INDONESIA
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
STANDAR KOMPETENSI
DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI
INDONESIA
(Revisi Tahun 2015)
STANDAR KOMPETENSI
DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI
INDONESIA
(Revisi Tahun 2015)
STANDAR KOMPETENSI
DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI INDONESIA
(Revisi Tahun 2015)
Penyusun:
Mohammad Saiful Islam, dr, Sp.S(K)
Prof (ret). Harsono, dr, Sp.S(K)
Prof. Troeboes Poerwadi, dr, Sp.S(K)
Dr. DPG Purwa Samatra, dr, SpS(K)
Eva Dewati, dr, Sp.S(K)
Wardah Rahmatul Islamiyah, dr,Sp.S
Penerbit:
KOLEGIUM NEUROLOGI INDONESIA
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS SYARAF INDONESIA
i
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
PENYUSUN
(Edisi 2006)
Prof. Harsono, dr., Sp.S(K)
FK UGM Yogyakarta
Jofizal Jannis, dr., Sp.S(K)
FKUI Jakarta
KONTRIBUTOR
Prof. Dr. Aboe Amar Joesoef, dr, Sp.S(K)
FK UNAIR Surabaya
Prof. Bambang Hartono.dr, Sp.S(K), Ph.D (aim)
FK UNDIP Semarang
Billy Indra Gunawan.dr, Sp.S(K)
FK UNSRI Palembang
Darwin Amir.dr, Sp.S
FK UNAND Padang
Hasan Sjahrir.dr, Sp.S(K)
FK USU
Medan I. Wayan Kondra, dr.Sp.S
FKUNUDDenpasar
Muh. Akbar, dr, Sp.S, Ph.D
FK UNHAS Makassar
M. Dalhar, dr, Sp.S
FK UNIBRAW Malang
Mohammad Saiful Islam, dr, Sp.S(K)
FK UNAIR Surabaya
ii
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
TIM REVISI
(Edisi 2015)
Ketua
Mohammad Saiful Islam, dr, Sp.S(K)
FK UNAIR Surabaya
Anggota
Prof (ret). Harsono, dr, Sp.S(K)
FK UGM Yogyakarta
Prof. Troeboes Poerwadi, dr, Sp.S(K)
FK UNAIR Surabaya
Dr. DPG Purwa Samatra, dr, SpS(K)
FK UNUD Denpasar
Eva Dewati, dr, Sp.S(K)
FK Ul Jakarta
Wardah Rahmatul Islamiyah, dr.Sp.S
FK UNAIR Surabaya
Para Ketua Departemen Neurologi
Para KPS Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi
iii
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas selesainya tugas tim revisi
Standar Kompetensi Dokter Spesialis Neurologi Indonesia. Standar kompetensi memang
memerlukan revisi secara berkala karena standar kompetensi bersifat dinamis, dengan arti
ada kecenderungan untuk mengalami perubahan, sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran, pembangunan kesehatan di Indonesia,
dan tuntutan pemangku kepentingan. Revisi ini menguraikan lebih rinci tentang berbagai
indikator hasil pembelajaran atau pencapaian kompetensi yang diatur dalam Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK).
Mudah-mudahan semua upaya ini bermanfaat bag! kita semua, khususnya para
pengelola PPDSN agar dapat menyelenggarakan pendidikan yang lebih berkualitas, dan
para peserta didik agar menjadi lulusan yang lebih profesional.
Tentu masih banyak kekurangan dalam revisi ini. Karenanya, kritik dan saran
sangat kami harapkan.
Tim Revisi
iv
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, dengan terbitnya buku Revisi
Standard Kompetensi Dokter Spesialis Neurologi Indonesia yang merupakan
penyempurnaan dari buku yang sama terbitan tahun 2006, yang disusun oleh Kolegium
Neurologi Indonesia.
Pengurus Pusat PERDOSSI menyampaikan terima kasih kepada tim revisi Standar
Kompetensi Dokter Spesialis Neurologi Indonesia dari KNI yang telah bekerja dengan
penuh dedikasi. Semoga menjadi amalan baik disisi Allah SWT.
v
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
SAMBUTAN
KETUA KOLEGIUM NEUROLOGI INDONESIA (KNI)
(Edisi 2015)
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas ridha, taufik dan hidayah-Nya
sehingga Kolegium Neurologi Indonesia (KNI) mampu menyelesaikan revisi Standar
Kompetensi Dokter Spesialis Neurologi Indonesia. Revisi ini didasarkan atas semangat
perbaikan mutu berkelanjutan, serta memperhatikan perubahan dan kemajuan yang
terjadi di ranah ilmu kedokteran, pendidikan, maupun praktik sehari-hari. Dengan demikian
standar kompetensi diupayakan untuk selalu mengikuti perkembangan yang ada agar
pendidikan dokter spesialis neurologi di Indonesia selalu mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran.
Kami menyampaikan terima kasih secara tulus dan penghargaan yang tinggi
kepada tim revisi yang dikoordinasi oleh dr. Mohammad Saiful Islam, Sp.S(K), dan
diarahkan oleh Prof. Troeboes Poerwadi, dr, Sp.S(K), yang telah menyelesaikan tugasnya
dengan penuh dedikasi. Semoga seluruh upaya tim revisi menjadi amal ibadah. Amin.
vi
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
DAFTAR ISI
Tim Revisi .................................................................................................................... iii
PengantarTim Revisi .................................................................................................... iv
Sambutan Ketua Umum PERDOSSI ........................................................................... v
Sambutan Ketua Kolegium Neurologi Indonesia ......................................................... vi
Daftar Isi ...................................................................................................................... vii
Daftar Singkatan .......................................................................................................... viii
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia ....................................................................... x
vii
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
DAFTAR SINGKATAN
viii
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
ix
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
x
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
(1) Standar Kompetensi Dokter Spesiaiis Neuroiogi Indonesia merupakan bagian dari
Standar Pendidikan Profesi Dokter Spesiaiis Neuroiogi Indonesia
(2) Standar Kornpetensi Dokter Spesiaiis Neuroiogi Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat {1} tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia ini.
