Anda di halaman 1dari 55

I

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas seluruh kurunia-Nya, sehingga kami dapat

menyelesaikan sebuah Buku berisi Rangkuman Materi dengan tema “Model Konsep Infeksi

Nosokomial ”, buku yang menurut kami benar. Kami telah berusaha sebaik mungkin untuk

menyempurnakannya. Namun, kami menyadari masih dalam proses belajar sehingga masih banyak

yang harus diperbaiki.

Oleh sebab itu, bimbingan dan arahan dari dosen, kami harapkan agar buku ini dapat

menjadi lebih baik lagi. Kami mempersembahkan karya ini untuk semua teman kami, untuk kedua

orangtua kami, untuk dosen kami, dan untuk kepentingan bersama dalam menciptakan tenaga-

tenaga perawat profesional kedepannya.

Berhubungangan dengan hal tersebut, semoga buku yang sederhana ini dapat dijadikan

pedoman dalam proses pembelajaran keperawatan kedepannya. Kritik dan Saran senantiasa

dinantikan agar makalah ini menjadi lebih baik dimasa mendatang amin.

II
Mataram, Agustus 2021

Penyusun

DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................II
DAFTAR ISI..................................................................................................................................................III
INFEKSI NOSOKOMIAL.................................................................................................................................1
A. PENGERTIAN INFEKSI NOSOKOMIAL..........................................................................................1
Hal-hal yang berhubungan dengan infeksi nosokomial : (Panjaitan, B, 1989)......................................3
Batasan-Batasan Infeksi Nosokomial........................................................................................................3
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial....................................................4
Penyebab Infeksi Nosokomial....................................................................................................................5
Proses  Penularan Infeksi Nosokomial......................................................................................................7
Tanda dan gejala Infeksi............................................................................................................................9
Dampak Infeksi Nosokomial......................................................................................................................9
B. PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI (PPI)................................................................................10
Kewaspadaan Isolasi.................................................................................................................................11
Alat Pelindung Diri (APD).......................................................................................................................15
Penetapan Jenis APD................................................................................................................................19
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan APD.........................................................................20
Kepatuhan Penggunaan APD...................................................................................................................22
Hand Hygiene / Mencuci Tangan.............................................................................................................23
Healthcare-Asssociated Infections (HAIs)...............................................................................................24
Rantai Penularan......................................................................................................................................26
Yang Harus Diperhatikan Keluarga dan Pengunjung dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial......27
C. MENGURANGI RESIKO CIDERA PASIEN AKIBAT TERJATUH.............................................28

III
SKALA RESIKO JATUH HUMPTHY DUMPTY UNTUK PEDIATRIK................................................35
SKALA RESIKO JATUH MORSE UNTUK DEWASA...........................................................................37
D. MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN UNTUK MEGATASI MASALAH INFEKSI
NOSOKOMIAL DI RUMAH SAKIT.........................................................................................................38
a. Manajemen Untuk Mengatasi Masalah Infeksi Nosokomial.........................................................38
b. Kebijakan Untuk Mengatasi Masalah Infeksi Nosokomial............................................................42
c. Dasar Hukum....................................................................................................................................43
E. MONITOR DAN EVALUASI DALAM MENGATASI MASALAH INFEKSI NOSOKOMIAL..44
KUMPULAN SOAL.................................................................................................................................46

IV
INFEKSI NOSOKOMIAL

A. PENGERTIAN INFEKSI NOSOKOMIAL

Infeksi nosokomial adalah infeksi yang muncul selama seseorang dirawat atau setelah

selesai dirawat atau setelah selesai dalam masa perawatan. Secara umum, pasien yang masuk

rumah sakit dan menunjukkan gejala infeksi setelah 72 jam pasien berada di rumah sakit

(Utama, 2006).

Nosokomial berasal dari bahasa Yunani, dari kata nosos (penyakit) dan komeion

(merawat). Nosoconion (atau menurt Latin, nosocomium) berarti tempat untuk merawat atau

rumah sakit (Darmadi, 2008).

Infeksi nosokmial adalah infeksi yang didapat oleh penderita, ketika penderita dalam

proses asuhan keperawatan di rumah sakit. Batasan infeksi nosokomial dalam suatu infeksi

dikatakan didapat dari rumah sakit apabila memiliki ciri-ciri yaitu pada saat penderita mulai

dirawat dirumah sakit tidak sedang dalam masa inkubasi dari infeksi tersebut, saat penderita

mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut, tanda-

tanda infeksi tersebut timbul sekurang-kurangnya setelah 3x24 jam sejak mulai perawatan, saat

dirawat di rumah sakit tanda-tanda infeksi sudah ada infeksi tersebut terbukti didapat dari

rumah sakit yang sama pada waktu yang lalu, dan belum pernah dilaporkan sebagai infeksi

nosokomial (Darmadi, 2008).

Infeksi nosokomial atau infeksi yang diperoleh dari rumah sakit adalah infeksi yang

tidak diderita pasien saat masuk ke rumah sakit melainkan setelah ± 72 jam berada di tempat

tersebut (Karen Adams & Janet M. Corrigan, 2003). Infeksi ini terjadi bila toksin atau agen

penginfeksi menyebabkan infeksi lokal atau sistemik (Karen Adams & Janet M. Corrigan,

2003). Contoh penyebab terjadinya infeksi nosokomial adalah apabila dokter atau suster

merawat seorang pasien yang menderita infeksi karena mikroorganisme patogen tertentu

1
kemudian mikroorganisme dapat ditularkan ketika terjadi kontak (Steven Jonas, Raymond L.

Goldsteen, Karen Goldsteen, 2007). Selanjutnya, apabila suster atau dokter yang sama merawat

pasien lainnya, maka ada kemungkinan pasien lain dapat tertular infeksi dari pasien

sebelumnya.

Infeksi nosokomial ini dapat berasal dari dalam tubuh penderita maupun luar tubuh.

Infeksi endogen disebabkan oleh mikroorganisme yang semula memang sudah ada didalam

tubuh dan berpindah ke tempat baru yang kita sebut dengan self infection atau auto infection,

sementara infeksi eksogen (cross infection) disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari

rumah sakit dan dari satu pasien ke pasien lainnya (Soeparman, 2001).

Infeksi nosocomial adalah infeksi yang terdapat dalam sarana kesehatan. Sebetulnya

rumah sakit memang sumber penyakit. Di negara maju pun, infeksi yang didapat dalam rumah

sakit terjadi dengan angka yang cukup tinggi. Misalnya, di AS, ada 20.000 kematian setiap

tahun akibat infeksi nosokomial. Di seluruh dunia, 10 persen pasien rawat inap di rumah sakit

mengalami infeksi yang baru selama dirawat – 1,4 juta infeksi setiap tahun. Di Indonesia,

penelitian yang dilakukan di 11 rumah sakit di DKI Jakarta pada 2004 menunjukkan bahwa 9,8

persen pasien rawat inap mendapat infeksi yang baru selama dirawat.

Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang disertai

suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik. Infeksi yang muncul selama seseorang tersebut

dirawat di rumah sakit dan mulai menunjukkan suatu gejala selama seseorang itu dirawat atau

setelah selesai dirawat disebut infeksi nosokomial. Secara umum, pasien yang masuk rumah

sakit dan menunjukkan tanda infeksi yang kurang dari 72 jam menunjukkan bahwa masa

inkubasi penyakit telah terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit, dan infeksi yang baru

menunjukkan gejala setelah 72 jam pasien berada dirumah sakit baru disebut infeksi

nosokomial (Harrison, 2001).

2
Hal-hal yang berhubungan dengan infeksi nosokomial : (Panjaitan, B, 1989)
1. Secara umum infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapatkan penderita selama dirawat

dirumah sakit.

2. Infeksi nosokomial sukar diatasi karena sebagai penyebabnya adalah mikro organisme /

bakteri yang sudah resisten terhadap anti biotika.

3. Bila terjadi infeksi nosokomial, makaakan terjadi penderitaan yang berpanjangan serta

pemborosan waktu serta pengeluaran biaya yang bertambah tinggi kadangkadang kualitas

hidup penderita akan menurun.

4. Infeksi nosokomial disamping berbahaya bagi penderita, jugaberbahaya bagi lingkungan

baik selamadirawat dirumah sakit ataupun diluar rumah sakit setelah berobat jalan.

5. Dengan pengendalian infeksi nosokomial akan menghembat biaya dan waktu yang terbuang.

6. Di negara yang sudah maju masalah ini telah diangkat menjadi masalah nasional, sehingga

bila angka infeksi nosokomial disuatu rumah sakit tinggi, maka izin operasionalnya

dipertimbangkan untuk dicabut oleh instansi yang berwenang

Batasan-Batasan Infeksi Nosokomial.


Infeksi nosokomial disebut juga dengan “Hospital acquired infection” apabila memenuhi

batasan / criteria sebagai berikut :

1. Apabila pada waktu dirawat di RS, tidak dijumpai tanda-tanda klinik infeksi tersebut.

2. Pada waktu penderita mulai dirawat tidak dalammasa inkubasi dari infeksi tersebut.

3. Tanda-tanda infeksi tersebut baru timbul sekurang-kurangnya 3 x 24 jam sejak mulai

dirawat.

4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa (residual) dari infeksi sebelumnya.

3
5. Bila pada saat mulai dirawat di RS sudah ada tanda-tanda infeksi, tetapiterbukti bahwa

infeksi didapat penderita pada waktu perawatan sebelumnya dan belum pernah dilaporkan

sebagai indeksi nosokomial.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial.


Sesara umum factor yang mempengaruhi terjadinya nosokomial terdiri atas 2 bagian besar,

yaitu : (Roeshadi, D, 1991)

1. Faktor endogen (umur, seks, penyakit penyerta, daya tahan tubuh dan kondisikondisi lokal).

2. Faktor eksogen (lama penderita dirawat,kelompok yang merawat, alat medis, serta

lingkungan).

Untuk mudahnya bagaimana seorang pasien mendapat infeksi nosokomial selama dirawat di

RS dapat diringkas sebagai berikut :

1. Pasien mendapat infeksi nosokomial melalui dirinya sendiri (auto infeksi).

2. Pasien mendapat infeksi nosokomial melalui petugas yang merwat di RS.

3. Pasien mendapat infeksi nosokomial melalui pasien-pasien yang dirawat ditempat / ruangan

yang samadi RS tersebut.

4. Pasien mendapat infeksi nosokomial melalui keluarga pasien yang bekunjung kerumah sakit

tersebut.

5. Pasien mendapat infeksi niosokomial melalui peralatan yang dipakai dirumah sakit tersebut.

6. Pasien mendapat infeksi nosokomial melalui peralatan makanan yang disediakan rumah sakit

ataupun yang didapatnya dari luar rumah sakit.

