Anda di halaman 1dari 25

GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA

“PERTAMBANGAN DI INDONESIA”

DOSEN PEMBIMBING

Drs. Sumargana, M.Si

DISUSUN OLEH

Octa Marga Mustofa (1912100004)

UNIVERSITAS WIDYA DHARMA KLATEN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PENDIDIKAN GEOGRAFI

2020/2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha pengasih dan Maha
penyayang, Kami panjatkan puji dan syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Drs.
Sumargana, M.Si selaku dosen yang telah membimbing dalam menyelesaikan
makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari seutuhnya bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna baik dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasanya. Oleh karena itu, kami terbuka untuk menerima segala masukan dan
kritik yang bersifat membangun dari pembaca sehingga kami dapat melakukan
perbaikan terhadap makalah ini sehingga menjadi makalah yang baik dan benar.

Klaten, 24 Oktober 2021

Daftar Isi

2|GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA


KATA PENGANTAR..............................................................................................................2
BAB I...................................................................................................................................3
PENDAHULUAN..................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................4
1.3 Tujuan dan Manfaat.................................................................................................4
BAB II..................................................................................................................................4
PEMBAHASAN....................................................................................................................4
2.1 Pengertian dan sejarah pertambangan di Indonesia..........................................4
2.2 Jenis Pertambangan yang ada di Indonesai........................................................7
2.3 Hukum Pertambangan di Indonesia.................................................................10
2.4 Dampak Positif dan Negatif Pertambangan di Indonesia.................................22
BAB III...............................................................................................................................23
PENUTUP..........................................................................................................................23

3|GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang secara geologis terletak pada pertemuan
tiga lempeng utama bumi. Ketiganya adalah Indo-Australia, Eurasia, dan
Pasifik. Pertemuan ketiganya menyebabkan Indonesia berada di wilayah ring
of fire atau cincin api Pasifik. Akibat dari letak geologis tersebut membuat
Indonesia menjadi negara yang rawan akan bencana alam, di sisi lain hal
tersebut membuat wilayah Indonesia menjadi sangat subur dan memiliki
potensi sumber daya alam yang sangat melimpah terutama bahan tambang.

Pertambangan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pengusaha


tambang dengan tujuan mendapatkan barang tambang dan keuntungan dari
hasil tambang. Sebagaimana diketahuhi secara luas, bahwa pertambangan
dilakukan di Indonesia atas persetujuan atau kebijakan, pertambangan adalah
usaha yang legal sejauh dilandasi oleh peraturan perundang-undangan. Dari
segi ekologi dan kemasyarakatan, pertambangan sering menimbulkan konfik,
baik dengan masyarakat dengan pengusaha tambang (pemegang izin) maupun
antara masyarakat dengan pemerintah (termaksud pemerintah daerah) dalam
hal tambang (Siti Maimuna, 2012:Bagian 2)

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan pertambangan dan sejarahnya di Indoneisa?
2. Apa saja jenis pertambangan di Indonesia?
3. Bagaimana hukum pertambangan di Indoneia?
4. Apa dampak positif dan negatif pertambangan di Indonesia?

1.3 Tujuan dan Manfaat


1. Mengetahui dan mempelajari pertambangan.
2. Mengetahui dan mempelajari jenis pertambangan di Indonesia.
3. Mengetahui dan mempelajari hukum pertambangan di Indoneisa.

4|GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA


4. Mengetahui dan mempelajari dampak positif dan negatif pertambangan di
Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan sejarah pertambangan di Indonesia


Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam
rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang
meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan,
serta kegiatan pascatambang

Pertambangan memiliki arti kegiatan pengambilan bahan tambang


berharga dan bernilai ekonomis tinggi dari dalam perut bumi, pada
permukaan bumi, di bawah permukaan bumi, dan di bawah permukaan air
baik secara manual maupun secara mekanis atau dengan menggunakan alat-
alat yang berteknologi tinggi, seperti pertambangan pasir besi, minyak dan
gas bumi, biji nikel, batu bara, emas, perak, biji tembaga emas, biji bauksit,
dan sebagainnya.

Pada masa sebelum Belanda datang ke negeri ini, yaitu pada zaman
Majapahit dan Sriwijaya, bentuk “Perijinan” Pengusahaan Pertambangan
yang diberikan oleh Raja atau Pembesar kerajaan lainnya. Kemungkinan
diberikan dalam bentuk Lisan saja, sebagaimana yang berlaku secara umum
dalam masyarakat hukum adat di negeri ini.

Pada saat Belanda datang dan menguasai negeri ini, maka


selanjutnya ijin-ijin pertambangan yang diberikan oleh Sultan-Sultan di
Sumatera dan Raja-Raja di Pulau Jawa dan daerah lain di Indonesia.
Selanjutnya di berikan dalam bentuk Konsesi Pertambangan, sesuai Konsep
Hukum Perdata Barat sebagaimana diatur dalam Burgirljk Wetboek ( BW ).

5|GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA


Hukum Perdata Barat ini, dibawa oleh Belanda dari negerinya dan
diberlakukan di negeri jajahannya ini secara Concordansi.

