Anda di halaman 1dari 7

KELOMPOK G

NAMA ANGGOTA :
1. Annisa Khairina 1811015220002
2. Jariyah Amilia 1811015220017
3. Nahdiya Rahmah 1811015320016
4. Nani Musyifa Nasrullah1811015220011

1. Sebutkan anatomi dan fisiologi rektum!


Jawab :
Rektum merupakan sebuah saluran yang berawal dari ujung usus besar dan berakhir di anus.
Rektum berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum akan kosong
karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon
desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar
(defekasi). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan
memicu sistem syaraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi
tidak terjadi, seringkali material akan dikembalikan ke usus besar, dimana penyerapan air akan
kembali dilakukan (Tortora dan Derrickson, 2009). Rektum mempunyai fungsi sebagai berikut :
1. Tempat penyimpanan dari limbah sisa penyerapan yang dilakukan oleh usus yang disebut
tinja (feses)
2. Bertugas memberitahu otak untuk melakukan defekasi apabila rektum sudah penuh serta
membantu mendorong feses sewaktu defekasi.
(Kuntoadi, 2019).

Keterangan:
1. Bagian bawah rektum
2. Bagian tengah rektum
3. Bagian atas rektum
4. Anal Verge

Gambar I. Bagian-bagian rektum (Braddy, 2011)


Rektum merupakan bagian distal dari usus besar yang dimulai dari setinggi corpus sacralis
tiga (Tortora dan Derrickson, 2009). Rektum dibagi menjadi 3 bagian diantaranya yaitu :
a. Rektum bagian bawah, yaitu sepanjang 3 - 6 cm dari anal verge
b. Rektum bagian tengah, yaitu sepanjang 6 – 10 cm dari anal verge
c. Rektum bagian atas, yaitu sepanjang sekitar 10 – 15 cm dari anal verge, umumnya rektum
mencapai batas atasnya sekitar 12 cm dari anal verge.
(Tortora dan Derrickson, 2009).
Panjang rektum sekitar 15-20cm dan berbentuk-S. Mula-mula rektum mengikuti
kecembungan os sacrum, flexura sacralis, lalu memutar ke belakang setinggi os coccygis dan
berjalan melalui dasar pelvis, flexura perinealis. Akhirnya rektum menjadi canalis analis dan
berakhir pada anus. Sepertiga atas rektum merupakan bagian yang sangat lebar yaitu ampulla
recti. Jika ampulla terisi maka timbul perasaan ingin defekasi (Leonhardt , 1988).

2. Apakah sedian suppositoria aman dari First Pass Effect? Jelaskan!


Sediaan Suppositoria merupakan salah satu jenis sediaan rektal, karena merupakan sediaan
rektal dapat dipastikan akan bebas dari First Past Effect. Literatur menyebutkan obat yang
dipakai melalui rektum, biasanya digunakan pada pasien yang tidak bisa menelan, pingsan, atau
menghendaki efek cepat dan terhindar dari pengaruh pH lambung, First Past Effect di hati,
maupun enzim-enzim di dalam tubuh. Pada penggunaan rektal 50% aliran darah dari bagian
rektum memintas sirkulasi portal; jadi, biotransformasi obat oleh hati dikurangi (Noviani &
Vitrinurilawaty, 2017).
Salah satu kelebihan dari sediaan suppositoria adalah tidak mengalami First Pass Effect,
karena vena-vena bawah dan tengah dari rektum tidak tersambung pada sistem porta dan obat
tidak melalui hati pada peredaran darah pertama, sehingga tidak mengalami perombakan First
Pass Effect. ). Pengecualian untuk obat yang diserap dibagian atas rektum dan oleh vena rectalis
superior disalurkan ke vena porta dan kemudian ke hati, misalnya thiazinamium. Dengan
demikian, penyebaran obat didalam rektum tergantung dari basis suppositoria yang digunakan,
dapat menentukan rutenya ke sirkulasi darah (Tjay & Rahardja, 2007).
Gambar 2. Pengaruh FPE terhadap bioavailabilitas obat
Rektum dan kolon mampu menyerap banyak obat yang diberikan secara rektal untuk tujuan
efek sistemik. Hal ini dapat menghindari pengrusakan obat atau obat menjadi tidak aktif, karena
pengaruh lingkungan perut atau usus. Obat yang diabsorpsi melalui rektal beredar dalam darah
tidak melalui hati dulu, sehingga tidak mengalami detoksikasi atau biotransformasi yang
mengakibatkan obat terhindar dari tidak aktif (Astuti, 2008).

