REFERAT
ILMU BEDAH
ABSES ANOREKTAL
Disusun oleh:
I Sena
NIM 20710160
Dokter Pembimbing:
dr. Adi Nugroho, Sp. B
ABSES ANOREKTAL
Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya
KSM/Lab Ilmu Brdah RSD dr. Soebandi Jember
Disusun oleh:
I Sena
NIM 20710160
Dokter Pembimbing:
dr. Adi Nugroho, Sp. B
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL........................................................................................ i
HALAMAN JUDUL............................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................... iv
DAFTAR TABEL................................................................................................v
BAB 1. PENDAHULUAN..................................................................................1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 2
2.1 Anatomi.............................................................................................2
2.2 Definisi..............................................................................................3
2.3 Epidemiologi.....................................................................................5
2.4 Etiologi..............................................................................................6
2.5 Patofisiologi......................................................................................7
2.6 Manifestasi Klinis.............................................................................8
2.7 Diagnosis...........................................................................................9
2.8 Tatalaksana........................................................................................11
2.9 Komplikasi........................................................................................13
2.10 Prognosis.........................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................16
iv
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
BAB 1. PENDAHULUAN
2.1 Anatomi
Rektum merupakan sebuah saluran yang berawal dari ujung usus besar dan
berakhir di anus. Rektum berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses.
Biasanya rektum akan kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi,
yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke
dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (defekasi).
Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum
akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan
defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, seringkali material akan dikembalikan ke
usus besar, dimana penyerapan air akan kembali dilakukan.
rectum merupakan bagian yang sangat lebar yaitu ampulla recti. Jika ampulla
terisi maka timbul perasaan ingin defekasi.
Rektum merupakan bagian distal dari usus besar yang dimulai dari
setinggi corpus sacralis tiga (Tortora dan Derrickson, 2009). Rektum dibagi
menjadi 3 bagian diantaranya yaitu:
a. Rektum bagian bawah, yaitu sepanjang 3-6 cm dari anal verge
b. Rektum bagian tengah, yaitu sepanjang 6-10 cm dari anal verge
c. Rektum bagian atas, yaitu sepanjang sekitar 10-15 cm dari anal verge,
umumnya rektum mencapai batas atasnya sekitar 12 cm dari anal verge.
Sepertiga atas rektum dikelilingi oleh peritoneum pada permukaan anterior
dan lateralnya. Lapisan dinding rektum dari lumen ke arah luar meliputi mukosa,
lamina propria, muskularis mukosa, submukosa, muskularis propia yang terdiri
dari otot sirkuler dan otot longitudinal dan serosa.
2.2 Definisi
Abses anorektal berasal dari infeksi yang timbul pada epitel
kriptoglandular yang melapisi saluran anus. Sfingter ani interna diyakini berfungsi
secara normal sebagai penghalang infeksi yang lewat dari lumen usus ke jaringan
perirektal dalam. Penghalang ini dapat ditembus melalui kriptus Morgagni, yang
dapat menembus melalui sfingter internal ke dalam ruang intersfingter.
Setelah infeksi mendapatkan akses ke ruang intersphincteric, ia memiliki
akses mudah ke ruang perirectal yang berdekatan. Perluasan infeksi dapat
melibatkan ruang intersphincteric, ruang ischiorectal, atau bahkan ruang
supralevator. Dalam beberapa kasus, abses tetap berada di dalam ruang
intersphincteric. Tingkat keparahan dan kedalaman abses cukup bervariasi, dan
rongga abses sering dikaitkan dengan pembentukan saluran fistula. Untuk alasan
itu, fistula juga dibahas dalam artikel ini jika relevan.
Berbagai gejala sisa anatomi dari infeksi primer diterjemahkan ke dalam
berbagai presentasi klinis. Abses perianal yang relatif sederhana harus dibedakan
dari abses perirektal yang lebih kompleks. Perawatan juga berbeda sesuai dengan
jenis abses yang ada.