Atas dasar kebijakan pengaturan kegiatan pengusahaan


pertambangan tersebut, yang terjadi dari masa-kemasa sesuai dengan
perkembangan dan perubahan kondisi pemerintahan di negeri ini. Maka
sejarah perkembangan kebijaksanaan pengusahaah pertambangan di
Indonesia ini, secara kronologis dapat dibagi dalam beberapa periode
sebagai berikut:

a. Periode Pra Konsesi ( sebelum 1899 ) :

Adanya catatan sejarah, yang menjelaskan bahwa nenek moyang


kita juga pernah mengalami kehidupan dijaman Perunggu. Berarti pada
zaman prasejarah, mereka sudah mengenal Teknologi Tambang dan
Metalurgi. Terlebih lagi dengan ditemukannya berbagai peralatan
peninggalan kerajaan Majapahit dan Sriwijaya yang menggunakan bahan
dari logam (emas, perak dan tembaga) dan logam paduan (perunggu).
Adanya bukti-bukti sejarah tersebut, menunjukkan bahwa sebelum
bangsa barat datang menjajah negeri ini. Bangsa kita sudah mengenal
kegiatan usaha pertambangan walaupun dilakukan dengan teknologi
yang sangat sederhana.

Teknologi sederhana ini lahir dari semangat kerja keras dan


keuletan nenek moyang kita waktu itu. Bukti mun-culnya konsep
teknologi sederhana ini, sampai sekarang masih dapat kita lihat dengan
adanya produk-produk “bioteknologi” hasil rekayasa nenek moyang kita
tersebut. Seperti Tape, Tempe Tahu dan Oncom. Bahwa pembuatan tape,
tempe dan oncom ini, dilakukan oleh nenek moyang kita tanpa bantuan
suatu riset dan percobaan kimia yang canggih, ternyata mereka telah
mampu me-lakukan permentasi atau proses peragian dalam pembuatan
tape tersebut.

b. Periode Konsesi ( 1899 s/d 1960 ) :

6|GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA


“Suatu periode dimana manajemen pengusahaan dan pemilikan
hasil produksi bahan galian atau mineral sepenuhnya berada di tangan
pihak pemegang konsesi pertambangan”, dan Negara ( Pemerintah
Kolonial ) hanya menerima bersih Iuran Pertambangan sebesar 0,25
Gulden per hektar setiap tahun serta 46 % dari hasil kotor ( Pasal. 35
Indische Mijn Wet Stb.1899 No.214 ). Periode ini berawal pada masa
pemerintahan penjajahan Belanda, karena konsep pemberian “hak
konsesi” ini, berasal dari konsep hukum Perdata Barat ( Belanda ) yang
dituangkan dalam Indische Mijn West 1899.

c. Periode Kontrak Karya ( 1960 s/d Sekarang ) :

Sejak awal kemerdekaan, pemerintah dan bangsa Indonesia


sudah berkeinginan untuk menguasai sepenuhnya pengelolaan dan
pengusahaan kekayaan alam yang terkandung di dalam perut Bumi
Indonesia ini. Termasuk bahan galian yang terdapat didalamnya,
sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UU DASAR 1945.
Pengusahaan kekayaan alam ini, waktu itu sebagian besar masih berada
pada tangan para pemegang konsesi pertambangan. Secara yuridis
memang kedudukan para pemegang konsesi pertambangan ini, sangat
kuat. Bahkan sesuai Pasal 1 ayat (1) Kesepakatan KMB 1948,
cengkeraman konsesi ini tetap dapat berlangsung terus walaupun kita
sudah merdeka. Karena masa berlakunya Konsesi ini dapat mencapai 75
tahun dan Kontrak 5 A sampai 40 tahun.

2.2 Jenis Pertambangan yang ada di Indonesai


Menurut UU No. 4/2009, Usaha pertambangan dikelompokkan atas
pertambangan mineral, dan pertambangan batubara.

a. Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang


berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi,
serta air tanah. Pertambangan mineral digolongkan atas :

7|GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA


1. Pertambangan mineral radioaktif

Di Indonesia karena terletak pada jalur “Ring of Fire”,


kemungkinan besar terdapat cadangan mineral radioaktif yang
cukup banyak, karena mineral tersebut keterdapatannya pada urat-
urat bertemperatur tinggi sebagai contohnya mineral : radium,
thorium, uranium, monasit, dan bahan galian radioaktif lainnya.

2. Pertambagan mineral Logam

Selain cadangan mineral radioktif yang banyak, di Indonesia


juga terkandung mineral logam yang sangat melimpah meliputi :
litium, berilium, magnesium, kalium, kalsium, emas, tembaga,
perak, timbal, seng, timah, nikel, mangaan, platina, bismuth,
molibdenum, bauksit, air raksa, wolfram, titanium, barit,
vanadium, kromit, antimoni, kobalt, tantalum, cadmium, galium,
indium, yitrium, magnetit, besi, galena, alumina, niobium,
zirkonium, ilmenit, khrom, erbium, ytterbium, dysprosium,
thorium, cesium, lanthanum, niobium, neodymiu dan mineral
logam lainnya.