7. Disamping ke-6 cara-cara terjadinya infeksi nosokomial seperti yang dinyatakan diatas,

maka faktor lingkungan tidak kalah penting sebagai factor penunjang untuk terjadinya

4
infeksi nosokomial, faktor lingkungan tersebut adalah Air, bahan yang harus di buang

(Disposial), dan udara.

Penyebab Infeksi Nosokomial


1. Agen infeksi

Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama ia rawat di rumah sakit.

Kontak antara pasien dan berbagai macam mikroorganisme ini tidak selalu menimbulkan

gejala klinis karena banyaknya faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi

nosokomial. Kemungkinan terjadinya infeksi tergantung pada :

a. karakteristik mikroorganisme,

b. resistensi terhadap zat-zat antibiotika,

c. tingkat virulensi,

d. dan banyaknya materi infeksius.

Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat menyebabkan

infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat dari

orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri

(endogenous infection). Kebanyakan infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih

disebabkan karena faktor eksternal, yaitu penyakit yang penyebarannya melalui makanan

dan udara dan benda atau bahan-bahan yang tidak steril. Penyakit yang didapat dari rumah

sakit saat ini kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya selalu ada pada

manusia yang sebelumnya tidak atau jarang menyebabkan penyakit pada orang normal,

(Ducel, 2001).

2. Bakteri

Bakteri dapat ditemukan sebagai flora normal dalam tubuh manusia yang sehat.

Keberadaan bakteri disini sangat penting dalam melindungi tubuh dari datangnya bakteri

5
patogen. Tetapi pada beberapa kasus dapat menyebabkan infeksi jika manusia tersebut

mempunyai toleransi yang rendah terhadap mikroorganisme. Contohnya Escherichia coli

paling banyak dijumpai sebagai penyebab infeksi saluran kemih. Bakteri patogen lebih

berbahaya dan menyebabkan infeksi baik secara sporadik maupun endemik. Contohnya :

a. Anaerobik Gram-positif, Clostridium yang dapat menyebabkan gangrene

b. Bakteri gram-positif: Staphylococcus aureus yang menjadi parasit di kulit dan hidung

dapat menyebabkan gangguan pada paru, pulang, jantung dan infeksi pembuluh darah

serta seringkali telah resisten terhadap antibiotika.

c. Bakteri gram negatif: Enterobacteriacae, contohnya Escherichia coli, Proteus,

Klebsiella, Enterobacter. Pseudomonas sering sekali ditemukan di air dan

penampungan air yang menyebabkan infeksi di saluran pencernaan dan pasien yang

dirawat. Bakteri gram negatif ini bertanggung jawab sekitar setengah dari semua

infeksi di rumah sakit.

d. Serratia marcescens, dapat menyebabkan infeksi serius pada luka bekas jahitan, paru,

dan peritoneum.

3. Virus

Banyak kemungkinan infeksi nosokomial disebabkan oleh berbagai macam virus,

termasuk virus hepatitis B dan C dengan media penularan dari transfusi, dialisis, suntikan

dan endoskopi. Respiratory syncytial virus (RSV), rotavirus, dan enteroviruses yang

ditularkan dari kontak tangan ke mulut atau melalui rute faecal-oral. Hepatitis dan HIV

ditularkan melalui pemakaian jarum suntik, dan transfusi darah. Rute penularan untuk virus

sama seperti mikroorganisme lainnya. Infeksi gastrointestinal, infeksi traktus respiratorius,

penyakit kulit dan dari darah. Virus lain yang sering menyebabkan infeksi nosokomial

6
adalah cytomegalovirus, Ebola, influenza virus, herpes simplex virus, dan varicella-zoster

virus, juga dapat ditularkan (Wenzel, 2002).

4. Parasit dan jamur

Beberapa parasit seperti Giardia lamblia dapat menular dengan mudah ke orang

dewasa maupun anak-anak. Banyak jamur dan parasit dapat timbul selama pemberian obat

antibiotika bakteri dan obat immunosupresan, contohnya infeksi dari Candida albicans,

Aspergillus spp, Cryptococcus neoformans, Cryptosporidium.

5. Faktor alat

Dari suatu penelitian klinis, infeksi nosokomial tertama disebabkan infeksi dari

kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi kulit, infeksi dari luka

operasi dan septikemia. Pemakaian infus dan kateter urin lama yang tidak diganti-ganti.

Diruang penyakit dalam, diperkirakan 20-25% pasien memerlukan terapi infus. Komplikasi

kanulasi intravena ini dapat berupa gangguan mekanis, fisis dan kimiawi.

Proses  Penularan Infeksi Nosokomial


1. Langsung

Antara pasien dan personel yang merawat atau menjaga pasien

2. Tidak langsung

a. Obyek tidak bersemangat atau kondisi lemah.

b. Lingkungan menjadi kontaminasi dan tidak didesinfeksi atau sterilkan (Sebagai contoh

perawatan luka pasca operasi).

c. Penularan cara droplet infection di mana kuman dapat mencapai ke udara (air borne)

d. Penularan melalui vektor, yaitu penularan melalui hewan atau serangga yang

membawa kuman

7
Selain itu penularan infeksi nosokomial yaitu

1. Penularan secara kontak

Penularan ini dapat terjadi secara kontak langsung, kontak tidak langsung dan

droplet. Kontak langsung terjadi bila sumber infeksi berhubungan langsung dengan

penjamu, misalnya person to person pada penularan infeksi virus hepatitis A secara fecal

oral. Kontak tidak langsung terjadi apabila penularan membutuhkan objek perantara

(biasanya benda mati). Hal ini terjadi karena benda mati tersebut telah terkontaminasi oleh

infeksi, misalnya kontaminasi peralatan medis oleh mikroorganisme.

2. Penularan melalui Common Vehicle

Penularan ini melalui benda mati yang telah terkontaminasi oleh kuman dan dapat

menyebabkan penyakit pada lebih dari satu penjamu. Adapun jenis-jenis common

vehicleadalah darah/produk darah, cairan intra vena, obat-obatan dan sebagainya.

3. Penularan melalui udara dan inhalasi

Penularan ini terjadi bila mikroorganisme mempunyai ukuran yang sangat kecil

sehingga dapat mengenai penjamu dalam jarak yang cukup jauh dan melalui saluran

pernafasan. Misalnya mikroorganisme yang terdapat dalam sel-sel kulit yang terlepas 

(staphylococcus) dan tuberculosis.

4. Penularan dengan perantara vektor

Penularan ini dapat terjadi secara eksternal maupun internal. Disebut penularan

secara eksternal bila hanya terjadi pemindahan secara mekanis dari mikroorganisme yang

menempel pada tubuh vector misalnya shigella dan  salmonella oleh lalat.

8
Penularan secara internal bila mikroorganisme masuk ke dalam tubuh vektor dan dapat terjadi

perubahan secara biologis, misalnya parasit malaria dalam nyamuk atau tidak mengalami

perubahan biologis, misalnya yersenia pestis pada ginjal (flea).   

Tanda dan gejala Infeksi


1. Demam

2. Bernapas cepat,

3. Kebingungan mental,

4. Tekanan darah rendah,

5. Urine output menurun,

6. Pasien dengan urinary tract infection mungkin ada rasa sakit ketika kencing dan darah

dalam air seni

7. Sel darah putih tinggi

8. Radang paru-paru mungkin termasuk kesulitan bernapas dan ketidakmampuan untuk batuk.

9. Infeksi : pembengkakan, kemerahan, dan kesakitan pada kulit atau luka di sekitar bedah

atau luka

Dampak Infeksi Nosokomial


Infeksi nosokomial memberikan dampak sebagai berikut :

1. Menyebabkan cacat fungsional, stress emosional dan dapat menyebabkan cacat yang

permanen serta kematian.

2. Dampak tertinggi pada negara berkembang dengan prevalensi HIV/AIDS yang tinggi.

3. Meningkatkan biaya kesehatan diberbagai negara yang tidak mampu dengan meningkatkan

lama perawatan di rumah sakit, pengobatan dengan obat-obat mahal dan penggunaan

pelayanan lainnya, serta tuntutan hukum.

9
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan praktisi dalam

kebanyakan tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi

yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi pasien

maupun para profesional pelayanan kesehatan. Program yang termasuk pencegahan dan

pengendalian infeksi yaitu, (1) Tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi; (2)

Surveilans (HAIs dan Proses: audit kepatuhan petugas untuk cuci tangan dan memakai

APD); (3) Penerapan kewaspadaan isolasi; (4) Pendidikan dan pelatihan PPI; (5)

Penggunaan antimikroba rasional; (6) Kesehatan karyawan (Rosa, 2015).

B. PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI (PPI)

Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia, termasuk Indonesia.

Ditinjau dari asal atau didapatnya infeksi dapat berasal dari komunitas (Community acquired

infection) atau berasal dari lingkungan rumah sakit (Hospital acquired infection) yang

sebelumnya dikenal dengan istilah infeksi nosokomial. Tindakan medis yang dilakukan oleh

tenaga kesehatan yang bertujuan untuk perawatan atau penyembuhan pasien, apabila

dilakukan tidak sesuai prosedur maka berpotensi untuk menularkan penyakit infeksi, baik bagi

pasien yang lain atau bahkan pada petugas kesehatan itu sendiri. Karena tidak dapat ditentukan

secara pasti asal infeksi, maka sekarang istilah infeksi nosokomial (Hospital acquired

infection) diganti dengan istilah baru yaitu “Healthcare-associated infections” (HAIs) dengan

pengertian yang lebih luas tidak hanya di rumah sakit tetapi juga di fasilitas pelayanan

kesehatan lainnya, serta tidak terbatas infeksi pada pasien saja, tetapi juga infeksi pada petugas

kesehatan yang didapat pada saat melakukan tindakan perawatan pasien (Akib et al, 2008).

Mencegah atau membatasi penularan infeksi di sarana pelayanan kesehatan memerlukan

penerapan prosedur dan protokol yang disebut sebagai "pengendalian". Secara hirarkis

hal ini telah ditata sesuai dengan efektivitas pencegahan dan pengendalian infeksi

10
(Infection Prevention and Control– IPC), yang meliputi: pengendalian bersifat

administratif, pengendalian dan rekayasa lingkungan, dan alat pelindung diri (Slamet et

al, 2013).

Tujuan dari Pencegahan dan Pengendalian Infeksi adalah untuk membantu

mengurangi penyebaran infeksi yang terkait dengan pelayanan kesehatan, dengan

penilaian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi oleh National Infection Control

Policies. Tujuan utamanya adalah untuk mendukung promosi kualitas pelayanan

kesehatan yang aman bagi pasien, petugas kesehatan, dan orang lain dalam perawatan

kesehatan dan lingkungan dengan cara yang hemat biaya (WHO, 2014).

