KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas seluruh kurunia-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan sebuah Buku berisi Rangkuman Materi dengan tema “Model Konsep Infeksi
Nosokomial ”, buku yang menurut kami benar. Kami telah berusaha sebaik mungkin untuk
menyempurnakannya. Namun, kami menyadari masih dalam proses belajar sehingga masih banyak
Oleh sebab itu, bimbingan dan arahan dari dosen, kami harapkan agar buku ini dapat
menjadi lebih baik lagi. Kami mempersembahkan karya ini untuk semua teman kami, untuk kedua
orangtua kami, untuk dosen kami, dan untuk kepentingan bersama dalam menciptakan tenaga-
Berhubungangan dengan hal tersebut, semoga buku yang sederhana ini dapat dijadikan
pedoman dalam proses pembelajaran keperawatan kedepannya. Kritik dan Saran senantiasa
dinantikan agar makalah ini menjadi lebih baik dimasa mendatang amin.
II
Mataram, Agustus 2021
Penyusun
DAFTAR ISI
Contents
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................II
DAFTAR ISI..................................................................................................................................................III
INFEKSI NOSOKOMIAL.................................................................................................................................1
A. PENGERTIAN INFEKSI NOSOKOMIAL..........................................................................................1
Hal-hal yang berhubungan dengan infeksi nosokomial : (Panjaitan, B, 1989)......................................3
Batasan-Batasan Infeksi Nosokomial........................................................................................................3
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial....................................................4
Penyebab Infeksi Nosokomial....................................................................................................................5
Proses Penularan Infeksi Nosokomial......................................................................................................7
Tanda dan gejala Infeksi............................................................................................................................9
Dampak Infeksi Nosokomial......................................................................................................................9
B. PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI (PPI)................................................................................10
Kewaspadaan Isolasi.................................................................................................................................11
Alat Pelindung Diri (APD).......................................................................................................................15
Penetapan Jenis APD................................................................................................................................19
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan APD.........................................................................20
Kepatuhan Penggunaan APD...................................................................................................................22
Hand Hygiene / Mencuci Tangan.............................................................................................................23
Healthcare-Asssociated Infections (HAIs)...............................................................................................24
Rantai Penularan......................................................................................................................................26
Yang Harus Diperhatikan Keluarga dan Pengunjung dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial......27
C. MENGURANGI RESIKO CIDERA PASIEN AKIBAT TERJATUH.............................................28
III
SKALA RESIKO JATUH HUMPTHY DUMPTY UNTUK PEDIATRIK................................................35
SKALA RESIKO JATUH MORSE UNTUK DEWASA...........................................................................37
D. MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN UNTUK MEGATASI MASALAH INFEKSI
NOSOKOMIAL DI RUMAH SAKIT.........................................................................................................38
a. Manajemen Untuk Mengatasi Masalah Infeksi Nosokomial.........................................................38
b. Kebijakan Untuk Mengatasi Masalah Infeksi Nosokomial............................................................42
c. Dasar Hukum....................................................................................................................................43
E. MONITOR DAN EVALUASI DALAM MENGATASI MASALAH INFEKSI NOSOKOMIAL..44
KUMPULAN SOAL.................................................................................................................................46
IV
INFEKSI NOSOKOMIAL
A. PENGERTIAN INFEKSI NOSOKOMIAL
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang muncul selama seseorang dirawat atau setelah
selesai dirawat atau setelah selesai dalam masa perawatan. Secara umum, pasien yang masuk
rumah sakit dan menunjukkan gejala infeksi setelah 72 jam pasien berada di rumah sakit
(Utama, 2006).
Nosokomial berasal dari bahasa Yunani, dari kata nosos (penyakit) dan komeion
(merawat). Nosoconion (atau menurt Latin, nosocomium) berarti tempat untuk merawat atau
Infeksi nosokmial adalah infeksi yang didapat oleh penderita, ketika penderita dalam
proses asuhan keperawatan di rumah sakit. Batasan infeksi nosokomial dalam suatu infeksi
dikatakan didapat dari rumah sakit apabila memiliki ciri-ciri yaitu pada saat penderita mulai
dirawat dirumah sakit tidak sedang dalam masa inkubasi dari infeksi tersebut, saat penderita
mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut, tanda-
tanda infeksi tersebut timbul sekurang-kurangnya setelah 3x24 jam sejak mulai perawatan, saat
dirawat di rumah sakit tanda-tanda infeksi sudah ada infeksi tersebut terbukti didapat dari
rumah sakit yang sama pada waktu yang lalu, dan belum pernah dilaporkan sebagai infeksi
Infeksi nosokomial atau infeksi yang diperoleh dari rumah sakit adalah infeksi yang
tidak diderita pasien saat masuk ke rumah sakit melainkan setelah ± 72 jam berada di tempat
tersebut (Karen Adams & Janet M. Corrigan, 2003). Infeksi ini terjadi bila toksin atau agen
penginfeksi menyebabkan infeksi lokal atau sistemik (Karen Adams & Janet M. Corrigan,
2003). Contoh penyebab terjadinya infeksi nosokomial adalah apabila dokter atau suster
merawat seorang pasien yang menderita infeksi karena mikroorganisme patogen tertentu
1
kemudian mikroorganisme dapat ditularkan ketika terjadi kontak (Steven Jonas, Raymond L.
Goldsteen, Karen Goldsteen, 2007). Selanjutnya, apabila suster atau dokter yang sama merawat
pasien lainnya, maka ada kemungkinan pasien lain dapat tertular infeksi dari pasien
sebelumnya.
Infeksi nosokomial ini dapat berasal dari dalam tubuh penderita maupun luar tubuh.
Infeksi endogen disebabkan oleh mikroorganisme yang semula memang sudah ada didalam
tubuh dan berpindah ke tempat baru yang kita sebut dengan self infection atau auto infection,
sementara infeksi eksogen (cross infection) disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari
rumah sakit dan dari satu pasien ke pasien lainnya (Soeparman, 2001).
Infeksi nosocomial adalah infeksi yang terdapat dalam sarana kesehatan. Sebetulnya
rumah sakit memang sumber penyakit. Di negara maju pun, infeksi yang didapat dalam rumah
sakit terjadi dengan angka yang cukup tinggi. Misalnya, di AS, ada 20.000 kematian setiap
tahun akibat infeksi nosokomial. Di seluruh dunia, 10 persen pasien rawat inap di rumah sakit
mengalami infeksi yang baru selama dirawat – 1,4 juta infeksi setiap tahun. Di Indonesia,
penelitian yang dilakukan di 11 rumah sakit di DKI Jakarta pada 2004 menunjukkan bahwa 9,8
persen pasien rawat inap mendapat infeksi yang baru selama dirawat.
Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang disertai
suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik. Infeksi yang muncul selama seseorang tersebut
dirawat di rumah sakit dan mulai menunjukkan suatu gejala selama seseorang itu dirawat atau
setelah selesai dirawat disebut infeksi nosokomial. Secara umum, pasien yang masuk rumah
sakit dan menunjukkan tanda infeksi yang kurang dari 72 jam menunjukkan bahwa masa
inkubasi penyakit telah terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit, dan infeksi yang baru
menunjukkan gejala setelah 72 jam pasien berada dirumah sakit baru disebut infeksi
2
Hal-hal yang berhubungan dengan infeksi nosokomial : (Panjaitan, B, 1989)
1. Secara umum infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapatkan penderita selama dirawat
dirumah sakit.
2. Infeksi nosokomial sukar diatasi karena sebagai penyebabnya adalah mikro organisme /
3. Bila terjadi infeksi nosokomial, makaakan terjadi penderitaan yang berpanjangan serta
pemborosan waktu serta pengeluaran biaya yang bertambah tinggi kadangkadang kualitas
baik selamadirawat dirumah sakit ataupun diluar rumah sakit setelah berobat jalan.
5. Dengan pengendalian infeksi nosokomial akan menghembat biaya dan waktu yang terbuang.
6. Di negara yang sudah maju masalah ini telah diangkat menjadi masalah nasional, sehingga
bila angka infeksi nosokomial disuatu rumah sakit tinggi, maka izin operasionalnya
1. Apabila pada waktu dirawat di RS, tidak dijumpai tanda-tanda klinik infeksi tersebut.
2. Pada waktu penderita mulai dirawat tidak dalammasa inkubasi dari infeksi tersebut.
dirawat.
3
5. Bila pada saat mulai dirawat di RS sudah ada tanda-tanda infeksi, tetapiterbukti bahwa
infeksi didapat penderita pada waktu perawatan sebelumnya dan belum pernah dilaporkan
1. Faktor endogen (umur, seks, penyakit penyerta, daya tahan tubuh dan kondisikondisi lokal).
2. Faktor eksogen (lama penderita dirawat,kelompok yang merawat, alat medis, serta
lingkungan).
Untuk mudahnya bagaimana seorang pasien mendapat infeksi nosokomial selama dirawat di
3. Pasien mendapat infeksi nosokomial melalui pasien-pasien yang dirawat ditempat / ruangan
4. Pasien mendapat infeksi nosokomial melalui keluarga pasien yang bekunjung kerumah sakit
tersebut.
5. Pasien mendapat infeksi niosokomial melalui peralatan yang dipakai dirumah sakit tersebut.
6. Pasien mendapat infeksi nosokomial melalui peralatan makanan yang disediakan rumah sakit
7. Disamping ke-6 cara-cara terjadinya infeksi nosokomial seperti yang dinyatakan diatas,
maka faktor lingkungan tidak kalah penting sebagai factor penunjang untuk terjadinya
4
infeksi nosokomial, faktor lingkungan tersebut adalah Air, bahan yang harus di buang
Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama ia rawat di rumah sakit.
Kontak antara pasien dan berbagai macam mikroorganisme ini tidak selalu menimbulkan
gejala klinis karena banyaknya faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi
a. karakteristik mikroorganisme,
c. tingkat virulensi,
Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat menyebabkan
infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat dari
orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri
(endogenous infection). Kebanyakan infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih
disebabkan karena faktor eksternal, yaitu penyakit yang penyebarannya melalui makanan
dan udara dan benda atau bahan-bahan yang tidak steril. Penyakit yang didapat dari rumah
sakit saat ini kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya selalu ada pada
manusia yang sebelumnya tidak atau jarang menyebabkan penyakit pada orang normal,
(Ducel, 2001).
2. Bakteri
Bakteri dapat ditemukan sebagai flora normal dalam tubuh manusia yang sehat.
Keberadaan bakteri disini sangat penting dalam melindungi tubuh dari datangnya bakteri
5
patogen. Tetapi pada beberapa kasus dapat menyebabkan infeksi jika manusia tersebut
paling banyak dijumpai sebagai penyebab infeksi saluran kemih. Bakteri patogen lebih
berbahaya dan menyebabkan infeksi baik secara sporadik maupun endemik. Contohnya :
b. Bakteri gram-positif: Staphylococcus aureus yang menjadi parasit di kulit dan hidung
dapat menyebabkan gangguan pada paru, pulang, jantung dan infeksi pembuluh darah
penampungan air yang menyebabkan infeksi di saluran pencernaan dan pasien yang
dirawat. Bakteri gram negatif ini bertanggung jawab sekitar setengah dari semua
d. Serratia marcescens, dapat menyebabkan infeksi serius pada luka bekas jahitan, paru,
dan peritoneum.
3. Virus
termasuk virus hepatitis B dan C dengan media penularan dari transfusi, dialisis, suntikan
dan endoskopi. Respiratory syncytial virus (RSV), rotavirus, dan enteroviruses yang
ditularkan dari kontak tangan ke mulut atau melalui rute faecal-oral. Hepatitis dan HIV
ditularkan melalui pemakaian jarum suntik, dan transfusi darah. Rute penularan untuk virus
penyakit kulit dan dari darah. Virus lain yang sering menyebabkan infeksi nosokomial
6
adalah cytomegalovirus, Ebola, influenza virus, herpes simplex virus, dan varicella-zoster
Beberapa parasit seperti Giardia lamblia dapat menular dengan mudah ke orang
dewasa maupun anak-anak. Banyak jamur dan parasit dapat timbul selama pemberian obat
antibiotika bakteri dan obat immunosupresan, contohnya infeksi dari Candida albicans,
5. Faktor alat
Dari suatu penelitian klinis, infeksi nosokomial tertama disebabkan infeksi dari
kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi kulit, infeksi dari luka
operasi dan septikemia. Pemakaian infus dan kateter urin lama yang tidak diganti-ganti.
Diruang penyakit dalam, diperkirakan 20-25% pasien memerlukan terapi infus. Komplikasi
kanulasi intravena ini dapat berupa gangguan mekanis, fisis dan kimiawi.
2. Tidak langsung
b. Lingkungan menjadi kontaminasi dan tidak didesinfeksi atau sterilkan (Sebagai contoh
c. Penularan cara droplet infection di mana kuman dapat mencapai ke udara (air borne)
d. Penularan melalui vektor, yaitu penularan melalui hewan atau serangga yang
membawa kuman
7
Selain itu penularan infeksi nosokomial yaitu
Penularan ini dapat terjadi secara kontak langsung, kontak tidak langsung dan
droplet. Kontak langsung terjadi bila sumber infeksi berhubungan langsung dengan
oral. Kontak tidak langsung terjadi apabila penularan membutuhkan objek perantara
(biasanya benda mati). Hal ini terjadi karena benda mati tersebut telah terkontaminasi oleh
Penularan ini melalui benda mati yang telah terkontaminasi oleh kuman dan dapat
Penularan ini terjadi bila mikroorganisme mempunyai ukuran yang sangat kecil
sehingga dapat mengenai penjamu dalam jarak yang cukup jauh dan melalui saluran
pernafasan. Misalnya mikroorganisme yang terdapat dalam sel-sel kulit yang terlepas
Penularan ini dapat terjadi secara eksternal maupun internal. Disebut penularan
secara eksternal bila hanya terjadi pemindahan secara mekanis dari mikroorganisme yang
menempel pada tubuh vector misalnya shigella dan salmonella oleh lalat.
