Anda di halaman 1dari 13

SEJARAH AMBON

DAN MALUKU SELATAN

Dr. H.J. de Graaf

Judul asli
DE GESCHIEDENIS VAN AMBON EN DE ZUID
MOLUKKEN
23. SEORANG LAKI-LAKI YANG TEGAS
Tak ada satupun pertempuran yang begitu berat, sadis, berdarah dan tak beroeri
kemanusiaan seperti yang terjadi dalam konfrontasi terakhir Belanda (De Vlaming)
melawan para pemberontak Ketjil Said dan pengikutpengikutnya) di Hoamoal. Demikian
pula tak ada satupun pertempuran yang telah begitu banyak nendapat kritik terhadap
keputusan yang telah ditempuh kompani untuk menguasai monopoli perdagangan
rempah-rempah. Walaupun akibat dari pembantaian masal ini Belanda berhasil mengua-
sai Maluku untuk suatu periode selama satu setengah abad kemudian.
Akibat manuver politiknya ini maka semua kekuatan lawan bersatu untuk
menentang kompani. Kini kompani tidak saja berhadapan dengan rakyat Hoamoal, tetapi
juga dengan wakil-wakil Ternate yang ditempatkan di Hoamoal, anggota keluarga
kesultanan seperti Kalemata dan Kapitan Laut Saidi, serta orang-orang Makasar.
De Vlaming tidak bergeming menghadapi lawan yang besar ini. Ia herkeyakinan
bahwa tujuan akhir daripada peperangan ini adalah bagi kejayaan panji kompani, maka ia
bertekad untuk dengan cara apapun Belanda harus keluar sebagai pemenang. Lagipula
baginya ini bukan lagi suatu konfrontasi ekonomi tetapi sudah merupakan suatu perang
agama.
Bantuan sementara yang diharapkan De Vlaming adalah dari desa-desa Kristen,
mereka dapat dipergunakan untuk mengejar perahu-perahu layar lawan dengan kora-kora
mereka yang dapat melaju dengan cepat di laut. Dari Sultan Kandarsyah tidak banyak
yang dapat diharapkannya karena Mandarsyah adalah seorang figur yang baik Kati,
namun lemah. Pertempuran-pertempuran di laut dan darat memakan banyak korban dari
kedua belah pihak. Kekejaman dan kebengisan perang diperlihatan oleh kedua belah
pihak. De Vlaming dalam tingah laku dan pengambilan keputusan sangat tegas dan tidak
mengenal ampun. Maka ada seorang serdadu Jerman yang bekerja untuk kompani
mengatakan bahwa De Vlaming adalah “ein strenger Mann” (seorang laki-laki yang amat
tegas).
Mengenai perbandingan kekuatan dapat dikatakan bahwa di laut lepas pasukan
Belanda berjaya tetapi kapalkapal Makasar yang lebih kecil nudah menyusup diantara
pulau-pulau dari Selayar, Buton, Sula, Kelang, Manipa dan akhirnya memasuki pesisir
barat Hoamoal tanpa diketahui oleh kapal-kapal Belanda. Kalau ada patroli Belanda yang
lalu, maka mereka dengan mudahnya bersembunyi dibalik tanjung dan mulut-mulut
sungai, sehingga tidak nampak oleh Belanda. Melalui route yang sama pula mereka dapat
kembali ke Makasar dengan membawa muatan rempah-rempah.

Pertempuran Laut menurut gambar buku “Amboinse Oorlogen van A. de Vlaming van
Oudsboorn (Delft 1663), Livinus Bor.

