Anda di halaman 1dari 33

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, atas berkat dan karunia-
Nya sehingga saya dapat menyusun tugas critical journal review ini dengan baik dan benar,
serta tepat pada waktunya.

Tugas critical journal review ini telah saya buat berdasarkan yang saya baca dan saya
juga mendapat bantuan dari beberapa pihak untuk menyelesaikan critical journal review ini.
Banyak hambatan yang saya alami dalam menyelesaikan tugas ini. Oleh karna itu, saya
mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya pada semua pihak yang telah membantu
saya dalam penyusunan tugas critical journal review ini

Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar di dalam tugas saya
ini. Akhir kata saya ucapkan terima kasih, dan semoga tugas yang saya buat ini dapat
memberikan manfaat dan pembelajaran di dalam mata kuliah “Filsafat Pendidikan”.

Medan, November 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................ 2

DAFTAR ISI .............................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................4

1.1 rasionaisasi pentingnya cjr


1.2 tujuan penulisan cjr
1.3 manfaat penulisan cjr
1.4 identitas jurnal

BAB II PEMBAHASAN ………….........................................................................5

2.1 Review Jurnal Pertama..............................................................................5

2.1 Review Jurnal Kedua ………..........................................................7

BAB III PENUTUP …...............................................................................................9

3.1 Kesimpulan ..................................................................................9

3.2. Saran .......................................................................................................9


BAB I PENDAHULUAN

A. RASIONALISASI PENTINGNYA CJR


Suatu jurnal yang diterbitkan mengandung informasi dan berbagai laporan melalui sebuah
analisis langsung kelapangan. Sebagai pembaca, ada baiknya kita ikut mengkritisi atau
memberi beberapa komentar yang bersifat membangun untuk penulis, agar penulis dapat
memperbaiki tulisannya diwaktu selanjutnya.

B. TUJUAN PENULISAN CJR


 Untuk penyelesaian tugas mata kuliah FILSAFAT PENDIDIKAN
 Untuk mengetahui kekurangan dari jurnal yg akan di review

C. MANFAAT PENULISAN CJR


 Mengetahui kekurangan dan kelebihan yang terdapat dalam suatu jurnal
 Meningkatkan kemampuan siswa dalam mengkritisi suatu jurnal

IDENTITAS JURNAL
IDENTITAS JURNAL PERTAMA

JUDUL LANDASAN AKSIOLOGIS SISTEM PENDIDIKAN


NASIONAL INDONESIA DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT
PENDIDIKAN
JURNAL CAKRAWALA PENDIDIKAN

VOLUME 32 NOMOR 2

DOWNLOAD https://journal.uny.ac.id/index.php/cp/article/view/1485/pdf
TAHUN 2013
PENULIS Sri Soeprapto
REVIEWER
TANGGAL 8 OKTOBER 2018

ABSTRAK Perumusan sistem pendidikan nasional membutuhkan pemikiran


yang mendalam, yaitu sampai ke pertimbangan landasan-landasan
ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Landasan aksiologis
sistem pendidikan nasional penting sebagai dasar untuk
menganalisis penerapan teori pendidikan yang berkaitan dengan
tujuan pendidikan, terutama dalam kaitannya dengan nilai-nilai
Pancasila. Fungsi pendidikan nasional adalah untuk
mengembangkan kemampuan berpikir rasional dan membentuk
akhlak mulia dalam kaitannya dengan nilai-nilai Pancasila, yaitu
nilai-nilai religius, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan
keadilan. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk
mengembangkan potensi siswa agar dapat berpikir secara rasional,
dan berakhlak mulia dalam kaitannya dengan nilainilai
Pancasila, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, kebaikan,
keindahan, dan religius, serta konstruktif dan kreatif agar mampu
bertanggung jawab untuk memajukan bangsa Indonesia dalam
menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat modern didasarkan
pada demokrasi dan keadilan.

IDENTITAS JURNAL KEDUA


JUDUL FILSAFAT PENDIDIKAN SEBAGAI BASIS
PENGUATAN PROFESIONALISME GURU
JURNAL JURNAL QATHRUNÂ

VOLUME Vol. 2 No. 2

DOWNLOAD http://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/qathruna/article/download/
4/4/
TAHUN 2015
PENULIS DINDIN RIDWANUDIN
REVIEWER
TANGGAL 8 OKTOBER 2018

ABSTRAK Ada banyak faktor untuk menyelesaikan pendidikan berkualitas


baik. Seorang guru yang profesional adalah salah satu dari banyak
faktor yang memiliki autority untuk menyelesaikan pendidikan
berkualitas baik. Seorang guru profesional akan melakukan
setidaknya tiga hal untuk mendidik muridnya, itu adalah:
1) melakukan proses mengajar untuk mentransfer pengetahuan
kepada muridnya,
2) membimbing siswa untuk memiliki keterampilan tertentu dari
pengetahuan yang telah mereka pelajari, dan
3) membimbing siswa untuk memiliki perilaku tertentu dari
pengetahuan dan keterampilan yang telah mereka kuasai.
Seorang guru tidak akan menjadi guru yang profesional jika dia
tidak melakukan perenungan seperti itu sebelum mengajar
siswanya. Filosofi pendidikan adalah mata pelajaran yang
membuat para guru terbiasa merenungkan kewajibannya sebagai
seorang pendidik. Mengetahui pentingnya filsafat pendidikan
sebagai faktor dasar untuk menciptakan guru yang baik, fakultas
pendidikan harus mempertimbangkan untuk memperkuat mata
pelajaran ini dalam proses perkuliahan.
BAB I
PENDAHULUAN

` 1.1 LATAR BELAKANG


Filsafat tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia, karena sejarah filsafat erat
kaitannya dengan sejarah manusia pada masa lampau. Filsafat yang dijadikan sebagai
pandangan hidup, erat kaitannya dnegan nilai-nilai tentang manusia yang dianggap benar
sebagai pandangan hidup oleh suatu masyarakat atau bangsa untuk mewujudkannya yang
terkandung dalam filsafat tersebut. Oleh karena itu suatu filsafat yang diyakini oleh suatu
masyarakat atau bangsa akan berkaitan erat dengan sistem pendidikan yang diraaskan oleh
masyarakat dan bangsa tersebut.
Filsafat pendidikan ini sebagai usaha untuk mengenalkan filsafat pendidikan dan hal-
hal lain yang berhubungan dengan itu. Adapun filsafat pendidikan adalah disiplin ilmu yang
mempelajari dan berusaha mengungkap masalah-masalah pendidikan yang bersifat filosofis.
Agar pendidikan mempunyai arti jelas, karena pendidikan sangat pesar peranannya dalam
membna kemajuan suatu bangsa sesuai dengan filsafat yang diyakini.

