Keberhasilan Pem. Orde Baru
Keberhasilan Pem. Orde Baru
Indonesia
Keberhasilan dalam bidang ekonomi
Tidak dapat dipungkiri, pemerintah Orde Baru cukup berhasil dalam mencapai pertumbuhan
ekonomi yang tinggi (rata-rata 7% pada kurun waktu awal 1990-an hingga pertengahan 1990-
an), sehingga Indonesia pernah dikategorikan sebagai “Macan Asia” oleh Bank Dunia. Hal itu
mungkin menjadi prestasi tertinggi terakhir yang diperoleh Indonesia pada pemerintahan Orde
Baru.
Sebelumnya, pemerintah Orde Baru berhasil membawa Indonesia berswasembada pangan
(1985), serta menekan angka kelahiran bayi yang sangat tinggi pada masa pemerintahan Orde
Lama. Pemerintah Orde Baru juga berupaya menciptakan pemerataan persebaran penduduk
melalui transmigrasi. Cara ini terlihat cukup efektif di awal-awal pelaksanaannya. Di samping
itu, pemerintah Orde Baru juga berhasil menekan laju inflasi dari sekitar 650 persen di zaman
Orde Lama menjadi berada rata-rata di bawah dua digit hinga krisis ekonomi mulai melanda
di tahun 1997. Ekspor nonmigas Indonesia juga meningkat, sehingga Indonesia tidak selalu
bergantung pada ekspor minyak dan gas bumi.
Akan tetapi, pembangunan Indonesia banyak bergantung pada bantuan luar negeri. Negara-negara
maju yang bergabung dalam Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI), yang kemudian
menjadi Consultative Group on Indonesia (CGI)berkomitmen untuk secara teratur menyuplai
perekonomian Indonesia dengan hutang luar negeri. Hal ini menybabkan kemandirian perekonomian
Indonesia melemah. Ketergantungan kepada modal asing mengakibatkan perekonomian menjadi
hancur ketika badai krisis melanda tahun 1997. Melemahnya nilai tukar rupiah menyebabkan banyak
investor asing yang keluar dari Indonesia.
Pemerintah Orde Baru jelas gagal membuat rupiah sebagai mata uang kuat. Nilai rupiah tetap lemah
sejak awal Orde Baru hingga sekarang. Pada tahun 1970-an, mobil baru dapat dibeli dengan harga Rp
1.000,00. Saat in, kita tidak bisa membeli sebuah mobil baru secara tunai jika hanya mengantongi Rp
50 juta.
Pada masa reformasi, pemerintah berhasil menciptakan kebebasan pers, yang sangat bermanfaat
sebagai alat kontrol pembangunan. Pers membuat masyarakat sadar politik dan sadar hak sebagai
warga negara. Pemerintah juga berhasil membuat iklim berpolitik yang jauh lebih sehat dibanding
masa Orde Baru. Kehidupan politik Indonesia lebih demokratis dan dinamis pada masa Orde
Reformasi.
Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) adalah kegagalan terbesar dalam pembangunan Indonesia, mulai
dari pemerintahan masa Orde Baru hingga saat ini. KKN mengakibatkan dunia bisnis dihadapakan
pada “biaya-biaya siluman” dari pungutan tak resmi, yang menyebabkan proses produksi tidak efisien
dan harga menjadi mahal. KKN juga menyebabkan rendahnya profesionalisme dan wibawa para
pejabat negara dan mengakibatkan penegakan hukum amat sulit diterapkan di Indonesia.
Dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi masih memiliki peranan
yang sangat penting dalam rangka menyukseskan pembangunan nasional. Keduanya harus berjalan
secara beriringan demi tercapainya tujuan pembangunan nasional. Namun, memang tidak dapat
dipungkiri bahwa banyak sekali masalah-masalah yang dapat menghambat tercapainya tujuan
pembangunan nasional, seperti masalah pengangguran, inflasi dan lain sebagainya. Untuk
mengatasinya perlu kecakapan pemerintah dalam mengelola kebijakan anggaran.
* Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai
lebih dari AS$1.000
* Sukses transmigrasi
* Sukses KB
* Sukses memerangi buta huruf
* Sukses swasembada pangan
* Pengangguran minimum
* Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
* Sukses Gerakan Wajib Belajar
* Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
* Sukses keamanan dalam negeri
* Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
* Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
Pada masa awal Orde Baru. Pembangunan ekonomi di Indonesia maju pesat. Mulai dari
pendapatan perkapita, pertanian, pembangunan infrastruktur,dll. Saat permulaan Orde
Baru program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional
terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan
pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya
kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih
650 % setahun. Hal itu menjadi penyebab kurang lancarnya program pembangunan
yang telah direncanakan pemerintah.
