Anda di halaman 1dari 29

BAB 1

PENDAHULUAN

Ketidakseimbangan asam basa menjadi salah satu penyebab faktor yang


memperberat kondisi pada pasien dengan penyakit kritis di banyak kasus, dimana
dapat meningkatkan angka kesakitan dan kematian. Ketidakseimbangan asam
basa disebabkan kegagalan sistem tubuh dalam menjaga suasana asam basa tubuh,
sehingga banyak proses enzimatik tubuh menjadi tidak bekerja. Pasien dengan
penyakit kritis terjadi kegagalan di berbagai sistem organ, baik akibat infeksi
ataupun penyakit lainnya.1

Keseimbangan asam basa merupakan suatu kondisi tubuh yang sangat


penting guna menunjang aktivitas metabolisme tubuh sehari – hari. Keseimbangan
asam basa diatur oleh homeostasis tubuh sehingga kesimbangan dapat terjaga.
Homeostasis yang berperan dalam menjaga keseimbangan asam basa meliputi
organ paru, organ ginjal dan sistem buffer. Ketidakseimbangan asam basa akan
terjadi apabila mengalami masalah pada sistem tersebut.1

Keseimbangan asam basa dalam tubuh dapat dinilai dengan melakukan


pemeriksaan yang dinamakan analisis gas darah (AGD). Pemeriksaan AGD
dilakukan dengan cara pengambilan sampel darah melalui arteri. Pemeriksaan ini
dapat menilai keseimbangan asam basa tubuh dengan menilai berbagai
parameternya seperti, pH (puissance hydrogen) untuk menilai asidemia atau
alkademia, tekanan karbondioksida (PaCO2) dan ion bikarbonat (HCO3-) guna
menilai tipe respiratorik atau metabolik.1

Ketidakseimbangan asam basa dapat menyebabkan peningkatan angka


kesakitan dan kematian. Ketidakseimbangan asam basa dapat menyebabkan
berbagai disfungsi sel. Kondisi asidosis dapat menyebabkan pergerseran kurva
disosiasi oksigen dan hemoglobin sehingga dapat terjadi hipoksemia, selain itu
dapat menyebabkan aritmia jantung, pada ginjal dapat menyebabkan peningkatan
kerja ginjal yang dapat berakhir kepada penurunan fungsi ginjal akut. Kondisi
alkalosis dapat menyebabkan kejang otot, faktor memperberat refrakter pada
aritmia jantung, bahkan hioventilasi yang dapat menyebabkan hipoksemia. 1,3

1
Rajendran et al mengemukakan tingginya angka ketidakseimbangan asam
basa pada pasien rawat inap di rumah sakit, terutama pada pasien dengan kondisi
penyakit kritis. Studi kasus kontrol secara retrospektif membandingkan antara
pasien infeksi dan non-infeksi di Intensive Care Unit (ICU) terdapat hasil yang
lebih tinggi pada ketidakseimbangan asam basa akibat non infeksi dengan angka
64% disebabkan oleh ketidakseimbangan asam basa tipe metabolik.2
Ketidakseimbangan asam basa harus dideteksi dengan cepat dan tepat sehingga
dapat dilakukan penatalaksaan dengan baik.

Asidosis metabolik dapat terjadi secara akut (beberapa menit sampai


beberapa hari) atau kronik (beberapa minggu sampai tahun). Asidosis metabolik
akut biasa terjadi pada pasien dengan penyakit kritis dan berbagai penelitian
menjelaskan bahwa kelainan ini mempengaruhi pada pasien rawat ICU di Amerika.2
Asidosis metabolik kronik terjadi lebih jarang dibanding akut. Frekuensi asidosis
metabolik kronik dapat meningkat berkaitan dengan meningkatnya kejadian
penyakit ginjal kronik (PGK). Asidosis metabolik akut dan kronik dapat
mempengaruhi fungsi sel dan dapat mengakibatkan kecacatan dan kematian. 2

Alkalosis metabolik terdapatnya kadar ion bikarbonat yang tinggi di dalam


darah, atau hilangnya sejumlah asam yang mengakibatkan suasana alkademia.
Penyebab alkalosis metabolik tersering adalah kehilangan asam karena muntah
atau pengosongan lambung pada nasogastrictube ataupun penggunaan diuretik.
Studi kasus yang langka dapat terjadi pada sindroma Gietleman dan sindroma
Bartter.1

Tinjauan kepustakaan ini mencoba mengulas tentang diagnosis dan


tatalaksana pada asidosis dan alkalosis metabolik yang dapat membantu klinisi
sebagai pedoman dalam praktik sehari-hari. Pemahaman yang baik terhadap
diagnosis asidosis dan alkalosis metabolik, dapat membantu tatalaksana pada
pasien selanjutnya, terutama pasien-pasien dengan penyakit kritis. Harapan
penulis dengan tinjauan kepustakaan dapat meningkatkan literasi mengenai
diagnosis dan tatalaksana pada asidosis dan alkalosis metabolik.

2
BAB II
GANGGUAN KESEIMBANGAN ASAM BASA

2.1 Definisi Keseimbangan Asam Basa


Keseimbangan asam basa adalah suatu keadaan dimana konsentrasi ion
hidrogen (H+) yang diproduksi setara dengan konsentrasi H+ yang dikeluarkan
oleh sel. Produksi asam akan terus menghasilkan H+ dalam jumlah sangat banyak,
ternyata konsentrasi H+ tetap dipertahankan pada kadar rendah 40 ± 5 nM atau pH
7,4. Cairan tubuh harus dilindungi dari perubahan pH karena sebagian besar
enzim sangat peka terhadap perubahan pH. Mekanisme protektif harus
berlangsung aktif dan secara terus menerus karena proses metabolisme juga
menyebabkan terbentuknya asam dan basa secara terus menerus (Asam karbonat -
H2CO3, asam sulfat, asam fosfat, asam laktat, asam sitrat, ion amonium – NH4+,
asam asetoasetat dan β-hidroksibutirat).1,3 Kelebihan asam atau basa dalam jangka
panjang akan dikeluarkan melalui ginjal dan paru, sedangkan untuk jangka pendek,
tubuh dilindungi dari perubahan pH dengan sistem buffer. Mekanisme buffer
tersebut bertujuan untuk mempertahankan pH darah antara 7,35 – 7,45.1,3,4

Buffer adalah larutan yang terdiri dari asam lemah dan basa terkonjugasi
atau basa lemah dan asam terkonjugasi. Buffer meminimalisasi setiap perubahan
konsentrasi ion hidrogen dengan cara mudah menerima atau melepaskan ion
hidrogen, sehingga buffer sangat efisien dalam meminimalisasi perubahan ion
hidrogen. Buffer berperan dalam meregulasi keseimbangan asam basa contohnya
saat terjadi asidosis respiratorik kronik, ion bikarbonat plasma meningkat sekitar
4mEq/L untuk setiap kenaikan 10 mmHg PaCO2 diatas 40 mmHg.2,3 Buffer ion
bikarbonat efektif untuk mengatasi kelainan metabolik, sedangkan hemoglobin
dapat berfungsi sebagai buffer asam karbonik dan nonkarbonik (nonvolatil).
Respon ginjal terhadap keadaan asam ada tiga tahap yakni peningkatan reabsorbsi
ion bikarbonat yang telah difiltrasi, peningkatan ekskresi asam yang dititrasi,
peningkatan produksi amonia. 1

Asam dikenal sebagai bahan yang mendonorkan H+ sedangkan basa sebagai


penerimanya. Keasaman pada cairan tubuh dapat dilihat dari konsentrasi H+,
namun akibat dari adanya kebingungan dari terminologi H+ sering disebut pH.