1.2 TUJUAN

1.  Untuk memberikan dorongan kepada peserta didik agar tercapainya tujuan filsafat
yang diyakini
2. Sebagai pandangan hidup akan menjadi tolak ukur bagi nilai-nilai tentang kebenaran
yang harus dicapai
3. Untuk memecahkan masalah pendidikan dalam aspek kehidupan manusia

1.3 MANFAAT

1. Membantu memahami tentang Filsafat pendidikan


2. Menambah wawasan tentang Filsafat Pendidikan
BAB II

PEMBAHASAN

JURNAL PERTAMA

KEKUATAN  Penelitian lebih berjalan sistematis


PENELITIAN  Mampu memanfaatkan teori yang ada
 Penelitian Memaksimalkan teori yang berasal dari buku
yang telah dibaca
 Spesifik, jelas dan rinci
KELEMAHAN  Orientasi hanya terbatas pada teori
PENELITIAN  Penelitian tidak mengambil sumber dari lapangan
KESIMPULAN Landasan aksiologis Sistem Pendidikan Nasional merupakan konsistensi
landasan ontologisnya, yaitu pandangan bangsa Indonesia
tentang hakikat keberadaan manusia. Hakikat keberadaan manusia
adalah sebagai makhluk majemuk tunggal atau monopluralis. Susunan
kodratnya terdiri dari unsur-unsur tubuh dan jiwa (akal-rasa-kehendak)
dalam kesatuan ketunggalan; sifat kodratnya adalah sifat makhluk
perseorangan dan makhluk sosial dalam kesatuan ketunggalan, serta
kedudukan kodratnya sebagai pribadi berdiri sendiri dan makhluk
Tuhan dalam kesatuan ketunggalan. Landasan aksiologis Sistem
Pendidikan Nasional adalah nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai religius
yang menjadi dasar dan sumber nilai bagi nilai kemanusiaan. Nilai-nilai
religius dan kemanusiaan menjadi dasar dan sumber nilai bagi nilai
persatuan kebangsaan, nilai demokrasi kerakyatan, dan nilai keadilan.
Landasan aksiologis sistem pendidikan nasional merupakan
landasan pertimbangan merumuskan tujuan pendidikan, terutama dalam
hubungannya dengan nilai-nilai dan norma-norma moral Pancasila.
SARAN Penggunaan Kurikulum baru tahun 2013 sangatlah tepat dan efisien
karena Kurikulum baru tahun 2013 mengembalikan mata pelajaran dan
mata kuliah Pendidikan Pancasila berdiri sendiri tidak dalam kesatuan
dengan Pendidikan Kewarganegaraan. Nilai-nilai Pancasila adalah
landasan aksiologis Sistem Pendidikan Nasional Indonesia.
JURNAL KEDUA

KEKUATAN  Penelitian lebih bersifat sistematis


PENELITIAN  Penelitian mampu Memaksimalkan teori yang berasal dari
buku yang telah dibaca
 Spesifik, jelas dan terperinci
KELEMAHAN  Orientasi hanya terbatas pada teori
PENELITIAN  Penelitian tidak mengambil sumber dari lapangan
KESIMPULAN Filsafat hakikatnya mengajarkan setiap orang untuk berpikir kritis
dan mendalam tentang sesuatu. Hasil dari pemikiran dan
pemahaman tentang sesuatu tersebut akan mengarahkan kepada
pelakuknya untuk berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai yg
terkandung di dalamnya. Landasan filosofis pendidikan
merupakan cabang dari filsafat yang mengkaji tentang apa,
bagaimana, dan mengapa pendidikan. Seorang guru yg
mempelajari dan memahami landasan filosofis pendidikan akan
melakukan berbagai upaya untuk keberhasilan proses
pembelajaran yang ia lakukan. Seorang guru yang memahami
filosofis pendidikan akan memahami tujuan ia mendidik.
Sehingga, dengan seksama ia akan memikirkan bagaimana
siswanya belajar, apa yg harus dipelajari siswanya, bagaimana
siswanya terlibat aktif dalam proses pembelajaran, bagaimana
hasil belajar siswa bisa membangun sikap mereka, dan sebagainya.
SARAN Begitu besarnya pengaruh filsafat pendidikan terhadap pola pikir
seorang guru dalam mengelola pendidikan yang berkualitas, maka
penulis menyampaikan saran kepada LPTK, khususnya Program
Studi Pendidikan Guru MI untuk:
a. Tetap mempertahankan keberadaan mata kuliah ini dan lebih
dikuatkan lagi dengan meninjau komposisi silabusnya, dan
b. Memilih serta menentukan tenaga dosen yang benar-benar
kompeten dalam kajian filsafat pendidikan.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Peningkatan kualitas pendidikan dalam kaitannya harus dipahami dalam kerangka
peningkatan mutu pendidikan nasional. Dengan adanya mata kuliah Filsafat Pendidikan,
diharapkan kompetensi guru sebagai agen pembelajaran akan meningkat sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan. Keberadaan guru yang berkualitas merupakan syarat mutlak
hadirnya sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas, hampir semua bangsa didunia ini
selalu mengembangkan kebijakan yang mendorong keberadaan guru yang berkualitas.
Kedua jurnal diatas mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. pada
jurnal pertama abstrak nya lebih mudah dipahami karena menggunakan 2 bahasa, bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris, sedangkan pada jurnal kedua abstrak hanya menggunakan
bahasa Inggris yang menyulitkan pembaca memahami isi abstrak nya. Dan pada jurnal
pertama terdapat penutup dan ucapan terima kasih tetapi tidak memiliki kesimpulan dan saran
sedangkan pada jurnal kedua memiliki kesimpulan dan saran.

3.2 SARAN

Sebagai mahasiswa kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan filsafat
pendidikan dan harus mengetahui apa saja landasan-landasan dari filsafat pendidikan. Semoga
kedepannya jurnal ini lebih baik lagi dan bisa dijadikan sumber referensi untuk mengerjakan
atau mencari tahu tentang jurnal pendidikan.
LAMPIRAN
JURNAL PERTAMA

LANDASAN AKSIOLOGIS SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA DALAM


PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN

Sri Soeprapto

Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada

email: ssoeprapto@yahoo.com

Abstrak: Perumusan sistem pendidikan nasional membutuhkan pemikiran yang mendalam, yaitu
sampai ke pertimbangan landasan-landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Landasan aksio-
logis sistem pendidikan nasional penting sebagai dasar untuk menganalisis penerapan teori pendidikan
yang berkaitan dengan tujuan pendidikan, terutama dalam kaitannya dengan nilai-nilai Pancasila.
Fungsi pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan berpikir rasional dan mem-
bentuk akhlak mulia dalam kaitannya dengan nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai-nilai religius, kemanu-
siaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan
potensi siswa agar dapat berpikir secara rasional, dan berakhlak mulia dalam kaitannya dengan nilai-
nilai Pancasila, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, kebaikan, keindahan, dan religius, serta
konstruktif dan kreatif agar mampu bertanggung jawab untuk memajukan bangsa Indonesia dalam
menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat modern didasarkan pada demokrasi dan keadilan.

Kata Kunci: landasan aksiologis, nilai-nilai Pancasila, tujuan pendidikan nasional

AN AXIOLOGICAL FOUNDATION OF THE INDONESIAN NATIONAL EDUCATION


SYSTEM IN THE PERSPECTIVE OF PHILOSOPHY OF EDUCATION

Abstract: The formulation of a national education system requires deep thinking about ontological,
epistemological, and axiological foundations. The axiological foundation of a national education sys-
tem is important as a basis for analyzing the application of educational theories related to the educa-
tion goal, particularly in relation to the values of Pancasila. The functions of national education are to
develop the ability to think rationally and form a noble character in relation to the values of Pancasila,
namely the values of the divinity, humanity, unity, democracy, and justice. The national education
goals are to develop the students’ potential to be able to think rationally, and to have a noble character
in relation to the values of Pancasila, which upholds the values of truth, goodness, beauty, and divini-
ty, as well as constructively and creatively to be able to be responsible for advancing the Indonesian
nation in adjusting with the demands of the modern society based on democracy and justice.

Keywords: axiological foundation, values of Pancasila, national education goa


PENDAHULUAN

Pendidikan, terutama pendidikan formal merupakan salah satu proses


dalam hidup ber-masyarakat dan berbangsa yang penting. Sum-ber daya
manusia terdidik sebagai hasil pendidikan akan besar pengaruhnya pada
perkembangan hidup bermasyarakat & berbangsa. Nilai-nilai dan norma-norma
moral yang dijun-jung tinggi dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa
perlu diperhatikan agar kegiatan pen-didikan dapat menghasilkan sumber daya
terdidik yang mampu membawa kemajuan sesuai cita-cita masyarakat dan
bangsanya.

