DIARE
Disusun Oleh:
2020/202
I. KONSEP TEORI DIARE
A. DEFINISI
Diare diartikan sebagai suatu keadaan dimana terjadinya kehilangan
cairan dan elektrolit yang berlebihan yang terjadi karena frekuensi buang air
besar satu kali atau lebih dengan bentuk encer atau cair.
Diare (Sodkin. 2011 dalam Maharani. 2020) adalah defekasi encer lebih
dari tiga kali sehari, dengan atau tanpa darah atau lender dalam feses, secara
epidemiologic, biasanya diare di definisikan sebagai pengeluaran feses lunak
atau cair tiga kali atau lebih dalam satu hari
Diare (Haryono. 2012 dalam Maharani. 2020) adalah buang air besar
(defekasi) dengan jumlah tinja yang lebih banyak dari biasanya (normal 100-200
ml per jam), dengan tinja berbentuk cairan atau Sebagian cair (setengah padat),
dapat pula disertai frekuensi defekasi yang meningkat
Diare (Dinkes. 2016 dalam Sinaga. 2018) yaitu penyakit yang terjadi
Ketika terdapat perubahan konsistensi feses. Seseorang dikatakan menderita bila
feses berair dari biasanya, dan bila buang air besar lebih daritiga kali, atau buang
air besar yang berair tetapi tidak berdarah dalam waktu 24 jam.
B. ETIOLOGI
Maharani (2020) mengatakan terdapat empat faktor yang dapat
menyebabkan diare pada anak diantaranya yaitu:
1. Faktor infeksi
Infeksi enteral; infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab
utama diare pada anak meliputi infeksi bakteri (Vibro, E.Coli, Salmonella,
Shigella, Campylobacter, Yersina, Aeromonas, dst), infeksi parasit (E.
hystolytica, G. Lamblia, T. Hominis) dan jamur (C. albicans)
Infeksi parenteral, merupakan infeksi diluar sistem pencernaan yang dapat
menimbulkan diare seperti; otitis media akut, tonsilitis, bronkopnemonia,
ensefalitis dan sebagainya. Keadaan ini terutama pada bayi atau anak berumur
dibawah 2 tahun (Sinaga. 2018).
2. Faktor Malabsorpsi
Malabsorbsi karbohidrat; disakarida (intoleransi laktosa, maltose, dan
sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Intoleransi
laktosa merupakan penyebab diare yang terpenting pada bayi dan anak.
Disamping itu dapat pula terjadi malabsorpsi lemak dan protein.
3. Faktor Makanan
Diare dapat terjadi karena konsumsi makanan basi, beracun dan alergi
terhadap jenis makanan tertentu.
4. Faktor Psikologis
Diare dapat terjadi karena faktor psikologis (rasa takut dan cemas), jarang
terjadi tetapi dapat ditemukan pada anak yang lebih besar. (Titik Lestari. 2016).
Selain kuman penyebab diare ada beberapa perilaku yang dapat
meningkatkan resiko diare, perilaku yang dimaksud adalah:
a. Tidak memberikan ASI secara penuh untuk waktu 4-6 bulan pertama
kehidupan.
b. Penggunaan botol susu yang tidak bersih.
c. Menyimpan makanan masak pada suhu kamar.
d. Penggunaan air minum yang tercemar bakteri feses. Tidak mencuci tangan
sesudah BAB (Sodikin. 2011).
C. KLASIFIKASI DIARE
Sudoyo Aru, dkk (2009) dalam Nurarif, A.H & Hardhi K (2015) menyebutkan
bahwa Diare dapat diklasifikasikan berdasarkan:
a. Lama waktu diare:
1) Akut: berlangsung kurang dari 2 minggu
2) Kronik: berlangsung lebih dari 2 minggu
b. Mekanisme patofisiologis: osmotik atau sekretorik dl
c. Berat ringan diare: kecil atau besar
d. Penyebab atau infeksi tidak: infeksi atau non infeksi
e. Penyebab organik atau tidak: organik atau fungsional
Kebutuhan cairan rehidrasi oral selama 4 jam menurut usia
Usia S/D 4 Bulan 4-12 Bulan 12Bulan-2Thn 2-5 Tahun
BB <6Kg 6-<12 Kg 10-<12Kg 12-19Kg
Jumlah 200-400 ml 400-700 ml 700-900 ml 900-1400 ml
cairan
rehidrasi
oral
D. MANIFESTSI KLINIS
1. Bayi atau anak menjadi cenderung cengeng dan gelisah, suhu badannya pun
meningkat, nafsu makan berkurang.
