HI – CASE 1
ANEMIA
HEMOLITIK
FIRST SESSION
8.
Jelaskan
tentang
erythropoiesis
(red
cell
formation)
Produksi
RBC
diontrol
oleh
hormone,
terutama
erythropoietin
(EPO)
dari
ginjal.
Proses
dari
erythropoiesis
bertujuan
untuk
memproduksi
sel
tanpa
organel,
tetapi
dengan
Hb.
Precursor
eritrosit
pertama
adalah
proerythroblast
yang
memiliki
beberapa
organel
sitoplasmik
dan
tidak
memiliki
Hb.
Tahapan-‐tahapan
selanjutnya
dikarakteristik
dengan
tiga
sifat
utama:
♥ ukuran
sel
mengecil
serta
extrusi
nucleus
♥ hilangnya
organel
secara
progresif.
Adanya
beberapa
ribosom
pada
tahapan
awal
membuat
nucleus
jadi
basophilic.
Tetapi
lama
kelamaan
akan
pudar
seiring
dengan
berkurangnya
jumlah
ribosom.
♥ Peningkatan
Hb
sitoplasmik,
sehingga
membuat
sitoplasma
menjadi
eosinophilic
(pink).
9.
Jelaskan
fungsi
dari
eritrosit
dan
Hb.
« Fungsi
utama
RBC
à
mentrasnport
Hb,
yang
nantinya
juga
akan
membawa
oksigen
dari
paru
ke
jaringan.
Oleh
karena
itu,
agar
Hb
tetap
berada
di
sirkulasi
darah
manusia,
Hb
harus
tetap
ada
dalam
RBC.
«
RBC
mengandung
sejumlah
besar
carbonic
anhydrase
(enzim
yang
mengkatalisis
sejumlah
besar
reaksi
reversible
antara
CO2
dan
air
untuk
membentuk
asam
karbonat
(H2CO3))
yang
dapat
meningkatkan
kecepatan
reaksi
ini
beribu
kali
lipat
à
membuat
darah
dapat
mengangkut
sejumlah
besar
CO2
dalam
bentuk
ion
bikarbonat
(HCO3-‐)
dari
jaringan
ke
paru,
dimana
ion
tersebut
diubah
kembali
menjadi
CO2
dan
dikeluarkan
ke
atmosfer
sebagai
produk
limbah
tubuh.
« Hb
merupakan
dapar
asam-‐basa
yang
baik
(seperti
halnya
pada
kebanyakan
protein),
sehingga
sel
darah
merah
bertanggungjawab
untuk
sebagian
besar
daya
dapar
asam-‐basa
seluruh
darah.
10.
Jelaskan
tentang
produksi
RBC.
« dalam
minggu-‐minggu
pertama
kehidupan
embrio,
sel-‐sel
darah
merah
primitive
yang
berinti
diproduksi
di
yolk
sac.
« Selama
pertengahan
trimester
masa
gestasi,
hati
dianggap
sebagai
organ
utama
untuk
memproduksi
sel-‐sel
darah
merah,
tetapi
juga
ada
SDM
yang
diproduksi
cukup
banyak
oleh
limpa
dan
kelenjar
limfe.
« Lalu,
kira-‐kira
selama
bulan
terakhir
kehailan
dan
sesudah
lahir,
SDM
hny
diproduksi
di
sumsum
tulang.
« Pada
dasarnya,
sumsum
tulang
dari
semua
tulang
memproduksi
SDM
sampai
seseorang
berusia
5
tahun;
tetapi
sumsum
tulang
panjang,
kecuali
bagian
proximal
humerus
dan
tibia,
menjadi
snagat
berlemak
dan
tidak
memproduksi
SDM
setelah
berusia
krg
lebih
20
th.
setelah
usia
ini,
kebanyakan
SDM
diproduksi
dlm
sumsum
tulang
membranous,
seperti
vertebra,
sternum,
rusuk,
dan
ilium.
Bahkan
dalam
tulang-‐tulang
ini,
sumsum
tulang
menjadi
kurang
produktif
seiring
dengan
bertambahnya
usia.
11.
