Anda di halaman 1dari 16

FISIOLOGI DAN TEKNOLOGI REPRODUKSI VETERINER

ICSI PADA HEWAN

Oleh :

KELOMPOK 3 KELAS D

I Made Gede Wijaya Kusuma (1809511107)

Ida Bagus Ketut Indra Permana (1809511108)

I Komang Aswin Nurcahya (1809511109)

Made Ade Pranatawan (1809511110)

Sheren (1809511113)

Brainna Kirayna Ginting (1809511114)

Maria Dolorosa Leta Bili (1809511115)

Silvia Dwi Lestari (1809511116)

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah “ICSI pada Hewan”
yang merupakan tugas mata kuliah Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Veteriner dengan
baik dan tepat waktu.

Makalah ini berisikan materi mengenai definisi, sejarah, tahapan, kelebihan, serta
kekurangan dan resiko dari ICSI pada hewan.

Penulis menyadari bahwa dalam pengerjaan penugasan ini masih banyak kekurangan dan
masih jauh dari kata sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca untuk perbaikan penulis di masa yang akan datang. Semoga
tugas ini bermanfaat bagi semua pihak.

Denpasar, 28 April 2021

Hormat Kami

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ....................................................................................................................... i


Daftar Isi ................................................................................................................................ ii
Daftar Gambar ....................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................ 2
1.4 Manfaat Penulisan ...................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 3
2.1 Definisi ICSI ............................................................................................................... 3
2.2 Sejarah ICSI ................................................................................................................ 3
2.3 Tahapan ICSI pada Hewan .......................................................................................... 4
2.4 Kelebihan ICSI pada Hewan ....................................................................................... 7
2.5 Kekurangan dan Resiko ICSI pada Hewan ................................................................. 8
BAB III PENUTUP ............................................................................................................... 10
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................. 10
3.2 Saran ............................................................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 11

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Proses Koleksi Ovum ........................................................................................... 5

Gambar 2. Sperma dalam mikropipet (A) dan menyuntikkan sperma ke dalam oosit (B) .... 7

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI) merupakan metode reproduksi terbantu yang
efisien karena hanya membutuhkan satu buah sel telur dan satu buah sel sperma yang
telah matang untuk memulai proses pembentukan individu baru (Okadaet al.1999,De
Vos, 2000 dan Yanagida, 2009).
Dalam perkembangannya, sperma yang digunakan untuk ICSI dapat berasal dari
sperma ejakulat (Saili et al., 2005), pembedahan mikro epididimis (Silber et al., 1994),
aspirasi menggunakan jarum mikro pada epididimis (Craft et al., 1995) dan aspirasi pada
testis (Saili et al., 2005). Sebelum sel sperma diinjeksikan secara mekanis ke dalam sel
telur di bawah mikroskop inverted, perlu dilakukan imobilisasi pada sel sperma untuk
mendukung proses dekondensasi (Boediono, 2001) dengan cara menekan ekor sperma
sampai ke dasar petri (Dozortzev et al., 1995) atau dengan memisahkan kepala dan ekor
sperma menggunakan ultrasonikasi (Kuretake et al., 1996). Sejarah mengenai usaha
pemilihan sel sperma unggul untuk keperluan ICSI dilakukan pertama kali oleh Van
Steirteghem et al.(1993). Dalam percobaannya Van Steirteghem et al.menggunakan
metode seleksi gradien densit as percolldengan tambahan 2-Deoxy-Adenosin(2DA) dan
pentoxyfillyne untuk merangsang motilitas spermatozoa.
Namun perlakuan tersebut justru meningkatkan potensi kegagalan pembelahan sel
pada fase embrionik lanjut akibat sifat toksik dari senyawa 2DA yang digunakan. Sejak
penelitian Van Steirteghem et al.tersebut, berbagai macam metode seleksi sperma
dikembangkan pada berbagai jenis spesies untuk mencapai kesuksesan fertilisasi yang
tinggi. Penelitian mengenai penggunaan metode ICSI untuk meningkatkan produksi
hewan ternak di Indonesia juga telah dilakukan oleh Sailiet al.(2005), Kaiinet al.(2008)
dan Gunawanet al.(2014) namun penelitian tersebut belum mampu mencapai tingkat
fertilitas yang diharapkan untuk penerapan ICSI pada skala industri. Dalam paper ini
akan dijelasakan lebih lanjut mengenai definisi, sejarah, tahapan, kelebihan, serta
kekurangan dan resiko dari ICSI pada hewan.

