Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

MANAJEMEN OPERASIONAL BANK SYARIAH

LIKUIDITAS

DOSEN PENGAMPU :

Wahyi Busyro, S.E.I.,ME

DISUSUN OLEH :

SULFY SRI RASMY POLEM (190801022)

PUTRI WAHYU MUSTIKA SARI (190801024)

NADILA (190801027)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH RIAU

FAKULTAS STUDI ISLAM

PERBANKAN SYARIAH

T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Swt Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji

syukur saya panjatkan kehadirat Allah Swt,yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-

Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul Likuiditas tepat pada

waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Dosen

ibu Wahyi Busyro S. E. I., M. E pada mata kuliah Manajemen Operasional Bank Syariah.

Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Likuiditas bagi para

pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu Wahyi Busyro S. E. I. M. E, selaku

dosen mata kuliah manajemen Operasional Bank Syariah yang telah memberikan tugas ini

sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami

tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi

sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Penyusunan makalah ini sudah kami lakukan dengan semaksimal mungkin tetapi

kami memahami makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami menerima

kritik atau pun saran demi penyempurnaan makalah ini. Dan kami berharap dari makalah ini

memberikan manfaat dan menambah pengetahuan bagi para pembaca terutama untuk

menambah wawasan
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................4
2.2 Rumusan Masalah............................................................................................................4
2.3 Tujuan Penulisan..............................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................5
PEMBAHASAN........................................................................................................................5
2.1. Pengertian Likuiditas Bank Syariah................................................................................5
2.2 Penentuan Kebutuhan Likuiditas Bank Syariah...............................................................6
2.3 Penentuan Likuiditas Bank Syariah..................................................................................8
A. Manajemen Likuiditas Bank...........................................................................................8
B. Analisis Arus Kas dalam Meningkatkan Likuiditas......................................................17
1. Pengukuran likuiditas berbasis kas...............................................................................17
Aset lancar dan kewajiban lancar,........................................................................................17
2.5 Masalah – Masalah Pengelolaan Likuiditas...................................................................18
BAB III.....................................................................................................................................23
PENGAPLIKASIAN DIPERBANKAN..................................................................................23
3.1 MANAJEMEN LIKUDITAS BANK SYARIAH..........................................................23
3.2. Studi Kasus....................................................................................................................31
3.3 Contoh Soal dan Jawaban Rasio Likuiditas...................................................................33
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................35
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Likuiditas pada umumnya didefinisikan sebagai kepemilikan sumber dana yang memadai
untuk memenuhi seluruh kebutuhan kewajiban yang akan jatuh tempo. Atau dengan kata lain
kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban pada saat ditagih yang dapat diduga
ataupun yang tidak terduga. Dalam perbankan manajemen likuiditas adalah salah satu hal
yang penting dalam memelihara kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut. Untuk itu
setiap bank yang beroperasi sangat menjaga likuiditasnya agar pada posisi yang idle fund
(dana lebih).

Dalam manajemen likuidtas bank berusaha untuk mempertahankan status rasio likuiditas,
memperkecil dana yang menganggur guna meningkatkan pendapatan dengan resiko sekecil
mungkin, serta memenuhi kebutuhan cashflownya. Jadi tujuan manajemen likuiditas adalah
mencapai cadangan yang dibutuhkan yang telah ditetapkan oleh bank sentral karena kalu
tidak dipenuihi akan kena pinalti dari Bank sentral, kedua memperkecil dana yang
menganggur karena kalau banyak dana yang menganggur akan mengurangi profitabilitas
bank, dan mencapai likuiditas yang aman untuk menjaga proyeksi cashflow dalam kondisi
yang sangat mendesak misalnya penarikan dana oleh nasabah, pengambilan pinjaman Dalam
likuiditas terdapat dua resiko yaitu resiko ketika kelebihan dana dimana dana yang ada dalam
bank banyak yang ideal, hal ini akan menimbulkan pengorbanan tingkat bunga yang tinggi.
Kedua resiko ketika kekurangan dana, akibatnya dana yang tersedia untuk mencukupi
kebutuhan kewajiban jangka pendek tidak ada. Dan juga akan mendapat pinalti dari bank
sentral. Kedua keadaan ini tidak diharapkan oleh bank karena akan mengganggu kinerja
keuangan dan kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa
ketika bank mengharapkan keuntungan yang maksimal akan beresikopada tingkat likuiditas
yang rendah atau ketika likuiditas tinggi berarti tingkat keuntungan tidak maksimal.