Jelaskan
tentang
regulasi
dari
produksi
SDM
-‐ pada
orang
normal,
total
volume
eritrosit
dalam
sirkulasi
berada
dalam
keadaan
konstan
karena
ada
pengaturan
dalam
sumsum
tulang
dalam
memproduksi
sel-‐sel
ini.
Fe,
asam
folat,
dan
vitamin
B12
harus
ada
agar
eritrosit
dapat
diproduksi
secara
normal.
Namun,
tidak
ada
satupun
dari
substansi
tersebut
yang
dapat
mengkonstitusi
signal
yang
meregulasi
kecepatan
produksi.
-‐ Pengaturan
langsung
produksi
eritrosit
(erythropoiesis)
dijalankan
terutama
oleh
hormone
erythropoietin,
yang
disekresi
ke
dalam
darah
oleh
golongan
jaringan
ikat
pensekresi
hormone
dalam
ginjal
(liver
juga
mensekresi
hormone
ini,
tetapi
dalam
jumlah
yang
lebih
sedikit).
Erythropoietin
bekerja
pada
sumsum
tulang
untuk
menstimulasi
proliferasi
sel
progenitor
eritrosit
dan
diferensiasi
eritrosit
untuk
menjadi
matur.
-‐ Testosterone,
hormone
sex
pria,
juga
menstimulasi
pelepasan
erythropoietin.
Hal
ini
menyebabkan
kadar
Hct
pria
lebih
tinggi
dari
wanita
-‐ Ketika
kita
menempatkan
seekor
hewan
atau
seseorang
dalam
kadar
oksigen
ynag
rendah,
eritropoietin
akan
memulai
dibentuk
dalam
beberapa
menit
sampai
beberapa
jam,
dan
produksinya
mencapai
maksimum
dalam
24
jam.
Namun,
hampir
tidak
dijumpai
adanya
SDM
baru
dalam
sirkulasi
sampai
5
hari
kemudian.
Berdasarkan
fakta
ini,
dan
juga
penelitian
lain,
sudah
dapat
ditentukan
bahwa
pengaruh
utama
eritropoietin
adalah
merangsang
produksi
proeritroblast
dari
sel
punca
hematopoietic
di
sumsum
tulang.
Selain
itu,
proeritroblas
terbentuk,
maka
eritropoietin
juga
menyebabkan
sel-‐sel
ini
dengan
cepat
melalui
berbagai
tahap
eritroblastik
ketimbang
pada
keadaan
normal.
Hal
tsb
akan
lebih
mempercepat
produksi
SDM
yang
baru.
Cepatnya
produksi
sel
ini
terus
berlangsung
selama
oragn
tsb
ttp
dalam
keadaan
oksigen
rendah,
atau
sampai
jumlah
SDM
yg
telah
terbentuk
cukup
utk
mengangkut
oksigen
dalam
jumlah
yg
memadahi
ke
jaringan
walaupun
kadar
oksigennya
tetap
rendah;
pada
saat
ini,
kecepatan
produksi
eritropoiein
menurun
sampai
kadar
tertentu
yang
akan
mempertahankan
jumlah
sel
darah
merah
yang
dibutuhkan,
namun
tidak
sampai
berlebihan.
-‐ Bila
tidak
ada
eritropoietin,
sumsum
tulang
hanya
membentuk
sedikit
sel
darah
merah.
Pada
keadaan
lain
yang
ekstrem,
bila
jumlah
eritropoiein
yang
terbantuk
sangat
banyak,
dan
juga
tersedia
sejumlah
besar
zat
besi
dan
zat
nutrisi
lainnya
yang
diperlukan,
maka
kecepatan
produksi
SDM
dpt
meningkat
sampai
sepuluh
kalilipat
atau
lebih
dibandingkan
kedaan
normal.
Oleh
karena
itu,
mekanisme
eritropoietin
dalam
pengaturan
produksi
sel
darah
merah
merupakan
suatu
mekanisme
yang
kuat.
12.
Jelaskan
tentang
efek
anemia
tehadap
fungsi
dari
sistem
sirkulasi.
-‐ Viskositas
darah
bergantung
terutama
pada
konsentrasi
sel
darah
merah.
Pada
anemia
berat,
viskositas
darah
dapat
turun
hingga
1,5
kali
viskositas
air,
padahal
normalnya
kira-‐kira
3x
viskositas
air.