1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, antara
lain:
1. Apakah definisi dari ICSI?
2. Bagaimanakah sejarah ICSI?
3. Bagaimanakah tahapan ICSI pada hewan?
4. Apakah kelebihan dari ICSI pada hewan?
5. Apakah kekurangan dan resiko dari ICSI pada hewan?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dibuatnya paper Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Veteriner
dengan judul “ICSI Pada Hewan” ini yaitu :
1. Untuk mengetahui definisi dari ICSI.
2. Untuk mengetahui sejarah dari ICSI.
3. Untuk mengetahui tahapan ICSI pada hewan.
4. Untuk mengetahui kelebihan dari ICSI pada hewan.
5. Untuk mengetahui kekurangan dan resiko dari ICSI pada hewan.

1.4 Manfaat
Setelah melaksanakan penulisan paper ini diharakan mahasiswa mengerti dan
mengetahui definisi dan sejarah dari ICSI, selain itu mahasiswa diharapkan mampu
mengerti bagaimana tahapan, kelebihan, serta kekurangan dan resiko dari ICSI pada
hewan.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi ICSI


Intracytoplasmic sperm injection (ICSI) adalah metode untuk fertilisasi in vitro di
mana satu sperma disuntikkan ke dalam sitoplasma oosit dewasa untuk mencapai
fertilisasi (Rader et al., 2016). Pada metode tersebut, spermatozoa secara mekanik
dimasukkan secara langsung ke dalam sitoplasma sel telur dengan bantuan
mikromanipulator (Boediono, 1995; Gunawan et al., 2014). Walaupun teknik ICSI
dianggap sederhana, tetapi dalam aplikasinya melibatkan berbagai macam persoalan
termasuk masalah peralatan dan kemampuan teknik operator sehingga akan memengaruhi
tingkat keberhasilan ICSI (Afriani et al., 2018). ICSI terdiri dari pemupukan oosit
metafase II (MII) dengan menyuntikkan langsung satu spermatozoon tunggal ke dalam
ooplasma dengan akrosom dan membran sperma utuh (Garcia-Rosellὸ et al., 2009).

2.2 Sejarah ICSI


Studi pertama yang dilaporkan menggunakan ICSI dilakukan pada bintang laut. Pada
tahun 1962 dilaporkan perkembangan embriologi setelah injeksi spermatozoa hidup ke
dalam protoplasma oosit bulu babi yang tidak dibuahi. Studi ini menginspirasi para
peneliti untuk menerapkan teknik yang sama pada hewan tingkat tinggi. Setelah itu,
teknik ini pertama kali dilaporkan pada amfibi. Pada mamalia, pembuahan pertama yang
berhasil dicapai dengan transfer sperma intra-ooplasma langsung didokumentasikan pada
hamster. Pada tahun 1988, dilaporkan adanya pembuahan normal pertama setelah injeksi
satu spermatozoa ke dalam oosit manusia. Mereka menunjukkan kemampuan oosit
manusia untuk berkembang hingga tahap pronuklir. Dengan menggunakan ICSI,
diperoleh keturunan hidup pada kelinci dan sapi. Pada tahun 1992, Kemajuan besar di
bidang teknologi reproduksi terjadi ketika bayi manusia sehat berhasil diproduksi oleh
ICSI di Brussel, Belgia. Itu adalah pencapaian medis yang spektakuler setelah ICSI
mengalami pertumbuhan yang luar biasa. Namun, setelah itu, sejumlah langkah penting
telah diidentifikasi dan beberapa modifikasi dilakukan di ICSI untuk meningkatkan
tingkat keberhasilannya.
Selanjutnya dilaporkan bahwa tingkat pembuahan dan kehamilan yang lebih tinggi
dapat dicapai dengan menyuntikkan spermatozoa hidup. Hal ini melibatkan kelainan
morfologi seperti cryptozoospermia, total asthenozoospermia dan teratozoospermia tidak

