Anda di halaman 1dari 28

MODUL PRAKTIKUM

FORMULASI DAN TEKNOLOGI SEDIAAN NONSTERIL

PRODI S1 FARMASI
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat kasih dan
karunianya maka modul praktikum Formulasi dan teknologi sediaan nonsteril ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Modul praktikum ini menjelaskan secara singkat mengenai prinsip dasar dan
prosedur praktikum formulasi dan teknologi sediaan nonsteril serta tugas yang harus
dikerjakan oleh mahasiswa. Penyusunan modul ini bertujuan untuk membantu
mahasiswa dalam pelaksanaan praktikum. Untuk lebih memahami mengenai
praktikum ini, diharapkan mahasiswa tetap mempelajari teori yang terdapat dalam
buku-buku referensi.
Besar harapan kami agar petunjuk praktikum ini dapat memberikan manfaat
bagi mahasiswa yang mengikuti praktikum Formulasi dan teknologi sediaan nonsteril.
Modul praktikum ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, kami sangat
mengharapan saran dan kritik demi perbaikan selanjutnya.

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………2
DAFTAR ISI ………………………………………………………………...…...3
TATA TERTIB PRAKTIK…..……………………………………...…………....4
PENILAIAN PRAKTIKUM ……………………………………………………...5
JADWAL PRAKTIKUM …………………………………………………………6
PENATALAKSANAAN PRAKTIKUM ………………………………………...7
FORMAT JURNAL PRAKTIKUM ……………………………………………...8
FORMAT LAPORAN PRAKTIKUM ……………………………………………9
DAFTAR PUSTAKA

3
TATA-TERTIB PRAKTIKUM
FORMULASI DAN TEKNOLOGI SEDIAAN NONSTERIL

1. Setiap praktikan harus sudah hadir minimal 15 menit sebelum waktu


praktikum dimulai.
2. Praktikan yang terlambat hanya ditoleransi 10 menit dan akan diberikan sanksi
tertentu, serta tidak diperkenankan mengikuti pre-terst.
3. Praktikan harus sudah menyelesaikan praktikum termasuk membereskan alat-
alat maksimal 15 menit sebelum waktu praktikum berakhir.
4. Praktikan wajib memeriksa dan menjaga kebersihan alat dan ruangan
praktikum sebelum, selama dan sesudah praktikum.
5. Jika terjadi kerusakan dan/atau kehilangan alat praktikum, maka praktikan
bersama kelompoknya diwajibkan mengganti alat dengan spesifikasi minimal
sama sejumlah dua kali alat yang hilang/rusak, dengan tenggang waktu
penggantian maksimal sehari sebelum praktikum selanjutnya.
6. Praktikan yang tidak dapat mengikuti praktikum dengan alasan tertentu, harus
menyampaikan ijin secara tertulis maksimal sehari sebelum praktikum, dan
wajib bertukar posisi dengan praktikan pada praktikum berikutnya.
7. Jika ketidakhadiran praktikan karena sakit, maka surat ijin disampaikan secara
tertulis dengan melampirkan surat keterangan dokter paling lambat dua hari
setelah hari praktikum.
KETENTUAN PENILAIAN PRAKTIKUM
FORMULASI DAN TEKNOLOGI SEDIAAN NONSTERIL

Penilaian praktikum meliputi :


 Pretest : maksimal 10
 Jurnal : maksimal 20
 Keterampilan & pelaksanaan praktikum : maksimal 20
 Sediaan : maksimal 20
 Laporan : maksimal 30

5
JADWAL PRAKTIKUM
FORMULASI DAN TEKNOLOGI SEDIAAN NONSTERIL

Pertemuan Materi
I Asistensi
II Sirup CTM
III Sirup kering amoksisilin
IV Gel Sulfur
V Suppositoria parasetamol
VI Tablet parasetamol/asetosal
VII Evaluasi sediaan tablet
VIII Presentasi Hasil Praktikum
PENATALAKSANAAN PRAKTIKUM
FORMULASI DAN TEKNOLOGI SEDIAAN NONSTERIL

I. Pretest (10 menit)


II. Jurnal praktikum dikumpulkan untuk diperiksa oleh dosen jaga dan acc
formula yang akan dibuat
III. Praktikan membuat sediaan dengan formula yang telah disusun sesuai dengan
jurnal
IV. Praktikan mengumpulkan sediaan jadi dilengkapi dengan kemasan primer,
kemasan sekunder, etiket dan label
V. Dilakukan evaluasi terhadap sediaan sesuai dengan syarat masing-masing
sediaan
VI. Laporan akhir dikumpulkan paling lambat satu minggu setelah praktikum
kepada koordinator praktikum
FORMAT JURNAL PRAKTIKUM FORMULASI DAN
TEKNOLOGI SEDIAAN NONSTERIL

