Disusun
O
L
E
H
Kelompok 4 :
PRODI S1 KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO
TAHUN 2020
i
Abstrak
Menurut Filosofi Mangkunegara, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah suatu
pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan jasmani maupun rohani
tenaga kerja khususnya dan manusia pada umumnya serta hasil karya dan budaya menuju
masyarakat adil dan makmur. Kecelakaan kerja sering terjadi akibat kurang dipenuhinya
persyaratan dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja. Dalam hal ini pemerintah
sebagai penyelenggara Negara mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan
kepada tenaga kerja. Hal ini direalisasikan pemerintah dengan dikeluarkannya peraturan-
peraturan seperti : UU RI No. 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja, Undang-undang No.
3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), dan Peraturan Menteri
Tenaga Kerja No: Per.05/Men/1996 mengenai sistem manajemen K3.
Abstract
ii
DAFTAR ISI
Abstract......................................................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
KATA PENGANTAR...............................................................................................................4
BAB I.........................................................................................................................................5
PENDAHULUAN......................................................................................................................5
1.3 Tujuan...............................................................................................................................9
BAB II......................................................................................................................................11
PEMBAHASAN......................................................................................................................11
2.4 Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi Kesehatan dan keselamatan kerja di rumah
sakit.......................................................................................................................................30
2.6 Tujuan dan manfaat K3 (Kesehatan dan keselamatan kerja) dalam rumah sakit...........41
2.7 Contoh Kasus yang Terjadi di dalam Gedung Rumah Sakit Beserta Penanganannya...44
BAB III.....................................................................................................................................47
PENUTUP................................................................................................................................47
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................47
3.2 Saran...............................................................................................................................49
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................50
KATA PENGANTAR
iii
Puji Syukur kami panjatkan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
rahmat dan karuniaNyalah, makalah ini dapat terselesaikan dengan baik, tepat pada waktunya
adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Keselamatan Pasien dan
Keselamatan Kesehatan kerja dalam keperawatan, pada semester 3.
Dalam penyelesaian makalah ini, kami banyak mengalami kesulita, terutama
disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang. Namun, berkat bimbingan
dan bantuan dari berbagai pihak dan kami ucapkan terima kasih kepada ibu Inne Arianne
Gobel, SKM., M.KL yang telah memberi pengarahan kepada kami sehingga kami bisa
menyelesaikan makalah ini.
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Angka kecelakaan kerja di Indonesia masih termasuk buruk. Pada tahun 2004 saja,
lebih dari seribu tujuh ratus pekerja meninggal di tempat kerja. Menurut Juan Somavia,
Dirjen ILO, industri konstruksi termasuk paling rentan kecelakaan, diikuti dengan
anufaktur makanan dan minuman (Kompas, 1/05/04). Tidak saja di negara-negara
berkembang, di negara maju sekalipun kecelakaan kerja konstruksi masih memerlukan
perhatian serius. Penelitian yang dilakukan oleh Duff (1998) dan Alves Diaz (1995)
menyatakan hasil analisa statistik dari beberapa negara-negara menunjukkan peristiwa
tingkat kecelakaan fatal pada proyek konstruksi adalah lebih tinggi dibanding rata-rata
untuk semua industri, dalam Suraji (2000).
Dahulu, para ahli menganggap suatu kecelakaan disebabkan oleh tindakan pekerja
yang salah. Sekarang anggapan itu telah bergeser bahwa kecelakaan kerja bersumber
kepada faktor-faktor organisasi dan manajemen. Para pekerja dan pegawai mestinya dapat
diarahkan dan dikontrol oleh pihak manajemen sehingga tercipta suatu kegiatan kerja
yang aman. Sejalan dengan teori-teori penyebab kecelakaan yang terbaru, maka pihak
manajemen harus bertanggung jawab terhadap keselamatan kerja para pekerjanya.
Tulisan ini akan membahas peranan manajemen risiko K3 di dalam gedung.
Kegiatan jasa konstruksi telah terbukti memberikan kontribusi penting dalam
perkembangan dan pertumbuhan ekonomi disemua negara di dunia, termasuk Indonesia,
baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Keselamatan dan Kesehatan
Kerja merupakan suatu permasalahan yang banyak menyita perhatian berbagai organisasi
saat ini karena mencakup permasalahan segi perikemanusiaan, biaya dan manfaat
ekonomi, aspek hukum, pertanggungjawaban serta citra organisasi itu sendiri. Semua hal
tersebut mempunyai tingkat kepentingan yang sama besarnya walaupun di sana sini
memang terjadi perubahan perilaku, baik di dalam lingkungan sendiri maupun faktor lain
yang masuk dari unsur eksternal industri Ervianto (2005).
Proses pembangunan proyek kontruksi gedung pada umumnya merupakan kegiatan
yang banyak mengandung unsur bahaya. Situasi dalam lokasi proyek mencerminkan
karakter yang keras dan kegiatannya terlihat sangat kompleks dan sulit dilaksanakan
v
sehingga dibutuhkan stamina yang prima dari pekerja yang melaksanakannya. Namun
tidak dapat dipungkiri bahwa pekerjaan konstruksi ini merupakan penyumbang angka
kecelakaan yang cukup tinggi.
Banyaknya kasus kecelakaan kerja serta penyakit akibat kerja sangat merugikan
banyak pihak terutama tenaga kerja bersangkutan Ervianto (2005). Kecelakaan kerja
sering terjadi akibat kurang dipenuhinya persyaratan dalam pelaksanaan keselamatan dan
kesehatan kerja. Dalam hal ini pemerintah sebagai penyelenggara Negara mempunyai
kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja. Hal ini direalisasikan
pemerintah dengan dikeluarkannya peraturan-peraturan seperti : UU RI No. 1 Tahun 1970
tentang keselamatan kerja, Undang-undang No. 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No:
Per.05/Men/1996 mengenai sistem manajemen K3.
Namun pada kenyataannya, pelaksana proyek sering mengabaikan persyaratan dan
peraturan-peraturan dalam K3. Hal tersebut disebabkan karena kurang menyadari betapa
besar resiko yang harus ditanggung oleh tenaga kerja dan perusahaannya. Sebagaimana
lazimnya pada pelaksanaan suatu proyek pasti akan berusaha menghindari economic cost.