3
Penggunaan logaritma konsenterasi H+, maka pH adalah representasi dari aktivitas
H+. Konsentrasi ion hidrogen pada tubuh saat mengalami fungsi yang optimal
tergantung pH darah, yakni antara 7,35 hingga 7,45. 1,3,4

Pengertian yang jelas tentang gangguan asam basa dan kompensasi dari
respon fisiologis membutuhkan terminologi yang baik. Kata ”-osis” digunakan
untuk menyebutkan proses patologis yang mengubah pH arteri. Oleh karena itu,
gangguan yang dikarenakan penurunan pH disebut asidosis, sedangkan yang
dikarenakan peningkatan pH disebut alkalosis. Gangguan terutama
mempengaruhi ion bikarbonat disebut metabolik, sedangkan gangguan terutama
mempengaruhi PaCO2 disebut respiratorik. Jika terdapat hanya satu proses
patologis yang terjadi, gangguan asam basa dianggap sederhana. Dua atau lebih
proses primer merupakan indikasi terjadinya gangguan asam basa campuran. Kata
”-emia” digunakan untuk menunjukkan efek dari semua proses primer dan respon
kompensasi fisiologis dari pH darah arteri. Kondisi pH normal darah arteri orang
dewasa 7,35-7,45, pada keadaan asidemia pH <7,35, sedangkan pada alkalemia
yang signifikan pH >7,45. 1,3,4

2.2 Mekanisme Kompensasi Asam Basa


Respon fisiologis terhadap perubahan H+ terdiri dari tiga fase, buffering
kimia yang segera, kompensasi respiratorik serta kompensasi yang lebih lambat
tetapi lebih efektif yaitu respon kompensasi ginjal yang hasilnya dapat mendekati
pH normal arteri meskipun proses patologis masih berlangsung. Fisiologis buffer
yang utama pada manusia termasuk antara lain bikarbonat (H2CO3/HCO3-),
hemoglobin (HbH/Hb-), protein intraseluler (PrH/Pr-), fosfat (H2PO4/HPO4-) dan
amonia (NH3/NH4+). Efektifitas dari keseluruhan buffer ini pada kompartemen
cairan yang berbeda tergantung dari konsentrasinya. Ion bikarbonat adalah buffer
yang sangat penting pada kompartemen cairan ekstraseluler. Hemoglobin yang
terikat erat dalam sel darah merah, juga berfungsi sebagai buffer yang penting di
dalam darah. Protein yang lainnya mungkin juga mempunyai pengaruh utama
sebagai buffer pada kompartemen cairan intraseluler. Fosfat dan amonia
merupakan buffer urin yang utama. 1,3,4

4
Tabel 2.1 Definisi gangguan keseimbangan asam basa 1
Gangguan pH HCO3- PaCO2

Respirasi

Asidosis ↓ ↑ ↑

Alkalosis ↑ ↓ ↓

Metabolik

Asidosis ↓ ↓ ↓

Alkalosis ↑ ↑ ↑

Penyanggaan dari kompartemen ekstraseluler dapat terpenuhi dengan


pertukaran H+ ekstraseluler dengan ion natrium (Na+) dan ion kalsium (Ca2+) dari
tulang dan dapat juga dengan pertukaran antara H+ ekstraseluler dengan K+
intraseluler. Asam yang berlebih juga dapat menyebabkan demineralisasi tulang
dan pelepasan senyawa alkali (kalsium karbonat - CaCO3 dan kalsium pospat -
CaHPO4). Alkali berlebih (natrium bikabonat - NaHCO3) dapat meningkatkan
deposit karbonat pada tulang. Penyanggaan oleh bikarbonat plasma dapat terjadi
segera meskipun ion karbonat di interstisial membutuhkan waktu 15-20 menit,
sebaliknya penyanggaan dengan protein intreseluler dan tulang berlangsung
lambat (2-4 jam). Lebih dari 50 - 60% asam berlebih mungkin dapat disangga oleh
sistem penyangga dari tulang dan intraseluler. 1,3

2.2.1 Buffer Ion Bikarbonat


Meskipun dalam pengertian yang jelas bahwa buffer ion
bikarbonat terdiri dari H2CO3, HCO3- dan PaCO2 yang dapat menggantikan
H2CO3, karena hidrasi dari CO2 ini dikatalisasi oleh karbonik anhidrase.
H2O + CO2 ↔H2CO3 ↔ H+ + HCO3-
Penyesuaian ini dibuat dalam disosiasi konstan untuk buffer bikarbonat
dan jika koefisien kelarutan untuk CO2 (0,03 mEq/L) dipakai, maka
persamaan Henderson-Hesselbach dimana pK = 6,1. Konstanta pK yang
tidak mendekati pH normal arteri 7,4 maka ion bikarbonat tidak dapat
dikatakan sebagai buffer ekstraseluler yang efisien. Sistem buffer sangat

5
penting karena dua hal yaitu ion bikarbonat berada dalam konsentrasi
yang tinggi dalam cairan ekstraseluler, PaCO2 dan HCO3- plasma diatur
oleh paru-paru dan ginjal secara terus-menerus. Kemampuan dari kedua
organ ini untuk mengubah rasio HCO3-/PaCO2 menyebabkan kedua organ
ini memiliki pengaruh penting terhadap pH arteri. Cara praktis dan lebih
sederhana dari persamaan Henderson-Hesselbach untuk buffer ion
hidrogen adalah: 1,3
PaCO2
[H+] = 24 x
[HCO3-]
Persamaan ini sangat berguna secara klinis karena pH dapat
dengan mudah diubah ke konsentrasi H+. Dikatakan bahwa untuk pH
dibawah 7,40 maka H+ meningkat 1,25 nEq/L untuk setiap penurunan pH
sebesar 0,01, sedangkan untuk pH diatas 7,40 maka H+ menurun sebesar
0,8 nEq/L untuk setiap peningkatan pH sebesar 0,01. Buffer ion
bikarbonat efektif untuk melawan metabolik tetapi tidak untuk melawan
gangguan asam basa respiratorik. Buffer ion bikarbonat tidak efektif
melawan peningkatan PaCO2 dan perubahan dalam HCO3- tidak
mempengaruhi keparahan dari asidosis respiratorik. 1,3

