Anda di halaman 1dari 55

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara umum dinyatakan bahwa faktor utama yang mendukung
proses pembangunan adalah tingkat pendidikan masyarakat. Proses
tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa cara yang paling efisien dalam
melakukan pembangunan nasional suatu negara terletak pada peningkatan
kemampuan masyarakatnya, termasuk pendidikan di dalamnya. Teori
human capital mengasumsikan bahwa pendidikan formal merupakan salah
satu instrumen terpenting untuk menghasilkan masyarakat yang memiliki
produktivitas tinggi (De Neve & Fink, 2018). Semakin tinggi pendidikan
masyarakat maka semakin tinggi pula tingkat produktivitas masyarakat
tersebut. Melalui proses pembangunan, teori human capital tersebut
setidaknya harus memiliki dua syarat. Pertama, adanya pemanfaatan
teknologi secara efisien. Kedua, adanya sumber daya manusia yang
mengelola dan/atau menggunakan teknologi tersebut.
Sumber daya manusia dihasilkan melalui proses pendidikan. Hal
inilah yang menyebabkan teori human capital percaya bahwa investasi
dalam pendidikan merupakan investasi dalam rangka meningkatkan
produktivitas masyarakat. Pendidikan dapat dikatakan sebagai investasi
pada manusia karena dengan menjalani pendidikan manusia dapat menjadi
lebih pintar dan memiliki pengetahuan serta keterampilan. Semakin tinggi
pendidikan seseorang, maka dia akan semakin dapat berpikir secaram
kritis, pintar mereka terampil. Pendidikan yang telah dilaluinya itu, dia
akan bisa menghasilkan uang.
Masalah utama adalah sejauh mana pendidikan berpengaruh
terhadap proses pembangunan ekonomi dalam sebuah Negara. Hal tersebut
berdasarkan diberikannya pendidikan kepada semua masyarakat, maka
diharapkan akan dapat menjadi sumber daya yang baik karena dengan
menempuh pendidikan maka mereka akan dapat menjadi manusia unggul
yaitu dapat berpikir kritis. Pertumbuhan dalam berpikir kritis tersebut
sangat terkait dengan faktor pembelajaran atau pendidikan. Melalui
program pendidikan, peserta didik akan dilatih dapat melakukan pemikiran
secara kritis, melalui penerapan soal berbasis High Order Thinking Skills
(HOTS). Masyarakat Indonesia dapat berpikir secara kritis diharapkan
akan menjadikan sumber dayanya menjadi unggul, sehingga program yang
dicanangkan presiden Republik Indonesia saat ini yaitu Joko Widodo
untuk mewujudkan SDM unggul negara maju dapat tercapai.
Pendapat ahli yang mengemukakan bahwa kemampuan critical
thinking sangat dibutuh dalam dunia kerja dan kehidupan social. Peserta
didik yang mempunyai kemampuan berpikir kritis bisa mengembangkan
kemampuan komunikatif, kolaboratif, kreatif, inovatif, dan lebih kompeten
dalam pekerjaannya (ŽivkoviĿ, 2016). Berdasarkan hal tersebut, dapat
terwujud SDM unggul di Indonesia, dengan cara memberikan kesempatan
kepada semua warga negara termasuk masyarakat yang tidak mampu
untuk dapat menjalani program pendidikan.
Kasus di beberapa negara mengindikasikan bahwa pendidikan
berpengaruh terhadap proses pembangunan ekonomi dapat dilihat,
misalnya di Afrika (Ghana, Kenya, Nigeria) dan di Asia (Korea, Jepang,
Hongkong, Singapura, Malaysia). Dengan merujuk kepada pengalaman di
negara-negara tersebut maka menjadi penting untuk mengkaji sejauh mana
fenomena yang sama dapat diterapkan di Indonesia. Hal ini penting
mengingat Indonesia pada saat ini sedang mengalami suatu proses
ketidakseimbangan antara ekonomi dan pendidikan yang ditunjukkan oleh
hubungan antara tingkat pendidikan dan angka partisipasi tenaga kerja
serta pengangguran. Berdasarkan data yang terkumpul pada salah satu
SMK di Surakarta, prestasi akademik siswa penerima manfaat KIP
termasuk tinggi dan mendapatkan peringkat di kelasnya. Selain itu, apabila
dilihat dari tracer studi sekolah maka siswa penerima manfaat dapat
meneruskan pendidikan di perguruan tinggi dengan program bantuan KIP.
Masalah ekonomi merupakan salah satu penyebab masih banyak
anak usia sekolah yang tidak dapat bersekolah atau putus sekolah (Di
Maio & Nisticò, 2019; No, Taniguchi, & Hirakawa, 2016; Yi et al., 2015).
Namun banyak faktor lain yang menjadi penyebab putus sekolah adalah
ketersediaan akses dan fasilitas pendidikan yang memadai dan terjangkau.
Hal ini merupakan salah satu yang menyebabkan pemerintah
mengeluarkan program kartu Indonesia pintar (Nikmah, Wardani, &
Matsani, 2020).
Kartu Indonesia Pintar (KIP) merupakan program unggulan
pemerintahanan Joko Widodo yang diresmikan pada tanggal 3 november
2014, bersamaan dengan Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia
Sejahtera (KIS). Kartu tersebut diberikan kepada anak dari keluarga yang
memiliki Kartu Perlindungan Sosial (KPS) atau Kartu Keluarga Sejahtera
(KKS), guna mendapatkan manfaat Program Indonesia Pintar (PIP) berupa
bantuan uang tunai. Tujuannya adalah untuk meningkatkan akses layanan
pendidikan bagi anak (6 – 21 Tahun) sampai dengan lulus jenjang
pendidikan 12 tahun atau setara dengan jenjang pendidikan menengah
bahkan jenjang pendidikan tinggi, sebagai upaya pencegahaan peserta
didik yang putus sekolah akibat keterbatasan ekonomi (golongan keluarga
tidak mampu), dan menarik kembali peserta didik yang putus sekolah
untuk kembali menempuh jenjang pendidikan atau sekolah di lembaga
pendidikan formal maupun non formal.
Tujuan tersebut tentunya sejalan dengan Undang-Undang Dasar RI
1945 Pasal 31 Ayat (1) yang berbunyi, setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan. Hal tersebut semakin ditegaskan dalam undang-
undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1
Ayat (18) yang menyatakan tentang program wajib belajar. Artinya
pemerintah mewajibkan setiap warganya (6 sampai 21tahun) untuk dapat
menyelesaikan pendidikan sampai dengan jenjang yang telah ditentukan.
Program seperti ini sebenarnya tidak hanya dilakukan di Indonesia saja,
bahkan negara lain ada yang memberikan hak penuh kepada warga dalam
bidang pendidikan dengan membebaskan biaya pendidikan. Negara
berkembang seperti Vietnam, Kenya, dan Uganda juga telah menerapkan
kebijakan pengurangan biaya pendidikan hingga pembebasan biaya
pendidikan (Bui, Nguyen, Nguyen, Nguyen, & Pham, 2020; Khiem, Linh,
Tai, & Dung, 2020; Langsten, 2017; Ohba, 2011; Ruiz, 2011; Yoon,
2019).
Bantuan pendidikan yang diberikan pemerintah kepada pemegang
KIP berbeda-beda untuk tiap jenjang pendidikan. Untuk tingkat
SD/MI/sederajat sebesar Rp.225.000/semester (Rp450.000 per tahun),
tingkat SMP/MTs/sederajat Rp.375.000/semester (Rp750.000 per tahun),
dan tingkat SMA/SMK/MA/sederajat sebesar Rp.500.000/semester
(Rp1.000.000 per tahun) sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun
2014. Pada jenjang pendidikan tinggi pengguna kartu indonesia pintar
memperoleh bantuan berupa pembebasan biaya pendaftaran seleksi masuk
perguruan tinggi, biaya kuliah atau pendidikan yang dibayarkan langsung
kepada perguruan tinggi yang bersangkutan, dan biaya hidup sebesar
Rp.700.000,00 (Tujuh Ratus Ribu Rupiah) perbulan atau Rp. 8.400.000,00
(Delapan Juta Empat Ratus Ribu Rupiah) per tahun. Berikut ini
merupakan penerima manfaat KIP yang telah dicairkan berdasarkan tahun
dan jenjang pendidikan :
Tabel 1.1. Penerima manfaat KIP tahun 2018-2020

Tahun SD SMP SMA SMK Jumlah Warga


Miskin

2018 10.379.253 4.598.022 1.479.346 1.953.173 18.409.794 25.950.000

2019 9.485.938 4.236.854 1.306.772 1.653.945 16.262.783 25.140.000

2020 5.050.960 2.187.688 621.616 364.601 8.210.847 26.420.000


Sumber: pip.kemendikbud.go.id & Badan Pusat Statistik 2020
Berdasarkan tabel di atas, tahun 2018 telah dicairkan dana bantuan
KIP kepada 18.409.794 peserta didik, tahun 2019 sebanyak 16.262.783
peserta didik dan tahun 2020 sebanyak 8.210.847 peserta didik diseluruh
Indonesia. Total penduduk miskin di tahun 2018 adalah 25,95 juta jiwa,
pada tahun 2019 penduduk miskin di Indonesia sebanyak 25,14 juta jiwa
dan pada tahun 2020 penduduk miskin di Indonesia sebanyak 26,42 juta
jiwa. Penerima KIP terus menurun dari tahun 2018. Hal tersebut
berbanding terbalik dengan data warga miskin yang bertambah cukup
pesat di tahun 2020. Artinya masih ada selisih penerima KIP di kalangan
penduduk miskin. Kemudian berdasarkan data tersebut dapat dilihat
bahwa jumlah penerima manfaat KIP terbesar sebesar Rp.1.000.000 per
peserta didik pada jenjang SMK dengan rincian seperti pada lampiran 1.
Berdasarkan tabel pada lampiran 1, data yang diperoleh dari
kemendikbud tersebut pada tahun 2018 pemerintah telah mencairkan dana
sebesar 1.535.049.500.000 untuk jenjang SMA sebanyak 1.953.173
peserta didik, di tahun 2019 sebesar 1.252.565.500.000 pada 1.653.945
peserta didik jenjang SMK, dan di tahun 2020 ini pemerintah baru
menggelontorkan dana sebesar 223.149.500.000 untuk jenjang SMK.
Dengan besaran uang tunai yang diterima 250.000 hingga 1.000.000 yang
diterima diharapkan dapat meningkat minat belajar peserta didik dan
dimanfaatkan dengan baik oleh para penerima manfaat KIP tersebut
(Astuti, 2017; Rohaeni & Saryono, 2018; Syaefuddin, Yuliani, &
Oktiwanti, 2019). Karena jika dibandingkan dengan data BPS tahun 2019
besaran biaya pendidikan tahun 2018/2019 pada jenjang SD sebesar 1,6
juta, SMP sebesar 3,2 juta, jenjang SMA sebesar 4,6 juta, dan jenjang
perguruan tinggi sebesar 11,9 juta dirasa masih cukup tinggi dibanding
bantuan yang diterima, sayangnya ditengah-tengah hal tersebut masih saja
ditemukan penerima bantuan yang mengalami permasalahan dalam
program ini, meliputi mekanisme penerimaan bantuan yang berubah-ubah,
penggunaan dana (uang tunai) yang kurang tepat, hingga kesulitan dalam
mengumpulkan bukti penggunaan dana KIP (Astuti, 2017; Rohaeni &
Saryono, 2018; Yusup, Ismanto, & Wasitohadi, 2019). Observasi awal
dilakukan paa sekolah SMK di Surakarta. Observasi ini menggunakan
wawancara singkat terhadap pihak sekolah terkait pelaksanaan program
KIP. Pertanyaan meliputi keterlaksanaan program KIP, manfaat untuk
penerima, dan kendala yang sering dialami dalam pelaksanaan program.
Kesimpulan singkat dari hasil wawancara tersebut antara lain 1) program
KIP sudah terlaksana dan disalurkan kepada penerima, 2) walaupun
sebagian besar dari keluarga tidak mampu tetapi ada beberapa penerima
yang sebenarnya mampu tetapi ikut dalam pelaksanaan, 3) proses KIP
masih membingungkan bagi sekolah sehingga banyak penerima yang
harus berkali-kali memperbarui persyaratan, 4) masih kurang pengawasan
menyeluruh terhadap keberjalanan program dari kebijakan sampai
program disalurkan ke pemerima manfaat.
Selain itu beberapa temuan research gap mengenai penerapan
program KIP di lapangan meliputi :
Tabel 1.2. Research gap penerapan program KIP
N Research Gap Hasil
o
1 Terdapat perbedaan pendapat Penyaluaran KIP sudah tepat
tentang sasaran & penyaluran sasaran (Cahyaningsih, 2019;
program KIP Hamdi, Setiawan, & Musyadad,
2020; Ngiode & Erwinsyah, 2020;
Setyawan, 2018)
Penyaluaran KIP belum tepat
sasaran (Retnaningsih, 2017;
Rijal, Fathurrahman, & Pranajaya,
2018; Rohaeni & Saryono, 2018;
Yusup et al., 2019; Zamjani,
2019)
2 Terdapat perbedaan pendapat Program KIP memiliki dampak
tentang dampak program KIP positif terhadap siswa (Ahmad,
2018; Saryoko, Muttaqin, &
Hidayat, 2019; Setyawan, 2018;
Syaefuddin et al., 2019; Yusup et
al., 2019)
Program KIP tidak memiliki
dampak positif terhadap siswa
(Fitriani, Musyarofah, & Haryadi,
2020; Rijal et al., 2018; Sari,
2020; Yusup et al., 2019;
Zamjani, 2019)
3 Terdapat perbedaan pendapat Penggunaan dana (uang tunai)
tentang penggunaan dana program KIP tepat (Malianga,
KIP Walewangko, & Londa, 2019;
Setyawan, 2018)
Penggunaan dana (uang tunai)
KIP kurang tepat (Astuti, 2017;
Rijal et al., 2018)

