Anda di halaman 1dari 33

TUGAS BIOTEKNOLOGI

MANIPULASI EKSPRESI GEN

“Rekayasa Genetika : Pengembangan Vaksin Influenza


Dengan
Pendekatan”

DI SUSUN OLEH :

NAMA : INDAH LESTARI SUBAYIR

NIM : 183145201132

KELAS : D/18

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MEGAREZKY
MAKASSAR
2021
DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................................................
Daftar Isi.............................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.............................................................................................
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................
1.3 Tujuan Penulisan...........................................................................................
1.4 Manfaat.........................................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Virologi Virus Influenza................................................................................
2.2 Imunitas terhadap Virus Influenza................................................................
2.3 Vaksin Influenza............................................................................................
2.3.1 Vaksin Virus Mati Utuh.......................................................................
2.3.2 Vaksin Subunit/Terpisah/Split Vaccine................................................
2.3.3 Vaksin Virus Influenza Hidup yang Dilemahkan................................
2.3.4 Vaksin yang Ditambah Adjuvan..........................................................
2.3.5 Vaksin Virus dari Biakan Sel...............................................................
2.3.6 Vaksin Asam Nukleat..........................................................................
2.3.7 Vaksin Rekombinan............................................................................
2.3.8 Indikasi Vaksin Influenza....................................................................
2.4 Produksi Vaksin Influenza.............................................................................
2.5 Pengembangan Vaksin Influenza Pandemik Berbasis Rekayasa Genetik.....
2.6 Genetik Terbalik/Reverse Genetic.................................................................
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan...................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya hingga terselesaikannya makalah ini.
Makalah ini menjelaskan tentang pengembangan vaksin influenza dengan
pendekatan rekayasa genetika.
Penyusun mengucapkan terima kasih terutama kepada dosen pembimbing
yang telah mengarahkan dan membimbing penyusunan dalam menyelesaikan
makalah ini, serta terimakasih kepada teman-teman yang telah membantu.
Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan tentang rekayasa
genetic khususnya pada pemanfaatannya dalam pembuatan vaksin influenza.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka dari itu,
kami mengharapkan saran- saran untuk penyempurnaan makalah ini.

Makassar, 24 MEI. 2021

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bioteknologi merupakan teknologi yang dikembangkan dengan
memanfaatkan organisme, baik secara utuh maupun bagian-bagiannya saja untuk
menghasilkan produk yang bermanfaat bagi manusia. Perkembangan
bioteknologi modern telah sampai pada pemanfaatan organisme pada level
molekulernya dan terkait dengan rekayasa genetika. Rekayasa genetika
melibatkan manipulasi-manipulasi gen pada organisme sehingga dapat
dimanfaatkan baik di bidang pertanian, kesehatan, lingkungan, industri, dan
lainnya (Smith, 2009). Perkembangan bioteknologi di bidang kesehatan
mendukung pula perkembangan terapi gen sebagai salah satu alternatif solusi
masalah kesehatan. Terapi gen dapat digunakan untuk terapi penyakit, baik yang
bersifat genetis maupun yang bukan. Adanya terapi gen memberikan pilihan lain
bagi penderita penyakit tertentu untuk memilih metode pengobatan.
Proses ekspresi gen, yaitu proses transformasi informasi genetik melalui
transkripsi dan translasi, untuk pembentukan protein atau enzim. Karena protein
dan enzim sangat berperan dalam menjalankan metabolisme maka ekspresi gen
sebenarnya merupakan proses pengendalian metabolisme oleh gen. Pada modul
ini akan dijelaskan bahwa ekspresi gen atau sintesis protein dapat diatur,
dihidupkan atau dimatikan, sebagaimana layaknya aliran listrik. Enzim
merupakan katalisator yang berperan menjalankan proses reaksi metabolisme,
keberadaan enzim akan menentukan berjalannya proses metabolisme. Bila suatu
produk metabolisme di dalam sel sudah mencapai kuantitas yang mencukupi
maka reaksi metabolisme tersebut harus dihentikan. Proses pengaturan ini
dilakukan dengan cara menghentikan produksi enzim, melalui penghentian
ekspresi gen penyandinya.
Influenza adalah penyakit infeksi pernapasan yang disebabkan infeksi
virus influenza yang bisa terjadi baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Ada
dua pendekatan untuk penanggulangan penyakit ini, yaitu pengobatan dengan
obat antivirus dan pencegahan dengan vaksinasi. Bentuk lain dari upaya untuk
mengantisipasi penyebaran influenza adalah vaksinasi. Vaksinasi influenza telah
dimulai sejak lama dan terbukti ampuh mencegah penyebaran influenza. Di
Jepang misalnya, vaksinasi dimulai tahun 1957, ketika virus (H2N2) tipe Asia
uncul. Tingkat efektivitas vaksin diperkirakan sekitar 80 %; tingkat efektifitas ini
sebagian besar bergantung pada mutasi virus yang menyebar saat itu. ini
merupakan kelemahan vaksin influenza, dimana tingkat efektivitasnya
dipengaruhi oleh tipe/subtype dari virus yang mewabah yang sulit diprediksi.
Karena itu, dalam vaksinasi tipe/subtype dari virus yang ditargetkan harus jelas.
Dalam kondisi sekarang, umumnya target yang diinginkan adalah tipe H5N1
untuk mengantisipasi terjadinya pandemi (Utama, 2007).
Virus influenza beredar sangat luas di seluruh dunia dan mengakibatkan
terjadinya epidemi penyakit saluran napas pada manusia setiap tahun. Angka
konsultasi ke dokter menjadi meningkat di Inggris sebagai akibat adanya wabah
influenza. Saat terjadi epidemi antara tahun 1975-1976 dan antara tahun 1989-
1990 diperkirakan sebanyak 6.200–29.600 orang meninggal dunia akibat
penyakit influenza. Selama periode tahun 1976-1999 tingkat kematian tahunan
akibat pneumonia dan influenza di Amerika Serikat sebanyak 8.097 orang. Sekitar
90% kematian yang disebabkan influenza terjadi pada orang yang berumur 65
tahun atau lebih. Selain itu, tingkat kematian yang tinggi juga ditemukan pada
anak
yang berumur kurang dari 1 tahun. Sampai saat ini imunisasi masih
merupakan cara yang cukup efektif untuk mencegah serta mengurangi komplikasi
akibat penyakit influenza. Komplikasi juga dapat dicegah dengan pemberian
profilaksis obat antivirus, misalnya inhibitor M2 (amantadine dan rimantadine)
atau inhibitor neuraminidase (oseltamivir dan zanavir). Maka dari itu, dalam
tulisan ini akan dibahas tentang vaksin virus influenza (Setiawan, 2008).
1.2 Tujuan Makalah
a. Untuk mengetahui penyakit influenza
b. Untuk mengetahui macam-macam vaksin influenza
c. Untuk mengetahui cara pembuatan vaksin influenza dengan rekayasa genetik
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Bioteknologi
Bioteknologi merupakan teknologi yang dikembangkan dengan
memanfaatkan organisme, baik secara utuh maupun bagian-bagiannya saja untuk
menghasilkan produk yang bermanfaat bagi manusia. Perkembangan
bioteknologi modern telah sampai pada pemanfaatan organisme pada level
molekulernya dan terkait dengan rekayasa genetika. Rekayasa genetika
melibatkan manipulasi-manipulasi gen pada organisme sehingga dapat
dimanfaatkan baik di bidang pertanian, kesehatan, lingkungan, industri, dan
lainnya (Smith, 2009). Perkembangan bioteknologi di bidang kesehatan
mendukung pula perkembangan terapi gen sebagai salah satu alternatif solusi
masalah kesehatan. Terapi gen dapat digunakan untuk terapi penyakit, baik yang
bersifat genetis maupun yang bukan. Adanya terapi gen memberikan pilihan lain
bagi penderita penyakit tertentu untuk memilih metode pengobatan ( Dyah Ayu,
2017)
Rekayasa genetika merupakan dasar dari bioteknologi yang di dalamnya
meliputi manipulasi gen, kloning gen, DNA rekombinan, teknologi modifikasi
genetik, dan genetika modern dengan menggunakan prosedur identifikasi,
replikasi, modifikasi dan transfer materi genetik dari sel,
jaringan, maupun organ. Sebagian besar teknik yang dilakukan adalah
memanipulasi langsung DNA dengan orientasi pada ekspresi gen tertentu. Dalam
skala yang lebih luas, rekayasa genetik melibatkan penanda atau marker yang
sering disebut sebagai Marker-Assisted Selection (MAS) yang bertujuan
meningkatkan efisiensi suatu organisme berdasarkan informasi fenotipnya .Salah
satu aplikasi dari rekayasa genetik adalah berupa manipulasi genom hewan.
Hewan yang sering digunakan menjadi uji coba adalah mamalia. Mamalia
memiliki ukuran genom yang lebih besar dan kompleks dibandingkan dengan
virus, bakteri, dan tanaman. Sebagai konsekuensinya, untuk memodifikasi genetik
dari hewan mamalia harus menggunakan teknik genetika molekular dan teknologi
rekombinan DNA.
Keunggulan rekayasa genetik adalah mampu memindahkan materi genetik
dari sumber yang sangat beragam dengan ketepatan tinggi dan terkontrol dalam
waktu yang lebih singkat. Melalui proses rekayasa genetika ini, telah berhasil
dikembangkan berbagai organisme maupun produk yang menguntungkan bagi
kehidupan manusia. Teknologi khusus yang digunakan dalam rekayasa genetik
meliputi teknologi DNA Rekombinan yaitu pembentukan kombinasi materi
genetik yang baru dengan cara penyisipan molekul DNA ke dalam suatu vektor
sehingga memungkinkannya untuk terintegrasi dan mengalami perbanyakan di
dalam suatu sel organisme lain yang berperan sebagai sel inang.Manfaat yang
didapatkan dari metode rekayasa genetik, antara lain:
1. Mengurangi biaya dan meningkatkan penyediaan sejumlah besar bahan yang
sekarang di gunakan di dalam pengobatan, pertanian dan industri.
2. Menggembangkan tanaman – tanaman pertanian yang bersifat unggul
3. Menukar gen dari satu organisme kepada organisme lainnya sesuai dengan
keinginan manusia, menginduksi sel untuk membuat bahan-bahan yang
sebelumnya tidak pernah dibuat dl
Virologi Virus
Influenza
Virus influenza adalah virus RNA tunggal negative bersegmen dan
berselubung, termasuk famili Orthomyxoviridae. Bentuk partikel virus adalah
pleomorfik dengan ukuran 80-120 nm. Selubung (envelope) virus terdiri dari lipid
bilayer, pada permukaannya terdapat tonjolan dua glikoprotein antigen yang
sangat penting, yaitu hemaglutinin (HA) untuk menempelnya virus dan terjadinya
fusi anatara dinding virus dan dinding sel yang diinfeksi, dan neuraminidase (NA)
untuk mencegah terjadinya agregasi virus serta melepaskan virion yang baru
dirakit dari sel yang diinfeksi. Kedua protein ini sangat penting untuk masuk dan
keluar virus dari sel yang diinfeksi sesudah mengalami replikasi di dalam sel.
Selain itu, kedua protein ini juga merupakan antigen yang sangat penting terhadap
respons imun humoral (antibodi). Perubahan antigenik yang lebih luas terjadi
pada HA dibandingkan dengan NA (Setiawan, 2008).
Pada selubung juga terdapat protein M2 yang mengadakan interaksi
dengan genom sel dan faktor ekspor nuclear untuk membantu merakit virus.
Bentuk tetramerik protein M2 merupakan saluran ion antara bagian dalam virus
dan lingkungan luarnya. Protein M2 memegang peranan yang sangat penting
untuk menjaga agar pH tetap rendah selama terjadi sintesis HA dan virion yang
masih telanjang. Masingmasing gen segmen RNA di-encapsidasi oleh
nucleoprotein (NP). Gen PB2, PB1, dan PA mengkode protein yang
membentuk kompleks polimerase yang berguna untuk transkripsi, terletak pada
setiap ujung masing-masing segmen gen. Protein non-strutural nuklear eksport
(Nuclear Export Protein, NEP) dan protein non-struktural NS1 yang dikenal
sebagai
penekan interferon antagonis banyak ditemukan pada sel yang terinfeksi
dan tidak tergabung dalam struktur virion (Setiawan, 2008).
Sudah sejak lama diketahui bahwa virus influenza selalu dipelihara dan
beredar pada burung air (waterfowl), yang merupakan sumber virus influenza.
Sampai saat ini terdapat 16 subtipe HA dan 9 subtipe NA virus yang sudah
dapat diidentifikasi pada spesies unggas. Berdasarkan bukti serologis, hanya
subtipe H1, H2, H3, N1, dan N2 telah diketahui dapat menginfeksi manusia sejak
100 tahun yang lalu. Saat ini terdapat dua subtipe virus influenza A yang beredar
pada manusia di seluruh dunia, yaitu H2N2 dan H3N2. HA virus influenza A
H2N2