2.2.2 Hemoglobin Sebagai Buffer


Hemoglobin kaya akan histidin, yang merupakan buffer efektif
dari pH 5,7 sampai 7,7 (pKa 6,8). Hemoglobin merupakan buffer
nonkarbonik yang paling penting pada cairan ekstraseluler. Hemoglobin
dapat dipikirkan sebagai keberadaan sel darah merah dalam keseimbangan
sebagai asam lemah (H-Hb) dan garam kalium (K-Hb). Berbeda dengan
buffer ion bikarbonat, hemoglobin dapat dipakai sebagai buffer untuk
asam karbonik (CO2) dan nonkarbonik (nonvolatil). 1,3,4

H+ + KHb ↔ HHb + K+

H2CO3 + KHb ↔ HHb + HCO3-

6
2.3 Kompensasi Paru - paru
Perubahan pada ventilasi alveolar bertanggung jawab untuk kompensasi
paru dari PaCO2 yang diperantarai oleh kemoreseptor pada batang otak, dimana
reseptor ini berespon terhadap perubahan pada pH cairan serebrospinal. Ventilasi
permenit meningkat 1-4 L/menit untuk setiap peningkatan 1 mmHg PaCO2. Paru-
paru bertanggung jawab untuk mengeliminasi kira-kira 15 mEq karbondioksida
yang diproduksi setiap hari sebagai produk metabolisme karbohidrat dan lemak.
Respon kompensasi paru juga penting dalam pertahanan melawan perubahan
pada pH selama gangguan metabolik. 3,4

2.3.1 Kompensasi Selama Asidosis Metabolik


Penurunan pH darah arteri menstimulasi pusat pernafasan di
medulla oblongata. Hasil dari peningkatan ventilasi alveolar akan
menurunkan PaCO2 dan cenderung menormalkan pH arteri. Respon paru
terhadap PaCO2 yang rendah terjadi secara cepat tetapi mungkin tidak
mencapai keadaan yang diinginkan sampai 12-24 jam, dimana pH tidak
pernah mencapai normal. Tekanan karbondioksida secara normal turun 1-
1,5 mmHg dibawah 40 mmHg untuk setiap penurunan ion bikarbonat
plasma sebesar 1 mEq/L.

2.3.2 Kompensasi Selama Alkalosis Metabolik


Peningkatan pH darah arteri akan menekan pusat pernafasan.
Hasilnya hipoventilasi alveolar cenderung menaikkan PaCO 2 dan
mengembalikan pH arteri menjadi normal. Respon paru terhadap alkalosis
metabolik secara umum sulit diprediksi dibandingkan respon terhadap
asidosis matabolik. Hipoksemia sebagai akibat dari hipoventilasi yang
progresif, biasanya mengaktifkan oxygen-sensitive chemoreceptor dan
kemudian menstimulasi ventilasi dan membatasi respon kompensasi paru.
Konsekuensi kompensasi dari PaCO2 biasanya tidak pernah naik di atas
55 mmHg pada respon terhadap alkalosis metabolik. Tekanan parsial CO2
dapat diharapkan meningkat sebesar 0,25-1 mmHg untuk setiap
peningkatan HCO3- sebesar 1 mEq/L. 1,3,4

7
2.4 Kompensasi Ginjal
Kemampuan ginjal untuk mengatur jumlah reabsorbsi HCO3- yang
terfiltrasi dari cairan tubulus, membentuk HCO3- yang baru dan mengeliminasi H+
dalam bentuk asam yang dapat dititrasi dan ion amonia, dapat memberikan
pengaruh utama terhadap pH selama gangguan asam basa baik metabolik dan
respiratorik. Ginjal bertanggung jawab untuk mengeliminasi sekitar 1
mEq/kg/hari dari asam sulfat, asam fosfat dan sebagian asam organik yang
teroksidasi yang normalnya oleh metabolisme protein yang berasal dari makanan,
nukleoprotein dan fosfat organik (fosfoprotein dan fosfolipid). Metabolisme
nukleoprotein juga menghasilkan asam urat. Pembakaran tidak sempurna dari
asam lemak dan glukosa akan menghasilkan asam keton dan asam laktat. Alkali
endogen dihasilkan selama metabolisme beberapa asam amino anionik (glutamat
dan aspartat) dan senyawa organik lainnya (sitrat, asetat dan laktat), tetapi
jumlahnya tidak mencukupi untuk mengimbangi produksi asam endogen. 1,3,4,5

2.4.1 Kompensasi Ginjal Selama Asidosis


Respon ginjal terhadap keadaan asam terdiri dari tiga langkah, meliputi
meningkatkan reabsorbsi dari ion bikarbonat, meningkatkan ekskresi asam dan
meningkatkan produksi amonia pada urin. Proses tersebut dapat membantu
mengurangi kondisi asam pada tubuh. Kompensasi ginjal dapat berfungsi
dengan baik jika ginjal dalam kondisi optimal.

2.4.1.1 Meningkatkan Reabsorbsi dari Ion Hidrogen

Karbonsioksida di dalam sel tubulus ginjal berikatan dengan air dan


membentuk karbonik anhidrase. Asam karbonat terbentuk dengan cepat dan
terdisosiasi menjadi H+ dan HCO3-. Ion bikarbonat masuk ke aliran darah
sementara H+ disekresi ke dalam tubulus ginjal, dimana H+ bereaksi dengan
HCO3- yang terfiltrasi untuk membentuk H2CO3. Karbonik anhidrase
menempel ke dinding lumen dan mengkalisasi perubahan H2CO3 menjadi
CO2 dan H2O. Karbondioksida dapat berdifusi kembali kedalam sel tubulus
ginjal untuk menggantikan CO2 yang sudah terpakai. Tubulus proksimal
secara normal mereabsorbsi 80-90% ion bikarbonat yang terfiltrasi
bersamaan dengan sodium, sedangkan tubulus distal bertanggung jawab

8
hanya 10-20%. Tidak seperti pompa H+ pada tubulus proksimal, pompa H+
di tubulus distal tidak bersamaan dengan reabsorbsi natrium dan memiliki
kemampuan mengatur gradien H+ antara cairan tubulus dan sel tubulus. 1,3,4

Gambar 2.1 Peningkatan reabsorbsi dari ion bikarbonat 3

2.4.1.2 Meningkatkan Ekskresi Asam


Seluruh ion bikarbonat di dalam cairan tubulus akan kembali ke
dalam darah, ion hidrogen yang disekresi ke dalam lumen dapat berikatan
dengan ion monohidrogen fosfat (HPO42-) membentuk asam fosfat (H2PO4)
yang tidak dapat direabsorbsi karena muatannya dan dieliminasi melalui
urin. Hasil akhirnya adalah H+ diekskresi dari tubuh dalam bentuk H2PO4
dan HCO3- dapat masuk ke aliran darah. Ekskresi asam sebagai usaha
dalam membuat tubuh menjadi basa.