Disamping itu adanya peraturan mengenai K3 tidak diimbangi oleh upaya hukum yang
tegas dan sanksi yang berat, sehingga banyak pelaksana proyek yang melalaikan
keselamatan dan kesehatan tenaga kerjanya.
Dalam Pengendalian Risiko K3 Bahaya dan risiko memiliki hubungan yang erat.
Bahaya menjadi sumber terjadinya kecelakaan atau insiden baik menyangkut manusia,
properti dan lingkungan. Disisi lain, risiko menggambarkan besarnya kemungkinan suatu
bahaya dapat menimbulkan kecelakaan serta besarnya keparahan yang dapat diakibatkan.
Seperti yang telah dituliskan sebelumnya, besar risiko ditentukan oleh berbagai faktor,
seperti besarnya paparan, lokasi, pengguna, kuantiti serta kerentanan unsur yang terlibat.
Insiden atau kecelakaan disebabkan oleh adanya suatu bahaya yang akan mengakibatkan
cidera pada manusia. Semua kecelakaan selalu disebabkan oleh bahaya, artinya jika tidak
ada bahaya maka kecelakaan tidak terjadi “no hazards, no accident”. Yang menjadi
pertanyaan adalah apakah semua bahaya dapat menimbulkan insiden? Jawabannya tentu
saja “tidak” karena tergantung kepada tingkat risikonya, peluang, dan tingkat
keparahannya untuk menimbulkan suatu kecelakaan atau menimbulkan cidera dan
kerusakan. Inilah kunci dari manajemen risiko, untuk menilai peluang suatu bahaya
menjadi kecelakaan (likelihood) dan bagaimana keparahan jika terjadi (severity).
vi
Seperti yang telah kita ketahui bahwa Singa merupakan hazard bagi manusia karena
dapat diterkam, dicabik, dicakar ataupun dimakan. Namun apakah semua Singa memilki
risiko tinggi bagi manusia? Hmmmmmm, tentu “tidak”. Tergantung kondisi dan
situasinya. Dimanapun berada, seekor singa tetaplah binatang yang buas yang menjadi
sumber bahaya. Sehingga, suatu risiko digambarkan sebagai peluang dan kemungkinan
(probability) suatu bahaya untuk menghasilkan kerugian atau kecelakaan serta tingkat
keparahan yang ditimbulkan jika kecelakaan terjadi (severity).
Oleh karena itu, dalam konsep keselamatan kerja, sasaran utamanya adalah
mengendalikan atau menghilangkan bahaya sehingga secara otomatis, risikonya dapat
dikurangi atau dihilangkan. Risiko yang telah diketahui besar dan potensi akibatnya harus
dikelola dengan tepat, efektif dan sesuai dengan kemampuan serta kondisi perusahaan.
Untuk mengendalikan risiko yang ada, dua hal yang dapat kita lakukan, yaitu
menekan likelihood dan severity nya.
Menekan likelihood
Subtitusi, Mengganti bahan, alat, atau cara kerja dengan yang lain sehingga kecelakaan
dapat ditekan. Contoh: Singa yang buas tadi (hazard) kita ganti dengan kucing atau
kelinci agar kemungkinan risikonya lebih kecil.
Isolasi, Sumber bahaya dengan penerima di Isolir dengan suatu penghalang (barrier)
sehingga kemungkinan bahaya dapat dikurangi. Contoh: Singa di kebun binatang tidak
dibiarkan berkeliaran namun dimasukkan kedalam kandang (barrier).
Pengendalian Jarak, Semakin jauh manusia dengan sumber bahaya maka semakin kecil
pula kemungkinan kecelakaan terjadi. Contoh: Ketika ada Singa dipemukiman padat
penduduk maka masyarakat menjauh dari sumber bahaya tersebut.
vii
Adiminstratif, Pendekatan ini dilakukan untuk mengurangi kontak dengan sumber
bahaya. Contoh: Di kebun binatang (kandang singa) diberi poster K3 atau rambu K3
“hanya petugas terlatih/pawang yang boleh masuk kedalam kandang”.
Menekan Severity
Berbagai pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi keparahan antara lain:
Tanggap darurat, Keparahan dapat ditekan jika perusahaan memiliki sistem tanggap
darurat yang baik dan terencana. Contoh: Tanggap darurat dikebun binatang. Jika
kejadian seperti pengunjung yang diserang oleh singa dapat ditanggulangi dan diberi
pertolongan pertama dengan cepat dan tepat maka keparahan dapat ditekan.
Pengalihan Kontak, Opsi yang dapat dilakukan untuk menekan keparahan adalah
pengalihan risiko kepihak lain, sehingga beban risiko perusahaan menurun. Dalam
kontrak dapat diatur pembagian atau pengalihan tanggungjawab dengan pihak lain.
Contoh: Pekerja dikebun binatang diberi atau dimasukkan kedalam program asuransi
(BPJS Ketenagakerjaan misalnya). Namun dengan opsi ini, perusahaan masih
menanggung sebagian risiko (residual risk) karena dengan asurasi tidak mencakup risiko
akan tuntutan hukum, kehilangan pelanggan dan terutama citra perusahaan.
Design Features, Keparahan suatu kejadian dapat dikurangi dengan pendekatan desain
yang aman. Contoh: Kandang yang ada benar-benar kokoh dengan mempertimbangkan
aspek teknis sehingga kandang tersebut benar-benar aman dan tidak memberikan dampak
keparahan baik dari segi ekonomi (biaya perbaikan) atau cidera akibat terkaman singa
yang keluar dari kandang.
Mengurangi paparan, Keparahan suatu kejadian juga dapat ditekan dengan mengurangi
paparan, misalnya waktu kerja, dosis yang aman, pengaturan proses kerja dll.
viii
Alat Pelindung Diri, Opsi ini adalah opsi terakhir (the last resort) dalam opsi
pengendalian risiko karena APD sejatinya bukan untuk mencegah kecelakaan namun
hanya untuk mengurangi keparahan kecelakaan.
