Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH KELOMPOK

PSIKOLOGI FORENSIK

Disusun oleh:

Fakhira 17011146

Nurul Atika 17011047

Dhea Safira Hendrika 17011143

Nathasia Aini Gaumena 17011285

Dosen Pengampu :

Tesi Hermaleni, S.Psi.,M.Psi.

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2020
A. Pengertian Neuropsikologi
Neuropsikologi mempelajari hubungan antara otak dan perilaku, disfungsi
otak dan defisit perilaku, dan melakukan asesmen dan treatment untuk
perilaku yang berkitan dengan fungsi otak yang terganggu. Sebagian ilmu
neuropsikologi dianggap salah satu bagian dari biopsikologi. Bidang lainnya
yang juga termasuk biopsikologi, psikologi faal, psikofarmakologi,
psikofisiologi, dan psikologi perbandingan. Neuropsikologi adalah interface
neurologi dan neurosains, yang dipacu oleh kemajuan yang sangat pesat
dalam penelitian biokimia, ilmu faal, histologi susunan syaraf pusat.
Selama 40 tahun terakhir, neuropsikologi klinis telah menetapkan prinsip
hubungan otak-perilaku dan metodologi yang valid dan andal untuk
mengukur hubungan ini. Prinsip dan metodologi ini memungkinkan
neuropsikolog klinis untuk memberikan informasi khusus kepada trier
fakta untuk digunakan dalam proses pengambilan keputusan hukum.
American Board of Professional Neuropsychology (ABPN) menambahkan
subspesialisasi dalam neuropsikologi forensik ke dalam proses
sertifikasi. Pertumbuhan Neuropsikologi Forensik merupakan akibat langsung
dari pertumbuhan di bidang neuropsikologi klinis. 

B. Neuropsikologi dalam psikologi Forensik


Neuropsikologi Forensik adalah subspesialisasi neuropsikologi klinis yang
secara langsung menerapkan prinsip dan praktik neuropsikologi pada hal-hal
yang berkaitan dengan pengambilan keputusan hukum . Seorang
neuropsikologis forensik seringkali dipanggil untuk menjadi saksi ahli baik
pada kasus-kasus kriminal atau kasus-kasus sipil untuk memberikan pendapat
mereka di pengadilan tentang isu-isu yang terkait.
Dalam membahas alasan tumbuhnya neuropsikologi forensik, Taylor
(1999) menawarkan lima faktor yang dianggap signifikan dalam menjelaskan
kemunculan neuropsikologi sebagai ahli litigasi. Faktor-faktor ini adalah (a)
populasi cedera otak traumatis (TBI) yang meningkat, (b) perkembangan
organisasi advokasi, (c) munculnya neurolaw ( Pendekatan Taylor untuk
proses yang melibatkan cedera neurologis), (d) peningkatan pasokan
neuropsikolog, dan (e) respons sistem hukum.