Pasal 2
Pada saat Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia ini mulai berlaku, Keputusan Konsil
Kedokteran Indonesia Nomor 27/KKI/Kep/IV/2Q08 tentang Pengesahan Standar
Pendidikan dan Standar Kompetensi Dokter Spesiaiis Saraf, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 3
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Juni 2015
BAMBANG SUPRIYATNO
xi
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
LAMPIRAN
PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA
NOMOR 35 TAHUN 2015
TENTANG
STANDAR KOMPETENSI
DOKTER SPESIAUS NEUROLOGI INOONESIA
SISTEMATIKA
BAB I PENDAHULUAN
BAB II KOMPETENSI
A. Prinsip Kompetensi
B. Kategori Kompetensi
C. Elemen Kompetensi
D. Area dan Komponen Kompetensi
E. Peran Dotcter Spesialis Neuroiogi Berkaitan dengan Kompetensi
F. Standar Kompetensi
G. Capaian Pembelajaran
H. Implikasi Pengembangan KBK Ciri-ciri KBK
I. Ruang Lingkup Kompetensi Lulusan
BAB III PENCAPAiAN KOMPETENSI
A. Pengalaman Pembelajaran
B. Evaluasi
BAB IV KARAKTERISTIKA PENCAPAIAN KOMPETENSI
A. Kategori Kompetensi
B. Jenis Kompetensi
BAB V PENUTUP DAFTAR KEPUSTAKAAN
xii
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
Kompetensi dokter spesialis neurologi tidak terlepas dari filosofi dan ruang lingkup
neurologi itu sendiri. Neurologi merupakan salah satu bidang ilmu kedokteran yang
mengkaji otak dan sistem saraf lainnya, serta sistem yang terkait dengannya. Dengan
demikian neurologi juga mencakup seluruh keluhan yang merupakan manifestasi penyakit
dan kelainan yang mempengaruhi otak dan sistem saraf, baik disebabkan oleh kelainan
fungsional maupun struktural.
Kompetensi dokter spesialis neurologi meliputi pengetahuan, sikap dan keterampilan.
Pengetahuan (cipta), sikap (rasa) dan ketrampilan (karsa) yang dikenal pula sebagai ranah-
ranah kognitif, afektif dan psikomotorik, merupakan tiga ranah terpadu yang merefleksikan
kompetensi seseorang setelah melalui serangkaian pendidikan dan/atau pelatihan. Seorang
dokter spesialis neurologi secara internal harus menguasai ketiga ranah tadi secara lengkap,
dan secara eksternal harus mampu menunjukkan kompetensinya kepada pihak lain dalam
kaitan academic contract maupun professional contract.
Penyakit saraf (meliputi latar belakang anatomi, fisiologi, biokimiawi, dan biologi
molekular) menuntut dokter spesialis neurologi untuk menguasai dan mengimplementasikan
ketiga ranah tadi dengan penuh rasa tanggung jawab dan sekaligus memperlihatkan social
accountability sebagaimana dituntut oleh masyarakat. Dengan demikian kompetensi harus
dibangun secara komprehensif, terpadu, terstruktur, akademik, dan profesional. Tuntutan
seperti ini dapat dijawab dengan menyediakan kurikulum berbasis kompetensi, yang dalam
implementasinya memerlukan konsistensi, disiplin, dan komitmen yang tinggi. Hal ini
didasarkan atas kenyataan bahwa kurikulum merupakan instrumen yang tidak hanya
memiliki implikasi edukatif, melainkan juga memiliki implikasi administratif, ekonomi,
sosial, dan politik.
1
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
A. Sejarah Singkat
Program pendidikan dokter spesialis neurologi di Indonesia, diawali sejak tahun
1950-an. Ketika itu, program pendidikan spesialis neurologi masih tergabung dalam
program pendidikan dokter spesialis saraf dan jiwa. Seorang dokter yang dididik di bagian
neuorologi dan psikiatri, setelah lulus mendapat sertifikat keahlian (brevet) ahli neurologi
dan psikiatri, dengan sebutan (gelar) di belakang nama dokter: neuroloog dan psikiater.
Sejak tahun 1955, Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia memulai program
pendidikan dokter spesialis saraf (neurologi) secara terpisah dari program pendidikan dokter
spesialis jiwa (psikiatri). Hal ini kemudian diikuti oleh FK Universitas Airlangga. Setelah
itu, FK Universitas Padjadjaran membuka program pendidikan dokter spesialis saraf
(neurologi) pada tahun 1980, yang kemudian berturut-turut diikuti oleh FK Universitas
Diponegoro (1983), FK Universitas Gadjah Mada (1987), FK Universitas Hasanuddin
(1988), FK Universitas Sumatera Utara (1993), FK Universitas Sriwijaya (2003), FK
Universitas Andalas (2006), FK Universitas Udayana (2006), FK Universitas Brawijaya
(2010), FK Universitas Sebelas Maret (2010), dan FK Universitas Sam Ratulangi (2010).
Pada tahun 1993 dibentuk organisasi Konsilium Neurologi, sebagai unit organisasi di
bawah Ikatan Dokter Ahli Saraf Indonesia (IDASI). Selanjutnya organisasi IDASI berubah
nama menjadi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Konsilium
Neurologi bertugas untuk membina dan mengelola pendidikan dokter spesialis saraf.
Sebagai Ketua Konsilium Neurologi adalah Prof. Dr. Mahar Mardjono. Pada tahun 1996
nama Konsilium Neurologi berubah menjadi Kolegium Neurologi Indonesia (KNI), dengan
tugas membina dan mengelola pendidikan dokter spesialis spesialis saraf dan subspesialis
(konsultan). Sebagai Ketua KNI berturut-turut adalah sebagai berikut: periode 1997-2000
adalah Prof. Dr. Mahar Mardjono, DSS(K), periode 2000 - 2003 adalah dr. Merdias
Almatsier, Sp.S(K), periode 2003 - 2007 adalah dr. Samino, Sp.S(K), periode 2007 -2011
adalah Prof. dr. Harsono, Sp.S(K), dan periode 2011 -2015 adalah Prof, dr, Harsono,
Sp,S(K).
2
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
Sampai dengan tahun 2006, prosedur perizinan pendirian program pendidikan dokter
spesialis neurologi dimulai dengan penilaian kelayakan oleh Consorsium of Health Sciences
(CHS) yang kemudian memberi rekomendasi kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.
Setelah itu, prosedur perizinan melalui proses evaluasi meja (desk evaluation) dan visitasi
lapangan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) bersama-sama dengan Majelis Kolegium
Kedokteran Indonesia (MKKI) dan Kolegium Neurologi Indonesia (KNI), atas permintaan
dari Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi. Hasil evaluasi meja dan visitasi dilaporkan oleh
KKI kepada Dirketur Jenderal Pendidikan yang kemudian menerbitkan izin
penyelenggaraan program pendidikan dokter spesialis neurologi.
B. Latar Belakang
Sebagai konsekuensi terbitnya Undang-Undang Praktik Kedokteran (tahun 2004),
maka program pendidikan dokter spesialis neurologi (PPDSN) harus didukung oleh Standar
Pendidikan dan Standar Kompetensi. Untuk ini KNI telah menyusun buku Standar
Kompetensi Dokter Spesialis Saraf (tahun 2006) dan buku Standar Pendidikan Dokter
Spesialis Saraf (tahun 2007). Kedua buku standar tersebut telah direvisi oleh Komisi
Pengembangan Kurikulum KNI periode 2011-2015, dengan judul Standar Pendidikan
Dokter Spesialis Neurologi Indonesia dan Standar Kompetensi Dokter Spesialis Neurologi
Indonesia yang disyahkan tahun 2015. Di samping itu, kurikulum pendidikan dokter
spesialis neurologi tahun 2001 (yang sudah direvisi pada tahun 2003), telah pula direvisi
oleh Komisi Pengembangan Kurikulum KNI, dan disyahkan tahun 2015. Kurikulum ini
merupakan kurikulum inti yang harus dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan
pendidikan dokter spesialis neurologi di setiap Program Studi (Prodi) PPDSN di Indonesia
dalam menyusun kurikulum institusional.