8
Penularan secara internal bila mikroorganisme masuk ke dalam tubuh vektor dan dapat terjadi
perubahan secara biologis, misalnya parasit malaria dalam nyamuk atau tidak mengalami
2. Bernapas cepat,
3. Kebingungan mental,
5. Urine output menurun,
6. Pasien dengan urinary tract infection mungkin ada rasa sakit ketika kencing dan darah
8. Radang paru-paru mungkin termasuk kesulitan bernapas dan ketidakmampuan untuk batuk.
9. Infeksi : pembengkakan, kemerahan, dan kesakitan pada kulit atau luka di sekitar bedah
atau luka
1. Menyebabkan cacat fungsional, stress emosional dan dapat menyebabkan cacat yang
2. Dampak tertinggi pada negara berkembang dengan prevalensi HIV/AIDS yang tinggi.
3. Meningkatkan biaya kesehatan diberbagai negara yang tidak mampu dengan meningkatkan
lama perawatan di rumah sakit, pengobatan dengan obat-obat mahal dan penggunaan
9
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan praktisi dalam
kebanyakan tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi
yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi pasien
maupun para profesional pelayanan kesehatan. Program yang termasuk pencegahan dan
pengendalian infeksi yaitu, (1) Tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi; (2)
Surveilans (HAIs dan Proses: audit kepatuhan petugas untuk cuci tangan dan memakai
APD); (3) Penerapan kewaspadaan isolasi; (4) Pendidikan dan pelatihan PPI; (5)
Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia, termasuk Indonesia.
Ditinjau dari asal atau didapatnya infeksi dapat berasal dari komunitas (Community acquired
infection) atau berasal dari lingkungan rumah sakit (Hospital acquired infection) yang
sebelumnya dikenal dengan istilah infeksi nosokomial. Tindakan medis yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang bertujuan untuk perawatan atau penyembuhan pasien, apabila
dilakukan tidak sesuai prosedur maka berpotensi untuk menularkan penyakit infeksi, baik bagi
pasien yang lain atau bahkan pada petugas kesehatan itu sendiri. Karena tidak dapat ditentukan
secara pasti asal infeksi, maka sekarang istilah infeksi nosokomial (Hospital acquired
infection) diganti dengan istilah baru yaitu “Healthcare-associated infections” (HAIs) dengan
pengertian yang lebih luas tidak hanya di rumah sakit tetapi juga di fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya, serta tidak terbatas infeksi pada pasien saja, tetapi juga infeksi pada petugas
kesehatan yang didapat pada saat melakukan tindakan perawatan pasien (Akib et al, 2008).
penerapan prosedur dan protokol yang disebut sebagai "pengendalian". Secara hirarkis
hal ini telah ditata sesuai dengan efektivitas pencegahan dan pengendalian infeksi
10
(Infection Prevention and Control– IPC), yang meliputi: pengendalian bersifat
administratif, pengendalian dan rekayasa lingkungan, dan alat pelindung diri (Slamet et
al, 2013).
kesehatan yang aman bagi pasien, petugas kesehatan, dan orang lain dalam perawatan
kesehatan dan lingkungan dengan cara yang hemat biaya (WHO, 2014).
Kewaspadaan Isolasi
disusun oleh CDC dan harus diterapkan di rumah sakit dan pelayanan kesehatan lainnya.
Kewaspadaan isolasi diterapkan untuk menurunkan resiko trasmisi penyakit dari pasien ke
pasien lain atau ke pekerja medis. Kewaspadaan isolasi memiliki 2 pilar atau tingkatan,
infeksi rutin dan harus diterapkan terhadap semua pasien di semua fasilitas kesehatan.
seluruh tenaga kesehatan untuk mengurangi resiko penyebaran infeksi dan didasarkan pada
prinsip bahwa darah dan cairan tubuh dapat berpotensi menularkan penyakit, baik berasal
dari pasien maupun petugas kesehatan (Nursalam, 2007). Tindakan dalam kewaspadaan
standar meliputi:
11
a. Kebersihan tangan.
d. Pengendalian lingkungan.
e. Penatalaksanaan Linen.
g. Penempatan pasien
b. Gunakan sarung tangan apabila kontak dengan darah/cairan tubuh, membrane mukosa
f. Gunakan gaun, kacamata atau pelindung wajah ketika adanya percikan atau semprotan
g. Ketika menggunakan sarung tangan kotor jangan menyentuh area bersih dari
ruangan/pasien.
12
i. Kewaspadaan berdasarkan transmisi (Transmission based Precautions).
standar, yaitu tindakan pencegahan atau pengendalian infeksi yang dilakukan setelah
jenis infeksinya sudah terdiagnosa atau diketahui (Akib et al, 2008). Tujuannya untuk
memutus mata rantai penularan mikroba penyebab infeksi, jadi kewaspadaan ini
diterapkan pada pasien yang memang sudah terinfeksi kuman tertentu yang bisa
ditransmisikan lewat udara, droplet, kontak kulit atau lain-lain (Muchtar, 2014).
transmisi:
1) Kontak langsung
luka basah saat mengganti verband, petugas tanpa sarung tangan merawat oral
13
terkontaminasi, jarum, kasa, tangan terkontaminasi dan belum dicuci atau
sarung tangan yang tidak diganti saat menolong pasien satu dengan yang
lainnya, dan melalui mainan anak. Kontak dengan cairan sekresi pasien
dilingkungan pasien.
Petugas harus menahan diri untuk menyentuh mata, hidung, mulut saat
melalui droplet ( > 5μm). Droplet yang besar terlalu berat untuk melayang di
udara dan akan jatuh dalam jarak 1 m dari sumber. Transmisi droplet melibatkan
droplet partikel besar mengandung mikroba berasal dari pasien pengidap atau
carrier dikeluarkan saat batuk, bersin, muntah, bicara, selama prosedur suction,
bronkhoskopi.
Transmisi jenis ini lebih sering terjadi daripada transmisi droplet langsung, misal:
14
c. Kewaspadaan transmisi melalui udara ( Airborne Precautions )
kewaspadaan standar terhadap pasien yang diduga atau telah diketahui terinfeksi
mikroba yang secara epidemiologi penting dan ditransmisikan melalui jalur udara.
baik yang ditransmisikan berupa droplet nuklei (sisa partikel kecil < 5μm
evaporasi dari droplet yang bertahan lama di udara) atau partikel debu yang
udara > 2m dari sumber, dapat terinhalasi oleh individu rentan di ruang yang sama
dan jauh dari pasien sumber mikroba, tergantung pada faktor lingkungan, misal
penanganan udara dan ventilasi yang penting dalam pencegahan transmisi melalui
udara, droplet nuklei atau sisik kulit luka terkontaminasi (S. aureus).
1. Pengertian APD
Diri (APD) adalah pakaian khusus atau peralatan yang digunakan oleh karyawan untuk
perlindungan diri dari bahan yang menular (Centers for Disease Control and Prevention).
