Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu farmasi adalah ilmu yang mempelajari cara membuat,
mencampur, meracik formulasi obat, identifikasi, kombinasi, analisis dan
standarisasi/pembakuan obat serta pengobatan, termasuk pula sifat-sifat obat
dan distribusinya serta penggunaan yang aman (Syamsuni, 2006). Dalam
ilmu farmasi kita juga mempelajari sifat-sifat fisik suatu molekul zat karena
merupakan dasar dalam penyusunan formula sediaan obat karena sifat fisika
molekul obat lah yang akan memengaruhi aspek-aspek formulasi zat obat
menjadi sebuah sediaan farmasi yang memenuhi syarat. Sifat fisika molekul
zat ini dibahas lebih dalam ilmu farmasi fisika.
Farmasi Fisika adalah kajian atau cabang ilmu hubungan antara
fisika (sifat-sifat Fisika) dengan kefarmasian (sediaan Farmasi,
farmakokinetik, serta farmakodinamiknya) yang mempelajari tentang
analisis kualitatif serta kuantitatif senyawa organik dan anorganik yang
berhubungan dengan sifat fisikanya serta menganalisis pembuatan dan
pengujian hasil akhir dari sediaan obat. Sifat-sifat fisika dari suatu senyawa
obat mencakup momen dipol, konstanta dielektrikum, indeks bias, rotasi
optik, massa jenis, titik lebur, titik didih, pH, dan kelarutan (Santi, 2016).
Kelarutan adalah zat dalam bagian tertentu pelarut, kecuali
dinyatakan lain menunjukkan bahwa 1 bagian bobot zat padat atau 1 bagian
volum zat cair larut dalam bagian volume tertentu pelarut (Dirjen POM,
1995).
Kelarutan suatu senyawa bergantung pada sifat fisika dan kimia zat
terlarut dan pelarut, juga bergantung pada faktor temperatur, tekanan, pH,
larutan dan untuk jumlah yang lebih kecil bergantung pada hal terbaginya
zat terlarut. (Martin, 1993).
Suatu zat dapat larut ke dalam dua macam pelarut yang keduanya
tidak saling bercampur. Jika kelebihan cairan atau zat padat ditambahkan ke
dalam campuran dari dua cairan tidak bercampur, zat itu akan mendistribusi

1
diri diantara dua fase sehingga masing-masing menjadi jenuh. Jika zat itu
ditambahkan ke dalam pelarut tidak bercampur dalam jumlah yang tidak
cukup untuk untuk menjenuhkan larutan, maka zat tersebut akan tetap
terdistribusikan diantara dua lapisan dengan konsentrasi tertentu (Martin,
1993).
Koefisien distribusi adalah suatu perbandingan dimana suatu
senyawa terdistribusi ke dalam senyawa yangtidak saling bercampur,
dimana hal ini berrgantung pada interaksi fisika dan kimia antara pelarut
dan senyawa terlarut (Martin, 1990).
Dalam praktikum kali ini akan dilakukan percobaan untuk
menentukan kelarutan dan koefisien distribusi dengan menggunakan sampel
asam borat dan paracetamol.
1.2 Maksud dan tujuan
1.2.1 Maksud
Mengetahui dan memahami cara penentuan kelarutan dan koefisien
distribusi zat padat dalam pelarut pada berbagai suhu dan dua pelarut yng
tidak saling bercampur
1.2.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui dan menentukan kelarutan dari asam borat dalam pelarut
air pada suhu ruang dan suhu 100ºC
2. Untuk mengetahui dan menentukan koefisien distribusi dari paracetamol
serta pelarut minyak dan air yang tidak saling bercampur
1.3 Manfaat
Manfaat dari percobaan ini adalah dapat mengetahui dan menentukan
kelarutan dari asam borat dan koefisiensi distribusi dari paracetamol.
1.4 Prinsip Percobaan
Penentuan kelarutan dari asam borat pada suhu kamar dan suhu
100ºC dengan cara melarutkan, menyaring, mengeringkan dan menimbang
residu zat yang tidak larut dan penentuan koefisien distribusi paracetamol
dalam pelarut air dan minyak berdasarkan perbandingan kelarutan suatu zat
dalam dua pelarut tidak saling bercampur yang dititrasi dengan larutan baku