Berdasarkan tabel 1.3., beberapa ahli atau peneliti terdahulu yang


meneliti tema serupa, ada beragam hasil yang disampaikan pada temuan
masing-masing penelitian. Permasalahan bantuan KIP secara umum
dibedakan menjadi 3 kelompok besar yaitu sasaran dan penyaluran
program KIP, dampak program tersebut,dan terakhir penggunaan dana
KIP. Pertama, permasalahan sasaran dan penyaluran program KIP.
Terdapat dua temuan yang menyebabkan permasalahan ini perlu untuk
dievaluasi. Penyaluran KIP sudah dianggap berhasil dan tepat sasaran
sesuai dengan kriteria yang ditentukan (Cahyaningsih, 2019; Hamdi et al.,
2020; Ngiode & Erwinsyah, 2020; Setyawan, 2018). Sisi lain dari temuan
tersebut, ada beberapa peneliti yang menyebutkan bahwa penyaluran KIP
dianggap tidak berhasil terutama pada sasaran yang belum tepat
(Retnaningsih, 2017; Rijal et al., 2018; Rohaeni & Saryono, 2018; Yusup
et al., 2019; Zamjani, 2019). Ketidaktepatan sasaran ini diakibatkan oleh
proses dan birokrasi yang tidak berjalan sesuai prosedur apalagi terkait
pengajuan calon penerima KIP. Kedua, permasalahan tentang dampak dari
program KIP. Pada permasalahan ini, juga terdapat dua pendapat yang
berbeda. Beberapa peneliti menyatakan bahwa program KIP memiliki
dampak yang positif terhadap siswa seperti motivasi belajar, prestasi
belajar, dan kemauan belajar yang meningkat (Ahmad, 2018; Saryoko et
al., 2019; Setyawan, 2018; Syaefuddin et al., 2019; Yusup et al., 2019).
Tetapi di sisi lain, ada peneliti yang menyatakan bahwa KIP tidak
memiliki dampak apapun terhadap siswa dalam belajar kecuali keberadaan
KIP memberikan kesempatan siswa untuk mengikuti proses pendidikan
formal (Fitriani et al., 2020; Rijal et al., 2018; Sari, 2020; Yusup et al.,
2019; Zamjani, 2019). Permasalahan ketiga adalah tentang penggunaan
dana program KIP. Berdasarkan beberapa temuan, penggunaan dana KIP
ini tepat yaitu untuk pembiayaan pendidikan (Malianga et al., 2019;
Setyawan, 2018), tetapi dalam temuan lain penggunaan KIP kurang tepat
(Astuti, 2017; Rijal et al., 2018). Berdasarkan permasalahan tersebut, perlu
diadakannya penelitian secara komprehensif mengenai evaluasi kebijakan
KIP.
Evaluasi program merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan
dengan sengaja untuk mengetahui tingkat keberhasilan suatu program
(Baswir, 2003; Carter McNamara, 2018; Cizek, 2000), dalam hal ini
adalah KIP. Evaluasi program juga dapat diartikan sebagai salah satu
bentuk penelitian yang bersifat evaluatif dalam hal untuk mengetahui
situasi dan kondisi di suatu lingkungan (Arifin, 2012). Evaluasi diterapkan
dalam kondisi yang direncanakan atau tidak direncanakan (Hakan &
Seval, 2011; Mahmudi, 2011; Tokmak, Baturay, & Fadde, 2013). Evaluasi
program di beberapa wilayah dianggap sangat penting untuk
mengoptimalkan program tersebut “KIP”. Dalam evaluasi KIP, akan
diteliti sejauh mana keberhasilan program KIP yang bertujuan
meningkatkan akses layanan pendidikan. Pada penelitian ini akan focus
pada penerima KIP dengan jenjang Sekolah Menengah Kejuruan di Jawa
Tengah, karena dilihat dari data di atas, Jawa Tengah adalah penerima KIP
yang paling besar. Sedangkan untuk pengolahannya akan menggunakan
Evaluasi Model CIPP (Context, Input, Process, Product), karena model ini
sangat disarankan untuk evaluasi khususnya pada sektor pendidikan
(AbdiShahshahani et al., 2015; Allahvirdiyani, 2011; King, 2013;
Mokhtarzadegan et al., 2015). Evaluasi model CIPP terbentuk secara
komprehensif yang dapat melakukan pengambilan keputusan berdasarkan
perencanaan dan pelaksanaan/operasional program. Model ini terdiri atas
evaluasi formatif dan sumatif (Neyazi, Arab, Farzianpour, & Mahmoudi,
2016; Neyazi, Arab, Farzianpour, & Mahmoudi Majdabadi, 2016). Pada
penelitian ini, proses evaluasi program CIPP mempunyai cakupan yang
luas yaitu pada tingkat provinsi dengan evaluasi komprehensif mulai dari
perencanaan sampai pelaksanaan berdasarkan evaluasi formatif dan
sumatif.
Berdasarkan pemaparan tersebut peneliti mengajukan penelitian
dengan judul “EVALUASI KEBIJAKAN PROGRAM KARTU
INDONESIA PINTAR PADA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dijelaskan di
atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana evaluasi pelaksanaan program KIP dan ketercapaiannya
melalui evaluasi model CIPP ?
2. Bagaimana pengaruh program KIP terhadap keberhasilan Human
Capital/Investasi Pendidikan ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini memiliki
tujuan untuk:
1. Mengetahui evaluasi pelaksanaan program KIP yang dikelompokkan
dalam model evaluasi CIPP yang terdiri dari:
a. Evaluasi Konteks
1) Untuk mengetahui gambaran KIP bisa mempengaruhi keadaan
pendidikan penerima.
2) Untuk mengetahui latar belakang dan tujuan di
selenggarakannya program KIP.
b. Evaluasi Input
1) Untuk mengetahui karakteristik peserta didik penerima KIP.
2) Untuk mengetahui ketersediaan sarana dan prasarana
penyaluran penerima KIP.
c. Evaluasi Proses
1) Untuk mengetahui proses penyaluran dana KIP kepada
penerima.
d. Evaluasi Produk
1) Untuk mengetahui pencapaian hasil evaluasi meliputi hasil
penyelenggaraan program KIP, hasil penganggaran dana KIP,
hasil proses penerimaan program KIP, dan keefektifan
pelaksanaan program KIP.
2. Untuk mengetahui pengaruh program KIP terhadap keberhasilan
Human Capital/Investasi Pendidikan.

B. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoretis
a. Bagi Pembaca, dapat memberikan informasi dan menambah
pengetahuan baru tentang efektivitas suatu program pemerintah
dalam hal ini adalah efektivitas program KIP.
b. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat dijadikan
masukan dalam pengembangan penelitian selanjutnya khususnya
tentang evaluasi program KIP dalam perkembangan dan upaya
peningkatan kualitas pendidikan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi peserta didik, dengan adanya program KIP , maka motivasi
bersekolah dan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan akan
meningkat. Selain itu dapat meringankan beban ekonomi keluarga.
b. Bagi sekolah, dapat menjadi acuan dalam memperhatikan peserta
didik terutama yang menjadi penerima manfaat KIP.
c. Bagi pemerintah, menjadi acuan dalam evaluasi kebijakan program
KIP dan efektivitasnya terhadap hasil yang tercapai.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Tinjauan Pustaka

1. Kajian Tentang Kebijakan Pendidikan


a. Pendekatan Perumusan Kebijakan Pendidikan
Perumusan kebijakan pendidikan memerlukan dasar untuk
disusun. Kebijakan pendidikan perlu adanya pendekatan sehingga
kebijakan tidak terlalu luas dan bisa menimbulkan ambiguitas saat
implementasinya. Terdapat beberapa pendekatan yang digunakan dalam
perumusan kebijakan pendidikan. Pertama, pendekatan Social Demand
Approach atau yang biasa disebut dengan pendekatan berdasarkan
kebutuhan sosial. Pendekatan kebutuhan social merupakan pendekatan
pada perencanaan yang bisa diterapkan dalam perumusan kebijakan yang
didasarkan pada kepentingan masyarakat (Abin, 2009). Pendekatan ini
sebenarnya meliputi beberapa kegiatan seperti merespon aspirasi
masyarakat, merespon tuntutan masyarakat setelah kebijakan pendidikan
diimplementasikan, serta mewujudkan partisipasi masyarakat dalam
kebijakan. Kedua, pendekatan Man Power Approach atau biasa disebut
dengan pendepatan pertimbangan rasional. Pendekatan ini didasarkan
pada pertimbangan-pertimbangan rasional untuk menciptakan
ketersediaan sumberdaya manusia yang memadai di masyarakat
(Adebayo, 2021). Pendekatan rasional ini tidak akan mendasarkan
keputusan perumusan berdasarkan subjek. Pengambilan rumusan tidak
akan mempertimbangkan masyarakat atau pejabat, tetapi berdasarkan
keputusan visioner yang bisa membuat kemajuan apabila kebijakan yang
dihasilkan bisa diimplementasikan. Pemerintah sebagai pemimpin yang
berwenang meurumuskan suatu kebijakan memiliki legitimasi kuat untuk
merumuskan kebijakan pendidikan.
b. Aspek Kebijakan Pendidikan
Menurut Tilaar, H.A.R. (Henry Alexis Rudolf) & Nugroho
(2008), aspek yang tercakup dalam kebijakan pendidikan adalah:
1) Kebijakan pendidikan merupakan suatu keseluruhan mengenai
hakikat manusia sebagai makhluk yang menjadi manusia dalam
lingkingan kemanusiaan.
2) Kebijakan pendidikan dilahirkan dari ilmu pendidikan sebagai ilmu
praktis yaitu kesatuan antara teori dan praktik pendidikan.
3) Kebijakan pendidikan haruslah mempunyai validitas dalam
perkembangan pribadi serta masyarakat yang memiliki pendidikan
tersebut.
4) Proses pendidikan sebagai proses pemanusiaan terjadi dalam
interaksi sosial maka diperlukan aspek keterbukaan.
5) Kebijakan pendidikan didukung oleh riset dan pengembangan.
6) Analisis kebijakan berbagai jenis seperti kebijakan ekonomi,
kebijakan pertahanan nasional, dan semua jenis kebijakan public
memerlukan analisis kebijakan.
7) Kebijakan pendidikan diarahkan pada terbentuknya masyarakat yang
demokratis.
8) Kebijakan pendidikan harus mempunyai tujuan utama untuk
memenuhi kebutuhan peserta didik.
9) Kebijakan pendidikan berkaitan dengan penjabaran misi pendidikan
dalam pencapaian tujuan tertentu.
10) Kebijakan pendidikan harus berdasarkan efisiensi.
11) Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan kekuasaan tetapi pada
kebutuhan peserta didik.
12) Kebijakan pendidikan harus bersifat rasional.
13) Kejelasan tujuan akan melahirkan kebijakan pendidikan yang tepat.
2. Kajian Tentang Pendidikan
a. Pengertian Pendidikan
Secara etimologis, pendidikan berasal dari bahasa Yunani
“paedagogie”. Ini adalah kata majemuk yang terdiri dari kata “pais” yang
berarti “anak” dan kata “ago” yang berarti “aku membimbing”. Jadi
paedagogie berarti aku membimbing anak. Orang yang pekerjaan
membimbing anak dengan maksud membawanya ke tempat belajar,
dalam bahasa Yunani disebut ”paedagogos” (Soedomo, 2008). Jadi
pendidikan adalah usaha untuk membimbing anak. Menurut M. J.
Langeveld dalam (Baswir, 2003) bahwa: 1) Pendidikan merupakan upaya
manusia dewasa membimbing manusia yang belum dewasa kepada
kedewasaan. 2) Pendidikan ialah usaha untuk menolong peserta didik
untuk melaksanakan tugas-tugas hidupnya agar dia bisa mandiri, akil-
baliq dan bertanggung jawab. 3) Pendidikan adalah usaha agar tercapai
penentuan diri secara etis sesuai dengan hati nurani. (Saroni, 2011)
menyatakan bahwa, “pendidikan merupakan suatu proses yang
berlangsung dalam kehidupan sebagai upaya untuk menyeimbangkan
kondisi dalam diri dengan kondisi luar diri. Proses penyeimbangan ini
merupakan bentuk survive yang dilakukan agar diri dapat mengikuti
setiap kegiatan yang berlangsung dalam kehidupan.” Dalam Undang-
Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat (1) menyatakan
bahwa: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan negara.”
Goodson & Deakin Crick (2009) menyatakan bahwa pendidikan
adalah proses transformasi kebudayaan yang paling tepat untuk
mewariskan nilai-nilai kebudayaan pada warga bangsa. (Muhibbin,
2007) Pendidikan adalah usaha yang secara sengaja dari orang tua yang
selalu diartikan mampu menimbulkan tanggung jawab moril dari segala
perbuatannya. (Dewey, 1903; Stitt, 2018) mengemukakan bahwa
pendidikan adalah suatu proses pembaharuan makna pengalaman, hal
ini mungkin akan terjadi di dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang
dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi secara sengaja dan
dilembagakan untuk menghasilkan kesinambungan social. Proses ini
melibatkan pengawasan dan perkembangan dari orang yang belum
dewasa dan kelompok dimana dia hidup.