Mendengar desas desus bahwa armada yang besar sedang dipersiapkan oleh
Makasar untuk mengepung dan menyerang Belanda di Ambon, maka De Vlaming yang
tidak cukup mempunyai kekuatan pasukan untuk menbendung invasi besar-besaran dari
Makasar itu, terpaksa dua kal harus pergi ke Batavia tetapi bala bantuan yang dapat
dibawanya ke Ambon sama sekali tidak memadai.
Ketika pada tahun 1652 De Vlaming tiba kembali di Ambon dari perjalanannya ke
Batavia pecah kabar bahwa armada Makasar sudah berada dalam pelayaran menuju
Ambon. De Vlaming mengambil langkah taktis untuk terlebih dahulu menghancurkan
pusat kekuatan rakyat di Hoamoal yaitu di Loki yang berada di sebelah timur Hoamoal.
De Vlaming yang baru sembuh dari sakit yang berat memimpin secara pribadi
penyerbuan ini. Pasukan Loki berada dibawah pimpinan Madjira dan Saidi.
Pasukan De Vlaming sudah mulai bergerak mendekati target pada jam 2 tengah
malam, pada harp minggu tanggal 30 Juni. Jadi serangan itu dilakukan dari semua arah,
juga dari arah gunung di belakang benteng rakyat yang sama sekali tidak diduga bahwa
serangan Belanda itu akan datang dari arah ini juga. Kurang dari satu jam Loki sudah
berhasil dikuasai. Madjira terperanggah karena tiba-tiba satu pasukan serdadu Belanda
menembakinya secara serentak dan ia rubuh ke tanah. Tetapi karena kekuatan magis yang
dimilikinya membuat tubuhnya kebal terhadap tembakan peluru. Maka ia keluar dari
insiden itu hanya dengan sedikit luka lecet. Bahkan Madjira dan Saidi berhasil
meloloskan diri dari pengepungan Belanda.
Segera De Vlaming menyeberang ke pantai barat Hoamoal untuk mengejar para
pemberontak disana. Dalam tempo 30 hari De Vlaming sudah menguasai seluruh
Hoamoal.
Tak lama kemudian armada Makasar tiba. Mereka berhasil menyusuri pulau-pulau
kecil dan menghindari patroli kapal-kapal Belanda di laut lepas. Mereka membuang sauh
di Assahudi, sebuah kubu di pantai barat Hoamoal. Kemudian di bagian pegunungan
mereka membangun sebuah benteng yang diperkuat oleh 300 orang serdadu Makasar dan
250 orang helayu. Meriam-meriam kapal dari armada De Vlaming menembaki benteng
ini tetapi tidak ada hasilnya. Sedangkan untuk sebuah penyerbuan langsung ke Benteng
itu De Vlaming tidak berani karena kekuatan pasukannya tidak cukup. Maka De Vlaming
memutuskan untuk pergi sekali lagi ke Batavia untuk meminta bantuan tambahan tenaga
pasukan dan peralatan perang. Sementara itu De Vlaming menempatkan orang-orangnya
di sebuah benteng kecil yang bernama “De Makasarse Brill” untuk mengamati dan
membendung gerakan-gerakan pasukan Makasar. Suatu keuntungan adalah bahwa
persediaan bahan pangan di Assahudi tidak mencukupi sehingga sering pasukan Makasar
berusaha menerobos barikade Belanda, tetapi selalu tanpa hasil. Ketika De Vlaming
kembali dari Batavia ia berusaha supaya pasukan Makasar mau kembali ke Makasar
dengan jalan damai, namun usaha ini sia-sia belaka. Maka sekali lagi bendera perang
dinaikan dan kali ini tidak akan ada ampun.

Penaklukan Ihamahu oleh Kompani, menurut gambar buku “Amboinse Oorlogen”, Livinus
Bors.

Sementara De Vlaming sedang pergi ke Batavia untuk mengambil tambahan


pasukan, pecah kabar bahwa armada Makassar yang kedua sedang dalam pelayaran
menuju Ambon. Dan kali ini kota Ambonlah yang akan diserang mereka. Maka
berdasarkan berita-berita itu dibuat kubu-kubu pertahanan utuk membendung kekuatan
lawan di sekitar kota Ambon, a.l. di Batu Merah. Bahkan blokade Belanda di Assahudi
harus ditarik kembali untuk memperkuat pertahanan di kota Ambon. Maka pasukan
Makasar di Assahudi bebas bergerak ke daerah-daerah yang kaya dengan hutan sagu (di
Hoamoal) untuk membangun pertahanan mereka di sana. Pertahanan itu diberi nama "La-
ala dan diduduki oleh 300 orang Makasar. Tetapi untung bagi Belanda karena orang--
orang Makasar itu tidak dapat mendesak masuk sampai ke Seram Besar. Karena jalan
menuju kesitu yaitu di Tanuno telah diblokir oleh De Vlaming dengan membangun 2
buah kubu pertahanan di sana. Pembangunan kedua kubu itu telah dilakukan sejak lama.
Kedua kubu yang dibangun dalam tempo hanya 2 minggu itu ternyata cukup tangguh
untuk membendung arus perjalanan pasukan Makasar.
Kali ini De Vlaming datang dari Batavia degan diperkuat suatu armada yang
terdiri dari 500 orang serdadu. De Vlaming berpendapat bahwa dengan kekuatan sebesar
ini barulah ia dapat bertindak dengan lebih balk. Sekarang harus dia putuskan apakah
benteng La-ala ataukah Assahudi yang harus diserang terlebih dahulu. Mayor Verheyden
ingin menyerang La-ala terlebih dahulu, tetapi De Vlaming menghendaki Assahudi
dihancurkan dulu baru menyerang La-ala. Tetapi ketika mereka belayar sampai di
Assahudi ternyata bahwa mereka belum mampu menggempur Assahudi, maka
penyerangah dialihkan ke pertahanan La-ala. Dengan kekuatan pasukan sebesar 150
orang serdadu mereka turun menyerang. Tak ada ampun yang d.iberikan, semua lawan
dibunuh. Tetapi ada juga yang berhasil melarikan diri.
Kini tinggal Assahudi, tetapi De Vlaming berpendapat bahwa kekuatan
pasukannya belum mencukupi. Untuk itu sekali lagi ia berlayar menuju Batavia untuk
meminta tambahan pasukan. Setelah 2 minggu berada di Batavia ia hanya mendapat
tambahan beberapa buah kapal dengan sedikit pasukan. Ternyata bahwa kompani tidak
dapat memberikan kekuatan pasukan yang lebih besar kepada De Vlaming.
Penaklukan Benteng Loki di Seram tanggal 27 September 1652