Sebagai penutup, Berbagai macam pendekatan diatas bisa saja mengurangi kedua aspek
(likelihood dan severity) dalam hal pengendalian risiko. Sebagai contoh: Teknik
Subtitusi. Mengganti singa dengan kucing, kemungkinan terjadinya kecelakaan akan
menurun dan tentu saja keparahan dari suatu kejadian yang disebabkan oleh kucing yang
menyerang manusia juga menjadi lebih kecil nilai keparahannya. Jadi, pemilihan teknik
pengendalian risiko yang tepat sangat penting untuk memperoleh hasil yang paling baik.
4. Apa saja faktor – faktor yang dapat mempengaruhi Kesehatan dan keselamatan kerja
di rumah sakit?
6. Apa saja tujuan dan manfaat K3 (Kesehatan dan keselamatan kerja) dalam rumah
sakit?
7. Apa saja contoh kasus yang terjadi di dalam Gedung rumah sakit beserta
penanganannya?
1.3 Tujuan
3. Untuk mengetahui apa saja bahaya yang terjadi di lingkungan rumah sakit
ix
4. Untuk mengetahui apa saja faktor – faktor yang dapat mempengaruhi Kesehatan dan
keselamatan kerja di rumah sakit
6. Untuk mengetahui apa saja tujuan dan manfaat K3 (Kesehatan dan keselamatan kerja)
dalam rumah sakit
7. Untuk mengetahui apa saja contoh kasus yang terjadi di dalam gedung
rumah sakit
beserta penanganannya
x
BAB II
PEMBAHASAN
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) umumnya terbagi menjadi 3 (tiga) versi di
antaranya ialah pengertian K3 menurut filosofi, ilmuan, serta menurut standar OHSAS
18001 : 2007.
1. Definisi menurut filosofi :
d. Menurut Husni (2003), Ditinjau dari keilmuan Kesehatan dan keselamatan kerja
adalah ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan
terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja di tempat kerja.
Suatu cabang ilmu pengetahuan dan penerapan yang mempelajari tentang cara
mencegah terjadinya kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja (PAK).
xi
Jadi, Kesehatan dan keselamatan kerja (K3, terkesan rancu apabila disebut
keselamatan dan kesehatan kerja) adalah bidang yang terkait dengan kesehatan,
keselamatan, dan kesejahteraan manusia yang bekerja di sebuah institusi maupun lokasi
proyek. Tujuan K3 adalah untuk memelihara kesehatan dan keselamatan lingkungan
kerja.[1] K3 juga melindungi rekan kerja, keluarga pekerja, konsumen, dan orang lain
yang juga mungkin terpengaruh kondisi lingkungan kerja.
Di dalam rumah sakit terdapat juga keselamatan Kesehatan kerja rumah sakit
(K3RS). K3RS (Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit) adalah segala kegiatan
untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan bagi sumber daya manusia
rumah sakit, pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun lingkungan rumah sakit
melalui upaya pencegahan kecelakan kerja dan penyakit akibat kerja di rumah sakit.
Pengertian tersebut merupakan pengertian yang ada pada Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 66 Tahun 2016 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit.
Rumah sakitpun sebagai sebuah institusi dimana aktivitasnya penuh dengan berbagai
resiko keselamatan, sudah selayaknya menerapkan hal ini. Resiko adalah peluang
terjadinya sesuatu yang akan mempunyai dampak pada pencapaian tujuan.
Sedangakan manajemen resiko adalah proses pengukuran atau penilaian resiko serta
pengembangan strategi pengelolaannya. Mengapa manajemen resiko itu penting? Sikap
orang Ketika menghadapi resiko berbeda-beda. Ada orang berusaha untuk menghindari
resiko, namun ada juga yang sebaliknya sangat senang menghadapi resiko sementara yang
lain mungkin tidak terpengaruh dengan adanya resiko. Pemahaman atau sikap o rang
terhadap resiko ini dapat membantu untuk mengerti berapa resiko itu penting untuk
ditangani dengan baik.
xii
1. Resiko spekulatif
Resiko spekulatif adalah suatu keadaan yang dihadapi perusahaan yang dapat
memberikan keuntungan dan juga dapat memberikan kerugian.
2. Resiko murni
Resiko murni (pure risk) adalah sesuatu yang hanya dapat berakibat
merugikan atau tidak terjadi apa-apa dan tidak mungkin menguntungkan. Salah satu
contoh adalah kebakaran, apabila perusahaan menderita kebakaran, maka perusahaan
tersebut akan menderita kerugian. Kemungkinan yang lain adalah tidak terjadi
kebakaran. Dengan demikian, kebakaran hanya menimbulkan kerugian, bukan
menimbulkan keuntungan, kecuali ada kesengajaan untuk membakar dengan maksud-
maksud tertentu.
1. Identifikasi resiko
Proses ini meliputi identifikasi resiko yang mungkin terjadi dalam suatu
aktifitas usaha. Identifikasi secara akurat dan komplit sangatlah vital dalam
manejemen resiko. Salah satu aspek penting dalam identifikasi resiko adalah
mendaftar resiko yang mungkin terjadi sebanyak mungkin.
Brainstorning
Survei
xiii
Survei adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan pertanyaan
terstruktur yang sama pada setiap orang, kemudian semua jawaban yang
diperoleh peneliti dicatat, diolah, dan dianalisis.
Wawancara
Informasi histori
Kelompok kerja
Tipe-tipe resiko :
Resiko yang disebabkan adanya even yng tidak terlihat atau tidak
direncanakan.
xiv
Keselamatan pasien di rumah sakit merupakan tujuan mendasar setiap rumah
sakit. Keselamatan pasien di Indonesia telah berkembang sejalan dengan semakin
maraknya kasus – kasus ketuntunan hukum dan pengadilan. Kenyataan yang ada
di rumah sakit bahwa terdapat ratusan jenis obat, ratusan test dan prosedur,
terdapat banyak pasien, kelompok profesi dan individu staf serta banyak system
dan keberagaman yang semuanya ini sangat esensial menimbulkan kesalahan. Di
mana kesalahan tersebut bisa berdampak terhadap hilangnya kehidupan seorang
pasien ataupun kesalahan vatal lainnya.
a. Risiko Positif
1. Exploit
2. Share
3. Enchance
b. Risiko Negatif
xv
Risiko Negatif adalah risiko yang mungkin terjadi dan jika terjadi
dapat memberikan dampak buruk dan merugikan untuk suatu proyek.