Pemerintah lalu melakukan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang (25-30 tahun)
dilakukan secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita(Pembangunan Lima Tahun).
Pelita berlangsung dari Pelita I-Pelita VI.
a. Swasembada Pangan.
Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Hasil-nya
Indonesia berhasil swasembada beras. kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari
FAO(Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985. hal ini merupakan
prestasi besar bagi Indonesia.
Selain swasembada pangan, pada Pelita IV juga dilakukan Program KB dan Rumah untuk
keluarga.
Pada masa ini pemerintah lebih menitikberatkan pada sektor bidang ekonomi.
Pembangunan ekonomi ini berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan
dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.
Namun Pelita VI yang diharapkan menjadi proses lepas landas Indonesia ke yang lebih
baik lagi, malah menjadi gagal landas dan kapal pun rusak.
Indonesia dilanda krisis ekonomi yang sulit di atasi pada akhir tahun 1997. Semula
berawal dari krisis moneter lalu berlanjut menjadi krisis ekonomi dan akhirnya menjadi
krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Pelita VI pun kandas di tengah jalan.
Kondisi ekonomi yang kian terpuruk ditambah dengan KKN yang merajalela,
Pembagunan yang dilakukan, hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil kalangan
masyarakat. Karena pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata. Meskipun
perekonomian Indonesia meningkat, tapi secara fundamental pembangunan ekonomi
sangat rapuh.. Kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam.
Perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan, antar kelompok dalam
masyarakat terasa semakin tajam.. Terciptalah kelompok yang terpinggirkan
(Marginalisasi sosial). Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa
diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan berkeadilan.
Pembagunan tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang
menjadi penyumbang devisa terbesar seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Irian. Faktor
inilah yang selantunya ikut menjadi penyebab terpuruknya perekonomian nasional
Indonesia menjelang akhir tahun 1997.membuat perekonomian Indonesia gagal
menunjukan taringnya.
Namun pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru merupakan pondasi bagi
pembangunan ekonomi selanjutnya.
Masa Orde Baru diakui telah banyak mencapai kemajuan dalam proses untuk
mewujudkan cita-cita nasional. Dalam kehidupan sosial budaya, masyarakat dapat
digambarkan dari berbagai sisi. Selama dasawarsa 1970-an laju pertumbuhan
penduduk mencapai 2,3% setiap tahun. Dalam tahun tahun awal 1990-an angka tadi
dapat diturunkan menjadi sekitar 1,6% setiap tahun. Jika awal tahun 1970-an penduduk
Indonesia mempunyai harapan hidup rata-rata sekitar 50 tahun maka pada tahun
1990-an harapan hidup lebih dari 61 tahun. Dalam kurun waktu yang sama angka
kematian bayi menurun dari 142 untuk setiap 1000 kelahiran hidup menjadi 63 untuk
setiap 1000 kelahiran hidup. Hal ini antara lain dimungkinkan makin meningkatnya
pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Sebagai contoh adanya Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas) dan Pos Pelayanan Terpadu sampai di tingkat desa atau RT.
Dalam himpunan Tap MPR Tahun 1993 di bidang pendidikan, fasilitas pendidikan
dasar sudah makin merata. Pada tahun 1968 fasilitas sekolah dasar yang ada hanya
dapat menampung sekitar 41% dari seluruh anak yang berumur sekolah dasar. Fasilitas
sekolah dasar yang telah dibangun di pelosok tanah air praktis mampu menampung
anak Indonesia yang berusia sekolah dasar. Kondisi ini merupakan landasan kuat
menuju pelaksanan wajib belajar 9 tahun di tahun-tahun yang akan datang. Sementara
itu, jumlah rakyat yang masih buta huruf telah menurun dari 39% dalam tahun 1971
menjadi sekitar 17% di tahuan1990-an.
Kebinekaan Indonesia dari berbagai hal (suku, agama, ras, budaya, antar golongan dsb.) yang
mempunyai peluang yang tinggi akan terjadinya konflik, maka masa Orde Baru memunculkan
kebijakan yang terkait dengan pemahaman dan pengamalan terhadap dasar negara Pancasila.
Berdasarkan Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 ditetapkan tentang P-4 yaitu Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (Eka Parasetia Pancakarsa). Dengan Pancasila akan dapat memberikan
kekuatan, jiwa kepada bangsa Indonesia serta membimbing dalam mengejar kehidupan lahir dan
batin yang makin baik menuju masyarakat yang adil dan makmur. Dengan penghayatan terhadap
Pancasila oleh manusia Indonesia akan terasa dan terwujudlah Pancasila dalam kehidupan
masyarakat bangsa Indonesia. Karena itulah diperlukan suatu pedoman yang dapat menjadi
penuntun dan pegangan hidup bagi sikap dan tingkah laku setiap orang Indonesia. Untuk
melaksanakan semua ini dilakukanlah penataran-penataran baik melalui cara-cara formal, maupun
non-formal sehingga di tradisikan sebagai gerakan Budaya.