Berdasarkan kurikulum Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi tahun 2015,
pendidikan dokter spesialis telah berkembang dengan program yang lebih rinci dan
dititikberatkan pada pendalaman neurosains dan penelitian Minis (terapan). Kurikulum
merupakan perangkat pendidikan yang dinamis. Perubahan kurikulum memang harus terjadi
3
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
seiring dengan dinamika perubahan masyarakat dan tuntutan global. Kurikulum yang statis
tidak akan memberi makna pencapaian tujuan pendidikan yang lebih baik. Kurikulum tidak
terlepas dari usaha terencana dan terancang dalam mempersiapkan masa depan peserta didik
untuk dapat berkembang dan berinteraksi secara harmonis dengan pasien, sumber
pembelajaran, lingkungan dan masyarakat di ternpat ia berada. Oleh karena itu, perlu
dilakukan revisi standar kompetensi dokter spesialis saraf dengan menggunakan berbagai
indikator keberhasilan atau pencapaian yang diatur dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK).
Pada gilirannya standar kompetensi yang dicapai setelah menyelesaikan pendidikan,
bukan saja berupa pengetahuan, melainkan juga keterampilan, nilai, serta pola berpikir dan
bertindak. Dengan demikian, kompetensi yang dimiliki para lulusan merupakan refleksi
pemahaman dan penghayatan dari bidang neurologi yang telah dipelajari selama proses
pendidikan serta pengalaman bermasyarakat.
C. Landasan Hukum
Landasan hukum yang dijadikan acuan dalam menyusun standar kompetensi dokter
spesialis neurologi di Indonesia adalah Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, serta
Peraturan Menteri yang terkait dengan dokter spesialis.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 35 ayat (1) menyebutkan bahwa standar nasional pendidikan
terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan
prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan
secara berencana dan berkala. Dalam penjelasan pasal 35 ayat (1) disebutkan bahwa standar
isi mencakup ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan ke dalam
persyaratan tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata
pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan
jenis pendidikan tertentu. Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan
4
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang
telah disepakati.
Surat keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional No. 1386/D/5/2004 merupakan tonggak pembaharuan dalam bidang pendidikan
kedokteran di Indonesia. Kompetensi, sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan
Menteri Pendidikan Nasional No 045/U/2002, adalah seperangkat tindakan cerdas dan
penuh tanggung jawab, yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh
masyarakat melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. Dalam bidang
kedokteran, kompetensi dokter adalah aplikasi pengetahuan yang diperlihatkan melalui
ketrampilan/kecakapan/ kemampuan profesional dalam hubungan antar orang, pengambilan
keputusan, psikomotor, moral dan etika yang dimiliki dokter dalam praktik, dalam konteks
kesehatan masyarakat, keselamatan, dan keamanan pasien.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi mengatur
beberapa hal yang berkenaan dengan sistem perguruan tinggi, termasuk pendidikan dokter
spesialis. Disebutkan bahwa Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) menjadi
acuan pokok dalam penetapan kompetensi lulusan pendidikan akademik, pendidikan vokasi
dan pendidikan profesi.
Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang KKNI, menyebutkan penyetaraan
capaian pembelajaran yang dihasilkan melalui pendidikan dengan jenjang kualifikasi pada
KKNI, bahwa lulusan spesialis setara dengan jenjang 8 atau 9. Peraturan Konsil Kedokteran
Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 tentang Penerapan KKNI untuk Pendidikan Kedokteran
juga menyebutkan bahwa kualifikasi sesuai KKNI untuk lulusan pendidikan profesi dokter
spesialis/subspesialis setara dengan S3 adalah jenjang 9. Sedangkan Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 73 Tahun 2013 tentang Penerapan KKNI Bidang
Pendidikan Tinggi menyebutkan bahwa lulusan pendidikan spesialis satu setara dengan
jenjang 8, dan lulusan pendidikan spesialis dua setara dengan jenjang 9.
5
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
D. Pengertian Umum
Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung jawab yang
dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam
melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu.
Dalam program pendidikan dokter spesialis neurologi, kompetensi mencakup
kemampuan berpikir, bersikap, dan bertindak secara konsisten sebagai perwujudan dari
pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dimiliki oleh peserta didik. Kompetensi
dinyatakan dalam berbagai indikator hasil pembelajaran atau pencapaian pembelajaran yang
diuraikan dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Berbagai hal pokok yang berkaitan
dengan kompetensi diuraikan dalam Bab berikutnya.
6
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
2. Standar kompetensi merupakan standar kompetensi minimal yang harus dicapai oleh
setiap lulusan melalui uji kompetensi dokter spesialis neurologi oleh Kolegium
Neurologi Indonesia (KNI).
3. Standar kompetensi merupakan acuan dasar bagi setiap dokter spesialis neurologi di
Indonesia dalam menjalankan profesinya.
7
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
BAB II
STANDAR KOMPETENSI
A. Prinsip Kompetensi
Kompetensi meliputi kemampuan dalam menunjukkan keterampilan, pengetahuan,
dan kemampuan lainnya, sehubungan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Consistency, kemampuan mengulang teknik-praktik dan keluaran yang sama;
2. Independence, kemampuan praktik tanpa bantuan pihak lain;
3. Timeliness, kemampuan praktik dalam jangka waktu tertentu demi keselamatan
penderita;
4. Accuracy, kemampuan praktik dengan menggunakan teknik yang benar untuk
mencapai tujuan yang diharapkan;
5. Appropriateness, kemampuan praktik sehubungan dengan standar klinik dan protokol
dalam ruang lingkup jurisdiksi praktik;
6. Accountability, kemampuan untuk memikul tanggung jawab profesi sesuai dengan
prinsip-prinsip keselamatan pasien.
B. Katagori Kompetensi
Dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No 045/U/2002 pasal
2 ayat (1) disebutkan bahwa kompetensi hasil didik suatu program studi terdiri atas
kompetensi utama, kompetensi pendukung, dan kompetensi lain yang bersifat khusus dan
gayut dengan kompetensi utama.
1. Kompetensi utama
Kompetensi utama merupakan kompetensi penciri lulusan program studi neurologi,
sebagai pembeda dengan program studi lainnya. Kompetensi utama ini berkisar
antara 40-80% dari keseluruhan kompetensi.
8
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
2. Kompetensi pendukung
Kompetensi pendukung adalah kompetensi yang ditambahkan oleh program studi
neurologi untuk memperkuat kompetensi utamanya dan memberi ciri keunggulan
program studi tersebut. Kompetensi pendukung ini dapat berkisar antara 20 - 40%
dari keseluruhan kompetensi.
3. Kompetensi lain yang bersifat khusus dan gayut dengan kompetensi utarna, yaitu
kompetensi lulusan yang ditetapkan oleh perguruan tinggi/ program studi sendiri
sebagai ciri lulusannya dan untuk memberi bekal lulusan agar mempunyai keluasan
dalam memilih bidang kehidupan serta dapat meningkatkan kualitas hidupnya.
