Disusun Oleh :
Nurus Shofia Irmana
(12.2018.1.00370)
Apabila Indonesia bisa bertransisi dari system energi fosil ke system berbasis
energi terbarukan, maka ditahun 2050 Indonesia bisa mencapai emisi 0 lebih cepat
dari tahun 2050 secara teknis dan ekonomis berdasarkan hasil riset IESR. Komitmen
Indonesia yang tidak sejalan dengan Paris Agreement dengan tidak meningkatkan
target mitigasi dalam pembaruan Nationally Determined Contribution (NDC) dan
hanya menargetkan netralitas karbon pada 2060 dalam dokumen Long Term Strategy
for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR), diprediksi merugikan
lingkungan dan perekonomian Indonesia di masa yang akan datang. Indonesia
termasuk dalam 20 besar negara yang paling parah terkena dampak perubahan iklim
berupa cuaca ekstrim. Selain itu, tren perdagangan global mengedepankan aspek
hijau dari produk manufaktur mereka. Oleh karena itu, industri Indonesia harus
bersaing lebih keras dengan negara-negara lain di dunia yang telah mengembangkan
teknologi energi terbarukan dan berbagai kebijakan untuk mengurangi emisi karbon
paling lambat pada tahun 2050. Transisi energi merupakan langkah yang tepat untuk
mengatasi kenaikan suhu bumi dan menjaga Indonesia tetap kompetitif dalam
perdagangan global, namun perlu dukungan sosial politik yang jelas dan tepat untuk
mengawasi proses transisi energi. Hal itu diungkapkan Prof Dr Kuntoro
Mangkusubroto, Ketua Dewan Penasehat Indonesia Clean Energy Forum (ICEF),
pada pembukaan tahunan Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021 yang
diselenggarakan oleh ICEF dan Institute for Essential Services Reform. (IESR).
Gambar skema riset apabila Indonesia bebas emisi karbon di tahun 2050
Di dalam RUEN sendiri, terdapat potensi EBT yang cukup banyak, akan
tetapi hingga tahun 2020 kapasitas terpasang dari pembangkit listrik tenaga energi
terbarukan ini masih belum mencapai separuh dari apa yang tertera di RUEN. Namun
energi surya pada riset yang berjudul “Beyond 207 Gigawatts : Accelerating solar
development in Indonesia” potensi energi surya terhitung lebih besar 37kali daripada
potensi energi surya yang tertera di RUEN. Dan potensi yang besar ini dapat dicapai
hanya dengan menggunakan 24% dari total lahan nasional yang tersedia. Melihat
perlunya pembaruan potensi teknis tenaga surya di Indonesia, Institute for Essential
Services Reform (IESR) dengan dukungan teknis dari Global Environmental Institute
(GEI) menyelenggarakan sistem informasi geografis (GIS-based) solar photovoltaic
(berbasis GIS) secara nasional. PV) penilaian potensi teknis di dalam negeri.
Perkiraan potensi teknis mewakili potensi pembangkit listrik yang dapat dicapai
(terawatt-jam), termasuk potensi kapasitasnya (puncak gigawatt) dan luas lahan yang
sesuai (kilometer persegi), mengingat kendala topografi (geografis) dan penggunaan
lahan serta kinerja sistem PV. Potensi teknis berbeda dari potensi ekonomi atau pasar,
karena tidak mempertimbangkan biaya yang diproyeksikan dan batasan kebijakan dan
peraturan (selain yang terkait dengan penggunaan lahan), dan dengan demikian, tidak
mewakili tingkat pembangkitan yang mungkin benar-benar digunakan , melainkan
perkiraan batas atas potensi pengembangan. Dengan menggunakan data GIS yang
tersedia untuk umum, laporan ini mencakup hasil analisis spasial Indonesia tingkat
nasional dan provinsi dan berfokus pada aplikasi PV surya skala besar (skala utilitas)
yang dipasang di tanah. Analisis laporan ini merupakan langkah awal dari
serangkaian kegiatan untuk menilai potensi proyek PLTS di Indonesia dan
memberikan gambaran tentang potensi tenaga surya nasional sebelum memperbesar
potensi daerah. Estimasi potensi teknis dimulai dengan terlebih dahulu menilai daerah
dan medan yang cocok untuk pengembangan PLTS. Kemudian, dengan
mempertimbangkan potensi sumber daya surya di daerah tersebut dan mengambil
beberapa asumsi khusus teknologi, potensi teknis dapat dihitung. Beberapa kendala
untuk menentukan daerah yang sesuai termasuk fitur medan tertentu (misalnya,
kemiringan tanah), kawasan lindung, pembatasan penggunaan lahan, badan air, dan
lain-lain.