Gambar 2.2 Peningkatan ekskresi asam 3

9
2.4.1.3 Meningkatkan Pembentukan Amonia
Reabsorbsi lengkap ion bikarbonat dan penggunaan dari buffer
fosfat, NH3/NH4+ menjadi buffer urin yang sangat penting. Deaminasi
glutamin di dalam mitokondria sel tubulus proksimal merupakan sumber
utama untuk produksi NH3 di ginjal. Keadaan asam dalam darah (asidemia)
menyebabkan peningkatan produksi NH3 ginjal. Amonia yang terbentuk
kemudian dapat melewati membran sel luminal dan masuk ke cairan tubulus,
kemudian bereaksi dengan H+ membentuk NH4+. Tidak seperti NH3, NH4+
tidak dapat penetrasi ke membran luminal dan terperangkap di dalam
tubulus, sehingga NH4+ di urin efektif untuk mengeliminasi H+. 1,3,4

Gambar 2.3. Pembentukan amonia 3

2.4.2 Kompensasi Ginjal Selama Alkalosis


Jumlah HCO3- yang banyak secara normal difiltrasi dan kadang-
kadang direabsorbsi karena ginjal butuh sekresi HCO3- dalam jumlah banyak
jika dibutuhkan. Ginjal bekerja efektif dalam proteksi terhadap keadaan
metabolik alkalosis yang secara umum terjadi karena defisiensi natrium atau
mineralokortikoid berlebih. Deplesi dari natrium akan menurunkan volume
cairan ekstraseluler dan meningkatkan reabsorbsi Na + dari tubulus proksimal
ginjal. Mempertahankan keadaan netral, ion natrium membawa ion klorida
saat melewati membran. Jumlah ion klorida menurun (<10 mEq/L di urine),
maka HCO3- harus direabsorbsi. Peningkatan sekresi H+ sebagai pengganti

10
untuk meningkatkan reabsorbsi Na+ membutuhkan pembentukan HCO3-
yang berkelanjutan pada kondisi metabolik alkalosis. Peningkatan aktivitas
mineralokortikoid meningkatkan reabsorbsi Na + yang diperantarai oleh
hormon aldosteron sebagai pengganti untuk sekresi H+ di tubulus distal dan
akhirnya peningkatan pembentukan HCO3- dapat menjadi pencetus atau
memperberat metabolik alkalosis. Metabolik alkalosis biasanya
berhubungan dengan peningkatan aktivitas mineralokortikoid meskipun
tidak terjadi deplesi dari natrium dan klorida. 1,3,4,5

11
BAB III
ASIDOSIS METABOLIK

3.1 Definisi Asidosis Metabolik


Asidosis metabolik ditandai dengan turunnya kadar ion bikarbonat diikuti
dengan penurunan tekanan parsial CO2 pada darah arteri. Kompensasi umumnya
terdiri dari kombinasi mekanisme oleh paru dan ginjal, ion hidrogen berinteraksi
dengan ion bikarbonat membentuk molekul karbondioksida yang dieliminasi di
paru, sementara itu ginjal mengupayakan ekskresi H+ ke urin dan memproduksi
ion bikarbonat yang dilepaskan ke cairan ekstraseluler. Kadar ion bikarbonat
normal adalah 24 mEq/L dan kadar normal PaCO2 adalah 40 mmHg dengan kadar
H+ sebesar 40 nmol/L.6,7

3.2 Etiologi
Etiologi dari asidosis metabolik dapat dikelompokan berdasarkan penyebab
terciptanya asidemia, dikelompokan menjadi : 6,7,8
1. Kehilangan Ion Bikarbonat
a. Fistula pancreas, bilier atau usus. Hilangnya sekresi pankreas atau
empedu
b. Kehilangan ion bikarbonat pada renal dapat disebabkan renal tubular
asidosis (RTA) tipe 2, proksimal tubulus
c. Diare, contohnya Kolera

2. Peningkatan beban asam (H+)


a. Asidosis asam laktat
b. Ketoasidosis diabetik
c. Ingestions - Salisilat, metanol, etilen glikol

3. Ketidakmampuan untuk mengekskresikan beban asam (H+)


a. Penyakit ginjal kronik - hilangnya produksi NH4+
b. Hipoaldosteronisme - RTA Tipe 4
c. Hilangnya sekresi H+ - RTA (distal) Tipe 1

12
3.3 Klasifikasi Asidosis Metabolik
Penggolongan asidosis metabolik dibedakan berdasarkan nilai anion gap-
nya, dimana anion gap normal dan meningkat. Anion gap yang tinggi dapat
disebabkan oleh asidosis laktat, ketoasidosis, penyakit ginjal kronik, ingesti
salisilat, ingesti metanol. Anion gap yang normal terjadi pada kehilangan ion
bikarbonat di gastrointestinal akibat diare, kehilangan ion bikarbonat dari ginjal
(RTA tipe 2), hypoaldosteronism (yaitu, RTA tipe 4) ataupun pada penggunanan
berlebihan agen inhibisi karbonik anhidrase (acetazolamid). 7,8

Gambar 3.1 Alur diagnosis asidosis metabolik sesuai analisa gas darah 8

3.4 Diagnosis Asidosis Metabolik


Asidosis metabolik dapat bersifat asimptomatik, kelainan asam basa hanya
ditemukan pada hasil analisa gas darah. Gejala yang muncul biasanya tidak
spesifik serta dapat berupa lemah letih, anoreksia, bingung, takikardi, takipnea
dan dehidrasi. Jenis pernafasan yang terjadi secara cepat dan dalam (Kussmaull)
sebagai kompensasi terhadap HCO3- yang rendah. 7,8

Asidosis metabolik dapat mengakibatkan beberapa perubahan spesifik pada


sistem organ termasuk sistem saraf, kardiovaskular, paru, gastrointestinal dan
disfungsi muskuloskeletal. Gejala sering spesifik dan biasanya diakibatkan oleh
etiologi yang mendasari asidosis metabolik tersebut. Efek dari memburuknya
asidosis metabolik dapat mengancam kehidupan. 7,8
Peningkatan keasaman dapat menyebabkan terjadinya vasokonstriksi
pulmonal sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan vaskuler paru.