Keadaan
ini
akan
mengurangi
tahanan
terhadap
aliran
darah
dalam
pembuluh
darah
perifer,
sehingga
jumlah
darah
yang
mengalir
melalui
jaringan
dan
kemudian
kembali
ke
jantung
jauh
melebihi
normal.
Hal
tersebut
akan
sangat
meningkatkan
curah
jantung.
-‐ Peningkatan
curah
jantung
pada
anemia
secara
parsial
mengimbangi
efek2
pengurangkan
hantaran
oksigen
akibat
anemia,
karena
walaupun
tiap
uni
jumlah
darah
hanya
mengangkut
sejumlah
kecil
oksigen,
namun
kecepatan
aliran
darah
dapat
cukup
meningkat,
sehingga
jumlah
oksigen
yang
dialirkan
ke
jaringan
sebenarnya
hampir
mendekati
normal.
Namun,
bila
pasien
anemia
mulai
berolahragam
jantung
tidak
mampu
memompa
jumlah
darah
lebih
banyak
daripada
jumlah
yang
dipompa
sebelumnya.
Akibatnya,
selama
berolahraga,
saat
terjadi
peningkatan
kebutuhan
jaringan
akan
oksigen,
dapat
timbul
hipoksia
jaringan
yang
serius
dan
dapat
terjadi
gagal
jantung
akut.
13.
Jelaskan
tentang
protein
pada
membrane
sel
darah
merah
(Harper
2003)
14.
Jelaskan
representasi
diagramatik
antara
interaksi
protein
sitoskeletal
dengan
protein
integral
tertentu
dari
membrane
sel
darah
merah.
15.
Jelaskan
protein
integral
utama
pada
membrane
SDM
(anion
exchange
protein
and
glycophorins)
Protein
penukar
anion
(anion
exchange
protein)
merupakan
suatu
glikoprotein
transmembran,
dengan
ujung
terminal
karboksilnya
pada
permukaan
eksternal
membrane
dan
ujung
terminal
aminonya
pada
permukaan
sitoplasma.
Protein
ini
merupakan
contoh
protein
membrane
multipass
yang
menembus
lapisan-‐ganda
sedikitnya
sepuluh
kali,
dan
mungkin
berada
dalam
bentuk
dimer
di
membrane
tersebut.
Disana,
protein
ini
membentuk
saluran
yang
memungkinkan
pertukaran
bikarbonat
dengan
klorida.
Karbondioksida
yang
terbentuk
di
jaringan
memasuki
sel
darah
merah
sebagai
bikarbonat
yang
akan
dipertukarkan
dengan
klorida
di
paru,
tempat
karbondioksida
diembuskan
keluar.
Ujung
terminal
amino
mengikat
banyak
protein,
termasuk
Hb,
protein
4.1
dan
4.1,
ankirin,
dan
beberapa
enzim
glikolitik.
Glycophorin
A,
B,
C
juga
merupakan
glikoprotein
transmembran
tipe
single-‐pass
yang
menembus
membrane
hanya
satu
kali.
Glikoforin
A
adalah
tipe
utama,
terbentuk
dari
131
asam
amino
dan
mengalami
banyak
glikosilasi
(sekitar
60%
massanya).
Ujung
terminal
aminonya,
yang
mengandung
16
rantai
oligosakarida
(15
diantaranya
adalah
O-‐glikan),
menonjol
keluar
dari
permukaan
SDM.
Sekitar
90%
asam
sialat
pada
membran
sel
dara
merah
terletak
di
protein
ini.
Segmen
transmembrannya
(23
asam
amino)
berbentuk
alfa-‐heliks.
Ujung
terminal
karboksilnya
memanjang
ke
dalam
sitosol
dan
mengikat
protein
4.1,
yang
kemudian
mengikat
spektrin.
Polimorfisme
protein
ini
adalah
dasar
bagi
sistem
penggolongan
darah
MN.
Glikoforin
A
mengandung
berbagai
situs
pengikat
virus
influenza
dan
P.
falciparum,
penyebab
salah
satu
tipe
malaria.
Hal
yang
menarik
adalah
bahwa
fungsi
SDM
orang
yang
tidak
punya
glikoforin
A
tampaknya
tidak
terpengaruh.