Jurnal dibuat sebelum praktikum sesuai dengan materi yang akan dipraktikumkan.
Susunan jurnal adalah sebagai berikut:

I. PRAFORMULASI
a. Tinjauan farmakologi bahan obat
b. Tinjauan Fisikokimia bahan obat
c. Tinjauan fisikokimia zat tambahan
d. Bentuk sediaan, dosis dan cara pemakaian

II. FORMULASI
a. Permasalahan
b. Pencegahan masalah
c. Macam-macam formulasi
d. Formula yang akan diajukan untuk dibuat dalam praktikum

III. PRODUKSI
a. Penimbangan
b. Cara kerja

IV. PENGEMASAN
a. Kemasan primer
b. Kemasan sekunder
c. Etiket
d. Brosur

7
FORMAT LAPORAN PRAKTIKUM
FORMULASI DAN TEKNOLOGI SEDIAAN NONSTERIL

Laporan terdiri dari:


I. JURNAL PRAKTIKUM
II. HASIL DAN PEMBAHASAN
III. KESIMPULAN
SIRUP CTM
I. Tujuan
1. Mengetahui formulasi sediaan Sirup CTM
2. Mengetahui tahapan-tahapan dalam pembuatan sediaan Sirup CTM
3. Dapat membuat sediaan non steril Sirup CTM skala laboratorium sesuai
dengan persyaratan yang telah ditentukan

II. Dasar Teori


Sirup merupakan sediaan pekat dalam air dari gula atau pengganti gula dengan
atau tanpa penambahan bahan pewangi dan zat obat. Larutan obat dalam air yang
mengandung gula digolongkan sebagai sirup (Ansel, 2005).

Chlorpeniramine maleat diabsorpsi baik melalui pemakaian oral, walaupun obat


ini mengalami metabolisme substansial pada mukosa gastrointestinal sebelum
diabsorpsi dan mengalami reaksi first pass metabolisme di hati (Mc Evoy, 2002).
Obat antihistamine H1 sering digunakan sebagai obat pilihan pertama untuk mencegah
atau mengobati gejala reaksi alergi. Pada rhinitis alergi dan urtikaria dengan histamin
sebagai mediator utama, antagonis H1 adalah obat pilihan (drug of choice) dan sering
sangat efektif. Namun pada asma bronchial yang melibatkan beberapa antagonis H1
sangat tidak efektif (Katsung, 1997).

Larutan oral chlorpheniramine maleat harus disimpan pada tempat yang kedap
cahaya. Chlorpheniramine maleat umumnya disimpan pada temperatur kurang dari
40oC, lebih baik lagi pada suhu 15-30oC. Didapar pada pH 2, 4, 6, dan 8. Larutan oral
chlorpheniramine maleat harus disimpan pada tempat yang rapat (Mc Evoy, 2002)

III. Evaluasi Sediaan


3.1. Evaluasi Fisika
a. Pengukuran Viskositas Sirup CTM: diukur dengan alat pengukur
viskositas Hoppler.
b. Pengukuran Berat Jenis Sirup CTM): diukur dengan piknometer.
c. Pengukuran Volume Terpindahkan Sirup CTM: volume rata-rata sirup
yang diperoleh dari sepuluh wadah tidak kurang dari 100%, dan tidak

9
satu pun volume wadah yang kurang dari 90% dari volume yang
dinyatakan pada etiket (Anonim b, 1995).
d. Uji Organoleptis Sirup CTM: meliputi bau, rasa, warna, kejernihan
selain itu juga diperiksa kelengkapan etiket, brosur dan penandaan pada
kemasan.