3
mempengaruhi tingkat keberhasilan ICSI. ICSI telah berkembang secara bertahap selama
berabad-abad dengan kontribusi dari banyak peneliti. Kemudian teknik ICSI berbantuan
piezo pada tikus yang terbukti sangat berhasil dalam meningkatkan tingkat pemupukan
dibandingkan dengan metode konvensional diperkenalkan. Penggunaan
mikromanipulator piezo dalam mencapai pembuahan dan angka kehamilan yang lebih
tinggi telah didukung dalam banyak penelitian. Beberapa keberhasilan yang dilaporkan
pada penggunaan teknik ICSI pada hewan kelinci (Hosoi et al, 1988 dan Iritani, 1989),
mencit (Kimura and Yanagimachi, 1995), kucing (Pope et al., 1998), kuda (Cochran et
al..,1998), domba (Gomez et al, 1998), sapi (Hamano et al., 1999), kera (Hewitson et al,
1999), babi (Martin, 2000) dan tikus (Said et al,,2003).

2.3 Tahapan ICSI pada Hewan


2.3.1 Koleksi dan Preparasi Oosit untuk ICSI
Pengumpulan oosit dimulai dengan menstimulasi ovarium dengan pemberian
Gonadotrophin-Releasinng-Hormone Agonnist (GnRH-a) buserelin, Follicle
Stimulating Hormone (FSH), human menonpausal gonadotrophonne (HMG), dan
Human Chorionnic Gonadotrophin (HCGs) dengan tujuan desentisasi. Pasien
akan diberikan bbuserelin asetat pada hari 21 dari fase luteal sebelumnya. Pada
hari 3 dan 4 diberikan injeksi 300 IU FSH pada siklus tersebut dan dilajutkan
dengan 150 IUU FSH pada hari ke 5 dan 6 dan 150 IU HMG pada hari ke 7
sampai folikel termaturasi. 5000-10.000 IU HCG dapat diberikan saat 2 folikel
terbesar memiliki rata-rata diameter 18 mm.
Pengambilan oosit dilakukan dengan punctur vaginal dibantu dengan
ultrasound 36 jam setelah pemberian HCG. Sel-cumulus-corona kompleks akan
didapatkan dann diletakan dibawah mikroskop pada pembesaran x 40 dan x 1000.
Transfer dilakukan menggunakan media Earle’s menggunakan Falcon tube; alat
ini dipindahkan ke dalam kotak thermal pada suhu 37oC.
Sel cumulus dann corona dipisahkan dengan cara inkubasi selama 30 detik
pada buffer HEPES dalam media Earle’s dengan 80 IU hyaluronidase per ml.
Oosit sisa akan dibbilas beberapa kali dengan droplet buufer HEPES dan
diletakan pada media B2 untuk diobservasi dibawah mikroskop dengan
pembesaran x200. Oosit lalu diinkubasikann dalam 25nm mikrodrop media B2
yang dilapisi minyak paraffin ringan pada suhu 37 oC dengan atmosfer 5%
oksigen, 5% karbondioksida dan 90% nitroge. 3-4 jam kemudian oosit akan

4
diperiksa untuk melihat keutuhan dari oosit dan jika layak akan diteruskan ke
proses ICSI.