16.
Jelaskan
protein
yang
menentukan
bentuk
dan
kelenturan
SDM
SDM
harus
mampu
melewati
bagian2
yang
sempit
dari
mikrosirkulasi
dalam
perjalannya
mengelilingi
tubuh,
terutama
saat
melewati
sinusoid
limpa.
Agar
sel
darah
merah
mudah
mengalai
deformasi
secara
reversible,
membrannya
harus
cair
dan
lentur;
membran
ini
juga
harus
tetap
dapat
mempertahankan
bentuk
bikonkaf
karena
bentuk
ini
mempermudah
pertukaran
gas.
Berbagai
lipid
membran
membantu
menentukan
fluiditas
membran
tersebut.
Terdapat
sejumlah
protein
sitoskeleton
perifer
yang
melekat
pada
bagian
membran
sel
darah
merah
dan
berperan
penting
dalam
mempertahankan
bentuk
dan
kelenturannya;
Spektrin,
merupakan
protein
utama
sitoskeleton.
Protein
ini
terdiri
dari
dua
polipeptida:
spektrin
1
(rantai
alfa)
dan
spektrin
2
(rantai
beta).
Kedua
rantai
yang
berukuran
panjang
sekitar
10
nm
dan
tersusun
secara
antiparallel
serta
berjalinan
secara
longgar
ini
membentuk
kumparan2
alfa-‐heliks
untai-‐triplet
yang
disatukan
oleh
segmen2
nonheliks.
Satu
dimer
berinteraksi
dengan
dimer
lain,
yang
membentuk
tetramer
pangkal-‐kepangkal.
Bentuk
keseluruhan
ini
akan
menghasilkan
fleksibilitas
bagi
protein
yang
pada
gilirannya
akan
mempengaruhi
membran
sel
darah
merah.
Di
spektrin,
terdapat
sedikitnya
empat
tempat
pengikatan:
(1)
untuk
penyusunan
diri
sendiri,
(2)
untuk
ankirin
(pita
2.1
dan
seterusnya),
(3)
untuk
aktin
(pita
5),
dan
(4)
untuk
protein
4.1.
Ankirin
adalah
suatu
protein
berbentuk
pyramid
yang
mengikat
spektrin.
Ankirin
kemudian
berikatan
erat
dengan
pita
3
yang
memperkuat
perlekatan
spektrin
pada
membran.
Ankirin
peka
terhadap
proteolysis,
yang
menjadi
penyebab
munculnya
pita
2.2,
2.3,
dan
2.6,
yang
kesemuanya
merupakan
turunan
pita
2.1.
Aktin,
(pita
5),terdapat
di
sel
darah
merah
sebagai
filament
pendek
heliks
ganda
F-‐aktin.
Ekor
dimer
spektrin
berikatan
dengan
aktin.
Aktin
juga
berikatan
dengan
protein
4.1.
Protein
4.1,
adalah
suatu
protein
globular
yang
berikatan
erat
dengan
ekor
spektrin
di
tempat
yang
dekat
dengan
lokasi
terkaitnya
aktin;
karena
itu,
protein
ini
adalah
bagian
dari
kompleks
tripel
protein
4.1
spektrin-‐aktin.
Protein
4.1
juga
berikatan
dengan
protein
integral,
glikoforin
A,
dan
C,
sehingga
melekatkan
kompleks
tripel
pada
membran.
Selain
itu,
protein
4.1
dapat
berinteraksi
dengan
fosfolipid
membran
tertentu
sehingga
lapisan-‐ganda
lipid
terhubung
dengan
sitoskeleton.
Protein
tertentu
lainnya
(4.9
adducin
dan
tropomyosin)
juga
berpartisipasi
dalam
pembentukan
sitoskeleton.
SECOND
SESSION
Siklus
parasite
malaria
melibatkan
dua
inang.
Ketika
akan
menghisap
darah,
Anopheles
betina
infektif
akan
menginokulasi
sporozoit
ke
manusia.
1. Sporozoit
menginfeksi
sel
liver
dan
2. Berkembang
menjadi
schizonts.