3.2. Evaluasi Biologi


a. Uji Efektivitas Pengawet Antimikroba
 Mikroba Uji: digunakan biakan mikroba Candida albicans, Aspergillus
niger, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, dan Staphylococcus
aureus.
 Media untuk biakan awal mikroba uji: dipilih media agar yang sesuai
untuk pertumbuhan yang subur mikroba uji, seperti Soybean-Casein
Digest Agar Medium.
 Pembuatan inokulat: sebelum pengujian dilakukan inokulasi
permukaan media agar bervolume yang sesuai, dengan biakan
persedian segar mikroba yang akan digunakan. Inkubasi pada suhu
300-350 selama 18-24 jam. Tetapkan jumlah satuan pembentuk koloni
tiap mL dari setiap suspensi, dan angka ini digunakan untuk
menetapkan banyaknya inokula yang digunakan pada pengujian.
 Penafsiran hasil: suatu pengawet dinyatakan efektif di dalam contoh
yang diuji jika :
1. Jumlah bakteri viabel pada hari ke 14 berkurang hingga tidak lebih
0,1% dari jumlah awal.
2. Jumlah kapang dan khamir viabel selama 14 hari pertama adalah
tetap atau kurang dari jumlah awal.
3. Jumlah mikroba uji selama hari tersisa dari 28 hari pengujian adalah
tetap atau kurang dari bilangan yang disebut pada a dan b.
(Anonim b, 1995).
b. Uji Cemaran Mikroba
Dilakukan untuk memperkirakan jumlah mikroba aerob viabel di dalam
semua jenis perbekalan farmasi, mulai dari bahan baku hingga sediaan jadi dan
untuk menyatakan perbekalan farmasi tersebut bebas dari spesimen mikroba
tertentu (Anonim b, 1995).

3.3. Evaluasi Kimia


Identifikasi: dilakukan dengan sistem kromatografi silika gel dengan
menggunakan campuran fase gerak metanol P : kloroform P (85 : 15) jarak
pengembangan 9 cm. Keringkan, semprot dengan campuran etanol mutlak P : P-
metoksibenzaldehida : Asam sulfat P (90 : 5 : 5). Panaskan lempeng pada suhu 100oC
selama 10 menit. Chlorpheniramine Maleat (CTM) tampak sebagai bercak berwarna
hitam hingga lembayung. Harga Rf larutan uji sesuai dengan Rf larutan baku
(Anonim b, 1995).

11
Sirup Kering Amoxicillin

I. Tujuan
1. Mengetahui formulasi sediaan Sirup Kering Amoxicillin
2. Mengetahui tahapan-tahapan dalam pembuatan sediaan Sirup Kering
Amoxicillin
3. Dapat membuat sediaan non steril Sirup Kering Amoxicillin skala
laboratorium sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan

II. Dasar Teori


Amoxicillin merupakan golongan penisilin yang tidak stabil jika berada dalam
larutan dalam jangka waktu yang lama. Oleh sebab itu, amoxicillin dibuat dalam
bentuk sediaan serbuk kering yang direkonstitusi terlebih dahulu sebelum digunakan.
Fase pendispersi dari suspensi antibiotik adalah air, biasanya ditambahkan pewarna,
pemanis, pewangi dan perasa agar sediaan lebih menarik dan menutupi rasa pahit
(Ansel, 2005).
Amoxicillin mempunyai spektrum luas, tetapi lebih efektif pada basil gram
negatif seperti Neisseria gonorrhoeae, Haemophilus influenzae, Escherichia coli,
Proteus mirabilis, Salmonella. Amoxicillin merupakan derivate penicillin yang
mengalami hidrolisis dengan mendegradasi produksi cincin ß-laktam (Lund, 1994).
Amoxicillin tidak stabil terhadap paparan cahaya, terurai pada suhu 30-350C, namun
stabil pada pH 3,5-6,0. Amoxicillin stabil pada asam lambung dan terabsorpsi 74-92%
di saluran pencernaan pada penggunaan dosis tunggal secara oral (Anonim b. 1995).

III. Evaluasi Sediaan


3.1 Evaluasi Fisika
a. Distribusi ukuran partikel
Untuk sediaan sirup kering, distribusi partikel homogen (tersalut) setelah
direkonstitusi, dapat diamati dari semakin besarnya ukuran partikel maka
rongga–rongga antar partikel yang terbentuk pun semakin besar dan
distribusinya menyebar di dalam sediaan, sehingga setelah dikocok sediaan
suspensi kering ini dapat terdispersi homogen kembali.

b. Homogenitas
Sediaan suspensi terkonstisusi dilarutkan dengan air hingga mencapai
volume yang telah ditentukan yaitu 60 mL. Setelah itu, zat yang terdispersi
harus halus dan tidak boleh cepat mengendap, jika dikocok perlahan-lahan,
endapan harus segera terdispersi kembali. Sediaan terkonstitusi dapat
mengandung zat tambahan untuk menjamin stabilitas suspensi. Selain itu,
kekentalan suspensi tidak boleh terlalu tinggi agar sediaan mudah dikocok dan
dituang (Anonim a, 1979).