2.2 Rumusan Masalah


1. Apa Definisi Likuiditas ?
2. Apa Penentuan Kebutuhan Likuiditas Bank Syariah?
3. Apa Pemenuhan Bank Cadangan ?
4. Apa Pengelolaan Arus Kas ?
5. Apa Masalah-Masalah Pengelolaan Kas ?
2.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Definisi Likuiditas !
2. Mengetahui Penentuan Kebutuhan Likuiditas Bank Syariah !
3. Mengetahui Pemenuhan Bank Cadangan !
4. Mengetahui Pengelolaan Arus Kas !
5. Mengetahui Apa Masalah-Masalah Pengelolaan Kas

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Likuiditas Bank Syariah


Pengertian likuiditas bank adalah kemampuan bank untuk memenuhi kewajibannya,
terutama kewajiban dana jangka pendek. Dari sudut aktiva, likuiditas adalah kemampuan
bank untuk memenuhi kewajibannya, terutama kewajiban dana jangka pendek. Dari sudut
aktiva, likuiditas adalah kemampuan untuk mengubah seluruh aset menjadi bentuk tunai
(cash), sedangkan dari sudut passive, likuiditas adalah kemampuan bank memenuhi
kebutuhan dana melalui peningkatan portofolio liabilitas.

Dan ada beberapa pengertian tentang likuiditas antara lain sebagi berikut ;

1. Menurut (Joseph E Burns), Likuiditas bank berkaitan dengan kemampuan suatu bank
untuk menghimpun sejumlah tertentu dana dengan biaya tertentu dan dalam jangka
waktu tertentu.
2. Menurut (Oliver G. Wood, Jr), Likuiditas adalah kemampuan bank untuk memenuhi
semua penarikan dana oleh nasabah deposan, kewajiban yang telah jatuh tempo dan
memenuhi permintaan kredit tanpa penundaan.
3. Menurut (Wilian M. Glavin), Likuiditas berarti memiliki sumber dana yang cukup
tersedia untuk memenuhi semua kewajiban
Fungsi likuiditas secara umum untuk :
1. Menjalankan transaksi bisnisnya sehari-hari
2. Mengatasi kebutuhan dana yang mendesak
3. Memuaskan permintaan nasabah akan pinjaman
4. Memberikan fleksibilitas dalam meraih kesempatan investasi menarik yang
menguntungkan
Dalam terminologi keuangan dan perbankan terdapat banyak pengertian mengenai
likuiditas, berapa diantaranya dapat disebutkan sebagi berikut : “likuiditas adalah
kemampuan bank untuk memenuhi kemungkinan ditariknya deposito/simpanan oleh
deposan/penitip”. Dengan kata lain, menurut definisi ini, suatu bank dikatakan likuid apabila
dapat memenuhi kewajiban penaikan uang dari pada penitip dana maupun dari para
peminjam/ debitur.
“Likuiditas adalah kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban hutang-hutangnya,
dapat membayar kembali semua deposannya, serta dapat memenuhi permintaan kredit yang
diajukan para debitur tanpa terjadi penangguhan.”

Likuiditas merupakan suatu hal yang sangat penting bagi bank untuk dikelola dengan
baik karena akan berdampak kepada profitabilitas serta business sustainibility dan continuity.
Hal ini juga tercermin dari peraturan bank Indonesia yang menetapkan likuiditas sebagai
salah satu dari delapan risiko yang harus dikelola oleh bank.