3. Pertambangan non mineral logam

Indonesai juga memiliki cadangan mineral non logram yang


melimpah meliputi: intan, korundum, grafit, arsen, pasir
kuarsa,fluorspar, kriolit, yodium, brom, klor, belerang, fosfat, halit,
asbes, talk, mika,magnesit, yarosit, oker, fluorit, ball clay, fire clay,
zeolit, kaolin, feldspar, bentonit,gipsum, dolomit, kalsit, rijang,
pirofilit, kuarsit, zirkon, wolastonit, tawas, batukuarsa, perlit,
garam batu, clay, dan batu gamping untuk semen.

4. Pertambangan batuan

8|GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA


Indonesia kaya akan jenis bebatuan yang bernilai ekonomis
tinggi yang  meliputi: pumice, tras, toseki, obsidian, marmer, perlit,
tanah diatome, tanah serap (fullers earth), slate, granit, granodiorit,
andesit, gabro, peridotit, basalt, trakhit, leusit, tanah liat, tanah
urug, batu apung, opal, kalsedon, chert, kristal kuarsa, jasper,
krisoprase, kayu terkersikan, gamet, giok, agat, diorit, topas, batu
gunung quarry besar, kerikil galian dari bukit, kerikil sungai, batu
kali, kerikil sungai ayak tanpa pasir, pasir urug, pasir pasang,
kerikil berpasir alami (sirtu), bahan timbunan pilihan (tanah),
urukan tanah setempat, tanah merah (laterit), batu gamping, onik,
pasir laut, dan pasir yang tidak mengandung unsur mineral logam
atau unsur mineral bukan logam dalam jumlah yang berarti ditinjau
dari segi ekonomi pertambangan.
b. Pertambangan batubara

Penambangan batu bara  adalah proses penyarian batu bara dari


tanah. Batu bara bernilai untuk kandungan energinya, dan, sejak
1880an, telah banyak dipakai untuk membangkitkan listrik. Industri-
industri baja dan semen memakai batu bara sebagai bahan bakar untuk
penyarian besi dari bijih besi dan untuk produksi semen.

Batubara adalah bahan bakar fosil yang terbentuk dari tumbuh-


tumbuhan yang hidup dan telah mati sejak 100-400 juta tahun yang
lalu. Energi dari batubara yang kita gunakan pada saat ini berasal dari
tumbuh-tumbuhan yang telah menyerap energi dari sinar matahari
pada jutaan tahun yang lalu. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa
tumbuhan menyerap energi dari sinar matahari, mengolahnya menjadi
karbohidrat melalui proses fotosintesis [n CO2 + 2n H2O + energi →
2(CH2O)n + 2n O2].

Pada kondisi normal, tumbuhan yang mati akan terurai dan


hancur di dalam tanah. Namun pada pembentukan batubara ratusan

9|GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA


juta tahun silam hal ini tidak terjadi. Hal ini dikarenakan fenomena
alam yang terjadi pada saat itu. Berdasarkan penelitian, hutan yang ada
di ratusan juta tahun yang lalu tersebut tertimbun oleh banjir, lumpur,
rawa, atau air asam. Sehingga menyebabkan energi karbohidrat yang
terkandung di dalam tanaman tersebut terkunci dan tidak dapat terurai
oleh alam. Selama jutaan tahun, lapisan tanah di atas tanaman-tanaman
hutan tadi akan terus meningkat dan menciptakan tekanan yang sangat
besar. Ditambah dengan panas yang berasal dari dalam bumi, secara
perlahan tanaman-tanaman tadi akan membentuk batubara.

Proses pembentukan batubara sangat mempengaruhi kualitas


dari batubara itu sendiri. Semakin padat batubara tersebut akibat
tekanan alami yang dialaminya, akan semakin tinggi kualitasnya.
Berdasarkan kualitas inilah batubara lebih lanjut diklasifikasikan
menjadi beberapa jenis yaitu:

1. Lignite atau juga dikenal dengan sebutan batubara coklat, adalah


jenis batubara yang paling rendah kualitasnya.
2. Sub-bituminous adalah jenis batubara sedang di antara
jenis lignite dan jenis bituminous. Secara fisik memiliki ciri-ciri
berwarna coklat gelap cenderung hitam.
3. Bituminous, adalah jenis batubara yang lebih tinggi tingkatan
kualitasnya. Mayoritas berwarna hitam, namun kadang masih ada
yang berwarna coklat tua. Dinamakan bituminous dikarenakan
adanya kandungan bitumen/aspal.
4. Anthracite adalah jenis batubara yang paling baik
kualitasnya. Penggunaan batubara anthracite pada pembangkit
listrik tenaga uap, masuk ke dalam jenis batubara High
Grade dan Ultra High Grade. Namun persediaannya masih sangat
terbatas, yaitu sebanyak 1% dari total penambangan batubara
.

10 | G E O G R A F I R E G I O N A L I N D O N E S I A
2.3 Hukum Pertambangan di Indonesia

a. Masa Kolonialisme Belanda (1850-an)

Sejarah perkembangan industri pertambangan di Indonesia


bermula dari masa kolonialisme Belanda. Cikal bakal industrialisasi
pertambangan ini juga tidak terlepas dari munculnya Revolusi Industri
yang terus meluas di Eropa. Dari sini sektor pertambangan mulai
menggeser kedudukan rempah-rempah yang sebelumnya merupakan
komoditas unggulan di wilayah kolonial Hindia-Belanda.