Armada ini berlayar menunju Assahudi. Dan pada tanggal 29 Juli 1655 diadakan
suatu kebaktian untuk memohon penyertaan Tuhan dalam menyelesaikan tugas yang
berat itu. Sebuah regu pemberani berjumlah kecil dibawah pimpinan Buytendijk,
ditugaskan memanjati tebing gunung yang berada di belakang pertahanan Assahudi pada
malan hari. Pada pagi hari jam 4, mereka meniup lagu kebangsaan Kerajaan Belanda
yaitu "Wilhelmus” dengan trompet sebagai tanda bahwa penyerbuan dimulai. Mendengar
kegaduhan ini rakyat di pertahanan Assahudi menjadi panik dan lari kucar-kacir. Pada
saat kepanikan ini sudah terjadi De Vlaming dengan pasukannya mendarat. Ketika
pendaratan dilakukan sekali lagi De Vlaming berlutut untuk berdoa meminta kekuatan
dari Tuhan bagi pasukannya. Pasukan rakyat yang panik dan tidak siap menghadapi
penyerbuan ini dengan mudah dapat dikalahkan. Di pihak Belanda hanya 2 orang serdadu
yang tewas dan beberapa orang terluka, tetapi di pihak pasukan rakyat banyak yang tewas
dan terluka, namun banyak yang berhasil melarikan diri.
Setelah Belanda berhasil menguasai kedua benteng ini maka praktis sudah tidak
ada hambatan lagi bagi kompani untuk menjalankan politik dagangnya. Setelah kedua
pertahanan itu jatuh masih ada beberapa insiden kecil lainnya yang terjadi, namun itu
dengan mudah dapat dipadamkan oleh De Vlaming.

24. EKONOMI CENGKIH TERPIMPIN


Apabila Rumphius berbicara (menulis) tentang De Vlaming, maka ia suka
membandingkan De Vlaming dengan “Hipocrates” seorang tabib berbangsa Grika.
Rumphius katakan bahwa Gubernur Demmer adalah bagaikan seorang ahli bedah telah
memotong bagian-bagian daging yang telah membusuk dari tubuh Ambon lalu
menyerahkannya kepada De Vlaming. Sebaliknya De Vlaming adalah bagaikan seorang
ahli bedah yang menangani bagian daging yang telah membusuk dan menjadi kanker
bukan dengan cara memotong dan membuang bagian-bagian yang busuk saja, tetapi ia
malah memotong seluruh anggota tubuh dan membuangnya. Itulah analogi karakter De
Vlaming seperti yang diumpamakan oleh Rumphius.
Memang benar bahwa tindakan De Vlaming itu terlampau kejam, namun melalui
kekejaman itu ia berhasil menciptakan suatu masa yang aman tenteram di Maluku.
Kemudian ternyata juga bahwa De Vlaming bukan saja merupakan serdadu yang ahli
strategi perang, tetapi ia juga telah memperlihatkan bahwa ia adalah seorang
administrator dan organisator yang ulung dalam masa-masa damai. Adalah De Vlaming
yang mampu menata perekonomian mengenai monopoli perdagangan Cengkih.
Ternate kini sudah tidak memiliki kekuasaan lagi atas daerah-daerah jajahannya di
Hoamoal maka praktis Belanda yang muncul setagai penguasa tunggal di daerah
Maluku Selatan ( Ambon, Lease dan Seram). Dengan

Kora-kora perang dalam penyerangan terhadap benteng La-ala oleh De Vlaming 20 September
1654.