Kewaspadaan Isolasi

Kewaspadaan isolasi adalah tindakan pencegahan atau pengendalian infeksi yang

disusun oleh CDC dan harus diterapkan di rumah sakit dan pelayanan kesehatan lainnya.

Kewaspadaan isolasi diterapkan untuk menurunkan resiko trasmisi penyakit dari pasien ke

pasien lain atau ke pekerja medis. Kewaspadaan isolasi memiliki 2 pilar atau tingkatan,

yaitu Kewaspadaan Standar (Standard/Universal Precautions) dan Kewaspadaan

berdasarkan cara transmisi (Transmission based Precautions) (Akib et al, 2008).

1. Kewaspadaan Standar (Standard/Universal Precautions)

Kewaspadaan standar adalah kewaspadaan dalam pencegahan dan pengendalian

infeksi rutin dan harus diterapkan terhadap semua pasien di semua fasilitas kesehatan.

Kewaspadaan standar/universal yaitu tindakan pengendalian infeksi yang dilakukan oleh

seluruh tenaga kesehatan untuk mengurangi resiko penyebaran infeksi dan didasarkan pada

prinsip bahwa darah dan cairan tubuh dapat berpotensi menularkan penyakit, baik berasal

dari pasien maupun petugas kesehatan (Nursalam, 2007). Tindakan dalam kewaspadaan

standar meliputi:

11
a. Kebersihan tangan.

b. APD : sarung tangan, masker, goggle, face shield , gaun.

c. Peralatan perawatan pasien.

d. Pengendalian lingkungan.

e. Penatalaksanaan Linen.

f. Pengelolaan limbah tajam/ Perlindungan & Kesehatan karyawan.

g. Penempatan pasien

h. Hygiene respirasi/Etika batuk

i. Praktek menyuntik aman

j. Praktek pencegahan infeksi unt prosedur lumbal pungsi

Berdasarkan Association for Professionals in Infection Control and

Epidemiology (APIC) kepatuhan kewaspadaan standard terdapat 8 indikator

yang terdiri dari:

a. Mencuci tangan sebelum memberikan perawatan kepada pasien.

b. Gunakan sarung tangan apabila kontak dengan darah/cairan tubuh, membrane mukosa

atau kulit yang tidak utuh pada semua pasien.

c. Lepas sarung tangan sebelum meninggalkan area perawatan pasien.

d. Mencuci tangan setelah melepaskan sarung tangan.

e. Buang jarum pada tempat pembuangan tanpa menutup kembali.

f. Gunakan gaun, kacamata atau pelindung wajah ketika adanya percikan atau semprotan

dari cairan tubuh.

g. Ketika menggunakan sarung tangan kotor jangan menyentuh area bersih dari

ruangan/pasien.

h. Needleboxes tidak terisi dengan penuh.

12
i. Kewaspadaan berdasarkan transmisi (Transmission based Precautions).

Kewaspadaan berdasarkan transmisi merupakan tambahan untuk kewaspadaan

standar, yaitu tindakan pencegahan atau pengendalian infeksi yang dilakukan setelah

jenis infeksinya sudah terdiagnosa atau diketahui (Akib et al, 2008). Tujuannya untuk

memutus mata rantai penularan mikroba penyebab infeksi, jadi kewaspadaan ini

diterapkan pada pasien yang memang sudah terinfeksi kuman tertentu yang bisa

ditransmisikan lewat udara, droplet, kontak kulit atau lain-lain (Muchtar, 2014).

Berdasarkan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan

Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya tahun 2008, jenis kewaspadaan berdasarkan

transmisi:

a. Kewaspadaan transmisi kontak

Transmisi kontak merupakan cara transmisi yang terpenting dan tersering

menimbulkan HAIs. Kewaspadaan transmisi kontak ini ditujukan untuk

menurunkan resiko transmisi mikroba yang secara epidemiologi ditransmisikan

melalui kontak langsung atau tidak langsung.

1) Kontak langsung

Meliputi kontak permukaan kulit terluka/abrasi orang yang rentan/petugas

dengan kulit pasien terinfeksi atau kolonisasi. Misal perawat membalikkan

tubuh pasien, memandikan, membantu pasien bergerak, dokter bedah dengan

luka basah saat mengganti verband, petugas tanpa sarung tangan merawat oral

pasien HSV atau scabies.

2) Transmisi kontak tidak langsung

Terjadi kontak antara orang yang rentan dengan benda yang

terkontaminasi mikroba infeksius di lingkungan, instrumen yang

13
terkontaminasi, jarum, kasa, tangan terkontaminasi dan belum dicuci atau

sarung tangan yang tidak diganti saat menolong pasien satu dengan yang

lainnya, dan melalui mainan anak. Kontak dengan cairan sekresi pasien

terinfeksi yang ditransmisikan melalui tangan petugas atau benda mati

dilingkungan pasien.

Petugas harus menahan diri untuk menyentuh mata, hidung, mulut saat

masih memakai sarung tangan terkontaminasi ataupun tanpa sarung tangan.

Hindari mengkontaminasi permukaan lingkungan yang tidak berhubungan

dengan perawatan pasien misal: pegangan pintu, tombol lampu, telepon.

b. Kewaspadaan transmisi droplet

Diterapkan sebagai tambahan kewaspadaan standar terhadap pasien dengan

infeksi diketahui atau suspek mengidap mikroba yang dapat ditransmisikan

melalui droplet ( > 5μm). Droplet yang besar terlalu berat untuk melayang di

udara dan akan jatuh dalam jarak 1 m dari sumber. Transmisi droplet melibatkan

kontak konjungtiva atau mukus membran hidung/mulut, orang rentan dengan

droplet partikel besar mengandung mikroba berasal dari pasien pengidap atau

carrier dikeluarkan saat batuk, bersin, muntah, bicara, selama prosedur suction,

bronkhoskopi.

Transmisi droplet langsung, dimana droplet mencapai mucus membrane atau

terinhalasi. Transmisi droplet ke kontak, yaitu droplet mengkontaminasi

permukaan tangan dan ditransmisikan ke sisi lain misal: mukosa membran.

Transmisi jenis ini lebih sering terjadi daripada transmisi droplet langsung, misal:

commoncold, respiratory syncitial virus (RSV). Dapat terjadi saat pasien

terinfeksi batuk, bersin, bicara, intubasi endotrakheal, batuk akibat induksi

fisioterapi dada, resusitasi kardiopulmoner.

14
c. Kewaspadaan transmisi melalui udara ( Airborne Precautions )

Kewaspadaan transmisi melalui udara diterapkan sebagai tambahan

kewaspadaan standar terhadap pasien yang diduga atau telah diketahui terinfeksi

mikroba yang secara epidemiologi penting dan ditransmisikan melalui jalur udara.

Seperti transmisi partikel terinhalasi (varicella zoster) langsung melalui udara.

Ditujukan untuk menurunkan resiko transmisi udara mikroba penyebab infeksi

baik yang ditransmisikan berupa droplet nuklei (sisa partikel kecil < 5μm

evaporasi dari droplet yang bertahan lama di udara) atau partikel debu yang

mengandung mikroba penyebab infeksi. Mikroba tersebut akan terbawa aliran

udara > 2m dari sumber, dapat terinhalasi oleh individu rentan di ruang yang sama

dan jauh dari pasien sumber mikroba, tergantung pada faktor lingkungan, misal

penanganan udara dan ventilasi yang penting dalam pencegahan transmisi melalui

udara, droplet nuklei atau sisik kulit luka terkontaminasi (S. aureus).

Alat Pelindung Diri (APD)

1. Pengertian APD

Occupational Safety and Health Administration (OSHA) mendefinisikan Alat Pelindung

Diri (APD) adalah pakaian khusus atau peralatan yang digunakan oleh karyawan untuk

perlindungan diri dari bahan yang menular (Centers for Disease Control and Prevention).

APD merupakan suatu alat yang dipakai untuk melindungi diri terhadap bahaya- bahaya

kecelakaan kerja, dimana secara teknis dapat mengurangi tingkat keparahan dari kecelakaan

kerja yang terjadi. Meskipun tidak menghilangkan ataupun mengurangi bahaya yang ada

dengan menggunakan APD (Mulyanti, 2008).

Berdasarkan Panduan Pemakaian Alat Pelindung Diri di Rumah Sakit PKU

15
Muhammadiyah Gamping tahun 2015. APD merupakan solusi pencegahan yang paling

mendasar dari segala macam kontaminasi dan bahaya akibat bahan kimia. APD digunakan

untuk melindungi kulit dan membran mukosa petugas kesehatan dari resiko terpaparnya

darah, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh, dan selaput lendir pasien serta semua jenis

cairan tubuh pasien. Jenis-jenis tindakan beresiko yang menggunakan alat- alat seperti

perawatan gigi, tindakan bedah tulang, otopsi dan tindakan rutin (KEMENKES, 2010).

2. Tujuan menggunakan APD

Alat pelindung diri bertujuan untuk melindungi dirinya dari sumber bahaya tertentu, yang

berasal dari pekerjaan maupun lingkungan pekerjaan dan sebagai usaha untuk mencegah

atau mengurangi kemungkinana cedera atau sakit (Siburian, 2012). Alat pelindung diri

merupakan komponen utama personal precaution beserta penggunaannya yang biasa

digunakan perawat sebagai kewaspadaan standar (standard precaution) dalam melakukan

tindakan keperawatan menurut Departemen Kesehatan RI, 2007 yang bekerjasama dengan

Perhimpunan Pengendalian Infeksi Indonesia (PERDALIN) tahun 2008.

3. Jenis-Jenis APD

a. Sarung tangan

Sarung tangan digunakan oleh petugas kesehatan dianjurkan untuk dua alasan

utama, yaitu: 1) untuk mengurangi resiko kontaminasi tangan petugas kesehatan dengan

darah dan cairan tubuh pasien; 2) untuk mengurangi resiko penyebaran kuman ke

lingkungan dan transmisi dari petugas kesehatan ke pasien dan sebaliknya, serta dari

satu pasien ke pasien lain (WHO, 2009).

Sarung tangan steril digunakan untuk intervensi bedah dan beberapa perawatan

non-bedah, seperti kateter pembuluh darah pusat serta saat akan memegang atau kontak

dengan peralatan steril atau luka (Kozier, 2002; WHO, 2009). Sarung tangan tidak perlu

16
digunakan saat tindakan ambulasi klien, tindakan yang kontak dengan kulit utuh,

mengganti cairan infus, memeriksa tanda-tanda vital, atau mengganti linen, kecuali

terdapatnya tumpahan cairan tubuh kontaminasi (Kozier, 2002).