APD merupakan suatu alat yang dipakai untuk melindungi diri terhadap bahaya- bahaya
kecelakaan kerja, dimana secara teknis dapat mengurangi tingkat keparahan dari kecelakaan
kerja yang terjadi. Meskipun tidak menghilangkan ataupun mengurangi bahaya yang ada
15
Muhammadiyah Gamping tahun 2015. APD merupakan solusi pencegahan yang paling
mendasar dari segala macam kontaminasi dan bahaya akibat bahan kimia. APD digunakan
untuk melindungi kulit dan membran mukosa petugas kesehatan dari resiko terpaparnya
darah, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh, dan selaput lendir pasien serta semua jenis
cairan tubuh pasien. Jenis-jenis tindakan beresiko yang menggunakan alat- alat seperti
perawatan gigi, tindakan bedah tulang, otopsi dan tindakan rutin (KEMENKES, 2010).
Alat pelindung diri bertujuan untuk melindungi dirinya dari sumber bahaya tertentu, yang
berasal dari pekerjaan maupun lingkungan pekerjaan dan sebagai usaha untuk mencegah
atau mengurangi kemungkinana cedera atau sakit (Siburian, 2012). Alat pelindung diri
tindakan keperawatan menurut Departemen Kesehatan RI, 2007 yang bekerjasama dengan
3. Jenis-Jenis APD
a. Sarung tangan
Sarung tangan digunakan oleh petugas kesehatan dianjurkan untuk dua alasan
utama, yaitu: 1) untuk mengurangi resiko kontaminasi tangan petugas kesehatan dengan
darah dan cairan tubuh pasien; 2) untuk mengurangi resiko penyebaran kuman ke
lingkungan dan transmisi dari petugas kesehatan ke pasien dan sebaliknya, serta dari
Sarung tangan steril digunakan untuk intervensi bedah dan beberapa perawatan
non-bedah, seperti kateter pembuluh darah pusat serta saat akan memegang atau kontak
dengan peralatan steril atau luka (Kozier, 2002; WHO, 2009). Sarung tangan tidak perlu
16
digunakan saat tindakan ambulasi klien, tindakan yang kontak dengan kulit utuh,
mengganti cairan infus, memeriksa tanda-tanda vital, atau mengganti linen, kecuali
Gunakan sarung tangan yang berbeda untuk setiap pasien, saat menggunakan
sarung tangan hindari kontak pada benda-benda yang tidak berhubungan dengan
tindakan yang sedang dilakukan, serta tidak dianjurkan menggunakan sarung tangan
rangkap bila tidak benar-benar diperlukan, kecuali dalam tindakan yang memerlukan
waktu yang lama dan tindakan yang berhubungan dengan jumlah darah atau cairan
Penggunaan sarung tangan harus tepat atau sesuai dengan indikasi, hal ini
berhubungan dengan pemborosan sarung tangan. Kondisi ini berkaitan juga dengan
ketersediaan fasilitas atau pasokan sarung tangan yang disediakan dan biaya, jadi
situasi klinis ketika sarung tangan tidak perlu digunakan; 2) membedakan situasi atau
tindakan yang harus memakai sarung tangan atau tidak; 3) memilih jenis sarung tangan
yang paling tepat yang akan digunakan. Selain berkaitan dengan biaya dan fasilitas
sarung tangan yang tersedia, penggunaan sarung tangan dengan tepat berkaitan dengan
penularan atau kontaminasi dari sarung tangan tersebut, sedangkan kontaminasi dapat
b. Masker
dari saluran pernapasan klien dan mencegah penularan patogen dari saluran pernapasan
tindakan pada klien yang menderita infeksi penularan lewat udara (airborne), misalnya
17
masker yang sudah lembab segera diganti dan masker hanya digunakan satu kali (Potter
ikut serta dalam prosedur invasif yang dapat menimbulkan adanya percikan atau
semprotan darah atau cairan tubuh lainnya meliputi pembersihan luka, membalut luka,
mengganti kateter atau dekontaminasi alat bekas pakai. Kacamata harus terpasang
dengan pas sekeliling wajah sehingga cairan tidak dapat masuk antara wajah dan
Gaun digunakan untuk melindungi seragam atau baju petugas dari kemungkinan
genangan atau percikan darah atau cairan tubuh yang terinfeksi, serta digunakan untuk
menutupi pakaian atau seragam saat merawat pasien yang atau dicurigai menderita
penyakit menular melalui udara. Gaun pelindung harus dipakai bila kontak dalam ruang
isolasi ada indikasi misalnya saat membersihkan luka, melakukan tindakan drainase,
massif, melakukan tindakan bedah, otopsi dan perawatan gigi. Saat membuka gaun
harus berhati- hati untuk meminimalkan kontaminasi terhadap tangan dan seragam
Penutup kepala atau topi digunakan untuk menutup rambut dan kulit kepala
sehingga mencegah mikroorganisme yang terdapat di rambut dan kulit kepala tidak
masuk atau jatuh ke daerah atau alat yang steril. Topi digunakan untuk melindungi
petugas kesehatan dari darah atau cairan tubuh yang menyemprot atau terpercik
18
(KEMENKES, 2010).
Sepatu pelindung adalah sepatu khusus yang digunakan oleh petugas yang
bekerja diruangan tertentu misalnya ruang bedah, laboratorium, ICU, ruang isolasi,
ruang pemulasaran, dan petugas sanitasi, tidak boleh dipakai ke ruangan lainnya.
Tujuannya untuk melindungi kaki petugas dari tumpahan atau percikan darah atau cairan
tubuh lainnya dan mencegah dari kemungkinan tusukan benda tajam atau kejatuhan alat
Penetapan Jenis APD ruang rawat inap berdasarkan Panduan Pemakaian Alat
Pelindung Diri di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping tahun 2015, yaitu:
a. Pelayanan pasien dengan luka, tindakan menjahit, Bedah Minor, rawat luka pasien resiko
rendah (pasien tanpa HIV, Hepatitis B/C, dan penyakit menular berbahaya lainnya yang
2) Pelindung tangan : sarung tangan bersih atau sarung tangan steril menyesuaikan dengan
b. Pelayanan pasien dengan luka, tindakan menjahit, bedah minor, rawat luka pasien
resiko tinggi (pasien dengan HIV, Hepatitis B/C, dan penyakit menular berbahaya
19
5. Pelindung tangan: Sarung tangan bedah bersih dipasang double dengan sarung tangan
panjang bila ada. Bila tidak ada di double dengan sarung tangan sejenis.
sarung tangan panjang bila ada. Bila tidak ada di double dengan sarung
tangan sejenis.
20
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan APD
a. Pengawasan
pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh menteri kesehatan, dinas kesehatan
provinsi, dan dinas kesehatan kabupaten/kota sesuai fungsi dan tugasnya masing-masing
pekerja untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan Standar Operational Prosedure (SOP).
Begitu pula pada penerapan penggunaan alat pelindung diri harus diatas pengawasan yang
tepat agar terlaksana sesuai dengan Standar Operational Prosedure (SOP) yang di rumah
sakit.
