SEPATAH KATA....................................................................... ix
DAFTAR SINGKATAN.............................................................xvii
PENDAHULUAN..................................................................... 1
A. Latar Belakang........................................................................... 1
B. Sumber-Sumber........................................................................ 10
C. Struktur Buku ........................................................................... 14
BAB I
TIONGHOA DAN BATAK TOBA SEBAGAI LADANG MISI..... 19
A. Identitas Kelompok Etnis Tionghoa........................................ 20
1. Corak Hidup Orang Tionghoa......................................... 21
2. Migrasi Orang Tionghoa ke Indonesia............................ 24
3. Kedudukan Kelompok Etnis Tionghoa di Indonesia....... 31
B. Identitas Kelompok Etnis Batak Toba..................................... 43
1. Adat Batak......................................................................... 44
2. Marga Batak....................................................................... 47
3. Nilai Budaya Hamoraon, Hagabeon dan Hasangapon... 52
4. Migrasi Orang Batak......................................................... 54
C. Kelompok Etnis Lain dalam GMI............................................. 63
BAB II
METHODISME: DARI GERAKAN KE GEREJA........................ 71
A. Lahirnya Gerakan Methodist di Inggris.................................. 72
1. Inggris pada abad ke-18......................................................................................... 72
BAB III
MISI METHODIST BERKEMBANG DARI SINGAPURA
KE HINDIA BELANDA (1905–1928).......................................... 151
A. Pra-Perintisan ......................................................................... 151
B. Jawa, Kalimantan, dan Sumatra Selatan ................................. 153
1. Jawa.................................................................................... 154
2. Kalimantan (Barat)............................................................ 177
3. Sumatra Selatan dan Bangka............................................ 181
4. Konferensi Misi Dibentuk Tahun 1918............................. 186
C. Sumatra Utara........................................................................... 188
1. Misi ke Kalangan Orang Tionghoa.................................. 189
2. Misi ke Kalangan Orang Batak ....................................... 202
D. Berbagai Hambatan.................................................................. 216
BAB IV
SELAMAT TINGGAL JAWA, FOKUS DI SUMATRA (1928–1964). 233
A. Misi di Jawa dan Kalimantan Ditutup..................................... 234
1. Situasi Gereja Methodist di Amerika Dasawarsa 1920-an. 234
2. Proposal DR. R.E. Diffendorfer........................................ 237
3. Realisasi Penutupan.......................................................... 241
B. Konsolidasi Misi Methodist di Sumatra (1928–1950)..............244
1. Alasan Pemusatan Misi Methodist di Sumatra...............244
2. Konteks Dunia pada Waktu Konsolidasi......................... 247
3. Konsolidasi Misi di Kalangan Tionghoa..........................249
4. Konsolidasi Jemaat-Jemaat Batak dan Hubungan
dengan RMG...................................................................... 263
C. Berbagai Upaya Pengembangan Methodist di Sumatra
(1950–1964)................................................................................ 277
1. Perkembangan di Distrik Tionghoa................................. 279
2. Perkembangan di Kalangan Orang Batak....................... 285
D. Hubungan Orang Batak dan Orang Tionghoa dalam Misi
Methodist.................................................................................. 296
BAB V
MANDIRI DAN BERGUMUL MENEMUKAN JATI DIRI
(1964–1995)............................................................................... 315
A. Latar Belakang Otonomi Gmi.................................................. 316
1. Faktor Internal.................................................................. 316
2. Faktor Eksternal ............................................................... 318
3. Gereja Methodist Merdeka Indonesia (GMMI) ............. 320
4. GMI yang Otonom............................................................ 326
B. Struktur Organisasi GMI.......................................................... 330
1. Dari Ketua menjadi Bishop .............................................. 330
2. BPH dan BPL GMI............................................................. 339
3. Badan Episkopal GMI....................................................... 342
4. Pengalaman Gereja Methodist di Negara Lain............... 345
C. Pro-Kontra Distrik Tionghoa/Pengembangan........................ 349
1. Perkembangan Distrik Tionghoa..................................... 349
2. Gerakan ”Kebangkitan GMI” 1981 ................................ 355
3. Penghapusan Distrik Pengembangan 1983...................... 365
4. Belajar dari Negara Tetangga .......................................... 371
D. Sekolah-Sekolah GMI (PKMI).................................................. 376
1. PKMI-2 Jalan Thamrin, Medan, di Bawah Distrik
Pengembangan.................................................................. 377
2. Anggaran Rumah Tangga (ART) Pendidikan ................. 382
3. PKMI-2 Jalan Thamrin Diambil Alih Konferensi
Tahunan ............................................................................ 390
E. Reaksi Jemaat-Jemaat Tionghoa.............................................. 398
1. Pusat Persekutuan Injil GMI............................................ 398
2. Pembentukan Yayasan Pendidikan Lokal ...................... 403
3. Masalah dengan CCCOWE............................................... 407
4. Jemaat-Jemaat Berbahasa Tionghoa Mundur.................409
BAB VI
KESIMPULAN..........................................................................429
A. Gereja Methodist yang Multietnis........................................... 430
B. Jabatan Bishop: Berkat atau Beban?........................................ 433
C. Masalah Distrik Tionghoa (Pengembangan).......................... 436
D. Masalah PKMI-2 Medan........................................................... 441
DAFTAR PUSTAKA..................................................................459
TENTANG PENULIS................................................................484
UNTUK MENGENANG PARA BISHOP GMI YANG TELAH MENGHADAP TAKHTA BAPA DI
SORGA:
1. Bishop J. Gultom, M.Th.
2. Bishop H. Sitorus, S.Th. BA
3. Bishop H. Panggabean, MA
4. Bishop Bachtiar Kwee, D. Min.
5. Bishop Petrus Kohar, S.Th.
DAN MENGHARGAI JASA TIGA ORANG MISIONARIS GMI YANG MENOLONG PENULIS
MERAMPUNGKAN KARYA INI:
1. Rev. Ragnar Alm (Swedia)
2. Rev. Fred Ingold (AS)
3. Rev. J. Wesley Day (AS)
SEPATAH KATA
K ita bersyukur dan menyambut gembira atas diterbitkannya kembali buku Kekristenan dan Kesukubangsaan (1996)
karya Pdt. Richard M. Daulay, MA, yang telah direvisi dengan berbagai penambahan dan perubahan sehingga
semakin sempurna dan lengkaplah buku ini dengan judul yang baru, Sejarah Gereja Methodist Indonesia: 50 Tahun
GMI Otonom (1964–2014) dan 110 Tahun Misi Methodist di Indonesia (1905–2015).
Dengan diterbitkannya kembali buku ini, berarti telah tersedia sebuah buku sejarah GMI yang sangat lengkap dan
penting. Karena itu, buku ini wajib dibaca oleh setiap warga GMI guna menambah wawasan teologis-historis, terutama agar
warga GMI semakin dalam memahami sejarah perjalanan Gereja Methodis Indonesia sebagai gereja yang bukan gereja suku,
melainkan gereja yang berasal dari berbagai latar belakang suku, budaya, dan bahasa di Indonesia.
Sebagai orang percaya, kita tidak bisa melupakan sejarah masa lalu. Ini karena sejarah masa lalu membangkitkan
semangat pelayanan Gereja Methodist di masa datang, yang semakin hari akan semakin menghadapi banyak tantangan.
Akhirnya, kami mengucapkan selamat kepada Pdt. Dr. Richard Daulay yang telah bekerja keras untuk menerbitkan
buku ini. Tuhan memberkati.
”Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalan pekerjaan Tuhan! Sebab
kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia” (1Kor 15:58).
K ita patut bersyukur kepada Kristus Yesus, Kepala Gereja yang memberi kesempatan kepada Gereja Methodist
Indonesia (GMI) untuk melayani di Indonesia sejak tahun 1905. Tahun 2014, merupakan tahun bersejarah bagi kita
karena pada tahun ini GMI genap berusia 50 tahun sebagai gereja yang otonom. Pada tahun 2015, GMI merayakan
110 tahun Misi Methodist di Indonesia. Sepanjang rentang waktu yang panjang itu, terutama setelah otonom tahun 1964,
GMI telah mengalami banyak suka duka dan tantangan dalam melayani serta membangun persekutuannya. Semua itu tentu
kita harapkan dapat semakin mendewasakan GMI, sehingga GMI akan semakin matang serta mampu mengemban tugas
dan tanggung jawab Amanat Agung Kristus. Sejarah adalah suatu pembelajaran dan proses menjadi, dan melalui sejarah
kita dapat belajar menjadi gereja yang bertumbuh.
Dalam rangka perayaan otonom 50 tahun GMI, kami meminta Pdt. Dr. Richard Daulay untuk menulis buku sejarah
GMI. Setelah dipertimbangkan matang-matang dari segi waktu, dana dan tenaga, kami menyepakati agar karya beliau, yang
diangkat dari disertasi pada SEAGST yang dipertahankan tahun 1995 dan telah diterbitkan dengan judul Kekristenan dan
Kesukubangsaan (1996), diterbitkan ulang dalam bentuk edisi revisi. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, akhirnya buku
ini terbit tepat pada waktunya.
Buku ini sangat penting dan berguna untuk dibaca, terutama oleh warga GMI—terlebih lagi para pendeta dan para
teolog GMI. Sebagai karya ilmiah, buku ini mengupas secara historis-kritis dan komprehensif latar belakang dan persoalan
eklesiologi GMI, baik sebelum maupun sesudah GMI otonom. Sebagai pimpinan Gereja Methodist Indonesia Wilayah 1,
saya berterima kasih kepada Bapak Pdt. Dr. Richard M. Daulay.
Akhirnya, dengan diterbitkannya buku ini, saya berharap kiranya pembaca memperoleh berkat, baik intelektual
maupun spiritual, serta dapat lebih mengenal dan memahami GMI. Kami mengimbau kiranya warga GMI membaca buku
ini supaya dapat belajar dan bertumbuh dari sejarahnya. Firman Tuhan dalam Kitab Ibrani 13:7 berkata: ”Ingat lah akan
pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan
contohlah iman mereka.”
T ahun 2014, GMI akan merayakan yubileum 50 tahunnya sebagai gereja otonom, dan pada tahun 2015 akan
merayakan yubileum 110 tahun peringatan kedatangan zending Gereja Methodist di Indonesia. Khusus untuk
perayaan 50 tahun GMI otonom, GMI melakukan serangkaian kegiatan seperti seminar, penerbitan buku, dan
kebaktian ucapan syukur untuk mensyukuri momen bersejarah itu.
Dalam rangkaian penerbitan buku, Bishop Darwis Manurung sebagai Pimpinan GMI Wilayah I, meminta saya untuk
menulis sejarah GMI, yang akan diterbitkan sebagai bagian dari kegiatan yubileum tersebut. Setelah mempertimbangkan
masalah waktu, tenaga dan biaya, saya memutuskan untuk merevisi buku saya, Kekristenan dan Kesukubangsaan
(Yogyakarta: TPK, 1996). Buku tersebut diangkat dari disertasi saya dalam rangka program doktor pada SEAGST tahun 1995.
Walaupun ditulis 20 tahun yang lalu, buku itu masih sangat relevan. Persoalan-persoalan menyangkut masalah
struktur kepemimpinan GMI, hubungan Gereja dengan PKMI—termasuk pergumulan jemaat-jemaat berbahasa Tionghoa—
masih tetap menjadi isu hangat dalam tubuh GMI hingga sekarang. Tanpa mengubah substansi, buku ini telah mengalami
revisi cukup besar, antara lain menyangkut judul buku, judul bab-bab dan sub-bab, termasuk bahasa, dengan maksud agar
lebih mudah dipahami oleh pembaca. Dalam Bab II telah dimasukkan sedikit mengenai sejarah lahirnya gerakan Methodist
di Inggris, dengan maksud agar buku ini memberikan gambaran lengkap latar belakang sejarah GMI dari Inggris-Amerika-
Singapura sampai ke Indonesia. Isi bab I, III dan IV hampir tidak mengalami perubahan signifikan dari buku aslinya. Bab
yang paling banyak mengalami revisi adalah bab V dan VI. Sebagian isi Bab VI dipindahkan ke Bab V, terutama yang
berkaitan dengan ”Evaluasi dan Refleksi”. Pada bagian akhir buku ini, saya menulis sebuah ”Postscript,” yaitu sebuah
tinjauan umum terhadap GMI setelah dua puluh tahun sejak disertasi saya ditulis.
Untuk mempertahankan akurasi dan mempertanggungjawabkan isi, Daftar Pustaka dan sebagian besar catatan kaki
masih dipertahankan, yang diganti menjadi ”Catatan Akhir” pada setiap bab. Dengan demikian, para peminat sejarah GMI
dapat mengacu dan memanfaatkan sumber-sumber tersebut untuk penulisan sejarah GMI yang lebih baik di masa depan.
Kutipan-kutipan langsung yang tadinya ditulis dalam bahasa Inggris atau bahasa daerah, diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia.
Saya mengucapkan terima kasih kepada teman-teman pendeta GMI dan warga GMI yang telah mendoakan saya selama
ini sehingga saya dapat terus memberikan sumbangan kecil kepada GMI dan gereja-gereja di Indonesia melalui PGI,
termasuk kepada bangsa Indonesia. Khusus kepada Pdt. Charles Sihombing, M.Th., Pdt. Rudi F. Siman juntak, MSi, dan Drs.
Naurat Silalahi yang membaca naskah akhir buku ini, saya ucapkan banyak terima kasih. Doa saya kiranya penerbitan buku
ini dapat menjadi ”kado” kecil dalam rangka pesta yubileum Hari Ulang Tahun (HUT) 50 tahun GMI otonom, pada bulan
Agustus 2014, dan pesta yubileum 110 tahun GMI tahun 2015.
Terima kasih banyak kepada istri tercinta (Oppung Cantik) yang selalu setia melayani saya: menyediakan kopi, buah,
jus, dan makanan lain, untuk menguatkan saya terus ber-DBT (duduk, baca, tulis) di kamar belajar saya setiap harinya.
Terima kasih kepada BPK Gunung Mulia yang bersedia menerbitkan buku ini, terutama kepada Anton Sulistiyanto, yang
bekerja cepat dan lincah.
A. LATAR BELAKANG
Gereja Methodist Indonesia (GMI) adalah sebuah gereja yang tergolong unik di Indonesia. Berbeda dengan gereja-gereja
arus utama (main stream) yang, pada umumnya adalah gereja suku, GMI sejak awal bukanlah sebuah gereja suku.
Keanggotaan GMI sangat heterogen, terdiri dari berbagai kelompok etnis: Tionghoa, Batak Toba, Jawa, Sunda, Nias, Batak
Simalungun, dan Batak Karo. Dari semua kelompok etnis yang ada dalam GMI, dua kelompok yang terbesar ialah orang
Tionghoa dan orang Batak Toba, yang menjadi fokus studi ini, tanpa mengecilkan peran kelompok-kelompok etnis yang
lain. Dalam perjalanan sejarah GMI sejak tahun 1905 sampai sekarang, relasi antara kedua kelompok enis Batak dan
Tionghoa yang ada dalam GMI sangat mewarnai pergulatan pelayanan GMI. Di satu sisi GMI mampu menunjukkan kepada
dunia, bahwa perbedaan kelompok etnis dalam gereja tidak dapat mengalahkan kesatuan gereja sebagai tubuh Kristus.
Sama seperti di negara-negara lain, seperti Malaysia dan Singapura, di mana Gereja Methodist di kedua negara tetangga itu
mampu mewadahi kelompok etnis Tionghoa, India (Tamil) dan—khusus di Malaysia—Melayu (Iban). Tetapi di sisi lain, GMI
sering menghadapai berbagai ketegangan bahkan keretakan karena konflik yang ditimbulkan perbedaan kelompok etnis
itu.
Sejak GMI menjadi gereja otonom (1964) perjalanan GMI sarat dengan berbagai ketegangan antara kedua kelompok
etnis. Yang paling sering menjadi pemicu ketegangan dan perdebatan adalah di sekitar ”aset” GMI, terutama menyangkut
sekolah-sekolah Methodist. Salah satu sekolah Methodist yang paling sering menjadi pemicu persoalan adalah PKMI-2 Jalan
Thamrin, Medan. Hingga sekarang PKMI (TK, SD, SMP dan SMU) yang merupakan warisan Misi Methodist itu merupakan
salah satu sekolah swasta terbaik di Sumatra Utara. Masalahnya adalah, siapakah yang berhak mengelola perguruan
Methodist ini: apakah Kantor Pusat GMI (Konferensi Tahunan) atau Distrik Tionghoa dan atau Jemaat GMI Gloria, Jalan
Nusantara Medan? Sekolah ini menjadi rebutan karena ia mempunyai banyak uang. Masing-masing pihak berupaya untuk
dapat mengelola sekolah ini, karena hanya dengan cara demikianlah maka potensi keuangan yang dimiliki sekolah tersebut
dapat digunakan untuk mendukung program-program masing-masing. Puncak dari ketegangan kelompok etnis Batak dan
Tionghoa dalam GMI terjadi pada tahun 1980-an, ketika Kantor Pusat GMI berupaya mengambil-alih sekolah ini ke dalam
pengelolaan Konferenasi Tahunan.
Studi ini bermaksud mengkaji dua aspek perjumpaan yang terjadi dalam GMI. Pertama, akan dianalisis perjumpaan
dan pekabaran Injil Methodist dengan kedua kelompok etnis, Batak dan Tionghoa. Untuk itu, akan diuraikan secara
kronologis perjalanan Misi Methodist di Hindia Belanda (HB) dari awal (1904) hingga GMI menjadi gereja otonom (1964),
dengan tetap memantau benang merah perjumpaannya dengan dua kelompok etnis. Tujuannya untuk melihat sejauh mana
dinamika etnisitas telah tertanam sepanjang sejarah pekerjaan Methodist di Indonesia, yang pada periode-periode berikut-
nya berpengaruh besar pada perjumpaan kedua kelompok etnis dalam GMI.
Kedua, akan dibahas pula perjumpaan dan interaksi kedua kelompok etnis yang mempunyai latar belakang sosial-
budaya yang berbeda itu dalam GMI. Pokok kedua ini terutama menyangkut periode setelah GMI menjadi gereja otonom
tahun 1964. Bukan rahasia lagi bahwa dalam tubuh GMI pertentangan atau konflik internal yang di akibatkan perjumpaan
kedua kelompok etnis sering terjadi. Jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa lingkungan sosial-politik Indonesia sebagai
konteks GMI sering mengalami konflik antaretnis, terutama antara golongan pribumi dengan golongan non-pribumi, dapat
diduga bahwa sedikit banyak hal itu berpengaruh pada GMI. Jadi, fokus studi ini adalah melihat sejauh mana dampak
ketegangan etnis yang mungkin ada dalam GMI telah berpengaruh pada perkembangannya. Studi ini berargumen bahwa
konflik internal yang sering terjadi dalam GMI dan mengganggu perkembangan GMI adalah disebabkan karena GMI belum
mampu menciptakan sistem tata kelola organisasi yang baik yang dituangkan dalam Buku Disiplin GMI. Sistem dan tata
kelola organisasi yang kurang baik ini diperparah pula oleh ketegangan etnis yang mewarnai sejarah perjalanan GMI dari
dulu hingga sekarang. Selama GMI belum bisa menciptakan sistem dan tata kelola yang baik khusus nya berkaitan dengan
realitas adanya kelompok etnis Tionghoa di dalam GMI, maka masa depan GMI masih tetap sarat dengan konflik in ternal,
dan perkembangannya akan tersenda-sendat. Tentu potensi konflik yang inheren dalam GMI itu adalah produk dari sejarah
yang cukup panjang, yang perlu mendapat penelitian yang mendalam dan luas.
Langkah awal Misi Methodist di Indonesia (dulu: Hindia Belanda) sejauh yang dapat dilacak sudah mulai pada tahun
1887. Pendeta (Rev.) William F. Oldham, misionaris Methodist yang sejak tahun 1885 memulai pekerjaan Methodist di
Singapura, datang ke Jawa untuk meninjau kemungkinan mengembangkan pekerjaan Methodist di HB. Kendati ia melihat
adanya kesempatan baik untuk mengembangkan misi ke HB, namun karena tenaga dan dana belum tersedia, niat itu tidak
segera berlanjut.1 Untuk tujuan yang sama, pada tahun 1890, Dr. Benyamin F. West, seorang dokter zending Methodist
(kemudian menjadi pendeta) yang telah bekerja di Singapura sejak tahun 1888, mengunjungi Pontianak (Kalimantan
Barat),2 dan tahun 1892 ia juga mengunjungi Tanah Batak.3 Di kedua tempat ini, pekerjaan Methodist tidak segera dapat
dimulai karena dana dan daya yang belum tersedia. Tahun 1894, Miss Sophia Blackmore, Miss Ferris, dan Mrs. Shellabear—
ketiganya misionaris Methodist di Singapura–mengunjungi Palembang, juga untuk maksud yang sama. Setelah mendapat
izin dari pemerintah (Belanda) setempat, mereka sempat mengadakan usaha-usaha mengomunikasikan Injil kepada
masyarakat dengan mengedarkan brosur berisi cerita-cerita Alkitab. Usaha ini juga tidak segera dapat diteruskan karena
alasan yang sama.4
Baru enam belas tahun kemudian, setelah Oldham meninjau Pulau Jawa, usaha untuk mengembangkan Methodisme ke
Hindia Belanda menjadi kenyataan. Pada tahun 1905, Badan Zending Methodist 5 yang berpusat di New York, Amerika
Serikat, mengutus John Russel Denyes untuk memulai Misi Methodist di Pulau Jawa. Mula-mula, orang Tionghoa di Batavia
menjadi sasaran pekerjaannya, tetapi tak lama kemudian Misi Methodist juga mengarah pada orang Sunda di luar Batavia.
Bulan Mei tahun 1905, Misi Methodist telah pula memasuki Pulau Sumatra khususnya Medan. Sama seperti di Jawa, mula-
mula Misi Methodist bermaksud untuk menginjili orang Tionghoa, tetapi kemudian ia mencoba menginjili orang Tamil di
Medan. Tahun 1906, Misi Methodist mengembangkan diri ke Kalimantan Barat, mula-mula juga untuk menginjili orang
Tionghoa, tetapi kemudian Misi Methodist juga menginjili orang Dayak. Tahun 1908, Misi Methodist masuk pula ke bagian
selatan Sumatra (Palembang), khusus melayani etnis Tionghoa.
Tahun 1907, pekerjaan Methodist di seluruh HB diorganisasi menjadi satu distrik dari Malaysia Annual Conference
(MAC), dengan nama Netherlands Indies District, yang dipimpin oleh seorang District Superintendent (DS). Tahun 1911,
Misi Methodist mengembang ke Bangka dan Surabaya di tempat yang terdapat banyak orang Tionghoanya. Tahun 1921,
Badan Misi Methodist memulai usaha penginjilan kepada orang Batak yang berada di wilayah Sumatra Timur, baik orang
Batak Pardembanan maupun orang Batak perantauan. Tahun 1928, kalangan orang Batak Simalungun juga dimasuki Misi
Methodist.
Jadi, selama lima belas tahun pertama bekerja di HB, Misi Methodist telah tersebar di suatu kawasan yang luas, serta
bekerja di kalangan sejumlah kelompok etnis (Tionghoa, Sunda, Dayak, Batak Toba, Batak Simalungun), yang satu sama
lain mempunyai latar belakang bahasa dan budaya yang berbeda. Agaknya—dengan beberapa kekecualian, antara lain
Nederlandsche Zendingsvereniging (NZV) yang bekerja di kalangan orang Sunda dan Tionghoa di Jawa Barat–strategi kerja
demikian merupakan ciri khas Misi Methodist. Sesuai dengan kondisi masyarakat di HB yang terdiri dari ratusan kelompok
etnis yang mempunyai daerah tertentu, umumnya badan-badan zending yang bekerja di HB selalu memilih satu kelompok
etnis tertentu di suatu daerah tertentu sebagai lapangan misinya. Dengan bekerja di satu suku tertentu pada daerah
tertentu, badan-badan zending non-Methodist itu umumnya melahirkan gereja-gereja suku yang identitasnya dicirikan oleh
bahasa dan nilai-nilai budaya suku itu. Sebagai contoh, Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) yang bekerja di Tapanuli
pada akhirnya melahirkan gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) atau Gereja Batak; Nederlands
Zendelinggenootschap (NZG) yang bekerja di tanah Karo melahirkan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP). Kendati badan
zending NZV yang bekerja di Jawa Barat di kalangan orang Tionghoa dan Sunda pada mulanya melahirkan sejumlah jemaat
campuran, namun akhirnya dari pekerjaan itu lahir dua gereja etnis, yakni Gereja Kristen Pasundan (GKP) dan Gereja
Kristen Indonesia–Jawa Barat (GKI–Jabar).
Tahun 1928, pekerjaan Methodist di Jawa dan Kalimantan ditutup, yang selanjutnya dipusatkan di Sumatra. Sejak itu,
Misi Methodist hanya bekerja di kalangan orang Tionghoa dan orang Batak di Pulau Sumatra. Perkembangan Misi
Methodist di kalangan orang Tionghoa di Sumatra sejak semula tidak begitu pesat. Gerakan misi yang cukup berarti di
kalangan orang Tionghoa adalah gerakan kebangunan rohani yang dilakukan oleh John Sung tahun 1930-an di Medan.
Waktu itu, banyak orang Tionghoa di Sumatra Utara, khususnya di Medan, yang bertobat. Hingga sekarang, pengaruh John
Sung masih cukup besar dalam kehidupan orang-orang Kristen Tionghoa di Sumatra Utara. Lambat laun, komposisi
anggota Methodist–yang pada awalnya jumlah orang Tionghoa lebih besar daripada orang Batak–menjadi terbalik. Orang-
orang Batak yang berada dalam asuhan Misi Methodist yang sebagian besar berasal dari gereja Batak, lambat laun menjadi
unsur utama GMI. Bukan tidak mungkin wawasan gereja Batak turut terbawa ke dalam GMI, sehingga identitas GMI
sebagai gereja Wesleyan menjadi agak kabur. Sejauh mana wawasan teologi gereja Batak telah membentuk wawasan GMI,
dan sejauh mana teologi Methodist dihayati dalam GMI, adalah salah satu pokok yang hendak diselidiki dalam karya ini.
Sekalipun GMI telah menjadi gereja otonom pada tahun 1964, dan sejak waktu itu juga jemaat-jemaat Methodist
kembali berdiri di Jawa, namun ciri GMI sebagai gereja yang komponen utamanya adalah orang Tionghoa dan orang Batak
tetap dimiliki. Berbeda dengan badan-badan zending asal Jerman dan Belanda yang bekerja di Indonesia yang umumnya
melahirkan gereja suku, Badan Misi Methodist yang akhirnya melahirkan Gereja Methodist Indonesia pada tahun 1964 tidak
menghasilkan satu atau lebih gereja suku. Dengan kata lain, Gereja Methodist Indonesia mampu mengasuh berbagai
kelompok etnis, khususnya orang Batak dan orang Tionghoa. Dengan latar belakang demikianlah, Walter Lempp, seorang
teolog non-Methodist, melihat ada dua keistimewaan GMI, paling tidak jika dibandingkan dengan gereja-gereja Protestan
lainnya di Indonesia, khususnya di Sumatra Utara. Pertama, GMI adalah satu-satunya gereja di Sumatra yang asalnya bukan
dari pekabaran Injil Belanda atau Jerman, melainkan dari Amerika. Kedua, GMI adalah satu-satunya gereja di Sumatra Utara
yang keanggotaannya selain terdiri dari beberapa kelompok etnis pribumi (Batak Toba, Simalungun, dan sebagainya), juga
mempunyai anggota dari kelompok etnis Tionghoa.6
Pemandirian GMI yang dilakukan tahun 1964 merupakan tindakan yang sangat terburu-buru, bahkan prematur.
Peristiwa konfrontasi Indonesia-Malaysia memicu keputusan untuk menjadikan GMI menjadi gereja otonom. Seyogianya
dibutuhkan empat tahun (1964–1968) untuk mempersiapkan diri, namun nyatanya proses persiapan kemandirian GMI
membutuhkan enam bulan (Februari 1964–Agustus 1964) saja. Sudah barang tentu kelahiran yang prematur ini membuka
kemungkinan pada lemahnya landasan struktur organisasi GMI. Studi ini juga mencoba menjejaki dampak pemandirian
GMI yang prematur itu pada penataan organisasi GMI.
Dalam Disiplin Gereja Methodist Indonesia mengenai keanggotaan jemaat GMI tercantum kalimat berikut:
Gereja Methodist Indonesia adalah sebahagian dari gereja Universal, karena itu dapat menerima segala bangsa tanpa
memandang warna kulit, kedudukan atau martabat kehidupan menjadi anggota penuh dan mengambil bagian dalam pekerjaan
gereja.7
Ungkapan di atas mengandung harapan bahwa jemaat-jemaat GMI hendaknya bukan jemaat-jemaat homogen yang
anggotanya hanya terdiri dari sekelompok manusia yang memiliki kesamaan latar belakang. Pernyataan teologis yang
didasarkan atas Wahyu 7:98 ini disadur dari pengakuan Gereja Methodist di Amerika yang merupakan gereja induk bagi
GMI.9 Sama seperti Gereja Methodist di Amerika yang terdiri dari berbagai kelompok etnis dan ras, yang hingga sekarang
masih tetap bergumul dengan masalah-masalah ras dan etnis dalam gereja, 10 demikian juga GMI masih sarat dengan
masalah etnis sebagai masalah gereja. Harapan untuk terwujudnya jemaat-jemaat yang heterogen seperti tersirat dalam
Disiplin masih sangat minimal. Dari 35611 jemaat dan pos pekabaran Injil GMI di seluruh Indonesia, baru ada sekitar enam
buah jemaat campuran12 yang anggotanya terdiri dari berbagai kelompok etnis, dengan Batak dan Tionghoa sebagai kom -
ponen utama dalam perbandingan yang hampir sama. Itu berarti bahwa hingga sekarang mayoritas jemaat GMI adalah
jemaat homogen yang anggotanya terdiri dari sekelompok suku. 13 Lebih jauh, di beberapa tempat seperti di Medan, Tebing
Tinggi Deli, Pematang Siantar, Kisaran, dan Tanjung Balai, jemaat Batak dan jemaat Tionghoa hadir berdekatan. Bahkan, di
beberapa kota, jemaat Batak dan jemaat Tionghoa pernah memakai gedung gereja yang sama, namun keduanya tetap
terpisah pada aras jemaat. Yang paling mencolok adalah di Tebing Tinggi Deli. Pada satu lokasi yang hanya dipisahkan
sebuah tembok, berdiri dua buah jemaat (Batak dan Tionghoa) dan masing-masing jemaat meng asuh sekolah Methodist.
Realitas-realitas di atas melahirkan suatu asumsi bahwa di dalam tubuh GMI sebagai suatu gereja multietnis terdapat
masalah-masalah yang berakar pada realitas kepelbagaian etnis itu. Ada dugaan, bukan tidak mungkin masalah etnis tadi
berpengaruh pula pada perkembangan GMI.
Agak sulit memperoleh angka yang akurat mengenai perbandingan jumlah kelompok etnis Tionghoa dengan kelompok
etnis Batak dalam GMI, karena di samping jemaat-jemaat homogen (Batak dan Tionghoa), ada sejumlah jemaat campuran
yang terdiri dari orang Tionghoa, Batak dan kelompok etnis lain. Tahun 1989, jumlah anggota jemaat GMI ter catat 54.742
jiwa (anggota penuh dan persiapan). Jumlah ini termasuk kecil dibandingkan dengan usianya. Dari jumlah itu, terdapat
sekitar 6.000 (12%) orang Tionghoa. Sisanya terdiri dari orang Batak Toba, Simalungun, Karo, Jawa, Nias, dan sebagainya.
Orang Batak Toba merupakan kelompok paling besar, yaitu sekitar 40.000 (75%). 14 Jumlah ini, ditinjau dari segi usianya
yang sudah sembilan puluh tahun, boleh dikatakan agak kecil. Timbul pertanyaan: sejauh mana masalah etnis yang
dihadapi GMI berpengaruh pada perkembangannya?
Sejak tahun 1938, semua jemaat Methodist Tionghoa yang ada di Sumatra bagian Utara diorganisasi menjadi satu
distrik berdasarkan kelompok etnis yang dipimpin oleh seorang District Superintendent yang biasa disingkat dengan DS.
Sementara itu, jemaat-jemaat Batak diorganisasi menjadi beberapa distrik menurut letak geografis. Dari realitas itu, sudah
tampak bahwa sejak awal para misionaris sudah menyadari bahwa etnisitas tidak dapat dikesampingkan dalam rangka
menata strategi pelayanan dalam gereja. Pembentukan distrik Tionghoa ini merupakan strategi dalam rangka pekerjaan
Misi Methodist. Kendati strategi ini cukup berhasil dilihat dari sisi pengembangan jemaat-jemaat Tionghoa, namun di sisi
lain hubungan antara jemaat-jemaat Tionghoa dengan jemaat-jemaat Batak semakin jauh. Para pekerja Batak dan pekerja
Tionghoa hanya bertemu pada saat-saat konferensi misi yang diadakan sekali satu tahun. Kendati sejak GMI menjadi
otonom telah muncul usul terutama dari pihak orang Batak supaya distrik Tionghoa dihapuskan, namun hingga tahun 1983
distrik Tionghoa tetap ada, yang sejak tahun 1974 dinamakan Distrik Pengembangan. Baru tahun 1983, atas prakarsa Bishop
H. Sitorus, eksistensi tersebut dihapuskan. Penghapusan Distrik Pengembangan ini menimbulkan sejumlah akibat, baik
positif maupun negatif dalam GMI.
Bertolak dari deskripsi permasalahan di atas, maka studi ini hendak meneliti pertanyaan-pertanyaan sbb: (1) Dari mana
dan bagaimanakah sejarah kelahiran Gereja Methodist Indonesia (GMI) yang multietnis itu? (2) Mengapa GMI menyatakan
diri sebagai gereja Methodist yang otonom secara tiba-tiba, dan bagaimana dampaknya terhadap perkembangan GMI
kemudian? (3) Sejauh mana kebijakan penghapusan Distrik Tionghoa (Pengembangan) yang dilakukan tahun 1983
berpengaruh pada perkembangan GMI? Studi ini bermaksud untuk menelusuri latar belakang sejarah GMI sejak zaman
John Wesley di Inggris pada abad ke-18 hingga perkembangan Gereja Methodist di Amerika, di mana Gereja Methodist
berkembang sangat pesat. Studi ini juga akan membahas mengapa GMI menempuh proses kemandirian (otonom) dengan
sangat tergesa-gesa, dan bagaimana dampaknya kepada perkembangan GMI di kemudian hari, baik menyangkut tata kelola
organisasi (Disiplin GMI) maupun terhadap hubungan antara etnis Batak dan Tionghoa dalam GMI. Perhatian utama dari
studi ini adalah sejauh mana penghapusan Distrik Pengembangan yang diputuskan pada Konta 1983 itu menguntungkan
atau merugikan terhadap perkembangan GMI.
B. SUMBER-SUMBER
Buku ini merupakan karya ”rintisan”, karena hingga sekarang belum ada karya yang meneliti sejarah GMI secara akademis.
Jangankan secara akademis, buku sejarah GMI dalam bentuk yang paling sederhana pun, seperti halnya buku seri ”Benih
Yang Tumbuh” yang diterbitkan PGI, sama sekali tidak ada dalam GMI.
Ada tiga alasan untuk pemilihan pokok kajian ini. Pertama, hingga sekarang belum ada studi ilmiah yang mendalam
mengenai apa dan bagaimana GMI. Kecuali tesis untuk Master of Theology yang penulis kerjakan beberapa tahun lalu, 15
belum ada karya khusus yang mendalami sejarah GMI—apalagi yang memberi perhatian khusus pada perjumpaan orang
Tionghoa dan orang Batak di dalam GMI. Karena itu, studi ini, yang merupakan pendalaman dari studi yang penulis
lakukan sebelumnya, diharapkan dapat mengisi kekosongan itu.
Kedua, perubahan-perubahan besar dan cepat yang sedang terjadi sekarang ini dalam berbagai aspek kehidupan,
termasuk dalam kehidupan gerejawi khususnya di Indonesia, membuka kemungkinan bagi gereja untuk kehilangan arah
dan orientasi.16 Untuk mengantisipasi masalah-masalah yang mungkin terjadi dalam GMI serta dalam upaya mencegah
akibat yang lebih buruk, suatu studi sejarah kontemporer sangat diperlukan. Kalau gereja sudah mampu secara dini
mengidentifikasi masalah yang sedang berkembang, langkah-langkah untuk mengupayakan penyelesaian masalah akan
terbuka. Pertimbangan itulah yang juga membuat studi ini menjadi urgen.
Ketiga, karena GMI adalah gereja multietnis, sudah barang tentu di dalamnya terdapat potensi konflik, yang jika tidak
diwaspadai secara cermat besar kemungkinan menimbulkan konflik yang lebih parah. Diharapkan studi ini dapat
mengungkap potensi dan akar konflik dalam GMI sepanjang sejarahnya yang dapat dijadikan sebagai pelajaran untuk
menyongsong masa depan GMI yang lebih baik.
Sejak awal sudah disadari bahwa dengan membahas sejarah GMI dari permulaan sampai sekarang, ada dua masalah
yang harus diwaspadai. Pertama, dengan membahas periode yang sedemikian panjang, ada kemungkinan untuk terjebak
pada kedangkalan pengkajian. Dalam rangka menghindari hal itu, sekaligus untuk tetap mengutamakan kedalaman uraian,
penulis berusaha untuk tidak terperangkap pada detail-detail peristiwa yang tidak berkaitan langsung dengan fokus
pengkajian.
Kendala kedua, dengan membahas sejarah GMI hingga masa sekarang, studi ini akan memasuki bidang sejarah
kontemporer, yakni suatu lapangan penelitian sejarah yang bukan saja tidak mudah, tetapi mengandung aspek-aspek yang
riskan. Dua faktor perlu disadari. Pertama, dengan menulis sejarah mutakhir yang jarak waktu antara peristiwa dengan
penulisannya sangat dekat, bukan tidak mungkin kadar objektivitas pengkajian bisa terganggu, karena penulis dan pela ku
sejarah masih hidup atau setidak-tidaknya berkenalan, sehingga faktor hubungan pribadi dapat mengakibatkan kadar
subjektivitas penulisan itu lebih besar. Kedua, para pelaku sejarah atau paling sedikit kerabat dekatnya masih hidup,
sehingga bukan tidak mungkin timbul rasa tidak puas karena terungkapnya informasi sejarah yang tidak diinginkan
menyangkut diri seorang pelaku sejarah. Rasa tidak puas ini dapat menimbulkan reaksi negatif kepada si penulis sejarah.
Apalagi, karena tuntutan objektivitas, bisa saja dalam suatu tulisan sejarah kontemporer terungkap bukan saja segi-segi
positif pelaku sejarah, melainkan juga sisi-sisi negatif. 17 Untuk mempertahankan kadar objektivitas pengkajian ini–walaupun
diakui tidak mungkin seratus persen objektif–penulis berusaha berbicara berdasarkan fakta sejarah yang ada.
Setiap studi sejarah di Indonesia, baik sejarah Gereja maupun sejarah sekuler, selalu berhadapan dengan kendala
umum, yakni masalah sumber-sumber. Amat sulit menggali sumber-sumber sejarah dalam negeri, terutama dalam kurun
waktu di bawah tahun 1950-an. Hal ini disebabkan bahwa pada umumnya banyak dokumen gerejawi yang, atas
pertimbangan keamanan, sengaja dimusnahkan, terutama pada waktu masa pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan.
Bagi banyak gereja, termasuk GMI, dokumen-dokumen di atas tahun 1950-an pun banyak yang sudah musnah karena arsip-
arsip itu pada umumnya tidak dipelihara dengan baik. Padahal bobot sebuah penelitian sejarah ilmiah tergantung pada
sumber-sumber, terutama sumber tangan pertama (primer) yang tersedia. Khusus penulisan sejarah yang berorientasi
Indonesia seharusnya penulisan ini lebih mengandalkan sumber-sumber dalam negeri. Namun, nyatanya sumber-sumber
demikian sangat sulit ditemukan.
Sumber-sumber dalam negeri tidak mencukupi untuk diandalkan dalam karya ini, sehingga penggalian sumber-sumber
yang tersimpan dengan rapi di luar negeri menjadi satu-satunya alternatif. Berkat kemajuan yang telah dimiliki badan-
badan zending yang bekerja di HB, sebagian besar dokumen gereja/misi masih tersimpan dengan baik dalam arsip-arsip
badan zending atau arsip gereja pengutus. Untuk studi ini, sumber-sumber utama yang tersedia khusus untuk mengana lisis
periode permulaan hingga menjelang kemandirian GMI adalah notulen konferensi-konferensi dan surat-menyurat antara
para misionaris yang bekerja di HB dengan Badan Zending Methodist yang berpusat di New York. Sebagian besar dokumen
ini tersimpan dengan rapi di pusat-pusat arsip Methodist di luar negeri. Dua pusat arsip yang darinya penulis menggali
sumber-sumber untuk karya ini adalah ”Board of Archives and History of the Methodist Church in Singapore”, di Singapura,
dan ”Methodist Archives And History Centre of the United Methodist Church”, yang terdapat di kampus Drew University,
Madison, New Jersey, Amerika Serikat.
Berbagai dokumen Misi Methodist seperti notulen konferensi dan surat-surat pribadi diperoleh pula dari beberapa
orang mantan misionaris atau dari keturunannya. Peran almarhum Pdt. Ragnar Alm sangat besar dalam hal ini. Atas
permintaan penulis, pada tahun 1986 Alm mengirimkan kepada penulis notulen konferensi-konferensi Misi Methodist di
HB untuk tahun 1919–1960-an. Dapat dikatakan bahwa bahan inilah andalan utama sekaligus yang mendorong penulis
untuk melacak sumber-sumber yang lebih lengkap dalam rangka studi ini.
Khusus untuk menganalisis periode kemandirian (1964–sekarang), sumber-sumber yang diandalkan adalah notulen
konferensi-konferensi GMI, arsip Kantor Pusat GMI dan arsip-arsip pribadi. Karya sejarah ini mencakup sejarah
kontemporer, sehingga selain mengadakan wawancara dengan para pelaku sejarah, metode sejarah lisan (oral history) juga
digunakan. Sudah barang tentu, untuk maksud mendalami suatu peristiwa sejarah, studi ini akan mempergunakan jasa
ilmu-ilmu lain seperti sosiologi dan antropologi. Kedua ilmu sosial ini sangat bermanfaat sebagai alat analisis terutama
dalam kaitannya dengan perjumpaan antara orang Batak dan orang Tionghoa yang menjadi fokus studi ini.
C. STRUKTUR BUKU
Buku ini terdiri dari enam bab. Bab I dan II merupakan latar belakang dan konteks perjumpaan antara Methodisme dengan
kelompok etnis Tionghoa dan Batak. Pada Bab I disajikan identitas kelompok etnis Batak dan Tionghoa sebagai mitra jumpa
Methodisme di Indonesia, khususnya di Sumatra Utara. Nilai-nilai budaya kedua kelompok etnis itu akan ditelaah,
demikian juga sejarah migrasi mereka ke daerah Sumatra Timur maupun interaksinya.Dalam bab ini juga akan diberikan
sedikit perbandingan antara stereotip kedua kelompok etnis, guna melihat potensi-potensi konflik dan integrasi yang
dimiliki oleh kedua kelompok. Bagaimana persepsi orang Batak terhadap orang Tionghoa dan, sebaliknya, bagaimana
persepsi orang Tionghoa terhadap orang Batak, akan berusaha dilihat.
Bab II menguraikan identitas Methodisme yang datang ke Indonesia. Sejarah timbulnya gereja Methodist di Amerika,
ajaran-ajarannya, perkembangan organisasinya serta wawasan pelayanannya, adalah pokok-pokok yang hendak didalami
dalam bab ini. Uraian ini penting untuk mengerti latar belakang eklesiologi Gereja Methodist.
Bab III, IV, dan V akan menguraikan seluk-beluk perjumpaan antara Methodisme dengan kelompok etnis Tionghoa
dan Batak serta perjumpaan orang Tionghoa dan orang Batak dalam Misi Methodist (kemudian: GMI). Bab III akan
menguraikan seluk-beluk perjumpaan pada periode perintisan Misi Methodist di Indonesia, yaitu tahun 1905–1928. Pada
tahun 1905, Misi Methodist masuk ke Indonesia, dan tahun 1928 Misi Methodist menutup pekerjaannya di Jawa dan Kali-
mantan Barat. Penulis melihat bahwa periode ini merupakan satu kesatuan dengan pertimbangan bahwa pada 23 tahun
pertama, pekerjaan Methodist berpencar di berbagai daerah yang sangat berjauhan satu sama lain, dan memasuki berbagai
kelompok etnis.
Bab IV membahas perkembangan Misi Methodist pada periode 1928–1964, yang penulis namakan sebagai periode
konsolidasi. Kurun waktu ini penulis sebut periode konsolidasi dengan alasan bahwa pada waktu itu zending Methodist
sangat sibuk dengan kegiatan-kegiatan konsolidasi dan penataan organisasi. Berbagai kebijakan diambil dalam rangka
konsolidasi itu. Setelah pemusatan Misi Methodist di Sumatra pada tahun 1928/1929, pada tahun 1930 sampai 1950-an ada
upaya untuk menyatukan jemaat-jemaat Methodist Batak dengan gereja/zending Batak, walaupun akhirnya usaha itu gagal.
Dalam rangka strategi pekerjaan di kalangan kelompok etnis Tionghoa, pada tahun 1938 dilahirkan distrik Tionghoa. Pada
tahun 1964, Gereja Mehodist di Indonesia menjadi gereja otonom, yang mengawali sejarah baru kemandirian GMI. Bab V
secara khusus mengupas perjumpaan dan interaksi bahkan konflik antara kelompok etnis Tionghoa dan kelom pok etnis
Batak dalam GMI. Dalam periode 1964 sampai dengan sekarang, yang penulis sebut periode otonomi, GMI ditantang untuk
mengurus dirinya sendiri, yang walaupun dari teologi, daya dan dana, ia belum sungguh-sungguh dipersiapkan untuk itu.
Bab VI merupakan penutup dan kesimpulan dari seluruh uraian, di mana akan ditekankan beberapa temuan dalam
penelitian ini.
U ntuk memahami sejarah GMI, khususnya latar belakang dan konteks perjumpaan Methodisme dengan kelompok
etnis Tionghoa dan Batak Toba, dalam bab ini akan diuraikan secara singkat identitas kedua kelompok etnis,
khususnya yang menyangkut beberapa pokok. Pertama-tama akan dibahas nilai budaya dan corak hidup kedua
kelompok etnis yang besar pengaruhnya terhadap cara berpikir kedua kelompok. Kemudian, motif dan proses migrasi
kedua kelompok etnis sampai keduanya menjadi mitra jumpa zending Methodist akan dipaparkan pula. Pada bagian akhir
diberikan sedikit uraian tentang perbandingan identitas kedua kelompok etnis untuk melihat potensi-potensi konflik dan
integrasi yang terkandung dalam nilai budaya kedua kelompok etnis.
PERSENTASE
NEGARA POPULASI
PENDUDUK
Manusia Tionghoa dibentuk oleh tiga ajaran, yakni Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme. Ketiga ajaran ini disebut
Han San Wei Yi (Tiga agama yang hakikatnya satu).3 Di Indonesia, ketiga ajaran ini dianut oleh orang-orang Tionghoa yang
tergabung dalam perkumpulan Sam Kauw Hwee (Perkumpulan Tiga Agama), atau yang disebut juga Buddha Tri Dharma. 4
Orang Tionghoa menganut dan menimba nilai-nilai budaya dari ketiga ajaran itu sesuai dengan minat dan kebutuhan
masing-masing. Dari ketiga ajaran itu, Konfusianisme adalah yang paling berpengaruh, sedangkan kedua ajaran lain hanya
sebagai pelengkap.5 Ketiga ajaran di atas membentuk corak kehidupan manusia Tionghoa sedemikian rupa, sehingga
dikatakan: ”Setiap orang Tionghoa, di dalam kenyataan hidupnya bermahkotakan agama Konghucu, berikatpinggangkan
agama Tao, dan berkasutkan agama Buddha.”6
Konfusius berusaha sedemikian rupa untuk menata seluruh cara hidup sehingga tidak seorang pun yang telah terdidik dengan
konsep Li7 terpaksa dengan meraba-raba mencari cara berperilaku yang pantas karena ia bingung tentang bagaimana seharusnya
berperilaku.8
Dampak positif corak hidup ini adalah bahwa orang Tionghoa rata-rata memiliki kemampuan organisasi yang amat
baik. Kemampuan ini dapat dilihat dalam kehidupan rumah tangga, kehidupan berma syarakat, kehidupan bernegara,
kehidupan ekonomi dan sebagainya.9 Di Indonesia dapat disaksikan bagaimana orang Tionghoa melakukan pekerjaannya
dengan tekun, tertib dan teratur, sehingga apa saja yang dikerjakan selalu membuahkan hasil yang baik.
a. Bersifat materialis
Umumnya orang Tionghoa bersifat materialistis.10 Dalam kehidupan sehari-hari, di Indonesia, orang Tionghoa berusaha
keras untuk mencari uang. Jika disimak lebih jauh, ternyata di balik ambisi menumpuk kekayaan itu ada motif religius yang
mendorongnya. Salah satu ajaran Konfusius yang sangat berpengaruh adalah ajaran tentang hau (berbakti kepada
orangtua). Konfusius mengajarkan:
Meskipun ayah dan ibumu telah meninggal dunia, tetapi kalau kamu dapat bekerja dengan baik, hal ini akan menunjukkan
bagaimana mengharumkan nama baik orangtuamu, dan segala cita-citamu akan tercapai. Tetapi sebaliknya, bila kamu bekerja
dengan tidak baik, maka ini akan memberikan aib bagi nama baik orangtuamu, dan kamu tidak akan mencapai cita-citamu. 11
Ajaran ini mendorong orang Tionghoa untuk bekerja keras dan melakukan segala sesuatu dengan rapi, supaya orang
Tionghoa dapat mengharumkan nama orangtuanya dan dengan demikian mendapat pahala di akhirat. Sebaliknya, anak
yang tidak bekerja dengan baik dianggap tidak berbakti (put hau) dan ia akan mendapat hukuman di akhirat dan di dunia
ini tidak mendapatkan berkat. Karena itu, seorang anak harus menunjukkan sikap berbakti ini kepada orangtuanya dengan
berbagai cara. Kalau orangtua masih hidup, ia harus dapat merawat dan menyenangkan hati orangtuanya. Kalau orangtua
meninggal, mereka harus dikuburkan dalam kuburan yang baik, dengan peti jenazah yang mahal. Peti jenazah tidak boleh
merupakan pemberian orang lain, sebab hal itu akan memalukan orangtua. Semakin besar perayaan, pesta-pesta, dan
pemujaan yang dilakukan, semakin harum nama orangtua mereka, dan semakin besar pahala yang akan diterima. Semakin
besar perayaan, semakin besar pula biaya yang dibutuhkan. Oleh karena itu, demi perbuatan bakti kepada orangtua (hau),
seorang Tionghoa harus bekerja keras untuk membiayai segala macam pesta dan perayaan itu.
Arwah orangtua harus dipelihara oleh anak-anaknya, terutama oleh anak-laki-laki. Arwah yang tidak dipeli hara akan
berubah menjadi roh kelaparan yang dapat mengganggu keturunannya. Atas dasar keyakinan inilah orang Tionghoa sangat
mengutamakan anak laki-laki. Mereka yang tidak mempunyai anak laki-laki dianggap terkutuk. Jadi, etos kerja masyarakat
Tionghoa berakar pada motif agamawi untuk berbakti kepada orangtua. 12 Dalam konteks ini pulalah kita dapat memahami
motif orang Tionghoa melakukan migrasi khusus untuk mencari uang, supaya mereka dapat melaksanakan kewajiban
agama untuk berbakti kepada orangtua dan nenek moyang. Pada Hari Raya Imlek Tionghoa, salam yang biasa diucapkan
adalah Gong xi fa chai, yang mengandung makna: semoga sukaria, semoga usaha berkembang. Kartu-kartu ucapan selamat
pada Hari Raya Imlek Tionghoa selalu memilih warna emas sebagai simbol dari kekayaan.
b. Menonjolkan kesusilaan
Orang Tionghoa sangat menonjolkan kesusilaan. Konsep Li sangat mementingkan kesusilaan, seperti yang tersirat dalam
gagasan tentang ”perbaikan nama-nama”. Gagasan ”perbaikan nama-nama” ini mengandung makna bahwa seseorang
hendaknya bertingkah laku sehari-hari sesuai dengan peranan, kedudukan, dan fungsi dalam keluarga, masyarakat, dan
negara. Seorang ayah hendaknya bertingkah laku selaku ayah; seorang penguasa harus memimpin sebagai seorang penguasa
untuk mengayomi rakyat; seorang anak harus mengabdi pada orangtuanya dan demikian seterusnya. Atas dasar konsep
inilah orang Tionghoa sulit menerima agama lain jika agama itu tidak benar-benar mampu menunjukkan keteladanan
dalam hal kesusilaan. Jika dalam gereja, misalnya, mereka melihat atau mengetahui ada seorang pendeta yang terlibat
dalam skandal moral seperti berzinah (yang jelas tidak sesuai dengan predikat pendeta) maka hal itu akan menjadi batu
sandungan bagi orang Tionghoa untuk menerima kekristenan. Jika mereka menyaksikan gereja (baca: orang-orang Kristen)
dalam keadaan rusuh dan berkelahi, hal itu menjadi penghambat untuk menginjili mereka.
DAERAH
TAHUN JAWA SUMATRA KALBAR JUMLAH.
LAIN
Sampai pertengahan abad ke-19, sebagian besar orang Tionghoa tinggal di Pulau Jawa. Hal ini karena sampai saat itu
sebagian besar kota perdagangan yang ramai berada di pantai utara Pulau Jawa. Namun, setelah pertengahan abad ke-19
hingga tahun 1920-an, tambang-tambang timah yang dibuka di Bangka dan Belitung serta perkebunan-perkebunan yang
dikembangkan di Sumatra Timur dengan cepat menarik banyak orang Tionghoa, yang menyebabkan jumlah orang Tiong-
hoa di luar Pulau Jawa bertambah. Namun, sejak tahun 1930-an (lihat tabel), kecondongan pertambahan penduduk
Tionghoa di luar Pulau Jawa itu menjadi terbalik karena peristiwa malaise (resesi), yang menyebabkan pemecatan-
pemecatan di pertambangan dan perkebunan, sehingga mereka yang kehilangan mata pencaharian di Sumatra umumnya
pergi ke Jawa, terutama Batavia dan Jawa Barat. 31
Arus migrasi Tionghoa ke Indonesia berhenti sejak tahun 1967 setelah pemerintah Indonesia mengeluarkan larangan
migrasi mereka ke Indonesia, sebagai dampak dari pemberontakan PKI tahun 1965 yang berakibat hubungan diplomatik
Indonesia-RRC dibekukan oleh pemerintah Orde Baru.32 Sejak itu, migrasi Tionghoa ke Indonesia terhenti. Bahkan banyak
orang Tionghoa yang pulang dan dipulangkan ke Tiongkok sehingga jumlah mereka di Indonesia semakin berkurang.
(1) Tahun 1854, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan undang-undang yang mengatur status warga negara di Hindia
Belanda berdasarkan ras. Golongan Eropa menduduki tempat teratas, golongan Timur asing, terutama Tionghoa, di
tengah, sementara golongan pribumi (inlanders) di lapisan paling bawah.34 Dalam peraturan ini, orang Tionghoa
peranakan dengan orang Tionghoa totok, yakni mereka yang baru datang ke Indonesia, yang disebut juga golongan
singkeh, dianggap sama sebagai golongan Timur asing. Hal ini memberi kemungkinan bagi kelompok peranakan dan
totok untuk saling mendekatkan diri. Penguasa Belanda mendorong setiap ras untuk mempertahankan cara berpakaian
dan adat istiadatnya. Namun penggolongan menurut ras ini membuat masyarakat Tionghoa menjadi berstatus kelas
dua, sehingga mereka kurang puas.
(2) Peraturan yang mewajibkan orang Tionghoa untuk tinggal di wilayah-wilayah yang ditentukan (pecinan) dan melarang
mereka untuk bepergian ke luar wilayah tersebut kecuali kalau dilengkapi dengan surat jalan, oleh masyarakat
Tionghoa dianggap sebagai tindakan diskriminatif terhadap mereka. Dengan peraturan ini, orang Tionghoa kehilangan
kebebasan, baik dalam hal melakukan usaha dagang maupun bergaul dengan sanak famili mereka.
(3) Dalam masalah hukum, orang Tionghoa dikelompokkan bersama-sama dengan lapisan pribumi, padahal dalam
pelapisan sosial, mereka berada setingkat di atas pribumi. Penyamaan status hukum dengan orang pribumi ini oleh
masyarakat Tionghoa dianggap sangat menurunkan martabat.
(4) Tahun 1870, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan agraria, yang melarang orang Tionghoa memiliki
tanah pertanian baru.
(5) Pemerintah Hindia Belanda tidak memedulikan pendidikan orang Tionghoa, padahal untuk golongan pribumi
pemerintah Hindia Belanda sudah membuka sekolah-sekolah. 35 Orang Tionghoa terpaksa menyekolahkan anak-
anaknya ke Singapura dan atau Penang.
(6) Keluhan orang Tionghoa mencapai puncaknya ketika Belanda memberlakukan Politik Etis. Politik ini dicanangkan oleh
pemerintah Belanda melalui pidato kenegaraan yang dibacakan oleh Ratu Belanda pada tahun 1901, yang isinya adalah
membayar utang budi kepada masyarakat jajahan atas segala kekayaan yang dikeruk dari Hindia Belanda. Atas dasar
Politik Etis ini, pemerintah HB mengadakan peningkatan demi peningkatan, terutama di bidang irigasi, edukasi dan
emigrasi.36 Pada gilirannya, Politik Etis ini sangat merugikan orang Tionghoa, karena kesempatan mereka untuk
mengeruk keuntungan dari lapisan pribumi—seperti melalui praktik membungakan uang, dan sistem sewa pajak—
menjadi tertutup.
(7) Selama kurun waktu yang sama, gerakan nasionalisme Tiongkok telah menyebar di seluruh Asia Tenggara dan
menjadikan Singapura pusat kegiatannya. Pengaruh nasionalisme Tiongkok ini cepat tersebar di Jawa yang berdekatan
dengan Singapura. Rangkaian peristiwa ini telah mendorong orang Tionghoa di Jawa yang telah berakulturasi ke dalam
masyarakat setempat dan mempunyai hubungan yang tipis dengan negeri Tiongkok, untuk meninjau kembali identi -
tasnya. Dengan cepat, nasionalisme yang berkiblat ke Tiongkok tumbuh di kalangan orang Tionghoa di HB.
(8) Pada tahun 1899, Belanda mengakui kekuatan negara Jepang yang semakin besar dan harus diperhitungkan. Karena itu,
status orang Jepang di Hindia Belanda dinaikkan dari kelas dua menjadi kelas satu, setaraf dengan golongan Eropa.
Peningkatan status orang Jepang ini sangat menusuk perasaan orang Tionghoa, sehingga menambah kebencian mereka
kepada pemerintah kolonial.
Kedelapan faktor di atas mendorong masyarakat Tionghoa di HB untuk bersatu mempertahankan diri mereka dari se -
gala tekanan penguasa yang mendiskriminasi mereka.
Untuk mewadahi gerakan nasionalisme Tionghoa di Jawa ini, orang Tionghoa membentuk organisasi Tiong Hoa Hwe
Koan (THHK) pada tanggal 17 Maret 1900.37 Tujuan THHK ini digariskan dalam Anggaran Dasarnya sebagai berikut:
a. bikin madjoe istiadat bangsa Tjina, saboleh-boleh dengan menoeroet atoerannja Nabi Khong Hoe Tjoe serta tida bersalahan
dengan adat sopan, dan lagi aken bikin madjoe antara bangsa Tjina pengetahoean atas hal soerat-soerat dan bahasa-bahasa.
b. mengadaken dan memelihara, aken goena melakoekan apa jang ada terseboet pada hoeroef a di atas ini, satoe roemah dan
sabaginja boeat djadi tempat aken lid-lid doedoek berkoempoel, membitjaraken perkaranja ini Perkoempoelan dan lain-lain
perkara aken goena orang banjak aken dapatken perkara-perkara jang dikehendaki, senantiasa dengan tida bersalahan sama
Oendang-oendang Negri.
c. mengadaken satoe koempoelan dari roepa-roepa boekoe, jang berfaedah aken goena pengataoean dan pengartian. 38
Untuk menggalang persatuan orang Tionghoa di Hindia Belanda, yang digalakkan mula-mula bukannya sentimen
politis, melainkan sentimen keagamaan dengan menghidupkan kembali agama Kong Hu Chu. 39 Dalam rangka
menggalakkan sentimen keagamaan itulah tujuan pertama THHK seperti ditegaskan dalam Anggaran Dasarnya adalah
melestarikan kebudayaan Tionghoa sesuai dengan ajaran-ajaran Kong Hu Chu. Guna mencapai cita-cita ini, THHK
mendirikan sekolah-sekolah Tionghoa di berbagai kota di Hindia Belanda. Pada tanggal 17 Maret 1901, sekolah Tionghoa
pertama didirikan THHK di Batavia. Dalam waktu singkat, THHK sudah tersebar ke seluruh Hindia Belanda. THHK
menjadi lembaga yang mengurusi persekolahan yang berbahasa pengantar Tionghoa, yaitu bahasa Tjeng Im (Zheng-yin),
yang kemudian dikenal sebagai Kuo-yu (Guoyu) atau Bahasa Nasional.40 Sekolah-sekolah THHK yang dikelola dan
pembiayaannya disubsidi oleh masyarakat Tionghoa setempat itu ternyata maju pesat. Pada tahun 1901, baru ada satu se -
kolah THHK, namun dua tahun kemudian jumlahnya telah meningkat menjadi 13, dan pada tahun 1908 sudah 54.
Sebagaimana digariskan dalam tujuan, THHK juga ingin memajukan pengetahuan bahasa-bahasa bagi masyarakat
Tionghoa. Jadi, sejak 1 September 1901, dalam sekolah-sekolah THHK, dibuka sekolah Inggris yang diberi nama Yale
Institute, karena kepalanya yang pertama, Dr. Lee Teng Hwee, adalah lulusan Yale University.41 Alasan mereka membuka
bahasa Inggris dan bukan bahasa Belanda adalah:
(1) sebagai protes kepada pemerintah Hindia Belanda yang menelantarkan pendidikan anak-anak Tionghoa; (2) sangat mahal
membayar guru berbahasa Belanda; (3) guru-guru bahasa Inggris lebih murah dan lebih gampang didapat dari Singapura dan
Malaysia; (4) bahasa Inggris adalah bahasa perdagangan di dunia. 42 Sekolah THHK ini didukung oleh pemerintah daratan
Tiongkok dengan cara mengirimkan tenaga-tenaga guru ke Hindia Belanda, karena pemerintah Tiongkok melihat bahwa
sekolah ini sangat berorientasi pada nasionalisme Tiongkok yang sedang menyala-nyala pada saat itu.
Gerakan nasionalisme Tiongkok di Jawa itu berhasil membuat pemerintah kolonial meninjau kebijaksanaan politik yang
diambil terhadap masyarakat Tionghoa. Melihat proses ”totokisasi” yang berlangsung di tengah masyarakat Tionghoa, yang
kalau dibiarkan akan semakin membahayakan kepentingan pemerintah Hindia Belanda, penguasa kolonial memandang
perlu untuk memecah kesatuan orang Tionghoa. Ada beberapa kebijakan yang diambil pemerintah Hindia Belanda sebagai
reaksi terhadap gerakan Tionghoa ini:
(1) Tahun 1900 (tahun berdirinya THHK) dibentuk Biro Urusan Cina dengan tujuan memberi nasihat kepada pemerintah
tentang langkah-langkah politik terhadap masyarakat Tionghoa. Ahli-ahli tentang masalah Tionghoa seperti L.H.W.
van Sandick dan P.H. Fromberg adalah orang-orang yang dipercaya dalam Biro itu. Merekalah yang menganjurkan
kepada pemerintah supaya mengubah kebijaksanaan terhadap masyarakat Tionghoa.
(2) Tahun 1907, Belanda mengeluarkan undang-undang yang memberi peluang kepada Tionghoa untuk mendapat status
kewarganegaraan setingkat dengan Eropa yang sudah lebih dahulu diberikan kepada orang Jepang. Namun, untuk
memperoleh status ini, sejumlah syarat perlu dipenuhi, antara lain dapat berbahasa Belanda, menjalani wajib militer,
menyatakan bahwa yang bersangkutan merasa tidak nyaman hidup di antara teman-teman Tionghoa. Namun, karena
syarat-syarat ini terlalu berat, tidak banyak orang Tionghoa yang mempergunakan kesempatan itu. 43
(3) Tahun 1908, Belanda mendirikan sekolah-sekolah berbahasa Belanda bagi orang-orang Tionghoa yang diberi nama
Hollandsch-Chinessche School (HCS), mula-mula di Batavia, kemudian di kota-kota lain. Sekolah HCS yang berbahasa
Belanda ini ternyata lebih kuat daya tariknya daripada sekolah THHK untuk orang Tionghoa peranakan. Ini terutama
disebabkan tamatan HCS mempunyai prospek pekerjaan yang lebih cerah ketimbang lulusan sekolah-sekolah THHK,
karena untuk bekerja di Hindia Belanda bahasa yang diperlukan adalah bahasa Belanda, bukan bahasa Inggris.
Akibatnya, sejak HCS berdiri, banyak anak-anak Tionghoa peranakan yang pindah dari sekolah-sekolah THHK ke
HCS.44
(4) Tahun 1910, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan undang-undang tentang Kawula Negara Belanda (Wet op het
Nederlandsch Onderdaanschap–WNO) yang menggariskan bahwa yang menjadi kawula negara Belanda adalah mereka
yang lahir di Hindia Belanda dari orangtua yang bertempat tinggal di Hindia Belanda, atau dari seorang ibu yang
bertempat tinggal di Hindia Belanda apabila ayahnya tidak diketahui. 45 Atas dasar undang-undang ini, semua orang
Tionghoa peranakan di Hindia Belanda adalah kawula negara (rakyat) Belanda.
(5) Tahun 1918, Belanda menghapuskan pas jalan dan penetapan zona (tempat tinggal).
Kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda ini terbukti efektif untuk merayu orang Tionghoa peranakan dalam jumlah
yang berarti agar memutar haluan dari orientasi ke Tiongkok ke Hindia Belanda. Jadi, pada dasawarsa-dasawarsa pertama
abad ke-20, orang Tionghoa peranakan di Jawa terbagi dalam dua kiblat: satu berki blat ke Tiongkok, yang diwakili oleh
kelompok Sin Po, dan satu ke Hindia Belanda, diwakili kelompok Chung Hwa Hui. 46
Peraturan yang berasaskan ius soli (asas tanah kelahiran) ini memberi peluang besar kepada masyarakat Tionghoa di
Indonesia untuk menjadi warga negara. Karena mayoritas orang Tionghoa lahir di Hindia Belanda pada masa penjajahan,
secara otomatis mereka menjadi warga negara Republik Indonesia kalau mereka tetap ”pasif”, yakni tidak membuat
pernyataan secara tertulis menolak status mereka sebagai warga negara Indonesia. Suryadinata mengatakan bahwa
Indonesia mempermudah perolehan status ini bagi orang Tionghoa, karena:
Pemerintah Indonesia waktu itu masih menghadapi kekuasaan penjajah Belanda sehingga mereka ingin sekali mendapat
dukungan orang Tionghoa yang secara ekonomis kuat untuk membantu perjuangan bagi kemerdekaan politik.48
Namun, sejak pengakuan kedaulatan Indonesia tahun 1949, pemerintah RI mengeluarkan serangkaian undang-undang
yang mengatur kewarganegaraan, yang isinya makin memperkeras syarat-syarat untuk memperoleh kewarganegaraan,
khususnya bagi masyarakat Tionghoa.49 Tujuan peraturan-peraturan itu adalah agar mereka yang tidak ingin menjadi WNI
keluar, sementara mereka yang ingin dapat segera mengintegrasikan diri dengan masyarakat lokal.