Gambar 1. Struktur mikroskop virus influenza

Virus influenza diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu A, B, dan C, namun


yang sering menimbulkan wabah baik pada manusia maupun pada binatang
adalah tipe A. tipe ini dibagi lagi menjadi beberapa subtype berdasarkan protein
hemagglutinin (H atau HA) dan neuraminidase (N atau NA) yang muncul
dipermukaan virus, sehingga penamaannya menjadi HxNx (contohnya, H5N1).
Kedua protein ini berfungsi sebagai antigen yang bisa dinetralisir oleh antibpodi.
Protein H juga menentukan tingkat pathogen virus influenza. Virus tipe H5 dan
H7 misalnya, mempunyai tingkat pathogen yang tinggi terhadap ayam ternak.
Sementara itu, protein N juga berfungsi sebagai penentu batas inang (host)
disamping juga menentukan tingkat patogennya (Utama, 2007).
Selain menyerang manusia, virus influenza juga menyerang beberapa
binatang seperti burung, babi, kuda ikan paus, dan lain-lain. Namun biasanya
virus jenis tertentu hanya spesifik terhadap inang (host) tertentu. Artinya, virus
yang menginfeksi burung, dan sebaliknya virus yang menginfeksi burung tidak
menginfeki manusia. Walaupun protein N dikatakan berpengaruh terhadap
penentuan inang, spesikasi inang lebih ditentukan lagi oleh protein
nuklokapsid (nucleocapsid protein, NP), protein yang berikatan langsung dengan
gen RNA virus influenza (Scholtissek et al, 1985). Karena itu, loncatan inang
dari ayam ke manusia seperti pada virus H6N1 ini berkemungkinan disebabkan
oleh mutasi yang terjadi pada protein NP ini. Dengan kata lain, protein NP yang
spesifik terhadap burung bermutasi menjadi protein yang bisa menginfeksi
manusia (Utama, 2007).
Hal seperti ini sangat lazim terjadi pada virus influenza. Virus influenza
sering mengalami mutasi pada bagian antigennya baik pada protein H maupun N.
Mutasi ini dinamakan antigenic drift. Lebih jauh lagi virus influenza bisa
melakukan rekombinasi pada protein H dan N ini. Dengan rekombinasi ini bisa
menjadi jenis baru. Seperti contoh, jenis H5N1 bisa menjadi jenis H5N2, H4N1,
atau H4N2. Proses ini dinamakan antigenic shift. Baik antigenic drift maupun
antigenic shift yang membuat virus bisa melarikan diri dari sistem kekebalan
tubuh (antibody). Karena itu, dengan cara yang sama, virus avian flu bias berubah
menjadi virus yang mampu menginfeksi manusia. Walaupun demikian, sampai
saat ini belum diketahui mekanismenya. Salah satu hipotesa saat ini adalah virus
avian flu tidak bisa langsung menginfeksi manusia, tetapi terlebih dahulu
beradaptasi pada babi atau kuda yang berfungsi sebagai inang intermediet
(intermediate host) (Utama, 2007).
Penularan influenza dimulai dari inhalasi droplet dari pasien melalui
bersin dan air liur. Masa inkubasi berkisar dari 1-5 hari, tergantung pada 3 hal;
dosis virus yang menginfeksi, sius/organ yang terinfeksi, dan kemampuan
proliferasi virus. Periode inkubasi yang paling umum adalah 2 hari, sesuai dengan
periode 5-6 generasi (8 jam/generasi). Setelah periode inkubasi, muncul gejala
local dan gejala sistematis. Gejala sistematis yang dimaksud termasuk demam
(merupakan yang terbesar), sakit kepala, lemah badan, hilangnya keseimbangan,
sakit pinggang, dan lain-lain. Gejala sistem pernapasan sering muncul 1 atau 2
hari kemudian, yang termasuk bersin, hidung tersumbang, dan batuk.
Prognosanya influenza manusia biasanya bagus, dan pasien sembuh dalam 1
minggu. Jika penyakitnya memburuk, peluang untuk terjadi berbagai komplikasi
meningkat . namun ini berbeda untuk virus H5N1 yang kebanyakan berakibat
fatal. Virus H5N1 adalah virus flu burung yang berubah sifat dari sebelumnya
tidak mampu menginfeksi manusi a menj adi mampu. Arti nya, sebel umnya
manusia bel um pernah t erpapar virus i ni (Ut ama, 2007).