1. Avoid
2. Transfer
3. Mitigate
a. Planning/ (Perencanaan)
Mengapa mengerjakan
b. Organizing/ (Organisasi)
6. Dan lain-lain.
c. Actuating/ (Pelaksanaan)
d. Controlling/ (Pengawasan)
1. Adanya rencana
xviii
2. Adanya instruksi-instruksi dan pemberian wewenang kepada bawahan.
Dan lain-lain
a. Corporate risk
Contoh:
Pencegahan:
2. Mengakui bahaya.
Contoh:
Pencegahan:
c. Clinical risk
Contoh:
xx
Umum
Akut
Ektopik
3. Spesimen darah untuk tes-silang pada transfusi diambil dari pasien yang
salah.
Kesehatan Jiwa
Ambulan
1. Pertolongan terlambat.
2. Memindahkan pasien kecelakaan lalu lintas tanpa asasmen yang layak dan
imobilisasi ruas tulang leher.
Pencegahan:
xxi
Melakukan perbaikan modernisasi dan clinical governance Menyatukan
semua sumber infoormasi yang berkaitan dengan risiko dan keselamatan.
Menggunakan pendekatan yang konsisten untuk pelatihan, manajemen,
analisis dan investigasi dari semua risiko yang potensial dan kejadian aktual.
Menggunakan pendekatan yang konsisten dan menyatukan semua penilaian
risiko dari semua jenis risiko di rumah sakit pada setiap level Memadukan
semua risiko ke dalam program penilaian risiko dan risk register.
d. Financial risk
Contoh:
Pencegahan:
xxii
6. Mengurangi risiko pasien meninggal dengan meningkatkan kualitas
pelayanan medis.
Rumah sakit merupakan fasilitas kesehatan yang paling kompleks diantara jenis
fasilitas kesehatan yang ada. Kompleksitas rumah sakit ini dapat ditinjau dari jumlah dan
karakteristik layanan yang tersedia, luasnya area yang diperlukan untuk menjalankan
layanan, jumlah dan ragam personal yang terlibat dalam layanan, serta peralatan dan
teknologi yang digunakan dalam penyelenggaraan layanan. Seperti halnya fasilitas
kesehatan lainnya, rumah sakit merupakan tempat kerja yang sangat sarat dengan potensi
bahaya kesehatan dan keselamatan pekerjanya. Risiko terjadinya gangguan kesehatan dan
kecelakaan menjadi semakin besar pada pekerja disuatu rumah sakit mengingat rumah
sakit merupakan fasilitas kesehatan paling kompleks dan merupakan tempat yang padat
tenaga kerja.
Rumah sakit mempunyai perbedaan khas dengan tempat kerja yang lain terkait
dengan terbukanya akses bagi bukan pekerja dengan leluasa. Berbeda dengan tempat
kerja lain, hanya pekerja saja yang dapat memasuki area pabrik misalnya. Sebagai
konsekuensinya, pajanan bahaya potensial yang terdapat di rumah sakit dapat mengenai
bukan hanya pekerja, tetapi juga komunitas bukan pekerja dalam hal ini pengguna jasa
rumah sakit, dan juga pengunjung lainnya. Perbedaan lain adalah dengan berlangsungnya
kegiatan yang terus menerus 24 jam dan 7 hari seminggu, menjadikan risiko gangguan
kesehatan menjadi lebih besar sebagai akibat lama pajanan terhadap bahaya potensial
menjadi lebih lama.
Getaran atau vibrasi merupakan bahaya potensial yang dapat dijumpai pada
pekerjaan dengan menggunakan alat yang bergetar. Pekerjaan tersebut antara lain
adalah penggunaan bur gigi oleh dokter gigi, alat bur kayu atau tembok oleh
teknisi pemeliharaan gedung atau pada kegiatan konstruksi. Gangguan kesehatan
yang dapat terjadi adalah sindroma getaran tangan dan lengan, dan apabila
dikombinasi dengan posisi janggal pada lengan saat bekerja dapat meningkatkan
risiko terjadinya sindroma terowongan karpal.
Faktor risiko lain yang banyak dijumpai di rumah sakit adalah radiasi
elektromagnetik. Pajanan radiasi elektromagnetik dapat dikelompokkan menjadi
radiasi pengion dan radiasi bukan pengion. Termasuk pada radiasi pengion adalah
xxiv
sinar x dari penggunaan pesawat rontgen, dan partikel berenergi tinggi yang
dihasilkan oleh penggunaan radioterapi. Disamping unit radiology, urologi, kamar
operasi, unit tindakan kateterisasi kardiologi merupakan tempat kerja dengan
ekposur radiasi yang tinggi. Faktor yang berpengaruh pada intensitas radiasi
meliputi konfigurasi alat radiologi, jumlah kasus yang ditangani, dan periode
waktu pelaksanaan prosedur.
Radiasi pengion ini telah dikenal sebagai karsinogenik, mutagenik, dan juga
teratogenik. Penggunaan alat alat diagnostik, dan terapi, dan juga penggunaan
video display terminal (VDT) berkontribusi meningkatkan pajanan radiasi
elektromagnetik bukan pengion. Radiasi elektromagnetik bukan pengion meliputi
medan magnet seperti pada MRI dan office apliances, dan juga penggunaan
peralatan listrik lainnya. Jenis radiasi bukan pengion lain yaitu sinar infra merah
dan ultraviolet dapat terjadi pada penggunaan alat fisioterapi dalam rehabilitasi
medik, dan sterilisator. Gangguan kesehatan yang dapat terjadi meliputi gangguan
reproduksi, sistem jantung dan pembuluh darah, sistem hematologik, katarak, luka
bakar, dan lain lain. Gangguan kesehatan ini sangat tergantung dengan intensitas
pajanan dan juga frekuensinya.
Salah satu indikator kualitas udara ruangan adalah iklim kerja, tetapi faktor ini
dibahas dalam bahaya potensial faktor fisika. Dalam paragraf ini yang
dimasukkan adalah merupakan bahaya kimia penyebab polusi udara ruangan.
