Anda di halaman 1dari 10

1.

The General Model


Saat membeli saham di perusahaan publik, arus kas yang akan kita terima adalah dividen. Model
paling sederhana untuk menilai ekuitas adalah model diskon dividen (DDM) dimana nilai saham
adalah nilai kini dari seluruh dividen yang akan diterima.

Ada 2 input yang diperlukan, expected dividend dan cost of equity. Untuk mencari expected
dividend maka kita memerlukan expected future growth nya. Sedangkan cost of equity kita bisa
hitung menggunakan CAPM

2. Versions Of The Model


Karena memproyeksikan dividen selama2nya sangat sulit dan mustahil, maka model tersebut
dikembangkan berdasarkan asumsi dari pertumbuhan dividen.

2.1 The Gordon Growth Model


Gordon Growth Model digunakan untuk menilai perusahaan yang sudah dalam kondisi “steady
state” dimana dividen tumbuh pada tingkatan yang bisa dipertahankan selamanya.

Kunci dari model ini adalah menentukan growth rate nya. Ada 2 poin penting yang perlu
diperhatikan saat menentukan growth rate tersebut :

 Jika perusahaan benar2 dalam kondisi steady state, maka pertumbuhan dari earning akan
sama dengan pertumbuhan dividen. Kenapa?
Kalau pertumbuhan dividen > earning, maka suatu saat dividen akan lebih besar daripada
earning.
Kalau pertumbuhan dividen < earning, dalam jangka panjang Dividend Payout Ratio akan
mendekati 0.
 Growth rate nya harus lebih kecil atau sama dengan growth rate ekonomi/inflasi

2.2 Limitations of the Model


Kelemahan dari model ini adalah sangat sensitif terhadap asumsi dari growth rate. Misalkan suatu
saham expected dividend per share pada periode selanjutnya adalah $2,5 dengan ke 15% dan
expected growth 5% selamanya. Maka nilai sahamnya adalah:
Kalau dilakukan analisis sensitivitas, grafik di atas menunjukkan bahwa semakin growth rate menuju
cost of equity maka nilainya akan makin mendekati tak terhingga. Sedangkan kalau growth rate
melebihi cost of equity maka nilainya akan negatif.

Maka ada 2 patokan:

Growth rate tidak boleh lebih besar dari risk free rate

Growth tidaklah tumbuh secara percuma. Saat growth rate naik maka payout ratio akan menurun.
Sehingga akan ada trade off dari pertumbuhan growth.

Kesimpulannya, Gordon growth model sangat cocok untuk perusahaan tingkat pertumbuhannya
lebih kecil atau sama dengan pertumbuhan ekonomi dan kebijakan payout ratio nya tidak berubah.

Dari data historis yang ada, kita akan gunakan rata2 dividen sebesar 5.270 sebaga perhitungan
2.3 Two Stage Dividend Discount Model
Two Stage Dividend Discount Model menggunakan 2 tingkatan growth, dimana pada tingkat awal
growth belum stabil, kemudian pada tingkat berikutnya growthnya stabil selamanya. DI kebanyakan
kondisi growth rate pada tingkat pertama lebih besar dibanding growth rate saat stabil.
Rumus yang digunakan untuk menghitung Terminal Price nya sebenarnya sama dengan Gordon
Growth Model. Maka poin2 penting yang sudah dibahas pada grodon growth model juga berlaku
saat menghitung terminal price.

Poin2 tambahan yang perlu diperhatikan.

 Bila growth pada masa stabil diproyeksikan lebih rendah dari periode extraotdinary, maka
lazimnya payout ratio pada masa stabil akan lebih besar. Karena saat perusahaan stabil ia
dapat memberikan leih banyak porsi pendapatannya sebagai dividen dibanding perusahaan
yang sedang berkembang.
 Pada masa stabil, beta perusahaan akan cenderung mendekati 1.Jika ke sebelumnya 1,5
maka pada saat stabil akan lebih kecil. Jika sebelumnya 0,5 ke akan lebih besar mendekati 1,
misal 0,8

2.4 Limitations of the Model


Ada 3 keterbatasan, keterbatasan 1 & 2 spesifik untuk model ini, sedangkan yang ke tiga berlaku
untuk dividend discount model:

 Kesulitan dalam menentukan seberapa panjang periode extraordinary growth. Harus


dilakukan analisa yang mendalam agar dapat menentukan panjang periode yang tepat.
 Perubahan growth rate yang drastis dari periode extraordinary growth ke stable growth,
misal dari growth 10% tiba2 turun ke 2% selamanya
 Model ini berfokus pada dviden, sehingga tidak tepat digunakan untuk menghitung
perusahaan yang jarang membayar dividen. Kita akan meng – undervalue perusahaan yang
mengakumulasikan cash namun tidka membayar atau sedikit membayar dividen

Kesimpulannya model in baik untuk perusahaan yang sedang dalam pertumbuhan tinggi dan dapat
mempertahankan pertumbuhannya pada suatu periode sebelum mencapai growth yang stabil.