Gambar 2. Antigenic shift

Gambar 3. Antigenic drift


2.2 Imunitas terhadap Virus Influenza
Penanda utama bahwa seseorang memiliki daya tahan terhadap virus
influenza setelah mendapat imunisasi atau menderita penyakit adalah antibodi
humoral yang berkomplementer secara spesifik dengan antigen HA dan NA
virus.ref. Antibodi HA dapat menahan virus dengan menetralisasi infektivitasnya,
sedangkan antibodi terhadap NA membatasi penyebaran virus dengan jalan
menghambat lepasnya virion yang baru dirakit dari sel yang terinfeksi. Jika
dibandingkan dengan imunitas humoral, imunitas seluler terhadap virus influenza
belum banyak diketahui. Respons sel T CD8+ sitotoksik biasanya muncul dalam
3-4 hari sesudah infeksi. Sel T sitotoksik CD8+ mendeteksi dan melisis sel
pejamu yang terinfeksi virus dan spesifisitasnya ditujukan terhadap epitop HA,
NP, M, dan PB2 yang sangat dilindungi dibandingkan dengan epitop imunitas
humoral. Sel T helper CD4+ merupakan sinyal yang sangat penting dalam
memfasilitasi respons imun seluler maupun humoral. Selain itu, sel T helper
CD4+ juga mempunyai efek sit otoksi k, wal aupun efek i ni kurang kuat
dibandingkan dengan sel T CD8+ (Seti awan, 2008).

Gambar 4. Struktur virus influenza

Sangat jelas bahwa, imunitas humoral maupun seluler mempunyai peranan


yang sangat penting dalam menahan infeksi virus influenza. Antibodi dapat
mengurangi jumlah virus yang menginfeksi sel dan menahan terjadinya infeksi
ulang. Sel T sitotoksik menghancurkan sel yang terinfeksi virus dan menekan
sitokin. Respons imun seluler terhadap influenza kurang spesifik, terutama karena
memberi respons imun yang luas terhadap antigen inti (Setiawan, 2008)
2.3 Vaksin Influenza
Jenis vaksin virus influenza yang digunakan untuk mengimunisasi
manusia di seluruh dunia adalah vaksin virus mati, karena vaksin virus hidup
dapat bereplikasi dan dianggap berbahaya. Vaksin yang ada saat ini diproduksi
dari virus yang ditumbuhkan dalam telor ayam yang subur dan dibunuh
menggunakan formalin atau β-propiolakton. Vaksin dapat berupa virus utuh yang
merupakan hasil pemisahan protein dengan detergen atau formulasi antigen
permukaaan yaitu, hemaglutinin dan neuraminidase dari ketiga galur virus yang
disarankan oleh WHO. Sekitar 50 negara sudah menyiapkan dana untuk
melakukan program imunisasi dan vaksin influenza juga sudah tersedia di
beberapa negara. Sekitar 234 juta orang dari 6 miliar penduduk dunia sudah
mendapat imunisasi influenza pada tahun 2000. Rekomendasi untuk melakukan
vaksinasi spesifik sangat bervariasi, tetapi sebagian besar menyarankan untuk
mengadakan imunisasi tahunan pada orang tua dan penderita penyakit kronis
tertentu. Saran ini muncul karena adanya tingkat kesakitan dan kematian yang
tinggi pada kelompok yang berisiko, yang sesuai dengan efikasi vaksin (Setiawan,
2008)
2.3.1 Vaksin Virus Mati Utuh
Perkembangan vaksin virus utuh bergantung kepada kemampuan untuk
memperbanyak dan mempurifikasi virus. Biasanya virus ditumbuhkan pada sakus
alantoik telor ayam yang berembrio. Sebelumnya virus dipurifikasi dan
dikonsentrasi menggunakan teknik dengan mengabsorpsi dan elusi pada sel darah
merah, kemudian dimatikan dengan formalin. Selanjutnya Stanley menemukan
cara baru untuk mempurifikasi vaksin dengan menggunakan alat sentrifugasi, dan
sampai sekarang cara ini menjadi standar untuk memproduksi vaksin secara rutin
setiap tahun. Puncak perkembangan teknologi pemurnian virus adalah
menggunakan ultra sentrifugasi dengan beberapa modifikasi, sehingga lahirlah
teknologi sentrifugasi perbedaan densitas. Gabungan purifikasi filtrasi membran
dan purifikasi dengan sentrifugasi dapat menghasilkan vaksin yang mendapat
lisensi (Setiawan, 2008).
Vaksin virus mati sangat berhasil dipakai untuk mencegah penyakit
influenza. Setiap dosis vaksin mati saat ini mengandung 15 μg virus influenza A
H1N1, H3N2, dan virus influenza B. Vaksin mati diperkirakan mempunyai
efikasi protektivitas 60-90% pada anak-anak dan orang dewasa, dan lebih rendah
pada orang tua. Vaksin ini sudah diakui sangat aman dan ditoleransi dengan
sangat
baik. Karena terjadinya mutasi shift atau drift pada protein HA dan NA virus
influenza tidak dapat diramal, maka WHO mengorganisasi sistem surveilans
influenza secara global untuk memilih virus influenza A H1N1 dan H3N2 dan
virus influenza B yang mangalami mutasi drift yang terakhir untuk dipakai
membuat vaksin trivalen. Pemilihan virus dilakukan antara bulan Februari dan
April setiap tahun, kemudian vaksin diproduksi, dan didistribusikan bulan
September atau Oktober pada tahun yang sama. Hal ini untuk mencegah agar
pembuatan vaksin jangan sampai terlambat seperti pada pandemi-pandemi yang
lalu (Setiawan, 2008).
Berdasarkan studi tentang efikasi dan efektivitas vaksin influenza mati
utuh, ternyata vaksin ini memberi keuntungan yang cukup berarti. Berdasarkan
hasil penelitian, efikasi vaksin untuk mencegah influenza simptomatik yang
dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium diperkirakan 80%. Keuntungan lain
yang diperoleh termasuk berkurangnya absen anak sekolah, menurunnya kasus
penyakit otitis media, berkurangnya angka kekambuhan penyakit asma,
menurunnya angka kejadian penyakit saluran napas yang lain, bila berkontak
dengan anggota serumah yang tidak mendapat imunisasi.
Vaksin virus utuh lebih sering menimbulkan reaksi samping pada anak-
anak kecil dibandingkan dengan formula vaksin terpisah/subunit yang hanya
mengandung antigen protein permukaan murni. Walaupun demikian, hasil
penelitian terakhir membuktikan bahwa vaksin influenza mati yang utuh juga
cukup aman diberikan pada penderita asma dan penyakit kronis yang lain. Reaksi
ikutan yang sering terjadi pada imunisasi vaksin influenza mati yang utuh adalah
eritema, nyeri, dan pembengkakan pada tempat suntikan yang terjadi 12-24 jam
sesudah imunisasi. Kadang-kadang terjadi indurasi. Gejala lokal sering terjadi
pada orang dewasa. Gejala sistemik yang terjadi adalah suhu tubuh sedikit
meningkat dalam 48 jam sesudah imunisasi. Gejala yang lain adalah nyeri otot,
nyeri sendi, sakit kapala, dan badan lemas. Gejala ini muncul pada sekitar 6-50%
orang yang mendapat imunisasi (Setiawan, 2008).
Reaksi hipersensitif terutama reaksi alergi terhadap protein telor
dikarenakan proses pembuatan vaksin dilakukan pada telor ayam yang
berembriyo. Walaupun demikian, anak yang alergi masih dapat diberikan
imunisasi influenza secara hati-hati dengan membagi dosis. Komplikasi lain yang
pernah dilaporkan adalah munculnya sindrom Guillain-Bare dalam 6 minggu
sesudah pemberian vaksinasi. Komplikasi ini terjadi sangat jarang, kira-kira satu
dalam satu juta orang yang mendapat imunisasi. Berdasarkan studi kepustakaan,
ternyata gejala ikutan yang terjadi pada imunisasi influenza adalah sangat kecil.
Akhir-akhir ini ditemukan adanya sindrom oculorespiratory yang merupakan
reaksi berupa kemerahan pada mata dengan atau tanpa gejala saluran napas,
misalnya batuk, pilek, sesak napas, susah menelan, nyeri tenggorokan, dan muka
udem, yang terjadi 2-24 jam sesudah imunisasi. Reaksi ini ditemukan di Canada
dengan frekuensi yang sangat rendah (13,9-19,3 per 100.000 penduduk yang
mendapat imunisasi). Di tempat lain kasus tersebut dilaporkan sangat sedikit, dan
mekanisme terjadinya masih belum jelas (Setiawan, 2008).