2
NaOH 0,2 N yang ditandai perubahan warna menjadi ungu muda dengan
bantuan indikator fenolftalein.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Kelarutan
Kelarutan adalah jumlah zat yang dapat larut dalam sejumlah pelarut
sampai membentuk larutan jenuh. Adapun cara menentukan kelarutan suatu zat
ialah dengan mengambil sejumlah tertentu pelarut murni, misalnya 1 liter.
Kemudian memperkirakan jumlah zat yang dapat membentuk larutan lewat jenuh,
yang ditandai dengan masih terdapatnya zat padat yang tidak larut. Setelah
dikocok ataupun diaduk akan terjadi kesetimbangan antar zat yang larut dengan
zat ynag tidak larut (Atkins, 1994).
Yang dimaksud dengan kelarutan dari suatu zat dalam suatu pelarut,
adalah banyaknya suatu zat dapat larut secara maksimum dalam suatu pelarut
pada kondisi tertentu. Biasanya dinyatakan dalam satuan mol/liter. Jadi, bila batas
kelarutan dicapai, maka zat yang dilarutkan itu dalam batas kesetimbangan,
artinya bila zat terlarut ditambah, maka akan terjadi larutan jenuh, bila zat yang
dilarutkan dikurangi, akan terjadi larutan yang belum jenuh. Dan kesetimbangan
tergantung pada suhu pelarutan (Sukardjo, 1997).
Dua komponen dalam larutan adalah solute dan solvent. Solute adalah
substansi yang melarutkan. Contoh sebuah larutan NaCl. NaCl adalah solute dan
air adalah solvent. Dari ketiga materi, padat, cair, dan gas, sangat dimungkinkan
untuk memiliki sembilan tipe larutan yang berbeda: padat dalam padat, padat
dalam cairan, padat dalam gas, cair dalam padat, cair dalam cairan, dan
sebagainya. Dari berbagai macam tipe ini, larutan yang lazim kita kenal adalah
padatan dalam cairan, cairan dalam cairan, gas dalam cairan, serta gas dalam gas
(Sukardjo, 1997).
Pada umumnya, kelarutan kebanyakan zat padat dan zat cair dalam solven
cair bertambah dengan naiknya temperatur. Untuk gas dalam zat cair, kelakuan
yang sebaliknya terjadi. Proses larut untuk gas dalam zat cair hampir selalu
bersifat eksotermik, sebab partikel-partikel solut telah terpisah satu sama lain dan
efek panas yang dominan akan timbul akibat solvasi yang terjadi bilamana gas

4
larut. Kaidah Le Chatelier meramalkan bahwa kenaikan temperatur akan
mengakibatkan perubahan endotermik, yang untuk gas terjadi bilamana ia
meninggalkan larutan. Oleh karen aitu, gas-gas menjadi kurang larut jika
temperatur zat cair di mana gas dilarutkan menjadi lebih tinggi. Sebagai contoh,
mendidihkan air. Gelembung-gelembung kecil tampak pad apermukaan panci
sebelum pendidihan terjadi. Gelembung-gelembung tersebut mengandung udara
yang diusir dari larutan jika air menjadi panas.Kita juga menggunakan kelakukan
kelarutan gas yang umum bilamana kita menyimpan botol yang berisi minuman
yang diberi CO2 dalam almari es dalam keadaan terbuka. Cairan tersebut akan
menahan CO2 yang terlarut lebih lama bilamana ia dijaga tetap dingin, sebab CO2
lebih larut pada temperatur-temperatur rendah. Lain contoh dari phenomenon ini
adalah gas-gas yang terlarut dalam air mengalir dalam telaga-telaga dan dalam
sungai-sungai. Kadar oksigen yang terlarut, yang merupakan keharusan bagi
kehidupan marine, berkurang dalam bulan-bulan dimusim panas, dibanding
dengan kadar oksigen selama musim dingin (Moechtar, 1989).
Menurut metode kelarutan, sejumlah besar obat ditempatkan dalam wadah
yang tertutup baik, bersama-sama dengan larutan zat pengompleks dalam berbagai
konsentrasi dan botol dikocok dalam bak pada temperatur konstan sampai tercapai
kesetimbangan. Cairan supernatan dalam porsi yang cukup diambil dan dianalisis
(Alfred, 1990).
A. Istilah-istilah Kelarutan (Dirjen POM, 1995)

Jumlah bagian pelarut yang diperlukan


Istilah kelarutan
untuk melarutkan 1 bagian zat
Sangat mudah larut Kurang 1 dari bagian
Mudah larut 1 sampai 10 bagian
Larut 10 sampai 30 bagian
Agak sukar larut 30 sampai 100 bagian
Sukar larut 100 sampai 1000 bagian
Sangat sukar larut 1000 sampai 10.000 bagian
Praktis tidak larut Lebih dari 10.000 bagian

5
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelarutan
1. Temperatur
Kenaikan temperatur akan meningkatkan kelarutan zat yang proses
melarutnya melalui penyerapan panas/kalor (reaksi endotermik) dan akan
menurunkan kelarutan zat yang proses melarutnya dengan pengeluaran
panas/kalor (reaksi endotermik) (Lund, 1994).
2. Ukuran Partikel
Perbedaan dalam energi bebas permukaan yang menyertai disolusi partikel
dalam ukuran yang bervariasi yang menyebabkan kelarutan zat meningkat dengan
penurunan ukuran partikel (Tungadi, 2014).
3. Tekanan
Pada umumnya perubahan volume larutan yang dikarenakan perubahan
tekanan kecil, sehingga diperlukan tekanan yang sangat besar untuk dapat
mengubah kelarutan suatu zat (Sienko dan Plane, 1961).
4. Intensitas Pengadukan
Pada pengadukan yang rendah aliran bersifat pasif. Zat padat tidak
bergerak dan kecepatan aliran pelarutan tergantung pada bagaimana karakter zat
padat tersebut menghambar dari dasar wadah (Martin, 1993).
5. Konsentrasi Bahan Pelarut
Suatu bahan mampu membentuk agregat besar atau misel dalam larutan
jika konsentrasinya melebihi nilai yang ditentukan (Tungadi, 2014).
6. Pengaruh Surfaktan
Jika digunakan surfaktan dalam formulasi obat, maka kecepatan larutan
obat akan bergantung jumlah dari jenis surfaktan. Pada umumnya, dengan adanya
penambahan surfaktan dalam suatu formula akan menambah kecepatan pelarut
dan bahan obat.
7. pH
Suatu zat asam lemah atau basa lemah akan sukar terlarut, karena tidak
mudah terionisasi. Semakin kecil pKanya maka suatu zat semakin sukar larut,
sedangkan semakin besar pKa maka suatu zat akan mudah larut (Lund, 1994).