c. Penetapan bobot jenis sediaan dengan piknometer


Pada penetapan bobot jenis sediaan suspensi kering menggunakan
piknometer. Untuk mengetahui bobot jenis sediaan dapat diperoleh dari selisih
bobot piknometer yang telah diisi zat uji dengan bobot piknometer kosong
(anonim b, 1995).

d. Volume terpindahkan
Volume rata-rata suspensi yang diperoleh dari 10 wadah tidak kurang dari
100% dan tidak satu pun volume wadah yang kurang dari 95% dari volume
yang dinyatakan dalam etiket (Anonim b, 1995).
e. Penetapan pH
Penetapan pH dengan menggunakan pH meter (Anonim b, 1995).
f. Kadar air
Suspensi kering kadar air tidak lebih dari 3% (Anonim b, 1995).
g. Penetapan waktu rekonstitusi
Penetapan ini dilakukan untuk menentukan lamanya waktu terkonstitusi
suatu sediaan. Dalam hal ini sediaan serbuk kering ditambahkan air, kemudian

13
dihitung waktu yang diperlukan sampai sediaan tersebut membentuk suspensi
dengan sempurna.
h. Volume sedimentasi dan kemampuan redispersi
Untuk sediaan suspensi kering yang baik diharapkan terdapat sedimentasi
yang besar atau tidak terjadi sama sekali (melarut homogen) . Hal ini penting
karena dengan volume sedimentasi yang besar maka kemungkinan untuk
melarut secara homogen kembali akan lebih besar bila dibandingkan dengan
volume sedimentasi yang sedikit (dapat membentuk caking). Untuk
mengetahui kemampuan redispersi sediaan maka sediaan yang sudah
didiamkan dikocok kembali. Apabila setelah dikocok sediaan mudah melarut
kembali dan menjadi larutan yang homogen maka kemampuan redispersinya
baik.

i. Sifat aliran dan viskositas dengan Viskosimeter Brookfield


Sediaan sirup kering Amoxicillin ini mengikuti sifat aliran Hukum Non
Newton pseudoplastik. Viskositas sediaan ini dapat diukur dengan
menggunakan Viskosimeter Brookfield karena viskosimeter ini dapat
mengukur viskositas sediaan yang bersifat Non Newton dan Newton (Astuti,
dkk., 2007)

3.2 Evaluasi Biologi


a. Uji potensi antibiotik
Uji antibiotik untuk sirup kering dengan bahan aktif Amoxicillin dapat
diuji dengan metode Lempeng Silinder. Cawan petri yang telah diberi
lempeng silinder yang berisi antibiotik selanjutnya diinkubasi selama 16-18
jam dengan suhu 320C sampai 350C. Semakin besar zona hambatan yang
terukur maka semakin baik sediaan sirup kering Amoxicillin yang dibuat
(Anonim b, 1995).

b. Uji efektifitas pengawet


Sediaan sirup kering yang sudah dilarutkan diambil sebanyak 20 mL dan
dimasukkan ke dalam 5 tabung bakteriologi bertutup, berukuran sesuai dan
steril. Kemudian inokulasi masing-masing tabung dengan salah satu suspensi
mikroba baku dengan menggunakan perbandingan 0,10 mL inokula setara
dengan 20 mL sediaan, dan campur. Mikroba uji dengan jumlah yang sesuai
harus ditambahkan sedemikian rupa hingga jumlah mikroba tiap mL sediaan
uji segera setelah inokulasi adalah antara 100.000 dan 1.000.000 per mL.
Tetapkan jumlah mikroba viabel di dalam tiap suspensi inokula, dan hitung
angka awal mikroba tiap mL sediaan yang diuji dengan metode lempeng.
Kemudian setelah diinokulasi tabung diinkubasi pada suhu 200C sampai
250C. Setelah itu, tabung diamati pada hari ke 7, ke 14, ke 21dan ke 28
sesudah inokulasi. Setiap perubahan yang terlihat dicatat dan tetapkan jumlah
mikroba viabel pada tiap selang waktu tersebut dengan metode lempeng.
Dengan menggunakan bilangan teoritis mikroba pada awal pengujian, hitung
perubahan kadar dalam persen tiap mikroba selama pengujian (Anonim b,
1995).