2.3.2 Vaksin Subunit/Terpisah/Split Vaccine


Sebelum berkembangnya teknologi purifikasi vaksin untuk memperoleh
vaksin yang sangat murni, maka pabrik pembuat vaksin mengembangkan teknik
pemisah protein virus dengan menggunakan eter atau deterjen, sehingga
toksigenitas vaksin yang terjadi pada manusia dapat dikurangi. Vaksin tersebut
sudah banyak digunakan di dunia, dan terutama disarankan untuk anak yang
berumur kurang dari 12 tahun. Vaksin subunit yang diberikan 1 kali dosis cukup
untuk mengimunisasi orang yang sudah mendapat imunisasi atau yang sudah
mempunyai memori imunologi terhadap antigen atau epitop virus yang dapat
melindungi (epitop protektif). Sebaliknya vaksin terpisah/subunit ini kurang
imunogenik untuk orang yang tidak memiliki memori terhadap antigen karena
belum pernah mendapat imunisasi atau belum pernah terinfeksi virus influenza.
Oleh karena itu, disarankan untuk memberikan dua kali dosis (Setiawan, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian pada orang dewasa umur aktif kerja yang
diberi vaksin influenza terpisah/subunit, diperkirakan mempunyai efikasi untuk
mencegah influenza yang dibuktikan secara laboratorium adalah 77%.
Keuntungan lain yang diperoleh adalah berkurangnya absensi kerja, konsultasi
dokter, dan penggunaan antibiotik. Frekuensi influenza yang dideteksi
berdasarkan pemeriksaan laboratorium berkurang 52% pada orang yang mendapat
imunisasi13 dan berkurang 94% pada orang yang lebih tua yang tinggal dalam
masyarakat. Banyak studi lain membuktikan bahwa angka perawatan pneumonia
dan influenza di rumah sakit menurun. Imunisasi pada penderita penyakit paru
kronis dapat mengurangi angka perawatan rumah sakit sebagai akibat pneumonia
dan influenza sebanyak 52%. Vaksin terpisah/subunit dapat ditoleransi dengan
sangat baik dan sangat aman. Selain itu, tidak ada laporan yang dipublikasi
tentang adanya reaksi hipersensitivitas pada vaksin influenza subunit (Setiawan,
2008)

2.3.3 Vaksin Virus Influenza Hidup yang


Dilemahkan
Vaksin influenza hidup yang diberikan secara intranasal memberikan
keuntungan karena menyerupai infeksi alami, dapat memberikan respons
imunologis yang lebih luas, dan dengan masa perlindungan yang lebih
dibandingkan dengan vaksin mati. Strategi penggunaan vaksin hidup berdasarkan
pemindahan gen pengkode cold adaptation (ca) dan temperature sensitivity (ts)
dari donor virus induk yang dilemahkan telah digunakan di Rusia selama
bertahuntahun. Kemudian di Amerika Serikat dilakukan penelitian secara intensif
selama bertahun-tahun untuk membuat vaksin hidup yang dilemahkan tersebut.
Kemajuan yang paling penting diperoleh oleh Maassab et al.26 di Universitas
Michigan. Dia mengembangkan vaksin influenza hidup, yaitu reasortant yang
dilemahkan diadaptasi dingin, yang di dalamnya diselipkan gen HA atau NA yang
diinginkan. Vaksin ini diperjuangkan agar mendapat lisensi (Setiawan, 2008).
Vaksin trivalen virus influenza A dan B hidup dari Maassab terdiri
dari galur biang influenza lemah yang diadaptasi dingin yang di dalamnya
mengandung gen HA dan NA yang beredar saat ini menggantikan gen yang sesuai
dari galur biang dengan cara reassortment. Galur biang virus influenza A dan B
dilemahkan sehingga replikasinya terbatas hanya pada saluran napas bagian atas
manusia. Caranya adalah replikasinya diadaptasi pada telor dengan temperatur
rendah (25oC) sehingga terjadi mutasi stabil pada ketiga gen polimerase viz. PA,
PB1, dan PB2. Studi klinis memperlihatkan bahwa vaksin ini memberikan hasil
yang cukup memuaskan pada anak, orang dewasa, dan orang tua. Pemberian
secara nasal memperoleh hasil efikasi yang tinggi pada anak yang masih muda.
Setelah dievaluasi secara klinis selama tiga dekade, maka vaksin ini disetujui oleh
Food and Drug Administration pada bulan Juni 2003 untuk digunakan pada anak-
anak yang sehat, anak remaja umur 5-17 tahun, dan orang dewasa sehat yang
berumur 18-49 tahun. Vaksin dengan dasar ca dapat bereplikasi dengan sangat
baik pada suhu nasofaring, tetapi
tidak pada suhu saluran napas bagian bawah. Dari hasil penelitian, vaksin ca pada
anak-anak yang masih muda di Amerika Serikat memberikan daya lindung yang
sangat tinggi, sehingga memberikan keuntungan dapat menurunkan insidens
penyakit influenza dan komplikasi otitis media (Setiawan, 2008).
Selama tahun kedua studi, vaksin ca dapat memberikan tingkat
perlindungan yang tinggi terhadap varian yang tidak mempunyai hubungan dekat
dengan antigen vaksin. Studi pada penduduk yang diobservasi secara ketat
memberi kesan bahwa pemberian kombinasi vaksin hidup dan mati dapat
meningkatkan daya proteksi terhadap infeksi influenza. Dalam pelaksanaannya,
pemberian vaksin hidup yang dilemahkan banyak mendapat tantangan terutama
dari Pfleiderer et al,29 mereka meragukan keamanan vaksin ini. Bila vaksin ini
mendapat lisensi, maka keamanan vaksin ini harus dipastikan dengan penelitian
tentang akibat imunosupresif yang terjadi; respons imun humoral dan seluler yang
terjadi harus diukur secara benar; stabilitas penyimpanan terhadap infektivitasnya
harus diamati dengan ketat. Selain itu perlu dipastikan kemungkinan: adanya
percampuran di antara galur vaksin yang dapat memberi efek terhadap respons
imun seseorang; terjadinya integritas genetik virus yang tertahan sesudah
mengalami replikasi di dalam tubuh orang yang divaksinasi; respons imun yang
ditimbulkan oleh pemberian galur biang yang sama secara berulang dari tahun ke
tahun hanya terbatas untuk berkembangnya imunitas terhadap enam komponen
vaksin selain HA atau NA. Keamanan vaksin ini juga diragukan karena diproduksi
dengan menggunakan telor ayam sehingga dapat menimbulkan reaksi alergi
terhadap protein telor ayam. Selain itu barier mukosa juga mungkin dapat tembus,
sehingga terjadi infeksi sekunder oleh mikroba patogen yang lain yang terdapat
dalam tubuh. Yang paling berbahaya dari penggunaan vaksin virus hidup adalah
bila imunisasi terjadi bersamaan dengan infeksi virus influenza liar yang virulen.
Hal ini mungkin mengakibatkan terjadinya reassortment, sehingga terbentuk virus
virulen baru sebagai akibat adanya mutasi drift ataupun shift. Oleh karena itu,
penggunaan vaksin influenza hidup perlu dipertimbangkan secara matang
(Setiawan, 2008).