b. Pendidikan Kejuruan
Pendidikan kejuruan adalah bagian dari institusi kependidikan
yang mencetak individu lulusannya untuk siap bekerja. Pendidikan
kejuruan bermaksud menyiapkan peserta didik untuk memasuki
lapangan kerja tingkat menengah tertentu yang sesuai dengan tuntutan
yang dipersyaratkan oleh dunia kerja, dan memberikan bekal kepada
peserta didik untuk mengembangkan dirinya. Oleh karena pendidikan
pada dasarnya mengarahkan peserta didik pada bidang tertentu melalui
suatu organisasi, tentulah hasil pendidikan ini dapat dipakai sebagai
bekal mencari kehidupan atau nafkah. Pendidikan ini dapat juga
dinamakan “education for earning a living”.
Penyelenggaraan sekolah menengah kejuruan didasarkan atas
ketentuan yang ada pada undang-undang Republik Indonesia No. 2
Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional Bab IV pasal 11 ayat
(1) dan (3) yang berbunyi sebagai berikut, “jenis pendidikan umum,
pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan,
pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan
professional”. Sekolah menengah kejuruan berdasarkan tingkatan
pendidikan setara dengan sekolah menengah atas, akan tetapi keduanya
mempunyai tujuan yang berbeda.
Pengertian mengenai sekolah menengah kejuruan terdapat pada
Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2008 pasal 1 ayat (21) yang
menyatakan bahwa, “sekolah menengah kejuruan yang selanjutnya
disingkat SMK adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang
menyelenggarakan pendidikan kejuruan pada jenjang Pendidikan
Menengah sebagai lanjutan dari Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 pasal 2 ayat (1)
menyebutkan bahwa sekolah kejuruan bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan siswa dalam pengembangan diri dan untuk meningkatkan
kemampuan siswa sebagai anggota masyarakat. Menurut Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1990 pasal 3 ayat (2) disebutkan bahwa
sekolah kejuruan bertujuan untuk menyiapkan siswa dalam memenuhi
lapangan kerja, menyiapkan siswa agar mampu memiliki karir, dan
menyiapkan tamatan agar menjadi warga Negara yang produktif,
adaptif, dan normatif. Secara garis besar tujuan diselenggarakan sekolah
kejuruan adalah untuk membekali lulusan dengan kompetensi yang
berguna bagi diri sendiri dalam karir dan kehidupan bermasyarakat.
Sehingga kita dapat mengartikan pendidikan sebagai keseluruhan
proses teknik dan metode belajar mengajar dalam rangka mengalihkan
suatu pengetahuan dari seseorang kepada orang lain sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan.