Berkaitan dengan masalah pengintegrasian kelompok etnis Tionghoa ini, ada dua aliran di kalangan kelompok etnis
Tionghoa. Aliran pertama diwakili oleh Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), yang menghendaki
dan memperjuangkan agar kelompok etnis Tionghoa di Indonesia diakui sebagai salah satu dari ratusan kelompok etnis
yang ada di Indonesia.50 Kendati organisasi ini akhirnya dinyatakan sebagai organisasi terlarang setelah peristiwa
pemberontakan PKI tahun 1965, namun kiprahnya tetap ada hingga dewasa ini. Tokoh utama golongan ini, yang telah
meninggalkan Baperki sebelum tahun 1965, ialah Yap Thian Hien, seorang ahli hukum dan pejuang hak-hak asasi manusia
yang beragama Kristen Protestan. Aliran ini biasanya disebut aliran integrasionis.
Golongan kedua yang bertolak belakang dengan perjuangan aliran integrasionis tadi adalah aliran asimilasionis yang
bernaung di bawah Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB). Golongan ini menghendaki agar kelompok etnis
Tionghoa di Indonesia mengasimilasikan diri secara sukarela dengan penduduk Indonesia di mana orang Tionghoa itu
berada, sehingga eksistensi kelompok etnis Tionghoa sebagai sebuah kelompok etnis lambat laun hilang dari peta kependu-
dukan Indonesia.51 Tokoh-tokoh aliran ini antara lain adalah Junus Jahja, K. Sindhunatha, dan P.K. Ojong. Dari kedua aliran
ini, pemerintah Indonesia mengambil alih gagasan asimilasi sebagai kebijaksanaan pemecahan masalah Tionghoa di
Indonesia.
Pendidikan modern orang Tionghoa di Indonesia dimulai dengan didirikannya Tiong Hoa Hak Tong yang bernaung di
bawah asuhan THHK, yang disusul dengan berdirinya HCS. Kecuali HCS, selaku sekolah yang diasuh pemerintah,
pemerintah HB sama sekali tidak mencampuri sekolah-sekolah yang berbahasa Tionghoa. Sekolah-sekolah itu benar-benar
diberi kebebasan menentukan kurikulum dan buku pegangannya, bahkan boleh mengundang guru dari Tiongkok, kecuali
kalau ada guru tertentu yang dianggap berbahaya bagi keamanan umum.52 Pada tahun 1934, diperkirakan ada 450 sekolah
berbahasa Tionghoa di Hindia Belanda dengan jumlah murid kira-kira 45.000, dan 117 sekolah rakyat berbahasa Belanda
untuk orang Tionghoa, dengan jumlah murid 23.353.53
Pada masa pendudukan Jepang (1942–1945), sebagai bagian dari kebijaksanaan untuk membatasi pengaruh Barat,
sekolah-sekolah Belanda dan Barat lainnya ditutup. Mulai 1 Agustus 1942, hanya sekolah-sekolah berbahasa Indonesia dan
Tionghoa yang diperbolehkan berjalan terus. Karena HCS ditutup, anak-anak Tionghoa yang bersekolah di sana sebelum
perang menerima pendidikan di sekolah Tionghoa. Jadi, pada periode pendudukan Jepang terjadilah proses totokisasi bagi
kaum peranakan melalui sekolah-sekolah Tionghoa itu.54
Pada tahun 1952–1953, terdapat 1.371 sekolah Tionghoa di Indonesia, dengan jumlah murid 254.730 orang. Dalam waktu
singkat, jumlah ini bertambah terus, sehingga pada tahun 1957 telah menjadi 1.600 buah. 55 Pertambahan jumlah ini
terutama disebabkan karena setelah HCS ditutup, banyak sekolah Tionghoa baru yang dibuka untuk menampung ledakan
murid. Kendati sekolah-sekolah Indonesia tidak menutup diri terhadap anak-anak Tionghoa, namun orang Tionghoa
kurang percaya terhadap kualitas sekolah-sekolah Indonesia itu. Pembukaan sekolah-sekolah Tionghoa baru itu mendapat
dukungan dari pemerintah RI karena hubungan diplomatik antara RI-RRC sangat baik pada waktu itu. 56
Namun, sejak tahun 1952, pemerintah Indonesia mulai melaksanakan pengawasan terhadap sekolah-sekolah Tionghoa.
Mula-mula digariskan kewajiban sekolah-sekolah Tionghoa antara lain: (1) mengajarkan bahasa Indonesia sedikitnya empat
jam seminggu sejak kelas tiga sekolah dasar; (2) mengirimkan laporan tahunan berisi: data sekolah, statistik, daftar
pelajaran; dan (3) tidak menggunakan sekolah sebagai arena kegiatan politik antara pihak yang bertentangan (pro-RRC atau
pro-Taiwan).57
Pengawasan yang lebih ketat mulai dijalankan sejak tahun 1957. Pada tanggal 6 November 1957, pemerintah melalui
penguasa militer mengeluarkan sebuah peraturan tentang pengawasan sekolah asing. Dalam peraturan itu, digariskan
antara lain:
1. Setiap orang asing yang mengajar pada sekolah asing atau sekolah partikelir lain, diwajibkan memperoleh izin dari Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, selanjutnya disebut Menteri, atau pejabat yang ditunjuk olehnya.
2. Setiap warga negara Indonesia ... yang mengajar di sekolah asing, diwajibkan memberitahukan (melaporkan diri–pen.)
kepada Menteri.
3. Sekolah asing yang pada saat mulai berlakunya peraturan ini telah ada dan sedang berjalan, diwajibkan memperoleh izin
dari Menteri untuk diperkenankan melanjutkan usahanya.
4. Sejak saat peraturan ini mulai berlaku, tidak diberikan lagi izin untuk mendirikan sekolah asing baru, kecuali dalam hal luar
biasa yang ditentukan oleh Menteri.58
Selain ketentuan di atas, guru-guru harus dites, terutama mengenai kemampuannya berbahasa Indonesia. Hanya
mereka yang lulus tes diizinkan untuk mengajar. Kurikulum sekolah juga diubah dengan memasukkan lebih banyak mata
pelajaran tentang Indonesia. Bahasa, sejarah, dan ilmu bumi Indonesia menjadi mata pelajaran wajib pada sekolah dasar
dan menengah. Mata pelajaran ini dapat diajarkan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Tionghoa. Sejak keluarnya
peraturan ini, sekolah-sekolah Tionghoa mengalami kemerosotan yang tajam. Pada tahun 1958, hanya ada 850 sekolah
Tionghoa yang beroperasi, karena sebagian besar telah diubah menjadi sekolah nasional Indonesia, yang pengelolaannya
diambil alih oleh Baperki. Pada tahun 1958, keluar lagi peraturan yang menegaskan bahwa semua izin sekolah asing yang
berhubungan dengan negara yang tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Indonesia dicabut, sementara penge-
lolaan sekolah yang bersangkutan diambil alih oleh pemerintah. Ketentuan ini mengakibatkan semua sekolah yang pro-
Taiwan ditutup. Tindakan ini dibuat dengan alasan bahwa Taiwan terlibat sebagai pemasok senjata kepada pihak PRRI.
Sekolah-sekolah Tionghoa yang tersisa hanyalah yang berpihak ke Peking.
Tidak lama setelah peristiwa G30S/PKI, sekolah-sekolah yang pro-Peking ini juga mengalami penertiban. Tanggal 6 Juli
1966, pemerintah, melalui Menteri Pendidikan, mengeluarkan peraturan yang melarang semua sekolah asing untuk
beroperasi dalam bentuk apa pun, kecuali sekolah yang disponsori perwakilan negara asing. Sekolah yang diasuh Baperki
juga ikut ditutup, karena bandan itu berafiliasi dengan PKI. Anak-anak Tionghoa asing dianjurkan untuk masuk sekolah
berbahasa pengantar Indonesia, baik negeri maupun swasta. Namun, di sana tempat sangat terbatas dan prioritas diberikan
kepada warga negara Indonesia. Akibatnya, banyak anak-anak Tionghoa tidak mempunyai sekolah tempat belajar selama
kurun waktu 1966–1969.
Pada gilirannya, keadaan di atas menimbulkan masalah baru, karena anak-anak Tionghoa yang tidak mendapat sekolah
ini dikhawatirkan dapat digunakan oleh kaum subversif dan unsur-unsur PKI ilegal. Atas pertimbangan politik, pemerintah
mengizinkan didirikannya sekolah-sekolah yang disponsori oleh kelompok-kelompok swasta dalam masyarakat Tionghoa.
Sekolah ini dinamakan Sekolah Nasional Projek Chusus (SNPC) yang didirikan pada tahun 1969. SNPC mempu nyai
kurikulum serupa dengan sekolah pemerintah, dengan sedikit dispensasi, yaitu diizinkan mengajarkan bahasa Tionghoa
sebagai mata pelajaran tambahan, yang tidak berpengaruh pada kenaikan kelas jika nilainya buruk. Dispensasi ini diberikan
dengan maksud agar masyarakat Tionghoa mau berpartisipasi dalam mengadakan sarana pendidikan. Namun, dalam
praktiknya, SNPC menyimpang dari konsep semula, karena menggunakan bahasa Tionghoa sebagai bahasa pengantar dan
ini jelas melawan peraturan pemerintah. Akibatnya, pada tahun 1974, SNPC harus ditutup dan semua sekolahnya diubah
menjadi sekolah nasional swasta.
Sejak tahun 1974, pemerintah mencanangkan program asimilasi pendidikan (pembauran) dengan membaurkan anak-
anak pribumi dengan anak-anak Tionghoa dalam sekolah-sekolah pemerintah atau swasta. Tujuannya untuk menimbulkan
dan memupuk kesamaan nilai bagi anak-anak Indonesia, baik pribumi maupun keturunan Tionghoa, demi terciptanya
kesatuan dan persatuan nasional yang dicita-citakan Indonesia. Pada prinsipnya, ada lima ketentuan yang harus diberla -
kukan pada sekolah-sekolah pembauran (asimilasi) ini, yaitu: (1) secara fisik, jumlah murid per kelas harus 50% pribumi dan
50% non-pribumi; (2) guru yang mengajar harus diseleksi dan mendapat izin dari pihak Departemen Pendidikan; (3) bahasa
Indonesia sebagai satu-satunya bahasa pengajaran; (4) kurikulum harus sama dengan kurikulum sekolah negeri untuk
setiap tingkatan sekolah; (5) anggota pengurus yayasan sekolah harus disetujui oleh penguasa militer setempat.59
Dari lima ketentuan program asimilasi di atas, kelihatannya hanya butir dua sampai lima yang berjalan, sedangkan butir
satu hampir tidak. Dalam realitasnya, sekolah-sekolah yang berlatar belakang Tionghoa di Medan lebih dari sembilan puluh
persen muridnya adalah orang Tionghoa. Kenyataan ini berlaku di sekolah-sekolah Methodist yang diasuh jemaat-jemaat
Tionghoa di kota Medan dan sekitarnya.
1. Adat Batak
Perkataan ”adat” berasal dari bahasa Arab ada yang berarti: "cara atau kebiasaan". Jadi, adat adalah segala sesuatu yang dila-
kukan secara berulang kali dan menjadi kelaziman dan kebiasaan.62
Bagi orang Batak—seperti halnya bagi banyak suku bangsa lain—adat bukan hanya kebiasaan atau tata tertib sosial,
melainkan sesuatu yang mencakupi seluruh dimensi kehidupan baik jasmani maupun rohani, masa kini dan masa depan. 63
Lebih jauh, Schreiner memberi rangkuman makna adat itu sebagai berikut:
Adat ialah bentuk konkret keseluruhan suatu agama suku. Ia merangkum, meresapi dan menentukan kehidupan suku atau
bangsa purba dengan cara yang bagaimanapun. Adat menghubungkan orang-orang hidup yang kelihatan dengan orang-orang
mati, yang hidup tidak kelihatan. Adat adalah tata-tertib sosial untuk desa sebagai persekutuan hukum, persekutuan produksi,
dan persekutuan agama.64
Dalam rangka upaya menata administrasi pemerintahan sipil, khususnya yang berhubungan dengan mekanisme
peradilan di Tanah Batak, pada tahun 1927–1930, J.C. Vergouwen telah mengadakan penelitian intensif tentang seluk-beluk
adat Batak. Dalam karya monumental itu, Vergouwen menemukan dan mendaftarkan sejumlah hukum adat Batak Toba
yang dirangkum dalam sepuluh bidang kehidupan: (1) Sistem kekerabatan, (2) Konsep religius, (3) Persekutuan masyarakat
(harajaon), (4) Peribahasa hukum (umpama), (5) Hukum perkawinan, (6) Hukum warisan, (7) Hak pemilikan tanah, (8)
Hukum yang berhubungan dengan utang, (9) Hukum pelanggaran, dan (10) Menyelesaikan perselisihan. 65 Kesepuluh
dimensi adat Batak di atas telah mencakup keseluruhan dimensi kehidupan orang Batak dahulu kala, baik jasmani, maupun
rohani, kini dan nanti.
Dari kesepuluh dimensi adat Batak itu, sistem kekerabatan merupakan unsur paling sentral yang memiliki daya tahan
ampuh hingga sekarang. Dalam sistem inilah peran unsur marga sangat vital, yang masih akan dibahas selanjutnya. Konsep
religius orang Batak yang berpusat pada roh (tondi) sebagian besar sudah hilang. Kehadiran agama Kristen dan agama Islam
telah mengisi wawasan religius orang Batak, yang walaupun dalam batas-batas tertentu akar-akar agama suku orang Batak itu
belum sepenuhnya tercabut. Akar-akar agama suku orang Batak yang berfokus pada pemujaan roh ini masih sering tampil
pada upacara yang berhubungan dengan kematian.
Persekutuan masyarakat atau struktur pemerintahan desa Batak juga sudah ditaklukkan oleh struktur pemerintahan
desa yang digariskan oleh pemerintah pusat Republik Indonesia. Dimensi adat yang berhubungan dengan hukum warisan,
hukum pemilikan tanah, hukum yang berhubungan dengan utang, hukum pelanggaran dan hukum peradilan sudah
mengalami erosi pada tingkat yang sangat dalam. Walau dalam batas-batas tertentu peranan hukum adat diakui di Indo -
nesia, namun kehadiran Kitab Undang-undang Hukum Pidana/Perdata serta lembaga-lembaga peradilan nasional telah
menggeser jauh ke belakang peranan dari hukum adat Batak tadi. Sengketa-sengketa yang terjadi di antara sesama
masyarakat Batak di desa apalagi di kota sudah menjadi urusan pengadilan negeri ketimbang peradilan desa yang terdiri
dari pengetua-pengetua adat.
Namun, adat perkawinan tampaknya masih kuat bertahan hingga sekarang. Jika ekspresi sehari-hari adat orang Batak
diamati, kehadiran yang sangat menonjol dari adat itu tampak pada dua peristiwa sosial, yaitu peristiwa perkawinan dan
peristiwa kematian. Pelaksanaan upacara adat pada dua peristiwa ini mencakup ritus adat yang sudah turun-temurun dari
nenek moyang dan yang sudah menjadi pegangan hidup bagi masyarakat Batak hingga sekarang ini. 66 Kalaupun diadakan
upacara adat pada saat-saat pembaptisan, sidi, pesta ulang tahun, pesta syukuran karena lulus sarjana dan sebagainya, hal
itu tidak merupakan keharusan adat sekaligus tidak menjadi tolok ukur bagi seseorang yang ”beradat” atau yang ”tak
beradat”.
Perlu dicatat bahwa bagi orang Batak, lebih parah muatan ”yang tak beradat” daripada ”yang tak ber-Injil”. Namun,
sewaktu mengawinkan anak (laki-laki atau perempuan) dan sewaktu mengadakan upacara kematian, bagaimanapun
kejadian serupa itu harus disertai oleh kehadiran upacara adat. Kriteria utama suatu upacara adat Batak adalah hadirnya
ketiga unsur Dalihan Na Tolu (disingkat DNT) dalam upacara itu untuk menerima hak dan memberi kewajibannya sesuai
dengan posisinya dalam kerangka struktur masyarakat Batak itu. Baik jambar hata (kesempatan menyampaikan petuah) dan
jambar juhut (bagian tertentu dari daging pesta) selalu tampil dalam pesta adat. 67 Dalam rangka jambar hata inilah, peranan
bahasa Batak dan pepatah-petitih (umpama) memainkan peranan penting. Hampir tak dapat dibayangkan berlangsungnya
suatu upacara adat Batak tanpa bahasa Batak. Demikian juga, dalam rangka mempertahankan identitas adat orang Batak
inilah, setiap orang Batak selalu melibatkan dirinya secara aktif dalam kerangka sistem sosial orang Batak yang
berlandaskan falsafah DNT. Dalam kaitan inilah peranan marga dan aspek-aspeknya sangat menonjol.
Kalau diamati jalannya pesta-pesta orang Batak, khusus dalam upacara perkawinan dan kematian, tampak bahwa peran
adat sangat menonjol. Dalam kedua peristiwa itu, dimensi adat hampir mendominasi segala acara. Kehadiran gereja dalam
kedua upacara yang umumnya berlangsung satu harian itu hanyalah sebagai pelengkap setidak-tidaknya dilihat dari segi
waktu. Peran gereja dalam suatu upacara perkawinan hanya tampak pada upacara pemberkatan nikah di gereja yang wak-
tunya hanya sekitar satu sampai dua jam.
Dalam upacara adat itu pulalah bahasa Batak sangat berperan. Biasanya dalam upacara adat Batak, terbuka kesempatan
seluas-luasnya kepada yang hadir untuk berbicara. Walau isi pembicaraan itu acap kali berulang-ulang, hal itu tidak
menjadi persoalan. Bukan isi pembicaraan itu yang diutamakan, melainkan jambar hata yang harus berjalan. Dapat
dikatakan, selain dalam gereja Batak, khususnya HKBP, wadah pembinaan dan pelestarian bahasa Batak (khususnya Toba)
adalah adat Batak itu sendiri.68
2. Marga Batak
Marga ialah ”nama persekutuan dari orang-orang bersaudara, sedarah, seketurunan, menurut garis bapak.” 69 Bagi orang
Batak Toba, marga bukan sekadar nama keluarga atau nama kedua, tetapi ia merupakan identitas orang Batak Toba,
sehingga bagi orang Batak Toba berlaku ungkapan: ”Seorang tanpa marganja, seperti katjang tanpa kulitnja.” 70 Marga bagi
orang Batak Toba yang mempunyai pandangan dunia yang totalistis merupakan ”dunia”-nya atau ”makrokosmos”-nya.
Seorang individu Batak melihat diri sebagai ”mikrokosmos” dalam ”makrokosmos” itu. Atas dasar pemikiran itulah, orang
Batak Toba jarang memakai kata-kata ”aku” (ahu), tapi selalu memakai ”kita” (hita). Misalnya, sebagai pengganti kata
”rumahku” dipakai ”rumah kita” (bagasta); sebagai pengganti ”istriku”, dikatakan ”ibu-rumah kita” (inanta).
Menurut Sitor Situmorang,71 marga memiliki prinsip teritorial dan prinsip religi. Yang dimaksud dengan prinsip
teritorial adalah bahwa marga itu mempunyai tanah marga yang dikuasai turun-temurun secara kolektif oleh anggota
marga. Teritori itu bisa dalam bentuk sawah, ladang, atau pegunungan di sekitar kampung dari marga itu. Jadi, bagi orang
Batak marga adalah ”negara” dan ”kerajaaan”. Setiap marga memiliki ”huta” sebagai ibukota ”negara” dari tempat mana roda
pemerintahan ”negara” diputar dan hubungan bilateral antarhuta dijalankan. Yang dimaksud dengan prinsip religi dari
marga adalah bahwa tanah marga itu menjadi tanah keramat bagi marga tersebut, di tempat mana tulang-belulang
leluhurnya disimpan dan yang menjadi tempat pemujaan bagi marga. Di sanalah mereka merayakan pesta panen, mengada-
kan doa tahunan, memelihara makam leluhur dan sebagainya.
Bertolak dari prinsip-prinsip yang terkandung dalam marga itu dapat dipahami bahwa orang Batak Toba pada mulanya
memiliki ”nasionalisme” marga. Lance Castles mengatakan bahwa sebelum zaman penjajahan, masyarakat Batak Toba sama
sekali tidak mengenal negara (stateless).72 Huta dan marganya yang bertindih dan identik itulah negaranya. Kalau kepada
seseorang ditanya: ”dari mana asalmu”, itu sama maknanya dengan pertanyaan: ”apa margamu”. Jadi, sehubungan dengan
itu, patriotisme dan nasionalisme orang Batak tertuju pada marganya dan hutanya. Atas dasar itulah kita memahami filsafat
marbulu suhar (menarik bambu dari arah yang berlawanan) yang terungkap dalam peribahasa: Suhar bulu ditait dongan,
suhar do taiton (biar terbalik bambu ditarik teman, kita harus tarik juga). Makna falsafah Batak yang hingga sekarang masih
berpengaruh ini ialah bahwa sekalipun tindakan teman semarga itu salah, kita harus membelanya demi harga diri marga. 73
Jadi, marbulu suhar itu pada mulanya, atau setidak-tidaknya sebelum kekristenan dan sebelum modernisasi memasuki
Tanah Batak, sama sekali bukan negatif, seperti yang dikatakan Situmorang dalam studinya. 74 Dari kacamata orang Batak
Toba pada zaman dahulu, prinsip itu benar dan positif sebagai semboyan yang mengilhami patriotisme untuk
mempertahankan diri dari serangan musuh.
Bertolak dari prinsip teritorial itu juga, Pemerintah HB sejak tahun 1908 menata sistem pemerintahan dan hukum di
Tanah Batak yang berlaku pada abad yang lalu. Mereka memberikan kedudukan politik di desa, seperti kepala kampung
atau kepala negeri, kepada seseorang yang berasal dari marga raja, yaitu kelompok marga pendiri desa. 75
Belum ada kajian ilmiah yang khusus tentang asal-usul marga Batak itu. Berdasarkan perhitungan sundut (generasi)
yang pada setiap marga baru berkisar dua puluh generasi bila dihitung sejak dari Siraja Batak, diperkirakan tradisi bermarga
sudah mulai abad ke-13. Wasinton Hutagalung mengatakan ada dua alasan terciptanya marga Batak Toba, yaitu pertama,
untuk mencegah perkawinan semarga, yang dilarang dalam adat istiadat dan kedua, untuk mempertahankan identitas dan
kesatuan orang Batak Toba.76 Orang Batak Toba meyakini bahwa mereka semua berasal dari satu nenek moyang yang
bernama Siraja Batak.77 Setiap orang Batak Toba dapat menelusuri silsilahnya sampai ke Siraja Batak sehingga orang Batak
Toba dapat menentukan nomor (tingkat) generasinya dihitung dari pangkalnya. 78 Dengan adanya tingkatan generasi ini,
setiap orang Batak dapat menentukan status kekerabatannya terhadap sesama marganya, apakah abang, adik, bapak, kakek
dan seterusnya.
Jumlah marga Batak Toba diperkirakan kira-kira 300, yang mencakup keseluruhan baik, marga induk maupun marga
cabang.79 Tentu secara historis ilmiah, konsep asal-usul dalam mitos kejadian orang Batak Toba yang semua datang dari
satu moyang itu tidak bisa diterima. Menurut para ahli etnologi, asal-usul orang Batak Toba adalah dari sekelompok murid
dan pengikut aliran Mahayana yang memasuki pedalaman Sumatra Utara dan menetap di sana, di tengah-tengah daerah
pegunungan.80 Lagi pula, menurut Sitor Situmorang, Si Raja Batak bukanlah nama pribadi, melainkan nama kolektif. 81
Hingga sekarang, pemahaman kolektif seperti itu masih hidup di kalangan orang Batak Toba, misalnya: Si Raja Sirait, Si
Raja Panggabean untuk menyebutkan kelompok marga Sirait dan kelompok marga Panggabean. Besar dugaan, Siraja Batak,
sebagai sebutan kolektif, mengacu pada sekelompok aliran Mahayana yang berasal dari Hindia Belakang, yang menamakan
dirinya Siraja Batak (kaum Batak). Mereka lambat laun memecah diri menjadi dua belahan (kelompok) marga yaitu
”belahan Sumba” dan ”belahan Lontung”, dua marga mula-mula orang Batak Toba, dan dari kedua akar ini memekar hingga
300-an sekarang.
Kalau berbicara tentang sistem kekerabatan orang Batak Toba, kita tidak dapat mengabaikan pembicaraan tentang
struktur kemasyarakatan berdasarkan falsafah DNT. Secara harfiah, DNT berarti ”Tungku Nan Tiga”, 82 yang berfungsi sebagai
penyangga periuk (hudon), alat memasak makanan sehari-hari orang Batak Toba. DNT itu mempunyai arti simbolis, merujuk
pada tiga unsur (tiang) yang berfungsi sebagai penyangga adat Batak. Ketiga unsur atau tiang itu adalah: dongantubu, hula-
hula, dan boru, yakni kelompok marga sendiri, kelompok marga pemberi istri, dan kelompok marga yang mengawini putri
sendiri. Harus diingat bahwa peristiwa perkawinan bagi orang Batak Toba bukan hanya menyangkut pasangan seorang laki-
laki dan seorang perempuan, tetapi menyangkut juga seluruh keluarga laki-laki dan perempuan itu. Perkawinan akan
menentukan status setiap individu Batak dalam sistem DNT. Kelompok marga yang memberi putri adalah hula-hula, yang
mempunyai status adat lebih tinggi, sehingga kelompok marga menerima istri harus bersikap somba (sembah) kepada
mereka. Sebaliknya, kelompok pemberi istri harus bersikap elek (lemah lembut) kepada kelompok marga boru yang lebih
rendah status adatnya. Untuk keluarga besar yang semarga, berlaku sikap manat (hati-hati), sebab mereka berada pada
derajat yang setaraf. Jadi, berdasarkan struktur kemasyarakatan DNT itu, lahirlah etika Batak yang berbunyi: somba
marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu, yang artinya: bersikap hormat kepada pihak pemberi istri, lemah
lembut kepada penerima istri, dan hati-hati kepada teman semarga.
Dalam rangka melestarikan marga itulah, ke mana saja orang Batak pergi merantau, ia pasti akan membawa identitas
marganya. Di luar tanah Batak, orang Batak akan mendirikan asosiasi marga dan asosiasi huta (punguan marga dan
parsahutaon) sebagai duplikat dari huta yang ada di Tanah Batak. Sebab, hanya dengan kehadiran kedua wahana itu,
identitas Batak dapat dipelihara dan adat Batak dapat terlaksana.
Kendati asosiasi marga ini dapat berkembang menjadi wahana tolong-menolong secara ekonomis dan alat untuk
mempertahankan diri terhadap dominasi kelompok etnis lain seperti diamati Kartini Syahrir, 83 namun Situmorang melihat
dengan akurat bahwa alasan yang sesungguhnya dari asosiasi marga itu di tempat mana pun bukan pertama-tama alasan
sosial-ekonomi, apalagi politis, tetapi alasan adat.
Implikasi nilai budaya marga (kekerabatan) Batak ini pada akhirnya menyulitkan orang Batak bergaul dengan suku-
bangsa lain, karena sistem sosial dan sikap sosial berdasarkan falsafah DNT itu selalu terbawa dan membentuk sikap dalam
pergaulan dengan kelompok etnis lain. Pandangan totalitas orang Batak pada gilirannya membentuk sikap dualistis antara
kerabat dan bukan kerabat, antara halak hita (orang kita) dan halak asing (orang asing).84 Kalau seorang Batak berjumpa
dengan sesama orang Batak, tidak ada kesulitan untuk menciptakan iklim pergaulan yang akrab, sebab masing-masing
dengan mudah dapat mengidentifikasi posisi dalam kerangka DNT. Sebaliknya, kalau seorang Batak bertemu dengan
seorang non-Batak, timbul kesulitan untuk menciptakan iklim hubungan yang baik karena terbentur dengan wawasan DNT
yang tidak dapat dipasang pada kelompok etnis lain. Bagi orang Batak, orang yang tidak bermarga itu dianggap orang asing
karena tidak mempunyai ikatan kekerabatan dengan dirinya. Karena itu pulalah jika terjadi perkawinan campur antara
seorang pria atau wanita Batak dengan wanita atau pria non-Batak, yang pertama dilakukan adalah membatakkan ”orang
asing” itu supaya adat perkawinan yang menjadi keharusan adat dapat dilaksanakan. Dampak dari sistem adat DNT yang
berporos pada identitas marga ini adalah bahwa orang Batak masih sangat sulit menerima perkawinan campur. Sikap
eksklusivisme Batak seperti itu membentuk citra orang Batak yang serbanegatif di mata orang non-Batak. Tidak jarang
orang Batak menerima stempel ”margaisme” atau ”sukuisme”.
Kesoekaan berperkara itu, menoeroet pendapatan saja soedah menjadi darah pendoedoek, jang toeroen-temoeroen, menjadi
poesaka, jang roepanja soesah hilang. Kalau ada 1 perkara bagaimana ketjil peon, soesah boeat didamaikan malahan perkara
ketjil itoe tidak djarang ditarik soepaya menjadi besar ... Jang mendjadikan timbulnja perkara di sini, menoeroet jang saja alami
adalah pangkalnja dari tabiat darah panas, soeka tinggikan diri, pentjela, sebagian terlalu soeka minoem toeak, sebagai di bagian
Porsea. Di onan (pekan–pen.) Porsea, tiap-tiap onan ada lebih 100 kaleng toeak dijoeal dan dikelilingi banjak orang, makan
daging bersama djengkol, serta tjabe. 89
Temperamen orang Batak Toba yang ”kasar”, ”keras”, ”berani” dan sebagainya, sudah luas dikenal bahkan telah menjadi
stereotip orang Batak, yang akarnya dapat dilacak dari nilai budaya harajaon tadi. Jenis menu makanan orang Batak yang
pedas, keras dan getir, serta kesukaan menenggak minuman beralkohol seperti tuak, ikut membentuk tem peramen orang
Batak Toba yang keras dan kasar itu. Tidak heran jika di kota-kota kita menemukan orang Batak sanggup mendominasi la -
pangan kerja yang termasuk ”rawan”, seperti di stasiun bus, pedagang kaki lima, pedagang rombengan (barang-barang
bekas), tentara, penyelundup, dan sebagainya.
1905 14.000
1920 45.284
1930 76.584
1954 308.837
1961 479.098
1971 635.562103
1981 1.294.132104
Berbagai suku bangsa datang ke Medan untuk mengadu nasib, termasuk Batak Toba. Setelah zending mendidik
generasi muda Batak Toba di dalam sekolah-sekolah zending, lambat laun tetapi pasti, orang-orang Batak mulai terdorong
untuk mengejar kemajuan di kota-kota Sumatra Timur, terutama Medan. Merantau ke Deli menjadi idaman setiap pemuda
Batak, sebab tanah Deli menjanjikan pencapaian nilai hamoraon, hagabeon, hasangapon. Kelompok etnik Batak Toba
adalah kelompok perantau terbesar yang memasuki Medan dan kota-kota lain di Sumatra Timur (Tebing Tinggi, Tanjung
Balai, Kisaran dan sebagainya) setelah kemerdekaan.105 Lapangan kerja yang terbuka bagi mereka ini adalah sebagai kerani
kebun, pegawai kereta api (Deli Spoorweg Maatschappij—DSM), pegawai kantor pos, mantri ukur, mantri garam, mantri
candu, dan sebagainya. Pada tahun 1914, ada kira-kita 100 orang Batak Toba di kota Medan. 106 Tahun 1930 sudah menjadi 819
orang atau 1,07% dari seluruh penduduk Medan yang waktu itu berjumlah 76.584.107 Tahun 1937 (ketika HKBP Medan
merayakan yubileum 25 tahun) terdapat 1.931 warga HKBP, dengan perkiraan semua orang Batak menjadi anggota HKBP. 108
Tahun 1981, jumlah sudah menjadi 194.570 orang Batak Toba, yaitu 14% dari total penduduk Medan (1.294.132). 109
Orang Batak Toba yang tidak mendapat pekerjaan di kota Medan menggarap tanah di pinggiran kota. Misalnya, di
kecamatan Labuhan mereka mengubah ratusan hektar rawa-rawa menjadi sawah. Orang-orang Melayu mengklaim bahwa
tanah itu adalah milik mereka, karena tanah itu merupakan tanah sultan, tetapi hal itu diselesaikan melalui musyawarah,
dan biasanya 20% dari area sawah itu diserahkan kepada orang-orang Melayu yang mengklaimnya. Namun, biasanya orang
Batak Toba mempunyai senjata untuk menegakkan kekuasaannya di suatu tempat, yaitu anjing dan babi yang sangat
dibenci orang Melayu yang beragama Islam. Menurut Cunningham dan Pelly, orang Batak memakai ternak tersebut sebagai
”senjata perjuangan” (instrument for struggle).110
Selain migrasi dengan tujuan mencari pekerjaan di kota-kota Sumatra Timur, pada awal abad ke-20 terjadi juga migrasi
orang Batak untuk mencari lahan persawahan yang lebih luas. Akibat proses modernisasi yang terjadi di Tanah Batak
setelah kehadiran zending dan pemerintah kolonial Belanda, terjadi pertambahan penduduk yang sangat pesat sebagai
akibat perbaikan gizi dan kesehatan masyarakat. Dampaknya adalah orang-orang Batak di Tapanuli mengalami krisis
pangan, karena produksi lahan pertanian yang sempit itu tidak cukup untuk dibagi-bagi. Situasi kemiskinan merupakan
faktor pendorong migrasi. Sasaran migrasi pada periode ini adalah Simalungun, Sidikalang, dan Aceh Tenggara, Asahan dan
Labuhan Batu, karena daerah ini memiliki lahan yang luas dan subur untuk dijadikan sawah. Terutama di daerah
Simalungun (Tanah Jawa dan Sidamanik), pada permulaan abad ke-20, pemerintah Hindia Belanda membangun irigasi yang
mampu mengairi ratusan hektar sawah baru. 111 Penduduk asli Simalungun tidak mempunyai keterampilan mengolah sawah
dan lebih mahir mengolah ladang, sehingga pemerintah Hindia Belanda mendatangkan orang Toba yang mahir bersawah
untuk mengolah lahan yang luas dan subur itu, yang mengakibatkan orang Batak Simalungun terpaksa mun dur ke daerah
gunung (Simalungun Atas).
Migrasi Batak Toba ke daerah Aceh Tenggara terjadi sejak tahun 1910. 112 Lahan yang luas dan subur disertai iklim yang
cocok untuk pertanian mempunyai daya tarik dan memikat orang Batak Toba untuk menetap di daerah itu. Orang Batak
yang memiliki semangat juang pantang menyerah, yang didorong cita-cita untuk memperoleh kekayaan, berhasil
mendominasi penduduk asli (orang Alas) yang ada di daerah itu. Karena cara-cara orang Batak Toba dalam menguasai
lahan pertanian, perdagangan dan lapangan kerja lainnya, penduduk setempat menamai orang Batak Toba sebagai ”Cina
hitam”.113 Arus migrasi massal pada periode ini dipercepat pula oleh adanya jalan raya yang menghubungkan pantai Timur
dengan pantai Barat Sumatra yang dibuka tahun 1918.
Migrasi orang Batak yang paling besar terjadi setelah berakhirnya perang kemerdekaan tahun 1949, yaitu setelah
pengakuan kedaulatan Indonesia oleh pemerintah Belanda. Pengakuan kedaulatan ini merupakan akhir dari masa
penjajahan yang panjang dengan segala implikasinya, termasuk akhir dari penguasaan sumber-sumber produksi di daerah
perkebunan Sumatra Timur yang telah berlangsung hampir satu abad (1863–1949). Sasaran para migran pada periode ini
adalah untuk menggarap tanah bekas perkebunan Belanda yang telah kosong dan ditinggalkan seperti ”tanah tak bertuan”.
Selama kurun waktu 1950–1956, diperkirakan paling sedikit 250.000 orang Batak Toba melakukan migrasi dari Tapanuli
Utara ke Sumatra Timur untuk menduduki lahan yang mereka klaim sebagai hadiah revolusi. 114 Sasaran-sasaran utama para
penggarap antara lain adalah daerah-daerah di kawasan Deli Serdang, Asahan, dan Labuhan Batu.
Mereka yang bermigrasi pada periode ini merupakan generasi kedua yang sudah beragama Kristen, sehingga ke mana
saja mereka pergi, mereka segera mendirikan tempat kebaktian dan melaksanakan kegiatan gerejawi persis seperti yang
mereka biasa lakukan di daerah asal. Harus dicatat bahwa sebelum pengakuan kedaulatan itu, sultan-sultan di sepanjang
pesisir Sumatra Timur dengan ketat membatasi kedatangan orang-orang Batak Toba ke daerah ini. Pem bentukan
masyarakat Kristen sudah sejak lama dihambat di wilayah-wilayah ini. Misalnya, hingga tahun 1940, tidak terdapat satu pun
gereja di Kesultanan Langkat, Deli, dan Serdang. Gereja yang berdiri di Medan sebelum kemerdekaan adalah di atas tanah
Kota Medan, yang berada di luar yurisdiksi kesultanan.115 Namun, sejak tahun 1950-an, orang-orang Batak Toba telah
menjadi penghuni utama di kawasan bekas perkebunan Sumatra Timur. Berkat bantuan Gubernur Sumatra Utara, Abdul
Hakim, para penggarap ini diberikan kelonggaran besar untuk mendapatkan pembagian ladang yang dapat dijadikan sawah.
Dasar hukum Gubernur membuat keputusan yang mengizinkan para penggarap tanah itu adalah Undang-undang Negara
RI yang baru lahir yang mengatur bahwa semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum dan
dalam pemerintahan.116
BAB II
METHODISME:
DARI GERAKAN KE GEREJA
U ntuk mengenal GMI lebih baik, diperlukan sedikit uraian mengenai gambaran denominasi Methodisme yang lahir
di Inggris pada abad ke-18, terutama sejarah Gereja Methodist di Amerika, di mana gerakan ini mengalami
perkembangan pesat. Bab ini diperlukan untuk memahami sejauh mana GMI mempunyai pemahaman yang benar
akan akar-akar historis-teologis yang sangat berpengaruh terhadap eksistensinya sebagai gereja yang menyejarah, dan
sejauh mana GMI mengikuti atau memodifikasi eklesiologi Methodisme itu dalam perjalanan sejarahnya yang telah cukup
panjang itu.
Dalam bab ini akan dibahas secara sangat singkat latar belakang kelahiran gerakan Methodisme yang dikobarkan oleh
John Wesley dan adiknya, Charles Wesley, beserta teman-temannya di Inggris pada abad ke-18. Tetapi bab ini akan lebih
banyak membahas perkembangan Gereja Methodist di Amerika di mana eklesiologi Methodisme dikembangkan dan yang
kemudian diwarisi serta sangat berpengaruh terhadap eklesiologi GMI di kemudian hari, karena GMI adalah buah zending
dari Gereja Methodist di Amerika.
Hingga berumur 11 tahun, John Wesley dan saudara-saudaranya menerima pendidikan dasar bukan di sekolah umum
seperti halnya anak-anak Inggris lainnya, tetapi di rumah. Susanna Wesley khawatir bahwa kalau anak-anaknya pergi ke
sekolah umum mereka akan terpengaruh kenakalan anak-anak yang merajalela pada waktu itu. Karena itu, Susanna Wesley,
yang sangat berpengaruh pada pembentukan kerohanian John dan Charles Wesley, bertindak sebagai guru bagi anak-anak-
nya. Kendati Susanna Wesley tidak berpendidikan tinggi–karena wanita tidak boleh masuk universitas waktu itu–namun
dengan belajar sendiri ia mampu membentuk dasar-dasar intelektual dan kerohanian anak-anaknya. Filosofi pendidikan
yang diterapkan kepada anak-anaknya ialah, bahwa untuk dapat membentuk akal-budi anak-anak, maka langkah pertama
yang harus dilakukan ialah menaklukkan kemauannya, dan menuntunnya untuk bersikap taat. Barulah pada tahun 1714
John Wesley memasuki pendidikan menengah enam tahun, sebagai persiapan memasuki perguruan tinggi (universitas) di
Charterhouse Latin School, di London.
Tahun 1720, John Wesley menyelesaikan pendidikan menengahnya dan langsung melanjutkan studi pada Christ
Church (College), sebuah departemen yang terbesar dan terbaik di Universitas Oxford. Tahun 1724, ia mendapat gelar
Bachelor of Arts (BA) dan tahun 1727 memperoleh gelar Master of Arts (MA). Untuk sementara, ia kembali ke Epworth
membantu ayahnya melayani jemaat. Tahun 1728, John Wesley ditahbiskan menjadi pendeta Anglikan oleh Bishop Potter.
John Wesley adalah seorang mahasiswa yang cerdas, sehingga pada tahun 1729 Universitas Oxford mengangkatnya menjadi
dosen tetap untuk tingkat undergraduate di Oxford. Di sanalah ia menjadi dosen selama enam tahun, sebelum ia
meninggalkan universitas itu tahun 1735 untuk menjadi misionaris ke Georgia, Amerika Utara.
Charles Wesley lahir tanggal 18 Desember 1707, sebagai anak kesembilan belas. Ia juga menerima pendidikan di sekolah
yang sama dengan abangnya. Ia ditahbiskan menjadi pendeta tahun 1735. Charles Wesley terkenal karena bakatnya dalam
bidang musik dan pencipta lagu-lagu rohani yang menjadi sarana penting dalam mengobarkan semangat kebangunan
rohani. Menurut tradisi, ia mengarang sekitar 6.500 nyanyian dan sekitar 65 buah terdapat dalam buku Methodist Hymnal.
3. Tiga peristiwa kelahiran gerakan Methodist3
John Wesley selalu merujuk pada tiga peristiwa penting yang ia anggap sebagai kelahiran Methodisme. Pertama, di Oxford,
tahun 1729, dalam sebuah persekutuan yang dinamai Holy Club. Kedua, di Savannah, tahun 1736, ketika ia menjadi
misionaris di sana. Ketiga, tebentuknya sebuah persekutuan doa (society) di Fatter Lane, London. Ketiga peristiwa tersebut
mempunyai benang merah, yaitu pergumulan kerohanian John Wesley dalam rangka mencari keselamatan, hidup suci dan
damai sejahtera dalam kehidupan yang sebenarnya sudah dimulai sejak masa kanak-kanak di rumah ketika ia dilatih ibunya
hidup berdisiplin ketat.
b. Savanah, Georgia
Masih dalam rangka berikhtiar membenarkan diri di hadapan Allah, John Wesley menerima sebuah tawaran dari James
Oglethrope, pemimpin (gubernur) koloni Georgia, untuk menjadi misionaris ke Savannah dengan niat utama menginjili
orang Indian, sekaligus melayani para kolonis di Georgia. Pada 21 Oktober 1735, John Wesley bersama adiknya, Charles, yang
telah diangkat menjadi sekretaris Oglethrope, berangkat menuju Amerika Utara dengan menumpang kapal Simmonds.
Dalam pelayaran yang memakan waktu dua bulan, melalui lautan Atlantik, ia bertemu dengan serombongan (dua puluh
enam orang, termasuk anak-anak) misionaris Moravia yang hendak menginjili ke Amerika Utara. John Wesley sangat
terkesan menyaksikan kesalehan, kekuatan iman dan sukacita mereka, yang tidak dimiliki sama sekali oleh John Welsey.
Ketika kapal mereka dihantam badai, hampir tenggelam, John Wesley serta penumpang lainnya sangat ketakutan, bahkan
sudah kehilangan pengharapan. Ia menyadari bahwa ia belum siap menghadap Penciptanya. Namun, orang-orang Moravia
justru bernyanyi tanpa rasa takut, yang membuat John Wesley malu, karena ia menyadari imannya yang lemah.
Setelah mereka tiba di Amerika, ia berjumpa dengan Spangenberg, seorang pemimpin Moravia yang menjemput
teman-temannya di pelabuhan. Spangenberg bertanya kepada John Wesley, apakah ia sudah mengenal Yesus Kristus secara
pribadi. John Wesley menjawab secara normatif bahwa ia percaya kepada Yesus sebagai Juruselamatnya, yang sudah mati di
kayu salib untuk dosa-dosanya. Di kemudian hari, John Wesley mengakui bahwa jawabannya sama sekali tidak bermakna,
hanya basa-basi. Lewat pengalaman ini, John Wesley mulai belajar tentang arti dan makna kepastian keselamatan
(assurance) yang kemudian menjadi salah satu ajarannya yang menonjol.
Selama di Georgia, John Wesley bekerja keras melayani para kolonis dengan mempraktikkan disiplin ketat seperti yang
ia praktikkan di Holy Club, Oxford. John Wesley, antara lain, membentuk persekutuan (society) penelahaan Alkitab dan
melakukan percakapan tentang iman (kesaksian). Namun, cara-cara seperti itu tidak dapat diterima oleh para kolonis yang
sedang bertarung menyesuaikan diri dengan dunia baru, yang mempunyai lingkungan yang keras dan menakutkan. Yang
paling mengecewakannya adalah pengalaman dengan orang-orang Indian. Tadinya ia berharap bahwa orang-orang Indian itu
akan menyambut Injil lugu, seperti anak kecil. Kenyataannya, menurut John Wesley, mereka rakus, pencuri, pembohong,
pembunuh dan tidak ada minat sama sekali terhadap Injil.
Sesudah hampir dua tahun sebagai misionaris di Savanah, John Wesley merasa gagal, sehingga ia memutuskan pulang
ke London. Pada 22 Desember 1737, ia pulang sebagai orang yang frustrasi. Motivasi pertama dan utama John Wesley
menerima panggilan sebagai misionaris ke Georgia adalah keinginan mencari keselamatan sendiri dengan kekuatan dan
usaha sendiri, tetapi sia-sia, karena dia belum memiliki iman dan kedamaian seperti yang dimiliki orang-orang Moravia
yang sangat berkesan di hatinya. Oleh sebab itu, ia menyatakan rasa kecewanya tersebut dalam catatan hariannya tercatat,
bahwa ia pergi ke Amerika untuk menyelamatkan orang Indian, padahal ia sendiri belum bertobat dan selamat. Sekalipun
merasa gagal, kenyataannya ia telah meninggalkan kesan mendalam di hati orang Indian dan para kolonis, yang merupakan
cikal bakal Gereja Methodist di Amerika. Dengan pengalamannya di Georgia itu, John Wesley mendapat tempaan lanjutan
atas kerohaniannya. Hal yang paling berharga dan berpengaruh dari pengalaman tersebut adalah perjumpaannya dengan
orang Moravia, yang menuntun perjalanan rohaninya menuju kelahiran baru dan kepastian keselamatan yang akan
dialaminya kemudian di Aldersgate. Pengalaman di Georgia ini, kemudian, diacu John Wesley sebagai kelahiran kedua dari
gerakan Methodisme.
Pada sore hari itu saya, kendati kurang semangat, pergi mengikuti suatu kumpulan di Jalan Aldersgate di mana ada
seseorang membacakan bahagian pengantar tulisan Luther untuk Surat kepada Jemaat di Roma. Kira-kira jam sembilan kurang
limabelas, ketika bacaan tersebut menjelaskan tentang perobahan yang dijadikan Tuhan dalam hati orang melalui iman kepada
Yesus Kristus, saya merasakan hati saya dihangatkan secara ajaib. Saya merasa bahwa saya meyakini Kristus, hanya Kristus
untuk keselamatan, dan suatu kepastian diberikan kepada saya bahwa Dia telah mengambil dosa-dosa saya, ya dosa-dosa saya,
dan menyelamatkan saya dari hukum dosa dan kematian5
Peristiwa bersejarah inilah titik balik kehidupan John Wesley, saat ia mengalami kelahiran baru. Sejak itu, seluruh
kepribadiannya berubah. Ia menemukan bahwa keselamatan bukan atas usaha manusia, tetapi semata-mata oleh anugerah
Allah. Tiga hari sebelumnya (21 Mei 1738), Charles Wesley, yang telah lebih dahulu pulang ke London, telah mengalami
kelahiran baru. Kelahiran baru Charles ini juga atas pengaruh orang-orang Moravia. Demikian juga teman-temannya yang
lain, seperti George Whitefield, telah mengalami kelahiran baru sebelum John Wesley mengalaminya. Setelah melalui
proses pergumulan yang panjang, para alumni Oxford telah siap menjadi obor Allah untuk mengadakan revival di Inggris.
Delapan belas hari setelah pengalaman Aldersgate, John Wesley berkhotbah di Universitas Oxford, dengan tema
”keselamatan oleh iman”. Dalam khotbah ini, John Wesley tidak memberikan doktrin atau pemikiran yang baru. Yang baru
hanyalah semangatnya. Khotbah John Wesley ini tidak mendapat sambutan dari para dosen dan warga Oxford. Mereka
menganggap bahwa keselamatan dapat diperoleh lewat pengetahuan tanpa melalui iman. Melihat dinginnya sambutan
koleganya di Oxford, ia memutuskan untuk pergi ke Jerman, pusat Moravia, untuk memperdalam pengetahuan dan
pemahamannya tentang apa dan bagaimana iman yang menyelamatkan, serta memantapkan keyakinannya atas jalan yang
sedang ditempuhnya. Di Moravia, John Wesley terkesan menyaksikan intimnya persekutuan kelompok ini, ibarat
persekutuan Kristen pada gereja mula-mula. Ia sempat merasa tergoda untuk menetap di sana. Namun, akhirnya ia
memutuskan harus kembali ke Inggris dengan tekad ingin membarui kerohanian bangsanya. Ia kembali London pada
September 1738 setelah beberapa bulan di Jerman.
Waktu itu, John dan Charles Wesley serta George Whitefield masih diizinkan berkhotbah di gereja-gereja Inggris,
sebab mereka adalah pendeta Anglikan. Namun, melihat cara-cara mereka berkhotbah yang penuh dengan antusiasme,
serta doktrin-doktrin yang mereka tekankan, para pendeta Anglikan membenci dan tidak mengizinkan lagi mereka
berkhotbah di mimbar-mimbar Anglikan. Tempat yang terbuka bagi John dan Charles Wesley berkhotbah hanya di penjara
dan persekutuan doa yang menjamur di Inggris. Itu berarti mereka hanya mampu menjangkau sejumlah kecil masyarakat
Inggris.
George Whitefield, seorang pengkhotbah ulung pada saat itu, mampu memecahkan masalah ketertutupan gereja-
gereja itu bagi mereka, dengan mengadakan kebaktian umum di lapangan terbuka. Semula, ketika Whitefield mengajak
John Wesley untuk mengikuti jejaknya, John Wesley menolak. Tradisi Gereja Anglikan yang tidak mengenal kebaktian di
luar gedung gereja yang resmi menjadi alasan. Namun, kemudian, karena perlawanan dari pihak pemimpin Gereja Anglikan
semakin gencar, dengan terpaksa John Wesley melakukan kebaktian terbuka.
Pada 2 April 1739, untuk pertama kali, John Wesley berkhotbah di luar gedung gereja di Bristol, sebuah kota industri
yang penduduknya padat, terutama para buruh tambang. Kebaktian itu dihadiri sekitar 3.000 orang. John Wesley
mengambil tindakan ini setelah memeriksa dalam Alkitab bahwa Tuhan Yesus juga pernah berkhotbah di lapangan terbuka
(bukit). Kemudian ia menyadari bahwa langkah itu merupakan jalan praktis, sehingga ia bisa menjangkau lebih banyak
orang, yaitu para buruh industri yang tidak pernah ke gereja dan berada di luar jangkauan Gereja Anglikan. Tambahan pula,
ribuan manusia tidak mungkin tertampung dalam sebuah gedung gereja. Sejak saat itu, John Wesley, Charles Wesley, dan
George Whitefield, mengadakan kebaktian di lapangan terbuka di hampir semua kota di Inggris yang dihadiri puluhan ribu
manusia, dan itulah awal dari sebuah gerakan revival (kebangunan rohani).
e. Nyanyian Methodist
Sarana lain yang bukan menyangkut organisasi, dan yang membuat gerakan kebangunan rohani Methodist itu bertalu-talu,
adalah nyanyian rohani yang diciptakan dan dikembangkan para pengkhotbah Methodist. Peranan Charles Wesley sebagai
seorang komponis kawakan pada zamannya sangat menonjol. Beberapa abad sebelum Reformasi, nyanyian dalam gereja
tidak begitu dipentingkan. Reformasilah yang kemudian mengangkat peranan nyanyian tampil dalam ibadah gereja,
Peranan Martin Luther di Jerman dalam hal ini sangat menonjol. Orang-orang Moravia mewarisi tradisi bernyanyi ini dari
Luther, dan kemudian Wesley mencontoh semangat bernyanyi ini dari mereka. Jadi, perkembangan nyanyian gereja di
Inggris adalah sebuah sumbangan penting gerakan Methodist. Banyak lagu yang digubah Charles Wesley, yang iramanya
penuh semangat dan dijiwai oleh doktrin Methodist tentang hidup penuh dengan sukacita. Lagu-lagu itu sering tercipta
dalam perjalanan naik kuda, sehingga banyak lagu-lagu itu mempunyai irama naik kuda (a horseback rhythm).
Yang jauh lebih penting adalah berdirinya Methodisme, yang merupakan salah satu kejadian paling penting dalam sejarah
kekristenan kemudian dan perkembangan kerohanian modern. Hal ini menandai kebangkitan kekristenan ortodoks dalam
suatu bentuk yang sangat menonjolkan sifat individualistis. Hal ini mengantisipasi gerakan kebangunan rohani abad ke-19, dan
merupakan salah satu cara yang melaluinya Inggris memberikan bukti atas semangat Revolusi Prancis.7
Tahun 1784, John Wesley mengambil dua keputusan penting. Pertama, menyadari dirinya yang semakin tua (83 tahun),
ia mengangkat 100 orang pengkhotbah Methodist menjadi satu badan yang, apabila John Wesley, meninggal akan bertindak
untuk dan atas nama persekutuan Methodist dalam mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan gerakan. Badan ini
disebut Legal Hundred, sebagai pengganti John Wesley yang sebelumnya bertanggung jawab untuk dan atas nama
persekutuan Methodist. Kedua, oleh tuntutan situasi dan kondisi di Amerika Utara, John Wesley menahbiskan dua orang
pendeta dan menetapkan seorang Superintendent untuk melayani persekutuan Methodist di Amerika Utara. Keputusan
kedua ini dianggap sebagai pemutusan hubungan persekutuan Methodist dengan Gereja Anglikan. John Wesley tidak
sependapat dengan anggapan demikian, sebab hanya karena tuntutan situasi ia terpaksa mengadakan keputusan penah-
bisan ini.
Secara resmi, hubungan persekutuan Methodist baru terputus dengan Gereja Anglikan pada tahun 1795, empat tahun
setelah John Wesley meninggal. Keputusan ini secara resmi diakui pemerintah melalui akta Plan of Pacification. Dengan
keputusan ini, persekutuan Methodist di Inggris telah berubah dari persekutuan (society) menjadi Gereja Methodist. Gereja
Methodist di Inggris berbeda dengan Gereja Methodist di Amerika dalam hal tata kelola organisasi (struktur) di mana
Gereja Methodist di Inggris tidak mempunyai Bishop sedangkan Gereja Methodist di Amerika mempunyai banyak Bishop.
Dalam bagian berikut di bawah akan dibahas tentang Gereja Methodist di Amerika, sebagai ”Gereja Induk” yang melahirkan
GMI.
Kami menginginkan seorang pengkhotbah yang mumpuni dan berpengalaman, seseorang yang memiliki baik talenta dan
karunia yang perlu bagi karya ini. Terkait dengan uang untuk pembayaran ongkos si pengkhotbah, jika mereka tidak mampu
membiayainya, kami akan menjual mantel dan kemeja untuk membiayai mereka. 18
Untuk memenuhi permintaan ini, Wesley mengutus Richard Boardman dan Joseph Pilmoor seraya menetapkan
Boardman sebagai asisten John Wesley di Amerika. Keduanya tiba di Amerika tanggal 21 Oktober 1769. Perkembangan
persekutuan Methodist semakin maju pesat, sehingga Pilmoor dan Boardman meminta tenaga tambahan kepada John
Wesley. Richard Wright dan Francis Asbury kemudian dikirim dan keduanya tiba di Amerika tanggal 27 Oktober 1771. Sejak
tahun 1772, Asbury diangkat Wesley sebagai asistennya untuk menggantikan Boardman. Permintaan tenaga pengkhotbah
datang terus, sehingga Wesley untuk ketiga kalinya mengirim Thomas Rankin dan George Shadford, yang tiba tanggal 3
Juni 1773. Wesley melihat bahwa dengan semakin berkembangnya pekerjaan Methodist di Amerika, sudah saatnya
pekerjaan itu diorganisasi dengan teratur sesuai dengan disiplin Methodist yang telah dibuat olehnya. Lalu, ia mengangkat
Rankin sebagai General Assistant for America untuk menggantikan Asbury. 19 Peranan seorang General Assistant adalah
perpanjangan tangan Wesley sehingga melalui pejabat ini Wesley dapat mengkoordinasi segala sesuatu yang dilakukan
Methodist di dunia baru itu.20
Dengan otoritas yang ada padanya, Rankin mengundang Konferensi para pengkhotbah Methodist di Amerika yang
berlangsung tanggal 14–16 Juli 1773 di Philadelphia. Inilah Konferensi Methodist pertama di Amerika yang dihadiri sepuluh
orang pengkhotbah (bukan pendeta). Sejumlah keputusan diambil dalam Konferensi itu: (1) Menyatakan bahwa semua
persekutuan Methodist di Amerika berada di bawah kepemimpinan Wesley. (2) Menerima doktrin dan disiplin Methodist
yang dipersiapkan Wesley sebagai pegangan bagi semua komunitas Methodist di Amerika. (3) Melarang semua
pengkhotbah Methodist melayani perjamuan kudus dan baptisan kudus, sebab mereka tidak ditahbiskan. Sehubungan
dengan itu, dianjurkan agar semua orang Methodist di Amerika mengikuti perjamuan kudus dan baptisan kudus di gereja
resmi, yaitu Gereja Anglikan. (Keputusan ini secara khusus menyangkut tindakan Strawbridge, yang atas kemauan sendiri
melayankan sakramen di persekutuan yang dipimpinnya; dan sekalipun ada keputusan ini ia tetap membangkang hingga ia
meninggal tahun 1781).21 (4) Melarang semua pengkhotbah Methodist memperbanyak buku-buku Wesley tanpa seizin yang
bersangkutan (Keputusan ini muncul karena Robert Williams, seorang pengkhotbah Methodist, yang atas inisiatif sendiri
mencetak beberapa kidung rohani dan tulisan-tulisan Wesley. Di kemudian hari, ketetapan ini mendasari sistem pengadaan
literatur-literatur Methodist yang berada di bawah pengawasan Konferensi).22 (5) Melaksanakan Disiplin anggota secara
ketat, yang antara lain ditegaskan bahwa hanya anggota resmi yang boleh ikut perjamuan kasih ( love-feast).23 (6) Setiap
pengkhotbah wajib mengirimkan laporan kerja kepada asisten umum sekali enam bulan (Keputusan ini menjadi awal dari
pengadaan statistik yang dilaporkan pada setiap Konferensi Tahunan Methodist).
Kalau keenam keputusan ini disimak lebih jauh, selain mencerminkan betapa kuatnya pengawasan Wesley atas
kehidupan komunitas Methodist di Amerika, juga memberi indikasi bahwa semua pengkhotbah Methodist di Amerika amat
loyal kepada pendiri gerakan itu. John Wesley pun merasa bertanggung jawab penuh atas kerohanian orang-orang
Methodist (the people called Methodists) di Amerika.
3. Christmas Conference
Perang kemerdekaan Amerika meletus tahun 1775 dan berlangsung hingga tahun 1783. Selama kurun waktu delapan tahun
itu, posisi orang-orang Methodist, seperti halnya dengan pendeta-pendeta Anglikan, terjepit. Mereka dicurigai bahkan
dianiaya oleh para pejuang kemerdekaan karena dianggap sebagai kaki tangan musuh. Ada dua krisis yang dihadapi orang-
orang Methodist di Amerika selama bergejolaknya revolusi kemerdekaan itu, yakni krisis politik dan krisis rohani. Seperti
dinyatakan dalam Konferensi tahun 1773, orang-orang Methodist di Amerika taat dan berada di bawah kepemimpinan rohani
Wesley. Sikap John Wesley terhadap perang kemerdekaan itu cenderung memihak Kerajaan Inggris. Sikap ini tersirat dalam
surat selebaran yang ia tulis dan kirimkan kepada orang-orang Methodist di Amerika yang berjudul A Calm Address to our
American Colonist. Melalui selebaran ini, John mengajak orang-orang Methodist untuk tidak terlibat dalam perang. 24 Atas
dasar ketaatan kepada pemimpin rohani mereka, pada krisis politik demikian—kecuali Francis Asbury dan James Dempster
(yang terakhir beralih ke Presbyterian)—semua pengkhotbah yang dikirim John Wesley terpaksa kembali ke Inggris. Francis
Asbury, yang agaknya diam-diam telah memihak pejuang kemerdekaan Amerika,25 adalah satu-satunya pengkhotbah
Methodist yang memilih bertahan walau ia harus hidup menderita di persembunyian di Dover, Delaware, selama dua tahun.
Di pihak lain, pendeta-pendeta Anglikan yang selama ini melayani orang-orang Methodist yang ingin mengikuti per jamuan
kudus dan baptisan kudus di Gereja Anglikan juga pulang ke Inggris. Situasi ini menciptakan krisis rohani bagi komunitas
Methodist di Amerika sebab mereka hidup tanpa pendeta.
Sesuai dengan petunjuk John Wesley, dan yang telah disahkan pada Konferensi tahun 1773, setiap orang Methodist di
Amerika (sama halnya dengan di Inggris) harus memahami dirinya sebagai bagian integral dari Gereja Anglikan. Karena itu,
sakramen perjamuan kudus hendaknya diterima di sana. Masalahnya adalah bahwa sebagai akibat dari perang
kemerdekaan, semua pendeta Anglikan sudah pulang ke Inggris, sehingga timbul soal baru: ke mana umat Methodist
meminta pelayanan kependetaan seperti perjamuan kudus, baptisan kudus, pemberkatan nikah dan sebagainya. Masalah
kevakuman pendeta ini semakin terasa setelah perang kemerdekaan berakhir tahun 1783 dengan kemenangan di pihak
Amerika, yang memberi kebebasan kepada komunitas itu untuk berkembang.
Di beberapa tempat, ada pengkhotbah-pengkhotbah Methodist (domestik) yang bertindak sendiri di luar peraturan
yang telah ditetapkan sebelumnya. Mereka bertindak untuk saling menahbiskan dan kemudian melayankan sakramen. 26
Dalam situasi kritis ini, Asbury tetap menunjukkan loyalitas dan kepatuhannya kepada John Wesley. Ia tidak mau
mengambil suatu kebijakan baru tanpa lebih dulu meminta petunjuk dari pemimpinnya itu.
Pada tahun 1783, Asbury, yang telah menjadi pemimpin komunitas Methodist di Amerika, menulis surat kepada Wesley
untuk meminta petunjuk mengenai masa depan kaum Methodist di Amerika, khusus mengenai masalah pendeta. Pada saat
itu, John Wesley yang sudah tua itu (sudah berumur 80 tahun) diperhadapkan pada suatu situasi yang kritis. Di satu sisi, ia
dapat memahami kebutuhan mendesak komunitas Methodist di Amerika, terutama akan perlunya tenaga pendeta. Namun,
di sisi lain, Wesley menyadari bahwa pengadaan (penahbisan) pendeta adalah tugas dan tanggung jawab seorang Bishop
Gereja Anglikan, yang sejak awal telah mencurigai gerakan John Wesley. Karena itu, ia mencoba memohon kepada Bishop
Gereja Anglikan untuk sudi menahbiskan beberapa orang pendeta untuk menjawab kebutuhan umat Methodist di Amerika.
Ternyata, permintaannya ditolak, karena hubungan antara Wesley dengan Gereja Anglikan kian memburuk.
Dalam situasi demikian, John Wesley diperhadapkan pada suatu dilema. Jika ia bercokol pada peraturan Gereja
Anglikan, dalam arti pasrah pada penolakan Bishop Gereja Anglikan, berarti ia mengorbankan umat Methodist di Amerika
yang sangat merindukan pendeta. Sebaliknya, jika ia bertindak sendiri untuk menahbiskan pendeta, berarti ia akan
mengkhianati kesetiaannya pada peraturan Gereja Anglikan. Setelah melalui pergumulan berat, John Wesley mengambil
suatu keputusan yang sangat penting. Pada tanggal 1 September 1784, Wesley, dibantu Thomas Coke dan James Creighton,
keduanya pendeta Anglikan, menahbiskan Richard Whatcoat dan Thomas Vasey menjadi deacon, dan besoknya ditahbiskan
menjadi elder.27 Pada hari yang sama, Wesley, dibantu Creighton dan Whatcoat, menguduskan (consecrate) Thomas Coke
menjadi Superintendent di Amerika serta memberikan hak kepada Coke untuk menahbiskan Francis Asbury menjadi
deacon dan elder, dan selanjutnya menguduskan Asbury menjadi Superintendent.28 Perlu dicatat bahwa Wesley
memodifikasi ketiga tingkatan jabatan dalam Gereja Anglikan yaitu: deacon, priest, bishop menjadi: deacon, elder,
superintendent.29
Pada tanggal 18 September 1784, Thomas Coke, Richard Whatcoat dan Thomas Vasey bertolak menuju Amerika, dan
tanggal 3 November 1784 mereka tiba di New York. Beberapa dokumen yang dipersiapkan Wesley untuk dipedomani dan
dipakai oleh umat Methodist di Amerika ikut dibawa, yaitu: (1) Surat tahbisan Thomas Coke sebagai Superintendent. (2)
Surat Penggembalaan yang berisi enam buah argumen mengapa Wesley menahbiskan pendeta untuk Amerika; 30 (3) Buku
Ibadah yang berjudul The Sunday Service of the Methodist in North America, (4) Asas-asas kepercayaan Methodist yang
terdiri dari dua puluh empat artikel yang diringkas dari ”Tiga Puluh Sembilan Artikel Gereja Anglikan”. 31
Untuk membicarakan semua proposal Wesley yang dibawa Coke ke Amerika, tanggal 24 Desember 1784 hingga 1
Januari 1785, bertempat di Baltimore, Maryland, diadakanlah Konferensi para pengkhotbah Methodist seluruh Amerika yang
dipimpin oleh Thomas Coke. Dari 81 orang pengkhotbah Methodist di Amerika, 61 orang hadir dalam Konferensi itu.
Konferensi yang lazim disebut Christmas Conference ini (karena berlangsung pada suasana Natal) mengambil sejumlah
keputusan penting yang mendasari Gereja Methodist di Amerika, antara lain: Pertama, menetapkan lahirnya Gereja
Methodist yang mandiri di Amerika dengan nama The Methodist Episcopal Church (MEC). Nama ini disahkan atas usul
John Dickins.
Kedua, Francis Asbury dan Thomas Coke dipilih menjadi Superintendent. Perlu ditambahkan, bahwa kendati Asbury
sangat loyal kepada Wesley, namun khusus mengenai pengangkatan (penghunjukan) untuk menjadi Superintendent ini,
Asbury tidak dapat menerimanya kecuali melalui pemilihan langsung. Dengan penolakan ini, bukan berarti Asbury tidak
mengakui wibawa Wesley, tetapi hal itu harus dikaitkan dengan semangat demokrasi Amerika yang sangat dijun jung tinggi
oleh masyarakat Amerika, termasuk oleh para pengkhotbah Methodist. Kuasa tertinggi yang diberikan pada keputusan
Konferensi, bukan pada keputusan seorang pemimpin, merupakan ciri khas Gereja Methodist di Amerika, yang hingga
sekarang dijunjung tinggi. Kendati jabatan yang diberikan John Wesley kepada Coke dan Asbury adalah Superintendent,
namun sebutan bishop segera menjadi gelar yang lazim untuk pemimpin Methodist di Amerika, yang sempat membuat John
Wesley marah.
Ketiga, Francis Asbury ditahbiskan menjadi deacon pada hari Sabtu tanggal 25 Desember 1784, dan besoknya pada hari
Minggu tanggal 26 Desember 1784 ia ditahbiskan menjadi elder, dan besoknya lagi tanggal 27 Desember ia dikuduskan
menjadi superintendent. Pada konferensi itu, ditahbiskan juga dua belas orang pendeta lain. Proses penerimaan pendeta-
pendeta baru ini dilakukan setelah melalui pemeriksaan karakter setiap calon yang diakhiri dengan pemungutan suara.
