Kedua, dengan cara bercakap-cakap dengan orang lain.
Ketiga, melakukan kegiatan yang sudah terjadwal, dan yang keempat minum obat
dengan teratur.”
6. Bujuk agar mau melakukan salah satu saran yang telah kamu berikan
Ex. “Bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu, yaitu dengan cara menghardik.”
7. Mulai mengajarkan
Ex. “Caranya sebagai berikut: saat suara-suara itu muncul, langsung bapak bilang,
pergi saya tidak mau dengar, saya tidak mau dengar. Kamu suara palsu. Begitu
diulang-ulang sampai suara itu tidak terdengar lagi. Coba bapak peragakan! Nah,
begitu…. Bagus ! coba lagi tanda seru! Ya bagus bapak sudah bisa.”
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Terdapat beberapa factor pencetus terjadinya gangguan jiwa yang kelompok analisis
yaitu factor predisposisi biologis Ketika seorang klien sudah pernah mengalami gangguan
jiwa sebelumnya, tipe kepribadian tertutup juga merupakan penyebab terbanyak orang
mengalami gangguan jiwayang menyebabkan orang cenderug mengalami penyimpangan
segala permasalahan sehingga masalah akan semakin menumpuk yang dapat membuat klien
depresi, putus obat kebanyakan klien harus minum obat seumur hidupnya yang dapat
menyebabkan klien merasa bosan dan menghentikan minum obat dan selain merasa bosan
klien yang mempunyai pengetahuan kurang juga akan menghentikan menium obat karena
merasa sudah sembuh dan pengalaman yang tidak menyenangkan.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi kecemasan, depresi, stress dan
menenagkan pasien dengan cara menghardik dan menggunakan metode butterfly hug.
Menghardik adalah upaya mengendalikan diri terhadap halusinasi dengan cara menolak
halusinasi yang muncul. Pasien dilatih untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi yang
muncul atau tidak memerdulikan halusinasinya. Butterfly hug adalah metode yang
digunakan untuk membantu seseorang yang tengah dalam kedaan stress atau cemas agar
lebih rileks dan tenang.
B. Saran
Dengan adanya modul ini diharapkan dapat mengedukasi para kader dan menjadi pedoman
dalam menangani orang dengan gangguan jiwa.
DAFTAR PUSTAKA
Christina Suandi, 2020. Apa itu “Butterfly hug”. Diakses tanggal 5 Oktober 2021 pukul 17.30.
https://youtu.be/Dp72--gizUU
Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat
Tahun 2019. Mataram. 2019
Direktorat Jendral Bina Upaya Kesehatan Kemenkes RI. 2013. Pedoman Peningkatan Akses
Pelayanan Kesehatan Di DTPK. Jakarta
Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; Riskesdas. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI
Livina, 2018. Peningkatan kemampuan pasien dalam mengontrol halusinasi melalui terapi
aktivitas kelompok stimulasi persepsi. Jurnal ners widya husada vol 5(1), 35-
40.
Lucina Artigas and Ignacio Jarero. 2014. The Butterfly Hug Method for Bilateral Stimulation.
tanggal di akses 5 Oktober 2021 : https://aetr2n.net/ref_pubs/protocols/the-
butterfly-hug-november-2014.pd
Rio Yanuar. 2017. Jurnal Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Gangguan Jiwa
Di Desa Paringan Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo. Surabaya.
Siti Nafiatun, 2020. Penerapan Teknik Menghardik Pada Tn.J Dengan Masalah Halusinasi.
jurnal keperawatan karya bhakti vol 6(1), 15-24.