3. Human Capital
a. Pengertian
Pendidikan sebagai sarana pembangunan human capital sebuah
negara sendiri memiliki jalur berupa pendidikan yang bersifat formal dan
informal. Pendidikan formal merupakan pendidikan berjenjang yang
diwajibkan ditempuh oleh pemerintah sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku, dimana terdapat institusi penyelenggara
berjenjang pendidikan formal dengan kurikulum yang telah distandarisasi
oleh Kementerian/Lembaga terkait, dimana jenjang tersebut adalah:
TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, Perguruan Tinggi
(Akademi, Politeknik, Sekolah Tinggi, Institut maupun Universitas).
Sedangkan, pendidikan formal menurut UU No. 20 Tahun 2003,
merupakan Jalur Pendidikan yang tujuannya untuk mengganti,
menambah dan melengkapi pendidikan formal dan berada di luar jalur
pendidikan formal yang pelaksanaannya dilaksanakan secara berjenjang.
Lembaga pendidikan non-formal dapat berupa Lembaga
Kursus/Pelatihan, Kelompok Belajar, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat,
dan Majelis Ta’lim, serta satuan pendidikan sejenis.Kemudian,
pendidikan non-formal merupakan pendidikan yang dilaksanakan dengan
memanfaatkan jalur keluarga dan lingkungan, dengan keluaran adalah
pengetahuan agama, budi pekerti, Etika, Sopan Santun, Moral dan
kemampuan bersosialisasi.
Menurut Wahyuni (2016), pendidikan formal merupakan pendidikan
yang berfokus pada keahlian dan pengembangan ilmu pengetahuan,
sehingga diharapkan dapat memberikan dampak terutama dalam hal
pengembangan IPTEK dan spesialisasi pekerjaan yang akan berdampak
signifikan dalam human capital development sebagai salah satu poin
pertumbuhan ekonomi. Sedangkan, pendidikan informal sangat berperan
dalam pemerataan pendidikan, terutama untuk mereka yang belum/tidak
memenuhi persyaratan untuk mengenyam pendidikan formal. Dimana
pendidikan informal lebih berfokus kepada pengembangan potensi
peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan
keterampilan fungsional, dimana pengembangan kecakapan hidup, dan
pelatihan kerja merupakan fokus dari pendidikan informal tersebut,
pemerataan tersebut membuat jumlah dari workforce meningkat, dan
merupakan salah satu aspek dari human capital investment. Disisi lain,
pendidikan non formal sangat penting untuk membentuk pribadi dari
peserta didik pada jalur formal dan informal tersebut. Tentu saja, jaluar
pendidikan formal dan informal membutuhkan kedisiplinan, etika, dan
kemampuan bersosialisasi yang didapatkan dari jalur pendidikan non
formal.
b. Bukti Empiris Model Human Capital
Pendidikan merupakan mesin pertumbuhan dan kunci
pembangunan setiap masyarakat, berdasarkan kualitas dan kuantitasnya.
Untuk memberikan kontribusi yang signifikan bagi pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi, diperlukan pendidikan yang berkualitas tinggi.
Paradigma abad kedua puluh satu bergeser ke arah peningkatan
pengetahuan sebagai prioritas. Ini kemungkinan besar merupakan produk
dari gaung negara-negara bagian yang menghubungkan sistem
pendidikan tinggi mereka secara lebih dekat dengan berbagai strategi
pembangunan ekonomi mereka.
Pendidikan merupakan barang ekonomi karena tidak mudah
diperoleh sehingga perlu dibagikan secara proporsional. Para ahli
ekonomi menganggap pendidikan sebagai barang konsumen dan barang
modal, karena menawarkan manfaat (kepuasan) kepada konsumen dan
juga berfungsi sebagai masukan untuk mengembangkan sumber daya
manusia yang diperlukan untuk transformasi ekonomi dan sosial. Fokus
pendidikan sebagai barang modal berkaitan dengan konsep human capital
yang menekankan bahwa pengembangan keterampilan merupakan faktor
penting dalam kegiatan produksi. Sudah diterima secara luas bahwa
pendidikan menciptakan warga negara yang lebih baik dan membantu
meningkatkan standar hidup umum dalam masyarakat. Meningkatnya
kepercayaan pada pendidikan sebagai agen perubahan di banyak negara
berkembang, telah menyebabkan investasi besar di dalamnya. Tekanan
untuk pendidikan tinggi di banyak negara berkembang tidak diragukan
lagi telah dibantu oleh persepsi publik tentang imbalan finansial dari
mengejar pendidikan tersebut. Ada keyakinan bahwa memperluas
kesempatan dan akses pendidikan akan mendorong pertumbuhan
ekonomi.
Kemakmuran dan fungsi ekonomi suatu negara bergantung pada
persediaan modal fisik dan manusianya. Modal fisik secara tradisional
menjadi fokus penelitian ekonomi, faktor-faktor yang mempengaruhi
peningkatan keterampilan dan bakat manusia semakin banyak
dimasukkan dalam penelitian ilmu sosial dan perilaku. Secara umum,
sumber daya manusia mewakili investasi yang dibuat orang dalam diri
mereka sendiri yang meningkatkan produktivitas ekonomi mereka.
Kerangka teoritis yang paling bertanggung jawab atas penerapan
kebijakan pendidikan dan pembangunan yang sehat telah dikenal sebagai
teori modal manusia.
Teori human capital bertumpu pada asumsi bahwa pendidikan
formal sangat penting dan diperlukan untuk meningkatkan kapasitas
produktif suatu penduduk. Singkatnya, para ahli teori human capital
berpendapat bahwa populasi yang berpendidikan adalah populasi yang
produktif. Teori modal manusia menekankan bagaimana pendidikan
meningkatkan produktivitas dan efisiensi pekerja dengan meningkatkan
tingkat persediaan kognitif kemampuan manusia yang produktif secara
ekonomi, yang merupakan produk dari kemampuan bawaan dan investasi
pada manusia. Penyediaan pendidikan formal dipandang sebagai
investasi dalam modal manusia, yang oleh para pendukung teori
dianggap sama atau bahkan lebih berharga daripada modal fisik
(Woodhall, 1997).
Human Capital Theory (HCT) menyimpulkan bahwa investasi
pada human capital akan menghasilkan output ekonomi yang lebih besar
namun validitas teori tersebut terkadang sulit untuk dibuktikan dan
kontradiktif. Di masa lalu, kekuatan ekonomi sangat bergantung pada
aset fisik yang berwujud seperti tanah, pabrik, dan peralatan. Tenaga
kerja adalah komponen yang diperlukan, tetapi peningkatan nilai bisnis
berasal dari investasi pada peralatan modal. Ekonom modern tampaknya
setuju bahwa pendidikan dan perawatan kesehatan adalah kunci untuk
meningkatkan modal manusia dan pada akhirnya meningkatkan hasil
ekonomi bangsa (Becker 1993).
Dalam ekonomi global baru, aset berwujud keras mungkin tidak
sepenting berinvestasi dalam modal manusia. Thomas Friedman, dalam
bukunya yang sangat sukses, The World is Flat 2007, menulis secara
ekstensif tentang pentingnya pendidikan dalam ekonomi pengetahuan
global yang baru. Friedman, jangan disamakan dengan ekonom terkenal
Milton Friedman, adalah seorang jurnalis. Buku populernya telah
mengekspos jutaan orang pada teori modal manusia. Istilah itu sendiri
tidak diperkenalkan, tetapi bukti mengapa orang dan pendidikan (modal
manusia) sangat penting untuk kesuksesan ekonomi suatu negara, adalah
tema yang sering muncul dalam buku tersebut.
Di seluruh negara barat, pendidikan baru-baru ini telah diteorikan
ulang di bawah teori modal manusia sebagai perangkat ekonomi utama.
Teori human capital adalah teori ekonomi pendidikan barat yang paling
berpengaruh, pengaturan kerangka kebijakan pemerintah sejak awal
1960-an. Ini semakin dilihat sebagai penentu utama kinerja ekonomi.
Strategi kunci dalam menentukan kinerja ekonomi adalah dengan
menggunakan konsepsi individu sebagai modal manusia dan berbagai
metafora ekonomi seperti , technology change, research, inovation,
productivity, education, dan competiveness. Pertimbangan ekonomi itu
sendiri di masa lalu, bagaimanapun, belum menentukan pendidikan.
Ekonom ternama, Adam Smith, dalam The Wealth of Nations
(1976) merumuskan dasar dari apa yang kemudian menjadi ilmu human
capital. Selama dua abad berikutnya, dua aliran pemikiran dibedakan.
Aliran pemikiran pertama membedakan antara kemampuan yang
diperoleh yang diklasifikasikan sebagai modal dan manusia itu sendiri,
yang bukan. Aliran pemikiran kedua mengklaim bahwa manusia itu
sendiri adalah modal. Dalam teori modal manusia modern, semua
perilaku manusia didasarkan pada kepentingan ekonomi individu yang
beroperasi dalam pasar yang bersaing secara bebas.
Teori modal manusia menekankan pentingnya pendidikan dan
pelatihan sebagai kunci partisipasi dalam ekonomi global baru. Salah
satunya adalah laporan terbaru, Organisasi Kerjasama Ekonomi dan
Pembangunan (OECD), misalnya, mengklaim bahwa perubahan radikal
pada sektor publik dan swasta ekonomi yang diperkenalkan selama
beberapa tahun terakhir sebagai tanggapan terhadap globalisasi akan
parah dan mengganggu banyak nilai dan prosedur yang ditetapkan.
Dalam laporan lain menjelaskan internasionalisme dalam pendidikan
tinggi sebagai komponen globalisasi. OECD percaya bahwa
internasionalisme harus dilihat sebagai keharusan dalam kapitalisme abad
ke-21. Bentuk kapitalisme ini didasarkan pada investasi di pasar
keuangan daripada manufaktur komoditas, sehingga membutuhkan
ketergantungan pada teknologi elektronik.
OECD juga dengan berani menegaskan bahwa internasionalisme
adalah sarana untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sesuai dengan
teori modal manusia, dikatakan bahwa kinerja ekonomi negara-negara
OECD secara keseluruhan semakin secara langsung didasarkan pada stok
pengetahuan dan kemampuan belajar mereka. Jelas, OECD sedang
berupaya untuk menghasilkan peran baru bagi pendidikan dalam hal mata
pelajaran sumber daya manusia yang dibutuhkan di lembaga-lembaga
global.
Keberhasilan suatu negara dalam hal pembangunan manusia
sangat bergantung pada persediaan modal fisik dan manusia. Dengan
demikian, penelitian sosial terkini berfokus pada ilmu perilaku
kemanusiaan dalam kaitannya dengan produktivitas ekonomi. Secara
umum, sumber daya manusia mewakili aset yang dikembangkan setiap
individu untuk meningkatkan produktivitas ekonomi. Lebih lanjut,
sumber daya manusia berkaitan dengan penerapan kebijakan pendidikan
dan pembangunan secara sehat. Singkatnya, kapita manusia.
c. Penerapan Teori Human Capital pada Sistem Pendidikan
Untuk meningkatkan pembangunan manusia dalam masyarakat
umum, perlu diterapkan teori human capital ke dalam sistem pendidikan.
Dengan cara demikian, produktivitas ditingkatkan dan dipertahankan
berdasarkan angkatan kerja yang meningkat dan beragam. Babalola
(2003) menegaskan bahwa kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan
dan pembangunan ekonomi terjadi melalui kemampuannya dalam
meningkatkan produktivitas angkatan kerja yang ada dengan berbagai
cara. Oleh karena itu, penilaian ekonomi proyek investasi pendidikan
harus mempertimbangkan kriteria tertentu, Menurut Psacharopoulos dan
Woodhall (1997): 1) Pengembalian ekonomi langsung ke investasi,
dalam hal keseimbangan antara biaya peluang sumber daya dan manfaat
masa depan yang diharapkan; 2) Keuntungan ekonomi tidak langsung,
dalam hal manfaat eksternal yang mempengaruhi anggota masyarakat
lainnya; 3) Permintaan swasta untuk pendidikan dan faktor-faktor lain
yang menentukan permintaan individu untuk pendidikan; 4) Distribusi
geografis dan sosial dari kesempatan pendidikan; 5) Distribusi manfaat
finansial dan beban pendidikan.
Pendidikan memainkan peran besar dan penting dalam
perekonomian suatu bangsa; dengan demikian, pengeluaran pendidikan
dianggap sebagai suatu bentuk investasi. Ini menambah modal manusia
individu dan mengarah pada output yang lebih besar bagi masyarakat dan
meningkatkan pendapatan bagi pekerja individu. Ini meningkatkan
peluang mereka untuk bekerja di pasar tenaga kerja, dan memungkinkan
mereka untuk meraup keuntungan berupa uang dan non-uang serta
memberi mereka peluang untuk mobilitas kerja. Pendidikan adalah
sumber pertumbuhan dan perkembangan ekonomi hanya jika anti-
tradisional sejauh ia membebaskan, merangsang, dan menginformasikan
individu dan mengajarinya bagaimana dan mengapa membuat tuntutan.
d. Studi Kasus Pengembangan Sumber Daya Manusia di Karibia
Hampir 55 juta orang di Amerika Latin dan Karibia menderita
semacam kekurangan gizi pada awal dekade ini. Lebih lanjut, 11% dari
populasi kekurangan gizi; hampir 9% balita menderita gizi buruk akut,
dan 19,4% menderita gizi buruk kronis. Pada tahun 2002, pasar tenaga
kerja di kawasan ini sangat dipengaruhi oleh kontraksi dan / atau
perlambatan kegiatan ekonomi. Tingkat pengangguran meningkat selama
dua tahun berturut-turut, penciptaan lapangan kerja formal lemah dan
sebagian besar pekerjaan baru terkonsentrasi di sektor produktivitas
rendah, dan pengangguran mencapai rekor tertinggi 8,9% dari angkatan
kerja. Selain itu, PDB per kapita untuk sisa tahun 2003 diperkirakan 2%
di bawah level tahun 1997, yang mengakibatkan penurunan untuk tahun
keenam berturut-turut bagi pertumbuhan ekonomi kawasan (ECLAC,
2003).
Realitasnya adalah terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi
daerah, tingkat pengangguran yang tinggi, produktivitas tenaga kerja
yang lebih rendah, dan tingkat kemiskinan yang tinggi di daerah tersebut.
Negara-negara CARICOM dipaksa untuk menerapkan perubahan yang
diperlukan untuk bersaing secara lebih strategis dalam ekonomi global.
Perubahan juga dapat dipandang sebagai keharusan untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi dan menjadi pemain di lingkungan global baru.
Penelitian dan konsultasi menunjukkan enam penyebab pembangunan
ekonomi: (a) perdagangan luar negeri, (b) transfer teknologi, (c) alokasi
sumber daya, (d) pembentukan modal manusia, (e) transfer struktural,
dan (f) tabungan investasi. Mengingat kenyataan pahit dan kurangnya
modal untuk diinvestasikan, fokus beralih ke peningkatan produktivitas
karyawan, organisasi, nasional, dan regional melalui pembentukan
sumber daya manusia dan bagaimana strategi yang diidentifikasi akan
memungkinkan CARICOM menjadi pemain dalam ekonomi global dan
mendorong ekonomi dan pertumbuhan sosial di dalam kawasan
(ECLAC, 2003).
Pembangunan manusia dipandang sebagai perluasan kapabilitas
manusia, di mana strateginya adalah mendorong investasi dalam
pengembangan manusia melalui pendidikan, keterampilan, produktivitas
kerja, dan kreativitas. Pembangunan manusia yang dihasilkan, bersama
dengan modal fisik dan alam, berfungsi sebagai sarana untuk mendorong
pembangunan ekonomi. Masalahnya adalah menentukan cara paling
efektif untuk menggunakan sumber daya paling sedikit untuk
menciptakan modal manusia melalui strategi pembangunan manusia.
Modal manusia harus dilatih, dididik, dan dikembangkan dalam sistem
organisasi untuk tujuan meningkatkan produktivitas organisasi melalui
keahlian tenaga kerjanya (Zidan, 2001).
Dalam studi komprehensif tentang strategi ekonomi negara-
negara Karibia yang lebih maju, disoroti bahwa transformasi sistem,
kebijakan, dan praktik yang ada di negara-negara CARICOM akan sulit
dicapai karena pemerintah tidak lebih menekankan kurikulum pendidikan
mereka pada mata pelajaran yang akan menyebabkan munculnya
pertumbuhan ekonomi yang lebih besar. Di era di mana organisasi
Karibia dihadapkan pada perubahan yang ditimbulkan oleh globalisasi,
terdapat kebutuhan penting bagi sumber daya manusia untuk kompeten
dalam berpartisipasi dalam mode persaingan baru. Pendidikan sangat
penting tidak hanya untuk memungkinkan orang berbagi dalam manfaat
kemajuan, tetapi juga untuk memungkinkan ekonomi memastikan
pembangunan berkelanjutan melalui daya saing berdasarkan penggunaan
pengetahuan yang lebih intens (ECLAC, 2003).
Ada jurang yang semakin lebar antara Karibia dan negara-negara
maju dan berkembang. Di Karibia dan Amerika Latin, pendidikan tinggi
mengalami krisis berkepanjangan di mana universitas kekurangan
sumber daya, teknologi, dan bahkan kemampuan intelektual untuk secara
efektif mempersiapkan karyawan untuk bersaing dalam ekonomi global.
Wilayah ini memiliki sekitar 26% dari individu yang memenuhi syarat
terdaftar untuk pendidikan pasca sekolah menengah. Banyak akademisi
dan bahkan politisi sangat yakin bahwa tanpa pendidikan yang
berkualitas, karyawan tidak akan dapat menghasilkan pada tingkat yang
diperlukan untuk bersaing di pasar global dan oleh karena itu, ada
kebutuhan mendesak untuk memfokuskan pada pendidikan sebagai
strategi pertumbuhan. Dibandingkan dengan kurikulum di negara maju,
ada juga kebutuhan untuk fokus pada apa yang relevan dalam lingkungan
bisnis, budaya, politik, dan sosial. Para pemimpin bisnis, politik, dan
agama juga memainkan peran penting dalam memastikan bahwa anak-
anak tetap bersekolah. Di banyak bagian Karibia, anak-anak kecil
menghabiskan sepanjang hari di pertanian, memancing, atau hanya
tinggal di rumah versus pergi ke sekolah. Ini adalah individu yang sama
yang akan dipekerjakan oleh perusahaan sebagai karyawan dan yang
diharapkan untuk menghasilkan barang dan jasa kepada pelanggan di
seluruh dunia. Ini jelas merupakan sistem yang gagal mendidik
penduduk, oleh karena itu tenaga kerja yang kekurangan pendidikan,
pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan untuk bekerja secara
efektif. Karena alasan inilah pendidikan menjadi salah satu pilar
kebijakan sosial proaktif yang ditujukan pada implementasi prinsip-
prinsip universal yang tertuang dalam deklarasi hak asasi manusia dan
KTT Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations, 2002).
e. Benchmarking Sumber Daya Manusia di Karibia dan Seluruh Dunia
Menurut teori pertumbuhan modern, akumulasi modal manusia
merupakan kontributor penting bagi pertumbuhan ekonomi. Sejumlah
studi mengeksplorasi apakah pencapaian pendidikan dapat berkontribusi
secara signifikan terhadap produksi output keseluruhan dalam suatu
perekonomian. Meskipun studi makro telah menghasilkan hasil yang
tidak konsisten dan kontroversial, beberapa studi mikro yang melihat
masalah yang sama telah menunjukkan hubungan positif yang konsisten
antara pendidikan tenaga kerja dan produktivitas dan pendapatan tenaga
kerja mereka. Temuan umum adalah bahwa individu dengan pendidikan
lebih tinggi cenderung memiliki pekerjaan yang lebih baik daripada
mereka yang berpendidikan rendah. Temuan ini memberikan alasan yang
kuat bagi pemerintah dan rumah tangga untuk menginvestasikan
sebagian besar sumber daya mereka dalam pendidikan, dengan harapan
bahwa manfaat yang lebih tinggi akan bertambah seiring waktu. Dalam
konteks itu, pendidikan dianggap sebagai investasi, melengkapi individu
dengan pengetahuan dan keterampilan yang meningkatkan kemampuan
kerja dan kapasitas produktif mereka, sehingga mengarah pada
pendapatan yang lebih tinggi di masa depan (Trostel, Walker, &
Woolley, 2002).
Modal manusia memainkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi
dan pengurangan kemiskinan. Dari perspektif makroekonomi, akumulasi
modal manusia meningkatkan produktivitas tenaga kerja, memfasilitasi
inovasi teknologi, meningkatkan pengembalian modal, dan membuat
pertumbuhan lebih berkelanjutan, yang pada gilirannya mendukung
pengentasan kemiskinan. Modal manusia dianggap pada tingkat
makroekonomi sebagai faktor kunci produksi dalam fungsi produksi
ekonomi secara luas. Dari perspektif mikroekonomi, pendidikan
meningkatkan kemungkinan dipekerjakan di pasar tenaga kerja dan
meningkatkan kapasitas pendapatan. Di tingkat mikro, modal manusia
dianggap sebagai komponen pendidikan yang berkontribusi terhadap
produktivitas dan pendapatan tenaga kerja individu sekaligus menjadi
komponen penting dari produksi perusahaan. Dengan kata lain, sumber
daya manusia mengacu pada kemampuan dan efisiensi manusia untuk
mengubah bahan mentah dan modal menjadi barang dan jasa dan
konsensusnya adalah bahwa keterampilan tersebut dapat dipelajari
melalui sistem pendidikan. Pengembangan sumber daya manusia penting
untuk pembangunan karena nilai intrinsiknya sebagai tujuan
pembangunan dalam dirinya sendiri (Cohen & Soto, 2007).
Untuk tujuan makalah ini, rata-rata lama sekolah adalah ukuran
yang digunakan sebagai ukuran modal manusia karena: (i) ini dapat
diukur untuk seluruh angkatan kerja di sebagian besar negara, (ii) cukup
sebanding di berbagai negara, dan (iii) ini adalah ukuran modal manusia
yang paling umum digunakan dalam literatur penelitian. Terlepas dari
kemungkinan keterbatasan, rata-rata lama sekolah masih merupakan
ukuran modal manusia tingkat negara yang paling konsisten dan dapat
dibandingkan.
f. Stok Sumber Daya Manusia di Dunia
Barro dan Lee (2010) menggunakan data yang dapat dibandingkan
untuk memperkirakan stok modal manusia saat ini di dunia; fokus pada
populasi berusia 15 tahun ke atas. Kumpulan data mencakup 146 negara
selama periode 1950-2010. Tabel di bawah ini menyajikan data di
delapan wilayah berbeda dan menurut jenis kelamin. Perbedaan gender
didefinisikan sebagai rasio rata-rata lama sekolah perempuan dan laki-
laki.
Negara-negara industri memiliki stok modal yang jauh lebih tinggi
daripada negara berkembang, jadi pertanyaan utamanya adalah apakah
kinerja akumulasi modal manusia di masa lalu menunjukkan konvergensi
pada akhirnya atau tidak. Konvergensi modal manusia telah diamati
dalam beberapa dekade terakhir karena negara berkembang terus
menunjukkan peningkatan dalam tingkat pertumbuhan.
Pendidikan telah dianggap sebagai penentu utama pertumbuhan
ekonomi; peran sentral teknologi telah memberikan dorongan untuk
fokus pada pendidikan. Tampaknya ada korelasi yang kuat antara
populasi yang berpendidikan dan inovasi teknologi. Kaitannya dibuat
eksplisit dalam apa yang disebut investasi pada manusia: pekerja
membutuhkan pendidikan untuk memanfaatkan teknologi baru, sehingga
meningkatkan produktivitas total dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Akumulasi modal manusia melalui pendidikan dan pelatihan di tempat
kerja mendorong pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan
produktivitas tenaga kerja, mempromosikan inovasi teknologi, dan
adaptasi.
Barro dan Lee (2010) memperkirakan bahwa peningkatan rata-rata
tahun sekolah selama satu tahun meningkatkan PDB per kapita sebesar
1,7% menjadi 12,1%, tergantung pada spesifikasi; Cohen dan Soto
(2007) menghitung pengembalian tahun sekolah sebesar 12,3% menjadi
22,1%. Menguji dampak kualitas sekolah terhadap pertumbuhan,
ditemukan bahwa peningkatan satuan dalam nilai tes kognitif rata-rata
suatu negara meningkatkan tingkat pertumbuhan PDB per kapita sebesar
1,2 hingga 2,0 poin persentase. Selain itu, meningkatkan nilai rata-rata
matematika dan sains sebesar satu unit meningkatkan tingkat
pertumbuhan PDB per kapita sebesar 2,0 poin, dan 2,3 poin untuk
negara-negara berpenghasilan rendah. Secara keseluruhan, studi
menemukan bahwa pendidikan secara signifikan dan positif berkorelasi
dengan pertumbuhan ekonomi dan berpendapat bahwa penyebab berjalan
dari pendidikan dan pertumbuhan sejalan dengan model pertumbuhan
sumber daya manusia.
g. Implikasi Teori Modal Manusia untuk Perkembangan Pendidikan
Terbukti bahwa teori human capital dan sistem pendidikan
bekerja dengan baik untuk perkembangan individu dan bangsa, terutama
negara berkembang. Namun, terdapat implikasi yang terlibat, terutama
terkait dengan perbedaan kebijakan dan pengeluaran di bidang
pendidikan. Teori modal manusia menekankan perlunya pembuat
kebijakan mengalokasikan sumber daya yang signifikan untuk perluasan
sistem pendidikan. Meskipun beberapa pemerintah mungkin enggan
berinvestasi di bidang pendidikan, keuntungan positif dari investasi ini
jauh lebih besar daripada biayanya. Dengan demikian, banyak negara
berkembang telah menyadari bahwa mekanisme utama untuk
mengembangkan pengetahuan manusia adalah sistem pendidikan.
Dengan demikian, mereka menginvestasikan sejumlah besar uang untuk
pendidikan, tidak hanya sebagai upaya untuk mempengaruhi
pengetahuan dan keterampilan bagi individu, tetapi juga untuk
menanamkan nilai, gagasan, sikap dan aspirasi yang mungkin menjadi
kepentingan pembangunan terbaik bangsa. Karena tujuan dari standar
minimum adalah untuk mengimbangi efek kemiskinan, subsidi yang
sesuai pada prinsipnya dapat mencapai hasil yang sama tanpa paksaan.
Efektivitas investasi sukarela dalam modal manusia sering diremehkan
karena subsidi untuk modal manusia biasanya mencakup, paling banter,
hanya sebagian dari penghasilan yang hilang. Jika mereka menutupi
semua biaya, termasuk yang hilang, hampir semua anak, akan
melanjutkan sekolah sampai usia yang diinginkan.
Negara maju dan berkembang dihadapkan pada sebagian besar
masalah yang dapat membatasi kapasitas ekspansi dalam pendidikan
untuk merangsang pertumbuhan dan pembangunan. Beberapa dari
masalah ini adalah: setengah pengangguran, rendahnya daya serap,
kekurangan profesional, ketidakseimbangan regional, dan brain drain.
Masih banyaknya permasalahan yang muncul meskipun dengan berbagai
rumusan kebijakan dan responnya menunjukkan perlunya sistem
pendidikan yang lebih fokus, responsif, fungsional, dan kualitatif. Untuk
memberikan kontribusi yang signifikan bagi pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi, pendidikan harus berkualitas tinggi dan juga
memenuhi kebutuhan akan keterampilan ekonomi.
Bukan prestasi yang mulia jika suatu sektor ekonomi bertahan
selama bertahun-tahun hanya memberikan kontribusi yang dapat
diabaikan terhadap pertumbuhan ekonomi, yang tidak sebanding dengan
masa hidup dan investasinya. Diperlukan lebih banyak komitmen dari
pihak berwenang untuk tidak mengganggu keputusan seperti kurikulum
atau tanggung jawab guru. Orang tua hendaknya tidak ingin memenuhi
harapan hidup mereka pada anak-anak mereka dengan memilih karier
untuk mereka atau dengan menyarankan mata pelajaran yang harus
mereka pelajari. Mereka juga tidak boleh mendorong atau membantu
anak-anak mereka untuk membeli sertifikat. Pemerintah, dalam kebijakan
ketenagakerjaannya, harus lebih menekankan pada spesialisasi dan
kompetensi daripada kualifikasi kertas dan sertifikat yang didapat secara
ilegal.
Di Karibia, ada beberapa konsekuensi serius jika tidak
berinvestasi dalam pendidikan dan itu termasuk remaja putus sekolah;:
(a) tujuan pembangunan yang belum terpenuhi seperti pendidikan untuk
semua, (b) modal manusia dan sosial yang terbelakang dan kurang
dimanfaatkan, (c) hilangnya produktivitas ekonomi, (d) meningkatnya
pengangguran dan setengah pengangguran, (e) meningkatnya kekerasan,
kejahatan, dan perilaku berisiko, (f) eksploitasi dan marjinalisasi pemuda,
terutama anak perempuan dan perempuan muda, (g) berkurangnya kohesi
sosial dan gangguan dalam masyarakat sipil, dan (h) peningkatan
pengeluaran untuk perbaikan layanan kesejahteraan sosial dan
pencegahan kejahatan.