Termasuk dalam hal ini adalah senyawa organik, partikulat, dan serat (fibers).
xxv
Potensi bahaya faktor ini meningkat terkait dengan terbatasnya sirkulasi udara
segar akibat ventilasi yang kurang adekuat.
Senyawa organik
Fenol atau dikenal juga dengan sebutan karbol (carbolic acid) merupakan
senyawa yang sering digunakan sebagai desinfektan. Kontak dengan bahan ini
dapat menyebabkan iritasi kulit dan luka bakar, dan inhalasi dengan
konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan iritasi saluran napas ringan,
sampai dengan gangguan kesadaran.
Partikulat
xxvi
ditemukan pada pekerja kebersihan. Hal ini ditunjang oleh penelitian Ginting
tahun 2004 di sebuah rumah sakit di Jakarta. Prevalensi dermatitis kontak
iritan kumulatif tangan yang diteliti pada 107 responden pekerja kebersihan
rumah sakit tersebut mencapai 65,4%4
Reaksi alergi yang terjadi pada pekerja di fasilitas kesehatan dapat terjadi
akibat pajanan protein dengan berat molekul rendah seperti bahan obat-obatan,
dan protein dengan berat molekul tinggi seperti berasal dari tumbuhan dan
hewan.
Serat (fibers)
Untuk kelompok serat ini, yang perlu menjadi perhatian adalah serat asbes,
terlepas dari perdebatan mengenai sifat potensi fibrogenik dan karsinogenik
dari jenis chrysotile, yang umum digunakan. Asbes mempunyai sifat yang
stabil, dan hanya akan menjadi serat yang terdispersi di udara, pada saat
pembongkaran, misalnya.
xxvii
Fiberglas merupakan bahan lain yang banyak digunakan pada konstruksi
termasuk bangunan fasilitas kesehatan. Demikian juga bahan tekstil digunakan
secara luas di dalam ruangan ruangan rumah sakit, dan fasilitas kesehatan
lainnya. Aerosol bahan ini bersifat iritan saluran napas.
Termasuk dalam kelompok biologis ini adalah virus, bakterei, jamur, dan parasit
lainnya.
Bioaerosol
Berdasarkan pernyataan tersebut, maka rumah sakit sebagai salah satu tempat
kerja juga wajib untuk menyelenggarakan kesehatan kerja bagi para pekerjanya agar
terhindar dari potensi bahaya yang ada di rumah sakit.
xxviii
Salah satu tempat kerja yang berisiko adalah Rumah Sakit, hal ini karena
rumah sakit memiliki potensi terjadinya penyakit infeksi terhadap para karyawan,
pasien, bahkan pengunjung. Beberapa contoh penyakit infeksi yang dapat terjadi di
Rumah Sakit adalah TB, Hepatitis B, Hepatitis C, dan bahkan berisiko terinfeksi
HIV/AIDS. Selain penyakit-penyakit infeksi, di rumah sakit juga memiliki risiko atau
bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di rumah sakit, seperti kecelakaan
(meliputi kejadian ledakan, kebakaran, kecelakaan yang diakibatkan adanya masalah
pada instalasi listrik, serta faktor-faktor yang dapat menimbulkan cidera lainnya),
radiasi, paparan bahan kimia beracun dan berbahaya, gasgas anastesi, gangguan
terkait psikis dan ergonomi. Semua potensi bahaya tersebut di atas, jelas dapat
mengganggu dan menimbulkan rasa kurang aman dan nyaman bagi pekerja di RS,
pasien maupun pengunjung yang ada di lingkungan RS. (KEPMENKES N0.432
Tahun 2007).
Karyawan rumah sakit terdiri dari tenaga medis dan tenaga non medis. Tenaga
medis yaitu dokter, perawat, dan bidan sedangkan tenaga non medis yaitu petugas
laundry, petugas kebersihan, petugas penyiapan makanan atau gizi, apoteker,
Pemeriksa laboratorium, dan petugas radiologi (Wichaksana, 2002). Dilihat dari jenis
pekerjaan yang ada di rumah sakit, dapat dikatakan tenaga medis merupakan
karyawan yang rentan terkena penyakit akibat kerja, karena mereka selalu melakukan
kontak dengan pasien yang sakit setiap hari. Namun tenaga non medis juga memiliki
potensi untuk terkena penyakit akibat kerja, walaupun mereka tidak melakukan
kontak langsung dengan pasien. Berbagai penyakit infeksi menular kepada tenaga non
medis melalui media udara, lantai, dinding, ruang kerja, jarum suntik bekas, dan infus
bekas.
a. Bahaya fisik, antara lain dapat menimbulkan kebisingan, getaran, radiasi, suhu
ekstrim dan pencahayaan.
b. Bahaya kimia, mengandung berbagai potensi bahaya sesuai dengan sifat dan
kandungannya. Bahaya yang dapat ditimbulkan seperti keracunan dan iritasi.
xxix
c. Bahaya biologi, bahaya yang berkaitan dengan makhluk hidup seperti bakteri,
virus, dan jamur.
d. Bahaya psikologi, antara lain beban kerja berat, hubungan dan kondisi kerja yang
tidak nyaman.
2.4 Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi Kesehatan dan keselamatan kerja di
rumah sakit
Rumah sakit merupakan sarana pelayanan yang bergerak dibidang pelayanan jasa
kesehatan yang mempunyai beragam persoalan tenaga kerja yang rumit dengan berbagai
risiko terkena penyakit akibat kerja bahkan kecelakaan akibat kerja sesuai jenis
pekerjaannya sehingga berkewajiban menerapkan upaya pembinaan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Rumah Sakit (K3RS). Upaya ini dijalankan agar terhidar dari adanya
risiko kecelakaan kerja (Astono, 2010).Kecelakaan kerja merupakan kejadian yang tidak
terjadi secara kebetulan, melainkan ada sebabnya. Oleh karena adanya penyebabnya,
sebab kecelakaan harus diteliti dan ditemukan, agar untuk selanjutnya dengan tindakan
korektif yang ditujukan kepada penyebab itu serta dengan upaya preventif lebih lanjut
kecelakaan dapat dicegah dan kecelakaan serupa tidak berulang kembali (Suma’mur,
2013).