2. Sering BAB dengan konsistensi tinja bayi encer, berlendir, atau berdarah.
3. Warna tinja kehijauan akibat bercampur dengan cairan empedu.
4. Anusnya dan sekitarnya lecet karena sering defekasidan tinja menjadi lebih
adsam akibat banyaknya asam laktat.
5. Terdapat tanda dan gejala dehidrasi, turgor kulit jelas (elastisitas kulit
menurun, ubun-ubun dan mata cekung, membrane mukosa kering dan disertai
penurunan BB.
6. Perubahan tanda-tanda vital, nadi dan respirasi cepat tekanan darah turun,
denyut jantung crepat, pasien sangat lemas, kesadaran menurun (apatis,
samnolen, sopora komatus) sebagai akibat hipokanik.
7. Diuresis berkurang (Oliguria sampai anuria).
8. Bila terjadi asidosis metabolic klien akan tampak pucat dan pernafasan cepat
dan dalam atau kusmsul (Sinaga. 2018).
a. Pemeriksaan diagnostic
Pemeriksaan tinja.
b. Makroskopis dan mikroskopis
c. PH dan kadar gula dalam tinja
d. Bila perlu dilakukan uji bakteri.
E. Akibat Diare
Diare (Sinaga. 2018) dapat mengakibatkan bayi atau anak:
1. Dehidrasi
Dehidrasi akan menyebabkan gangguan keseimbangan metabolism tubuh.
Gangguan ini dapat menyebabkan kematian pada bayi. Kematian ini lebih
disebabkan karena bayi kehabisan cairan tubuh. Soalnya, asupan cairan itu tidak
seimbang dengan pengeluaran melalui muntah dan BAB, meskipun berlangsung
sedikit demi sedikit. Banyak orang menggap bahwa pengeluaran cairan seperti
itu hal yang biasa dalam diare. Namun, akibatnya sungguh berbahaya.
Presesntase kehilangan cairan tidak harus banyak baru menyebabkan kematian.
Kehilangan cairan 10%saja sudah membahayakan jiwa. Pada bayi, keadaan ini
dapat mengakibatkan kematian setelah sakit selama 2-3 hari. Misalnya bayi
berumur 3 bulan dengan berat badan 6 kg. jika kehilangan cairan sebanyak 10%
dari berat badannya, berarti berat badannya berkurang sebanyak 0,6 kg. berat
sebanyak ini setara dengan volume air kira-kira 20-30 cc. jika mengalami diare
5-10 kali sehari dalam 2-3 hari akan mengalamim kritis, apalagi jika asupan
makanan tidak ada. Sebelum kematian, dehidrasi berat akan muncul yang
gejalanya adalah kulit berkerut, mata cekung, ubun-ubun cekung, serta mulit dan
bibir kering bahkan pecah-pecah.
Dehidrasi dibagi menjadi tiga macam, yaitu dehidrasi ringan, dehidrasi
sedang, dan dehidrasi berat. Disebut dehidrasi ringan jika cairan tubuh hilang 55.
Jika cairan yang hilang sudah lebih dari 10% disebut dehidrasi berat. Pada
dehidrasi berat, volume darah berkurang, denyut nadi dan jantung bertambah,
penderita lemah, kesadaran menurun dan penderita sangat pucat.
F. FATOFISOLOGI
Menurut Muttaqin & Sari (2011) dalam Dida, N. R (2019) secara umum kondisi
peradangan pada gastrointestinal disebabkan oleh infeksi dengan melakukan
invasi pada mukosa, memproduksi enterotoksin dan atau memproduksi sitotoksin.