4. Kajian Tentang Program Indonesia Pintar


Berdasarkan Permendikbud No 10 Tahun 2020 tentang Program
Indonesia Pintar (PIP), bahwa PIP adalah bantuan berupa uang tunai dari
pemerintah yang diberikan kepada peserta didik yang berasal dari keluarga
miskin atau rentan miskin dalam membiayai pendidikan. Program tersebut
dilaksanakan atau diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud); dan Kementerian Agama (Kemenag). Sasaran
program adalah anak usia 6 (enam) tahun sampai dengan usia 21 (dua puluh
satu) tahun dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pemegang KIP yang berasal dari keluarga miskin atau rentan miskin dan
tercantum dalam Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT)/Program
Keluarga Harapan (PKH)/Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang
dikeluarkan oleh Menteri Sosial;
b. Berstatus yatim dan/atau piatu termasuk yang berada di panti sosial atau
panti asuhan;
c. Peserta didik berkebutuhan khusus pada sekolah reguler;
d. Peserta didik yang orang tua/walinya sedang berstatus narapidana di
lembaga pemasyarakatan;
e. Peserta didik yang berstatus sebagai tersangka atau narapidana di rumah
tahanan atau lembaga pemasyarakatan;
f. Peserta didik yang terkena dampak bencana alam;
g. Peserta didik korban musibah di daerah konflik; atau
h. Peserta didik Paket A, B, dan C pada Sanggar Kegiatan Belajar (SKB)
dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).
Bagi peserta didik SMK penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) dari
keluarga miskin atau rentan miskin dapat diprioritaskan bagi yang
menempuh studi keahlian kelompok bidang pertanian, seni karawitan,
perikanan, peternakan, kehutanan dan pelayaran/kemaritiman.

5. Kajian Tentang Evaluasi


Setiap kebijakan yang sedang berjalan atau sudah selesai perlu
dilakukan evaluasi untuk mengetahui ketercapaian tujuan kebijakan hingga
dampak dan keberlanjutannya. Hal tersebut senada dengan Mohebbi,
Akhlaghi, Yarmohammadian, & Khoshgam (2011) yang menyatakan bahwa
jujuan dari evaluasi yang benar tidak hanya untuk memperkuat kekuatan,
tetapi juga menyoroti titik-titik lemah dan mengarah pada peningkatan dasar
untuk sebagian besar keputusan. Kemudian Mahapoonyanont,
Mahapoonyanont, & Samrit (2012) menyatakan evaluasi memegang peran
penting pada berbagai bidang dimana hasil evaluasi memberikan informasi
yang berharga dalam berbagai aspek pengambilan keputusan. Mengingat
pentingnya evaluasi maka perlu diketahui terlebih dahulu pengertian dari
evaluasi.
a. Pengertian Evaluasi
Menurut Arifin & Zainal (2010), mengatakan bahwa evaluasi
adalah suatu proses bukan suatu hasil (produk). Hasil yang diperoleh dari
kegiatan evaluasi adalah kualitas sesuatu, baik yang menyangkut tentang
nilai atau arti, sedangkan kegiatan untuk sampai pada pemberian nilai dan
arti itu adalah evaluasi. Menurut Suchman dalam (Arikunto, 2010),
evaluasi dipandang sebagai sebuah proses menentukan hasil yang telah
dicapai dalam beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung
tercapainya tujuan. (Scriven, 1998) mendefinisikan bahwa evaluasi adalah
proses memberi nilai atau poin terhadap sesuatu program.
Definisi lain dikemukakan oleh Hakan & Seval (2011) menyatakan
“Evaluation in education is realized to define, clarify and conduct a
criteria and based on the criteria, to find out objective value, quality,
benefit, performance and importance of the evaluation.”. Menurut
Stufflebeam & Zhang (2017) evaluasi didefiniskan sebagai “a process of
specifying, acquiring and providing descriptive information and making
judgments about value and utility of goals, plans, performance and results
to guide decision making, providing accountability and greater
understanding of phenomena under the study”.
Dari beberapa pengertian evaluasi yang telah dikemukakan
beberapa ahli di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang arti evaluasi yakni
evaluasi merupakan sebuah proses yang dilakukan oleh seorang evaluator
untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan sebuah program pendidikan
atau pelatihan dapat tercapai. Keberhasilan program itu sendiri dapat
dilihat dari dampak atau hasil yang dicapai oleh program tersebut.
b. Fungsi Evaluasi
Menurut Michael Scriven, terdapat dua fungsi evaluasi meliputi
evaluasi formatif dan sumatif. Evaluasi formatif difungsikan sebagai
pengumpulan data pada waktu program masih berlangsung. Data dari
evaluasi formatif dapat digunakan untuk membentuk dan memodifikasi
program kegiatan. Kegiatan evaluasi formatif harus mengarah kepada
keputusan tentang perkembangan program, perbaikan dan revisi yang
didapat digunakan oleh pengambilan keputusan untuk membuat kebijakan
(Scriven & Scriven, Michael, 1967). Serupa dengan hal tersebut,
Stufflebeam menyatakan bahwa evaluasi memiliki fungsi formatif dan
fungsi sumatif. Fungs formatif evaluasi adalah memberikan informasi
guna memperbaiki dan mengembangkan program sedangkan fungsi
sumatif evaluasi adalah memberi pertimbangan untuk menentukan
keberhasilan atau kelanjutan program (Stufflebeam, 2003). Sudjana (2008)
menjabarkan beberapa tujuan mengapa program perlu dievaluasi sebagai
berikut:
1) Memberikan masukan untuk perencanaan program, maksudnya dalam
evaluasi program yang sedang direncanakan biasanya digunakan
analisis awal dan analisis program akhir.
2) Memberikan masukan untuk kelanjutan, perluasan, dan pengetahuan
program yang biasanya digunakan dalam evaluasi formatif dan
sumatif.
3) Memperoleh informasi tentang faktor-faktor pendorong dan
penghambat program, evaluasi ini dilakukan untuk menghimpun data
mengenai alasan-alasan yang dapat dipertimbangkan untuk
menghentikan program sehingga biaya dan daya dukung lainnya dapat
digunakan untuk melaksanakan program baru atau kegiatan lain.
4) Memberikan masukan untuk memotivasi dan pembinaan pengelola
dan pelaksanaan program adalah untuk menemukan dan menyajikan
data yang berkaitan dalam pengelolaan dan pelaksanaan program.
5) Memberi masukan untuk memahami landasan keilmuan bagi evaluasi
program yang mengacu pada pengambilan keputusan adalah untuk
menyediakan data (keterangan atau informasi) sebagai masukan bagi
pengambilan keputusan tentang pengelolaan program. Pengelolaan
program ini meliputi perencanaan, penghentian, tindak lanjut,
perluasan, dan modifikasi program, disamping dukungan dan
hambatan terhadap kelangsungan dan penyelesaian program.
Evaluasi dalam penelitian ini bertujuan untuk menganalisa
pelaksanaan kebijakan program kartu indonesia pintar pada sekolah
menengah kejuruan.
c. Model Evaluasi
Banyak model yang bisa digunakan dalam melakukan evaluasi
program khususnya program pendidikan. Penelitian ini menggunakan
model evaluasi CIPP, karena model ini sangat disarankan dalam evaluasi
khususnya pada sektor pendidikan (AbdiShahshahani et al., 2015;
Allahvirdiyani, 2011; King, 2013; Mokhtarzadegan et al., 2015; Neyazi,
Arab, Farzianpour, & Mahmoudi, 2016; Neyazi, Arab, Farzianpour, &
Mahmoudi Majdabadi, 2016). CIPP merupakan evaluasi dari empat
tahapan yaitu Context evaluation, Input evaluation, Process evaluation, &
Product evaluation (Stufflebeam, 2003).
1) Evaluasi Konteks (Context Evaluation)
Evaluasi konteks merupakan dasar dari evaluasi yang bertujuan
menyediakan alasan-alasan dalam penentuan tujuan. Upaya yang
dilakukan evaluator dalam evaluasi konteks ini adalah memberikan
gambaran dan rincian terhadap lingkungan, kebutuhan serta tujuan.
Konteks evaluasi ini membantu merencanakan keputusan, menentukan
kebutuhan yang akan dicapai program dan merumuskan tujuan
program. Selain itu, evaluasi konteks meliputi penggambaran latar
belakang program yang dievaluasi, memberikan prakiraan kebutuhan
dan tujuan program, menentukan sasaran program, dan menentukan
tawaran ini cukup responsif terhadap kebutuhan yang sudah ada di
identifikasi. Evaluasi konteks menyajikan data tentang alasan-alasan
untuk menetapkan tujuan-tujuan program dan prioritas tujuan. Evaluasi
ini menjelaskan mengenai kondisi lingkungan yang relevan,
menggambarkan kondisi yang ada dan yang diinginkan dalam
lingkungan, dan mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan yang belum
terpenuhi dan peluang yang belum dimanfaatkan.
2) Evaluasi Masukan (Input Evaluation)
Evaluasi input adalah evaluasi yang bertujuan untuk
menyediakan informasi mengenai untuk menentukan bagaimana
menggunakan sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan
program. Evaluasi input meliputi analisis personal yang berhubungan
dengan bagaimana penggunaan sumber-sumber yang tersedia,
alternatif-alternatif strategi yang harus dipertimbangkan untuk
mencapai sesuatu program. Singkatnya input merupakan model yang
digunakan untuk menentukan bagaimana cara agar penggunaan sumber
daya yang ada bisa mencapai tujuan serta secara esensial memberikan
informasi tentang apakah perlu mencari bantuan dari pihak lain atau
tidak. Evaluasi masukan (input) program menyediakan data untuk
menentukan bagaimana penggunaan sumber-sumber yang dapat
digunakan untuk mencapai tujuan program. Hal ini berkaitan dengan
relevansi, kepraktisan, pembiayaan, efektifitas yang dikehendaki, dan
alternative-alternatif yang dapat dianggap unggul. Evaluasi ini
mencakup kegiatan identifikasi dan penilaian (1) kemampuan system
yang digunakan dalam program, (2) strategi-strategi untuk mencapai
tujuan-tujuan program, dan (3) rancangan implementasi strategi yang
dipilih.
3) Evaluasi Proses (Process Evaluation)
Evaluasi proses merupakan evaluasi yang dirancang dan
diaplikasikan dalam praktik implementasi kegiatan termasuk
mengidentifikasi permasalahan prosedur baik tata laksana kejadian dan
aktifitas. Setiap aktivitas dimonitor perubahanperubahan yang terjadi
secara jujur dan cermat. Pencatatan aktifitas harian demikian penting
karena berguna bagi pengambil kepututsan untuk menentukan tindak
lanjut penyempurnaan. Evaluasi proses menyediakan umpan balik yang
berkenaan dengan efisiensi pelaksanaan program, termasuk didalamnya
pengaruh system dan keterlaksanaannya. Evaluasi ini mendeteksi dan
memprediksi kekurangan dalam rancangan prosedur kegiatan program
dan pelaksanaannya. Evaluasi proses membantu bertindak untuk
memperbaiki kualitas proses dari program yang berjalan, serta
memberikan informasi sebagai alat untuk menilai apakah sebuah proyek
relatif sukses atau gagal.
4) Evaluasi produk (Product Evaluation)
Evaluasi produk merupakan bagian terakhir dari model CIPP.
Evaluasi produk bertujuan untuk mengukur dan menginterprestasikan
capaian-capaian program. Evaluasi produk menunjukkan perubahan-
perubahan yang terjadi pada input. Dalam proses ini, evaluasi produk
menyediakan informasi apakah program itu akan dilanjutkan,
dimodifikasi kembali, atau bahkan dihentikan. (Arikunto, 2010;
Stufflebeam, 2003; Sudjana, 2008).
Setiap model evaluasi pastilah memiliki kelebihan dan
kelemahannya masing-masing, berikut ini adalah kelebihan dan
kelemahan evaluasi model CIPP (Sudjana, 2008) :
d. Kelebihan Evaluasi Model CIPP (Contexs, Input, Process, Product).
Model evaluasi model CIPP sendiri memilik kelebihan berupa :
1) Memiliki pendekatan yang holistic dalam evaluasi yang bertujuan
memberikan gambaran yang sangat detail atau luas terhadap suatu
proyek, mulai dari konteknya hingga saat proses penerapannya.
2) Memiliki potensi untuk bergerak diwilayah evaluasi formatif dan
sumatif sehinggga sama baiknya dalam melakukan perbaikan selama
program berjalan maupun memberi informasi final.
3) Lebih komprehensif atau lebih lengkap menyaring informasi.
4) Mampu memberikan dasar yang baik dalam mengambil keputusan
dan kebijakan maupun penyusunan program selanjutnya.
e. Kelemahan Evaluasi Model CIPP (Contexs, Input, Process, Product)
kelemahan model evaluasi CIPP meliputi :
1) Terlalu mementingkan dimana proses seharusnya dari pada
kenyataan dilapangan.
2) Terlalu topdown dengan sifat manajerial dalam pendekataannya.
3) Cenderung fokus pada rational management dari pada mengakui
kompleksitas realiatas empiris.
4) Penerapan dalam bidang pembelajaran dikelas mempunyai tingkat
keterlaksanaan yang kurang tinggi.
f. Contoh Kebijakan Bantuan Pemerintah Terhadap Pendidikan di
Negara Lain
Program KIP sebenarnya tidak hanya dilakukan di Indonesia saja,
bahkan negara lain ada yang memberikan hak penuh kepada warga dalam
bidang pendidikan dengan membebaskan biaya pendidikan. Negara
berkembang seperti Vietnam, Kenya, dan Uganda juga telah menerapkan
kebijakan pengurangan biaya pendidikan hingga pembebasan biaya
pendidikan (Bui, Nguyen, Nguyen, Nguyen, & Pham, 2020; Khiem,
Linh, Tai, & Dung, 2020; Langsten, 2017; Ohba, 2011; Ruiz, 2011;
Yoon, 2019). Penggunaan program pemerintah dalam upaya tercapainya
jumlah masyarakat yang melaksanakan pendidikan dilakukan berbagai
negara. Hal ini dilakukan karena terdapat pengaruh dan saling terhubung
antara sosial masyarakat, ekonomi dan pendidikan. Pernyataan tersebut
sesuai dengan temuan dari de la Croix & Perrin (2018) yang menyatakan
bahwa keadaan ekonomi menjadi latar belakang pertimbangan keluarga
dalam perencanaan pendidikan.
B. Kerangka Berfikir