3. Apakah sediaan rektal bisa ditujukan untuk sustained release?


Jawab :
Bisa, karena jika sediaan rektal di desain sustained release memiliki manfaat yang baik yaitu
untuk mengontrol dosis obat, memungkinkan pertukaran obat yang nyaman dan mencegah
interaksi antara obat dan bahan dasar (Hua, 2019). Strategi yang digunakan untuk memformulasi
supositoria pelepasan berkelanjutan (SR) adalah dengan menambahkan pengubah viskositas
seperti polimer selulosa ke basis atau untuk memasukkan obat dalam mikrosfer dan
menyebarkannya ke dalam basis (Eman et al., 2012).
4. Berikan gambaran terkait gambar pada ppt hal. 28-29?
Jawab :

Pada gambar di atas, terlihat perbedaan terkait rata-rata konsentrasi obat diazepam 10 mg di
dalam plasma pada waktu tertentu dengan berbagai rute pemberian yaitu melalui intravena (IV),
rectal solution, intramuskular (IM), tablet (oral) , dan supositoria. Sediaan rectal solution
mempunyai onset yang paling cepat mengalami peningkatan dibandingkan supositoria dan
pemberian lain, serta rata-rata kadar obat dalam plasmanya stabil dari menit ke 15 hingga 100
yaitu ±300 ng/mL. Sedangkan pada sediaan supositoria yang juga diberikan melalui rektal, onset
obat baru muncul pada menit ke 20 dan stabil pada menit ke 60-100. Pada pemberian IV, rata-
rata kadar obat dalam plasma awalnya memang tinggi (±600 ng/mL), tetapi terus mengalami
penurunan seiring berjalannya waktu. Pemberian IM dan tablet (oral) mempunyai rata-rata kadar
obat dalam plasma yang hampir sama, yaitu mulai mengalami peningkatan pada menit ke 15
hingga 40, kemudian stabil hingga menit ke 100.
Pada data bioavailabilitas atau ketersediaan hayati Lidocaine di sistemik, data rute intravena
(100%) dari percobaan diambil sebagai referensi di kedua kasus (oral dan rektal). Rata-rata %
bioavailabilitas untuk rute oral didapatkan nilai yaitu 34% sedangkan untuk rute rektal yaitu
71%. Jadi, dapat disimpulkan jika ketersediaan hayati Lidocaine di sistemik setelah pemberian
melalui rektal akan lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian melalui oral, karena % nilai
rata-rata ketersediaan hayati dari rute rektal itu 2 kali lebih tinggi dari nilai %rata-rata
ketersediaan hayati oleh rute oral. Hal ini mungkin dapat disebabkan karena pemberian obat pada
rute rektal tidak perlu mengalami first-pass metabolism, sehingga kadar obat setelah pemberian
melalui rute rektal lebih tinggi.