Mekanisme ini menghasilkan peningkatan sekresi cairan atau menurunkan
absorpsi cairan sehingga akan terjadi dehidrasi dan hilangnya nutrisi dan
elektrolit.
Mekanisme dasar yang menyebabkan diare meliputi hal-hal sebagai
berikut:
1) Gangguan osmotik, kondisi ini berhubungan dengan asupan makanan atau
zat yang sukar diserap oleh mukosa intestinal dan akan menyebabkan tekanan
osmotik dalam rongga usus meninggi sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit
ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan ini akan merangsang usus
untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare.
2) Respons inflamasi mukosa, terutama pada seluruh permukaan intestinal
akibat produksi enterotoksin dari agen infeksi memberikan respons peningkatan
aktivitas sekresi air dan elektrolit oleh dinding usus ke dalam rongga usus dan
selanjutnya diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus.
3) Gangguan motilitas usus, terjadinya hiperperperistaltik akan
mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan
sehingga timbul diare, sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan
mengakibatkan bakteri timbul berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan
diare.
Usus halus menjadi bagian absorpsi utama dan usus besar melakukan
absorpsi air yang akan membuat solid dari komponen feses, dengan adanya
gangguan dari gastroenteritis akan menyebabkan absorpsi nutrisi dan elektrolit
oleh usus halus, serta absorpsi air menjadi terganggu. Selain itu, diare juga dapat
terjadi akibat masuknya mokroorganisme hidup ke dalam usus setelah berhasil
melewati rintangan asam lambung. Mikroorganisme tersebut berkembang biak,
kemudian mengeluarkan toksin dan akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi
yang selanjutnya akan menimbulkan diare. Mikroorganisme memproduksi
toksin. Enterotoksin yang di produksi agen bakteri (seperti E. Coli dan Vibrio
cholera) akan memberikan efek langsung dalam peningkatan pengeluaran sekresi
air ke dalam lumen gastrointestinal. Beberapa agen bakteri bisa memproduksi
sitotoksin (seperti Shigella dysenteriae, vibrio parahaemolyticus, clostridium
difficilr, enterohemorrhagic E. Coli) yang menghasilkan kerusakan sel-sel yang
terinflamasi. Invasi enterosit dilakukan beberapa mikroba seperti Shigella,
organisme campylobacter, dan enterovasif E. Coli yang menyebabkan terjadinya
destruksi, serta inflamasi.
Pada manifestasi lanjut dari diare dan hilangnya cairan, elektrolit
mamberikan manifestasi pada ketidakseimbangan asam basa dan gangguan
sirkulasi yaitu terjadinya gangguan keseimbangan asama basa (metabolik
asidosis). Hal ini terjadi karena kehilangan Na-bikarbonat bersama feses.
Metabolisme lemak tidak sempurna sehingga benda kotor tertimbun dalam tubuh
dan terjadinya penimbunan asam laktat karena adanya anoreksia jaringan. Produk
metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat dikeluarkan oleh
ginjal (terjadi oliguria/anuria) dan terjadinya pemindahan ion Na dari cairan
eksraseluler ke dalam cairan intraseluler.
Respon patologis penting dari gastroenteritis dengan diare berat adalah
dehidrasi. Dehidrasi dapat terjadi karena kekurangan air (water deflection),
kekurangan natrium (sodium defletion), serta kekurangan air dan natrium secara
bersama-sama. Kekurangan air atau dehidrasi primer (water deflection): pada
peradangan gastroenteritis, fungsi usus besar dalam melakukan absorpsi cairan
terganggu sehingga masuknya air sangat terbatas. Gejala-gejala khas pada
dehidrasi primer adalah haus, saliva sedikit sekali sehingga mulut kering, oliguria
sampai anuri, sangat lemah, serta timbulnya gangguan mental seperti halusinasi
dan delirium.