3.3 Evaluasi Kimia


a. Penetapan kadar
Penetapan kadar dilakukan dengan metode KCKT.
Pembuatan larutan uji:
Encerkan secara kuantitatif dan bertahap sejumlah volume seperti yang
tertera pada etiket, dicampur segar dan bebas gelembung udara dalam
pengenceran hingga diperoleh larutan yang mengandung 1mg amoxicillin
trihidrat per ml. saring melalui penyaring 1 µm atau porositas lebih halus
dan gunakan filtrate sebagai larutan uji. Gunakan larutan dalam waktu 6
jam (Anonim b, 1995).

b. Identifikasi
Untuk identifikasi diperlukan suatu larutan yang mengandung setara
dengan 4 mg amoxicillin dengan penambahan asam klorida 0,1 N pada
sejumlah amoxicillin untuk suspensi oral. Biarkan larutan selama 5 menit
sebelum digunakan (Anonim b, 1995).

15
Sediaan Gel Sulfur

I. Tujuan
1. Mengetahui formulasi sediaan Gel Sulfur
2. Mengetahui tahapan-tahapan dalam pembuatan sediaan Gel Sulfur
3. Dapat membuat sediaan non steril Gel Sulfur skala laboratorium sesuai dengan
persyaratan yang telah ditentukan

II. Dasar Teori


Gel merupakan sistem semipadat terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel
anorganik kecil atau molekul organik besar, terpenetrasi oleh suatu cairan. Jika fase
terdispersi memiliki ukuran partikel yang berbeda, maka akan membentuk sistem gel
dua fase atau dinyatakan sebagai magma. Baik gel maupun magma dapat berupa
aliran tiksotropik. Gel fase tunggal terdiri dari makromolekul organik yang tersebar
merata dalam suatu cairan sehingga tidak terlihat adanya ikatan antara molekul yang
terdispersi (Anonim b, 1995).
Sulfur merupakan endapan belerang yang memiliki khasiat bakterisida dan
fungisida lemah berdasarkan reaksi oksidasinya menjadi asam pentationat (H2S5O6)
oleh kuman di kulit. Zat ini juga bersifat keratolitik (melarutkan kulit tanduk),
sehingga banyak digunakan bersama asam salisilat dalam salep dan lotion (2-10%)
untuk pengobatan jerawat dan kudis (Tjay dan Rahardja, 2007).
Sulfur dapat menghambat pertumbuhan jerawat yang diakibatkan oleh
propionibacterium dan pembentukan asam lemak bebas. Sulfur mengeluarkan
kelebihan sebum pada wajah dengan cara melunakkan sel keratin (Sweetman, 2002).
Sulfur praktis tidak larut dalam air, sangat mudah larut dalam karbon disulfida,
sukar larut dalam minyak zaitun, praktis tidak larut dalam etanol (Anonim b, 1995).
III. Evaluasi Sediaan
3.1 Evaluasi Fisika
a. Homogenitas: Pengujian homogenitas dilakukan dengan mengoleskan zat
yang akan diuji pada sekeping kaca atau bahan transparan lain yang
cocok, harus menunjukkan susunan yang homogen (Anonim a, 1979).
b. Kadar Air: tidak lebih dari 0,5%. Penentapan kadar air dilakukan dengan
cara titrasi menggunakan piridina P sebagai pengganti metanol P (Anonim
b, 1995).

3.2 Evaluasi Kimia


a. Penetapan Kadar
Timbang seksama lebih kurang 60 mg, lakukan penetapan seperti yang
tertera pada pembakaran dengan labu oksigen menggunakan labu 1000 mL
dan campuran 10 mL air dan 5 mL hidrogen peroksida LP sebagai cairan
penyerap. Jika pembakaran telah sempurna isi bibir labu dengan air,
longgarkan sumbat dan bilas sumbat, pemegang sampel dan dinding labu
dengan air kemudian buka sumbat. Panaskan isi labu sampai mendidih dan
didihkan selama lebih kurang 2 menit. Dinginkan sampai suhu kamar da
titrasi dengan netrium hidroksida 0,1 N LV menggunakan indikator
fenolptalein LP. Lakukan penetapan blangko. 1 mL natrium hidroksida 0,1 N
setara dengan 1,603 mg sulfur.
b. Identifikasi
Terbakar di udara membentuk belerang dioksida yang dapat dikenal dari
baunya yang khas (Anonim b, 1995).