Kemajuan hidup yang dapat disamakan dengan modernisasi tentunya


bukan perubahan yang hanya terbatas untuk meniru gaya hidup Barat yang
rasional pragmatis. Meskipun mo-dernisasi lahir di Barat, tetapi modernisasi bu-
kan merupakan perubahan yang hanya terbatas pada menirukan gaya hidup
orang Barat. Rasio-nalitas dan kebebasan di Indonesia tidak harus sama dengan
di Barat (Koentjaraningrat, 1997: 135). Ilmu pengetahuan jaman Modern yang

266
267

berkembang di Barat hanya mengenal kebenar-an empiris dan cenderung menempatkan nilai-
nilai kebendaan di atas nilai-nilai hidup yang lain, sehingga dapat menjungkirbalikkan hierar-
khi nilai yang sebenarnya. Kecenderungan ter-sebut menyebabkan diabaikannya nilai-nilai
dan norma-norma moral (Hadiwardojo, 1993:50).

Pendidikan dalam pandangan yang luas adalah proses pembentukan pribadi dalam se-
mua aspeknya, yaitu pembentukan aspek jasma-ni, akal, dan hati. Tujuan pendidikan adalah
ke-giatan memberikan pengetahuan agar kebuda-yaan dapat diteruskan dari generasi ke
generasi berikutnya (Djumberansyah, 1994:19). Proses pendidikan terutama pendidikan di
sekolah per-lu disesuaikan dengan perkembangan pemikiran rasional yang ditandai kemajuan
ilmu dan tek-nologi, tetapi teori-teori ilmu dan teknologi yang akan disampaikan perlu
mempertimbang-kan peningkatan dan martabat manusia. Perma-salahan utama yang dihadapi
dalam proses pen-didikan ialah pemilihan nilai-nilai yang harus dikembangkan dalam diri
anak didik (Arifin, 2000:75).

Pendidikan seharusnya tetap terpadu den-gan keseluruhan sistem nilai dan norma moral
yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Sikap il-miah yang menjunjung kebenaran rasional
dan pengabdian kepada kehidupan bermasyarakat merupakan faktor yang penting dalam
pembina-an karakter bangsa. Seorang ilmuwan harus le-bih menitikberatkan penerapan teori
yang ber-guna untuk kepentingan hidup bermasyarakat dan berbangsa dibandingkan
kepentingan prag-matis. Nilai-nilai dan norma-norma moral Pan-casila berfungsi sebagai
landasan dan pengarah bagi perumusan sistem pendidikan nasional un-tuk meningkatkan
kecerdasan yang memadai (Tilaar, 2001:4).

Sistem pendidikan nasional Indonesia di masa sekarang dan untuk masa depan tentunya
akan bercirikan rasionalitas, tetapi tetap mem-pertimbangkan landasan nilai-nilai hidup yang
bersumber dari budaya Indonesia sendiri. Nilai-nilai hidup berbangsa dan bernegara perlu
men-jadi pertimbangan utama dalam merumuskan sistem pendidikan nasional. Nilai-nilai dan
nor-ma moral Pancasila yang dijunjung tinggi di In-
donesia dapat berfungsi ganda, yaitu menang-gulangi dampak negatif modernisasi sekaligus
hambatan dari ikatan-ikatan dan loyalitas pri-mordial. Sistem pendidikan nasional berfungsi
untuk mendukung eksistensi bangsa Indonesia dan sekaligus meningkatkan kualitasnya dalam
menyesuaikan diri pada tata pergaulan dunia modern (Kartodirdjo, 1994:49).

Undang-undang Republik Indonesia No-mor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan


Nasional pada Bab X pasal 37 berisi ketentuan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan mene-
ngah wajib memuat pendidikan agama, pendi-dikan kewarganegaraan, bahasa, matematika,
ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan so-sial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan
olahraga, keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal. Kurikulum pendidikan tinggi wajib me-
muat pendidikan agama, pendidikan kewarga-negaraan, dan bahasa. Kurikulum pendidikan
dasar dan menengah serta perguruan tinggi ter-sebut tidak mewajibkan pendidikan Pancasila,
sehingga terkesan mengabaikan nilai-nilai hi-dup berbangsa dan bernegara.

Undang-Undang Republik Indonesia No-mor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan


Nasional penting dievaluasi. Perumusan sistem pendidikan nasional memerlukan berbagai
per-timbangan sampai ke landasan-landasan filsa-fatinya, yaitu landasan-landasan ontologis,
epis-temologis, dan aksiologisnya.

LANDASAN FILSAFATI PENDIDIKAN

Filsafat Pendidikan adalah cabang filsafat yang objek sasarannya bidang pendidikan.
Fil-safat Pendidikan sesuai pemikiran filsafati yang kritis dan mendalam akan membahas
pendidik-an sampai ke hakikatnya. Filsafat Pendidikan secara khusus akan membahas
landasan-landas-an ontologis, epistemologis, dan aksiologis pen-didikan. Landasan ontologis
pendidikan akan menganalisis hakikat keberadaan pendidikan yang terkait dengan hakikat
keberadaan ma-nusia. Landasan epistemologis pendidikan akan menganalisis hakikat
kebenaran yang terkait dengan kebenaran teori-teori pendidikan. Lan-dasan aksiologis
pendidikan akan menganalisis tentang penerapan teori-teori pendidikan yang

Cakrawala Pendidikan, Juni 2013, Th. XXXII, No.


terkait dengan tujuan pendidikan, terutama da-lam hubungannya dengan nilai-nilai dan
norma-norma moral (Suharto, 2011:29).

Landasan aksiologis pendidikan akan membekali para pendidik berpikir klarifikatif


tentang hubungan antara tujuan-tujuan hidup dan pendidikan sehingga akan mampu memberi
bimbingan dalam mengembangkan suatu pro-gram pendidikan yang berhubungan secara rea-
litas dengan konteks dunia global. Manfaat men-dalami landasan aksiologis pendidikan
adalah untuk secara konsisten merumuskan landasan epistemologis pendidikan. Landasan
epistemo-logis pendidikan akan membantu para pendidik untuk dapat mengevaluasi secara
lebih baik me-ngenai tawaran-tawaran teori-teori yang merupa-kan solusi bagi persoalan-
persoalan utama pen-didikan (Suharto, 2011:43).

Filsafat Pendidikan memiliki empat fung-si, yaitu fungsi spekulatif, normatif, kritis, dan
teoritis. Fungsi spekulatif menekankan bahwa Filsafat Pendidikan berusaha memahami berba-
gai persoalan pendidikan, merumuskannya dan mencarikan hubungannya dengan faktor-
faktor yang mempengaruhi pendidikan. Fungsi norma-tif Filsafat Pendidikan adalah sebagai
penentu arah dan pedoman pendidikan. Fungsi normatif tersebut meliputi tujuan pendidikan
apa yang akan ditentukan, manusia model apa yang ingin dicetak dan norma-norma atau nilai-
nilai apa yang hendak dibina. Filsafat Pendidikan mela-kukan fungsi kritis artinya memberi
dasar bagi pengertian kristis-rasional dalam mempertim-bangkan dan menafsirkan data-data
ilmiah pen-didikan. Filsafat Pendidikan juga berfungsi teo-retis, karena senantiasa
memberikan ide, kon-sepsi, analisis, dan berbagai teori bagi upaya pelaksanaan pendidikan.
Filsafat Pendidikan me-nentukan prinsip-prinsip umum bagi suatu prak-tek pendidikan
(Suharto, 2011:46).

Brameld mengelompokkan berbagai pan-dangan untuk memenuhi fungsi-fungsi Filsafat


Pendidikan berdasarkan teori-teori sebagai beri-kut.