Gambar 1. Proses Koleksi Ovum (OPU)


(Sumber: Galli et al, 2014)

2.3.2 Koleksi dan Preparasi Spermatozoa untuk ICSI


Persiapan sperma dimulai dengan mencairkan sperma yang dibekukan.
Metode untuk memilih spermatozoa yang motil tergantung dari kualitas sperma
yang ada, bisa dengan metode swim up atau dengan pemisahan gradien
kepadatan. Metode seleksi sperma dengan gradien kepadatan meruapakan yang
paling banyak digunakan pada sapi.Setelah pencairan semen dan seleksi, langkah
berikutnya dalah imobilisasi sperma. Dalam hal ini, spermatozoa harus
ditempatkan dalam tetesan PVP (polivinilpirolidon), larutan dengan viskositas
tinggi yang mengurangi motilitas sperma. Gerakan sperma yang menjadi lambat
pada PVP memugkinkan penempatan pipet injeksi pada ekor sperma. Kerusakan
yang terjadi pada ekor sperma tidak hanya membuat manipulasi sperma menjadi
lebih sederhana, tetapi juga sekaligus memfasilitas dekondensasi kepala sperma
dan aktivasi oosit nantinya sebagai langkah penting untuk perkembangan embrio
awal.
Pemecahan membrane sperma sebelum injeksi untuk menghasilkan blastosit
menghasilkan perbaikan dekondensasi sperma dan perkembangan embrio sapi
nantinya. Terdapat dua metode yang bisa digunakan untuk memecah mebran
sperma, yaitu Kriopreservasi dan sex-sorting dengan flow cytometry. Keduanya
menginduksi perubahan pada membrane sperma dan meningkatkan presentase
dari akrosom sperma yang bereaksi, mengindikasi bahwa kedua metode ini dapat

5
menginduksi kapasitasi spermatozoa yang belum dewasa. Integritas kromatin
sperma dipertahankan setelah melewati pembekuan atau penyortiran.
Spermatozoa sapi yang digunakan berasal dari semen beku yang dicairkan
kembali (thawing) dalam waterbath dengan suhu 37° C selama 30 detik. Seleksi
spermatozoa dengan cara swim up, dengan cara spermatozoa hasil sentrifus
ditambahkan 1 ml medium DPBS ditambah 10% FBS dan 10µl/ml gentamisin.
Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37° C selama 10 menit agar spermatozoa
mengurai dari kelompoknya dan bergerak ke arah permukaan larutan.
Spermatozoa diambil pada bagian permukaan yang selanjutnya digunakan untuk
ICSI.
2.3.3 Pelaksanaan ICSI
Secara garis besar prosedur ICSI adalah sebagai berikut; Spermatozoa yang
digunakan terlebih dahulu dibersihkan dengan cara sentrifugasi pada kecepatan
500 g selama 10 menit. Khusus spermatozoa segar juga dilakukan seleksi
spermatozoa dengan cara proses swim up. Hal tersebut dilakukan dengan cara
menempatkan 50 μl (3 x 109 spermatozoa/ml) semen hewan ke bagian dasar tube
1,5 ml kemudian ditambahkan medium PBS pH 7,2 sebanyak 1,3 ml. Selanjutnya
campuran semen tersebut diinkubasi pada suhu 370C selama 10 menit agar
spermatozoa terpisah dari kelompoknya dan bergerak ke arah permukaan larutan.
Selanjutnya dibuat drop medium ICSI (TCM199, NaHCO3 5 mM, hydroxy
ethyl piperazine ethane sulphonic acid (HEPES) 20 mM, FBS 5% dan antibiotik)
masing-masing sebanyak 5 ìl pada cawan petri. Drop pada sisi kiri diisi dengan
oosit matang (terdapat badan kutub pertama, PB-I) sebanyak tiga sampai lima
oosit yang telah dibebaskan dari kumulus dengan menggunakan enzim
hyaluronidase, sedangkan drop pada sisi kanan merupakan drop yang berisi
spermatozoa.
Pada pelaksanaan ICSI, spermatozoa terlebih dahulu ditangkap dengan
menggunakan injection pipet yang berdiameter kurang dari 10 ìm, selanjutnya
spermatozoa diinjeksikan ke dalam sitoplasma oosit yang telah difiksir dengan
menggunakan holding pipet yang berdiameter 50-100 μm. Pipet injeksi harus
berada pada posisi 90 derajat dari PB-I oosit. Hal ini dimaksudkan agar pada saat
pipet injeksi masuk ke dalam sitoplasma oosit, tidak akan merusak inti sel yang
berada di dekat PB-I. Selanjutnya, spermatozoa diinjeksikan ke dalam sitoplasma
oosit dan pipet injeksi ditarik keluar sitoplasma.