6
2.1.2 Koefisien Distribusi
Koefisien distribusi merupakan perbandingan kelarutan suatu zat di dalam
dua pelarut berbeda dan tidak saling bercampur, serta mempunyai harga tetap
pada suhu tertentu (Voight, 1995).
Koefisien partisi menggambarkan rasio pendistribusian obat kedalam
pelarut sistem dua fase, yaitu pelarut organik dan air. Bila molekul semakin larut
lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan difusi trans membran terjadi
lebih mudah. Selain itu, organisme terdiri dari fase lemak dan air, sehingga bila
koefisien partisi sangat tinggi ataupun sangat rendah maka hal tersebut akan
menjadi hambatan pada proses difusi zat aktif (Ansel, 1989).
Koefisien partisi minyak-air adalah suatu petunjuk sifat lipofilik atau
hidrofobik dari molekul obat. Lewatnya obat melalui membran lemak dan
interaksi dengan makro molekul pada reseptor kadang-kadang berhubungan baik
dengan koefisien partisi oktanol/air dari obat (Martin, 1999).
Hukum distribusi atau partisi dapat dirumuskan: bila suatu zat terlarut
terdistribusi antara dua pelarut yang tidak dapat campur, maka pada suatu
temperatur yang konstan untuk setiap spesi molekul terdapat angka banding
distribusi yang konstan antara kedua pelarut itu, dan angka banding distribusi ini
tidak tergantung pada spesi molekul lain apapun yang mungkin ada. Harga angka
banding berubah dengan sifat dasar pelarut, sifat dasar zat terlarut, dan temperatur
(Svehla, 1990).
Menurut hukum distribusi Nerst, bila ke dalam dua pelarut yang tidak
saling bercampur dimasukkan solute yang dapat larut dalam kedua pelarut
tersebut maka akan terjadi pembagian kelarutan. Kedua pelarut tersebut umumnya
pelarut organic dan air. Dalam praktek solute akan terdistribusi dengan sendirinya
ke dalam dua pelarut tersebut setelah dikocok dan dibiarkan terpisah.
Perbandingan konsentrasi solute di dalam kedua pelarut tersebut tetap, dan
merupakan suatu tetapan pada suhu tetap. Tetapan tersebut disebut tetapan
distribusi atau koefisien distribusi. Koefisien distribusi dinyatakan dengan rumus
KD = C2/C1 atau KD = Co/Ca (Soebagio, 2002).

7
Jika harga KD besar, solute secara kuantitatif akan cenderung terdistribusi
lebih banyak ke dalam pelarut organik begitu pula sebaliknya (Soebagio, 2002).
Pengaruh distribusi telah disebut pengaruh obat artinya membawa bahan
obat terarah kepada tempat kerja yang diinginkan dari segi terapeutik kita
mengharapkan distribusi dapat diatur artinya konsentrasi obat pada tempat kerja
lebih besar dari pada konsentrasi di tempat lain pada organisme, walaupun
demikian kemungkinan untuk mempengaruhi pada distribusi dalam bentuk hal
kecil, pada kemoterapi tumor ganas sebagian dicoba melalui penyuntikan atau
infus sitostatika ke dalam arteri memasok tumor untuk memperoleh kerja yang
terarah (Ernest, 1999).
Faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena distribusi adalah pengaruh
sifat kelarutan bahan obat terhadap distribusi menunjukkan antara lain bahwa
senyawa yang larut baik dalam bentuk lamak terkonsentrasi dalam jaringan yang
mengandung banyak lemak sedangkan sebaliknya zat hidrofil hampir tidak
diambil oleh jaringan lemak karena itu ditentukan terutama dalam ekstrasel
(Ernest, 1999).
Zat terlarut terlarut dalam satu fase, dalam kesetimbangan dengan fase
bercampur lain, didistribusikan antara dua fase sehingga rasio konsentrasi dalam
dua fase adalah konstan pada temperatur tertentu. Pada kesetimbangan ini
konstan, K disebut sebagai konstanta distribusi atau koefisien partisi,
didefinisikan oleh Nerst sebagai K = Cu/Cl dimana Cu dan Cl adalah konsentrasi
di fase atas dan bawah, masing-masing hubungan berlaku ketika molekul setiap
fase dalam keadaan yang sama agregasi. Jika zat terlarut dipisahkan atau
berhubungan, bentuk-bentuk yang lebih kompleks dari persamaan harus
diterapkan. Itu juga diakui bahwa hanya dalam sistem yang ideal adalah koefisien
partisi independen dari total zat terlarut ini, penyimpangan ini begitu terkenal
sehingga dalam literatur teknik kimia persamaan di atas dianggap kasus
membatasi. Partisi lemak / air dari suatu molekul merupakan indeks yang berguna
dalam kecenderungan untuk absorpsi oleh difusi pasif (Gandjar, 2007).
Pelarut secara umum dibedakan atas dua pelarut, yaitu pelarut air dan
bukan air. Salah satu ciri penting dari pelarut tetapan dielektriknya (E), yaitu gaya