Makasarpun sudah ada semacam persetujuan perdamaian. Setelah berhasil menumpas


pasukan Makasar di Ambon, maka De Vlaming bermaksud menyerang Makasar, tetapi
Batavia tidak sependapat. Maka niatnya itu diurungkan. Kompani mengadakan
persetujuan perdamaian dengan Sultan Goa, kemudian dari kedua belah pihak para
tawanan dibebaskan. Kepada orang-orang Makasar yang ditawan di benteng Victoria
diberikan kebebasan memilih antara pulang ke Makasar atau tinggal di Ambon. Banyak
juga diantara mereka yang memutuskan untuk tetap tinggal di Ambon. Mereka berdiam
di daerah Leitimor dan banyak dariantara mereka yang kemudian memeluk agama
Kristen. Contohnya pada tanggal 9 April 1656 ada 3S orang Makasar dibabtis menjadi
Kristen dimana De Vlaming dan para perwiranya menjadi saksi. Orang-orang Makasar
Kristen yang bekerja untuk kompani menerima upah sebesar 2 Rijksdaalder dan 40 pond
beras setiap bulan. Dan kepada mereka ditunjuk suatu lingkungan tertentu di kota Ambon
sebagai tempat tinggal mereka, yaitu di Ujung jalan Olifantstraat (Urimesing atau jalan
Batu Gajah). Sejak saat itu lingkungan itu bernama Kampung Makasar.
Dengan Ternate dan Tidore kompani mengadakan suatu kontrak persetujuan .
Yaitu bahwa seluruh pohon cengkih di kedua kerajaan itu harus ditebang dan Belanda
akan membayar ganti ruginya. Dengan demikian seluruh produksi cengkih dunia
dialihkan ke daerah Maluku Selatan yang dikuasai oleh Belanda.
Yang masih menjadi kendala bagi kompani hanyalah daerah Hoamoal dan Scram
Besar pada umumnya. Pasukan rakyat yang telah dihancurkan oleh De Vlaming masih
bertahan di Luhu. Walaupun kekuatan itu tidak berarti namun itu dapat menjadi duri
dalam daging bagi VOC. Lagipula kompani bermaksud menumpas seluruh perkebunan
cengkih yang ada di Hoamoal, sehingga konsentrasi produksi cengkih hanya ada di
Ambon dan Lease yang benar-benar berada dibawah kendali Kompani.
Sebagian rakyat Hoamoal yang masih patuh kepada Belanda ditransmigrasikan ke
Hitu. Katanya disini lebih aman bagi nereka. Yang tinggal kini hanyalah para pelarian
dan sisa-sisa pasukan yang sudah tidak memiliki kekuatan apa-apa lagi. Ruh-rurnah dan
kebun-kebun mereka sudah dihancurkan oleh BeLanda. Namun demikian De Vlaming
masih berbaik hati melalui cara memindahkan mereka ke Hitu. Tetapi mereka merasa
keberatan meninggalkan Hoamoal yang merupakan tanah leluhur mereka, lagipula Hitu
merasa keberatan menerima para transmigran dari Luhu itu.
Negeri-negeri di Maluku Selatan manurut lukisan Valentijn, “Oud en Niew Oost-Indie”.