Pertama, progresivisme. Teori progresi-visme didasarkan pada konsep pendidikan yang


pada hakikatnya progresif. Pendidikan bukan hanya menyampaikan pengetahuan, melainkan
268

yang lebih penting adalah melatih kemampuan berpikir rasional. Berpikir adalah penerapan
cara-cara ilmiah seperti mengadakan analisis, pertimbangan, dan memilih di antara beberapa
alternatif yang tersedia. Tujuan pendidikan di-artikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang
terus-menerus, yaitu mengadakan penyesuaian dan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntut-
an lingkungan (Brameld, 1999:91).

Kedua, esensialisme. Teori esensialisme didasarkan pada konsep pendidikan yang ber-
sendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yaitu yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan.
Nilai-nilai yang dijadikan dasar adalah nilai-nilai yang telah teruji oleh waktu. Proses
pendidikan me-rupakan perantara atau pembawa nilai-nilai bu-daya untuk dibawa masuk ke
jiwa anak didik (Brameld, 1999:204).

Ketiga, perenialisme. Teori perenialisme didasarkan pada konsep agar pendidikan kem-
bali kepada jiwa pencerahan yang menguasai abad pertengahan. Jiwa pencerahan abad per-
tengahan yang rasional telah menuntun manusia hingga dapat mengerti adanya tata kehidupan
yang telah ditentukan secara rasional untuk me-nemukan evidensi-evidensi diri sendiri
(Brameld, 1999:288).

Keempat, rekonstruksianisme. Teori re-konstruksianisme didasarkan pada konsep agar


anak didik dapat dibangkitkan kemampuannya untuk secara konstruktif menyesuaikan diri de-
ngan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat modern sebagai akibat pengaruh il-
mu pengetahuan dan teknologi. Penyesuaian se-perti ini akan membuat anak didik tetap
berada dalam suasana aman dan bebas (Brameld, 1999: 296).

AKSIOLOGI DAN HAKIKAT NILAI Aksiologi sebagai Cabang Filsafat

Nilai-nilai kebenaran, keindahan, kebaik-an, dan religius adalah nilai-nilai keluhuran hi-
dup manusia. Nilai-nilai keluhuran hidup ma-nusia dibahas oleh cabang filsafat yang disebut
aksiologi. Aksiologi membahas tentang nilai se-cara teoretis yang mendasar dan filsafati,
yaitu membahas nilai sampai pada hakikatnya. Kare-na aksiologi membahas tentang nilai
secara

Landasan Aksiologis Sistem Pendidikan Nasional Indonesia dalam Persepktif Filsafat Pendidikan
269

filsafati, maka juga disebut philosophy of value (filsafat nilai). Aksiologi adalah cabang
Filsafat yang menganalisis tentang hakikat nilai yang meliputi nilai-nilai kebenaran,
keindahan, ke-baikan, dan religius (Kattsoff, 1996:327).

Hakikat nilai adalah kualitas yang mele-kat dan menjadi ciri segala sesuatu yang ada di
alam semesta dihubungkan dengan kehidupan manusia. Nilai bukanlah murni pandangan pri-
badi terbatas pada lingkungan manusia. Nilai merupakan bagian dari keseluruhan situasi me-
tafisis di alam semesta seluruhnya. Pengertian nilai apabila dibahas secara filsafati adalah
per-soalan tentang hubungan antara manusia seba-gai subjek dengan kemampuan akalnya
untuk menangkap pengetahuan tentang kualitas objek-objek di sekitarnya. Kemampuan
manusia me-nangkap nilai didasari adanya penghargaan yang dihubungkan dengan kehidupan
manusia. Fakta yang meliputi keseluruhan alam semesta ber-sama manusia menciptakan
situasi yang berni-lai. Pernyataan tentang nilai tidak dapat dikata-kan hanya berasal dari
dalam diri manusia sen-diri, tetapi kesadaran manusia menangkap se-suatu yang berharga di
alam semesta (Brennan, 1996:215).

Hararkhi Nilai

Nilai-nilai dalam kenyataannya ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah.
Hirarkhi nilai dikelompokkan ke dalam empat tingkatan (Deeken, 1995:44-47) seperti
berikut. Pertama, nilai-nilai kenikmatan. Tingkatan nilai ini me-liputi nilai-nilai kebendaan
yang mengenakkan secara jasmaniah dan menyebabkan orang se-nang. Contoh: rasa enak
setalah makan, atau ka-rena memunyai uang yang banyak. Kedua, ni-lai-nilai kehidupan.
Tingkatan nilai kehidupan meliputi nilai-nilai yang penting bagi kehidupan pribadi dan
bermasyarakat. Contoh: keterampil-an, kesehatan, kesejahteraan perorangan sampai dengan
keadilan bermasyarakat. Ketiga, nilai-nilai spiritual. Tingkatan nilai spiritual meliputi
macam-macam nilai kejiwaan yg sama sekali tidak tergantung pada keadaan jasmani. Nilai
kejiwaan ini meliputi kebenaran, keindahan, & kebaikan. Keempat, nilai-nilai kerohanian.
Tingkatan nilai kerohanian meliputi modalitas nilai
yang suci. Nilai kerohanian ini terdiri dari nilai-nilai pribadi, terutama dalam hubungannya
de-ngan Tuhan sebagai pribadi paling tinggi dan suci. Contoh : keimanan dan ketakwaan.

Norma Moral

Nilai kebaikan manusia secara khusus di-bahas dalam etika sehingga nilai kebaikan se-
ring disebut nilai etis. Nilai etis menjadi sumber nilai bagi penilaian baik atau buruknya
manusia sebagai manusia, bukan dalam hubungan de-ngan peran tertentu, misalnya sebagai
ilmuwan, seniman, atau pedagang. Etika yang secara khu-sus membahas nilai kebaikan
manusia dalam perkembangannya dapat dibedakan dua macam, yaitu sebagai berikut.

Pertama, etika dipahami dalam pengerti-an yang sama dengan moralitas. Etika berkaitan
dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang atau
masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik tersebut dianut dan diwariskan dari satu generasi ke
ge-nerasi berikutnya. Kebiasaan hidup yang baik ini lalu dibakukan dalam bentuk kaidah
aturan atau norma yang disebarluaskan, dipahami, dan diajarkan secara lisan dalam
masyarakat. Ka-idah aturan atau norma ini pada dasarnya me-nyangkut baik atau buruknya
perilaku manusia (Keraf, 2002:2).

Kedua, etika dipahami dalam pengertian yang berbeda dengan moralitas. Etika dime-
ngerti sebagai refleksi kritis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak dalam
situa-si konkret, situasi khusus tertentu. Etika adalah filsafat moral yang membahas dan
mengkaji se-cara kritis persoalan baik dan buruk secara mo-ral, tentang bagaimana harus
bertindak dalam situasi konkret. Manusia melakukan refleksi kri-tis untuk menentukan
pilihan, sikap, dan bertin-dak secara benar secara moral sebagai manusia. Refleksi kritis ini
menyangkut tiga hal. (1) Re-fleksi kritis tentang norma moral yang diberi-kan oleh etika dan
moralitas dalam pengertian pertama, yaitu tentang norma moral yang dianut selama ini. (2)
Refleksi kritis tentang situasi khusus yang dihadapi dengan segala keunikan dan
kompleksitasnya. (3) Refleksi kritis tentang berbagai paham yang dianut oleh manusia atau

Cakrawala Pendidikan, Juni 2013, Th. XXXII, No. 2


kelompok masyarakat tentang segala sesuatu yg ada di dunia. Misalnya, paham tentang
manusia, Tuhan, alam, masyarakat, sistem sosial politik, & sistem ekonomi (Keraf, 2002: 5).