Pada stadium awal kekurangan cairan, ion natrium dan klorida ikut
menghilang dengan cairan tubuh, tetapi akhirnya terjadi reabsorpsi ion melalui
tubulus ginjal yang berlebihan sehingga cairan ekstrasel mengandung natrium dan
klor berlebihan, serta terjadi hipertoni. Hal ini menyebabkan air keluar dari sel
sehingga terjadi dehidrasi intasel, inilah yang menimbulkan rasa haus. Selain itu,
terjadi perangsangan pada hipofisis yang kemudian melepaskan hormon
antidiuretik sehingga terjadi oliguria.
Dehidrasi sekunder (sodium depletion). Pada gastroenteritis, dehidrasi
sekunder merupakan dehidrasi yang terjadi karena tubuh kehilangan cairan tubuh
yang mengandung elektrolit. Kekurangan natrium sering terjadi akibat keluarnya
cairan melalui saluran pencernaan pada keadaan muntah-muntah dan diare yang
hebat. Akibat dari kekurangan natrium terjadi hipotoni ekstrasel sehingga tekanan
osmotik menurun. Hal ini menghambat dikeluarkan hormon antidiuretik sehingga
ginjal mengeluarkan air agar tercapai konsentrasi cairan ekstrasel yang normal.
Akibatnya volume plasma dan cairan interstisial menurun. Selain itu, karena
terdapat hipotoni ekstrasel, air akan masuk ke dalam sel. Gejala-gejala dehidrasi
sekunder adalah nausea, muntah-muntah, sakit kepala, serta perasaan lesu dal
lelah. Akibat turunnya volume darah, maka curah jantung pun menurun sehingga
tekanan darah juga menurun dan filtrasi glomerulos menurun, kemudian
menyebabkan terjadinya penimbunan nitrogen yang akan meningkatkan risiko
gangguan kesimbangan asam basa dan hemokonsentrasi.
Diare dengan dehidrasi berat dapat mengakibatkan renjatan (syok)
hipovolemik. Faktor yang menyebabkan ketidakseimbangan ini adalah
bertambahnya kapasitas ruang susunan vascular dan berkurangnya volume darah.
Syok dibagi dalam syok primer dan syok sekunder. Pada syok primer terjadi
defisiensi sirkulasi akibat ruang vascular membesar karena vasodilatasi. Ruang
vaskular yang membesar mengakibatkan darah seolah-olah ditarik dan sirkulasi
umum dan segera masuk ke dalam kapiler dan venula alat-alat dalam (visera).
Pada syok sekunder terjadi gangguan keseimbangan cairan yang menyebabkan
defisiensi sirkulasi perifer disertai jumlah volume darah yang menurun, aliran
darah yang kurang, serta hemokosentrasi dan fungsi ginjal yang terganggu.
Sirkulasi yang kurang tidak langsung terjadi setelah adanya kena
serangan/kerusakan, tetapi baru beberapa waktu sesudahnya, oleh karena itu
disebut syok sekunder atau delayed shock. Gejala-gejalanya adalah rasa lesu dan
lemas, kulit yang basah, kolaps vena terutama vena-vena supervisial, pernapasan
dangkal, nadi cepat dan lemah, tekanan darah yang rendah, oliguria, dan
terkadang disertai muntah. Faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas pada
gastroenteritis adalah karena volume darah berkurang akibat permeabilitas yang
bertambah secara menyeluruh. Hal ini membuat cairan keluar dari pembuluh-
pembuluh dan kemudian masuk ke dalam jaringan sehingga terjadi pengentalan
(hemokonsentarsi) darah.
A. PATHWAY
Muttaqin
dan Sari
(2011)
B. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan tinja
a) Makroskopis dan mikroskopis
b) Ph dan kadar gula dalam tinja
c) Biakan dan resistensi feses (colok dubur)
2. Anialisa gas darah apabila didapatkan tanda-tanda gangguan keseimbangan
asam basa (pernapasan Kusmaul)
3. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mergetahui faal ginjal
4. Pemeriksaan elektrolit terutama kadar Na, K, Kalsium dan Posfat
C. KOMPLIKASI
1. Kehilangan cairan dan elektrolit (terjadi dehidrasi)
Kondisi ini dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan asam basa
(asidosis metabolic), karena:
a. Kehilangan natrium bicarbonate bersama tinja.
b. Walaupun susu diteruskan, sering dengan pencernaan dalam waktu
yang terlalu lama
c. Makanan diberikan sering tidak dapat dicerna dan diabsorpsi dengan
baik adanya hiperstaltik.