3. Rupture
dan
mengeluarkan
merozoites
4. (sebagai
catatan,
pada
P.
vivax
dan
P.
ovale,
stadium
dormant
[hypnozoites]
bisa
tetap
berada
di
liver
dan
menyebabkan
relapse
dengan
menginvasi
sirkulasi
darah
beberapa
minggu
bahkan
tahunan
kemudian).
Setelah
replikasi
di
liver
(exo-‐erythrocytic
schizogony
[A]),
parasite
mengalami
multiplikasi
aseksual
dalam
eritrosit
(erythrocytic
schozogony
[B]).
Merozoites
meginfeksi
RBC.
5. Pada
stadium
ring,
tropozhoites
matur
menjadai
schizonts,
yang
rupture
dan
melepaskan
merozoites.
6. Beberapa
parasite
berdiferensiasi
menuju
stadium
eritrositik
(gametosit)
7. Parasite
stadium
darah
bertanggungjawab
atas
manifestasi
klinis
dari
penyakit.
Gametosit
jantan
(microgametocyte)
dan
betina
(microgametocyte),
ditelan
oleh
nyamuk
Anopheles
ketika
menghisap
darah.
8. Multiplikasi
parasite
pada
nyamuk
dikenal
sebagai
sporogonic
cycle.
[C]
dalam
perut
nyamuk,
microgamete
penetrasi
ke
zygote.
9. Zygote
menjadi
motile
dan
memanjang
(ookinetes).
10. Menginfeksi
midgut
nyamuk
dan
berkembang
menjad
oocyst.
11. Oocyte
tumbuh,
rupture,
menghasilkan
sporozoites.
12. Sporosit
menuju
ke
kelenjar
saliva
nyamuk.
Sehingga
dapat
diinokulasikan
ke
manusia.
5.
Diagnosis
Plasmodium
Plasmodium
Plasmodium
Plasmodium
vivax
Plasmodium
ovale
malariae
falciparum
Durasi
dari
48
jam
72
jam
49
–
50
jam
36
–
48
jam
Schizogony
Ameboid
aktif
Trophozoite
sedikit
Trophozoite
sedikit
Trophozoite
Motilitas
sampai
pertengahan
ameboid
ameboid
ameboid
aktif
pertumbuhan
Kuning-‐kecoklatan,
Coklat
tua-‐hitam,
Coklat
tua,
granul
Coklat
tua
granul
Pigmen
granula
halus
granul
kasar
kasar
kasar.
Tahap
yang
Trophozoid,
Thropozoites,
Tropozoid,
schizont,
Trophozoites,
ditemukan
dalam
schozont,
skizont,
gametocytes
gametocyte
gametocytes
darah
tepi
gametocyte
Multiple
infection
Umum
Sangat
jarang
Jarang
Sangat
umum
pada
eritrosit
Agak
sedikit
Ukuran
normal;
Bentuk
paada
Membesar,
pucat,
Tidak
membesar;
membesar;
bentuk
warna
kehijauan;
eritrosit
yang
dengan
Scuffner’s
normal
dengan
oval
irregular,
basophilic;
ada
terinfeksi
dot.
Ziemann’s
dots
dengan
Schuffner
Maurer’s
dots
dots
Sangat
kecil
dengan
Ameboid;
kecil
Kecil,
cincin
besar.
cincin
besar,
dengan
cincin
besar
Ameboid;
cincin
kecil
Thropozoites
(ring
Ada
satu
chromatin
bervakuola.
dan
bervakuola.
dan
besar
dengan
form)
dot;
bentuk
young
Umumnya
punya
dua
Biasanya
ada
satu
vakuola
band
form
chromatin
dots;
chromatn
dot.
ameboid.
Skizont
hampir
Hampir
memenuhi
¾
RBC
membesar,
12
–
memenuhi
RBC;
6
–
RBC;
ada
6-‐12
24
merozoties
yang
Biasanya
tdk
terlihat
Segmen
skizont
12
merozoites
merozoites
yang
tersusum
irregular
dlm
darah
perifer
tersusun
teratur
terlentak
sentris
dalam
pigmen
disekeliling
pigmen
atau
eksentris
Berbentuk
seperti
Bulat;
memenuhi
Bulat,
memeuhi
RBC;
Bulat;
memeuhi
¾
ginjal
(crescentric)
;
RBC;
chromatin
tidak
kromatin
tidak
dari
RBC;
kromatin
Gametocytes
kromatin
tidak
terdistribusi
dalam
terdistribusi
dalam
tidak
terdistribusi
terdistribusi
dalam
sitoplasma.
sitoplasma
dalam
stoplasma.
sitoplasma.