8
yang bekerja antara dua muatan itu dalam ruang hampa dengan gaya yang bekerja
pada muatan itu dalam dua pelarut. Tetapan ini menunjukkan sampai sejauh mana
tingkat kemampuan melarutkan pelarut tersebut. Misalnya air dengan tetapan
dielektriknya yang tinggi (E = 78,5) pada suhu 25°C, merupakan pelarut yang
baik untuk zat-zat yang bersifat polar, tetapi juga merupakan pelarut yang kurang
baik untuk zat-zat non polar. Sebaliknya, pelarut yang mempunyai tetapan
dielektrik yang rendah merupakan pelarut yang baik untuk zat non polar dan
merupakan pelarut yang kurang baik untuk zat berpolar (Rifai, 1995).
Pada umumnya obat-obat bersifat asam lemah atau basa lemah. Jika obat
tersebut dilarutkan dalam air sebagian akan terionisasi. Besarnya fraksi obat yang
terionkan tergantung pada pH larutannya. Obat-obat yang tidak terionkan lebih
mudah larut dalam lipida, sebaliknya yang dalam bentuk ion kelarutannya kecil
atau bahkan praktis tidak larut. Dengan demikian pengaruh pH sangat besar
terhadap kecepatan absorpsi obat yang bersifat asam lemah atau basa lemah
(Sardjoko, 1987).
2.2 Uraian Bahan
2.2.1 Alkohol (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : AETHANOLUM
Nama Latin : Alkohol, Etanol, Etil alkohol
RM/BM : C2H5OH / 46,07 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Cairan tidak berwarna, jernih, mudah


menguap dan mudah bergerak; bau khas;
rasa, mudah terbakar dengan memerikan
nyala biru
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam
kloroform P dan eter p
Kegunaan : Membunuh bakteri pada sampel

9
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung
dari cahaya, di tempat sejuk, jauh dari nyala api
2.2.2 Aquadest (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : AQUA DESTILATA
Nama Latin : Air suling
RM/BM : H2O / 18,02 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Cairan jernih, tidak berbau, tidak berasa


dan tidak berwarna
Kegunaan : Sebagai pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
2.2.3 Asam Borat (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : ACIDIUM BORICU
Nama Latin : Asam Borat
RM/BM : H3BO3 / 61,88 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Hablur, serbuk hablur putih atau sisik


mengkilap tidak berwarna ; kasar ; tidak
berbau ; rasa agak asam dan pahit
kemudian manis tidak berwarna
Kelarutan : Larut dalam 20 menit bagian air, dalam 3
bagian air mendidih, dalam 16 bagian
etanol (95%) P dan dalan 5 bagian gliserol
P
Kegunaan : Antiseptikum ekstern

10
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
2.2.4 Fenolftalen (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : FENOLFTALEIN
Nama Latin : Fenolftalein, Indikator PP
RM/BM : H20H14O4 / 318,33 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Serbuk hablur putih atau putih kekuningan


lemah, tidak berbau, stabil diudara
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, larut dalam
etanol (95%) P
Kegunaan : Sebagai zat tambahan, Indikator
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
2.2.5 NaOH (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : NATRI HYDROXYDUM
Nama Latin : NatriumHidroksida
RM/BM : NaOH / 40,00 g/mol
Rumus Struktur :

Na-OH

Pemerian : Bentuk batang, butiran, massa hablur atau


keeping, keras, rapuh dan menunjukkan `
susunan hablur ; putih, mudah meleleh
basah. Sangat alkalis dan korosif. Segera
menyerap karbondioksida
Kelarutan : Sangat mudah larut dalan air dan dalam
etanol (95%) p
Kegunaan : Sebagai zat tambahan

11
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
2.2.6 Paracetamol (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : ACETAMINOPHEN
Nama lain : Asitominofen
Nama Kimia : N – Asefil – 4 – aminofenol
Struktur kimia :

Rumus Molekul : C8H9NO2


Berat Molekul : 151,16 g/mol
Pemerian : Hablur atau hablur putih, tidak berbau, rasa
pahit
Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian
etanol (95%) dalam 13 aseton, dalam 40
bagian gliserol dan dalam 9 bagian
propilenglikol larut dalam larutan alkali
hidroksida
Kegunaan : Sebagai zat tambahan
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari
cahaya
2.2.7 Minyak Kacang (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : OLEUM ARACHIDIS
Nama Lain : Minyak Kacang
Bobot Jenis : 0,911-0,915 g/ml
Pemerian : Cairan; kuning pucat; bau khas lemah; rasa
tawar.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam Etanol (95%) P;
mudah larut dalam kloroform P, dalam Eter
P, dan dalam Eter minyak tanah P.