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kecelakaan kerja disebabkan oleh beberapa faktor
menurut anizar (2009) secara umum penyebab kecelakaan ada dua,yaitu unsafe action
dapat disebabkan oleh berbagai hal berikut, ketidakseimbangan fisik tenaga kerja, seperti:
posisi tubuh yang menyebabkan mudah lelah, cacat fisik, cacat sementara, kepekaan
panca indra terhadap sesuatu. Kurang pendidikan, kurang pengalaman, salah pengertian
terhadap suatu perintah, kurang terampil, salah mengartikan sop (standard operasional
procedur) sehingga mengakibatkan kesalahan pemakaian alat kerja atau penggunaan alat
itu sendiri.
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan hal yang penting bagi perusahaan,
karena dampak kecelakaan dan penyakit kerja tidak hanya merugikan karyawan, tetapi
juga perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung (Kusuma, 2001). Sasaran
utama dari K3 ditujukan terhadap perawat, dengan melakukan segala daya upaya berupa
xxx
pencegahan, pemeliharaan dan peningkatan kesehatan tenaga kerja, agar terhindar dari
risiko buruk di dalam melakukan pekerjaan.
Faktor selanjutnya yang ikut berperan dalam perubahan perilaku perawat yaitu
tersedianya fasilitas yang mendukung sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Hal
ini sejalan dengan penelitian Tukatman, Sulistiawati, Purwaningsih dan Nursalam (2015)
yang menyebutkan bahwa faktor enabling (fasilitas keamanan dan keselamatan,
hukum/aturan) pada perawat berpengaruh terhadap K3 pada perawat dalam penanganan
pasien. Nilai yang paling tinggi pada faktor enabling berada pada komponen
hukum/aturan, artinya secara umum perilakuseseorang dipengaruhi oleh aturan yang ada
di lingkungannya.Selain beberapa faktor diatas, budaya organisasi juga berpengaruh
terhadap perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan, dimana budaya organisasi
yang baik akan mendorong perawat untuk bekerja sesuai dengan prosedur yang telah
ditetentukan (Notoadmodjo,2010).
Hal ini sejalan dengan penelitian Mulyatiningsih (2013) tentang determinan perilaku
perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien yang menunjukkan adanya hubungan
yang signifikan antara budaya organisasi dengan perilaku perawat dalam menjaga
keselamatan.
xxxii
kejadian kecelakaan kerja. Untuk itu maka diperlukan media sosialisasi seperti
whatsapp yang dapat di akses dengan mudah oleh perawat tentang informasi
pelaksanaan K3, sehingga efisien dan efektif dalam menyampaikan promosi K3.
Media sosial tersebut dapat mengakomodir kebutuhan informasi, ilmu baru, praktik
terbaik tentang penanggulangan kecelakaan kerja yang dikelola oleh Komite K3RS.
Faktor teknis :
a. Tempat Kerja
b. Kondisi Peralatan
xxxiii
mengerti benar cara menggunakan forklift, karena jika tidak, kemungkinan
akan timbul kesalahan dan mengancam keselamatan lingkungan maupun
tenaga kerja lainnya.
d. Transportasi
e. Tools (Alat)
Faktor Non-Teknis
a. Ketidaktahuan
xxxiv
Tingkat pendidikan teknisi sangat dibutuhkan untuk proses produksi
dan proses maintenance atau perawatan. Orang yang memiliki kemampuan
tinggi biasanya akan bekerja dengan lebih baik serta memperhatikan faktor
keslamatan kerja pada pekerjannya. Oleh sebab itu, untuk selalu mengasah
kemampuan akan menjadi lebih baik.
d. Bermain-main
1. Umur
2. Masa Kerja
Masa kerja adalah suatu kurun waktu atau lamanya tenaga kerja
bekerja disuatu tempat. Pengalaman untuk waspada terhadap kecelakaan
kerja bertambah baik sesuai denga pertambahan masa kerja dan lama
bekerja di tempat kerja yang bersangkutan.
xxxvi
kemungkinan adanya paparan potensi bahaya lingkungan kerja terhadap
kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Kesehatan dan keselamatan kerja rumah sakit atau yang dikenal dengan K3 RS mulai
mendapat perhatian serius dari manajemen rumah sakit sejak diberlakukannya sistem
akreditasi rumah sakit oleh Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS).
Pada awal tahun 2017 KARS mengeluarkan Standar Nasional Akreditasi Rumah
Sakit yang merupakan penyempurnaan dari KARS versi 2012. Dalam SNARS 2017 pada
kelompok Standar Manajemen Rumah Sakit terdapat Bab mengenai Manajemen Fasilitas
dan Keselamatan atau dikenal dengan MFK.
Didalam MFK terdapat 24 standar dan 104 penilaian yang dapat dikelompokan
kedalam enam bidang, yaitu:
5. Peralatan Medis
6. Sistem Penunjang
Rumah sakit diwajibkan untuk mengelola keenam bidang tersebut dalam upaya
mencegah kecelakaan dan kerugian bag pasien, pengunjung dan staf rumah sakit. Untuk
penerapan MFK ini, maka rumah sakit diwajibkan untuk menbentuk komite K3 atau
instalasi K3 sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 66 tahun 2016 tentang
standar kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit. Dalam permenkes 66 TH 2016
juga disebutkan tentang 5 prinsip SMK3 (Sistem Manajemen K3) sesuai dengan PP 50
Tahun 2012 tentang SMK3.
1. Kebijakan
xxxvii
2. Perencanaan
3. Implementasi
4. Monitoring Evaluasi
Artinya, dalam menerapkan K3 di rumah sakit harus dimulai dengan Komitmen dari
Top Manajemen atau direktur rumah sakit yang dituangkan dalam bentuk kebijakan K3.
Hal ini juga dinyatakan didalam MFK 1 tentang Kepemimpianan dan Perencanaan. Tanpa
komitmen yang kuat dari direktur rumah sakit maka penerapan K3 secara baik akan
menjadi sulit diwujudkan.