Gunakan sarung tangan yang berbeda untuk setiap pasien, saat menggunakan

sarung tangan hindari kontak pada benda-benda yang tidak berhubungan dengan

tindakan yang sedang dilakukan, serta tidak dianjurkan menggunakan sarung tangan

rangkap bila tidak benar-benar diperlukan, kecuali dalam tindakan yang memerlukan

waktu yang lama dan tindakan yang berhubungan dengan jumlah darah atau cairan

tubuh yang banyak (KEMENKES, 2010).

Penggunaan sarung tangan harus tepat atau sesuai dengan indikasi, hal ini

berhubungan dengan pemborosan sarung tangan. Kondisi ini berkaitan juga dengan

ketersediaan fasilitas atau pasokan sarung tangan yang disediakan dan biaya, jadi

petugas kesehatan terutama perawat sangat penting untuk dapat: 1) mengidentifikasi

situasi klinis ketika sarung tangan tidak perlu digunakan; 2) membedakan situasi atau

tindakan yang harus memakai sarung tangan atau tidak; 3) memilih jenis sarung tangan

yang paling tepat yang akan digunakan. Selain berkaitan dengan biaya dan fasilitas

sarung tangan yang tersedia, penggunaan sarung tangan dengan tepat berkaitan dengan

penularan atau kontaminasi dari sarung tangan tersebut, sedangkan kontaminasi dapat

dicegah dengan melakukan cuci tangan dengan benar (WHO, 2009).

b. Masker

Masker digunakan untuk menghindarkan perawat menghirup mikroorganisme

dari saluran pernapasan klien dan mencegah penularan patogen dari saluran pernapasan

perawat ke klien, begitu pula sebaliknya. Misalnya berinteraksi atau memberikan

tindakan pada klien yang menderita infeksi penularan lewat udara (airborne), misalnya

merawat pasien tuberculosis. Saat menggunakan masker minimalkan pembicaraan, serta

17
masker yang sudah lembab segera diganti dan masker hanya digunakan satu kali (Potter

& Perry, 2005).

c. Goggle atau Kacamata

Perawat menggunakan kacamata pelindung, masker, atau pelindung wajah saat

ikut serta dalam prosedur invasif yang dapat menimbulkan adanya percikan atau

semprotan darah atau cairan tubuh lainnya meliputi pembersihan luka, membalut luka,

mengganti kateter atau dekontaminasi alat bekas pakai. Kacamata harus terpasang

dengan pas sekeliling wajah sehingga cairan tidak dapat masuk antara wajah dan

kacamata (Potter & Perry, 2005).

d. Gown atau Gaun pelindung

Gaun digunakan untuk melindungi seragam atau baju petugas dari kemungkinan

genangan atau percikan darah atau cairan tubuh yang terinfeksi, serta digunakan untuk

menutupi pakaian atau seragam saat merawat pasien yang atau dicurigai menderita

penyakit menular melalui udara. Gaun pelindung harus dipakai bila kontak dalam ruang

isolasi ada indikasi misalnya saat membersihkan luka, melakukan tindakan drainase,

membuang cairan terkontaminasi, mengganti pembalut, menangani pasien pendarahan

massif, melakukan tindakan bedah, otopsi dan perawatan gigi. Saat membuka gaun

harus berhati- hati untuk meminimalkan kontaminasi terhadap tangan dan seragam

(Potter & Perry, 2005).

e. Penutup kepala atau Topi

Penutup kepala atau topi digunakan untuk menutup rambut dan kulit kepala

sehingga mencegah mikroorganisme yang terdapat di rambut dan kulit kepala tidak

masuk atau jatuh ke daerah atau alat yang steril. Topi digunakan untuk melindungi

petugas kesehatan dari darah atau cairan tubuh yang menyemprot atau terpercik

18
(KEMENKES, 2010).

f. Sepatu Pelindung (Pelindung Kaki)

Sepatu pelindung adalah sepatu khusus yang digunakan oleh petugas yang

bekerja diruangan tertentu misalnya ruang bedah, laboratorium, ICU, ruang isolasi,

ruang pemulasaran, dan petugas sanitasi, tidak boleh dipakai ke ruangan lainnya.

Tujuannya untuk melindungi kaki petugas dari tumpahan atau percikan darah atau cairan

tubuh lainnya dan mencegah dari kemungkinan tusukan benda tajam atau kejatuhan alat

kesehatan (KEMENKES, 2010).

Penetapan Jenis APD

Penetapan Jenis APD ruang rawat inap berdasarkan Panduan Pemakaian Alat

Pelindung Diri di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping tahun 2015, yaitu:

a. Pelayanan pasien dengan luka, tindakan menjahit, Bedah Minor, rawat luka pasien resiko

rendah (pasien tanpa HIV, Hepatitis B/C, dan penyakit menular berbahaya lainnya yang

ditularkan lewat cairan tubuh) :

1) Pelindung pernafasan : masker bedah

2) Pelindung tangan : sarung tangan bersih atau sarung tangan steril menyesuaikan dengan

jenis tindakan dan kondisi luka

b. Pelayanan pasien dengan luka, tindakan menjahit, bedah minor, rawat luka pasien

resiko tinggi (pasien dengan HIV, Hepatitis B/C, dan penyakit menular berbahaya

lainnya yang ditularkan lewat cairan tubuh) :

1. Pelindung mata: Spectacle Google

2. Pelindung kepala: Tutup kepala

3. Pelindung respirasi/hidung/mulut: Masker bedah

4. Pelindung Tubuh: Apron/scotch/celemek /gaun

19
5. Pelindung tangan: Sarung tangan bedah bersih dipasang double dengan sarung tangan

panjang bila ada. Bila tidak ada di double dengan sarung tangan sejenis.

6. Pelindung kaki: Sepatu karet.

c. Pelayanan pasien dengan penyakit paru menular berbahaya (TBC, Penumonia) :

1. Pelindung pernafasan : Masker respirator N95

2. Pelindung tangan : Sarung tangan bedah bersih

d. Pelayanan pasien dengan kemungkinan sangat tinggi terpapar cairan tubuh

baik pada pasien infeksius maupun tidak.

1. Pelindung mata Pelindung mata: Spectacle Google

2. Pelindung kepala: Tutup kepala

3. Pelindung respirasi/hidung/mulut: Masker bedah

4. Pelindung Tubuh: Apron/Scotch/Celemek

5. Pelindung tangan: Sarung tangan bedah bersih dipasang double dengan

sarung tangan panjang bila ada. Bila tidak ada di double dengan sarung

tangan sejenis.

6. Pelindung kaki: sepatu boot karet.

e. Pelayanan pasien dengan penyakit kulit menular

1. Pelindung hidung/mulut: masker bedah

2. Pelindung tangan: sarung tangan bedah bersih

f. Pelayanan pasien dengan risiko terpapar cairan tubuh minimal

1. Pelindung hidung/mulut: masker bedah

2. Pelindung tangan: sarung tangan bedah bersih

20
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan APD

a. Pengawasan

Dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit diperlukan

pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh menteri kesehatan, dinas kesehatan

provinsi, dan dinas kesehatan kabupaten/kota sesuai fungsi dan tugasnya masing-masing

(KEMENKES, 2010). Pengawasan dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kedisiplinan

pekerja untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan Standar Operational Prosedure (SOP).

Begitu pula pada penerapan penggunaan alat pelindung diri harus diatas pengawasan yang

tepat agar terlaksana sesuai dengan Standar Operational Prosedure (SOP) yang di rumah

sakit.

b. Standar Operating Procedure ( SOP)

Dalam panduan nasional keselamatan pasien rumah sakit (patient safety), selain

keselamatan pasien yang harus diperhatikan adalah keselamatan pekerja atau petugas

kesehatan agar tidak terjadinya kejadian yang tidak diingikan (Depkes, 2007), maka dari itu

diperlukannya peraturan atau acuan untuk melaksanakan keselamatan pasien dan petugas

kesehatan dalam bentuk Standar Operational Procedure (SOP).

Rumah sakit harus memiliki Standar Operational Prosedure yang akan mengatur dan

sebagai acuan untuk melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan pasien, petugas,

pengunjung, jenis-jenis tindakan, alat-alat, isolasi, pemberian obat, pengaturan ruang,

transportasi, ruang perawatan maupun penggunaan APD (Siburian, 2012).

c. Fasilitas APD di Rumah Sakit

Alat pelindung diri (APD) yang tersedia di rumah sakit seperti sarung tangan, masker,

baju pelindung, kacamata pelindung dan sepatu pelindung. Fasilitas APD yang tersedia di

rumah sakit ini sangat berpengaruh, karena walaupun tingkat pengetahuan tenaga keperawatan

21
sudah baik, adanya pelatihan dan terdapat Standar Operating Procedure (SOP) apabila

fasilitas pendukung APD rumah sakit tidak terpenuhi/tidak sesuai standar maka penggunaan

APD oleh perawat tidak maksimal (Amaliaet al, 2011).

d. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan tahu terjadi dari proses pengindraan

terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan tersebut terjadi dengan panca indra manusia yaitu

pendengaran, penglihatan, perasa, penghidu dan peraba (Efendi, Ferry, Makhfudhli, 2009)

tetapi sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari proses penglihatan dan

pendengaran. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam pembentukan

tindakan atau perilaku seseorang.

Menurut Standard Precautions Clinical Governance 2010, seorang perawat dalam

menggunakan APD dipengaruhi beberapa faktor diantanya adalah:

1. Sebagai pemenuhan standar di rumah sakit tempat perawat berkonstribusi dalam

pelaksanaan proses keperawatan.

2. Penggunaan APD dapat mendukung semua kegiatan kesehatan selama pemberian tindakan

keperawatan, seperti tingkat antisipasi dari paparan darah / cairan tubuh lainnya.

3. Penggunaan APD merupakan prosedur yang paling penting untuk mencegah kontaminasi.

4. Menjamin keamanan pasien atau klien serta personil kesehatan dan orang yang

mengunjungi klien.

5. Tingkat dasar pencegahan dan pengendalian infeksi yang akan digunakan dalam

memberikan tindakan keperawatan yang dapat mengurangi resiko penularan patogen

melalui darah dan droplet.

22
Kepatuhan Penggunaan APD

Kepatuhan adalah suatu perilaku manusia yang taat terhadap aturan, perintah, prosedur,

dan disiplin. Perilaku kepatuhan bersifat sementara karena perilaku ini bertahan karena

adanya pengawasan. Perilaku kepatuhan yang optimal jika perawat itu sendiri

menganggap perilaku ini bernilai positif (Evaldiana, 2013).