Untuk itu, di tahun 1850, Pemerintah Hindia Belanda


mendirikan Kantor penyelidikan geologi, manajemen, pengelolaan dan
pencarian bahan galian tambang, yaitu Dienst van hen Minjnwezen,
yang bertempat di Weltevreden, Batavia. Melalui lembaga inilah,
wilayah penyelidikan geologi dan bahan galian tambang akhirnya
meluas hingga seluruh pelosok Nusantara.

Pada bulan Oktober di tahun yang sama, dibuatlah peraturan


baru berupa Besluit (keputusan) Pemerintah Kolonial No. 45, yang
mengatur tentang “larangan memberikan izin penggalian tanah yang
mengandung bahan tambang kepada pihak selain orang Belanda”.

Disamping itu, lembaga ini juga menerbitkan laporan penelitian


hasil eksplorasi seputar pertambangan secara berkala, seperti yang
ditulis di dalam Javasche Courant  dan  Jaarboek Van het Mijnwezen.
Bahkan pada masanya laporan ini sampai menyebar luas dan dikenal di
dunia Internasional.

Seiring berjalannya waktu, hak eksplorasi pertambangan tidak


hanya sebatas dikuasai oleh Pemerintah Hindia-Belanda saja, namun
pihak Swasta juga mulai mendapat kesempatan untuk masuk ke
industri pertambangan ini. Dimana pada tahun 1852 dibuatlah

11 | G E O G R A F I R E G I O N A L I N D O N E S I A
peraturan pertambangan (Mijnreglement) yang pertama kali oleh
Pemerintah Belanda. Di dalamnya dijelaskan tentang pemberian hak
penambangan kepada pihak Swasta warga negara Belanda.

Namun, aturan ini menegaskan bahwa pihak Swasta hanya


boleh melakukan aktifitas penambangan di luar pulau Jawa. Pihak
Swasta Belanda yang pertama kali mendapat hak penambangan
yakni Billiton Maatschappij, penambang timah di Pulau Belitung.

Mijnreglement 1850 menjadi landasan hukum yang kemudian


dipakai oleh kolonial Belanda untuk menguasai, mengatur serta
memanfaatkan bahan mineral untuk kepentingan Pemerintahan
Belanda.

Munculnya Aturan Usaha Pertambangan Milik Perusahaan


Swasta

Untuk mengatur usaha pertambangan termasuk di dalamnya


pertambangan minyak di daerah kolonial Hindia Belanda, maka pada
tahun 1899 dikeluarkan Undang-Undang Pertambangan yang pertama,
UU ini disebut dengan Indische Mijnwet (IMW).

Kendati demikian, di dalam Indische Mijnwet  hanya mengatur


mengenai pokok-pokok persoalan pertambangan seperti penggolongan
bahan galian dan pengusahaan pertambangan saja. Pasalnya, pemilik
tanah masih tidak memiliki hak atas sumber daya mineral yang
terdapat di bawah tanah miliknya.

Sebelum adanya amandemen pada IMW ini, kesan dari Undang-


Undang Tambang pada jaman penjajahan Belanda memang terlihat
sangat terbatas, di samping itu akses untuk eksplorasi pun hanya boleh
dilakukan oleh Pemerintah Kolonial.

12 | G E O G R A F I R E G I O N A L I N D O N E S I A
Kemudian terjadilah amandemen sebanyak dua kali, yaitu di
tahun 1910 dan 1918. Melalui amandemen ini mulai nampak
perubahan yang signifikan terhadap posisi Swasta dalam kaitannya hak
penambangan mineral.

Melalui pasal 5A, amandemen tahun 1910, perusahaan Swasta


diperbolehkan untuk melakukan penyelidikan maupun eksploitasi
melalui perjanjian dengan Pemerintah yang nantinya disahkan oleh
Undang-Undang.

Tidak hanya itu, pihak Swasta juga mendapat kemudahan dalam


melakukan penambangan dan eksploitasi di wilayah Hindia-Belanda,
yakni ketika adanya amandemen tahun 1918. Melalui amandemen yang
kemudian dikenal dengan sistem kontrak antara Pemerintah dan
Swasta, kewajiban perijinan yang disahkan oleh Undang-Undang
akhirnya ikut dihapus.

Amandemen pada IMW ini sekaligus memberikan pembahasan


yang lebih mendalam, seperti perihal perlindungan atas kepentingan
usaha warga dan perusahaan Swasta milik Hindia Belanda. Ada juga
aturan mengenai masa berlaku konsesi, serta besaran pajak dan cukai
yang nantinya dipungut oleh Pemerintah. Dengan demikian, mineral
dan bahan tambang yang dieksploitasi sepenuhnya milik perusahaan
yang bersangkutan.

Setidaknya sampai akhir tahun 1938 terdapat 471 konsesi dan


ijin pertambangan yang ada di wilayah kolonialisasi Hindia-Belanda.
Pada masa itu produksi tambang didominasi oleh timah, minyak bumi
dan batu bara.

13 | G E O G R A F I R E G I O N A L I N D O N E S I A
b. Masa Orde Lama (1950-an)

Eksplorasi tambang di Nusantara masih tetap berlangsung


ketika sekutu dikalahkan oleh Jepang. Saat itu pemerintahan kolonial
Hindia-Belanda sempat menghancurkan instalasi-instalasi
pertambangan yang ada di wilayah Hindia-Belanda.