Kompetensi ini berkisar antara 0-30% dari kompetensi secara keseluruhan.
Kompetensi pendukung, dan kompetensi lain yang bersifat khusus dan gayut
dengan kompetensi utama program studi neurologi ditetapkan oleh institusi penyelenggara
program studi.
C. Elemen Kompetensi
Sesuai Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 045/ U/2002 pasal 2 ayat
(2) disebutkan adanya 5 (lima) elemen kompetensi, yaitu:
1. Landasan kepribadian, dalam mata kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK);
2. Penguasaan ilmu dan keterampilan, dalam mata kuliah Keilmuan dan Ketrampilan
(MKK);
3. Kemampuan berkarya, dalam mata kuliah Keahlian Berkaya (MKB);
4. Sikap, perilaku dan akuntabilitas dalam berkarya menurut tingkat keahlian
berdasarkan ilmu dan ketrampilan yang dikuasai, dalam mata kuliah Perilaku
Berkarya (MPB);
5. Pemahaman kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian
dalam berkarya, dalam mata kuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB).
9
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
F. Standar Kompetensi
Dalam bidang pendidikan, terdapat dua jenis standar, yaitu standar akademik
(academic content standard) dan standar kompetensi (performance standard). Standar
akademik merefleksikan pengetahuan dan ketrarnpilan esensial setiap disiplin ilmu yang
harus dipelajari dan dikuasai oleh seluruh peserta didik. Sedangkan standar kompetensi
ditujukan dalam bentuk proses dan hasil kegiatan yang ditunjukkan oleh peserta didik
sebagai penerapan pengetahuan dan ketrarnpilan yang telah dipelajarinya.
Secara operasional, standar kompetensi merupakan standar kemampuan minimal
dan memadai yang harus dipunyai oleh seorang dokter spesialis dalam bentuk:
1. Pengaplikasian pengetahuan dan ketrarnpilan yang diperlukan pada tingkat atau situasi
yang khusus;
2. Pendemonstrasian tanggung jawab dan tanggung gugat dalam praktik dan pengambilan
keputusan;
10
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
G. Capaian Pembelajaran
Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Presiden No.8 Tahun 2012 tentang KKNI,
penyetaraan capaian pembelajaran yang dihasilkan melalui pendidikan dengan jenjang
kualifikasi pada KKNI, lulusan spesialis setara dengan jenjang 8 atau 9. Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 tentang Penerapan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia (KKNI) untuk Pendidikan Kedokteran pasal 4 menyebutkan bahwa
kualifikasi sesuai KKNI untuk lulusan pendidikan profesi dokter spesialis/subspesialis
setara dengan S3 adalah jenjang 9. Sedangkan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Nomor 73 Tahun 2013 tentang Penerapan KKNI Bidang Pendidikan
Tinggi Pasal 3 Ayat 4, lulusan pendidikan spesialis satu setara dengan jenjang 8, dan lulusan
pendidikan spesialis dua setara dengan jenjang 9. Berbagai upaya untuk pencapaian jenjang
tersebut diserahkan kepada masing-masing prodi pendidikan dokter spesialis neurologi.
11
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
Beberapa hal yang terkait secara langsung dengan KBK adalah sebagai berikut:
1. Penetapan standar kompetensi peserta didik;
2. Pengembangan kurikulum inti;
3. Penilaian hasil belajar secara nasional;
4. Penyusunan pedoman pelaksanaan KBK;
5. Penetapan standar materi pelajaran pokok, penetapan kalender pendidikan dan
jumlah jam belajar setiap semester.
I. Ciri-ciri KBK
Ciri-ciri KBK adalah sebagai berikut:
1. Kompetensi dinyatakan secara jelas dalam proses pembelajaran, baik secara
individual maupun klasikal;
2. Kurikulum berorientasi pada keluaran belajar (outcome-based curriculum);
3. Proses pembelajaran memberi bekal untuk tercapainya kompetensi;
4. Proses pembelajaran melalui clinical teaching yang bersifat menyeluruh dan terpadu
sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai, dengan pendekatan student-centered
learning yang variasinya meliputi independent learning, collaborative learning,
cooperative learning, case-based learning (pada hakekatnya adalah problem
solving), dan problem-based learning;
5. Seluruh aktivitas pembelajaran dijiwai oleh self-directed learning dan adult learning.
Pendekatan tersebut akan memudahkan peserta didik mencapai kompetensi yang
ditetapkan oleh kurikulum;
6. Proses pembelajaran lebih mengutamakan keterpaduan penguasaan ranah kognitif,
afektif, dan psikomotorik;
7. Sumber belajar tidak hanya guru, tapi juga sumber belajar lain yang memenuhi unsur
edukatif;
8. Proses penilaian hasil belajar lebih ditekankan pada kemampuan untuk
mendemonstrasikan keterpaduan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.
12
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
13
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
14
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
BAB III
PENCAPAIAN KOMPETENSI
A. PENGALAMAN PEMBELAJARAN
Kegiatan pembelajaran merupakan proses aktif dan interaktif antara peserta didik
PPDSN dan dosen untuk mengembangkan potensi, sehingga mereka memahami dan
menguasai pengetahuan serta memiliki kemam-puan untuk melakukan sesuatu, baik secara
akademik maupun profesi-onal. Untuk pencapaian kompetensi melalui pengalaman
pembelajaran dapat bersifat one-to-one learning, one-to-many learning, maupun many-to-
many learning.
Rincian tahapan pencapaian kompetensi dan pengalaman pembelajaran adalah
sebagai berikut:
1. Tahap pembekalan: semester I
a. Mata Kuliah Dasar Umum;
b. Pendidikan Gawat Darurat;
c. Pembelajaran terkait akreditasi, misalnya patient safety, Undang-Undang Praktik
Kedokteran.
2. Tahap magang: semester II s/d VI
a. Semester II dan III: tugas bangsal (neuro-anatomi, pemeriksaan fisik neurologi,
rencana pemeriksaan penunjang, diagnosis banding, diagnosis, rencana terapi,
rencana rujukan, kegawatdaruratan terkait kasus neurologi);
b. Semester IV: tugas rawat jalan, presentasi poster acara ilmiah nasional;
c. Semester V: laboratorium EEG, laboratorium EMG, Neurobehavior;
d. Semester VI: rotasi di divisi dan departemen lain yang terkait dengan neurologi
(psikiatri, radiologi, neuropediatri, bedah saraf, ortopedi, penyakit dalam,
kardiologi, rehabilitasi medik).