2. Gangguan sirkulasi
Sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai muntah, maka dapat terjadi
gangguan sirkulasi darah berupa renjatan atau syok hipovolemik. Akibat
perfusi jaringan berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis bertambah sehingga
dapat mengakibatkan perdarahan di dalam otak, kesadaran menurun, dan
bila tidak segera ditolong maka penderita meninggal.
3. Hiponatremia
Anak dengan diare hanya minum air putih atau cairan yang hanya
mengandung sedikit garam, dapat terjadi hiponatremi (Na< 130 mol/L).
Hiponatremi sering terjadi pada anak dengan Shigellosis dan pada anak
malnutrisi berat dengan oedema. Oralit aman dan efektif untuk terapi dari
hampir semua anak dengan hiponatremi. Bila tidak berhasil, koreksi Na
dilakukan berasama dengan koreksi cairan rehidrasi yaitu: memakai Ringer
Laktat (Nursalam, 2008 dalam Dida, N.R, 2019).
4. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang bisa muncul pada pasien dengan Diare menurut
Nurarif, A.H & & Hardhi Kusuma (2015) serta NANDA (2017).
1) Kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan kehilangan cairan
aktif
2) Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan kurang asupan makanan.
3) Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi.
4) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi perfusi.
5) Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang
sumber pengetahuan.
6) Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kelembapan.
5. Intervensi Keperawatan
Berikut rencana keperawatan berdasarkan Bulechek, G.M., et.al (2016) dan
Moorhead, Sue., et.al (2016):
No. NOC NIC
Dx
1 Keseimbangan cairan (Kode: 0601) 1) Pertahankan status hidrasi
Setalah dilakukan tindakan (kelembaban membran
keperawatan selama 1x24 jam, mukosa, nadi adekuat) dan
masalah dapat teratasi dengan kriteria observasi keadaan umum
hasil: 2) Monitor vital sign
1) Mempertahankan urin output 3) Monitor tetesan infuse
sesuai dengan berat badan dan 4) Anjurkan orang tua untuk
usia menambah intake oral.
2) Vital sign dalam batas normal
3) Tidak ada tanda-tanda
dehidrasi
2 Status Nutrisi : makanan dan cairan 1) Kaji adanya alergi makanan
(Kode: 1008) 2) Anjurkan pasien untuk
Setalah dilakukan tindakan meningkatkan protein dan
keperawatan selama 3x24 jam, vitamin C
masalah dapat teratasi dengan kriteria 3) Yakinkan diet yang di makan
hasil: mengandung tinggi serat
1) Tidak ada tanda malnutrisi untuk mencegah kontipasi
2) Tidak terjadi penurunan berat 4) Monitor adanya penurunan
badan berat badan
5) Monitor turgor kulit dan kulit
kering
6) Monitor mual muntah
3 Termoregulasi (Kode: 0800) 1) Monitor suhu sesering
Setalah dilakukan tindakan mungkin
keperawatan selama 1x24 jam, 2) Monitor warna kulit dan suhu
masalah dapat teratasi dengan kriteria kulit
hasil: 3) Monitor tekanan darah, nadi,
1) Suhu tubuh dalam batas RR
normal 4) Monitor tingkat kesadaran
2) Nadi dan RR dalam rentang 5) Kompres pasien pada lipatan
normal paha dan aksila
3) Tidak ada perubahan warna
kulit
4 Status pernafasan: Pertukaran gas 1) Monitor tanda-tanda vital
(Kode: 0402) 2) Manajemen jalan napas buatan
Setalah dilakukan tindakan 3) Pencegahan aspirasi
keperawatan selama 1x24 jam,
masalah dapat teratasi dengan kriteria
hasil:
1) Saturasi oksigen dalam batas
normal
2) Keseimbangan ventilasi dan
perfusi
5 Knowledge: disease proses (Kode: 1) Berikan penilaian tentang
1803) tingkat pengetahuan pasien
Setalah dilakukan tindakan tentang proses penyakit yang
keperawatan selama 1x24 jam, spesifik
masalah dapat teratasi dengan kriteria 2) Jelaskan patofisiologi dari
hasil: penyakit dan bagaimana hal ini
1) Pasien dan keluarga berhubungan dengan anatomi
menyatakan pemahaman dan fisiologi, dengan cara yang
tentang penyakit, kondisi, tepat
prognosis dan program 3) Sediakan informasi pada pasien
pengobatan tentang kondisi, dengan cara
2) Pasien dan keluarga mampu yang tepat
melaksanakan prosedur yang 4) Sediakan bagi keluarga atau
dijelaskan secara benar informasi tentang kemajuan
3) Pasien dan keluarga mampu pasien dengan cara yang tepat
menjelaskan kembali apa yang
dijelaskan perawat/tim
kesehatan lainnya.