Adapun hasil riset dari IESR menunjukkan bahwa potensi teknis PLTS
Indonesia berkisar antara 16 hingga 95x lebih besar dibandingkan dengan perkiraan
nasional saat ini oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yaitu
207 GW. Seperti pada tabel dibawah ini :
1. Peta tutupan lahan dari KLHK beresolusi 125 meter atau 1:250.000
2. Peta jalur transportasi, badan air, jalur listrik, bandara, dan Pelabuhan dari
open street map
3. Peta digital elevation map beresolusi 125 meter.
Adapun langkah-langkah untuk menentukan lokasi pembuatan pembangkit listrik
tenaga enenrgi terbarukan adalah sebagai berikut :
1. Mengecualikan area-area utama seperti area lindung yang didasarkan dari
UNEP-WCMC (2019), hutan , bandara, Pelabuhan, badan air, (hanya untyuk
potensi surya dan angin) serta jalan.
2. Mempertimbangkan tutupan lahan tertentu untuk potensi ET seperti: atap
perumahan untuk perhitungan potensi solar photovoltaic (PV), lahan pertanian
dan perkebunan untuk perhitungan potensi biomassa, sungai untuk
perhitungan potensi air dan PHES, dan juga dam untuk perhitungan potensi
Floating Photovoltaic dan PHES.
3. Mengecualikan daerah yang memiliki karakteristik tertenntu seperti daerah
yang berkemiringan di atas 10 derajat.
4. Memilih lokasi yang berpotensi tinggi sumber daya aalamnya seperti titik-titik
yang memiliki debit air dalam Batasan tertentu.
B. Perhitungan Potensi EBT
Cara untuk menghitung potensi energi terbarukan adalah dengan membuat
beberapa skenarion, yaitu sebagai berikut :
• Solar dan Angin
Gambar perhitungan potensi skenario energi terbarukan (solar dan Angin)
Pada tipe ET solar, dimana A merupakan area yang berpotensi untuk ditutupi oleh
panel surya. Dan PD adalah polar density dengan nilai 0,041 GWt. Pada skenario
pertama, seluruh permukaan lahan yang terpilih, dapat ditutupi oleh PV. Dan di
skenario kedua hanya 27% dari keseluruhan permukaan atap, dan 5% dari permukaan
waduk dapat ditutupi PV. Seda\ngkan untuk tipe ET angin, terdapat dua skenario
yaitu yang pertama kecepatan angin minimum 6 m/s di ketinggian 50m dan 6.6 m/s
diketinggian 100m. sedangkan skenario yang kedua yaitu kecepatan angin minimum
7.25 m/s diketinggian 50m dan 7.99 m/s diketinggian 100m.
Gambar area belukar yang dapat menjadi kontribusi utama pemasangan PLTS
Gambar skenario potensi PLTS
Pada skenario yang pertama, potensi tutupan lahan yang dapat digunakan
untuk PLTS dalah sebesar 7.714,46 GW, sedangkan untyk skenario yang kedua
potensi tutupan lahan yang dapat digunakan untuk PLTS adalah 6.749,3 GW.
Pada potensi PLTB, didapatkan skenario 1 yaitu berupa (106 GW), sedangkan
skenario 2 diperoleh hasil sebesar (87,6 GW), dengan ketinggian 50 meter.
Pada PHES sendiri, potensi tidak dihitung dari 0, tetapi dihitung berdasarkan
peta potensi grade A yaitu PHES yang paling mudah dan murah untuk dibangun yang
kemudian di filter untyk menemukan lokasi mana yang tepat, dan potensi totalnya ada
7.308,8 GWh.
• Kesimpulan
Dari pemaparan tersebut, dapat ditarik kesimpulan yaitu lebih dari 7.000 GW
potensi energi terbarukan yang ada di Indonesia dapat digunakan untuk mencapai
target pengurangan emisi lebih cepat dari tahun 2050. Adapun skenarionya adalah
sebagai berikut :
Gambar perhitungan potensi energi terbarukan secara keseluruhan