13
Keadaan ini jika terus berlangsung dapat menyebabkan terjadinya gagal ventrikel
kanan. Saat pH arteri kurang dari 7,2 umumnya sering terjadi depresi miokard.
Otot pembuluh darah arteri, penurunan pH dapat memicu terjadinya vasodilatasi
sistemik yang kemudian menyebabkan terjadinya hipotensi dan kegagalan
sirkulasi. 7,8,9

3.4.1 Tanda Dan Gejala


Gejala asidosis metabolik terutama hiperventilasi kompensasi
(yakni pernapasan Kussmaul) merupakan tanda klinis yang penting dan
sering disalahartikan sebagai kelainan respirasi yang primer. Ketika
seorang pasien datang dengan dispnea (sesak napas) dan temuan
pemeriksaan kardiopulmonar normal, kecuali untuk takipnea dan takikardi,
asidosis sistemik harus dipertimbangkan. Obat tidak jarang merupakan
penyebab metabolik asidosis dan memainkan peran penting dalam
presentasi klinis, evolusi penyakit dan terapi intervensi. 9,10,11

Kelumpuhan saraf kranial dapat terjadi pada keracunan etilena


glikol. Edema retina dapat dilihat pada keracunan metanol. Kelesuan,
pingsan dan koma dapat terjadi pada asidosis metabolik yang berat,
terutama jika dikaitkan dengan konsumsi zat beracun. Asidemia berat
(yaitu, pH <7,10) dapat mempengaruhi pasien untuk terjadinya aritmia
ventrikel yang fatal dan dapat mengurangi kontraktilitas jantung dan
respon inotropik katekolamin dapat mengakibatkan hipotensi dan gagal
jantung kongestif. 9,10,11

Pasien dengan asidosis metabolik akut menunjukkan takipnea dan


hiperkapnea (pernapasan kussmaul) sebagai tanda-tanda fisik yang
menonjol. Hiperventilasi tanpa adanya penyakit paru-paru yang jelas,
klinis harus waspada untuk kemungkinan adanya asidosis metabolik yang
mendasari. Mual, muntah, sakit perut dan diare sering kali terjadi terutama
pada pasien dengan ketoasidosis diabetikum atau uremikum, pada kondisi
demikian perlu disingkirkan penyebab lainnya. 7,8,9,10

14
3.4.1 Pemeriksaan Penunjang
Penegakan diagnosis asidosis metabolik dapat dilakukan dengan
beberapa pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang seperti,
pemeriksaan darah lengkap ditandai dengan meningkatnya leukosit
merupakan penemuan yang nonspesifik, tetapi harus dipertimbangkan
adanya septikemia, yang menyebabkan asidosis laktat. Anemia berat
dengan berkurangnya delivery oksigen (O2) dapat menyebabkan asidosis
laktat. 9,11

Pengukuran pH urin dengan adanya hipobikarbonatemia sering


digunakan untuk menilai asidifikasi ginjal, dimana pH urin biasanya asam
kurang dari 5,0. Pada pH urin di atas 5,5 dengan kondisi asidemia, temuan
ini merupakan RTA tipe I. Urin yang alkali khas pada keracunan salisilat.
Toksisitas terhadap Ethylene glycol dapat ditemukan kristal kalsium
oksalat, yang muncul berbentuk jarum dalam urin. 4,8,9

Pemeriksaan serum meliputi kadar natrium, kalium, klorida dan ion


bikarbonat yang digunakan dalam perhitungan serum anion gap – Strong
Ion Gap (SIG), namun ion-ion seperti fosfat, magnesium serta kadar serum
albumin juga digunakan untuk menghitung SIG. Hiperkalemia sering
mempersulit asidosis metabolik, ini biasanya terlihat pada asidosis
anorganik (yaitu, non - AG). Diabetik ketoasidosis (DKA) sering terjadi
hiperkalemia yang merupakan akibat dari defisiensi insulin dan efek
hiperosmolalitas. Asidosis laktat dan bentuk lain dari asidosis organik
umumnya tidak muncul dengan pergeseran kalium secara signifikan.
Kadar glukosa umumnya meningkat pada DKA, namun rendah atau
normal atau dapat sedikit meningkat pada alkohol ketoasidosis. Blood
Urea Nitrogen (BUN) dan kadar kreatinin meningkat pada asidosis
uremik. 9,10,11,12

Perhitungan anion gap dapat membantu dalam diagnosis


diferensial asidosis metabolik. Anion gap adalah perbedaan antara
konsentrasi plasma dari kation plasma yang diukur (yaitu, Na +) dan anion
yang diukur (yaitu, klorida [Cl-], HCO3-). Anion gap yang normal adalah

15
8 - 16 mEq/L, dengan nilai rata-rata berkisar 12. Beberapa penulis
menambahkan K+ pada pengukuran kation, dengan nilai normal AG
adalah 12 - 20 mEq/L. 9,10

Perhitungan : AG = (Na+) - ([Cl-] + [HCO3-])

Asidosis metabolik dengan anion gap yang tinggi dikaitkan dengan


penambahan asam endogen atau eksogen yang dihasilkan. Asidosis
metabolik dengan anion gap normal dihubungkan dengan hilangnya
HCO3- atau kegagalan untuk mengeluarkan H+ dari tubuh. Kesalahan
laboratorium dapat mempengaruhi anion gap. Hiperproteinemia,
hiperlipidemia dan hiperglikemia mengakibatkan penghitungan kadar
natrium serum palsu sehingga dapat menekan anion gap. Parameter
tersebut dikurangi dengan ~ 2,3 mmol/l untuk setiap 10 g/l penurunan
konsentrasi albumin pada serum. 7,8,9,11

Osmolal gap adalah osmolalitas plasma yang diukur dikurangi


osmolalitas plasma yang dihitung. Serum osmolalitas terdiri dari semua zat
osmotik aktif termasuk zat ionik dan non-ionik seperti ion serum, glukosa
dan BUN. Zat lain seperti alkohol, serum lipid dan protein yang berlebihan
serta manitol berkontribusi terhadap osmolalitas serum. Osmolalitas yang
dihitung adalah : 9,11,12
Osmolalitas = 2 X plasma [Na+] + [glukosa] / 18 + BUN/2,8

Osmolal gap normal adalah 10 - 15. Asidosis metabolik dengan


gap osmolal tinggi menunjukkan keracunan metanol dan etilen glikol.
Tidak adanya kenaikan pada serum osmolalitas tidak mengeksklusikan
keracunan alkohol. Kenaikan osmolal gap juga dapat dilihat pada
ketoasidosis, asidosis laktat dan gagal ginjal kronis.
Peningkatan keton menunjukkan diabetes, alkohol dan ketoasidosis
starvation. Tes nitroprusside digunakan untuk mendeteksi keberadaan
asam keto dalam darah dan urin. Tes ini hanya mengukur acetoacetate dan
aseton, karena itu, mungkin tidak bisa mengukur kadar ketonemia dan
ketonuria karena tidak dapat mendeteksi keberadaan beta-hidroksibutirat
(BOH). Keterbatasan tes ini dapat sangat bermasalah pada pasien dengan