Hingga sekarang, tradisi seperti ini masih diberlakukan oleh Gereja Methodist di Amerika dan di negara-negara lain yang
lahir dari pekabaran Injil Methodist Amerika. Keempat, Asas-asas Kepercayaan, Buku Ibadah, dan Buku Disiplin, yang
dipersiapkan Wesley untuk Gereja Methodist di Amerika diterima setelah melalui pembahasan dalam sidang Konferensi.
Kepada dua puluh empat pasal Asas-asas Kepercayaan yang direvisi Wesley dari dua puluh sembilan Asas-asas Kepercayaan
Gereja Anglikan, ditambahkan satu artikel yang menjadi artikel ke-25, yaitu tentang hubungan gereja dengan negera di
Amerika. Kelima, ditetapkan juga bahwa perbudakan dihapuskan di seluruh jajaran Gereja Methodist di Amerika. 32
Setelah Konferensi Natal tersebut, perkembangan Gereja Methodist di Amerika berlangsung pesat, bahkan boleh
dikatakan sangat spektakuler, seperti tampak pada tabel berikut:
1784 - 2 83 14,988
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pertambahan anggota ini dengan tajam khususnya pada dasawarsa
ketiga dan keempat abad ke-19. Pertama, gerakan Kebangunan Rohani Kedua (Second Great Awakening) yang terjadi di
Amerika di bawah pimpinan tokoh-tokohnya seperti Charles G. Finney, Dwight L. Moody, dan Francis Asbury, membuat
Amerika cukup terkondisi bagi perkembangan Methodist.34
Kedua, metode kerja Methodist yang memiliki jaringan organisasi yang sangat rapi yang dikenal dengan sistem
connectional. Mengenai istilah connectional yang berasal dari Wesley ini, perlu sedikit penjelasan. Pada mulanya, Wesley
tidak mengklaim para pengikutnya sebagai ”anggota” (members), karena ia berprinsip bahwa para pengikutnya itu tetap
sebagai anggota Gereja Anglikan. Jadi, ia menyebut para pengkhotbah dan pengikutnya dengan istilah in connection with
him. Dalam sejarah permulaan Methodist di Amerika, istilah the connection dipakai untuk menyebut jemaat-jemaat. Esensi
sistem organisasi koneksional ialah bahwa gereja lokal tidak independen, tetapi terkait (connected) dengan Konferensi
Tahunan dan dengan Konferensi Agung.35 Melalui jaringan organisasi inilah maka gerakan Methodist di Amerika mampu
memencar pengkhotbah Methodist mengikuti mobilitas penduduk, tanpa kehilangan koordinasi yang diperankan oleh para
pemimpin distrik dan bishop sebagai konektor.
Sehubungan dengan perkembangan ini, pengadaan tenaga pelayan dapat dilaksanakan melalui sistem Kursus
Konferensi. Sistem ini dimulai tahun 1816. 36 Seseorang yang diterima menjadi pengkhotbah awam masuk dalam daftar
peserta Kursus Konferensi, dan ia diserahkan di bawah pengawasan seorang pendeta. Kepada calon diberikan buku bacaan
wajib untuk dipelajari, dan pada setiap acara Konferensi Tahunan ia mengikuti ujian Konferensi. Mereka yang lulus setelah
kelas empat dapat diterima dan ditahbiskan menjadi pendeta tua (elder).
Ketiga, faktor teologi dan ajaran. Dalam kondisi ketidakpastian masa depan di tengah-tengah hutan rimba Amerika,
para pengkhotbah Methodist menawarkan pengharapan lewat firman Tuhan yang berfokus pada keselamatan bagi semua
orang. Menurut ajaran Methodist (sebagaimana dipercayai John Wesley), keselamatan itu adalah anugerah yang cuma-
cuma yang disediakan bagi semua orang (free for all, free in all). Semua orang telah jatuh ke dalam dosa dan sesat, demikian
ajaran Methodist, sehingga semua orang membutuhkan keselamatan. Berbeda dengan ajaran Calvin tentang predestinasi
yang menyatakan bahwa keselamatan tersedia hanya bagi sejumlah orang tertentu, Methodisme mengajarkan bahwa untuk
semua orang tanpa kecuali, terbukalah kemungkinan untuk diselamatkan. 37
Berbarengan dengan perkembangan gereja Methodist di Amerika, berbagai konflik yang sampai menimbulkan
perpecahan ikut mewarnai sejarah perjalanan gereja itu. Selain perpecahan atas praktik segregasi antara kulit putih dan
kulit hitam yang melahirkan African Methodist Episcopal Church (1816) dan African Methodist Episcopal Zion Church
(1816),38 masih terdapat dua gereja yang terpisah dari Methodist Episcopal Church, tetapi kemudian dapat dipersatukan
kembali. Yang pertama ialah Methodist Protestant Church yang pecah tahun 1830. Konflik yang mengawali perpecahan ini
adalah persoalan di sekitar hak-hak bishop yang begitu besar. Masalah ini sebenarnya sudah muncul sekitar tahun 1790-an.
Ketika itu, James O’Kelly yang didukung sekelompok pendeta Methodist menuntut agar seorang pendeta yang keberatan
atas penempatannya dapat mengajukan keberatan kepada Konferensi Tahunan. Usul kelompok ini ditolak, sehingga pada
tahun 1792 mereka meninggalkan MEC dan mendirikan gereja baru yang bernama Republican Methodist Church, yang pada
tahun 1801 diubah menjadi The Christian Church. Lambat laun, gereja ini mati dan anggotanya terserap ke gereja-gereja
lain.39 Kendati gereja yang didirikan James O’Kelly sudah mati, namun inti perjuangannya tetap hidup.
Tahun 1820-an, masalah kuasa bishop dan partisipasi kaum awam kembali menjadi isu yang hangat dalam MEC.
Sekelompok orang Methodist menuntut tiga hal: (1) agar DS dipilih dalam Konferensi Tahunan; (2) agar pengkhotbah awam
menjadi anggota Konferensi Tahunan; dan (3) agar kaum awam dan pendeta mempunyai hak yang sama dalam menentukan
kebijakan gereja melalui Konferensi.40 Tahun 1830, kelompok yang gagal memperjuangkan tuntutan demokratisasi dalam
gereja ini membentuk gereja baru dengan nama The Methodist Protestant Church.
Selain perpecahan karena alasan-alasan di atas, perpecahan yang paling besar terjadi ketika perbedaan pendapat
mengenai masalah perbudakan antara negara-negara bagian di sebelah utara Amerika Serikat dan negara-negara bagian di
sebelah selatan kian memuncak. Pihak Utara memperjuangkan penghapusan perbudakan, sementara pihak Selatan ingin
mempertahankan praktik itu. Pertentangan politik mengenai masalah perbudakan ini akhirnya merambat ke dalam tubuh
MEC, sehingga gereja-gereja Methodist di bagian Utara dan gereja-gereja Methodist di bagian Selatan harus dipisahkan
secara resmi melalui Konferensi Agung yang berlangsung tahun 1845. Gereja Methodist di bagian Selatan diberi nama The
Methodist Episcopal Church–South, sedangkan gereja-gereja Methodist di Utara tetap bernama MEC.
Dalam waktu hampir satu abad, ketiga cabang Methodist ini berjalan, berkembang, dan bermisi sendiri-sendiri. Namun,
sejak awal abad ke-20, yang sedikit banyak dipengaruhi oleh gerakan keesaan gereja (ekumene) yang sedang menonjol
waktu itu, ketiga gereja sepakat untuk menyatukan diri. Sejak tahun 1916, delegasi ketiga gereja mengadakan pembicaraan-
pembicaraan resmi untuk mencari jalan ke arah reuni. Akhirnya, ketiga gereja dapat disatukan kembali pada tahun 1939
dengan nama baru The Methodist Church. Pada saat itu, jumlah anggotanya berkisar 7,7 juta jiwa.
Setelah penyatuan ketiga cabang Methodist di atas, pada tahun 1968 terjadi lagi reuni dari dua denominasi yang
mempunyai latar belakang sejarah yang berbeda, tetapi mempunyai visi dan ajaran-ajaran yang tidak terlalu jauh berbeda.
The Methodist Church yang pada waktu itu beranggota 10.289.000 41 dan Evangelical United Brethren42 yang beranggota
775.000 sepakat untuk bergabung menjadi The United Methodist Church.
Konferensi Agung tidak seharusnya mengubah atau mengganti bagian atau tata pemerintahan gerejawi kita mana pun, seperti
mengakhiri sistem episkopal atau menghancurkan rencana tentang superintendent umum kita yang berpindah-pindah.55
Mengenai kedudukan seorang bishop, dalam Disiplin Gereja Methodist di Amerika ditegaskan:
Tugas pengawasan dalam The United Methodist Church terletak pada jabatan Bishop dan meluas pada District Superintendent,
yang dengannya memiliki tanggung jawab jelas.56
Di Amerika, bishop dipilih sekali untuk seumur hidup, dalam arti tidak berperiode. Sekalipun seorang bishop
memasuki usia pensiun setelah berumur 70 tahun, ia tetap sebagai anggota Dewan Bishop, walaupun bukan lagi sebagai
voting member. Para bishop membentuk sebuah dewan yang bernama Council of Bishops yang bersidang sekali enam bulan
untuk mengawasi keseluruhan hidup gereja Methodist di Amerika. Tugas umum seorang bishop atau Dewan Bishop yang
digariskan dalam Disiplin ialah:
Memimpin dan mengawasi masalah rohani dan temporal United Methodist Church, yang mengakui Yesus Kristus sebagai
Tuhan dan Juruselamat, dan terutama memimpih gereja dalam misi memberi kesaksian dan pelayanan di dunia. 57
Dalam rangka mengemban tanggung jawab kepemimpinan, Bishop pertama-tama bertugas untuk mengawasi (lebih tepat
mengoordinasikan) kehidupan rohani gereja (spiritual) di satu pihak dan jalannya roda administrasi dan organisasi gereja
(temporal) di pihak lain. Wilson berkata: ”Tugas utama Bishop bersifat administratif, bukan sakramental.”58 Tugas-tugas lain
bishop adalah memimpin Konferensi Tahunan dan Konferensi Agung, menahbiskan pendeta, menahbiskan gedung gereja,
serta mengunjungi jemaat-jemaat di daerah pelayanannya.
Seorang bishop biasanya memimpin satu daerah Konferensi Tahunan, walau ada juga yang memimpin dua sampai tiga,
sesuai dengan luasnya daerah (episcopal area).59 Dewasa ini di Amerika terdapat 72 buah Konferensi Tahunan, belum lagi
termasuk Konferensi Tahunan yang ada di luar Amerika yang merupakan bagian integral dari United Methodist Church.
Ada 50 bishop di Amerika (selain 11 di Afrika, 4 di Eropa, dan 3 di Filipina) ditambah dengan 69 orang bishop pensiun yang
semuanya merupakan anggota Dewan Bishop dari The United Methodist Church. 60 Tugas utama Dewan Bishop adalah: ”…
berbicara pada gereja dan dari gereja untuk dunia.” 61 Tugas Dewan Bishop adalah mengeluarkan surat-surat penggembalaan
kepada gereja, dan demikian pula mengeluarkan pernyataan yang menyangkut sikap gereja mengenai berbagai isu yang
sedang berkembang. Dengan demikian, perlu digarisbawahi, bahwa dalam sistem organisasi Methodist, bishop sebagai
pemimpin (leader) berbeda dari pemahaman biasa tentang pemimpin yang mengacu pada perseorangan (individual).
Sistem kepemimpinan dalam Gereja Methodist dibuat sedemikian rupa, sehingga kekuasaan tidak terpusat di tangan
satu orang, melainkan dipegang oleh sekelompok orang secara kolektif, seperti Dewan Bishop, konferensi, dan badan-badan
konferensi lainnya.62 Kendati seorang bishop memiliki hak-hak yang cukup besar, paling tidak pada episcopal area-nya,
namun dalam melaksanakan tugas itu ia terikat dan berada di bawah kontrol Dewan Bishop. Karenanya bishop tidak
bekerja sebagai single fighter atau pemain tunggal (one man show) karena ia tetap terkait (connected) dengan unsur lain dari
mekanisme organisasi gereja.
Selain tugas umum yang disebutkan di atas, tugas terpenting seorang bishop yang merupakan wujud dari sistem
episkopalisme atau superintendency ialah membuat penempatan pendeta untuk melayani suatu gereja atau lembaga terkait,
termasuk mengangkat dan menempatkan DS. Kendati proses penempatan ini digodok mulai dari konsultasi dalam
”kabinet” (rapat bishop dan para DS) dan konsultasi dengan pendeta yang bersangkutan, namun keputusan terakhir berada di
tangan bishop.63 Di satu sisi, hak prerogatif bishop yang sering mengandung kesan ”diktator” ini merupakan ciri khas gereja
Methodist di Amerika, yang pernah menjadi kunci bagi perkembangannya, sehingga sistem ini dilanggengkan dalam
Disiplin. Namun, di sisi lain, kuasa bishop yang demikian besar dalam menentukan tempat pelayanan para pendeta ini
sering menjadi sumber kontroversi, bahkan pernah sampai mengakibatkan perpecahan gereja. Masalahnya adalah bahwa
penempatan ini tidak hanya berarti pindah tempat pelayanan, tetapi berpengaruh pada banyak aspek kehidupan keluarga
sang pendeta: standar hidup, gaji, pendidikan anak, lingkungan sosial, dan sebagainya. Tidak disangkal bahwa pada zaman
Asbury masalah penempatan seperti ini belum banyak berdampak negatif, karena setiap pendeta masih memiliki dedikasi
dan panggilan yang sangat tinggi, sampai banyak yang melaksanakan praktik selibat, termasuk Asbury, dengan alasan tidak
sempat membina keluarga. Lebih jauh, acara yang dianggap paling ”berkesan” pada setiap Konferensi Tahunan adalah
ketika bishop tampil di mimbar menjelang penutupan sidang, untuk membacakan daftar penempatan (appointment). Saat
itu, pendeta-pendeta berdiri dan berkeliling mendengar dengan antusias ke mana ia akan dipindahkan. Setiap orang akan
menyambut penempatannya dengan ucapan: ”God is good,” atau ”Good God, Bishop,” termasuk oleh mereka yang mengha-
rap tidak dipindahkan, tetapi ternyata pindah. 64
Kendati praktik perpindahan ini mempunyai dasar teologis, yakni mengejawantahkan amanat Yesus Kristus untuk
”pergi” memberitakan Injil kepada segala bangsa (Mat. 28:19–20), namun pada zaman modern sekarang ini, masalahnya
sudah banyak berubah. Istri pendeta atau suami pendeta umumnya sudah bekerja, yang jenis pekerjaannya tidak selalu
cocok dengan situasi berpindah-pindah. Kemudian masalah pendidikan anak-anak pendeta sering pula menjadi tantangan
berat dengan adanya mutasi. Hingga sekarang, masalah mutasi ini merupakan isu yang hangat di Gereja Methodist
Amerika.65
District Superintendent adalah figur dalam sistem koneksional United Methodist Church yang memberikan tautan paling
kelihatan antara jemaat lokal dan bagian lain dari gereja ini. 68
Dalam melaksanakan fungsi sebagai ”konektor” dan sebagai pembantu utama bishop, seorang DS mempunyai dua
tanggung jawab penting. Pertama, DS adalah pastor to pastors. Di sini, DS harus menjadi ”gembala” yang memperhatikan
dan memedulikan pergumulan para pendeta, meliputi masalah-masalah keluarga, anak-anak pendeta, dan segala aspek
yang menentukan pada maju mundurnya pekerjaan sang pendeta. DS mendorong, menasihati, menegur, dan membimbing
para pendeta dan pekerja lain dalam distriknya. Setiap Konferensi Tahunan, dalam satu ”sidang khusus” (closing session)
para pendeta, setiap DS memberikan kesaksian di hadapan bishop dan para pendeta mengenai oknum dan pekerjaan
pendeta yang ada di distriknya. Sekiranya DS menyatakan oknum dan pekerjaan seseorang tidak baik, bishop tidak boleh
menempatkan orang itu untuk paling tidak satu tahun berjalan, sebelum persoalan yang bersangkutan diselesaikan lewat
proses pemeriksaan yang diatur dalam Disiplin.69
Kedua, DS adalah pemimpin konferensi resort yang akan membicarakan segala sesuatu yang dilakukan dan tidak
dilakukan di jemaat. Sebagai ketua konferensi resort, 70 DS memfungsikan konferensi itu dalam upaya menerjemahkan
kebijakan gereja secara umum di jemaat, sekaligus menampung aspirasi jemaat untuk menjadi masukan dalam membuat
program dalam Konferensi Tahunan. Pada konferensi resort, DS membicarakan gaji pendeta, perumahan, dan semua
fasilitas yang diperlukan, bersama-sama dengan majelis jemaat. Justru di sini letak fungsi DS sebagi ”pembela” pendeta di
satu sisi, manakala jemaat kurang tanggap terhadap kebutuhan pendetanya. Ini karena seorang pendeta agak enggan untuk
secara langsung menuntut gaji dan fasilitas kepada jemaat. Di sisi lain, DS juga berperan sebagai pembela gereja
keseluruhan, manakala jemaat ”terlalu baik” kepada pendetanya, sehingga memberikan gaji yang ”terlalu besar” kepada
pendeta tanpa memedulikan kebutuhan gereja keseluruhan. 71
Pada saat konferensi resort jugalah DS mengevaluasi pekerjaan jemaat, termasuk pekerjaan pendeta. Di sana DS
berkonsultasi dengan majelis jemaat (khusus panitia penghubung pendeta dengan jemaat, salah satu komisi dalam majelis
jemaat) mengenai sang pendeta, apakah pelayanannya diteruskan di jemaat itu atau tidak. Peranan DS dalam pengaturan
penempatan para pendeta dan pekerja gereja lain membuat jabatan itu menjadi ”penting”, bahkan sering ditakuti. Ini
karena kendati keputusan terakhir mengenai penempatan terletak di tangan bishop, pada umumnya apa yang dikonsep
oleh DS tidak banyak diubah lagi oleh bishop.
Akibat beratnya tugas dan tanggung jawab DS ini, bishop harus sangat hati-hati memilih dan mengangkat DS. Jika
salah pilih, ia sendiri yang akan menanggung dampak negatifnya. Walaupun bishop dapat saja melakukan pergantian DS
setiap tahun, namun kalau seseorang sudah sempat diangkat menjadi DS, agak berat bagi bishop untuk menurunkan DS
tersebut sebelum ia menghabiskan masa kerja enam tahun.72
3. Konferensi-konferensi
Gereja Methodist terkenal dengan konferensi-konferensinya yang bertingkat-tingkat, mulai dari yang terkecil sampai yang
terbesar. Ada enam tingkatan konferensi dalam Gereja Methodist di Amerika:
Dari keenam jenis konferensi itu, ada tiga yang memegang peran sangat penting dalam kerangka sistem organisasi
Gereja Methodist di Amerika, dan yang diwarisi oleh buah zendingnya di luar Amerika, termasuk Indonesia, yaitu
Konferensi Agung, Konferensi Tahunan, dan Konferensi Resort. Ketiga jenis konferensi ini akan diuraikan secara ringkas,
agar diperoleh gambaran umum bagaimana mekanisme organisasi Methodist berjalan. Ada baiknya pembahasan ini dimulai
dari tingkat bawah (konferensi resort) agar nanti jelas hubungan dari ketiga lembaga itu.
a. Konferensi Resort
Dalam pembahasan mengenai gereja lokal dan DS, sedikit banyak telah disinggung mengenai konferensi resort. Di sini
tidak diulangi lagi apa yang sudah dicatat tetapi hanya dilengkapi.
Sejarah permulaan konferensi resort dapat ditelusuri sampai ke zaman Wesley. Sejak gerakan Methodist berkembang
di Inggris, Wesley dan para pengkhotbah Methodist lainnya telah membiasakan berlangsungnya konferensi resort, yang
waktu itu disebut quarterly meeting. Pertemuan ini dihadiri oleh para pengkhotbah Methodist untuk membicarakan dua
perkara penting, yakni masalah-masalah finansial serta masalah-masalah kerohanian dalam perhimpunan. 74
Di Amerika, kebiasaan berhimpun sekali empat bulan ini juga dipraktikkan oleh para pengkhotbah Methodist. Sejak
tahun 1773, konferensi resort sudah dilembagakan sebagai forum resmi yang berfungsi mengawasi dan mengoordinasikan
kehidupan gereja lokal atau beberapa gereja lokal yang tergabung dalam satu daerah konferensi resort (circuit). Pesertanya
ialah pendeta dan para anggota majelis jemaat. Pimpinannya (ketuanya) bukan pendeta, melainkan DS, kendati apabila
berhalangan, DS dapat mendelegasikan tugas itu kepada pendeta. Berkaitan dengan mekanisme organisasi yang
koneksional ini, konferensi resort berfungsi sebagai ”… menghubungkan tautan antara gereja lokal dan Konferensi Tahunan
serta gereja pada umumnya.”75
Dalam konferensi resort ditetapkan program pelayanan, anggaran belanja, dan gaji pendeta, yang biasanya ditetap kan
pada konferensi kuartal ketiga setiap tahun. Kuartal satu dan dua berfungsi untuk mengevaluasi, mendorong dan
mengusahakan jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Dengan demikian, seorang DS diharapkan paling sedikit
mengunjungi satu jemaat atau daerah konferensi resort tiga kali setahun.
Sejak tahun 1968 (ingat reuni UMC), quarterly conference ini diubah menjadi charge conference dan tidak lagi diadakan
empat kali setahun tetapi menjadi sekali setahun. 76 Tidak jelas mengapa diadakan perubahan ini, namun besar dugaan,
selain karena jumlah jemaat atau daerah konferensi resort semakin besar, amat mungkin bahwa sema ngat melayani sudah
menurun.
Selain tugas-tugas konferensi resort yang telah dicatat di atas, masih ada dua tugas yang tak kalah pentingnya. Di
Amerika (baca: UMC), anggota majelis jemaat dipilih dalam konferensi resort dengan sistem panitia pencalonan
(nominating committee) yang diketuai oleh pendeta. 77 Kemudian, konferensi resort memilih satu orang delegasinya untuk
mengikuti Konferensi Tahunan. Peran utusan ini cukup besar untuk menyalurkan aspirasi jemaat ke Konferensi Tahunan
dan Konferensi Agung, sehingga diharapkan orang yang akan dipilih adalah seseorang yang berpengalaman dan
berpengetahuan luas, di samping juga sebagai orang Kristen yang baik. Masalahnya, karena sidang Kon ferensi Tahunan
memakan waktu kira-kira satu minggu, tidak mudah untuk mencari orang yang qualified yang rela mengorbankan waktu
satu minggu.78
Dengan singkat, konferensi resort adalah suatu badan eksekutif dalam satu jemaat atau satu daerah konferensi resort,
yang bertanggung jawab atas hidup dan matinya jemaat itu.
b. Konferensi Tahunan
Waktu membahas tentang bishop, di sana sini sudah disinggung beberapa hal menyangkut Konferensi Tahunan. Karena itu
apa yang sudah dicatat sebelumnya tidak akan diulangi lagi.
Konferensi Tahunan adalah konferensi tertua dalam sejarah Methodist yang untuk pertama kali diadakan pada 25–29
Juni 1744 di London. Atas undangan Wesley, sepuluh orang hadir dalam konferensi ini, lima pendeta Anglikan (yang telah
bergabung dengan Wesley) dan ditambah empat orang pengkhotbah awam. 79
Kendati konferensi para pendeta untuk pertama kali sudah berlangsung di Amerika atas undangan Rankin pada tahun
1773 (lihat di atas), baru pada tahun 1792 Konferensi Tahunan dilembagakan sebagai forum pertemuan tahunan para
pendeta sekaligus sebagai asosiasi para pendeta Methodist. 80 Hingga tahun 1900, hanya pendeta, tidak termasuk kaum
awam, yang menjadi peserta Konferensi Tahunan. Itu berarti Gereja Methodist di Amerika cenderung bercorak ”gereja
pendeta”, karena memang selain kelahirannya diorganisasi oleh para pengkhotbah, mekanisme pengambilan keputusan
amat didominasi oleh golongan pendeta. Kendati perjuangan untuk melibatkan kaum awam dan demokratisasi dalam
Gereja Methodist sudah lama ada, bahkan pernah menimbulkan perpecahan, namun baru tahun 1900 utusan kaum awam
(lay delegation) hadir dalam sidang Konferensi Tahunan. 81 Jadi, setiap pastoral charge (daerah konferensi resort) mengutus
satu orang delegasi. Kalau di dalam satu daerah konferensi resort ada dua pendeta, utusan kaum awam harus dua. 82
Maksudnya adalah agar jumlah kaum awam dan rohaniwan dalam Konferensi Tahunan relatif seimbang. Nyatanya, pada
setiap sidang Konferensi Tahunan, para pendeta mendominasi persidangan. Selain karena jumlah pendeta lebih besar, 83
para pendeta merupakan anggota tetap yang lebih menguasai mekanisme persidangan, sedangkan kaum awam selalu ber-
ganti-ganti dan terus dalam proses belajar.84
Sebagai institusi para pendeta, Konferesni Tahunan merupakan ”jemaat” bagi seorang pendeta. Pada Konferensi
Tahunanlah, bukan pada gereja lokal, terdaftar nama setiap pendeta. Penerimaan pendeta baru, penempatan, dan
pemeriksaan oknum (character) setiap pendeta dilaksanakan dalam Konferensi Tahunan. 85 Sehubungan dengan itu, tugas
utama sidang Konferensi Tahunan adalah: (1) memutuskan siapa yang diterima menjadi pendeta, siapa yang dipensiunkan,
dan siapa dikeluarkan; (2) membuat usul (amandemen) mengenai Disiplin untuk dibawakan ke dalam Konferensi Agung;
(3) memilih utusan Konferensi Tahunan untuk mengikuti Konferensi Agung; 86 (4) memberikan penempatan kepada setiap
pendeta, yang prosesnya sudah digodok sebelumnya oleh bishop dan kabinetnya; 87 (5) menerima laporan-laporan dari para
DS, badan-badan Konferensi Tahunan seperti: Badan Pendidikan Kristen; Badan Pensiun, Badan Arsip dan Sejarah; Badan
Pengurus Latihan dan Penetapan Jabatan (Board of Ordained Pastors.)
Acara Konferensi Tahunan didominasi oleh masalah di sekitar kependetaan (penerimaan, penahbisan, pensiun, dan
pemeriksaan oknum). Oleh karena itu, orang yang paling sibuk dalam setiap Konferensi Tahunan adalah anggota Board of
Ordained Pastors, yang di GMI disebut Badan Pengurus Latihan dan Penetapan Jabatan (BPLPJ). Badan inilah yang
mengurus segala sesuatu menyangkut kependetaan, mulai dari sejak proses rekrutmen, memberikan rekomendasi untuk
memasuki seminari, memprogramkan peningkatan pendidikan (baik formal maupun non-formal) serta menjadi pengawas
bagi para pendeta. Jika ada pendeta yang bermasalah, misalnya masalah moral, badan inilah yang memeriksa pendeta yang
bersangkutan untuk seterusnya memberi laporan pada rapat tertutup para pendeta. 88
Anggota BPLPJ berjumlah paling sedikit enam orang pendeta yang dinominasikan oleh bishop untuk disahkan oleh
Konferensi Tahunan, untuk bekerja selama satu periode empat tahun. 89 Dalam mengajukan calon-calon anggota ini, bishop
harus berkonsultasi dengan ketua lama dan dengan kabinet. Dengan demikian, diharapkan BPLPJ akan cukup berbobot
untuk mengemban tugas yang sangat berat dan yang dilakukan secara paruh waktu.
c. Konferensi Agung
Konferensi Agung merupakan badan legislatif tertinggi dalam UMC, yang oleh Tuel 90 diidentikkan dengan Kongres dalam
sistem pemerintahan Amerika, walaupun diakuinya bahwa keduanya tidak persis sama, sebab Kongres bersifat nasional,
sedangkan Konferensi Agung bersifat internasional (Methodist di Amerika adalah gereja transnasional).
Dibandingkan dengan Konferensi Tahunan dan Konferensi Resort, Konferensi Agung lahir belakangan. Konferensi
Agung pertama diadakan tahun 1808.91 Lahirnya Konferensi ini bertolak dari pertimbangan bahwa dengan semakin
berkembang dan berseraknya Gereja Methodist di daratan Amerika, semakin tidak cukup waktu untuk membicarakan
segala agenda dalam Konferensi Tahunan. Sebagai lembaga legislatif tertinggi, Konferensi Agung bertugas untuk: (1)
mengubah, merevisi, dan menetapkan peraturan (disiplin) gereja; (2) memilih bishop (khusus di Amerika sekarang tugas ini
sudah diambil alih Jurisdictional Conference); (3) merevisi kidung gereja dan buku ibadah; (4) menetapkan rencana kerja
empat tahun; dan (5) menetapkan rencana anggaran pendapatan dan belanja untuk empat tahun. 92
Berhubung dengan pemilihan bishop, perlu ditambahkan di sini bahwa seorang bishop yang dipilih dalam Konferensi
Agung (kemudian di Amerika dalam Konferensi Yurisdiksi) harus mendapat suara dua per tiga dari peserta yang hadir.
Persyaratan ini didasari oleh pertimbangan bahwa seorang bishop harus mendapat kepercayaan dari minimal dua per tiga
warga gereja yang telah diwakili oleh para peserta Konferensi Agung.
1. Dosa Warisan
Wesley mengakui ajaran tentang dosa warisan, seperti diajarkan oleh bapak-bapak gereja, terutama Agustinus. Dalam asas-
asas kepercayaan Methodisme dikatakan:
Dosa warisan bukanlah penurunan kelakuan Adam, yang diajarkan oleh Pelagianisme, tetapi merupakan kemerosotan kodrat
dari setiap manusia, yang diwariskan oleh keturunan Adam, karena manusia telah sangat jauh dari kebenaran yang asli dan
setiap manusia di dalam dirinya sendiri cenderung kepada yang jahat. 100
Seperti Agustinus dan Calvin, Wesley melawan ajaran Pelagius tentang dosa warisan, walau antara dia dan Calvin ada
perbedaan prinsipal tentang kerusakan kodrat manusia. Menurut Calvin, akibat dosa warisan, kesegambaran manusia telah
rusak total, sedikit pun tidak tersisa kebaikan pada dirinya. 101 Namun, Wesley percaya bahwa kerusakan kesegambaran itu
tidak total. Menurut Leo George Cox, Wesley mengartikan kesegambaran manusia dengan Allah terdiri dari dua unsur,
yakni natural image dan moral image.102 Natural image meliputi spiritualitas, intelektualitas, kebebasan kehendak,
ketidakfanaan, dan kemampuan menguasai ciptaan. Unsur-unsur inilah yang merupakan perlengkapan manusia sebagai
makhluk hidup. Moral image ialah kebenaran, kesucian, dan kasih yang dimiliki manusia sejak ia diciptakan segambar
dengan Allah. Wesley mengatakan bahwa ketika manusia jatuh ke dalam dosa yang rusak total (hilang) hanyalah moral
image,103 sedangkan natural image tidak hilang. Sekalipun manusia jatuh ke dalam dosa, ia tetap manusia yang memiliki
dimensi spritualitas dan intelektualitas yang merupakan aspek natural image. Menurut John Wesley, keselamatan adalah
restorasi moral image yang telah hilang tadi.104
Selanjutnya, menurut Wesley, tidak seorang pun binasa karena dosa warisan, sebab anugerah Yesus Kristus yang telah
masuk kepada semua orang telah menghapuskan hukuman dosa Adam atas semua orang. Atas dasar pemahaman bahwa
kesegambaran manusia itu tidak rusak total, ia menegaskan bahwa dalam diri tiap-tiap orang, Roh Kudus hadir dalam
bentuk anugerah pendahuluan (prevenient grace).
Kami mengakui anugerah pendahuluan dari Allah, kasih ilahi yang meliputi seluruh kemanusiaan dan mendahului dorongan
dan kesadaran kita. Anugerah ini mengundang keinginan pertama kita untuk berkenan pada Allah, kilasan pemahaman pertama
kita atas kehendak Allah, serta ”keyakinan cukup singkat pertama” kita bahwa kita telah berdosa pada Allah.
Anugerah Allah juga membangkitkan dalam diri kita suatu kerinduan sungguh-sungguh atas pembebasan dari dosa dan maut
serta menggerakkan kita pada pertobatan dan iman. 105
Menurut Wesley, sebelum kita sungguh-sungguh bertobat melalui anugerah pengampunan Allah, sesungguhnya Roh
Kudus telah hadir di dalam diri manusia. Kehadiran Roh Kudus dalam diri tiap-tiap orang sebelum pembenaran oleh iman
(justification) itulah yang ia maksud dengan anugerah pendahuluan (prevenient grace). Untuk mendukung ajaran ini, ia
merujuk Alkitab, antara lain Roma 5:8, yang mengatakan: ”Allah telah menunjukkan kasihnya kepada kita, oleh ka rena
Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” Wesley mengatakan bahwa prakarsa awal yang mendorong
manusia untuk menyadari dirinya sebagai orang berdosa, yang merupakan prasyarat untuk pengampunan, bukanlah datang
dari manusia, melainkan datang dari Allah. Sekiranya kesadaran akan dosa dan motivasi mencari Allah itu datangnya dari
diri manusia, manusia mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebelum pertobatan manusia terjadi, demikian Wesley,
Allah sudah terlebih dahulu bekerja menggerakkan manusia untuk bertobat di luar inisiatif dan kesadaran manusia, karena
Allah tidak menghendaki satu orang pun dari antara ciptaannya mati binasa karena dosa.106 Prevenient grace
memungkinkan manusia mengetahui perbedaan antara yang baik dan yang jahat, serta menyanggupkannya menyambut
anugerah keselamatan, yaitu pengampunan yang ditawarkan Allah. Tanpa anugerah pendahuluan, manusia berdosa sama
sekali tidak mampu menjawab panggilan Allah untuk pertobatan. 107 Kemampuan manusia untuk bertobat bukanlah
kemampuan yang dimiliki dari dirinya sendiri, itu adalah pemberian atau anugerah bagi setiap orang.
Anugerah pendahuluan ini ada dalam diri setiap umat manusia (free in all), karena manusia masih mempunyai natural
image yang menyanggupkannya untuk menerima atau menolak anugerah Allah. Keselamatan itu juga, menurut Wesley,
adalah free for all karena tidak seorang pun dikecualikan dari prevenient grace itu. Menurut John Wesley, Kristus telah mati
untuk semua sehingga pintu surga terbuka untuk semua. Ia mengacu pada 2 Petrus 3:9 dan ayat-ayat lain yang mengatakan
bahwa Allah menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat. 108 Melalui
ajaran ini, ia menolak ajaran predestinasi Calvin bahwa: ”dengan putusan yang kekal dan tak berubah-ubah telah
ditentukan oleh Allah orang-orang mana yang hendak diterimanya dalam keselamatan.” 109 Perbedaan pendapat yang tajam
antara Wesley dengan mitra terdekatnya, George Whitefield, terletak pada ajaran predestinasi ini, kendati hingga akhir
hidup mereka, keduanya tetap bersahabat.
Stokes menyimpulkan ajaran Wesley tentang prevenient grace demikian:
Kita bisa menyimpulkan dengan mengatakan bahwa penelaahan mendalam Wesley atas Alkitab, seperti juga perhatiannya pada
fakta nyata dari kehidupan, membuatnya memodifikasi ajaran tradisional mengenai kejatuhan total manusia. Ia menolak
menerima gagasan bahwa segala sesuatu terserah pada Allah. Jadi, Allah Roh, dalam kasih-Nya dan dalam setiap pribadi, bekerja
secara tersembunyi. Roh membantu kehendak bebas setiap orang untuk memungkinkan tanggapan yang tepat pada Allah.110
Universalitas anugerah keselamatan ini dituangkan oleh Charles Wesley (adik John Wesley) dalam syair sebuah kidung
rohani gubahannya sebagai berikut.
O for a thousand tongues to sing
My great Redeemer’s praise.
The glories of my God and King,
The triumphs of His grace.111
Kidung ini merupakan lagu paling populer di Gereja Methodist, yang sering dikumandangkan pada saat-saat
berkonferensi, di mana hadir peserta dari berbagai latar belakang suku, bangsa dan bahasa.
Kami percaya Allah menjangkau orang beriman yang bertobat dalam anugerah pembenaran dengan kasih yang menerima dan
mengampuni. Teologi Wesleyan menekankan bahwa suatu perubahan menentukan dalam hati manusia dapat dan terjadi di
bawah pengaruh anugerah dan bimbingan Roh Kudus.
Dalam pembenaran, kita, melalui iman, diampuni dosanya dan dipulihkan pada perkenan Allah. Perbaikan relasi dengan
Allah melalui Kristus ini memicu iman dan kepercayaan kita sebagaimana kita mengalami kelahiran kembali, yang melaluinya
kita dibuat menjadi ciptaan baru dalam Kristus.
Proses pembenaran dan kelahiran baru ini sering disebut sebagai pertobatan. Perubahan semacam itu mungkin tiba-tiba
dan dramatis, atau bertahap dan kumulatif. Ini menandai suatu awal baru, tetapi merupakan bagian dari proses yang sedang
berjalan. Pengalaman Kristen sebagai transformasi personal selalu mengungkapkan dirinya sebagai iman yang bekerja melalui
kasih.
Teologi Wesleyan kita juga memeluk janji kitab suci bahwa kita dapat berharap menerima jaminan kesalaman masa kini
kita, sebagaimana Roh itu ”bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah.” 113
Bagi Wesley, ajaran pembenaran oleh iman dan ajaran ”kelahiran baru” adalah ibarat satu mata uang dengan dua sisi.
Satu sama lain dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Pada saat Allah bertindak mengampuni dosa-dosa manusia
melalui pembenaran oleh iman, pada waktu itulah Dia juga bertindak menciptakan manusia kembali menjadi ciptaan baru.
Wesley mengatakan:
Ini adalah perubahan besar yang Allah kerjakan dalam jiwa ketika Dia menciptakannya; ketika Dia membangkitkannya dari
kematian dosa ke kehidupan kebenaran. Ini adalah perubahan yang ditempa dalam keseluruhan jiwa oleh Roh Allah yang
Mahakuasa ketika jiwa diciptakan ”baru dalam Kristus Yesus”; ketika jiwa ”diperbarui seturut gambar dan rupa Allah dalam
kebenaran dan kekudusan sejati”; ketika kasih pada dunia diubah menjadi kasih pada Allah; kesombongan menjadi kerendahan
hati; nafsu menjadi kesabaran; kebencian, kecemburuan, kedengkian, menjadi kasih yang tulus, lembut, dan jujur pada semua
manusia.114
Menurut Wesley, kelahiran baru dan pembenaran oleh iman ini dapat dialami manusia secara tiba-tiba, seperti yang
dialaminya di Aldersgate, kendati juga dapat dialami manusia secara berangsur-angsur. Yang jelas, pengalaman tersebut
dapat disadari oleh manusia secara pasti–sudah terjadi atau belum dalam dirinya–yaitu bahwa ia sudah lahir baru dan sudah
diampuni dari segala dosa-dosanya.
Hubungan antara pembenaran dan pengudusan digambarkan Wesley seperti kelahiran seorang bayi. Bayi yang lahir
dari rahim ibunya yang terjadi seketika, tidak berarti proses kehidupannya sudah berakhir. Bayi harus bertumbuh dari anak
kecil yang lemah menuju tingkat kedewasaan sebagai manusia yang normal. Demikianlah, menurut Wesley, ketika manusia
lahir baru secara rohani, yang terjadi secara tiba-tiba atau lambat laun, anugerah keselamatan Allah belum berakhir.
Manusia harus ”bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala” (Efesus 4:15). 116
Menurut John Wesley, momen pembenaran oleh iman dan kelahiran baru yang terjadi seketika, merupakan awal dari
proses kesempurnaan Kristen. Kesempurnaan itu bukanlah suatu status quo, melainkan suatu proses. Dalam kaitan ini,
Wesley melihat ada dua tingkat kesempurnaan Kristen, yakni: kesempurnaan pertama, yang terjadi selama manusia hidup
di dunia ini, di mana manusia tidak lagi hidup dalam dosa (walaupun tetap berdosa) tetapi ia terus bertumbuh hingga tiba
pada kesempurnaan kasih kristiani; dan kesempurnaan kedua ialah kesempurnaan kekal, ketika manusia tiba pada tujuan
akhir hidupnya, yaitu surga.117
John Wesley mengakui bahwa banyak orang yang tidak setuju dengan ajaran ini. Namun, ia meyakini bahwa ajaran ini
adalah ajaran Alkitab, karena itu tidak mungkin diabaikan. Para penganut aliran Lutheran umpamanya keberatan dengan
ajaran ini, karena Lutheran mengajarkan bahwa manusia pada waktu yang sama sekaligus berdosa dan sekaligus percaya.
Karena itu, untuk memahami pikiran John Wesley mengenai hal ini, tidak cukup hanya mengacu pada pengertian kamus,
seolah-olah John Wesley memahami kesempurnaan sebagai sesuatu yang tanpa cacat. Wesley mengatakan, kesempurnaan
Kristen tidak berarti kebebasan dari ketidaktahuan, dari kesalahan, dari kelemahan, dari pencobaan. Karena itu, harus
dicatat bahwa tidak ada kesempurnaan yang absolut di dunia ini. Tidak ada puncak kesem purnaan yang tidak dapat
ditambah lagi. Dengan demikian, di mana saja tingkat kesempurnaan seseorang, ia tetap wajib ”bertumbuh dalam kasih
karunia dan dalam pengenalan akan Tuhan dan Juruselamat kita” (2Petrus 3:18).
Dalam tulisan John Wesley yang berjudul A Plain Account of Christian Perfection, ia merinci aspek-aspek doktrin
kesempurnaan Kristen sebagai berikut: (1) tujuan yang murni untuk menyerahkan hidup sepenuhnya kepada Allah; (2)
semua pikiran adalah di dalam Kristus untuk menyanggupkan kita berjalan pada jalan Kristus; (3) sunat hati terhadap
semua hal yang kotor; (4) kebaharuan hati sehingga menyerupai Allah pencipta; dan (5) mengasihi Allah dengan segenap
hati, dan mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri.118
Dalam kaitannya dengan dosa sebagai kerusakan gambar Allah, menurut Wesley, keselamatan adalah ”pemulihan total
gambar Allah dalam pribadi manusia.”119 Melalui anugerah penyucian itu, manusia berangsur-angsur akan semakin
sempurna di dalam kasih dan mempunyai pikiran dan perasaan seperti yang terdapat dalam Kristus Yesus (Filipi 2:5).
Dalam rangka menuju kesempurnaan ini, John Wesley mengajukan lima alat anugerah (meanis of grace): (1) Doa,
sebagai sarana utama untuk mendekatkan diri kepada Allah; (2) Alkitab, yang bagi John Wesley adalah cukup untuk
keselamatan. Wesley sendiri mengatakan dirinya sebagai ”manusia satu buku” (homo unius libri); (3) Perjamuan Kudus,
yang bukan seksdar simbol melainkan alat untuk mempersatukan diri dengan Kristus. Karena itu, ia menganjurkan agar
perjamuan kudus dilakukan sesering mungkin; (4) Puasa, sebagai kesempatan memperteguh komitmen kepada Allah; dan
(5) Persekutuan, yang biasa disebut John Wesley, ”Christian Conference.” Berangkat dari pentingnya persekutuan inilah
John Wesley menata organisasi Methodist sedemikian rupa, sehingga terbentuklah class meeting, quarterly conference,
Annual Conference, dan konferensi-konferensi lain yang tujuan utamanya ialah memperkokoh persekutuan. 120
Hubungan ketiga tahap anugerah keselamatan itu digambarkan Wesley seperti sebuah rumah. Prevenient grace ialah
beranda (porch), status ketika manusia bersiap-siap untuk memasuki pintu gerbang rumah; anugerah pembenaran
(justifying grace) diumpamakan dengan pintu (door) ketika manusia sedang masuk ke dalam rumah; dan akhirnya
sanctifying grace diumpamakan dengan rumah itu keseluruhan (the house) sebagai gambaran keselamatan. 121 Lebih jelas lagi
mengenai pendapat Wesley tentang hubungan justification dan sanctification, Harald Linstrom menguraikan demikian:
Oleh karena pembenaran didefinisikan sebagai ”Apa yang Allah lakukan bagi kita melalui Anak-Nya”, pengudusan adalah ”apa
yang ia kerjakan di dalam kita melalui Roh-Nya”. … Yang pertama mengubah relasi keluar kita pada Allah, sehingga dari musuh
kita menjadi anak-anak; dengan yang terakhir jiwa paling dalam kita diubah, sehingga dari pendosa kita menjadi orang-orang
kudus. Yang satu memulihkan keberpihakan Allah pada kita, yang lain mengubah citra Allah pada kita. Yang satu adalah
penghapusan kesalahan dosa, yang lain penghapusan kuasa dosa. Dengan begitu, meskipun keduanya bergabung bersama dalam
saat yang sama, tetapi keduanya sepenuhnya natur yang berbeda. 122
Jika doktrin berkaitan dengan apa yang harus dipercayai, disiplin mengacu pada apa yang harus dilakukan. Atas dasar
ajaran inilah Wesley menggariskan pedoman hidup (disiplin) orang-orang Methodist sebagai wahana untuk membimbing
manusia bagaimana bertindak dalam hidup sehari-hari untuk menuju hidup yang lebih suci dan sempurna. Lahirlah
General Rules tahun 1739 sebagai jawaban John Wesley terhadap permintaan sejumlah orang Methodist yang meminta
bimbingan rohani darinya. Isi pedoman hidup ini berisi dua puluh tujuh aturan (rules) yang dibagi atas tiga bagian besar.
Bagian pertama memuat: larangan, bagian kedua: anjuran, dan bagian ketiga tentang: kesalehan dengan mematuhi semua
perintah Allah.
Bagian pertama berisi lima belas larangan untuk: (1) mempergunakan nama Allah dengan sia-sia; (2) menajiskan hari
Tuhan; (3) mabuk, membeli atau menjual minuman keras; (4) memiliki hamba atau memperjualbelikannya; (5) berkelahi,
bertengkar dan berperkara; (6) membeli atau menjual barang-barang yang belum dikenakan pajak; (7) membungakan uang
dengan tidak menurut ukuran negara; (8) menjelek-jelekkan nama orang lain, terutama atasan atau pemerintah; (9)
berbuat kepada orang lain apa yang kita inginkan diperbuat orang kepada kita; (10) melaksanakan sesuatu yang tidak me-
muliakan Tuhan seperti: menghiasi diri dengan emas atau pakaian yang mahal; (11) menghibur diri dengan cara yang tidak
dapat dipergunakan dalam Nama Yesus Kristus; (12) menyanyikan nyanyian dan membaca buku-buku yang tidak
memimpin kepada pengetahuan tentang kasih Allah yang makin dalam; (13) memanjakan diri dengan mengikuti hawa
nafsu; (14) mengumpulkan harta duniawi; dan (15) meminjam uang tanpa kemungkinan membayar kembali.
Bagian kedua berisi enam buah perintah positif, yakni (16) berbuat baik dan berbelas kasih an kepada semua orang
sesuai dengan kemampuan; (17) memberi makan orang yang lapar dan pakaian kepada orang yang telanjang dan
mengunjungi orang sakit; (18) menolong orang secara rohani dengan mengajar, menasihati dan menegur semua orang yang
kita jumpai; (19) berbuat baik kepada orang percaya dan orang yang ingin percaya dengan memberi pekerjaan kepada
pengangguran, saling membantu dalam perniagaan, karena orang-orang duniawi hanya mengasihi sesamanya; (20)
berusaha dengan sekuat tenaga agar Injil tidak dicelakan; (21) berlari-lari pada tujuan, menyangkal diri, memikul salib,
bersedia untuk disalahkan oleh sebab Kristus, untuk dianggap sebagai sampah oleh orang-orang duniawi.
Bagian ketiga terdiri dari enam anjuran untuk menaati segala perintah Tuhan: (22) menghadiri kebaktian umum; (23)
bersekutu dengan firman Tuhan, baik melalui pembacaan atau melalui khotbah; (24) menghadiri perjamuan kudus; (25)
mengadakan kebaktian keluarga dan doa pribadi; (26) menelaah firman Tuhan; dan (27) berpuasa dan menahan diri.123
Misi Wesley, kemudian, dibimbing oleh pengakuan radikalnya bahwa orang-orangnya sendiri, komunitas dan kultur mereka,
bukanlah dalam dirinya sendiri bersifat Kristen, dan dengan begitu membutuhkan Injil sama banyaknya seperti orang-orang
asing lain. Pengakuan mendasar atas karakter tidak Kristen dari dunianya sendiri ini membentuk upaya penginjilan Wesley.126
Atas dasar wawasan misiologis inilah, bagi John Wesley, yang pertama dan utama harus dilakukan adalah
mempertobatkan atau membangunkan (to revive) bangsanya sendiri. Ketika John Wesley membela tindakannya atas segala
kritik yang dilontarkan kepadanya terutama atas larangan baginya berkhotbah di daerah (parish) orang lain, ia mengatakan:
”Saya memandang seluruh dunia sebagai jemaatku.” 127 Kendati pernyataan ini kemudian dijadikan penganut Methodisme
sebagai landasan teologis-misiologis untuk pekabaran Injil ke ujung bumi, namun pada mulanya ungkapan itu mengacu
pada kritik Wesley pada sistem organisasi Gereja Anglikan dengan membagi-bagi Inggris atas sejumlah parish yang
menurut Wesley tidak dapat lagi berfungsi dalam strategi membarui negeri itu yang sedang dilanda roh kekafiran mo -
dern.128
Atas dasar wawasan itu pula, pada konferensi pertama Methodist di London pada 25 Juni 1744, dirumuskan tujuan
gerakan itu: ”Memperbarui bangsa itu, lebih daripada gereja, menyebarkan kesucian berdasarkan kitab suci di seluruh negeri
itu.”129 Jadi, bagi Wesley, yang pertama dan utama bukanlah membawakan Injil ke luar negeri, walau itu juga perlu, karena ia
sendiri adalah mantan misionaris. Ia menyadari bahwa tantangan yang mendesak adalah ”mempertobatkan orang kafir
Inggris yang sudah dibaptis.”130 Bagi Wesley, mempertobatkan bangsa sendiri harus lebih dulu daripada mempertobatkan
orang-orang kafir.
Bagi Wesley, misi bertujuan untuk menjadikan manusia sebagai orang Kristen sejati, bukan sekadar orang Kristen
nominal. Berangkat dari wawasan misi di atas, Wesley amat berhati-hati melaksanakan tugas misi. Yang terutama di dalam
agenda John Wesley dalam rangka misi bukanlah menambah jumlah orang yang akan menjadi orang Kristen nominal.
Orang yang baru menjadi Kristen harus benar-benar dimuridkan dan dirawat di dalam persekutuan Kristen. Dalam hal ini,
peranan class meeting sebagai sarana pemuridan amat perlu. 131 John Wesley dalam hal ini tidak mengenal pengkristenan
massal (menjala) tetapi pengkristenan pribadi (mengail). Ini terbukti dalam pelayanannya, yang walaupun pendengar
khotbah-khotbahnya di Inggris mencapai ratusan ribu orang, tetapi yang menjadi anggota persekutuan Methodist hanya
sebagian kecil.
John Wesley menggariskan persyaratan yang ketat untuk menjadi anggota, sebagaimana tercantum dalam The General
Rules (Pedoman Hidup Orang Methodist).132 Jadi, bagi Wesley dan Methodisme, misi dan evangelisasi (kebangunan rohani)
adalah ibarat satu mata uang dengan dua sisi. Misi (foreign mission) tanpa diawali evangelisasi (home mission) akan cepat
mati, dan evangelisasi (kebangunan rohani) tanpa misi tidak ada arti.
Berangkat dari metode misi Wesley itu, dapat dipahami juga motivasi pengiriman para pengkhotbah Methodist ke
Amerika tahun 1760-an. Pengutusan itu harus dilihat sebagai tindak lanjut dari usaha pentobatan (evangelisasi) bangsa
Inggris yang pada waktu itu melakukan migrasi ke Amerika, yang hingga perang kemerdekaan masih berada di bawah
kekuasaan Kerajaan Inggris.
Pada Konferensi pembentukan Gereja Methodist di Baltimore, Amerika, tahun 1784, Asbury dan teman-temannya
mengambil alih rumusan itu: ”Memperbarui benua itu, dan menyebarkan kesucian berdasarkan kitab suci di seluruh negeri
ini.”33 Dengan kata lain, wawasan misiologis Methodist di Amerika berakar pada wawasan misiologis Wesley. Prioritas
pertama yang dilihat para pemimpin Methodist di Amerika ialah mengembangkan Methodisme ke seluruh Amerika. Oleh
karena itu, kendati Gereja Methodist di Amerika telah resmi menjadi gereja independen tahun 1784, namun baru tahun 1819
gereja itu mendirikan badan misinya, yakni The Missionary and Bible Society of the Methodist Episcopal Church in
America. Sementara itu, gereja (denominasi) lain sudah mengirim misionaris ke luar negeri jauh sebelum itu. Pada
mulanya, menurut pemikiran Gereja Methodist di Amerika, mereka tidak perlu membentuk satu badan misi dalam gereja,
sebab pada hakikatnya gereja adalah misi. Gereja Methodist menganggap bahwa kalau badan misi dibentuk, hakikat gereja
sebagai misi akan hilang. Karena itu, ketika badan misi dibentuk, tujuan mula-mula hanyalah sebagai alat pekabaran Injil
dalam negeri, terutama untuk orang-orang Indian. Namun, di kemudian hari, badan misi ini menjadi wahana untuk melak-
sanakan pekabaran Injil ke luar Amerika, yaitu Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Sejalan dengan perlunya tindakan pemuridan, kepada setiap misionaris yang diutus oleh badan zending Methodist
Amerika diberikan instruksi untuk membentuk kelompok kecil (class meeting) dan mengadakan Konferensi Resort
(quarterly conference) di setiap jemaat zending. 134 Artinya, pola kerja para misionaris Methodist harus mengikuti struktur
Gereja Methodist Amerika sebagaimana hal itu diatur dalam Disiplin. Jadi, di mana saja ada pos pekabaran Injil Methodist, ia
harus dimasukkan ke dalam naungan suatu Konferensi Resort, Distrik dan Konferensi Tahunan atau Konferensi Misi. Di
lapangan misi, semua pekerjaan dikoordinasikan oleh Missionary Bishop, yang bertanggung jawab kepada badan misi
Methodist di New York. Bishop inilah yang memimpin konferensi-konferensi di lapangan zending, mengatur menempatkan
para misionaris dan pekerja setempat, menahbiskan pendeta dan sebagainya. 135
Di sini perlu diberikan sedikit wawasan misiologis Methodist dalam kaitannya dengan kelompok etnis dan ras. Dasar
wawasan Methodist mengenai ras dapat digali dari pandangan John Wesley tentang perbudakan. Pada zaman Wesley,
perdagangan budak dari Afrika ke Amerika dilakukan secara besar-besaran, yang memberikan keuntungan bagi para
pedagang serakah yang tidak memedulikan nilai-nilai kemanusiaan. Wesley mengecam mereka yang mengeruk kekayaan
dari hasil keuntungan perdagangan budak. Ia mengatakan, lebih baik tidak kaya daripada menimba kekayaan dengan
mengorbankan darah, air mata sesama ciptaan tanpa menghargai nilai-nilai kemanusiaan. 136 Ketika John Wesley menulis
Pedoman Hidup Orang-orang Mehtodist atau General Rules, salah satu larangan yang dicantumkan di dalamnya ialah
memiliki, membeli atau menjual hamba. 137 Tahun 1744, ia menulis sebuah pamflet berjudul Thought Upon Slavery138 yang di
dalamnya ia secara tajam mengkritik praktik itu. Dalam brosur itu antara lain di tegaskan:
Namun, melepaskan semua pertimbangan lain saat ini, saya berbenturan pada akar dari kejahatan rumit ini. Saya sama sekali
menyangkal bahwa semua bentuk kepemilikan budak konsisten dengan ukuran keadilan kodrati, belas kasih, dan kebenaran
mana pun. Tidak ada keadaan yang dapat membuat seorang manusia untuk perlu memaksa perpecahan semua ikatan
kemanusiaan. Tidak pernah dapat ada bagi makhluk rasional untk perlu menenggelamkan dirinya di bawah sifat tidak
berperikemanusiaan. Seorang manusia tidak dapat berada di bawah keharusan untuk merendahkan diri menjadi serigala…
Apakah Anda, sebagai manusia mana pun yang hidup, punya hak untuk memakai orang lain sebagai budak? Tidak bisa, bahkan
dengan mengesampingkan Penyataan Allah. Kebebasan adalah hak semua makhluk manusia segera ia bisa menghirup udara
kehidupan, dan tidak ada manusia dapat merampas hak itu dari darinya, hak yang ia dapatkan dari hukum kodrat. 139
Berdasarkan wawasan John Wesley ini, Gereja Methodist Amerika sejak awal tidak melakukan diskriminasi rasial dalam
misinya. Pada kebaktian perdana Methodist di New York (1764), hadir seorang wanita kulit hitam yang bernama Betty.
Salah seorang teman dekat sepelayanan Francis Asbury adalah Harry Hosier, seorang budak kulit hitam. Tahun 1799, Gereja
Methodist telah menahbiskan seorang pendeta berkulit hitam yang bernama Richard Allen. 140 Pada Christmas Conference
diputuskan bahwa praktik perbudakan dihapuskan dari seluruh jajaran Methodist. Dari sejak awal, Gereja Methodist di
Amerika bekerja di kalangan kelompok-kelompok etnis: Prancis, Jerman, Swedia, Norwegia, Spanyol, dan sebagainya.
Jemaat-jemaat Methodist dari berbagai kelompok etnis ini mula-mula diorganisasi sesuai dengan struktur yang bertumpu
pada Konferensi Tahunan. Beberapa Konferensi Tahunan diatur menurut garis kelompok etnis. Pada tahun 1924 tercatat
sepuluh Konferensi Tahunan kelompok etnis Jerman, enam Konferensi Tahunan kelompok etnis Swedia, dan dua
Konferensi Tahunan kelompok etnis Norwegia-Denmark, serta beberapa lagi Konferensi Misi untuk kelompok etnis yang
lain.141
Setelah berakhirnya Perang Dunia Pertama, terjadi percepatan proses nasionalisasi dan asimilasi masyarakat Amerika
menuju satu Amerika yang berbahasa Inggris. Perkembangan ini berpengaruh pada Gereja Methodist. Pada tahun 1920-an,
Gereja Methodist di Amerika mengadakan serangkaian konsolidasi dalam rangka menyesuaikan diri dengan tuntutan
zaman. Pada Konferensi Agung tahun 1924, diputuskan agar Konferensi Tahunan yang berdasarkan etnis itu dapat berfusi
dengan Konferensi Tahunan yang berbahasa Inggris. Jemaat-jemaat yang tadinya masih memakai bahasa etnis diarahkan
agar menggabungkan diri dengan jemaat-jemaat yang berbahasa Inggris. Proses penggabungan jemaat-jemaat yang
berdasarkan etnis itu membutuhkan waktu, karena sering terjadi satu gereja dipakai oleh dua jemaat yang berlainan bahasa
dan dilayani oleh dua pendeta dari dua bahasa yang berbeda. Namun, kedua pendeta yang melayani di satu jemaat itu me-
nerima penempatan dari bishop yang sama.142
2. Wawasan Pendidikan
Wawasan pendidikan Methodist bersumber dari wawasan teologis-antropologis John Wesley. Seperti sudah dijelaskan
dalam bagian C di atas, ketika manusia jatuh ke dalam dosa, yang hilang hanya moral image, sedangkan natural image tidak.
Jatuhnya manusia ke dalam dosa tidak mengubah status manusia sebagai penguasa atas segala ciptaan. Setelah
kejatuhannya, manusia tetap manusia yang berbeda dengan binatang. Atas dasar pemahaman antropologis itu, Wesley
sangat menghargai akal budi (reason). Dalam metode penafsiran Alkitab (berteologi) John Wesley, ia menghargai empat
sumber teologi yakni: Alkitab, tradisi, akal budi dan pengalaman (scripture, tradition, reason and experience).143 Pada
pemahaman antropologis-teologis inilah Wesley mendasarkan wawasan pendidikannya. Tujuan pendidikan, menurut
Wesley, adalah untuk memulihkan watak dasar manusia yang cenderung berbuat dosa sebagai akibat dosa warisan, menjadi
manusia yang taat. Ia mengatakan:
Kodrat yang bias adalah menetapkan jalan yang keliru. Pendidikan dirancangkan untuk menentukan jalan yang benar.
Pendidikan, melalui anugerah Allah, adalah untuk membalikkan bias itu dari sifat kehendak diri, kesombongan, kemarahan,
balas dendam, dan cinta pada dunia, menjadi sifat penyerahan diri, kerendahan hati, kelembutan, dan kasih pada Allah.144
Menurut Wesley, pendidikan bertolak dari status manusia sebagai orang berdosa. Pendidikan adalah salah satu alat
untuk membentuk ulang kodrat manusia ke arah status seperti sediakala. Jadi, motif yang mendorong Wesley
melaksanakan pendidikan adalah untuk keselamatan manusia yang telah jatuh ke dalam dosa. Wawasan ini bertolak
belakang dengan wawasan pendidikan zaman Pencerahan seperti Rousseau yang tidak mengaitkan pendidikan dengan
agama serta hanya melihat anak-anak didik sebagai manusia yang belum ternoda oleh dunia.145 Filosofi pendidikan Wesley
adalah bahwa agama dan pendidikan harus disatukan. Ia berkata: ”Mari kita menyatukan apa yang sudah lama tercerai—
pengetahuan dan kesalehan hidup.”146 Filsafat pendidikan ini berakar pada pengalamannya sendiri, yaitu mulai dari ”sekolah
keluarga”—di mana ibunya sebagai guru–sampai ia memperoleh pendidikan tinggi di Oxford. Berdasarkan wawasan itu,
menurut Wesley, pendidikan harus dilaksanakan oleh gereja, dan sekolah haruslah sekolah Kristen. Baginya, tujuan
persekolahan bukan semata-mata untuk mencerdaskan manusia, walaupun itu sangat ditonjolkannya juga. Lebih dari itu, ia
melihat pendidikan sebagai alat untuk melindungi anak-anak dari cara hidup duniawi (non-Kristen), dan sekaligus mem-
bimbing anak-anak kepada kebenaran kristiani agar hidup sesuai dengan kehendak Allah.147
Walaupun Wesley tidak tercatat sebagai pelopor pendidikan modern, namun sumbangannya dalam memajukan
pendidikan, setidaknya di Inggris, tidak dapat disangkal. Bahkan atas perjuangan John Wesley, tahun 1780, di Inggris
dicanangkan program wajib belajar tingkat dasar. 148
Sejak awal gerakan revival, Wesley serta merta mencanangkan perlunya pendidikan, terutama bagi anak-anak keluarga
miskin, yang merupakan komponen terbesar masyarakat Inggris. Pada zaman itu, hanya orang-orang kayalah yang mampu
menikmati pendidikan yang baik, sehingga Wesley mencanangkan perlunya dibuka sekolah bagi anak-anak yang tidak
mampu membayar. Baginya, di hadapan Allah, status dan harga manusia sama, sehingga dengan tegas ia menolak
diskriminasi sosial dalam bidang pendidikan, seperti yang terjadi di Inggris pada zaman itu. Waktu itu anak-anak orang
miskin sudah diwajibkan orangtuanya bekerja untuk mencari uang.
Sekolah pertama yang didirikan Wesley di Inggris ialah Kingswood School yang terletak di dekat kota Bristol, tahun
1739. Tak lama kemudian, sekolah sejenis menyusul di Bristol, London, New Castle, dan di tempat-tempat lain. Pada
mulanya, sekolah-sekolah ini mengambil tempat di rumah-rumah, kapel, dan gedung-gedung lainnya. Para pendeta,
pengkhotbah, dan warga gereja yang mampu, bertindak sebagai guru dalam mata pelajaran membaca, menulis, matematika,
dan pelajaran tentang iman Kristen. Anak-anak yang miskin dibebaskan dari uang sekolah, malah diberi santunan berupa
pakaian dan biaya makan.149
Bertolak dari wawasan pendidikan Wesley itu, Sekolah Minggu lahir. Walaupun pendiri Sekolah Minggu–seperti yang
kita kenal sekarang ini—semula adalah Robert Raikes pada tahun 1780 di Inggris, namun sejarah mencatat bahwa prakarsa
itu lahir atas pengaruh John Wesley. 150 Ini karena sebenarnya Sekolah Minggu Methodist yang pertama telah dimulai pada
tahun 1769 oleh seorang wanita bernama Hannah Ball. 151
Dari awal gerakannya, Wesley menginstruksikan kepada para pembantunya untuk memberi perhatian besar pada
pendidikan anak-anak. Ada lima instruksi kepada setiap pengkhotbah tentang pendidikan: (1) Sediakan satu jam setiap
minggu mengajar anak-anak; (2) berbicaralah dengan anak-anak setiap berjumpa dengan mereka di rumahnya; (3)
berdoalah sungguh-sungguh untuk anak-anak; (4) bimbinglah para orangtua untuk menasihati anak-anaknya; dan (5) ber-
khotbahlah pada setiap kesempatan tentang pentingnya pendidikan anak-anak. 152
Berkaitan dengan wawasan pendidikan ini, Wesley melihat perlunya sarana literatur sebagai salah satu alat
meningkatkan pengetahuan. Ia sendiri adalah seorang penulis yang produktif yang buktinya bisa kita lihat dari sejumlah
karya tulisnya, baik berupa kumpulan khotbah, catatan harian, surat-surat, dan karya yang lain. Walaupun ia menamai
dirinya sebagai seorang ”manusia satu buku” (homo unius libri), yaitu Alkitab, ia sendiri adalah kutu buku, dan para
pengkhotbahnya diharuskan untuk membaca buku paling sedikit lima jam satu hari, guna meningkatkan kemampuan dan
pengetahuan dalam berkhotbah.153 Dalam bidang penerbitan buku, Gereja Methodist merupakan pelopor. Tahun 1740,
sebuah toko buku didirikan di London sebagai pusat penyalur buku-buku, di mana para pengkhotbah Methodist menjadi
penyalur utamanya.154
Warisan John Wesley dalam dunia pendidikan segera diambil alih di Amerika. Pada Konferensi Natal tahun 1784
diputuskan untuk mendirikan sebuah College dengan nama Cokesbury College. Francis Asbury, bishop pertama Gereja
Methodist di Amerika, walau bukan orang yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi seperti John Wesley, tetapi
merupakan tokoh pendidikan Methodist yang sangat berjasa dalam mengembangkan persekolahan Methodist. Atas
prakarsa Asbury, Konferensi Agung tahun 1820 memutuskan agar di setiap Konferensi Tahunan didirikan paling tidak
sebuah sekolah Methodist.155
Tradisi penerbitan buku-buku ini juga diwarisi gereja Methodist Amerika dari Wesley. Pusat penerbitan buku-buku
oleh Gereja Methodist, yakni Abingdon Press di Nashville, merupakan indikator mengenai besarnya perhatian Gereja
Methodist dalam bidang perbukuan. Di hampir setiap negara bagian Amerika (baca: wilayah Konferensi Tahunan), tersedia
toko buku Methodist dengan nama Cokesbury, mengabadikan nama Thomas Coke dan Francis Asbury.
Dalam pekabaran Injil Gereja Methodist Amerika, pendidikan memegang peranan penting. Dalam rangka pekabaran
Injil, badan misi Methodist yang berpusat di Amerika memakai sarana pendidikan bukan saja sebagai alat untuk
mencerdaskan masyarakat dan memerangi kebodohan yang melekat di daerah-daerah zending, melainkan juga sebagai
sarana pekabaran Injil. Melalui wahana pendidikan (sekolah), pekabaran Injil dapat disebarluaskan. Dalam kaitan ini,
Diffendorfer mengatakan:
Pendidikan adalah pelayan penginjilan, dan salah satu tujuan pertama dalam karya pendidikan di lapangan misi adalah
kesempatan besar yang dihadirkannya untuk membantu pengajaran Firman. Biasanya, ketika seseorang yang baru bertobat dari
lapangan misi di luar negeri menceritakan pengalamannya, ini adalah suatu kisah seseorang yang pertama-tama punya rasa
ingin tahu, bingung, dan curiga. Ia kembali terus, bertanya lebih sering, dan akhirnya menemukan Tuhannya. Suatu periode
pengembangan yang jelas tampak perlu dalam banyak kasus, dan di sinilah sekolah-sekolah membantu para penginjil. Tidak
hanya mereka membantu penginjilan, tetapi sering membuka jalan baginya. 156
Menurut pengalaman Misi Methodist di Tiongkok pada awal abad ke-20 ini, setiap tahun, Anglo Chinese College di
Foochow menerima 200 murid baru dan setengahnya berasal dari keluarga non-Kristen. Kendati murid-murid ini diberi
peringatan dari rumah supaya berhati-hati dengan segala pengajaran agama lain, namun pada kenyataannya hampir semua
murid itu sudah menjadi Kristen sebelum mereka tamat.157 Bahkan kehadiran anak-anak pada sekolah Methodist membuka
jalan bagi para misionaris dan pekerja lokal untuk berkenalan dengan para orangtua murid serta mengunjungi rumah
murid. Dengan jalan demikian, tidak jarang terjadi orangtua murid juga ikut bertobat. Di Singapura, Malaysia, dan
Indonesia, peran sekolah Methodist dalam rangka pekabaran Injil sangat penting.