2.3.4 Vaksin yang Ditambah


Adjuvan
Vaksin influenza subunit dengan adjuvan MF59 (suatu emulsi squalene
dalam air) dapat diberikan secara parenteral. Vaksin ini sudah mendapat lisensi di
beberapa negara Eropa, tetapi tidak di Inggris. MF59 dapat meningkatkan respons
antibodi hemaglutinasi inhibisi secara bermakna terhadap antigen influenza A
(H3N2) dan influenza B interpandemik dan ditoleransi dengan baik terutama pada
orang tua dengan penyakit kronis, walaupun ditemukan adanya sedikit reaksi
lokal yang bersifat sementara dan sedikit lebih banyak dibandingkan dengan
vaksin yang lain.30 Juga dengan menambah adjuvan MF59 pada vaksin virus
H5N3 A/Duck/Singapore/97 dapat mencegah infeksi influenza unggas H5N1.
Virosom terdiri dari bilayer phospholipids (liposom) yang mengandung protein
permukaan virus yang menempel pada lapisan bilayer. Virosom sudah secara luas
dievaluasi dalam berbagai populasi manusia. Imunisasi dengan virosom dapat
menginduksi konsentrasi antibodi yang lebih tinggi, dengan rata-rata serokonversi
yang lebih tinggi, serta jumlah individu dengan titer antibodi protektif yang lebih
tinggi dibandingkan dengan vaksin mati yang konvensional. Vaksin ini sudah
mendapat lisensi di Inggris (Setiawan, 2008).
Kompleks perangsang imun yang mempunyai struktur menyerupai
sangkar, yang aslinya membentuk kompleks antara kolesterol dan saponin, yang
berasal dari pohon Quillaia saponaria. Vaksin yang mengandung saponin tertentu
disebut Iscoprep 703 dapat merangsang respons antibodi serum dengan sangat
cepat pada manusia dibandingkan dengan vaksin mati yang konvensional.
Iscoprep 703 dapat meningkatkan proliferasi respons sel T helper dan respons sel
T sitotoksik. Walaupun vaksin influenza yang diberikan secara intranasal dapat
meningkatkan cakupan vaksin dan dapat memberikan imunitas mukosa, vaksin
influenza mati yang konvensional yang diberikan secara intranasal ternyata
kurang berhasil dengan baik. Percobaan pada binatang membuktikan bahwa
penambahan adjuvan mukosa yang berasal dari bakteri berhasil meningkatkan
imunogenisitas. Beberapa vaksin tersebut yang diberikan secara intranasal telah
dievaluasi secara klinis dan ternyata hasil yang diperoleh sangat menjanjikan. Satu
formula semprot intranasal yang mengandung vaksin influenza subunit trivalen
yang dipersiapkan dari virosom dan enterotoksin E coli tipe liar telah mendapat
lisensi di Prancis. Walaupun vaksin intranasal ini memenuhi kriteria
imunogenisitas yang tepat untuk lisensi ulang setiap tahun seperti vaksin influenza
konvensional, tetapi lisensinya sudah dicabut karena dicurigai mempunyai reaksi
ikutan, yaitu Bell‘s palsy. Berbagai partikel mikro saat ini sedang diteliti untuk
dipakai sebagai adjuvan dan sistem pengantar yang dapat membawa antigen virus
influenza secara parenteral, atau mengantarkan ke situs mukosa termasuk saluran
cerna (Setiawan, 2008).

2.3.5 Vaksin Virus dari Biakan


Sel
Vaksin ini mempunyai potensi untuk dapat memberikan respons dengan
cepat terhadap epidemi maupun pandemic yang dapat terjadi setiap saat, dan dapat
menghindari terjadinya risiko kontaminasi protein telor dan endotoksin pada
vaksin yang dapat mengganggu secara biologis. Selain itu, virus influenza yang
ditumbuhkan pada sel mamalia lebih menyerupai proses infeksi yang terjadi pada
manusia dibandingkan dengan virus yang ditumbuhkan pada telor. Oleh karena
itu, vaksin ini diperkirakan akan lebih efektif. Vaksin influenza yang dibuat dalam
sel Madin Darby Canine Kidney (MDCK) dan sel monyet hijau Afrika (sel Vero)
sudah mendapat lisensi di Belanda (Setiawan, 2008).

2.3.6 Vaksin Asam


Nukleat
Vaksin DNA merupakan pendekatan baru yang sangat menjanjikan
untuk vaksinasi. Penerapan temuan ini pada berbagai penyebab penyakit telah
menghasilkan publikasi yang banyak dan sangat menjanjikan dipakai untuk
mengembangkan vaksin DNA yang sangat berguna untuk kehidupan manusia.
Vaksin ini dapat merangsang respons imun dengan batas yang sangat luas
termasuk respons antibodi, respons sel T sitotoksik dan sel T helper. Vaksin DNA
dengan susunan pengkode nukleoprotein, hemaglutinin, neuraminidase, protein
matriks 1 (M1), dan protein nonstruktural 1 virus influenza telah dipelajari secara
luas, dalam bentuk tunggal maupun kombinasi, atau dikombinasi dengan DNA
yang mengkode berbagai sitokin.Beberapa tahun yang lalu Wolft et al,
menemukan DNA plasmid rekombinan yang membawa selipan sekuens gen
reporter yang dapat mengekspresikan protein asing pada tempat suntikan dalam
otot hewan coba. Yang paling menarik adalah vaksin DNA dapat
mengekspresikan antigen di dalam sitosol sel yang dapat mempresentasikan
antigen (Antigen presenting cell, APC). Dengan demikian, fragmen
antigen tersebut dapat dipresentasikan ke sistem imun oleh jalur imunologi
kelas I maupun kelas II. Pentingnya vektor DNA untuk vaksin influenza A
diperlihatkan oleh Liu et al dan Ulmer et al.23 Penelitian mereka
memperlihatkan bahwa dalam tubuh mencit timbul respons imun seluler
maupun humoral setelah mencit disuntik dengan plasmid rekombinan yang
mengandung sekuens gen HA dari virus PR8 H1N1
1934 dan NP. Bila mencit ini diberi virus PR8 homologous yang virulen secara
intranasal, maka mencit tersebut terlindungi/tidak sakit. Yang lebih penting lagi
adalah mencit yang disuntik dengan DNA rekombinan yang mengandung protein
NP, yang sangat dilindungi dari virus PR8 H1N1, hampir sepenuhnya mendapat
daya lindung bila diinfeksi dengan virus pandemi H3N2 tahun 1968. Dengan
keberhasilan ini, sangat mungkin untuk mengembangkan satu vaksin yang
mengandung kodon NP yang sangat dilindungi sehingga dapat terhindar terhadap
seluruh virus influenza A pada manusia yang ada saat ini, waktu yang lalu, dan
yang akan datang (Setiawan, 2008).