6
Gambar 2. Sperma dalam mikropipet (A) dan menyuntikkan sperma ke dalam
oosit (B)

2.4 Kelebihan dari ICSI pada Hewan


Sumber spermatozoa yang digunakan dalam teknik ICSI sangat beragam bahkan
spermatozoa yang immotile pun dapat digunakan untuk menghasilkan kehamilan (Okada
et al., 1999). Hal ini merupakan kelebihan yang dimiliki oleh teknik ICSI dibanding
teknik fertilisasi bantuan yang lain.
ICSI sebagai suatu teknik yang memungkinkan seseorang untuk memasukkan
spermatozoon ke dalam sel telur untuk tujuan fertilisasi dengan bantuan alat
mikromanipulator telah mampu meningkatkan angka fertilisasi spermatozoa yang berasal
dari pria infertil. Kelebihan utama teknik ini adalah dapat menggunakan spermatozoa
tanpa mempertimbangkan motilitasnya yang merupakan syarat mutlak pada IVF (Okada
et al., 1999; Kuramoto et al., 1997). Beberapa jenis hewan telah lahir dari hasil ICSI yang
menggunakan spermatozoa immotil (Yanagimachi, 2001). ICSI dalam aplikasinya telah
berkembang dengan berbagai teknik yang berbeda untuk menghasilkan pembuahan
normal. Penelitian-penelitian yang melaporkan bahwa pelaporan yang melaporkan ICSI
dalam mendukung pelaporan pronukleus dan perkembangan embrio hingga tahap
blastosis, juga melaporkan ICSI pada hewan dalam menghasilkan anak.
Populasi kecil dari spesies yang terancam punah memiliki kekurangan dalam
keragaman genetik yang menungkatkan kemungkinan terjadinya inbreeding dan
homozygosis. Hal ini mengurangi kapasitas adaptasi dan meningkatkan terjadinya resiko
warisan penyakit, cacat bawaan, dan penurunan fertilitas. Pada kasus ini, ICSI dapat
digunakan untuk mengatasi terjadinya hal-hal tersebut. Pada spesies liar ataupun
terancam punah, oosit menjadi faktor pembatas. Dengan demikian, ICSI interspesifik
dapat digunakan untuk mengevaluasi kemampuan fertilitas spermatozoa dari spesies
eksotik menggunakan oosit yang telah matang secara in vitro. Selain itu, ICSI

7
memungkinkan untuk mendaptkan hasil keturunan dari gamet hewan yang telah mati dan
juga meningkatkan kesuburan sperma yang tadinya buruk ataupun oosit. Teknik ini
memungkinkan pemilihan secara morfologis sepermatozoa yang normal, bahkan dari
sampel yang mengandung sebagian besar sperma teratozoospermic. ICSI juga memiliki
kelebihan karena mampu mencapai embrio yang telah diproduksi secara in vitro. ICSI
menjadi penting sebagai alat baru untuk menginduksi genetik. Pada intinya, ICSI
memungkinkan reproduksi hewan tanpa perlu terhalang oleh ruang dan waktu, bahka
ketika kriopreservasi sperma buruk atau sperma dalam jumlah yang tidak banyak.