Dapat disimpulkan, wawasan pendidikan Methodisme berangkat dari tiga motif. Pertama, motif keselamatan, yaitu
untuk memulihkan gambar Allah, natural image, yang ternoda karena dosa. Melalui pendidikan, akal budi manusia
diperbarui dan kodrat manusia dapat dibentuk kembali. Kedua, motif pedagogis, yakni untuk mencerdaskan manusia,
memerangi kebodohan, dan memajukan peradaban. Ketiga, motif evangelisasi, yaitu mengabarkan Injil melalui wahana
pendidikan.
BAB III
MISI METHODIST
BERKEMBANG DARI SINGAPURA
KE HINDIA BELANDA
(1905–1928)
A. PRA-PERINTISAN
S ejauh yang dapat dicatat, orang pertama yang berniat untuk menyiarkan Methodisme ke HB adalah Thomas Coke.
Dengan berpindahnya kekuasaan atas Indonesia dari pemerintah Bataafsche Republiek kepada Inggris tahun 1911,
Thomas Coke—seorang tangan kanan John Wesley1—melihat kesempatan sedang terbuka. Lalu, ia mengikutkan
Jawa sebagai salah satu sasaran program pekabaran Injil yang sedang dirancangnya untuk kawasan Asia. Dalam cuplikan
catatan harian Thomas Coke tertulis:
Pada Konferensi yang diadakan di Liverpool pada Agustus 1813, diputuskan, dengan bantuan Allah, untuk mendirikan misi di Asia
dan terutama serta pertama-tama, di kepulauan Ceylon dan Jawa.2
Tanggal 31 Desember 1813, Coke dan rombongan berangkat dari London menuju Asia dengan sasaran Ceylon dan Jawa.
Namun, Coke gagal merealisasikan visi itu, sebab tanggal 3 Mei 1814, ketika masih dalam perjalanan, ia meninggal (dalam
usia 66 tahun) setelah menderita sakit beberapa hari di atas kapal yang ditumpanginya. Jenazahnya ”dikuburkan” di
Samudra Hindia.3
Tujuh puluh empat tahun setelah Badan Misi Methodist Inggris gagal memulai pekerjaannya di HB, Badan Misi
Methodist Amerika mencoba melakukan berbagai terobosan untuk membawa Methodisme ke HB. Tahun 1887, William F.
Oldham, misionaris Methodist yang sejak tahun 1885 memulai pekerjaan Methodist di Singapura, datang ke Jawa untuk
meninjau kemungkinan mengembangkan pekerjaan Methodist di HB. Kendati ia melihat adanya kesempatan baik untuk
mengembangkan misi ke HB, namun karena tenaga dan dana belum tersedia, niat itu tidak segera berlanjut. 4 Untuk tujuan
yang sama, pada tahun 1890, Dr. Benyamin F. West, seorang dokter zending Methodist (kemudian menjadi pendeta) yang
telah bekerja di Singapura sejak tahun 1888, mengunjungi Pontianak (Kalimantan Barat), 5 dan tahun 1892 ia juga
mengunjungi Tanah Batak.6 Di kedua tempat ini, pekerjaan Methodist tidak segera dapat dimulai karena dana dan daya
yang belum tersedia. Tahun 1894, Miss Sophia Blackmore, Miss Ferris, dan Mrs. Shellabear—ketiganya misionaris Methodist
di Singapura–mengunjungi Palembang, juga untuk maksud yang sama. Setelah mendapat izin dari pemerintah (Belanda)
setempat, mereka sempat mengadakan usaha-usaha mengomunikasikan Injil kepada masyarakat dengan mengedarkan
brosur yang berisi cerita-cerita Alkitab. Usaha ini juga tidak segera dapat diteruskan karena alasan yang sama.7
Baru enam belas tahun kemudian, setelah Oldham meninjau Pulau Jawa, usaha untuk mengembangkan Methodisme
ke HB menjadi kenyataan, dengan penempatan seorang misionaris Methodist di Pulau Jawa tahun 1905.
1. Jawa
Pdt. John Russel Denyes11 diutus Badan Misi Methodist ke Singapura menjadi guru di Anglo-Chinese School, merangkap
sebagai misionaris di kalangan masyarakat Tionghoa penutur bahasa Melayu yang disebut ”Cina-Baba”. 12 Penempatan ini
memungkinkan Denyes berjumpa dengan sejumlah murid orang Tionghoa yang berasal dari Jawa, yang sedang belajar di
Anglo-Chinese School, yang diselenggarakan Misi Methodist. Orang Tionghoa ini memohon agar Misi Methodist masuk ke
Jawa.13 Pemikiran mereka ialah bahwa kalau Misi Methodist hadir di Jawa, badan ini akan membuka sekolah-sekolah
Methodist seperti yang mereka lakukan di Singapura. Dengan demikian, orang-orang Tionghoa tidak harus mengirim anak-
anaknya bersekolah ke Singapura. Perjumpaan ini adalah awal tertariknya Denyes untuk membuka Misi Methodist di Jawa.
Selain hendak mengembangkan misi ke kalangan Tionghoa, Denyes merasa terpanggil juga untuk menginjili orang Islam
setelah mengetahui bahwa di Jawa misi terhadap Islam boleh dilakukan—suatu hal yang tidak mungkin di Singapura dan
Malaka.14 Niat itu sejalan dengan konteks misi dunia pada masa itu, karena menjelang dan pada awal abad ke-20, gereja-
gereja di Barat dan Amerika merasa terbebani untuk menginjili orang-orang Islam. 15 Bishop Oldham—yang pada tahun 1887
berkunjung ke Jawa dalam rangka mempelajari kemungkinan membuka Misi Methodist—mengatakan bahwa ”alasan utama
kehadiran kami di Jawa adalah kaum Muslim.” 16 Dalam suatu tulisannya, Denyes menegaskan bahwa kehadirannya di Jawa
adalah karena ia ”sangat terbebani untuk menyelamatkan kaum Muslim Jawa.” 17 Memang, pada mulanya para misionaris
Methodist yang pernah bekerja di Jawa sangat optimis akan pertobatan orang-orang Islam menjadi Kristen. Misalnya H.B.
Mansell, yang bekerja di Jawa tahun 1916–1924, berpendapat bahwa agama Islam tidak berakar di hati orang Jawa, tetapi
hanya di permukaan saja, sehingga menurutnya, Pulau Jawa adalah daerah yang sangat memberi harapan bagi misi
Kristen.18 Lebih jelas, optimisme ini tampak dari kesan B.F. West, setelah ia melihat kemegahan Candi Borobudur
peninggalan agama Buddha.
Saat kita melihat pada candi yang dulu pernah mengagumkan tapi sekarang ditinggalkan, kita merasa … bahwa waktunya pasti
tiba ketika orang akan meninggalkan agama mereka saat ini dan menjadi pengikut Tuhan Yesus. 19
Kedua motif tadi didorong lagi oleh dukungan doa dan dana pemuda Methodist di Amerika. Ketika Denyes terbeban
dan berdoa agar Tuhan membuka jalan untuk menjadi pionir Methodist ke Jawa, ketika itu pula—tepatnya dimulai tahun
1900—terjadi suatu gerakan pekabaran Injil di kalangan pemuda Methodist (Epworth League) di daerah Konferensi
Pittsburg, Pennsylvania, Amerika Serikat. Kaum muda ini terimbas oleh semangat Student Volunteer Movement for Foreign
Missions (Gerakan Mahasiswa Sukarelawan untuk Bekerja dalam Zending Luar Negeri), yang didirikan John R. Mott tahun
1888.20 Mereka sepakat untuk mengumpulkan 4.000 dolar setahun untuk dipergunakan demi membiayai pengiriman
seorang misionaris ke daerah penginjilan di luar negeri. Ketika uang itu telah berhasil mereka kumpulkan, muncul
pertanyaan tentang siapa yang akan diutus, dan ke mana sasaran pengutusan. Akhirnya, tanpa diduga, pada tahun 1903
kedua rencana di atas dipertemukan di New York.
Pada musim gugur tahun 1903, Denyes menjalani cuti, dan kesempatan itu ia pergunakan untuk mencari dukungan
dana di Amerika. Pada waktu yang sama, sekretaris perkumpulan pemuda Methodist dari Pittsburg Conference, Elizabeth
Harper Brooks, dipanggil ke New York (Kantor Pusat Badan Misi Methodist) untuk membantu proses penyiapan pengadaan
pameran misi yang akan digelar pada Konferensi Agung tahun 1904 di Los Angeles, Amerika Serikat. Denyes yang sedang
menjalani masa cuti juga dilibatkan dalam pekerjaan itu. Ketika menyeleksi foto-foto yang akan dipamerkan, Brooks sangat
tertarik dengan sebuah gambar, dan gambar itu adalah dari Pulau Jawa. Ketika Denyes menceritakan programnya tentang
Jawa, pada saat itulah kedua visi itu bagaikan gayung bersambut, sebagaimana dicatat oleh Brooks:
Jawaban atas doa para pemimpin Pittsbrug sudah tiba. Inilah Pulau Jawa, dengan karya yang dilaksanakan di sana oleh
komunitas misionaris Amreika. Inilah tempat orang yang terpanggil siap datang ke sana. Inilah, juga, tempat District Pittsburg,
Allegheny, Blairsville, dan Washington dari Konferensi Pittsburg, dengan sarana dan hasrat untuk kehidupan, terpaut dengan
lapangan misi.21
Pada sidang Malaysia Annual Conference 22 tanggal 15–20 Februari 1905, Denyes mendapat penempatan sebagai New
Work Missionary23 untuk Distrik Singapura, dengan pengertian bahwa ia akan segera membuka Misi Methodist di Jawa
dalam rangka mewujudkan visi yang sudah lama dipergumulkannya dan sekaligus sebagai tindak lanjut usaha-usaha
perintisan yang sudah dilakukan sebelumnya.
a. Terobosan awal
Tanggal 12 Maret 1905, Denyes, bersama-sama dengan B.F. West (dalam kapasitasnya sebagai Pimpinan Distrik Singapura),
bertolak dari Singapura menuju Jawa. Keduanya menginjakkan kaki di Batavia tanggal 14 Maret 1905.24 Selama tiga minggu,
mereka mengunjungi tempat-tempat kegiatan pekabaran Injil yang sedang beroperasi di Jawa, seperti Surabaya,
Mojowarno, Semarang, dan Yogyakarta. 25 Akhirnya, mereka mengambil kesimpulan bahwa Batavia adalah tempat yang
paling tepat untuk memulai Misi Methodist di Pulau Jawa dan masyarakat Tionghoa menjadi sasaran pertama. Brooks
mencatat beberapa alasan: (1) Orang Tionghoa di Batavia lemah daya empangnya (dibandingkan dengan orang Islam),26
karena mereka adalah masyarakat peranakan yang telah lama meninggalkan kebudayaan leluhur;27 (2) Batavia lebih dekat
dan lebih mudah berhubungan dengan semenanjung Malaka dan Singapura, pusat pekerjaan Methodist untuk kawasan Asia
Tenggara; (3) Batavia merupakan tempat kedudukan pemerintah Hindia Belanda, yang sewaktu-waktu perlu dihubungi; (4)
Karena di Sumatra akan segera dibuka pekerjaan Methodist, pekerjaan itu lebih tepat dikoordinasi dari Batavia; dan (5)
dengan orang Tionghoa sebagai lapangan penginjilan pertama, pekerjaan dapat segera dimulai, karena mereka adalah
penutur bahasa Melayu, yang telah dipelajari Denyes waktu di Singapura.28
Pada tanggal 31 Maret 1905, secara resmi West mengajukan permohonan izin kepada pemerintah HB untuk membuka
pekerjaan Methodist di Jawa, sekaligus memohon izin untuk Denyes sebagai misionaris Methodist di Jawa. Tanggal 3 April
1905, West kembali ke Singapura, meninggalkan Denyes sendiri di Batavia. Denyes mulai membina hubungan baik dengan
orang-orang Tionghoa, khususnya dengan bekas murid-muridnya di Singapura. Pada akhir bulan Mei 1905, Denyes pergi ke
Singapura untuk menjemput keluarga. Bulan Juli 1905, Denyes dan keluarga, dengan tiga orang anak yang masih kecil-kecil,
tiba di Batavia. Namun, karena alasan kesehatan, pada tanggal 2 Agustus 1905, mereka terpaksa pindah dari Batavia ke
Bogor, yang udaranya lebih sejuk. Berubah dari rencana semula, selama dua tahun pertama, kota Bogor dijadikan sebagai
pusat kegiatan untuk mengoordinasikan semua pekerjaan Methodist di Hindia Belanda. 29 Baru pada tahun 1907, setelah
Denyes menjadi Pimpinan Distrik Hindia Belanda, Denyes sekeluarga pindah kembali ke Batavia.
Kita mesti tahankan orang yang tiada patut masok Perhimponan, dan kita msti ajar dan nasihatkan orang yang mau masok; sbab
itu:
1. Kita msti ingat baik-baik apa macham orang yang kita mau trima masok Perhimponan, dan jangan suratkan nama murid-
murid sampai dia-orang sudah nyatakan dengan chukop ktrangan yang dia-orang mau dapat lpas deri-pada dosa-dosanya
dan bersahabat dngan orang Kristen.
2. Gombala dan Kp ala Klas msti ingat baik-baik yang smoa orang yang mau masok Perhimponan patut lkas dapat tahu deri-
hal smoa pngajaran, dan prentah dan peraturan Perhimponan Methodist, dan patut masok satu klas dalam Skola Agama
spaya blajar Kitab Allah. Smoa orang itu msti turut sgala prentah dan adat orang Methodist; dia orang boleh terima smoa
pertolongan dan smoa berkat Perhimponan; ttapi dia-orang tiada boleh jadi anak Mashuarat Kchil, 37 atau anak Bichara,
mlainkan boleh jadi saksi sahaja.
3. S’orang pun tiada boleh masok jadi anak perhimponan sampai dia sudah di-bnarkan oleh Majlis Pgawai atau oleh
Perhimponan Kpala Klas dan Pnunggu dengan suka Gombala, dan orang msti di-baptiskan dhulu, dan msti di-preksa dan
nyatakan dngan chukop ktrangan yang dia-orang ada perchaya btul dan mau ingat dan turut sgala prentah Perhimpunan,
bharu boleh di-bri masok Perhimponan, sperti aturan smbahyang.38
Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa terbuka kemungkinan bagi seseorang untuk menerima pelayanan dari Gereja
Methodist, termasuk pelayanan perjamuan kudus, walaupun statusnya belum anggota (penuh), melainkan masih percobaan.
Hal ini adalah pengaruh wawasan teologis Methodist, yang antara lain menekankan kesucian hidup, sesuai de ngan doktrin
sanctification grace (anugerah pengudusan). Atas dasar wawasan itulah maka Denyes cepat-cepat melakukan tugas
pemuridan dan pembinaan jemaat. Misalnya, jemaat di Bogor yang baru berdiri itu dibina sedemikian rupa, sehingga
kebaktian diadakan empat kali seminggu (Senin, Rabu, Jumat dan Minggu). Kecuali kebaktian Minggu, kebaktian pada hari
biasa berbentuk class meeting, yakni model yang diberlakukan John Wesley dan orang Methodist di Amerika. Setiap hari,
dimulai pukul 17.15, semua berkumpul dalam satu ruangan untuk kebaktian singkat. Kemudian, laki-laki dan perempuan
dipisahkan untuk belajar Alkitab dalam kelas masing-masing, yang berlangsung sekitar 20 menit. 39
Sejak kehadiran Denyes di Jawa, ia diminta untuk melayani sebuah jemaat berbahasa Inggris di Batavia yang sudah
puluhan tahun tidak mempunyai pendeta. 40 Permintaan jemaat itu diterima Denyes, dan selama dua tahun (1905–1907)
Denyes menjadi ”gembala sidang” jemaat ini secara sukarela. Setiap hari Minggu pagi, ia menumpang kereta api pagi dari
Bogor supaya dapat memimpin kebaktian pukul 10.00 pagi di Batavia. Yang jelas, pelayanan dalam jemaat ini merupakan
batu loncatan baginya untuk tugas penginjilannya di Batavia, kendati dalam statistik Methodist, jemaat ini tidak pernah
dicantumkan, sebab memang tidak di-methodist-kan.41
Pada 12 November 1905, Denyes mengambil alih sebuah jemaat di Karet, pinggir kota Batavia, hasil penginjilan Balok
Arpasad.42 Balok Arpasad, yang merupakan bekas guru-bantu NZV, dimanfaatkan oleh Denyes secara intensif untuk
membantunya membuka pos-pos pekabaran Injil di Pasar Senen (April 1906), Tanah Abang (Juni 1906), Kebantenan, dan
Cibinong. Jemaat dan pos pekabaran Injil di atas umumnya terdiri dari orang Tionghoa peranakan, dan dalam kebaktian
memakai bahasa Melayu. Namun, dalam jemaat itu bergabung juga beberapa orang Ambon dan orang Kristen lain yang
berasal dari luar Jawa. Khusus di Tanah Abang, anggota jemaat melulu orang Tionghoa Hokkien yang tidak dapat berbahasa
Melayu. Untuk melayani dan menginjili orang Hokkien ini, Denyes menempatkan Choo Chiang Bie, yang tiba di Jawa bulan
Mei 1906.43
Pada akhir tahun 1906, Denyes membuat terobosan baru. Satu jemaat pribumi (Sunda) di Kampung Sawah, dengan
anggota sekitar tujuh puluh orang, dimasukkan ke dalam asuhan Misi Methodist, atas permintaan jemaat itu sendiri. Jemaat
ini berasal dari sekelompok orang Kristen buah penginjilan Anthing, yang pada akhir abad ke-19 dimasukkan ke dalam
daerah pelayanan NZV.44 Pada tahun 1894, jemaat yang diasuh NZV ini pecah dan sebagian beralih ke Gereja Katolik di
bawah pimpinan Nathaniel. 45 Setelah Misi Methodist hadir di Jawa, jemaat Katolik ini beralih pula menjadi jemaat
Methodist.
Tahun 1909, sekelompok imigran Tionghoa (Hokkien) di Surabaya yang berlatar belakang Presbyterian, dimasukkan ke
dalam lingkungan pelayanan Misi Methodist, sebagai cikal-bakal jemaat Methodist. Diong Hong Sek ditugaskan melayani di
sana.46
Cara kerja Denyes yang bersifat pragmatis ini mirip dengan cara kerja gerakan Methodist di Amerika pada periode-
periode awal. Hal ini didasari wawasan teologis-misiologis Methodist, yang tidak terlalu menekankan perbedaan dogma.
Hanya satu syarat yang diperlukan untuk dapat bergabung dengan komunitas Methodist, yakni ”keinginan untuk
menghindari murka yang akan datang.”47
Walau ketentuan mengenai keanggotaaan gereja sudah diatur dalam Disiplin, namun kenyataan di lapangan membuat
Denyes harus menyesuaikan cara kerja dengan situasi. Anggota jemaat yang baru itu diusahakan untuk di-methodist-kan,
termasuk para pengkhotbah yang direkrut Denyes, seperti Balok Arpasad dan Nathaniel, yang (karena) sebenarnya tidak
dibekali dengan pemahaman akan doktrin dan disiplin Methodist. Dalam laporannya kepada Konferensi Tahunan Malaysia
Annual Conference tahun 1908, ia menjelaskan metodenya sebagai berikut.
Ini adalah doktrin fundamental Methodisme bahwa pendosa yang paling jahat bisa menemukan pengampunan dan keselamatan
jika jika ia berbalik dari dosanya dan mencari kuasa penyucian dari darah Kristus. Oleh karena itu, gereja siap berdiri menerima
siapa pun yang datang mencari pengakuan, jikalau mereka berhasrat ”menghindari murka yang akan datang.” … Namun,
pengalaman kita membuat kita merasa bahwa banyak orang yang mencari pengakuan ke gereja kita belum menghargai sisi
spiritual dari agama kita dan tidak dapat sungguh-sungguh dikatakan mencari keselamatan dari murka yang akan datang. Oleh
karena itu, kita telah menambahkan golongan anggota yang tidak ditentukan Disiplin, yaitu, inquirer. Orang-orang yang
meminta untuk diterima dalam gereja pertama-tama didaftarkan sebagai inquirer setidaknya untuk dua bulan, dan hanya
ditingkatkan menjadi golongan pendengar (probationer) ketika mereka menunjukkan perilaku yang sungguh-sungguh sesuai
dengan ajaran Kristen.48
Denyes membuat kategori anggota baru yang tidak diatur dalam Disiplin, yaitu inquirer, atau juga disebut hearer.
Dampak metode yang agak ketat ini ialah bahwa banyak anggota yang tadinya terdaftar sebagai anggota pelamar menjadi
hilang, dan dari percobaan turun menjadi pelamar, jikalau mereka ternyata tidak menunjukkan kesetiaan (yang antara lain
tampak dari kerajinannya mengikuti kegiatan).49
d. Pendidikan
Dalam wawasan pelayanan Gereja Methodist, upaya pekabaran Injil selalu bergandengan tangan dengan usaha pendidikan.
Dalam konteks Asia Tenggara sebagai lapangan pekabaran Injil Methodist, di mana pengaruh agama-agama dunia (Budha,
Hindu, Konghuchu, dan Islam) cukup besar, tujuan penyelenggaraan pendidikan (sekolah) adalah:
mendidik anak-anak Kristen dari kalangan pribumi, membuka rumah-rumah masyarakat bagi misionaris, menghilangkan
prasangka masyarakat terhadap kekristenan, dan membuka mata genrasi muda pada kemungkinan moral dan spiritual yang
tidak ditemukan di mana-mana tetapi hanya di dalam Injil yang kita wartakan. Untuk tujuan inilah kita harus
menyelenggarakan ibadah di gereja setiap hari.58
Beranjak dari konsepsi di atas, Misi Methodist di Jawa sejak awal kehadirannya membuka sekolah-sekolah. Sekolah
pertama dibuka Misi Methodist bersamaan dengan pembukaan (pengambilalihan) jemaat Karet tanggal 12 November 1905,
dengan jumlah murid empat belas orang, laki-laki dan perempuan. Sekolah dan jemaat Karet ini tidak bertahan lama, karena
seorang tuan tanah (orang Arab) mengusir orang-orang Kristen itu dari sana. 59
Sekolah kedua dibuka di Pasar Senen pada bulan April 1906. Sekolah ini juga berbahasa Melayu, dengan jumlah murid
waktu pembukaan dua puluh lima orang, laki-laki dan perempuan.60
Sekolah ketiga berada di Cisarua, yang dibuka pada minggu pertama bulan Februari 1906, beberapa hari setelah
pembukaan jemaat di sana. Sekolah ini juga berbahasa Melayu, walaupun murid-muridnya orang Sunda, dengan murid
mula-mula berjumlah dua orang laki-laki dan satu orang perempuan.61
Sekolah keempat (ketiga yang hidup) yang dibuka Misi Methodist pada satu setengah tahun pertama di Jawa adalah di
Bogor, yaitu sekolah berbahasa Inggris menurut model sekolah Methodist di Malaysia dan Singapura, yakni Anglo-Chinese
School. Tanggal 1 Juli 1906, sekolah ini dibuka dengan enam orang murid. 62 Mula-mula, sekolah ini diasuh seorang wanita
Inggris, Mrs. Godwin, tetapi ini tidak berlangsung lama sebab penyakit mengharuskannya kembali ke Inggris. Kemudian,
tugas itu diserahkan kepada seorang Jepang yang bernama Unosuki Ogawa.
Bulan Januari 1908, sekolah ini membuat terobosan baru. Seorang Tionghoa kaya bernama Tan Guan Huat
menawarkan bantuan, yaitu rela menggaji seorang guru asalkan guru itu didatangkan oleh Misi Methodist dari Amerika.
Tawaran bantuan ini dapat dihubungkan dengan niat orang Tionghoa untuk belajar bahasa Inggris, seperti yang
diprogramkan oleh THHK.63 Dengan bantuan orang kaya tadi, bulan Maret 1908, Badan Misi Methodist mengutus Rev. O.A.
Carlson untuk mengepalai sekolah Inggris itu. Sekolah ini berkembang baik, dan sebagian murid-muridnya dibimbing
menjadi murid Sekolah Minggu Methodist di Bogor. Bulan April 1909, Carlson meninggal dunia di Colombo, Ceylon, dalam
perjalanan pulang untuk berobat ke Amerika, karena menderita penyakit disentri. 64
Ketika ia masih melayani di sana, suatu situasi muncul tiba-tiba yang membuatnya meninggalkan pelayanan di Misi Rhein pada
tahun 1909. Tampaknya Allah membawanya untuk melayani di tempat lain. 74
Lamsana tiba di Singapura pada awal tahun 1910. 75 Di sana ia bertemu dengan Bishop W.F. Oldham, pimpinan Gereja
Methodist di Asia Tenggara. Sejak Jean Hamilton Training School (JHTS) 76 dibuka sebagai persemaian bagi pelayan
Methodist, kehadiran guru dari orang Melayu menjadi kebutuhan mendesak, karena sekolah itu juga membuka kursus
dalam bahasa Melayu (selain bahasa Hakka, Hokkien, Inggris, dan Tamil). Untuk mengisi kebutuhan itu, Bishop Oldham 77
menempatkan Lamsana menjadi guru di JHTS.
Pada permulaan abad ke-20, cita-cita hamajuon (kemajuan), merasuki orang Batak Toba, sebagai dampak dari usaha-
usaha pendidikan yang diselenggarakan RMG dan pemerintah kolonial Belanda. 78 Didorong oleh semangat ingin maju,
beberapa pemuda Batak mengambil keputusan untuk berangkat ke Singapura, mengikuti jejak Lamsana. Sekitar Juli 1910,
Luther Hutabarat (kemudian menjadi menantu Lamsana), David Hutabarat (saudara laki-laki istri Lamsana), Matheus
Hutabarat, Kleopas Lumbantobing, dan Jethro Manullang berangkat ke Singapura. 79 Mereka mengajukan surat lamaran
memohon agar mereka dapat diterima di sekolah itu. Mula-mula lamaran mereka ditolak, karena tidak ada jaminan dari
mana biaya sekolah mereka. Perlu dimaklumi bahwa mereka bukan dikirim oleh suatu lembaga pekabaran Injil atau gereja
tertentu, tetapi datang atas prakarsa sendiri, hanya dengan bermodalkan semangat ingin maju. Atas bantuan dan jaminan
Lamsana, mereka bisa hidup dengan ”makan sendiri” (eat themselves),80 dan mereka pun dapat diterima. Namun, tidak
berapa lama kemudian, mereka bergabung dengan siswa-siswa yang lain, hidup di asrama sekolah, dan menjadi tanggungan
Misi Methodist.81 Rupanya Misi Methodist melihat bahwa mereka dapat dimanfaatkan mengisi kebutuhan tenaga untuk
jemaat-jemaat berbahasa Melayu di Jawa. Setelah belajar selama tiga tahun (1910–1913), mulai bulan Juli 1913, mereka
melayani di Jawa.82
Pada tahun 1913, Lamsana dipindahkan ke Bogor, sekaligus dengan pemindahan bagian bahasa Melayu dari JHTS.
Sekolah ini kemudian bernama Preacher’s Training School.83 Alasan pemindahan sekolah itu adalah supaya dekat dengan
jemaat-jemaat Methodist berbahasa Melayu di Hindia Belanda, khususnya di Jawa. Lagipula, siswa-siswa berbahasa Melayu
umumnya berasal dari Hindia Belanda, walau ada satu dua orang dari Singapura dan Malaya, khususnya golongan Tionghoa
peranakan. Sampai tahun 1921, Lamsana adalah tenaga pengajar purnawaktu di sekolah latihan ini bersama-sama dengan
dua tenaga misionaris, J.B. Matthew dan A.H. Prussner. 84 Hingga tahun 1928, sekolah inilah satu-satunya tempat persemaian
pekerja-pekerja Methodist. Mereka yang pernah belajar di sini antara lain adalah Pdt. Wismar Panggabean, 85 Pdt. Efraim
Sihombing, Pdt. Philemon Simamora, Pdt. Lucius Simamora, 86 Pdt. Pares Rikin, dan Pdt. Saiman.87
Jika para misionaris tidak ada di sekolah-sekolah ini, mereka tidak akan ada di Jawa sama sekali, karena tidak ada uang misi yang
cukup untuk membawa mereka keluar.91
Keuntungan kedua menurut perkiraan Denyes ialah bahwa melalui kehadiran para misionaris Methodist di sekolah-
sekolah THHK itu, Misi Methodist dapat menunjukkan kepada masyarakat Tionghoa di Jawa tentang keunggulan agama
Kristen. Manakala orang-orang Tionghoa telah menyadari bahwa kekristenan merupakan jalan untuk mencapai martabat
kehidupan yang lebih tinggi, diharapkan bahwa mereka akan menyambut Misi Methodist untuk menginjili mereka.
Selama sepuluh tahun (1910–1920) Badan Misi Methodist mengisi sekolah-sekolah THHK dengan sejumlah misionaris,
seperti Charles M. Worthington, Edwin F. Lee, Berton O. Wilcox, Burr J. Baughman, Harry C. Bower, Carl C. Underhill,
James O. Cole, Erik W. Allstrom, Mrs. Erik W. Allstrom, Albert H. Fisher, Armin V. Klaus, Pauline Stefanski, Lee Edna
Nichols, Rita M. Kinzly, dan Mark Freeman.92
Di samping itu, Misi Methodist juga berperan membantu mendatangkan tenaga-tenaga guru berbahasa Mandarin dari
Tiongkok ke Hindia Belanda. Pada September 1910, Denyes dikirim oleh pengurus THHK ke Tiongkok untuk mengadakan
studi perbandingan tentang sekolah-sekolah Tionghoa, sekaligus untuk mencari guru dari sana. 93
Setelah kerja sama ini berjalan beberapa tahun, ternyata cara kerja yang digagas Denyes ini justru bertentangan dengan
pengharapan semula. Baik tenaga maupun waktu misionaris yang bekerja di THHK tersita untuk tugas-tugas rutin sebagai
guru THHK, sedangkan tugas-tugas pekabaran Injil yang sebenarnya dan seharusnya merupakan tugas utama terpaksa
dinomorduakan. Khusus di Bogor, kehadiran THHK menjadi saingan bagi sekolah Inggris Methodist. Banyak murid sekolah
Methodist yang pindah ke THHK karena di sana jumlah uang sekolah lebih rendah. 94 Perhitungan Denyes juga meleset,
karena sekalipun misionaris-misionaris Methodist telah bekerja keras 95 di THHK, namun orang-orang Tionghoa itu tidak
juga beramai-ramai menjadi Kristen. Mereka hanya mau menerima guru-guru Kristen yang berkualitas, tetapi tetap
menjaga anak-anak Tionghoa agar tidak menjadi Kristen. Sejak awal, pengurus THHK tidak mengizinkan sekolah THHK
menjadi tempat untuk mengabarkan Injil. Orang Tionghoa takut, apabila anak-anak mereka menjadi Kristen, mereka akan
berhenti mencari uang. Menurut kesan mereka, orang Kristen mengajarkan bahwa mengumpulkan kekayaan itu adalah
dosa. Ajaran seperti itu memang bertolak belakang dengan nilai budaya orang Tionghoa tentang uang. 96 Tambahan pula,
salah satu tujuan THHK adalah untuk memajukan Konfusionisme, sehingga Misi Methodist praktis tidak dapat berbuat
apa-apa dalam THHK, kecuali menghadirkan sejumlah misionaris yang dibayar THHK.
Setelah sepuluh tahun berlangsung, Misi Methodist akhirnya menyadari bahwa kebijaksanaan untuk mengadakan kerja
sama dengan THHK lebih banyak ruginya dari untungnya. Akhirnya, kerja sama itu berakhir pada 10 Agustus 1920. 97
Pemutusan hubungan ini berhubungan dengan pemberian status konferensi tersendiri untuk Misi Methodist di HB tahun
1918, yang mengandung maksud agar pekerjaan di HB dapat lebih diintensifkan. Hal ini dimungkinkan pula oleh jatah
bantuan Amerika yang diperbesar dari sebelumnya, berkat program penggalangan dana yang diusahakan sejak tahun 1916
dalam rangka ulang tahun ke-100 Badan Misi Methodist di Amerika.98
Bagaimana pun kerasnya perlawanan terhadap dogma kekristenan atau sikap acuh tak acuh pada keuntungan pendidikan bagi
dirinya atau anak-anaknya, tidak ada orang Muslim yang bebas dari penyakit.100
Walau mengalami banyak kendala di bidang keuangan, rumah sakit ini berhasil melayani ribuan masyarakat, tidak
hanya dari sekitar Cisarua, tetapi dari luarnya juga. Statistik pasien dari tahun 1922–1926 menunjukkan betapa besar arti
rumah sakit itu:
Eropa 12 11 6 10 18
Jumlah pasien orang Tionghoa berimbang dengan pasien pribumi. Bahkan pada dua tahun pertama, pasien Tionghoa
lebih banyak, sebab dari luar Jawa orang Tionghoa juga datang. 102 Pada mulanya diharapkan bahwa rumah sakit ini terutama
melayani orang pribumi dalam rangka penginjilan. Namun, menurut laporan kepala rumah sakit (Dr. N. Keith) tahun 1919,
banyak orang Islam ragu-ragu datang berobat, karena mereka merasa takut bahwa melalui rumah sakit itu mereka
terperangkap menjadi Kristen.103
Penurunan jumlah pasien yang opname yang terjadi dari tahun 1922–1925 disebabkan oleh peraturan baru mengenai
biaya pengobatan yang diterapkan di rumah sakit itu, yang mewajibkan setiap pasien membayar biaya pengobatan, berbeda
dari sebelumnya yang memberi kelonggaran bagi pasien miskin. Pengetatan peraturan ini berkaitan dengan menurunnya
bantuan yang diterima dari Badan Misi Methodist di Amerika, akibat kesulitan ekonomi yang dialami Gereja Methodist di
Amerika pada periode itu.104 Sejak berdiri, rumah sakit ini terus-menerus mengalami defisit. Selain karena bantuan dana
dari New York semakin berkurang, pasien yang berobat pun lebih banyak pecandu obat bius, pengidap TBC, dan penderita
sifilis, yang rata-rata berasal dari golongan ekonomi lemah yang sering tidak membayar biaya pengobatan. Namun, mulai
tahun 1925, setelah dibuat peraturan baru yang mewajibkan setiap orang membayar biaya opname, masalah defisit sudah
bisa ditanggulangi.
Sehubungan dengan penutupan pekerjaan Methodist di Jawa, pada tahun 1928 Rumah Sakit Cisarua ditutup dan
seterusnya diserahkan kepada pemerintah HB serta dijadikan sanatorium (tempat penampungan penderita tuberkulosis).
Sebagai ganti rugi, Misi Methodist menerima f25.000, walaupun sebenarnya rumah sakit mempunyai nilai hampir
f120.000.105
2. Kalimantan (Barat)
Daerah yang secara geografis bersebelahan dengan Semenanjung Malaka dan Singapura ini sejak dahulu menjadi salah satu
sasaran para imigran Tionghoa. Kota terbesar di Kalimantan Barat adalah Pontianak, dengan penduduk pada tahun 1910
berjumlah sekitar 20.000 jiwa. Di antaranya terdapat sekitar 6.000 orang Tionghoa. Kota kecil yang lain adalah Singkawang
dan Sambas, yang masing-masing berpenduduk sekitar 2.000 jiwa.
a. Terobosan awal
Pada tahun 1890, B.F. West mengadakan peninjauan ke Kalimantan Barat yang ditempuh dua hari dari Singapura melalui
kapal laut. Walaupun secara politik Kalimantan Barat adalah bagian integral HB, namun secara ekonomis ia lebih dekat ke
Singapura ketimbang ke Batavia. Pada tahun 1891, West melaporkan kepada Konferensi Misi Malaysia bahwa daerah itu
telah siap untuk menerima misi Methodist. Di sana terdapat beberapa orang Methodist Tionghoa yang berasal dari
Singapura dan Penang. Mereka mendesak agar Misi Methodist secepatnya masuk ke daerah yang luas itu. Namun, rencana
itu tidak segera dapat diwujudkan karena dana dan daya tidak tersedia untuk itu.
Baru pada sidang Malaysia Annual Conference, tahun 1906, Bishop Oldham menempatkan C.M. Worthington sebagai
misionaris Methodist pertama di Pontianak. Sama seperti keadaan penginjilan Methodist di Jawa, Misi Methodist di
Kalimantan Barat ini pada tahap-tahap awal menjanjikan masa depan yang cerah. Setelah Worthington mulai bekerja, ia
membuka sebuah sekolah Methodist berbahasa Inggris di Pontianak, dan langsung mampu melakukan self-support. Dari
sekolah ini, Worthington dapat membiayai diri dan pekerjaannya tanpa bantuan dari Badan Misi Methodist.
Terobosan lain adalah bahwa sebelum Misi Methodist masuk, telah tiba di Singkawang seorang dokter anggota
Methodist dari Bukit Mertajam, Penang, bernama U Chim Seng. Sambil berpraktik sebagai dokter, ia memberi kesaksian Injil
kepada para pasiennya. Ia juga mempekerjakan sepuluh sampai dua belas orang salesman untuk memasarkan obat-obatan ke
berbagai desa di sekitar Singkawang. Para penjaja obat ini membawa serta Alkitab dan Buku Nyanyian Methodist untuk
dijual. Buah penginjilan U Chim Seng ini memang cukup besar, sebab ratusan orang Tionghoa menyatakan diri siap untuk
menjadi pengikut Kristus. Masalahnya ialah bahwa pemerintah kolonial setempat tidak segera memberikan izin kepada
Misi Methodist untuk mengorganisasi jemaat. Alasannya adalah bahwa misi Roma Katolik telah lebih dulu hadir di sana,
sehingga pemerintah kolonial sangat hati-hati mengizinkan misi lain dalam rangka menghindari terjadinya konflik, sesuai
dengan peraturan (RR 123 pasal 177 tahun 1854), yang menggariskan larangan untuk penginjilan berganda.106 Akibat belum
adanya izin itu, Misi Methodist dilakukan secara informal. Di Pontianak, misalnya, Worthington mengadakan kebaktian di
rumah-rumah secara bergantian. Namun, baptisan dan sakramen perjamuan kudus tidak dapat dilaksanakan. Kegiatan ini
juga selalu dicurigai oleh penguasa setempat, dan Worthington selalu diingatkan agar tidak mengadakan kebaktian rumah
tangga lebih dari enam orang peserta.107
Akhirnya, setelah dua setengah tahun menunggu, pada bulan Juli 1908, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan
izin kepada Misi Methodist untuk menginjili dan mendirikan gereja. 108 Kesempatan itu segera dimanfaatkan Worthington
untuk mengorganisasi jemaat-jemaat yang sudah lama dipersiapkan, baik oleh U Chim Seng maupun Worthington. Pada
tahun 1909, Worthington melaporkan keadaan komunitas Methodist di Kalimantan Barat: 80 anggota penuh, 192 anggota
percobaan yang tersebar di Pontianak, Singkawang, Sempadung, dan Sambas, belum termasuk sejumlah pos-pos Pekabaran
Injil di berbagai desa serta sejumlah simpatisan yang sangat terbuka kepada pengajaran Kristen.109 Dengan kata lain, pada
tahun-tahun permulaan, terutama tiga tahun pertama, usaha penginjilan Methodist di Kalimantan Barat berjalan dengan
cukup maju, sekalipun mendapat tantangan yang besar.
Namun, pada saat-saat Misi Methodist hendak menuai jiwa-jiwa baru, pekerjaan Methodist di Kalimantan Barat
mengalami stagnasi. Pada tahun 1909, Worthington menjalani cutinya ke Amerika, tanpa mendapat pengganti segera.
Kendati setelah beberapa bulan William E. Horely ditugaskan untuk mengisi kekosongan itu, namun setelah tiga bulan, ia
dipindahkan ke Semenanjung Malaka. Penginjil awam U Chim Seng juga harus kembali ke Tiongkok, karena penyakit paru-
paru yang dideritanya semakin parah. Praktis tercabutlah pionir-pionir yang telah meletakkan dasar-dasar Misi Methodist
di Kalimantan Barat, sehingga dasar-dasar yang telah diletakkan itu juga menjadi guncang. Memang, pada tahun 1910,
Badan Misi Methodist menempatkan Abel Eklund (seorang warga negara Swedia) di Kalimantan Barat. Namun, Eklund
merasa tidak sanggup meneruskan pekerjaan Worthington, yang menuntut kemampuan berbahasa, baik bahasa Melayu
maupun bahasa Tionghoa yang belum dikuasainya.
Kita heran, mengapa Worthington tidak segera dikembalikan ke Kalimantan Barat sehabis masa cuti, tetapi justru
ditarik ke Batavia mengisi pekerjaan di THHK. Mengapa baru tahun 1915 110 ia ditempatkan kembali ke sana, justru setelah
kesempatan baik telah berlalu? Inilah salah satu akibat dari cara kerja seperti dikatakan di depan, bahwa strategi pekerjaan
di Hindia Belanda diatur dan diputuskan di dalam Konferensi Tahunan Malaysia. Misalnya, pada tahun 1911, pimpinan Misi
Methodist di Singapura telah mengikat kontrak dengan THHK. Untuk melayani kebutuhan THHK, Worthington harus
ditugaskan ke Jawa (setelah masa cuti). Itu berarti kepentingan THHK lebih diutamakan daripada kelanjutan misi di
Kalimantan Barat. Masalah kemunduran ini diakui Denyes, selaku Pemimpin Distrik Hindia Belanda, sebagai suatu
kesalahan metode kerja, seperti tampak dalam laporannya ke Malaysia Annual Conference tahun 1911:
Semua hal ini berarti bahwa apa yang mungkin menjadi suatu gerakan sangat besar telah terbukti cuma menjadi kejang otot
sementara. Mereka yang bertobat sebagian besar menjadi ciut dan butuh upaya heroik untuk menggerakkan mereka kembali. 111
Sampai saat ini, kami tidak mampu secara finansial untuk bergerak maju. Para pejabat yang sama ini berkata pada saya bahwa
mereka kecewa kami tidak melakukan apa-apa dengan izin mereka. Kecuali kami melakukan sesuatu secara segera, kami akan
kehilangan: kami telah kehilangan muka. 127
Tahun 1919, berarti setelah Misi Methodist bekerja sebelas tahun, hanya ada dua jemaat kecil di Palembang, satu
berbahasa Tionghoa dengan anggota delapan jiwa dan satu lagi berbahasa Melayu dengan anggota empat belas orang.
Keduanya adalah buah penginjilan yang dilakukan melalui sekolah Methodist yang pada tahun itu mempunyai murid 151
orang.128 Dengan kata lain, misi sekolah jauh lebih maju ketimbang pekabaran Injil. Ternyata, orang-orang Ambon dan
Manado yang tadinya meminta pelayanan dari Misi Methodist tidak bersedia mendaftarkan diri menjadi anggota Gereja
Methodist. Mereka hanya menghadiri kebaktian setiap hari Minggu. Keberatan mereka bergabung dengan Gereja
Methodist, menurut H.B. Mansell, 129 adalah terutama disebabkan oleh beratnya peraturan Methodist, antara lain larangan
meminum alkohol, seperti digariskan dalam Pedoman Hidup Orang-orang Methodist, termasuk tanggung jawab untuk
keuangan Gereja. Mansell mengatakan,
Sebagian besar jemaat terdiri dari orang Kristen Ambon dan Manado yang merupakan imigran … Standar kami, terutama terkait
dengan pantang minuman keras dan dukungan terhadap gereja, tampaknya agak kaku bagi banyak orang yang ingin menghadiri
ibadah kami, tetapi tidak suka mendaftarkan diri menjadi anggota kami. 130
Sebagai hasil pemotongan sumbangan untuk tahun 1925, penurunan jumlah misionaris lebih lanjut tampak tak terelakkan. 144
Gambaran perkembangan anggota penuh di ketiga wilayah dari tahun 1918 ke 1927 adalah:
2. Sumatra Selatan 37 63
Kendati pada saat pembentukan NIMC terkandung harapan untuk lebih cepat berkembang, namun angka-angka di
atas menunjukkan bahwa pertambahan keseluruhan anggota jemaat di ketiga wilayah selama hampir sepuluh tahun hanya
218. Masalahnya adalah bahwa sejak tahun 1920-an, baik jumlah misionaris maupun bantuan dana dari Amerika semakin
lama semakin berkurang, sehingga tidak mungkin melakukan pekerjaan besar yang memberi pertambahan anggota dalam
jumlah berarti.
Suatu kesimpulan dapat ditarik bahwa pada dua puluh dua tahun (1905–1927) pertama, Misi Methodist yang hadir di
Jawa, Kalimantan, dan Sumatra Selatan, masih berada pada tahap merintis dan coba-coba. Dari sejak awal, Misi Methodist
berhadapan dengan berbagai tantangan, seperti tempat yang saling berjauhan, bahasa yang beraneka ragam, serta kesulitan
dana dan daya.
C. SUMATRA UTARA
Peta kependudukan Sumatra Timur (termasuk Bengkalis) tahun 1905 adalah Eropa 2.667; Pribumi 450.941; Tionghoa dan Asia
lainnya 114.809.146 Khusus untuk kota Medan dalam tahun 1905, jumlah penduduk adalah sekitar 14.000 orang. Pada tahun
1909, Medan diresmikan menjadi Kotapraja (gemeente) dan sejak itu kota Medan bertumbuh dengan cepat. Pada tahun 1918,
komposisi penduduk Medan adalah sebagai berikut: Eropa 409; Pribumi (berbagai suku, mayoritas Jawa) 35.009; Tionghoa
8.269; Timur Asing lainnya 139; jumlah total 43.826. 147 Ciri khas kota Medan adalah penduduknya bercampur baur, sementara
tidak ada satu kelompok etnis pun yang dominan—malah suku-suku pendatang lebih banyak ketimbang penduduk asli
(orang Melayu).148
b. Terobosan Awal
Usaha Pykett untuk mengembangkan pekerjaan Methodist di Medan telah dimulai tanpa menambah beban biaya kepada
Badan Misi. Di dalam dan melalui sekolah yang bukan milik Misi Methodist itulah Pakianathan memulai pekabaran Injil.
Dalam laporan Pykett kepada Konferensi Tahunan pada tahun 1906 dikatakan:
Solomon telah melaksanakan ibadah dan sekolah Minggu dalam bahasa Inggris. Saya percaya hampir semua orang Tionghoa
peranakan berbahasa Inggris di Medan menghadirinya. Mereka juga membentuk Asosiasi Pemuda, yang tampak membuat
mereka lebih bagus. Solomon berjumpa seorang Tionghoa Kristen dan mendesaknya untuk melaksakan ibadah dalam bahasa
China; ini ia setujui juga, dan segera setelahnya ia bertemu dengan Lim Hoai Toh…
Luar biasa bahwa semua karya ini dilakukan di dalam sebuah sekolah yang dimiliki oleh seorang Tionghoa non-Kristen, serta
praktis dengan biaya orang itu sendiri.153
Di sela-sela kesibukan Pakianathan sebagai guru sekolah, ia juga mencoba menjangkau orang-orang India (Tamil) dan
berhasil membuka kebaktian bahasa Tamil, dengan dua anggota percobaan, satu anggota penuh, serta satu kelas Sekolah
Minggu dengan sepuluh murid.154 Masalahnya, orang-orang India ini kebanyakan tinggal di daerah perkebunan yang sulit
dijangkau dari Medan. Karena di Medan sudah dimulai kebaktian dalam bahasa Tionghoa, terpisah dari sekolah milik Hong
Teen, pada tahun 1906 Pykett mengutus Ng Koan Jiu, seorang pengkhotbah Methodist di Malaya, untuk melayani jemaat
itu. Biaya hidup Ng Koan Jiu juga ditanggung oleh Pakianathan, yang selain mendapat gaji dari Hong Teen juga membuka
kursus pada malam hari, supaya cukup biaya untuk pekerjaan misi.
Setelah pekerjaan perintisan ini berlangsung dua setengah tahun, hubungan kerja sama dengan Hong Teen diputuskan
oleh Denyes selaku Pemimpin Distrik HB. Hong Teen dianggap tidak konsisten dengan janji yang dibuat dengan Pykett
sebelumnya, karena ia tidak lagi mengizinkan pekerja Methodist mengajarkan agama Kristen kepada murid-murid. 155
Kepada Konferensi Tahunan tahun 1909, Denyes melaporkan pemutusan hubungan kerja sama itu sebagai berikut.
Februari lalu kondisi menjadi sedemikian rupa sehingga tidak lagi perlu untuk meminjamkan nama Misi pada sekolah, sehingga
Solomon dipindahkan ke Palembang. Gereja Tionghoa, bagaimanapun, dimulai untuk terus berlanjut. Meskipun gereja ini kecil,
tampaknya tidak bijaksana untuk meninggalkan lapangan yang sedang bertumbuh ini di mana ada janji atas masa depan gereja
yang cerah. Selama 16 tahun, orang dewasa menjadi anggota, dan gereja sebagian besar menjadi mandiri. 156
Setelah Pakianathan dipindahkan ke Palembang, kebaktian berbahasa Inggris dan Tamil terpaksa ditutup. Untuk
beberapa lama, Ng Koan Jiu masih bertahan di Medan melanjutkan pelayanan jemaat Tionghoa, yang telah mampu
melakukan self-support. Namun, pada akhir tahun 1909, terjadi pula konflik dalam jemaat itu, yang tidak dapat diselesaikan
oleh Ng Koan Jiu. Kemungkinan besar konflik itu merupakan dampak dari adanya kelompok-kelompok Tionghoa di
Medan–peranakan, baba dan totok–yang pada gilirannya masuk ke dalam jemaat itu. 157 Terpaksa Ng Koan Jiu dipindahkan,
dan untuk beberapa bulan kegiatan gereja itu terbengkalai, karena tidak segera tersedia tenaga pengganti.
Pada awal tahun 1910, Denyes mengutus dua orang tenaga baru: Khoo Chung Bie158 dan Lim Huay Gin. Atas bantuan
dana dari Thio Gim Tong, yakni orang Kristen yang dikunjungi Pykett sebelumnya, mereka kembali mengaktifkan Gereja
Methodist di Medan, serta membuka satu sekolah yang diberi nama English Public School. 159 Gereja dan sekolah ini
mengambil tempat di sebuah rumah toko bertingkat dua yang terletak di Kapiteinsweg. Setelah beberapa bulan, Khoo
Chung Bie meninggalkan pekerjaan misi di Medan, dan kemudian bekerja pada British and Foreign Bible Society. 160 Lim
Huay Gin meneruskan Misi Methodist di Medan sampai ia meninggalkan Medan dan kembali ke Singapura bulan Juni 1912.
Dari tahun 1905–1912, Misi Methodist di Medan berjalan terseok-seok. Penginjil-penginjil yang dikirim ke Medan
adalah pengkhotbah awam yang bekerja swasembada dan tidak mendapat bantuan dana dari badan Misi Methodist.
Namun, cikal-bakal gereja dan sekolah sudah lahir.
Selain metode penginjilan di lapangan terbuka, Ward juga melaksanakan penginjilan pribadi karena ia sadar bahwa
metode kebaktian terbuka seperti itu harus ditindaklanjuti dengan penginjilan pribadi. Selama empat tahun bekerja di
Medan, Ward membaptis 119 orang dewasa. Anggota jemaat di Medan mengalami pertambahan yang cu kup berarti: dari 12
orang (1911) menjadi 36 orang (1912) dan menanjak ke 149 (1914). Ketika Ward meninggalkan Medan tahun 1916, jumlah ang-
gota menjadi 188 anggota (65 anggota penuh dan 123 anggota percobaan).176 Hingga tahun 1916 (setelah sebelas tahun),
hanya ada satu jemaat Methodist di Sumatra Utara ditambah satu sekolah misi. Jemaat itu terdiri dari berbagai latar
belakang suku: Hokkien, Hakka, Kanton, Hylam dan Batak, 177 dan tidak satu kelompok pun yang boleh dikatakan dominan.
Oleh sebab itu, tidak mungkin jemaat itu diberi nama berdasarkan nama satu kelompok etnis tertentu.178
Dalam tujuan ini, tampak ada perkembangan wawasan pendidikan Methodist dibandingkan dengan periode awal. Kini,
fungsi sekolah bukan lagi hanya sebagai wahana pekabaran Injil, melainkan untuk meletakkan landasan moral, mendidik
menjadi warga negara yang baik, mengajar menghormati orangtua dan untuk memberi bekal hidup bagi anak didik.
Proposal Oechsli ternyata disetujui, dan pada konferensi itu juga Pdt. Lamsana Lumbantobing ditempatkan ke Asahan
untuk memulai misi ke kalangan orang Batak Toba, baik yang tinggal di Pardembanan (yang masih beragama suku)
maupun orang Batak perantauan yang ada di sekitar Tanjung Balai. 208 Dengan kata lain, target Misi Methodist tidak lagi
hanya untuk orang Batak Pardembanan, tetapi juga hendak menjangkau orang-orang Batak Kristen yang bermigrasi dari
Tapanuli ke Sumatra Timur, daerah yang diberikan pemerintah HB sebagai lapangan Misi Methodist.
c. Misi di Pardembanan
Pada Februari 1921, Pdt. Lamsana Lumbantobing dan keluarga tiba di Asahan dan tinggal di Bunut, sebuah ”emplasemen”
dekat kota Kisaran.209 Pada Juni 1921, guru Miliater Pohan, kerabat dekat Lamsana, ditempatkan di desa Bangun Dolok,
Pardembanan, untuk membuka sekolah,210 sambil melanjutkan pengajaran untuk keluarga Nagori. Pada 21 Juli 1921, Rev.
Oechsli didampingi Pdt. Lamsana membaptis Nagori Musa dan keluarganya sebanyak delapan orang. 211 Nama ”Musa”
ditambahkan oleh Oechsli kepada Nagori yang mengandung harapan bahwa Nagori akan menuntun orang Batak
Pardembanan ke dalam hidup kekristenan. Untuk lebih memajukan pekabaran Injil di Asahan, pada Maret 1922 Gottschall
dipindahkan dari Medan ke Asahan dan berdomisili di Tanjung Balai, setelah beberapa bulan tinggal di Kisaran, karena
Tanjung Balai dianggap lebih strategis sebagai pusat kegiatan. Dari sanalah ia mengoordinasi misi di seluruh daerah
Asahan.212
Demi efisiensi dan intensifikasi misi di Sumatra Utara, sidang NIMC tahun 1922 di Batavia memutuskan untuk
meningkatkan status Distrik Sumatra Utara menjadi satu Misi (Mission).213 Menurut Oechsli, selain untuk tujuan efisiensi
waktu dan biaya, pembagian Konferensi ini dilakukan untuk mendidik warga jemaat dan pekerja-pekerja pribumi dan
Tionghoa di Sumatra Utara agar mereka mengerti apa dan bagaimana konferensi Methodist itu. Ini karena komunitas
Methodist di Sumatra Utara memahami arti berkonferensi hanyalah: bahwa para misionaris pergi meninggalkan jemaat
untuk beberapa minggu serta menghabiskan banyak uang.214 Walau pembentukan Misi ini pertama-tama didasarkan atas
pertimbangan kepentingan jemaat Tionghoa, namun secara praktis juga mempunyai dampak positif terhadap misi kepada
orang Batak.
Sekalipun mengalami berbagai tantangan berat, 215 pekerjaan di kalangan orang Batak ini dapat berjalan lambat namun
pasti. Pada 6 Agustus 1924, Oechsli menahbiskan satu bangunan serbaguna di Bangun Dolok yang diberi nama E.H. Foot
Hall, untuk mengabadikan nama E.H. Foot dari New York yang menyumbangkan biaya pembangunannya. Bangunan ini
dipergunakan sebagai gedung kebaktian, gedung sekolah, rumah guru dan asrama murid. 216 Tahun-tahun berikutnya berdiri
pula sekolah di Huta Padang, Bosar Sipinggan, dan Dolok Maraja. Tenaga-tenaga baru didatangkan seperti Efraim Sihom-
bing dan Gersom Hutabarat.
Metode penginjilan yang dilakukan lebih banyak bercorak penginjilan pribadi, dengan cara berkunjung dari desa ke
desa dan dari rumah ke rumah. Jika seorang penginjil singgah pada satu rumah di desa, sesuai kebiasaan orang Batak di
desa-desa, berdatanganlah penduduk desa ke rumah itu tanpa diundang untuk mengetahui siapa tamu yang datang.
Kesempatan seperti itu dipergunakan para penginjil untuk berkomunikasi dengan penduduk desa sekaligus
memperkenalkan Injil kepada mereka. Kalau seluruh desa sudah terbuka untuk Injil, kebaktian diadakan di halaman
terbuka. Selain metode tersebut, penginjilan melalui sekolah juga dilakukan. Segera setelah guru berdomisili di satu desa,
dibukalah sekolah desa yang serbadarurat. Anak-anak desa diajak untuk datang belajar berhitung, menulis, membaca, dan
sebagainya. Lewat wahana persekolahan ini, Injil diberitakan kepada anak didik, dan anak didik ini kemudian akan
meneruskannya kepada anggota keluarganya. Di daerah Pardembanan tidak pernah terjadi pertobatan massal seperti yang
terjadi di Tanah Batak oleh zending RMG. Pengaruh Islam yang telah hadir lebih dahulu di Pardembanan sedikit banyak
membuat penduduk kampung lebih menjadi plinplan. Tambahan pula, struktur desa antara Tapanuli dan Pardembanan
sudah berbeda jauh, karena Pardembanan adalah melting pot berbagai marga Batak yang bermigrasi dari Tapanuli Utara.
Nagori Musa Manurung menjadi seorang ”penginjil awam”, sukarelawan yang setiap hari berkeliling dari desa ke desa
untuk memberi kesaksian iman serta menceritakan kepada penduduk Pardembanan tentang kemajuan yang dialami orang
Kristen. Sayang, cita-cita Nagori Musa untuk menjadi pekerja resmi Methodist tidak sempat terwujud, karena pada 13
Desember 1927 ia meninggal dunia.217
Pada tahun 1927, baru ada tiga jemaat di Pardembanan dengan 29 anggota penuh, 18 anak-anak yang dibaptis, dan 40
pendengar (probationers).218
Noenga toek 50 taon lelengna naoeng dipaodjak Debata Hoeriana marhite Rijnsche Zending di tano Batak, sian Ompoe dope toe
ama sahat toe hami noeaeng. Noenga somal hami toe nasida, toeng so olo dope hami sirang sian nasida naoeng hoemophop
hami.219
Jawaban di atas memberi kesan bahwa orang-orang Batak Toba yang ada di perantauan sangat berat memutuskan
hubungan dengan Tanah Batak, tempat di mana terdapat akar mereka, baik akar budaya maupun akar agama.
Pada tahun 1915, Belanda menentukan daerah Sumatra Timur menjadi lapangan pekabaran Injil Methodist. 220 Pada
tahun yang sama, jalan raya penghubung Sumatra Timur dengan Tapanuli Utara telah selesai, 221 yang memperlancar arus
migrasi orang Batak Toba ke Sumatra Timur. Sejak tahun 1921, Misi Methodist secara resmi memulai usaha-usaha
pekabaran Injil di kalangan orang Batak di Asahan. Akibatnya adalah bahwa setelah tahun 1920, perjumpaan Misi Methodist
dengan orang Batak Toba perantauan semakin kuat, terutama di Binjai, Kisaran, Tebing Tinggi, dan Tanjung Balai. Segera
timbul masalah, siapa yang harus melayani orang-orang Kristen Batak yang merupakan buah pekabaran Injil RMG, tetapi
sekarang berada di Sumatra Timur, yang bukan daerah pelayanan RMG? Di satu pihak, Misi Methodist, yang menganggap
bahwa daerah Sumatra Timur adalah daerahnya, wajib melayani orang-orang Kristen Batak yang datang ke sana. Tidak
dapat disangkal bahwa sejak kehadiran Misi Methodist di Asahan, timbul keberanian orang-orang Batak Toba perantauan
itu menunjukkan identitas.222 Dengan kata lain, kehadiran Misi Methodist di daerah Sumatra Timur, terutama Asahan,
secara hukum merupakan tempat berlindung bagi orang-orang Batak Toba yang merantau di sana, sebab pemerintah
Belanda memberikan perlindungan hukum kepada Misi Methodist berikut orang-orang Kristen yang berada di bawah asuh -
annya. Pada pihak lain, zending Batak (RMG) merasa bertanggung jawab terhadap pemeliharaan kerohanian anggotanya
yang merantau.223 Namun, Gereja Batak (RMG) segera terbentur pada kekurangan daya dan dana serta izin pemerintah HB.
Untuk mencegah timbulnya konflik yang lebih parah di lapangan, kedua badan zending (Methodist dan RMG)
mengadakan musyawarah. Pada 25 Juli 1923, delegasi kedua badan zending bertemu di Pematang Siantar. 224 Dalam
dokumen Misi Methodist, isi musyawarah itu dicatat sebagai berikut.
(a) Misi Rhein sepakat untuk tidak membuka karya baru apa pun di antara orang Batak di wilayah yang sudah diberikan
Pemerintah Belanda pada Gereja Methodist.
(b) Gereja Methodist tidak akan membuka karya di antara orang Batak di wilayah Pangkalan Brandan dan Misi Rhein tidak akan
membuka karya di Binjai di antara kelompok ini.
(c) Di Asahan, semua orang Batak Kristen yang berasal dari gereja-gereja Misi Rhein akan dipelihara oleh Gereja Methodist,
tetapi di bagian Provinsi Asahan Utara, Pantai Timur, Misi Rhein bebas melayani orang-orang Kristennya sendiri.
(d) Juga disepakati bersama bahwa anggota satu gereja, ketika pindah ke wilayah gereja lain, akan diberikan surat keanggotaan,
yang akan dihormati sama seperti surat pindah dari gereja tempat mereka berasal. 225
Sesuai dengan butir-butir musyawarah itu, pada tahun 1923, Misi Methodist menempatkan Jethro Manullang ke Binjai
untuk melayani orang-orang Batak Toba yang bekerja di kantor-kantor dan perkebunan sekitar Binjai. Untuk
menindaklanjuti musyawarah tadi, pada 2 Agustus 1923 Ephorus J. Warneck menulis surat penggembalaan kepada orang-
orang Kristen Batak di Asahan supaya menggabungkan diri dengan Misi Methodist.226 Namun, gagasan ini tidak gampang
diterima oleh orang-orang Batak yang telah terbiasa dengan Gereja Batak, sehingga untuk meyakinkan orang-orang Batak
itu, pada 16 Oktober 1923, Warneck menugaskan Pdt. Karl Lotz untuk mengadakan musyawarah dengan mereka di Kisaran.
Pertemuan yang berlangsung di kompleks Methodist itu menghasilkan satu sikap dari orang-orang Batak di Asahan yang
berbunyi:
Kami rela masuk ke Gereja Methodist, tetapi ... izinkan seorang Guru atau Pendeta dari Tapanuli menjadi pimpinan kami dan
bentuk kebaktian/upacara gerejawi akan disesuaikan dengan bentuk yang dilakukan di Tapanuli. 227
Pada tahun 1924, Gereja Batak menyerahkan beberapa orang guru kepada Misi Methodist seperti Stephanus
Lumbantobing dan Guru Nimrod Pasaribu. 228 Namun, apa yang diharapkan melalui musyawarah itu berbeda dengan
kenyataan. Orang-orang Batak perantauan ternyata tidak ramai-ramai beralih ke Gereja Methodist. Statistik tahun 1927
untuk daerah Asahan menunjukkan bahwa hanya sedikit saja orang Batak perantauan yang masuk ke Gereja (Misi)
Methodist.
1. Bandar Pulau 17 20 20
2. Bangun Dolok 18 11 20
3. Dolok Meraja 5 1 14
4. Huta Padang 7 6 6
5. Kisaran 17 60 190
6. Kopas 2 2 11
7. Labuhan Ruku 12 26 14
Dari delapan jemaat, hanya anggota jemaat Bangun Dolok dan Huta Padang yang berasal dari agama suku, sedangkan
anggota jemaat-jemaat lain berasal dari orang Kristen Batak asal Tapanuli. Khusus di Kisaran, pada tahun 1927, data
keanggotaan tercatat: 17 anggota penuh dan 190 pendengar (probationer).230 Hal itu memberi indikasi bahwa Misi Methodist
cukup konsekuen dengan isi musyawarah antara Misi Methodist dan RMG. Karena itu, mereka yang tidak membawa surat
pindah tidak langsung diterima sebagai anggota, tetapi dicatat sebagai anggota pendengar. 231 Tahun 1929, data keanggotaan
itu sudah berubah menjadi: 33 anggota penuh dan 30 anggota pendengar. Ternyata, anggota pendengar tahun 1927 yang
tercatat sebanyak 190, tersisa hanya 30 orang pada tahun 1929. Berarti banyak orang Batak Toba tidak mau beralih ke dalam
asuhan Misi Methodist. Carel Hamel [misionaris Methodist di Asahan, yang kemudian tahun 1934 beralih menjadi pendeta
Gereja Protestan Indonesia (GPI) di Jawa], menilai situasi orang Batak itu sebagai berikut:
Namun, orang-orang Kristen ini tidak selalu bersikap simpatik. Banyak di antaranya bercerita pada saya bahwa misionaris
Jerman, guru dan pendeta mereka, menyerahkan mereka pada perlindungan Methodist. Kita semua tahu, butuh waktu lama
untuk menghapuskan prasangka orang … Suatu penyebab lain dari rendahnya keanggotaan dalam Gereja Methodist Asahan
adalah longgarnya orang Batak dalam menerapkan surat pindah mereka, dan juga ketakutan yang jelas pada sistem anggaran
kita yang agak kaku.232
Yang jelas adalah bahwa Ephorus Warneck tidak dapat memaksakan orang-orang Batak untuk masuk ke jemaat
Methodist. Sebagian besar orang Batak tetap ingin memelihara hubungan dengan Gereja Batak yang berpusat di Tapanuli
Utara. Bahkan, menurut Tampubolon, Ephorus Warneck justru senang kalau orang-orang Batak tidak bersedia beralih ke
Gereja Methodist.233 Timbul pertanyaan, apakah Warneck mengubah pendiriannya mengenai status orang-orang Batak yang
tadinya dianjurkan untuk bergabung dengan Methodist sesuai dengan isi deklarasi? Jika disimak lebih jauh, sebenarnya
esensi pendirian Warneck tidak berubah sama sekali, karena alasan pokok Warneck menganjurkan orang Batak untuk
menggabungkan diri dengan Methodist adalah alasan praktis, yang didasarkan atas kekurangan tenaga pekerja RMG.
Ketimbang orang-orang Batak masuk Islam, Warneck melihat bahwa alternatif satu-satunya adalah bekerja sama dengan
Methodist. Bahwa orang-orang Batak tidak rela masuk Methodist, dan bahwa mereka mampu menjalankan sendiri
kebaktian ala RMG tanpa kehadiran pekerja gereja Batak, itu adalah soal lain. Yang penting bagi Warneck, orang-orang
Batak di perantauan itu jangan sampai tercerai-berai tanpa pemeliharaan jiwa.
Bagi orang Batak Toba sendiri, gereja bukan hanya persekutuan religi tetapi juga persekutuan sosial ( pardomuan) yang
akarnya berada pada konsep totalitas orang Batak Toba. Dengan begitu, berpindah gereja bagi orang Batak sama dengan
tindakan mencabut diri dari akar. 234 Dari latar belakang itu, dapat dimengerti mengapa orang Batak tidak ramai-ramai
beralih ke Methodist di Medan dan di daerah lain di Sumatra Timur.