12
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik dan terisi
penuh.

13
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat Percobaan
Dilaksanakannya praktikum farmasi fisika dengan percobaaan bobot jenis
pada tanggal 02 Oktober 2019. Pukul 07.00 WITA yang bertempat di
Laboratorium Teknologi Farmasi, Jurusan Farmasi, Fakultas Olahraga dan
Kesehatan, Universitas Negeri Gorontalo.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Batang pengaduk, buret, corong, corong pisah, gelas beaker 100 ml, gelas
beaker 250 ml, gelas ukur 50 ml, oven, penangas, spatula
3.2.2 Bahan
Air, alkohol 70%, asam borat, fenolftalein, kertas saring, minyak kacang,
NaOH 0,2 N, paracetamol 2 gram, tissu
3.2 Cara Kerja
a. Penentuan kelarutan asam borat
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%
3. Ditimbang asam borat 2 gram
4. Diukur air sebanyak 25 ml dan dimasukkan kedalamgelas beaker
5. Dilarutkan asam borat 2 gram ke dalam 25 ml air
6. Diaduk hingga homogen
7. Ditimbang kertas saring kosong
8. Dijenuhkan kertas saring terlebih dahulu dengan cara dibasahi dengan air ke
seluruh bagian kertas
9. Disaring asam borat menggunakan kertas saring yang telah dijenuhkan
melalui corong
10. Diambil residu hasil dari penyaringan asam borat
11. Dimasukkan kedalam oven
12. Ditimbang kertas saring yang berisi residu

14
b. Penentuan kelarutan
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Dibersikan alat menggunakan alkohol 70%
3. Ditimbang asam borat sebanyak 2 gram
4. Dipanaskan air ± 25 ml ke dalam penangas
5. Dimasukkan 2 gram asam borat ke dalam gelas beaker yang berisi air yang
telah dipanaskan
6. Diaduk hingga homogen
7. Dijenuhkan kertas saring
8. Disaring campuran dari asam borat
9. Diambil residu hasil penyaringan
10. Dipanaskan dalam oven residu dari asam borat
11. Ditimbang kertas saring yang berisi residu
c. Penentuan koefisien distribusi tanpa minyak
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Dibersihkan alat dengan alkohol 70%
3. Ditimbang paracetamol sebanyak 2 gram
4. Dilarutkan paracetamol di dalam aquadest 200 ml
5. Diaduk hingga tercampur (homogen)
6. Diambil campuran zat paracetamol sebanyak 25 ml untuk dititrasi
7. Ditambahkan indikator fenolftalein sebanyak 2 tetes
8. Dititrasi dengan NaOH yang telah tersedia sebanyak 15,3 ml sampai terjadi
perubahan warna menjadi muda keunguan
9. Dicatat volume evaluasinya
10. Dihitung koefisien distribusinya
d. Penentuan koefisien distribusi dengan minyak
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Dibersihkan alat dengan alkohol 70%
3. Ditimbang paracetamol sebanyak 2 gram
4. Dilarutkan paracetamol di dalam aquadest 200 ml
5. Diaduk hingga tercampur (homogen)

15
6. Diambil campuran zat paracetamol sebanyak 25 ml untuk dititrasi
7. Ditambahkan minyak jagung sebanyak 25 ml ke dalam corong pisah
kemudian dikocok hingga homogen
8. Didiamkan beberapa menit sampai terlihat minyak dan larutan paracetamol
terpisah
9. Dipisahkan lapisan air dan minyak
10. Diambil lapisan airnya lalu ditambahkan indicator fenolftalein sebanyak 2
tetes
11. Dilakukan titrasi dengan NaOH sampai terjadi perubahan warna putih
keunguan
12. Dicatat volume evaluasinya
13. Dihitung koefisien distribusinya

16
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil dan perhitungan
4.1.1 Hasil

Tanpa minyak Dengan minyak

1. Kelarutan

Kertas saring
Sampel Suhu Kertas saring kosong
residu
Asam Borat 25˚C 0,68 g 1,44 g
Asam Borat 100˚C 0,68 g 1,40 g