Kartu Indonesia Pintar (KIP) merupakan kebijakan pemerintah Indonesia


dalam bidang pendidikan. KIP diberikan kepada penerima berupa bantuan biaya
pendidikan kepada peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu. Tujuan
utama dari program ini adalah tercapainya target program wajib belajar selama 12
tahun. Pada pelaksanaannya, program KIP mengalami banyak kendala yang
mengganggu dalam pelaksanaan implementasi program. Kendala tersebut antara
lain mekanisme penerimaan bantuan yang berubah-ubah, penggunaan dana (uang
tunai) yang kurang tepat, kesulitan dalam mengumpulkan bukti penggunaan dana
KIP, dan adanya selisih penerima KIP dengan data warga miskin. Kendala
tersebut tidak sesuai dengan aturan dasar pelaksanaan program KIP yang ada di
Undang-undnag Dasar RI 1945 Pasal 31 Ayat (1), kemudian ada pada Undang-
undang No. 20 Tahun 2003, Permendikbud Nomor 12 Tahun 2015, dan
Permendikbud 10 Tahun 2020. Berdasarkan permasalahan dan aturan tersebut,
maka perlu ada evaluasi program KIP. Evaluasi Program Pendidikan yang dipakai
dan sesuai dengan jenis program adalah model evaluasi Context, Input, Process,
dan Product (CIPP). Evaluasi konteks merupakan dasar dari evaluasi yang
bertujuan menyediakan alasan-alasan dalam penentuan tujuan. Evaluasi input
adalah evaluasi yang bertujuan untuk menyediakan informasi mengenai untuk
menentukan bagaimana menggunakan sumber daya yang tersedia untuk mencapai
tujuan program. Evaluasi proses merupakan evaluasi yang dirancang dan
diaplikasikan dalam praktik implementasi kegiatan termasuk mengidentifikasi
permasalahan prosedur baik tata laksana kejadian dan aktifitas. Evaluasi produk
merupakan bagian terakhir dari model CIPP. Evaluasi produk bertujuan untuk
mengukur dan menginterprestasikan capaian-capaian program. Melalui proses
evaluasi tersebut, diharapkan terdapat hasil rumusan perbaikan dan
pengembangan program KIP kedepan agar tujuan utama dari program KIP dapat
tercapai melalui prosedur yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tujuan akhir yang hendak dicapai adalah skill, company, dan knowledge.
Keluaran
Skill, Company, dan
Knowledge
Regulasi
-Undang-undang Dasar RI
1945 Pasal 31 Ayat (1)
-Undang-undang No. 20
Tahun 2003
-Permendikbud Nomor 12
Tahun 2015
-Permendikbud 10 Tahun
2020 Fokus Penelitian

Context
Fokus Permasalahan Evaluasi
-Index Human Capital Program Input
-Pendidikan Kartu
-Evaluasi Process
Indonesia
Pintar
Product

Fenomena Khusus
-Mekanisme penerimaan
bantuan yang berubah-
ubah,
-Penggunaan dana (uang
tunai) yang kurang tepat,
-Kesulitan dalam
mengumpulkan bukti
penggunaan dana KIP
-Adanya selisih penerima
KIP dengan data warga
miskin

Gambar 2.1. Kerangka Berpikir


BAB III
METODE EVALUASI

A. Jenis Evaluasi
Evaluasi adalah jenis kegiatan atau proses sebagai bahan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan atau kebijakan dalam satu
kegiatan dengan didasari data dan informasi yang lengkap tentang obyek
dalam evaluasi itu, sehingga akan menghasilkan sebuah produk yang
punya nilai. Sebenarnya evaluasi juga merupakan proses memahami,
memberi arti, mendapatkan, dan mengkomunikasikan suatu informasi bagi
keperluan pengambil keputusan, (Sukardi, 2015)
Kemudian menurut (Stufflebeam, 2003; Stufflebeam & Zhang,
2017) evaluasi didefiniskan sebagai “a process of specifying, acquiring
and providing descriptive information and making judgments about value
and utility of goals, plans, performance and results to guide decision
making, providing accountability and greater understanding of
phenomena under the study”.
Pada penelitian ini, yang digunakan adalah penelitian evaluasi
dengan metode campuran. Dipilihnya metode campuran dalam penelitian
ini dikarenakan dalam penelitian kualitatif dan kuantitatif terdapat
kelemahan dan kekuatan masing-masing. Menurut Creswell, (2016:
288)c“pencampuran” (mixing) dan penggabungan (blending) data ini
dapat dinyatakan memberikan pemahaman yang lebih kuat tentang
rumusan masalah daripada dilakukan satu demi satu. Gagasan ini
merupakan inti metode baru yaitu “penelitian metode campuran”. Metode
kuantitatif dilakukan saat pengambilan data numeric sedangkan metode
kualitatif digunakan saat tahapan evaluasi kebijakan.

B. Model Evaluasi
Penelitian ini menggunakan model penelitian CIPP Evaluation Model
yang dikembangkan oleh Stufflebeam tahun 2003. Model CIPP ini adalah
model evaluasi yang paling sering digunakan. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh (Stufflebeam & Zhang, 2017) “the CIPP evaluation
program belongs in the improvement/ accountability category and is one
of the most widely applied evaluation models.” Model evaluasi CIPP
Stufflebeam telah digunakan dan dirancang tidak hanya untuk
membuktikan suatu keputusan tetapi bertindak sebagai pemecah masalah
dimana informasi dapat digunakan sebagai panduan untuk merancang
suatu program (Aziz, Mahmood, & Rehman, 2018; Hasan, Yasin, &
Yunus, 2015; Junanto & Kusna, 2018; Sri Untari, 2017; Tokmak et al.,
2013). Dengan model CIPP diharapkan dapat menyelidiki ke dalam
beberapa aspek yang berbeda tetapi saling terkait dari sebuah program.
CIPP ini terdiri dari empat komponen, yakni:
1. Context evaluation to serve planning decision, konteks evaluasi ini
membantu merencanakan keputusan, menentukan kebutuhan yang
akan dicapai oleh program dan merumuskan tujuan program.
Tujuan evaluasi konteks yang utama adalah untuk mengetahui
kekuatan dan kelemahan yang dimiliki evaluan.
2. Input evaluation, structuring decision, tahap kedua dari model
CIPP adalah evaluasi input, atau evaluasi masukan. Evaluasi
masukan ditujukan pada kemampuan pemerintah dalam
menyelenggarakan program KIP, yang meliputi mekanisme
perekrutan penerima KIP hingga pencairan dana pelaporan dana.
Komponen evaluasi masukan meliputi : 1) Sumber Daya Manusia,
2) Sarana dan peralatan pendukung, 3) Dana atau anggaran, dan 4)
berbagai prosedur dan aturan yang diperlukan
3. Process evaluation to serve implementing decision. Evaluasi proses
diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan di dalam
program sudah terlaksana sesuai rencana. Evaluasi produk
diarahkan pada hal-hal yang menunjukkan perubahan yang terjadi
pada masukan. Evaluasi proses menekankan pada tiga tujuan : 1)
mendeteksi atau memprediksi rancangan prosedur atau rancangan
implementasi selama tahap implemnentasi 2) menyediakan
informasi untuk keputusan program dan sebagai rekaman atau arsip
prosedur yang telah terjadi. Evaluasi proses meliputi koleksi data
penilaian yang telah ditentukan dan diterapkan dalam praktik
pelaksanaan program.
4. Product evaluation, to serve recycling dicision. Evaluasi produk
untuk menolong keputusan selanjutnya, apa hasil yang telah
dicapai evaluasi produk untuk membantu membuat keputusan
selanjutnya, baik mengenai hasil yang telah dicapai maupun apa
yang dilakukan setelah program itu berjalan (Arikunto, 2010;
Hakan & Seval, 2011; Stufflebeam & Zhang, 2017).