Moralitas (karakter) seseorang dan ke-lompok masyarakat dapat dinilai tinggi atau
rendah ditinjau dari sudut pandang nilai kebaik-an. Norma-norma moral adalah pedoman-
pedo-man untuk hidup luhur sesuai dengan nilai ke-baikan. Norma-norma moral bersumber
dari ke-biasaan hidup yang baik dan tata cara hidup yang baik. Norma-norma moral
merupakan to-lok ukur untuk menentukan benar atau salah si-kap dan tindakan manusia
ditinjau dari segi baik atau buruk sebagai manusia dan bukan se-bagai pelaku peran tertentu
dan terbatas (Mag-nis-Suseno, 2008:19).

Nilai kebaikan sebagai sumber norma-norma moral memunyai ciri-ciri sebagai beri-kut.
Pertama, absolut dan objektif karena mora-litas pada manusia seharusnya bebas dari sifat-sifat
mementingkan diri sendiri yang terdapat pada kehendak-kehendak relatif. Kedua, primer,
karena moralitas pada manusia melibatkan suatu komitmen untuk bertindak dan merupa-kan
landasan hasrat yang paling utama. Ketiga, real atau nyata karena moralitas merupakan ke-
nyataan bukan sekedar angan-angan atau semu belaka. Keempat, universal dan terbuka,
karena moralitas mengharuskan lingkup yang terbuka sepanjang waktu. Kelima, bersifat
positif dan bukan yang negatif, karena norma moral dapat berwujud anjuran-anjuran maupun
larangan-larangan. Keenam, hierarkhi tinggi, karena nilai kebaikan memiliki ciri intrinsik
yang menjadi sumber nilai bagi norma-norma moral (Moe-kijat, 1995:72).

LANDASAN AKSIOLOGIS SISTEM PEN-DIDIKAN NASIONAL Nilai-nilai Budaya

Nilai sesungguhnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan. Para ahli
kebudayaan berpandangan bahwa membahas tentang kebudayaan harus didasarkan pada pe-tunjuk
keyakinan tentang nilai-nilai kejiwaan, yaitu baik-buruk, benar-salah, indah-jelek, dan
270

suci-dosa. Nilai sebagai hasil konsep ukuran yang diyakini seseorang atau kelompok masya-
rakat merupakan bagian dari kebudayaan. Kon-sep ukuran tersebut tidaklah bebas dari
penilai-an. Konsep ukuran nilai sekaligus juga merupa-kan objek bernilai yang potensial
untuk dinilai. Hal ini membawa konsekuensi bahwa penilaian seseorang pada dasarnya
merupakan penilaian yang bersifat sementara. Suatu ketika seseorang dapat memutuskan hasil
penilaian atas dasar konsep ukuran yang telah diyakininya, namun hasil penilaian itu akan
berubah seiring dengan berubah atau berkembangnya konsep ukuran yang diyakininya.

Hasil penilaian seseorang memang dapat berubah, tetapi tidak berarti bahwa seseorang
ti-dak memunyai pendirian. Sangat berbahaya jus-tru apabila seseorang tetap
mempertahankan kon-sep ukuran lama yang telah diyakini, sedangkan konsep ukuran baru
yang lebih baik telah hadir. Kenyataan demikian justru harus disadari agar seseorang mau
terbuka, mau terus-menerus me-ngadakan dialog dengan lingkungan masyarakat dalam arti
luas, yaitu dengan sistem keyakinan yang dianut, dengan hasil penilaian yang telah dibuat,
dengan budaya baru yang hadir. Dialog dengan lingkungan masyarakat akan memun-culkan
suatu pemahaman yang lebih kaya atas objek-objek bernilai sehingga konsep ukuran yang
diyakini juga akan menjadi lebih kaya (Brameld, 1999:12).

Benoit (1996:85) menekankan bahwa pe-milihan nilai-nilai budaya ditentukan dalam


konteks sosial, yaitu sebagai berikut.

Pertama, dari sudut pandang sejarah, ni-lai-nilai budaya merupakan hasil dari gerakan
sejarah yang konkret. Meskipun nilai-nilai bu-daya dari sudut pandang filsafat merupakan ni-
lai mutlak, mendasar, dan universal, namun ni-lai-nilai itu dinyatakan (diajarkan, disajikan,
di-garisbawahi) dan dipelajari. Pernyataan dan pen-jelasan mengenai nilai-nilai tersebut
merupakan produk sosial, hasil kerja manusia, atau hasil dari gerakan sejarah yang konkret.

Kedua, dari sudut pandang sosiologi, ada gunanya dibedakan beberapa kelompok nilai
budaya. Nilai-nilai ada yang mengungkapkan perintah secara umum abstrak. Nilai-nilai yang

Landasan Aksiologis Sistem Pendidikan Nasional Indonesia dalam Persepktif Filsafat Pendidikan
271

seperti ini kerapkali menunjukkan kebutuhan (hak, keweajiban) yang dipandang mutlak dan
universal, misalnya keadilan, cinta kasih, ke-jujuran. Nilai-nilai juga dapat menunjukkan ke-
butuhan umum tetapi kurang mendasar, misal-nya keramahan, ketekunan, kesopanan dan se-
bagainya. Nilai-nilai yang bersifat umum dan abstrak, yang tidak mengacu pada keadaan ter-
tentu, terkadang dikatakan bahwa nilai-nilai ter-sebut tidak berkaitan dengan konteks sosial.
Pemilihan nilai-nilai oleh suatu masyarakat, cara merumuskan, memahami dan mempelajari-
nya dalam kenyataannya menununjukkan bah-wa nilai-nilai tersebut betapapun abstrak dan
universal memunyai kaitan dengan konteks so-sial tertentu.

Nilai-nilai budaya adalah jiwa kebudaya-an dan menjadi dasar dari segenap wujud ke-
budayaan. Tata hidup merupakan pencerminan yang konkret dari nilai budaya yang bersifat
abstrak. Kegiatan manusia dapat ditangkap oleh pancaindera, sedangkan nilai budaya hanya
da-pat ditangkap oleh budi manusia. Nilai budaya dan tata hidup manusia ditopang oleh
perwu-judan kebudayaan yang berupa sarana kebuda-yaan. Sarana kebudayaan pada dasarnya
me-rupakan perwujudan kebudayaan yang bersifat fisik yang merupakan produk dari
kebudayaan atau alat yang memberikan kemudahan dalam berkehidupan (Suriasumantri,
1994:262).

Setiap kebudayaan memunyai skala hi-rarkhi mengenai nilai yang dipandang lebih pen-
ting dan yang dipandang kurang penting. Pen-didikan sebagai usaha yang sadar dan sistematis
dalam membantu anak didik untuk mengem-bangkan pikiran, kepribadian, dan kemampuan
fisiknya, memunyai tugas untuk mengkaji terus nilai-nilai kebudayaan. Hal yang perlu diper-
hatikan dalam pendidikan adalah pengembang-an nilai budaya yang telah tertanam dalam diri
anak didik agar tetap relevan dengan perkem-bangan jaman.

Nilai-nilai budaya sebagai suatu sistem merupakan suatu rangkaian konsep abstrak yang
hidup dalam alam pikiran warga masya-rakat, yaitu mengenai apa yang harus dianggap
penting dan berharga dalam hidupnya. Nilai-nilai budaya sebagai suatu sistem merupakan
bagian dari kebudayaan yang berfungsi sebagai pengarah dan pendorong kelakuan manusia.
Ni-lai-nilai budaya sebagai sistem hanya merupa-kan konsep-konsep yang abstrak tanpa
perumus-an yang tegas, sehingga memerlukan suatu pe-doman yang nyata berupa norma-
norma, hukum dan aturan, yang bersifat tegas dan konkret. Norma-norma dan aturan-aturan
tersebut harus tetap bersumber pada sistem nilai budaya dan merupakan pemerincian dari
konsep-konsep ab-strak dalam sistem nilai tersebut (Koentjara-ningrat, 1997:388).