Namun tidak berselang lama, Jepang segera melakukan


perbaikan dan mengoperasikan kembali tambang-tambang yang rusak
tersebut. Mengingat produk yang dihasilkan oleh sektor pertambangan
sangat dibutuhkan oleh pemerintahan Jepang untuk mendukung
program Perang Dunia.

Hanya saja apabila dibandingkan dengan yang dilakukan oleh


Pemerintah Hindia-Belanda, masa eksplorasi tambang oleh
pemerintahan Jepang berlangsung selama 3 tahun saja.

Meskipun masa pemerintahan Jepang ini tergolong singkat,


aktifitas eksplorasi tersebut telah menghasilkan beberapa temuan
barang tambang baru. Di samping itu jumlah tambang batu bara yang
dibuka juga bertambah dengan signifikan.

Beberapa barang tambang baru yang dikembangkan oleh Jepang


diantaranya: tambang tembaga, bijih besi, sinabar, bijih mangaan dan
bauksit. Dimana keseluruhan hasil eksploitasi barang tambang berupa
mineral yang ada di Nusantara ini diarahkan untuk mendukung
aktifitas perang.

Untuk itu, selama proses eksplorasi bahan tambang di bumi


Nusantara ini, di bawah pemerintahan militer Jepang nilai investasi
yang dikeluarkan mencapai 198.8 juta yen, atau setara dengan 16%
dari total investasi yang dilakukan di Indonesia.

14 | G E O G R A F I R E G I O N A L I N D O N E S I A
Setelah terjadi pengeboman di Hiroshima dan Nagasaki pada
tahun 1945 oleh Amerika, akhirnya Jepang menyerah kepada sekutu.
Pada tahun 1945 ini pula menandai berakhirnya masa penjajahan
Jepang di Indonesia, yang kemudian mengembalikan penguasaan
kepada Belanda dan sekutu.

Perubahan Aturan Kebijakan Pertambangan Pasca Kemerdekaan

Undang-Undang Indische Mijnwet yang dibentuk oleh Belanda


seputar pertambangan ini masih dipakai oleh Pemerintah Indonesia
setelah proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945.

Untuk menyempurnakan UU IMW besutan Kolonial Belanda,


Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No. 78 tahun
1958. Di dalam UU yang baru ini diatur mekanisme Penanaman Modal
Asing, hanya saja untuk sektor pertambangan bahan vital masih
tertutup bagi Pemodal Asing.

Namun pada prakteknya, UU No. 78 tahun 1958 ini tidak


berpengaruh terhadap kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah.
Seperti yang terlihat sejak tahun diterbitkannya UU ini, terjadi
nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda.

Setahun kemudian, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang


No.10 tahun 1959. Melalui UU ini Pemerintah memiliki wewenang
untuk membatalkan hak pertambangan yang diberikan sebelum tahun
1949. Apabila pertambangan tersebut masih tahap awal pengerjaan
atau terkesan tidak dikerjakan dengan sungguh-sungguh, maka
Pemerintah dapat membatalkan secara hukum.

Namun pencabutan hak penambangan melalui UU No.10 tahun


1949 memiliki pengecualian bagi pertambangan minyak bumi. Untuk

15 | G E O G R A F I R E G I O N A L I N D O N E S I A
itu sepanjang program Nasionalisasi hingga tahun 1960 masih tersisa 3
perusahaan minyak milik Swasta, yaitu Stanvac, Caltex dan Shell.

Memasuki tahun 1960 Pemerintah Indonesia mengeluarkan


peraturan pertambangan untuk yang pertama kalinya, yaitu Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 37 Tahun 1960 tentang
Pertambangan. Peraturan ini kemudian disebut dengan istilah UU No.
37 Prp Tahun 1960.

Melalui Undang- Undang yang baru ini, Pemerintah


memberikan peluang yang besar kepada perusahaan-perusahaan
negara, sekaligus perusahaan swasta yang dimiliki oleh orang yang
berkebangsaan Indonesia untuk melakukan eksplorasi bahan tambang.
Bahkan Pemerintah juga memberikan keleluasaan untuk
mengeksploitasi galian yang sifatnya galian strategis maupun galian
vital.

Di samping itu, UU 37 Prp Tahun 1960 juga menunjukkan


semangat Nasionalisme dan anti barat. Hal ini turut didukung dengan
prioritas eksplorasi tambang diberikan kepada badan usaha koperasi.

c. Masa Orde Baru (1960-an)

Masuknya Perusahaan Pertambangan Asing di Indonesia

Sejak kepemimpinan Orde Baru, kebijakan di bidang


pertambangan ternyata lebih dominan ditujukan untuk menarik
investor asing. Hal ini terlihat dari disahkannya Ketetapan MPRS
No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan
Ekonomi Keuangan dan Pembangunan.

16 | G E O G R A F I R E G I O N A L I N D O N E S I A
Di dalam Ketetapan MPRS tersebut menyatakan bahwa potensi
modal, teknologi, dan keahlian dari luar negeri dapat dimanfaatkan
untuk mengolah potensi kekayaan alam demi pembangunan Indonesia.