D. BERBAGAI HAMBATAN
Setelah kurang lebih dua puluh tiga tahun (1905–1928) bekerja di HB, Misi Methodist telah menanamkan bibit-bibit Gereja
Methodist di berbagai daerah dan kelompok etnis. Pada tahun 1927, anggota jemaat di wilayah NIMC yang meliputi Jawa,
Kalimantan Barat, dan Sumatra Selatan adalah sebanyak 692 orang anggota penuh, sedangkan di Sumatra Utara berjumlah
sekitar 779 orang. Sejak tahun 1921, setelah Misi Methodist masuk ke kalangan orang Batak, pertambahan anggota menjadi
sedikit lebih besar sehingga jumlah anggota di Sumatra Utara telah melebihi jumlah di Jawa, Kalimantan Barat, dan
Sumatra Selatan. Sejak itu pula sudah tampak bahwa pekerjaan Methodist di kalangan orang Batak telah menjadi semakin
lebih maju ketimbang di kalangan kelompok etnis Tionghoa di Sumatra Utara. 235
Dari diagnosis Denyes236 dan Mansell237—keduanya merupakan tokoh perintis Misi Methodist di Hindia Belanda—
terungkap sejumlah tantangan yang dihadapi Misi Methodist pada periode perintisan, yang sebagian besar berakar pada
realitas kepelbagaian etnis.
1. Masalah bahasa. Setiap kali berlangsung Konferensi Tahunan atau Konferensi Distrik di HB, masalah pertama yang
sulit dipecahkan adalah soal sekretaris konferensi dan penerjemah. Konferensi selalu diadakan dalam bahasa Inggris 238
sementara peserta terdiri dari berbagai latar belakang suku dan bangsa (Tionghoa, Sunda, Batak, Amerika), sehingga
peran penerjemah sangat penting. Dapat dibayangkan bahwa partisipasi peserta konferensi yang diadakan dalam
bahasa yang bukan bahasanya sendiri pasti sangat minim. Di pihak lain, karena misionaris selalu mengalami mutasi
dari satu daerah ke daerah lain, yang bahasanya tidak selalu sama, seorang misionaris yang melayani cukup lama di HB
dituntut untuk menguasai satu sampai lima bahasa lokal (Melayu, Sunda, Dayak, Batak, Tionghoa). Tuntutan itu jelas
menyita perhatian dan waktu dari para misionaris, yang pada gilirannya mengganggu pelaksanaan tugas pokok.
Namun, masalah yang paling besar sehubungan dengan bahasa ini adalah penyediaan literatur, seperti Buku Ibadah,
Nyanyian Rohani, pelajaran Sekolah Minggu, dan sebagainya. Bahan-bahan yang dapat disediakan Misi Methodist
terbatas hanya dalam bahasa Inggris dan Melayu, yang bagi orang Tionghoa, Sunda, Dayak, dan Batak pasti hasilnya
kurang efektif. Pendidikan agama kepada suatu kelompok etnis lebih efektif jika diberikan dalam bahasanya sendiri. 239
2. Masalah iklim. Bagi orang Barat (Amerika), wilayah HB yang beriklim tropis adalah tempat yang tidak sehat. Misionaris
sering jatuh sakit bahkan sampai meninggal karena terserang penyakit tropis, seperti malaria, kolera, dan sebagainya.
Dua orang misionaris yang bekerja di Indonesia, yaitu Carlson dan Wilcox, meninggal pada usia muda karena terserang
penyakit sejenis. Akibat masalah iklim dan penyakit ini, banyak misionaris hanya mampu bertahan dalam waktu
singkat di Hindia Belanda, sehingga pekerjaan yang tadinya telah dimulai dengan prospek cerah terpaksa harus di-
tinggalkan, atau diserahkan kepada orang baru yang belum tentu mampu menindaklanjuti.
3. Masalah mobilisasi penduduk. Lapangan penginjilan utama Misi Methodist pada periode ini adalah masyarakat
Tionghoa perantauan. Mereka datang ke Indonesia dengan tujuan mencari uang. Motivasi mencari keuntungan ini
membuat mereka selalu dalam keadaan bergerak dan berpindah-pindah. Akibatnya, ada jemaat yang tadinya sudah
mulai bertumbuh, tetapi dalam satu tahun bisa menjadi kosong karena anggotanya pindah ke tempat lain untuk
mencari lahan yang lebih baik. Mobilitas kelompok etnis Tionghoa ini merupakan tantangan bagi Misi Methodist
untuk membina suatu jemaat dewasa dan permanen.
4. Masalah Disiplin Gereja. Penerapan etika hidup Methodisme seperti yang digariskan dalam Disiplin Gereja Methodist—
antara lain larangan meminum alkohol dan mengisap rokok, ketatnya persyaratan menjadi anggota penuh, dan
tanggung jawab keuangan jemaat yang ditimpakan kepada anggota—menjadi hambatan bagi orang-orang Indonesia
pribumi (non-Tionghoa) untuk bergabung dengan Gereja Methodist. Di Palembang, orang-orang Manado dan Ambon
segan menggabungkan diri menjadi anggota penuh dengan alasan beratnya peraturan moral yang dituntut kepada
setiap anggota. Hal yang sama terjadi juga di kalangan orang Batak Toba. Bagi Misi Methodist, berlaku prinsip: biar
sedikit anggota, asalkan benar-benar menjadi orang Methodist. 240 Hal ini didasari wawasan teologis Methodisme yang
menekankan pertobatan pribadi dan kesucian hidup.
5. Masalah jemaat yang terpencar-pencar. Pada akhirnya, keberadaan Misi Methodist yang terpencar saling berjauhan
menjadi masalah besar dari segi pendanaan dan pembinaan. Banyak waktu, tenaga dan uang terbuang hanya untuk
biaya perjalanan lintas Jawa, Sumatra Selatan, Sumatra Utara, dan Kalimantan Barat. Seorang Pemimpin Distrik, yang
menurut tugasnya harus mengunjungi semua jemaat dalam distriknya paling sedikit tiga kali dalam satu tahun,
waktunya lebih banyak terbuang dalam perjalanan.
6. Masalah kekurangan dana. Sejak semula, masalah dana adalah salah satu masalah yang paling besar yang dihadapi Misi
Methodist. Tindakan mengikat kerja sama dengan THHK, misalnya, adalah didasarkan atas pertimbangan finansial.
Namun, dampak negatifnya terhadap pekerjaan misi tidak sedikit, sebab tenaga, pikiran, dan waktu para misionaris
terkuras di sekolah THHK. Pekerjaan misi hanya dilakukan pada akhir Minggu saja. Umumnya, para misionaris
Methodist Amerika datang ke lapangan misi hanya bermodalkan iman (faith mission), tanpa jaminan dana dari badan
misi. Bagi misionaris Methodist Amerika, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di lapangan misi, ada semacam
”Hukum Taurat Kesebelas” yang berbunyi: ”Pergi ke mana pun mengajarkan bahasa Inggris.”241 Artinya, sambil mengajar
bahasa Inggris, para misionaris dapat menghidupi dirinya untuk tugas mengabarkan Injil. Kerja sama Misi Methodist
dengan THHK merupakan salah satu bentuk penjabaran ”Hukum Taurat” itu.
7. Masalah hubungan antarkelompok etnis. Sebagai gereja yang warganya terdiri dari berbagai kelompok etnis yang
berbeda latarbelakang politik, budaya, bahasa, dan cara berpikir, sejak awal sudah terasa adanya kesenjangan
hubungan antarkelompok etnis. Pada tahun 1920, H.B. Mansell sudah memberikan indikasi tentang masalah ini ketika
ia berkata:
Kelemahan nyata kami tidak pernah dan tidak akan pernah berupa kurangnya sumber daya material amupun para pekerja,
tetapi kurangnya kesatuan persaudaraan di antara kami sendiri. Jika kami, para misionaris dan orang Tionghoa, orang
Batak, dan orang Melayu dan orang lainnya, adalah satu; jika masing-masing untuk semua dan semua untuk masing-
masing; jika kami, semua, satu dalam pelayanan bagi orang-orang ini, satu dalam pengurbanan, dan kasih bagi mereka dan
bagi satu sama lain, kami pun tidak akan punya kekurangan. 242
Pernyataan Mansell ini menekankan perlunya kesatuan pandang dan gerak di antara pekerja Misi Methodist di HB
yang terdiri dari berbagai kelompok etnis. Dengan singkat, sejalan dengan upaya perintisan dan penanaman bibit
Methodisme di HB, tertanam pula bibit-bibit masalah etnis yang dalam perkembangan kemudian menjadi masalah
yang cukup serius dalam Gereja Methodist di Indonesia.
(1928–1964)
P eriode 1928–1964 bagi pekerjaan Methodist di Sumatra sarat dengan kegiatan reorganisasi dan konsolidasi. Setelah
pekerjaan Methodist di Jawa dan Kalimantan Barat resmi ditutup tahun 1928 untuk selanjutnya dipusatkan di
Sumatra, Misi Methodist disibukkan dengan upaya-upaya pembenahan diri. Dari tahun 1928 hingga 1950-an
sebagian besar waktu, tenaga, dan pemikiran para misionaris Methodist di Sumatra tercurah pada upaya-upaya penyatuan
jemaat-jemaat Methodist Batak dengan Gereja Batak dan jemaat-jemaat Methodist Tionghoa dengan Konferensi Tionghoa
dari Gereja Methodist di Malaysia (Malaysia Chinese Mission Conference).1 Dengan kata lain, pada kurun waktu itu, tidak
ada niat Badan Misi Methodist mendirikan gereja Methodist yang independen di Sumatra, setidaknya di kalangan orang
Batak. Baru tahun 1950-an, Gereja Methodist di Sumatra mulai melakukan terobosan-terobosan baru. Pendirian dua
seminari yaitu Sumatra Methodist Chinese Bible School untuk Distrik Tionghoa di Medan dan Sekolah Pendeta/Sekolah
Guru Injil (SGI) untuk jemaat-jemaat Batak di Kisaran pada tahun 1950-an, adalah salah satu indikasi adanya
perkembangan. Tahun 1955, ketika Misi Methodist di Indonesia berusia 50 tahun, jumlah anggota penuh barulah 6.947
jemaat.2 Namun, tahun 19643 ketika GMI menjadi gereja otonom, jumlah anggota sudah 11.031 jemaat, yang menunjukkan
terjadinya loncatan kenaikan sebesar 58 %, selama sepuluh tahun.
A. MISI DI JAWA DAN KALIMANTAN DITUTUP
1. Situasi Gereja Methodist di Amerika Dasawarsa 1920-an
Setelah menderita pukulan ekonomi selama satu setengah tahun (1920–1921) menyusul berakhirnya Perang Dunia I,
Amerika berhasil memacu pertumbuhan ekonominya mulai tahun 1922 dan semakin menguat hingga tahun 1929. 4
Bersamaan dan sebagai akibat dari kemajuan ekonomi, industri dan ilmu pengetahuan, serta meluasnya sekularisasi dan
individualisme pada dekade pertama dan kedua abad-20, gereja-gereja di Amerika mengalami perubahan drastis.
Dibandingkan dengan abad sebelumnya, minat terhadap pekabaran Injil ke luar negeri mulai menurun, sejalan dengan
menurunnya citra negara-negara Barat di mata masyarakat Asia dan Afrika serta meningkatnya gerakan anti-Barat di
seluruh dunia seusai Perang Dunia I. 5 Gereja Methodist di Amerika terkena dampak erosi keagamaan ini. Salah satu indi-
kator gejala ini ialah menurunnya persembahan untuk dana pekabaran Injil Methodist (World Service) seperti tersirat dalam
tabel ini.
Kendati angka pemasukan tahun 1924–1927 mengalami sedikit peningkatan (lihat tabel), tetapi situasi keuangan Badan
Misi Methodist tetap dibebani oleh angka defisit. Keadaan inilah yang memaksa Badan Misi Methodist mengkaji ulang
kebijakannya dan mencari strategi paling baik untuk diterapkan terhadap pekerjaan di luar negeri demi menghindarkan
akibat yang lebih pahit. Pada rapat tahunan Badan Misi Methodist yang diadakan tahun 1924, dibentuk sebuah komisi
bernama The Commission of Ten,6 yang bertugas untuk meninjau serta mempelajari situasi dan kondisi semua lapangan
pekabaran Injil Methodist di seluruh dunia. Komisi ditugaskan membuat laporan dan rekomendasi-rekomendasi untuk
dibawakan dalam rapat tahunan Badan Misi Methodist untuk menjadi bahan pertimbangan dalam mencari upaya
pemecahan masalah. Sebagai acuan dalam melaksanakan tugas peninjauan ini maka digariskan enam butir pertimbangan:
1. Apakah itu merupakan proyek misionaris yang tepat dan masuk akal untuk didukung oleh Dewan Pengurus Misi kita?
2. Proyek apa saja, jika ada, yang hasilnya tidak sebanding dengan biaya pemeliharaannya?
3. Bidang dan proyek mana saja yang bisa dijalankan dengan baik oleh komunitas atau organisasi lainnya?
4. Bidang dan proyek mana saja yang berada dalam posisi dapat menopang dirinya sendiri dan bagaimana kaitannya dengan
sistem pendanaan kerja kita sekarang?
5. Apakah ada aspek lain dari karya kami yang diyakini Komisi harus disampaikan kepada Dewan Pengurus kita?
6. Setiap pengeluaran yang ada harus disetujui oleh Komite Eksekutif.7
Pernyataan di atas mengandung kesadaran dan pemahaman tentang esensi gereja Kristen yang kudus dan am, yang
mestinya bekerja sama dalam lapangan pekabaran Injil ketimbang terlibat dalam sikap berkompetisi antarsatu denominasi
dengan denominasi lain. Sedikit banyak pikiran itu merupakan dampak positif dari gerakan ekumene yang mulai muncul
pada tahun 1910 dengan diadakannya Konferensi Edinburgh dan disusul dengan kelahiran International Missionary Council
di New York tahun 1921. 9 Dalam gerakan ekumene internasional yang dengan cepat berpengaruh pada seluruh gereja-gereja
protestan di dunia, Gereja Methodist mengambil peran aktif. John R. Mott seorang tokoh gerakan itu adalah seorang
Methodist dari Amerika yang dikenal cukup aktif dalam upaya mempersatukan tiga cabang gereja Methodist. 10
Pada saat ini, komunitas kita adalah satu-satunya badan Misi yang beroperasi di Hindia Belanda yang tidak bekerja sama dengan
Konsulat Misi.17
ZC menilai Misi Methodist tidak mau bekerja sama yang menurut Diffendorfer penilaian itu benar. 18 Menurut Bishop
Lowe, hubungan yang kurang akrab dengan ZC itu terjadi karena sejak semula Misi Methodist tidak pernah menerima
bantuan (subsidi) dari pemerintah HB melalui ZC—kecuali sedikit kepada Rumah Sakit Cisarua sejak 1919—sehingga Misi
Methodist yang bekerja di HB tidak merasa perlu menggabungkan diri dengan ZC. Lembaga itu hanya diperlukan, menurut
Lowe, bagi lembaga-lembaga Zending Belanda yang sebagian di antaranya hanya didukung satu atau dua jemaat di Belanda.
Sementara itu, bagi Misi Methodist, menurut Lowe, ”... mereka diperlakukan sama saja seperti ban serep.” 19 Boleh diduga
bahwa ZC melakukan tekanan kepada Misi Methodist karena ia sulit diajak bekerja sama. Dugaan ini diperkuat oleh
keterangan Bishop Lowe yang mengatakan:
... alasan utama dari tekanan itu adalah karena mereka (Zendingsconsulaat—pen.) merasakan beban pengeluaran kantornya
sangat besar, sehingga dengan senang hati akan menerima bantuan kita dalam hal itu. 20
Masalahnya ialah tahun-tahun antara 1925–1940 keadaan pemerintah HB sedang memasuki era yang paling geger.
Selain gerakan nasionalisme Indonesia semakin merepotkan pemerintah HB, masalah krisis ekonomi dunia (depresi) lebih
hebat memukul HB daripada Nederland. 21 Krisis politik dan ekonomi ini sedikit banyak berpengaruh pada keberadaan ZC,
sehingga diharapkan Badan Misi Methodist—seperti halnya badan-badan zending lain—dapat membantu keuangan ZC,
harapan yang ditampik Misi Methodist. Dugaan akan tekanan ini juga bisa dikaitkan dengan keterangan W.G. Shellabear 22
yang mengatakan:
Aku tidak lupa bahwa lewat Konsul Misi di Jawa muncul tekanan terhadap Uskup kita (Lowe—pen.) dan kukira juga pada
Diffendorfer untuk menarik para misionaris Methodist kita dari Jawa dan Kalimantan, serta membatasi pelayanan kita hanya di
Pantai Timur.23
Terlepas dari benar-tidaknya dugaan adanya tekanan-tekanan seperti disebutkan di atas, yang jelas Diffendorfer pada
bagian ketiga dari laporannya membentangkan evaluasi tentang pekerjaan Methodist di HB yang terdiri dari delapan butir
dan diringkas sebagai berikut:
1. Misionaris Methodist terpencar saling berjauhan satu sama lain di kalangan kelompok etnis dan bahasa yang berbeda-
beda. Untuk menangani pekerjaan pada daerah yang sedemikian luas, Misi Methodist hanya mempunyai delapan
keluarga misionaris ditambah empat orang misionaris perempuan, serta dibantu sejumlah pekerja pribumi dan
Tionghoa.
2. Dibandingkan dengan pekerjaan lembaga pekabaran Injil lain yang bekerja di HB, pekerjaan Methodist termasuk yang
amat kecil. Misalnya RMG, setelah 60 tahun bekerja sejak 1861 mempunyai 30 pendeta utusan, 10 suster, 11 misionaris
awam, dan itu telah mengalami penurunan besar sehabis Perang Dunia I. Badan zending NZG yang bekerja di Tanah
Karo mempunyai lima orang misionaris yang bekerja di daerah sempit dengan penduduknya hanya sekitar satu juta. Di
pulau Jawa saja, terdapat delapan Badan Zending yang keseluruhannya mempunyai sekitar 100 misionaris.
3. Situasi terpencarnya jemaat-jemaat Methodist, tenaga yang kurang cukup, dan masalah kesehatan para misonaris di
masa lalu, telah menyebabkan perubahan personel secara terus-menerus. Sejalan dengan itu, sistem berpindah-pindah
pekerja (itinerating system) yang diterapkan di suatu kawasan yang sedemikian luas dan heterogen, menyebabkan
bukan saja pemborosan tenaga, waktu dan biaya, tetapi juga gagal menciptakan fondasi yang kuat bagi Gereja
Methodist di HB.
4. Sejalan dengan faktor-faktor pemencaran tenaga, kepelbagaian latar belakang kelompok etnis dan bahasa serta
sedikitnya personel yang tersedia, Gereja Methodist tidak berhasil memberi sumbangan yang cukup berarti terhadap
usaha pengkristenan negeri ini. Dapat dikatakan bahwa pekerjaan Methodist sebagian besar adalah di kalangan orang
Tionghoa yang merupakan kelompok imigran yang tetap dalam situasi berpindah-pindah, dan hal ini menyebabkan
buah pekerjaan Methodist tidak bisa bertumbuh dengan normal.
5. Kondisi misionaris dan jemaat-jemaat yang berpencar itu tidak menolong terhadap terciptanya kebersamaan untuk
membina suatu tatanan sosial masyarakat kristiani. Kalau kondisi seperti itu terus dibiarkan, tidak ada kemungkinan
misi Methodist mengalami kemajuan. Jika dibandingkan dengan pekerjaan RMG di Tanah Batak, setelah 60 tahun
bekerja hanya di kalangan satu kelompok etnis, mereka telah mampu menciptakan masyarakat kristiani dengan
anggota 225.000, memiliki 50 orang pendeta Batak dan 700 orang guru-zending.
6. Terasingnya misionaris Methodist satu sama lain sangat tidak menolong terhadap terciptanya semangat saling
pengertian. Seorang misionaris paling banyak bertemu dua kali dalam setahun dengan misionaris lainnya, yaitu sekali
waktu konferensi tahunan dan sekali waktu rapat Finance Committee. Lebih jauh para misionaris tidak merasa puas
dengan keadaan masa kini.24
7. Misi Methodist tidak mungkin dapat berbuat banyak menyangkut pengadaan dan penyaluran bahan literatur. Bahan-
bahan literatur yang dibutuhkan dalam lapangan seluas dan seheterogen misi Methodist di HB tidak boleh tidak harus
dipesan dari berbagai sumber.
8. Dalam situasi demikian biaya administrasi dan transportasi ternyata jauh lebih besar daripada jumlah biaya yang
diperlukan untuk membiayai pekerjaan-pekerjaan Methodist di lapangan. Misalnya, untuk biaya pembangunan dan
gaji.
Dengan evaluasi dan argumentasi di atas, akhirnya Diffendorfer tiba pada bagian inti laporannya dan merumuskan satu
rekomendasi mengenai masa depan Misi Methodist di HB:
Rekomendasi:
Setelah mempertimbangkan secara hati-hati semua faktor di muka, direkomendasikan kepada Dewan Pengurus Misi Luar
Negeri dan Serikat Wanita Misionaris Luar Negeri bahwa pekerjaan kami di Hindia Belanda akan dikonsolidasikan di Wilayah
Konferensi Misi Sumatra Utara sekarang, dan mungkin juga di Sumatra Selatan, dan bahwa hal ini diadopsi oleh kami sebagai
sebuah Misi kami di Hindia Belanda.25
3. Realisasi Penutupan
Pada 25–27 Mei 1927 bertempat di Singapura, atas panggilan Bishop Lowe diadakan sidang Field Committee dari NIMC yang
dihadiri oleh A.V. Klaus, Mark Freeman, C.M. Worthington, H.C. Bower, dan R. L. Archer yang mengambil tiga keputusan:
1. Direkomendasikan agar diadakan penyusunan kembali seluruh karya misi kita di wilayah Hindia Belanda.
2. Garis arah ini akan dikonsentrasikan di wilayah pantai Timur Sumatra; tetapi tidak boleh mengganggu Palembang.
3. Berbagai komite yang berbeda ditunjuk untuk membuat pendekatan sementara terhadap kelompok-kelompok misi Belanda
tertentu dan membahasnya dengan Konsul misi. 26
Menurut Bishop Lowe, proses persidangan yang memakan waktu dua hari penuh itu akhirnya dengan suara bulat
menerima keputusan di atas.27 Hal itu diakui Archer (Pimpinan Misi Methodist di Sumatra Utara) bahwa ketika sidang
membahas rekomendasi Diffendorfer itu, ”... mereka bertindak sesuai dengan yang didiktekan dari penilaian terbaik
mereka”.28 Dugaan bahwa keputusan itu seperti dipaksakan 29 secara otoriter adalah kurang beralasan—tidak dapat
dipungkiri juga bahwa dalam sistem pemerintahan Gereja Methodist, kuasa Bishop dan Sekretaris Badan Misi Methodist di
New York besar sekali—apalagi jika diingat bahwa anggota Finance Committee bukannya orang-orang baru di lapangan misi
di HB.30
Pada November 1927, Diffendorfer mengajukan proposalnya kepada rapat tahunan Badan Misi Methodist di Desember
1927 yang ternyata diterima. Selanjutnya, Rekomendasi itu dibawakan ke General Conference yang berlangsung pada Mei
1928 di Kansas City, yang ternyata juga disahkan. Maka, resmilah sejak Mei 1928, Misi Methodist menarik diri dari Jawa dan
Kalimantan Barat setelah 23 tahun bekerja di sana.
Sebagai realisasi penutupan misi Methodist di Jawa dan Kalimantan Barat, sebagian anggota jemaat dialihkan ke dalam
asuhan badan zending lain (NZV di Jawa Barat dan NZG di Jawa Timur) dan ada juga (jemaat Mangga Besar dan Bogor)
yang tidak mau dialihkan melainkan ingin membentuk gereja baru secara mandiri. Ada dua faktor yang menyebabkan
jemaat-jemaat Mangga Besar dan Bogor tidak bersedia dialihkan ke dalam asuhan NZV. Pertama, dengan penutupan Misi
Methodist di Jawa muncul kesan negatif terhadap zending di kalangan jemaat-jemaat itu, sehingga mereka tidak mau
bergabung dengan badan zending mana pun. Kedua, perbedaan teologi yang menyangkut pemahaman gereja dan tata
gereja antara jemaat-jemaat yang berlatar belakang Eropa dengan jemaat-jemaat yang berlatar belakang Amerika juga
menjadi ganjalan untuk penggabungan itu.31
Jika direnungkan lebih dalam, tindakan penutupan itu memang menimbulkan dampak yang sangat menyedihkan
kepada jemaat-jemaat, pelayan-pelayan pribumi maupun kepada para misionaris, yang sudah berpuluh tahun menyerahkan
diri untuk misi di Jawa dan Kalimantan Barat. Kesedihan itu dengan gamblang dilaporkan A.V. Klaus pada konferensi NIMC
terakhir yang dilakukan di Bogor pada 7–8 Desember 1927. Antara lain, Klaus melukiskan:
Selama paruh pertama tahun ini pekerjaan kami dilakukan seperti biasanya. Lalu datang pengumuman bahwa kami harus
menghentikan karya kami di Jawa. Sejak itu para pekerja kami tidak bersemangat untuk melakukan pekerjaan yang tampak
masih banyak harus dikerjakan itu. Kebanyakan guru dan pengkhotbah segera menganggap bahwa mustahillah bagi mereka
untuk bekerja di Sumatra.32
Masalahnya adalah keputusan ini diambil pada tingkat atas tanpa melibatkan jemaat dan pekerja Asia dalam proses
pengambilan keputusan itu. Kebijakan demikian adalah lazim pada zaman zending, bahwa segala yang menyangkut metode
dan strategi pekabaran Injil di lapangan ditentukan oleh Badan Misi yang bersangkutan. Jemaat-jemaat dan pekerja di
lapangan tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali pasrah kepada kenyataan. Bagaimanapun juga sedikit banyaknya tin dakan
penutupan ini mempunyai dampak negatif terhadap pekerjaan Methodist di Sumatra di kemudian hari. Salah satu dampak
paling jelas ialah, selama tiga dasawarsa (1930–1950-an) Misi Methodist hampir terombang-ambing di antara pilihan:
mendirikan gereja Methodist atau bergabung dengan gereja Batak.
Methodisme memiliki sebuah pesan khusus bukan hanya bagi orang non-Kristen tetapi juga orang kristen. Banyak orang Batak
yang disebut Kristen masih belum mengalami kekristenan sebagai suatu pengalaman di hatinya, di mana tanpa hal itu mereka
tidak akan pernah dapat menghadapi penentangan agama-agama Asia lainnya.34
Menarik untuk diperhatikan, Misi Methodist melihat orang Kristen Batak yang bermigrasi ke Sumatra Timur, selain
perlu diselamatkan dari tekanan-tekanan agama Islam, juga masih perlu diinjili sedemikian rupa sehingga mereka dapat
mengalami dan menghayati kekristenan itu. Ajaran ini adalah salah satu ajaran pokok Methodist yang menekankan aspek
pengalaman dalam keselamatan.35 Bagian keenam laporan Diffendorfer menyangkut proses pelaksanaan pemusatan misi di
Sumatra. Ditegaskan bahwa sebelum tindakan pemusatan dilakukan, konsultasi dengan pihak ZC, badan-badan zending,
dan pemerintah sangat diperlukan. Akhirnya diharapkan bahwa dengan pemusatan Misi Methodist di Sumatra maka:
Kami memiliki keyakinan yang mendalam bahwa hasilnya akan lebih permanen, dan memiliki jangkauan yang lebih
jauh,dibandingkan yang dapat kita capai lewat kehadiran kita yang begitu bertebaran sehingga memiliki akibat yang lemah di
ladang yang sangat kaya akan kesempatan ini. 36
Konferensi Agung (General Conference) yang berlangsung 1–29 Mei di Kansas City, Missouri, AS, mengambil keputusan
tentang penyatuan kedua wilayah Konferensi (NIMC dan NSMC) yang selengkapnya berbunyi:
Konferensi Misi Sumatra Utara dan Konferensi Misi Hindia Belanda, mungkin, selama masa empat tahun, dapat muncul sebagai
sebuah Konferensi Misi yang dinamakan sebagai Konferensi Misi Sumatra ... Dalam hal ini, Konferensi Misi akan mencakup
Pulau Sumatra dan Bangka.37
Untuk merealisasi keputusan itu, pada 25–28 Januari 1929 bertempat di Medan, diadakan sidang pertama Sumatra
Mission Conference yang dipimpin Bishop Edwin F. Lee yang menggantikan Bishop Lowe. Komposisi anggota SMC terdiri
dari sembilan keluarga misionaris, masing-masing Harry C. Bower, Raymond L. Archer, Edward N. Dabritz, Newton T.
Gottschall, Carel J. Hamel, Armin V. Klaus, Agus H. Prussner, Paul J. Stamer, Charles M. Worthington; 38 tujuh Pendeta
Batak, yaitu David Hutabarat, Luther Hutabarat, Matheus Hutabarat, Jethro B. Manullang, Cleopas Lumbantobing, Lamsana
Lumbantobing, dan Stephanus Lumbantobing; 39 dan tiga pendeta Tionghoa, yaitu Diong Hong Sek, Lim Hong Hun, dan
Ong Lim Eng. Tenaga ini dilengkapi lagi dengan lima orang misionaris perempuan dan sejumlah guru-guru Injil pribumi
dan Tionghoa.40 Perlu dicatat gambaran jemaat Methodist pada saat pemusatan di Sumatra itu adalah: 466 anggota persiapan
dan 779 anggota penuh (jumlah 1245). Pada konferensi itu daerah pelayanan Sumatra dibagi menjadi tiga distrik: (1) Distrik
Medan dipimpin A.V. Klaus (meliputi Medan, Binjai, Pangkalan Berandan, dan sekitarnya); (2) Distrik Tebing Tinggi
dipimpin A.H. Prussner (meliputi Tebing Tinggi dan sekitarnya, Kisaran, Tanjung Balai, sampai ke Labuhan Batu); (3) Distrik
Palembang dipimpin H.C. Bower (meliputi Palembang dan sekitarnya sampai ke Teluk Betung). 41
Tujuannya bersifat religius, filantropik, dan pendidikan, dimaksukan untuk menyebarkan secara umum anugerah agama
Kristen, dengan mempromosikan dan mendukung seluruh fase karya gereja dam aktivitas misionaris di negara-negara asing. 45
Namun, oleh pengaruh konferensi Yerusalem, tujuan itu mengalami perubahan prinsipiil dalam General Conference
pada Mei 1928 menjadi berikut ini.
Tujuan dan kuasa utama Misi-Misi Luar Negeri adalah menyebarkan nama Tuhan Yesus Kristus agar dikenal seluruh manusia
sebagai Juruselamat Ilahi mereka, untuk mendorong mereka menjadi murid-murid-Nya, dan mengumpulkan para murid ini ke
dalam gereja-gereja Kristen yang, di bawah tuntutan Allah, akan berbuah sendiri, menopang diri dan mengatur dirinya sendiri;
untuk bekerja sama selama diperlukan dengan gereja-gereja ini untuk menginjili negerinya masing-masing, dan
memperlihatkan roh dan prinsip-prinsip Kristus dalam kehidupannya dengan sesama mereka. 46
Dalam rumusan tujuan sebelum tahun 1928 tersirat pemahaman bahwa Badan Misi Methodist berupaya
mengembangkan kekristenan ke seluruh dunia yang berpusat (home base) di Amerika. Namun, dalam rumusan tahun 1928
tampak bahwa tujuan Badan Misi Methodist adalah mengupayakan lapangan-lapangan misi di berbagai negara di luar
Amerika menjadi gereja yang self-supporting, self-propagating. dan self-governing. Konferensi Agung tahun 1928
menekankan bahwa tugas Gereja Methodist yang berpusat di Amerika bukan lagi memerintah gereja-gereja di luar Amerika
melainkan bekerja sama dengan gereja-gereja muda itu untuk mengembangkan misi di masing-masing negara. 47
Masalah ketiga dalam perkembangan dunia yang berpengaruh terhadap misi Methodist di Indonesia adalah peristiwa
depresi tahun 1929 yang melanda perekonomian Amerika dan yang pengaruhnya segera menjalar ke seluruh dunia,
termasuk Indonesia.48 Situasi depresi ini ikut memperburuk jalannya misi pekerjaan Methodist di Hindia Belanda, karena
selain bantuan yang menurun,49 para misionaris juga tidak bisa ditambah, malah mereka yang menjalani masa cuti tahun
1930-an terpaksa gagal kembali ke lapangan karena masalah dana.50
Dalam konteks seperti digambarkan di atas, para misionaris sebagai penanggung jawab pekerjaan Methodist di
Sumatra mulai berbenah diri. Segera setelah proses pemusatan misi di Sumatra dimulai dengan terbentuknya Sumatra
Mission Conference tahun 1929, para misionaris diinstruksikan oleh Badan Misi Methodist di Amerika untuk segera
menyusun garis-garis besar program kerja. Sebagai acuan dalam penyusunan program, Badan Misi Methodist menggariskan
bahwa sasaran yang akan dituju misi Methodist adalah: ”untuk membangun sebuah gereja pribumi di Sumatra Utara yang
dapat menopang dirinya sendiri, berbuah dan independen.” 51
Perlu dicatat bahwa gagasan membentuk gereja pribumi yang mandiri di Sumatra bukan pertama-tama hendak
mendirikan Gereja Methodist yang mandiri, melainkan cenderung mengacu pada gagasan penyatuan Misi Methodist
dengan Gereja Batak.
1. Medan 95
2. Binjai 41
3. Tebing Tinggi 14
4. Pematangsiantar 15
5. Tanjungbalai 14
6. Bagansiapi-api 38
7. Palembang 4052
JUMLAH 257
Ditinjau dari segi kuantitas buah pekerjaan Methodist di kalangan orang Tionghoa di Sumatra selama hampir 25 lima
tahun (1905–1929) termasuk kecil. Sampai memasuki dasawarsa tahun 1950-an, perkembangan pekerjaan Methodist di
kalangan orang Tionghoa sangat lambat. Paling sedikit dapat dicatat enam masalah pokok yang dihadapi Misi Methodist ke
kalangan orang Tionghoa di Sumatra pada periode 1929–1950, yang menyebabkan sulitnya perkembangan itu. Pertama,
kelompok etnis Tionghoa di Sumatra Timur terdiri dari berbagai latar belakang bahasa. Kelompok etnis Tionghoa yang lahir
di HB lebih mampu berbahasa Melayu atau Inggris ketimbang bahasa Tionghoa. Sementara itu, mereka yang lahir di
Tiongkok dan bermigrasi ke Sumatra yang berasal dari propinsi berbeda-beda mempunyai bahasa berbeda-beda pula,
seperti Hokkien, Hakka, Tao Chu, Hunghwa, Hylam, Kanton, dan Swatow. (Dari dialek-dialek ini, Hokkien adalah
komponen paling besar di Sumatra Utara.) Lambat laun kelompok singkeh (pendatang baru) ini melampaui jumlah
kelompok peranakan. Kelompok-kelompok Tionghoa yang berkumpul pada satu daerah sesempit Sumatra Timur
(setidaknya jika dibandingkan dengan luas daerah asal mereka di Tiongkok) membuat masalah bahasa ini semakin rumit.
Karena keterbatasan dana dan daya, sulit bahkan tidak mungkin bagi Misi Methodist menjangkau semua bahasa itu,
sehingga diambil kebijakan untuk mengutamakan dialek Hokkien. Alasannya, karena orang Hokkien datang lebih awal,
maka dialek itu telah menjadi bahasa dagang bagi kelompok etnis Tionghoa, sehingga lebih mungkin orang Kanton—
sebagai contoh—mengerti bahasa Hokkien daripada orang Hokkien mengerti bahasa Kanton. 53 Di antara para misionaris
Methodist yang bekerja di Sumatra hingga tahun 1930, tidak ada yang bisa berbahasa Tionghoa. Mereka umumnya bisa
berbahasa Melayu—selain bahasa ibunya—sedangkan bahasa Melayu di Sumatra tidak dapat dipakai menjangkau
komponen terbesar masyarakat Tionghoa. Selain bahasa Hokkien, bahasa Melayu dan Inggris juga dipergunakan untuk
menjangkau masyarakat Tionghoa, terutama di kota Medan. Tahun 1930, N.T. Gottschall mengorganisir jemaat berbahasa
Inggris di Medan dengan anggota penuh 14 orang. Boleh dikatakan inilah cikal bakal jemaat Methodist pertama di Medan
yang mengalami transformasi menjadi Wesley Methodist Church (jemaat GMI satu-satunya yang berbahasa Inggris di
Medan).54 Anggota jemaat ini adalah mereka yang terkait dengan sekolah Methodist berbahasa Inggris di Medan, baik
sebagai murid atau sebagai guru.55 Di antara mereka, orang Tionghoalah yang paling dominan. Atas prakarsa A.V. Klaus
(yang mahir berbahasa Indonesia), pada tahun 1931 kebaktian bahasa Melayu (Indonesia) sudah dimulai sekali sebulan di
Medan khusus untuk menjangkau orang-orang Tionghoa peranakan yang tidak bisa berbahasa Tionghoa (Hokkien atau
Kanton).56 Inilah cikal bakal jemaat Methodist yang berbahasa Indonesia di Medan yang sekarang menjadi GMI Anugerah di
Jalan Madong Lubis.57 Tahun 1939 telah ditetapkan Pdt. David Hutabarat sebagai pendeta jemaat berbahasa Melayu. 58 Perlu
dicatat, kebaktian-kebaktian dalam bahasa Hokkien, Batak Toba, Inggris, dan Melayu hingga tahun 1950-an dilaksanakan
dalam gedung gereja yang sama yang terletak di Jalan Hakka, satu-satunya gereja milik Misi Methodist di Medan. 59 Secara
singkat boleh dikatakan bahwa untuk melayani masyarakat Tionghoa di Medan, dipergunakan bahasa Tionghoa (Hokkien),
Inggris, dan Indonesia. Kalaupun kemudian kedua jemaat berbahasa Inggris dan Indonesia itu mempunyai anggota dari
orang Batak dan lain-lain, hal itu adalah perkembangan belakangan, karena semakin lama semakin banyak juga orang Batak
yang tidak mahir berbahasa Batak, terutama mereka yang sudah lahir di luar Tanah Batak.
Kedua, jemaat-jemaat Tionghoa tidak terkoordinasi dengan baik: masing-masing hidup dan membuat program sendiri-
sendiri. Masalahnya, sebagaimana dikatakan tadi, tidak ada misionaris yang cukup mahir berbahasa Tionghoa untuk
membimbing mereka. Untuk mengatasi masalah ini Misi Methodist di Sumatra mengajukan proposal kepada Badan Misi
Methodist di Amerika agar mengutus seorang misionaris khusus untuk orang Tionghoa. Pada Oktober 1930, Egon Ostrom, 60
seorang misionaris yang berasal dari Swedia 61 tiba di Sumatra. Untuk lebih memperlengkapinya melayani masyarakat
Tionghoa, pada Februari 1931 ia dikirim ke Amoy, Tiongkok, untuk belajar bahasa Hokkien selama delapan bulan.
Sepulangnya ke Indonesia, Ostrom ditugaskan menjadi District Missionary for Chinese Work yang berkedudukan di Tebing
Tinggi, sebab tempat itu lebih strategis untuk menjangkau jemaat-jemaat Tionghoa di Sumatra Timur. Jabatan ini
dipegangnya tahun 1932–1938. Sejak kehadiran Ostrom, sudah tersirat program Misi Methodist untuk mengorganisir
jemaat-jemaat Tionghoa menjadi satu Distrik dan bahkan lambat laun menjadi satu Konferensi Misi, seperti yang dilakukan
di Malaya.62 Masalah jemaat Tionghoa yang tidak terkoordinasi ini diungkapkan Klaus dalam sidang SMC tahun 1931:
Benar-benar tidak ada koordinasi di antara jemat-jemaat Tionghoa kita di dalam Misi. Tidak ada program terpusat yang
dijalankan. Kami tidak dapat mengorganisasikan sebuah konferensi bagi para pekerja kami dengan menggunakan bahasa orang
Tionghoa.63
Kondisi jemaat yang hidup sendiri-sendiri itu diperburuk oleh situasi sosial-ekonomi yang terjadi saat itu. Pada
dasawarsa 1930-an, orang Tionghoa di Sumatra (khususnya Sumatra Timur) berada dalam posisi sulit akibat tekanan
ekonomi sebagai dampak depresi. Baik mereka yang berprofesi sebagai pedagang maupun yang bekerja di perkebunan
sangat terpukul oleh situasi itu. Akibatnya, pada dasawarsa 1930-an banyak orang Tionghoa yang kembali ke Tiongkok atau
ke negara tetangga Malaysia.64 Situasi ini sedikit banyak berpengaruh kepada jemaat Methodist Tionghoa. Misalnya, jemaat
Medan pada tahun 1928 mempunyai 95 orang anggota penuh, tetapi tahun 1932 berkurang menjadi 60 orang. 65 Tahun 1932,
Klaus selaku Pimpinan Distrik Asahan melaporkan arti kehadiran Ostrom bagi pekerjaan Methodist di kalangan Tionghoa
dengan mengatakan:
Keberhasilan karya Saudara Ostrom jauh melebihi perkiraan kami. Di sepanjang wilayah pantai, orang Tionghoa merasakan
pengaruh dari pesan kristiani.66
Walau menghadapi berbagai tantangan, 67 Ostrom bekerja keras membenahi jemaat-jemaat Tionghoa terutama untuk
menata organisasi jemaat menurut sistem pemerintahan Methodist: mempunyai majelis jemaat, mengadakan Konferensi
Kuartal yang dipimpin District Superintendent (DS), dan sebagainya. Sebelum kedatangan Ostrom, jemaat-jemaat
Tionghoa belum ditata berdasarkan sistem pemerintahan Gereja Methodist, karena umumnya pemahaman para pekerja
Tionghoa tentang Gereja Methodist sangat dangkal. 68 Untuk mengonsolidasikan pekerjaan di kalangan Tionghoa, tahun
1938, semua jemaat Tionghoa di Sumatra Timur—dalam hal ini Palembang tidak termasuk—dior ganisasi menjadi satu
Distrik dengan nama Chinese District, dan Ostrom ditetapkan sebagai Pemimpin Distrik. Gambaran jemaat Tionghoa pada
saat pembentukan Distrik Tionghoa adalah berikut.
Jika ditambah dengan jemaat Tionghoa di Palembang yang saat itu mempunyai anggota penuh 66 maka jumlah itu menjadi
389, yang berarti ada kenaikan 51 % selama sepuluh tahun. Dari angka-angka itu tampak bahwa pekerjaan Methodist di
kalangan Tionghoa sangat sulit berkembang.
Selain merupakan buah pekerjaan Ostrom, pertambahan anggota ini terjadi karena khotbah-khotbah John Sung, yang
selama satu minggu pada Oktober 1935 memimpin kebaktian kebangunan rohani di Medan. John Sung, yang oleh Vera
Edborg Ostrom disebut sebagai ”Johannes Pembaptis” Tionghoa, menantang orang-orang Tionghoa di Medan yang dikenal
sangat materialistis untuk bertobat terutama dari kebiasaan main judi, mengisap candu, dan poligami. Vera Edborg Ostrom
mencatat peristiwa itu demikian:
Kaum muda dalam komunitas Tionghoa dan sekolah-sekolah Inggris dibakar dengan semangat untuk menjadi misionaris dan 30
kelompok pekabar Injil dibentuk di mana anggotanya bersumpah kepada dirinya sendiri untuk membuat Kristus dikenal di
Medan lewat perkataan dan perbuatan mereka.70
Ketiga, masalah kekurangan pekerja gereja. Masalah ini merupakan masalah kronis bagi pekerjaan Methodist di
kalangan Tionghoa, sebab sejak permulaan terasa sangat sulit mendapatkan tenaga dari kalangan orang Tionghoa untuk
bekerja di Sumatra. Satu-satunya pendeta yang pernah sangat diandalkan untuk jemaat Tionghoa dan yang boleh disebut
sebagai ”bapak jemaat Tionghoa Medan” adalah Pdt. Ong Lim Eng. Karena besar peranannya pada jemaat Tionghoa khusus
di Medan, Binjai, Berastagi dan Pematang Siantar, maka sedikit uraian tentang latar belakang pribadinya perlu diberikan.
Ong Lim Eng71 lahir di Chioh Be, propinsi Hokkien, Tiongkok, pada tahun 1873. Sebelum tiba di Medan pada tahun 1919, ia
telah melayani sebagai pekerja di Gereja Kristus Chang Chow, Tiongkok, selama 15 tahun. Tahun 1923 Ong Lim Eng
menggabungkan diri dengan Misi Methodist di Sumatra dan ditempatkan melayani jemaat Tionghoa di Medan yang
dipegangnya hingga tahun 1936 saat ia meminta pensiun karena alasan kesehatan yang kurang. Kendati sudah pensiun dan
memilih tinggal di Berastagi, hatinya tetap terbeban untuk mencari jiwa-jiwa baru orang Tionghoa di sana. Atas
pelayanannya di masa tua, lahirlah jemaat Methodist di Berastagi. Setelah tiga tahun di Berastagi, tahun 1939 ia pindah ke
Pematang Siantar untuk memenuhi permintaan jemaat di sana. Namun, karena kondisi kesehatan yang sudah lama sangat
buruk, ia meninggal di Pematang Siantar tahun 1939. 72
Selain Ong Lim Eng, pendeta-pendeta Tionghoa yang melayani di Sumatra Utara adalah yang didatangkan dari
Tiongkok untuk sementara waktu, seperti Pdt. Lim Hong Hun dan Un Yong Fan. Selain karena mereka melayani untuk
beberapa tahun saja, latar belakang mereka yang bukan Methodist juga menjadi masalah dalam mendewasakan dan
mengembangkan jemaat-jemaat Methodist di Sumatra. Selain Ostrom dan Ong Lim Eng, tenaga yang diandalkan untuk
melayani jemaat-jemaat Tionghoa adalah tenaga kaum awam yang belum dibekali dengan pengetahuan melayani. 73
Absennya jemaat Tanjung Balai dan Pematang Siantar dari tabel di atas disebabkan oleh kekurangan tenaga ini. Karena
masalah ini pula, jemaat-jemaat Tionghoa di Sumatra Utara pada tahun 1932–1936 dialihkan ke dalam asuhan Malaysia
Annual Conference, dengan harapan bahwa dari Malaya dapat didatangkan tenaga melayani di Sumatra Utara. 74 Mengenai
masalah ketenagaan ini, Ostrom tahun 1932 mencatat:
Sejak awal, usaha untuk mendirikan sebuah gereja di antara orang Tionghoa di Sumatra sangat sulit. Dari banyak sudut
pandang, jauh lebih mudah untuk melakukannya di antara penduduk yang sama di negeri asalnya. Pikiran materialistik yang
umum dimiliki orang Tionghoa di wilayah ini membuat mereka tidak terlalu peduli dengan nilai-nilai yang bersifat spiritual dan
abadi, terutama mengingat banyaknya kesempatan yang ditawarkan di tempat ini untuk memenuhi nafsu duniawi mereka.75
Karena hasrat yang sangat tinggi mencari uang—sebagai motif utama orang Tionghoa bermigrasi—sangat sulit
merekrut orang Tionghoa di Sumatra Utara menjadi pekerja gereja. Pekerja-pekerja yang didatangkan dari Tiongkok atau
Malaya hanya bisa menjawab kebutuhan sementara, karena banyak di antara mereka yang kembali ke Tiongkok atau
Malaya. Untuk sekadar mengurangi masalah kekurangan tenaga ini, tahun 1939 Ostrom membuka semacam ”kursus
Alkitab” di Tebing Tinggi. Rencana ini dilaporkannya pada sidang SMC tahun 1939 sebagai berikut:
Kebutuhan akan pekerja Tionghoa sangat terasa sejak awal pekerjaan kami di Pantai timur. Aku sampai pada kesimpulan bahwa
satu-satunya cara untuk memperoleh pekerja yang cocok dalam bidang ini, adalah dengan melatih sendiri mereka. 76
Tahun 1939, tiga orang dididik sebagai calon pekerja jemaat. Semula direncanakan bahwa Ostrom dan Ong Lim Eng
akan berkerja sama dalam proyek ini, tetapi karena Ong Lim Eng meninggal pada tahun itu juga, beban itu dipikul oleh
Ostrom sendiri. Selama satu tahun, kursus ini berjalan secara paruh waktu karena para siswa belajar sambil melayani. Dari
ketiga calon itu, peserta terbaik yakni Yap Thian Peng kemudian menjadi pendeta Methodist melalui jalur Kursus
Konferensi.77
Keempat, rencana-rencana Ostrom untuk mengembangkan jemaat-jemaat Tionghoa di Sumatra Utara kandas akibat
meletusnya Perang Dunia II (1939–1945), terutama setelah pendudukan Jepang atas Indonesia tahun 1942. Sekalipun Ostrom
dapat terus bertahan di Sumatra selama pendudukan Jepang (1942–1945) 78—karena dia adalah orang Swedia yaitu negara
yang netral dalam Perang Dunia II—tetapi pekerjaan Methodist di kalangan orang Tionghoa tetap mengalami sejumlah
hambatan besar karena pendudukan Jepang itu: (1) Gerak Ostrom dibatasi dan tetap dimata-matai oleh polisi Jepang. Jika
Ostrom hendak mengadakan perjalanan ke luar Tebing Tinggi, ia harus minta izin dari kempetai (polisi Jepang), dan di
dalam surat permohonan izin itu harus dicantumkan secara konkret: tempat yang akan dituju, lamanya perkunjungan,
nama-nama orang yang akan dikunjungi, rumah tempat makan dan menginap, dan sebagainya. Dalam praktiknya tidak
jarang permohonan Ostrom untuk pergi ke luar kota ditolak, yang membuat pekerjaannya praktis lumpuh. Yang paling
menyedihkan Ostrom dan orang-orang Kristen Tionghoa adalah larangan Jepang kepada Ostrom untuk berkomunikasi
dengan orang Tionghoa, karena Jepang khawatir bahwa di antara mereka terjadi pembicaraan mengenai situasi politik yang
tidak dikehendaki Jepang. Bahkan Ostrom diharuskan untuk tetap berbahasa Melayu dalam percakapan sehari-hari dan
dalam percakapan telepon dilarang berbahasa Swedia apalagi berbahasa Tionghoa. (2) Orang-orang Tionghoa yang
merupakan lapangan pelayan Ostrom mendapat tekanan dari Jepang. Karena Jepang juga berperang dengan negeri
Tiongkok, maka logis bila Jepang tetap merasa curiga terhadap orang Tionghoa di Indonesia. Tak lama setelah Jepang tiba
di Medan, terjadi suatu peristiwa yang menggegerkan orang Tionghoa di Medan dan sekitarnya. Pedang samurai Jepang
memenggal leher lima orang Tionghoa yang tertangkap sebagai samseng (penjahat kota) dan kepala yang telah lepas dari
badannya itu dipajang tak jauh dari Jalan Hakka, tempat gedung gereja Methodist berdiri. 79 Berbagai ”pukulan mental” yang
dilakukan Jepang segera tersiar secara luas, yang membuat orang Tionghoa takut sehingga mereka mencari persembunyian
ke luar kota. Situasi ini berpengaruh besar pada kehidupan jemaat-jemaat Methodist Tionghoa dan pengikut kebaktian
Minggu makin lama makin sedikit.80 (3) Sama seperti pengalaman badan-badan zending di Indonesia bahwa selama
pendudukan Jepang gereja menderita dari segi ekonomi, demikian juga dialami oleh Misi Methodist, khususnya
pekerjaannya di kalangan Tionghoa. Sebagai bendahara Misi, Ostrom harus bertanggung jawab untuk menyediakan
bantuan nafkah untuk para pekerja (Batak dan Tionghoa) setiap bulan. Situasi keuangan ini diperburuk lagi oleh penutupan
sekolah-sekolah Methodist, yang mengakibatkan puluhan guru kehilangan mata pencaharian, dan banyak dari mereka yang
datang kepada Ostrom untuk memohon bantuan berupa pinjaman. Karena hubungan dengan Badan Misi Methodist di
Amerika sudah diputus oleh Jepang, maka Ostrom dan para pekerja Methodist di Sumatra Timur termasuk para pekerja
Tionghoa sangat terpukul dari segi dana. Dalam situasi seperti itu—sebagai jawaban doa Ostrom—datanglah Lim Teng
Whi, seorang anggota jemaat Methodist Medan, menawarkan bantuan dana untuk dipinjam misi Methodist yang boleh
dikembalikan setelah perang berakhir. Uang ini bersumber dari sekelompok pengusaha Tionghoa yang prihatin melihat
situasi Misi Methodist khususnya dengan pergumulan Ostrom. Ada satu syarat yang diminta Lim Teng Whi dari Ostrom,
yakni agar sumber uang ini tidak diberitahukan kepada siapa pun juga. Ostrom setuju dengan syarat ini, karena ia tahu
Jepang pasti akan menindak setiap orang yang membantu pekerjaan Misi di kalangan orang Tionghoa, sehingga ia sangat
merahasiakan dan menyimpan kwitansi-kwitansi uang pinjaman ini dengan rapi. Kendati ada bantuan ini, kesulitan dana
tetap menjadi masalah, sehingga Ostrom harus menjual sebagian barang-barang pribadi untuk sekadar menyambung
hidup.81 Yang paling menyedihkan Ostrom lagi adalah, beberapa orang pekerja Tionghoa yang tadinya sangat aktif, tetapi
karena tekanan ekonomi, mereka beralih menjadi pedagang. Nyonya Ong Lim Eng dan Yap Thian Peng adalah pekerja yang
sempat beralih, walau kemudian kembali lagi ke pekerjaan gereja. (4) Sama seperti yang dilakukan Jepang terhadap badan-
badan misi lain di Indonesia, gedung-gedung gereja dan sekolah Methodist diambil alih Jepang menjadi markas tentara.
Mengenai kendala yang dihadapi Misi Methodist ke kalangan Tionghoa pada masa pendudukan Jepang ini, dalam
laporannya pada Konferensi tahun 1943 Ostrom mengatakan:
Banyak dari rencana pelayananku bagi orang Tionghoa gagal karena apa yang terjadi di sini pada paruh awal tahun lalu. Tidak
pernah sebelumnya prospek pelayanan terhadap orang Tionghoa terlihat secerah pada awal tahun lalu. Beberapa pekerja baru
segera tiba dan berbagai rencana dibuat untuk memulai pekerjaan di beberapa tempat. Ada begitu banyak kegembiraan di
hatiku, karena inilah kali pertama sejak aku datang ke Sumatra aku berada dalam posisi untuk melakukan sesuatu yang benar-
benar konstruktif bagi Distrik Tionghoa. Namun kemudian perang berkobar dan semua rencana harus dibatalkan hingga waktu
yang tidak dapat ditentukan.82
Kelima, peristiwa yang paling menyedihkan dan memukul pekerjaan Methodist di kalangan orang Tionghoa adalah
terbunuhnya Egon Ostrom pada 11 Desember 1945 di Tebing Tinggi dalam usia 45 tahun, sebagai korban revolusi
kemerdekaan yang sedang mendidih. Mengenai peristiwa terbunuhnya Ostrom ini perlu diberikan sedikit penjelasan.
Seperti telah dicatat di atas, kendati Ostrom diberikan izin untuk meneruskan pekerjaan di Sumatra Utara, tetapi ia
senantiasa dibayang-bayangi bahaya. Banyak pekerjaan Ostrom yang benar-benar sangat riskan dari segi politik saat itu,
antara lain: (1) Ostrom bekerja di kalangan orang Tionghoa yang adalah musuh Jepang; (2) Ostrom menerima bantuan dana
dari sekelompok pedagang Tionghoa; (3) Yang paling berbahaya adalah ia meringankan penderitaaan musuh-musuh Jepang
yang sedang diinternir yakni: orang Belanda, Inggris dan Eropa lainnya, dengan mengirim makanan dan pakaian ke penjara.
Untuk melakukan pekerjaan terakhir ini, Ostrom menggabungkan diri dengan Palang Merah Internasional dan ia
memperoleh sumbangan dari orang-orang Tionghoa di Tebing Tinggi baik dari anggota jemaat maupun para simpatisan.83
Setelah Jepang menyerah, situasi politik di Sumatra Utara menjadi kacau, karena roda pemerintahan negara Indonesia
yang baru diproklamirkan (17 Agustus 1945) itu masih belum lancar, sehingga jaminan keamanan belum dapat terwujud.
Berbagai laskar pemuda seperti Angkatan Pemuda Indonesia (API), Barisan Pemuda Indonesia (BPI), Tentara Keamanan
Rakyat (TKR), dan sebagainya muncul, yang bertindak sebagai penguasa lokal. Inilah awal dari sebuah revolusi kemerde-
kaan Indonesia.84 Para pemuda di Tebing Tinggi sudah lama mengamati kegiatan Ostrom yang sangat dekat dengan orang
Tionghoa dan orang Belanda dan Eropa lainnya. Prinsip pemuda pada waktu itu adalah: siapa membantu musuh adalah
musuh laskar; lebih bagus duluan membunuh daripada dibunuh. 85 Setelah tentara Sekutu tiba di Medan bulan Oktober
1945, Ostrom dan Ragnar Alm86 serta orang netral lainnya diperintahkan sekutu untuk berlindung di Medan di bawah
pengawasan sekutu menunggu saat mereka dipulangkan ke negara masing-masing. Tanggal 11 Desember 1945 Ostrom pergi
dengan terpaksa ke Tebing Tinggi, walau dilarang keras oleh rekannya Ragnar Alm dan kawan-kawan, karena alasan
keamanan. Alasan Ostrom untuk berkeras menembus bahaya itu adalah untuk membakar sejumlah dokumen, seperti
kwitansi sumbangan Palang Merah dari sejumlah orang Tionghoa di Tebing Tinggi. Jika dokumen itu jatuh ke tangan laskar,
nyawa para penyumbang itu akan lenyap. Ostrom berhasil membakar dokumen-dokumen itu, yang berarti juga
menyelamatkan jiwa sejumlah rekannya orang Tionghoa di Tebing Tinggi. Namun, ketika ia mau pulang ke Medan pada
sore harinya, dua orang pemuda menggiring Ostrom ke pinggir Sungai Padang, Tebing Tinggi, untuk membunuh Ostrom
yang sudah lama mereka curigai itu. Kedua pemuda ini (Soetan Baheran dan Anwar) membacok Ostrom dan membuang
mayatnya ke sungai dan tidak pernah ditemukan lagi. Dua hari setelah kematian Ostrom, pada 13 Desember 1945, sebagai
akibat konflik antara laskar Tebing Tinggi dengan pihak Jepang, tentara Jepang membantai penduduk Tebing Tinggi secara
membabi buta, dan menurut catatan Vera Ostrom kedua pembunuh Ostrom itu ikut terbunuh. 87
Kematian Ostrom membuat jemaat-jemaat Tionghoa di Sumatra Timur seperti domba tak bergembala. Sejak Ostrom
meninggal hingga Konferensi Tahunan Januari 1948 (yang berlangsung di Singapura), jemaat-jemaat Tionghoa tanpa
Pimpinan Distrik. Ketika Alm menyerahkan tugas Pemimpin Distrik kepada Pdt. Luther Hutabarat dan Pdt. David
Hutabarat di tahun 1945 untuk memimpin semua jemaat Batak di Sumatra Timur, Ostrom tidak dapat melakukan hal yang
sama kepada pendeta Tionghoa, karena tidak ada yang dianggap sanggup untuk menjadi Pemimpin Distrik. Karena itu,
sejak Januari 1948 jemaat-jemaat Tionghoa (Distrik Tionghoa) disatukan ke dalam Northern Malaya District dari Malaysia
Chinese Annual Conference, yang saat itu dipimpin Timothy Huang. Tindakan ini diambil sebagai kebijakan darurat.
Namun, pada Maret 1949 Distrik Tionghoa itu ditransfer kembali ke dalam asuhan SPAC di bawah pimpinan A.V. Klaus.
Keenam, kedudukan orang Tionghoa di Sumatra Utara selama perang revolusi menyulitkan perkembangan Methodist
di Sumatra Timur. Secara politis orang-orang Tionghoa di Sumatra Utara mengambil sikap memihak kepada tentara
Belanda selama berkecamuknya perang revolusi kemerdekaan. Orang-orang Tionghoa lebih suka pada tegaknya
pemerintahan Belanda di Sumatra Timur demi kepentingan dan keamanan orang Tionghoa untuk menjalankan roda
ekonomi seperti mereka lakukan sebelumnya. Untuk membantu pihak Belanda dalam konflik dengan laskar pemuda
Indonesia, pada awal tahun 1946 tentara sekutu membentuk satu pasukan pemuda-pemuda Tionghoa di Sumatra Timur
yang dinamai Poh An Tui. Tahun 1947 anggota pasukan ini telah berjumlah 1.000 orang yang tersebar di Langkat, Deli,
Serdang, Simalungun, dan Karo.88 Sikap orang-orang Tionghoa yang memihak kepada sekutu ini tentu menimbulkan kesan
kuat di kalangan para pejuang pribumi, termasuk orang-orang Batak di luar Methodist, bahwa orang Tionghoa bukanlah
kawan. Namun, di antara orang Tionghoa dan orang Batak yang ada dalam asuhan Misi Methodist tidak terjadi konflik
intern selama masa krisis politik ini. Orang Tionghoa dalam asuhan Misi Methodist memilih pasif selama bergejolaknya
perang revolusi kemerdekaan: tidak memihak Poh An Tui dan juga tidak pada revolusi kemerdekaan. Ketika jemaat-jemaat
Tionghoa tidak mempunyai pendeta lagi, di berbagai tempat, pendeta Batak melayani jemaat Tionghoa. Misalnya seperti di
Tebing Tinggi, pendeta Batak (Pdt. David Hutabarat) membantu melayani jemaat Tionghoa. 89 Dari sini nyata bahwa
hubungan kedua kelompok etnis dalam GMI cukup baik.
Dengan konsentrasi kita di Pantai Timur Sumatra, kecurigaan para pemimpin ini kelihatannya muncul kembali dan kesulitan
pun meningkat. Keadaan tegang, terutama di Tebing Tinggi 96 ... Kami memiliki sebuah jemaat kecil di sini, demikian pula Misi
Rhein Mission. Namun sikap sektarian sangat tinggi, sehingga pertengkaran dan perkelahian di antara anggota Methodist dan
Misi Rhein sering kali terjadi.97
Untuk mencegah konflik yang lebih tajam, Prussner berkali-kali menjumpai Warneck, pimpinan Gereja Batak di
Tarutung, untuk mencari jalan keluar dari masalah. 98 Prussner mengatakan bahwa ketiga pertemuan itu diliputi suasana
kecurigaan dari pihak RMG sehingga pertemuan-pertemuan itu tidak berhasil melahirkan jalan keluar. Malah selepas
pertemuan di Medan, Warneck menulis surat kepada Prussner meminta agar Misi Methodist menarik diri dari kalangan
orang Batak, dan memusatkan pekerjaannya kepada orang Tionghoa, Melayu, dan kelompok etnis lainnya. Prussner
membalas dan menyatakan bahwa ia tidak dapat menerima begitu saja anjuran Warneck, sebab Misi Methodist berhak
bekerja di kalangan orang Batak di Sumatra Timur, terutama di kalangan orang Batak Pardembanan.99 Namun, Prussner
juga mengerti bahwa apabila RMG mengikuti anggotanya ke Sumatra Timur, Misi Methodist tidak dapat mengempangnya,
dan itu berarti kedua Badan Misi akan bekerja dalam daerah yang sama, yang pasti akan memperburuk keadaan. Untuk
mencegah kemungkinan seperti itu, Prussner menawarkan jalan keluar yang lain kepada Warneck, yaitu usul agar pekerjaan
Methodist di Sumatra Timur merupakan bagian integral dari Gereja Batak dan diorganisasi menjadi distrik keenam dari
Gereja Batak.100
Semula Warneck merasa enggan menerima proposal itu, sebab ia khawatir konsep itu akan ditolak oleh rekan-rekan
zendeling RMG yang lain. Namun, Warneck tertarik juga dengan proposal Prussner, sehingga ia meminta diadakan lagi
pertemuan. Pada 12 Juni 1929, 101 Warneck dan Prussner bertemu di Berastagi. Hasil musyawarah ini dirumuskan kembali
oleh rapat misionaris RMG akhir Juni 1929 di Sipoholon dengan judul Proposal Made by The Missionaries of The Rhenish
Mission: The Work on The East Coast of Sumatra, yang isi lengkapnya adalah berikut ini.
Bahwa Misi Rhein menyerahkan kepada Misi Methodist seluruh karya di antara orang Batak Kristen di wilayah Pantai timur di
mana Misi Methodist kini bekerja.
Melihat fakta bahwa orang-orang asal Tapanuli ini ingin tetap menjadi anggota gereja Batak yang besar (kini jumlahnya
280.000 orang), hak ini harus ada di tangan mereka. Disiplin gereja yang sama akan diterapkan di Pantai Timur sebagaimana di
Tapanuli, yaitu aturan yang sama berkaitan dengan pembaptisan, peneguhan, pernikahan, keanggotaan gereja dan perpuluhan
kepada Gereja. Bentuk pelayanan gerejawi mereka akan dipegang dan bahasa Batak akan digunakan. Demikian juga dengan
kidung pujian mereka, dan sebagainya.
Pada saat ini karya Misi Rhein terbagi dalam lima distrik. Karya di Pantai Timur akan memiliki organisasi lokal dan distrik
mereka sendiri, dan akan juga merepresentasikan sinode tahunan seluruh Gereja Batak. Gereja-gereja di Pantai Timur juga akan
berpartisipasi dalam Serikat Misionaris Batak.
Mereka akan memberikan sumbangan kepada serikat ini, serta juga mendapatkan bantuan darinya. Gereja Batak juga akan
memiliki sebuah Kas Pusat, di mana setiap jemaat akan membayarkan persentase tertentu dari pendapatan lokal. Gaji para
pekerja akan diberikan dari Kas Pusat ini. Di dalamnya para pekerja dari Pantai Timur akan berpartisipasi juga.
Para misionaris Methodist akan berusaha sebisa mungkin untuk menjaga jemaat mereka tetap berhubungan dengan Gereja
di Tanah Batak. Karena itu mereka harus benar-benar terlibat dengan karya Misi Rhein di Tapanuli.
Superintendent Methodist yang melayani orang Batak di Pantai timur akan mengarahkan pekerjaan seluruh guru dan
pendeta Batak di distriknya. Dia juga mewakili Pantai Timur dalam kabinet (Ephorus dan District Superintendent), dan di Majelis
Pengurus Gereja Batak.
Para guru yang bekerja di Pantai timur akan bergabung dengan Para Guru Gereja Batak. Mereka akan mengirimkan
perwakilan ke Sinode Tahunan sama seperti yang dilakukan para guru dari distrik lainnya. Gaji mereka sama dengan gaji yang
dibayarkan (kepada) guru oleh Misi Rhein, kecuali di mana kondisi lokal menuntut pembayaran gaji yang lebih tinggi. Para guru
ini akan dilatih di seminari Misi Rhein di Sipoholon. Setelah ujian akhir, para guru muda akan di tunjuk oleh sebuah komite yang
terdiri atas ketua Sinode Umum dan para superintendent dari berbagai distrik.
Pendeta Batak akan menjadi anggota organisasi pendeta Gereja Batak. Semua pendeta akan mengadakan pertemuan
tahunan dalam sebuah konferensi. Beberapa akan pergi sebagai anggota delegasi ke sinode umum. Semua pendeta akan
mendapatkan pelatihan yang sama.
Para misionaris Methodist yang berkarya di antara orang Kristen Batak akan tetap memiliki keanggotaan Konferensi
mereka, dan secara pribadi ditempatkan di bawah Bishop mereka. Dalam hal-hal yang berhubungan dengan gereja dan jemaat,
mereka mengikuti keputusan Gereja Batak.
Jemaat di pantai Timur akan berada di bawah pengawasan Misi Methodist hanya dalam kasus di mana mereka menyetujui
pemindahan itu.102
Proposal RMG ini kemudian dibahas dan disetujui dalam rapat Finance Committee dari SMC pada 23Juli1929 di
Medan,103 yang menghasilkan proposal yang disampaikan kepada Badan Misi Methodist di Amerika yang diberi judul:
Advantages which May Reasonably Be Expected from the Proposed Close Co-operation Between The Methodist and The
Rhenish Mission in Sumatra. Dari delapan butir proposal SMC itu, enam menyangkut manfaat yang diperoleh dari unifikasi,
dan dua butir terakhir menyangkut prosedur-prosedur ke arah penggabungan. Kedelapan butir proposal itu diringkas
sebagai berikut:
1. Mencegah konflik di berbagai tempat di Sumatra Timur antara sesama warga jemaat dan guru jemaat kedua belah
pihak (Gereja Methodist dan Gereja Batak) yang sangat merugikan kedua belah pihak dalam rangka kesaksian kepada
dunia sekitar.