C. Waktu & Tempat Evaluasi


Penelitian akan dilaksanakan selama 12 bulan, yaitu akan dilaksanakan
setelah proposal penelitian ini disetujui oleh promotor. Tempat penelitian
yaitu di provinsi Jawa Tengah. Berikut adalah jadwal penelitian secara
rinci:
Waktu Kegiatan
N
Nama Kegiatan (2020 Bulan ke-)
o
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 Pra Proposal                        
2 Penyusunan Proposal                        
3 Eksplorasi                        
Waktu Kegiatan
N
Nama Kegiatan (2021 Bulan ke-)
o
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
4 Ujian Proposal                        
5 Revisi                        
6 Seminar Kemajuan                        
Identifikasi Ketercapaian dan
Permasalahan Program KIP
7
Wilayah
Eks Karesidenan Surakarta                        
Evaluasi Program KIP Wilayah
8
Eks Karesidenan Surakarta                        
Penyusunan Artikel Scopus
9
(Tahun 1)                        
10 Submit Artikel Scopus (Tahun 1)                        
11 Artikel Tahun 1 Terbit                        
Identifikasi Ketercapaian dan
12 Permasalahan Program KIP
Wilayah Jawa Tengah                        
Evaluasi Program KIP Wilayah
13
Jawa Tengah                        
14 Penyusunan Artikel Scopus
(Tahun 2)                        
15 Seminar Hasil (Naskah Publikasi
2)                        
16 Submit Artikel Scopus (Tahun 2)                        
Waktu Kegiatan
N
Nama Kegiatan (2022 Bulan ke-)
o
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
17 Kelayakan Naskah Disertasi
(Karya Publikasi)                        
18 Artikel Tahun 2 Terbit                        
19 Ujian Disertasi (Tertutup)                        
20 Ujian Terbuka (Promosi Doktor)                        

D. Populasi & Sampel Evaluasi


Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas : obyek/subyek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang diterapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya, Sugiyono
(2015: 117). Sampel merupakan bagian dari jumlah populasi. Berdasarkan
banyaknya model pemilihan sampel yang ada, penelitian ini menggunakan
teknik purposive sampling. Menurut Sugiyono (2015: 119), purposive
sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan
pertimbangan tertentu. Maka dari itu mempertimbangkan bahwa
terbatasnya jumlah populasi yang ada, serta sumber yang ada dianggap
paling tahu tentang program pelaksanaan kartu indonesia pintar di
indonesia. Sampel ditentukan menggunakan cluster untuk menentukan
kabupaten/ kota yang ada di jawa tengah, demikian juga untuk penentuan
sekolahnya. Pengambilan sampel siswa digunakan purposive, yaitu siswa
yang menerima KIP dan diambil secara random atau acak.
Jumlah Kabupaten/ kota di jawa tengah ada 35.yang terdiri dari 576
kecamatan dan 3.176 Sekolah Menengah Kejuruan dengan jumlah siswa
sebanyak 781,888. Jumlah siswa penerima KIP atau populasi sebanyak
82.947, diperoleh sampel dengan menggunakan rumus slovin
N
n = ---------
1+Ne2

n = 82.947 / (1+(82.947 x 0,0025)


= 82.947 / (1+180,778)
= 398
maka diperoleh 398 siswa untuk sampel

E. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen yang Digunakan


1. Teknik Pengumpulan Data
Creswell (2016: 253) menyatakan bahwa langkah-langkah
pengumpulan data meliputi usaha membatasi penelitian,
mengumpulkan informasi melalui observasi, wawancara, baik yang
terstruktur maupun tidak, dokumentasi, materi-materi visual, serta
usaha merancang protokol untuk merekam/mencatat informasi.
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis
dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah
mendapatkan data, Sugiyono (2008: 224). Data yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu berupa data kualitatif dan data kuantitatif. Data
kuantitatif dalam penelitian ini diperoleh dari hasil penyebaran angket
kepada pihak yang berwenang dalam pengadadaan dan pelaksanaan
kebijakan kartu indonesia pintar seperti pelaksana teknis kementerian,
dinas, dan sekolah. Ali Maksum (2012: 84) metode pengumpulan data
dalam penelitian kualitatif ada dua yang pokok, yaitu pengamatan dan
wawancara. Pengamatan (observasi) yaitu memperhatikan obyek
secara akurat, mencatat fenomena yang muncul dan
mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam penomena tersebut.
Sedangkan wawancara merupakan percakapan atau tanya jawab.
Dokumentasi merupakan pelengkap dalam dalam pengumpulan data.
Maka dari itu, pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
observasi, wawancara dan dokumentasi.
a. Observasi
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis
terhadap gejala-gejala yang tampak pada obyek penelitian, Ali
Maksum (2012: 127). Farida (2008: 192) observasi langsung
adalah satu-satunya cara untuk mengevaluasi beberapa aspek
belajar dan perkembangan yang memerlukan info tambahan dari
alat evaluasi yang lain. Daryanto (2014: 33) pengamatan atau
observasi adalah suatu teknik yang dilakukan dengan cara
mengadakan pengamatan secara teliti serta pencatatan secara
sistematis.
Observasi atau pengamatan langsung dipakai dalam rangka
mengumpulkan data dalam hal penilaian. Pengamatan bisa
dilakukan secara partisipatif atau non-partisipatif. Adapun
pengamatan/observasi partisipatif yaitu peneliti/pengamat turut
serta dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh obyek.
b. Wawancara
Daryanto (2014: 33) wawancara atau interviu adalah suatu cara
yang digunakan untuk mendapatkan jawaban dari responden
dengan cara tanya jawab. Wawancara yang akan dilakukan
hendaknya diawali dengan hubungan baik yang didasari dengan
kepercayaan, sehingga pewawancara akan dapat menggali segala
informasi yang dibutuhkan dengan jawaban yang terbuka dan
obyektif. Wawancara yang dilakukan bisa bersifat terstruktur dan
tidak terstruktur, karena itu sukses atau tidaknya wawancara akan
sangat tergantung pada interaksi yang terjalin atara kedua belah
pihak, situasi dan isi pertanyaan yang dilontarkan.
c. Dokumentasi
Dokumen merupakan alat yang digunakan sebagai pelengkap
dalam mengumpulkan data penelitian yang dilakukan. Dokumen
yang dipakai bisa berupa tulisan pribadi, surat-surat, arsip atau
dokumen resmi lainnya.
d. Angket
Angket adalah cara atau metode mengumpulkan data yang
dilakukan dengan cara memberi lembar pernyataan atau pertanyaan
tertulis kepada responden untuk diberikan respon sesuai dengan
permintaan peneliti.
2. Instrumen Evaluasi KIP
Instrumen pengumpulan data dalam penelitian adalah alat yang
digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data yang diperIukan
dalam penelitian. Ali Maksum (2012: 111) Instrumen adalah alat ukur
yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian. Adapun
dalam penelitian ini instrumen pengumpulan data adalah peneliti
sendiri atau disebut human instrumen. Instrument nanti disusun
setelah peneliti mengetahui pelaksanaan di lapangan, barulah dapat
Menyusun instrument secara tepat. Sedangkan alat yang digunakan
diantaranya pedoman observasi dan dokumentasi, wawancara, dan
angket. Untuk lebih jelasnya berikut ini dipaparkan terkait dengan
kisi-kisi dari instrumen pengumpulan data yang akan digunakan dalam
penelitian ini.
a. Pedoman Observasi
Pedoman observasi ini digunakan oleh peneliti untuk mencatat
bukti-bukti pelaksanaan kebijakan kartu indonesia pintar. Selain itu
untuk lebih menguatkan data hasil observasi peneliti
mendokumentasikan aktifitas yang berkaitan dengan bukti-bukti
pelaksanaan program tersebut.
b. Pedoman Dokumentasi
Pedoman analisis dokumen dalam penelitian ini dilakukan terhadap
dokumen yang berupa arsip-arsip yang berkaitan dengan program.
Selanjutnya butir-butir dalam pedoman dokumentasi dibuat sendiri
oleh peneliti dan sudah divalidasi kepada ahli.
c. Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara digunakan hanya berupa garis besar dari
permasalahan. Selama peneliti melangsungkan wawancara dengan
informan atau narasumber, peneliti melakukan rekaman dengan
menggunakan alat perekam, yang kemudian hasil rekaman tersebut
akan peneliti tuangkan kedalam tulisan.
d. Angket
Angket dalam penelitian ini berisi pernyataan-pernyataan yang
berhubungan dengan kebijakan kartu indonesia pintar.

F. Validitas dan Reliabilitas Instrumen


Instrumen berupa angket dan pedoman wawancara yang diajukan
dan dibuat sendiri oleh peneliti angket dan pedoman wawancara tersebut
perlu di uji coba, dibuktikan validitas dan realibitasnya.
1. Validitas Instrumen
Instrumen penelitian bisa dikatakan valid apabila instrumen tersebut
dapat dengan tepat mengukur apa yang akan diukur. Validitas bisa
dikatakan ketepatan dengan alat ukur. Apabila menggunakan instrumen
yang valid maka akan menghasilkan juga data yang valid. Validitas
terhadap isi angket dan pedoman wawancara dalam penelitian evaluasi
ini telah peneliti tempuh dengan cara mengembangkan instrumen
melalui kisi-kisi yang telah disusun berdasarkan kajian yang teoritis dan
kajian lapangan. Kajian teoritis yang dimaksud adalah dengan menelaah
secara cermat oleh peneliti dan dibantu dengan arahan promotor dan ko-
promotor serta validator (expert judgement). Khusus pada instrumen
angket, harus dilakukan analisis/ujicoba terhadap validitas butir angket,
hal ini agar supaya dapat diketahui kesahihan setiap butir dalam angket
tersebut.
2. Reliabilitas Instrumen
Suatu instrumen dapat dikatakan dipercaya atau reliable apabila
digunakan akan dapat menghasilkan data yang benar, atau tidak berbeda
dari kenyataan. Rumus yang digunakan untuk mengukur reliabilitas
instrumen yaitu dengan rumus alpha.

G. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kuantitatif dan kualitatif, data diperoleh dari
berbagai sumber dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang
bermacam-macam dan dilakukan secara terus-menerus sampai datanya
penuh. Begitu pula dalam penelitian ini teknik analisis data yang
digunakann adalah teknik analisis data kuantitatif dan kualitatif, yaitu
dengan cara mendeskrifsikan hasil evaluasi kartu indonesia pintar. Adapun
rancangan analisis data yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1. Pengumpulan data
Proses pengumpulan data dalam penelitian merupakan kegiatan yang
dilakukan oleh peneliti baik dari hasil observasi, wawancara, angket
dan dokumentasi, serta telah ditentukan keabsahannya sehingga data
yang diperoleh benar-benar valid.
2. Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis, yakni mengevaluasi
program kartu indonesia pintar, lalu menentukan relevansinya. Proses
ini membutuhkan beberapa tahapan agar data dapat dianalisis dengan
benar. Pertama, pada angket/kuesioner perlu diuji validitas dan
reliabilitas sebelum diberikan kepada responden terkait. Hal ini untuk
menjamin bahwa instrumen dinyatakan baik secara statistik.
Selanjutnya, sebelum dianalisis hasil jawaban responden harus melalui
serangkaian uji prasyarat. Penelitian evaluatif hanya membutuhkan uji
normalitas agar data dapat dianalisis dan tidak menghasilkan bias hasil.
Selanjutnya data yang sudah ditabulasi dianalisis untuk mengetahui
karakteristik jawaban. Kedua, pada data dari hasil wawancara perlu
direkam dan diubah menjadi transkip. Data tersebut harus melalui
proses pengkodean agar bisa diinterpretasikan secara statistik. Hasil
dari beberapa instrumen penelitian ini disinkronisasikan dan
dideskripsikan secara simultan untuk mengetahui temuan-temuan yang
ada.
3. Menarik kesimpulan
Langkah selanjutnya dari analisis data dalam penelitian ini adalah
menarik kesimpulan. Dari kesimpulan awal yang dikemukakan
sementara dapat berubah bila ditemukan kembali bukti-bukti yang lebih
kuat pada tahap pengumpulan data berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abin, S. (2009). Perencanaan Pendidikan, Bandung. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Adebayo, G. O. (2021). Counter-radicalization policies and policing in education:
making a case for human security in Europe. Heliyon, 7(2).
https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2020.e05721
Ahmad. (2018). Kinerja Program Indonesia Pintar Melalui Kartu Indonesia Pintar
(Survei Pada 6 Provinsi di Indonesia). Journal Of Economics and
Management. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Arifin, Z. (2012). Evaluasi pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.
https://doi.org/979-692-956-2
Arikunto, S. (2010). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
2010. In Manajemen Penelitian.
Astuti, R. S. (2017). Implementasi Kebijakan Kartu Indonesia Pintar Dalam
Upaya Pemerataan Pendidikan Tahun Ajaran 2015 / 2016 Di Smp N 1
Semin. Jurnal Kebijakan Publik Edisi 2.
Aziz, S., Mahmood, M., & Rehman, Z. (2018). Implementation of CIPP Model
for Quality Evaluation at School Level: A Case Study. Journal of Education
and Educational Development. https://doi.org/10.22555/joeed.v5i1.1553
Baswir, R. (2003). Pembangunan Tanpa Perasaan. Jakarta: ELSAM.
Bui, T. A., Nguyen, C. V., Nguyen, K. D., Nguyen, H. H., & Pham, P. T. (2020).
The effect of tuition fee reduction and education subsidy on school
enrollment: Evidence from Vietnam. Children and Youth Services Review.
https://doi.org/10.1016/j.childyouth.2019.104536
Cahyaningsih, R. I. (2019). PENDISTRIBUSIAN KARTU INDONESIA
PINTAR. Pedagogi: Jurnal Ilmu Pendidikan.
https://doi.org/10.24036/fip.100.v18i2.321.000-000
Carter McNamara, M. (2018). Basic Guide to Program Evaluation (Including
Many Additional Resources).
Cizek, G. J. (2000). Pockets of resistance in the assessment revolution.
Educational Measurement: Issues and Practice.
https://doi.org/10.1111/j.1745-3992.2000.tb00026.x
de la Croix, D., & Perrin, F. (2018). How far can economic incentives explain the
French fertility and education transition? European Economic Review, 108,
221–245. https://doi.org/10.1016/j.euroecorev.2018.07.001
De Neve, J. W., & Fink, G. (2018). Children’s education and parental old age
survival – Quasi-experimental evidence on the intergenerational effects of
human capital investment. Journal of Health Economics, 58, 76–89.
https://doi.org/10.1016/j.jhealeco.2018.01.008
Dewey, J. (1903). Democracy in Education. The Elementary School Teacher.
https://doi.org/10.1086/453309
Di Maio, M., & Nisticò, R. (2019). The effect of parental job loss on child school
dropout: Evidence from the Occupied Palestinian Territories. Journal of
Development Economics. https://doi.org/10.1016/j.jdeveco.2019.102375
Fitriani, Y., Musyarofah, S., & Haryadi, B. (2020). Problematics of Distribution
of Funds in The Indonesia Pintar Program. Proceedings of the 1st
Conference on Islamic Finance and Technology, CIFET, 21 September,
Sidoarjo, East Java, Indonesia. https://doi.org/10.4108/eai.21-9-
2019.2293957
Goodson, I., & Deakin Crick, R. (2009). Curriculum as narration: Tales from the
children of the colonised. Curriculum Journal.
https://doi.org/10.1080/09585170903195852
Hakan, K., & Seval, F. (2011). CIPP evaluation model scale: Development,
reliability and validity. Procedia - Social and Behavioral Sciences.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2011.03.146
Hamdi, S., Setiawan, R., & Musyadad, F. (2020). Evaluation of the
implementation of Indonesia Pintar program in vocational school. Jurnal
Penelitian Dan Evaluasi Pendidikan, 24(1).
https://doi.org/https://doi.org/10.21831/pep.v24i1.32603
Hasan, A., Yasin, S. N. T. M., & Yunus, M. F. M. (2015). A Conceptual
Framework for Mechatronics Curriculum Using Stufflebeam CIPP
Evaluation Model. Procedia - Social and Behavioral Sciences.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.06.324
Junanto, S., & Kusna, N. A. A. (2018). Evaluasi Program Pembelajaran di PAUD
Inklusi dengan Model Context, Input, Process, and Product (CIPP).
INKLUSI. https://doi.org/10.14421/ijds.050202
Khiem, P. H., Linh, D. H., Tai, D. A., & Dung, N. D. (2020). Does tuition fee
policy reform encourage poor children’s school enrolment? Evidence from
Vietnam. Economic Analysis and Policy.
https://doi.org/10.1016/j.eap.2020.03.001
Langsten, R. (2017). School fee abolition and changes in education indicators.
International Journal of Educational Development.
https://doi.org/10.1016/j.ijedudev.2016.12.004
Mahapoonyanont, N., Mahapoonyanont, T., & Samrit, S. (2012). The
Development of a Project Evaluation Model for Basic Education Institutions.
Procedia - Social and Behavioral Sciences.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.05.106
Mahmudi, I. (2011). CIPP: Suatu Model Evaluasi Program Pendidikan. Jurnal At-
Ta’dib.
Malianga, M., Walewangko, E. N., & Londa, A. T. (2019). Pengaruh Kebijakan
Pemerintah Kartu Indonesia Di Kecamatan Dumoga Timur. Jurnal Berkala
Ilmiah Efisiensi.
Mohebbi, N., Akhlaghi, F., Yarmohammadian, M. H., & Khoshgam, M. (2011).
Application of CIPP model for evaluating the medical records education
course at master of science level at Iranian medical sciences universities.
Procedia - Social and Behavioral Sciences.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2011.04.287
Muhibbin, S. (2007). Psikologi pendidikan dengan pendekatan baru. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Ngiode, S., & Erwinsyah, A. (2020). KEEFEKTIFAN PROGRAM INDONESIA
PINTAR DI MADRASAH KABUPATEN GORONTALO. AL-TANZIM:
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam. https://doi.org/10.33650/al-
tanzim.v4i1.987
Nikmah, F. A., Wardani, N. T., & Matsani, N. (2020). Apakah Kartu Indonesia
Pintar Berhasil Menurunkan Angka Putus Sekolah? Jurnal Komunikasi
Pendidikan, 4(2), 72. https://doi.org/10.32585/jkp.v4i2.581
No, F., Taniguchi, K., & Hirakawa, Y. (2016). School dropout at the basic
education level in rural Cambodia: Identifying its causes through
longitudinal survival analysis. International Journal of Educational
Development. https://doi.org/10.1016/j.ijedudev.2016.03.001
Ohba, A. (2011). The abolition of secondary school fees in Kenya: Responses by
the poor. International Journal of Educational Development.
https://doi.org/10.1016/j.ijedudev.2011.01.009
Retnaningsih, H. (2017). Program Indonesia Pintar: Implementasi Kebijakan
Jaminan Sosial Bidang Pendidikan (Studi di Kota Kupang, Provinsi Nusa
Tenggara Timur dan Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan). Jurnal
Aspirasi, 8(2), 161–177.
Rijal, M. K., Fathurrahman, F., & Pranajaya, S. A. (2018). EVALUASI
PROGRAM INDONESIA PINTAR DI MADRASAH KOTA
BALIKPAPAN. Tarbiyah Wa Ta’lim: Jurnal Penelitian Pendidikan Dan
Pembelajaran. https://doi.org/10.21093/twt.v5i3.2120
Rohaeni, N. E., & Saryono, O. (2018). Implementasi Kebijakan Program
Indonesia Pintar ( PIP ) Melalui Kartu Indonesia Pintar ( KIP ) dalam Upaya
Pemerataan Pendidikan. Journal of Education Management and
Administration Review.
Ruiz, M. J. G. (2011). OECD, PISA and Finnish and Spanish comprehensive
school. Procedia - Social and Behavioral Sciences.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2011.04.203
Sari, R. P. (2020). Evaluasi Kinerja Program Indonesia Pintar Di Madrasah
Ibtidaiyah Swasta Kecamatan Blimbing Kota Malang Dengan Model CIPPO.
Jurnal Evaluasi Dan Pembelajaran.
Saroni, M. (2011). Orang Miskin Bukan Orang Bodoh. Yogyakarta: Yogyakarta:
Bahtera Buku.
Saryoko, A., Muttaqin, S., & Hidayat, R. (2019). Sistem Penunjang Keputusan
Penerima Kartu Indonesia Pintar Menggunakan Metode Simple Additive
Weighting (SAW). Jurnal Teknik Komputer.
https://doi.org/10.31294/jtk.v5i2.4384
Scriven, M. (1998). Minimalist theory: The least theory that practice requires.
American Journal of Evaluation.
https://doi.org/10.1177/109821409801900105
Scriven, M., & Scriven, Michael. (1967). The methodology of evaluation.
Program Evaluation.
Setyawan, D. M. (2018). Evaluasi Implementasi Kebijakan Program Indonesia
Pintar Di SDN Magersari Kabupaten Rembang. Efficient: Indonesian
Journal of Development Economics.
https://doi.org/10.15294/efficient.v1i3.27872
Soedomo, H. (2008). Pendidikan (Suatu Pengantar). Surakarta: Surakarta: UNS
Press.
Sri Untari, R. (2017). Conceptual Framework Of Double System Education (Psg)
Evaluation Using Cipp Model. https://doi.org/10.2991/icovet-17.2017.24
Stitt, S. (2018). Democracy and education. In Equality Issues for the New
Millennium. https://doi.org/10.4324/9780429448706-20
Stufflebeam. (2003). International Handbook of Educational Evaluation. In
International Handbook of Educational Evaluation.
https://doi.org/10.1007/978-94-010-0309-4
Stufflebeam, D. L., & Zhang, G. (2017). The CIPP Evaluation Model: How to
Evaluate for Improveability and Accountability.
Sudjana, D. (2008). Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya,.
Sukardi. (2015). Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Syaefuddin, S., Yuliani, L., & Oktiwanti, L. (2019). Pemberian Kartu Indonesia
Pintar (KIP) Dalam Upaya Meningkatkan Motivasi Belajar Bagi Peserta
Didik di PKBM GEMA Pada Pendidikan Kesetaraan Program Paket B dan C
Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya. Comm-Edu (Community Education
Journal). https://doi.org/10.22460/comm-edu.v2i2.2611
Tilaar, H.A.R. (Henry Alexis Rudolf), 1932-, & Nugroho, R. (2008). Kebijakan
pendidikan : pengantar untuk memahami kebijakan Pendidikan dan
kebijakan Pendidikan sebagai kebijakan publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tokmak, H. S., Baturay, H. M., & Fadde, P. (2013). Applying the context, input,
process, product evaluation model for evaluation, research, and redesign of
an online master’s program. International Review of Research in Open and
Distance Learning. https://doi.org/10.19173/irrodl.v14i3.1485
Yi, H., Zhang, L., Yao, Y., Wang, A., Ma, Y., Shi, Y., … Rozelle, S. (2015).
Exploring the dropout rates and causes of dropout in upper-secondary
technical and vocational education and training (TVET) schools in China.
International Journal of Educational Development.
https://doi.org/10.1016/j.ijedudev.2015.04.009
Yoon, J. (2019). Quality of School Life of Adolescients in Finland and Korea.
https://doi.org/10.1163/9789463512459_009
Yusup, W. B., Ismanto, B., & Wasitohadi, W. (2019). Evaluasi Program
Indonesia Pintar dalam Peningkatan Akses Pendidikan di Sekolah Menengah
Pertama. Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan.
https://doi.org/10.24246/j.jk.2019.v6.i1.p44-53
Zamjani, I. (2019). PELAKSANAAN PROGRAM INDONESIA PINTAR BAGI
PENERIMA KARTU INDONESIA PINTAR REGULER: STUDI DI
EMPAT DAERAH KUNJUNGAN KERJA PRESIDEN TAHUN 2017.
Jurnal Penelitian Kebijakan Pendidikan.
https://doi.org/10.24832/jpkp.v11i2.225
ŽivkoviĿ, S. (2016). A Model of Critical Thinking as an Important Attribute for
Success in the 21st Century. Procedia - Social and Behavioral Sciences,
232(April), 102–108. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2016.10.034

LAMPIRAN

Lampiran 1. Tabel penerima KIP per peserta didik jenjang SMK


Wilayah 2018 2019 2020
Indonesi
a Provinsi SMK SMK SMK
Barat Aceh 36.825 26.887 5.643
Sumatera Barat 38.417 30.080 6.593
Sumatera Utara 113.933 102.772 21.338
Riau 27.322 20.188 5.278
Kep. Riau 7.668 5.887 1.765
Jambi 19.463 14.264 2.482
Sumatera
Selatan 52.777 41.660 11.948
Lampung 63.666 51.223 15.078
Kep. Bangka
Belitung 5.195 4.807 1.295
Benguku 13.584 11.472 2.196
DKI Jakarta 32.172 10.310 1.351
Banten 62.530 53.191 9.154
DIY 55.086 42.575 11.746
Jawa Barat 379.872 323.743 69.764
Jawa Tengah 405.053 329.342 82.947
Jawa Timur 291.229 255.864 54.015
Kalimantan
Barat 22.619 24.245 4.310
Kalimantan
Tengah 11.298 7.416 1.411
Jumlah 1.638.709 1.355.926 308.314
Kalimantan
Tengah Timur 22.130 17.237 2.898
Kalimantan
Utara 3.135 2.612 624
Kalimantan
Selatan 14.980 10.730 2.633
Nusa Tenggara
Barat 41.263 40.836 7.508
Nusa Tenggara
Timur 41.842 45.329 8.131
Bali 30.114 23.495 6.978
Sulawesi Barat 12.538 11.985 2.783
Sulawesi
Selatan 54.300 40.613 10.138
Sulawesi
Tengah 17.427 18.414 2.946
Sulawesi
Tenggara 16.436 12.775 3.342
Sulawesi Utara 19.647 14.141 2.973
Gorontalo 11.574 9.635 2.709
Jumlah 285.386 247.802 53.663
Timur Maluku 8.910 8.422 1.002
Maluku Utara 8.240 4.374 506
Papua 7.561 28.325 638
Papua Barat 4.367 9.096 478
Jumlah 29.078 50.217 2.624
Total 1.953.173 1.653.945 364.601
Sumber: pip.kemendikbud.go.id

Anda mungkin juga menyukai