5. Jelaskan pengaruh ukuran partikel dan koefisien partisi pada transfer zat aktif pada
cairan rektum?
Jawab : Ukuran partikel dan koefisien partisi akan memengaruhi profil bioavailabilitas.
Semakin kecil ukuran partikel, maka luas permukaan akan meningkat dan semakin cepat
pula proses absorpsinya (Ansel, 2011). Misalnya, pada sediaan suppositoria pelepasan obat
terjadi saat suppositoria larut atau meleleh ke permukaan mukosa dimana molekul obat akan
berdifusi keluar. Pada obat yang terdispersi (tidak larut) dalam basis suppositoria cenderung
akan meninggalkan bentuk sediaan dan larut dalam cairan fisiologis. Sehingga, obat yang
hidrofilik cenderung memiliki pelepasan yang baik dalam basa lipofilik sedangkan obat
lipofilik memiliki pelepasan yang lebih baik dalam basa hidrofilik (Hua, 2019).
6. Pemilihan Basis:
 Bagaimana jika terjadi interaksi antara basis dan obat yang menghambat pelepasan
obat?
Jawab : Apabila terjadi interaksi antara basis dan obat yang menghambat pelepasan obat,
maka penyerapan obat akan terganggu (Ansel, 2011). Sehingga untuk mencegah hal tersebut
bisa dilakukan pengembangan dan modifikasi sediaan seperti suppositoria tipe berongga
yang dapat meningkatkan penyerapan berbagai obat. Dengan adanya modifikasi sediaan ini
dapat bermanfaat dalam mengontrol dosis obat, memungkinkan terjadinya pertukaran obat
secara mudah, serta mencegah interaksi antara basis dan obat (Hua, 2019).
 Bagaimana jika basis mengiritasi membran mukosa rektum ?
jawab : untuk pemilihan basis yaitu yang memiliki sifat harus dapat mencair. melunak atau
melarut supaya melepaskan kandungan obatnya untuk diabsorbsi. Apabila terjadi interaksi
obat-basis maka absorbsi obat bisa terganggu. Bila basis mengiritasi membran mukosa
rektum maka akan mendorong respon kolon untuk buang air besar sehingga mengurangi
kemungkinan pelepasan dan absorbsi obat. Absorpsi obat pada rektum antara lain
dipengaruhi jumlah obat dalam bentuk terabsorpsi pada ruang rektum. Basis yang tidak
teremulsi, dipengaruhi oleh daerah kontak antara masa melebur dan mukosa rektal.
Penambahan surfaktarl dapat meningkatkan kemampuan masa melebur untuk menyebar dan
cenderung meningkatkan absorbsi (Fatmawaty et al., 2015).
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C., L.V. Allen, N.G. Popovich. 2011. Ansel’ s Pharmaceutical Dosage Forms and
Drug Delivery Systems (9 th ed). Lippincott Williams and Wilkins, Baltimore.

Astuti, F. 2008. Pengaruh Kombinasi Basis Polietilenglikol 1000 Dan Polietilenglikol 6000
Terhadap Sifat Fisik Dan Pelepasan Asam Mefenamat Pada Sediaan Supositoria.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Braddy, E. J. 2008. Kimia Universitas Asas & Strukur Jilid 2. Binarupa Aksara, Tangerang.

Eman, G., M. Mokhtar, H. E. Ghamry & F. Ghazy. 2012. Sustained Release Rectal Suppositories
as Drug Delivery Systems for Atenolol. Journal of American Science. 8: 323-332.

Fatmawaty, A., M. Nisa & R. Riski. 2015. Teknologi Sediaan Farmasi. Penerbit Deepublish,
Yogyakarta.

Hua, S. 2019. Physiological and Pharmaceutical Considerations for Rectal Drug Formulations.
Front Pharmacol. 10 : 1196.
Kuntoadi, G. M. 2019. Buku Ajar Anatomi Fisiologi untuk mahasiswa APIKES. Panca Terra
Farma, Jakarta.

Leonhardt, H. 1996. Atlas dan Buku Teks Anatomi Manusia. EGC, Jakarta.

Noviani & Vitrinurilawaty. 2017. Farmakologi. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,


Jakarta.

Tjay, T. H & K. Rahardja. 2015. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek
Sampingnya. Gramedia, Jakarta.

Tortora, G. J., & B. Derrickson. 2019 Principles of Anatomy and Physiology. John Wiley &
Sons, USA.

Anda mungkin juga menyukai