Dalam panduan nasional keselamatan pasien rumah sakit (patient safety), selain
keselamatan pasien yang harus diperhatikan adalah keselamatan pekerja atau petugas
kesehatan agar tidak terjadinya kejadian yang tidak diingikan (Depkes, 2007), maka dari itu
diperlukannya peraturan atau acuan untuk melaksanakan keselamatan pasien dan petugas
Rumah sakit harus memiliki Standar Operational Prosedure yang akan mengatur dan
sebagai acuan untuk melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan pasien, petugas,
Alat pelindung diri (APD) yang tersedia di rumah sakit seperti sarung tangan, masker,
baju pelindung, kacamata pelindung dan sepatu pelindung. Fasilitas APD yang tersedia di
rumah sakit ini sangat berpengaruh, karena walaupun tingkat pengetahuan tenaga keperawatan
21
sudah baik, adanya pelatihan dan terdapat Standar Operating Procedure (SOP) apabila
fasilitas pendukung APD rumah sakit tidak terpenuhi/tidak sesuai standar maka penggunaan
d. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan tahu terjadi dari proses pengindraan
terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan tersebut terjadi dengan panca indra manusia yaitu
pendengaran, penglihatan, perasa, penghidu dan peraba (Efendi, Ferry, Makhfudhli, 2009)
tetapi sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari proses penglihatan dan
2. Penggunaan APD dapat mendukung semua kegiatan kesehatan selama pemberian tindakan
keperawatan, seperti tingkat antisipasi dari paparan darah / cairan tubuh lainnya.
3. Penggunaan APD merupakan prosedur yang paling penting untuk mencegah kontaminasi.
4. Menjamin keamanan pasien atau klien serta personil kesehatan dan orang yang
mengunjungi klien.
5. Tingkat dasar pencegahan dan pengendalian infeksi yang akan digunakan dalam
22
Kepatuhan Penggunaan APD
Kepatuhan adalah suatu perilaku manusia yang taat terhadap aturan, perintah, prosedur,
dan disiplin. Perilaku kepatuhan bersifat sementara karena perilaku ini bertahan karena
adanya pengawasan. Perilaku kepatuhan yang optimal jika perawat itu sendiri
Kepatuhan perawat dalam penggunaan APD sangat diperlukan, karena kurang patuhnya
perawat dalam menerapkan asuhan keperawatan akan berakibat rendanya mutu asuhan itu
sendiri (Setiadi, 2007). Penggunaan APD merupakan salah satu upaya untuk mengurangi
terjadinya infeksi bagi perawat, jika perawat mengalami penyakit akibat kerja yaitu
Mencuci tangan merupakan salah satu bagian penting dalam penggunaan APD, karena
sebelum dan sesudah menggunakan APD khususnya sarung tangan. The Center for
Diesease Control and prevention (CDC) 2002, mencuci tangan merupakan teknik yang
paling penting dan paling mendasar dalam mencegah dan mengendalikan penularan
infeksi (Potter & Perry, 2006). Larson 1995 mendefinisikan mencuci tangan adalah
menggosok dengan sabun secara bersamaan seluruh kulit permukaan tangan dengan kuat
dan ringkas yang kemudian dibilas dengan air yang mengalir (Potter & Perry, 2005).
23
Hand hygiene atau mencuci tangan adalah tindakan membersihkan tangan
mikroorganisme yang menempel di tangan secara efektif (Boscart, et al. 2012; Squires, et
al. 2013). Tujuan melakukan mencuci tangan adalah untuk membuang kotoran dan
organisme yang menempel dari tangan dan untuk mengurangi jumlah mikroba yang
ada saat itu serta mencegah perpindahan organism multi resisten dari lingkungan rumah
sakit ke pasien dan dari pasien ke petugas kesehatan begitu juga sebaliknya (Potter &
dan setelah kontak dengan pasien, sebelum memakai sarung tangan steril dan sebelum
menetap, setelah kontak dengan kulit klien (misalnya, ketika mengukur tekanan darah
atau nadi, dan mengangkat klien), setelah kontak dengan sumber mikroorganisme (darah
atau cairan tubuh, membrane mukosa, kulit yang tidak utuh, melakukan membalut luka
walaupun tangan tidak terlihat kotor), ketika berpindah saat tubuh terkontaminasi ke
bersih selama perawatan, setelah kontak dengan benda- benda (misalnya peralatan medis)
yang bersangkutan atau terkontaminasi dengan klien, dan setelah melepaskan sarung
Hand hygiene harus dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah melakukan
tindakan perawatan meskipun memakai sarung tangan atau alat pelindung lain (Fauzia,
Ansyori, Hariyanto, 2014). Indikasi hand hygiene harus dilakukan pada saat yang
Menurut WHO (2009) ada 5 moments hand hygiene, yaitu: (1) sebelum kontak
24
dengan pasien, (2) sebelum melakukan prosedur bersih/aseptic, (3) setelah kontak dengan
cairan tubuh pasien resiko tinggi, (4) setelah kontak dengan pasien, (5) setelah kontak
1. Definisi HAIs
HAIs adalah istilah yang digunakan untuk infeksi yang didapat di rumah sakit dan
fasilitas kesehatan lainnya, infeksi yang terjadi sebagai akibat intervensi kesehatan (Mitchell,
et al., 2014). Intervensi yang dilakukan oleh perawat untuk penyembuhan dan perawatan
perawatan luka dan lain-lain. Apabila tindakan tersebut tidak dilakukan sesuai dengan
prosedur yang telah ditetapkan akan berpotensi menularkan penyakit infeksi, baik bagi
pasien (yang lain) atau bahkan pada petugas kesehatan (Nursalam, 2011; Akib et al, 2008).
2. Dampak HAIs
HAIs mempunyai dampak yang luas bagi pasien, keluarga pasien dan masyarakat
a. Pasien.
Dampak HAIs bagi pasien ada banyak, antara lain: fungsi organ menurun,
bahkan beberapa kasus dapat menimbulkan kecacatan dan kematian. Pasien juga akan
menjalani pemeriksaan dan pengobatan tambahan yang seharusnya tidak perlu dijalani.
Jika keluarga pasien atau masyarakat terjangkit akan meningkatkan biaya rawat,
kerja akan menurun. Serta anggota keluarga yang lain, yang menjaga pasien juga dapat
25
terinfeksi.
Jika suatu rumah sakit banyak terjadi kasus HAIs pada pasiennya akan
mengakibatkan citra rumah sakit tersebut menjadi buruk. Pasien pun dapat menuntut
pihak rumah sakit, selain itu jika petugas kesehatan terjangkit HAIs akan menurunkan
Rantai Penularan
mengetahui rantai penularan. Apabila satu mata rantai dihilangkan atau dirusak, maka
infeksi dapat dicegah atau dihentikan. Komponen yang diperlukan sehingga terjadi
manusia, agen infeksi dapat berupa bakteri, virus, ricketsia, jamur dan parasit. Ada tiga
faktor pada agen penyebab yang mempengaruhi terjadinya infeksi yaitu : patogenitas,
b. Reservoir
Reservoir atau tempat dimana agen infeksi dapat hidup, tumbuh, berkembang biak
dan siap ditularkan kepada orang. Reservoir yang paling umum adalah manusia, binatang,
tumbuh-tumbuhan, tanah, air dan bahan-bahan organik lainnya. Pada orang sehat,
26
permukaan kulit, selaput lendir saluran napas atas, usus dan vagina merupakan reservoir
yang umum.