De Vlaming mengetahui bahwa seandainya hal ini dibiarkan berlarut-larut maka


lama kelamaan mereka akan menanam lagi pohon-pohon cengkih di Hoamoal, padahal
De Vlaming sama sekali tidak menghendaki hal itu. Tujuan dia adalah menyatakan
Hoamoal sebagai daerah bebas cengkih. Maka De Vlaming mengeluarkan ancaman
bahwa siapa tidak bersedia bertransmigrasi ke Ambon akan dipancung kepalanya. Maka
terpaksa mereka setuju untuk diangkut ke pulau Ambon. Tetapi malang bagi mereka
karena dalam pelayaran menuju Ambon tiba-tiba datang angin badai dan menengge-
lamkan 5 buah kapal yang megangkut para transmigran itu. Banyak orang yang mati
tenggelam.
Setelah keberangkatan rombongan terakhir, maka gubuk-gubuk mereka
dihancurkan dan dibakar. Di Ambon para Orang Kaya ditempatkan dekat benteng di Batu
Merah sehingga gerak-gerik mereka selalu dapat diawasi oleh kompani. Orang-orang
kafir yang belum beragama ditempatkan di daerah orang Kristen, sedangkan yang
beragama Islam ditempatkan di Hitu.
Memang sulit diterima bahwa dengan mudah mereka dapat melupakan tanah
leluhur mereka di Hoamoal. Apalagi setiap hari mereka dapat melihat gunung-gunung di
Hoamoal di seberang laut dengan jelas. Memang pada tahun-tahun kemudian ada
permintaan mereka untuk dikembalikan ke daerah asal mereka. Namun Batavia tidak
pernah memberikan persetujuannya. Setelah puluhan tahun berlalu dan generasi sudah
berganti, maka mereka sudah merasakan diri seba gai orang Islam Hitu atau orang
Ambon Kristen.
Setelah Belanda menguasai sepenuhnya daerah Maluku Selatan, maka ia
bermaksud bersikap lunak terhadap para tawanannya. Antara lain tawanan-tawanan
perang Assahudi dikapalkan ke Batavia dan di sana mereka dibebaskan. Lalu pada tahun
1663 Spanyol menyerahkan seluruh bentengbenteng mereka yang ada di Ternate dan
Tidore. Sejak saat itu Belanda benar-benar menguasai seluruh daerah kepulauan
penghasil cengkih yang ada di dunia saat itu. Masalahnya sekarang adalah bagaimana
Belanda dapat mempertahankan keseimbangan produksi cengkih dan permintaan pasar.
Maka sering terjadi bahwa rakyat diperintahkan menanam sebanyak mungkin pohon
cengkih dan di waktu berikutnya rakyat diperintahkan menebang sebahagian besar
pohon-pohon cengkih itu. Problematika ini berlangsun terus sampai di abad berikutnya.
Disamping mengurus soal dagang De Vlaming juga menaruh perhatian yang besar
terhadap masalah pengembangan agama, pendidikan dan kesehatan rakyat. Pemujaan
terhadap arwah leluhur dan dewa-dewa serta patung-patung berhala sangat dilarang.
Kampung Kait, sebuah desa Kristen di daerah pegunungan pernah tertangkap basah
sedang memuja dan menyembah sebuah patung kayu besar yang bernama "Bulu Ulisa”.
Sebagai hukuman De Vlaming menurunkan semua pimpinan desa dari jabatan mereka,
patung itu dibakar dan pelaku-pelaku pemujaan dibuang ke Banda.
Akhirnya pada tanggal 23 mei 1656 De Vlaming digantikan oleh Gubernur Jacob
Hustaart sebagai Gubernur kelimabelas untuk Ambon. Tiba di batavia De Vlaming masih
turut serta dalam sebuah peperangan melawan Bantam. Dia juga diangkat sebagai
anggcta Raad van Jsutitie. Akhirnya pada tahun 1663 De Vlaming kembali ke negeri
Belanda dengan pangkat terakhir sebagai Admiraal. Laporan, data dan dokumen lain
tentang De Vlaming telah dikirim terlebih dahulu dengan kapal yang lain menuju negeri
Belanda oleh sekretarisnya yang bernama Bor. Bor inilah yang kemudian menulis buku
tentang Arnold De Vlaming van Oudshoorn dengan judul “Ambonsche Oorlogen”
(peperangan di Ambon). Buku tersebut diterbitkan pada tahun 1663. Dalam perjalanan
pulang itu De Vlaming disertai oleh Istri dan anak-anak (diantaranya ada anak kembar).
Kapal yang ditumpanginya bernama “Hof van Holland”. Dan akhirnya kehendak
Tuhan yang berlaku atas orang ini. Kapalnya diserang badai dahsyat di Madagaskar. Dan
de Vlaming serta seluruh keluarganya tenggelam kedasar laut pada tanggal 11 Februari
1662.
Ada ceritera yang menarik tentang kematian De Vlaming itu. Yaitu bahwa
Gubernur Jenderal Maetsuyker bermimpi bahwasampai 2 kali De Vlaming memanggil
namanya dan pada teriakan kedua dia melihat dengan jelas kapal De Vlaming tenggelam.
Maetsuyker terbangun dari mimpinya dan mencatat tanggal hari itu. Di kemudian hari
ternyata bahwa itu adalah benar tanggal tenggelamnya kapal yang ditumpangi De
Vlaming.

Anda mungkin juga menyukai