Ada beberapa langkah berikut yang dapat dilakukan dalam menerapkan K3 di rumah
sakit, langkah ini menjadi penting karena K3 Rumah Sakit dapat dikatakan merupakan
hal yang baru dan masih dianggap belum begitu penting, yaitu:
1. Mendapatkan komitmen dari Direktur Rumah Sakit. Langkah awal dalam penerapan
K3 rumah sakit adalah dengan mendapatkan komitmen dari direktur rumah sakit,
artinya direktur rumah sakit secara serius mendukung dan terlibat dalam program-
program K3 yang akan dijalankan.
2. Membentuk komite K3. Setelah mendapatkan komitmen dari direktur rumah sakit,
dan salah satu bentuk wujud dari komitmen tersebut, direktur membentuk Komite K3
rumah sakit dimana ketua komitenya adalah direktur atau satu level dibawahnya.
Komite K3 rumah sakit bertugas mebuat kebijakan K3 RS dan program-program K3
lainnya. Pembentukan Komite K3 RS disertai dengan Surat Keputusan (SK) direktur,
ada dua jenis SK yang perlu dikeluarkan oleh direktur, yaitu:
3. Setelah komite K3 terbentuk, maka dilakukan kick off meting untuk membahas
rancangan Kebijakan K3 Rumah Sakit yang nantinya akan ditanda tangani oleh
direktur rumah sakit. Kebijakan K3 RS mencerminkan komitmen K3 dari direktur
rumah sakit untuk mematuhi peraturan perundangan terkait K3 yang berlaku,
komitmen untuk merencanakan dan menerapkan K3 untuk mencegahan Kecelakaan
Akibat Kerja (KAK) dan Penyakit Akibat Kerja (PAK) bagi semua staff/karyawan
xxxviii
rumah sakit baik yang permanen, kontrak, outsourcing atau vendor/kontraktor.
Kebijakan dibuat dalam bentuk tertulis dan ditanda tangani oleh direktur.
xxxix
7. Untuk memastikan konsistensi penerapan program K3 agar tetap berada pada jalur
yang ditetapkan, maka perlu dilakukan monitoring dan evaluasi (Monev) secara
berkala. Ada tiga cara dalam melakukan monev, yaitu:
8. Langkah terakhir dan juga merupakan kunci keberhasilan dari program K3 adalam
Tindak Lanjut atau perbaikan secara terus-menerus dari hasil temuan Monev yang
dilakukan. Temuan-temuan yang merupakan gap atau kekurangan dalam
implementasi program K3 harus diperbaiki dan ditindak lanjuti. Ada tiga kelompok
temuan dari kegiatan Monev, yaitu:
a. Potensi bahaya dan risiko yang sudah dikendalikan dengan baik, ini harus
dipertahankan.
b. Potensi bahaya dan risiko yang dikendalikan parsial, ini harus diperbaikan dan
dilenkapi pengendaliannya.
c. Potensi bahaya dan risiko yang belum dikendalikan sama sekalu, ini harus dibuat
program pengendaliannya.
xl
yang nyaman, aman, dan menyenangkan demi menciptakan kepuasan kerja bagi
perawat - perawatnya.
2.6 Tujuan dan manfaat K3 (Kesehatan dan keselamatan kerja) dalam rumah sakit
Melindungi dan menjamin keselamatan setiap tenaga kerja dan orang lain di
tempat kerja.
Menjamin setiap sumber produksi dapat digunakan secara aman dan efisien.
Tentunya K3 dibuat dengan tujuan yang bagus pastinya menjaga keamanan para
pekerja, namun selain itu terdapat banyak lagi tujuan dari K3 tersebut.
Tujuan dari adanya K3 selain itu dapat kita perjelas seperti dibawah ini :
1. Melindungi dan menjamin keselamatan setiap tenaga kerja dan orang lain di
tempat kerja.
2. Menjamin setiap sumber produksi dapat digunakan secara aman dan efisien.
xli
4. Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-baiknya selektif
mungkin.
5. Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi pegawai
7. Agar terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan atas
kondisi kerja.
Selain ada tujuan dibuatnya k3 ini, maka para perusahaan atau pemberi kerja
tersebut perlu mengikuti sejumlah prinsip sebagai berikut :
Potensi bahaya di RS, selain penyakit - penyakit infeksi juga ada potensi
bahaya - bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di RS, yaitu kecelakaan
(peledakan, kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi listrik, dan
xlii
sumber-sumber cidera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia yang berbahaya, gas-gas
anastesi, gangguan psikososial dan ergonomi. Semua potensi bahaya tersebut di atas,
jelas mengancam jiwa dan kehidupan bagi para karyawan di RS, para pasien maupun
para pengunjung yang ada di lingkungan RS.
Manfaat yang paling terlihat dalam penerapan dari penerapan ini ialah
menurunnya tingkat penyebaran penyakit dan infeksi yang selama ini masih saja
menjadi topic global yang disebabkan oleh ketidak mampuan serta kurangnya
pemahaman dan disiplin para pelayan kesehatan dan kebijakan rumah sakit dalam
penerapan k3 rs. Perawat sangatlah berperan penting juga dalam hal penerapan k3 ini
dikarenakan perawat harus berkontak langsung dengan para pasiennya dalam
meberikan asuhan, jika hal ini diterapkan maka perawat dapat terlindungi dan aman
saat memberikan pelayanan yang dimaksud.
Manfaat Pedoman K3 bagi Rumah Sakit menurut Kepmenkes No. 432 adalah:
xliii
Dalam menerapkan pedoman manajemen K3 Rumah Sakit, menurut
Kepmenkes No. 432, Anda harus mempunyai sistem manajemen K3 yang
baik.
82% Low Back Pain atau cidera tulang panggul, cidera punggung,
cidera pergelangan tangan, dan lainnya.
2.7 Contoh Kasus yang Terjadi di dalam Gedung Rumah Sakit Beserta Penanganannya
“...Kecelakaan kerja masih ada mas, kejadiannya saat saya memebersihkan limbah
jarum suntik terdapat jarum suntik bekas kemudian saya tertusuk saat membersihkannya,
di sekitar area hecting suntik saat kerja...” (Responden B)
“... ada mas, saat saya menyuntikkan insulin humolog pada pasien. waktu saya nutup
ketusuk jarum suntik pada tangan kiri mas...” (Responden C)
xliv
“.. ada mas, waktu itu saya tidak pakai sarung tangan saat masukin jarum jarum di
safety box, tiba tiba tangannya ketusuk jarum yang kurang rapat ditutup penutupannya..”