Kepatuhan perawat dalam penggunaan APD sangat diperlukan, karena kurang patuhnya

perawat dalam menerapkan asuhan keperawatan akan berakibat rendanya mutu asuhan itu

sendiri (Setiadi, 2007). Penggunaan APD merupakan salah satu upaya untuk mengurangi

terjadinya infeksi bagi perawat, jika perawat mengalami penyakit akibat kerja yaitu

infeksi akan mengakibatkan kurang optimalnya pelayanan yang diberikan (KEMENKES,

2010). Faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan penggunaan APD menurut Efstathiou

Georgios, 2011 yaitu:

1. Kurangnya pengetahuan tentang penggunaan APD

2. Kurangnya fasilitas APD

3. Kurangnya pelaksanaan pelatihan tentang penggunaan APD.

4. Jarak tempat pemenuhan fasilitas peralatan yang diperlukan.

Hand Hygiene / Mencuci Tangan

Mencuci tangan merupakan salah satu bagian penting dalam penggunaan APD, karena

sebelum dan sesudah menggunakan APD khususnya sarung tangan. The Center for

Diesease Control and prevention (CDC) 2002, mencuci tangan merupakan teknik yang

paling penting dan paling mendasar dalam mencegah dan mengendalikan penularan

infeksi (Potter & Perry, 2006). Larson 1995 mendefinisikan mencuci tangan adalah

menggosok dengan sabun secara bersamaan seluruh kulit permukaan tangan dengan kuat

dan ringkas yang kemudian dibilas dengan air yang mengalir (Potter & Perry, 2005).

23
Hand hygiene atau mencuci tangan adalah tindakan membersihkan tangan

menggunakan menggunakan handrub atau handsoap untuk menghilangkan

mikroorganisme yang menempel di tangan secara efektif (Boscart, et al. 2012; Squires, et

al. 2013). Tujuan melakukan mencuci tangan adalah untuk membuang kotoran dan

organisme yang menempel dari tangan dan untuk mengurangi jumlah mikroba yang

ada saat itu serta mencegah perpindahan organism multi resisten dari lingkungan rumah

sakit ke pasien dan dari pasien ke petugas kesehatan begitu juga sebaliknya (Potter &

Perry, 2005; KEMENKES, 2010).

Menurut CDC (2002) mencuci tangan direkomendasikan dalam situasi sebelum

dan setelah kontak dengan pasien, sebelum memakai sarung tangan steril dan sebelum

melakukan prosedur invasive seperti pemasangan kateter intravascular atau kateter

menetap, setelah kontak dengan kulit klien (misalnya, ketika mengukur tekanan darah

atau nadi, dan mengangkat klien), setelah kontak dengan sumber mikroorganisme (darah

atau cairan tubuh, membrane mukosa, kulit yang tidak utuh, melakukan membalut luka

walaupun tangan tidak terlihat kotor), ketika berpindah saat tubuh terkontaminasi ke

bersih selama perawatan, setelah kontak dengan benda- benda (misalnya peralatan medis)

yang bersangkutan atau terkontaminasi dengan klien, dan setelah melepaskan sarung

tangan (Potter & Perry, 2006).

Hand hygiene harus dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah melakukan

tindakan perawatan meskipun memakai sarung tangan atau alat pelindung lain (Fauzia,

Ansyori, Hariyanto, 2014). Indikasi hand hygiene harus dilakukan pada saat yang

diantisipasi akan terjadinya perpindahan kuman melalui tangan, yaitu sebelum

melakukan tindakan yang dimungkinkan terjadi pencemaran dan setelah melakukan

tindakan yang dimungkinkan terjadi pencemaran (Depkes, 2007).

Menurut WHO (2009) ada 5 moments hand hygiene, yaitu: (1) sebelum kontak

24
dengan pasien, (2) sebelum melakukan prosedur bersih/aseptic, (3) setelah kontak dengan

cairan tubuh pasien resiko tinggi, (4) setelah kontak dengan pasien, (5) setelah kontak

dengan lingkungan sekitar pasien.

Healthcare-Asssociated Infections (HAIs)

1. Definisi HAIs

HAIs adalah istilah yang digunakan untuk infeksi yang didapat di rumah sakit dan

fasilitas kesehatan lainnya, infeksi yang terjadi sebagai akibat intervensi kesehatan (Mitchell,

et al., 2014). Intervensi yang dilakukan oleh perawat untuk penyembuhan dan perawatan

pasien, seperti pembersihan cairan tubuh, injeksi/pengambilan darah, pemasangan kateter,

perawatan luka dan lain-lain. Apabila tindakan tersebut tidak dilakukan sesuai dengan

prosedur yang telah ditetapkan akan berpotensi menularkan penyakit infeksi, baik bagi

pasien (yang lain) atau bahkan pada petugas kesehatan (Nursalam, 2011; Akib et al, 2008).

2. Dampak HAIs

HAIs mempunyai dampak yang luas bagi pasien, keluarga pasien dan masyarakat

hingga pemberi layanan kesehatan (Rohani & Setio, 2010).

a. Pasien.

Dampak HAIs bagi pasien ada banyak, antara lain: fungsi organ menurun,

bahkan beberapa kasus dapat menimbulkan kecacatan dan kematian. Pasien juga akan

menjalani pemeriksaan dan pengobatan tambahan yang seharusnya tidak perlu dijalani.

b. Keluarga pasien dan masyarakat.

Jika keluarga pasien atau masyarakat terjangkit akan meningkatkan biaya rawat,

memperpanjang waktu rawat. Jika waktu perawatan bertambah, maka produktivitas

kerja akan menurun. Serta anggota keluarga yang lain, yang menjaga pasien juga dapat

25
terinfeksi.

c. Pemberi pelayanan kesehatan

Jika suatu rumah sakit banyak terjadi kasus HAIs pada pasiennya akan

mengakibatkan citra rumah sakit tersebut menjadi buruk. Pasien pun dapat menuntut

pihak rumah sakit, selain itu jika petugas kesehatan terjangkit HAIs akan menurunkan

optimalitas kinerja petugas tersebut.

Rantai Penularan

Dalam melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi perlu

mengetahui rantai penularan. Apabila satu mata rantai dihilangkan atau dirusak, maka

infeksi dapat dicegah atau dihentikan. Komponen yang diperlukan sehingga terjadi

penularan tersebut adalah (Akib et al, 2008):

a. Agen infeksi (infectious agent)

Agen infeksi adalah mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi. Pada

manusia, agen infeksi dapat berupa bakteri, virus, ricketsia, jamur dan parasit. Ada tiga

faktor pada agen penyebab yang mempengaruhi terjadinya infeksi yaitu : patogenitas,

virulensi dan jumlah (dosis, atau “load”).

b. Reservoir

Reservoir atau tempat dimana agen infeksi dapat hidup, tumbuh, berkembang biak

dan siap ditularkan kepada orang. Reservoir yang paling umum adalah manusia, binatang,

tumbuh-tumbuhan, tanah, air dan bahan-bahan organik lainnya. Pada orang sehat,

26
permukaan kulit, selaput lendir saluran napas atas, usus dan vagina merupakan reservoir

yang umum.

c. Pintu keluar (portal of exit)

Pintu keluar adalah jalan darimana agen infeksi meninggalkan reservoir. Pintu

keluar meliputi saluran pernapasan, pencernaan, saluran kemih dan kelamin, kulit dan

membrana mukosa, transplasenta dan darah serta cairan tubuh lain.

d. Transmisi (cara penularan)

Cara penularan adalah mekanisme bagaimana perpindahan agen infeksi dari

reservoir ke penderita. Ada beberapa cara penularan yaitu:

1. Kontak langsung atau tidak langsung.

2. Droplet.

3. Airborne.

4. Melalui makanan dan minuman.

5. Melalui vector

e. Pintu masuk (portal of entery)

Pintu masuk adalah tempat dimana agen infeksi memasuki penjamu yang rentan.

Pintu masuk bisa melalui saluran pernapasan, pencernaan, saluran kemih, selaput lendir,

pembuluh darah, dan kulit yang terdapat luka.

f. Penjamu (host) yang rentan

Penjamu yang rentan adalah orang yang tidak memilki daya tahan tubuh yang cukup

kuat untuk melawan agen infeksi serta mencegah infeksi atau penyakit.

Yang Harus Diperhatikan Keluarga dan Pengunjung dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial


1. Mengerti dan memahami peraturan dari Rumah sakit

27
a. Taatilah waktu berkunjung

b. Jangan terlalu lama menjenguk cukup 15-20 menit saja

c. Penunggu pasien cukup 1 orang

d. Jangan berkunjung jika anda sedang sakit

e. Jangan membawa anak dibawah usia 12 tahun

2. Menjaga kebersihan diri

a. lakukan cuci tangan sebelum dan setelah bertemu pasien

b. jangan menyentuh luka, perban, area tusukan infuse, atau alat-alat lain yang digunakan

untuk merawata pasien.

c. bantulah pasien untuk menjaga kebersihan dirinya

C. MENGURANGI RESIKO CIDERA PASIEN AKIBAT TERJATUH

Tenaga keperawatan merupakan salah satu bagian dari tenaga kesehatan secara umum.

Tenaga kesehatan secara umum, terdiri dari: tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga paramedis

non- keperawatan dan tenaga non medis. Tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit, dari

semua katagori, tenaga perawatan merupakan tenaga terbanyak dan waktu kontak lebih lama

dengan pasien dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang lain, serta berada pada semua setting

pelayanan kesehatan sehingga tenaga perawatan mempunyai peranan penting terhadap mutu

pelayanan di rumah sakit. Kerja keras perawat tidak dapat mencapai level optimal jika tidak

didukung dengan sarana prasarana, manajemen rumah sakit dan tenaga kesehatan lainnya.

Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit. Ada lima isu

penting yang terkait dengan keselamatan di rumah sakit yaitu keselamatan pasien (patient safety) ,

keselamatan pekerja atau petugas kesehatan, keselamatan bangunan dan peralatan di rumah sakit

yang bisa berdampak terhadap keselamatan pasien dan petugas, keselamatan lingkungan yang

berdampak terhadap pencemaran lingkungan dan keselamatan bisnis rumah sakit yang terkait

28
dengan kelangsungan hidup rumah sakit. Oleh karna itu diperlukan adanya suatu sasaran dari

keselamatan pasien yang mendorong perbaikan spesifik dalam keselamatan pasien.

a) Penurunan Resiko Pasien Jatuh

Keselamatan Pasien merupakan hal utama dalam pelayanan di Rumah Sakit. Jumlah kasus

jatuh menjadi bagian yang bermakna penyebab cedera pasien rawat inap. Rumah Sakit perlu

mengevaluasi resiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi resiko cedera

jika sampai jatuh. Evaluasi resiko jatuh menggunakan skala resiko jatuh. Pasien yang

dirawat di RS akan selalu memiliki resiko jatuh terkait dengan kondisi dan penyakit yang

diderita, contohnya pada pasien dengan kelemahan fisik akibat dehidrasi, status nutrisi yang

buruk, perubahan kimia darah (hipoglikemi, hipokalemi); perubahan gaya berjalan pada

pasien usia tua dengan gaya jalan berayun/tidak aman, langkah kaki pendek-pendek atau

menghentak; pasien bingung atau gelisah yang mencoba untuk turun atau melompati pagar

tempat tidur yang dipasang; pada pasien dengan diare atau inkontinensia. Selain itu faktor

lingkungan juga mempengaruhi pasien jatuh, contohnya

lantai kamar mandi yang licin, tempat tidur yang terlalu tinggi, pencahayaan yang kurang.