Melalui Ketetapan MPRS ini pula yang akhirnya menjadi dasar


hukum mengenai kebijakan ekonomi dan pembangunan yang
memerlukan investasi asing, yaitu dalam bentuk Penanaman Modal
Asing, dimana tujuan utamanya adalah untuk mempercepat perbaikan
ekonomi dan pembangunan.

Bukan hanya itu, sehubungan dengan aktifitas pertambangan


yang notabene memerlukan dukungan modal dalam jumlah besar,
selanjutnya Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA) dan Undang-
Undang No. 11 Tahun 1967. UU PMA sekaligus menjadi titik awal
masuknya investasi asing di Indonesia.

Setelah disahkannya UU PMA, pada tanggal 5 April 1967


dilakukan penandatanganan kontrak karya (KK) Penanaman Modal
Asing yang pertama kalinya, yaitu antara Freeport Sulphur
Company(FCS/PT. Freeport Indonesia. Inc), milik Amerika, dengan
Pemerintah Indonesia.

Tercatat juga dalam kurun waktu antara tahun 1967-1972


setidaknya terdapat 16 perusahaan pertambangan luar negeri yang
melakukan Kontrak Karya. Beberapa perusahaan tambang asing
ternama yang masuk diantaranya ALCOA, Billton Mij, INCO,
Kennecott, dan US Steel. Dimana total penanaman modal asing masuk
di Indonesia yakni sebesar US$ 2.488,4 juta.

Masuknya investor asing yang menguasai sektor industri


pertambangan sekaligus menjadi cikal bakal awal kerusakan
lingkungan hidup di Indonesia. Seperti yang terjadi di bumi Papua,

17 | G E O G R A F I R E G I O N A L I N D O N E S I A
pembukaan tambang yang dilakukan oleh Freeport menyebabkan
kerusakan lingkungan yang berskala sangat besar. Hutan yang belum
pernah terjamah oleh industrialisasi, kini menjadi tempat eksploitasi
tambang dan permukiman penambang. Sungai yang dahulu menjadi
sumber penghidupan masyarakat adat Papua, kini mulai tercemar oleh
limbah tailing dari proses pertambangan sebanyak 300 ribu ton/hari.

Aktifitas pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan swasta


luar negeri sekaligus menyebabkan konflik sosial dengan masyarakat
sekitar tambang yang terus terjadi hingga sekarang.

Di tahun yang sama setelah disahkannya UU PMA, Pemerintah


mengeluarkan UU No. 11 Tahun 1967 yang berisi tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pertambangan. Melalui UU ini Negara memiliki
otoritas mutlak untuk memberikan ijin dalam melakukan ekstraksi
semua sumber daya mineral kepada individu maupun perusahaan.

Dampak dari Undang-Undang yang baru ini yaitu


menghilangkan klaim rakyat terhadap hak atas tanah dan
pemanfaatannya yang mencakup tanah permukaan serta tubuh bumi,
sebagaimana dijamin oleh UU No.5 tahun 1960 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Agraria (UUPA).

Disamping terjadi ketidak adilan terhadap hak atas tanah dan


pemanfaatannya, banyak perusahaan yang sudah mendapat ijin untuk
melakukan eksploitasi mineral ternyata tidak mengindahkan aturan
dalam mereklamasi lahan bekas tambang.

Sebagai contoh, perusahaan pertambangan batu-bara swasta


maupun milik pemerintah secara terang-terangan melanggar Pasal 30
UU Pertambangan Nomor 11 tahun 1967 yang secara tegas
menyatakan : “Apabila selesai melakukan penambangan dan galian
pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan yang

18 | G E O G R A F I R E G I O N A L I N D O N E S I A
bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa
sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lainnya.”

Pelanggaran pada UU No. 11 Tahun 1967 ini terjadi lantaran


tidak adanya sanksi tegas dari Pemerintah terhadap perusahaan
tambang yang terbukti melakukan pelanggaran. Terhitung sejak mulai
maraknya perusahaan tambang yang bermunculan, lahan bekas
tambang umunya dibiarkan terbuka menganga hingga menjadi danau-
danau yang beracun. Beberapa lubang bekas galian tambang yang
dilakukan reklamasi pun terlihat tidak sepenuhnya diperbaiki dan
dibiarkan dalam kondisi rusak.

Berkaitan dengan jenis kontrak dan perijinan untuk melakukan


penambangan, setidaknya ada 5 hal yang diatur dalam UU No.11 tahun
1967, yaitu:

1. Kuasa Pertambangan (KP), diperuntukkan bagi perusahaan


nasional, baik BUMN maupun swasta,
2. Kontrak Karya (KK) yang diperuntukkan bagi penambangan
golongan a dan b, serta modal asing,
3. Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)
bagi modal dalam negeri dan modal asing yang mengusahakan
pertambangan batubara,
4. Surat Ijin Pertambangan Daerah (SIPD) bagi perusahaan nasional
dan koperasi untuk mengusahakan bahan galian industri, dan
5. Surat Ijin Pertambangan Rakyat (SIPR).

Ada persoalan lain di luar masalah lingkungan yang harus


dirasakan oleh rakyat perihal aturan pertambangan di masa orde baru
ini. Permasalahan tersebut tidak lain adalah adanya konsep
kriminalisasi.