C. Peran utama neuropsikolog


Peran utama yang dimainkan oleh neuropsikolog dalam setting forensik
adalah sebagai saksi ahli atau pemeriksa ahli independen. Neuropsikolog
sering diminta untuk melakukan evaluasi dan memberikan pendapat tentang
keberadaan dan kemungkinan penyebab gangguan kognitif pada penggugat
atau penggugat. Ini mungkin memerlukan ahli saraf untuk memberikan
kesaksian mengenai pendapatnya, kadang-kadang melakukan pemeriksaan
silang yang intens dari pengacara lawan (Bick, 1999).
Neuropsikolog bukanlah seorang dokter, tetapi doktor psikologi (S3) yang
bidang studinya berfokus pada otak dan fungsinya. Tes-tes neuropsikologis di
desain untuk mengetahui kapasitas otak terkait memori jangka panjang dan
jangka pendek, penalaran abstrak, perhatian, konsentrasi, fungsi eksekutif,
kemampuan motorik dan faktor-faktor psikologis dan kognitif lainnya.
Seorang ahli neuropsikologi forensik memberikan informasi penting untuk
kasus-kasus hukum dimana isu-isunya terkait dengan dimensi-dimensi
demensia, kerusakan otak, retardasi mental, fungsi intelektual, gangguan
mental, dan/atau trauma. Ia juga akan mengidentifikasikan bagaimana otak
berfungsi pada individual dan social melibatkan tidak hanya ilmu
pengetahuan dan pengetahuan medis.
Neuropsikologi forensik mengidentifikasikan perilaku normal dari otak
dan gangguan-gangguan otak yang memproduksi perilaku-perilaku kriminal
dan juga luka. Neuropsikologi forensik mempelajari struktur kongenital otak
dan keseimbangan kimiawi yang memiliki dampak negatif pada perilaku-
perilaku sosial. Beberapa psikolog percaya bahwa agresi terjadi karena
adanya  reaksi biokimia yang menstimulasi neurotransmitter tertentu di otak
yang merangsang sifat agresi predator pada manusia. Hubungan antara
neurotransmitter-neurotransmiter ini dan kimia yang menstimulasi adalah
fokus dari neuropsikologi dengan tujuan untuk memahami asal dari perilaku
kriminal.
D. Survei praktik forensik
Meskipun baru, bidang neuropsikologi forensik telah berkembang secara
signifikan dalam 20 tahun terakhir. Beberapa survei praktik telah dilakukan
yang menggambarkan pertumbuhan dan pentingnya neuropsikologi forensik
(Guilmette, Faust, Hart, & Arkes, 1990; Putnam, 1989; Putnam & DeLuca,
1990; Putnam, DeLuca, & Anderson, 1994; Seretny, Dean, Gray, & Hartlage,
1986; Sweet & Moberg, 1990; Sweet, Moberg, & Suchy, 2000a, 2000b; dan
Sweet, Moberg, & Westergaard, 1996). Secara umum, survei ini
menunjukkan:  
1) Rujukan dari pengacara memiliki frekuensi yang sama dengan rujukan
dari ahli bedah saraf, psikolog, dokter umum, dan spesialis rehabilitasi; 
2) Neuropsikologi forensik adalah salah satu sumber pendapatan tambahan
yang paling umum; 
3) Badan hukum menyumbang hampir sepertiga dari sumber rujukan praktik
swasta
4) Psikolog yang terlibat dalam pekerjaan forensik memiliki pendapatan lebih
tinggi daripada mereka yang tidak; 
5) Praktisi psikolog menghabiskan lebih banyak waktu dalam aktivitas
neuropsikologis forensik; 
6) Hanya neurologi dan psikiatri yang merupakan sumber rujukan yang lebih
penting daripada pengacara; 
7) Di antara praktisi swasta, pengacara adalah sumber rujukan teratas.
Bukti lain untuk pertumbuhan dan pentingnya neuropsikologi forensik adalah
meningkatnya jumlah presentasi tentang topik ini pada pertemuan nasional, serta
meningkatnya jumlah publikasi yang ditinjau oleh sejawat. 

B. XYY

Menurut Price,W & Whatmore,P (1967) XYY dikenal sebagai sindrom


Jacob. Sindrom Jacob merupakan kelainan kromosom yang terjadi pada pria.
Sindrom Jacob yaitu adanya penambahan kromosom Y. Pada tahun 1965, Jacobs
mempublikasikan temuan awal mereka dari survei kromosom di rumah sakit di
Scotland. Dari 315 subjek pria, ditemukan 9 orang dengan kromosom XYY.
Penelitian ini menunjukkan perbedaan antara pria kromosom XY dan pria dengan
kromosom XYY dirumah sakit yang sama.

Pria dengan kromosom XYY melakukan kejahatan lebih banyak


dibandingkan dengan kromosom XY. Selain itu, Intelligence Quotient (IQ) 7 pria
dari 9 pria dengan kromosom XYY dibawah normal. . Pria dengan kromosom
XYY pada penelitian ini dinilai sebagai antisosial. Gambaran pria dengan
kromosom XYY yang berada dirumah sakit ini yaitu orang-orang yang sangat
tidak bertanggung jawab dan belum dewasa yang kelalaiannya menimbulkan
kekhawatiran.

C. Intelegensi

Intelegensi yang tajam dapat menilai realitis, maka semakin mudah dalam
menyesuaikan diri dengan masyarakat, sebaliknya apabila seseorang memiliki
intelegensi yang rendah maka akan sulit untuk menyesuaikan diri dengan
masyarakat, sehingga orang itu akan merasa semakin jauh dari kehidupan
masyarakat, dan tidak sanggup melakukan sesuatu, sehingga orang tersebut akan
merasa tertekan dan mencari jalan sendiri yang menyimpang dari norma yang ada
di masyarakat.

Hendry Goddard menyatakan bahwa 20-50% narapidana feebleminded dan


tidak mampu mengatur dirinya. Wilson dan Herrnstein menyimpulkan bahwa ada
hubungan antara inteligensi dengan kriminalitas. Pelaku kriminal biasanya
mempunyai inteligensi yang rendah. intelegensi dan rasionalitas merupakan ciri-
ciri fundamental manusia dan menjadi dasar untuk memberikan penjelasan
perilaku manusia, baik yang bersifat perseorangan maupun kelompok, maka
masyarakat dibentuk sebagaimana adanya sesuai dengan pola yang
dikehendakinya. Ini berarti bahwa manusia mengontrol nasibnya sendiri, baik
sebagai individu maupun masyarakat. Begitu pula kejahatan dan penjahat pada
umumnya dipandang dari sudut hukum, artinya kejahatan adalah perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang pidana, sedangkan penjahat adalah orang yang
melakukan kejahatan. Kejahatan dipandang sebagai hasil pilihan bebas dari
individu yang menilai untung ruginya melakukan kejahatan.