Sedangkan dampak dari insiden jatuh yang dialami pasien secara fisik adalah cidera ringan,

sampai dengan kematian, secara financial memperpanjang waktu rawat dan tambahan biaya

pemeriksaan penunjang (CT Scan kepala, rontgen, dll) yang seharusnya tidak perlu

dilakukan, dan dari segi hukum berisiko untuk timbulnya tuntutan hukum bagi rumah sakit.

Meski demikian, resiko jatuh dapat dicegah dan banyak hal yang dapat dilakukan untuk

mencegah pasien jatuh dan meminimalkan cidera akibat jatuh. Dengan mengenali resiko

jatuh maka akan dapat diprediksi resiko jatuh seseorang, dan dilakukan tindakan

pencegahan yang sesuai. Oleh karena itu, memahami resiko jatuh, melakukan tindakan

pencegahan, dan penanganan pasien jatuh, merupakan langkah yang harus dilakukan untuk

29
menurunkan resiko jatuh dan cidera pada pasien yang dirawat. Resiko jatuh dapat dicegah,

namun mencegah resiko jatuh bukan berarti

pasien harus membatasi mobilitas dan aktivitasnya (contohnya berjalan, mandi, BAB, BAK,

dsb) dan mengharuskan pasien untuk berada di tempat tidur saja. Oleh karena itu

pencegahan resiko jatuh membutuhkan intervensi dan modifikasi sesuai kebutuhan

individual pasien berdasarkan hasil pengkajian terhadap faktor resiko jatuh pasien.

Dalam upaya mengurangi resiko pasien cedera karna jatuh kita perlu memperhatikan

beberapa hal seperti usia, riwayat jatuh, aktivitas, defisit (penglihatan, pendengaran),

kognitif, pola BAB dan BAK, mobilitas/motori. Kita harus memperhatikan usia karena

resiko jatuh orang yang lanjut usia misal 65 tahun akan lebih tinggi dibanding pada usia

dewasa, biasanya semakin bertambah tua usia seseorang tingkat penglihatannya akan

menurun, penurunan ini pun harus kita perhatikan karna penurunan penglihatan jelas dapat

mengganggu orang tersebut beraktivitas dan dapat menyebabkan suatu cedera.

Pengurangan resiko pasien jatuh memerlukan komitmen yang tinggi dari pimpinan dan

seluruh staf. Rumah sakit harus memiliki budaya aman agar setiap orang sadar dan memiliki

tanggung jawab terhadap keselamatan pasien karena pencegahan pasien jatuh merupakan

tanggung jawab seluruh staf di RS baik medik maupun non medik, tetap dan tidak tetap.

Seluruh karyawan harus waspada terhadap risiko jatuh pasien dan berpartisipasi dalam

melakukan tindakan pencegahan diseluruh area rumah sakit dimana pasien berada, baik area

klinis/perawatan maupun area non klinis (contohnya: area parkir, ruang tunggu, koridor RS,

ruang administrasi, dll).

b) Pengertian Jatuh

Jatuh merupakan suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata yang melihat

kejadian mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk dilantai/tempat yang lebih

rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka (Darmojo, 2004).

30
Jatuh merupakan suatu kejadian yang menyebabkan subyek yang sadar menjadi berada di

permukaan tanah tanpa disengaja. Dan tidak termasuk jatuh akibat pukulan keras,

kehilangan kesadaran, atau kejang. Kejadian jatuh tersebut adalah dari penyebab spesifik

yang jenis dan konsekuensinya berbeda dari mereka yang dalam keadaan sadar mengalami

jatuh (Stanley, 2006) Jatuh merupakan pengalaman pasien yang tidak direncanakan untuk

terjadinya jatuh, suatu kejadian yang tidak disengaja pada seseorang pada saat istirahat yang

dapat dilihat/dirasakan atau kejadian jatuh yang tidak dapat dilihat karena suatu kondisi

adanya penyakit seperti stroke, pingsan, dan lainnya.

c) Faktor Resiko

a) Faktor intrinsik

Faktor instrinsik adalah variabel- variabel yang menentukan mengapa seseorang dapat jatuh

pada waktu tertentu dan orang lain dalam kondisi yang sama mungkin tidak jatuh (Stanley,

2006). Faktor intrinsik tersebut antara lain adalah gangguan muskuloskeletal misalnya

menyebabkan gangguan gaya berjalan, kelemahan ekstremitas bawah, kekakuan sendi,

sinkope yaitu kehilangan kesadaran secara tiba-tiba yang disebabkan oleh berkurangnya

aliran darah ke otak dengan gejala lemah, penglihatan gelap, keringat dingin, pucat dan

pusing (Lumbantobing, 2004).

b) Faktor ekstrinsik

Faktor ekstrinsik merupakan faktor dari luar (lingkungan sekitarnya) diantaranya cahaya

ruangan yang kurang terang, lantai yang licin, tersandung benda-

benda (Nugroho, 2000). Faktor-faktor ekstrinsik tersebut antara lain lingkungan yang tidak

mendukung meliputi cahaya ruangan yang kurang terang, lantai yang licin, tempat

berpegangan yang tidak kuat, tidak stabil, atau tergeletak di bawah, tempat tidur atau WC

yang rendah atau jongkok, obat-obatan yang diminum dan alat-alat bantu berjalan (Darmojo,

2004).

31
d) Akibat Jatuh

Jatuh dapat mengakibatkan berbagai jenis cedera, kerusakan fisik dan psikologis. Kerusakan

fisik yang paling ditakuti dari kejadian jatuh adalah patah tulang panggul. Jenis fraktur lain

yang sering terjadi akibat jatuh adalah fraktur pergelangan tangan, lengan atas dan pelvis

serta kerusakan jaringan lunak. Dampak psikologis adalah walaupun cedera fisik tidak

terjadi, syok setelah jatuh dan rasa takut akan jatuh lagi dapat memiliki banyak konsekuensi

termasuk ansietas, hilangnya rasa percaya diri, penbatasan dalam aktivitas sehari- hari,

falafobia atau fobia jatuh (Stanley, 2006).

e) Pencegahan

Menurut Tinetti (1992), yang dikutip dari Darmojo (2004), ada 3 usaha pokok untuk

pencegahan jatuh yaitu :

a. Identifikasi faktor resiko

Pada setiap lanjut usia perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari adanya faktor instrinsik

risiko jatuh, perlu dilakukan assessment keadaan sensorik, neurologis, muskuloskeletal dan

penyakit sistemik yang sering menyebabkan jatuh. Keadaan lingkungan rumah yang

berbahaya dan dapat menyebabkan jatuh harus dihilangkan.

Penerangan rumah harus cukup tetapi tidak menyilaukan. Lantai rumah datar, tidak

licin, bersih dari benda-benda kecil yang susah dilihat, peralatan rumah tangga yang sudah

tidak aman (lapuk, dapat bergerser sendiri) sebaiknya diganti, peralatan rumah

ini sebaiknya diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu jalan/tempat aktivitas

lanjut usia. Kamar mandi dibuat tidak licin sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya,

pintu yang mudah dibuka. WC sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi pegangan di

dinding.

b. Penilaian keseimbangan dan gaya berjalan (gait)

Setiap lanjut usia harus dievaluasi bagaimana keseimbangan badannya dalam melakukan

32
gerakan pindah tempat, pindah posisi. Bila goyangan badan pada saat berjalan sangat

berisiko jatuh, maka diperlukan bantuan latihan oleh rehabilitasi medis. Penilaian gaya

berjalan juga harus dilakukan dengan cermat, apakah kakinya menapak dengan baik, tidak

mudah goyah, apakah penderita mengangkat kaki dengan benar pada saat berjalan, apakah

kekuatan otot ekstremitas bawah penderita cukup untuk berjalan tanpa bantuan.

Kesemuanya itu harus dikoreksi bila terdapat kelainan/penurunan.

c. Mengatur/ mengatasi faktor situasional.

Faktor situasional yang bersifat serangan akut yang diderita lanjut usia dapat dicegah

dengan pemeriksaan rutin kesehatan lanjut usia secara periodik. Faktor situasional bahaya

lingkungan dapat dicegah dengan mengusahakan perbaikan lingkungan faktor situasional

yang berupa aktifitas fisik dapat dibatasi sesuai dengan kondisi kesehatan lanjut usia.

Aktifitas tersebut tidak boleh melampaui batasan yang diperbolehgkan baginya sesuai hasil

pemeriksaan kondisi fisik. Maka di anjurkan lanjut usia tidak melakukan aktifitas fisik yang

sangat melelahkan atau berisiko tinggi untuk terjadinya jatuh.

f) Upaya Pengurangan Risiko Pasien Jatuh

a) Mengenali faktor resiko jatuh dan melakukan penilaian risiko melalui pengkajian awal

dan pengkajian ulang

b) ·Melakukan intervensi pencegahan reisiko jatuh

c) ·Memonitor resiko jatuh Penilaian resiko jatuh menggunakan skala Morse untuk pasien

dewasa dan skala Humpty Dumpty untuk pasien anak - anak.

g) Contoh Penerapannya Dalam Pelayanan Keperawatan

a) Penambahan tempat tidur yang mempunyai penghalang disamping tempat tidur.

b) Tersedia restrain dan alat dressing yang sesuai dengan jumlah pasien.