2. Menghilangkan keengganan orang Kristen Batak memasuki Gereja Methodist di Sumatra Timur. Selama ini mereka
enggan menggabungkan diri ke Gereja Methodist, karena praduga seakan-akan Gereja Batak sangat jauh berlainan
dengan Gereja Methodist sekalipun Gereja Methodist sudah mengambil alih semua bentuk liturgi Gereja Batak. 104
3. Inti konsep penggabungan itu adalah: semua jemaat Methodist Batak di Sumatra Timur dijadikan satu Distrik dari
Gereja Batak sebagai Distrik keenam.105 Pemimpin Distrik diangkat oleh Bishop Methodist, tetapi berkedudukan
setingkat dengan kelima Pimpinan Distrik (Praeses) Gereja Batak yang lain. Pendeta dan Guru Methodist Batak tetap
seperti biasa mendapat penempatan setiap tahun dari Bishop Methodist. Masalah keuangan ”Distrik 6” juga berjalan
seperti biasa dan diatur oleh Field Committee. Dengan kata lain, sekalipun Gereja Methodist (Batak) bergabung
dengan Gereja Batak, identitas Methodist tidak hilang (paling tidak untuk sementara).
4. Memberikan kesempatan besar bagi Gereja Methodist untuk memberikan kontribusinya dalam rangka pengkristenan
Sumatra Utara, sebab di mana-mana di Sumatra Timur telah lahir nukleus yang akan menjadi jemaat dalam waktu
dekat, yang kalau tidak dilayani dengan baik akan terancam oleh pengaruh Islam.
5. Membantu Gereja Batak yang sedang mengalami kekurangan dana dan daya dalam rangka usahanya mengkristenkan
orang Batak Toba dan Simalungun yang masih berjumlah ratusan ribu lagi, sekaligus membina anggotanya yang sudah
berjumlah 280.000 (tahun 1929).
6. Membantu Gereja Batak dalam usahanya mengikuti anggotanya yang pindah ke Padang, Bukit Tinggi, Sawah Lunto
dan Bengkalis, yang jika tidak dilayani, lambat laun akan digarap oleh Gereja Katolik yang sedang berkerja aktif di sana.
7. Jika rencana unifikasi ini ternyata nanti tidak diterima RMG, Misi Methodist di Sumatra Timur akan semakin kerdil,
sebab RMG akan mengikuti anggotanya ke Sumatra Timur dan untuk itu RMG telah mendapat izin. Bagi Gereja
Methodist, mengeluarkan biaya hanya untuk berkompetisi dengan Gereja Batak yang besar adalah suatu pekerjaan
yang sia-sia.
8. Sebagai penutup pokok-pokok pikiran itu Prussner menegaskan beberapa pertimbangan ke arah pencapaian tujuan itu
berikut ini.
Seperti kita, Misi Rheinish tahu apa yang terjadi di tahun-tahun mendatang ketika ribuan orang Batak Toba akan
mendatangi wilayah baru di Pantai Timur ini. Dengan menyerahkan orang-orang ini kepada penggembalaan kita, mereka
akan membuat suatu pengorbanan besar, dan kita tidak berhak menuntut hal ini dari mereka. Jadi, kita harus siap untuk
berkorban, dalam hal: (1) mengadopsi bagi jemaat Batak kita bentuk organisasi dan ekspresi kehidupan gerejawi yang
mengkristal dalam dua generasi pekerjaan misi di antara orang Batak Toba, dan yang bahkan kita gunakan di jemaat Batak
kita sekarang; (2) kita harus belajar untuk tidak menekankan cap Methodist khusus kita dalam karya kita di antara orang
Batak, melainkan menekankan bahwa apa yang kita lakukan di sini adalah karya Gereja Kristus yang universal ... Kita harus
berani mengatakan bahwa kesulitan kita untuk bergabung dengan Misi Rhein, untuk bekerja sama dalam pelayanan
dengan Gereja Batak, bukanlah apa-apa dibandingkan harapan untuk menggabungkan Gereja Methodist dan Presbiterian.
Namun kita pun bisa melihat betapa berhasilnya United Church of Canada menggabungkan kaum Congregationalis,
Presbyterian, dan Methodists, sementara yang lainnya akan mengikuti. 106
Pada kalimat-kalimat terakhir dalam pertimbangan Prussner ini diacu penggabungan denominasi Methodist dan
Presbyterian yang dilakukan di Kanada tahun 1925. 107 Persepsi para misionaris Methodist adalah, gereja Batak belum
menemukan identitas denominasinya, karena di dalam RMG terdapat unsur-unsur Lutheran dan Reformed. Jadi, menurut
anggapan Prussner, penggabungan gereja Batak dengan Methodist tidaklah sesulit penggabungan kedua denominasi yang
terjadi di Kanada itu.108 Untuk mempermudah penggabungan itu, Misi Methodist telah mengadopsi bentuk organisasi,
aturan gereja, bentuk liturgi, dan nyanyian gereja dari Gereja Batak. Dengan kata lain, Misi Methodist tidak menonjolkan
ciri khas—organisasi, ajaran, liturgi, dan nyanyian—Gereja Methodist pada jemaat-jemaat Batak. Juga, dalam kaitannya
dengan unifikasi, Misi Methodist telah membatalkan rencana pendirian seminari Methodist di Tebing Tinggi, yang tadinya
direncanakan sebagai pengganti Preacher’s Training School yang sudah ditutup di Jawa. Sekalipun tanah dan biaya untuk
pembangunan sudah tersedia pada tahun 1928, 109 demi gagasan unifikasi maka rencana itu ditinggalkan. Misi Methodist
mengirimkan calon-calon pekerjanya ke seminari Sipoholon milik Gereja Batak agar gagasan penggabungan kedua gereja
lebih mudah direalisasi. Mereka yang dididik di Sipoholon tidak bakal merasa canggung melayani di HKBP karena selama
belajar di Sipoholon mereka telah dididik mengenai Gereja Batak. 110
Sesuai dengan Disiplin Gereja Methodist gagasan penyatuan Gereja Batak dengan Misi Methodist ini harus disetujui
oleh Konferensi Agung di Amerika sebelum dapat diwujudkan. Tahun 1931, Konferensi Misi Methodist di Sumatra
mengajukan sebuah resolusi ke Konferensi Agung yang akan berlangsung pada Mei 1932 di Atlantic City, New Jersey,
Amerika Serikat. Isi resolusi itu berbunyi:
Kami memohon General Conference untuk mengabulkan Persetujuan agar orang Kristen Batak yang dilayani Konferensi Misi
Sumatra membentuk, bersama orang Kristen Batak dari Misi Rhein, Gereja Protestan Batak, dalam waktu empat tahun saat hal ini
dimungkinkan ....111
Ternyata konsep unifikasi, yang digodok sedemikian serius dan menyita banyak waktu dan pemikiran, tidak dapat
diwujudkan sesuai rencana yaitu pada upacara peringatan kematian Munson dan Lyman tahun 1934. Sinode Godang HKBP
yang berlangsung pada Juni 1933 di Sipoholon, yang dihadiri juga oleh Prussner atas undangan HKBP, menolak gagasan
unifikasi itu. Menurut Prussner, para misionaris—juga para pendeta Batak—masih ragu akan gagasan ”Distrik 6” yang
terdapat dalam proposal unifikasi itu. Prussner mencatat:
Mereka begitu khawatir pada proposal penyatuan karya kita di Batak dengan Gereja Nasional Batak, karena dalam pikiran
mereka yang ada hanyalah masalah apakah jemaat mereka di Medan dan Tebing Tinggi harus diserahkan kepada kami. Mereka
terbukti tidak pernah memikirkan ide yang lebih besar mengenai penyatuan karya kami di antara orang Batak dengan Gereja
Batak, bahwa kita semua memiliki maksud dan pekerjaan yang sama dengan tujuan yang sama. 112
Jika disimak lebih jauh, penyebab utama kegagalan itu adalah faktor non-teologis yakni adanya misinterpretasi
mengenai konsep unifikasi. Ada kekhawatiran umum di kalangan HKBP bahwa dengan konsep ”Distrik 6”, jemaat-jemaat
HKBP di daerah Sumatra Timur (terutama Medan dan Tebing Tinggi) akan beralih ke Misi Methodist, setidaknya sampai
proses penyatuan organisasi dituntaskan seratus persen. Pihak HKBP tidak setuju dengan konsep tersebut, karena ide
seperti itu berarti menjual HKBP kepada orang lain hanya dengan alasan kesulitan dana dan daya. Lebih lanjut, Klaus
menilai kegagalan itu demikian:
Ide ini umumnya ditinggalkan sejak tahun 1933. Setelah itu satu-satunya rencana yang mungkin dapat dilakukan adalah kerja
sama di tingkat lokal, yaitu meminjam para pendeta HKBP untuk melayani jemaat Methodist yang membutuhkan di beberapa
tempat; dan sebagai gantinya para pekerja kita akan membantu anggota Gereja Nasional yang membutuhkan ... Perwujudan hal
ini mustahil dilakukan sebelum tahun 1940, karena sikap beberapa saudara Jerman kita. Lalu perang pecah dan tidak ada sesuatu
pun yang dapat dilakukan ... Situasi ini benar-benar disesalkan. Pihak HKBP lebih memerlukan kita daripada yang sebaliknya. 113
Dapat diduga bahwa penolakan Sinode Godang terhadap rancangan unifikasi itu berkaitan juga dengan arus bawah,
bahwa jemaat-jemaat HKBP di Sumatra Timur tidak bersedia bergabung dengan Misi Methodist dengan gagasan ”Distrik 6”
itu. Mereka menilai tindakan seperti itu sama dengan ”menjual” anggota gereja sendiri ke gereja lain karena RMG (Gereja
Batak) mengalami kesulitan dana pada waktu itu. 114 Dengan kata lain, masih banyak kalangan di HKBP yang belum
memahami gagasan unifikasi yang ditawarkan Misi Methodist yang jiwanya adalah, Misi Methodist akan mendukung
HKBP115 baik dari segi dana maupun daya tanpa syarat.116 Bagi Misi Methodist sudah cukup jika:
Gereja Methodist akan menghubungkan namanya dengan sebuah karya yang memiliki pengaruh jangkauan yang jauh dalam
menyebarkan agama Kristen di pulau besar di dunia ini. 117
Kalau disimak lebih jauh, kegagalan unifikasi itu tidak murni karena faktor non-teologis. Di belakang kegagalan itu
terdapat faktor-faktor teologis yang ikut berperan. Proses pengkristenan orang Batak berlangsung sebagai gerakan massal,
sebagai konsekuensi logis metode yang diterapkan Nommensen sejak tahun 1870-an. Zendeling RMG mengambil alih nilai-
nilai dan pola-pola hidup bersama (korporatif) yang merupakan ciri masyarakat Batak. Menjadi Kristen pada waktu itu
bukanlah terutama hasil keputusan pribadi—walau pada sepuluh tahun pertama demikianlah halnya—melainkan
keputusan kolektif dari suatu marga dan atau huta.118 Berhubungan dengan corak pengkristenan orang Batak Toba ini,
Hutauruk menilai bahwa:
... sekalipun mereka (orang Batak—pen.) telah menganut agama Kristen sebagai agama yang baru, mereka tetap berada di desa
mereka di tengah-tengah rukun marga dan adat; mereka tetap Batak dan bukan menjadi orang-orang Jerman. 119
Bagi orang Kristen Batak, gereja tidak saja berfungsi sebagai lembaga keagamaan, tetapi berfungsi juga sebagai lembaga
sosial. Kedua fungsi ini bertindih dalam Gereja Batak. Andar Lumbantobing mengatakan:
Jadi, mau tidak mau, sebuah gereja suku telah lahir dengan segala bahaya yang melekat padanya. Batas antara gereja dan dunia,
dalam hal ini suku sebagai norma sosiologis, tidak terlihat lagi. Dalam hal ini iman Kristen bercampur aduk dengan agama suku.
Di dalam gereja rakyat seperti ini orang-orang dianggap sudah otomatis lahir sebagai anggota gereja, karena itu tidak perlu lagi
bicara tentang keputusan iman.120
Bertolak dari pemahaman inilah, orang Batak Toba yang merantau ke Sumatra Timur dan ke tempat lain di luar tanah
Batak, ingin tetap memelihara identitasnya sebagai orang Kristen sekaligus sebagai orang Batak. Bagi orang Kristen Batak,
hari Minggu telah mendarah daging sebagai hari yang dikuduskan untuk pergi berkumpul dan beribadah ke gereja.
Kebiasaan ini tidak dapat dilupakan oleh mereka yang pindah dari daerah tradisional ke perantauan. Di mana dua tiga
orang anggota jemaat bertemu di tempat pemukiman baru, di sana mereka berusaha berkumpul pada hari Minggu untuk
membaca Alkitab, bernyanyi, dan berdoa. Khusus di Sumatra Timur, daripada bergabung dengan gereja lain (baca: Gereja
Methodist), mereka membentuk kebaktian Gereja Batak (HKBP), dengan mula-mula menggunakan satu rumah atau gubuk
dan memilih seorang dari antara mereka sebagai pemimpin kebaktian.121
Menurut pengamatan para misionaris Methodist, 122 orang-orang Batak yang masuk Gereja Methodist—terutama di luar
Asahan seperti Medan, Tebing Tinggi, dan seterusnya—adalah mereka yang tidak loyal lagi kepada kepemimpinan RMG,
yaitu mereka yang telah terpengaruh semangat nasionalisme yang waktu itu disebut golongan zelfstandig.123 Banyak juga
yang memasuki Gereja Methodist karena hubungan keluarga, misalnya keluarga atau famili para pendeta, guru Injil dan
guru-guru sekolah yang mengajar di perguruan Methodist. Karena itu, dari banyak tempat di Sumatra Timur, RMG sering
mendapat surat dari orang Kristen Batak asal Tapanuli yang meminta pendeta untuk melayani mereka. 124
Sekalipun rancangan penggabungan HKBP dengan jemaat Methodist Batak mengalami kendala selama dua puluh
tahun (1929–1948), tetapi pihak misionaris Methodist masih tetap berusaha untuk meneruskan gagasan itu. Dalam
Konferensi tahunan Sumatra Provisional Annual Conference125 pada Januari 1948 di Singapura,126 dibuat lagi petisi untuk
Konferensi Agung (Mei 1948) yang meminta Enabling Act tahun 1932 diaktifkan kembali, yang ternyata disetujui. 127 Namun
selama empat tahun berikutnya, rencana unifikasi juga gagal. Perhitungan Prussner yang tadinya melihat proses penyatuan
Gereja Batak dengan Misi Methodist suatu pekerjaan yang mudah, setidaknya dibandingkan dengan penyatuan Methodist
dan Presbyterian di Kanada, terbukti keliru.
Secara pribadi, harus kusampaikan bahwa kepemimpinan di dalam Gereja harus berada di tangan orang setempat. Mereka
sendiri merasa bahwa mereka harus membantu gereja lama ... Mengenai gereja-gereja kita, menurutku jabatan District
Superintendent juga harus berada di tangan mereka. Jika aku kembali ke sana, aku lebih suka bekerja sebagai Penginjil atau
Guru di sekolah teologi. Tentu saja ini adalah saran yang tumbuh dari perkembangan di tahun-tahun belakangan ini.130
Kendati kepemimpinan dipegang para pendeta pribumi, selama perang revolusi kemerdekaan tidak banyak yang dapat
dilakukan kedua pemimpin ini. Untuk tahun 1945, 1946, dan 1947 sidang Konferensi Tahunan Sumatra Sementara praktis
tidak dapat berlangsung karena situasi keamanan yang sangat genting. Setelah situasi mulai tenang, pada tahun 1948 sidang
Konferensi Tahunan Sumatra Sementara baru bisa dilakukan, itu pun diadakan di Singapura.
Bishop Moore menyatakan bahwa kita akan ke luar dari masa yang menekan menuju masa di mana ada harapan yang lebih
besar. Masalah utama kita adalah bagaimana kita memulihkan kehilangan yang kita derita di masa lalu dan melangkah maju di
masa yang baru? Dia meminta masukan dari peserta sidang mengenai apa yang paling kita perlukan di Gereja Methodist
Sumatra saat ini. Sutan Doli Pospos menyampaikan dua masukan: (1) Mengangkat anggota kami yang mengerti beberapa bahasa
asing, untuk menjadi Kepala Sekolah. (2) Memberikan bantuan kepada Para Pemimpin Awam dengan kewe nangan yang sama
dengan yang dimiliki para guru di hutan.131
Menurut pandangan Sutan Doli Pospos, selain menyekolahkan calon-calon pendeta ke sekolah teologi, kepada para
sintua yang sangat berperan penting dalam mempertahankan kehidupan jemaat di desa-desa dapat diberikan santunan
nafkah, agar mereka lebih bertanggung jawab dalam tugasnya. Kendati kedua usul itu tidak seratus persen diwujudkan,
usul-usul ini menjadi masukan yang berharga dalam penentuan kebijakan lebih lanjut. Dari keterangan di atas tampak
bahwa sejak tahun 1950 kebutuhan yang sangat mendesak bagi Gereja Methodist di Sumatra adalah pengadaan tenaga
pelayan gerejawi untuk menjawab tuntutan penggembalaan dan pekabaran Injil yang sedang terbuka, baik di kalangan
orang Tionghoa maupun orang Batak.
Sebagai kesimpulan, aku ingin mengulas beberapa hal yang dibutuhkan Pelayanan Tionghoa kita: pertama, harus ada suatu
ketertarikan yang tinggi dalam hal-hal spiritual. Kepedulian utama kita jangan terarah dengan organisasi atau uang, tetapi
terarah kepada Kristus. Kedua, kita membutuhkan lebih banyak pendeta dan penginjil. Gereja Methodist adalah satu-satunya
badan Protestan yang dibentuk untuk melakukan penginjilan di antara penduduk Tionghoa di Su matra. Sejauh ini, kita hanya
baru melakukan langkah awal yang kecil.135
Untuk menjawab kebutuhan mendesak akan tenaga pelayan ini, pada tahun 1950-an berbagai terobosan dilakukan.
Sejumlah misionaris didatangkan untuk melayani di distrik Tionghoa. Per Eric Lager yang berasal dari Swedia tiba tahun
1950 setelah belajar bahasa beberapa bulan di Amoy, Tiongkok. Beberapa orang misionaris Methodist yang sejak
kemenangan Komunis di Tiongkok tidak bisa lagi meneruskan pekerjaannya di sana, ditarik ke Sumatra untuk bekerja
khusus dalam Distrik Tionghoa. Mereka adalah Edward L. Dixon (1952), Gusta Robinett (1953), J. Wesley Day (1955), dan Cyril
G. Baker (1959).
Namun, terobosan yang paling penting adalah pendirian sebuah seminari (sekolah latihan) khusus untuk distrik
Tionghoa pada tahun 1954. Sebelum kedatangan Dixon, memang sudah dirasakan kebutuhan untuk mendirikan suatu
seminari untuk mempersiapkan calon-calon pekerja gereja. Dalam surat Bishop Archer kepada Dixon sebelum Dixon tiba di
Sumatra dikatakan:
Kami benar-benar membutuhkan para pekerja terlatih di kawasan itu (Sumatra—pen). Kami tidak bisa lagi memperoleh para
pendeta Tionghoa dari Tiongkok sehingga harus mendirikan tempat pelatihan lokal ... Aku yakin kita telah membuat sebuah
dasar bagi sebuah gereja Tionghoa yang kuat 136 di Sumatra dan bahwa kini kita menghadapi kebutuhan akan seseorang yang
dapat membantu membimbing pertumbuhan gereja dan menginspirasi para pemimpin yang setia. 137
Namun, bentuk dan corak yang dimaksud masih belum konkret. Dixonlah yang menjadi arsitek yang membuat
proposal untuk sekolah dimaksud. Tahun 1952–1953, Dixon mengadakan survei untuk mendiagnosis ”penyakit” jemaat-
jemaat Tionghoa dan mencari ”obat” untuk menyembuhkannya. Lewat survei itu, Dixon tiba pada kesimpulan bahwa
sekolah yang sangat dibutuhkan untuk mengadakan tenaga pelayan di distrik Tionghoa adalah sebuah sekolah setaraf
sekolah menengah, yang diselenggarakan dalam bahasa Tionghoa (Mandarin). 138 Mengapa sekolah ini harus memakai
bahasa Tionghoa justru pada saat Indonesia sedang berupaya menggalang kesatuan dan persatuan nasionalnya lewat bahasa
Indonesia? Robinett mencatat alasan Dixon sebagai berikut:
Lebih lanjut terlihat bahwa ”pagar bahasa Tionghoa” dalam program pelatihan ini tidak ditujukan untuk membatasi orang luar;
sebaliknya hal ini bertujuan untuk memampukan orang-orang muda ini, yang menjadi terbiasa dengan bahasa mereka sendiri,
memiliki persiapan yang diperlukan bagi pekerjaan mereka dalam waktu sesingkat mungkin. 139
Konsep Dixon itu dapat diterima oleh sidang Field Committee tanggal 23 Januari 1954, yang memutuskan: Distrik
Tionghoa diizinkan untuk membuka sebuah Sekolah Alkitab bagi para pekerja Tionghoa. 140 Pendeta-pendeta Batak yang
menjadi anggota rapat seperti David Hutabarat, Luther Hutabarat, dan Wismar Panggabean mendukung rencana itu. Para
pendeta Batak ini juga dapat memahami ”penyakit” jemaat-jemaat Tionghoa serta menerima ”obat” yang ditawarkan Dixon.
Masalahnya, di kalangan jemaat-jemaat Batak pun ada kerinduan untuk membuka sekolah latihan berbahasa Batak untuk
menjawab kebutuhan tenaga di jemaat-jemaat Batak. 141 Pada 25 Januari 1954, secara resmi dibukalah sekolah latihan
Tionghoa dengan nama Sumatra Methodist Chinese Bible School melalui suatu acara kebaktian di Gereja Methodist Jalan
Hakka, Medan.142 Sekolah ini didasarkan atas 2 Timotius 2:15 dan 1 Korintus 2:2 dengan tujuan:
....untuk merekrut, memandu, melatih, dan menggunakan para pekerja Kristen sebagaimana yang di¬nyatakan kedua ayat di atas.
Ini berarti para pendeta, pengijil wanita dan para pekerja awam—pria maupun wanita—yang bekerja purnawaktu. Tekanan
utamanya adalah pelatihan para pekerja awam untuk bekerja di gereje-gereja, sekolah-sekolah, tempat usaha dan industri kita. 143
Tujuannya bukan hanya untuk menyuplai para pemimpin yang berkualitas bagi gereja-gereja yang sudah ada tetapi juga untuk
membuka gereja-gereja baru di Sumatra utara, tengah dan selatan. 144
Untuk mencapai tujuan di atas, sekolah ini dirancang sedemikian rupa dengan metode belajar sambil melayani atau
belajar sambil berbuat (learning by doing). Pelajaran Alkitab dan ibadah menjadi tekanan utama dalam kehidupan kampus.
Praktik lapangan, seperti mengajar Sekolah Minggu, memberikan pelajaran agama di sekolah Methodist, adalah juga bagian
integral dari metode belajar. Pada angkatan pertama sekolah ini ada sepuluh orang (lima laki-laki dan lima perempuan),
yang telah memiliki ijazah SMP atau sederajat. 145 Tenaga pengajar di sekolah ini ialah: Yap Un Han, Gusta Robinett, Ester M.
Dixon, dan Edward E. Dixon. Perlu ditambahkan bahwa kendati secara formal Bishop Archer adalah principal (direktur)
sekolah ini, tetapi pelaksana sehari-hari diserahkan kepada Pdt. Yap Un Han. 146 Selama dua tahun para siswa dididik di
kampus yang serba-sederhana, berpindah-pindah atau menumpang, sebelum sekolah itu memiliki kampus permanen.147
Pada Juni 1956, angkatan pertama ditamatkan dan ditempatkan untuk melayani di berbagai jemaat dan pos penginjilan.
Angkatan kedua dibuka tahun 1957, dan setelah angkatan ini tamat, angkatan berikutnya dibuka. Baru tahun 1960, sekolah
ini menerima siswa secara rutin setiap tahunnya. Dari sejak dibuka hingga tahun ajaran 1964/1965 sekolah ini telah
menamatkan 38 siswa orang Tionghoa 148, yang berpencar melayani di Sumatra. Kehadiran tamatan-tamatan baru ini mem-
berikan kepada distrik Tionghoa kemajuan demi kemajuan. Kurun waktu 1956–1964 adalah masa perkembangan yang pesat.
Di Sumatra Utara lahir jemaat-jemaat baru di Bireuen, Kuala, Lhokseumawe, Lubuk Pakam, Meulaboh, Pancur Batu,
Rantauprapat, Banda Aceh, dan di daerah Sumatra Selatan berdiri jemaat di Prabumulih, Lahat, Muara Enim, Tebing Tinggi,
Jambi, dan sebagainya. Satu ciri khas jemaat-jemaat di Distrik Tionghoa ialah, di tiap jemaat selalu berdiri se kolah yang
berada di bawah asuhan jemaat itu. Sekolah-sekolah ini berfungsi ganda: tempat mengabarkan Injil dan sumber uang.
Kedua fungsi ini agaknya sudah disandang sekolah-sekolah Methodist di Sumatra Utara sejak awal. Klaus mengatakan
bahwa kehadiran sekolah-sekolah Misi Methodist, terutama di kota-kota adalah:
... untuk memampukan para orangtua Kristen mengirimkan anak-anaknya ke sebuah sekolah Kristen, untuk menyumbangkan
penginjilan ke rumah-rumah orang non-Kristen, serta mendukung pendanaan bagi karya kami.149
Fungsi sekolah sebagai sarana penginjilan terutama dijalankan demikian. Sejak tahun 1950-an ada kebiasaan di distrik
Tionghoa untuk mengadakan retret pemuda-pemudi, retret remaja, retret wanita, dan retret guru-guru sekolah, masing-
masing sekali setahun. Retret biasanya diadakan di GMI Berastagi, yang oleh Distrik Tionghoa telah ditata dengan
menyediakan perlengkapan tidur dan sebagainya untuk dapat menampung program ini. Biasanya acara tersebut
berlangsung pada masa libur panjang dengan dikoordinasikan oleh Pemimpin Distrik Tionghoa, dibantu anggota-anggota
jemaat Medan yang dianggap sebagai mother church.150 Selain gereja ini merupakan jemaat terbesar di antara jemaat-jemaat
Tionghoa, ia juga menjadi penopang baik secara materi maupun misi bagi jemaat-jemaat kecil di Sumatra Utara. 151 Dalam
retret-retret semacam itu diadakan penyegaran rohani dengan mendatangkan pengkhotbah terkenal dari luar negeri
(Hongkong, Singapura, Taiwan, dan lainnya). Retret yang biasanya berlangsung kira-kira satu minggu itu diisi dengan
acara-acara: kebangunan rohani, penelaahan Alkitab, kesaksian, dan diakhiri dengan tantangan (ajakan) untuk penyerahan
diri. Lewat retret semacam ini yang terkadang dihadiri sampai 300 orang, lahir petobat-petobat baru. Yap Un Han, yang
menjadi Pemimpin Distrik Tionghoa tahun 1954–1959 mencatat suatu peristiwa retret sebagai berikut:
[Saya] teringat Retret Pemuda/i yang ke-3 di Berastagi, Roh Kudus bekerja secara luar biasa; banyak pemuda bertobat ... di
antaranya ada beberapa orang menyerahkan diri kepada Tuhan seumur hidup. 152
Pada saat-saat retret seperti itulah terjadi penyerahan diri pemuda-pemuda Tionghoa menjadi hamba Tuhan. Mereka
yang telah memperoleh semangat dan komitmen baru dari retret kembali ke tempat dan menjadi anggota yang setia dan
rajin untuk bersaksi melalui penginjilan pribadi. Selain metode retret dan penyegaran rohani, misi Methodist di kalangan
kelompok etnis Tionghoa dilakukan lewat jalur keluarga. Sesuai ajaran Konfusius (lihat bab I) oleh kelompok etnis
Tionghoa tali kekerabatan sangat erat dipelihara, sehingga jalur ini sangat strategis digunakan sebagai saluran pekabaran
Injil. Richard Babcock berkata:
Merupakan hal lazim jika seorang Tionghoa awam yang merupakan anggota Gereja Methodist yang mengunjungi kerabat atau
mitra bisnisnya di sebuah kota terdekat, mengumpulkan mereka menjadi sebuah kelompok baru dan meminta gereja
mengirimkan penginjil setempat untuk menginjili mereka. 153
Perkembangan anggota jemaat Tionghoa khusus di Sumatra Utara pada periode 1929–1964 dapat terlihat dari tabel
berikut:
ANGGOTA
TAHUN
PENUH
1928 126
1940 440
1949 651
1956 625
1959 758
1964 1490154
Setelah Bible School menamatkan sepuluh orang angkatan pertamanya tahun 1956, yang disusul angkatan-angkatan
berikut, maka jemaat-jemaat Tionghoa mengalami kemajuan yang cukup berarti. Dalam tempo delapan tahun (1956–1964)
terjadi pertambahan anggota penuh lebih dari seratus persen. Kehadiran tamatan-tamatan Sekolah Alkitab ini sekaligus
menjadi jawaban terhadap perkembangan politik konfrontasi Indonesia-Malaysia yang melatarbelakangi otonomi Gereja
Methodist Indonesia tahun 1964. Hal ini masih akan kita bahas pada Bab V.
Pada hari Rebo, tanggal 25 April 1951, kami jang bertanda tangan di bawah ini, jang bermusjawarat di Kantor HKBP di Pematang
Siantar, telah menetapkan declaration (pernjataan) sebagai dipaparkan di bawah ini;
Bahwa kami dari Putjuk Pimpinan HKBP dan Geredja Methodist bahagian Kristen Batak Protestant adalah sependirian,
bahwa untuk melaksanakan Penjebaran Indjil di Indonesia umumnya dan di Sumatra chususnya, perlunya persatuan di dalam
tudjuan ini, terlebih-lebih di dalam hal jang mengenai organisasi.
Bahwa tudjuan kami bersama ialah bekerdja sama untuk mentjapai kesatuan dalam organisasi jang menggabungkan HKBP
dan Methodist di bagian Kristen Batak Protestant di Sumatra di belakang hari.
Bahwa untuk mengichtiarkan terlaksananja tudjuan tersebut, kami menjatakan setudju menggadakan Badan Gabungan,
terdiri dari utusan2 dari kedua Geredja tersebut, jang mana anggota2nja akan dihundjuk oleh Dewan Geredja tertinggi dari
kedua Geredja itu.
Bahwa Badan Gabungan inilah jang mendapat tugas mengadakan peraturan2 umum dan peraturan2 peralihan untuk
melaksanakan tudjuan tersebut, setelah dasar2nja lebih dahulu disetudjui Dewan Geredja tertinggi dari kedua Geredja tersebut.
Bahwa mulai dari tanggal declaration ini telah ditetapkan ”standfast” dari kedudukan kedua Geredja tersebut jang tak
dapat diperkembang lagi, kalau tidak ada persetudjuan dari Putjuk Pimpinan dari kedua Geredja tersebut di dalam hal jang
merugikan pekerdjaan2 kedua belah pihak....155
Deklarasi di atas merupakan gema dari gagasan unifikasi yang digodok sejak tahun 1930-an, yakni menuju kesatuan
organisatoris antara kedua gereja. Dari rumusan ini—terutama dengan kalimat tentang ide penyatuan kedua gereja—jelas
bahwa pengaruh Ragnar Alm pada anggota delegasi Methodist sangat kuat. Masalahnya, sejak awal para pendeta Batak
tidak sependapat dengan gagasan unifikasi itu. Bahkan sehabis perang kemerdekaan di kalangan pendeta Methodist Batak
terdapat perasaan ”anti-HKBP”, terutama disebabkan semakin banyaknya jemaat Batak yang berdiri di kawasan Sumatra
Timur, daerah kerja Misi Methodist.156
Deklarasi menetapkan standfast (batas pengembangan) yang menegaskan bahwa gereja yang satu tidak boleh memasuki
daerah pelayanan gereja yang lain ”tanpa memiliki sebuah komite yang terdiri atas para anggota dari kedua gereja, yang
akan menginvestigasi setiap kasus yang ada”. 157 Nyatanya deklarasi ini tidak mampu mengatasi masalah yang sedang terjadi,
yakni gelombang migrasi massal orang Batak Toba ke Asahan dan di mana-mana orang-orang Batak mengadakan kebaktian
HKBP. Tahun 1952 telah berdiri gereja HKBP di Tanjung Balai tanpa terlebih dahulu menempuh prosedur sebagaimana
terdapat dalam deklarasi.158 Tindakan pendirian HKBP di Tanjung Balai dinilai Gereja Methodist sebagai tindakan pajolo
gogo, papudi uhum (mendahulukan kuasa, membelakangkan hukum). Tahun 1953 sudah ada 17 jemaat HKBP di Asahan dan
Labuhan Batu, dan tahun 1956 sudah melonjak menjadi 31 jemaat. Tahun 1953 seorang pendeta HKBP telah ditempatkan di
Kisaran, dan tahun 1956 di Wingfoot (Aek Nabara, Labuhan Batu). Dengan kata lain, jemaat-jemaat Methodist Batak
seakan-akan didesak oleh jemaat-jemaat HKBP.159 Kendati di tingkat atas pemimpin kedua gereja mempunyai hubungan
yang baik, di tingkat lokal terjadi konflik dalam bentuk saling menggarap anggota. Para pendeta dan sintua HKBP berupaya
memengaruhi orang-orang Batak yang ada dalam Gereja Methodist dengan propaganda bahwa Gereja Methodist hanya
untuk sementara melayani orang Batak, karena misi mereka sejak semula hanya tertuju untuk melayani orang Tionghoa. 160
Propaganda demikian selalu didasarkan atas pernyataan A.V. Klaus pada musyawarah tahun 1951 yang dimuat dalam
Notulen Synode Godang HKBP (1951) berikut:
Pada mulanya, masyarakat Tionghoa melayani di Gereja Methodist di Sumatra Timur. Saya turut membenahi jemaat HKBP yang
datang beribadah dengan menumpang di gereja Methodist. 161
Walau pernyataan Klaus di atas tidak sepenuhnya benar,162 kesan bahwa Gereja Methodist hanya bagi orang Tionghoa
cukup dalam tertanam bagi orang Batak Toba bahkan menjadi suatu ”mitos”, yang pada gilirannya membuat orang Batak
merasa enggan memasuki Gereja Methodist.163 Melalui majalah Immanuel diserukan kepada orang-orang Batak yang ada
dalam Gereja Methodist sebuah slogan: Kembalilah ke gereja orangtuamu (Come back to the church of your fathers).164
Senjata ini ternyata ampuh, karena banyak orang Batak yang tadinya telah terdaftar sebagai anggota Methodist beralih ke
HKBP.165
Sebagai reaksi terhadap intervensi HKBP di Tanjung Balai, yang oleh David Hutabarat disebut selaku tindakan pajolo
gogo papudi uhum (kekuatan lebih dahulu, kemudian baru berunding), 166 maka pada Desember 1952 Gereja Methodist
menerima permintaan 200 keluarga warga jemaat yang memisahkan diri dari HKBP di Sigumpar, Tapanuli Utara. Masuknya
Gereja Methodist ke daerah yang merupakan kawasan tradisonal HKBP ikut mempertajam konflik kedua gereja. Sebenarnya
tindakan Gereja Methodist untuk menerima anggota dari pecahan HKBP sudah dimulai tahun 1948, ketika Luther
Hutabarat dan Sturrman Hutabarat mengorganisasi jemaat Methodist di Pardagangan, Simalungun, di mana sudah berdiri
gereja Batak sejak tahun 1905. 167 Walau dengan dalih bahwa sejumlah orang Methodist 168 telah pindah ke daerah ini dan
menginginkan Gereja Methodist berdiri di sana, yang pasti dari 280 orang anggota baru itu sebagian besar adalah bekas
anggota jemaat HKBP. Dalam kaitan ini A.V. Klaus benar, yang sejak dini sudah memperingatkan bahwa apabila Badan Misi
Methodist di Amerika mengabulkan permohonan—yang ternyata dikabulkan—untuk membantu mendirikan gedung
Gereja Methodist Pardagangan, maka hal itu akan memperburuk kerja sama dengan HKBP. 169
Dalam latar belakang persoalan-persoalan yang dijelaskan di atas, dalam Konferensi Tahunan Gereja Methodist pada
Januari 1952, ketika masalah unifikasi jemaat-jemaat Batak dengan HKBP dibicarakan kembali, sidang secara resmi menolak
ide itu. Konsep petisi yang dipersiapkan Klaus untuk meminta Konferensi Agung yang akan berlangsung pada Mei 1952 di
Amerika mengaktifkan kembali Enabling Act 1948 (yang daluarsa)—yang berisi persetujuan akan penyatuan jemaat-jemaat
Methodist Batak dengan HKBP—ditolak. Jika sebelumnya pihak HKBP/RMG yang kurang cepat menyambut tawaran Misi
Methodist untuk bergabung, maka sejak tahun 1952 justru pihak orang Batak dalam Gereja Methodistlah yang menjadi
tantangan berat.170 Di pihak Methodist, ada tiga faktor penyebab sehingga rencana unifikasi itu ditolak oleh konferensi
tahun 1952. Pertama, peserta konferensi sudah didominasi pendeta dan kaum awam pribumi terutama orang Batak, 171 yang
sejak semula tidak pernah setuju dengan gagasan unifikasi yang diprakarsai para misionaris. Namun, ketidaksetujuan itu
selalu mereka pendam, karena para pendeta Batak umumnya ”menuruti” kemauan para misionaris yang memiliki ”kuasa”
atas Gereja Methodist, terutama karena para pendeta pribumi ini mendapat gaji dari kas Misi yang dipegang misionaris. 172
Baru tahun 1952, keberatan itu dinyatakan dengan tegas. 173 Pada Konferensi tahun 1952 itulah Luther Hutabarat, David
Hutabarat, dan Wismar Panggabean mendengungkan semboyan: Sekali Methodist, tetap Methodist.
Kedua, yang memimpin Konferensi tahun 1952 adalah Bishop R.L. Archer, yang terpilih tahun 1950 menggantikan
Bishop Lee untuk kawasan Singapura. Hubungan R.L. Archer dengan pendeta-pendeta Batak terutama yang pernah bekerja
sama dengannya di Jawa (khusus: Luther Hutabarat dan David Hutabarat) cukup dekat, sehingga mereka lebih berani
mengeluarkan pendapat dalam sidang Konferensi, yang juga dapat dimaklumi oleh Archer.
Ketiga, kendati pada dasarnya Alm dan Klaus sama-sama mendukung ide unifikasi ini, tetapi antara mereka berdua
terdapat perbedaan cara. Klaus berprinsip bahwa penggabungan jemaat-jemaat Batak dengan HKBP sebaiknya dilaksanakan
tanpa syarat tanpa meminta pendapat para pekerja Batak. Namun, Alm pada berbagai kesempatan mengadakan pendekatan
dengan para pendeta Batak untuk menanyakan pendapat mereka mengenai gagasan unifikasi dengan HKBP, yang selalu
mendapat jawaban negatif.174 Dengan kata lain, Alm yang sejak tahun 1931 merupakan ”tokoh kunci” dalam pekerjaan
Methodist di kalangan orang Batak, secara diam-diam lebih bersikap netral, walau di hadapan rekan-rekannya misionaris ia
harus mendukung gagasan unifikasi sesuai kebijakan Badan Misi Methodist sebelumnya. 175 Ketika Konferensi tahun 1952
menolak konsep penggabungan Misi Methodist dengan HKBP, A.V. Klaus menangis karena ia merasa gagal dalam se gala
usaha penyatuan itu.176
Selain penghambat yang ada di pihak Methodist, penghambat lain juga ada di pihak HKBP. Tahun 1952 (yang sudah
diproses sejak tahun 1948)177 HKBP mengambil keputusan untuk bergabung dengan organisasi Lutheran World Federation
(LWF). Keputusan HKBP untuk memasuki denominasi Lutheran—yang mulanya didorong oleh alasan praktis untuk bisa
mendapat bantuan finansial—pada gilirannya menciptakan jarak antara HKBP dengan Methodist, bahkan dengan gereja-
gereja lain di Indonesia.
HKBP kelihatannya jauh lebih besar dibandingkan kelompok-kelompok Protestan lainnya di Indonesia, dan sejak menjadi
Lutheran mereka menganggap semua kelompok lainnya sebagai ”sekte-sekte kecil”. 178
Gagasan unifikasi yang sejak tahun 1929 secara serius diproses, ternyata mengalami jalan buntu. Keputusan-keputusan
yang diambil dalam pembicaraan-pembicaraan antara kedua belah pihak di kemudian hari, seperti pembicaraan tahun 1955,
hanyalah di atas kertas. 179 Setelah GMI menjadi gereja otonom tahun 1964, kedua gereja sudah menjadi gereja yang setara,
yang hidup berdampingan dalam arak-arakan gerakan keesaan gereja-gereja di Indonesia.
1928 520 24
1934 1060 30
1940 2487 35
1948 2615 29
1956 7142 86
Yang pasti sebagian besar anggota ini adalah eks-warga HKBP. Dengan masuknya mantan anggota jemaat HKBP ini ke
Gereja Methodist, masuk jugalah unsur-unsur HKBP ke Gereja Methodist, baik disengaja maupun tidak. Dengan kata lain,
Gereja Methodist Batak dalam batas-batas tertentu merupakan duplikasi gereja HKBP. Untuk memetodiskan atau
menanamkan cara-cara bergereja dan ajaran-ajaran Methodist kepada jemaat-jemaat Methodist Batak pada saat itu sangat
sulit. Di satu pihak jumlah misionaris Methodist waktu itu tinggal sedikit, dan yang melayani khusus untuk orang Batak
hanya Ragnar Alm. Di pihak lain, tamatan-tamatan sekolah Teologi yang bertaraf akademis, tidak juga mampu
memetodiskan jemaat-jemaat Batak sebab selama belajar di seminari non-Methodist mereka tidak mendapat mata kuliah
mengenai ajaran-ajaran Gereja Methodist. Dalam kaitan ini benar apa yang dikatakan Gultom:
Tetapi sejak tahun 1955 pendidikan calon pendeta-pendeta Methodist ini dikirim ke STT Jakarta, Yogyakarta, atau P. Siantar. Di
sana mereka hidup bersama dengan calon-calon pendeta dari gereja-gereja lain selama lima sampai enam tahun. Para pendeta
yang mendapat pendidikan dari tempat yang sama sangat besar sekali manfaatnya dalam hubungan antar-denominasi gereja-
gereja itu sendiri, tetapi kurang mendapat pendidikan ke-”methodis”-an. 187
Untuk menambah pengetahuan calon-calon pendeta mengenai Methodisme, maka mereka diberikan program ”Kursus
Konferensi” yang secara operasional ditangani Badan Pengurus Latihan dan Penetapan Jabatan (BPLPJ) yang di Amerika
disebut Board of Ordained Ministry. Kepada setiap calon diwajibkan untuk mempelajari tiga bidang studi yakni Sejarah
Methodist, Teologi Methodist, dan Disiplin Methodist. Sambil menjalani masa on-trial (pendeta praktik) ketiga bidang di
atas dipelajari di bawah bimbingan seorang pendeta senior untuk kemudian diakhiri dengan ujian. Masalahnya penguji ini
pun sangat miskin pengetahuan sejarah, teologi dan Disipin Methodist, sehingga cara ini kurang memadai untuk
membekali seorang calon pendeta tentang apa dan bagaimana Methodisme. 188
Sebagai kesimpulan dapat ditarik bahwa pada kurun waktu 1929–1950, Gereja methodist Batak berada pada posisi
”berlari di tempat”. Kenyataan ini terjadi karena pada kurun waktu itu Misi Methodist tidak bermaksud mendirikan Gereja
Methodist Batak di Sumatra, sehingga upaya menyatukan jemaat-jemaat Methodist Batak dengan HKBP menjadi kiprah
utama. Sejak 1950-an, jemaat-jemaat Batak mengalami perkembangan yang cukup berarti, baik dalam pertambahan jumlah
jemaat (gereja lokal) maupun jumlah anggota. Selain anggota yang berasal dari kekafiran seperti di Pardembanan dan
Simalungun, pertambahan anggota terjadi terutama karena banyak anggota HKBP yang beralih ke Gereja Methodist, baik di
Sumatra Timur maupun di Tapanuli, yang pada gilirannya mengacaukan berbagai negosiasi yang pernah disepakati
pemimpin kedua Gereja. Namun, pertambahan anggota Gereja Methodist Batak tidak terjadi secara spektakuler seperti per-
tambahan jemaat-jemaat Batak (HKBP) di Sumatra Timur. Masalahnya, orang Batak yang bermigrasi ke Sumatra Timur
setelah tahun 1950-an menganggap Gereja Methodist itu merupakan ”sekte kecil”, sehingga mereka enggan bergabung
dengan Methodist. Ada juga ”mitos” lama, bahwa gereja Methodist adalah sebuah gereja yang secara khusus melayani
orang-orang Tionghoa. Keengganan orang Batak memasuki gereja Methodist juga disebabkan asumsi orang-orang Batak
bahwa gereja Methodist tidak sedogma atau sepaham dengan HKBP. 189 Di lain pihak, para pemimpin Gereja Methodist juga
merasa puas sebagai gereja kecil dengan moto: ”Biar sedikit asal methodist tulen”. 190 Selain mengakibatkan semangat
misioner yang cenderung lemah, ”mitos” bahwa Gereja Methodist adalah gereja kecil menyebabkan orang-orang Batak yang
sejak tahun 1920-an telah berada dalam asuhan Gereja Methodist tidak sedikit beralih ke gereja HKBP. Peralihan ini terjadi
disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sejalan dengan nilai budaya hamoraon, hagabeon, hasangapon, yang berfokus kepada
habolonon (kebesaran), orang-orang Batak Toba selalu mencari posisi di mana ia dapat merasakan nilai itu hadir. Dalam hal
ini ”HKBP yang besar itu” (HKBP na bolon i) mempunyai daya tarik bagi setiap orang Batak Toba di mana pun mereka
berada. Kedua, karena jemaat-jemaat Methodist hanya terbatas hadir di daerah Sumatra Timur, khususnya daerah Asahan,
maka setiap terjadi perpindahan anggota ke tempat tidak ada jemaat Methodist, maka pilihan satu-satunya adalah
menggabungkan diri dengan HKBP. Peralihan ke gereja HKBP bagi orang Batak Methodist sama sekali tidak sulit, karena
memang selama berada dalam Gereja Methodist, mereka tidak sepenuhnya methodist, kalau bukan sama sekali tidak
mengerti apa itu Methodisme. Identitas orang Methodist masih terombang-ambing.
... Ada hal yang mengundang pertanyaan. Di tempat ini ada dua kelompok yang membentuk Gereja Methodist, orang Indonesia
dan Tionghoa. Kelihatannya semua pusat penginjilan yang besar di antara orang Tionghoa bergerak lebih cepat ke arah
independensi dalam masalah Gereja, seakan-akan jemaat-jemaat Tionghoa dipisahkan dari jemaat-jemaat Indonesia oleh sebuah
tembok besar.191
Pernyataan di atas keluar karena David Hutabarat merasakan adanya tindakan diskriminatif dari pihak misionaris
Methodist kepada orang Batak menyangkut pemakaian tanah Misi Methodist di Pematang Siantar. Kendati sekolah itu
awalnya dibuka David Hutabarat, sekolah seakan-akan hanya dikuasai jemaat Tionghoa. Dalam terbitan tahun Foreign
Missions Report 1955, perasaan saling mencurigai yang menghantui hubungan kedua kelompok etnis ini secara realistis
digambarkan sebagai berikut:
Ada saat-saat ketika timbul kesulitan antara orang Tionghoa dan Batak dalam Gereja Methodist. Ini sesuatu yang alami dan
dapat ditemukan di mana terdapat dua komunitas kesukuan yang berbeda dan berinteraksi dengan begitu dekat. Orang Batak
Methodist terganggu sikap anggota Tionghoa dalam Gereja yang lebih agresif dan kaya. Mereka menganggap orang Tionghoa
sebagai ’orang asing’ dan tidak pada tempatnya jika mereka memiliki keunggulan sebagaimana yang mereka miliki. Di pihak
lain, orang Tionghoa khawatir bahwa orang Batak akan mengambil keuntungan dari keadaan politik dan mengambil kekuasaan
serta kewenangan yang lebih besar atas gereja, termasuk propertinya, daripada yang menjadi hak mereka. 192
Sejak kehadiran Ostrom dan Alm, secara tidak langsung telah diadakan pembagian daerah pelayanan antara kedua
kelompok etnis, di mana Ostrom bekerja untuk orang Tionghoa dan Alm untuk orang Batak. Setelah distrik Tionghoa
diorganisasi tahun 1938, hubungan antara kedua kelompok etnis semakin dibatasi oleh sekat distrik yang didasarkan atas
perbedaan kelompok etnis. Namun, pada pihak lain metode pengorganisasian ini justru cocok dalam rangka strategi
mengembangkan misi Methodist dengan memakai jalur budaya dan bahasa. Masalahnya, para misionaris tidak cepat-cepat
memethodistkan jemaat-jemaat Methodist di Sumatra Utara. Malahan yang terjadi, khususnya pada jemaat-jemaat Batak,
adalah proses ”demethodistasi”. Sejak tahun 1930-an, atas nama gagasan unifikasi, Misi Methodist berusaha ”meng-HKBP-
kan” Methodist dengan cara mengambil alih unsur-unsur HKBP. Misalnya, kebiasaan menerbitkan ”Almanak” setiap tahun
yang dalam tradisi Gereja Methodist di Amerika hal itu tidak lazim, sebagaimana Bishop Amstutz mengatakan:
Jauh lebih banyak anggota Methodist yang tidak menjalankan perintah agama selama satu minggu dan hanya bergantung pada
Pelayanan Ibadah dan Pembacaan Alkitab mingguan yang mereka dengarkan di gereja. Hal ini tidak memadai untuk mengalami
suatu pengalaman religius yang mendalam dan aku senang bahwa Gereja Sumatra kita mengikuti HKBP dalam praktik
menerbitkan kalender tahunan.193
Kendati Misi Methodist berusaha untuk menerjemahkan ke dalam bahasa Batak sejumlah kidung-kidung Methodist
dari Methodist Hymnal, tetapi di jemaat-jemaat Methodist setidaknya sebelum tahun 1964 (otonomi GMI) Buku Ende
HKBP lebih sering dipakai. Alasannya adalah karena selain lagu-lagu HKBP sudah sejak kecil dihayati orang Kristen Batak,
lagu-lagu Methodist cenderung susah dipelajari. 194 Singkat kata, sesuai dengan wawasan Misi Methodist yang tidak ber-
maksud mendirikan suatu gereja Batak sebagai tandingan HKBP, maka sejak zaman Misi di Sumatra hampir tidak ada
usaha-usaha untuk memethodiskan jemaat-jemaat Batak.
Pada jemaat-jemaat Tionghoa, berbagai upaya diusahakan Ostrom untuk memethodiskan jemaat-jemaat Tionghoa.
Namun, kematian Ostrom tahun 1945 membuat program itu berantakan. Akhirnya jemaat-jemaat Tionghoa pun tidak
dibekali dengan wawasan Methodisme yang memadai. Berbeda dengan sumber dan proses pembentukan spiritualitas orang
Batak, orang Tionghoa dalam Misi Methodist sangat dipengaruhi oleh kerohanian John Sung (1901–1944), 195 seorang eva-
ngelist Tionghoa asal Tiongkok pada tahun 1930-an, yang juga digelari Obor Allah di Asia. Hingga sekarang di kalangan
komunitas Kristen Tionghoa di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia, pengaruh John Sung masih kuat. Dalam
khotbah-khotbahnya yang sangat berkuasa, John Sung terus-menerus memberi tekanan sangat kuat pada aspek pertobatan.
Penekanan akan dimensi pertobatan itu bukan tanpa latar belakang khusus Masyarakat Tionghoa yang konservatif dan
percaya bahwa Tiongkok adalah Middle Kingdom, yang sejak abad ke-18 dilanda oleh berbagai krisis seperti krisis candu,
judi, praktik poligami, dan pemberontakan demi pemberontakan yang mengacaukan Tiongkok. Dalam suasana demikianlah
John Sung bangkit bagaikan Yohannes Pembaptis menyerukan berita pertobatan. Bersamaan dengan khotbah pertobatan itu,
John Sung mengajak orang-orang Tionghoa supaya meninggalkan candu, rokok, judi dan praktik poligami. Dengan kata lain
penekanan etika moral sebagai buah dari pertobatan sangat mewarnai khotbah-khotbah John Sung. Pada batas-batas
tertentu penekanan John Sung mengenai perlunya pertobatan, hidup suci, hidup yang dihangatkan dan perbuatan baik, 196
berdekatan dengan corak teologi Methodist. Agaknya latar belakangnya sebagai anak pendeta Methodist mewarnai corak
teologi John Sung yang mengandung unsur-unsur Methodisme itu. Model-model pelayan dan pelayanan dalam jemaat-
jemaat Tionghoa selalu dipertalikan dengan John Sung.197
Besarnya pengaruh corak kerohanian John Sung pada jemaat-jemaat Tionghoa dan pengaruh HKBP pada jemaat-
jemaat Batak di satu pihak, dan miskinnya pemahaman akan doktrin dan teologi Methodist di pihak lain, memperbesar
jurang pemisah antara kelompok etnis Batak dengan kelompok etnis Tionghoa. Berdirinya Bible Institute di Medan untuk
orang Tionghoa dan Sekolah Pendeta/Sekolah Guru Injil di Kisaran untuk orang Batak, pada gilirannya ikut menciptakan
jurang pemisah teologis antara orang Batak dan orang Tionghoa. Pada Sekolah Alkitab Tionghoa itu dipraktikkan cara-cara
beribadah yang bercorak Pentakosta dengan mempraktikkan ”doa dalam Roh”, di mana semua peserta kebaktian sama-
sama mengucapkan doa dengan suara yang kuat. Kebiasaan ini diambil dari kebiasaan orang Kristen Tionghoa di Tiongkok
dan Singapura. Bagi kebanyakan orang Batak cara beribadah seperti itu dianggap berbau Pentakosta.
Konflik lain antara orang Batak dan orang Tionghoa dalam GMI menyangkut sikap para misionaris pada kedua
kelompok etnis. Dalam batas-batas tertentu pihak misionaris Methodist (kecuali Alm) cenderung menganakmaskan
kelompok etnis Tionghoa, sedangkan jemaat-jemaat Batak yang masih tetap di agenda percakapan dengan HKBP dalam
rangka gagasan unifikasi, setidaknya hingga tahun 1952, seperti dianaktirikan. Inilah perasaan pendeta-pendeta Batak sejak
adanya gagasan unifikasi itu. Pengutamaan orang Tionghoa itu berkaitan dengan gagasan umum Misi Methodist bahwa
wajah Methodist di Sumatra Timur adalah orang Tionghoa, sedangkan orang Batak akan dialihkan ke HKBP.
M enurut kontatasi Richard Babcock, seorang misionaris GMI tahun 1960-an, masalah pokok yang dihadapi GMI
pada periode pasca otonom adalah: (1) sejauh mana kelompok etnis Tionghoa dalam GMI benar-benar menjadi
mitra yang baik bagi orang Batak dalam rangka memajukan GMI sebagai bagian dari bangsa Indonesia; dan (2)
sejauh mana kelompok etnis Batak dalam GMI menunjukkan kesabaran dan kasih kepada orang Tionghoa dalam rangka
membantu kelompok etnis Tionghoa ini supaya menjadi bagian integral dari GMI. 1 Agaknya asumsi Babcock ini
mengandung kebenaran seperti yang akan dibahas pada uraian berikut. Pada bagian ini akan dibahas bagaimana latar
belakang dan proses terwujudnya otonomi GMI pada tahun 1964, dan bagaimana pula masalah-masalah yang dihadapi GMI
dalam rangka menjalankan misinya sebagai gereja yang telah otonom.
Menyambut gagasan otonomi itu terdapat dua sikap di kalangan warga Gereja Methodist. Sebagian menginginkan
proses otonomi dilakukan secepatnya tanpa mengikuti prosedur yang diatur dalam Disiplin Gereja. Berlawanan dengan
pendapat itu, lebih banyak anggota gereja yang menghendaki agar proses menuju otonomi itu ditempuh secara
konstitusional. Perbedaan pendapat ini bermuara pada perpecahan yang melahirkan Gereja Methodist Merdeka Indonesia
(GMMI) di Februari 1964. Dalam uraian berikut kita akan lihat faktor internal dan eksternal yang melatarbelakangi proses
kemandirian Gereja Methodist itu, dan juga bagaimana hal itu menimbulkan perpecahan dalam Gereja Methodist.
1. Faktor Internal
Faktor internal yang melatarbelakangi otonomi Gereja Methodist ialah keinginan untuk mandiri yang timbul dari dalam
Gereja Methodist setelah memahami bahwa sejak tahun 1925 gereja-gereja di Indonesia telah memperoleh status
kemandirian (otonomi) yang dimulai HKBP tahun 1930 dan disusul gereja-gereja lainnya. 6 Setelah Indonesia merdeka,
semakin besar keinginan GMI untuk menjadi mandiri dalam arti tidak lagi bergantung kepada dan dipimpin oleh orang
asing. Tahun 1960-an cita-cita untuk mandiri makin kuat di kalangan warga Methodist yang didorong semangat
nasionalisme dan semangat anti Amerika yang dikobarkan Presiden Soekarno. Semangat kemandirian itu dikaitkan juga
dengan pemahaman teologis bahwa: Yesus mengajarkan bahwa semua manusia harus merdeka, baik secara fisik maupun
spiritual.7
Untuk mempermudah proses pemandirian, atas permintaan Konferensi Misi Sumatra, Konferensi Agung (General
Conference) Gereja Methodist di Amerika tahun 1960 telah memberikan Enabling Act (mandat) kepada Gereja Methodist di
Sumatra untuk membentuk Konferensi Tahunan. Dalam notulen General Conference tahun 1960 tercatat sebagai berikut:
Sesuai dengan semua persyaratan dalam Disiplin 1960, dengan demikian diberikan wewenang bagi ... Konferensi tahunan
Sementara Sumatra dan Uruguay untuk dibentuk menjadi Konferensi Tahunan dalam waktu empat tahun yang berakhir pada
tahun 1964, asalkan mereka paling tidak memiliki 25 anggota pendeta.8
Realisasi keputusan ini terjadi tiga tahun kemudian, yaitu dalam sidang Konferensi Tahunan yang berlangsung pada 7–
13 Januari 1963 di Medan, karena baru saat itu persyaratannya terpenuhi. Untuk mencapai syarat—jumlah pendeta 25 orang
—pada Konferensi itu ditahbiskan 8 orang pendeta baru. 9 Berdasarkan bunyi rekomendasi Konferensi Agung tadi, pada
sidang Konferensi itu Bishop Hobart Amstutz, pemimpin Gereja Methodist di Asia Tenggara (Malaysia/Singapura,
Myanmar, dan Indonesia) mengumumkan hal berikut:
Konperensi Tahunan Sementara Geredja Methodist Sumatra tidak lagi bersifat sementara, tetapi Konperensi Tahunan penuh,
djika Pendeta anggota penuh dalam Konperensi sudah tjukup 25 orang. 10
Dengan status Konferensi Tahunan penuh itu, Gereja Methodist di Sumatra berhak mengutus delegasi mengikuti
Konferensi Agung (General Conference) di Amerika.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang melatarbelakangi otonomi GMI adalah situasi politik nasional pada dasawarsa tahun 1950-an, yang
ditandai oleh tindakan nasionalisasi di berbagai bidang politik (seperti bidang pendidikan dan perkebunan). 11 Melihat
perkembangan itu, di kalangan para misionaris Methodist—tidak hanya di Indonesia, tetapi di Asia Teng gara umumnya—
timbul kesadaran bahwa makin lama makin tidak mungkin Gereja Methodist di Asia Tenggara (termasuk Indonesia)
dipimpin oleh orang Amerika.
Namun, situasi politik yang sangat berpengaruh pada proses kemandirian Gereja Methodist adalah masalah
konfrontasi Indonesia-Malaya tahun 1961–1964.12 Ketegangan politik antara kedua negara bertetangga dan sama-sama
rumpun Melayu itu berawal ketika Tunku Abdul Rahman, Perdana Menteri Malaya, melontarkan gagasannya ten tang
pembentukan Federasi Malaysia (Malaya, Singapura, Serawak, dan Sabah) di Singapura pada 27 Mei 1961, ketika berbicara di
depan para wartawan yang tergabung dalam Foreign Journalists Association. 13 Sampai pada tahap ini, Indonesia belum
merasa curiga terhadap gagasan itu. Namun, setelah gagasan itu dikonsultasikan dengan Perdana Menteri McMillan di
London pada Oktober 1961, dan pada Juli 1962 ada pembicaraan mengenai pelaksanaan federasi, maka timbul dugaan
Indonesia bahwa rencana itu ciptaan Inggris. Atas dasar kecurigaan yang keliru 14 bahwa Inggris berdiri di belakang gagasan
itu serta didorong oleh elan revolusioner di dalam negeri untuk menentang neo-kolonialisme dan imperialisme (nekolim),
maka Indonesia dengan keras menentang gagasan itu. Konfrontasi meletus setelah 16 September 1963 Tunku Abdul Rahman
memproklamasikan lahirnya Federasi, yang menurut Indonesia dan Filipina (yang juga menentang gagasan itu karena
Serawak diklaim Filipina sebagai miliknya) tidak sesuai dengan jiwa Konferensi Tingkat Tinggi antara ketiga negara yang
berlangsung pada awal Agustus 1963 di Manila. 15
Apa pun pertimbangan di belakang politik konfrontasi itu, yang jelas dalang dari manuver politik ini adalah Partai
Komunis Indonesia (PKI), yang dengan jitu dapat memengaruhi Presiden Soekarno, supaya ia mengalihkan kekuatan
Angkatan Darat ke perbatasan Kalimantan—yang dalam percaturan politik dalam negeri merupakan lawan utama PKI—
dengan maksud agar PKI dapat menguasai dan mengarahkan kiprah politik Indonesia. Lebih jauh Panggabean mencatat
bahwa: ”PKI terus mengagitasi rakyat agar Malaysia segera diganyang dan mereka menuduh siapa saja yang tidak turut atau
yang menghalangi pengganyangan adalah antek-antek nekolim.”16
Mula-mula konfrontasi mengambil bentuk pernyataan-pernyataan dan demonstrasi-demonstrasi yang memekikkan
slogan ”ganyang Malaysia”. Sasaran utama demonstrasi adalah Kedutaan Besar Inggris di Jakarta, sedangkan Kedutaan Besar
Malaysia adalah sasaran antara. Terbukti demonstran tidak melakukan perusakan di Kedutaan Besar Malaysia. Namun,
demonstran tidak hanya merusak Kedutaan Besar Inggris, melainkan juga rumah, kendaraan bermotor dan harta benda
milik warga negara Inggris.17 Situasi ini mengakibatkan hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia diputuskan pada 17
September 1963.
Amerika Serikat secara formal menyatakan dukungan kepada Malaysia. Selain karena Inggris—yang berada di belakang
Federasi Malaysia—merupakan sekutu yang tangguh bagi penyelesaian masalah-masalah dunia bagi Amerika, dukungan itu
diberikan dalam rangka membendung perluasan komunis di Asia Tenggara yang saat itu Indonesia merupakan basis yang
amat kuat.18 Sekalipun Amerika membantu Indonesia dalam penyelesaian masalah Irian Barat, dukungan yang diberikan
Amerika kepada Malaysia ini mengundang kemarahan dari pemimpin politik Indonesia, sehingga Amerika juga dicap
sebagai negara ”nekolim”.19
Dari penjelasan Amstutz ini tampak, bahwa andaikata pun Konferensi Agung, Mei 1964, memberikan mandat kepada
Gereja Methodist di Sumatra menjadi otonom tidak berarti pada tahun itu juga status otonom itu dideklarasikan. Biasanya
diperlukan beberapa tahun untuk mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan pemandirian itu, terutama membuat
buku Disiplin (Peraturan Gereja).
Pada Konferensi Tahunan tanggal 20-26 Januari 1964 masalah otonomi ini menjadi topik pembicaraan yang hangat.
Dalam sidang tanggal 22 Januari 1964 pukul 19.00, Bishop Amstutz menjelaskan panjang lebar mengenai arti dan makna
serta prosedur menjadi gereja otonom. Dengan mengacu pada three-self formula yang dikembangkan Henry Venn (1796–
1873) dan Rufus Anderson (1796–1880), 28 Bishop Amstutz menjelaskan arti dan makna otonomi suatu gereja yakni: self-
governing, self-supporting, and self-extending (propagating).29 Ia juga menandaskan kembali apa yang sudah disampaikan
melalui surat penggembalaannya, yakni bahwa bila Gereja Methodist di Sumatra ingin menjadi gereja otonom secara
konstitusional, ia harus terlebih dahulu mengajukan permohonan ke General Conference yang akan berlangsung bulan Mei
berikutnya, untuk meminta suatu Enabling Act. Agaknya penjelasan ini cukup dipahami oleh mayoritas peserta sidang. Na-
mun, ketika Bishop Amstutz memberikan kesempatan kepada peserta sidang mengajukan tanggapan, sekelompok kecil
hadirin—yang bukan peserta sidang—yang menamakan diri anggota Penuntut Autonomi Gereja Methodist Indonesia
(PAGMI),30 mendesak Bishop Amstutz supaya pada saat konferensi itu juga diproklamirkan otonomi Gereja Methodist di
Indonesia. Kelompok ini mengklaim bahwa Indonesia adalah sebuah negara merdeka, karena itu tidak perlu meminta izin
dari Amerika untuk otonomi.31 Didorong oleh semangat politik konfrontasi yang sedang berkobar pada waktu itu, mereka
menuntut agar segala hubungan dengan negara-negara Barat segera diputuskan. 32
Melihat tuntutan golongan PAGMI ini, Bishop Amstutz kembali menjelaskan dalam sidang bahwa apabila Gereja
Methodist Sumatra tetap mau menjadi Gereja Methodist, maka ia harus tunduk kepada Disiplin yang mengatur prosedur
tentang otonomi. Kendati kelompok itu berusaha untuk memaksakan kehendaknya dalam sidang, mayoritas peserta sidang
menolak tuntutan mereka seraya mendukung anjuran Bishop Amstutz supaya otonomi Gereja Methodist Sumatra
ditempuh lewat jalur yang formal. Karena itu, sidang Konferensi Tahunan Januari 1964 memilih dua orang utusan ke
General Conference yaitu Ragnar Alm (pendeta) dan Karel Hutapea (awam). Kedua utusan yang akan berangkat ke Amerika
di bulan Mei berikutnya akan membawa permohonan kepada Konferensi Agung untuk memberikan izin kepada Gereja
Methodist di Sumatra menjadi gereja yang otonom. Untuk mempersiapkan pelaksanaan otonomi itu, sidang juga
mengangkat sebuah panitia yang disebut ”Badan Perentjana/Persiapan Otonomi Geredja Methodist di Indonesia” yang
diketuai Pdt. Johannes Gultom (kemudian menjadi Bishop) dengan anggota sebanyak 25 orang yang terdiri dari 12 pendeta
dan 13 warga gereja (kaum awam).