2.3.7 Vaksin Rekombinan


Vaksin rekombinan influenza telah dipersiapkan dari protein hemaglutinin
dan neuraminidase rekombinan yang diekspresikan oleh baculovirus dalam sel
serangga. Hemaglutinin rekombinan ditoleransi dengan sangat baik oleh orang
dewasa muda dan tua. Terdapat efek dose response yang sangat bermakna
terhadap vaksin hemaglutinin H1 dan H3. Studi fase I dan studi virus
neuraminidase rekombinan yang diekspresikan baculovirus pada relawan sehat
yang dinfeksi virus letal hasilnya sangat menjanjikan. Diperlukan pengembangan
vaksin influenza yang dapat menghindari hilangnya efektivitas sebagai akibat
adanya mutasi drift atau shift pada antigen virus. Protein M2 secara antigenik
sangat dilindungi dan antibodi homologous terhadapnya dapat mencegah
terjadinya infeksi baik in vitro maupun in vivo pada mencit (Setiawan, 2008).

2.3.8 Indikasi Vaksin Influenza


Walaupun penyakit influenza merupakan penyebab kematian yang sangat
rendah (kurang dari 0,1%), tetapi ia dapat menyerang penduduk dengan angka
kesakitan yang tinggi. Selain itu, penyakit influenza pada anak-anak dan orang tua
yang berumur lebih dari 65 tahun, serta orang yang menderita penyakit kronis
dapat mengakibatkan komplikasi yang sangat berat. Pemberian imunisasi pada
kelompok-kelompok ini dapat mengurangi terjadinya komplikasi. Kelompok
masyarakat yang menjadi sasaran imunisasi adalah (Setiawan, 2008):
- Orang tua yang berumur lebih dari 65 tahun.
- Petugas rumah sakit yang merawat penderita penyakit kronis.
- Orang dewasa dan anak-anak yang menderita penyakit paru atau system
kardiovaskuler kronis, termasuk anak yang menderita penyakit asma.
- Orang dewasa dan anak-anak yang menderita penyakit yang perlu dikontrol
secara teratur setiap tahun, misalnya penyakit diabetes melitus, gangguan
- fungsi ginjal, hemoglobinopati, dan penyakit penekanan sistem imun.
- Anak dan dewasa muda (umur 6 bulan sampai 18 tahun) yang mendapat
pengobatan aspirin jangka panjang, yang mungkin mempunyai risiko sindrom
- Reye bila menderita penyakit influenza.
- Wanita dengan kehamilan trimester kedua atau ketiga pada saat terjadi musim
influenza.
Vaksin ini tidak boleh diberikan pada anak berumur kurang dari 6 bulan,
karena pada kelompok umur ini vaksin sering menimbulkan gejala panas. Pada
anak yang berumur kurang dari 12 tahun sebaiknya diberikan vaksin influenza
yang terpisah/subunit. Orang yang menderita penyakit saluran napas yang ringan
dapat diberikan imunisasi vaksin influenza. Orang yang alergi terhadap protein
telor dapat diimunisasi tetapi harus diberikan secara hati-hati (Setiawan, 2008)
Pada dekade yang lalu telah banyak dikembangkan teknologi baru yang
dapat digunakan untuk memproduksi vaksin atau untuk meningkatkan
imunogenisitas vaksin serta mengurangi efek samping yang terjadi. Berikut ini
akan diuraikan beberapa teknik baru yang sudah dan sedang dikembangkan oleh
para ahli imunisasi (Setiawan, 2008)