33
c) Obat-obatan ( perawat melihat efek samping obat yang memungkinkan terjadinya jatuh)

d) Penglihatan menurun ( perawat dapat tetap menjaga daerah yang dapat menyebabkan

jatuh menggunakan kacamata, sehingga pasien dapat berjalan sendiri, misalnya pada malam

hari.

e) Perawat tanggap terhadap perubahan perilaku pasien.

f) Perawat mengecek seluruh daerah yang dapat menyebabkan jatuh misalnya sepatu atau

tali sepatu yang tidak pada tempatnya.

g) (Jatuh dilantai) perawat mengecek penyebab sering terjadinya jatuh, misalnya terlalu

banyak furniture, daerah yang gelap, dan sedikit hidarasi ( perawat menganjutkan untuk

minum 6-8 gelas perhari ).

h) Mengorientasikan klien pada saat masuk rumah sakit dan jelaskan sistem komunikasi

yang ada

i) Hati-hati saat mengkaji klien dengan keterbatasan gerak

j) Supervisi ketat pada awal klien dirawat terutama malam hari

k) Anjurkan klien menggunakan bel bila membutuhkan bantuan

l) Berikan alas kaki yang tidak licin

m) Jaga lantai kamar mandi agar tidak licin.

h) Panduan Pengkajian Resiko Jatuh

Penilaian meliputi berbagai aspek seperti riwayat jatuh, menggunaan alat bantu jalan,

kebiasaan berjalan, kebiasaan berkemih, penyakit dan obat yang dikonsumsi, dan lain -

34
lain. Penilaian terhadap resiko jatuh diharapkan dapat mengurangi resiko jatuh dan

meningkatkan kewaspadaan terhadap pasien beresiko jatuh. Dengan mengenali resiko jatuh

maka akan dapat diprediksi resiko jatuh seseorang, dan dilakukan tindakan pencegahan yang

sesuai. Dalam mencapai sasaran tersebut, maka pada umumnya rumah sakit diharapkan

untuk:

1. Mampu melakukan pengkajian (penilaian = assessment) sedini mungkin risiko jatuh

pasien, dan melakukan pengkajian ulang jika diindikasikan demikian, misalnya jika terjadi

perubahan kondisi, atau mendapatkan obat yang bisa meningkatkan risiko jatuh si pasien.

2. Pada pasien yang diidentifikasi memiliki risiko jatuh, maka dinilai apakah perlu dilakukan

intervensi atau tidak, jika seandainya perlu, maka ada prosedur untuk hal tersebut yang

dikenal sebagai pencegahan jatuh pada pasien.

3. Saat intervensi atau prosedur tersebut dilakukan, maka perlu dilakukan pengawasan, tentu

saja juga melalui pendokumentasian; apakah cara yang dilakukan berhasil, dan apakah

cukup efektif.

4. Rumah sakit juga perlu menetapkan kebijakan serta panduan dalam mendukung

pencapaian sasaran ini. Terutama dalam hal melindungi pasien yang ada di lingkungan

rumah sakit.

SKALA RESIKO JATUH HUMPTHY DUMPTY UNTUK PEDIATRIK

35
Parameter Kriteria Nilai Skor
Umur <3 Tahun 4

3-7 Tahun 3
7-13 Tahun 2

>- 13 Tahun 1
Jenis Kelamin Laki-laki 2
Perempuan 1
Diagnosis Diagnosis neurologi 4
Perubahan oksigenasi ( diagnosis 3
respiratorik, dehidrasi, anemia,
anoreksia, sinkop, pusing dll.
Gangguan perilaku\psikiatri 2
Diagnosi lainya 1
Gangguan koognitif Tidak menyadari keterbatasan lainya 3
Lupa akan danya keterbatasan 2
Orientasi baik terhadap diri sendiri 1
Faktor lingkungan Riwayat jatuh/ bayi diletakan di tempat 4
tidur dewasa
Pasien menggunakan alat bantu / bayi 3
diletakan dalam tempat tidur
bayi/perabot rumah
Pasien diletakan pada tempat tidur 2
Area diluar rumah sakit 1
Pembedahan/sedasi/anestesi Dalam 24 jam 3
Dalam 48 jam 2
>48 jam atau tidak 1
menjalanipembedahan/sedasi/anastesi
Penggunaan obat sedative, obat hionosis, barbiture, 3
fenotiazi, antidepresan, pencahar,
diuretic, narkose
Penggunaan salah satu obat diatas 2
Penggunaan medikasi lainya/tidak ada 1
medikasi

Skor assessment resiko jatuh : ( skor minumun 7, skor maksimun 23)

Skor 7-11 : resiko Rendah

Skor >- : resiko tinggi

36
SKALA RESIKO JATUH MORSE UNTUK DEWASA

NO Resiko Skala Nilai skor


1 Riwayat jatuh yang baru/ dalamTidak= 0 0
3 bulan terakhir Ya= 25 25
2 Alat bantu jalan 0
Bedres dibantu perawat 0
Penopang, tongkat/walker 14
Furniture 30
3 Memakai terapi heparin lock/IVTidak=0 0
Ya=25
4 Cara berjalan/berpindah 0
normal/bedrest/imobilisasi 0
Lemah 15
terganggu 30
5 Status mental 0
Orientasi sesuaikan kemampuan0
diri
Lupa keterbatasan diri 15
Jumlah 25→resiko
rendah

D. MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN UNTUK MEGATASI MASALAH INFEKSI

NOSOKOMIAL DI RUMAH SAKIT

Visi, misi dan tujuan dari pencegahan dan pengendalian infeksi dirumah sakit dan fasilitas

pelayanan kesehatan lainnya merupakan bagian dari visi, misi dan tujuan rumah sakit dan

fasilitas pelayanan kesehatan lainnya itu sendiri yang perlu dirinci secara spesifik dalam

lingkup pencegahan dan pengedalian infeksi rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan

lainnya sehingga dalam pelaksaannya dapat daling sinergis, integratif tidak duplikatif,

efektif dan efesien.

a. Manajemen Untuk Mengatasi Masalah Infeksi Nosokomial

1. Organisasi Pencegahan Infeksi Nosokomial Terdiri dari :

37
- Komite yang mewadahi organisasi-organisasi atau unit-unit yang ada di

rimah sakit agar infeksi nosokomial dapat dicegah

- Wewenang

- Keanggotaan

- Komunikasi jika sanitasi tidak dilakukan maka harus dicatat dan

dikomunikasikan

- Tanggungjawab

Surveilance adalah kegiatan pengamatan yang sistematis (terdiri diri langkah-langkah)

aktif terus menerus terhadap timbulnya dan penyebaran infeksi nosokomial pada

suatu peristiwa yang menyebabkan meningkat dan menurunnya risiko tersebut.

Risiko terjadi bila sanitasi tidak dilakukan secara kontinyu maka infeksi nosokomial

akan meningkat, semakin pendek hari rawat maka semakin rendak risikonya.

Infeksi nosokomial adalah penyakit infeksi yang berasal dari rumah sakit.

Surveilance ini tugasnya adalah mendeteksi penyakit infeksi yang bukan berasal dari

rumah sakit, caranya yaitu dengan mendiagnosa penyakit secara tepat dan lengkap,

jika tidak catatannya menjadi tidak lengkap. Misalnya, seorang pasien masuk

rumah sakit karena batuk tetapi setelah dirawat ternyata menderita flu juga maka

flunya disebut infeksi nosokomial. Surveilance infeksi nosokomial dapat dipakai

sebagai indikator baik atau tidaknya sanitasi rumah sakit, karena itu harus ada

wewenang dalam komite. Namun di Indonesia data tersebut under reported karena

akan memperburuk citra rumah sakit.

Macam Surveilance :

38
1. Surveilance aktif : dengan terus menerus dilakukan pendataan yang

sistematis

2. Survelance pasif : menunggu sistem sampai timbulnya infeksi nosokomial

di Indonesia umunya adalah surveilance pasif karena lebih murah. Namun

hal ini menyebabkan banyak terjadinya KLB seperti demam berdarah.

Pada virus aedes aegypti ada dua yaitu instriksik incubation selama 5 hari

ada dalam tubuh nyamuk dan ekstrinsik incubation selama 5-7 hari dalam

tubuh manusia. Bila dijumlahkan maka sampai timbulnya penyakit

demam berdarah membutuhkan waktu 10 hari. Pada surveilance pasif,

dilihat dari gejala manusia demam lalu dilakukan penyemprotan. Hal ini

terlambat karena pada periode itu nyamuk sudah beterbagngan ke

manusia lain. Seharusnya dimulai dari awal musim hujan dilakukan

pengamatan jentik nyamuk apakah ada virus pada nyamuk itu. Jika

positif, dilakukan penyemprotan pada daerah yang positif saja.

Tujuan Surveilance :

1. Memperkirakan besarnya masalah infeksi nosokomial ( Misalnya

HIV)

2. Memahami kejadian infeksi nosokomial itu sendiri ( misalnya

seseorang masuk karena saluran kemih, tetapi ketika masuk sudah

mulai demam (saluran pernapasan yang belum termanifestasi), ini

bukan infeksi nosokomial). Tetpi jika luka yang ada bernanah akibat

benda yang tidak steril maka disebut infeksi nosokomial.

3. Mendeteksi KLB atau Epidemi Infeksi Nosokomial.

4. Mendokumentasikan distribusi dan penyebaran infeksi (bisa

mengetahui munculnya infeksi dimana).

39
5. Menguji hipotesis tentang etiologi/penyebab.

Eksplorasi bentuk informasi yang informatif :

1. Bentuk : tabel, grafik, pie chart

2. Matching : waktu, frekuensi, jenis infeksi, pasien, sumber,

pengobatan, kelas ruangan, komplikasi, usia dan jenis kelamin

3. Analisis : trend, interaksi, asosiasi, hubungan kausal.

Kecenderungan terjadinya infeksi nosokomial :

1. Rumah sakit pendidikan/rujukan : bebas, pasien banya-penyakitnya

berat dan infeksi nosokomial tinggi.

2. Rumah sakit swasta biasnya infeksi nosokomial rendah, rumah sakit

pemerintah mempunyai biaya sanitasi yang tinggi namun

pelaksanaannya tidak ada. Rumah sakit besar-jumlah pasien besar-

jumlah tempat tidur banyak, BOR tinggi.

3. Rumah sakit khusus- ada hubungan dengan lama hari rawat, misal

rumah sakit jiwa lama hari rawat tinggi, tingkah laku menyebabkan

risiko sehingga nosokomial tinggi. Misalnya rumah sakit mata- lama

rawat inap rendah sehingga infeksi nosokomial rendah tindakan tidak

invasif.

Hububgan BTO dan TIO dengan Infeksi Nosiskomial :

1. BTO dan TIO ada hubungan dengan infeksi nosokomial

2. BTO adalah Bed Turn Over yaitu pemakaian tempat tidur dalam

setahun (48-52 kali dalam setahun). Paling lama hari rawat yang

40
bagus adalah 3 hari. Jika lama hari rawat tinggi maka BTO rendah,

BTO tinggi maka infeksi nosokomial rendah, namun ini juga

tergantung optimal tidaknya pembersihan kamar.

3. TIO dan Turn Over Internal yaitu waktu/jumlah hari kosong tempat

tidur biasnya rumah sakit menentukan 3-5 hari. Jika TIO rendah maka

infeksi nosokomial rendah.