Konsep likuiditas didalam dunia bisnis diartikan sebagai kemampuan menjual asset
dalam waktu singkat dengan kerugian yang paling minimal. Tetapi pengertian likuidias dalam
dunia perbankan lebih kompleks dibanding dengan dunia bisnis secara umum. Dari sudut
aktiva, likuiditas adalah kemampuan untuk mengubah seluruh aset menjadi bentuk tunai
(cash), sedangkan dari sudut pasiva, likuiditas adalah kemampuan bank memenuhi kebutuhan
dana melalui peningkatan portofolio liabilitas.

Manajemen Likuiditas Bank adalah suatu proses pengendalian dari alat-alat likuid
yang mudah ditunaikan guna memenuhi semua kewajiban bank yang segera harus dibayar,
(Muchdarsyah Sinungan, 1992: 75). Manajemen likuiditas adalah menegelola bagaimana
bank dapat memenuhi baik kewajiban yang sekarang maupun kewajiban yang akan datang
bila terjadi penarikan atau pelunasan asset liability yang sesuai dengan perjanjian atau yang
belum diperjanjikan, (Muhamad, 2004 : 66). Untuk menjaga posisi keuangan agar tetap likuid
perusahaan menyisihkan sebagian uang tunainya yang disertai dengan sebagian kekayaan
yang mudah dicairkan menjadi uang untuk keperluan likuiditas. Kekayaan yang mudah
dicairkan disebut current asset sedangkan kewajiban yang harus dibayar dan datang sewaktu-
waktu disebut juga current liabilities.
2.2 Penentuan Kebutuhan Likuiditas Bank Syariah
Pada umumnya kebutuhan likuiditas bank ditentukan oleh adanya beberapa faktor
yang meliputi: (Muhamad, 2005: 24)

A. Kewajiban reserve yang ditetapkan oleh bank sentral

Merupakan Giro Wajib Minimum (GWM) yang merupakan ketentuan Bank


Indonesia. Giro Wajib Minimum merupakan kewajiban reserve (reserve requirement) yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar prosentase dari Dana Pihak Ketiga (DPK).
Perhitungan prosentase GWM dilakukan berdasarkan jumlah harian saldo giro pada Bank
Indonesia dan rata-rata harian jumlah DPK sebagai berikut:

Presentase GWM Jumlah Harian Saldo Giro Rata-Rata DPK


Tanggal Tanggal Tanggal
1 s/d 7 1 s/d 7 16-23 bulan sebelumnya
8 s/d 15 8 s/d 15 24 s/d bulan sebelumnya
16 s/d 23 16 s/d 23 1-7 bulan yang sama
24 s/d akhir bulan 24 s/d akhir bulan 8-15 bulan yang sama

Dana Pihak Ketiga meliputi seluruh DPK dalam rupiah ataupun valuta asing pada seluruh
kantor bank yang bersangkutan di Indonesia. DPK Bank dalam bentuk rupiah meliputi
kewajiban kepada pihak ketiga yang terdiri dari:

 Giro Wadi’ah
 Tabungan Mudharabah
 Deposito Investasi Mudharabah
 Kewajiban lainnya

DPK dalam rupiah tersebut tidak termasuk dana yang diterima oleh Bank Syariah atau Unit
Usaha Syariah dari Bank Indonesia dan Bank Perkreditan Rakyat. DPK Bank dalam bentuk
valuta asing meliputi kewajiban dalam valuta asing kepada pihak ketiga termasuk bank dan
Bank Indonesia yang terdiri dari:

 Giro Wadi’ah
 Deposito Investasi Mudharabah
 Kewajiban lainnya

Formula perhitungan GWM :

GWM Rupiah = 5% x DPKt-2

GWM Valas = 3% x DPKt-2


DPKt-2 : rata-rata harian jumlah DPK bank dalam satu masa laporan untuk periode dua masa
laporan sebelumnya
Sebelum diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia mengenai ketentuan Giro Wajib
Minimum yang terbaru tahun 2008, pada tahun 2004 Bank Indonesia menentukan GWM
untuk mata uang rupiah adalah 5% dari Dana Pihak Ketiga, sedangkan GWM valuta asing
adalah 3% dari Dana Pihak Ketiga. Selain itu terdapat ketentuan tambahan untuk Bank
Syariah sebagai berikut:

a. Bagi bank yang rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK kurang dari 80%, mendapat
tambahan perhitungan GWM sebagai berikut:

 Bank yang memiliki DPK > Rp 1 trilyun sampai dengan Rp 10 trilyun wajib
memelihara GWM tambahandalam rupiah sebesar 1% dari DPK.
 Bank yang memiliki DPK > Rp 10 trilyun sampai dengan Rp 50 trilyun wajib
memelihara GWM tambahan dalam rupiah sebesar 2% dari DPK.
 Bank yang memiliki DPK > Rp 50 trilyun wajib memelihara GWM tambahan dalam
rupiah sebesar 3% dari DPK.

b. Bagi bank yang memiliki rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK sebesar 80% atau
lebih, dan atau yang memiliki DPK dalam rupiah sampai dengan Rp.1.000.000.000.000,-
tidak dikenakan tambahan GWM.

Karena GWM adalah ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia, maka pelanggaran
GWM akan dikenakan sanksi. Pelanggaran GWM terjadi apabila saldo harian Rekening Giro
Bank pada Bank Indonesia kurang dari saldo harian Rekening Giro Bank yang telah
ditetapkan untuk pemenuhan GWM.

Sanksi yang dikenakan pada Bank Syariah jika terjadi pelanggaran GWM adalah:

 Sebesar 125% dari tingkat indikasi imbalan Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS)
jika terjadi pelanggaran GWM dan rekening giro rupiah bank bersaldo positif.
 Sebesar 125% dari tingkat indikasi imbalan PUAS atas kekurangan GWM ditambah
150% dari tingkat indikasi imbalan PUAS atas saldo negative.
 Sebesar 0.04% per hari kerja yang berdasarkan pada selisih antara saldo harian
Rekening Giro valuta asing bank pada Bank Indonesia yang wajib dipelihara dengan
saldo harian Rekening Giro valuta asing Bank yang dicatat pada sistem akuntansi
Bank Indonesia yang dibayarkan dalam bentuk rupiah dengan menggunakan kurs
transksi Bank Indonesa pada hari terjadinya pelanggaran.
B. Tipe Dana yang di Tarik Oleh Bank
Dilihat dari waktu penarikannya, maka pada Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah
terdapat dua jenis, yakni dana yang ditarik sewaktu-waktu meliputi tabungan dan giro
wadi’ah, serta dana yang ditarik pada saat jatuh tempo meliputi investasi mudharabah.
Untuk memperkirakan jumlah penarikan pada tabungan dan giro wadi’ah, serta dana
yang ditarik pada saat jatuh tempo meliputi investasi mudharabah.
Untuk memperkirakan jumlah penarikan pada tabungan dan giro wadi’ah, Bank
Syariah atau Unit Usaha Syariah perlu mengetahui :
 Pengalaman penarikan dana harian pada masa-masa sebelumnya
 Spreading resource, yaitu persebaran dan jumlah pemegang rekening. Sebagai
contoh, jika pada suatu daerah terjadi kecenderungan penarikan dana akibat terjadinya
bencana alam, maka dengan estimasi jebutuhan dana dapat dilakukan dengan melihat
persebaran kantor cabang di daerah tersebut dan jumlah pemegang rekening.
C. Komitmen Bank Kepada Nasabah atau Pihak Lain untuk memberikan Fasilitas
Pembiayaan atau Melakukan Investasi