15
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
B. EVALUASI
Evaluasi hasil pembelajaran (student assessment) dapat berupa :
1. Portofolio;
2. Observasi oleh dosen/pembimbing secara langsung (observasi pasif, mengajukan
pertanyaan);
16
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
Sistem evaluasi secara rinci telah diatur dalam Buku Standar Pendidikan
Dokter Spesialis Neurologi Indonesia (Revisi Tahun 2015)
17
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
BAB IV
KARAKTERISTIK PENCAPAIAN KOMPETENSI
A. KATAGORI KOMPETENSI
Seperti telah diuraikan Bab sebelumnya, bahwa kompetensi hasil didik suatu
program studi terdiri atas kompetensi utama, kompetensi pendukung, dan kompetensi lain
yang bersifat khusus dan gayut dengan kompetensi utama. Karakteristik pencapaian
kompetensi berdasarkan katagori kompetensi tersebut adalah sebagai berikut.
1. Kompetensi Utama
a. Mampu mengembangkan pengetahuan, teknologi, dan/atau seni baru di dalam
bidang neurologi atau praktik profesionalnya melalui penelitian, hingga
menghasilkan karya kreatif, original dan teruji.
1) mampu memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini
guna meningkatkan ketrampilan klinik praktis dalam bidang spesialisasi
neurologi;
2) mampu mengembangkan ilmu pengetahuan baru melalui kegiatan penelitian
dalam bidang spesialisasi neurologi;
3) mampu mengembangkan teknologi kedokteran baru yang inovatif,
kreatif dan teruji dalam bidang spesialisasi neurologi melalui kegiatan
penelitian dalam bidang spesialisas neurologi.
b. Mampu memberikan solusi segala permasalahan sains, teknologi, dan atau seni di
dalam bidang neurologi melalui pendekatan inter, multi, dan transdisipliner.
1) mampu merangkum interpretasi anamnesis, pemeriksaan fisik, uji
laboratorium, dan pemeriksaan penunjang yang sesuai spesialisasi, untuk
menegakkan diagnosis, dengan mengacu pada evidence-based medicine',
18
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
19
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
B. JENIS KOMPETENSI
Jenis kompetensi meliputi 3 (tiga) kelompok kompetensi, yaitu kompetensi
dasar, kompetensi penunjang, dan kompetensi lainnya.
1. Kompetensi dasar diuraikan dalam 2 (dua) kelompok, yaitu (a) kelompok umum dan
profesional, serta (b) kelompok berdasarkan gangguan atau penyakit.
a. Kelompok umum dan profesional, terdiri dari 17 (tujuhbelas) kompetensi dasar.
Rincian jenis kompetensi dan indikator hasil pembelajarannya dapat dibaca pada
Lampiran 2 (Tabel 2.1- 2.22 ). Kelompok ini meliputi:
1) anamnesis (Tabel 2.1);
2) pemeriksaan neurologik (Tabel 2.2);
3) keterampilan berkomunikasi (Tabel 2.3);
4) diagnosis banding, pemeriksaan lebih lanjut dan manajemen awal (Tabel 2.4);
20
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
21
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
22
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
2. Kompetensi penunjang
Kompetensi penunjang merupakan kategori kompetensi yang diperlukan untuk dapat
menunjang pencapaian kompetensi dasar. Jenis kompetensi ini terdiri dari 11 (sebelas)
kompetensi penunjang. Rincian jenis kompetensi dan indikator hasil pembelajarannya
dapat dibaca pada Lampiran 4 (Tabel 4.1- 4.11). Kompetensi penunjang ini meliputi:
1) neurofisiologi klinik (Tabel 4.1);
2) neuro-intervensi (Tabel 4.2);
3) neuro-endokrinologi (Tabel 4.3);
4) neurogenetik (Tabel 4.4);
5) neuro-intensif dan neuro-emergensi(Tabel 4.5);
6) neuro-otologi (Tabel 4.6);
7) neuropediatri (Tabel 4.7);
8) neuro-imaging (Tabel 4.8);
9) neurorestorasi (Tabel 4.9);
10) neuro-urologi (Tabel 4.10);
11) neuro-imunologi (Tabel 4.11).
3. Kompetensi lainnya
Kompetensi ini disesuaikan dengan karakteristik program studi neurologi masing-
masing, misalnya penyakit dekompresi (caisson disease) (Lampiran 5, Tabel 5.1).
23
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
Tingkat Kemampuan 1
Mampu mengenali dan menjelaskan gambaran klinik penyakit, dan mengetahui cara
yang paling tepat untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai penyakit tersebut,
selanjutnya menentukan rujukan subspesialistik dan tindak lanjut pasca rujukan.
Tingkat Kemampuan 2
Mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan menentukan
rujukan subspesialistik yang paling tepat bagi penanganan pasien serta tindaklanjut pasca
rujukan.
Tingkat Kemampuan 3
Mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan
bukan gawat darurat, menentukan rujukan subspesialistik yang paling tepat bagi
penanganan pasien dan tindak lanjut pasca rujukan.
Tingkat Kemampuan 4
Mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut
secara mandiri dan tuntas.
24
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
Sedangkan tingkat kemampuan dasar kelompok penunjang yang harus dicapai (Tabel
6.2) dikatagorikan dalam 4 (empat) tingkatan sebagai berikut:
Tingkat Kemampuan 1
Mengetahui dan menjelaskan tentang ketrampilan klinik tersebut (prinsip, indikasi, dan
komplikasi yang mungkin timbul).
Tingkat Kemampuan 2
Pernah melihat dan mengamati atau didemonstrasikan tentang ketrampilan klinik tersebut
Tingkat Kemampuan 3
Pernah melakukan atau menerapkan ketrampilan klinik tersebut dibawah supervisi
Tingkat Kemampuan 4
Mampu melakukan secara mandiri keterampilan klinik tersebut dengan menguasai seluruh
teori, prinsip, indikasi, langkah-langkah cara melakukan, komplikasi, dan pengendalian
komplikasi.
25
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
BAB V
PENUTUP
Standar Kompetensi Dokter Spesialis Neurologi Indonesia in: merupakan revisi dari
Standar Kompetensi Dokter Spesialis Saraf Tanur 2006 yang disahkan oleh KKI dengan
Keputusan KKI Nomor 27/KKI/Kep/IV/2008 tentang Pengesahan Standar Pendidikan dan
Stanaar Kompetensi Dokter Spesialis Saraf. Standar Kompetensi Dokter Spesialis Neurologi
Indonesia yang telah direvisi ini disusun oleh Kolegium Neurologi Indonesia dan dalam
penyusunannya telah berkoordinasi dengar pemangku kepentingan atau pengandil terkait
lainnya sesuai tiengar. ketentuan peraturan perundang-undangan.
Standar Kompetensi Dokter Spesialis Neurologi Indonesia merupakar standar
kompetensi minimal yang harus dicapai oleh setiap lulusar. Program Pendidikan Dokter
Spesialis Neurologi di Indonesia. Ketentuan mengenai pemenuhan Standar Kompetensi
Dokter Spesialis Neurologi Indonesia oleh institusi penyelenggara Program Pendidikan
Dokter Spesialis Neurologi dilakukan melalui uji kompetensi Dokter Spesialis Neurologi
oleh Kolegium Neurologi Indonesia (KNI).