2. Koefisien Distribusi

Volume titran
Sampel
Tanpa minyak Dengan minyak

Paracetamol 1,26 ml 15,7 ml

17
4.1.2 Perhitungan
1. Penentuan kelarutan asam borat (suhu panas)
Dik : Kertas saring kosong = 0,68 g
Kertas saring residu = 1, 40 g
Dit : Kelarutan asam borat ?
Peny :
1) berat residu = kertas saring residu – kertas saring kosong
= 1,40 g – 0,68 g
= 0,72 gram
2) Zat terlarut = Berat sampel – residu
= 2 g – 0,72 g
= 1,28 gram
zat terlarut
3) Konsentrasi =
volume
1,28 g
=
25 ml
g
= 0, 05
ml
2. Penentuan kelarutan asam borat (suhu ruang)
Dik : Kertas saring kosong = 0,68 g
Kertas saring residu = 1, 44 g
Dit : Kelarutan asam borat ?
Peny :
1) Berat residu = kertas saring residu – kertas saring kosong
= 1,44 g – 0,68 g
= 0,76 gram
2) Zat terlarut = Berat sampel – residu
= 2 g – 0,76 g
= 1,24 gram
zat terlarut
3) Konsentrasi =
volume

18
1,24 g
=
25 ml
g
= 0, 04
ml
3. Penentuan koefisien distribusi paracetamol
Vtitran × Ntitran × BE
1) % Kadar tanpa minyak = ×100%
Berat sampel
12,6 ml x 0,2 N
= ×100%
2g
100,8
= ×100%
2
= 5,040 %
Vtitran × Ntitran × BE
2) % Kadar dengan minyak = ×100%
Berat sampel
15,7 ml × 0,2 ×40
= ×100%
2g
125,6
= ×100%
2g
= 6,280 %
3) Koefisien fase minyak = % kadar minyak - % kadar tanpa minyak
= 6280 - 5040
= 1240
Fase minyak
4) Koefisien distribusi =
% kadar tanpa minyak
1240
=
5040
= 0,24
4.1.3 Pembahasan
Kelarutan adalah jumlah zat yang dapat larut dalam sejumlah pelarut
sampai membentuk larutan jenuh. Adapun cara menentukan kelarutan suatu zat
ialah dengan mengambil sejumlah tertentu pelarut murni, misalnya 1 liter.
Kemudian memperkirakan jumlah zat yang dapat membentuk larutan lewat jenuh,
yang ditandai dengan masih terdapatnya zat padat yang tidak larut. Setelah

19
dikocok ataupun diaduk akan terjadi kesetimbangan antar zat yang larut dengan
zat ynag tidak larut (Atkins, 1994).
Kelarutan dalam besaran kuantitatif didefinisikan sebagai konsentrasi zat
terlarut dalam larutan jenuh pada temperatur tertentu, sedangkan secara kualitatif
didefinisikan sebagai interaksi spontan dari dua atau lebih zat untuk membentuk
disperse molekuler homogen (Martin, 1990).
Kelarutan suatu senyawa bergantung pada sifat fisika dan kimia zat terlarut
dari pelarut juga bergantung pada faktor temperatur, tekanan, pH, larutan dan
untuk jumlah yang lebih kecil bergantung pada hal terbaginya zat terlarut (Martin,
1999).
Koefisien distribusi merupakan perbandingan kelarutan suatu zat di dalam
dua pelarut berbeda dan tidak saling bercampur, serta mempunyai harga tetap
pada suhu tertentu (Voight, 1995).
Koefisien partisi menggambarkan rasio pendistribusian obat kedalam
pelarut sistem dua fase, yaitu pelarut organik dan air. Bila molekul semakin larut
lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan difusi trans membran terjadi
lebih mudah. Selain itu, organisme terdiri dari fase lemak dan air, sehingga bila
koefisien partisi sangat tinggi ataupun sangat rendah maka hal tersebut akan
menjadi hambatan pada proses difusi zat aktif (Ansel, 1989).
Faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena distribusi adalah pengaruh
sifat kelarutan bahan obat terhadap distribusi menunjukkan antara lain bahwa
senyawa yang larut baik dalam bentuk lemak sedangkan sebaliknya zat hidrofil
hampir tidak diambil oleh jaringan lemak karena itu ditentukan terutama dalam
ekstrasel (Ernest, 1999).
a. Kelarutan
1. Penentuan kelarutan asam borat pada suhu 25ºC
Adapun dalam praktikum kali ini hal pertama yang dilakukan yaitu
menyiapkan dalat dan bahan kemudian dibersihkan alat menggunakan alkohol
70%. Menurut Pratiwi (2008) alkohol dapat bersifat antiseptik dan desinfektan,
sehingga dapat membunuh kuman yang ada pada alat-alat yang akan digunakan
selama praktikum.