2.5 Kekurangan dan Resiko dari ICSI pada Hewan


Kekurangan dari teknik reproduksi Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI) adalah
sebagai berikut :
1) Tidak semua telur yang telah dikumpulkan mempunyai kualitas yang sesuai
ataupun cukup matang untuk menjalani prosedur injeksi
2) Disebabkan oleh sifat alamiah dari prosedur ini, rata-rata 10% dari telur akan
mengalami kerusakan dan tidak dapat dibuahi
3) Adanya kemungkinan bahwa tidak ada telur yang sesuai untuk ICSI
4) Dalam ICSI dipilih sperma yang dianggap bagus. Namun, kenyataannya, sperma
yang dipilih ternyata memiliki kelemahan yang tidak terlihat.

Pada kenyataannya ICSI melibatkan suatu mekanisme interaksi spermatozoa dan sel
telur yang sangat berbeda dengan pembuahan secara alami. Memasukkan spermatozoa
langsung ke dalam sel telur, bukan hanya fungsi sel kumulus dan zona pellusida yang
terabaikan tetapi juga oolemma, dimana secara alami merupakan komponen yang
berperan sebagai penyeleksi dan pendewasa spermatozoa sebelum sel telur dan
spermatozoa bersatu. Kenyataan inilah yang memungkinkan ICSI memiliki potensi
resiko yang tidak kecil. Beberapa resiko yang mungkin terjadi adalah:
1) Karena spermatozoa dimasukkan langsung ke dalam sel telur tanpa melalui proses
seleksi secara alami, maka besar kemungkinan spermatozoa yang dimasukkan
adalah spermatozoa rusak atau spermatozoa yang abnormal (Mansour, 1998).
Cummins dan Jequier (1994) telah memperingatkan bahwa terdapat kerusakan
genetik yang tidak jelas pada beberapa kasus faktor ketidaksuburan pria dan
konsekuensi resiko penggunaan teknik mikro untuk membantu pembuahan.

8
2) Terdapat kemungkinan memasukkan material asing yang tidak diketahui ke dalam
sitoplasma selama injeksi, misalnya polyvinyl pyrolidone (PVP), minyak,
kontaminasi percoll dan lain-lain. Resiko yang lebih parah lagi bahwa kepala
spermatozoa mampu mengikat DNA asing (Maione et al.1998). Pengikatan ini
semakin besar peluangnya karena spermatozoa sebelum diinjeksi ke dalam sel telur
diimobilisasi terlebih dahulu yang mengakibatkan rusaknya membran plasma
spermatozoa, dimana diketahui bahwa pada daerah tersebut terdapat faktor
penghambat interaksi antara DNA asing dengan spermatozoa;
3) Adanya kemungkinan rusaknya meiotic spindle pada sel telur pada saat injeksi.
Terjadinya luka pada spermatozoa akibat immobilisasi sebelum injeksi merupakan
salah satu faktor rusaknya DNA spermatozoa. Hal ini terjadi karena terdapat
perbedaan lingkungan di dalam spermatozoa yang mengandung Na* rendah dan K'
tinggi sedangkan lingkungan di luar sel saat manipulasi mengandung Na tinggi dan
K yang rendah. Perbedaan inilah menurut Martin er al., (1988) dan Rybouchkin et
al., (1996) akan mengakibatkan kerusakan kromosom.

9
BAB III

PENUTUP

2.6 Kesimpulan
Intracytoplasmic sperm injection (ICSI) adalah metode untuk fertilisasi in vitro di
mana satu sperma disuntikkan ke dalam sitoplasma oosit dewasa untuk mencapai
fertilisasi (Rader et al., 2016). Studi pertama yang dilaporkan menggunakan ICSI
dilakukan pada bintang laut. ICSI telah berkembang secara bertahap selama berabad-
abad dengan kontribusi dari banyak peneliti. Pada hewan, tahapan dari ICSI adalah
koleksi dan preparasi oosit, koleksi dan preparasi spermatozoa, dan pelaksanaan ICSI.
Meskipun teknik ini memiliki banyak kelebihan, namun seperti halnya teknologi yang
lain, tentu saja ICSI memiliki kekurangan dan resiko yang harus diketahui.