6.
Mekanisme
anemia
pada
malaria
Infeksi
P.
falciparum
à
erythrocyte
stage
(parasite
intraselular
mensekresi
protein
untuk
remodeling
eritrosit)
à
sequestration
pada
lien
à
eritrosit
rupture
(Hemolisis)
(anemia,
jaundice).
7.
Laboratory
examination
untuk
menentukan
anemia
karena
malaria
Diagnosis
laboratorium
dari
malaria
bisa
dibuat
dari
pemeriksaan
mikroskopis
tetes
darah
tipis
maupun
tebal.
Tetes
darah
tebal
lebih
sensitive
dalam
mendeteksi
parasite
malaria
karena
darah
lebih
terkonsentrasi
dan
volume
darah
yang
diperiksa
juga
lebih
banyak.
Tetes
darah
tipis
ditujukan
untuk
identifikasi
dan
kuantifikasi.
Tidak
adanya
parasite
menandakan
diagnosis
malaria
yang
negatif.
Namun,
karena
sebagian
individu
ada
yang
non-‐imun,
maka
parasite
tidak
terkonsentrasi
dengan
baik.
Oleh
karena
itu,
pemeriksaan
darah
harus
diulang
12-‐24
jam
sekali
sebanyak
tiga
set.
Jika
tiga-‐tiganya
negatif,
maka
orang
tersebut
tidak
terkena
malaria.
Setelah
parasite
malaria
di
deteksi
dengan
hapusan
darah,
maka
banyaknya
parasite
harus
dapat
diperkirakan.
Banyaknya
parasite
dapat
dilihat
dari
RBC
yang
diamati
dengan
oil
imersi
pada
perbesaran
100x.
Lapangan
pandang
harus
mengandung
kurang
lebih
400
RBC.
Kepadatan
parasite
bisa
diestimasi
dari
RBC
yang
terinfeksi,
setelah
menghitung
500-‐2000
RBC.
Selain
pemeriksaan
mikroskopis,
diagnosis
laborartorium
juga
dapat
digunakan.
Beberapa
pemeriksaan
antigen
menggunakan
‘dipstick’.
Rapid
Diagnostic
Test
(RDT)
lebih
tepat
dalam
menentukan
apakah
pasien
terkena
malaria
atau
tidak,
tetapi
tidak
dapat
digunakan
untuk
mendeteksi
parasitemia.
Hapusan
darah
tebal
dan
tipis
digunakan
untuk
menemukan
plasmodium
dalam
darah,
spesies
serta
stadium
plasmodium,
dan
juga
kepadatan
parasite:
8. Diagnosis
Anemia
CBC
komplit
diperlukan
sebagai
bagian
dari
evaluasi
dan
didalamnya
termasuk
penghitungan
Hb,
Hct,
indeks
eritrosit,
MCV
dlm
femtoliter,
MCH
dlm
pg/cell,
MCHC
dlm
g/dl,
serta
leukosit.
Penghitungan
retikulosit
merupakan
kunci
utama
untuk
mengklasifikasikan
anemia.
Secara
normal,
retikulosit
merupakan
sel
darah
merah
yang
baru
dilepas
dari
sumsum
tulang.
Mereka
dapat
diidentifikasi
dengan
menggunakan
pewarnaan
yang
memperlihatkan
RNA
ribosomal
yang
tampak
sebagai
bintik2
hitam.
Residual
RNA
ini
dimetabolisme
dalam
24-‐36
jam
pertama
hidup
retikulosit
dalam
sirkulasi.
Secara
normal,
penghitungan
retikulosit
berkisar
antara
1-‐2%.
Penghitungan
retikulosit
memberikan
perkiraan
produksi
RBC.
Reticulocyte
index
RI
=
Reticulocyte
%
x
Hct/45
x
1/maturation
time
Hct
25
or
less,
maturation
time
½
.
Reticulocyte
meningkat
karena
hemolysis
atau
kehilangan
darah.