20
Ditimbang asam borat pada neraca analitik sebanyak 2 gram. Kemudian
diukur 25 ml air pada gelas ukur lalu dimasukkan ke dalam gelas beaker. Asam
borat yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam gelas beaker yang berisi 25 ml
air. diaduk hingga homogen
Kertas saring kosong ditimbang terlebih dahulu menggunakan neraca
analitik. Karena menurut (Syukri S,1999) Kertas saring dipakai
untuk memisahkan endapan atau padatan dari pelarut.
Asam borat yang telah dilarutkan di dalam air disaring menggunakan
kertas saring yang telah dijenuhkan menggunakan air yang diletakkan kedalam
corong untuk mengambil residunya.
Residu yang tertinggal pada kertas saring dimasukkan kedalam oven lalu
ditimbang. Alasan dimasukkannya residu ke dalam oven menggunakan kertas
saring agar lebih mudah untuk mengetahui residu yang didapatkan (Gandjar dan
Rohman, 2007).
Residu yang telah dikeluarkan dari dalam oven kemudian ditimbang
dengan neraca analitik.
2. Penentuan kelarutan pada suhu 100ºC
Adapun dalam praktikum kali ini hal pertama yang dilakukan yaitu
menyiapkan dalat dan bahan kemudian dibersihkan alat menggunakan alkohol
70%. Menurut Pratiwi (2008) alkohol dapat bersifat antiseptik dan desinfektan,
sehingga dapat membunuh kuman yang ada pada alat-alat yang akan digunakan
selama praktikum.
Ditimbang asam borat pada neraca analitik sebanyak 2 gram. Kemudian
dipanaskan ± 25 ml air pada penangas hingga mendidih.
Air yang telah dipanaskan dimasukkan ke dalam gelas beaker. Asam borat
yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam gelas beaker yang berisi 25 ml air.
diaduk hingga homogen
Kertas saring kosong ditimbang terlebih dahulu menggunakan neraca
analitik. Karena menurut Syukri S, (1999) kertas saring dipakai
untuk memisahkan endapan atau padatan dari pelarut.

21
Asam borat yang telah dilarutkan di dalam air disaring menggunakan
kertas saring yang telah dijenuhkan menggunakan air yang diletakkan kedalam
corong untuk mengambil residunya.
Residu yang tertinggal pada kertas saring dimasukkan kedalam oven lalu
ditimbang. Alasan dimasukkannya residu ke dalam oven menggunakan kertas
saring agar lebih mudah untuk mengetahui residu yang didapatkan (Gandjar dan
Rohman, 2007).
Residu yang telah dikeluarkan dari dalam oven kemudian ditimbang
dengan neraca analitik.
b. Koefisien distribusi
1. Penentuan koefisien distribusi tanpa minyak
Langkah pertama yaitu menyiapkan alat dan bahan lalu membersihkan alat
menggunakan alkohol 70%. Menurut Pratiwi (2008) alkohol dapat bersifat
antiseptik dan desinfektan, sehingga dapat membunuh kuman yang ada pada alat-
alat yang akan digunakan selama praktikum.
Paracetamol ditimbang hingga 0,2 gr dan dilarutkan ke dalam aquades
sebanyak 200 ml. Menurut Dirjen POM (1979) paracetamol larut dalam 70 bagian
air. kemudian diaduk hingga homogen.
Paracetamol yang sudah dilarutkan diambil sebanyak 25 ml untuk dititrasi.
Menurut Keenan (2012) titrasi merupakan proses penentuan banyaknya suatu
larutan dengan konsentrasi yang telah diketahui sebelumnya untuk bereaksi secara
lengkap dengan larutan yang konsentrasinya belum diketahui sebelumnya.
Ditambahkan 2 tetes indikator fenolftalein ke dalam larutan paracetamol
lalu titrasi menggunakan larutan baku NaOH 0,2 N sebanyak 1,26 ml dititrasi
sampai terjadi perubahan warna menjadi merah muda keunguan. Menurut
Timberlake (2004) dalam larutan asam fenolftalein tidak berwarna, kemudian
buret berisi di isi dengan larutan NaOH yan konsentrasinya telah diketahui. Dan
dengan hati-hati NaOH ditambahkan ke asam pada flask. Bisa diketahui bahwa
netralisasi telah berlangsung ketika fenolftalein dalam larutan berubah warna
menjadi merah muda. Ini disebut titik akhir netralisasi. Dari volume yang
ditambahkan dan molar NaOH, kita dapat menentukan konsentrasi asam.

22
Setelah itu dicatat volume evaluasinya dan dihitung koefisien
distribusinya.

2. Koefisien distribusi dengan minyak


Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan dan dibersihkan alat
menggunakan alkohol 70%. Menurut Pratiwi (2008) alkohol dapat bersifat
antiseptik dan desinfektan, sehingga dapat membunuh kuman yang ada pada alat-
alat yang akan digunakan selama praktikum.
Paracetamol ditimbang sebanyak 0,2 gr lalu dilarutkan ke dalam aquades
200 ml. diambil larutan paracetamol sebanyak 25 ml kemudian ditambahkan
minyak kacang sebanyak 25 ml ke dalam corong pisah, larutan dikocok hingga
homogen. Digunakannya corong pisah untuk pemisahan komponen kimia diantara
dua fase pelarut yang tidak dapat saling bercampur dimana sebagian komponen
larut pada fase pertama dan sabagiannya lagi larut pada fase kedua (Sudjadi,
1986)
Larutan yang telah dikocok didiamkan beberapa saat sampai minyak dan
larutan paracetamol terpisah atau memberikan batas. Setelah terjadi pemisahaan
diambil lapisan air.
Ditambahkan 2 tetes indikator fenolftalen. Selanjutnya NaOH 0,2 N
sebanyak 15,7 ml dititrasi sampai terjadi perubahan warna merah muda keunguan.
Menurut Timberlake (2004) dalam larutan asam fenolftalein tidak berwarna,
kemudian buret berisi di isi dengan larutan NaOH yan konsentrasinya telah
diketahui. Dan dengan hati-hati NaOH ditambahkan ke asam pada flask. Bisa
diketahui bahwa netralisasi telah berlangsung ketika fenolftalein dalam larutan
berubah warna menjadi merah muda. Ini disebut titik akhir netralisasi. Dari
volume yang ditambahkan dan molar NaOH, kita dapat menentukan konsentrasi
asam.
Setelah itu dicatat volume evaluasinya dan dihitung koefisien
distribusinya.