Standar Kompetensi Dokter Spesialis Neurologi dicapai melalui kurikulum yang
dijalankan selama proses pendidikan dokter spesialis neurologi. Dengan demikian standar
kompetensi ini merupakan pedoman bagi seluruh program studi yang mengelola Program
Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi di Indonesia, sebagai bahan uji kompetensi dan
pedoman dalam penentuan kelulusan peserta didik, serta sebagai acuan dasar bagi setiap
dokter spesialis neurologi di Indonesia dalam menjalankan profesinya.
Standar kompetensi bersifat dinamis, dengan arti ada kecenderungan untuk
rnengalami perubahan, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang kedokteran dan tuntutan pemangku kepentingan.
26
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Biller J et al. De Myer's Neurologic Examination, 6th ed. McGraw-Hill Companies, Inc.
New York, 2011.
2. Campbell, WW. DeJong's The Neurologic Examination, 6th ed. Lippincott Williams &
Wilkins, 2005.
3. Daroff RB et al. Bradley's Neurology in Clinical Practice 6th ed. Elsevier Saunders,
Philadelphia, 2012.
4. Joint Royal Colleges of Physicians Training Board. Specialty Training Curriculum for
Neurology. London, 2007
5. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 232/U/2000 tahun
2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil
Belajar Mahasiswa.
6. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 045/U/2002 tahun
2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi.
7. Kolegium Neurologi Indonesia (KNI). Standar Kompetensi Dokter Spesialis Saraf
Tahun 2006. Jakarta, 2006.
8. Lee K. Neuro ICU Books. McGraw-Hill Companies, Inc. New York 2012.
9. Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 73 tahun 2013 tentang
Penerapan KKNI Bidang Pendidikan Tinggi.
10. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 tentang Penerapan
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) untuk Pendidikan Kedokteran.
11. Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia.
12. Posner JB et al. Plum and Posner's Diagnosis of Stupor and Coma 4th ed. Oxford
University Press, New York, 2007.
13. Ropper AH et al. Adam and Victor's Principles of Neurology, 10th ed. McGraw-Hill
education, New York, 2014.
14. Sub Direktorat KPS (Kurikulum dan Program Studi). Direktorat Akademik Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi. Buku Panduan Pengembangan Kurikulum Berbasis
Kompetensi Pendidikan Tinggi (Sebuah alternatif penyusunan kurikulum), Jakarta
2008.
15. Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional Nomor 1386/D/5/2004.
16. Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 045/U/2002
17. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi.
18. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
27
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
STANDAR KOMPETENSI
DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI INDONESIA
LAMPIRAN 1
KOMPETENSI
28
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
Lampiran 1
KOMPETENSI
Area
No. Komponen Kompetensi
Kompetensi
1 Pengetahuan - Memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru dan lebih maju
kedokteran di bidang neurologi
- Memiliki kemampuan menyelesaikan masalah di bidang
neurologi berlandaskan ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru
dan lebih rnaju di bidang neurologi
2 Keterampilan - Menunjukkan kecakapan dalam hal anamnesis Melakukan
klinik perneriksaan fisik secara efektif
- Menunjukkan kemampuan dalam pendekatan diagnostik
- Menunjukkan kecakapan dalam hal ketrampilan teknik
perneriksaan' penunjang
3 Kecakapan untuk - Menunjukkan kecakapan dalam hal penalaran klinik
mengambil - Membuat keputusan diagnostik dan terapetik yang tepat
keputusan klinik - Memahami keterbatasan pengetahuan yang dimiliki seseorang
- Memperhatikan dan mempertimbangkan analisis risiko dan
biaya yang ditanggung oleh pasien
4 Keterampilan - Memiliki kemampuan berkomunikasi secara efektif dan santun
interpersonal dengan pasien dan keluarganya
- Memiliki kemampuan berkomunikasi dengan sejawat, tenaga
kesehatan lainnya, dan dinas atau instansi kesehatan terkait
5 Sikap dan a. Akuntabilitas
perilaku - Profesi Bertanggung jawab atas tugas yang diembannya
profesional - Membuat rekam medik secara lengkap, tepat waktu, dan mudah
terbaca oleh pihak lain
- Siap dan bersedia untuk berperan sebagai konsultan terhadap
sejawat dan profesi kesehatan lainnya apabila diperlukan
- Memberi kesempatan, membantu dan memudahkan pasien dan
keluarganya, mahasiswa, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya,
untuk belajar atau memahami sesuatu yang terkait dengan
profesinya di bidang neurologi
b. Pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning) Memiliki
kemampuan untuk mengevaluasi secara kritis setiap informasi
terbaru di bidang kedokteran dan ilmiah lainnya yang gayut
dengan praktik kedokteran di bidang neurologi dan
penerapannya Memiliki ketrampilan dan pengalaman dalam hal
29
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
Area
No. Komponen Kompetensi
Kompetensi
evaluasi diri tentang pengetahuan mutakhir di bidang neurologi
dan ketrampilan klinik
c. Menjunjung tinggi kemanusiaan
- Mampu menunjukkan integritas dan kejujuran
- Mampu menunjukkan empati kepada pasien & keluarganya
- Mampu menunjukkan sikap menghargai hak pribadi pasien
- Mampu menunjukkan sikap dalam menghargai pasien sebagai
individu, termasuk budaya, jenis kelamin, dan umur
d. Perilaku bermoral, beretika, dan taat hukum Mampu berperilaku
dan bersikap sesuai dengan standar moral dan perilaku etika
secara konsisten Mentaati perundang-undangan dan aturan yang
berlaku
e. Keselamatan pasien (patient safety) Menunjukan kepedulian
dan berpartisipasi dalam mengupayakan keselamatan pasien
Menyadari keterbatasan kompetensinya dalam menangani pasien
6 Keterampilan - Mampi bekerja di unit kerja pelayanan kesehatan secara efektif
manajerial dan efisien
- Mampu menggunakan teknologi informasi untuk kepentingan
perawatan pasien, pembelajaran sepanjang hayat, dan aktivitas
lainnya
- Memiliki ketrampilan kerja dasar yang penting untuk
manajemen secara efektif
7 Advokasi dan - Memiliki kemampuan untuk mempromosikan kesehatan dan
edukasi pencegahan penyakit, baik individual mapun komunitas
kesehatan - Mampu membantu dan memberi nasihat untuk kepentingan
pasien
8 Penghayatan - Mampu mengelola dokumen medik secara lengkap dan mudah
praktik terbaca (patient-oriented medical record)
kedokteran
9 Wawasan yang - Memiliki kemampuan berfikir strategis, kritis, dan tidak bersikap
luas apriori
30
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
31
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
STANDAR KOMPETENSI
DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI INDONESIA
LAMPIRAN 2
KOMPETENSI DASAR:
Kelompok Umum dan Profesional
32
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
Lampiran 2
KOMPETENSI DASAR:
Kelompok Umum dan Profesional
33
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
Tabel 2.4 Diagnosis Banding, Pemeriksaan Lebih Lanjut dan Manajemen Awal
Materi pokok Kompetensi Dasar Indikator Hasil Pembelajaran
Diagnosis Mampu melakukan a. Mampu rnenganalisis formulasi urutan diagnosis
banding, penatalaksanaan banding berdasarkan kondisi pasien (termasuk
pemeriksaan awal berdasarkan ras, sosial, etnis), riwayat penyakit dahulu, dan
lebih lanjut dan diagnosis banding masalah terbaru, serta kemungkinan penyebabnya
manajemen dan hasil b. Mampu rnenganalisis perbedaan manifestasi
awal pemeriksaan berbagai penyakit saraf yang tercantum dalam
lanjutan yang diagnosis banding
direncanakan c. Mampu melakukan perencanaan pemeriksaan
penunjang yang relevan dan memiliki dasar
rasional untuk menyingkirkan diagnosis banding
d. Mampu rnenganalisis hasil konsultasi dengan
sejawat lain terkait diagnosis banding yang dibuat
dengan mengutamakan kepentingan pasien.
