Anda di halaman 1dari 51

Makalah

KESELAMATAN PASIEN DAN KESELAMATAN KESEHATAN KERJA DALAM


KEPERAWATAN

(IDENTIFIKASI BAHAYA, RESIKO DAN PENANGANAN K3 DALAM RUMAH


SAKIT)
Dosen pengampu : Inne Arianne Gobel, SKM., M.KL

Disusun
O
L
E
H

Kelompok 4 :

1. Abdul Rahman Yusuf 6. Nindy Rahmatia Dini


2. Bella Aprilia Taha 7. Ramaditha Kaluku
3. Fitriyyah R. Nunu 8. Siti Nurhaliza
4. Karmila K. Nggea 9. Sri Yiyin Anggriyani Saleh
5. Mohammad Jufri Mahmud

PRODI S1 KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO
TAHUN 2020

i
Abstrak

Menurut Filosofi Mangkunegara, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah suatu
pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan jasmani maupun rohani
tenaga kerja khususnya dan manusia pada umumnya serta hasil karya dan budaya menuju
masyarakat adil dan makmur. Kecelakaan kerja sering terjadi akibat kurang dipenuhinya
persyaratan dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja. Dalam hal ini pemerintah
sebagai penyelenggara Negara mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan
kepada tenaga kerja. Hal ini direalisasikan pemerintah dengan dikeluarkannya peraturan-
peraturan seperti : UU RI No. 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja, Undang-undang No.
3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), dan Peraturan Menteri
Tenaga Kerja No: Per.05/Men/1996 mengenai sistem manajemen K3.

Abstract

According to the Mangkunegara philosophy, Occupational Safety and Health (K3) is a


thought and effort to ensure the physical and spiritual integrity and perfection of the
workforce in particular and humans in general as well as the work and culture of a just and
prosperous society. Work accidents often occur due to lack of requirements in the
implementation of occupational safety and health. In this case the government as a state
administrator has an obligation to provide protection to workers. This is realized by the
government with the issuance of regulations such as: RI Law no. 1 of 1970 concerning work
safety, Law no. 3 of 1992 concerning the Social Security for Workers (JAMSOSTEK), and
the Minister of Manpower Regulation No: Per.05/Men/1996 concerning the OHS
management system.

ii
DAFTAR ISI

Abstract......................................................................................................................................2

DAFTAR ISI..............................................................................................................................3

KATA PENGANTAR...............................................................................................................4

BAB I.........................................................................................................................................5

PENDAHULUAN......................................................................................................................5

1.1 Latar Belakang..................................................................................................................5

1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................9

1.3 Tujuan...............................................................................................................................9

BAB II......................................................................................................................................11

PEMBAHASAN......................................................................................................................11

2.1 Pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja...............................................................11

2.2 Manajemen Resiko.........................................................................................................12

2.3 Bahaya K3 yang terjadi di lingkungan rumah sakit.......................................................23

2.4 Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi Kesehatan dan keselamatan kerja di rumah
sakit.......................................................................................................................................30

2.5 Penanganan K3 dalam rumah sakit................................................................................37

2.6 Tujuan dan manfaat K3 (Kesehatan dan keselamatan kerja) dalam rumah sakit...........41

2.7 Contoh Kasus yang Terjadi di dalam Gedung Rumah Sakit Beserta Penanganannya...44

BAB III.....................................................................................................................................47

PENUTUP................................................................................................................................47

3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................47

3.2 Saran...............................................................................................................................49

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................50

KATA PENGANTAR
iii
Puji Syukur kami panjatkan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
rahmat dan karuniaNyalah, makalah ini dapat terselesaikan dengan baik, tepat pada waktunya
adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Keselamatan Pasien dan
Keselamatan Kesehatan kerja dalam keperawatan, pada semester 3.

Dalam penyelesaian makalah ini, kami banyak mengalami kesulita, terutama
disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang. Namun, berkat bimbingan
dan bantuan dari berbagai pihak dan kami ucapkan terima kasih kepada ibu Inne Arianne
Gobel, SKM., M.KL yang telah memberi pengarahan kepada kami sehingga kami bisa
menyelesaikan makalah ini.

Karena itu, sudah sepantasnya jika kami mengucapkan terima kasih kepada semua


pihak yang terlibat. Penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna penulisan
makalah yang lebih baik lagi dimasa yang akan datang. Harapan kami, semoga makalah yang
sederhana ini, dapat memberi manfaat terutama ilmu pengetahuan mengenai “Keselamatan
pasien dan keselamatan Kesehatan kerja dalam keperawatan.”

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angka kecelakaan kerja di Indonesia masih termasuk buruk. Pada tahun 2004 saja,
lebih dari seribu tujuh ratus pekerja meninggal di tempat kerja. Menurut Juan Somavia,
Dirjen ILO, industri konstruksi termasuk paling rentan kecelakaan, diikuti dengan
anufaktur makanan dan minuman (Kompas, 1/05/04). Tidak saja di negara-negara
berkembang, di negara maju sekalipun kecelakaan kerja konstruksi masih memerlukan
perhatian serius. Penelitian yang dilakukan oleh Duff (1998) dan Alves Diaz (1995)
menyatakan hasil analisa statistik dari beberapa negara-negara menunjukkan peristiwa
tingkat kecelakaan fatal pada proyek konstruksi adalah lebih tinggi dibanding rata-rata
untuk semua industri, dalam Suraji (2000).
Dahulu, para ahli menganggap suatu kecelakaan disebabkan oleh tindakan pekerja
yang salah. Sekarang anggapan itu telah bergeser bahwa kecelakaan kerja bersumber
kepada faktor-faktor organisasi dan manajemen. Para pekerja dan pegawai mestinya dapat
diarahkan dan dikontrol oleh pihak manajemen sehingga tercipta suatu kegiatan kerja
yang aman. Sejalan dengan teori-teori penyebab kecelakaan yang terbaru, maka pihak
manajemen harus bertanggung jawab terhadap keselamatan kerja para pekerjanya.
Tulisan ini akan membahas peranan manajemen risiko K3 di dalam gedung.
Kegiatan jasa konstruksi telah terbukti memberikan kontribusi penting dalam
perkembangan dan pertumbuhan ekonomi disemua negara di dunia, termasuk Indonesia,
baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Keselamatan dan Kesehatan
Kerja merupakan suatu permasalahan yang banyak menyita perhatian berbagai organisasi
saat ini karena mencakup permasalahan segi perikemanusiaan, biaya dan manfaat
ekonomi, aspek hukum, pertanggungjawaban serta citra organisasi itu sendiri. Semua hal
tersebut mempunyai tingkat kepentingan yang sama besarnya walaupun di sana sini
memang terjadi perubahan perilaku, baik di dalam lingkungan sendiri maupun faktor lain
yang masuk dari unsur eksternal industri Ervianto (2005).
Proses pembangunan proyek kontruksi gedung pada umumnya merupakan kegiatan
yang banyak mengandung unsur bahaya. Situasi dalam lokasi proyek mencerminkan
karakter yang keras dan kegiatannya terlihat sangat kompleks dan sulit dilaksanakan

v
sehingga dibutuhkan stamina yang prima dari pekerja yang melaksanakannya. Namun
tidak dapat dipungkiri bahwa pekerjaan konstruksi ini merupakan penyumbang angka
kecelakaan yang cukup tinggi.
Banyaknya kasus kecelakaan kerja serta penyakit akibat kerja sangat merugikan
banyak pihak terutama tenaga kerja bersangkutan Ervianto (2005). Kecelakaan kerja
sering terjadi akibat kurang dipenuhinya persyaratan dalam pelaksanaan keselamatan dan
kesehatan kerja. Dalam hal ini pemerintah sebagai penyelenggara Negara mempunyai
kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja. Hal ini direalisasikan
pemerintah dengan dikeluarkannya peraturan-peraturan seperti : UU RI No. 1 Tahun 1970
tentang keselamatan kerja, Undang-undang No. 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No:
Per.05/Men/1996 mengenai sistem manajemen K3.
Namun pada kenyataannya, pelaksana proyek sering mengabaikan persyaratan dan
peraturan-peraturan dalam K3. Hal tersebut disebabkan karena kurang menyadari betapa
besar resiko yang harus ditanggung oleh tenaga kerja dan perusahaannya. Sebagaimana
lazimnya pada pelaksanaan suatu proyek pasti akan berusaha menghindari economic cost.
Disamping itu adanya peraturan mengenai K3 tidak diimbangi oleh upaya hukum yang
tegas dan sanksi yang berat, sehingga banyak pelaksana proyek yang melalaikan
keselamatan dan kesehatan tenaga kerjanya.
Dalam Pengendalian Risiko K3 Bahaya dan risiko memiliki hubungan yang erat.
Bahaya menjadi sumber terjadinya kecelakaan atau insiden baik menyangkut manusia,
properti dan lingkungan. Disisi lain, risiko menggambarkan besarnya kemungkinan suatu
bahaya dapat menimbulkan kecelakaan serta besarnya keparahan yang dapat diakibatkan.
Seperti yang telah dituliskan sebelumnya, besar risiko ditentukan oleh berbagai faktor,
seperti besarnya paparan, lokasi, pengguna, kuantiti serta kerentanan unsur yang terlibat.
Insiden atau kecelakaan disebabkan oleh adanya suatu bahaya yang akan mengakibatkan
cidera pada manusia. Semua kecelakaan selalu disebabkan oleh bahaya, artinya jika tidak
ada bahaya maka kecelakaan tidak terjadi “no hazards, no accident”. Yang menjadi
pertanyaan adalah apakah semua bahaya dapat menimbulkan insiden? Jawabannya tentu
saja “tidak” karena tergantung kepada tingkat risikonya, peluang, dan tingkat
keparahannya untuk menimbulkan suatu kecelakaan atau menimbulkan cidera dan
kerusakan. Inilah kunci dari manajemen risiko, untuk menilai peluang suatu bahaya
menjadi kecelakaan (likelihood) dan bagaimana keparahan jika terjadi (severity).

vi
Seperti yang telah kita ketahui bahwa Singa merupakan hazard bagi manusia karena
dapat diterkam, dicabik, dicakar ataupun dimakan. Namun apakah semua Singa memilki
risiko tinggi bagi manusia? Hmmmmmm, tentu “tidak”. Tergantung kondisi dan
situasinya. Dimanapun berada, seekor singa tetaplah binatang yang buas yang menjadi
sumber bahaya. Sehingga, suatu risiko digambarkan sebagai peluang dan kemungkinan
(probability) suatu bahaya untuk menghasilkan kerugian atau kecelakaan serta tingkat
keparahan yang ditimbulkan jika kecelakaan terjadi (severity).

Oleh karena itu, dalam konsep keselamatan kerja, sasaran utamanya adalah
mengendalikan atau menghilangkan bahaya sehingga secara otomatis, risikonya dapat
dikurangi atau dihilangkan. Risiko yang telah diketahui besar dan potensi akibatnya harus
dikelola dengan tepat, efektif dan sesuai dengan kemampuan serta kondisi perusahaan.
Untuk mengendalikan risiko yang ada, dua hal yang dapat kita lakukan, yaitu
menekan likelihood dan severity nya.

Menekan likelihood

Pengurangan kemungkinan ini dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan yaitu:


Eliminasi, Subtitusi, Teknis (Isolasi dan Pengendalian jarak), administratif dan
pendekatan manusia.

Eliminasi, Risiko dapat dihindarkan dengan menghilangkan atau mengeliminasi sumber


bahayanya. Contoh: Singa yang buas dibunuh tapi apa kita tega membunuh hewan?
Hehehe

Subtitusi, Mengganti bahan, alat, atau cara kerja dengan yang lain sehingga kecelakaan
dapat ditekan. Contoh: Singa yang buas tadi (hazard) kita ganti dengan kucing atau
kelinci agar kemungkinan risikonya lebih kecil.

Isolasi, Sumber bahaya dengan penerima di Isolir dengan suatu penghalang (barrier)
sehingga kemungkinan bahaya dapat dikurangi. Contoh: Singa di kebun binatang tidak
dibiarkan berkeliaran namun dimasukkan kedalam kandang (barrier).

Pengendalian Jarak, Semakin jauh manusia dengan sumber bahaya maka semakin kecil
pula kemungkinan kecelakaan terjadi. Contoh: Ketika ada Singa dipemukiman padat
penduduk maka masyarakat menjauh dari sumber bahaya tersebut.

vii
Adiminstratif, Pendekatan ini dilakukan untuk mengurangi kontak dengan sumber
bahaya. Contoh: Di kebun binatang (kandang singa) diberi poster K3 atau rambu K3 
“hanya petugas terlatih/pawang yang boleh masuk kedalam kandang”.