2.7 Saran
Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai pelaksanaan teknologi reproduksi
ICSI sehingga kekurangan dan resiko ICSI dapat diminimalisir.

10
DAFTAR PUSTAKA

Afriani, T., et al. 2018. Manipulasi Embrio pada Sapi. Penerbit : Andalas University Press,
Padang. ISBN : 978-602-6953-33-9.
Águila, Luis, et al. 2017. Reproduction Research: Defective Sperm Head Decondensation
Undermines The Success of ICSI in The Bovine. 154: 308-309.
Canel, NG, et al. 2016. Theriogenology: Sperm Pretreatment with Heparin and L-
Glutathione, Sex-Sorting, and Double Cryopreservation to Improve Intracytoplasmic
Sperm Injection in Bovine. doi: 10.1016/j.theriogenology.2016.12.018.
Cummins, J.M., and Jequier, A.M., 1994. Treating male infertility needs more clinical
andrology, not less. Hum,Reprod. 9:1214-1219.

Galli, Cesare, et al. 2014. Theriogenology: Ovum Pick Up, Intracytoplasmic Sperm Injection
and Somatic Cell Nuclear Transfer in Cattle, Buffalo and Horses: From The Research
Laboratory To Clinical Practice. 81: 140, 143-144.

Garcia-Rosellὸ et al. 2009. Intracytoplasmic Sperm Injection in Livestock Species: An


Update. Journal compilation. 44: 143-151.
Gunawan, M., et al. 2014. Perkembangan Embrio Sapi Setelah Fertilisasi Menggunakan
Metode Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI) dan Aktivitas dengan Strontium.
Jurnal Kedokteran Hewan. 8(2): 154-157.
Maione, B., Lavitrano, M., Spadafora, C., and Kiessling, A.A., 1998. Sperm-mediated gene
transfer in mice, Mol.Reprod.Dev. 50:406-409.

Mansour, R., 1998. Intracytoplasmic sperm injection: a state of the art technique.
Hum.Reprod. 4:43-56.

Martin, R.H., Ko, E., and Rademaker, A., 1988. Human sperm chromosome complements
after microinjection of hamster eggs. J.Reprod.Fertil. 84:179-186.
Parmar et al. 2013. Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI) and its Applications in
Veterinary Sciences: An Overview. Science International 1 (8): 266-270, 2013
Rader, K., et al. 2016. Intracytoplasmic Sperm Injection, Embryo Culture, and Transfer of In
Vitro-Produced Blastocysts. Vet Clin Equine.

11
Rybouchkin, A.V., de Sutter, P., and Dhont, M., 1996. Unprotected freezing of human
spermatozoa axerts a detrimental effect on their oocyte activating capacity and
chromosome integrity. Zygote. 4:263-268.
Said, T. S., Said, S., Setiadi, M. A., Agungpriyono, S., Toelihere, M. R., & Boediono, A.
(2005). Intracytoplasmic Sperm Injection (Icsi) Sebagai Teknik Reproduksi Bantuan
Unggulan. Jurnal Sain Veteriner, 23(1).

Saili et al. 2005. Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI) sebagai Teknik Reproduksi
Bantuan Unggulan. J.Sain Vet. Vol. 1 Th.2005.
Salamone, Daniel F., et al. 2017. Society for Reproduction and Fertility: Intracytoplasmic
Sperm Injection in Domestic and Wild Mammals. https://doi.org/10.1530/REP-17-
0357.
Sepúlveda, B., et al. 2017. Andrologia: Gradient Sperm Selection for Reproductive
Techniques in Cattle: Is Isolate A Suitable Replacement for Percoll?. DOI:
10.1111/and.12921.
Yanagida, K., Yazawa, H., Katayose, H., Suzuki, K., Hoshi, K., & Sato, A. (1998). Influence
of oocyte preincubation time on fertilization after intracytoplasmic sperm injection.
Human reproduction (Oxford, England), 13(8), 2223-2226.

12

Anda mungkin juga menyukai