Nilai-nilai Pancasila sebagai Landasan Ak-siologis

Sistem Pendidikan Nasional merupakan suatu subsistem dari sistem kehidupan


nasional, yang berarti bahwa sistem pendidikan nasional merupakan subsistem dari kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sistem pendidikan nasional bu-kanlah sesuatu yang bebas nilai dan
bebas bu-daya karena merupakan bagian dari sistem ko-munitas nasional dan global. Sistem
pendidikan harus selalu bersifat dinamis, kontekstual, dan selalu terbuka kepada tuntutan
relevansi di se-mua bidang kehidupan. Sistem pendidikan na-sional tidak perlu berisi aturan
pelaksanaan ter-perinci karena yang penting memunyai kejelas-an konsep dasar dan nilai-nilai
budaya yang menjadi landasan di setiap pelaksanaan jenjang pendidikan (Tilaar, 2001:10).

Landasan aksiologis sistem pendidikan nasional Indonesia adalah Pancasila, karena ni-
lai-nilai budaya Indonesia adalah nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila sebagai landas-an
aksiologis sistem pendidikan nasional Indo-nesia merupakan konsistensi landasan ontologis-
nya. Landasan ontologis sistem pendidikan na-sional Indonesia adalah pandangan bangsa In-
donesia tentang hakikat keberadaan manusia. Hakikat pribadi kebangsaan Indonesia terdiri
atas nilai-nilai hakikat kemanusiaan dan nilai-nilai tetap yang khusus sebagai ciri khas bangsa
Indonesia. Nilai-nilai hakikat kemanusiaaan me-nyebabkan bangsa Indonesia dan orang
Indone-sia sama dengan bangsa lain dan orang bangsa lain. Nilai-nilai ketuhanan,
kemanusiaan, per-satuan, kerakyatan, dan keadilan dapat menjadi

Cakrawala Pendidikan, Juni 2013, Th. XXXII, No. 2


ciri khas bangsa-bangsa lain, tetapi kesatuan ru-musannya secara lengkap sebagai Pancasila
ha-nya dimiliki dan menjadi ciri khas bangsa Indo-nesia (Notonagoro, 1980:93).

Nilai-nilai keluhuran hidup manusia yang terkandung dalam sila kedua Pancasila
dirumus-kan dari pengertian hakikat manusia sehingga landasan aksiologis sistem pendidikan
nasional Indonesia merupakan implementasi landasan ontologisnya. Landasan ontologis
sistem pendi-dikan nasional Indonesia adalah hakikat keber-adaan manusia, yaitu sebagai
makhluk maje-muk tunggal atau monopluralis. Susunan ko-dratnya terdiri atas unsur-unsur
tubuh dan jiwa (akal-rasa-kehendak) dalam kesatuan ketung-galan; sifat kodratnya adalah
sifat makhluk per-seorangan dan makhluk sosial dalam kesatuan ketunggalan, serta
kedudukan kodratnya seba-gai pribadi berdiri sendiri dan makhluk Tuhan dalam kesatuan
ketunggalan.

Nilai-nilai kemanusiaan bangsa Indonesia bukan hanya nilai-nilai kebenaran, keindahan,


dan kebaikan, tetapi masih ditambah ciri khas adil dan beradab. Kemanusiaan yang beradab
ti-dak memisahkan kemampuan akal dari rasa dan kehendak, tetapi menyatukannya dalam
kerja-sama. Kerjasama akal, rasa, dan kehendak dise-but budi atau kepercayaan-keyakinan.
Budi da-pat mengenal dan memahami nilai religius se-bagai kenyataan mutlak. Nilai religius
meliputi nilai-nilai keabadian dan kesempurnaan yang memunyai sifat mutlak dan tetap atau
tidak ber-ubah. Kemanusiaan yang adil meliputi hubung-an keadilan selengkapnya, yaitu adil
pada diri sendiri, masyarakat dan negara, serta pada Tu-han sebagai asal mula manusia
(Notonagoro, 1980:91).

Negara Indonesia bukan lembaga agama, tetapi memiliki tertib negara dan tertib hukum
yang mengenal hukum Tuhan, hukum kodrat, dan hukum susila (etis). Hukum-hukum tidak
tertulis tersebut menjadi sumber bahan dan sumber nilai bagi negara dan hukum positif In-
donesia. Peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan penguasa wajib menghormati
dan memperhatikan nilai-nilai religius yang te-lah diwahyukan oleh Tuhan dan nilai-nilai ke-
manusiaan (Notonagoro, 1980:74).
272

REFLEKSI KRITIS SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

Landasan aksiologis sistem pendidikan nasional bermanfaat untuk menganalisis tentang


penerapan teori-teori pendidikan yang terkait dengan tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan
nasional dirumuskan terutama dalam hubungan-nya dengan nilai-nilai keluhuran hidup.
Landas-an aksiologis sistem pendidikan nasional Indo-nesia adalah nilai-nilai Pancasila.
Undang-Un-dang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Bab I Pasal 1 Ayat 3 berisi ketentuan bahwa sistem pendidikan nasional adalah
keseluruhan kom-ponen pendidikan yang saling terkait secara ter-padu untuk mencapai tujuan
pendidikan nasio-nal. Ketentuan ini menempatkan tujuan pen-didikan nasional menjadi
penting, yaitu sebagai pertimbangan utama untuk merumuskan kom-ponen-komponen
pendidikan yang lain teruta-ma untuk mengevaluasi secara lebih baik me-ngenai tawaran-
tawaran teori-teori yang merupa-kan solusi bagi persoalan-persoalan utama pen-didikan.

Bab II Pasal 3 menyebutkan bahwa pen-didikan nasional berfungsi mengembangkan ke-


mampuan dan membentuk watak serta peradab-an bangsa yang bermartabat dalam rangka
men-cerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
men-jadi manusia yang beriman dan bertakwa ke-pada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Rumusan tentang tujuan pendidikan nasional ini sebagai kesatuan
ka-limat tidak menunjukkan konsep yang jelas. Su-sunan kata-katanya terlalu rinci dan tidak
jelas hubungannya dengan nilai-nilai Pancasila. Ru-musan tentang tujuan pendidikan nasional
ini perlu diperbaiki dengan memperhatikan pan-dangan bangsa Indonesia tentang hakikat ma-
nusia sebagai landasan ontologisnya dan nilai-nilai utama landasan aksiologisnya, yaitu nilai-
nilai Pancasila. Tujuan pendidikan nasional ten-tunya tetap bercirikan rasionalitas, tetapi
rasio-nalitas yang berkeadaban. Berpikir rasional yang berkeadaban adalah kemampuan
berpikir

Landasan Aksiologis Sistem Pendidikan Nasional Indonesia dalam Persepktif Filsafat Pendidikan
273

rasional yang mempertimbangkan nilai-nilai ke-benaran, kebaikan, keindahan, dan religius.


Pe-rumusan tujuan pendidikan nasional supaya bersifat konseptual, maka penting
memperhati-kan berbagai teori-teori pendidikan yang ada agar dapat dilakukan perumusan
yang kompre-hensif. Berbagai teori-teori pendidikan yang di-jadikan pertimbangan
merumuskan tujuan pen-didikan adalah Esensialisme, tetapi tidak me-ninggalkan ranah tujuan
menurut teori-teori pro-gresivisme perenialisme, dan rekonstruksianis-me.

Tujuan pendidikan berdasar teori esensia-lisme adalah internalisasi nilai-nilai budaya ke


jiwa anak didik. Tujuan pendidikan berdasar teori progresivisme adalah agar anak didik mam-
pu berbuat sesuatu dengan pemikiran kreatif un-tuk mengadakan penyesuaian terus-menerus
se-suai dengan tuntutan lingkungan. Tujuan pendi-dikan berdasar teori perenialisme adalah
per-tumbuhan jiwa yang rasional agar anak didik dapat menemukan evidensi-evidensi diri
sen-diri. Tujuan pendidikan berdasar teori rekon-struksianisme adalah tumbuhnya
kemampuan untuk secara konstruktif menyesuaikan diri de-ngan tuntutan perubahan dan
perkembangan masyarakat modern.