4
Abses supralevator, yang paling tidak umum dari empat jenis utama, dapat
terbentuk dari perluasan cephalad dari abses intersphincteric di atas levator ani
atau dari perluasan caudal dari proses abdomen supuratif (misalnya, apendisitis,
penyakit divertikular, sepsis ginekologi) ke dalam ruang supralevator. Abses ini
dapat didiagnosis dengan menggunakan Computed Tomography (CT), dan
menyebabkan nyeri panggul dan dubur.
Menurut sistem klasifikasi Parks yang banyak digunakan, fistula anorektal
juga dapat diklasifikasikan menjadi empat tipe utama, sebagai berikut:
a. Intersphincteric (70%) - Ditemukan di antara sphincter internal dan
eksternal
b. Transsphincteric (23%) - Meluas melalui sphincter eksternal ke dalam
fossa ischiorectal
c. Extrasphincteric (5%) - Melewati rektum ke kulit melalui levator ani
d. Suprasphincteric (2%) - Membentang dari bidang intersphincteric melalui
puborectalis, keluar dari kulit setelah melintasi levator ani
2.3 Epidemiologi
Data epidemiologi baru ada pada Amerika Serikat dan statistik
internasional. Dimana sekitar 30% pasien dengan abses anorektal dilaporkan
riwayat abses serupa sebelumnya yang sembuh secara spontan atau memerlukan
intervensi bedah.
Insiden pembentukan abses tampaknya lebih tinggi di musim semi dan
musim panas. Sedangkan demografi menunjukkan perbedaan yang jelas dalam
terjadinya abses anal sehubungan dengan usia dan jenis kelamin, tidak ada pola
yang jelas di antara berbagai negara atau wilayah di dunia. Meskipun telah
disarankan bahwa ada hubungan langsung antara pembentukan abses anorektal
dan kebiasaan buang air besar, sering diare, dan kebersihan pribadi yang buruk,
hubungan ini tetap tidak terbukti.
Selain itu terdapat demografi terkait usia dan jenis kelamin. Insiden
puncak abses anorektal adalah pada dekade ketiga dan keempat kehidupan. Abses
ini juga cukup umum pada bayi. Mekanisme yang tepat kurang dipahami tetapi
6
2.4 Etiologi
Bakteri aerob dan anaerob telah ditemukan bertanggung jawab untuk
pembentukan abses. Bakteri anaerob yang paling sering terlibat adalah
Bacteroides fragilis, Peptostreptococcus, Prevotella, Fusobacterium,
Porphyromonas, dan Clostridium. Aerob yang paling sering terlibat adalah
Staphylococcus aureus, Streptococcus, dan Escherichia coli. Studi yang lebih baru
telah mencatat S aureus resisten methicillin yang didapat masyarakat (MRSA)
sebagai patogen yang menyebabkan pembentukan abses.
Sekitar 10% dari abses anorektal dapat disebabkan oleh alasan selain
infeksi kelenjar dubur, termasuk penyakit Crohn, trauma, imunodefisiensi akibat
infeksi HIV atau keganasan (baik hematologi dan kanker anorektal), tuberkulosis,
hidradenitis suppurativa, penyakit menular seksual, terapi radiasi, benda asing,
penyakit divertikular perforasi, penyakit radang usus, atau radang usus buntu
(penyebab abses supralevator yang jarang).
Trauma
- Impalement
- Foreign Body
- Surgery
Episiotomy
Hemorrhoidectomy
Prostatectomy
7
Malignansi
- Carcinoma
- Leukimia
- Lymphoma
- Radiasi
Tabel 2.1 Etiologi Abses perianal
2.5 Patofisiologi
Abses anorektal muncul akibat dari obstruksi kriptus analis. Anatomi
normal menunjukkan terdapat 4-10 glandula analis pada linea dentata. Glandula
analis berfungsi untuk melumasi kanalis analis. Obstruksi pada kriptus analis
merupakan hasil dari stasis sekresi kelenjar lalu ketika terjadi infeksi, terbentuk
supurasi dan pembentukan abses pada glandula analis. Abses biasanya terbentuk
di ruang intersphincteric dan dapat menyebar di sepanjang ruang. Setelah infeksi
mendapat akses ke ruang intersphincteric, memiliki akses mudah ke ruang
perirectal yang berdekatan. Perpanjangan infeksi dapat melibatkan ruang
intersfingterik (intersphingteric space), ruang iskiorektalis (ischiorectalis space),
ruang supralevator (supralevator space). Dalam beberapa kasus, abses tetap
terkandung dalam ruang intersphincterik.
ini dapat menjadi sangat besar dan mungkin tidak terlihat di daerah perianal.