9.
Confirm
diagnosis
Hemolytic
anemia
paracytes
(reticulocytosis,
schistocytes)
10.
Klasifikasi
anemia
hemolitik
11.
Penyebab
Acquired
Hemolytic
Anemia
a. entrapment
b. immune
-‐ warm
reactive
(IgG)
antibody
-‐ cold
reactive
IgM
antibody
-‐ Cold
reactive
IgG
antibody
-‐ Drug
dependent
antibody=
autoimmune;
haptene.
c. traumatic
hemolytic
anemia
-‐ impact
hemolysis
-‐ macrovascular
defect
-‐ microvascular
o hemolytic
uremic
syndrome
o penyebab
lain
darimicrovascular
abnormalities
o disseminated
intravascular
hemolysis
d. hemolytic
anemia
karena
efek
toxin
pada
membran
-‐ spur
cell
anemia
-‐ external
toxins:
o gigitan
binatang
o besi
o komponen
organic.
e. paroxysmal
nocturnal
hemoglobinuria
12.
Patofisiologi
dari
hemolytic
anemia.
Hemolytic
Anemias
-‐ eritrosit
bisa
menempuh
masa
hidup
normal
dengan
fleksibilitasnya,
kemampuan
melawan
tekanan
osmotic
dan
mekanik,
potensial
reduktif,
serta
suplai
energy
yang
normal.
Kekurangan
salah
satu
propertinya
akan
mengurangi
lfespannya
(dalam
beberapa
kasus
hanya
bertahan
selama
beberapa
hari
[corpuscular
hemolytic
anemia]).
-‐ Tetapi,
ada
juga
banyak
hal
lain
yang
memperpendek
umur
eritrosit
(extracorpuscular
hemolytic
anemia).
Ciri
umumnya
adalah
peningkatan
konsentrasi
erythropoietin,
yang
memberi
stimulasi
kompensasi
dari
erythropoiesis.
-‐ Penyebab
corpuscular
hemolytic
anemia
biasanya
disebabkan
oleh
kelainan
genetic:
o Salah
satu
penyakit
turunannya
dalah
hereditary
spherocytosis
(Spherocyte
anemia).
Ini
disebabkan
oleh
abnormalitas
fungsional
(defective
ankyrin)
atau
defisiensi
spectrin,
yang
sebagai
konstituen
cytoskeleton,
ia
berfungsi
untuk
stabilitas.
Volume
spherocytes
normal,
tetapi
kurangnya
volume
di
sitoskeleton
menyebabkan
eritrosit
menjadi
sferis.
Ketahanan
osmotiknya
pun
jadi
berkurang
sehingga
akan
hemolysis
ketika
berada
di
medium
hipotonis.
Karena
eritrosit
imatur
bersegregasi
ke
lien,
maka
splenectomy
dianggap
efektif.
Kelainan
enzim
mengganggu
metabolism
glukosa
pada
SDM:
1)
jika
pyruvate
kinase
ikut
terganggu,
suplai
ATP
terhadap
Na-‐K-‐ATPase
berhenti,
sehingga
sel
membengkak,
rentan,
dan
hemolysis;
2)
gangguan
glucose-‐6-‐phosphat
dehydrogenase
(gluc-‐6-‐PDH)
memperlambat
siklus
pentose
phosphate,
sehingga
glutathione
teroksidasi
(GSSG)
yang
dibentuk
dibawah
stress
oksidatif
tidak
bisa
mengubah
GSSG
menjadi
bentuk
tereduksi
(GSH).
Akibatnya,
gugus
SH
dari
enzim
dan
membran
protein
dan
juga
fosfolpid
tidak
terproteksi
secara
efisien
dari
oksdasi
sehingga
mengakibatkan
hemolysis
premature.
Memakan
horsebeans
atau
obat-‐
obatan
tertentu
(spt
primaquin
atau
sulfonamides)
meningkatkan
stress
oksidative
sehingga
memperburuk
suasana;
3)
kelaninan
hexokinase
mengakbatkan
defisiensi
baik
ATP
dan
GSH.
Sickle
cell
anemia
dan
thalassemia
juga
memiliki
komponen
hemolitik.