Bisnis di perbankan merupakan bisnis kepercayaan, oleh karenanya pemenuhan


komitmen harus menjadi fokus Bank Syatish atau Unit Usaha Syariah. Sebagai contoh, jika
suatu Bank Syariah menerbitkan suatu Bank Garansi, maka jika nasabah yang memegang
bank Garansi tersebut wanprestasi terhadap mitra kerjanya, maka komitmen Bank Syariah
untuk menjamin wanprestasi tersebut harus dilaksanakan. Jika hal ini terjadi, maka
memenuhi komitmen tersbeut. Sebaliknya jika Bank Syariah tidak mampu memenuhi
komitmen tersebut karena kesulitan likuiditas, maka kepercayaan nasabah pemegang bank
garansi tersebut akan jatuh, dan selanjutnya akan berpengaruh kepada kepercayaan
masyarakat terhadap Bank Syariah tersebut. Selain itu, Bank Syariah juga akan dihadapkan
pada tuntutan ganti rugi yang dapat meningkatkan beban perusahaan. (Heri Sudarsono :
2003)

2.3 Penentuan Likuiditas Bank Syariah

A. Manajemen Likuiditas Bank


Kesulitan likuiditas seringkali menjadi tanda-tanda awal bahwa suatu bank akan
mengalami kesulitan finansial yang lebih serius. Kesulitan ini biasanya diawali dengan
turunnya simpanan (depposite) masyarakat yang menyebabkan kekurangan alat likuid
sehingga terpaksa harus melakukan pinjaman antar bank dan menjual aktiva cadangannya.
Kesulitan itu akan bertambah parah jika bank-bank lain mulai menolak memberikan bantuan
atau pinjaman kepada bank-bank yang bermasalah. Dalam keadaan sulit bank cenderung akan
berusaha memperoleh pinjaman dana dengan biaya berapapun untuk menjaga citranya.
Kemampuan ini berarti bank mengorbankan profit untuk kepentingan likuiditas. Kemampuan
bank dalam mengelola likuiditasnya secara baik dapat menjamin terpenuhinya kewajiban
secara tertib sehingga bank itu akan terhindar dari resiko biaya pinjaman yang tinggi.

Adapun tujuan manajemen likuiditas adalah untuk (Leon dan Ericson, 2007):
pertama, menjaga posisi likuiditas bank agar selalu berada pada posisi yang ditentukan oleh
otoritas moneter yaitu Bank Indonesia. Kedua, mengelola alat-alat likuid agar selalu
memenuhi semua kebutuhan arus kas termasuk kebutuhan yang tidak diperkirakan, misalnya
penarikan yang tiba-tiba terhadap sejumlah giro atau deposito berjangka yang belum jatuh
tempo. Ketiga, meminimalkan idlefund (dana yang menganggur). Keempat, menjaga posisi
likuiditas dan proyeksi arus kas agar selalu dalam posisi aman terutama dalam tingkat bunga
berfluktuatif.

Selain tujuan di atas, menurut Sinkey ada lima fungsi utama manajemen likuiditas
bank, yaitu (Latumaerisa: 1999):
1. Menunjukan dirinya sebagai tempat yang aman untuk menyimpan uang. Mampu
memberikan rasa aman kepada para nasabah deposan, penabung, maupun kreditor
lainnya. Fungsi utama likuiditas adalah jaminan bahwa uang yang disimpan/
dipinjamkan kepada bank dapat dibayar kembali oleh bank tersebut pada saat jatuh
tempo.
2. Memungkinkan bank memenuhi komitmen pinjamannya. Menjamin tersedianya dana
bagi setiap pemohon kredit yang telah disetujui. Jika bank menolak untuk
menyediakan dana atas permohonan kredit yang telah disetujui, mungkin debitor akan
lari ke bank lain. Sebaiknya bank mampu mengantisipasi kebutuhan-kebutuhan para
debitor di masa mendatang.
3. Untuk menghindari penjualan aktiva yang tidak menguntungkan Mencegah penjualan
asset secara terpaksa. Apabila bank tidak dapat memperpanjang pinjaman yang
diterima dari bank lain, salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah
dengan terpaksa menjual surat berharga yang umumnya dengan harga rendah. Hal itu
jelas akan memperburuk tingkat modal bank tersebut.
4. Untuk menghindarkan diri dari penyalahgunaan kemudahan atau kesan “negative”
dari penguasa moneter karena meminjam dana likuiditas dari bank
sentral.Menghindari diri dari kewajiban membayar suku bunga yang tinggi atas dana
yang diperoleh di pasar uang. Pemilik dana menganggap bahwa menempatkan/
meminjamkan dana pada bank beresiko tinggi. Oleh karena itu, pemilik dana akan
selektif dan mungkin akan menempatkan dananya dengan suku bunga yang tinggi.
5. Memperkecil penilaian risiko ketidakmampuan membayar kewajiban penarikan dana.
Menghindarkan diri dari penggunaan fasilitas discountwindow secara terpaksa.
Semakin sering suatu bank menggunakan fasilitas discountwindow, semakin tidak
bebas manajemen bank tersebut menentukan dan melaksanakan kebijakan usahanya.
Hal itu karena bank sentral akan mendikte manajemen bank tersebut untuk
memperbaiki tingkat kesehatan banknya.