Pintu keluar adalah jalan darimana agen infeksi meninggalkan reservoir. Pintu
keluar meliputi saluran pernapasan, pencernaan, saluran kemih dan kelamin, kulit dan
2. Droplet.
3. Airborne.
5. Melalui vector
Pintu masuk adalah tempat dimana agen infeksi memasuki penjamu yang rentan.
Pintu masuk bisa melalui saluran pernapasan, pencernaan, saluran kemih, selaput lendir,
Penjamu yang rentan adalah orang yang tidak memilki daya tahan tubuh yang cukup
kuat untuk melawan agen infeksi serta mencegah infeksi atau penyakit.
27
a. Taatilah waktu berkunjung
b. jangan menyentuh luka, perban, area tusukan infuse, atau alat-alat lain yang digunakan
Tenaga keperawatan merupakan salah satu bagian dari tenaga kesehatan secara umum.
Tenaga kesehatan secara umum, terdiri dari: tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga paramedis
non- keperawatan dan tenaga non medis. Tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit, dari
semua katagori, tenaga perawatan merupakan tenaga terbanyak dan waktu kontak lebih lama
dengan pasien dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang lain, serta berada pada semua setting
pelayanan kesehatan sehingga tenaga perawatan mempunyai peranan penting terhadap mutu
pelayanan di rumah sakit. Kerja keras perawat tidak dapat mencapai level optimal jika tidak
didukung dengan sarana prasarana, manajemen rumah sakit dan tenaga kesehatan lainnya.
Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit. Ada lima isu
penting yang terkait dengan keselamatan di rumah sakit yaitu keselamatan pasien (patient safety) ,
keselamatan pekerja atau petugas kesehatan, keselamatan bangunan dan peralatan di rumah sakit
yang bisa berdampak terhadap keselamatan pasien dan petugas, keselamatan lingkungan yang
berdampak terhadap pencemaran lingkungan dan keselamatan bisnis rumah sakit yang terkait
28
dengan kelangsungan hidup rumah sakit. Oleh karna itu diperlukan adanya suatu sasaran dari
Keselamatan Pasien merupakan hal utama dalam pelayanan di Rumah Sakit. Jumlah kasus
jatuh menjadi bagian yang bermakna penyebab cedera pasien rawat inap. Rumah Sakit perlu
mengevaluasi resiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi resiko cedera
jika sampai jatuh. Evaluasi resiko jatuh menggunakan skala resiko jatuh. Pasien yang
dirawat di RS akan selalu memiliki resiko jatuh terkait dengan kondisi dan penyakit yang
diderita, contohnya pada pasien dengan kelemahan fisik akibat dehidrasi, status nutrisi yang
buruk, perubahan kimia darah (hipoglikemi, hipokalemi); perubahan gaya berjalan pada
pasien usia tua dengan gaya jalan berayun/tidak aman, langkah kaki pendek-pendek atau
menghentak; pasien bingung atau gelisah yang mencoba untuk turun atau melompati pagar
tempat tidur yang dipasang; pada pasien dengan diare atau inkontinensia. Selain itu faktor
lantai kamar mandi yang licin, tempat tidur yang terlalu tinggi, pencahayaan yang kurang.
Sedangkan dampak dari insiden jatuh yang dialami pasien secara fisik adalah cidera ringan,
sampai dengan kematian, secara financial memperpanjang waktu rawat dan tambahan biaya
pemeriksaan penunjang (CT Scan kepala, rontgen, dll) yang seharusnya tidak perlu
dilakukan, dan dari segi hukum berisiko untuk timbulnya tuntutan hukum bagi rumah sakit.
Meski demikian, resiko jatuh dapat dicegah dan banyak hal yang dapat dilakukan untuk
mencegah pasien jatuh dan meminimalkan cidera akibat jatuh. Dengan mengenali resiko
jatuh maka akan dapat diprediksi resiko jatuh seseorang, dan dilakukan tindakan
pencegahan yang sesuai. Oleh karena itu, memahami resiko jatuh, melakukan tindakan
pencegahan, dan penanganan pasien jatuh, merupakan langkah yang harus dilakukan untuk
29
menurunkan resiko jatuh dan cidera pada pasien yang dirawat. Resiko jatuh dapat dicegah,
pasien harus membatasi mobilitas dan aktivitasnya (contohnya berjalan, mandi, BAB, BAK,
dsb) dan mengharuskan pasien untuk berada di tempat tidur saja. Oleh karena itu
individual pasien berdasarkan hasil pengkajian terhadap faktor resiko jatuh pasien.
Dalam upaya mengurangi resiko pasien cedera karna jatuh kita perlu memperhatikan
beberapa hal seperti usia, riwayat jatuh, aktivitas, defisit (penglihatan, pendengaran),
kognitif, pola BAB dan BAK, mobilitas/motori. Kita harus memperhatikan usia karena
resiko jatuh orang yang lanjut usia misal 65 tahun akan lebih tinggi dibanding pada usia
dewasa, biasanya semakin bertambah tua usia seseorang tingkat penglihatannya akan
menurun, penurunan ini pun harus kita perhatikan karna penurunan penglihatan jelas dapat
Pengurangan resiko pasien jatuh memerlukan komitmen yang tinggi dari pimpinan dan
seluruh staf. Rumah sakit harus memiliki budaya aman agar setiap orang sadar dan memiliki
tanggung jawab terhadap keselamatan pasien karena pencegahan pasien jatuh merupakan
tanggung jawab seluruh staf di RS baik medik maupun non medik, tetap dan tidak tetap.
Seluruh karyawan harus waspada terhadap risiko jatuh pasien dan berpartisipasi dalam
melakukan tindakan pencegahan diseluruh area rumah sakit dimana pasien berada, baik area
klinis/perawatan maupun area non klinis (contohnya: area parkir, ruang tunggu, koridor RS,
b) Pengertian Jatuh
Jatuh merupakan suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata yang melihat
rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka (Darmojo, 2004).