Contoh : Perusahaan yang memegang paten dari suatu produk yang sangat menguntungkan, setelah
paten kadaluarsa maka growthnya stabil.
3. Three Stage Dividend Discount Model
Three stage model mengakomodasi adanya periode transisi, sehingga memungkinkan agar growth
tidak tiba2 turun drastis. Model ini paling umum karena ia tidak mengharuskan restriksi pada payout
ratio

3.1 Assumptions
Model ini menghilangkan banyak constraint yang ada pada versi lain dari dividend discount model.
Namun konsekuensinya dibutuhkan jumlah input yang jauh lebih besar seperti payout ratio, growth
rate, dan beta pada tahun spesifik.
Model ini cocok digunakan untuk perusahaan yang tumbuh dengan growth yang sangat tinggi, yang
kemudian mengalami penurunan perlahan menuju growth stabil (perusahaan yang baru banget
berkembang).
4. Issues In Using the Dividend Discount Model
Daya tarik utama model diskon dividen adalah kesederhanaan dan logika intuitifnya. Meski begitu,
ada banyak analis yang meragukan karena adanya keterbatasan dari model tersebut. Model
tersebut, menurut mereka, tidak terlalu berguna dalam penilaian kecuali untuk sejumlah saham
yang pembayaran dividennya stabil dan besar.

4.1 Valuing Non Dividend Paying or Low Dividend Paying Stocks


Kritik yang umum adalah bahwa dividend discount model tidak dapat digunakan untuk menilai
saham yang membayar dividen rendah atau tidak sama sekali. Ini salah. Jika rasio pembayaran
dividen disesuaikan untuk mencerminkan perubahan dalam tingkat pertumbuhan yang diharapkan,
value dapat dihitung bahkan untuk perusahaan yang tidak membayar dividen. Dengan demikian,
perusahaan dengan pertumbuhan tinggi, yang saat ini tidak membayar dividen, masih dapat dinilai
berdasarkan dividen yang diharapkan akan dibayarkan ketika tingkat pertumbuhan menurun.
Namun, jika payout ratio tidak disesuaikan untuk mencerminkan perubahan pada tingkat
pertumbuhan, model diskon dividen akan meng-undervalue nilai saham yang tidak membayar
dividen atau membayar dividen rendah.

4.2 Is the Model Too Conservative in Estimating Value?


Kritik yg selanjutnya adalah model ini memberikan perkiraan nilai yang terlalu konservatif. Kritik ini
didasarkan pada gagasan bahwa nilai ditentukan oleh lebih dari nilai sekarang dari dividen yang
diharapkan. Contohnya, analis mengatakan bahwa model diskon dividen tidak mencerminkan nilai
"unutilized assets." Namun, tidak ada alasan bahwa unutilized asset tidak dapat dinilai secara
terpisah dan ditambahkan ke nilai dari model diskon dividen. Beberapa aset yang dianggap diabaikan
oleh dividend discount model contohnya merek.

4.3 Contrarian Nature of the Model


Model ini juga dianggap oleh banyak orang sebagai model kontrarian. Ketika pasar naik, menurut
mereka saham akan undervalued menggunakan model diskon dividen. Ini belum tentu benar. Jika
kenaikan pasar disebabkan oleh perbaikan dalam fundamental ekonomi, seperti perkiraan
pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan/atau suku bunga yang lebih rendah, tidak ada alasan
untuk percaya bahwa nilai-nilai dari model diskon dividen tidak akan meningkat dengan jumlah yang
setara. Jika kenaikan pasar bukan karena fundamental, nilai model diskon dividen tidak akan ikut
naik, tetapi itu lebih merupakan tanda kekuatan daripada kelemahan. Model ini menandakan bahwa
pasar dinilai terlalu tinggi dibandingkan dengan dividen dan arus kas.

5. Tests of the Dividend Discount Model


Keandalan suatu model dapat diuji dari seberapa baik kerjanya dalam mengidentifikasi saham yang
undervalued dan overvalued. Dividen discount model telah diuji dan hasilnya menunjukkan bahwa,
dalam jangka panjang, memberikan keuntungan berlebih. Namun, tidak jelas apakah ini karena
model ini bagus dalam menemukan saham yang undervalued atau karena model ini mewakili
ketidakteraturan empiris yang terkenal dalam pengembalian yang berkaitan dengan rasio harga-
pendapatan dan hasil dividen.

5.1 Simple Test of the Dividend Discount Model


Sebuah studi sederhana tentang dividend discount model dilakukan oleh Sorensen dan Williamson,
di mana mereka menilai 150 saham dari S&P 400 pada bulan Desember 1980 menggunakan dividend
discount model. Mereka menggunakan selisih antara harga pasar saat itu dan nilai model untuk
membentuk lima portofolio berdasarkan tingkat under atau overvaluation. Mereka membuat asumsi
yang cukup luas dalam menggunakan dividend discount model:

 Rata-rata laba per saham antara tahun 1976 dan 1980 digunakan sebagai laba per saham
saat ini.
 Biaya ekuitas diperkirakan menggunakan CAPM.
 Periode pertumbuhan luar biasa diasumsikan lima tahun untuk semua saham, dan
konsensus perkiraan pertumbuhan pendapatan I/B/E/S digunakan sebagai tingkat
pertumbuhan untuk periode ini.
 Tingkat pertumbuhan yang stabil, setelah periode pertumbuhan yang luar biasa,
diasumsikan sebesar 8 persen untuk semua saham.
 Payout ratio diasumsikan 45 persen untuk semua saham.
Pengembalian lima portofolio ini diperkirakan untuk dua tahun berikutnya (Januari 1981 hingga
Januari 1983) dan excess return diperkirakan relatif terhadap indeks S&P 500 menggunakan beta
yang diperkirakan pada first stage dan CAPM.

Portofolio yang undervalued memiliki positive excess return sebesar 16 persen per tahun antara
tahun 1981 dan 1983, sedangkan portofolio yang overvalued memiliki negative excess return
sebesar 15 persen per tahun selama periode waktu yang sama. Dalam jangka panjang, saham
undervalued dan overvalued dari dividend discount model masing-masing outperform dan
underperform indeks pasar berdasarkan risiko yang disesuaikan.

Anda mungkin juga menyukai