Pendekatan manusia, Pendekatan ini dilakukan dengan memberi pelatihan kepada


pekerja mengenai cara kerja aman, budaya keselamatan dan prosedur. Contoh pekerja dan
pengunjung di kebun binatang sebelum memulai aktivitas diberi penyuluhan terlebih
dahulu mengenai apa saja bahaya-bahaya yang ada dan risiko yang dapat terjadi.

Menekan Severity

Berbagai pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi keparahan antara lain:

Tanggap darurat, Keparahan dapat ditekan jika perusahaan memiliki sistem tanggap
darurat yang baik dan terencana. Contoh: Tanggap darurat dikebun binatang. Jika
kejadian seperti pengunjung yang diserang oleh singa dapat ditanggulangi dan diberi
pertolongan pertama dengan cepat dan tepat maka keparahan dapat ditekan.

Pengalihan Kontak, Opsi yang dapat dilakukan untuk menekan keparahan adalah
pengalihan risiko kepihak lain, sehingga beban risiko perusahaan menurun. Dalam
kontrak dapat diatur pembagian atau pengalihan tanggungjawab dengan pihak lain.
Contoh: Pekerja dikebun binatang diberi atau dimasukkan kedalam program asuransi
(BPJS Ketenagakerjaan misalnya). Namun dengan opsi ini, perusahaan masih
menanggung sebagian risiko (residual risk) karena dengan asurasi tidak mencakup risiko
akan tuntutan hukum, kehilangan pelanggan dan terutama citra perusahaan.

Design Features, Keparahan suatu kejadian dapat dikurangi dengan pendekatan desain
yang aman. Contoh: Kandang yang ada benar-benar kokoh dengan mempertimbangkan
aspek teknis sehingga kandang tersebut benar-benar aman dan tidak memberikan dampak
keparahan baik dari segi ekonomi (biaya perbaikan) atau cidera akibat terkaman singa
yang keluar dari kandang.

Mengurangi paparan, Keparahan suatu kejadian juga dapat ditekan dengan mengurangi
paparan, misalnya waktu kerja, dosis yang aman, pengaturan proses kerja dll.

Separasi, Pemisahan peralatan atau proses yang mengandung risiko tinggi dengan


instalasi lainnya, pengaturan jarak aman dan lainnya.

viii
Alat Pelindung Diri, Opsi ini adalah opsi terakhir (the last resort) dalam opsi
pengendalian risiko karena APD sejatinya bukan untuk mencegah kecelakaan namun
hanya untuk mengurangi keparahan kecelakaan.

Sebagai penutup, Berbagai macam pendekatan diatas bisa saja mengurangi kedua aspek
(likelihood dan severity) dalam hal pengendalian risiko. Sebagai contoh: Teknik
Subtitusi. Mengganti singa dengan kucing, kemungkinan terjadinya kecelakaan akan
menurun dan tentu saja keparahan dari suatu kejadian yang disebabkan oleh kucing yang
menyerang manusia juga menjadi lebih kecil nilai keparahannya. Jadi, pemilihan teknik
pengendalian risiko yang tepat sangat penting untuk memperoleh hasil yang paling baik.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu Kesehatan dan keselamatan kerja?

2. Apa itu manajemen resiko?

3. Apa saja bahaya K3 yang terjadi di lingkungan rumah sakit?

4. Apa saja faktor – faktor yang dapat mempengaruhi Kesehatan dan keselamatan kerja
di rumah sakit?

5. Bagaimana penanganan K3 dalam rumah sakit?

6. Apa saja tujuan dan manfaat K3 (Kesehatan dan keselamatan kerja) dalam rumah
sakit?

7. Apa saja contoh kasus yang terjadi di dalam Gedung rumah sakit beserta
penanganannya?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu Kesehatan dan keselamatan kerja

2. Untuk mengetahui apa itu manajemen resiko

3. Untuk mengetahui apa saja bahaya yang terjadi di lingkungan rumah sakit

ix
4. Untuk mengetahui apa saja faktor – faktor yang dapat mempengaruhi Kesehatan dan
keselamatan kerja di rumah sakit

5. Untuk mengetahui bagaimana penanganan K3 dalam rumah sakit

6. Untuk mengetahui apa saja tujuan dan manfaat K3 (Kesehatan dan keselamatan kerja)
dalam rumah sakit

7. Untuk mengetahui apa saja contoh kasus yang terjadi di dalam gedung
rumah sakit

beserta penanganannya

x
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) umumnya terbagi menjadi 3 (tiga) versi di
antaranya ialah pengertian K3 menurut filosofi, ilmuan, serta menurut standar OHSAS
18001 : 2007.
1. Definisi menurut filosofi :

a. Menurut Mangku Negara, keselamatan dan Kesehatan kerja adalah suatu


pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmania
maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya, dan manusia pada umumnya, hasil
karya dan budaya untuk menuju masyarakat adil dan Makmur.

b. Menurut Suma’mur (1981), Keselamatan kerja merupakan rangkaian usaha untuk


menciptakan suasana kerja yang aman dan tentram bagi para karyawan yang
bekerja di perusahaan yang bersangkutan.

c. Menurut Simanjuntak (1994), keselamatan kerja adalah kondisi keselamatan yang


bebas dari resiko kecelakaan dan kerusakan dimana kita bekerja yang mencakup
tentang kondisi bangunan, kondisi mesin, peralatan keselamatan, dan kondisi
pekerjaan.

d. Menurut Husni (2003), Ditinjau dari keilmuan Kesehatan dan keselamatan kerja
adalah ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan
terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja di tempat kerja.

2. Definisi menurut keilmuan :

Suatu cabang ilmu pengetahuan dan penerapan yang mempelajari tentang cara
mencegah terjadinya kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja (PAK).

3. Pengertian K3 Menurut OHSAS 18001:2007 Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)


adalah semua kondisi dan faktor yang dapat berdampak pada keselamatan dan
kesehatan kerja tenaga kerja maupun orang lain (kontraktor, pemasok, pengunjung
dan tamu) di tempat kerja.

xi
Jadi, Kesehatan dan keselamatan kerja (K3, terkesan rancu apabila disebut
keselamatan dan kesehatan kerja) adalah bidang yang terkait dengan kesehatan,
keselamatan, dan kesejahteraan manusia yang bekerja di sebuah institusi maupun lokasi
proyek. Tujuan K3 adalah untuk memelihara kesehatan dan keselamatan lingkungan
kerja.[1] K3 juga melindungi rekan kerja, keluarga pekerja, konsumen, dan orang lain
yang juga mungkin terpengaruh kondisi lingkungan kerja.

Di dalam rumah sakit terdapat juga keselamatan Kesehatan kerja rumah sakit
(K3RS). K3RS (Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit) adalah segala kegiatan
untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan bagi sumber daya manusia
rumah sakit, pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun lingkungan rumah sakit
melalui upaya pencegahan kecelakan kerja dan penyakit akibat kerja di rumah sakit.
Pengertian tersebut merupakan pengertian yang ada pada Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 66 Tahun 2016 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit.

2.2 Manajemen Resiko

Manajemen resiko adalah suatu pendekatan terstruktur atau metodologi dalam


mengelola ketidakpastian berkaitan dengan ancaman, suatu rangkaian aktivitas manusia
termasuk : penilaian resiko, pengembangan strategi untuk mengelolanya dan mitigasi
resiko dengan menggunakan pemberdayaan atau pengelolaan sumber daya.

Rumah sakitpun sebagai sebuah institusi dimana aktivitasnya penuh dengan berbagai
resiko keselamatan, sudah selayaknya menerapkan hal ini. Resiko adalah peluang
terjadinya sesuatu yang akan mempunyai dampak pada pencapaian tujuan.

Sedangakan manajemen resiko adalah proses pengukuran atau penilaian resiko serta
pengembangan strategi pengelolaannya. Mengapa manajemen resiko itu penting? Sikap
orang Ketika menghadapi resiko berbeda-beda. Ada orang berusaha untuk menghindari
resiko, namun ada juga yang sebaliknya sangat senang menghadapi resiko sementara yang
lain mungkin tidak terpengaruh dengan adanya resiko. Pemahaman atau sikap o rang
terhadap resiko ini dapat membantu untuk mengerti berapa resiko itu penting untuk
ditangani dengan baik.

Resiko dapat dikategorikan kedalam dua bentuk :

xii
1. Resiko spekulatif

Resiko spekulatif adalah suatu keadaan yang dihadapi perusahaan yang dapat
memberikan keuntungan dan juga dapat memberikan kerugian.

Resiko spekulatif kadang-kadang dikenal pula dengan istilah resiko bisnis

2. Resiko murni

Resiko murni (pure risk) adalah sesuatu yang hanya dapat berakibat
merugikan atau tidak terjadi apa-apa dan tidak mungkin menguntungkan. Salah satu
contoh adalah kebakaran, apabila perusahaan menderita kebakaran, maka perusahaan
tersebut akan menderita kerugian. Kemungkinan yang lain adalah tidak terjadi
kebakaran. Dengan demikian, kebakaran hanya menimbulkan kerugian, bukan
menimbulkan keuntungan, kecuali ada kesengajaan untuk membakar dengan maksud-
maksud tertentu.

Perbedaan utama antara resiko spekulatif dengan resiko murni adalah


kemungkinan untung ada atau tidak, untuk resiko spekulatif masih terdapat
kemungkinan untung sedangkan untuk resiko murni tidak dapat kemungkinan untung.

 Langkah-langkah dalam proses manajemen resiko adalah :

1. Identifikasi resiko

Proses ini meliputi identifikasi resiko yang mungkin terjadi dalam suatu
aktifitas usaha. Identifikasi secara akurat dan komplit sangatlah vital dalam
manejemen resiko. Salah satu aspek penting dalam identifikasi resiko adalah
mendaftar resiko yang mungkin terjadi sebanyak mungkin.

Teknik-teknik yang dapat digunakan dalam identifikasi resiko antara lain :

 Brainstorning

Merupakan indentifikasi awal dari semua resiko yang mungkin akan


terjadi. Brainstorming ini bertujuan untuk mendata semua kemungkinan
resiko yang terjadi. Disini dibuat daftar mengenai semua resiko yang akan
terjadi dan mengelompokkan resiko-resiko yang sama.

 Survei

xiii
Survei adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan pertanyaan
terstruktur yang sama pada setiap orang, kemudian semua jawaban yang
diperoleh peneliti dicatat, diolah, dan dianalisis.

 Wawancara

Wawancara merupakan tanya jawab untuk memperoleh informasi atau


keterangan akan suatu hal. Dan wawancara merupakan tehnik
pengumpulan data yang diperoleh secara langsung antara pewawancara
dengan sumber.

 Informasi histori

 Kelompok kerja

2. Evaluasi dan Pengukuran Risiko

Langkah berikutnya adalah mengukur risiko tersebut dan mengevaluasi


risiko tersebut. Tujuan evaluasi risiko adalah untuk memahami karakteristik
risiko dengan Tujuan evaluasi risiko adalah untuk memahami karakteristik
risiko dengan lebih baik. Jika kita memperoleh pemahaman yang lebih baik,
maka risiko akan lebih 7 mudah dikendalikan. Evaluasi yang lebih sistematis
dilakukan untuk mengukur" risiko tersebut. Ada beberapa teknik untuk
mengukur risiko tergantung jenis risiko tersebut. Sebagai contoh kita bisa
memperkirakan probabilitas (kemungkinan) risiko atau suatu kejadian jelek
terjadi.

 Tipe-tipe resiko :

Untuk keperluan identifikasi dan mengelola resiko yang dapat dapat


menyebabkan sebuah pengembangan melampui batas waktu dan biaya yang
dilokasikan maka perlu di identifikasikan tiga tipe resiko yang ada yaitu :

 Resiko yang disebabkan karena kesulitan melakukan estimasi.

 Resiko yang disebabkan karena asumsi yang dibuat selama proses


perencanaan.