Pada
(acquired)
paroxysmal
nocturnal
hemoglobinuria
(PNH)
beberapa
dari
eritrosit
(yang
diambil
dari
stem
cell
yang
dimutasi
secara
somatic)
mengalami
peningkatan
sensitivitas
komplemen.
Hal
ini
didasari
oleh
kelainan
dari
beberapa
protein
membran
yang
terlibat
dalam
meregulasi
sistem
komplemen
(terutama
decay
accelerating
factor
[DAF]).
Aktivasi
komplemen
kemudian
memicu
perforasi
dari
membran
eritrosit.
Masih
belum
jelas
mengapa
hal
ini
terjadi
saat
kita
tidur.
-‐
Beberapa
contoh
dari
penyebab
extracorpuscular
hemolytic
anemia:
o Penyebab
mekanis,
seperti
kerusakan
eritrosit
karena
bertumbukan
dengan
katup
jantung
atau
vascular
prostheses,
terutama
ketika
CO
meningkat.
o Penyebab
immunologis,
contohnya,
pada
golongan
darah
ABO
ketika
ada
kesalahan
transfuse
darah
atau
inkompatibilitas
Rhesus
antara
ibu
dan
anak.
o Toxin,
contohnya,
berbagi
racun
ular.
-‐ Pada
hampir
semua
anemia
hemolitik,
eritrosit
akan
di
fagositosis
dan
‘dicerna’
di
sumsum
tulang,
lien,
dan
liver
(extravascular
hemolysis),
dan
Fe
di
gunakan
kembali.
Sejumlah
kecil
Hb
yang
dilepas
secara
intravascular
berikatan
dengan
haptoglobin.
-‐ Pada
intravascular
hemolysis
akut,
haptoglobin
terdapat
dalam
jumlah
yang
banyak
dan
Hb
di
filtrasi
dalam
ginjal.
Hal
ini
mengakibatkan
bukan
hanya
hemoglobinuria
saja,
tetapi
juga
akan
mengakibatkan
acute
renal
failure.
-‐ Hemoglobinuria
kronis
juga
mengakibatkan
anemia
defisiensi
besi,
peningkatan
CO
sehingga
menyebabkan
hemolysis
mekanis
yg
membuat
siklus
tertentu,
serta
fragmen
eritrositik
yang
memproduksi
intravascular
hemolysis
juga
mungkin
akan
terjadi
dan
menyebabkan
thrombi
dan
emboli
yang
berakibat
ischemia
pada
otak,
otot
jantung,
ginjal,
dan
organ
lain.
THIRD
SESSION
1. Jelaskan
tentang
pengobatan
untuk
pasien
ini
(Anemia
karena
Malaria
falciparum)
Pengobatan
anemia
à
mengobati
penyebab
dasar
dari
anemia.
Pengobatan
anemia
harus
didasari
oleh
tiga
poin
penting:
-‐ Spesies
plasmodium
yang
menginfeksi
-‐ Status
klinis
pasien
-‐ Kerentanan
obat
terhadap
parasite
yang
menginfeksi
yang
ditentukan
oleh
area
geografis
tempat
terjadiya
infeksi
serta
obat
antimalarial
terdahulu.
Pengobatan
Malaria
Falciparum
tanpa
komplikasi.
Pengobatan
utama:
Artesunat
+
Amodiakuin
+
Primakuin
(Artemisin
combination
treatment)
Artesunat
4
mg/kgBW
Amodiakuin
10
mg/kgBW
Primakuin
0.75
mg/kgBW
2. Farmakologi
dari
Artemisin
Artemisin
(artesunate)
merpakan
skizontisida
darah
yang
bekerja
dengan
cepat.
Ia
memproduksi
radikal
bebas
ketika
pembelahannya
dipicu
oleh
besi
dari
endoperoksida
berikatan
dengan
vakuol
makanan
parasite.
Obat
ini
diberikan
secara
oral
maupun
parenteral.
Waktu
paruh
1-‐3
jam,
sifatnya
water
soluble,
dan
dapat
menyebabkan
nausea
dan
muntah.
Artemisin-‐based
combination
therapy
telah
direkomendasi
oleh
WHO
sebagai
first-‐line
treatment
untuk
menangani
P.falciparum
malaria
yang
tidak
berkomplikasi.