19 | G E O G R A F I R E G I O N A L I N D O N E S I A
Undang-Undang Pertambangan dengan sangat jelas
mengesampingkan hak-hak rakyat atas bahan tambang yang ada di
wilayahnya, hal ini tertuang dalam pasal 32 ayat 2 Undang-Undang
No. 11 Tahun 1967 yang berbunyi: “Dihukum dengan hukuman
selama-lamanya tiga bulan dan/atau dengan denda setinggi-tingginya
sepuluh ribu rupiah, barang siapa yang berhak atas tanah merintangi
atau mengganggu usaha pertambangan yang sah.”

d. Pasca Orde Baru (2004)

Perubahan Aturan Kebijakan Pertambangan

Jatuhnya rezim orde baru yang diiringi dengan reformasi, ikut


menyebabkan terjadinya perubahan model pemerintahan secara luas.
Dimana dalam era yang baru ini, otonomi yang semula dikuasai oleh
Pemerintah Pusat (sentralistik), sekarang diberikan kepada daerah
(desentralisasi).

Disahkannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004


(menggantikan UU No. 22 Tahun 1999), yang membahas tentang
Pemerintahan Daerah, kemudian mengatur beberapa kewenangan
perihal pemanfaatan sumber daya alam, khususnya yang berada di
wilayah pemerintahan daerah.

Salah satu kewenangan yang pada masa itu mendapat kritik


yakni terkait model perjanjian seperti Kontrak Karya. Dimana melalui
perjanjian ini posisi perusahaan pertambangan swasta sejajar dengan
negara. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat Pasal 33 ayat 1
UUD 1945 yang menegaskan bahwa “perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”.

Selain disahkannya UU yang mengatur tentang Pemerintahan


Daerah, selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No. 4 Tahun 2009

20 | G E O G R A F I R E G I O N A L I N D O N E S I A
(menghapuskan UU No.11 Tahun 1967), yang kemudian disebut
dengan UU Minerba. Melalui UU Minerba yang menjadi acuan baru
dalam pelaksanaan aktifitas pertambangan mineral dan batu bara,
rezim orde baru yang menganut sistem kontrak pada UU sebelumnya,
diganti dengan rezim perijinan.

Di dalam UU Minerba setidaknya terdapat beberapa bentuk


perijinan yang diatur, diantaranya yakni: Ijin Usaha Pertambangan
(IUP) yang berlaku untuk jenis badan usaha, koperasi dan perorangan.
Kemudian ada Ijin Pertambangan Rakyat (IUP) yang diberikan kepada
penduduk setempat, baik perorangan, kelompok maupun koperasi,
dengan luasan tertentu. Dan yang terakhir adalah Ijin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK), yang berlaku untuk badan usaha
sepertu BUMN, BUMD serta perusahaan swasta.

Disamping mengatur perihal jenis ijin bagi yang akan membuka


lahan untuk aktifitas pertambangan, di dalam UU Minerba juga
terdapat aturan kewenangan untuk berbagai level pemerintahan.
Pembagian level kewenangan ini dibagi menjadi tiga, yaitu:
pemerintah daerah tingkat II, tingkat I dan Pemerintah Pusat.

Perubahan-perubahan lain yang cukup menonjol dalam UU


Minerba dibandingkan dengan UU No. 11 Tahun 1967, yakni adanya
pengaturan tentang aspek-aspek lingkungan hidup, divestasi,
pengolahan dan pemurnian di dalam negeri (hilirisasi) guna
meningkatkan nilai tambah. Bukan hanya itu, di dalam UU Minerba
juga dibahas mengenai sanksi administratif terhadap pelanggaran yang
dilakukan oleh pemegang ijin, serta sanksi terhadap pemberi atau
penerbit ijin.

Untuk Kontrak Karya dan PKP2B yang telah berjalan, maka


masih akan tetap berlaku hingga habis masa kontraknya. Dalam

21 | G E O G R A F I R E G I O N A L I N D O N E S I A
ketentuan peralihan UU Minerba ini dijelaskan bahwa pemegang
Kontrak Karya yang sudah berproduksi saat UU Minerba diberlakukan,
wajib untuk melakukan pemurnian selambatnya lima tahun sejak UU
Minerba ini diberlakukan.

Kalau ditilik lebih jauh, sebenarnya UU Minerba sudah


memberikan perhatian pada aspek lingkungan hidup, namun sayangnya
belum banyak mengadopsi prinsip-prinsip yang terdapat dalam UU
No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UU PPLH).

Seharusnya, Komisi VII DPR saat itu bisa melakukan


sinkronisasi dan memasukkan prinsip-prinsip perlindungan lingkungan
hidup yang lebih kuat di dalam materi rancangan UU Minerba.

Pada tahun 2018, perubahan UU Minerba masuk dalam prioritas


program legislasi nasional (PROLEGNAS). Setidaknya terdapat 7
permohonan judical review ke Mahkamah Konstitusi, serta adanya UU
No.23 Tahun 2014 ayat 1, yang dianggap menimbulkan ketidakpastian
hukum serta kebingungan dalam penyelenggaraan pertambangan
mineral dan batubara di daerah.