e. Mampu melakukan observasi dan penatalak-
sanaan awal dengan efektif untuk mengatasi
kegawatan pasien berdasarkan urutan diagnosis
banding dan alasan yang rasional
f. Mampu menunjukkan kemampuan dalam
mengoordinasi tim medis dan yuniornya
34
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
35
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
36
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
37
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
38
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
39
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
40
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
41
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
42
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
43
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
44
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
STANDAR KOMPETENSI
DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI INDONESIA
LAMPIRAN 3
KOMPETENSI DASAR:
Kelompok Berdasarkan Gangguan atau
Penyakit
45
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
Lampiran 3
KOMPETENSI DASAR:
Kelompok Berdasarkan Gangguan atau Penyakit
Tabel 3.1 Neurotraumatologi
46
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
47
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
48
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
49
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
50
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
51
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
52
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
53
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
Manajemen rabies
a. Mampu menyimpulkan diagnosis disertai diagnosis
banding kasus rabies
b. Mampu melaksanakan terapi preventif, suportif dan
simtomatik pada rabies
c. Mampu merencanakan dosis dan cara pemberian
vaksin dan serum antirabies (VAR dan SAR)
d. Mampu menguraikan informasi yang jelas kepada
keluarga penderita tentang rabies dan prognosisnya
e. Mampu membuat laporan kepada Direktur Rumah
Sakit dan Kepala Dinas Kesehatan setempat
Manaiemen HIV/Neuro-AIDS
a. Mampu menjelaskan epidemiologi HIV/AIDS
b. Mampu menyimpulkan kelainan infeksi langsung
atau oportunistik
c. Mampu merencanakan pemeriksaan HIV dan CD4
(diagnosis fase I, II, III, IV)
d. Mampu merencanakan pemeriksaan penunjang,
misal ELIZA, Western blot analysis, IFA, RIPA, X-
ray thoraks
e. Mampu menyimpulkan diagnosis demensia dengan
54
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
55
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
Tetanus
a. Mampu menyimpulkan diagnosis dan diagnosis
banding kasus tetanus
b. Mampu melaksanakan rujukan pada bidang terkait
dalam tatalaksana tetanus
c. Mampu melaksanakan terapi kausatif dan suportif/
simtomatik pada tetanus
d. Mampu menjelaskan dosis dan cara pemberian
vaksin dan serum and tetanus
56
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
57
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
58
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
59
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
60
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
61
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
62
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
Sindroma Guillain-Barre
a. Mampu melakukan penatalaksanaan kasus sindrom
Guillain-Barre secara holistik dan sesuai standar
prosedur operasional.
b. Mampu menjelaskan patogeiiesis, patofisiologi dan
kelainan molekuler sindrom Guillain-Barre (SGB)
c. Mampu menyimpulkan gejala dan tanda klinik SGB
dan variannya
d. Mampu menafsirkan hasil pemeriksaan pungsi
lumbal yang dilaksanakan sendiri
e. Mampu menafsirkan hasil pemeriksaan EMG, KHS
(termasuk F-wave) yang dilakukan sendiri
f. Mampu menangani kasus GBS termasuk perawatan
intensif di ICU bila terdapat ancaman gagal nafas
g. Mampu menangani kasus SGB dengan terapi
spesifik berupa pemberian Ig intravena atau
plasmaparesis
h. Mampu menangani pencegahan komplikasi
i. Mampu merencanakan program fisioterapi
63
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
64
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
Miastenia Gravis
a. Identifikasi patogenesis, patofisiologi dan kelainan
molekular miastenia gravis
b. Mengidentifikasi gejala dan tanda klinik miastenia
gravis
c. Identifikasi miastenia gravis berdasarkan
klasifikasinya
d. Melakukan manuver pemeriksaan untuk membantu
diagnosis seperti uji Wallenberg, Cogan sign, Hering
sign, dan tes berhitung
e. Melakukan uji tensilon atau uji neostigmin/
prostigmin
f. Melakukan pemeriksaan EMG berupa uji Harvey-
Masland
g. Menganjurkan pemeriksaan single fibre bila uji
Harvey-Masland negatif
h. Menentukan diagnosis banding
i. Memberikan pengobatan yang sesuai dengan respon
lerhadap terapi
j. Melakukan pencegahan terhadap timbulnya krisis
miastenia dan menangani krisis miastenia dan
membedakan dengan krisis kholinergik
k. Menganjurkan tindakan limektomi pada pasien
dengan timoma, miastenia umum, dan yang tidak
berespon dengan terapi medikamentosa.