 Resiko yang disebabkan adanya even yng tidak terlihat atau tidak
direncanakan.
xiv
Keselamatan pasien di rumah sakit merupakan tujuan mendasar setiap rumah
sakit. Keselamatan pasien di Indonesia telah berkembang sejalan dengan semakin
maraknya kasus – kasus ketuntunan hukum dan pengadilan. Kenyataan yang ada
di rumah sakit bahwa terdapat ratusan jenis obat, ratusan test dan prosedur,
terdapat banyak pasien, kelompok profesi dan individu staf serta banyak system
dan keberagaman yang semuanya ini sangat esensial menimbulkan kesalahan. Di
mana kesalahan tersebut bisa berdampak terhadap hilangnya kehidupan seorang
pasien ataupun kesalahan vatal lainnya.

 Perencanaan Respon terhadap resiko

a. Risiko Positif

Risiko positif adalah risiko yang mungkin terjadi dan merupakan


peluang untuk memberikan manfaat terhadap suatu proyek.

Strategi untuk risiko positif antara lain:

1. Exploit

strategi untuk memastikan bahwa kesempatan (risiko positif) dapat


terealisasi.

Contoh: menugaskan SDM yang lebih berbakat untuk mengurangi waktu


penyelesaian atau menyediakan mutu lebih baik dari yang direncanakan.

2. Share

alokasi kepemilikan kepada pihak ke tiga yang memiliki kemampuan


terbaik menangkap peluang manfaat proyek.

Contoh: special purpose company, joint venture.

3. Enchance

memodifikasi ukuran kesempatan dengan meningkatkan peluang dan


dampak positif dengan mengidentifikasi dan memaksimalkan pengendali
kunci dari risiko berdampak positif.

b. Risiko Negatif

xv
Risiko Negatif adalah risiko yang mungkin terjadi dan jika terjadi
dapat memberikan dampak buruk dan merugikan untuk suatu proyek.

Strategi untuk risiko negatif antara lain:

1. Avoid

upaya untuk mencegah risiko dengan cara menghentikan aktivitas atau


kondisi yang dapat memberikan risiko. Upaya ini dilakukan jika tidak ada
respon risiko yang sesuai untuk menangani risiko yang diperkirakan.

2. Transfer

respon risiko yang dilakukan dengan upaya mengurangi frekuensi ataupun


dampak risiko dengan cara mentransfer atau membagi porsi risiko dengan
pihak lain dengan cara membuat asuransi atau melakukan outsource pada
aktivitas yang diperkirakan dapat memberikan risiko.

3. Mitigate

melakukan tindakan pengurangan peluang atau dampak dari aktivitas


risiko yang dapat merugikan.

 Cara pengendalian dan monitoring risiko K3 didalam Rumah Sakit

a. Planning/ (Perencanaan)

Fungsi perencanaan adalah suatu usaha menentukan kegiatan yang


akan dilakukan di masa mendatang guna mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Dalam hal ini adalah keselamatan dan kesehatan kerja di rumah
sakit dan instansi kesehatan.perencanaan ini dilakukan untuk memenuhi
standarisasi kesehatan pacsa perawatan dan merawat (hubungan timbal balik
pasien – perawat / dokter, serta masyarakat umum lainnya).

Dalam perencanaan tersebut, kegiatan yang ditentukan meliputi:

 Hal apa yang dikerjakan

 Bagaiman cara mengerjakannya

 Mengapa mengerjakan

 Siapa yang mengerjakan


xvi
 Kapan harus dikerjakan

 Dimana kegiatan itu harus dikerjakan

 hubungan timbal balik ( sebab akibat)

Kegiatan kesehatan ( rumah sakit / instansi kesehatan ) sekarang tidak


lagi hanya di bidang pelayanan, tetapi sudah mencakup kegiatan-kegiatan di
bidang pendidikan dan penelitian, juga metode-metode yang dipakai makin
banyak ragamnya. Semuanya menyebabkan risiko bahaya yang dapat terjadi
dalam ( rumah sakit / instansi kesehatan ) makin besar. Oleh karena itu
usahausaha pengamanan kerja di rumah sakit / instansi kesehatan harus
ditangani secara serius oleh organisasi keselamatan kerja rumah sakit / instansi
kesehatan.

b. Organizing/ (Organisasi)

Organisasi keselamatan dan kesehatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan


dapat dibentuk dalam beberapa jenjang, mulai dari tingkat rumah sakit /
instansi kesehatan daerah (wilayah) sampai ke tingkat pusat atau nasional.
Keterlibatan pemerintah dalam organisasi ini baik secara langsung atau tidak
langsung sangat diperlukan. Pemerintah dapat menempatkan pejabat yang
terkait dalam organisasi ini di tingkat pusat (nasional) dan tingkat daerah
(wilayah), di samping memberlakukan Undang-Undang Keselamatan Kerja.
Di tingkat daerah (wilayah) dan tingkat pusat (nasional) perlu dibentuk Komisi
Keamanan Kerja rumah sakit / instansi yang tugas dan wewenangnya dapat
berupa :

1. Menyusun garis besar pedoman keamanan kerja rumah sakit / instansi


kesehatan.

2. Memberikan bimbingan, penyuluhan, pelatihan pelaksana- an keamanan


kerja rumah sakit / instansi kesehatan.

3. Memantau pelaksanaan pedoman keamanan kerja rumah sakit / instansi


kesehatan.

4. Memberikan rekomendasi untuk bahan pertimbangan penerbitan izin


rumah sakit / instansi kesehatan.
xvii
5. mengatasi dan mencegah meluasnya bahaya yang timbul dari suatu rumah
sakit / instansi kesehatan.

6. Dan lain-lain.

Selain itu organisasi-organisasi profesi atau seminar tersebut dapat


juga membentuk badan independen yang berfungsi sebagai lembaga penasehat
atau Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit /
Instansi Kesehatan.

c. Actuating/ (Pelaksanaan)

Fungsi pelaksanaan atau penggerakan adalah kegiatan mendorong


semangat kerja, mengerahkan aktivitas, mengkoordinasikan berbagai aktivitas
yang akan menjadi aktivitas yang kompak (sinkron), sehingga semua aktivitas
sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Pelaksanaan
program kesehatan dan keselamatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan
sasarannya ialah tempat kerja yang aman dan sehat.

Untuk itu setiap individu yang bekerja maupun masyarakat dalam


rumah sakit / instansi kesehatan wajib mengetahui dan memahami semua hal
yang diperkirakan akan dapat menjadi sumber kecelakaan kerja dalam rumah
sakit / instansi kesehatan, serta memiliki kemampuan dan pengetahuan yang
cukup untuk melaksanakan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan kerja
tersebut. Kemudian mematuhi berbagai peraturan atau ketentuan dalam
menangani berbagai spesimen reagensia dan alat-alat. Jika dalam pelaksanaan
fungsi penggerakan ini timbul permasalahan, keraguraguan atau pertentangan,
maka menjadi tugas semua untuk mengambil keputusan penyelesaiannya.

d. Controlling/ (Pengawasan)

Fungsi pengawasan adalah aktivitas yang mengusahakan agar


pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan atau
hasil yang dikehendaki.

Untuk dapat menjalankan pengawasan, perlu diperhatikan 2 prinsip pokok,


yaitu :

1. Adanya rencana

xviii
2. Adanya instruksi-instruksi dan pemberian wewenang kepada bawahan.

Dalam fungsi pengawasan tidak kalah pentingnya adalah sosialisasi


tentang perlunya disiplin, mematuhi segala peraturan demi keselamatan
kerja bersama di rumah sakit / instansi kesehatan. Sosialisasi perlu
dilakukan terus menerus, karena usaha pencegahan bahaya yang
bagaimanapun baiknya akan sia-sia bila peraturan diabaikan.

Dalam rumah sakit / instansi kesehatan perlu dibentuk pengawasan rumah


sakit / instansi kesehatan yang tugasnya antara lain :

 Memantau dan mengarahkan secara berkala praktek- praktek rumah


sakit / instansi kesehatan yang baik, benar dan aman.

 Memastikan semua petugas rumah sakit / instansi kesehatan


memahami cara- cara menghindari risiko bahaya dalam rumah sakit /
instansi kesehatan.

 Melakukan penyelidikan / pengusutan segala peristiwa berbahaya atau


kecelakaan.

 mengembangkan sistem pencatatan dan pelaporan tentang keamanan


kerja rumah sakit / instansi kesehatan.

 Melakukan tindakan darurat untuk mengatasi peristiwa berbahaya dan


mencegah meluasnya bahaya tersebut.

 Dan lain-lain

 Jenis – jenis Resiko

Jenis-jenis risiko dalam pelayanan rumah sakit:

a. Corporate risk

Risiko yang berkaitan dengan tujuan

Contoh:

1. Korupsi yang dilakukan bagian keuangan di rumah sakit, sehingga suatu


rumah sakit tersebut akan mendapatkan cap buruk dari pasien masyarakat
dan dapat menjatuhkan reputasi daripada rumah sakit itu sendiri.
xix
2. Adanya suatu kasus penemuan rumah sakit X yang mana ada indikasi
penggunaan jarum suntik bekas. Jika rumah sakit X awalnya memiliki
pelayanan yang baik, maka “kecacatan di rumah sakit X” biasanya akan di
generalisir oleh pasien maupun masyarakat.Hal ini akan merusak nama
baik daripada rumah sakit X.

3. Terjadinya kebocoran kerahasiaan informasi rekam medis pasin.

Pencegahan:

1. Mengevaluasi dampak dari risko.

2. Mengakui bahaya.

3. Mengalokasikan sumber daya yang luas untuk pengendalian kerusakan.

4. Meningkatkan kinerja dan upah daripada pegawai.

5. Mengalokasikan dana sesuai rencana anggaran rumah sakit untuk


peyediaan alat-alat operasional dan penunjang jesehatan medis lainnya.

b. Non-clinical (physical) risk

Bahaya potensial akibat lingkungan

Contoh:

Kebakaran, pencurian, perampokan, pembunuhan dan bentuk kejahatan


lain maupun kejadian yang diakibatkan dari faktor alam dan sosial.

Pencegahan:

Mengelola sumua fungsi-fungsi manajamen resikonya, seperti patient


safety, kesehatan dan keselamatan kerja, keluhan, tuntutan (litigasi) klinik,
litigasi karyawan, serta risiko keuangan dan lingkungan Meningkatkan
keamanan di rumah sakit baik melalui CCTV dan peningkatan petugas
keamanan.

c. Clinical risk

Bahaya potensial akibat pelayanan klinis

Contoh:

xx
Umum

1. Diagnosis terlambat, salah diagnosis, salah asamen pasien.

2. Salah obat, atau salah dosis dari obat yang tepat.

3. Rekam medis tidak tersedia waktu konsultasi.

4. Masalah komunikasi antaa profesional medis dengan pasien.

5. Reaksi yang merugikan akibat obat.

Akut

1. Mengangkat ginjal yang salah.

2. Terlamat haid, nyeri perut tapi tidakdidiagnosis kehamilan.

Ektopik

1. Pasien alergi, diberi peisilin tanpa sebelumnya ditanya dan diperiksa


rekam medis dan catatan-catatan lain.

2. Pasien henti nafas, infeksi saluran kemih karena kateter.

3. Spesimen darah untuk tes-silang pada transfusi diambil dari pasien yang
salah.

Kesehatan Jiwa

1. Pasien melarikan diri.

2. Pasien melakukan atu mencoba melakukan bunh diri.

3. Pasien mencierai diri sendiri.

Ambulan

1. Pertolongan terlambat.

2. Memindahkan pasien kecelakaan lalu lintas tanpa asasmen yang layak dan
imobilisasi ruas tulang leher.

Pencegahan:

xxi
Melakukan perbaikan modernisasi dan clinical governance Menyatukan
semua sumber infoormasi yang berkaitan dengan risiko dan keselamatan.
Menggunakan pendekatan yang konsisten untuk pelatihan, manajemen,
analisis dan investigasi dari semua risiko yang potensial dan kejadian aktual.
Menggunakan pendekatan yang konsisten dan menyatukan semua penilaian
risiko dari semua jenis risiko di rumah sakit pada setiap level Memadukan
semua risiko ke dalam program penilaian risiko dan risk register.

Menggunakan informasi yang diperoleh melalui penilaian rissiko dan


insiden untuk menyusun kegiatan mendatag dan perencanaan strategis
Memastika bahwa dilakukan tindakan untk mencegah terjadi kesalahan/risiko.
Membangun sistem untuk mengurangi terjadinya sesuatu.

d. Financial risk

Risiko finansial yang secara negatif akan berdampak pada kemampuan


organisasi untuk mencapai tujuan.