3.3 Evaluasi Biologi


a. Uji Mikroba
Dilakukan untuk memperkirakan jumlah mikroba aerob viabel di dalam
semua jenis perbekalan farmasi, mulai dari bahan baku hingga sediaan jadi
dan untuk menyatakan perbekalan farmasi tersebut bebas dari spesimen
mikroba tertentu. Spesimen uji biasanya terdiri dari Staphylococcus
aureus, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa dan Salmonella.
Pengujian dilakukan dengan menambahkan 1 mL dari tidak kurang

17
pengenceran 10-3 biakan mikroba berumur 24 jam kepada enceran pertama
spesimen uji (dalam dapar fosfat 7,2, Media fluid Soybean-Casein Digest
atau Media Fluid Lactose Medium) dan diuji sesuai prosedur (Anonim b,
1995).
Supositoria Parasetamol

I. Tujuan
1. Mengetahui formulasi sediaan supositoria parasetamol
2. Mengetahui tahapan-tahapan dalam pembuatan sediaan supositoria
parasetamol
3. Dapat membuat sediaan non steril supositoria parasetamol skala laboratorium
sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan

II. Dasar Teori


Supositoria merupakan sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang
diberikan melalui rektal, vagina, atau uretra. Umumnya meleleh atau melunak pada
suhu tubuh. Supositoria dapat bertindak sebagai pelindung jaringan setempat, sebagai
pembawa zat terapeutik yang bersifat lokal atau sistemik (Anonim b, 1995).

Basis yang digunakan dalam pembuatan supositoria harus meleleh pada suhu
tubuh atau larut dalam cairan yang terdapt pada rektum. Obat harus larut dalam bahan
dasar dan bila perlu dipanaskan. Bila sukar larut, obat harus dieserbukkan terlebih
dahulu sampai halus.

Parasetamol digunakan sebagai analgetik dan antipiretik, tetapi tidak


antiinflamasi. Umumnya dianggap sebagai antinyeri yang paling aman dalam
swamedikasi (Tjay dan Rahardja, 2008).
Parasetamol sangat sedikit larut dalam air dingin, dan lebih larut dalam air
hangat, larut dalam etanol, metanol, praktis tidak larut dalam petroleum eter, pentana,
dan benzena. Parasetamol tidak stabil terhadap sinar UV dan peningkatan suhu dapat
mempercepat degradasi obat (Moffat, 2005).

III Evaluasi Sediaan

19
3.1 Evaluasi Fisika
a. Uji Kisaran Leleh
Uji ini disebut juga uji kisaran meleleh makro, dan uji ini merupakan suatu
ukuran waktu yang diperlukan supositoria untuk meleleh sempurna bila
dicelupkan dalam penangas air dengan temperatur tetap (37oC). sebaliknya uji
kisaran meleleh mikro adalah kisaran leleh yang diukur dalam pipa kapiler hanya
untuk basis lemah. Alat yang digunakan untuk mengukur kisaran leleh sempurna
dari supositoria adalah suatu alat disintegrasi tablet USP (Lachman, 1994).

b. Uji Pencairan atau Uji Waktu Melunak dari Supositoria Rektal


Uji tersebut terdiri dari pipa-U yang sebagian dicelupkan ke dalam penangas
air yang bertemperatur konstan. Penyempitan pada satu sisi menahan supositoria
tersebut pada tempatnya dalam pipa. Sebuah batangan dari kaca ditempatkan di
bagian atas supositoria, dan waktu yang diperlukan batangan untuk melewati
supositoria sampai penyempitan tersebut dicatat sebagai “waktu melunak”. Ini
dapat dilaksanakan pada berbagai temperatur dari 35,5o sampai 37oC sebagai
suatu pemeriksaan pengawasan mutu, dan dapat juga dikaji sebagai suatu ukuran
kestabilan fisika terhadap waktu. Suatu penangas air dengan elemen pendingin
dan penangas harus digunakan untuk menjamin pengaturan panas dengan
perbedaan tidak lebih dari 0,1o.

c. Uji melunak
Suatu penyaringan melalui selaput semipermeabel, yakni pipa selovan, diikat
pada kedua ujung kondensor dengan masing-masing ujung pipa terbuka. Air pada
suhu 37oC disirkulasi melalui kondensor tersebut pada laju sedemikian rupa,
sehingga separuh bagian bawah pipa selovan kempis dan separuh bagian atas
terbuka. Tekanan hidrostatis air dalam alat tersebut kira-kira 0 ketika pipa
tersebut mulai kempis (Lachman, 1994).

d. Uji Kehancuran
Uji kehancuran dirancang sebagai metode untuk mengukur kerapuhan
supositoria. Alat yang digunakan terdiri dari suatu ruang berdinding rangkap
dimana suatu supositoria yang diuji ditempatkan. Air pada 37oC dipompa
melewati dinding rangkap, dan supositoria diisikan dalam dinding yang kering,
menopang lempeng dimana suatu batang dilekatkan. Ujung lain dari batang
tersebut terdiri dari lempeng lain dimana beban digunakan. Uji dihubungkan
dengan penempatan 600 g di atas lempeng datar. Pada interval 1 menit, 200 g
bobot ditambahkan, dan bobot dimana supositoria rusak adalah titik hancurnya,
atau gaya yang menentukan karakteristik keregasan dan kerapuhan supositoria
tersebut. Supositoria dengan bentuk yang berbeda mempunyai titik hancur yang
berbeda pula (Lachman, 1994).