6 Integritas jaringan : kulit dan 1) Perawatan perineal
membrane mukosa (Kode: 1101) 2) Monitor tanda-tanda vital
Setalah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1x24 jam,
masalah dapat teratasi dengan kriteria
hasil:
1) Tidak ada luka atau lesi pada
kulit
2) Integritas kulit yang baik bisa
di pertahankan (elastic,
temperatur)
4) Implementasi Keperawatan
Menurut Wong (2009) dalam Dida, N. R (2019) penatalaksanaan
sebagian besar kasus diare akut dapat dilaksanakan di rumah dengan
pemberian pendidikan yang benar kepada pengasuh anak tentang penyebab
diare, komplikasi yang potensial, dan terapi yang tepat. Pengasuh anak
diajarkan untuk memantau tanda-tanda dehidrasi, khususnya jumlah popok
yang basah atau frekuensi berkemih, memantau cairan yang masuk lewat
mulut, dan menilai frekuensi defekasi serta jumlah cairan yang hilang lewat
feses. Pendidikan yang berhubungan dengan terapi rehidrasi oral, termasuk
pemberian cairan rumatan dan penggantian kehilangan cairan yang tengah
berlangsung, merupakan masalah yang penting. Oralit harus diberikan
sedikit demi sedikit tetapi sering. Vomitus bukan kontraindikasi bagi
pemberian oralit kecuali jika gejala vomitusnya sangat besar. Informasi
tentang pemberian terus makanan yang biasa dimakan merupakan materi
yang esensial.
Orang tua perlu mengetahui bahwa pada dasarnya jumlah feses
akan sedikit lebih meningkat ketika kita meneruskan pemberian makanan
yang biasa dimakan anak dan meneruskan pemberian cairan untuk
menggantikan yang hilang lewat feses. Manfaat yang berupa hasil akhir
status gizi yang lebih baik dengan lebih sedikitnya komplikasi dan lebih
pendeknya lama (durasi) sakit lebih besar dari pada kerugian akibat
peningkatan frekuensi defekasi yang potensial terjadi. Kekhawatiran orang
tua harus dieksplorasi agar timbul kepatuhan dalam diri mereka untuk
mengikuti rencana penangannya.
Jika anak diare akut dan dehidrasi dirawat di rumah sakit,
penimbangan berat badannya harus dikerjakan dengan akurat di samping
dilakukannya pemantauan asupan dan haluaran cairan yang cermat. Anak
dapat memperoleh terapi cairan parenteral tanpa pemberian apapun lewat
mulut (puasa) selama 12 hingga 48 jam. Pemantauan pemberian cairan
infuse merupakan fungsi primer keperawatan, dan perawat harus yakin
bahwa cairan serta elektrolit yang diberikan lewat infus tersebut sudah
memiliki konsentrasi yang benar, kecepatan tetesan harus diatur untuk
memberikan cairan dengan volume yang dikehendaki dalam periode tertentu
dan lokasi pemberian infuse harus dijaga.