Contoh:

Terjadinya penyusutan sumber pemasukan dari keuangan di rumah sakit.


Kekurangan dana yang masuk karena jumlah pasien yang melakukan
pelayanan kesehatan sedikit. Terlalu banyak petugas dan tidak diimbangi
dengan pelayanan yang baik sehingga income sedikit. Gagal
memepertahankan akreditasi dan rumah sakit tidak berkembang.

Pencegahan:

1. Selalu berusaha untuk meningkatkan kemampuan dalam melayani pasien.

2. Meningkatkan mutu klinis rumah sakit.

3. Meningkatkan kemampuan tenaga profesional medis yang akan


mengakibatkan pasien untuk berobat dan melakukan pelayanan kesehatan.

4. Bekerjasama dengan badan hukum dan organisasi pelayanan asuransi


kesehatan.

5. Mengembangkan kepercayaan kepada pasien dan masyarakat sekitar


bahwa rumah sakit mampu memberikan pelayanan kesehatan yang baik.

xxii
6. Mengurangi risiko pasien meninggal dengan meningkatkan kualitas
pelayanan medis.

7. Mampu mengalokasikan keuangan dengan baik, tepat dan akurat.

2.3 Bahaya K3 yang terjadi di lingkungan rumah sakit

Rumah sakit merupakan fasilitas kesehatan yang paling kompleks diantara jenis
fasilitas kesehatan yang ada. Kompleksitas rumah sakit ini dapat ditinjau dari jumlah dan
karakteristik layanan yang tersedia, luasnya area yang diperlukan untuk menjalankan
layanan, jumlah dan ragam personal yang terlibat dalam layanan, serta peralatan dan
teknologi yang digunakan dalam penyelenggaraan layanan. Seperti halnya fasilitas
kesehatan lainnya, rumah sakit merupakan tempat kerja yang sangat sarat dengan potensi
bahaya kesehatan dan keselamatan pekerjanya. Risiko terjadinya gangguan kesehatan dan
kecelakaan menjadi semakin besar pada pekerja disuatu rumah sakit mengingat rumah
sakit merupakan fasilitas kesehatan paling kompleks dan merupakan tempat yang padat
tenaga kerja.

pertumbuhan penduduk dan pertambahan pengetahuan dan kesadaran masyarakat


tentang pentingnya kesehatan. Peningkatan kebutuhan ini menyangkut pertambahan
jumlah dan besarnya suatu fasilitas kesehatan, termasuk rumah sakit yang berdampak
pada peningkatan jumlah pekerja. Tentu saja pekerja tersebut berkemungkinan besar
terkena bahaya potensial kesehatan yang ada.

Rumah sakit mempunyai perbedaan khas dengan tempat kerja yang lain terkait
dengan terbukanya akses bagi bukan pekerja dengan leluasa. Berbeda dengan tempat
kerja lain, hanya pekerja saja yang dapat memasuki area pabrik misalnya. Sebagai
konsekuensinya, pajanan bahaya potensial yang terdapat di rumah sakit dapat mengenai
bukan hanya pekerja, tetapi juga komunitas bukan pekerja dalam hal ini pengguna jasa
rumah sakit, dan juga pengunjung lainnya. Perbedaan lain adalah dengan berlangsungnya
kegiatan yang terus menerus 24 jam dan 7 hari seminggu, menjadikan risiko gangguan
kesehatan menjadi lebih besar sebagai akibat lama pajanan terhadap bahaya potensial
menjadi lebih lama.

Berbagai penelitian menunjukkan prevalensi gangguan kesehatan yang terjadi di


antara pekerja / petugas fasilitas kesehatan cukup tinggi.
xxiii
a. Bahaya potensial Kesehatan

Pajanan bahaya potensial kesehatan sangat tergantung dengan jenis pekerjaan


yang dilakukan oleh pekerja di rumah sakit tersebut. Dapat juga terjadi suatu bahaya
potensial kesehatan menyebabkan pajanan pada semua pekerja yang berada di tempat
tersebut, dan tidak hanya pekerjanya. Perlu dipahami pula disebut sebagai 'potensial'
karena terkait dengan prinsip hubungan dosis dan respon. Dengan demikian Leleu dkk
Menggolongkan bahaya potensial kesehatan kerja kedalam kelompok yang terdiri dari
Bahaya-bahaya fisika, Bahaya kimiawi, Biologis/infeksi, dan Bahaya sensitisasi
alergi. Selain itu dipahami bahwa dapat juga ditemukan bahaya potensial yang
tergolong dalam Ergonomik dan Psikologis.

 Bahaya Potensial Kesehatan Kelompok Fisika

Termasuk dalam bahaya potensial kesehatan kelompok fisika adalah tekanan


suhu ekstrim, getaran, dan juga radiasi elektromagnetik. Tekanan panas
merupakan bahaya potensial yang dapat dijumpai di dapur rumah sakit. Risiko
gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh pajanan panas berasal dari kegiatan
danyang dapat dijumpai di dapur rumah sakit. Risiko gangguan kesehatan yang
diakibatkan oleh pajanan panas berasal dari kegiatan dan peralatan dapur rumah
sakit. Gangguan kesehatan yang dapat ditimbulkan oleh tekanan panas ini adalah
meliputi ketidaknyamanan bekerja, anoreksi, heat cramps, heat exhaustion, dan
juga heat stroke. Dengan mengambil analog dengan dapur suatu hotel, penelitian
yang dilakukan oleh Soemarko pada tahun 1997 di salah satu hotel di Jakarta
dapat memberikan gambaran tentang faktor risiko ini.

Getaran atau vibrasi merupakan bahaya potensial yang dapat dijumpai pada
pekerjaan dengan menggunakan alat yang bergetar. Pekerjaan tersebut antara lain
adalah penggunaan bur gigi oleh dokter gigi, alat bur kayu atau tembok oleh
teknisi pemeliharaan gedung atau pada kegiatan konstruksi. Gangguan kesehatan
yang dapat terjadi adalah sindroma getaran tangan dan lengan, dan apabila
dikombinasi dengan posisi janggal pada lengan saat bekerja dapat meningkatkan
risiko terjadinya sindroma terowongan karpal.

Faktor risiko lain yang banyak dijumpai di rumah sakit adalah radiasi
elektromagnetik. Pajanan radiasi elektromagnetik dapat dikelompokkan menjadi
radiasi pengion dan radiasi bukan pengion. Termasuk pada radiasi pengion adalah
xxiv
sinar x dari penggunaan pesawat rontgen, dan partikel berenergi tinggi yang
dihasilkan oleh penggunaan radioterapi. Disamping unit radiology, urologi, kamar
operasi, unit tindakan kateterisasi kardiologi merupakan tempat kerja dengan
ekposur radiasi yang tinggi. Faktor yang berpengaruh pada intensitas radiasi
meliputi konfigurasi alat radiologi, jumlah kasus yang ditangani, dan periode
waktu pelaksanaan prosedur.

Radiasi pengion ini telah dikenal sebagai karsinogenik, mutagenik, dan juga
teratogenik. Penggunaan alat alat diagnostik, dan terapi, dan juga penggunaan
video display terminal (VDT) berkontribusi meningkatkan pajanan radiasi
elektromagnetik bukan pengion. Radiasi elektromagnetik bukan pengion meliputi
medan magnet seperti pada MRI dan office apliances, dan juga penggunaan
peralatan listrik lainnya. Jenis radiasi bukan pengion lain yaitu sinar infra merah
dan ultraviolet dapat terjadi pada penggunaan alat fisioterapi dalam rehabilitasi
medik, dan sterilisator. Gangguan kesehatan yang dapat terjadi meliputi gangguan
reproduksi, sistem jantung dan pembuluh darah, sistem hematologik, katarak, luka
bakar, dan lain lain. Gangguan kesehatan ini sangat tergantung dengan intensitas
pajanan dan juga frekuensinya.

 Bahaya Potensial Kesehatan Kelompok Kimia

Bahaya potensial kesehatan kelompok kimia dapat dijumpai terutama di


laboratorium klinik, ruang tindakan dan kamar operasi, ruang jenazah, dan ruang
farmasi. Tetapi tidak berarti ruangan lain termasuk ruang administrasi terbebas
dari bahaya kimia.

Difahami bahwa sebagian besar kegiatan di fasilitas kesehatan dilaksanakan di


dalam gedung/ ruangan. Dengan demikian kualitas udara ruangan (Indoor Air
Quality) merupakan hal penting yang harus mendapat perhatian agar tidak terjadi
keadaan yang dapat mengganggu kenyamanan dalam bekerja dan terlebih lagi
sampai mengganggu kesehatan pekerja.

Salah satu indikator kualitas udara ruangan adalah iklim kerja, tetapi faktor ini
dibahas dalam bahaya potensial faktor fisika. Dalam paragraf ini yang
dimasukkan adalah merupakan bahaya kimia penyebab polusi udara ruangan.
Termasuk dalam hal ini adalah senyawa organik, partikulat, dan serat (fibers).

xxv
Potensi bahaya faktor ini meningkat terkait dengan terbatasnya sirkulasi udara
segar akibat ventilasi yang kurang adekuat.

 Senyawa organik

Uap senyawa organik, merupakan polutan yang potensial dijumpai di


ruangan rumah sakit. Senyawa ini dapat berasal dari penggunaan bahan
pembersih, desinfektan, pestisida, penggunaan bahan cat, dan bahan perekat.
Termasuk juga dalam hal ini adalah polusi kendaraan bermotor, mengingat
kebanyakan rumah sakit berlokasi di pinggir jalan ramai. Penggunaan bahan
bakar minyak di Indonesia, belum keseluruhannya bebas timbal organik
sehingga potensial sebagai pencemar udara sampai di dalam ruangan rumah
sakit. Penggunaan senyawa pencuci hama seperti alkohol, senyawa aldehid
(glutaraldehid, formaldehid), dan etilenoksida. Pencemar lain adalah senyawa
aromatik, glikol, dan haloaromatik.

Fenol atau dikenal juga dengan sebutan karbol (carbolic acid) merupakan
senyawa yang sering digunakan sebagai desinfektan. Kontak dengan bahan ini
dapat menyebabkan iritasi kulit dan luka bakar, dan inhalasi dengan
konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan iritasi saluran napas ringan,
sampai dengan gangguan kesadaran.

 Partikulat

Partikulat respirabel yang paling dominan sebagai pengganggu kualitas


udara ruanganadalah asap rokok. Kandunganya merupakan gabungan senyawa
karsinogenik, mutagenik, toksik dan iritatif. Partikulat lain adalah debu yang
berasal dari luar ruangan, seperti dari jalan raya, ataupun debu kegiatan
konstruksi. Debu ruangan juga merupakan partikel yang dapat membawa jenis
tungau, serpihan kulit, aeroallergen dan juga deposit pestisida. Senyawa yang
sering ditemukan terkait dengan kualitas udara ruangan adalah ozon, NOX,
SOX, dan CO.

Partikulat bahan farmasi dikenal sebagai penyebab alergi yang sering


terjadi pada pekerja apotik dan laboratorium. Efek toksik yang paling sering
dari bahan ini adalah dermatitis kontak iritan, walaupun manifestasi alergi
juga ditemukan. Insidensi dermatitis iritan pada tangan paling sering

xxvi
ditemukan pada pekerja kebersihan. Hal ini ditunjang oleh penelitian Ginting
tahun 2004 di sebuah rumah sakit di Jakarta. Prevalensi dermatitis kontak
iritan kumulatif tangan yang diteliti pada 107 responden pekerja kebersihan
rumah sakit tersebut mencapai 65,4%4

Reaksi alergi yang terjadi pada pekerja di fasilitas kesehatan dapat terjadi
akibat pajanan protein dengan berat molekul rendah seperti bahan obat-obatan,
dan protein dengan berat molekul tinggi seperti berasal dari tumbuhan dan
hewan.

Gangguan pernapasan pada pekerja di rumah sakit, banyak dihubungkan


dengan pajanan senyawa klorin. Senyawa klorin menjadi lebih berbahaya, bila
tercampur dengan larutan amonia dan bereaksi membentuk gas kloramin yang
bersifat asfiksian.

Merkuri dapat mengkontaminasi lingkungan kerja akibat kebocoran atau


tumpahan dari pekerjaan penambalan gigi atau alat yang menggunakan bahan
ini seperti tensimeter dan termometer. Ceceran metil merkuri di tempat kerja
yang divakum menyebabkan penyebaran bahan ini di udara.