Merasa tidak puas atas hasil keputusan Konferensi Tahunan Januari 1964 itu, kelompok PAGMI menyatakan diri keluar
dari Gereja Methodist di Sumatra. Itu juga berarti memutuskan hubungan dengan Gereja Methodist di Amerika, termasuk
dengan Bishop Methodist di Singapura. Kelompok PAGMI beranggapan, mereka adalah warga negara Indonesia yang baik,
yang ikut terlibat dalam proses perjuangan bangsa yang sedang terlibat konflik dengan Malaysia. Atas anggapan itulah
kelompok PAGMI tidak segan-segan mengklaim harta-harta GMI sebagai milik mereka. Pada Minggu tanggal 2 Februari
1964, terjadi perebutan pemakaian gereja di GMI Jalan Hang Tuah Medan—gereja Batak yang tertua dan terbesar waktu itu
—tatkala anggota jemaat kedua belah pihak sama-sama datang mengikuti kebaktian Minggu. Pendeta Wilfrid Simanjuntak
(yang saat itu menjadi pendeta jemaat tersebut yang telah bergabung dengan kelompok PAGMI) memimpin kebaktian dari
mimbar ”bawah” (biasanya dipakai oleh liturgis) untuk kelompoknya. Pada waktu yang sama, Pdt. Wismar Panggabean
(Wakil Bishop) juga memimpin kebaktian melalui mimbar ”atas” (biasanya dipakai oleh pengkhotbah). Terjadilah
kegaduhan, karena dua pendeta memimpin dua jenis nyanyian dan mengkhotbahkan dua jenis khotbah pada waktu dan
tempat yang sama. Sebagai kelompok yang ”memberontak”, anggota PAGMI ini jauh lebih agresif dan lebih lantang. Untuk
mencegah bentrok fisik, Panggabean dan rombongan mengalah dan meninggalkan gereja itu. Hari Minggu selanjutnya,
Panggabean meminta campur tangan pihak keamanan untuk menghalau kelompok PAGMI dari gereja, dan ternyata petugas
keamanan (polisi) tidak berpihak kepada kelompok PAGMI.33 Pada 16 Februari 1964, secara resmi kelompok PAGMI
mendirikan Gereja Methodist Merdeka Indonesia (GMMI).34 Sesuai klaim GMMI bahwa harta-harta Gereja Methodist
Sumatra adalah milik GMMI, maka GMMI mengupayakan pengalihan semua harta itu lewat pengadilan. Namun, ternyata
gugatan mereka ditolak oleh pengadilan negeri Medan. 35 Jemaat-jemaat GMMI yang pernah ada ialah: GMMI Jalan Gedung
Arca (Medan), GMMI Helvetia (Medan), GMMI Wingfoot, dan GMMI Simpang Dolok. Satu-satunya jemaat yang
anggotanya seratus persen beralih ke GMMI adalah Helvetia, Medan. Namun, tahun 1986 gereja ini secara bulat beralih ke
GMI, baik anggota termasuk gedung gerejanya. GMMI tidak berkembang, malah sebagian besar anggota GMMI telah
kembali ke GMI.
Ada beberapa faktor non-teologis yang melatarbelakangi kelahiran GMMI. Pertama, situasi politik konfrontasi sangat
berpengaruh besar pada kelahiran GMMI. Senior mengatakan bahwa: ”Kemunculan Gereja Methodist Bebas dalam banyak
hal merupakan hasil dari propaganda revolusioner dan nasionalis yang muncul dalam kampanye anti-Malaysia.” 36
Kedua, sejak tahun 1950-an sudah terpendam perasaan tidak puas di kalangan sebagian anggota Methodist Batak
terhadap para misionaris yang seakan-akan mengistimewakan anggota keturunan Tionghoa. 37 Oleh karena itu, kelompok
PAGMI yang seratus persen orang Batak itu merasa tidak senang lagi untuk berada bersama-sama dengan kelompok etnis
Tionghoa dalam satu organisasi gereja. Dengan kata lain, pada kadar tertentu faktor etnisitas ikut melatarbelakangi lahirnya
GMMI.
Ketiga, S. Lumbantobing, seorang pengusaha besar di Medan, yang pada waktu itu merupakan utusan Konferensi
Tahunan dari jemaat Methodist berbahasa Batak Jalan Hang Tuah Medan, mempunyai ambisi pribadi untuk memenangkan
pemilihan utusan ke General Conference dan untuk itu ia melakukan berbagai pendekatan pribadi, termasuk kepada Bishop
Amztutz. Kepentingan pribadi yang berkaitan dengan bisnis yang akan dilakukannya di Amerika ikut menumpang dalam
ambisinya itu. Ternyata pada pemilihan, yang menang bukan ia melainkan Karel Hutapea. Rasa kesal akan hasil pemilihan
itu mendorongnya bergabung dengan gerakan skismatik itu.
Gambaran keanggotan (penuh dan persiapan) GMI pada tahun 1964 saat GMI menjadi otonom adalah sebagai berikut:
Jumlah 11.02942
Kendati Misi Methodist di Sumatra mula-mula hanya bekerja pada kalangan Tionghoa, bahkan hingga tahun 1950-an,
Misi Methodist masih berusaha untuk hanya mengembangkan gereja Tionghoa di Sumatra, sebab gereja Batak direncanakan
akan dialihkan ke HKBP. Setelah GMI otonom, proses ”batakisasi” dalam GMI yang telah dimulai sejak dasawarsa tahun
1930-an semakin nyata. Dengan kata lain, dari segi keanggotaan GMI yang baru mandiri itu telah didominasi oleh kelompok
etnis Batak karena orang Tionghoa dalam GMI hanya sekitar sepuluh persen.
Konferensi Agung di Amerika pada Mei 1964 yang memberi Enabling Act untuk otonomi GMI, juga menetapkan daerah
kerja Konferensi Tahunan Sumatra, bukan lagi hanya meliputi Sumatra melainkan seluruh Indonesia.43 Oleh sebab itu,
setelah GMI lahir dimulailah pengembangan pekerjaan GMI di Jawa. Tahun 1964, lahirlah sebuah jemaat di Jakarta Pusat
yang anggotanya mayoritas terdiri dari para perantau Sumatra, baik orang Tionghoa maupun orang Batak. Mula-mula
jemaat ini merupakan jemaat campuran antara orang Tionghoa Palembang (peranakan) dengan orang Batak Sumatra Utara
yang sepakat membuka kebaktian berbahasa Indonesia. Sementara itu, pada tahun 1968 dibuka pula sebuah pos pekabaran
Injil berbahasa Tionghoa di daerah Angke, Jakarta Barat, yang menjadi cikal bakal GMI Immanuel Jalan Latumeten, Jakarta
Barat. Anggota pos ini umumnya adalah orang-orang Tionghoa totok yang pindah dari Sumatra Utara ke Jakarta.44 Tahun
1979 atas prakarsa Pdt. Chaidy Yunus (Tionghoa), dimulai pula sebuah pos pekabaran Injil berbahasa Indonesia di Jalan
Daan Mogot, Jakarta Barat, yang menjadi cikal bakal GMI Anugerah, Jakarta Barat sekarang. Jemaat ini adalah jemaat
campuran hingga sekarang. Anggota jemaat Jakarta Pusat yang tinggal di Jakarta Barat menggabungkan diri dengan jemaat
ini, baik yang Tionghoa maupun yang Batak. 45 Karena jemaat Anugerah selalu dilayani orang Tionghoa, sementara jemaat
Jakarta Pusat lebih banyak dilayani pendeta Batak, 46 lama-lama semua orang Tionghoa di Jakarta Pusat beralih ke Jemaat
Anugerah, karena agaknya bagi orang Tionghoa pelayanan pendeta Tionghoa lebih berterima, dan ada juga faktor pribadi
pendeta sebagai daya penarik. Karena itu, di Jakarta Pusat tinggal melulu orang Batak, walau tetap berkebaktian dalam
bahasa Indonesia. Ketiga jemaat inilah induk pengembangan GMI di Jawa, yang kemudian berkembang menjadi satu Distrik
dari Konferensi Tahunan Wilayah II GMI.47
Dari segi kacamata orang Barat (misionaris), realitas bahwa kedua kelompok etnis (Batak dan Tionghoa) dapat
bersama-sama memasuki era baru dalam GMI yang mandiri adalah suatu sukacita. Robinett mengatakan:
Bagi beberapa di antara kami (misionaris—pen.) kebahagiaan terbesar datang saat melihat dibukanya pintu partisipasi lebar-
lebar dalam gereja otonom yang dibuka kepada orang Tionghoa di Gereja. Dengan semangat persaudaraan dan kepedulian,
anggota Batak dari Konferensi memasukkan orang Tionghoa untuk memiliki suara dalam setiap permasalahan Gereja,
sebagaimana yang dengan sukacita mereka katakan: ”Mereka berbagi dengan kami sebelum otonomi. Jadi, mengapa harus ada
perbedaan sekarang saat kita bisa membuat keputusan sendiri?” 48
Pengamatan Robinett ini dapat dipahami mengingat bahwa pada masa itu di Indonesia perasaan anti-Tionghoa cukup
besar di kalangan mayoritas penduduk pribumi. Nyatanya di dalam GMI, setidaknya di kalangan para pendeta Batak,
perasaan anti-Tionghoa seperti itu dapat diminimalkan. Dapat diduga bahwa di antara kedua kelompok etnis sudah ada
semacam ”simbiose mutualistis”, yakni dua pihak yang berdampingan yang saling menguntungkan. Bagi orang Tionghoa,
kehadiran orang Batak dalam GMI dapat menjadi pembela apabila mereka menghadapi ancaman politik dari pihak
pemerintah atau penduduk pribumi yang anti-Tionghoa. Bagi orang Batak, kehadiran orang Tionghoa dalam GMI sangat
besar artinya dari segi dana yang diperlukan dalam gereja. Namun, secara teologis dapat dikatakan bahwa kehadiran orang
Batak dan orang Tionghoa dalam GMI merupakan ”kairos” (waktu Allah) dan suatu hasil sebuah proses sejarah.
Sekalipun otonomi itu dipahami sebagai suatu karunia Tuhan bagi GMI, yang jelas GMI dilahirkan bagaikan seorang
”bayi prematur”, seperti dikatakan J. Gultom: ”Dengan keadaan terpaksa atau dengan kata2 ketabiban lahirlah sang ’baji’
jang masih lemah (kurang umur) dengan tiada persiapan2 sebelumnya”. 49
Keadaan kurang persiapan ini diakui G.A. Robinett, ketika ia berkata:
Akhirnya ... otonomi Gereja Methodist lahir pada Agustus 1964, sebelum jadwal yang ditentukan. Tekanan politik yang sangat
besar pada saat itu mendorong dilakukannya berbagai langkah cepat untuk mencegah setiap tuduhan bahwa gereja adalah
sebuah lembaga asing, alat pemerintah imperialis. 50
Realitas bahwa GMI lahir tanpa persiapan yang matang berakibat panjang pada munculnya berbagai masalah dalam
perjalanannya, yang hingga saat ini masih belum sepenuhnya dapat diatasi. Pada bagian berikut akan diuraikan berbagai
masalah yang dihadapi GMI, dengan memberikan perhatian khusus pada seluk-beluk perjumpaan kelompok etnis Batak
Toba dan Tionghoa dalam GMI itu.
Tiga pihak yang menolak ide berbishop mempunyai alasan berbeda-beda. Pertama, sebagian orang Batak tidak
menghendaki GMI dipimpin oleh seorang Bishop dengan alasan belum ada figur—baik orang Batak maupun Tionghoa—
yang dianggap mampu untuk memegang jabatan sebesar itu, yang sebelumnya dipegang berturut-turut oleh H.B. Amstutz
dan R.L. Archer yang sama-sama berpredikat Ph.D serta memiliki banyak pengalaman sebagai misionaris di Asia Tenggara.54
Kedua, kelompok etnis Tionghoa menolak bentuk episkopalisme dengan alasan bahwa bishop yang akan datang—yang
di atas kertas pasti dari orang Batak karena merupakan kelompok ”mayoritas”—dikhawatirkan tidak bakal memberi
perhatian yang memadai pada kepentingan kelompok etnis Tionghoa. Dalam notulen sidang istimewa pemandirian GMI itu
tercatat:
Pdt. R.L. Tobing atas nama Distrik Kisaran menyampaikan usul agar Geredja kita berbentuk kebishopan, seperti selama ini ...
Distrik Tionghoa dan beberapa utusan geredja mengusulkan agar organisasi Geredja kita berbentuk Dewan.55
Kelompok etnis Tionghoa menolak usul bentuk berbishop dan malah mendukung usul bentuk dewan. Alasan mereka
mendukung bentuk dewan adalah agar wakil mereka dalam dewan itu mendapat tempat untuk memperhatikan
kepentingan orang Tionghoa dalam GMI. Sikap kelompok etnis Tionghoa ini didukung oleh para misionaris yang lebih
junior seperti Per-Eric Lager, D.F. Walker, W.S. Heath, Richard Babcock, J.Wesley Day, G.R. Senior, dan G.A. Robinett.
Perlu dicatat bahwa pada saat itu, kecuali Ragnar Alm (misionaris tersenior), semua misionaris GMI yang ada di Sumatra
Utara tergabung dalam Distrik Tionghoa, baik yang bekerja di jemaat-jemaat berbahasa Tionghoa maupun yang bekerja di
sekolah-sekolah yang diasuh Distrik Tionghoa. Karena itu, dapat dimaklumi jika para misionaris junior ini lebih dekat
kepada orang Tionghoa ketimbang orang Batak.
Ketiga, kendati para misionaris yang lebih muda seakan sekadar mendukung orang Tionghoa dalam hal bentuk
kepemimpinan GMI itu, tetapi pada hakikatnya mereka mempunyai alasan sendiri. Mereka mencium adanya niat Alm
untuk menjadi Bishop, niat mana sangat ditentang mereka. Mereka berpendapat bahwa pemimpin suatu gereja yang
otonom hendaknya bukan lagi orang asing, tetapi orang pribumi. Akhirnya bentuk pemimpin pusat GMI ini diputuskan
melalui pemungutan suara dengan 51 orang mendukung bentuk dewan dan 31 orang mendukung bentuk episkopal
(berbishop).56 Bentuk Dewan Pimpinan Pusat (DPP) GMI itu terdiri dari seorang ketua dan lima orang anggota yakni para
Pemimpin Distrik.57 Masa jabatan dewan adalah dua tahun dan dapat dipilih kembali untuk dua tahun ber ikutnya. Pada
pemungutan suara terpilihlah Pdt. Wismar Panggabean—yang sebelumnya telah dipercaya sebagai ”wakil Bishop”—
menjadi Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) GMI untuk periode dua tahun (1964–1967). Anggota DPP yang sekaligus
sebagai DS terpilih Pdt. B. Purba (Pemimpin Distrik Medan-Tebing Tinggi), Pdt. S. Doloksaribu (pemimpin Distrik Kisaran),
Pdt. A. Hutabarat (Pemimpin Distrik Rantau Prapat), Pdt. Lo Youn Fei (Pemimpin Distrik Tionghoa) dan Pdt. M.H.
Napitupulu (Pemimpin Distrik Palembang). Perlu dicatat, bahwa sebelum itu kelima anggota DPP ini sudah menjabat DS
atas pengangkatan bishop. Namun, sesuai aturan permainan yang sudah ditetapkan bahwa anggota DPP pun harus dipilih
dalam Konferensi, maka diadakanlah pemilihan. Kebetulan para DS itulah yang terpilih menjadi anggota DPP.58
Sejak awal bekerja, dewan ini diperhadapkan dengan berbagai kesulitan. Salah satu kendala adalah, dewan ini bekerja
tanpa adanya peraturan gereja sebagai pegangan dan penuntun dalam pelaksanaan tugas. Secara formal, Disiplin Gereja
Methodist Amerika sebagai gereja induk tetap dipergunakan walau secara praktis sulit dilaksanakan, sebab selain dokumen
itu tertulis dalam bahasa Inggris, ia juga tidak mampu menjawab semua masalah yang timbul di Indonesia. Kesulitan lain
adalah jarak yang saling berjauhan antara ketua dan para angggota DPP, menyebabkan kurangnya koordinasi kerja. Praktis
ketua DPP-lah yang memikul tugas sehari-hari di Kantor Pusat GMI. Atas dasar itulah, maka Ragnar Alm mengatakan,
bahwa Pdt. Wismar Panggabean secara de facto adalah seorang bishop.59
Setelah DPP ini bekerja lebih dari dua tahun (Agustus 1964–Maret 1967) disadari bahwa bentuk ini kurang efektif,
sebab para anggota DPP berada di luar Medan. Di satu pihak anggota DPP dituntut lebih banyak di daerah untuk
melaksanakan tugas sebagai Pemimpin Distrik, tetapi di lain pihak mereka harus banyak berada di Medan untuk men-
dampingi ketua DPP serta mengikuti rapat-rapat DPP, karena sistem kepemimpinan kolektif ini tidak menghendaki
pengambilan keputusan dilakukan satu orang (ketua DPP). Pada sidang Konferensi Tahunan bulan Maret 1967, komposisi
DPP ini dirombak lagi dengan bentuk baru yakni: Ketua, Wakil Ketua dan Sekretaris Jenderal tanpa anggota DPP.
Pertimbangan utama struktur baru ini adalah: supaya DPP dapat melaksanakan tugasnya dengan efektif maka ketiga
personel DPP harus tinggal di Medan untuk dapat bekerja sama mengemban tugas yang lazimnya dipegang seorang
bishop.60 Kembali Pdt. W. Panggabean terpilih sebagai ketua DPP. Sebagai wakil ketua terpilih Pdt. Chong Han Giok (Pdt.
Jonannes Edenata) dan sebagai Sekretaris Jenderal terpilih Pdt. Hermanus Sitorus. 61 Menarik untuk diperhatikan bahwa
sidang yang pesertanya didominasi orang Batak memilih seorang wakil ketua secara tertulis dan rahasia dari kelompok etnis
Tionghoa. Hal ini memberi indikasi adanya suatu usaha di kalangan GMI untuk saling menghargai terutama di antara kedua
kelompok etnis. Seperti dicatat Robinett, kehadiran Edenata yang dapat berbahasa Indonesia dengan baik, berbeda dengan
rata-rata pendeta Tionghoa seangkatannya (dalam DPP), merupakan tali penghubung antara kedua kelompok etnis dalam
GMI.62 Badan Misi Methodist di New York juga mencatat hal ini demikian:
Wakil ketua adalah seorang Tionghoa, mengindikasikan cara yang baik di mana gereja, yang 80 persen anggotanya orang Batak,
telah mengintegrasikan orang Tionghoa. Sekalipun orang Tionghoa mengalami diskriminasi di Indonesia, ada semangat dalam
gereja untuk menjembatani perbedaan budaya dan bahasa di antara anggotanya.63
Setelah DPP ini bekerja dua tahun (satu periode), kembali masalah struktur pemimpin pusat menjadi topik
perdebatan. Pada Konferensi Agung pertama GMI tanggal 12–16 Februari 1969, 64 pokok penting yang dibahas dalam sidang-
sidang adalah apakah GMI meneruskan sistem DPP atau mengambil sistem episkopal (berbishop). Muara L. Tobing
(seorang delegasi dari Palembang), melaporkan ada tiga jenis pendapat yang berkembang dalam sidang itu.
Pendapat pertama:
Sistem D.P.P. diteruskan dengan ketentuan anggota2 D.P.P. harus diganti. Menurut pendapat ini, dengan sistem D.P.P.
golongan2 Tionghoa, Djawa dll. akan terdjamin perwakilan dan kepentingannja.
Pendapat kedua:
Sistem D.P.P. diteruskan sampai dua tahun lagi dengan ketentuan anggota-anggota D.P.P. harus diganti. Sistem D.P.P. masih
perlu diteruskan sementara, sebab (kata mereka) G.M.I. belum tjukup matang untuk sistem Episcopalisme.
Pendapat ketiga:
Sistem D.P.P. sudah kehilangan pegangan, sudah ketinggalan langkah, sudah kemasukan anasir2 mammon, kepentingan kawan
dan famili, sudah mendjalar di dalam tubuhnja praktik2 burung kasuari dan bersitegang leher, praktik2 dari lingkungan lain
jang bukan dari Methodist. Pendapat ketiga ini menuntut supaja pada pekan Konp. Agung itu djuga G.M.I. sudah kembali
kepada sistem Episcopalisme, sistem ber-Bishop. 65
Jika disimak lebih jauh, sekalipun ada tiga alternatif yang dimunculkan dalam Konferensi itu, pada hakikatnya hanya
dua yang menjadi pilihan yakni: berbishop atau ber-DPP. Kendati pada pendapat kedua (di atas) masih ada niat untuk
mempertahankan DPP, itu hanya untuk sementara, karena kelompok ini adalah pendukung ide episkopalisme. Akhirnya
sidang mengadakan pemungutan suara untuk memilih satu dari antara dua pilihan: bentuk berbishop atau DPP. Hasil
pemilihan adalah: 34 suara mendukung bentuk berbishop dan 11 suara mendukung bentuk dewan. 66 Meskipun tidak
dilaporkan siapa memilih yang mana, dapat diduga bahwa hasil pemungutan suara itu mencerminkan adanya polarisasi
pendapat antara kedua kelompok etnis. Kelompok etnis Tionghoa mendukung bentuk DPP dan kelompok etnis Batak
mendukung bentuk berbishop. Dari 45 orang peserta Konferensi Agung pertama itu, terdapat 12 orang Tionghoa, 7 orang
misionaris, dan 26 orang Batak. Agaknya selain sudah terjadi pergantian beberapa orang personel zendeling, para misionaris
telah cenderung mendukung ide berbishop setelah melihat berbagai kejanggalan pada bentuk dewan. Pdt. Per Eric Lager,
misalnya, mendukung bentuk berbishop dan sekaligus mengunggulkan Pdt. J. Gultom untuk menjadi calon bishop. Pada
Konferensi Agung itu terpilih Pdt. J. Gultom, yang waktu itu berusia 37 tahun 67 menjadi Bishop GMI yang pertama untuk
periode empat tahun 1969–1973. 68 Sama seperti pada periode kepemimpinan DPP (1964–1969), Gultom memulai tugasnya
tanpa Disiplin, sebab sampai tahun 1969 GMI belum mampu menerbitkan buku Disiplin. 69
Keputusan untuk mempunyai Bishop ini mengawali lembaran baru GMI. Di satu pihak GMI (paling tidak orang Batak)
merasa bangga karena telah mengikuti struktur episkopalisme yang dianggap sebagai salah satu ciri khas Methodist. Namun,
pada pihak lain keputusan berbishop ini merupakan awal dari berbagai konflik intern dalam GMI sebab GMI belum
memahami secara benar apa dan bagaimana Methodisme itu. Tampilnya seorang Bishop tanpa adanya suatu badan pen-
damping Bishop—yang berfungsi sebagai katup penyelamat (safety valve)70 yang di dalamnya dapat terwakili semua
kelompok—merupakan akar dari berbagai konflik yang berkepanjangan dalam GMI. Di banyak gereja Protestan di
Indonesia telah umum dikenal badan-badan seperti: majelis pusat, moderamen, dan majelis sinode. Badan-badan ini
merupakan mekanisme organisasi gereja yang berfungsi untuk mencegah terjadinya kepemimpinan yang one man show.
Pada gereja Methodist di luar negeri (Malaysia dan Singapura) yang juga mempunyai Bishop, sejak menjadi otonom tahun
1968 gereja itu sudah membentuk suatu badan yang merupakan safety valve yang disebut Executive Council of the General
Conference (ECGC) yang diketuai oleh Bishop. 71 Dengan demikian, kekuasaan Bishop di Malaysia dan Singapura tidak
sebesar kekuasaan Bishop di Indonesia. 72 Kendati di Gereja Methodist Amerika kekuasaan Bishop masih cukup besar di
daerah kerjanya, gereja itu mempunyai satu dewan Bishop di mana dewan ini dapat berfungsi untuk mengontrol dan
mengoordinasikan kepemimpinan seluruh kegiatan gerejawi termasuk sebagai kontrol sosial bagi para Bishop yang
melayani di suatu episkopal area. Inilah salah satu kekhilafan GMI yang tidak disadari pada waktu GMI memasuki era
otonomi yang sangat terburu-buru itu, bahwa Bishop sama sekali tidak mempunyai sebuah badan atau majelis sebagai
partner Bishop dalam proses pengambilan keputusan. Secara tidak sadar, GMI telah menyimpang dari asas organisasi
Methodist yang tidak mengenal sistem kepemimpinan tunggal. 73
Wewenang Bishop sebagai pemimpin tertinggi dalam GMI diperkuat lagi dengan lahirnya sistem departementasi di
Kantor Pusat GMI. Tahun 1973 atas usul Bishop Gultom, Konferensi Agung II GMI membentuk tiga departemen, masing-
masing: (1) Departemen Kerohanian dan Pembinaan Warga Gereja, (2) Departemen Pendidikan dan, (3) Departemen
Penatalayanan (Keuangan).74 Konsep departementasi ini disahkan pada Konferensi Agung II tahun 1973 dan dibakukan
dalam buku Disiplin GMI yang terbit untuk pertama kalinya tahun 1973. Ketiga departemen ini masing-masing mempunyai
Sekretaris Eksekutif secara penuh waktu yang sekaligus sebagai staf Bishop. Usul departementasi ini dimunculkan Gultom
setelah belajar dari pengalaman selama satu periode (1969–1973) memimpin GMI dengan cara single fighter. Pertimbangan
Gultom dan Konferensi Agung II yang mengesahkan proposal departementasi itu ialah, bahwa dengan adanya beberapa
orang staf (pendeta dan kaum awam) di Kantor Pusat, tentu sudah ada teman Bishop untuk berdiskusi. Lambat laun,
dengan sistem departementasi ini terjadilah pengalihan proses pengambilan keputusan dari Konferensi Tahunan ke Kantor
Pusat GMI. Timbul pulalah konflik antara para Sekretaris Eksekutif dengan para Pemimpin Distrik (DS) tentang siapa yang
lebih tinggi. Jabatan Sekretaris Eksekutif (sekarang ada tujuh jabatan yang setingkat dengan Sekretaris Eksekutif)75 di
Kantor Pusat GMI yang menerima berbagai fasilitas lebih besar ketimbang apa yang diterima pendeta jemaat membuat
jabatan-jabatan itu pada gilirannya menjadi suatu jabatan ”rebutan” bagi pendeta dan kaum awam.
Kedudukan seorang Bishop yang oleh J. Gultom—dalam tesisnya—dilihat sebagai ”penguasa tunggal” 76 ini diperparah
pula dengan penafsiran yang tidak akurat terhadap diktum Disiplin mengenai tugas dan tanggung jawab Bishop, yang
diambil alih (diterjemahkan) dari diktum Disiplin Methodist Amerika. Dalam Disiplin GMI mengenai tugas Bishop, pada
butir 1 dari 23 butir tugas-tugas Bishop tercantum kalimat ini: ”Mengawasi secara umum hidup kerohanian dan materi dari
GMI”.77 Kalimat ini adalah terjemahan langsung dari bahasa Inggris: ”To oversee the spritual and temporal affair of the
church”.78 Kata ”mengawasi” yang datang dari bahasa Inggris oversee cenderung dipahami GMI—terutama oleh Bishop dan
turun juga kepada para Pemimpin Distrik—dengan ”menanggungjawabi” bahkan ”mengontrol”. Yang paling naif lagi ada-
lah, pemahaman tentang ”materi” yang datang dari kata temporal, justru amat cenderung dikaitkan GMI, terutama oleh
para Bishop, dengan masalah benda, harta dan atau uang yang ada dalam GMI. Sering dipahami oleh GMI, bahwa semua
kekayaan material yang dimiliki GMI, baik di pusat maupun tingkat lokal adalah di bawah pengawasan dan kuasa Bishop.
Interpretasi demikian selain menyesatkan juga sangat mendangkalkan tugas seorang Bishop. Sebenarnya ungkapan to
oversee the spritual and temporal affair of the church, mengacu pertama kepada tugas ”pastoral” (rohani) seorang Bishop
yang tidak berubah (unchanging) berdasarkan Alkitab, dan kepada tugas ”organisatoris” dan ”administratif” (”materi”) yang
berubah-ubah (temporal atau changing) berdasarkan keputusan-keputusan Konferensi yang selalu berubah sekali empat
tahun.79 Penafsiran yang dangkal dan keliru di atas, pada gilirannya menjadi akar dari banyak masalah yang timbul dalam
GMI. Tak sedikit kebijakan yang diambil Bishop GMI, sering kurang matang bahkan cenderung bertindak otoriter.80 Lama-
kelamaan jabatan Bishop ini mengalami pergeseran makna dari jabatan rohani menjadi jabatan duniawi. Untuk
memperolehnya pun sering digunakan cara-cara duniawi: kampanye terselubung dan janji muluk-muluk. Pemahaman yang
agak sesat ini pada batas-batas tertentu memberi kondisi untuk berperannya nilai budaya Batak dengan konsep harajaon
(kuasa) dalam mekanisme kepemimpinan GMI. Orang Batak cenderung memahami jabatan Bishop itu sebagai jabatan
seorang ”raja” yang memegang kuasa tertinggi dalam gereja.
Hingga sekarang GMI masih terus bergumul dalam rangka mencari format strukturnya. Salah satu upaya yang
dilakukan GMI dalam rangka penataan struktur yang diharap dapat menopang program GMI ialah gagasan untuk
menjadikan Konferensi Tahunan Wilayah II (Sumatra Selatan dan Jawa) menjadi satu Episcopal Area. 100 Dewasa ini
berkembang pemikiran terutama di wilayah II, bahwa tahun 1997 GMI akan mempunyai dua Bishop. Bagaimana nanti
realisasi gagasan itu, Konferensi Agung tahun 1997-lah yang akan memutuskan.
Usaha ini sebenarnya baik, tetapi karena dilakukan hanya oleh satu Distrik maka dengan cepat kelompok etnis Batak
Toba menuding usaha ini sebagai langkah-langkah eksklusif dan upaya segregasi. 108 Menurut struktur GMI, hanya
Konferensi Tahunan dan atau Konferensi Agung yang dapat membuat usaha seperti itu.
Tahun 1974, pemerintah Indonesia melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mencanangkan program asimilasi
pendidikan sebagai salah satu upaya untuk menggalang kesatuan dan persatuan nasional, terutama dalam rangka
mengintegrasikan masyarakat Tionghoa dengan penduduk pribumi. Bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia, setiap
kebijaksanaan politik yang dikaitkan dengan kedudukan orang Tionghoa selalu menimbulkan perasaan khawatir.
Kekhawatiran demikian dirasakan juga oleh orang Tionghoa dalam GMI. Pada situasi seperti inilah orang Tionghoa
membutuhkan kehadiran orang Batak dalam GMI, terutama pejabat-pejabat pemerintah, untuk membela kepentingan
orang Tionghoa di hadapan pemerintah. Bagi orang Batak, terutama Pimpinan Pusat GMI, momen ini dipergunakan untuk
”menekan” Distrik Tionghoa agar bersedia secara lambat laun menuju arah pembauran serta bersedia menerima gagasan
pembagian distrik menurut letak geografis. Ketika masalah program asimilasi pendidikan ini dibicarakan pada Konferensi
Tahunan GMI-SUA bulan November 1975, diputuskanlah perubahan nama Distrik Tionghoa menjadi Distrik
Pengembangan.109
Pertimbangan penentuan nama ’distrik pengembangan’, adalah dalam rangka perwujudan pembauran dan
pengintegrasian yang diinginkan. Untuk itu diperlukan usaha-usaha dalam bentuk berbagai pengembangan, yang dapat
dilalui secara bertahap. 110
Tahap akhir yang tersirat pada pertimbangan di atas adalah, bahwa Distrik Pengembangan itu akan sepenuhnya
mempergunakan bahasa Indonesia, bukan lagi bahasa Tionghoa, sehingga dengan mudah pembagian distrik secara
geografis dapat diwujudkan. Namun kenyataannya, perubahan nama hanyalah pertukaran kulit semata. Harapan yang
tersirat pada perubahan nama itu agaknya tidak dipedulikan oleh orang Tionghoa. Distrik Pengembangan tetap bekerja
sebagai Distrik Tionghoa. Malah pada Konferensi Tahunan GMI-Sumatra Utara Aceh (disingkat: KT-GMI-SUA) bulan
November 1977, Distrik Pengembangan mengajukan usul agar Distrik ini dijadikan satu Konferensi Tahunan.111 Dalam
laporan Distrik Pengembangan yang disampaikan Pdt. L. Leono, pada sidang Konferensi Tahunan bulan November 1977 di
Tebing Tinggi, diusulkan agar:
Distrik Pengembangan menjadi Konperensi Tahunan. Pendeta/Guru Injil Distrik Pengembangan pada beberapa tahun yang lalu
telah menginginkan supaya Distrik Pengembangan menjadi Konperensi Tahunan. Distrik Pengembangan telah memenuhi
persyaratan untuk menjadi Konperensi Tahunan, yaitu jumlah Pendeta (Elder) sudah cukup. Dengan maksud untuk
mengembangkan Gereja Methodist Indonesia. 112
Ternyata pada waktu itu usul ini tidak ditanggapi secara serius, hanya sepintas, dengan mengambil kesimpulan bahwa hal
itu:
... perlu dijajaki lebih luas dan mendalam, terutama hubungannya dengan Disiplin GMI dan faktor-faktor lain, baik faktor
misiologis, eskatologis, theologis, psikologis dan terutama sesuai dengan perkembangan sosial politik sekarang ini.113
Usul Distrik Pengembangan yang meminta agar status distrik itu ditingkatkan menjadi Konferensi Tahunan tidak
dibahas secara mendalam, karena sebelum laporan Distrik Pengembangan itu dibacakan, sebuah ceramah yang berjudul
”Partisipasi Gereja dalam Pembinaan Kesatuan Bangsa” telah dipresentasikan oleh Pdt. Yahya Wiriadinata dari Departemen
Penelitian PGI. Wiriadinata, yang sengaja diundang GMI untuk berceramah, memuji GMI karena mencerminkan kesela-
matan Allah bagi semua bangsa yang di dalamnya orang Batak, orang Tionghoa, dan kelompok etnis lainnya hidup
bersama-sama dalam Kristus.114 Sedikit banyak ceramah ini untuk sementara dapat meredam atau membendung segala
aspirasi berhubung dengan masalah etnis yang sedang dihadapi GMI.
Karena pentingnya usul ini bagi Distrik Pengembangan/Tionghoa maka permintaan yang sama diajukan pada
Konferensi Tahunan berikutnya (Januari 1979). Sama seperti tahun sebelumnya, Pemimpin Distrik Pengembangan (Pdt.
Luther Leono) yang menyampaikan laporannya, mendapat kritik bertubi-tubi dari pihak orang Batak. Bishop H. Sitorus
(pemimpin sidang) mengusulkan agar Konferensi membentuk sebuah tim yang akan menulis makalah mengenai baik
buruknya Distrik Pengembangan menjadi Konferensi Tahunan.
Untuk menindaklanjuti pemecahan masalah ini, tanggal 24 Januari 1980 dibentuklah sebuah tim yang terdiri dari
delapan anggota,115 di mana Pdt. J. Edenata (Tionghoa) sebagai ketua dan Pdt. E.M. Hutasoit sebagai sekretaris. Rapat
pertama diundang tanggal 5 Juni 1980, tetapi gagal karena yang hadir hanya dua orang. Rapat kedua diundang tang gal 2 Juli
1980 dan yang hadir hanya tiga orang. Melihat anggota tim yang delapan orang itu (lima orang Tionghoa, dua orang Batak,
dan satu orang Sunda) maka dapat diduga bahwa rapat-rapat tim gagal karena diboikot oleh unsur Tionghoa. Waktu sudah
mendesak,116 tetapi rapat berjalan terus walau tidak kuorum. Dari kehadiran anggota tim dalam dua kali undangan rapat
sudah tampak gambaran, bahwa di satu sisi masalah ini tidak pernah serius dibicarakan dan di sisi lain orang Tionghoa
memberikan perlawanan secara diam-diam. Masalahnya, jika soal ini dibahas dalam rapat tim yang dihadiri ketua
Departemen Pendidikan GMI, yang notabene seorang mantan pejabat tinggi pemerintah, besar kemungkinan orang
Tionghoa akan mendapat tekanan dari segi politik. Lalu, anggota tim dari Tionghoa takut kalau-kalau rapat tim meng-
gagalkan rencana pembentukan Konferensi Tahunan berbahasa Tionghoa, merekalah yang menjadi sasaran kritik warga
jemaat Tionghoa yang lain. Karena itulah, dalam setiap rapat hanya Pdt. Edenata—ketua tim, yang dikenal sangat dekat
dengan orang Batak, karena pintar berbahasa Indonesia dan bisa sedikit berbahasa Batak—yang hadir dari kelima anggota
tim yang Tionghoa. Pada rapat yang tidak kuorum itu, tim tidak berhasil menulis makalah mengenai kebaikan dan
keburukan pembentukan Konferensi Tahunan Tionghoa. Selain kemungkinan tidak menguasai masalah, keengganan
anggota tim untuk secara mendalam dan terbuka membicarakan masalah yang agak ”peka” ini agaknya karena takut
menyinggung perasaan orang lain. Akibatnya, tim tidak mampu melaksanakan tugasnya untuk membuat suatu ulasan. Yang
dapat dibuat tim tidak lebih dari sekadar pokok-pokok pikiran yang akan disampaikan pada Konferensi Tahunan 1980, yang
intinya sebagai berikut:
(1) berterima kasih atas usul itu, sebab di dalamnya terkandung keinginan untuk maju; (2) menurut Disiplin, memang Distrik
Pengembangan sudah memenuhi syarat untuk menjadi Konferensi Tahunan sendiri, yaitu telah mempunyai sepuluh orang
pendeta; (3) tim melihat bahwa saat ini usul itu belum bisa diwujudkan karena situasi politik yang berhubungan dengan
program asimilasi; (4) tim tetap menghargai usul ini sambil menantikan saat yang tepat untuk mewujudkannya; (5) sesuai
prosedur yang diatur dalam Disiplin, hendaknya masalah ini diputuskan dalam Konferensi Agung. 117
Dengan kata lain, permohonan Distrik Pengembangan untuk menjadi Konferensi Tahunan tidak terwujud. Ternyata
dalam Konferensi Agung V GMI yang berlangsung pada Oktober 1981 di Parapat, masalah ini tidak lagi diperbincangkan,
karena pada saat itu GMI sedang memasuki suatu era baru yakni era pekabaran Injil ke tanah Karo yang meminta perhatian
dari segenap jajaran GMI. Dengan demikian, tuntutan Distrik Pengembangan untuk menjadi satu Konferensi Tahunan
mengalami jalan buntu.
Tahun 1983 masalah Distrik Pengembangan/Tionghoa ini mencuat kembali ke permukaan, tetapi bukan lagi dalam
rangka peningkatannya menjadi Konferensi Tahunan, melainkan mengenai masalah penghapusan identitasnya sebagai
distrik yang berdasarkan kelompok etnis. Sebelum melihat bagaimana masalah Distrik Pengembangan muncul kembali
tahun 1983 sebagai arena konflik, akan dibahas dulu perkembangan GMI sejak tahun 1981 (terutama setelah Konferensi
Agung IV), yang menetapkan program kerja empat tahun GMI dalam berbagai bidang. Pembahasan tentang hal ini tidak
bisa dielakkan karena rencana dan kebijakan ini membutuhkan begitu banyak uang yang disedot dari sekolah-sekolah
Methodist yang pada gilirannya mengancam keutuhan gereja.
Ketika mengikuti kedua pertemuan raya itu, terutama Konferensi Agung penyatuan The Methodist Church dengan
Evangelical United Brethren menjadi United Methodist Church, Bishop Sitorus terpukau akan ”kebesaran” gereja Methodist
di Amerika, yang waktu itu merupakan gereja Protestan terbesar di Amerika dengan anggota lebih sepuluh juta. Mulai saat
itulah kecintaan Sitorus terhadap Methodisme bertambah besar. Kebesaran Gereja Methodist di Amerika segera mengubah
persepsinya terhadap GMI. Dengan latar belakang itulah, bisa dipahami mengapa Bishop H. Sitorus berupaya keras untuk
menghapus ”mitos” di kalangan gereja-gereja di Sumatra Utara, bahwa GMI adalah sebuah gereja kecil. Sekalipun
kenyataannya secara kuantitatif GMI adalah gereja kecil di Sumatra Utara, setidaknya jika dibandingkan dengan HKBP,
tetangga terdekatnya, Bishop Sitorus selalu mengatakan bahwa GMI adalah gereja besar. Kebesaran gereja tidak hanya ia
pandang dari segi jumlah. Ajaran-ajaran Methodisme tentang hidup baru, pertobatan, dan kesucian sangat diandalkan
Sitorus sebagai kebesaran. Realitas GMI sebagai gereja multietnis juga dilihatnya sebagai kekayaan dan keistimewaan. Latar
belakang personal Bishop H. Sitorus yang digambarkan di atas ikut mewarnai gerakan kebangkitan GMI yang dicanangkan
Bishop Sitorus sejak tahun 1980-an.
Visi untuk membesarkan GMI yang telah bergejolak dalam roh Bishop H. Sitorus mendapat momentum yang tepat
pada saat perayaan Yubileum 75 tahun Methodisme di Indonesia, yang diadakan pada Juli 1980 di Medan secara besar-
besaran. Dalam Bimbingan dan Pengarahan (Episcopal Address) Bishop H. Sitorus—pada Konferensi Agung bulan Oktober
1981—menegaskan bahwa:
Perayaan Yubileum 75 tahun GMI kita adakan sebagai titik tolak penggalangan serta peningkatan semangat dan hidup baru di
dalam kebulatan tekad untuk terus setia melaksanakan tridarma tugas panggilan gereja yaitu marturia, koinonia, dan
diakonia.120
Dari pernyataan di atas jelas bahwa sejak perayaan yubileum itulah, Bishop Sitorus menetapkan suatu tekad untuk
membangkitkan dan membesarkan GMI. Ia sering menamai periode 1981–1985 sebagai periode kebangkitan GMI. Wisma
Methodist di Parapat yang dibangun pada periode ini ia beri nama Bukit kebangkitan GMI, yang secara kebetulan cocok
dengan nama tempat itu: bangun dolok (bangun = bangkit dan dolok = bukit). Selama empat tahun pertama (1977–1981),
Bishop Sitorus melihat GMI tidak mengalami kemajuan yang berarti. Ketika Bishop Gultom menyerahkan jabatan Bishop
kepada Sitorus tahun 1977, jumlah anggota GMI sekitar 36.000 (anggota penuh dan persiapan).121 Selama empat tahun
pertama (1977–1981), Sitorus mencanangkan agar setiap jemaat membuka pos pekabaran Injil. Tujuan Bishop Sitorus adalah
untuk menjadikan GMI yang ”kecil” itu menjadi gereja yang besar. Namun, sampai berakhirnya satu periode pelayanan
Bishop Sitorus, anggota GMI tahun 1980/1981 masih berkisar 41.000 (penuh dan persiapan).122 Pertambahan yang tidak
terlalu besar ini belum menjawab kerinduan Bishop Sitorus, karena itu ia tidak jemu-jemu mengkhotbahkan perlunya GMI
bangkit untuk mengabarkan Injil. Pada berbagai Konferensi dan retret pekerja GMI, Bishop Sitorus mengundang pem-
bicara-pembicara baik dari dalam maupun luar negeri untuk membangkitkan jiwa misioner GMI.123 Dalam rangka itu juga
Bishop Sitorus tidak segan-segan merekrut evangelis-evangelis tamatan Institut Injili Indonesia (I-3) Batu Malang atau dari
sekolah-sekolah teologi aliran Injili lainnya untuk menjadi pekerja GMI. Kendati Sitorus adalah alumnus Fakultas Theologia
Universitas Nommensen, baginya para alumni sekolah-sekolah teologi aliran ekumenikal di Indonesia kurang misioner.
Beberapa orang yang pernah direkrutnya tahun 1980-an adalah: Ferry Joshua, Talini Halawa, David Taulo, B. Sinaga, dan
Jusuf Roni.124
Salah satu peluang konkret terhadap tekad untuk membangkitkan dan membesarkan GMI adalah terjadi di daerah
Tanah Karo, khususnya di Kecamatan Mardingding, pada Februari 1981. Guru Injil G.M.P. Simanjuntak, yang waktu itu
melayani di GMI Kampung Sejahtera (jemaat yang terdiri dari orang Batak Toba), mengadakan penginjilan ke desa-desa
orang Karo yang berdekatan dengan jemaatnya. Masyarakat Karo di daerah itu mayoritas masih menganut kepercayaan yang
disebut pamena. Ternyata penginjilannya ini mendapat sambutan masyarakat. Kemudian, Simanjuntak melaporkan kepada
Bishop Sitorus, bahwa masih ada puluhan ribu masyarakat Karo yang belum Kristen dan sekarang mereka siap untuk
diinjili. Mengenai terobosan baru ini, Bishop Sitorus mengatakan: ”Ketika kudengar kesaksian mereka mengenai
permulaiaan ini, aku menyadari betapa drastisnya langkah iman ini.” 125 Bishop Sitorus yang diilhami oleh tema: Majulah
dengan iman, pengharapan dan kasih, yang diambil alih dari tema Konferensi di Gereja Methodist Singapura, pada
Konferensi Agung bulan Oktober 1981 menyerukan kepada GMI: Marilah kita maju dengan iman, pengharapan dan kasih
untuk mengabarkan Injil ke tanah Karo.126 Didorong semangat yubileum 75 tahun dan dalam terang tema tersebut,
Konferensi Agung IV GMI menyusun program kerja untuk satu masa bakti (empat tahun) di berbagai bidang seperti:
pekabaran Injil, pendidikan, teologi, kemanusiaan, wanita, dan pemuda.127 Bidang yang paling mendapat perhatian pada
Konferensi Agung itu adalah bidang pekabaran Injil. Pada Konferensi Agung itu diputuskan untuk membuat target
menambah anggota GMI sebanyak 10.000 jiwa dalam tempo empat tahun (1981–1985). 128 Jadi, sejak tahun 1982, GMI
mengerahkan dana dan daya dalam jumlah yang besar 129 dalam rangka gerakan pekabaran Injil di Tanah Karo. Beberapa kali
pembaptisan massal dilaksanakan, sehingga dalam waktu beberapa tahun saja ribuan orang Karo dibaptiskan GMI. 130 Perlu
ditambahkan bahwa gerakan ini dilakukan GMI tanpa keterlibatan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP). Pada gilirannya
Pemimpin Pusat GBKP mengajukan keberatan, bahwa GMI memasuki kawasan orang Karo tanpa persetujuan GBKP. Protes
GBKP ini tidak membuat GMI mundur, dengan argumen bahwa yang dilayani GMI bukan mereka yang sudah masuk GBKP,
tetapi yang masih beragama suku.
Untuk melayani di daerah baru ini GMI tidak hanya menempatkan pendeta, guru Injil GMI, tetapi juga merekrut
anggota jemaat yang mampu dan ditugaskan sebagai penginjil awam yang mendapat tunjangan khusus untuk biaya-biaya
transportasi dan honorarium. Untuk melayani di semua lapangan pekabaran Injil itu, di tahun 1985 GMI menugaskan: 5
orang pendeta, 10 orang guru Injil, dan 32 orang penginjil awam.131 Dengan pertambahan lapangan pelayanan baru ini GMI
merasa perlu menambah tenaga pelayan dalam jumlah besar.
Untuk menjawab kebutuhan tenaga pekerja inilah maka pada pada 14 Agustus 1983, GMI secara resmi mendirikan
seminari Institut Theologia Alkitabiah (ITA) bertempat di Bandar Baru, Sibolangit yang berdekatan dengan Tanah Karo.
Sebenarnya Konferensi Agung III GMI tahun 1977 telah memutuskan untuk meningkatkan Institut Alkitab (IA) GMI di Jalan
Yos Sudarso, Medan, menjadi perguruan tinggi teologi yang bertaraf akademis atau Sekolah Tinggi Teologi (STT). Dalam
notulen Konferensi Agung III dicatat:
Meningkatkan Pendidikan di Institut Alkitab menjadi Akademi Theologia/sederajat. Menambah ruangan-ruangan belajar dan
asrama. Mendatangkan tenaga-tenaga ahli dari luar negeri.” 132
Namun kenyataannya, bukan kampus IA Medan yang dikembangkan menjadi Akademi Theologia, melainkan GMI
membuka kampus baru di Bandar Baru. Sebelum Konferensi Agung tahun 1981, GMI sudah membeli sebidang tanah di
Bandar Baru yang dibeli dengan uang hasil penjualan dua buah rumah bekas misionaris di pusat pasar Jalan Bulan, Medan.
Semula areal ini dimaksudkan menjadi tempat Panti Asuhan dan Rumah Jompo GMI. Sejak tahun 1981 GMI mulai mengope-
rasikan Panti Asuhan tersebut dengan empat orang anak asuh, yang berasal dari Nias, dan menempatkan Pdt. B. Purba
sebagai pimpinan Panti Asuhan itu. Rencana membuka Rumah Jompo tidak pernah terwujud.
Namun kemudian atas pertimbangan pekabaran Injil di Tanah Karo yang sedang hangat-hangatnya, timbul ide untuk
menjadikan kompleks Rumah Jompo itu menjadi kampus perguruan tinggi teologi (STT). Maka pada Konferensi Agung IV
GMI bulan Oktober 1981, Bishop H. Sitorus mengajukan gagasan agar kampus IA dipindahkan ke Bandar Baru. Sebagian
peserta sidang menolak gagasan itu, tetapi sebagian mendukungnya, sehingga diputuskan dengan jalan pemungutan suara
dengan hasil: 27 setuju, 22 menolak dan 11 abstain. 133 Jadi, sejak tahun 1983 GMI mempunyai dua buah seminari (IA dan ITA)
dan baru tahun 1988 keduanya disatukan di Bandar Baru, dan lokasi IA di Medan dijadikan sekolah umum. Akhirnya tahun
1992 program IA dihapuskan.
Selain gerakan Pekabaran Injil di Tanah Karo dan pembangunan ITA di Bandar Baru, masih banyak lagi program kerja
GMI yang diputuskan Konferensi Agung IV untuk dilaksanakan pada periode 1981–1985 yang membutuhkan biaya besar,
antara lain:
1. Klinik berlayar atau ”Kapal Pelayanan Sosial” untuk melayani masyarakat di sekitar pantai Timur Sumatra (Tanjung
Leidong, Labuhan Bilik, Panipahan, Bagan Siapi-api, dan Pulau Halang). Sebuah kapal bekas pukat harimau dibeli pada
September 1982 seharga Rp25.154.000 termasuk biaya perbaikannya. Biaya operasi kapal klinik ini berkisar
Rp15.000.000 setiap tahun. Karena masalah izin dan biaya operasi yang terlalu mahal, proyek ini akhirnya berhenti
sejak tahun 1985 dan kapal dijual.
2. Panti Asuhan di Bandar Baru. Panti Asuhan ini didirikan tahun 1982 di kompleks ITA Bandar Baru. Dari semenjak
berdiri hingga sekarang, penghuni panti asuhan ini hanya empat orang. Dua dari mereka sudah keluar dan dua lagi
mahasiswa ITA. Dengan kata lain, proyek panti asuhan tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Tidak ada angka berapa
banyak uang sudah keluar untuk program ini. Biaya rutin per tahun sebesar Rp4.104.450.
3. Proyek Pendidikan Pembangunan dan Pelayanan Desa (P3-Desa) di Bandar Maruhur. Biaya operasi proyek
percontohan pertanian ini tiap tahun sebesar Rp23.000.000. Proyek ini mendapat bantuan dari United Methodist
Church on Relief (UMCOR), AS. Lambat laun proyek percontohan ini berhenti karena memang dari awal kurang
mempunyai dasar dan perencanaan yang matang. Sejak tahun 1989, nama P3-Desa diganti dengan Partisipasi Pem -
bangunan (Parpem GMI) yang kiprahnya hanya untuk menyalurkan bantuan yang datang dari UMCOR untuk usaha-
usaha kemanusiaan: membangun pipa air minum di desa-desa terpencil, menyalurkan bantuan untuk korban-korban
kebakaran, banjir, dan lain-lain.
4. Proyek pembangunan Wisma Methodist di Parapat sebagai pengganti Wisma Methodist yang dibangun pada zaman
zending. Yang terakhir ini dibarter dengan sebidang tanah ditambah sebuah bangunan kapel di Bangun Dolok Parapat
milik Dr. T.D. Pardede. Tidak ada angka yang pasti berapa banyak biaya dikeluarkan GMI untuk membangun wisma ini
yang terdiri dari sekitar 30 kamar, dilengkapi dengan kamar makan dan dapur, serta 2 buah rumah pegawai. Yang pasti
biaya pembangunan wisma ini pada kurun waktu 1981–1985 menelan dana ratusan juta rupiah.
5. Program peningkatan kesejahteraan pekerja GMI. Salah satu keprihatinan dan menjadi ”beban rohani” bagi Bishop
Sitorus dalam kepemimpinannya adalah rendahnya gaji pekerja GMI khususnya orang Batak. Telah menjadi tekad
Bishop Sitorus pada masa bakti 1981–1985 untuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja GMI, dan pada batas-batas
tertentu ia berhasil. Mula-mula tabel minimum gaji pekerja diciptakan dalam suatu peraturan penggajian pegawai
dengan cara membuat golongan, pangkat, dan masa dinas. Kendati dengan cara ini masih tetap ada kesenjangan gaji
pekerja di kota dengan di desa, mereka yang bekerja di daerah terpencil harus menerima gaji minimal sebesar tabelnya.
Jika jemaat yang dilayani tidak mampu membayar gaji sejumlah yang terdapat dalam tabel, Kantor Pusat akan memberi
subsidi gaji pekerja itu. Gambaran bagaimana subsidi gaji pekerja ini meningkat sejak tahun 1981 nampak pada tabel
berikut:
Selain menggambarkan kenaikan subsidi gaji dari Kantor Pusat, yang juga menunjukkan adanya kenaikan gaji pekerja, tabel
di atas juga menunjukkan perbandingan kualitas ekonomi jemaat-jemaat GMI di tiap daerah kerja. Subsidi gaji paling besar
diberikan ke daerah: Kisaran, Siantar–Tapanuli dan Tebing Tinggi, yang menunjukkan keuangan jemaat-jemaat di daerah
itu sangat rendah, sehingga untuk menutupi gaji pekerja agar minimal sesuai dengan tabel maka harus disubsidi dari
Kantor Pusat. Yang paling sedikit menerima subsidi Kantor Pusat adalah Distrik Pengembangan (Tionghoa). Umumnya
jemaat-jemaat Tionghoa yang sudah mapan memiliki sumber daya dari sekolah, sehingga pendeta-pendeta Tionghoa jarang
menerima subsidi. Dana untuk Distrik Pengembangan pada tabel di atas adalah gaji Pemimpin Distrik dan subsidi untuk
pos-pos pekabaran Injil yang belum mempunyai sekolah.
Untuk mendukung program kerja di atas, terutama usaha penginjilan di tanah Karo, Konferensi Agung 1981 telah
memutuskan agar ”persembahan persepuluhan” (tithing) seperti terdapat dalam Alkitab (Maleakhi 3:10) mulai dilaksanakan
dalam seluruh jajaran GMI. Bunyi keputusan mengenai persembahan persepuluhan ini adalah:
Melaksanakan penyetoran persembahan persepuluhan dari anggaran pemasukan per tahun yang masing-masing dibuat oleh
gereja dan lembaga serta badan-badan GMI ke Kantor Pusat (Departemen Penatalayanan dan Diakoni).135
Bagi Gereja Methodist di Amerika dan negara-negara lain, persembahan persepuluhan bukanlah hal baru. 136 Namun bagi
GMI, hal itu cukup baru apalagi bagi orang Batak yang mewarisi tradisi gugu tok-tok ripe (iuran per keluarga) dalam
penatalayanan gereja. Karena itu, untuk menjemaatkan persembahan persepuluhan ini, Bishop Sitorus dan para pendeta
GMI tidak bosan-bosannya menyampaikan masalah persepuluhan ini melalui khotbah, warta gereja, 137 dan tulisan-tulisan
dalam Suara Methodist Indonesia (SMI). Dalam SMI edisi Februari 1982, Bishop H. Sitorus menegaskan:
Bagaimanakah kita dapat melaksanakan proyek-proyek gereja kita ini? Dapatkah kita melaksanakannya? Tuhan berkata
”DAPAT”, maka kita akan ”DAPAT”. Kita telah sepakati dan telah kita putuskan dalam Konperensi Agung IV yang baru lalu
bahwa 10% Anggaran tahunan Gereja-gereja Lokal, lembaga: seperti sekolah-sekolah, Klinik-klinik, Rumah Sakit, Percetakan,
Wisma dan sebagainya akan kita kumpulkan untuk ”DANA PEMBANGUNAN UMUM” GMI. 138
Di tingkat jemaat gerakan persepuluhan ini cukup berhasil, karena pada umumnya angka uang pemasukan di jemaat-
jemaat menaik. Departemen Penatalayanan GMI membuat perbandingan uang pemasukan ke Kantor Pusat GMI antara
periode 1977–1981 dengan periode 1981–1985 yang hasilnya berikut ini.
Sumber dana 1977–1981 1981–1985 % Kenaikan
Kendati pemasukan dari jemaat berada jauh di bawah pemasukan dari sekolah, persentase kenaikan dari jemaat jauh
lebih tinggi daripada pos yang lain. Dengan kata lain kesadaran memberi di kalangan anggota jemaat mengalami
peningkatan sejak praktik persembahan persepuluhan dijalankan. Lebih jauh angka itu menunjukkan bahwa pemasukan
dari sekolah-sekolah Methodist mencapai sekitar 73 persen dari seluruh uang masuk ke Kantor Pusat. Ini membuktikan
betapa besarnya tanggung jawab sekolah pada pendanaan GMI. Masalahnya, dengan mengandalkan sekolah dalam
pendanaan gereja, timbul pergeseran fungsi sekolah. Sekolah Methodist bukan lagi pertama-tama berfungsi sebagai sarana
pembentukan manusia seutuhnya dan wahana pekabaran Injil, tetapi sudah menjadi suatu komoditas yang menghasilkan
uang.140 Pada gilirannya terjadi pula konflik dalam diri pendeta-pendeta Methodist yang merangkap pendeta jemaat dan
kepala sekolah di satu tempat: antara mengutamakan pekerjaan jemaat dan pekerjaan sekolah. Biasanya kepentingan
sekolah mengalahkan kepentingan jemaat.
Sekalipun pemasukan dana ke Kantor Pusat GMI sudah meningkat secara mencolok sejak 1981, tetapi menurut
pertimbangan Bishop H. Sitorus jumlah itu masih bisa ditingkatkan lagi. Beliau sangat yakin bahwa sekolah-sekolah besar
yang diasuh oleh jemaat-jemaat Tionghoa (Medan, Binjai, Pematang Siantar, Bagan Siapi-api, dan seterusnya) belum benar-
benar memberikan sepersepuluh dari Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPB) tahunannya seperti digariskan
dalam keputusan Konferensi Agung IV dan imbauan-imbauan Bishop. Dari isi pengarahan itu tampak bahwa masalah dana
untuk program ”amanat agung” (baca: pekabaran Injil) ini merupakan inti pergumulan Bishop Sitorus. Bishop Sitorus yakin
bahwa dengan terbukanya pintu bagi GMI bermisi di Tanah Karo, kesempatan untuk membesarkan GMI yang sudah lama
ia cita-citakan sedang terbuka lebar.
Momen gerakan kebangkitan GMI ini bagi Sitorus merupakan saat yang tepat untuk mewujudkan gagasan penghapusan
Distrik Tionghoa/Pengembangan yang sudah lama menjadi pokok perdebatan dalam setiap Konferensi tahunan GMI.
Seperti sudah diuraikan di atas, masalah eksistensi Distrik Pengembangan selalu menjadi perdebatan antara kelompok etnis
Batak dan Tionghoa. Bagi Bishop H. Sitorus, jika perdebatan-perdebatan seperti ini dibiarkan terus berlangsung, GMI tidak
akan pernah pengalami kemajuan. Jadi, salah satu pertimbangan Bishop H. Sitorus untuk menggagas penghapusan Distrik
Pengembangan adalah dalam rangka mengakhiri perdebatan perlu tidaknya Distrik Pengembangan ditingkatkan menjadi
satu Konferensi Tahunan. Namun alasan utama untuk mempercepat penyelesaian pro-kontra pembentukan Konferensi
Tahunan berbahasa Tionghoa adalah menghapuskan Distrik Pengembangan itu sendiri. Momentum untuk mewujudkan ide
itu adalah gerakan kebangkitan GMI dengan fokus gerakan pekabaran Injil yang sedang digalakkan di Tanah Karo yang
membutuhkan dana besar.
Setelah mengemukakan argumen yang tekanannya adalah masalah kebutuhan keuangan untuk pekabaran Injil dan
didukung dengan argumentasi teologis bahwa gereja adalah Tubuh Kristus yang tidak mengenal perbedaan suku, warna
kulit, adat dan kebudayaan, maka Bishop H. Sitorus mengajukan konsep pembagian Distrik secara geo grafis yang terdiri
dari tujuh distrik yang dinamai Distrik 1–7 dalam wilayah Konferensi Tahunan Sumatra bagian Utara, yang disebut juga
wilayah I. Pembagian Distrik baru secara geografis itu adalah sbb.:
Distrik Satu : Mulai dari Binjai sampai Banda Aceh, Sabang dan terus ke Meulaboh.
Distrik Dua : Kota Medan dan sekitarnya, Bandar Baru, Kampung Lalang, Belawan, BatangKuis, Ramonia, Pagar Jati,
Lubuk Pakam, Galang, Sibiru-biru.
Distrik Tiga : Mulai dari Berastagi sampai Simpang Dua, Kotacane, Tanah Karo, Aceh Tenggara dan Dairi.
Distrik Empat : Tebing Tinggi dan sekitarnya, Rampah, Indrapura, Gunung Para, Sipispis, Silau Kahean.
Distrik Lima : Dolok Ilir, Raja Maligas, Gunung Bayu, Tapanuli, Pematang Siantar.
Distrik Enam : Kisaran, Tanjung Balai, Leidong, Pulau Raja, Sigura-gura, Bosar Sipinggan.
Distrik Tujuh : Rantau Prapat dan Sekitarnya.142
Ketika dibuka termin untuk membahas ”Episkopal Address” Bishop H. Sitorus di mana sidang saat itu dipimpin Rev.
T.C. Nga (orang Tionghoa, Presiden Konferensi Tahunan Berbahasa Inggris Gereja Methodist Singapura), 144 terjadilah debat
cukup hangat yang rekaman singkatnya berikut ini.
• Pdt. J. Edenata (Tionghoa): eksistensi Distrik Pengembangan tidak dapat lagi dipertahankan dan ia setuju dengan
penghapusan Distrik ini. Namun, perlu diingat bahwa apabila Distrik Pengembangan dihapuskan, itu akan
menimbulkan kejutan bagi jemaat-jemaat di Distrik Pengembangan. Karena itu, diusulkan agar dibentuk sebuah tim
untuk mengatasi kesulitan yang bakal muncul.
• Pdt. Fajar Lim (Tionghoa): gagasan penghapusan Distrik pengembangan itu baik dan sangat dirindukan, tetapi jangan
dilaksanakan saat ini. Lebih bagus menunggu sampai terjadi pembauran secara alamiah pada generasi-generasi akan
datang.
• Pdt. Bachtiar (Tionghoa): Setuju dengan penghapusan Distrik Pengembangan asalkan tidak menghapuskan eksistensi
jemaat-jemaat Tionghoa.
• Amantora (Tionghoa): rencana itu sudah lama digumulkan, jadi jangan ditunda-tunda lagi.
• Pdt. Ph. Sirait (Batak): setuju pembagian distrik menurut letak geografis dengan alasan, gereja yang satu dapat membantu
gereja lain.
• Pdt. J. Gultom (Batak, mantan Bishop): sejarah persoalan ini sudah panjang. Oleh karena itu, teruskan saja untuk
mengambil keputusan.
• Pdt. A. Hutabarat (Batak): gagasan pembagian Distrik berdasarkan letak geografis ini tidak menghilangkan eksistensi
jemaat-jemaat Tionghoa, karena itu jangan ditunda-tunda lagi.
• Pdt. A. Sihombing (Batak): perubahan itu tidak perlu ditunda-tunda lagi. Namun, tim untuk mengatasi kesulitan yang
akan muncul harus dibentuk.
• Pdt. S. Kosasih (Tionghoa): pada mulanya gagasan menghapus Distrik Pengembangan sangat ditentang (oleh Kosasih),
tetapi setelah memandang dari sudut Alkitab bahwa Yesus tidak memandang bulu, pembagian Distrik secara geografis
ini adalah baik.145
Jika diperhatikan argumen-argumen di atas, jelas bahwa tidak satu orang pun pembicara membuat argumen tentang
baik buruknya penghapusan Distrik Pengembangan (Tionghoa). Selain karena ada rasa enggan untuk membantah
”pengarahan Bishop”, juga karena momennya kurang tepat. Biasanya ”pengarahan” (bukan laporan pertanggung- jawaban)
Bishop pada Konferensi Tahunan bukanlah materi yang harus diperdebatkan. Ketika Bishop meminta supaya yang setuju
mengangkat tangan, ternyata semua anggota sidang mengangkat tangan. 146 Apakah delegasi dari Distrik Pengembangan
(pendeta dan warga gereja) dengan mengangkat tangan tanda ”setuju” adalah sungguh-sungguh setuju atau terpaksa,
merupakan persoalan tersendiri. Masalahnya, tokoh senior yang mereka andalkan untuk menentang gagasan itu (Edenata
dan Kosasih) sudah lebih dahulu ”dimenangkan” oleh pendekatan pribadi yang dilakukan oleh Bishop H. Sitorus. Ter nyata
setelah sidang Konferensi Tahunan (1983) itu berakhir, dan penghapusan Distrik Pengembangan sudah diputuskan, orang-
orang Tionghoa meminta pertanggungjawaban Kosasih selaku Pimpinan Distrik Pengembangan. Dalam pertemuan orang
Tionghoa (peserta Konferensi) di suatu restoran di Berastagi, Kosasih ditanya: mengapa tidak menolak ide itu waktu Rapat
Kabinet? Seperti dikatakan di atas, Kosasih sudah mengantisipasi bahwa jika gagasan penghapusan Distrik Pengembangan
ini dijalankan, ia akan menjadi sasaran kritik oleh rekan Tionghoanya. Oleh karena itulah, waktu masalah ini didiskusikan
Bishop dengan para Pemimpin Distrik di Rapat Kabinet, Kosasih sengaja tidak hadir. Ketidakhadiran Kosasih dalam Rapat
Kabinet itu adalah suatu siasat untuk ”cuci tangan” dari tindakan penghapusan Distrik yang dipimpinnya. Kosasih membela
diri bahwa kenyataannya semua orang Tionghoa ikut menyatakan setuju terhadap ide penghapusan Distrik bermasalah itu.
Kendati Kosasih mencoba membersihkan diri, yang pasti sejak penghapusan Distrik Pengembangan, Kosasih telah
kehilangan kredibilitas di kalangan orang Tionghoa. Orang Tionghoa tetap menuding Kosasih, yang mantan Pemimpin Dis-
trik Pengembangan, sebagai ”orang yang harus bertanggung jawab” atas penghapusan Distrik Pengembangan. Dengan kata
lain, penghapusan Distrik Pengembangan tahun 1983 itu sesungguhnya bertentangan dengan hati nurani warga jemaat
berbahasa Tionghoa di GMI.
Paling sedikit ada dua sebab orang Tionghoa terpaksa menyatakan setuju kepada penghapusan Distrik Pengembangan.
Pertama, dalam sistem pemerintahan GMI yang episkopal, yang memberikan kuasa yang sangat besar kepada Bishop,
terutama kuasa untuk memutasikan pendeta, maka agak berat bagi seorang pendeta atau guru Injil menyatakan secara
terbuka sikap penolakan terhadap gagasan seorang Bishop. Kedua, kendati para pendeta dan utusan kaum awam dari Distrik
Pengembangan sangat menentang ide itu, tetapi karena takut dituduh menentang program integrasi (asimilasi) yang
dicanangkan pemerintah, tak satu pun berani menentang gagasan itu di hadapan sidang. Menurut Pdt. Boaz Yahya, melihat
tegangnya suasana emosional yang tercipta pada Konferensi Tahunan itu, andaikata ada seseorang mem beri komando
supaya orang Tionghoa melakukan walkout pasti mayoritas orang Tionghoa saat itu sudah meninggalkan sidang. 147
Dengan singkat dapat dirangkum bahwa tanggal 22 Juni 1983 secara resmi eksistensi Distrik Pengembangan (dulu:
Distrik Tionghoa) berakhir setelah berumur kurang lebih 45 tahun (1938–1983). Faktor-faktor yang berperan dalam proses
penghapusan Distrik Pengembangan antara lain adalah: (1) Aspirasi orang Batak sejak otonomi GMI yang menghendaki
integrasi distrik-distrik dalam GMI, terutama di Sumatra Utara 148 supaya jemaat yang kaya (Tionghoa) dapat membantu
jemaat yang miskin (umumnya jemaat Batak) di satu-satu Distrik; (2) Adanya upaya-upaya orang Tionghoa untuk
membentuk Konferensi Tahunan sendiri yang oleh orang Batak dikhawatirkan akan semakin memperlebar gap kedua
kelompok etnis dalam GMI, sehingga harapan yang terkandung pada faktor pertama di atas semakin jauh; (3) Penggalangan
dana besar-besaran untuk mendukung gerakan kebangkitan GMI terutama usaha pekabaran Injil di Tanah Karo merupakan
faktor terpenting dalam kebijakan penghapusan Distrik Pengembangan; (4) Supremasi seorang bishop dalam GMI yang
mempunyai kuasa untuk memindahkan seorang pendeta; (5) Para pendeta Tionghoa pada saat itu tidak bersatu untuk
menolak gagasan penghapusan Distrik Pengembangan; dan (6) Masalah SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan)
yang sangat sensitif di Indonesia ikut berperan dalam konteks penghapusan Distrik Pengembangan itu.