Pemeriksaan digital rektal dapat ditemukan pembengkakan yang nyeri di lateral
fossa iskiorektalis. Abses Intersfingterik terjadi di ruang intersfingterik dan sangat
sulit untuk didiagnosa, sering membutuhkan pemeriksaan di bawah anestesi.
Abses pelivik dan supralevator jarang terjadi dan mungkin hasil dari perpanjangan
abses intersfingterik atau iskiorektalis ke atas, atau perpanjangan abses
intraperitoneal ke bawah.
2.7 Diagnosis
a. Pemeriksaan fisik
Pasien dengan abses anorektal biasanya memiliki tanda vital normal pada
evaluasi awal, dengan hanya 21% yang melaporkan demam atau kedinginan.
Pemeriksaan fisik menunjukkan massa subkutan kecil, eritematosa, berbatas tegas,
berfluktuasi di dekat lubang anus. Pada pemeriksaan rektal digital (DRE), massa
indurasi yang berfluktuasi dapat ditemukan. Pemeriksaan colok dubur dibawah
anestesi dapat membantu dalam kasus-kasus tertentu, karena ketidaknyamanan
pasien yang signifikan dapat menghalangi penilaian terhadap pemeriksaan fisik
yang menyeluruh. Contohnya, evaluasi terhadap abses ischiorektal yang optimal
dapat dilakukan dengan hanya menggunakan pemeriksaan colok dubur. Dengan
adanya obat anestesi, fistula dapat disuntikkan larutan peroksida untuk
memfasilitasi visualisasi pembukaan fistula internal. Bukti menunjukkan bahwa
penggunaan visualisasi endoskopik (transrektal dan transanal) adalah cara terbaik
untuk mengevaluasi kasus yang kompleks abses perianal dan fistula. Dengan
teknik endoskopik, tingkat dan konfigurasi dari abses dan fistula dapat jelas
divisualisasikan. Visualisasi endoskopi telah dilaporkan sama efektifnya seperti
fistulografi. Jika ditangani dengan dokter yang berpengalaman, evaluasi secara
endoskopik adalah prosedur diagnostik pilihan pada pasien dengan kelainan
perirektal karena rendahnya risiko infeksi serta kenyamanan pasien tidak
terganggu. Evaluasi secara endoskopik setelah pembedahan juga efektif untuk
memeriksa respon pasien terhadap terapi.
b. Pemeriksaan Laboratorium
Belum ada pemeriksaan laboratorium khusus yang dapat dilakukan untuk
mengevaluasi pasien dengan abses perianal atau anorektal, kecuali pada pasien
tertentu, seperti individu dengan diabetes dan pasien dengan imunitas tubuh yang
10
rendah karena memiliki risiko tinggi terhadap terjadinya sepsis bakteremia yang
dapat disebabkan dari abses anorektal. Dalam kasus tersebut, evaluasi
laboratorium lengkap adalah penting.
c. Pemeriksaan Radiologi
Meskipun pemeriksaan radiologi biasanya tidak diperlukan dalam evaluasi
pasien dengan abses anorektal (yang akan menjadi perianal pada sebagian besar
kasus), kecurigaan klinis dari abses intersphincteric atau supralevator mungkin
memerlukan konfirmasi melalui CT, ultrasonografi anal, atau MRI. Pada
penggunaan USG biasanya digunakan untuk memastikan adanya abses
intersphincteric, meskipun modalitas ini juga dapat digunakan secara intraoperatif
untuk membantu mengidentifikasi abses atau fistula yang sulit.