Metil metakrilat merupakan senyawa pencemar yang banyak digunakan di


bidang ortopedi, dan protesa. Bahan ini menyebabkan gangguan kesehatan
seperti dermatitis kontak alergi, dan melalui inhalasi dapat menyebabkan
spasme bronkus dan asma.

Gas anestesi halothane dan nitrogen oksida merupakan senyawa yang


sering dihubungkan dengan potensi toksiknya terhadap sistem reproduksi dan
susunan syaraf pusat. Sementara itu untuk senyawa flurane, belum jelas
adanya pengaruh toksik.

 Serat (fibers)

Untuk kelompok serat ini, yang perlu menjadi perhatian adalah serat asbes,
terlepas dari perdebatan mengenai sifat potensi fibrogenik dan karsinogenik
dari jenis chrysotile, yang umum digunakan. Asbes mempunyai sifat yang
stabil, dan hanya akan menjadi serat yang terdispersi di udara, pada saat
pembongkaran, misalnya.

xxvii
Fiberglas merupakan bahan lain yang banyak digunakan pada konstruksi
termasuk bangunan fasilitas kesehatan. Demikian juga bahan tekstil digunakan
secara luas di dalam ruangan ruangan rumah sakit, dan fasilitas kesehatan
lainnya. Aerosol bahan ini bersifat iritan saluran napas.

 Bahaya potensial kesehatan kelompok biologi

Termasuk dalam kelompok biologis ini adalah virus, bakterei, jamur, dan parasit
lainnya.

 Bioaerosol

Salah satu jalan masuk bahaya potensial kesehatan kelompok biologi


ini adalah melalui inhalasi bioaerosol. Istilah bioaerosol adalah dispersi jasad
renik atau bahan lain dari bagian jasad renik di udara. Sumber bioaerosol
adalah kapang, jamur, protozoa dan virus Sumber tersebutmenimbulkan bahan
bahan alergen, patogen, dan toksin di lingkungan. Bagian tubuh dan kotoran
tungau debu rumah (Dermatophagoides spp.) adalah alergen kuat pada
sebagian orang.

 Bakteri dan patogen lainnya

Petugas kesehatan, dan pekerja lain di fasilitas kesehatan mempunyai


risiko terinfeksi beberapa jenis bakteri dan patogen lainnya. Termasuk dalam
hal ini adalah Mycobacterium tuberculosis.

Berdasarkan undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit,


menyatakan rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat
inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Karena merupakan suatu institusi yang bergerak
dalam bidang pelayanan kesehatan, maka rumah sakit juga termasuk dalam kategori
tempat kerja. Isi dalam pasal 23 undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan
menyatakan bahwa setiap tempat kerja wajib menyelenggarakan kesehatan kerja.

Berdasarkan pernyataan tersebut, maka rumah sakit sebagai salah satu tempat
kerja juga wajib untuk menyelenggarakan kesehatan kerja bagi para pekerjanya agar
terhindar dari potensi bahaya yang ada di rumah sakit.

xxviii
Salah satu tempat kerja yang berisiko adalah Rumah Sakit, hal ini karena
rumah sakit memiliki potensi terjadinya penyakit infeksi terhadap para karyawan,
pasien, bahkan pengunjung. Beberapa contoh penyakit infeksi yang dapat terjadi di
Rumah Sakit adalah TB, Hepatitis B, Hepatitis C, dan bahkan berisiko terinfeksi
HIV/AIDS. Selain penyakit-penyakit infeksi, di rumah sakit juga memiliki risiko atau
bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di rumah sakit, seperti kecelakaan
(meliputi kejadian ledakan, kebakaran, kecelakaan yang diakibatkan adanya masalah
pada instalasi listrik, serta faktor-faktor yang dapat menimbulkan cidera lainnya),
radiasi, paparan bahan kimia beracun dan berbahaya, gasgas anastesi, gangguan
terkait psikis dan ergonomi. Semua potensi bahaya tersebut di atas, jelas dapat
mengganggu dan menimbulkan rasa kurang aman dan nyaman bagi pekerja di RS,
pasien maupun pengunjung yang ada di lingkungan RS. (KEPMENKES N0.432
Tahun 2007).

Karyawan rumah sakit terdiri dari tenaga medis dan tenaga non medis. Tenaga
medis yaitu dokter, perawat, dan bidan sedangkan tenaga non medis yaitu petugas
laundry, petugas kebersihan, petugas penyiapan makanan atau gizi, apoteker,
Pemeriksa laboratorium, dan petugas radiologi (Wichaksana, 2002). Dilihat dari jenis
pekerjaan yang ada di rumah sakit, dapat dikatakan tenaga medis merupakan
karyawan yang rentan terkena penyakit akibat kerja, karena mereka selalu melakukan
kontak dengan pasien yang sakit setiap hari. Namun tenaga non medis juga memiliki
potensi untuk terkena penyakit akibat kerja, walaupun mereka tidak melakukan
kontak langsung dengan pasien. Berbagai penyakit infeksi menular kepada tenaga non
medis melalui media udara, lantai, dinding, ruang kerja, jarum suntik bekas, dan infus
bekas.

Bahaya kesehatan kerja merupakan bahaya yang mempunyai dampak terhadap


kesehatan manusia dan penyakit akibat kerja. Dampak yang ditimbulkan bersifat
kronis.

Jenis bahaya kesehatan kerja dapat diklasifikasikan menjadi :

a. Bahaya fisik, antara lain dapat menimbulkan kebisingan, getaran, radiasi, suhu
ekstrim dan pencahayaan.

b. Bahaya kimia, mengandung berbagai potensi bahaya sesuai dengan sifat dan
kandungannya. Bahaya yang dapat ditimbulkan seperti keracunan dan iritasi.
xxix
c. Bahaya biologi, bahaya yang berkaitan dengan makhluk hidup seperti bakteri,
virus, dan jamur.

d. Bahaya psikologi, antara lain beban kerja berat, hubungan dan kondisi kerja yang
tidak nyaman.

2.4 Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi Kesehatan dan keselamatan kerja di

rumah sakit

Rumah sakit merupakan sarana pelayanan yang bergerak dibidang pelayanan jasa
kesehatan yang mempunyai beragam persoalan tenaga kerja yang rumit dengan berbagai
risiko terkena penyakit akibat kerja bahkan kecelakaan akibat kerja sesuai jenis
pekerjaannya sehingga berkewajiban menerapkan upaya pembinaan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Rumah Sakit (K3RS). Upaya ini dijalankan agar terhidar dari adanya
risiko kecelakaan kerja (Astono, 2010).Kecelakaan kerja merupakan kejadian yang tidak
terjadi secara kebetulan, melainkan ada sebabnya. Oleh karena adanya penyebabnya,
sebab kecelakaan harus diteliti dan ditemukan, agar untuk selanjutnya dengan tindakan
korektif yang ditujukan kepada penyebab itu serta dengan upaya preventif lebih lanjut
kecelakaan dapat dicegah dan kecelakaan serupa tidak berulang kembali (Suma’mur,
2013).

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kecelakaan kerja disebabkan oleh beberapa faktor
menurut anizar (2009) secara umum penyebab kecelakaan ada dua,yaitu unsafe action
dapat disebabkan oleh berbagai hal berikut, ketidakseimbangan fisik tenaga kerja, seperti:
posisi tubuh yang menyebabkan mudah lelah, cacat fisik, cacat sementara, kepekaan
panca indra terhadap sesuatu. Kurang pendidikan, kurang pengalaman, salah pengertian
terhadap suatu perintah, kurang terampil, salah mengartikan sop (standard operasional
procedur) sehingga mengakibatkan kesalahan pemakaian alat kerja atau penggunaan alat
itu sendiri.

Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan hal yang penting bagi perusahaan,
karena dampak kecelakaan dan penyakit kerja tidak hanya merugikan karyawan, tetapi
juga perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung (Kusuma, 2001). Sasaran
utama dari K3 ditujukan terhadap perawat, dengan melakukan segala daya upaya berupa

xxx
pencegahan, pemeliharaan dan peningkatan kesehatan tenaga kerja, agar terhindar dari
risiko buruk di dalam melakukan pekerjaan.

Faktor selanjutnya yang ikut berperan dalam perubahan perilaku perawat yaitu
tersedianya fasilitas yang mendukung sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Hal
ini sejalan dengan penelitian Tukatman, Sulistiawati, Purwaningsih dan Nursalam (2015)
yang menyebutkan bahwa faktor enabling (fasilitas keamanan dan keselamatan,
hukum/aturan) pada perawat berpengaruh terhadap K3 pada perawat dalam penanganan
pasien. Nilai yang paling tinggi pada faktor enabling berada pada komponen
hukum/aturan, artinya secara umum perilakuseseorang dipengaruhi oleh aturan yang ada
di lingkungannya.Selain beberapa faktor diatas, budaya organisasi juga berpengaruh
terhadap perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan, dimana budaya organisasi
yang baik akan mendorong perawat untuk bekerja sesuai dengan prosedur yang telah
ditetentukan (Notoadmodjo,2010).

Hal ini sejalan dengan penelitian Mulyatiningsih (2013) tentang determinan perilaku
perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien yang menunjukkan adanya hubungan
yang signifikan antara budaya organisasi dengan perilaku perawat dalam menjaga
keselamatan.

 Hubungan antara Sikap dengan Kejadian Kecelakaan Kerja

Menurut Honda dkk (2014) dalam penelitian di Thailand, terdapat hubungan


yang signifikan antara sikap perawat terhadap pencegahan cidera/ kecelakaan akibat
benda tajam dan terjadinya cidera akibat benda tajam. Perawat yang memiliki sikap
negative terhadap pencegahan cidera benda tajam hampir dua kali cenderung terkena
cidera benda tajam dibandingkan dengan yang bersikap positif. Rumah sakit dapat
mengurangi jumlah kejadian tertusuk benda tajam dengan meningkatkan sikap
perawat dimana sikap sangat berhubungan dengan perilaku. Penelitian ini sesuai juga
dengan penelitian yang dilakukan oleh Salawati (2009) dan Sandewa (2014) bahwa
sikap ada hubungan dengan kejadian kecelakaan kerja.

Direkomendasikan kepada perawat untuk bersikap positif terhadap prosedur


pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja dalam bentuk mendukung/ menyetujui
segala program K3 khususnya untuk pencegahan kecelakaan kerja maka diusahakan
adanya sikap yang pro aktif untuk mengaplikasikan ilmu baru tentang pelaksanaan
keselamatan dan kesehatan kerja. Semakin pro aktif mengaplikasikan ilmu baru maka
xxxi
akan semakin bersikap positif tentang pelaksanaan K3 sehingga akan mengurangi
kejadian kecelakaan kerja.Atas dasar rekomendasi diatas maka perlu adanya peran
serta Rumah Sakit khususnya bagian Komite K3RS untuk memberikan informasi dan
ketetapan standar operasional prosedur yang sesuai dengan pelaksanaan K3 secara
bertahap dan menyeluruh.

 Hubungan antara Pelatihan dengan Kejadian Kecelakaan Kerja

Pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja merupakan pelatihan yang


diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan
mengembangkan kemampuan, produktivitas, dan kesejahteraan tenaga kerja.
Kebutuhan pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja di Rumah Sakit satu dengan
Rumah Sakit lain berbeda sesuai sifat bahaya, skala kegiatan dan kondisi petugas
kesehatan (Ramli, 2010).

Pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja sangat penting mengingat


kebanyakan kecelakaan terjadi pada pekerja yang belum terbiasa bekerja secara
selamat. Penyebabnya adalah ketidaktahuan tentang bahaya atau cara mencegahnya
meskipun tahu tentang adanya suatu resiko.

Direkomendasikan kepada perawat untuk mengikuti pelatihan dan


mengaplikasikan ilmu yang didapat dalam melaksanakan tugas yang mengacu pada
prosedur K3 terutama untuk pencegahan kejadian kecelakaan kerja.Atas rekomendasi
tersebut perlu dilaksanakan pelatihan K3 oleh komite K3RS yang lengkap dan secara
berkala bagi seluruh perawat agar memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam
pelaksanaan tugas sesuai prosedur. Perlu dilaksanakan pelatihan K3RS secara
berkala, komprehensif dan merata pada seluruh perawat yang bertugas di Rumah
Sakit.