65
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
66
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
STANDAR KOMPETENSI
DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI INDONESIA
LAMPIRAN 4
KOMPETENSI PENUNJANG
67
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
Lampiran 4
KOMPETENSI PENUNJANG
Brain Mapping
Mampu melakukan tahapan pemeriksaan brain
maping dengan supervisi sesuai standar prosedur
68
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
Polisomnografi
Mampu melaksanakan pemeriksaan gangguan
tidur: Epworth sleepiness scale, nocturnal
polysomnography, multiple sleep latency test
(MSLT), repeated test of sustained wakefulness
(RTSW), pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan polisomnografi, dengan supervisi
69
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
Injeksi botox
Mampu melakukan tindakan injeksi botox dengan
supervisi sesuai lokasi topis neuroanatomi secara
tepat
a. Mampu mendesain rencana lokasi injeksi
b. Mampu menyimpulkan kelainan tonus otot
c. Mampu menyimpulkan diagnosis kelainan
gerak
d. Mampu menyimpulkan diagnosis spastisitas
e. Mampu membedakan dan memilih otot-otot
sekitar mata dan mulut pada spasme hemifasial
dan blefarospasme
70
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
Neuro-intervensi vaskular
Mampu mendiagnosis kasus neurologi yang layak
menjadi kandidat tindakan neurointervensi
vaskuler dengan memperhatikan syarat, indikasi
dan kontraindikasinya
a. Mampu menjelaskan syarat, indikasi dan
kontra-indikasi tindakan neurointervensi
vaskuler intrakranial
b. Mampu melaksanakan trombolisis intravena
secara mandiri dengan memperhatikan syarat,
indikasi dan kontraindikasi tindakan tersebut
c. Mampu menentukan kasus perujukan yang
perlu mendapatkan tindakan neurointervensi
vaskuler khusus pada ahli/ subspesialistik
neurointervensi dengan memperhatikan aturan
prosedur perujukan
d. Mampu melakukan observasi pada pasien
paska tindakan neurointervensi khusus terkait
efek samping dan komplikasi pascaprosedur
sesuai standar operasional prosedur dalam
supervisi subspesialistik
e. Mampu menjelaskan tujuan dan manfaat
tindakan neurointervensi kepada pasien dan
keluarga pasien dengan bahasa mudah
dipahami dan beretika
71
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
72
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
73
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
74
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
75
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
76
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
77
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
Multiple Sclerosis
• Mampu melakukan penatalaksanaan kasus
multiple sclerosis secara holistik dan sesuai
standar prosedur operasional
a. Mampu menjelaskan epidemiologi multiple
sclerosis
b. Mampu menjelaskan patogenesis,
patofisiologi dan kelainan molekuler
multiple sclerosis
c. Mapu menyimpulkan gejala dan tanda
klinis multiple sclerosis
d. Mampu menjelaskan kriteria diagnosis
multiple sclerosis
e. Mampu merencanakan pemeriksaan
penunjang radiologi berupa MRI dan MRS
dengan dasar indikasi yang jelas
f. Mampu melaksanakan pungsi lumbal dan
analisis cairan serebrospinal umum dan
khusus (indeks IgG, oligoclonal band)
g. Mampu melaksanakan pemeriksaan evoked
potential (VEP, SSEP, BAEP) dengan
supervisih.
h. Mampu menangani kasus multiple
sclerosis dengan prioritas pencegahan
kekambuhan dan progresivitas ( immu-
nomodulatory drugs, plasmaferesis, IVIg)
dan terapi simtomatik
i. Mampu merencanakan rehabilitasi baik
terapi fisik maupun okupasi Mampu
menjelaskan tentang penyakit dan
prognosis pada pasien dan keluarga pasien
78
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
STANDAR KOMPETENSI
DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI INDONESIA
LAMPIRAN 5
KOMPETENSI LAIN
79
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
Lampiran 5
KOMPETENSI LAIN
80
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
STANDAR KOMPETENSI
DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI INDONESIA
LAMPIRAN 6
DAFTAR CAPAIAN KOMPETENSI
81
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
Lampiran 6
DAFTAR CAPAIAN KOMPETENSI
Tingkat
No. Kelompok gangguan atau penyakit kemampuan
1 2 3 4
1 Neurotraumatologi (Tabel 3.1)
2 Nyeri kepala (Tabel 3.2)
3 Gangguan kesadaran (Tabel 3.3)
4 Gangguan tidur (Tabel 3.4)
5 Gangguan fungsi luhur dan perilaku (Tabel 3.5)
6 Kejang dan epilepsi (Tabel 3.6)
7 Stroke dan gangguan neurovaskular lain (Tabel 3.7)
8 Tumor susunan saraf (neuro-onkologi) (Tabel 3.8)
9 Infeksi susunan saraf (neuro-infeksi) (Tabel 3.9)
10 Gangguan serebrospinal (Tabel 3.10)
11 Demielinasi dan vaskulitis (Tabel 3.11)
12 Komplikasi neurologik imunosupresi (Tabel 3.12)
13 Parkinsonisme dan gangguan gerak (Tabel 3.13)
14 Penyakit motor neuron (Tabel 3.14)
82
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
Tingkat
No. Kelompok gangguan atau penyakit kemampuan
1 2 3 4
15 Gangguan metabolik dan toksik (Tabel 3.15)
16 Gangguan saraf kranialis (I-XII) (Tabel 3. 16)
17 Gangguan neuro-oftalmologik (Tabel 3.17)
18 Gangguan kolumna vertebralis, medula spinalis, radiks, dan
cedera spinal (Tabel 3.18)
19 Gangguan sistem saraf tepi (Tabel 3.19)
20 Gangguan sistem saraf otonom (Tabel 3.20)
21 Gangguan otot (Tabel 3.21)
22 Nyeri (Tabel 3.22)
Tingkat kemampuan 1:
Mampu mengenali dan menjelaskan gambaran klinik penyakit, dan mengetahui cara
yang paling tepat untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai penyakit tersebut,
selanjutnya menentukan rujukan subspesialistik dan tindak lanjut pasca rujukan.
Tingkat Kemampuan 2:
Mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan menentukan
rujukan subspesialistik yang paling tepat bagi penanganan pasien serta tindaklanjut pasca
rujukan.
Tingkat Kemampuan 3:
Mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan
bukan gawat darurat, menentukan rujukan subspesialistik yang paling tepat bagi
penanganan pasien dan tindak lanjut pasca rujukan.
Tingkat Kemampuan 4:
Mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut
secara mandiri dan tuntas.
83
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
Tingkat
No. Kelompok penunjang kemampuan
1 2 3 4
1 Neurofisiologi klinik (Tabel 4.1)
1 . 1 EEG (Elektroensefalografi)
1.2 Brain mapping
1.3 PSG (Polisomnografi)
1.4 ENMG (Elektroneuromiografi)
1.5 EP (Evoked potentials)
2 Neuro-intervensi (Tabel 4.2)
2.1 Injeksi intra-artikulef
2.2 Injeksi botox
2.3 Neurointervensi vaskuler spesialistik
2.4 Neurointervensi vaskuler subspesialistik
3 Neuro-endokrinologi (Tabel 4.3)
4 Neurogenetik (Tabel 4.4)
5 Neuro-intensif dan neuro-emergensi(Tabel 4.5)
6 Neuro-otologi (Tabel 4.6)
7 Neuropediatri (Tabel 4.7)
84
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
Tingkat
No. Kelompok penunjang kemampuan
1 2 3 4
8 Neuro-imaging (Tabel 4.8)
9 Neurorestorasi (Tabel 4.9)
10 Neuro-urologi (Tabel 4.10)
11 Neuro-imunologi (Tabel 4.1 1)
11.1 Miastenia gravis
11.2 Multiple sclerosis
Tingkat Kemampuan 1
Mengetahui dan mampu menjelaskan tentang ketrampilan klinik tersebut (prinsip, indikasi,
dan komplikasi yang mungkin timbul).
Tingkat Kemampuan 2
Pernah melihat dan mengamati atau didemonstrasikan tentang ketrampilan klinik tersebut
Tingkat Kemampuan 3
Pernah melakukan atau menerapkan ketrampilan klinik tersebut dibawah supervisi
Tingkat Kemampuan 4
Mampu melakukan secara mandiri keterampilan klinik tersebut dengan menguasai seluruh
teori, prinsip, indikasi, langkah-langkah cara melakukan, komplikasi, dan pengendalian
komplikasi.
85
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA
STANDAR KOMPETENSI
DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI
INDONESIA
(Revisi Tahun 2015)
86