Ultrasonografi transperineal telah menunjukkan hasil yang baik untuk
mendeteksi saluran fistula dan pengumpulan cairan dalam perencanaan pra
operasi, dengan sensitivitas berkisar dari 85% hingga 100% untuk mendeteksi
penyakit yang signifikan secara pembedahan. MRI adalah standar kriteria untuk
pencitraan abses perirektal; sensitivitasnya 91% membuatnya berguna dalam
perencanaan pra operasi.
dan sering membutuhkan insisi lebih dari satu atau pada kedua ruang iskiorektalis.
c. Abses Intersfingter
Abses intersfingter sangat sulit untuk didiagnosa karena mereka hanya
menghasilkan sedikit pembengkakan dan tanda-tanda infeksi perianal. Nyeri
biasanya digambarkan sebagai nyeri yang jauh didalam lubang anus, dan biasanya
diperburuk oleh batuk atau bersin. Rasa nyeri tersebut begitu hebat sehingga
biasanya menghalangi pemeriksaan colok dubur. Diagnosis dibuat berdasarkan
kecurigaan yang tinggi dan biasanya membutuhkan pemeriksaan di bawah
anestesi. Setelah teridentifikasi, abses intersfingerik dapat di drainase melalui
sfingterotomi internal yang posterior.
d. Abses Supralevator
Jenis abses ini jarang ditemui dan biasanya sulit didiagnosa. Karena
kedekatannya dengan rongga peritoneal, abses supralevator dapat meniru kelainan
pada intra-abdomen. Pada pemeriksaan colok dubur bisa didapatkan massa yang
menonjol diatas cincin anorektal. Asal dari sebuah abses mesti dipastikan sebelum
memberikan pengobatan. Ini penting oleh karena apabila abses supralevator
terbentuk sekunder dari suatu abses intersfingerik yang bergerak ke atas, maka
abses mesti di drainase melewati rektum. Bila abses di drainase melewati fossa
ischiorektal maka fistula suprasfingterik dapat terbentuk. Bila suatu abses
13
2.9 Komplikasi
Fistula anorektal terjadi pada 30-60% pasien dengan abses anorektal.
Kelenjar intersfingterik terletak antara sfingter internal dan eksternal anus dan
seringkali dikaitkan dengan pembentukan abses. Fistula anorektal timbul oleh
karena obstruksi dari kelenjar dan/atau kripta anal, dimana ia dapat diidentifikasi
dengan adanya sekresi purulen dari kanalis anal atau dari kulit perianal sekitarnya.
Etiologi lain dari fistula anorektal adalah multifaktorial dan termasuk penyakit
divertikular, IBD, keganasan, dan infeksi yang terkomplikasi, seperti tuberkulosis.
14
2.10 Prognosis
Sekitar dua pertiga pasien dengan abses anorektal yang diobati dengan
insisi dan drainase atau dengan drainase spontan akan mendapat komplikasi
sebuah fistula anorektalkronis.
Tingkat kekambuhan fistula anorektal setelah fistulotomi, fistulektomi,
atau penggunaan seton adalah sekitar 1,5%. Tingkat keberhasilan pengobatan
bedah primer dengan fistulotomy tampaknya cukup baik.
16
DAFTAR PUSTAKA
4. Balcı S, Onur MR, Karaosmanoğlu AD, et al. MRI evaluation of anal and
perianal diseases. Diagn Interv Radiol. 2019;25(1):21-27.
doi:10.5152/dir.2018.17499
9. Mappes HJ, Farthmann EH. Anal abscess and fistula. In: Holzheimer RG,
Mannick JA, editors. Surgical Treatment: Evidence-Based and Problem-
Oriented. Munich: Zuckschwerdt; 2001. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK6943
11. Sahnan K, Adegbola SO, Tozer PJ, Watfah J, Phillips RK. Perianal abscess.
BMJ. 2017 Feb 21;356:j475. doi: 10.1136/bmj.j475. PMID: 28223268.
13. Sigmon DF, Emmanuel B, Tuma F. Perianal Abscess. [Updated 2020 Jun 27].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459167/