Dengan demikian ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengelola likuiditas,
yaitu:

a) Posisi likuiditas harian/mingguan harus dapat dijaga sesuai dengan ketentuan bank
sentral.
b) Memelihara alat likuiditas secukupnya agar bank selalu dapat melindungi kebutuhan
kas keluar yang tidak terduga sebelumnya.
c) Mengoperasikan kelebihan likuiditas secara efektif agar bank selalu dapat melindungi
kebutuhan kas keluar yang tidak terduga sebelumnya.
d) Menentukan besarnya reserve yang diperlukan dalam primary reservedan secondary
reserve.

Teori manajemen likuiditas pada dasarnya adalah teori yang berkaitan dengan
bagaimana mengelola dana dan sumber-sumber dana bank agar dapat memelihara posisi
likuiditas dan memenuhi segala kebutuhan likuiditas dalam kegiatan operasional bank sehari-
sehari. Beberapa teori manajemen likuiditas yang dikenal dalam dunia perbankan antara lain
dibawah ini (Sinungan, 1993):

1. Commercialloantheory.
Teori ini beranggapan bahwa bank-bank hanya boleh memberikan pinjaman dengan
surat dagang jangka pendek yang dapat dicairkan dengan sendirinya (selfliquidating).
Teori ini dikenal juga dengan istilah productive theory ofcredit, atau sering disebut
real billsdoctrine yang diperkenalkan sejak abad 18. Teori ini cukup dominan sampai
tahun 1920-an. Pada prinsipnya teori ini menitik beratkan sisi aktiva dari neraca bank
dalam memenuhi kebutuhan likuiditas bank. Likuiditas bank menurut teori ini akan
dapat terjamin apabila aktiva produktif bank yang terdiri dari kredit jangka pendek
dicairkan dalam kegiatan usaha yang berjalan secara normal. Dan apabila bank yang
bersangkutan akan memberikan kredit yang lebih panjang, hendaknya sumber data
diambil dari modal bank dan sumber dana jangka panjang. Secara khusus teori
menyatakan bahwa bank harus memberikan kredit jangka pendek atau self-
liquidatingloans, seperti kredit yang digunakan untuk modal kerja usaha untuk
memproses suatu produksi secara musiman atau yang bersifat sementara, misalnya
pertanian. Sebelum tahun 1920an bank-bank menitikberatkan portofolio kreditnya
sebagai sumber tambahan likuiditas karena saat itu tidak banyak alternative lain
sebagai sumber-sumber likuiditas. Surat-surat berharga jangka pendek yang dapat
dijual kembali bila bank membutuhkan likuiditas jumlahnya belum memadai untuk
dapat dijadikan sebagai cadangan likuiditas (Siamat, 2005). Kelemahan commerciall
oantheory ini sebagai sumber likuiditas bank adalah:
a) Banyak kredit bukan jangka pendek dan tidak selfliquidating
b) Dalam situasi ekonomi yang sedang lesu, kredit modal kerja,yang pelunasannya
berasal dari arus kas nasabah debitur, akan menjadi tidak lancar.
c) Kredit jangka pendek dapat menjadi jangka panjang melalui perpanjangan waktu
secara terus menerus
d) Dalam perekonomian yang semakin maju, kredit jangka menengah/ panjang akan
menjadi semakin penting dan dibutuhkan
e) Teori ini mengabaikan kenyataan bahwa dalam keadaan normal atau stabil, sumber-
sumber dana bank, misalnya : giro, deposito, tabungan dan sebagainya,
memungkinkan untuk disalurkan sebagai kredit yang jangka waktunya lebih panjang.