30
Jatuh merupakan suatu kejadian yang menyebabkan subyek yang sadar menjadi berada di
permukaan tanah tanpa disengaja. Dan tidak termasuk jatuh akibat pukulan keras,
kehilangan kesadaran, atau kejang. Kejadian jatuh tersebut adalah dari penyebab spesifik
yang jenis dan konsekuensinya berbeda dari mereka yang dalam keadaan sadar mengalami
jatuh (Stanley, 2006) Jatuh merupakan pengalaman pasien yang tidak direncanakan untuk
terjadinya jatuh, suatu kejadian yang tidak disengaja pada seseorang pada saat istirahat yang
dapat dilihat/dirasakan atau kejadian jatuh yang tidak dapat dilihat karena suatu kondisi
c) Faktor Resiko
a) Faktor intrinsik
Faktor instrinsik adalah variabel- variabel yang menentukan mengapa seseorang dapat jatuh
pada waktu tertentu dan orang lain dalam kondisi yang sama mungkin tidak jatuh (Stanley,
2006). Faktor intrinsik tersebut antara lain adalah gangguan muskuloskeletal misalnya
sinkope yaitu kehilangan kesadaran secara tiba-tiba yang disebabkan oleh berkurangnya
aliran darah ke otak dengan gejala lemah, penglihatan gelap, keringat dingin, pucat dan
b) Faktor ekstrinsik
Faktor ekstrinsik merupakan faktor dari luar (lingkungan sekitarnya) diantaranya cahaya
benda (Nugroho, 2000). Faktor-faktor ekstrinsik tersebut antara lain lingkungan yang tidak
mendukung meliputi cahaya ruangan yang kurang terang, lantai yang licin, tempat
berpegangan yang tidak kuat, tidak stabil, atau tergeletak di bawah, tempat tidur atau WC
yang rendah atau jongkok, obat-obatan yang diminum dan alat-alat bantu berjalan (Darmojo,
2004).
31
d) Akibat Jatuh
Jatuh dapat mengakibatkan berbagai jenis cedera, kerusakan fisik dan psikologis. Kerusakan
fisik yang paling ditakuti dari kejadian jatuh adalah patah tulang panggul. Jenis fraktur lain
yang sering terjadi akibat jatuh adalah fraktur pergelangan tangan, lengan atas dan pelvis
serta kerusakan jaringan lunak. Dampak psikologis adalah walaupun cedera fisik tidak
terjadi, syok setelah jatuh dan rasa takut akan jatuh lagi dapat memiliki banyak konsekuensi
termasuk ansietas, hilangnya rasa percaya diri, penbatasan dalam aktivitas sehari- hari,
e) Pencegahan
Menurut Tinetti (1992), yang dikutip dari Darmojo (2004), ada 3 usaha pokok untuk
Pada setiap lanjut usia perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari adanya faktor instrinsik
risiko jatuh, perlu dilakukan assessment keadaan sensorik, neurologis, muskuloskeletal dan
penyakit sistemik yang sering menyebabkan jatuh. Keadaan lingkungan rumah yang
Penerangan rumah harus cukup tetapi tidak menyilaukan. Lantai rumah datar, tidak
licin, bersih dari benda-benda kecil yang susah dilihat, peralatan rumah tangga yang sudah
tidak aman (lapuk, dapat bergerser sendiri) sebaiknya diganti, peralatan rumah
ini sebaiknya diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu jalan/tempat aktivitas
lanjut usia. Kamar mandi dibuat tidak licin sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya,
pintu yang mudah dibuka. WC sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi pegangan di
dinding.
Setiap lanjut usia harus dievaluasi bagaimana keseimbangan badannya dalam melakukan
32
gerakan pindah tempat, pindah posisi. Bila goyangan badan pada saat berjalan sangat
berisiko jatuh, maka diperlukan bantuan latihan oleh rehabilitasi medis. Penilaian gaya
berjalan juga harus dilakukan dengan cermat, apakah kakinya menapak dengan baik, tidak
mudah goyah, apakah penderita mengangkat kaki dengan benar pada saat berjalan, apakah
kekuatan otot ekstremitas bawah penderita cukup untuk berjalan tanpa bantuan.
Faktor situasional yang bersifat serangan akut yang diderita lanjut usia dapat dicegah
dengan pemeriksaan rutin kesehatan lanjut usia secara periodik. Faktor situasional bahaya
yang berupa aktifitas fisik dapat dibatasi sesuai dengan kondisi kesehatan lanjut usia.
Aktifitas tersebut tidak boleh melampaui batasan yang diperbolehgkan baginya sesuai hasil
pemeriksaan kondisi fisik. Maka di anjurkan lanjut usia tidak melakukan aktifitas fisik yang
a) Mengenali faktor resiko jatuh dan melakukan penilaian risiko melalui pengkajian awal
c) ·Memonitor resiko jatuh Penilaian resiko jatuh menggunakan skala Morse untuk pasien
b) Tersedia restrain dan alat dressing yang sesuai dengan jumlah pasien.
33
c) Obat-obatan ( perawat melihat efek samping obat yang memungkinkan terjadinya jatuh)
d) Penglihatan menurun ( perawat dapat tetap menjaga daerah yang dapat menyebabkan
jatuh menggunakan kacamata, sehingga pasien dapat berjalan sendiri, misalnya pada malam
hari.
f) Perawat mengecek seluruh daerah yang dapat menyebabkan jatuh misalnya sepatu atau
g) (Jatuh dilantai) perawat mengecek penyebab sering terjadinya jatuh, misalnya terlalu
banyak furniture, daerah yang gelap, dan sedikit hidarasi ( perawat menganjutkan untuk
h) Mengorientasikan klien pada saat masuk rumah sakit dan jelaskan sistem komunikasi
yang ada
Penilaian meliputi berbagai aspek seperti riwayat jatuh, menggunaan alat bantu jalan,
kebiasaan berjalan, kebiasaan berkemih, penyakit dan obat yang dikonsumsi, dan lain -
34
lain. Penilaian terhadap resiko jatuh diharapkan dapat mengurangi resiko jatuh dan
meningkatkan kewaspadaan terhadap pasien beresiko jatuh. Dengan mengenali resiko jatuh
maka akan dapat diprediksi resiko jatuh seseorang, dan dilakukan tindakan pencegahan yang
sesuai. Dalam mencapai sasaran tersebut, maka pada umumnya rumah sakit diharapkan
untuk:
pasien, dan melakukan pengkajian ulang jika diindikasikan demikian, misalnya jika terjadi
perubahan kondisi, atau mendapatkan obat yang bisa meningkatkan risiko jatuh si pasien.
2. Pada pasien yang diidentifikasi memiliki risiko jatuh, maka dinilai apakah perlu dilakukan
intervensi atau tidak, jika seandainya perlu, maka ada prosedur untuk hal tersebut yang
3. Saat intervensi atau prosedur tersebut dilakukan, maka perlu dilakukan pengawasan, tentu
saja juga melalui pendokumentasian; apakah cara yang dilakukan berhasil, dan apakah
cukup efektif.
4. Rumah sakit juga perlu menetapkan kebijakan serta panduan dalam mendukung
pencapaian sasaran ini. Terutama dalam hal melindungi pasien yang ada di lingkungan
rumah sakit.
35
Parameter Kriteria Nilai Skor
Umur <3 Tahun 4
3-7 Tahun 3
7-13 Tahun 2
>- 13 Tahun 1
Jenis Kelamin Laki-laki 2
Perempuan 1
Diagnosis Diagnosis neurologi 4
Perubahan oksigenasi ( diagnosis 3
respiratorik, dehidrasi, anemia,
anoreksia, sinkop, pusing dll.