23
Berdasarkan hasil percobaan diatas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Kelarutan asam borat pada suhu 25ºC adalah 1,24 gram dengan konsentrasi

g
0,04 . Sedangkan kelarutan asam borat pada suhu 100ºC adalah 1, 28
ml

g
gram dengan konsentrasi 0,05 . Jadi, asam borat lebih larut pada pelarut
ml
bersuhu tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lund (1994) bahwa
kenaikan temperatur akan meningkatkan kelarutan zat yang proses
melarutnya melalui penyerapan panas/kalor (reaksi endotermik) dan akan
menurunkan kelarutan zat yang proses melarutnya dengan pengeluaran
panas/kalor (reaksi endotermik).
2. % kadar dari larutan paracetamol 25 ml yang dititrasi dengan NaOH 12.6 ml
adalah 5,040% kadar dan larutan paracetamol yang ditambahkan 25 ml
minyak kacang adalah 6, 280%. Jadi, paracetamol lebih mudah larut pada
fase minyak jika dilihat dari % kadar.
Adapun kemungkinan kesalahan yang menyebabkan hasil praktikum tidak
sesuai dengan literatur. Hal ini disebabkan karena kurangnya ketelitian, sampel
yang digunakan berlebihan, larutan kurang larut dan kurangnya kebersihan.

24
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia yang penting untuk
diperhatikan dalam formulasi suatu bahan obat menjadi sediaan farmasikarena
kelarutanmempengaruhi laju disolusi obat danmenentukan ketersediaan hayati
obat dalam tubuh
Kelarutan juga merupakan sebagai jumlah maksimum zat terlarut yang dapat
dilarutkan dalam jumlah tertentu. Secara kuantitatif kelarutan dapat di definisikan
sebagai konsentrasi zat terlarut dalam larutan jenuh dalam suhu tertentu.
Kelarutan sangat penting dalam praformulasi obat, sehingga kelarutan dapat
ditingkatkan dengan menggunakan penambahan surfaktan dan metode yang
lainnya. Koefisien distribusi merupakan perbandingan kelarutan suatu zat di
dalam dua pelarut berbeda dan tidak saling bercampur, serta mempunyai harga
tetap pada suhu tertentu.
Berdasarkan percobaan yang dilakukan dapat diperoleh kesimpulan sebagai
berikut :
1. Kelarutan asam borat pada suhu 25°C adalah 1,24 gram dengan konsentrasi
0,04 g/ml, sedangkan kelarutan asam borat pada suhu 100°C adalah 1,28
dengan konsentrasi 0,05 g/ml. Jadi, asam borat lebih mudah larut pada pelarut
bersuhu tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lund (1994) bahwa kenaikan
temperatur akan meningkatkan kelarutan zat yang proses melarutnya melalui
penyerapan panas/kalor (reaksi endotermik) dan akan menurunkan kelarutan
zat yang proses melarutnya dengan pengeluaran panas/kalor (reaksi
endotermik).
2. Pada penentuan koefisien distribusi paracetamol, persen kadar dari larutan
paracetamol 25 ml yang dititrasi dengan NaOH 12,6 ml adalah 5,040%.
Sedangkan, persen kadar dari larutan paracetamol yang ditambahkan 25 ml
minyak kacang adalah 6,280%. Jadi, paracetamol lebih mudah larut pada fasa
minyak jika dilihat dari persen kadar.
5.2 Saran

25
5.2.1 Saran Untuk Asisten
Hubungan asisten dengan praktikan diharapkan selalu terjaga
keharmonisannya agar dapat tercipta suasana kerja sama yang baik.

5.2.2 Saran Untuk Laboratorium


Dapat memberikan dukungan dalam hal kelengkapan alat-alat
laboratorium agar praktikan dapat melaksanakan praktikum dengan lebih
maksimal.
5.2.3 Saran Untuk Jurusan
Saran kami kepada jurusan farmasi Universitas Negeri Gorontalo agar
lebih menunjang kegiatan praktikum kimia analisis ini agar lebih maksimal.
Baik itu menyediakan fasilitas dan administrasi lainnya.

26

Anda mungkin juga menyukai