Pengukuran keluaran cairan yang akurat merupakan tindakan
esensial guna menentukan apakah aliran darah renalnya cukup memadai
untuk memungkinkan penambahan kalium ke dalam cairan infus. Perawat
bertanggung jawab atas pemeriksaan feses dan pengambilan specimen bagi
pemeriksaan laboratorium. Perawat harus berhati-hati ketika mengambil san
mengirimkan spesimen feses untuk mencegah kemungkinan terjadinya
penularan infeksi. Spesimen feses harus dibawa ke laboratorium dalam
wadah dan media yang tepat menurut kebijakan rumah sakit. Tong spatel
yang bersih dapat digunakan untuk mengambil specimen pemeriksaan
laboratorium atau dipakai sebagai aplikator untuk memindahkan specimen
tersebut ke dalam media kultur. Pemeriksaan pH, darah, dan zat preduksi
dapat dilaksanakan di unit perawatan.
Feses pasien diare bersifat sangat iritatif bagi kulit. Karena itu,
perawatan kulit di daerah popok harus dilaksanakan dengan ekstra hati-hati
untuk melindunginya terhadap kemungkinan ekskoriasi. Tindakan
mengukur suhu rectum harus dihindari karena dapat menstimulasi usus
sehingga meningkatkan frekuensi defekasi. Dukungan bagi anak dan
keluarga meliputi perawatan dan perhatian seperti yang diberikan kepada
semua anak yang dirawat di rumah sakit. Orang tua harus terus memperoleh
informasi mengenai perkembangan kondisi anaknya dan mendapatkan
informasi mengenai kebiasaan tertentu yang perlu diperhatikan seperti
membasuh tengan dan menyingkirkan popok bekas, pakaian serta linen
tempat tidur (seprei, sarung bantal, selimut, dll) yang kotor dan benar.
Setiap orang yang mengasuh anak diare harus memahami mana daerah yang
’’bersih’’ dan mana daerah yang ’’kotor’’ khususnya di dalam rumah sakit,
karena kamar cuci digunakan untuk banyak keperluan. Popok dan seprei
linen yang kotor harus dimasukkan ke dalam wadah yang disediakan di
dekat tempat tidur pasien.
5) Evaluasi Keperawatan
Hasil yang diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan
adalah sebagai berikut: Melaporkan pola defekasi normal, mempertahankan
keseimbangan cairan dengan mengonsumsi cairan peroral dengan adekuat,
melaporkan tidak ada keletihan dan kelemahan otot, menunjukkan
membrane mukosa lembap dan turgor jaringan normal, mengalami
keseimbangan intake dan output, mengalami berat jenis urine normal,
mengalami penurunan tingkat ansietas, mempertahankan integritas kulit.
Mempertahankan kulit tetap bersih setelah defekal. Tidak mengalami
komplikasi, elektrolit tetap dalam rentang normal, tanda-tanda vital dalam
batas normal, tidak ada distritmia atau perubahan dalam tingkat kesadaran
(Wong, 2009 dalam Dida, N.R, 2019).
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, G.M., Butcher, H.K., Dochterman, J.M., & Wagner, C.M. 2016.
Nursing Interventions Classification (NIC), Edisi 6. Philadelpia:
Elsevier.
Dida, N. R. 2019. Karya Tulis Ilmiah Asuhan Keperawatan Pada An. G. B
Dengan Diare di Ruangan Kenanga Rsud. Prof. Dr. W. Z. Johannes
Kupang. Politeknik Kesehatan Kemenkes Kupang
Moorhead, Sue., Johnson, Marion., Maas, M.L., & Swanson, Elizabeth.
2016. Nursing Outcomes Classification (NOC), Edisi 5. Philadelpia:
Elsevier
Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma. 2015. Nanda Nic-Noc Aplikasi Jilid
1 Jakarta: Mediaction.
Nanda Internasional.2015. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi
2015-2017 Edisi 10 editor T Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru.
Jakarta: EGC.
Sinaga, E. 2018. Karya Tulis Ilmiah Asuhan Keperawatan Pada Anak C di Ruang
Rawat Inap di Puskesmas Puuwatu Tahun 2018. Politeknik Kesehatan
Kendari