(Responden D)
“...Bisa dari ketidak hatian pekerja dalam melakukan suatu pekerjaan, bisa juga dari
APD yang digunakan apakah sudah memenuhi SOP dan dari pengetahuan pekerja akan
penggunaan APD...” (Responden A).
Selain itu, dirumah sakit PKU Muhammadiyah Gamping juga memiliki kendala
dalam meminimalisir kejadian kecelakaan kerja yaitu salah satunya minimnya atau
kurangnya pengawasan yang dilakukan terhadap pekerja hal ini juga di karenakan karena
minimnya jumlah SDM yang ada di K3. Adapun informasi tersbut didapat dari kutipan
wawancara sebagai berikut:
Penggunaan Alat pelindung diri (APD) merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja di rumah sakit PKU Muhammadiyah Gamping.
Adapun kecelakaan yang sering terjadi di Rumah sakit PKU Muhammadiyah Gamping,
Sleman yaitu tertusuk jarum suntik akibat tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD).
Hal ini dikutip dari hasil wawancara dengan salah satu responden yaitu :
“...Pada saat mmasukkan jarum suntik ke safety box. Tertusuk jarum ya mungkin ada
jarum suntik yang masih kebuka penutupnya mas.” (Responden D).
“Saat memasukkan jarum itu saya ga pake sarung tangan mas.” (Responden D).
xlv
Kendala yang menyebabkan kecelakaan kerja di rumah sakit PKU Muhammadiyah
gamping yaitu pihak K3 dalam melakukan pengawasan belum makasimal. Sementara itu
jumah SDM yang terbatas menjadi masalah dalam terjadi kecelakaan kerja termasuk alat
dan yang ;lainnya.
Faktor pengawasan yang dilakukan sejauh ini masih kurang tepat. Sementara itu
walaupun upaya keselamatan kerja dilakukan namun kecelakaan kerja masih terjadi yaitu
salah satunya karna faktor kelalaian pegawai dan alat. Namun faktor alat tidak
berpengaruh besar pada kejadian kecelakaan kerja lebih banyak faktor ketidak waspadaan
dari para pegawai rumah sakitnya. Selain itu, dirumah sakit PKU Muhammadiyah
Gamping juga memiliki kendala dalam meminimalisir kejadian kecelakaan kerja yaitu
salah satunya minimnya atau kurangnya pengawasan yang dilakukan terhadap pekerja hal
ini juga di karenakan karena minimnya jumlah SDM yang ada di K3.
“...Masih mas, kan kecelakaan itu banyak faktornya. Kalo faktor yang memang dia
mengalami kecelakaan kan tidak dapat diprediksi dan tidak dapat di apa namanya…ya
sudah sesuai SOP tapi dia masih terjadi itulah namanya kecelakan, tapi kalo dia tidak
memperhatikan SOP dan sebagainya...”(Responden A).
xlvi
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Untuk itu setiap individu yang bekerja maupun masyarakat dalam rumah
sakit / instansi kesehatan wajib mengetahui dan memahami semua hal yang
diperkirakan akan dapat menjadi sumber kecelakaan kerja dalam rumah sakit /
instansi kesehatan, serta memiliki kemampuan dan pengetahuan yang cukup
untuk melaksanakan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan kerja
tersebut.
xlvii
Rumah sakit merupakan sarana pelayanan yang bergerak dibidang pelayanan
jasa kesehatan yang mempunyai beragam persoalan tenaga kerja yang rumit
dengan berbagai risiko terkena penyakit akibat kerja bahkan kecelakaan akibat
kerja sesuai jenis pekerjaannya sehingga berkewajiban menerapkan upaya
pembinaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit (K3RS).
Faktor teknis :
Kesehatan dan keselamatan kerja rumah sakit atau yang dikenal dengan K3
RS mulai mendapat perhatian serius dari manajemen rumah sakit sejak
diberlakukannya sistem akreditasi rumah sakit oleh Komite Akreditasi Rumah
Sakit (KARS).
xlviii
3.2 Saran
xlix
DAFTAR PUSTAKA
“Identifikasi dan Analisa Risiko K3 pada Area Produksi Rumah Potong Ayam”. FKM UI.
Januari 2012.
Ramli, Soehatman, (2010) Pedoman praktis Manajemen Risiko dalam prespektif K3OHS
Risk Management, Dian Rakyat, Jakarta.
Lombogia, A., Rottie, J., & Karundeng, M.(2016). Hubungan Perilaku Dengan Kemampuan
Perawat Dalam Melaksanakan Keselamatan Pasien (Patient Safety) Di Ruang Akut Instalasi
Gawat Darurat. Keperawatan, Vol 2 (4), 1-8
Simamora, R. H. (2018). Buku ajar keselamatan pasien melalui timbang terima pasien
berbasis komunikasi efektif: SBAR. Medan: USUpress. Simamora, R. H. (2019). Buku ajar
pelaksanaan identifikasi pasien. Uwais Inspirasi Indonesia
Anizar. 2012. Teknik keselamatan dan kesehatan kerja di industri. Penerbit Graha Ilmu.
Yogyakarta.
Handayani, E.E, Wibowo, T.A, Suryani. 2010. Hubungan antara penggunaan Alat Pelindung
Diri, Umur, dan Masa kerja dengan kecelakaan kerja pada pekerja bagian Rustic di PT
Borneo Melintang Buana Eksport Yogyakarta.
Siregar, 2014. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kecelakaan kerja ringan di PT. Aqua
Golden Mississippi Bekasi.
Sucipto, C.D, 2014. Keselamatan dan kesehatan kerja. Yogyakarta. Hal 1,79 dan 83.
l
Sugiyono, 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. penerbit ALFABETA,
Bandung, Hal 95-96.
Sekretariat Jenderal Pusat Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi RI, Jakarta. 7.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2007. 9. OSHA, 2013, ‘Facts About Hospital Worker
Safety’, Occupational Safety and Health Administration, viewed 27 Agustus 2016,
https://www.osha.gov/dsg/hospitals/documents/1.2_Factbook_508.pdfs
li