I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelanggaran asas itikad baik yang terkandung dalam Undang-Undang
Merek terjadi dalam sengketa perdata dengan Nomor 8 PK/Pdt.Sus-HKI/2020 jo.
Putusan Nomor 783 K/Pdt.Sus-HKI/2018 jo. Putusan Nomor 60/Pdt.Sus
Merek/2017/PN Niaga.Jkt.Pst. Dalam perkara tersebut, penggugat Syarikat Jun
Chong SDN., BHD mengajukan gugatan kepada tergugat PT. Garuda Tasco
International dan turut tergugat Pemerintah Republik Indonesia Cq. Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Cq. Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Cq.
DIREKTORAT Merek atas pelanggaran asas itikad baik dalam pendaftaran
Merek Dagang (kata) “PB” dan Lukisan (Kelas 7). Adapun gugatan penggugat
tertuang dalam gugatan Nomor 60/Pdt.Sus Merek/2017/PN Niaga.Jkt.Pst yang
uraiannya sebagai berikut:
1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan bahwa Penggugat adalah satu-satunya pemilik yang sah
dan pemegang hak serta pemakai pertama atas merek terkenal (well
known mark) yaitu Merek Dagang (kata) “PB” dan Lukisan (Kelas 7);
3. Menyatakan bahwa Merek Dagang (kata) “PB” dan Lukisan (Kelas 7)
milik Penggugat adalah merek terkenal (well-known mark);
4. Menyatakan Merek Dagang PB yang terdaftar atas nama Tergugat, di
bawah Registrasi Nomor IDM 000047786 (Kelas 8) mempunyai
persamaan pada keseluruhan dengan merek terkenal (well-known
mark) yaitu Merek Dagang (kata) “PB” dan Lukisan (Kelas 7) milik
Penggugat;
5. Menyatakan bahwa Tergugat mempunyai itikad tidak baik dalam
mengajukan Permohonan Pendaftaran Merek Dagang PB yang
terdaftar dalam Daftar Umum Merek Turut Tergugat di bawah
Registrasi Nomor IDM 000047786 (Kelas 8);
6. Menyatakan batal atas pendaftaran Merek Dagang PB milik Tergugat
yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek Turut Tergugat di bawah
Registrasi Nomor IDM 000047786 Kelas 8 dengan segala akibat
hukumnya; dan
2
pokoknya dengan Merek terkenal Merek Dagang (kata) “PB” dan Lukisan
milik Penggugat;
4. Menyatakan Tergugat sebagai pendaftar yang beritikad tidak baik atas
pendaftaran merek Dagang (kata) “PB” dan Lukisan terdaftar Nomor
IDM000047786;
5. Menyatakan batal menurut hukum pendaftaran Merek Dagang (kata) “PB”
dan Lukisan terdaftar Nomor IDM000047786 atas nama Tergugat;
6. Memerintahkan Turut Tergugat untuk tunduk, mentaati dan
melaksanakan putusan ini dengan malaksanakan Pembatalan
Pendaftaran Merek Dagang PB milik Tergugat yang terdaftar dalam
Daftar Umum Merek Turut Tergugat di bawah Registrasi Nomor IDM
000047786 (Kelas 8) dan mengumumkannya dalam Berita Resmi Merek;
7. Memerintahkan Panitera atau Pejabat yang berwenang untuk itu guna
menyampaikan salinan putusan perkara ini kepada Direktorat Jenderal
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) agar dapat mencatatkan pembatalan
pendaftaran Merek Dagang (kata) “PB” dan Lukisan terdaftar Nomor
IDM000047786 atas nama Tergugat dari Daftar Umum Merek dan
mengumumkannya dalam Berita Resmi Merek;
8. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp1.316.000,00 (satu juta tiga ratus enam belas ribu rupiah);
Kemudian tergugat yang merasa keberatan terhadap putusan majelis
tersebut mengajukan memori kasasi yang termuat dalam kasasi Nomor 783
K/Pdt.Sus-HKI/2018. Dalam putusan kasasi, majelis menolak memori kasasi
yang diajukan oleh PT. Garuda Tasco International. Demikian juga putusan pada
tingkat Peninjauan Kembali dimana majelis juga menolak permohonan Pemohon
Peninjauan Kembali.
Berdasarkan hal- hal di atas, telah menjadi latar belakang dari penulisan
skripsi ini dengan judul: “Analisis Yuridis Pelanggaran Asas Itikad Baik dalam
Penggunaan Merek Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
Tentang Merek dan Indikasi Geografis (Studi Putusan Nomor 8 PK/Pdt.Sus-
HKI/2020)”.
Sistem pendaftaran merek pada secara umum terdiri dari dua sistem
pendaftaran. System tersebut adalah sistem deklaratif dan sistem konstitutif.