Pada beberapa faktor dalam kriminalistas, intelegensi yang rendah menjadi


pemicu munculnya perilaku kriminal. Intelgensi yang rendah menujukan
keterampilan belajar yang kurang baik, mengambil keputusan yang tidak masuk
akal, kurang dalam mencari pekerjaan dan penghasilan dan lain sebagainya.
Namun, inteligensi nyatanya adalah aspek kriminalitas yang relatif kecil
dibandingkan dengan lebih banyak variabel sosial lain. Faktor risiko lain untuk
kejahatan memiliki pengaruh yang jauh lebih kuat daripada IQ, misalnya seperti
sikap, nilai, keyakinan dan perilaku seperti bergaul dengan pelaku kejahatan
lainnya. Menurut Howitt, intelegensi menjadi faktor yang relatif rendah dalam
faktor kriminalitas dibandingkan dengan faktor -faktor lain seperti, sifat,
keyakinan, dan pengaruh lingkungan yang buruk.

D. Attachment

Attachment/ kelekatan adalah mengarah kepada ikatan emosional untuk


mencari dan memelihara kedekatan dengan seseorang yang menghadirkan
perasaan aman baik psikis dan fisik ( Damayanti, 2010).

Attachment atau kelekatan dibagi menjadi dua macam yaitu:

1. Secure attachment (perasaan aman)


Kelekatan yang aman anatara anak dan orang tua ditandai dengan terjalinnya
rasa percaya dan komunikasi yang baik. Individu yang memiliki kelekatan
aman dengan orang tua memiliki skor kepercayaan dan komunikasi yang
tinggi dan skor rendah untuk rasa pengabaian dan terkucilkan. Kepercayan
mengarah kepada rasa bahwa orang tua dapat mengerti, sensitif dan responsif
terhadap keadaan emosional dan komunikasi verbal.
2. Insecure attachment ( kelekatan yang tidak aman )
Kelekatan yang tidak aman ditandai dengan adanya ketakutan dan
keterkucilan. Rasa keterkucilan mengacu kepada pada perasaaan yang
diasingkan, marah, dan hubungan yang tidak dekat dengan orang tua (Aulya
Purnama & Wahyuni, 2018)
Attachmen /kelekatan berhubungan erat dengan keterikatan emosional.
Hubungan emosional yang baik dengan orang terdekat akan tercapainya
kematangan emosi yang baik. (Natalia & Lestari, 2015). Perilaku negatif atau
kriminal remaja seperti seks bebas, tawuran dan narkoba salah satunya
disebabkan oleh ketidak matangan emosi. Paramitasari dan Alfian, 2012
(dalam Natalia & Lestari 2015 ) kematangan emosi yaitu kemampuan
seseorang dalam strategi manajemen ekspresi emosi yang baik sehingga bisa
mendapatkan solusi yang baik dan positif dalam menyelesaikan masalah.
Ketika seseorang tidak bisa menyelesaikan masalah secara positif akan
menghasilkan perilaku yang negatif yang merugikan manusia lainnya.

.
DAFTAR PUSTAKA

Essig, S. M., Mittenberg, W., Petersen, R. S., Strauman, S., & Cooper, J. T.
(2001). Practices in forensic neuropsychology: Perspectives of
neuropsychologists and trial attorneys. Archives of Clinical
Neuropsychology, 16(3), 271-291.
Hom, J. (2003). Forensic Neuropsychology: are we there yet?. Archives of
Clinical Neuropsychology, 18(8), 827-845.
Morgan, J. E., & Ricker, J. H. (Eds.). (2016). Textbook of clinical
neuropsychology. Taylor & Francis.
Price,W & Whatmore,P. (1967). Criminal behaviour and the xyy male. Nature
213, 815
Muliadi, S. (2015). Aspek Kriminologis Dalam Penanggulangan Kejahatan. FIAT
JUSTISIA: Jurnal Ilmu Hukum, 6(1).
Aulya Purnama, R., & Wahyuni, S. (2018). Kelekatan (Attachment) pada Ibu dan
Ayah Dengan Kompetensi Sosial pada Remaja. Jurnal Psikologi, 13(1),
30. https://doi.org/10.24014/jp.v13i1.2762
Damayanti. N. (2015). Hubungan antara tipe kelekatan (attachment style) dengan
kecemburuan pada pasangan berpacaran mahasiswa fakultas psikologi.
Skripsi. Tidak diterbitkan. Fakultas Psikologi. Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah. Jakarta
Natalia., C & Lestari., D. M . (2015). Kematangan emosi remaja akhir di
denpasar. Jurnal Psikologi Udayana, 2(1), 78–88.

Anda mungkin juga menyukai