Bukan hanya itu, masih menurut Naskah Akademik ini, UU


Minerba juga belum mampu menjawab perkembangan, permasalahan,
dan kebutuhan hukum di dalam penyelenggaraan pertambangan
minerba. Khususnya terkait dengan isu-isu perizinan, pengolahan,
pemurnian (smelter), data dan informasi pertambangan, pengawasan,
perlindungn terhadap masyarakat terdampak, dan sanksi apabila ada
pelanggaran. 

22 | G E O G R A F I R E G I O N A L I N D O N E S I A
2.4 Dampak Positif dan Negatif Pertambangan di Indonesia

Indonesia merupakan negara yang kaya sumber daya alam, salah satunya hasil
tambang (batubara, minyak bumi, gas alam, timah). Di era globalisasi ini, setiap
negara membangun perekonomiannya melalui kegiatan industri dengan mengolah
sumber daya alam yang ada di negaranya. Hal ini dilakukan agar dapat bersaing
dengan negara lain dan memajukan perekonomiannya. Oleh karena itu, banyak
perusahaan dari sektor privat maupun sektor swasta yang mengolah hasil tambang
untuk diproduksi.

Munculnya industri-industri pertambangan di Indonesia mempunyai dampak


positif dan dampak negatif bagi masyarakat dan negara. Dampak positif adanya
industri pertambangan antara lain yaitu menciptakan lapangan pekerjaan bagi
masyarakat, hasil produksi tambang dapat digunakan untuk memenuhi permintaan
pasar domestik maupun pasar internasional, sehingga hasil ekspor tambang
tersebut dapat meningkatkan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi negara.
Industri pertambangan juga dapat menarik investasi asing untuk menanamkan
modalnya di Indonesia.

Kemudian, di sisi lain, industri pertambangan juga mempunyai dampak


negatif, yaitu kerusakan lingkungan. Wilayah yang menjadi area pertambangan
akan terkikis, sehingga dapat menyebabkan erosi. Limbah hasil pengolahan
tambang juga dapat mencemari lingkungan. Kegiatan industri tambang yang
menggunakan bahan bakar fosil menghasilkan CO2 yang dapat menimbulkan efek
rumah kaca dan pemanasan global.

23 | G E O G R A F I R E G I O N A L I N D O N E S I A
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Pertambangan memiliki arti kegiatan pengambilan bahan tambang
berharga dan bernilai ekonomis tinggi dari dalam perut bumi, pada
permukaan bumi, di bawah permukaan bumi, dan di bawah permukaan air
baik secara manual maupun secara mekanis atau dengan menggunakan
alat-alat yang berteknologi tinggi, seperti pertambangan pasir besi, minyak
dan gas bumi, biji nikel, batu bara, emas, perak, biji tembaga emas, biji
bauksit, dan sebagainnya
2. Menurut UU No. 4/2009, Usaha pertambangan dikelompokkan atas
pertambangan mineral, dan pertambangan batubara.
3. Masa Kolonialisme Belanda (1850-an) hukum pertambangan diatur
dibawah Besluit (keputusan) Pemerintah Kolonial No. 45, yang
mengatur tentang “larangan memberikan izin penggalian tanah yang
mengandung bahan tambang kepada pihak selain orang Belanda”
Pada tahun 1852 dibuatlah peraturan pertambangan
(Mijnreglement) yang pertama kali oleh Pemerintah Belanda. Di
dalamnya dijelaskan tentang pemberian hak penambangan kepada
pihak Swasta warga negara Belanda.

Masa Orde Lama (1950-an) aktivitas pertambangan di atur oleh UU No. 37


Prp Tahun 1960. Melalui Undang- Undang yang baru ini, Pemerintah
memberikan peluang yang besar kepada perusahaan-perusahaan negara,
sekaligus perusahaan swasta yang dimiliki oleh orang yang berkebangsaan
Indonesia untuk melakukan eksplorasi bahan tambang. Bahkan Pemerintah
juga memberikan keleluasaan untuk mengeksploitasi galian yang sifatnya
galian strategis maupun galian vital.

Masa Orde Baru (1960-an) Berkaitan dengan jenis kontrak dan


perijinan untuk melakukan penambangan, diatur dalam UU No.11
tahun 1967

24 | G E O G R A F I R E G I O N A L I N D O N E S I A
Pasca Orde Baru (2004) Perizinan pertambangan diatur oleh UU
Minerba, diantaranya yakni: Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang
berlaku untuk jenis badan usaha, koperasi dan perorangan. Kemudian
ada Ijin Pertambangan Rakyat (IUP) yang diberikan kepada penduduk
setempat, baik perorangan, kelompok maupun koperasi, dengan luasan
tertentu. Dan yang terakhir adalah Ijin Usaha Pertambangan Khusus
(IUPK), yang berlaku untuk badan usaha sepertu BUMN, BUMD serta
perusahaan swasta.

4. Dampak positif dari pertambangan adalah:

 Membuka langan pekerjaan


 Meningkatkan kesejahteraan
 Sebagai sumber devisa

Dampak negatif dari pertambangan adalah:

 Kerusakan Lingkungan
 Gangguan Kesehatan
 Konflik Sosial

25 | G E O G R A F I R E G I O N A L I N D O N E S I A

Anda mungkin juga menyukai