Sistem deklaratif digunakan pada Undang-undang Nomor 21 Tahun 1961,
sedangkan sistem konstitutif digunakan sejak Undang- undang Nomor 19 Tahun
1992 sampai Undang-Undang merek terbaru tahun 2016.
Secara internasional menurut Soegondo Soemodiredjo ada dikenal 4
sistem pendaftaran merek yaitu:1
1. Pendaftaran merek tanpa pemeriksaan terlebih dahulu. Menurut
sistem ini merek yang dimohonkan pendaftarannya segera
didaftarkan asal syarat- syarat permohonannya telah dipenuhi antara
lain pembayaran biaya permohonan,pemeriksaan dan pendaftaran.
Tidak diperiksa apakah merek tersebut memenuhi syarat-syarat lain
yang ditetapkan dalam undang- undang, misalnya tidak diperiksa
apakah merek tersebut pada keseluruhannya atau pada pokoknya
ada persamaan dengan merek yang telah didaftarkan untuk barang
sejenis atas nama orang lain.Sistem ini dipergunakan misalnya oleh
negara Perancis, Belgia, Luxemburg, dan Rumania.
2. Pendaftaran dengan pemeriksaan merek terlebih dahulu.
Sebelum didaftarkan merek yang bersangkutan terlebih dahulu
diperiksa mengenai syarat-syarat permohonannya maupun syarat-
syarat mengenai merek itu sendiri. Hanya merek yang memenuhi
syarat dan tidak mempunyai persamaaan pada keseluruhan atau
pada pokoknya dengan merek yang telah didaftarkan untuk barang
sejenis atas nama orang lain dapat didaftarkan. Misalnya sistem ini
dianut oleh Amerika Serikat,Jerman, Inggris, Jepang dan Indonesia.
3. Pendaftaran dengan pengumuman sementara.Sebelum merek yang
bersangkutan didaftarkan, merek itu diumumkan lebih dahulu untuk
memberi kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan
keberatan- keberatan tentang pendaftaran merek tersebut.Sistem ini
1
Soegondo Soemodiredjo, Merek Perusahaan dan Perniagaan, Jakarta,
Lembaga Administrasi Negara, 1963, hlm. 10-11
5
c. Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak
sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu; atau
d. Indikasi Geografis terdaftar.
Apabila secara sah dan meyakinkan terdapat atau ada pelanggaran
merek maka hakim akan memberikan perlindungan melalui putusan yang adil.
Bagi Pelanggar akan dikenakan sanksi (baik pidana maupun denda) sesuai
ketentuan pidana merek yang diatur dalam Pasal 90 sampai dengan Pasal 95
UU No.15 Tahun 2001. Apabila terbukti secara secara sah ada pihak yang telah
melakukan pelanggaran merek maka pihak yang melakukan pelanggaran akan
dikenakan sanksi (baik pidana atau denda) sesuai dengan pelangaran yang
dilakukan. Jadi perlindungan hukum akan diberikan oleh Negara hanya kepada
merek yang terdaftar saja.
Sanksi akan dikenakan bagi pelanggar merek sah karena pelanggara
merupakan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata) antara lain
memenuhi unsur:
a. Perbuatan melawan hukum,
b. Adanya Kerugian,
c. Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan dan kerugian yang
ditimbulkan,
Adanya Kesalahan. Pihak yang melanggar akan dikenakan sanksi karena
jelas memenuhi unsur perbuatan melawan hukum, karena perbuatan yang
melawan hukum yaitu secara sengaja menggunakan merek pihak lain tanpa hak.
Selain itu menimbulkan kerugian. Pihak pemilik merek dirugikan (secara materiil
dan non materiil) dengan adanya pelanggaran merek tersebut. Karena
pelanggaran merek merupakan suatu perbuatan yang dapat dikategorikan suatu
kesalahan maka apabila ada pihak yang melakukan pelanggaran merek sudah
sepantasnya dikenakan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.2
milik seorang pemilik merek dagang atau jasa tanpa izin. Penggunaan tersebut
dilakukan dalam bidang perdagangan yang berarti bahwa pelangaran dilakukan
sehubungan dengan penjualan dan promosi barang yang dapat menimbulkan
kerugian baik secara materil maupun imateril bagi pemilik merek.
Pelanggaran merek ini dapat dilakukan dengan menduplikasi suatu merek
dengan mengubah kata atau gambar yang terdapat dalam merek tersebut
dengan jenis produk yang sama atau sebaliknya. Arti pelanggaran merek
menurut UU Merek No.20 Tahun 2016 dapat diinterpretasikan menjadi 4 (empat)
macam yaitu:
a. Perbuatan pelanggaran merek yang dilakukan secara sengaja dan
tanpa hak dengan menggunakan merek yang sama;
b. Perbuatan pelanggaran merek yang dilakukan secara sengaja dan
tanpa hak dengan menggunakan merek yang serupa;
c. Perbuatan pelanggaran merek yang dilakukan karena kelalaiannya;
d. Perbuatan pelanggaran merek karena menggunakan tanda yang
dilindungi berdasarkan indikasi geografis atau indikasi asal yang
dilakukan secara sengaja dan tanpa hak sehingga menyesatkan
masyarakat mengenai asal barang dan jasa.