Kegiatan Sueveilance Infeksi Nosokomial :

1. Merumuskan terjadinya yang akan diamati ( kriteria dan jenis

dijabarkan dengan jelas)

2. Mengumpulkan data secara sitematis (BTO dan TIO nya di ruangan)

3. Menghitung data agar bermakna

4. Menganalisa data dan menarik kesimpulan

5. Menyebarluaskan informasi kepada pihak yang perlu

6. Melaksanakan kegiatan yang perlu

Jenis Surveilance :

1. Menyeluruh (seluruh pasien, semua unit)

2. Berdasarkan tujuan (LOS, biaya,pengobatan

3. Tebatas (lokasi, unit, KLB)

4. Pasif dan aktif

5. SOP dan imlementasinya

6. Saran pendukung : instrumentasi, laboratorium, dll.

7. Faktor rsiko infeksi nosokomial : jenis kelamin, lama hari rawat, kelas

ruang rawat, komplikasi, lama tindakan (intrumen dan keperawatan,

41
prosedur tindakan, pemakaian antibiotik (jenis,

rasional,kultur/resitensi).

b. Kebijakan Untuk Mengatasi Masalah Infeksi Nosokomial

1. Semua rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya harus

melaksanakan pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI).

2. Pelaksanaan PPI yang dimaksud sesuai dengan pedoman manajerial

pencegahan dan pengedalian infeksi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan

kesehatan lainnya dan pedoman PPI lainnya yang dikeluarkan oleh

departemen kesehatan RI.

3. Direktur rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya membentuk

komite pencegahan dan pengendalian infeksi (KPPI) dan tim pencegahan dan

pengendalian infeksi (TPPI) yang langsung berada dibawah koordinasi

direktur.

4. Komite dan tim PPI mempunyi tugas, fungsi dan kewenangan yang jelas

sesuai dengan pedoman manajerial pencegahan dan pengedalian infeksi di

rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.

5. Untuk lancarnya kegiatan pencegahan dan pengendalian infeksi, maka setiap

rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya wajib memiliki IPCN

(Infection prevention and Control Nurse) purna waktu.

c. Dasar Hukum

1. Undang-undang republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan

(Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara

RI Nomor 3495).

42
2. Undang-undang repuplik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang praktik

kedokteran (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 166, Tambahan

Lembaran Negara RI Nomor 4431).

3. Keputusan presiden republik Indonesia Nomor 40 Tahu 2001 tentang

pedomen kelembagaan dan pengelolaan Rumah Sakit.

4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

159b/Menkes/SK/Per/II/1998 tentang Rumah Sakit.

5. Peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor

986/Menkes/Per/XI/1992 tentang persyaratan kesehatan Lingkugan Rumah

Sakit.

6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen

Kesehatan.

7. Peraturan Menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor

1045/Menkes/Per/XI/2006 tentang pedoman Organisasi Rumah Sakit di

Lingkungan Departemen Kesehatan.

8. Keputusan menteri kesehatan republik Indonesia Nomor

1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit.

9. Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor

129/Menkes/SK/II/2008 tentang standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.

10. Keputusan menteri Kesehatan Indonesia Nomor 1165.A./Menkes/SK/X/2004

tentang Komisi Akreditasi Rumah Sakit.

11. Surat edaran direktur jenderal Bina Pelayanan Medik Nomor

HK.03.01/III/3744/08 tentang Pembentukan Republik Komite dan Tim

Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit.

43
E. MONITOR DAN EVALUASI DALAM MENGATASI MASALAH INFEKSI

NOSOKOMIAL

1. Monitoring

a. Monitorning pelaksanaan PPI dilakukan oleh IPCN, IPCLN

b. Melakukan surveilens aktif dengan metode target surveilens. Dilakukan setiuap hari

dalam hal pengumpulan data mempergunakan check list, dan melakukan perhitungan

insiden rate infeksi setiap bulan c. Ada formulir kertas kerja/bantu surveilans.

2. Evaluasi

a. Dilakukan oleh Tim PPI dengan frekuensi setiap bulan

b. Evaluasi oleh Komite PPI setiap 3 bulan

3. Laporan

a. Membuat laporan tertulis kepada Direktur/wadir pelayanan medic setiap bulan.

b. Membuat laporan rutin : bulanan, 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun, maupun insidensil atau

KLB

44
KUMPULAN SOAL

1. Apa yang dimaksud dengan infeksi nasokomial

a. Infeksi saat dalam perawatan

b. Infeksi terjadi setelah selesai operasi

c. Infeksi setelah diberikan perawatan

d. Semua jawaban salah

2. Hal apa saja yang berhubungan dengan nasokomial

a. Secara umum infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapatkan penderita selama

dirawat dirumah sakit.

b. Infeksi nosokomial sukar diatasi karena sebagai penyebabnya adalah mikro

organisme / bakteri yang sudah resisten terhadap anti biotika.

c. Bila terjadi infeksi nosokomial, makaakan terjadi penderitaan yang berpanjangan

serta pemborosan waktu serta pengeluaran biaya yang bertambah tinggi

kadangkadang kualitas hidup penderita akan menurun.

d. Semua jawaban benar

3. Apa saja yang tidak termasuk dalam ciri-ciri infeksi nasokomial.

a. Apabila pada waktu dirawat di RS, tidak dijumpai tanda-tanda klinik infeksi tersebut.

b. Pada waktu penderita mulai dirawat tidak dalam masa inkubasi dari infeksi tersebut.

45
c. Tanda-tanda infeksi tersebut baru timbul sekurang-kurangnya 3 x 24 jam sejak mulai

dirawat.

d. Ketika pasien memiliki tanda-tanda infeksi terjadi kurang dari 2 x 24 jam sejak mulai

dirawat.

4. Apa saja faktor-faktor yang bukan termasuk dalam memperngaruhi infeksi nasokomial .

a. Usia

b. Lingkungan

c. DNA

d. Seks.

5. Yang bukan termasuk dalam proses penularan infeksi nasokomia adalah

a. Pasien mendapat infeksi nasokomial melalui makanan yang dikonsumsi saat berada di

rumah sakit

b. Pasien mendapat infeksi nosokomial melalui pasien-pasien yang dirawat ditempat /

ruangan yang samadi RS tersebut.

c. Pasien mendapat infeksi nosokomial melalui keluarga pasien yang bekunjung

kerumah sakit tersebut.

d. Pasien mendapat infeksi niosokomial melalui peralatan yang dipakai dirumah sakit

tersebut.

46
6. faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial. Kemungkinan

terjadinya infeksi tergantung dari.

a. tingkat virulensi,

b. karakteristik mikroorganisme,

c. Kekebalan daya tahan tubuh menurun

d. resistensi terhadap zat-zat antibiotika

7. Cara-cara penularan infeksi nasokomial ada berbagai macam, pilihlah salah satu

penularan yag bukan termasuk dalam penularan nasokomial.

a. Penularan melalui udara

b. Penularan secara kontak

c. Penularan melalui Common Vehicle

d. Penularan dengan perantara vektor

8. Apa yang dimaksud dengan penularan melalui common vehicle

a. Penularan melalui udara

b. Penularan melalui kontak

c. Penularan dari benda mati

d. Penularan dari lingkungan

9. Apa saja tanda dan gejala terjadinya infeksi nasokomial

a. Tekanan darah rendah,

47
b. output menurun,

c. Pasien dengan urinary tract infection

d. Semua jawaban benar

10. Apa saja yang harus diperhatikan oleh keluarga supaya tidak terjadi infeksi nasokomial?

a. Menjaga kebersihan diri sendiri

b. Menjaga lingkungan tetap bersih

c. Mengerti apa saja peraturan yang ada di RS

d. Semua jawaban benar

11. Bagaimana cara pencegahan dan pengendalian infeksi PPI kecuali

a. Membersihkan lingkungan

b. Memberikan keluarga menjenguk secara bergerombolan

c. Menjaga kebersihan diri

d. Menggunakan anti mikroba

12. Apa tujuan dari terbentuknya PPI

a. Untuk melakukan pembersihan alat medis

b. Untuk pembagia alat-alat medis

c. Untuk pencegahan terjadinya infeksi nasokomial

d. Untuk memberikan pelayanan kebersihan lingkungan

48
13. Apa pungsi dari gown

a. Sebagai pelindung tangan

b. Sebagai pelindung mata

c. Sebagai pelinfung kepala

d. Semua jawaban salah

14. Menurut Efstathiou Georgios, 2011 membahas tentang apa?

a. Macam-macam APD

b. Cara penggunaan APD

c. Pemahaman tentang ketidak patuhan penggunaan APD

d. Penjelasan pentingnya penggunaan APD

15. Apa saja upaya yang harus dipahami mengenai pengurangan resiko pasien terjatuh

a. Menanyakan kepada pasien mengenai kapan merasakan mau terjatuh

b. Melakukan intervensi pencegahan resiko terjatuh

c. Melakukan pengkajain ulang kepada pasien

d. Semua jawaban salah

16. Pilihlah yang bukan termasuk dari tujuan Surveilance

a. Surveilance aktif yang melakukan pendatan

b. Surveilance Pasif menunggu sistem sampai timbulnya unfeksi nosokomila

49
c. Surveilance bayang-bayang

d. Semua jawaban salah

17. Semua rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya harus melaksanakan

pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI). Kalimat tersebut termasuk dalam

a. Dasar hukum

b. Tugas dari surveilance

c. Hubungan antara BTO dan TIO

d. Kebijakan mengatasi masallah nasokomia

18. Undang-undang repubilk Indonesia Nomer 23 tahun 1992 membahas tentang apa

a. Kesehatan

b. Praktik keodkteran

c. Pedoman kelembagaan dan pengelolaan Rumah Sakit

d. Organisasi

19. Undang undang republik Indonesia Nomer 129/Menkes/SK/II2008 membahas tentang

apa

a. Komisi akreditasi Rumah Sakit

b. Pembentukan Republik komite dan tim pencegahan dan pengendalian infeksi di

Rumah Sakit

c. Standar pelayanan minimal Rumah Sakit

50
d. Pedoman pelembagaan rumah sakit

20. Yang bukan termasuk dari kegiatan surveilance infeksi nasokomial

a. Menghitung data agar bermakna

b. Menganalisa data dan menatik kesimpulan

c. Melaksanakan kegiatan yang perlu

d. Menmberikan perintah ke seluruh pasin

Esay

1. Sebutkan dampak-dampak bahayanya terjadi infkesi nasokomial?

2. Sebutkan 5 tanda-tanda gejala infeksi nasokomial?

3. Sebutkan ada berapa cara terjadinya penularan nasokomial?

4. Jelaskan 2 pengertian dari cara penyebaran terjadinya penularan nasokomial?

5. Sebutkan 3 dari 5 penyebab terjadinya infeksi nasokomial?

6. Jelaskan pengertian dari 2 penyebab terjadinya infeksi nasokomial?

7. Uraikan pendapattmu mengenai cara pencegahan terjadinya infeksi nasokomial?

8. Sebutkan cara cara menghindari infeksi nasokomial?

9. Jelaskan pengertian dari infeksi nasokomial

10. Sebutkan dan jelaska macam-macam APD dan Fungsi dari APD tersebut!

51

Anda mungkin juga menyukai