16
ketoasidosis yang tidak dapat mengkonversi BOH menjadi asetoasetat
karena syok berat atau gagal hati. Asai untuk BOH tidak tersedia di
beberapa rumah sakit. Sebuah metode tidak langsung untuk menghindari
masalah ini adalah dengan menambahkan beberapa tetes hidrogen
peroksida untuk spesimen urin. Secara enzimatis akan mengkonversi BOH
menjadi asetoasetat, yang akan terdeteksi oleh tes nitroprusside. 3,9,10,11
Konsentrasi laktat plasma normal adalah 0,5 - 1,5 mEq/L. Asidosis
laktat dapat dipertimbangkan jika kadar laktat plasma melebihi 4 - 5
mEq/L pada pasien asidemia. Penyebab atau etiologi asidosis metabolik
dapat diprediksi melalui penghitungan anion gap. Bila terjadi peningkatan
uncountable anion atau anion gap meningkat, etiologi yang mungkin
adalah asidosis laktat, ketoasidosis (diabetes mellitus, starvasi dan
alkohol), intoksikasi metanol, intoksikasi etilen glikol dan intoksikasi
salisilat. Terjadi pengurangan ion bikarbonat atau anion gap normal,
etiologi yang mungkin adalah enteritis, RTA tipe 2, pasca pengobatan
ketoasidosis dan pemakaian penghambat karbonik anhidrase. Bila terjadi
retensi H+ di ginjal dengan anion gap meningkat, etiologi yang mungkin
adalah penyakit ginjal kronik. 10,12,13

3.5 Tatalaksana Asidosis Metabolik


Penatalaksanaan pada asidosis metabolik dinilai berdasarkan onset yang
terjadi akut atau kronik. Asidosis metabolik akut terjadi akibat penyakit kritis
dengan penyebab gangguan sistem organ terjadi beberapa jam hingga hari.
Asidosis metabolik kronik biasanya dalam bentuk tidak berat, terjadi dalam
bebrapa minggu hingga bulan.

3.5.1 Asidosis metabolik akut


Perubahan pH ekstraseluler dan intraseluler sebagai efek samping
yang mendasari dari asidosis metabolik akut, pemberian basa (terutama
dalam bentuk natrium bikarbonat) telah menjadi terapi andalan. Namun,
studi mengenai asidosis laktat dan studi acak-terkontrol dari ketoasidosis,
penyebab yang paling sering dari asidosis metabolik akut, dengan
pemberian natrium bikarbonat tidak menunjukkan penurunan morbiditas

17
atau mortalitas. Studi pemberian natrium bikarbonat tidak terbukti
meningkatkan disfungsi kardiovaskular pada pasien dengan asidosis laktat.
Pemberian natrium bikarbonat juga telah menjadi faktor yang
mencetuskan edema serebral pada anak-anak dengan ketoasidosis. 4,12,13,14
Efek samping pemberian natrium bikarbonat termasuk eksaserbasi
dari asidosis intraseluler yang disebabkan oleh generasi dari CO 2 gas
permeabel dalam proses buffering, hipertonisitas cairan ekstraselular
ketika bikarbonat diberikan sebagai cairan hipertonik, kelebihan cairan,
alkalosis metabolik dan percepatan pertukaran Na + - H+ menyebabkan
peningkatan Na+ dan Ca2+ di sel. 3,11,12,13
Pemberian natrium bikarbonat dapat menyebabkan komplikasi,
terdapat alternatif pemberian basa lain yang telah dikembangkan dan diuji
yaitu, Trishydroxymethyl Aminomethane (THAM), agen yang
diperkenalkan pada akhir 1950-an, dapat meningkatkan pH ekstraseluler
tanpa mengurangi pH intraseluler. Studi pada manusia telah menunjukkan
bahwa THAM sama efektifnya dengan ion bikarbonat dalam
meningkatkan pH ekstraseluler. Penggunaan THAM lebih jarang
dibandingkan dengan ion bikarbonat, namun terdapat kasus yang langka
dengan toksisitas di hati telah dilaporkan pada bayi baru lahir,
hiperkalemia dan disfungsi paru telah dilaporkan. Agen ini membutuhkan
fungsi ginjal yang baik untuk mengekskresikannya dalam urin dan untuk
keefektivitasannya. 11,15,16
Pemberian natrium bikarbonat harus diberikan dalam larutan
isoosmotik untuk mencegah hiperosmolar dan dengan infus yang lebih
lambat daripada bolus intravena (untuk mengurangi pembentukan CO 2).
Sulit untuk menentukan target pH atau [H+] dikaitkan dengan hasil yang
lebih baik, meskipun ada konsensus menyatakan bahwa pH > 7,20-7,25
lebih baik. Surviving Sepsis Campaign (SCC) hanya merekomendasikan
pengobatan asidosis metabolik akut dengan pemberian natrium bikarbonat
jika pH <7,1 pada keadaan sepsis berat dan pasien syok septik. Banyaknya
bikarbonat dapat dihitung dengan persamaan : 3,14,15

Bikarbonat = [HCO3-] yang diinginkan - [HCO3-] yang diukur × space HCO3-

18
Pemberian THAM dapat menjadi pilihan pada beberapa pasien
dengan asidosis metabolik akut, terutama pasien dengan retensi CO 2.
THAM ini efektif untuk asidosis metabolik dan respiratorik. Agen ini
diekskresikan oleh ginjal dan tidak meningkatkan produksi CO 2. Terapi
selain pemberian basa mungkin diindikasikan pada pasien asidosis dengan
anion gap tinggi. Pemberian fomepizole (inhibitor selektif dehidrogenase
alkohol) akan mengurangi pembentukan asam organik dari metabolisme
metanol, etilen glikol atau dietilen glikol. Diuresis paksa alkali atau
dialisis diindikasikan pada pasien dengan intoksikasi salisilat. 11,15,16

Gambar 3.2 Rekomendasi tatalaksana asidosis metabolik akut 13

19
3.5.2 Metabolik Asidosis Kronik
Terdapat beberapa studi pasien dengan metabolik asidosis kronis dengan
dan tanpa gangguan ginjal telah menunjukkan bahwa pemberian basa dapat
meningkatkan atau mengurangi perkembangan bone disease, menormalkan
pertumbuhan, mengurangi degradasi otot, meningkatkan sintesis albumin dan
menghambat perkembangan yang dari PGK. Banyak ahli merekomendasikan
bahwa konsentrasi serum bikarbonat dinaikkan menjadi setidaknya 22-23 mmol/l,
meskipun normalisasi lengkap mungkin lebih menguntungkan. Basa dapat
diberikan secara oral pada pasien dengan fungsi ginjal normal atau pasien dengan
PGK tidak dialisis. Pada pasien hemodialisis, penggunaan dialisat dengan
konsentrasi bikarbonat tinggi (~40 mmol/l) biasanya cukup untuk memperbaiki
asidosis metabolik. Bagi pasien dengan peritoneal dialisis, dialisat dengan
konsentrasi basa yang tinggi biasanya akan efektif. 11,12,13,17

20
Gambar 3.3 Alur tatalaksana asidosis metabolik 13

21
BAB IV
ALKALOSIS METABOLIK

4.1 Definisi Alkalosis Metabolik


Alkalosis Metabolik adalah suatu keadaan, dimana darah dalam keadaan
basa karena tingginya kadar bikarbonat. Alkalosis metabolik juga dapat terjadi
jika tubuh kehilangan terlalu banyak asam. Contoh alkalosis metabolik kehilangan
sejumlah asam lambung selama periode muntah yang berkepanjangan atau bila
asam lambung keluar melalui selang lambung. Kasus alkalosis yang jarang, terjadi
pada seseorang yang mengkonsumsi terlalu banyak basa dari bahan-bahan seperti
soda bikarbonat. Alkalosis metabolik dapat terjadi bila kehilangan natrium atau
kalium dalam jumlah yang banyak mempengaruhi kemampuan ginjal dalam
mengendalikan keseimbangan asam basa darah.1,3,18