Pelanggaran terhadap merek terutama disebabkan adanya keinginan
untuk mendapatkan keuntungan yang besar dalam perdagangan yang biasanya
dilakukan dengan menggunakan merek-merek terkenal dalam masyarakat.
Pelanggaran dibidang merek dilakukan dengan cara pemakaian merek terkenal
tanpa izin atau peniruan terhadap merek terkenal dengan tujuan memudahkan
pemasaran karena merek terkenal sudah mendapatkan kepercayaan dari
masyarakat.
Pada dasarnya, untuk memahami apakah perbuatan itu merupakan
pelanggaran merek, harus dipenuhi unsur-unsur berikut ini:3
a. Larangan undang-undang
Perbuatan yang dilakukan oleh pengguna hak kekayaan intelektual
dilarang dan dapat diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
b. Izin (Lisensi)
3
Abdul Khadir Muhammad,Op.cit., hlm. 144
8
Konsep iktikad tidak baik telah diatur sejak UU Merek 1992, dilanjutkan
dengan UU Merek 2001 dan disempurnakan melalui UU Merek 2016. Dimana
ketiga undang-undang tersebut telah menjelaskan konsep itikad tidak baik dalam
pendaftaran merek yaitu Pemohon yang patut diduga dalam mendaftarkan
mereknya secara tidak layak dan tidak jujur untuk meniru, menjiplak, atau
mengikuti Merek pihak lain demi kepentingan usahanya menimbulkan kondisi
persaingan usaha tidak sehat, mengecoh, atau menyesatkan konsumen.
Penjelasan tentang konsep itikad tidak baik juga dijelaskan dalam
beberapa yurisprudensi yaitu Putusan No. 1269 L/Pdt/1984 tanggal 15 Januari
1986, putusan No. 220 PK/Perd/1981 Tanggal 16 Desember 1986 dan putusan
No.1272 K/Pdt./1984 tanggal 15 Januari 1987, MA berpendapat bahwa pemilik
merek beritikad tidak baik karena telah terbukti menggunakan merek yang sama
pada pokoknya atau sama pada keseluruhannya dengan merek pihak lawan.4
Indonesia menganut sistem konstitutif atau disebut sebagai First to file
yaitu hak atas merek tercipta atau diperoleh karena pendaftaran. Indonesia tidak
menganut sistem Deklaratif yang memiliki arti hak atas merek diperoleh
berdasarkan pemegang atau pembuat pertama atas suatu merek tersebut.
Kedua sistem tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing.
Sistem konstitutif memiliki kelebihan lebih akurat bagi para pemilik merek dagang
yang ingin mendaftarkan mereknya untuk diberikan perlindungan hukum oleh
Undang-Undang Merek, sedangkan kekurangannya yaitu banyak pihak yang
sengaja mendaftarkan merek dagang hanya untuk mendapatkan keuntungan
dan mendapatkan perlindungan dari Undang-Undang Merek. Sistem Deklaratif
memiliki kelebihan yaitu pemegang pertama dapat dilindungi asalkan dapat
4
Mukti Fajar ND., Yati Nurhayati, dan Ifrani, Iktikad Tidak Baik dalam
Pendaftaran dan Model Penegakan Hukum Merek di Indonesia, Jurnal Hukum IUS QUIA
IUSTUM NO. 2 VOL. 25 MEI 2018, hlm. 224
10
5
Nurhayati Nasution, Analisis Yuridis Pertimbangan Hakim Tentang Pembatalan
Merek Terdaftar GS Gold Shine, Tesis, Surakarta, Universitas Sebelas Maret, 2011, hlm.
15
11
6
Maehsoen Ali, Rahmi Jened,”Kesadaran Pengusaha Kecil dan Menengah Jawa
Timur akan Arti Penting Desain Industri”, Penelitian IP Clinic-FIPSI- JETRO-FH UNAIR,
2000, hlm. 13-18
7
Djaja S. Meliala, Masalah Itikad Baik dalam KUH Perdata, cet. 1, Bandung,
Binacipta 1987, hlm. 6
8
Ibid.