e. Uji Disolusi
Pengujian awal dilakukan dengan penetapan biasa dalam gelas piala yang
mengandung dalam suatu medium. Dalam usaha untuk mengawasi variasi pada
antar muka massa/medium, berbagai cara dipakai, termasuk keranjang kawat
mesh, atau suatu membran untuk memisahkan ruang sampel dari bak reservoar.
Sampel yang ditutup dalam pipa dianalisis atau membran alami juga dapat dikaji.
Alat sel alir (flow cell) digunakan untuk menahan sampel ditempatnya dengan
kapas, saringan kawat, dan yang paling baru dengan manik-manik gelas
(Lachman, 1994).

21
Tablet Parasetamol

I. Tujuan
1. Mengetahui formulasi sediaan tablet parasetamol
2. Mengetahui tahapan-tahapan dalam pembuatan sediaan tablet parasetamol
3. Dapat membuat sediaan non steril tablet parasetamol skala laboratorium sesuai
dengan persyaratan yang telah ditentukan

II. Dasar Teori


Tablet adalah sediaan padat yang mengandung bahan obat dengan atau tanpa
bahan pengisi. Komponen-komponen dalam formulasi tablet kempa terdiri dari zat
aktif, bahan pengisi, bahan pengikat, desintegran dan lubrikan. Selain itu juga
mengandung bahan pewarna, bahan pengaroma dan bahan pemanis.
Pembuatan tablet dibagi menjadi tiga cara, yaitu granulasi basah, granulasi
kering dan kempa langsung. Tujuan granulasi basah dan kering adalah untuk
meningkatkan aliran campuran atau kemampuan kempa.
Granulasi basah dibuat dengan membasahi campuran zat berkhasiat, pengisi dan
penghancur dengan larutan bahan pengikat dan ditambah bahan pewarna bila perlu.
Kemudian campuran diayak menjadi granul dan dikeringkan pada suhu 400-500C.
Setelah kering campuran diayak lagi hingga diperoleh granul dengan ukuran yang
diperlukan, kemudian ditambah bahan pelicin dan dicetak menjadi tablet.
Granulasi kering atau Slugging dilakukan dengan mencampurkan zat berkhasiat,
pengisi dan penghancur, bila perlu ditambahkan zat pengikat dan pelicin. Setelah itu
massa serbuk dikempa pada tekanan tinggi menjadi tablet besar (slug) yang belum
memiliki bentuk yang baik, kemudian digiling dan diayak hingga diperoleh granul.
Selanjutnya granul dikempa kembali dan dicetak sesuai dengan ukuran tablet yang
diinginkan.
Pembuatan tablet dengan cara cetak kempa langsung dilakukan apabila jumlah
zat berkhasiat per tablet cukup untuk dicetak, zat berkhasiat dapat mengalir bebas
(free-flowing) dengan baik dan zat berkhasiat berbentuk kristal yang dapat mengalir
bebas (Syamsuni, 2005)

III. Evaluasi Sediaan


3.1 Evaluasi Fisika
a. Penampilan umum
Mengontrol penampilan umum tablet, melibatkan pengukuran sejumlah
perlengkapan seperti ukuran tablet, bentuk, warna, ada tidaknya bau, rasa,
bentuk permukaan, konsistensi dan cacat fisik.

b. Ukuran dan bentuk


Ketebalan luar tablet tunggal dapat diukur dengan tepat dengan memakai
mikrometer yang dapat memberikan informasi tentang variasi antar tablet.
Cara lain dalam mengontrol produksi yaitu dengan meletakkan 5 atau 10 tablet
di dalam baki, kemudian ketebalan luar tablet dapat diukur memakai jangka
sorong yang melengkung. Metode ini jauh lebih cepat daripada mengukur
dengan mikrometer dalam memberikan estimasi menyeluruh ketebalan tablet
yang diproduksi, tetapi tidak memberikan informasi mengenai perbedaan
antar tablet, akan tetapi bila peralatan punch dan die telah distandar dengan
baik serta mesin tablet berfungsi dengan baik, metode ini cukup memuaskan
untuk produksi.
Ketebalan tablet harus terkontrol sampai perbedaan kurang lebih 5 % dari
nilai standar. Tiap perbedaan ketebalan tablet pada lot tertentu atau antar lot
tidak boleh sampai terlihat dengan mata telanjang agar dapat diterima oleh
konsumen (Lachman dkk., 1994).

c. Sifat Organoleptis
Sifat organoleptis dari suatu tablet dapat dievaluasi dari keseragaman bau,
warna, derajat kecacatan suatu tablet seperti serpihan, keretakan, kontaminasi
oleh benda asing (seperti rambut, tetesan minyak, dan kotoran), tekstur
permukaan serta penampilan (mengkilap atau kusam) dievaluasi secara visual.