Rumusan tentang fungsi dan tujuan pen-didikan nasional seperti ketentuan Bab II Pasal
3 dapat diperbaiki dengan meliputi unsur-unsur utama sebagai berikut. Fungsi pendidikan na-
sional adalah mengembangkan kemampuan ber-pikir rasional dan membentuk watak yang
luhur sesuai nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai-nilai ke-tuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan, dan keadilan. Tujuan pendidikan nasional ada-lah mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang mampu berpikir rasional dan berwatak luhur, yaitu
menjunjung tinggi ni-lai-nilai kebenaran, kebaikan, keindahan, dan religius, serta secara
konstruktif dan demokratis menjadi warga negara yang kreatif dan bertang-gung jawab untuk
memajukan bangsa Indonesia dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan per-kembangan
masyarakat modern yang berkeadil-an.

Bab X Pasal 37 berisi ketentuan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wa-
jib memuat pendidikan agama, pendidikan ke-warganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pe-
ngetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga,
keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal. Kuri-kulum pendidikan tinggi wajib memuat pendi-
dikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan bahasa. Kurikulum pendidikan dasar dan me-
nengah serta perguruan tinggi tersebut telah di-implementasikan berdasarkan Peraturan
Mente-ri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006. Struktur kurikulum pendidikan dasar dan
menengah serta perguruan tinggi tidak mewajibkan matapelajaran & matakuliah Pendidikan
Pancasila dgn pertimbangan digabungkan pada Pendidikan Kewarganegaraan.

Kurikulum pendidikan dasar dan mene-ngah serta perguruan tinggi tahun 2006 oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di-pertimbangkan untuk dikembangkan dalam arti
disesuaikan dengan tantangan dan kompetensi masa depan. Rancangan kurikulum pendidikan
dasar dan menengah serta perguruan tinggi yang baru telah disosialisasikan pada bulan 29
Nopember sampai 23 Desember tahun 2012. Rancangan kurikulum baru akan diimplemen-
tasikan tahun 2013 dengan dimulai untuk kelas I, IV, VII, dan X di seluruh sekolah. Pelatihan
guru dan tenaga kependidikan akan diselengga-rakan pada Maret 2013. Implementasi kuriku-
lum baru dikembangkan untuk kelas I, II, IV, V, VII, VIII, X, dan XI di seluruh sekolah pada
tahun 2014. Implementasi secara menyeluruh untuk kelas I sampai XII pada tahun 2015. Ran-
cangan kurikulum baru akan dievaluasi secara formatif pada Juni 2013 dan evaluasi summatif
pada tahun 2016.

Struktur kurikulum baru tahun 2013 un-tuk Sekolah Dasar akan meminimumkan jumlah
matapelajaran dari 10 menjadi 6 matapelajaran. Matapelajaran Ilmu Pengetahuan Alam diinte-
grasikan menjadi materi pembahasan tematik di pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika.
Matapelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial diinte-grasikan menjadi materi pembahasan tematik
di pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewargane-garaan, serta Bahasa Indonesia.
Matapelajaran Muatan Lokal menjadi materi pembahasan di

Cakrawala Pendidikan, Juni 2013, Th. XXXII, No. 2


pelajaran Seni Budaya, Prakarya, serta Pendi-dikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan. Mata-
pelajaran Pengembangan Diri diintegrasikan ke semua matapelajaran. Struktur kurikulum
baru tahun 2013 untuk kelompok A meliputi mata-pelajaran Agama, Pendidikan Pancasila
dan Ke-warganegaraan, Bahasa Indonesia, dan Mate-matika. Kelompok B meliputi
matapelajaran Seni Budaya & Prakarya, serta Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan.

Struktur kurikulum baru tahun 2013 un-tuk Sekolah Menengah Pertama akan memini-
mumkan jumlah matapelajaran dari 12 menjadi 10 matapelajaran. Matapelajaran Muatan
Lokal menjadi materi pembahasan di pelajaran Seni Budaya, Prakarya, serta Pendidikan
Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan. Matapelajaran Pen-gembangan Diri diintegrasikan ke
semua mata-pelajaran. Struktur kurikulum baru tahun 2013 untuk kelompok A meliputi
matapelajaran Aga-ma, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegara-an, Bahasa Indonesia,
Matematika, Ilmu Penge-tahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, dan Bahasa Inggris.
Kelompok B meliputi matape-lajaran Seni Budaya dan Prakarya, serta Pen-didikan Jasmani,
Olahraga, dan Kesehatan.

Struktur kurikulum baru tahun 2013 un-tuk Sekolah Pendidikan Menengah akan menia-
dakan jurusan untuk Sekolah Menengan Atas. Matapelajaran jurusan akan dijadikan Matape-
lajaran Peminatan Akademis. Struktur kuriku-lum baru Sekolah Pendidikan Menengah me-
liputi 3 kelompok. Kelompok A meliputi mata-pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Pan-
casila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Sejarah Indonesia, dan Bahasa
Inggris. Kelompok B meliputi matapelajaran Seni Budaya, Prakarya, serta Pendidikan Jasma-
ni, Olahraga, dan Kesehatan. Kelompok C me-liputi matapelajaran peminatan akademis untuk
Sekolah Menengah Atas dan matapelajaran pe-minatan akademis dan vokasi untuk Sekolah
Menengah Kejuruan.

Struktur kurikulum Sekolah Menengah Atas meliputi matapelajaran kelompok A dan B


sebagai matapelajaran wajib. Kelompok C se-bagai kelompok matapelajaran Peminatan Aka-
demis, dan kelompok matapelajaran pilihan.
274

Kelompok C, yaitu matapelajaran Peminatan Akademis dibedakan 3 peminatan. Pertama, Pe-


minatan Matematika dan sains meliputi mata-pelajaran Matematika, Biologi, Fisika, dan Ki-
mia. Kedua, Peminatan Sosial meliputi mata-pelajaran Geografi, Sejarah, Sosiologi dan An-
tropologi, serta Ekonomi. Ketiga, Peminatan Bahasa meliputi metapelajaran Bahasa dan Sas-
tra Indonesia, Bahasa dan Sastra Inggris, Ba-hasa dan Sastra Arab, serta Bahasa dan Sastra
Mandarin. Kelompok matapelajaran pilihan me-liputi matapelajaran Literasi Media,
Teknologi Terapan, dan Pilihan Pendalaman Minat atau Lintas Minat.

Struktur kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan meliputi matapelajaran kelompok A


dan B sebagai matapelajaran wajib. Kelompok C sebagai kelompok matapelajaran Peminatan
Akademis dan Vokasi meliputi metapelajaran Matematika, Fisika, Kimia, Bahasa Inggris vo-
kasi, dan keterampilan/kejuruan.

Permasalahan kurikulum baru tahun 2013 yang perlu mendapat tanggapan adalah
diinte-grasikannya matapelajaran Ilmu Pengetahuan Alam menjadi materi pembahasan
tematik di pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika un-tuk kelas V dan VI. Matapelajaran
Ilmu Penge-tahuan Sosial diintegrasikan menjadi materi pembahasan tematik di pelajaran
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, serta Bahasa Indonesia. Permasalahan lain yang
perlu men-dapat perhatian adalah dihapusnya jurusan di Sekolah Menengah Atas dan
dikembalikannya matapelajaran Pendidikan Pancasila dalam ke-satuan dengan matapelajaran
Pendidikan Ke-warganegaraan.