9
Wiryono Prodjodikoro , Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bandung, Sumur, 2006,
hlm. 87
12
khusus, maka pihak lain tidak dapat menggunakan merek terdaftar tanpa izin
pemiliknya. Orang yang berminat menggunakan merek orang lain harus terlebih
dahulu mengadakan perjanjian lisensi dan mendaftarkannya ke Kantor Merek.10
Apabila tanpa melakukan perjanjian lisensi, tetapi langsung membuat
merek yang sama pada pokoknya atau pada keseluruhannya dengan merek
terdaftar milik orang lain dan digunakan pada barang atau jasa yang sama tanpa
pendaftaran merek, hal ini merupakan pelanggaran Hak Atas Merek. Jadi bentuk
pelanggarannya berupa peniruan merek terdaftar. Istilah lain untuk pelanggaran
tersebut dikenal istilah “pembajakan hak merek”.11
Secara umum pelanggaran merek dapat terjadi jika seseorang atau
badan hukum menggunakan merek dagang atau merek dagang yang serupa
milik seorang pemilik merek dagang atau jasa tanpa izin. Penggunaan tersebut
dilakukan dalam bidang perdagangan yang berarti bahwa pelangaran dilakukan
sehubungan dengan penjualan dan promosi barang yang dapat menimbulkan
kerugian baik secara materil maupun imateril bagi pemilik merek.
Pada prinsipnya sesuai prinsip hukum merek, pelanggaran merek dapat
dikategorikan dalam tiga area utama, yaitu:12
1. Infringement that create of likelihood of conclusion as to source,
sponsorship, affiliation, or connection. (Pelanggaran yang
menyebabkan persamaan yang membingungkan mengenai sumber,
sponsor, afiliasi, atau koneksi).
2. Counterfeiting that useof mark that is substantially indistinguishsble-
required for treble damages and criminal prosecution. (Pemalsuan
dengan penggunaan merek yang secara substansial tidak dapat
dibedakan yang dipersyaratkan untuk pemulihan tiga kali lipat dari
jumlah kerugian sebenarnya.
3. Dilution that lessening of the capacity of a famous mark to identify and
distinguish goods or services regardless of competition or likelihood of
confusion. (Dilusi merek yang mengurangi kapastitas sebuah merek
terkenal untuk mengidentifikasikan dan membedakan barang atau
10
Gatot Suparmono, Op.Cit, hlm. 74
11
Ibid.
12
Rahmi Jened, Hukum Merek (Trademark Law) dalam Era Globalisasi dan
Integrasi Ekonomi, Jakarta, Prenadamedia Group, 2015, hlm. 311
13
13
Ahmadi Miru, Op.Cit, hlm. 17
14
Maehsoen Ali, Rahmi Jened, Op.Cit, hlm. 176
14
17
R. Soerparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, Bandung, Mandar
Maju, 2005, hlm. 152
18
Mukti Arto, Op.Cit, hlm. 142
17
A. Kesimpulan
1. Pelanggaran merek dapat terjadi jika seseorang atau badan hukum
menggunakan merek dagang atau merek dagang yang serupa milik
seorang pemilik merek dagang atau jasa tanpa izin. Penggunaan tersebut
dilakukan dalam bidang perdagangan yang berarti bahwa pelangaran
19
Emmy Yuhassarie, Hak Kekayaaan Intelektual dan Perkembangannya,
Jakarta, Pusat Pengkajian Hukum, 2004, hlm. 206-207
20
Ibid, hlm. 207
18
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Arto, Mukti. 2004. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet V,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Gautama, Sudargo. 1989. Hukum Merek Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti
Ibrahim, Johny 2007. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Edisi
Revisi). Malang, Bayu Media Publishing
Jened, Rahmi. 2015. Hukum Merek (Trademark Law) Dalam Era Global dan
Integras Ekonomi, Jakarta, Kencana
Maulana, Insan Budi. 1997. Sukses Bisnis Melalui Merek, Paten dan Hak Cipta,
Bandung, Citra Aditya
Meliala, Qirom Syamsudin. 2007. Pengertian Asas Itikad Baik di dalam Hukum
Indonesia, Surabaya, Mitra Ilmu
Rasjidi, Lilidan B. Arief Sidharta. 1994. Filsafat Hukum Madzab dan Refleksi,
Bandung, Remaja Rosda Karya
Subagyo, P. Joko. 2006. Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta,
Rineka Cipta
Tutik, Titik Triwulan. 2006. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Prestasi Pustaka
Publisher
Utomo, Tomi Suryo. 2002. Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung,
Alumni
B. Undang-Undang
C. Jurnal/Karya Tulis
Priamsari, RR. Putri Ayu. 2010. “Penerapan Itikad Baik Sebagai Alasan
pembatalan Merek Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
Tentang Merek (di Tingkat Peninjauan Kembali), Tesis, Semarang,
Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
D. Internet
https://snhlawoffice.com/id/artikel/62-beracara-di-pengadilan-niaga-dalam-
perkara-gugatan-merek-3 diakses pada 3 Januari 2021