Kepemimpinan Soeharto merupakan suatu upaya pembangkitan kembali dari keterpurukan orde
lama yang sebagian besar disebabkan oleh kegiatan PKI di Indonesia pada masa itu, dan klimaksnya
yaitu insiden G30S/PKI. Namun, bahkan sebelum itu sudah terdapat masalah perekonomian yang
harus kita alami, seperti tingginya tingkat inflasi, yang sampai dilakukannya “potong uang” sebagai
upaya penyelesaian masalah. Lalu sempat juga dilakukan upaya pengembangan pasar persaingan di
Indonesia dengan diberikannya dana tunjangan untuk mengadakan kegiatan perdagangan untuk
rakyat kecil, namun disalahgunakan oleh mereka dan uang tersebut akhirnya digunakan untuk
berfoya-foya untuk sesaat. Kegagalan Demi kegagalan terjadi, walaupun hanya sangat sedikit yang
disebabkan oleh KKN, namun semua itu bertumpuk sampai berpindahnya orde kepemimpinan.
Maka, sewaktu dihadapkan terhadap bermacam masalah tersebut, Soeharto mencanangkan
beberapa rencana, antara lain:
Jika dilihat sekilas, memang tidak mungkin Soeharto dapat menyelesaikan semua rencana itu dalam
waktu 5 tahun, entah karena memang sudah direncanakan juga bahwa beliau akan memimpin lebih
dari satu kali, atau memang beliau sangat percata diri, yang penting hádala bagaimana rencana-
rencana tersebut akan dilaksanakan.
B. Langkah-langkah Awal:
Langkah paling awal yang dilakukan Soeharto adalah mencanangkan “Security Approach”, yang
bersifat multifungsional. Mengapa demikian? Karena dari “Security Approach” ini, presiden sebagai
pemegang komando tertinggi dapat mencakup beberapa bidang sekaligus, seperti ekonomi, politik,
bahkan sosial dan budaza. Namun, apa sebenarnya security approach ini? Security approach adalah
suatu sistem yang digunakan Soeharto dalam menyelesaikan berbagai masalah dengan suatu
kekuatan yang adidaya, yaitu kekuatan ABRI, atau militer. Setelah dianutnya sistem ini, banyak
masalah orde lama yang terselesaikan, seperti hilang sama sekali pengaruh komunis, stabilitas
pemerintahan dan ekonomi, dan pemberontakan masyarakat. Jika dilihat sekilas, memang terkesan
menakjubkan, karena sangatlah sulit untuk menciptakan suatu kestabilan yang sebenarnya. Jadi,
ada apa di balik kesuksesan Bapak Pembangunan kita ini? Pelanggaran HAM berat. Mengapa? Hal ini
akan saya bagi ke dalam dua bagian, yaitu:
1. Dari segi ekonomi
2. Dari segi sosial dan budaya
C. EKONOMI
1. PELITA
Pelaksanaan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang (25-30 tahun) dilakukan Orde Baru secara
periodik 5 tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan Lima Tahun). Pembangunan yang dimaksud
adalah :
Kita mulai dari rencana pertama dari beliau, yaitu rehabilitasi dan stabilitasi ekonomi. Seperti yang
kita ketahui, sudah banyak langkah yang disusun oleh pemerintahan orde lama dalam mencoba
membuat suatu suasana kompetitif dalam berdagang oleh setiap kaum dari masyarakat Indonesia,
bahkan yang termasuk berpendidikan rendah. Namun, pandangan Soeharto dalam hal ini berbeda,
beliau berpendapat bahwa jika kita ingin mengalami suatu perkembangan dan keseimbangan
ekonomi, kita memerlukan absolut kontrol untuk mengawasi setiap kegiatan ekonomi di negeri
tercinta kita ini, agar mencapai hasil yang memuaskan, walaupun ironisnya setelah ini akan terjadi
banyak KKN. Maka, untuk mewujudkan ini, pihak militer digunakan sebagai pengawas langsung
setiap kegiatan ekonomi, dan juga sekaligus bertindak sebagai “taunting agents” dari pemerintah,
yang memegang kuasa penuh atas segala kegiatan ekonomi. Dengan ini, pemerintah dapat
mengkontrol kemana mengalirnya uang di negeri ini, yang ironisnya lagi, akan lebih berpusat ke
kaum pemerintah beserta kerabatnya. Hal ini ternyata juga bertentangan dengan asas demokrasi
ekonomi, yang memang sedang trend di dunia pada masa itu. Dibalik semua kontroversi tersebut,
memang tercipta suatu kestabilan ekonomi, namun tidak cukup untuk mengurangi hiper-inflasi yang
mencapai 650%. Maka, pemerintah sekarang kembali melakukan sikap yang bertolak belakang
dengan Soekarno, yaitu memfokuskan pembangunan ekonomi yang akan ditopang oleh bangsa
asing.