 Hubungan antara Promosi Keselamatan dan Kesehatan Kerja dengan Kejadian


Kecelakaan Kerja

Direkomendasikan supaya perawat dapat mencegah terjadinya kecelakaan


kerja maka diupayakan media sosialisasi untuk memberikan promosi K3 yang mudah
diakses seluruh perawat sehingga promosi K3 dapat terlaksana dengan baik. Atas
dasar rekomendasi diatas maka perlu adanya pemanfaatan media sosialisasi oleh
bagian Komite K3RS yang berisi tentang prosedur K3 terutama untuk pencegahan

xxxii
kejadian kecelakaan kerja. Untuk itu maka diperlukan media sosialisasi seperti
whatsapp yang dapat di akses dengan mudah oleh perawat tentang informasi
pelaksanaan K3, sehingga efisien dan efektif dalam menyampaikan promosi K3.
Media sosial tersebut dapat mengakomodir kebutuhan informasi, ilmu baru, praktik
terbaik tentang penanggulangan kecelakaan kerja yang dikelola oleh Komite K3RS.

Faktor-faktor penyebab kecelakaan kerja :

 Faktor teknis :

a. Tempat Kerja

Tempat kerja harus memenuhi syarat-syarat keselamatan kerja, seperti


ukuran ruangan tempat kerja, penerangan, ventilasi udara, suhu tempat kerja,
lantai dan kebersihan luangan, kelistrikan ruang, pewarnaan, gudang dan lain
sebagainya.Jika tempat kerja tidak memenuhi persyaratan yang telah
ditentukan, maka kecelakaan kerja sangat mungkin terjadi.

b. Kondisi Peralatan

Mesin-mesin dan peralatan kerja pada dasarnya mengandung bahaya


dan menjadi sumber terjadinya kecelakaan kerja. Misalnya karena mesin atau
peralatan yang berputar, bergerak, bergesekan, bergerak bolak-balik, belt atau
sabuk yang berjalan, roda gigi yang bergerak, transmisi serta peralatan
lainnya. Oleh karena itu, mesin dan perlatan yang potensial menyebabkan
kecelakaan kerja harus diberi pelindung agar tidak membahayakan operator
atau manusia.

c. Bahan-bahan dan peralatan yang bergerak

Pemindahan barang-barang yang berat atau yang berbahaya (mudah


meledak, pelumas, dan lainnya) dari satu tempat ke tempat yang lain sangat
memungkinkan terjadi kecelakaan kerja.

Untuk menghindari kecelakaan kerja tersebut, perlu dilakukan


pemikiran dan perhitungan yang matang, baik metode memindahkannya, alat
yang digunakan, jalur yang akan di lalui, siapa yang bisa memindahkan dan
lain sebagainya. Untuk bahan dan peralatan yang berat diperlukan alat bantu
seperti forklift. Orang yang akan mengoperasikan alat bantu ini harus

xxxiii
mengerti benar cara menggunakan forklift, karena jika tidak, kemungkinan
akan timbul kesalahan dan mengancam keselamatan lingkungan maupun
tenaga kerja lainnya.

d. Transportasi

Kecelakaan kerja yang diakibatkan dari penggunaan alat transportasi


juga cukup banyak. Dari penggunaan alat yang tidak tepat (asal-asalan), beban
yang berlebihan (overloading), jalan yang tidak baik (turunan, gelombang,
licin, sempit), kecepatan kendaraan yang berlebihan, penempatan beban yang
tidak baik, semuanya bisa berpotensi untuk terjadinya kecelakaan kerja.

Upaya untuk mengatasi hal tersebut di atas, diantaranya adalah


memastikan jenis transportasi yang tepat dan aman, melaksanakan operasi
sesuai dengan standart operational procedure (SOP), jalan yang cukup,
penambahan tanda-tanda keselamatan, pembatasan kecepatan, jalur khusus
untuk transportasi (misal dengan warna cat) dan lain sebagainya.

e. Tools (Alat)

Kondisi suatu peralatan baik itu umur maupun kualitas sangat


mempengaruhi terjadinya kecelakaan kerja. Alat-alat yang sudah tua
kemungkinan rusak itu ada. Apabila alat itu sudah rusak, tentu saja dapat
mengakibatkan kecelakaan.Melakukan peremajaan pada alat-alat yang sudah
tua dan melakukan kualitas kontrol pada alat-alat yang ada di tempat kerja

 Faktor Non-Teknis

a. Ketidaktahuan

Dalam menjalankan mesin-mesin dan peralatan otomotif diperlukan


pengetahuan yang cukup oleh teknisi. Apabila tidak maka dapat menjadi
penyebab kecelakaan kerja. Pengetahuan dari operator dalam menjalankan
peralatan kerja, memahami karakter dari masing-masing mesin dan
sebagainya, menjadi hal yang sangat penting, mengingat apabila hal tersebut
asal-asalan, maka akan membahayakan peralatan dan manusia itu sendiri.

b. Kemampuan yang kurang

xxxiv
Tingkat pendidikan teknisi sangat dibutuhkan untuk proses produksi
dan proses maintenance atau perawatan. Orang yang memiliki kemampuan
tinggi biasanya akan bekerja dengan lebih baik serta memperhatikan faktor
keslamatan kerja pada pekerjannya. Oleh sebab itu, untuk selalu mengasah
kemampuan akan menjadi lebih baik.

c. Ketrampilan yang kurang

Setelah kemampuan pengetahuan teknisi baik, maka diperlukan latihan


secara terus-menerus. Hal ini untuk lebih selalu mengembangkan ketrampilan
guna semakin meminimalkan kesalahan dalam bekerja dan mengurangi angka
kecelakaan kerja. Di dunia keteknikan, kegiatan latihan ini sering disebut
dengan training.

d. Bermain-main

Karakter seseorang yang suka bermain-main dalam bekerja, bisa


menjadi salah satu penyebab terjadinya angka kecelakaan kerja. Demikian
juga dalam bekerja sering tergesa - gesa dan sembrono juga bisa menyebabkan
kecelakaan kerja. Oleh karena itu, dalam setiap melakukan pekerjaan
sebaiknya dilaksanakan dengan cermat, teliti, dan hati-hati agar keselamatan
kerja selalu bisa terwujud. Terlebih lagi untuk pekerjaan yang menuntut
adanya ketelitian, kesabaran dan kecermatan, tidak bisa dilaksanakan dengan
berkerja sambil bermain.

e. Bekerja tanpa peralatan keselamatan

Pekerjaan tertentu, mengharuskan pekerja menggunakan peralatan


keselamatan kerja. Peralatan keselamatan kerja dirancang untuk melindungi
pekerja dari bahaya yang diakibatkan dari pekerjaan yang baru dilaksanakan.
Dengan berkembangnya teknologi, saat ini telah dibuat peralatan keselamatan
yang nyaman dan aman ketika digunakan. Perlatan keselamatan tersebut
diantaranya pakaian kerja (wearpack), helm pengaman, kacamata, kacamata
las, sarung tangan, sepatu kerja, masker penutup debu, penutup telinga dari
kebisingan, tali pengaman untuk pekerja di ketinggian dan sebaginya.

Terkadang orang yang sudah merasa mahir justru tidak menggunakan


peralatan keselamatan, misal dalam menyuntik tidak menggunakan hanscoon.
xxxv
Hal ini sangatlah salah, pekerja yang mahir dan profesional justru selalu
menggunakan peralatan keselamatan kerja untuk menjaga kualitas pekerjaan
yang terbaik serta keselamatan dan kesehatan dirinya selama bekerja

Adapun faktor – faktor lainnya :

1. Umur

Umur adalah lamanya hidup seseorang dalam tahun yang dihitung


sejak dilahirkan. semakin tinggi umur seseorang maka semakin bertambah
pula ilmu atau pengetahuan yang dimiliki karena pengetahuan seseorang
diperoleh dari pengalaman sendiri maupun pengalaman yang diperoleh
dari orang lain Jenis Kelamin : Jenis kelamin (seks) adalah perbedaan
antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang itu
dilahirkan. perbedaan biologis dan fungsi biologis laki-laki dan perempuan
tidak dapat ditukarkan diantara keduanya. Jenis kelamin yang memiliki
resiko lebih tinggi mengalami kecelakaan kerja adalah perempuan, tapi
hasil analisis uji Chi Square menunjukkan persentase kecelakaan lebih
banyak terjadi pada laki-laki.

2. Masa Kerja

Masa kerja adalah suatu kurun waktu atau lamanya tenaga kerja
bekerja disuatu tempat. Pengalaman untuk waspada terhadap kecelakaan
kerja bertambah baik sesuai denga pertambahan masa kerja dan lama
bekerja di tempat kerja yang bersangkutan.

3. Alat Pelindung Diri

Alat pelindung diri adalah alat yang digunakan untuk melindungi


pekerja agar dapat memproteksi dirinya sendiri. pengendalian ini adalah
alternatife terakhir yang dapat dilakukan bila kedua pengendalian
sebelumnya belum dapat mengurangi bahaya dan dampak yang mungkin
timbul.

Alat pelindung diri (APD) adalah seperangkat alat keselamatan yang


digunakan oleh pekerja untuk melindungi seluruh atau sebagian tubuh dari

xxxvi
kemungkinan adanya paparan potensi bahaya lingkungan kerja terhadap
kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

2.5 Penanganan K3 dalam rumah sakit

Kesehatan dan keselamatan kerja rumah sakit atau yang dikenal dengan K3 RS mulai
mendapat perhatian serius dari manajemen rumah sakit sejak diberlakukannya sistem
akreditasi rumah sakit oleh Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS).

Pada awal tahun 2017 KARS mengeluarkan Standar Nasional Akreditasi Rumah
Sakit yang merupakan penyempurnaan dari KARS versi 2012. Dalam SNARS 2017 pada
kelompok Standar Manajemen Rumah Sakit terdapat Bab mengenai Manajemen Fasilitas
dan Keselamatan atau dikenal dengan MFK.

Didalam MFK terdapat 24 standar dan 104 penilaian yang dapat dikelompokan
kedalam enam bidang, yaitu:

1. Keselamatan dan Keamanan

2. Bahan berbahaya dan beracun (B3) serta limbahnya

3. Manajemen Penanggulangan Bencana

4. Sistem Proteksi Kebakaran

5. Peralatan Medis

6. Sistem Penunjang

Rumah sakit diwajibkan untuk mengelola keenam bidang tersebut dalam upaya
mencegah kecelakaan dan kerugian bag pasien, pengunjung dan staf rumah sakit. Untuk
penerapan MFK ini, maka rumah sakit diwajibkan untuk menbentuk komite K3 atau
instalasi K3 sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 66 tahun 2016 tentang
standar kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit. Dalam permenkes 66 TH 2016
juga disebutkan tentang 5 prinsip SMK3 (Sistem Manajemen K3) sesuai dengan PP 50
Tahun 2012 tentang SMK3.

Lima prinsip tersebut adalah:

1. Kebijakan

xxxvii
2. Perencanaan

3. Implementasi

4. Monitoring Evaluasi

5. Tindak lanjut/perbaikan berkelanjutan

Artinya, dalam menerapkan K3 di rumah sakit harus dimulai dengan Komitmen dari
Top Manajemen atau direktur rumah sakit yang dituangkan dalam bentuk kebijakan K3.
Hal ini juga dinyatakan didalam MFK 1 tentang Kepemimpianan dan Perencanaan. Tanpa
komitmen yang kuat dari direktur rumah sakit maka penerapan K3 secara baik akan
menjadi sulit diwujudkan.

Ada beberapa langkah berikut yang dapat dilakukan dalam menerapkan K3 di rumah
sakit, langkah ini menjadi penting karena K3 Rumah Sakit dapat dikatakan merupakan
hal yang baru dan masih dianggap belum begitu penting, yaitu:

1. Mendapatkan komitmen dari Direktur Rumah Sakit. Langkah awal dalam penerapan
K3 rumah sakit adalah dengan mendapatkan komitmen dari direktur rumah sakit,
artinya direktur rumah sakit secara serius mendukung dan terlibat dalam program-
program K3 yang akan dijalankan.

2. Membentuk komite K3. Setelah mendapatkan komitmen dari direktur rumah sakit,
dan salah satu bentuk wujud dari komitmen tersebut, direktur membentuk Komite K3
rumah sakit dimana ketua komitenya adalah direktur atau satu level dibawahnya.
Komite K3 rumah sakit bertugas mebuat kebijakan K3 RS dan program-program K3
lainnya. Pembentukan Komite K3 RS disertai dengan Surat Keputusan (SK) direktur,
ada dua jenis SK yang perlu dikeluarkan oleh direktur, yaitu:

a. SK Pembentukan Organisasi Komite K3, dan

b. SK penunjukan/penugasan untuk semua anggota Komite K3.