Rupanya orang-orang Tionghoa dalam Konferensi Tahunan itu tidak puas dengan hasil voting yang menangguhkan
tuntutan mereka. Mereka tahu bahwa bila masalah ini diselesaikan dengan cara pemungutan suara, dari segi komposisi
peserta Konferensi Tahunan, mereka pasti selalu kalah suara, sebab orang Batak jauh lebih banyak. Karena itu, pada hari
yang sama, delegasi dari Distrik Tionghoa mengadakan pembicaraan khusus dan sepakat untuk kembali mengajukan usul
agar keputusan penangguhan itu ditinjau. Dalam notulen mosi orang Tionghoa itu tercatat sebagai berikut:
Utusan Distrik GMI berbahasa Tionghoa mengusulkan kepada Bapak Bishop J. Gultom agar keputusan mengenai sekolah GMI di
Dj. Thamrin jang sudah diputuskan oleh sidang hari Sabtu, tanggal 15 Januari 1972 siang ... yaitu Penangguhan Tuntutan sampai
tahun 1973 ditinjau kembali.166
Bishop Gultom yang memimpin sidang diperhadapkan pada suatu konflik antara orang Batak dan Tionghoa. Orang
Batak menentang permintaan delegasi Tionghoa untuk meninjau keputusan yang sudah diambil, sedangkan orang
Tionghoa berkeras supaya keputusan itu ditinjau. Agaknya Bishop Gultom tidak mempunyai pilihan lain lagi untuk
mengatasi kontroversi dalam sidang, kecuali kembali mengadakan voting. Hasil pemungutan suara adalah, 40 orang
menolak dan 26 orang menyetujui penangguhan. 167 Kembali orang Tionghoa merasa kecewa oleh sikap orang Batak yang
mengandalkan kekuatan mayoritas dalam pemecahan setiap masalah. Melihat kekecewaan orang Tionghoa yang dikalahkan
dengan pemungutan suara, Sung Djadi (Tionghoa peranakan) 168 mengusulkan supaya perdebatan mengenai sekolah Jalan
Thamrin itu diakhiri saja, dan masalah itu diserahkan kepada Pdt. S. Kosasih dan Bishop Gultom untuk membicarakannya
dengan baik-baik. Ternyata usul yang bijaksana ini disetujui oleh sidang. 169 Untuk menindaklanjuti keputusan tersebut,
Bishop Gultom menugaskan Pdt. H. Sitorus dan Pdt. S. Doloksaribu mengadakan pertemuan istimewa dengan utusan
Distrik Tionghoa pada Konferensi itu juga. Hasil pertemuan itu ialah sebagai berikut:
Keputusan Pertemuan Istimewa Distrik Tionghoa:
Kami hamba2 Tuhan para utusan dari Geredja Methodist Indonesia Distrik Bahasa Tionghoa, demi ketjintaan kami kepada GMI,
bersedia untuk tidak mengemukakan lagi dalam Sidang Pleno Konperensi akan tuntutan pengembalian Perguruan Kristen
Methodist Djl. Thamrin 58, Medan, dengan djaminan tertulis dari Bishop dan Kabinet sesudah terlebih dahulu disetudjui sidang:
1. Agar Perguruan Kristen Methodist Djl. Thamrin 58 dipertanggungjawabkan oleh BPS (Badan Pengurus Sekolah—pen.)
kepada Konperensi Tahunan GMI Sumut/Atjeh.
2. Agar BPS dipilih oleh Geredja Methodist Indonesia berbahasa Tionghoa Djl. Nusantara 38 Medan.
3. Agar Kepala Sekolah ditjalonkan oleh BPS dan ditetapkan oleh Bishop GMI.
Demikianlah isi hati kami jang dengan kerendahan hati kami sampaikan kepada Sidang Konperensi jang mulia. Semoga
Tuhan jang senantiasa dipermuliakan melalui seantero kehidupan kita. Sekian dan terima kasih.
Atas nama GMI Distrik Berbahasa Tionghoa (Pdt. S. Kosasih). 170
Dengan adanya jaminan seperti itu, Pemimpin Distrik Tionghoa dan para anggota delegasinya bersedia untuk
menunggu satu tahun lagi sebelum tuntutan mereka dikabulkan Konferensi.
Pada Konferensi Tahunan berikutnya (22–28 Januari 1973), masalah ini dimunculkan kembali sesuai keputusan tahun
1972. Dalam laporannya selaku pemimpin Distrik Tionghoa, Kosasih kembali menuntut agar sekolah Methodist Jalan
Thamrin itu diserahkan ke dalam pengawasan Distrik Tionghoa.171 Guna merumuskan penyelesaian terhadap tuntutan ini,
sidang Konferensi Tahunan membentuk sebuah panitia ad hoc yang terdiri dari Drs. S. Sagala, Thio Chan Swee, Tong Che
Wie, Oen You Wie, dan Pdt. P.P. Sitorus. 172 Setelah membahas masalah ini secara mendalam di bawah terang tema
konferensi: tetaplah di dalam kasih Kristus; dan dijiwai khotbah-khotbah yang disampaikan selama konferensi yang
berintikan: bersatu di dalam Kristus; maka panitia ad hoc membuat rumusan sebagai berikut:
Konperensi G.M.I. Sumut/Aceh ke-30/5 tahun 1973 menyerahkan pengawasan atas Perguruan Kristen Methodist Jalan Thamrin
58 Medan kepada Distrik G.M.I. BerbahasaTionghoa Medan terhitung tanggal Keputusan Sidang Pleno. 173
Dengan demikian sejak Januari 1973 status sekolah Methodist Jalan Thamrin, Medan, secara resmi berada di bawah
asuhan dan pengawasan Distrik Tionghoa yang secara teknis dilaksanakan oleh jemaat Methodist berbahasa Tionghoa,
Medan (sekarang disebut GMI Gloria). Perlu ditambahkan, jika disimak lebih dalam, untuk masalah sekolah Jalan Thamrin
ini orang Batak cenderung mengalah pada tuntutan orang Tionghoa. Saking hangatnya masalah ini, Pdt. P.P. Sitorus (yang
pendeta tentara) sempat mencabut pistol dan mengancam Pdt. S. Kosasih yang memotori pengambilalihan sekolah ini.
Demi mencegah orang Tionghoa keluar dari GMI, sikap mengalah dari pihak orang Batak jauh lebih bijaksana. Namun,
dengan keputusan ini belum berarti masalah PKMI-2 sudah tuntas.
Perlu dicacat bahwa berdasarkan Disiplin tahun 1980, anggota Komisi Pendidikan Kristen (KPK) jemaat 179 langsung
menjadi Badan Pengurus Sekolah (BPS) sekolah setempat. 180 Dengan kata lain, sebelum ART yang baru keluar maka
wewenang mengangkat anggota BPS sepenuhnya berada di tangan jemaat lokal. Namun dalam ART diatur bahwa Kantor
Pusat GMI, melalui Departemen Pendidikan GMI dan bekerja sama dengan Pemimpin Distrik, diberikan wewenang kepada
Departemen Pendidikan GMI untuk menentukan setengah dari jumlah anggota KPP. Dari ART itu tampak bahwa empat
dari tujuh anggota KPP itu adalah ”orangnya” Kantor Pusat GMI, yaitu setengah dari enam ditambah pendeta setempat yang
ditempatkan oleh Bishop di jemaat itu. Dengan konsep kehadiran empat anggota KPP yang diangkat Kantor Pusat GMI,
diharapkan pengelolaan sekolah akan lebih banyak ditentukan Kantor Pusat melalui kehadiran ”orangnya” dalam KPP. Bagi
Sekretaris Eksekutif (Sihombing), kehadiran keempat angggota KPP itu akan membuka jalan lebih luas bagi Departemen
Pendidikan GMI untuk mengintervensi pengelolaan sekolah itu, sedangkan bagi Pimpinan Pusat GMI kehadiran empat
orang anggota KPP ”jatah” Kantor Pusat GMI akan memberikan jalan bagi pemanfaatan sekolah (PKMI) sebagai sumber
dana GMI dalam rangka mendukung pekabaran Injil. Menyangkut masalah uang di sekolah-sekolah, dalam ART diatur juga
mengenai perbendaharaan sekolah. Pada pasal 16 dan 17 ART digariskan, bahwa tiap sekolah harus mempunyai seorang
bendahara perguruan dengan status pegawai tetap, berbeda dari status sebelumnya sebagai pegawai tidak tetap. Diharapkan
bahwa bendahara perguruan dapat melaksanakan manajemen keuangan secara terbuka dengan membuat laporan bulanan
kepada KPP setelah terlebih dahulu diperiksa Komisi Verifikasi.181 Tujuannya adalah supaya Kantor Pusat dapat memantau
perkembangan keuangan sekolah serta dapat memperhatikan keseimbangan antara kepentingan lokal dengan kebutuhan
Kantor Pusat dalam penggunaan uang.
Setelah SK mengenai ART ini disebarluaskan ke segenap jajaran GMI, muncullah reaksi keras yang menyatakan
keberatan dan penolakan terhadap ART tersebut. Perguruan Kristen Methodist Indonesia II, Jalan Sei Bilah Rantau Prapat
(sekolah yang diasuh oleh jemaat GMI berbahasa Tionghoa Rantau Prapat), menyampaikan surat tanggapan tentang ART
itu melalui suratnya tanggal 26 Maret 1984, yang meminta Kantor Pusat GMI (Bishop dan Departemen Pendidikan GMI)
untuk meninjau kembali ART itu. Sebagian dari tanggapan itu berbunyi sebagai berikut:
1. Bendahara Sekolah adalah pegawai tetap, ini memberatkan/membebankan Perguruan kami sebab selama ini Bendahara Per -
guruan kami adalah oknum yang bekerja tanpa honor, yang diangkat dari salah satu anggota BPS/KPP yang bisa dipercayai.
2. Tentang keanggotaan BPS/KPP 50% dicalonkan oleh Departemen Pendidikan dan Pembinaan GMI bersama Pimpinan
Distrik juga sulit kami terima, mengingat Perguruan kami dilahirkan dan di bawah naungan Gereja setempat maka Majelis
setempatlah yang lebih kenal siapakah orangnya yang bisa dan lebih cocok untuk duduk di kepengurusan tersebut. 182
Kalimat ”mengingat Perguruan kami dilahirkan dan di bawah naungan Gereja setempat” pada kutipan di atas, memberi
indikasi bahwa pemahaman jemaat status sekolah di Rantau Prapat yang dilahirkan jemaat lokal itu—bukan warisan
zending—sepenuhnya berada di bawah naungan jemaat tanpa campur tangan Kantor Pusat seperti tersirat dalam ART.
Pemahaman seperti ini berlaku umum pada sekolah-sekolah dan jemaat-jemaat Tionghoa di GMI yang cenderung
menganut corak kongregasional. Selama Februari dan Maret 1984, Kantor Pusat GMI cukup sibuk menerima berbagai surat
penolakan yang datang dari KPP-KPP yang menyatakan bahwa ART itu tidak dapat diterima sehingga harus ditinjau, karena
kehadirannya akan menggerogoti hak-hak jemaat lokal sebagai pendiri dan pemilik sekolah-sekolah itu.
Untuk menenteramkan keresahan yang melanda sekolah-sekolah dan jemaat-jemaat Tionghoa, Bishop Sitorus
mengeluarkan sebuah Surat Penggembalaan tanggal 9 April 1984 disertai lampiran yang berisi ”Petunjuk Pelaksanaan
Anggaran Rumah Tangga Yayasan Gereja Methodist Indonesia Bagian Pendidikan Umum”, yang disebut juga ”buku putih”
yang berfungsi untuk meluruskan masalah. Dalam Surat Penggembalaan itu, Bishop Sitorus antara lain menegaskan:
Saudara-saudara yang kekasih! Sekarang ini GMI sedang giat-giatnya untuk mengabarkan Injil dan melaksanakan program GMI
yang telah diputuskan atau ditetapkan oleh Konperensi Agung dan Konperensi Tahunan kita yang lalu. Iblis dan musuh-musuh
gereja tidak menghendaki kemajuan gereja kita dan oleh karena itu kami peringatkan agar Saudara-saudara mawas diri dan
banyak berdoa agar tetap menjadi warga gereja yang setia dan warga negara yang bertanggung jawab juga. 183
Semula tujuan Surat Penggembalaan yang juga disebut ”buku putih”, yang berisi penunjuk pelaksanaan ART itu,
diharapkan menjadi ”satu-satunya alat yang merupakan ’KUNCI’ untuk memasuki ANGGARAN RUMAH TANGGA”.184
Dengan ”buku putih” itu diharapkan segala persoalan dan salah pengertian akan diluruskan. Nyatanya jemaat-jemaat (baca:
sekolah-sekolah) menyambut kehadiran Petunjuk Pelaksanaan ini dengan sikap negatif. Salah satu surat tanggapan yang sa-
ngat negatif terhadap Surat Penggembalaan Bishop dan Petunjuk Pelaksanaan ART itu datang dari GMI jemaat Immanuel,
Jakarta Barat. Sebagian dari isi surat tanggapan itu adalah:
Surat Penggembalaan No. 82/I.9/GMI/84 tidak akan menghasilkan ketenangan, tetapi mengundang tanggapan yang negatif ...
Menurut catatan penting yang terdapat dalam Petunjuk pelaksanaan ART, disebutkan bahwa Petunjuk pelaksanaan ART ini
adalah ’KUNCI’ untuk memasuki ART. Untuk hal ini kami sangsi bahwa Bapak sudah memberi kunci yang salah karena
didorong emosi. Kami mengatakan Bapak emosi, karena di catatan penting itu terdapat kalimat yang bunyinya: ’KPP bukan
majikan, tetapi abdi, pimpinan Perguruan dan Kepala Sekolah bukan Boss tetapi pelayan’. Kalimat ini tidak pada tempatnya
dijadikan Petunjuk Pelaksanaan ART, walaupun hanya merupakan catatan penting. Kata ini hanya merupakan ungkapan yang
sifatnya emosionil.185
Persoalan di sekitar ART ini kemudian merembes ke masalah politik sehingga ada dari kalangan pendeta GMI yang
mencoba mempolitisir masalah ini dengan mengatakan bahwa menolak ART sama dengan menolak Pancasila. 186 Maksud
mereka yang mempolitisir masalah ART adalah untuk membuat kelompok etnis Tionghoa takut sehingga mau menerima
ART itu. Dalam surat GMI Immanuel Jakarta tadi, isu itu ditanggapi demikian:
Di Medan ada Pendeta/oknum yang menakut-nakuti dengan cara yang sangat kuno seperti di zaman Orde Lama. Hal ini
menurut kami tidak tepat, menolak ART bukanlah menolak Pancasila melainkan menolak ide yang tidak sesuai, yang ada di
dalamnya, jadi bukan Pancasila. Janganlah kiranya sampai ada di antara pendeta Pendeta yang memperalat Pancasila untuk
tujuannya....187
Jika disimak lebih jauh, ada dua akar dari konflik mengenai ART ini. Pertama, sama seperti masalah PKMI-2 yang telah
dibahas di atas, konflik itu bersumber pada perbedaan pemahaman mengenai harta dan kepemilikan (properti) dalam GMI.
Siapakah pemilik sekolah yang berdiri dan bertumbuh atas inisiatif dan usaha jemaat lokal itu, dan siapakah yang berhak
menentukan kebijakan dalam kehidupan sekolah? Sejauh mana wewenang Kantor Pusat GMI menyangkut kebijakan
sekolah-sekolah lokal? Inilah pertanyaan dasar yang agaknya belum mendapat pemahaman jelas di GMI. Di satu pihak
jemaat-jemaat GMI berbahasa Tionghoa berpikir bahwa jemaat-jemaat dan sekolah-sekolah yang berada dalam asuhannya
adalah ”independen”. Dalam hal ini unsur ”kongregasionalis” di kalangan orang Tionghoa sangat menonjol.188 Namun, di
lain pihak Pemimpin Pusat GMI beranggapan bahwa jemaat-jemaat lokal dan sekolah-sekolah yang diasuhnya adalah milik
GMI keseluruhan, seperti tampak dari salah satu ungkapan dalam Petunjuk Pelaksanaan ART mengenai pemilik sekolah
demikian:
Pemilik dan Penanggung jawab PKMI adalah GMI Pusat yang dalam hal ini dilimpahkan kepada Yayasan GMI. Yang dimaksud
dengan GMI Pusat di sini adalah juga GMI setempat. Setiap PKMI yang didirikan oleh sesuatu gereja setempat bertanggung
jawab terutama kepada Gereja setempat, Resort, Distrik, Konta (Konferensi Tahunan—pen.) dan Konag (Konferensi Agung—
pen.). Ini juga berarti bahwa KPP-PKMI tersebut bertanggung jawab kepada Majelis Gereja, Gembala Sidang, Distrik
Superintenden, serta Pimpinan Pusat GMI tentang pelaksanaan ART ini serta program Nasional GMI sesuai dengan Konag. 189
Pokok soal dalam kutipan di atas adalah ungkapan ”GMI pusat dan GMI setempat”. GMI pusat di sini mengacu pada
Kantor Pusat GMI, dan GMI setempat mengacu pada jemaat (gereja lokal). Ungkapan bahwa pemilik dan penanggung
jawab PKMI adalah GMI pusat mengacu pada Kantor Pusat (Pimpinan Pusat dan Yayasan Pendidikan GMI). Di sini unsur
”episkopal” menonjol.190
Ditinjau dari segi eklesiologi Methodist, kedua anggapan di atas sama-sama kurang benar. Dalam sistem kepemilikan
Gereja Methodist yang diwarisi dari zaman John Wesley, Gereja lokal (Jemaat), Distrik, Konferensi Tahunan dan Konferensi
Agung sama-sama mempunyai hak kepemilikan atas harta-benda Gereja Methodist yang secara khusus dipegang oleh suatu
Panitia Pemelihara Harta Benda (Board of Trustees) pada masing-masing level, yang sama-sama tunduk kepada Disiplin
Gereja. Dalam kaitannya dengan Gereja Methodist di Amerika, Tuel mengatakan:
Di dalam United Methodist Church, kita berada di persilangan keduanya (Roma Katolik dan Baptis—pen.). Hak bangunan
sebuah gereja lokal adalah milik gereja lokal itu sendiri, tetapi dipercayakan kepada seluruh United Methodist Church, dan
menjadi subjek aturan Disiplinnya.191
Dalam kaitan ini, benarlah apa yang dikatakan H. Parkin bahwa: ”..struktur dan organisasi Gereja Methodist bukan
100% Episkopal, ... dan bukan 100% Kongregational melainkan 100% Konneksional.” 192
Kedua, konflik seputar ART ini juga bersumber dari ”legalitas” ART itu sendiri. Menurut Disiplin GMI, kuasa untuk
membuat dan mengesahkan segala sesuatu yang berkaitan dengan peraturan sepenuhnya berada di tangan Konferensi
Agung.193 Dengan kata lain, Bishop GMI tidak mempunyai wewenang apa pun untuk mengeluarkan suatu SK yang berisikan
”peraturan”. Justru karena itulah Gereja Methodist Indonesia, Jalan Pocut Baren No. 3, Banda Aceh, dalam surat penolak -
annya terhadap ART yang mengandung ”cacat hukum” itu dengan tegas mengatakan:
Bahwa kami telah atau pernah kirimkan surat untuk menolak adanya/timbulnya ART ... tersebut, maka dalam hal ini kami tetap
pegang prinsip untuk sementara waktu tidak melaksanakannya... tetapi kami akan melaksanakan ART tersebut jikalau sudah
ada pengesyahan dalam Konperensi Agung di tahun 1985 mendatang. 194
Suatu kesimpulan dapat ditarik bahwa selain untuk menata keseragaman pengelolaan administrasi sekolah-sekolah
Methodist dan untuk mengembangkan wewenang Departemen Pendidikan atas sekolah-sekolah lokal, alasan utama
pembuatan ART yang ”cacat hukum” itu adalah dalam rangka mobilisasi potensi dana yang dimiliki GMI untuk mendukung
program GMI secara nasional, terutama gerakan pekabaran Injil di Tanah Karo yang sedang digalakkan.
Karena gencarnya perlawanan dari jemaat-jemaat dan sekolah-sekolah setempat, kedua tujuan yang terkandung dalam
ART akhirnya gagal. Kendati pasal 24 ART (yang memicu konflik) dicabut dari konsep, 195 konflik yang sempat timbul akibat
ART tersebut telah berdampak negatif dalam kehidupan GMI.
Dalam rangka penataan dan pengelolaan yang lebih baik dan sekaligus dalam rangka pemanfaatan Perguruan Kristen Methodist
Indonesia turut serta menunjang pelayanan G.M.I. secara nasional, terutama pelayanan pekabaran Injil, maka sidang Kabinet
menetapkan dan memutuskan: ”PKMI Jalan Thamrin diangkat kembali dalam pengawasan/naungan Konperensi Tahunan G.M.I.
Wilayah I, sama halnya dengan PKMI Jalan Hang Tuah”.198
Setelah laporan hasil Sidang Kabinet tentang pengambilalihan PKMI-2 itu disampaikan kepada sidang, segera muncullah
reaksi keras dari orang Tionghoa dalam sidang itu. Perdebatan mengenai masalah ini berlangsung cukup panjang dalam
suasana yang sangat emosional. Pada termin pertama, para pembicara mengimbau agar keputusan Kabinet itu jangan
dibuat menjadi keputusan pada sidang itu. Ditekankan bahwa sebelum masalah ini diputuskan, percakapan dengan Majelis
Jemaat GMI Gloria, Medan, harus terlebih dahulu diadakan. Pernyataan agak ekstrem pada termin ini datang dari Jonathan
Tung yang mengatakan:
Saya ingat ucapan pak Bishop pada Konta 1983 di Berastagi yang mengatakan kalau ada suku Batak yang menelan suku
Tionghoa, Bapak Bishop yang akan lebih dahulu menelan suku Batak itu. 199
Ungkapan Jonathan Tung di atas mengacu pada kebijakan penghapusan Distrik Pengembangan tahun 1983. Pada
waktu itu muncul kekhawatiran orang Tionghoa: jangan-jangan dengan penghapusan Distrik Pengembangan itu, orang
Batak akan ”menelan” orang Tionghoa. Bagi Jonathan Tung, rencana pengambilan PKMI-2 ini dari Jemaat GMI Gloria
agaknya membenarkan kekhawatiran tadi. Senada dengan Jonathan Tung, menurut penilaian Pdt. Yakub Beriman, akar
masalah dalam rangka konflik PKMI-2 itu adalah soal uang. Dalam perdebatan itu Yakub Beriman berkata:
Sebetulnya tidak ada yang lain ... kami mengharapkan pada KPP Nusantara (baca: GMI Gloria dan PKMI-2—pen.) agar
perpuluhan langsung disetorkan. Kalau ini disetor, tidak akan terjadi seperti ini.200
Melihat penolakan yang sangat kuat dari kalangan Tionghoa terhadap rencana pengambilalihan PKMI-2 itu di satu
pihak, dan kurangnya dukungan dari kalangan orang Batak di pihak lain, Bishop H. Sitorus merasa perlu berbicara dari
lubuk hati yang terdalam. Dalam hari terkahir (Minggu) pada Konferensi Tahunan bulan Juni 1985 itu, dengan rasa haru
Bishop Sitorus memohon pengertian sidang. Bishop H. Sitorus berkata:
Kabinet telah bergumul dengan panjang lebar tentang apa yang telah kami bawakan pada persidangan ini ... Kami tidak
bermaksud untuk mengambil alih, akan tetapi membangunnya dan melaksanakan penataan kembali. Kemudian sebagai
tambahan bahwa sebulan yang lalu telah kami dengar adanya panggilan 201 [kepada] PKMI [ini]. Kita ... terkenal Baperki 202
terutama dari kalangan KPP itu sendiri. Sedangkan Baperki adalah suatu gerakan terlarang di negara kita, maka kita perlu
menyelamatkan perguruan itu untuk tidak tergolong pada hal-hal tersebut. 203
Harapan bahwa dengan sedikit mengaitkan masalah PKMI-2 dengan masalah ”politik” maka penolakan kelompok etnis
Tionghoa dalam GMI dapat diredam, ternyata meleset. Berbeda dengan suasana sidang penghapusan Distrik
Pengembangan tahun 1983, kali ini orang Tionghoa berbicara secara bertubi-tubi sampai mekanisme persidangan hampir
tidak terkendali. Selain karena orang Tionghoa agaknya tidak mampu lagi menahan emosi sejak penghapusan Distrik
Pengembangan, penyebab lain untuk keberanian mereka itu adalah karena Bishop Sitorus sudah akan mengakhiri
jabatannya sebagai bishop, yang oleh peraturan GMI tidak dapat lagi dipilih menjadi Bishop pada Konferensi Agung bulan
Oktober 1985.204
Pembicara yang paling vokal waktu itu adalah Pdt. Fajar Lim (Tionghoa) yang mengatakan bahwa dengan pembubaran
Distrik Pengembangan, Bishop Sitorus telah ”mentraktor” jemaat-jemaat GMI Tionghoa. Ia kemudian mengusulkan supaya
masalah ini digumuli dalam doa agar tidak terjadi sesuatu. 205 Sama seperti perdebatan pada babak sebelumnya, pembicara
di ronde ketiga ini juga mendesak agar usul Kabinet itu ditangguhkan dan diadakan dulu pendekatan dengan jemaat GMI
Gloria. Atas saran Pdt. J. Gultom, yang meminta agar masalah ini jangan lagi diperpanjang, tetapi diakhiri saja maka
berakhirlah debat mengenai PKMI-2, dengan catatan bahwa masalah ini masih akan dibicarakan dalam Konferensi Agung V
GMI bulan Oktober 1985.206 Dengan kata lain, usul Kabinet untuk mengambil alih sekolah PKMI-2 tidak berhasil.
Walaupun perdebatan dalam sidang Konferensi Tahunan sudah berakhir, tidak berarti persoalan sudah selesai.
Masalah PKMI-2 ini kemudian menjadi masalah politis yang dilansir oleh warga GMI yang terjun dalam dunia politik.
Sophar M. Hutagaol, seorang warga GMI berbahasa Batak Jalan Hang Tuah, Medan, dalam kapasitasnya sebagai Sekretaris
Dewan Pimpinan Pemuda Penerus Proklamasi 17-8-1945 Provinsi Tingkat I Sumatra Utara, membuat surat berisi laporan atau
”pengaduan” yang ditujukan kepada berbagai instansi pemerintahan yang terkait. Yang diadukan adalah Jonathan Tung dan
kawan-kawan207 dengan tuduhan ”disangsikan partisipasinya dalam hal pembauran”. 208 Data yang dibuat sebagai dasar
pengaduan adalah berita perkara fitnah antara Jonathan Tung dengan Pdt. Petrus Saleh yang dimuat dalam harian Sinar
Indonesia Baru, 14 Juli 1985. Rupanya setelah sidang Konferensi Tahunan bulan Juni 1985 berakhir, pernyataan Pdt. Petrus
Saleh yang mendukung keputusan Kabinet menjadi masalah. Jonathan Tung seorang penentang ide pengambilalihan PKMI-
2 menuduh Pdt. Petrus Saleh sebagai ”pengkhianat”, karena dialah satu-satunya orang Tionghoa yang secara terbuka
menyatakan dukungan kepada keputusan Kabinet itu.209 Karena merasa tidak aman oleh fitnahan dan ancaman Jonathan
Tung, Pdt. Petrus Saleh mengadu ke Polisi di Tanjung Morawa minta perlindungan. 210 Menanggapi surat Dewan Pimpinan
Pemuda Penerus Proklamasi 17-8-1945 itu, pada 12 September 1985 pihak Kodam I Bukit Barisan menghubungi Kantor Pusat
GMI melalui Bishop H. Sitorus selaku Pemimpin Pusat GMI (via telepon) dan meminta data-data serta riwayat hidup mereka
yang namanya tercantum dalam surat organisasi pemuda tadi. Jadi, pada hari itu juga Bishop Sitorus menyurati Jonathan
Tung, Pdt. Boaz Yahya, Pdt. Bachtiar, Pdt. Fajar Lim,211 dan Pdt. Jonathan dengan pesan:
Siang ini kami mendapat panggilan via telepon dari Kodam. Kepada kami diminta agar bapak-bapak mengisi formulir daftar
riwayat hidup (terlampir) dengan selengkap-lengkapnya dan pihak kita akan menyerahkannya secepat mungkin. Oleh karena
itu, bersama ini kami minta kesudian bapak-bapak terus mengisi dan menyerahkannya kepada kami, karena hari Selasa, tgl. 17
Sept. 1985 paling lambat kita akan menyerahkannya ke kantor Kodam. 212
Untuk menjernihkan persoalan kepada pihak keamanan, maka Pdt. R.P.M. Tambunan (Pemimpin Distrik 2/daerah
Medan sekitarnya) dan Pdt. J. Napiun (Sekretaris Umum PGI-W Sumatra Utara, Pendeta GMI) 213 menghadap pihak Kodam
dan menyaksikan bahwa tidak benar dalam GMI ada kelompok anti-pembauran. Pada saat itu Konferensi Agung V GMI
sudah tinggal satu bulan lagi, yakni bulan Oktober 1985. Suara kalangan Tionghoa sangat diperlukan untuk memenangkan
calon Bishop yang akan menggantikan Bishop H. Sitorus yang sudah dua periode menjabat Bishop, dan tidak berhak lagi
untuk mencalonkan diri.
Setelah berbagai jurus mengalami jalan buntu—ART ditolak, pengambilalihan PKMI-2 gagal—maka upaya terakhir
yang dapat dilakukan Bishop H. Sitorus sebagai Pemimpin Pusat GMI yang sebentar lagi akan mengakhiri masa baktinya
adalah menulis sepucuk ”Surat Penggembalaan” untuk ”ditanggapi dan direnungkan” pada 10 September 1985. Surat ini
secara khusus dialamatkan kepada (a) Para utusan Konferensi Agung V dan (b) Semua Pimpinan Perguruan, 214 Kepala
Sekolah dan KPP dari: (1) PKMI-I Jalan Jenderal Sudirman Palembang; (2) PKMI Jalan Hang Tuah Medan; dan (3) PKMI Jalan
Thamrin Medan.215 Surat yang ditandatangani oleh semua Pemimpin Distrik GMI di Wilayah I dan II (10 orang) ini lebih
tepat dikatakan sebagai ”memori tugas” yang disampaikan seorang pejabat lama kepada pejabat baru. Dalam surat tersebut
diuraikan program-program yang telah dilaksanakan GMI sesuai keputusan Konferensi Agung sebelumnya untuk dijalankan
pada periode 1981–1985.216 Surat penggembalaan tersebut menjelaskan betapa besar biaya yang dibutuhkan GMI untuk
mendukung semua program, di mana GMI harus mengeluarkan sedikitnya Rp32.388.588 setiap bulan biaya berikut:
Jadi, untuk menanggulangi biaya bulanan yang sedemikian besar, melalui Surat Penggembalaan tersebut diharapkan
lembaga-lembaga GMI yang sudah mapan dapat memberikan dukungan konkret terhadap gerakan Kebangkitan GMI yang
telah dicanangkan sejak 1981 itu. Karena itu Bishop H. Sitorus dan Kabinetnya mengharapkan:
1. Apabila dalam Masa bakti 1981–1985 PERPULUHAN baru merupakan ’cita-cita/kemauan’ yang banyak dikhotbahkan dan
dipercakapkan, maka pada Masa Bakti 1985–1989 sudah harus merupakan KEWAJIBAN yang harus dilaksanakan.
2. Mengingat ke-3 PKMI kita yaitu: PKMI Jalan Jenderal Sudirman, Km.3.5 Palembang, PKMI Jalan Hang Tuah 8, Medan, dan
PKMI Jalan Thamrin 58, Medan, sudah selesai atau cukup dulu membangun di kompleks/lokasi sendiri yang ada sekarang,
rapat lengkap Kedua Kabinet berpendapat agar semua dana kecuali dana untuk pengelolaan masing-masing sekolah
tersebut diserahkan ke Kantor Pusat GMI untuk dipergunakan sebagai dana Program Nasional GMI. 218
Namun, harapan bahwa masalah PKMI-2 (dan PKMI yang dua lagi) itu akan dituntaskan pada Konferensi Agung V
bulan Oktober 1985 ternyata tidak terjadi. Seperti biasa, pada setiap Konferensi Agung perhatian peserta fokus pada masalah
pemilihan Bishop. Baik keputusan Kabinet tentang rencana pengambilalihan PKMI-2 maupun Surat Penggembalaan
Pimpinan Pusat GMI tadi, tidak sempat dibahas dalam Konferensi Agung. Dengan kata lain, setelah Konferensi Agung, ketiga
sekolah besar ini berjalan terus sama seperti biasa.
Ada dua kandidat Bishop yang sedang berkompetisi untuk pemilihan Bishop pada waktu itu yang menambah
ketegangan dalam suasana Konferensi Agung, yaitu barisan Pdt. J. Gultom (mantan Bishop) dan barisan Pdt. J. Sitorus.
Gultom didukung oleh Pdt. J. Napiun dan Pdt. P.P. Sitorus dan kawan-kawan, sementara J. Sitorus didukung oleh Bishop H.
Sitorus. Salah satu kunci kemenangan Bishop Gultom pada pemilihan Bishop tahun 1985 ialah dukungan besar orang
Tionghoa, karena (seperti diuraikan di atas) Gultom yang didukung Pdt. J. Napiun dan Pdt. P.P. Sitorus membela orang
Tionghoa pada perdebatan mengenai PKMI-2. Orang Tionghoa ”takut” memilih Pdt. J. Sitorus karena takut ia akan
melanjutkan program yang berkaitan dengan pengambil-alihan PKMI-2 Medan yang sudah dibahas panjang lebar di atas.
Adalah lumrah kalau orang Tionghoa yang merupakan masyarakat minoritas dan dianggap non-pri saat itu jika mereka
sering menempel kepada pihak yang berkuasa, baik dalam negara maupun dalam gereja.
Substansi pokok dalam proposal ini adalah membentuk sebuah wadah bagi jemaat-jemaat Tionghoa yang ada di GMI,
yang sebelumnya diperankan oleh Distrik Tionghoa/Pengembangan, yang sudah dihapus tahun 1983. Jiwa yang tersirat di
dalamnya adalah keinginan jemaat-jemaat Tionghoa yang dahulu tergabung dalam Distrik Pengembangan untuk
menemukan kembali apa yang pernah mereka miliki. Potensi-potensi yang pernah ada pada Distrik Pengembangan antara
lain adalah: (1) Semangat pekabaran Injil melalui retret, Bible Camp, dan Kebaktian Kebangunan Rohani yang diadakan
pada hari-hari libur sekolah di Berastagi dengan mengundang pengkhotbah dari luar negeri; (2) Kerja sama dan kesatuan
yang baik yang dikoordinir oleh seorang Pemimpin Distrik; (3) Jemaat yang besar membantu jemaat yang kecil untuk
bangkit dan bertumbuh, terutama peranan GMI Gloria sebagai mother church.222 Menyatukan jemaat-jemaat Tionghoa
dalam satu forum komunikasi adalah tujuan utama. Menjalin relasi dengan gereja-gereja lain, khususnya gereja-gereja yang
berlatar belakang Tionghoa baik di dalam maupun luar negeri merupakan strategi untuk membangkitkan semangat
mengabarkan Injil, sebab dengan demikian pengkhotbah-pengkhotbah tenar dapat diundang untuk mengobarkan
semangat pekabaran Injil. Sama seperti waktu Distrik Pengembangan masih ada, jemaat Gloria Medan merupakan jemaat
induk bagi jemaat-jemaat Tionghoa di seluruh Sumatra bagian Utara. Peran itu hendak dipulihkan kembali melalui forum
ini, agar pusat dari kegiatan itu beralamat di sana. Pada 27 Januari 1986 Pdt. Boaz Yahya, salah seorang konseptor gagasan
ini, mengundang Bishop Gultom dan para staf di Kantor Pusat GMI untuk menghadiri suatu pertemuan guna membi-
carakan konsep di atas. Surat undangan itu antara lain berbunyi:
Sebagai kelanjutan dari pembicaraan kita pada tanggal 28 Desember 1985 yang lalu, dan sesuai dengan pengarahan dari
Pimpinan Pusat serta Staf Kantor Pusat GMI pada tanggal yang sama, kita sepakati membentuk suatu team perumus untuk
merumus[kan] suatu rencana, agar dapat menunjang program GMI dalam rangka pekabaran Injil.
Untuk mematangkan rencana tersebut, kami sebagai team perumus telah mempersiapkan suatu rencana kerja (masih
dalam bahasa Mandarin, apabila sudah disetujui, akan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia) yang terlampir, agar dapat
dibahas sebelum diadakan pertemuan lanjutan yang telah kita sepakati pada tanggal 11 Pebruari 1986, hari Selasa, jam 9.00 wib.
bertempat di GMI Jemaat Gloria, Jl. Letjen. Haryono M.T. No. 38 Medan. Untuk itu, surat ini juga merupa kan Surat Undangan,
untuk mengundang Bapak/Ibu/Sdr., sudi kiranya dapat menghadiri pertemuan ini, agar dapat kita duduk bersama,
membicarakan dan membahas, untuk terwujudnya rencana kita ini.223
Pada 11 Februari 1986, bertempat di GMI Gloria, pertemuan diadakan. Kendati sebelumnya Bishop Gultom memberi
harapan untuk memberi perhatian khusus kepada orang Tionghoa, tetapi dalam pertemuan itu gagasan pembentukan Pusat
Pekabaran Injil GMI digagalkan. Cara menggagalkannya adalah mengaitkan konsep itu dengan masalah SARA (Suku,
Agama, Ras, dan Antar-golongan), yang merupakan suatu momok politik bagi orang Tionghoa di Indonesia. Yang paling
keras menentang gagasan itu adalah Pdt. A. Sihombing dan Pdt. R.P.M. Tambunan. Sesuai dengan gaya kepemimpinan
Gultom yang bersifat banyak mendengar, pada situasi itu ia tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali menyerahkan masalah itu
ke dalam rapat, karena pada hakikatnya Gultom sendiri tidak setuju dengan segala gerakan eksklusivisme Tionghoa dalam
GMI. Dalam hal ini orang Tionghoa cukup kecewa pada kepemimpinan Gultom yang sempat memberi ha rapan akan
memperhatikan orang Tionghoa, tetapi pada kenyataannya tidak. Untuk kesekian kali, kelompok etnis Tionghoa dalam
GMI menelan pil pahit karena ternyata mitra Bataknya belum dapat mengerti pergumulan kelompok ini sehingga selalu
mematahkan visi mereka dengan mempergunakan senjata politik. Dengan kata lain, sikap orang Batak terhadap orang
Tionghoa dalam GMI pada batas-batas tertentu identik dengan sikap golongan pribumi terhadap orang Tionghoa di
Indonesia.
Berarti semua gedung-gedung gereja, sekolah-sekolah, dan asrama-asrama yang dibangun oleh Misi Methodist dikuasai
secara sentralistis oleh yayasan untuk dan atas nama Badan Misi Methodist yang berpusat di New York. Lebih jelas lagi,
dalam pasal tentang pembubaran yayasan dinyatakan, bila yayasan itu dibubarkan maka semua harta benda, aktiva dan
hak-haknya jatuh kepada Board of Foreign Mission of the Methodist Episcopal Church. 225
Ketika GMI menjadi gereja otonom tahun 1964, secara teoretis sistem penguasaan yang sentralistis ini tetap berlaku.
Semua harta benda GMI, baik yang diwarisi dari Badan Misi Methodist maupun harta GMI setelah GMI otonom, dikuasai
oleh Yayasan Gereja Methodist Indonesia untuk dan atas nama Gereja Methodist Indonesia. Agaknya penguasaan harta-
harta GMI yang didasarkan atas wawasan yang bercorak top-down ini, kurang berkenan bagi orang Tionghoa. Selain
prosedur yang cenderung berbelit-belit dalam urusan yayasan, yang umumnya kurang disukai orang Tionghoa, masalah
prasangka dan kecurigaan etnis agaknya ikut berbicara. Akibatnya banyak aset jemaat-jemaat Tionghoa yang dibeli setelah
otonomi dilakukan atas nama perorangan yang dikuasakan oleh jemaat lokal.
Konferensi Agung V tahun 1985 mengambil keputusan untuk mendaftarkan GMI sebagai organisasi keagamaan yang
berbadan hukum.226 Menyusul keputusan ini, pada 9 April 1986 Yayasan GMI dibubarkan, karena tidak mungkin dua badan
hukum untuk satu gereja. Untuk mengambil alih tugas-tugas Yayasan GMI menyangkut urusan harta-harta GMI, Konferensi
Agung membentuk Badan Pemelihara Harta Benda GMI sebagai alat Pimpinan Pusat mengurus harta-harta GMI.227
Sementara itu, sebagai subsitusi untuk tugas-tugas Yayasan GMI dalam bidang personal khusus menyangkut sekolah-sekolah
GMI, dibentuk Yayasan Pendidikan GMI yang pengurusnya langsung pengurus Departemen Pendidikan GMI. 228 Tugas
pokok yayasan ini adalah mengangkat anggota KPP PKMI serta mengangkat dan memberhentikan kepala sekolah.
Didorong oleh kekhawatiran yang diakibatkan tindakan beruntun Pimpinan Pusat GMI terhadap jemaat-jemaat
Tionghoa—penghapusan Distrik Pengembangan, masalah ART, masalah PKMI-2, penolakan pembentukan Pusat Pekabaran
Injil GMI—maka jemaat-jemaat Tionghoa mendirikan yayasan-yayasan pendidikan di tingkat lokal tanpa persetujuan dari
Konferensi Agung, Konferensi Tahunan, atau Pimpinan Pusat GMI. Yayasan pendidikan lokal yang telah berdiri antara lain
adalah: Lubuk Pakam, Tebing Tinggi, dan Pematang Siantar. Khusus yayasan di Tebing Tinggi ada kejanggalan dalam akta
notaris yayasan itu. Dalam pasal satu mengenai ”nama dan tempat kedudukan”, dikatakan bahwa:
Yayasan ini bernama: YAYASAN PERGURUAN KRISTEN OSTROM dan bertempat kedudukan serta berkantor pusat di Tebing
Tinggi, Jalan Gereja Nomor 7.229
Selain tidak mencantumkan lagi nama ”Methodist” dalam keseluruhan akta, yayasan yang berdiri tanggal 20 Oktober
1986 ini juga mengklaim bahwa jemaat GMI berbahasa Tionghoa Tebing Tinggi (yang dinamai jemaat Ostrom untuk
menghormati Egon Ostrom) adalah sebagian dari harta kekayaan yayasan itu. Dengan kata lain, di mata hukum dan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, Yayasan Pendidikan Ostrom serta jemaat Ostrom (label Methodist telah
dihilangkan) sudah menjadi entitas yang terpisah dari GMI sebagai badan hukum. Pembentukan yayasan lokal ini juga
merupakan suatu gejala adanya tendensi yang semakin kuat pada unsur kongregasionalis di jemaat-jemaat Tionghoa.
Dugaan ini diperkuat dengan memperhatikan ketentuan tentang pembubaran yayasan yang berbunyi:
Jikalau yayasan ini dibubarkan, maka Badan Pengurus berkewajiban untuk mengatur dan membereskan semua hutang-piutang
yayasan dan sisa kekayaan dikembalikan pada jemaat Ostrom. 230
Dari satu segi, kehadiran yayasan ini sangat menolong terhadap ekspansi sekolah. Sebab dengan adanya yayasan
sendiri, yang walau pembentukannya dilakukan tanpa melalui saluran formal, maka segala urusan intern sekolah (termasuk
kalau hendak mengambil ”kredit” dari bank guna pembangunan fisik sekolah) menjadi lebih lancar ketimbang
mempergunakan Yayasan Pendidikan GMI pusat yang cenderung prosesnya berbelit-belit dan birokratis. Namun di segi
lain, kehadiran yayasan lokal ini agaknya merupakan suatu cetusan eksklusivisme etnis yang pada gilirannya mempertajam
konflik antara kelompok etnis Batak dengan kelompok etnis Tionghoa dalam GMI. Yang pasti, yayasan lokal ini berdiri atas
dasar ketakutan dan rasa kesal terhadap langkah-langkah kebijakan yang diambil Kantor Pusat GMI yang dianggap
merugikan kepentingan jemaat-jemaat Tionghoa.
Jika disimak lebih jauh, selain faktor-faktor yang diuraikan di atas, yang mendorong terbentuknya yayasan-yayasan
lokal ini adalah perbedaan persepsi tentang status harta milik (properti) GMI antara orang Tionghoa dan orang Batak yang
ikut berpengaruh. Masalahnya, orang Batak yang diwakili Pimpinan Pusat GMI, mau memusatkan segala hak kepemilikan
di Kantor Pusat GMI, tetapi di sisi lain orang Tionghoa mau mengurus sendiri harta-harta jemaat. Orang Batak cenderung
menganut eklesiologi yang bercorak top down dan orang Tionghoa cenderung menganut eklesiologi yang bercorak bottom
up. Sistem pemilikan dalam tradisi gereja Methodist berada di antara kedua corak itu. Sejalan dengan sistem
pemerintahannya yang koneksional, setiap aras dalam struktur organisasi GMI, mulai dari gereja lokal, Distrik, Konferensi
Tahunan sampai Konferensi Agung dapat mempunyai harta benda yang pelaksanaannya diatur dalam Disiplin. Hak atas
tanah dan bangunan serta harta-harta lain yang ada dalam gereja lokal sepenuhnya berada di tangan gereja lokal, tetapi itu
dipegang untuk dan atas nama gereja Methodist secara keseluruhan. 231
Wawasan seperti ini kurang dipahami GMI, yang berakibat pada ketidakjelasan pengaturan harta-harta dalam Disiplin
sehingga menimbulkan konflik. Pada konferensi-konferensi GMI, masalah-masalah seperti ini jarang dipercakapkan,
sehingga timbul persepsi dan pemahaman yang berbeda-beda mengenai hak milik. Oleh karena itulah, hingga sekarang
belum ada kejelasan mengenai status kepemilikan sekolah-sekolah GMI itu. Di satu pihak ada anggapan, terutama di
kalangan orang Batak, bahwa sekolah-sekolah dan lembaga-lembagai GMI lainnya baik yang diasuh oleh Konferensi Agung,
Konferensi Tahunan maupun jemaat lokal adalah milik GMI yang dikelola secara sentralistis melalui Kantor Pusat GMI.
Hingga sekarang masalah pengelolaan sekolah-sekolah Methodist belum mempunyai standard operational prosedure (SOP)
yang jelas.
3. Masalah dengan CCCOWE
Chinese Coordination Center of World Evangelism (CCCOWE) 232 ialah sebuah organisasi interdenominasi yang berwarna
Injili, dilahirkan dalam Kongres pertamanya yang berlangsung pada 18-25 Agustus 1976 di Hong Kong. Kelahiran organisasi
ini diilhami oleh Konferensi Pekabaran Injil Internasional di Lausanne (The Lausanne International Congress on World
Evangelization) bulan Juli tahun 1974. Dari 4.000 peserta Kongres Lausanne yang berasal dari 150 negara, hadir 70 orang
pemimpin dari berbagai gereja Tionghoa. Pada saat itulah, lahir visi pembentukan CCCOWE yang dimaksudkan untuk
mewadahi gereja-gereja Tionghoa di seluruh dunia untuk dapat bekerja sama melakukan tugas pekabaran Injil kepada
orang-orang Tionghoa yang tersebar di seluruh dunia terutama di Tiongkok Daratan. 233 Sejak kongres pertamanya di Hong
Kong maka diadakan pembagian cabang-cabang di seluruh dunia yang disebut distrik. Di Indonesia terdapat enam distrik:
Sumatra, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Indonesia Timur. Pada tahun 1980, Pdt. S. Kosasih (waktu itu
Pemimpin Distrik Pengembangan GMI) menjabat sebagai ketua untuk distrik Sumatra. Keterlibatan anggota GMI dalam
kiprah CCCOWE hanya terbatas pada kegiatan-kegiatan musiman. Misalnya, mengundang pengkhotbah-pengkhotbah
Tionghoa yang terkenal dari luar negeri melalui kantor pusat CCCOWE di Hong Kong untuk memimpin kebaktian
kebangunan rohani di Distrik Pengembangan dan untuk menghadiri konferensi-konferensi CCCOWE.234
Setelah Distrik Pengembangan dibubarkan tahun 1983, jemaat-jemaat Tionghoa merasakan perlunya wadah untuk
mempersatukan jemaat-jemaat Tionghoa yang tersebar di Sumatra Utara. Dalam kaitan inilah rencana pembentukan
Pekabaran Pekabaran Injil GMI dimunculkan tahun 1985, tetapi digagalkan. Setelah proposal Persekutuan Pekabaran Injil
GMI itu digagalkan, tokoh-tokoh kelompok etnis Tionghoa (antara lain: Pdt. S. Kosasih dan Pdt. Yakub Beriman) dalam
GMI menggerakkan jemaat-jemaat GMI Tionghoa untuk berkiprah dan bersatu melalui CCCOWE. Mendengar adanya
gerakan tersebut, Bishop J. Gultom beserta Kabinet Konferensi Tahunan Wilayah I membicarakan masalah itu dan sepakat
untuk membuat Surat Penggembalaan yang berbunyi:
Sehubungan dengan masuknya beberapa warga dan pekerja GMI yang berbahasa Tionghoa ke dalam Organisasi Chinese
Coordination Center of World Evangelism (CCCOWE) yang berpusat di Hong Kong dan telah terbentuknya Susunan Pengurus
untuk Wilayah Sumatra pada tanggal 28 November 1986, Badan pekerja Harian GMI bersama dengan Pimpinan-pimpinan
Distrik Wilayah I telah membicarakan hal tersebut di atas dalam rapatnya pada tanggal 17 Februari 1987 dan telah memutuskan
sebagai berikut:
a. Seluruh Warga dan pekerja Gereja Methodist Indonesia tidak diperkenankan untuk memasuki dan melibatkan diri kepada
organisasi CCCOWE dan organisasi lainnya tanpa sepengetahuan dan seizin Pimpinan Pusat Gereja Methodist Indonesia.
b. Apabila terjadi pelanggaran terhadap keputusan tersebut ... di atas, maka GMI tidak bertanggung jawab atas mereka yang
melakukan pelanggaran tersebut.235
Surat penggembalaan yang bernada teguran ini merupakan manifestasi dari kecurigaan etnis yang ada di antara sesama
warga GMI. Masuknya warga GMI berbahasa Tionghoa ke dalam organisasi CCCOWE agaknya tidak merugikan GMI,
malahan mungkin menguntungkan, sebab lewat organisasi itu misi Methodist dapat lebih diperluas. Namun, prasangka
etnis di dalam GMI menimbulkan kecurigaan terhadap kehadiran CCCOWE. Kekhawatiran Pimpinan Pusat GMI ini cende-
rung dilatarbelakangi oleh pertimbangan ekonomis, yaitu bahwa dengan masuknya warga GMI Tionghoa ke CCCOWE,
ditakutkan uang mereka akan mengalir ke organisasi itu, bukan lagi melulu ke GMI. Dengan adanya surat teguran Bishop
itu, warga GMI Tionghoa mundur dari CCCOWE, takut kalau masalah itu berkepanjangan sampai ke masalah politik.
Dengan kata lain, kiprah orang Tionghoa yang cenderung eksklusif selalu dipatahkan dengan ancaman politik. Hal ini ikut
menambah konflik antara orang Batak dan orang Tionghoa dalam GMI.
KESIMPULAN
G ereja Methodist Indonesia (GMI) adalah sebuah gereja multietnis di Indonesia, yang warganya terdiri berbagai
kelompok etnis: Batak Toba, Tionghoa, Batak Simalungun, Batak Karo, Jawa, Sunda, Nias dan lain-lain. Secara
historis-teologis, GMI adalah pewaris teologi dan spiritualitas John Wesley tokoh gerakan kebangunan rohani di
Inggris abad ke-18. Ajaran-ajaran khas John Wesley yang memberikan tekanan pada anugerah pengudusan (sanctifying
grace) yang kemudian dikembangkan menjadi ”teologi sosial” Gereja Methodist, hingga sekarang mewarnai perjalanan GMI.
Berdasarkan ajaran itulah maka GMI selain rajin memelihara hidup saleh seperti tidak merokok, tidak meminum alkohol,
dan tidak memamerkan barang-barang mahal, juga sejak awal GMI berkomitmen terhadap keterlibatan sosial dengan penye-
lenggaraan pendidikan untuk memerangi kebodohan, membuka klinik dan rumah sakit untuk memerangi penyakit, serta
melakukan berbagai aktivitas sosial lainnya, yang semuanya diinspirasi oleh ajaran sosial John Wesley. Namun secara
historis-eklesiologis dan organisatoris GMI mewarisi tradisi eklesiologi Methodist yang dikembangkan di Amerika, karena
Gereja dan Badan Misi yang mengembangkan pekabaran Injil Methodist ke Indonesia, sejak tahun 1905, adalah Misi Me-
thodist yang berpusat di Amerika Serikat, yang saat ini dikenal dengan nama United Methodist Church. Salah satu ciri khas
Gereja Methodist di Amerika adalah fakta bahwa Gereja Methodist di Amerika adalah gereja trans-nasional yang tidak
dibatasi oleh sekat-sekat negara. Ciri khas kedua Gereja Methodist di Amerika adalah sistem organisasinya yang mewarisi
sistem episkopalisme Gereja Anglikan yakni Gereja yang dipimpin oleh bishop-bishop (dewan bishop) dengan tugas dan
tanggung jawab yang diatur dalam buku Disiplin.
BAB VI
KESIMPULAN
G ereja Methodist Indonesia (GMI) adalah sebuah gereja multietnis di Indonesia, yang warganya terdiri berbagai
kelompok etnis: Batak Toba, Tionghoa, Batak Simalungun, Batak Karo, Jawa, Sunda, Nias dan lain-lain. Secara
historis-teologis, GMI adalah pewaris teologi dan spiritualitas John Wesley tokoh gerakan kebangunan rohani di
Inggris abad ke-18. Ajaran-ajaran khas John Wesley yang memberikan tekanan pada anugerah pengudusan (sanctifying
grace) yang kemudian dikembangkan menjadi ”teologi sosial” Gereja Methodist, hingga sekarang mewarnai perjalanan GMI.
Berdasarkan ajaran itulah maka GMI selain rajin memelihara hidup saleh seperti tidak merokok, tidak meminum alkohol,
dan tidak memamerkan barang-barang mahal, juga sejak awal GMI berkomitmen terhadap keterlibatan sosial dengan penye-
lenggaraan pendidikan untuk memerangi kebodohan, membuka klinik dan rumah sakit untuk memerangi penyakit, serta
melakukan berbagai aktivitas sosial lainnya, yang semuanya diinspirasi oleh ajaran sosial John Wesley. Namun secara
historis-eklesiologis dan organisatoris GMI mewarisi tradisi eklesiologi Methodist yang dikembangkan di Amerika, karena
Gereja dan Badan Misi yang mengembangkan pekabaran Injil Methodist ke Indonesia, sejak tahun 1905, adalah Misi Me-
thodist yang berpusat di Amerika Serikat, yang saat ini dikenal dengan nama United Methodist Church. Salah satu ciri khas
Gereja Methodist di Amerika adalah fakta bahwa Gereja Methodist di Amerika adalah gereja trans-nasional yang tidak
dibatasi oleh sekat-sekat negara. Ciri khas kedua Gereja Methodist di Amerika adalah sistem organisasinya yang mewarisi
sistem episkopalisme Gereja Anglikan yakni Gereja yang dipimpin oleh bishop-bishop (dewan bishop) dengan tugas dan
tanggung jawab yang diatur dalam buku Disiplin.
Sudah dua puluh tahun disertasi yang saya tulis tahun 1995 yang kemudian menjadi buku dengan judul Kekristenan dan
Kesukubangsaan (TPK, Yogyakarta, 1996). Sekarang ”edisi revisi” buku itu sedang berada di tangan pembaca. Pertanyaan
penting sekarang adalah bagaimana perkembangan GMI selama dua puluh tahun sesudah buku itu ditulis? Sejauh mana
temuan-temuan yang dikemukakan dalam karya tersebut menjadi kenyataan dalam sejarah GMI? Salah satu kesimpulan
dan tesis yang dikemukakan dalam studi saya tersebut adalah bahwa penghapusan Distrik Tionghoa (Pengembangan) pada
tahun 1983 adalah sebuah keputusan yang kurang bijaksana, yang dilakukan secara tergesa-gesa, tanpa terlebih dahulu
dikaji dan didiskusikan secara mendalam.
Ternyata, dua puluh tahun sesudah buku tersebut di atas terbit, terbit juga sebuah buku berjudul ” Quo Vadis GMI:
Mengungkap Fakta Lahirnya Konperensi Tahunan Wilayah Sementara Gereja Methodist Indonesia (2006). Buku ini
mengungkap kemelut, konflik, benturan internal yang dihadapi GMI yang berpuncak pada perpecahan GMI di Wilayah I.
Konflik laten yang pada dasarnya berakar pada dinamika masalah etnis sebagai masalah gereja, yang tidak ditangani secara
arif dan bijaksana, tetapi ditekan bertahun-tahun akhirnya ”meledak” juga. Dua puluh tahun sejak eksistensi Distrik
Tionghoa dihapus, gerakan untuk mengembalikan cita-cita yang sudah lama diniatkan jemaat-jemaat Tionghoa tentang
terbentuknya sebuah Konferensi Tahunan berbahasa Tionghoa tetap eksis. Gerakan ini mulai dengan lahirnya ”Pusat
Persekutuan Injil GMI” yang dicanangkan tahun 1985, hadirnya organisasi CCCOWE dalam lingkungan GMI (1987), yang
kemudian berinkarnasi menjadi ”Visi Millenium”, yang muncul dalam lingkungan jemaat-jemaat Tionghoa awal tahun
2000, sampai munculnya kembali kerinduan untuk membentuk Konferensi Tahunan berbahasa Tionghoa, yang sedang
bergulir dewasa ini dalam GMI.
C. Penutup
Temuan tim Renstra GMI yang telah dipaparkan Bishop Darwis Manurung pada tanggal 12 Juli lalu dalam Seminar sehari
dalam rangka perayaan 50 tahun GMI otonom mencatat empat krisis yang dihadapi GMI ke depan. Pertama, potensi konflik
internal masih eksplosif; Kedua, warna teologi GMI masih sangat kabur, tidak khas dan tidak kuat; Ketiga, kualitas
kepemimpinan dalam GMI masih sangat lemah mulai dari pusat sampai ke jemaat; Keempat, GMI yang cenderung
”introvert” yang lebih berorientasi ke dalam.
Saya melihat, dan berkeyakinan, bahwa pada saat ini GMI sangat dan amat membutuhkan pemimpin yang sungguh-
sungguh punya ”niat” (kemauan) untuk memperbaiki, dan mempunyai ”kemampuan” untuk ”mendiagnosa” persoalan, dan
yang paling penting memiliki ”keberanian” mengambil keputusan kendati untuk sementara keputusan itu tidak populer,
tetapi jangka panjang semua ide dan keputusan yang baik pasti dicatat dalam sejarah. Tantangan penting kepada Bishop
GMI sekarang ini adalah: apakah ada niat, kemampuan dan keberanian untuk mencabut dua akar masalah dalam GMI yang
menyebabkan penyakit kronis dalam tubuh GMI semenjak GMI otonom? Dua akar masalah itu adalah (1) Eksistensi jemaat-
jemaat Tionghoa yang menghendaki adanya wadah kebersamaan bagi mereka, apakah mengembalikan satu Distrik
Tionghoa dalam GMI atau membentuk sebuah Konferensi Tahunan berbahasa Tionghoa dalam GMI; (2) Menjadikan GMI
menjadi gereja yang mandiri dalam bidang dana. Apabila GMI terus bergantung kepada dana dari sekolah-sekolah GMI,
termasuk UMI, maka yang terjadi adalah bahwa GMI tidak pernah menjadi gereja yang ”self-supporting”. Apabila UMI terus
menjadi ”sapi perahan” (apakah dengan alasan dana siar keagamaan, atau alasan apa pun), maka UMI akan semakin sulit
meningkatkan daya saingnya dalam persaingan universitas yang semakin tinggi di Indonesia. Dengan keyakinan bahwa
Gereja Reformasi adalah gereja yang setiap saat siap direformasi (Ecclesia reformata semper reformanda), kita berharap bahwa
GMI akan memasuki gerakan ”kebangkitan kedua” pasca-perayaan HUT otonom GMI ke-50 tahun 2014, dan HUT GMI ke-
110 pada tahun 2015.
3. I
DAFTAR PUSTAKA
A. ARSIP
Arsip Kantor Pusat Gereja Methodist Indonesia, Jalan Hang Tuah No. 8, Medan.
Arsip pribadi Pdt. Richard M. Daulay.
Commission on Archives and History of the Methodist Church in Singapore, 10 Mt. Sophia, Singapore.
General Commission on Archives and History of The United Methodist Church, Madison, New Jersey, USA.
C. DISIPLIN, PERATURAN
Anggaran Rumah Tangga Yayasan Gereja Methodist Indonesia: bagian (1) Kepegawaian (2) Pendidikan, 1984.
Disiplin Geredja Methodist Indonesia 1969. Naskah tidak diterbitkan.
Disiplin Gereja Methodist Indonesia 1973. Medan: Gereja Methodist Indonesia, 1973.
Disiplin Gereja Methodist Indonesia 1977. Medan: Gereja Methodist Indonesia, 1980.
Disiplin Gereja Methodist Indonesia 1989. Medan: Gereja Methodist Indonesia, 1989.
Kitab Undang-Undang Perhimpunan Methodist. Singapura: Methodist Publishing House, 1913.
Rancangan Peraturan-Peraturan Gereja Methodist Indonesia untuk Dibahas dan Disyahkan pada Konperensi Agung ke-6, 1989.
The Book of Discipline of the United Methodist Church (Nashville: United Methodist Publishing House, 1992).
The Book of Discipline of The Methodist Church in Singapore, (Singapura: The Methodist Church in Singapore, 1985).
Doctrine and Discipline of the Methodist church. (Nashville: The Methodist Publishing House, 1960).
The Methodist Church in Malaysia and Singapore: Doctrine, Constitution and Discipline. Singapura: Stamford College Press Ltd., 1968.
Kumpulan Akte Notaris Yayasan Gereja Methodist Indonesia. Mulai tahun 1922–1985, dalam arsip pribadi.
E. MAJALAH
Berita Antropologi, 27, 1976.
Chinese Around the World, Mei, 1984, Februari, 1984, Maret 1985.
Immanuel HKBP, Tarutung, 1950–1955.
Indonesia, Cornell University, 12/1971, 15/1973.
Malaysia Message, Singapura, 1904–1964.
Madjalah Methodist: Parsermonanta., Tebing Tinggi, 1961–1965.
Practical Anthropology, 7/1960, 11/1964.
Prisma, LP3ES Jakarta, 2/1979, 5/1990.
Sinar, Jakarta, 4/1993, 20/1994, 22/1994.
Suara Methodist Indonesia, Tebing Tinggi, 1980–1995.
Sumatra Tidings, Medan, 1929–1940.
Zwem1er, S.M., (peny.), The Moslem World. London: The Nile Mission Press, 1914–1920.
The International Review of Missions, 1/1912, 7/1953, 43/1954.
F. ENSIKLOPEDI, KAMUS
Crosby, Pamela J., Speaking Connectionally (How to Speak United Methodism): A Glossary of United Methodist Terms, phrases, expressions and
acronyms Nashville: United Methodist Communications, 1990.
Echols, John M. dan Shadily, Hassan (peny.), Kamus lnggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1984.
Harmon, Nolan (peny.), Encyclopedia of World Methodism. Nashville: United Methodist Publishing House, 1974. 2 Jilid.
Heukens SJ, A., Ensiklopedi tentang Gereja Katolik di Indonesia. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1989.
Lippy, C.H., dan P.W. Williams, Encyclopaedia of American Religious Experience, Jil. 1. New York: Charles Scribners Sons, 1988.
Marbun, M.A. dan I.M.T. Hutapea, Kamus Budaya Batak Toba. Jakarta: Balai Pustaka, 1987.
Poerwadarminta, W.J.S Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1976.
Reif, J.A. (peny.), Password: English Dictionarv for Speaks of Bahasa Indonesia, Jakarta: Kesaint Blanc Indah Corp., 1993.
Sarumpaet J. P., Kamus Batak Indonesia. Jakarta: Erlangga, 1994.
Shadily. Hasan (peny.), Ensiklopedia Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1980–1984. 5 jilid.
Sills, David L. (peny.), The International Encyclopaedia of the Social Sciences, Jil. 5 dan 6. New York: Macmillan Company & The Free Press, 1968.
Soekanto, Soerjono, Kamus Sosiologi. Jakarta: Rajawali, 1985.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebuda-
yaan/Balai Pustaka, 1989.
Waltz, K. Alan, Dictionary for United Methhodist. Nashville: Abingdon Press, 1991.
Wellem. F.D., Kamus Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994.
C. ARTIKEL
Bruner, Edward M., ”Urbanization and Ethnic Identity in North Sumatra.” American Anthropologist, 63, 1961.
Ee Joyce, ”Chinese Migration to Singapore, 1896–1941.” Journal of Southeast Asian History, 2, 1961.
Gramberg, B.W.G., ”The Batak Church in Fiery Trials.” International Review of Missions, 31, 1942.
Hutauruk J.R., ”Sejarah Pengabaran Injil Sampai Tahun 1931 di Tanah Batak” dalam Hidup di Dalam Kristus Bersama-sama dengan Bangsa. Medan:
DGI-W Sumatera Utara & Aceh, 1981.
Ismani, ”Migrasi Spontan Orang Batak Toba ke Daerah Kabupaten Aceh Tenggara.” Berita Antropologi, 27, 1976.
Oden, William B., ”Without Reserve: A Critical Apreciation of the Itineracy” dalam Donald E. Messer, Send Me? The Itineracy in Crisis. Nashville:
Abingdon Press, 1991.
Pardede, J., ”Efek-Efek Sosial dan Religi dan ’Parmargaon’ Sebagai Suatu Masalah dalam Gereja-Gereja,” dalam Ketika Aku di Penjara ... Buku Re-
nungan 50 Tahun Pdt. Dr A.A. Sitompul. Pematang Siantar: Percetakan Grafina, 1982.
Pelzer, Karl J., ”Western Impact on East Sumatra and North Tapanuli: The Roles of the Planterand the Missionary.” Journal of Southeast Asian
History, 2, 1961.
Reid, Anthony, “The Birth of The Republic in Sumatra.” Indonesia, 12, 1971.
Said, H. Mohammed, “What Was The Social Revolution of 1946 in East Sumatera?” Indonesia, No. 15, 1973.
Sarumpaet J.P., ”Pembinaan dan pengembangan bahasa Batak Toba, serta peranan gereja di dalamnya,” dalam B.A. Simanjuntak (peny.),
Pemikiran Tentang Batak. Medan: Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nommensen, 1986.
Schiotz, Frederik A, ”Lutheran World Mission.” The International Review of Missions, 43, 1954.
Siahaan, Hotman M., ”Persekutuan Agama dan Budaya Orang Batak Toba: Kasus HKBP.” Prisma, 2, 1979.
Sinaga A.B., ”Pengertian Adat dan Implikasinya terhadap Agama,” dalam B.A. Simanjuntak, Pemikiran Tentang Batak. Medan: Pusat Dokumentasi
dan Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nommensen, 1986.
Thomas, Winburn T., ”The Protestant Movement in Indonesia.” International Review of Missions, 17, 1953.
Un, Joon Kwan, ”When Korea Abolished Guaranteed Appointment,” dalam Donald E. Messer (peny.), Send Me? The Itineracy in Crisis. Nashville:
Abingdon Press, 1991.
Warnek J., ”The Growth of the Church in the Mission Field.” International Review of Missions, 1, 1912.
Yrigoyen, Jr., Charles, ”United Methodism,” dalam C.H. Lipy dan P.W. Williams, Encyclopaedia of the American Religious Experience, Jil. 1. New
York: Charles Scribner’s Sons, 1988.
H. WAWANCARA