Gangguan perilaku\psikiatri 2
Diagnosi lainya 1
Gangguan koognitif Tidak menyadari keterbatasan lainya 3
Lupa akan danya keterbatasan 2
Orientasi baik terhadap diri sendiri 1
Faktor lingkungan Riwayat jatuh/ bayi diletakan di tempat 4
tidur dewasa
Pasien menggunakan alat bantu / bayi 3
diletakan dalam tempat tidur
bayi/perabot rumah
Pasien diletakan pada tempat tidur 2
Area diluar rumah sakit 1
Pembedahan/sedasi/anestesi Dalam 24 jam 3
Dalam 48 jam 2
>48 jam atau tidak 1
menjalanipembedahan/sedasi/anastesi
Penggunaan obat sedative, obat hionosis, barbiture, 3
fenotiazi, antidepresan, pencahar,
diuretic, narkose
Penggunaan salah satu obat diatas 2
Penggunaan medikasi lainya/tidak ada 1
medikasi
36
SKALA RESIKO JATUH MORSE UNTUK DEWASA
Visi, misi dan tujuan dari pencegahan dan pengendalian infeksi dirumah sakit dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya merupakan bagian dari visi, misi dan tujuan rumah sakit dan
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya itu sendiri yang perlu dirinci secara spesifik dalam
lingkup pencegahan dan pengedalian infeksi rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya sehingga dalam pelaksaannya dapat daling sinergis, integratif tidak duplikatif,
37
- Komite yang mewadahi organisasi-organisasi atau unit-unit yang ada di
- Wewenang
- Keanggotaan
dikomunikasikan
- Tanggungjawab
aktif terus menerus terhadap timbulnya dan penyebaran infeksi nosokomial pada
Risiko terjadi bila sanitasi tidak dilakukan secara kontinyu maka infeksi nosokomial
akan meningkat, semakin pendek hari rawat maka semakin rendak risikonya.
Infeksi nosokomial adalah penyakit infeksi yang berasal dari rumah sakit.
Surveilance ini tugasnya adalah mendeteksi penyakit infeksi yang bukan berasal dari
rumah sakit, caranya yaitu dengan mendiagnosa penyakit secara tepat dan lengkap,
jika tidak catatannya menjadi tidak lengkap. Misalnya, seorang pasien masuk
rumah sakit karena batuk tetapi setelah dirawat ternyata menderita flu juga maka
sebagai indikator baik atau tidaknya sanitasi rumah sakit, karena itu harus ada
wewenang dalam komite. Namun di Indonesia data tersebut under reported karena
Macam Surveilance :
38
1. Surveilance aktif : dengan terus menerus dilakukan pendataan yang
sistematis
Pada virus aedes aegypti ada dua yaitu instriksik incubation selama 5 hari
ada dalam tubuh nyamuk dan ekstrinsik incubation selama 5-7 hari dalam
dilihat dari gejala manusia demam lalu dilakukan penyemprotan. Hal ini
pengamatan jentik nyamuk apakah ada virus pada nyamuk itu. Jika
Tujuan Surveilance :
HIV)
bukan infeksi nosokomial). Tetpi jika luka yang ada bernanah akibat
39
5. Menguji hipotesis tentang etiologi/penyebab.
3. Rumah sakit khusus- ada hubungan dengan lama hari rawat, misal
rumah sakit jiwa lama hari rawat tinggi, tingkah laku menyebabkan
invasif.
2. BTO adalah Bed Turn Over yaitu pemakaian tempat tidur dalam
setahun (48-52 kali dalam setahun). Paling lama hari rawat yang
40
bagus adalah 3 hari. Jika lama hari rawat tinggi maka BTO rendah,
3. TIO dan Turn Over Internal yaitu waktu/jumlah hari kosong tempat
tidur biasnya rumah sakit menentukan 3-5 hari. Jika TIO rendah maka
Jenis Surveilance :
7. Faktor rsiko infeksi nosokomial : jenis kelamin, lama hari rawat, kelas
41
prosedur tindakan, pemakaian antibiotik (jenis,
rasional,kultur/resitensi).
komite pencegahan dan pengendalian infeksi (KPPI) dan tim pencegahan dan
direktur.
4. Komite dan tim PPI mempunyi tugas, fungsi dan kewenangan yang jelas
rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya wajib memiliki IPCN
c. Dasar Hukum
RI Nomor 3495).
42
2. Undang-undang repuplik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang praktik
Sakit.
Kesehatan.
43
E. MONITOR DAN EVALUASI DALAM MENGATASI MASALAH INFEKSI
NOSOKOMIAL
1. Monitoring
b. Melakukan surveilens aktif dengan metode target surveilens. Dilakukan setiuap hari
dalam hal pengumpulan data mempergunakan check list, dan melakukan perhitungan
insiden rate infeksi setiap bulan c. Ada formulir kertas kerja/bantu surveilans.
2. Evaluasi
3. Laporan
b. Membuat laporan rutin : bulanan, 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun, maupun insidensil atau
KLB
44
KUMPULAN SOAL
a. Secara umum infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapatkan penderita selama
a. Apabila pada waktu dirawat di RS, tidak dijumpai tanda-tanda klinik infeksi tersebut.
b. Pada waktu penderita mulai dirawat tidak dalam masa inkubasi dari infeksi tersebut.
45
c. Tanda-tanda infeksi tersebut baru timbul sekurang-kurangnya 3 x 24 jam sejak mulai
dirawat.
d. Ketika pasien memiliki tanda-tanda infeksi terjadi kurang dari 2 x 24 jam sejak mulai
dirawat.
4. Apa saja faktor-faktor yang bukan termasuk dalam memperngaruhi infeksi nasokomial .
a. Usia
b. Lingkungan
c. DNA
d. Seks.
a. Pasien mendapat infeksi nasokomial melalui makanan yang dikonsumsi saat berada di
rumah sakit
d. Pasien mendapat infeksi niosokomial melalui peralatan yang dipakai dirumah sakit
tersebut.
46
6. faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial. Kemungkinan
a. tingkat virulensi,
b. karakteristik mikroorganisme,
7. Cara-cara penularan infeksi nasokomial ada berbagai macam, pilihlah salah satu
47
b. output menurun,
10. Apa saja yang harus diperhatikan oleh keluarga supaya tidak terjadi infeksi nasokomial?
a. Membersihkan lingkungan
48
13. Apa pungsi dari gown
a. Macam-macam APD
15. Apa saja upaya yang harus dipahami mengenai pengurangan resiko pasien terjatuh
49
c. Surveilance bayang-bayang
17. Semua rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya harus melaksanakan
a. Dasar hukum
18. Undang-undang repubilk Indonesia Nomer 23 tahun 1992 membahas tentang apa
a. Kesehatan
b. Praktik keodkteran
d. Organisasi
apa
Rumah Sakit
50
d. Pedoman pelembagaan rumah sakit
Esay
10. Sebutkan dan jelaska macam-macam APD dan Fungsi dari APD tersebut!
51