4.2 Etiologi
Penyebab alkalosis metabolik dapat diakibatkan penggunaan diuretik
(tiazid, furosemid atau asam etakrinat), dapat juga disebabkan akbiat kehilangan
asam karena muntah atau pengosongan lambung. Kelenjar adrenal yang terlalu
aktif (sindroma Cushing atau akibat penggunaan kortikosteroid) dapat
menyebabkan alkalosis metabolik. Kasus yang langka adalah seperti pada sindrom
Bartter dan sindrom Gietleman, dimana terjadi ketidakselarasan pengaturan
ekskresi ion-ion di tubulus ginjal. 1,3,18

4.3 Tanda dan Gejala


Alkalosis metabolik dapat menyebabkan tanda dan gejala, dapat
menyebabkan iritabilitas (mudah tersinggung), otot berkedut dan kejang otot
ataupun tanpa gejala sama sekali. Alkalosis yang berat, dapat terjadi kontraksi
(pengerutan) dan spasme (kejang) otot yang berkepanjangan (tetani). Alkalosis
metabolik dapat terjadi penurunan kesadaran, penurunan laju darah arteri koroner
sebagian faktor predesposisi aritmia refrakter. Depresi nafas dapat terjadi pada
alkalosis metabolik hingga menyebabkan hipoksemia, sebagai respon dari
peningkatan ion bikarbonat. Asimtomatik dapat terjadi pada asisdosis metabolik
terutama bila terjadi akibat kompensasi dari asidosis respiratorik. 1,3,18,19

22
4.4 Diagnosis Alkalosis Metabolik
Pendekatan diagnosis pada pasien yang dicurigai mengalami alkalosis
metabolik selalu dimulai dengan menganalisa dari AGD. Penegakan diagnosis
haruslah menyingkirkan penyebab akibat kompensasi dari asidosis respiratorik,
apabila bukan suatu kompensasi melainkan sebagai alkalosis primer mulai
dipikirkan faktor penyebabnya. Diuraikan diatas bahwa terdapat berbagai
penyebab alkalosis metabolik, diantaranya peningkatan produksi atau
ketidakmampuan mengekskresi bikarbonat yang dapat berhubugan dengan
penurunan volume efektif arteri, tingginya kadar aldosteron serta tingginya
penghantaran ion natrium dimana hal tersebut dapat disebabkan akibat gagal
ginjal, selain itu juga perlu dipikirkan kehilangan asam tubuh.18,19,20

Langkah pertama dalam penegakan diagnosis, menilai volume efektif


arteri. Volume efektif arteri dapat dipengaruhi oleh aktivitas fisik ataupun tekanan
darah. Pengukuran asam urat atau ureum dapat membantu sebagai acuan, namun
yang paling penting perlu dinilai elektrolit urin. Penurunan volume efektif arteri
terjadi akibat penurunan ekskresi Na+ dan Cl- pada urin, namun pada kondisi
demikian dapat terjadi peningkatan ekskresi bikarbonat atau anion lain pada urin
sebagai penyeimbang Na+ pada urin, sehingga kadar klorida dalam urinlah yang
dapat berguna untuk menentukan volume efektif arteri. 18,19,20

Klorida urin memiliki kadar yang rendah, dihubungkan dengan penurunan


volume efektif arteri, namun jika diiringi dengan kadar natrium urin yang tinggi
maka perlu dipikirkan terjadinya ekskresi anion lain atau bikarbonat yang tinggi,
pada kondisi demikian harus diperiksa pH urin, kadar pH urin 7 hingga 8
mengindikasikan peningkatan ekskresi bikarbonat pada urin. Jika pH urin kurang
dari 6,5 maka perlu dipikirkan peningkatan ekskresi anion lain (yang tidak di
reabsorbsi), seperti keton atau antibiotik. Kadar pH urin normal sebagai akibat
usaha ginjal dalam menjaga kesimbangan asam basa, maka besar kemungkinan
penyebabnya adalah suatu alkalosis metabolik ekstrarenal. Penyebab alkalosis
metabolik ekstrarenal seperti akibat muntah, keluarnya asam melalui selang
nasogastrik ataupun disebabkan karena diare. 18,19,20,21

23
Gambar 4.1 Alur pendekatan diagnosis alkalosis metabolik18

Kadar klorida urin yang tinggi dapat disebabkan karena penggunaan


diuretik, sindroma Bartter ataupun deplesi Magnesium. Rendahnya kadar natrium
dan klorida pada urin penyebab tersering alkalosisnya adalah pasca hiperkapnea,
efek lambat dari obat diuretik atau muntah yang telah terjadi. Pasien perlu
dilakukan pengukuran tekanan darah, bila terjadi hipertensi penyebabnya perlu

24
dipikirkan akibat peningkatan kadar hormon mineralokortikoid, dapat diperiksa
kadar renin dan aldosteron sebagai langkah selanjutnya, namun sebelum
pemeriksaan tersebut dilakukan dapat dilakukan stimulus pemberian cairan saline
sebagai terapi awal. Alkalosis metabolik akibat peningkatan hormon
mineralokortikoid tidak berespon pada stimulus ini. 18,19

4.4 Tatalaksana Alkalosis Metabolik


Penatalaksanaan alkalosis metabolik dipersiapkan untuk menghilangkan
penyebab pembentukan ion karbonat. Penyebab alkalosis metabolik lain adalah
suatu hipermineralokortikoid primer, diupayakan untuk penghentian efek
mineralokortikoid atau dapat diberikan antagonisnya. Kehilangan ion hidrogen
dari lambung dapat dipikirkan untuk pencegahan pemberian H2-reseptor bloker
atau proton pump inhibitor, serta kehilangan asam dari ginjal akibat diuresis
misalnya. 19,20

Aspek lain pada penatalaksanaannya adalah meniadakan faktor yang dapat


meningkatkan reabsorbsi ion bikarbonat, seperti halnya konstrasi cairan
ekstraseluler (CES) atau defisiensi ion kalium (K+). Defisiensi K+, pemberian
terapi natrium klorida dapat memulihkan kondisi alkalosis bila terdapat respon
dari CES. Kasus yang langka alkalosis metabolik tidak mengalami perbaikan pada
pemberian terapi natrium klorida, dimana terdapat tanda khas berupa defisit K+,
defisiensi ion magnesium (Mg2+), sindroma Bartter atau pada
hipermineralokortikoid primer, pada kasus seperti demikian harus ditangani
penyebab utamanya. 18,19,20,21