3. Setelah komite K3 terbentuk, maka dilakukan kick off meting untuk membahas
rancangan Kebijakan K3 Rumah Sakit yang nantinya akan ditanda tangani oleh
direktur rumah sakit. Kebijakan K3 RS mencerminkan komitmen K3 dari direktur
rumah sakit untuk mematuhi peraturan perundangan terkait K3 yang berlaku,
komitmen untuk merencanakan dan menerapkan K3 untuk mencegahan Kecelakaan
Akibat Kerja (KAK) dan Penyakit Akibat Kerja (PAK) bagi semua staff/karyawan
xxxviii
rumah sakit baik yang permanen, kontrak, outsourcing atau vendor/kontraktor.
Kebijakan dibuat dalam bentuk tertulis dan ditanda tangani oleh direktur.

4. Langkah berikutnya adalah melakukan sosialisasi kebijakan K3 kepada seluruh


karyawan rumah sakit untuk mendapatkan dukungan dan keterlibatan dari seluruh
karyawan. Sosialisasi ini melibatkan semua manajemen termasuk direktur. Hal ini
penting dilakukan untuk menunjukan keseriusan dari semua manajemen dalam
penerapan K3 di rumah sakit. Kegagalan dalam mensosialisasikan kebijakan K3
kepada seluruh karyawan akan berakibat pada kegagalan dalam penerapan program-
program K3 berikutnya. Sosialisasi dapat dilakukan dalam bentuk komunikasi
langsung oleh direktur kepada seluruh karyawan rumah sakit, atau berjenjang melalui
manajemen rumah sakit sampai pada level karyawan paling bawah. Sosialisasi tidak
hanya membacakan poin-poin kebijakan akan tetapi juga penjelasan yang detil dari
poin-poin tersebut agar dapat dipahami oleh semua karyawan.

5. Setelah sosisaliasi kebijakan dilakukan dengan baik, maka dilanjutkan dengan


membuat perencanaan program-program K3. Langkah ini dimulai dengan Identifikasi
Bahaya di tempat kerja. Kenapa membuat program K3 dimulai dengan identifikasi
bahaya? Kenapa tidak copy paste saja dari rumah sakit lain?, tentu saja hal tersebut
tidak bisa kita lakukan, karena program K3 adalah program pengendalian bahaya dan
risiko ditempat kerja, maka harus dimulai dengan melihat dan mengenal
(mengidentifikasi) bahaya dan risiko ditempat kerja masing-masing, karena potensi
bahaya dan risiko disetiap tempat bisa berbeda-beda. Identifikasi bahaya bisa
dilakukan dengan berbagai teknik atau metode, misalnya dengan teknik inspeksi, job
safety analisis (JSA) atau qualitative risk assessment (HIRA). Dari hasil identifikasi
bahaya makan dibuatlah program-program pengendalian dari bahaya dan risko yang
ditemukan.  Dalam membuat program K3 harus ditentukan sasaran yang ingin
dicapai, tolok ukur keberhasilan (KPI), penanggung jawab pelaksana, target waktu
dan anggaran yang diperlukan.

6. Langkah berikutnya menerapkan atau menjalankan program yang sudah dibuat.


Penerapan program adalah menjadi tanggung jawab semua instalasi rumah sakit,
tergantung pada jenis program yang dijalankan di instalasi masing-masing. Komite
K3 bertanggung jawab mengawasi, mengevaluasi dan memberikan masukan terhadap
program K3 berjalan.

xxxix
7. Untuk memastikan konsistensi penerapan program K3 agar tetap berada pada jalur
yang ditetapkan, maka perlu dilakukan monitoring dan evaluasi (Monev) secara
berkala. Ada tiga cara dalam melakukan monev, yaitu:

a. Inspeksi K3 secara berkala, paling kurang 1 kali dalam 1 bulan.

b. Audit K3 minimal 1 kali dalam 1 tahun

c. Rapat komite k3 untuk membahas program-program berjalan atah hasil inspeksi


K3, minimal 1 kali dalam 1 bulan.

8. Langkah terakhir dan juga merupakan kunci keberhasilan dari program K3 adalam
Tindak Lanjut atau perbaikan secara terus-menerus dari hasil temuan Monev yang
dilakukan. Temuan-temuan yang merupakan gap atau kekurangan dalam
implementasi program K3 harus diperbaiki dan ditindak lanjuti. Ada tiga kelompok
temuan dari kegiatan Monev, yaitu:

a. Potensi bahaya dan risiko yang sudah dikendalikan dengan baik, ini harus
dipertahankan.

b. Potensi bahaya dan risiko yang dikendalikan parsial, ini harus diperbaikan dan
dilenkapi pengendaliannya.

c. Potensi bahaya dan risiko yang belum dikendalikan sama sekalu, ini harus dibuat
program pengendaliannya.

Rumah sakit merupakan sarana pelayanan yang bergerak dibidang pelayanan


jasa kesehatan yang mempunyai beragam persoalan tenaga kerja yang rumit dengan
berbagai risiko terkena penyakit akibat kerja bahkan kecelakaan akibat kerja sesuai
jenis pekerjaannya sehingga berkewajiban menerapkan upaya pembinaan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit (K3RS). Upaya ini dijalankan agar
terhidar dari adanya risiko kecelakaan kerja (Astono, 2010).

Tugas perawat dalam memberikan asuhan keperawatan antara lain mengkaji


kebutuhan pasien, merencanakan tindakan keperawatan, melaksanakan rencana
tindakan, mengevaluasi hasil asuhan keperawatan, mendokumentasikan asuhan
keperawatan, berperan serta dalam melakukan penyuluhan, yang terangkum dalam
system pengorganisasian. Pimpinan juga berusaha untuk menciptakan lingkungan

xl
yang nyaman, aman, dan menyenangkan demi menciptakan kepuasan kerja bagi
perawat - perawatnya.

Beberapa komponen pelayanan kesehatan di rumah sakit, perawat adalah salah


satu tenaga pelayanan kesehatan yang berinteraksi dengan pasien yang intensitasnya
paling tinggi dibandingkan komponen lainnya. Perawat sebagai anggota inti tenaga
kesehatan yang jumlahnya terbesar di rumah sakit (40- 60%) dan dimana pelayanan
keperawatan yang diberikan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan
memiliki peran kunci dalam mewujudkan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di
RumahSakit (Depkes, 2007).

2.6 Tujuan dan manfaat K3 (Kesehatan dan keselamatan kerja) dalam rumah sakit

a. Tujuan K3 dalam Rumah Sakit

Memiliki 3 (tiga) tujuan dalam pelaksanaannya berdasarkan Undang-Undang


No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

3 (tiga) tujuan utama penerapan K3 berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1970


tersebut antara lain :

 Melindungi dan menjamin keselamatan setiap tenaga kerja dan orang lain di
tempat kerja.

 Menjamin setiap sumber produksi dapat digunakan secara aman dan efisien.

 Meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas Nasional.

Tentunya K3 dibuat dengan tujuan yang bagus pastinya menjaga keamanan para
pekerja, namun selain itu terdapat banyak lagi tujuan dari K3 tersebut.

Tujuan dari adanya K3 selain itu dapat kita perjelas seperti dibawah ini :

1. Melindungi dan menjamin keselamatan setiap tenaga kerja dan orang lain di
tempat kerja.

2. Menjamin setiap sumber produksi dapat digunakan secara aman dan efisien.

3. Meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas nasional.

xli
4. Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-baiknya selektif
mungkin.

5. Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi pegawai

6. Agar meningkatnya kegairahan, keserasian kerja dan partisipasi kerja.

7. Agar terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan atas
kondisi kerja.

8. Agar setiap pegawai merasa aman dan terlindungi dalam bekerja.

Selain ada tujuan dibuatnya k3 ini, maka para perusahaan atau pemberi kerja
tersebut perlu mengikuti sejumlah prinsip sebagai berikut :

1. Menyediakan alat pelindung diri (APD) di tempat kerja.

2. Menyediakan buku petunjuk penggunaan alat atau isyarat bahaya.

3. Menyediakan peraturan pembagian tugas dan tanggung jawab.

4. Menyediakan tempat kerja yang aman sesuai standar syarat-syarat lingkungan


kerja (SSLK).

5. Menyediakan penunjang kesehatan jasmani dan rohani di tempat kerja.

6. Menyediakan suara dan prasarana yang lengkap ditempat kerja.

7. Memiliki kesadaran dalam menjaga keselamatan dan kesehatan kerja.

Dengan demikian dengan adanya K3 ini diharapkan mampu menjaga


keamanan dari para pekerja, namun bukan hanya karena adanya K3 ini para
pekerja bisa seenaknya melakukan hal yang ia suka tentu harus terdapat kesadaran
sendiri untuk melindungi diri karena diri kita, kita sendiri yang jaga

b. Manfaat k3 dalam Rumah Sakit

Potensi bahaya di RS, selain penyakit - penyakit infeksi juga ada potensi
bahaya - bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di RS, yaitu kecelakaan
(peledakan, kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi listrik, dan

xlii
sumber-sumber cidera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia yang berbahaya, gas-gas
anastesi, gangguan psikososial dan ergonomi. Semua potensi bahaya tersebut di atas,
jelas mengancam jiwa dan kehidupan bagi para karyawan di RS, para pasien maupun
para pengunjung yang ada di lingkungan RS.

Penerapan k3 rs yang mengikuti etika pada rumah sakit juga memiliki


beberapa manfaat yang sangat berguna untuk menjaga para pelayan kesehatan
dirumah sakit serta pasien yang akan dirawat sekalipun.

Manfaat yang paling terlihat dalam penerapan dari penerapan ini ialah
menurunnya tingkat penyebaran penyakit dan infeksi yang selama ini masih saja
menjadi topic global yang disebabkan oleh ketidak mampuan serta kurangnya
pemahaman dan disiplin para pelayan kesehatan dan kebijakan rumah sakit dalam
penerapan k3 rs. Perawat sangatlah berperan penting juga dalam hal penerapan k3 ini
dikarenakan perawat harus berkontak langsung dengan para pasiennya dalam
meberikan asuhan, jika hal ini diterapkan maka perawat dapat terlindungi dan aman
saat memberikan pelayanan yang dimaksud.

Manfaat Pedoman K3 bagi Rumah Sakit menurut Kepmenkes No. 432 adalah:

1. Bagi Rumah Sakit:

a. Meningkatkan mutu pelayanan

b. Mempertahankan kelangsungan operasional Rumah Sakit

c. Meningkatkan citra Rumah Sakit

2. Bagi karyawan Rumah Sakit:

a. Melindungi karyawan dari Penyakit Akibat Kerja (PAK)

b. Mencegah terjadinya Kecelakaan Akibat Kerja (KAK)

3. Bagi pasien dan pengunjung:

a. Mutu layanan yang baik

b. Kepuasan pasien dan pengunjung

xliii
Dalam menerapkan pedoman manajemen K3 Rumah Sakit, menurut
Kepmenkes No. 432, Anda harus mempunyai sistem manajemen K3 yang
baik.

Alasan mengapa ditetapkannya pedoman manajemen K3 rumah sakit


adalah sebagai berikut:

 Alasan KAK (Penyakit Akibat Kerja) :

Tertusuk jarum suntik, terkilir, terbakar, infeksi, terpotong,


sprain/strain: 52%, contussion, crushing, bruising: 11%, cuts, laceration,
punctures: 10.8%, fractures: 5.6%, multiple injures: 2.1 %, themal burns:
2%, dermatitis: 1.2%.

 Alasan PAK (Kecelakaan Akibat Kerja) :

82% Low Back Pain atau cidera tulang panggul, cidera punggung,
cidera pergelangan tangan, dan lainnya.

2.7 Contoh Kasus yang Terjadi di dalam Gedung Rumah Sakit Beserta Penanganannya

Penyebab kecelakaan kerja di Rumah sakit PKU Muhammadiyah Gamping, Sleman.


Kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan yang dialami oleh
karyawan / perawat rumah sakit atau petugas outsourching yang bekerja di RS PKU
Muhammadiyah Gamping, yang berkaitan dengan pekerjaannya. Dan kecelakaan ini
dapat berakibat terhadap kondisi kesehatan korban maupun rumah sakit. kejadian
kecelakaan kerja masih tetap terjadi di rumah sakit PKU Muhammadiyah Gamping
Sleman. Kejadian kecelakaan kerjanya pun bermacam macam ada yang kecelakaan saat
membersihkan limbah jarum suntik, ada juga saat menyuntikkan insulin humolog pada
pasien, ada juga yang tidak memakai sarung tangan dan terkena jarum di septic box dan
lainnya.

“...Kecelakaan kerja masih ada mas, kejadiannya saat saya memebersihkan limbah
jarum suntik terdapat jarum suntik bekas kemudian saya tertusuk saat membersihkannya,
di sekitar area hecting suntik saat kerja...” (Responden B)

“... ada mas, saat saya menyuntikkan insulin humolog pada pasien. waktu saya nutup
ketusuk jarum suntik pada tangan kiri mas...” (Responden C)
xliv
“.. ada mas, waktu itu saya tidak pakai sarung tangan saat masukin jarum jarum di
safety box, tiba tiba tangannya ketusuk jarum yang kurang rapat ditutup penutupannya..”
(Responden D)

“...Kecelakaan terjadi saat jarum memasang keteter umbilikal..” (RespondenE)

Penyebab kejadian kecelakaan kerja di Rumah sakit Muhammadiyah Gamping


Sleman Yogyakarta terjadi karena ketidakperhatian pekerja dalam menjalankan tugasnya
hal ini berdampak pada kecelakaan kerja yang dapat menimbulkan sesuatu yang tidak
diinginkan seperti cidera, luka ringan tertusuk jarum dan yang lainnya.

Hal ini berdasarkan kutipan wawancara sebagai berikut :

“...Bisa dari ketidak hatian pekerja dalam melakukan suatu pekerjaan, bisa juga dari
APD yang digunakan apakah sudah memenuhi SOP dan dari pengetahuan pekerja akan
penggunaan APD...” (Responden A).

“...Saya terkena luka ringan tertusuk jarum...”(Responden C).

Selain itu, dirumah sakit PKU Muhammadiyah Gamping juga memiliki kendala
dalam meminimalisir kejadian kecelakaan kerja yaitu salah satunya minimnya atau
kurangnya pengawasan yang dilakukan terhadap pekerja hal ini juga di karenakan karena
minimnya jumlah SDM yang ada di K3. Adapun informasi tersbut didapat dari kutipan
wawancara sebagai berikut:

“...Kalo kendala ya memang pengawasan tidak bisa dilakukan maksimal. Karena


petugas K3 nya tidak banyak. Jadi kendalanya di faktor pengawasan yang kurang
ketat...”(Responden A ).

Penggunaan Alat pelindung diri (APD) merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja di rumah sakit PKU Muhammadiyah Gamping.
Adapun kecelakaan yang sering terjadi di Rumah sakit PKU Muhammadiyah Gamping,
Sleman yaitu tertusuk jarum suntik akibat tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD).

Hal ini dikutip dari hasil wawancara dengan salah satu responden yaitu :

“...Pada saat mmasukkan jarum suntik ke safety box. Tertusuk jarum ya mungkin ada
jarum suntik yang masih kebuka penutupnya mas.” (Responden D).

“Saat memasukkan jarum itu saya ga pake sarung tangan mas.” (Responden D).

xlv
Kendala yang menyebabkan kecelakaan kerja di rumah sakit PKU Muhammadiyah
gamping yaitu pihak K3 dalam melakukan pengawasan belum makasimal. Sementara itu
jumah SDM yang terbatas menjadi masalah dalam terjadi kecelakaan kerja termasuk alat
dan yang ;lainnya.

Faktor pengawasan yang dilakukan sejauh ini masih kurang tepat. Sementara itu
walaupun upaya keselamatan kerja dilakukan namun kecelakaan kerja masih terjadi yaitu
salah satunya karna faktor kelalaian pegawai dan alat. Namun faktor alat tidak
berpengaruh besar pada kejadian kecelakaan kerja lebih banyak faktor ketidak waspadaan
dari para pegawai rumah sakitnya. Selain itu, dirumah sakit PKU Muhammadiyah
Gamping juga memiliki kendala dalam meminimalisir kejadian kecelakaan kerja yaitu
salah satunya minimnya atau kurangnya pengawasan yang dilakukan terhadap pekerja hal
ini juga di karenakan karena minimnya jumlah SDM yang ada di K3.

Adapun informasi tersbut didapat dari kutipan wawancara sebagai berikut:

“...Kalo kendala ya memang pengawasan tidak bisa dilakukan maksimal. Karena


petugas K3 nya tidak banyak. Jadi kendalanya di faktor pengawasan yang kurang ketat...”
(Responden A).

“...Masih mas, kan kecelakaan itu banyak faktornya. Kalo faktor yang memang dia
mengalami kecelakaan kan tidak dapat diprediksi dan tidak dapat di apa namanya…ya
sudah sesuai SOP tapi dia masih terjadi itulah namanya kecelakan, tapi kalo dia tidak
memperhatikan SOP dan sebagainya...”(Responden A).

xlvi
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

 Definisi menurut filosofi :

Menurut Mangku Negara, keselamatan dan Kesehatan kerja adalah suatu


pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik
jasmania maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya, dan manusia pada
umumnya, hasil karya dan budaya untuk menuju masyarakat adil dan
Makmur.

 Pengertian K3 Menurut OHSAS 18001:2007 Keselamatan dan Kesehatan


Kerja (K3) adalah semua kondisi dan faktor yang dapat berdampak pada
keselamatan dan kesehatan kerja tenaga kerja maupun orang lain (kontraktor,
pemasok, pengunjung dan tamu) di tempat kerja.

 K3RS (Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit) adalah segala


kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan bagi
sumber daya manusia rumah sakit, pasien, pendamping pasien, pengunjung,
maupun lingkungan rumah sakit melalui upaya pencegahan kecelakan kerja
dan penyakit akibat kerja di rumah sakit.

Untuk itu setiap individu yang bekerja maupun masyarakat dalam rumah
sakit / instansi kesehatan wajib mengetahui dan memahami semua hal yang
diperkirakan akan dapat menjadi sumber kecelakaan kerja dalam rumah sakit /
instansi kesehatan, serta memiliki kemampuan dan pengetahuan yang cukup
untuk melaksanakan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan kerja
tersebut.

 Selain penyakit-penyakit infeksi, di rumah sakit juga memiliki risiko atau


bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di rumah sakit, seperti
kecelakaan (meliputi kejadian ledakan, kebakaran, kecelakaan yang
diakibatkan adanya masalah pada instalasi listrik, serta faktor-faktor yang
dapat menimbulkan cidera lainnya), radiasi, paparan bahan kimia beracun dan
berbahaya, gasgas anastesi, gangguan terkait psikis dan ergonomi.

xlvii
Rumah sakit merupakan sarana pelayanan yang bergerak dibidang pelayanan
jasa kesehatan yang mempunyai beragam persoalan tenaga kerja yang rumit
dengan berbagai risiko terkena penyakit akibat kerja bahkan kecelakaan akibat
kerja sesuai jenis pekerjaannya sehingga berkewajiban menerapkan upaya
pembinaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit (K3RS).

 Faktor-faktor penyebab kecelakaan kerja :

Faktor teknis :

Tempat Kerja, Tempat kerja harus memenuhi syarat-syarat keselamatan kerja,


seperti ukuran ruangan tempat kerja, penerangan, ventilasi udara, suhu tempat
kerja, lantai dan kebersihan luangan, kelistrikan ruang, pewarnaan, gudang
dan lain sebagainya.Jika tempat kerja tidak memenuhi persyaratan yang telah
ditentukan, maka kecelakaan kerja sangat mungkin terjadi.

Kesehatan dan keselamatan kerja rumah sakit atau yang dikenal dengan K3
RS mulai mendapat perhatian serius dari manajemen rumah sakit sejak
diberlakukannya sistem akreditasi rumah sakit oleh Komite Akreditasi Rumah
Sakit (KARS).

Langkah awal dalam penerapan K3 rumah sakit adalah dengan mendapatkan


komitmen dari direktur rumah sakit, artinya direktur rumah sakit secara serius
mendukung dan terlibat dalam program-program K3 yang akan dijalankan.

Dengan demikian dengan adanya K3 ini diharapkan mampu menjaga


keamanan dari para pekerja, namun bukan hanya karena adanya K3 ini para
pekerja bisa seenaknya melakukan hal yang ia suka tentu harus terdapat
kesadaran sendiri untuk melindungi diri karena diri kita, kita sendiri yang jaga

Manfaat k3 dalam Rumah Sakit Potensi bahaya di RS, selain penyakit -


penyakit infeksi juga ada potensi bahaya - bahaya lain yang mempengaruhi
situasi dan kondisi di RS, yaitu kecelakaan (peledakan, kebakaran, kecelakaan
yang berhubungan dengan instalasi listrik, dan sumber-sumber cidera lainnya),
radiasi, bahan-bahan kimia yang berbahaya, gas-gas anastesi, gangguan
psikososial dan ergonomi.

xlviii
3.2 Saran

Dalam pengumpulan materi pembahasan di atas tentunya kami banyak


mengalami kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu hendaknya pembaca
memberikan tanggapan dan tambahan terhadap makalah kami. Sebelum dan
sesudahnya kami haturkan banyak terima kasih.

xlix
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Menteri Tenaga Kerja No: Per.05/Men/1996 mengenai Sistem Manajemen K3


Pratama, K. K. A. (2012).

“Identifikasi dan Analisa Risiko K3 pada Area Produksi Rumah Potong Ayam”. FKM UI.
Januari 2012.

Ramli, Soehatman, (2010) Pedoman praktis Manajemen Risiko dalam prespektif K3OHS
Risk Management, Dian Rakyat, Jakarta.

Simamora, R. H. (2019). Buku ajar pelaksanaan identifikasi pasien. Uwais Inspirasi


Indonesia

Putri, Sentya, dkk. (2018). PELAKSANAAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN


KERJA TERHADAP KEJADIAN KECELAKAAN KERJAPERAWAT RUMAH SAKIT.
Jurnal Endurance, 3(2), 271- 277.

Lombogia, A., Rottie, J., & Karundeng, M.(2016). Hubungan Perilaku Dengan Kemampuan
Perawat Dalam Melaksanakan Keselamatan Pasien (Patient Safety) Di Ruang Akut Instalasi
Gawat Darurat. Keperawatan, Vol 2 (4), 1-8

Simamora, R. H. (2018). Buku ajar keselamatan pasien melalui timbang terima pasien
berbasis komunikasi efektif: SBAR. Medan: USUpress.  Simamora, R. H. (2019). Buku ajar
pelaksanaan identifikasi pasien. Uwais Inspirasi Indonesia

Anizar. 2012. Teknik keselamatan dan kesehatan kerja di industri. Penerbit Graha Ilmu.
Yogyakarta.

Handayani, E.E, Wibowo, T.A, Suryani. 2010. Hubungan antara penggunaan Alat Pelindung
Diri, Umur, dan Masa kerja dengan kecelakaan kerja pada pekerja bagian Rustic di PT
Borneo Melintang Buana Eksport Yogyakarta.

Siregar, 2014. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kecelakaan kerja ringan di PT. Aqua
Golden Mississippi Bekasi.

Sucipto, C.D, 2014. Keselamatan dan kesehatan kerja. Yogyakarta. Hal 1,79 dan 83.

Suma’mur P. K. 2009. Higene Perusahaanndan Kesehatan Kerja. Jakarta : PT Toko Gunung


Agung,

l
Sugiyono, 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. penerbit ALFABETA,
Bandung, Hal 95-96.

Tarwaka, 2012. Dasar-dasar Keselamatan Kerja serta Pencegahan Kecelakaan di Tempat


Kerja, Edisi I-Cetakan I, Harapan Press. Surakarta.

Himpunan Peraturan Perundang-undangan Keselamatan dan Kesehatan Kerja 2012,

Sekretariat Jenderal Pusat Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi RI, Jakarta. 7.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269/MENKES/PER/III/2008


tentang Rekam Medis. 8. Moeloeng LJ.

Metodologi Penelitian Kualitatif.

Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2007. 9. OSHA, 2013, ‘Facts About Hospital Worker
Safety’, Occupational Safety and Health Administration, viewed 27 Agustus 2016,
https://www.osha.gov/dsg/hospitals/documents/1.2_Factbook_508.pdfs

li

Anda mungkin juga menyukai