Menurut Soeharto, negara kita tidak akan bisa hidup tanpa adanya hubungan saling bantu antar
negara, karena memang itulah hakekat hidup bermasyarakat. Atas dasar itu, sikap politik kita
berbalik total menjadi sangat terbuka terhadap negara-negara luar. Yang paling dapat
dimanfaatkan pada masa itu adalah ketersediaan dana pinjaman dari IMF dan Bank Dunia. Demi
mencapai pembangunan ekonomi yang stabil, Soeharto rela berhutang kepada instansi tersebut,
yang padahal jika dipikir panjang akan menimbulkan masalah yang lebih besar. Bukan hanya dari
IMF dan Bank Dunia saja bantuan yang Soeharto harapkan, namun juga dari investor dan “economic
advisor” asing. Langkah ini telah mengekspos negara kita terhadap suatu kekuatan luar yang masih
belum dikenal bahayanya, karena memang pada masa orde lama Soekarno menolak keras
terdapatnya campur tangan asing dalam pembangunan negeri tercinta kita ini. Pada masa peralihan
ini juga, Indonesia sedang memiliki berlimpah tenaga kerja murah, dan bahan mentah yang
berlimpah, yang siap dimanfaatkan secara besar-besaran oleh pemerintah, dan pihak asing.
Dampak yang paling terlihat adalah dengan masuknya modal asing tersebut, bumi kita habis habisan
dieksplorasi. Namun, sayangnya pada masa itu hanya sebagian kecil dari bangsa kita yang dapat
memanfaatkan kesempatan tersebut, yang memang telah didukung oleh pemerintah dengan
pemberian berbagai macam kemudahan dan fasilitas. Karena memang itulah tujuan dari Soeharto,
mendewasakan perilaku ekonomi bangsa kita yang pada masa itu masih terbilang dalam
kebingungan yang dahsyat.
Jika kita melihat realita, negara kita pada masa itu belum siap menghadapi pertumbuhan yang
cepat ini, yang salah satunya adalah karena sebagian besar rakyat hanya memiliki kemampuan yang
minim, sehingga hanya siap menjadi buruh murah, tanpa mengetahui apapun tentang pembangunan
yang sedang dilakukan oleh pihak asing. Memang pulau Jawa masih bisa dibilang lebih siap
dibandingkan dengan pulau lain, karena telah menjadi ajang tumbuhnya industri dengan modal
asing, dan juga ditunjang oleh pemerintah. Sedangkan kawasan pulau lain yang memiliki kekayaan
alam yang berlimpah, tengah menjadi ajang eksplorasi besar-besaran. Hal ini berakibat beralihnya
daerah tersebut menjadi daerah para investor asing yang memiliki modal untuk pembangunan pada
kawasan itu. Kesiapan yang kurang ini memang wajar, karena pada masa itu perkembangan sumber
daya manusia masih kurang, karena masih difokuskan terhadap pengabdian tunggal terhadap
negara.
Dari Sabang sampai Merauke, itulah Indonesia. Banyak yang dapat terjadi seiring pembangunan
Indonesia, walaupun sebenarnya dapat diminimalisirkan dampaknya terhadap masyarakat Indonesia.
Jika kita melihat kembali ke rencana awal Soeharto, betapa mulia mereka itu. Namun, kesalahan
yang menurut saya paling fatal adalah ketika Soeharto mengkontradiksi arti sesungguhnya dari
Pancasila, dan menciptakan keadaan bangsa yang terkekang. Apakah sejak awal Soeharto memang
menargetkan hal ini? Tidak ada yang tahu. Yang penting adalah bahwa hal ini tidak boleh terulang
kembali, dan wajib kita ambil hikmahnya. Seperti dengan membuka investasi asing, namun harus
dibatasi, dan juga desentralisasi harus diterapkan, walaupun sampai sekarang hal ini masih jauh
dari harapan, lalu perjagaan ketat terhadap masyarakat, namun harus diubah target pengawasan,
bukannya pihak pers atau Tionghoa, melainkan pihak parlemen, karena kredibilitas merekalah yang
sesungguhnya akan menentukan ke arah mana Indonesia akan berkembang. Memang hal ini susah,
tetapi sebenarnya kita dapat mulai dari hal-hal kecil terlebih dahulu, seperti berambisi besar,
layaknya Soeharto, dalam mendapatkan pendidikan, dan kepribadian yang benar-benar sesuai
dengan Pancasila.