2.4 Produksi Vaksin


Secara umum, titer antibodi
serum dan jumlah virus yang terjangkit
mempunyai hubungan yang berlawanan.
Artinya, level antibodi yang tertinggi sederhana, dapat dijelaskan sebagai berikut.
menyebabkan tingkat insiden yang Pertama bibit virus influenza (biasanya dari
trendah. Maka dari itu, pencegahan WHO) diinfeksikan ke dalam telur ayam
berupa vaksinasi sangat efektif bertunas (TAB, embryonated). Setelah itu
khususnya di tempat-tempat seperti telur diinkubasi agar virus berkembangbiak di
sekolah dasar, dan sekolah menngah dalam TAB. Virus kemudian dipanen dan
umum dimana banyak orang-orang dilakukan proses hilir, seperti inaktivasi
berkumpul bersama (Utama, 2007). dengan eter atau formaldehid, pelarutan, dan
Gambar berikut adalah contoh pemurnian (Utama, 2007). Inaktivasi
produksi Influvac R, vaksin mengakibatkan virus mati dan
influenza produk solvaypharma. Secara terurai, namun protein hemagglutinin (H)
dan
neuraminidase (N) yang berfungsi sebagai antigen tetap utuh. Setelah
itu, vaksin dicampur dengan stabilisator agar kedua protein tetap stabil dalam
jangka waktu tertentu. Kemudian dilakukan uji potensi, spesifikasi, dan lain-
lain. Masing-masing bulk dari satu tipe virus dicampur sesuai dengan
target tipe virus, dan dilakukan control kualitas seperti uji potensi dan
tingkat sterilitas. Tetapi sangat disayangkan, virus H5N1 sendiri tidak bisa
berkembangbiak dengan baik di dalam sel TAB. Karena virus ini adalah
virus yang pathogen terhadap burung, virus ini langsung membunuh sel-sel
burung yang diinfeksinya, termasuk sel TAB yang digunakan untuk produksi
vaksin. Karena untuk berkembangbiak virus memerlukan sel, jika sel cepat
mati akan tisak mungkin untuk mendapatkan virus dalam jumlah yang
banyak yang duperlukan untuk produksi vaksin (Utama, 2007).
2.5 Pengembangan Vaksin Influenza Pandemik Berbasis Rekayasa Genetika
Virus Influenza H5N1 berdasarkan patogenitasnya terbagi menjadi highly
pathogenic Avian influenza (HPAI) dan Low pathogenic avian influenza
(LPAI). HPAI, virus Inlfuenza A H5N1 di Indonesia pertama kali
ditemukan pada peternakan ayam pada tahun 2003. Kasus infeksi virus
influenza A H5N1 pada manusia, pertama kali ditemukan pada tahun 2005,
merupakan kasus family cluster pertama.[3] Pada kasus tersebut 3 anggota
keluarga yang terinfeksi meninggal dunia. Sejak tahun 2005 sampai tahun
2012 total kasus flu burung adalah 191 kasus, 159 pasien terinfeksi di
antaranya meninggal dunia. Kasus infeksi flu burung mencapai puncak pada
tahun 2006 dan cenderung menurun
pada tahun-tahun berikutnya. Kasus yang terjadi selama tahun 2012 periode
Januari sampai Agustus, telah diidentifikasi sebanyak 8 kasus dan semua penderita
meninggal dunia. Jumlah kasus pada manusia yang terbatas kemungkinan
dipengaruhi oleh sifat virus yang belum mampu menular antar manusia secara
efisien, walaupun begitu dikarenakan kemampuan virus untuk melakukan
antigenic shift dan antigenic drift ada kemungkinan virus H5N1 dapat berubah
sifat (Ibrahim, dkk., 2012).
Salah satu upaya untuk menghadapi kemungkinan pandemic H5N1 adalah
dengan vaksinasi. Vaksinasi ditujukan untuk mempersiapkan respon kekebalan
tubuh suatu individu terhadap infeksi. Pada infeksi Infuenza sistem kekebalan
humoral yang berperan dalam pelindungan terhadap infeksi adalah IgG dan IgA.
Antibodi terhadap terhadap Hemaglutinin merupakan antibody paling penting
yang dapat menetralisasi virus dan mencegah proses infeksi. Antibodi netralisasi
akan mencegah penempelan virus pada sel hospes, mencegah masuknya virus ke
dalam sel dan mencegah proses pelepasan selubung virus (uncoating) akan
mengikat virus sehingga virus tidak dapat menginfeksi sel target (Ibrahim, dkk.,
2012).
Salah satu preparat vaksin influenza yang dikembangkan oleh beberapa
peneliti adalah vaksin protein subunit Hemaglutinin yang diproduksi di dalam
sistem prokariota. Penggunaan sistem prokariota selain mudah, juga efisien,
memungkinkan produksi vaksin skala besar dalam jangka waktu pendek.
Vaksin
subunit hemaglutinin telah dibuktikan oleh beberapa peneliti dapat menginduksi
kekebalan tubuh yang dapat melindungi hewan coba dari infeksi virus. Beberapa
peneliti melakukan beberapa strategi untuk meningkatkan efisiensi produksi
protein rekombinan dalam sistem prokariota, antara lain dengan melakukan
optimasi kodon. Optimasi kodon ini dilakukan untuk menghilangkan bias kodon
yang dapat menghambat produksi protein rekombinan pada sistim prokariota.
Selain itu bias kodon juga dapat diatasi dengan menggunakan bakteri dengan
tRNA mengandung antikodon yang telah dioptimasi. Konstruksi plasmid
rekombinan pengekspresi protein hemaglutinin utuh dan subunit HA1 dalam
sistem prokariota telah berhasil diperoleh. Penelitian ini ditujukan untuk
mengekspreskan protein hemaglutinin dalam sistem prokariota yang akan
dikembangkan menjadi vaksin protein subunit (Ibrahim, dkk., 2012).
Konstruksi plasmid rekombinan telah dilakukan dan diperoleh
menggunakan pQE80L dengan sisipan gen hemaglutinin. Plasmid pengekspresi
HA utuh merupakan plasmid pQE80L mengandung sisipan gen hemaglutinin
virus H5N1 isolat asal ayam tahun 2007. Plasmid pengekspresi sub unit HA1
mengandung sisipan HA1 virus H5N1 isolat asal ayam tahun 2007 (Ibrahim, dkk.,
2012).
Bakteri Escherichia coli BL21 plys dan E.coli BL21 codon plus (Novagen)
digunakan untuk mengekspresikan protein HA utuh dan sub unit HA1.
Transformasi dilakukan pada BL21 pLys dan BL21 codon Plus, kemudian koloni
ditanam pada media LB mengandung 100 _g/ml ampisilin dan 50 _g/ml
Kloramfenikol. Kultur semalam selanjutnya ditanam pada media cair Terific
mengandung 0.17 M KH2PO4 dengan perbandingan bakteri dan media 1:10.
Dalam penelitian ini dilakukan optimasi suhu inkubasi bakteri dan lama inkubasi
kultur bakteri sebelum diinduksi, serta lama induksi. Konsentrasi IPTG yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 1mM. Analisis protein rekombinan
dilakukan dengan pewarnaan biru komasi (Ibrahim, dkk., 2012).
Purifikasi protein rekombinan dilakukan dengan menggunakan NiNTA.
Bakteri mengandung protein rekombinan dilarutkan dalam buffer Setelah
disonikasi bakteri disentrifugasi 8000 rpm selama 30 menit pada suhu 4
°C. Prosedur purifikasi protein selanjutnya dilakukan sesuai prosedur yang
dijelaskan oleh Qiagen (Ibrahim, dkk., 2012).
Verifikasi protein dilakukan dengan uji western blot. Transfer protein
rekombinan dari SDS page ke membrane nitroselulose dilakukan dengan metode
semidry (BioRad). Blocking dilakukan menggunakan BSA 1%. Antibody
poliklonal mencit terhadap protein Hemaglutinin dan terhadap sub unit HA1
digunakan sebagai antibody pertama dan diinkubasikan semalaman pada suhu
4 °C. Antibodi kedua berupa anti terhadap antibody mencit berlabel biotin
ditambahkan dan diinkubasikan pada suhu ruang selama 1 jam. Setelelah
penambahan streptavidin-HRP, pita protein rekombinan divisualisasi dengan
menambahkan substrat kromogenik Novek (Sigma) (Ibrahim, dkk., 2012).
Konstruksi pembuatan plasmid rekombinan pengekspresi protein
hemaglutinin utuh dan HA 1 virus influenza A H5N1 telah berhasil dilakukan dan
diverifikasi, merupakan sebagian produk yang diperoleh dalam penelitian
pengembangan vaksin influenza berbasis rekayasa genetik. Plasmid rekombinan
diperoleh menggunakan pQE80L dengan sisipan berupa gen HA dan HA1. Hasil
verifikasi menggunakan analisis sekuensing memperlihatkan susunan sekuen
sesuai dengan diharapkan (Ibrahim, dkk., 2012).
Ekspresi protein dilakukan pada bakteri BL21 pLys dan BL21 codon plus
menggunakan 2 macam suhu berbeda, 37 °C dan 27 °C. Hasil menunjukkan
bahwa protein rekombinan tidak dapat diekspresikan oleh BL21 pLys yang
ditumbuhkan pada suhu 27 °C dan 37 °C (GAMBAR 1). Protein rekombinan
dapat diekspresikan oleh BL21 codon plus (DE3)-RIPL pada suhu inkubasi 27 °C
dan 37 °C, dengan ukuran HA utuh dan HA1 berturut-turut 58 dan 38 kDa
(GAMBAR 2). Bakteri BL21 codon plus (DE3)-RIPL yang dipergunakan dalam
penelitian ini mengandung tRNA yang dioptimasi untuk kodon mamalia, antara
lain AGA, AGG, AUA, CCC dan CUA (Ibrahim, dkk., 2012).
Hasil menunjukkan bakteri yang mempunyai tRNA teroptimasi dapat
mengekspresikan protein hemaglutinin yang berasal dari isolat ayam. Perbedaan
kodon antara virus dan bakteri yang menyebabkan protein ini tidak dapat
diekspresikan pada BL21 pLys. Seperti dijelaskan oleh Plotkin dan Kudla,
perbedaan kodon mempengaruhi ekspresi gen yaitu dari tahap pemrosesan RNA
sampai ke translasi protein (Ibrahim, dkk., 2012). Optimasi kodon dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu optimasi kodon dilakukan pada DNA yang akan
diekspresikan dan penggunaan bakteri mengandung tRNA penyandi rare codon
seperti BL21 codon plus RILP. Optimasi kodon dengan cara pertama lebih akurat
dibandingkan cara kedua karena kodon dapat disesuaikan dengan organisme yang
akan digunakan untuk mengekspresikan. Optmasi cara ini memerlukan biaya lebih
tinggi untuk sintesis gen dan memerlukan penggunaan piranti lunak untuk
merubah kodon. Optimasi kodon dengan menggunakan bakteri yang mengandung
tRNA teroptimasi kurang akurat dibandingkan cara pertama, namun lebih
menguntungkan secara ekonomis (Ibrahim, dkk., 2012).