Penatalaksanaan berhubungan dengan pemberian cairan normal saline,


peningkatan kehilangan ion bikarbonat dapat ditingkatkan dengan pemberian
acetazolamid, suatu karbonik anhidrase inhibitor. Diberikan telarut asam
hidroklorida (0,1 HCl), walaupun efektif dalam memulihkan alkalosis,
pemberiannya dapat menyebabkan hemolisis. Asidifikasi dapat diberikan
amonium klorida, namun pada pemberian harus diberikan diperhatikan apakah
terdapat gangguan liver. Hemodialisis dengan pengaturan dialisat khusus dengan
setelan rendah HCO3- dan Cl- yang tinggi sebagai penatalaksaan yang efektif pada
gangguan renal. 19,20,21,22

25
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Gangguan keseimbangan asam basa sangat sering ditemukan pada pasien
dengan kondisi kritis, dimana lebih banyak terdapat pada
ketidakseimbangan asam basa tipe metabolik.
2. Asidosis metabolik ditandai dengan turunnya kadar bikarbonat diikuti
dengan penurunan tekanan parsial karbondioksida pada darah arteri, dapat
terjadi secara akut atau kronik.
3. Alkalosis metabolik adalah suatu keadaan dimana darah arteri dalam
keadaan basa karena tingginya kadar bikarbonat atau terjadi jika tubuh
kehilangan terlalu banyak asam.
4. Penatalaksanaan asidosis ataupun alkalosis metabolik dapat diberikan
buffernya, namun haruslah disingkirkan penyebab utama dari terjadinya
asidosis atau alkalosis tersebut.

5.2 Saran
1. Dibutuhkan pemahaman lebih dalam tentang penegakan diagnosis
ketidakseimbangan asam basa tipe metabolik.
2. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai agen terapi, sehingga dapat
digunakan sebagai pilihan terapi yang aman.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Moenadjat Y, Madjid AS, Wibisono LK dan Loho T. Gangguan


keseimbangan air-elektrolit dan asam-basa. Jakarta: UPK-PKB FKUI.
2012.
2. Rajendran B, Mallampati SR dan Sheju JJ. Acid based disorders in
intensive care unit: a hospital-based study. Int Journal of Adv in Med.
2019 ; 6 (1) : 1 - 4
3. DuBose TD. Acidosis and Alkalosis. In : Jameson JL, Fauci AS,
Kasper DL, Hauser SL, Longo DL dan Loscalzo J. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. New York : The McGraw-Hill. 2018.
p. 315 – 324.
4. Rapheal KL. Metabolic Acidosis in CKD: Core Curriculum 2019.
AJKD. 2019 ; 74(2) : 263 – 267
5. Palmer BF dan Alpern RJ. Normal Acid-Base Balance. In : Floege J,
Johnson RJ dan Feehally J. Comprehensive Clinical Nephrology. New
York : Saunders Elsevier. 2010. p. 149 – 154.
6. Palmer BF dan Alpern RJ. Metabolic Acidosis. In : Floege J, Johnson
RJ dan Feehally J. Comprehensive Clinical Nephrology. New York :
Saunders Elsevier. 2010. p. 155 – 166.
7. Berend K, Aiko PJ dan Rijk OB. Physiological Approach to
Assessment of Acid-Base Disturbance. N Enggl J Med.
2014;371(15):1434-45
8. Jung B, Martinez M, Claessens Y, Darmon M, Kloucher K, Lautrette
A, Levraut J et al. Diagnosis and Management of metabolic acidosis :
guidelines from a French expert panel. Intensive Care. 2019;9 (92): 1 –
17
9. Adeva-Andany M, Fernandez C, Maurino-Bayolo D, Castro-Quintela
E dan Dominguez-Montero A. Sodium Biacrbonate Therapy in Patiens
with Metabolic Acidsosis. The Scientific World Journal. 2014: 1 – 13
10. Sabatini S dan Kurtzman NA. Bicarbonate Therapy in Severe
Metabolic Acidosis. J Am Soc Nephrol. 2009; 20: 692 – 5

27
11. Kraut JA dan Madias NE. Metabolic acidosis: pathophysiology,
diagnosis and management. Nat Rev Nephrol. 2010; 6 : 274 – 285
12. Mino-Berbal JF, Alcaraz-Diaz LE, Zamora-Gomez S dan Montengro-
Ibarra AC. Normal Anion Gap Metabolic Acidosis Secondary to
Topiramate Intake. Case Report. 2018; 4 (2): 126 – 36
13. Matyukhin I, Patschan S, Ritter O dan Patschan D. Etiology and
Management of Acute Metabolic Acidosis: An Update. Kidney Blood
Press Res. 2020; 45 : 523 – 531
14. Kraut JA dan Kurtz I. Treatment of acute non – anion gap metabolic
acidosis. Clin Kidney J. 2015 ; 8 : 93 – 99
15. Nahas GG, Sutin KM, Fermon C, Streat S, Wiklund L dan Wahlander
S et al. Guidelines for the Treatment of Acidemia with THAM. Drugs.
1998; 55 (2): 191 – 224
16. Kraut JA dan Madias NE. Metabolic acidosis : pathophysiology,
diagnosis and management. Nat Rev Nephrol. 2010; 6 : 274 – 284
17. Kraut JA dan Madias NE. Treatment of acute metabolic acidosis : a
pathophysiologic approacht. Nat Rev Nephrol. 2012 : 1 – 13
18. Gennari FJ. Metabolic Alkalosis. In : Floege J, Johnson RJ dan
Feehally J. Comprehensive Clinical Nephrology. New York : Saunders
Elsevier. 2010. p. 167 – 175.
19. Palmer BF dan Alpern RJ. Metabolic Alkalosis. JASN. 1997. 1462-8
20. McNamara J dan Worthley LIG. Acid-Base Balance : Part II
Pathophysiology. Critical Care and Resuscitation. 2001; 3 : 188 – 201
21. Maston N, Kehl D, Copp J, Nourbakhsh N, Rifkin DE. Alkalotic
Anonymous: Severe Metabolic Alkalosis. The American Journal of
Medicine. 2014 ; 127 (1) : 1 – 3
22. Webster NR dan Kulkarni V. Metabolic Alkalosis in the Critically Ill.
Crit Rev in Clin Lab Science. 1999 ; 36(5) : 497 - 510
23. Kaplan LJ, Frangos S. Clinical review: Acid-base abnormalities in
intensive care unit. Crit Care 2009. 9: 198–203.

28
24. Ghauri SK, Javaeed A, Mustafa KJ, Podlasek A dan Khan As.
Bicarbonate Therapy for Critically Ill Patients eith Metabolic Acidosis
: A Systematic Review. Cureus. 2019; 11 (3): 1 – 10
25. Morris CG dan Low J. Metabolic acidosis in the critically ill: Part 2
Cause and treatment. Anesthesia. 2008; 63 : 396-411
26. Mehrotra R, Kople JD dan Wolfson M. Metabolic acidosis in
maintenance dialysis patients : Clinical considerations. International
Society of Nephrology. 2003; 88 : 13 – 25

29

Anda mungkin juga menyukai