Pengintegrasian matapelajaran Ilmu Pe-ngetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Sosial


apabila diartikan bukan penghapusan, maka da-pat dibenarkan. Peminiman dalam arti pengu-
rangan jumlah jam untuk pelajaran kognitif me-mang diperlukan agar tersedia waktu yang cu-
kup untuk membentuk pribadi yang berkemam-puan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif.
Konsekuensinya adalah perlu penyusunan sila-bus, buku ajar, dan dokumen kurikulum (struk-
tur kurikulum, standar kompetensi lulusan, kom-petensi inti, kompetensi dasar, dan pedoman)

Landasan Aksiologis Sistem Pendidikan Nasional Indonesia dalam Persepktif Filsafat Pendidikan
275

yang konsisten dengan landasan filsafati pendi-dikan. Permasalahan dihapusnya jurusan di


Se-kolah Menengah Atas juga dapat dibenarkan, agar tidak terjadi kelompok strata atau kasta
di sekolah. Siswa yang satu akan berbeda dengan siswa yang lain, karena perbedaan
peminatan akademis. Permasalahan dikembalikannya mata pelajaran Pendidikan Pancasila
dalam kesatuan dengan matapelajaran Pendidikan Kewargane-garaan juga benar, karena nilai-
nilai Pancasila adalah kepribadian bangsa Indonesia. Pendidik-an Agama, Pendidikan
Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan merupakan unsur utama pen-didikan karakter.

Pendidikan karakter adalah upaya teren-cana bukan hanya untuk mengenal melalui
pem-belajaran kognitif, tetapi memerlukan kepeduli-an dan internalisasi nilai-nilai (Haryanto,
2011: 17). Pendidikan nilai meliputi ranah kognitif, afektif, dan psiko motoris. Tujuan
pendidikan nilai bukan hanya untuk memunyai pengeta-huan tentang keluhuran nilai, tetapi
juga untuk menumbuhkan simpati dan empati. Pendidikan nilai memerlukan waktu yang
cukup agar anak didik mampu berbudipekerti luhur (Jirzanah, 2008:109).

Permasalahan yang penting dan perlu di-tindaklanjuti sebagai akibat rancangan kuriku-
lum baru tahun 2013 adalah perlunya penye-suaian beberapa ketentuan di dalam Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bab
X pasal 37 berisi ketentuan, bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah serta
perguruan tinggi tidak mewajibkan matapelajaran dan ma-takuliah Pendidikan Pancasila.
Konskwensi le-bih lanjut adalah rumusan tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional pada
bab II pasal 3 juga perlu diperbaiki agar jelas hubungannya dengan nilai-nilai Pancasila.

PENUTUP

Landasan aksiologis Sistem Pendidikan Nasional merupakan konsistensi landasan onto-


logisnya, yaitu pandangan bangsa Indonesia tentang hakikat keberadaan manusia. Hakikat
keberadaan manusia adalah sebagai makhluk majemuk tunggal atau monopluralis. Susunan
kodratnya terdiri dari unsur-unsur tubuh dan jiwa (akal-rasa-kehendak) dalam kesatuan ke-
tunggalan; sifat kodratnya adalah sifat makhluk perseorangan dan makhluk sosial dalam ke-
satuan ketunggalan, serta kedudukan kodratnya sebagai pribadi berdiri sendiri dan makhluk
Tuhan dalam kesatuan ketunggalan.

Landasan aksiologis Sistem Pendidikan Nasional adalah nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai
religius yang menjadi dasar dan sumber nilai bagi nilai kemanusiaan. Nilai-nilai religius dan
kemanusiaan menjadi dasar dan sumber nilai bagi nilai persatuan kebangsaan, nilai demokra-
si kerakyatan, dan nilai keadilan. Landasan ak-siologis sistem pendidikan nasional merupakan
landasan pertimbangan merumuskan tujuan pen-didikan, terutama dalam hubungannya
dengan nilai-nilai dan norma-norma moral Pancasila.

Rumusan tentang fungsi dan tujuan pen-didikan nasional seperti ketentuan bab II pasal
3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 perlu diperbaiki. Fungsi
pendidik-an nasional adalah mengembangkan kemam-puan berpikir rasional dan membentuk
watak yang luhur sesuai nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai-nilai ke-Tuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan
potensi peser-ta didik agar menjadi manusia yang mampu ber-pikir rasional dan berwatak
luhur, yaitu men-junjung tinggi nilai-nilai kebenaran, kebaikan, keindahan, dan religius, serta
secara kreatif dan konstruktif menjadi warga negara yang bertang-gung jawab untuk
memajukan bangsa Indonesia dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan per-kembangan
masyarakat modern yang demokra-tis dan berkeadilan.

Kurikulum baru tahun 2013 yg mengembalikan matapelajaran dan matakuliah


Pendidikan Pancasila berdiri sendiri tidak dalam kesatuan dgn Pendidikan Kewarganegaraan
sangat tepat. Nilai Pancasila adalah landasan aksiologis Sistem Pendidikan Nasional
Indonesia.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih ke-pada Redaktur dan seluruh anggota pengelola
Jurnal Cakrawala Pendidikan yang telah memberikan kesempatan mempublikasikan artikel
ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih ke-pada para pembaca ahli yang berkenan mem-
berikan masukan agar artikel ini lebih berman-faat bagi penyelenggaraan kegiatan pendidikan
di Indonesia.

Cakrawala Pendidikan, Juni 2013, Th. XXXII, No. 2


DAFTAR PUSTAKA

Arifin, H.M. 2000. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Benoit, Andre. 1996. Sekolah dan Pendidikan Nilai, dalam Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000.
Jakarta: PT. Gramedia.

Brameld, Theodore. 1999. Philosophies of Edu-cation in Culture Perspective. 4th edition. New York:
The Oryden Press.

Brennan. 1996. The Meaning of Philosophy. 3rd Edition. New York: Harper & Bro-ther.

Deeken, Alfons. 1995. Process and Perma-nence in Ethics. New York: Paulist Press.

Djumberansyah, Indar. 1994. Filsafat Pendidik-an. Surabaya: Karya Abditama.

Hadiwardoyo, Purwo. 1993. “Nilai Kemanusia-an Hikmat bagi Pendidikan”. Pendidik-an Memasuki
Tahun 2000. Jakarta: Gra-media Mediasarana Indonesia.

Haryanto, 2011. “Pendidikan Karakter Menurut Ki Hadjar Dewantara”. CakrawalaPendidikan. XXX


(Edisi Khusus Dies Natalis UNY), 15-27.
276

Jirzanah. 2008. “Aktualisasi Pemahaman Nilai Bagi Masa depan Bangsa Indonesia”. Jurnal Filsafat
Wisdom. (1), XVIII, 93-114.

Kartodirdjo, Sartono. 1994. Pembangunan Bangsa. Yogyakarta: Aditya Media.

Kattsoff Louis, O. 1996. Element of Philosophy. terjemahan Soemargono. Pengantar


Filsafat.Yogyakarta: Tiara Wacana. Keraf, Sony. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta:Kompas.

Koentjaraningrat. 1997. Manusia dan Kebuda-yaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Magnis-Suseno, Van. 2008. Etika Dasar. Yog-yakarta: Kanisius. Moekiyat. 1995. Asas-Asas Etika.
Bandung: Mandar Maju.

Notonagoro. 1980. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta: Pantjuran Tudjuh.

Suharto, Toto. 2011. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Suriasumantri, Jujun S. 1994. Filsafat Ilmu Se-buah Pengantar Populer. Jakarta: Swa-daya.

Tilaar. 2001. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Landasan Aksiologis Sistem Pendidikan Nasional Indonesia dalam Persepktif Filsafat Pendidikan
JURNAL KEDUA

Anda mungkin juga menyukai