Purifikasi protein dilakukan dengan menggunakan pengikatan asam amin 6_His


yang difusikan dengan protein rekombinan. Tahap awal purifkasi adalah
mengeluarkan protein rekombinan dari dalam sel dengan cara sonikasi. Setelah
dlakukan pemisahan dengan sentrifugasi menunjukkan protein rekombinan dapat
ditemukan pada fraksi pelet dan supernatan (GAMBAR 3 dan GAMBAR 4).
Keberadaan protein dalam pellet mengindikasikan protein terdapat dalam badan
inklusi. Hasil analisis pewarnaan komasi menunjukkan adanya/ protein
rekombinan yang tidak terikat pada NiNTA, tampak pada line flow through.
Berdasarkan analisis komasi juga masih ditemukan protein tidak spesifik pada
elusi 1 dan 2 selain proten spesifik HA1 berukuran 38 kDa (GAMBAR 3 lajur 7
dan 8). Protein tidak spesifik juga ditemukan pada hasil elusi HA utuh (58 kDa)
(GAMBAR 4 lajur 7 dan 8). Teknik Western blot menggunakan serum mencit
yang divaksinasi dengan protein sub unit menunjukkan protein rekombinan
dikenali oleh serum yang bersesuaian (GAMBAR 5) (Ibrahim, dkk., 2012). elusi
1 dan 2 selain proten spesifik HA1 berukuran 38 kDa (GAMBAR 3 lajur 7 dan
8). Protein tidak spesifik juga ditemukan pada hasil elusi HA utuh (58 kDa)
(GAMBAR 4 lajur 7 dan 8). Teknik Western blot menggunakan serum mencit
yang divaksinasi dengan protein sub unit menunjukkan protein rekombinan
dikenali oleh serum yang bersesuaian (GAMBAR 5) (Ibrahim, dkk., 2012).
Protein yang dihasilkan dalam penelitian ini merupakan protein dalam
keadaan native. Diharapkan protein tersebut mempunyai struktur menyerupai
HA pada selubung virus dan masih mengandung epitop yang diperlukan untuk
aktivasi sistim kekebalan tubuh. Hasil penelitian Khurana et al.dan Verma et
al.menunjukkan protein HA1 dapat mengalami oligomerisasi saat diekspresikan
dalam E.coli dalam makalah yang sama Kurana juga menyebutkan penentu
struktur trimerik Hemaglutinin terletak pada asam amino pada bagian karboksil.
Protein HA1 rekombinan telah terbukti selain dapat membentuk struktur
oligomerik, juga dapat menimbulkan antibodi protective yang dapat melindungi
hewan coba dari infeksi virus saat uji tantang (Ibrahim, dkk., 2012). Ekspresi
Hemaglutinin dalam bentuk utuh yang mengandung sub unit HA1 dan HA2
diharapkan dapat merangsang sistem kekebalan tubuh lebih baik dibandingkan
ekspresi protein dalam bentuk sub unit HA1 atau HA2. Pada saat protein
rekombinan HA utuh masuk jalur endositosis sel penjamu, diharapkan cleavage
site akan terpotong oleh protease sel dan mengakibatkan fusion peptideyang
terdapat pada HA2 terpapar dan berfusi dengan membrane endosom yang
mengakibatkan protein rekombinan akan dikeluakan ke sitoplasma. Proses
pembukaan HA2 selain diharapkan dapat meningkatkan kuantitas epitope juga
diharapkan dapat merangsang jalur sel sitotoksik melalui pengenalan protein
rekombinan yang keluar dari reticulum endoplasmik oleh Major
Histocompatibility complex (MHC) kelas I (Ibrahim, dkk., 2012).
2.6 Genetik Terbalik/Reverse Genetic
Dengan berkembangnya teknik genetik terbalik untuk virus RNA sens-
negatif, maka saat ini hasil gen virus influenza sudah dapat dimanipulasi secara
langsung dan virus rekombinan yang baru sudah dapat dibuat. Pendekatan ini
berpotensi dipakai untuk membuat vaksin interpandemi (Setiawan, 2008). Untuk
mengantisipasi pandemic virus H5N1 harus dikembangkan vaksin H5N1. Karena
kultur virus H5N1 di TAB tidak bisa menghasilkan virus yang cukup untuk
produksi vaksin, perlu dicari cara lain untuk mengkulturkan virus tersebut. Salah
satu usaha yang dilakukan adalah dengan cara mengkulturkan virus di cell line. Tapi
cara ini masih dalah pengembangan, belum sampai pada hasil akhir untuk produksi
vaksin. Cara lain adalah merubah sifat virus H5N1 agar bisa berkembangbiak di
TAB. Artinya, virus H5N1 yang pathogen terhadap TAB diubah dengan rekayasa
genetika, sehingga tidak pathogen terhadap TAB. Hasilnya virus bisa tumbuh di
TAB dan bisa dipanen untuk dijasikan vaksin. Teknik rekayasa genetika ini
dinamakan reverse genetic, yang merupakan pendekatan untuk menemukan fungsi
dari suatu gen. Ini bertolak belakang dengan forward genetic. Jika forward genetic
mencari dasar genetika dari suatu fenotip, reverse genetic mencari kemungkinan
fenotup yang berasal faktor genetika yang spesifik atau sekuens tertentu (Utama,
2007).
Dalam hal ini, 8 segmen dari gen virus H5N1 diklon dan dimanupulasi
dengan merubah bagian sekuens gen yang mengkodekan protein H yang
berpengaruh pada pathogen. Delapan segmen tersebut kemudian ditransfeksikan ke
dalam sel dan didapatkan virus H5N1 yang tidak patogen terhadap sel dan
diharapkan juga tidak pathogen terhadap sel TAB. Dengan demikian, virus bias
berkembangbiak dengan baik di TAB dan bisa digunakan untuk produksi vaksin.
Tidak sekedar itu, tapi virus H5N1 yang tidak pathogen atau berpatogen rendah ii
juga membuat manusia/pekerja yang melakukan produksi vaksin H5N1 ini tela
disiapkan oleh laboratorium yang tergabung dalam WHO Global Influenza
Network. Prototype ini akan digunakan selanjutnya untuk produsi vaksin H5N1
(Utama, 2007).

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

1. Influenza adalah penyakit infeksi pernapasan yang disebabkan infeksi


virus influenza yang bisa terjadi baik pada anak-anak maupun orang
dewasa. Ada dua pendekatan untuk penanggulangan penyakit ini, yaitu
pengobatan dengan obat antivirus dan pencegahan dengan vaksinasi.
2. Terdapat berbagai macam vaksin influenza seperti vaksin virus mati
utuh, vaksin subunit, vaksin virus influenza hidup yang dilemahkan,
vaksin yang ditambah adjuvant, vaksin virus dari biakan sel, vaksin asam
nukleat, dan vaksin rekombinan.
3. Vaksin rekombinan influenza telah dipersiapkan dari protein
hemaglutinin dan neuraminidase rekombinan yang diekspresikan oleh
baculovirus dalam sel serangga. Hemaglutinin rekombinan ditoleransi
dengan sangat baik oleh orang dewasa muda dan tua. Terdapat efek dose
response. yang sangat bermakna terhadap vaksin hemaglutinin H1 dan
H3.
DAFTAR PUSTAKA

Utama, A., 2007, Produksi Vaksin Influenza, Bio Trends, 2(1).

Ibrahim, F., Budiman Bela, Silvi Tri Widyaningtias, dan Lydia Mursida, 2012,
Pengembangan Vaksin Influenza Pandemik Berbasis Rekayasa Genetika:
Ekspresi protein Hemaglutinin virus Influenza A H5N1 dalam sistim
ekspresi prokariota, Prosiding InSINas.

Setiawan, I.M., 2008, Vaksin Virus Influenza, Maj Kedokt Indon, 58(12).

Dyah Ayu Widiastuti, 2017. Terapi Gen: Dari Bioteknologi Untuk Kesehatan
Gene Therapy: From Biotechnology To Health. Jurnal Biologi, 10 (01)
2017
Muhammad Yusuf. 2018 Regulasi Ekspresi Gen. I . Biologi. UNPAD : Bogor

Sutarno, 2016. Rekayasa Genetik Dan Perkembangan Bioteknologi Di Bidang


Peternakan. Jurnal Biologi. V0O 13 (1)

Anda mungkin juga menyukai