23
d. Kekerasan
Kekerasan tablet ditentukan oleh besarnya tenaga yang diperlukan untuk
memecah tablet dalam uji kompresi diametri.

e. Uji Friabilitas
Uji friabilitas digunakan untuk mengukur ketahanan permukaan tablet
terhadap gesekan sewaktu pengemasan dan pengiriman. Prinsip pengukuran
dilaukan dengan menetapkan bobot yang hilang dari sejumlah tablet selama
diputar dalam friabilator selama waktu tertentu. Alat diputar dengan kecepatan
25 rpm dan waktu 4 menit. Jadi ada 100 putaran. Bobot yang hilang tidak
boleh lebih dari 100 %.

f. Uji Disolusi
Pada uji disolusi tablet parasetamol digunakan alat dengan kecepatan 50
rpm selama 30 menit. Untuk media disolusi digunakan 900 mL larutan dapar
fosfat pH 5,8. Kemudian lakukan penetapan jumlah parasetamol yang terlarut
dengan mengukur serapan filtrat larutan uji dan larutan baku pembanding
parasetamol BPFI dalam media yang sama pada panjang gelombang
maksimum 243 nm. Dalam waktu 30 menit harus larut tidak kurang dari 80 %
parasetamol dari jumlah yang tertera pada etiket.

g. Uji Waktu Hancur


Untuk tablet parasetamol tidak bersalut pengujian dilakukan dengan
memasukkan 1 tablet pada masing-masing tabung dari keranjang, masukkan
satu cakram pada tiap tabung dan jalankan alat, gunakan air bersuhu 37º ± 2º
sebagai media kecuali dinyatakan menggunakan cairan lain dalam masing-
masing monografi. Pada akhir batas waktu seperti yang tertera dalam
monografi, angkat keranjang dan amati semua tablet: semua tablet harus
hancur sempurna. Bila 1 tablet atau 2 tablet tidak hancur sempurna, ulangi
pengujian dengan 12 tablet lainnya: tidak kurang 16 dari 18 tablet yang diuji
harus hancur sempurna. Sediaan dinyatakan hancur sempurna bila sisa sediaan
yang tertinggal pada kasa alat uji merupakan masa lunak yang tidak
mempunyai inti yang jelas, kecuali bagian dari penyalut atau cangkang kapsul
yang tidak larut.
h. Uji Mikrobiologi
Uji mikrobiologi ini terutama dilakukan pada tablet yang mengandung
bahan-bahan yang mudah ditumbuhi mikroorganisme. Tablet bersalut lebih
banyak dikontaminasi dibanding tablet tidak bersalut karena kelembaban
internal tablet salut merupakan kondisi yang cocok untuk pertumbuhan
bakteri. Lingkungan produksi yang kurang bersih juga merupakan likungan
yang sesuai untuk pertumbuhan mikroba. Oleh karena itu beberapa industri
memberikan persyaratan kemurnian yaitu batas angka mikroba (Lachman
dkk., 1994).

25
Daftar Pustaka

Anonim a. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III Jakarta:Departemen Kesehatan


Republik Indonesia.

Anonim b. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan


Republik Indonesia.

Lachman,L., Herbert A.L., and Joseph L.K. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri
Ed. 3. Jakarta : UI Press.

Lund, Walter. 1994. The Pharmaceutical Codex. The Pharmaceutical Press. London.

Mc Evoy, Gerald K. 2002. AHFS Drug Book 4, American Society of Health System
Pharmacist.

Moffat, Antony C., MDavid Osselton, dan Brian Widdop. 2005. Clarke’s Analysis of
Drug and Poisons. 3rd editions. The Pharmaceutical press.

Sweetman, Sean C. 2002. Martindale The Complete Drug Reference Thirty-Third


edition. London Chicago : Pharmaceutical Press.

Tjay, Hoan Tan dan Rahardja K. 2002. Obat-Obat Penting. Jakarta : Elex Media
Komputindo

Anda mungkin juga menyukai