Secara implisit teori ini menganggap bahwa likuiditas dapat terpenuhi dengan hanya
mengandalakan sumber dari pelunasan dan atau pembayaran kredit oleh nasabah. Padahal
penarikan simpanan dan pencairan kredit dapat melebihi likuiditas yang hanya bersumber
dari pelunasan kredit.

2. Shiftabilitytheory.
Teori ini beranggapan bahwa likuiditas sebuah bank tergantung pada kemampuan
bank untuk memindahkan aktivanya ke orang lain dengan harga yang dapat
diramalkan.Pada tahun 1920-an, bank mengembangkan teori likuiditas sebagai reaksi
dari banyaknya kelemahan pada teori commercialloan, yaitu doctrine of asset
shiftability. Menurut teori ini, bank dapat segera memenuhi kebutuhan likuiditasnya
dengan memberikan shiftableloan atau callloan, yaitu pinjaman yang harus dibayar
dengan pemberitahuan satu atau beberapa hari sebelumnya dengan jaminan surat surat
berharga. Oleh karena itu, apabila bank membutuhkan likuiditas pada suatu waktu,
maka kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dengan melakukan penagihan kepada
peminjam atau debitur. Peminjam kemudian dapat melunasi pinjaman tersebut
baiksecara langsung maupun tidak langsung dengan cara mengalihkan (shifting)
pinjamannya tersebut kepada bank lain. Apabila karena satu dan lain alasan pinjaman
tersebut tidak dapat dibayar kembali, maka bank dapat menjual barang jaminan
berupa surat-surat berharga untuk pelunasannya. Doktrin ini akan dapat berfungsi
apabila pasar keuangan sudah berkembang dan cukup aktif (likuid), dengan
pengertian bahwa berapapun jumlah permintaan dan penawaran dapat diserap oleh
pasar.Kelemahan teori ini adalah apabila dalam waktu yang bersamaan bank-bank
membutuhkan likuiditas dan menjual jaminan surat-surat berharga tersebut untuk
memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Dalam situasi seperti ini, bukan saja akan
menyebabkan kredit tersebut tidak dapat dialihkan, tapi juga akan menyebabkan
turunya harga surat berharga karena bank-bank menjual jaminannya (surat berharga)
dalam waktu yang bersamaan.
3. Anticipatedincometheory.
Disebut juga teori pendapatan yang diharapkan. Teori ini berkesimpulan bahwa sama
sekali benar bagi sebuah bank untuk memberikan pinjaman-pinjaman jangka panjang
dan pinjaman-pinjaman bukan untuk dagang.Padadecade 1930 an dan 1940 an bank-
bank mengembangkan teori baru yang disebut dengan anticipatedincometheory. Teori
ini menyatakan bahwa bank-bank seharusnya dapat memberikan kredit jangka
panjang dimana pelunasannya, yaitu cicilan pokok pinjaman ditambah bunga, dapat
diharapkan dan dijadwalkan pembayarannya pada waktu yang akan datang sesuai
dengan jangka waktu yang telah ditetapkan. Jadwal pembayaran kembali nasabah
berupa angsuran pokok dan bunga akan memberikan cashflow secara teratur yang
dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bank. Timbulnya teori ini
diawali oleh rendahnya permohonan kredit kepada bank yang mengakibatkan
terjadinya kelebihan likuiditas dan rendahnya keuntungan yang diperoleh bank ,
khususnya pada saat terjadi depresi ekonomi. Dengan diperkenalkannya
anticipatedtheory, bank-bank terdorong untuk lebih agresif dengan berani
memberikan kredit yang berjangka panjang, misalnya: kredit real etate, kredit
investasi dan kredit konsumsi.

Kelemahan anticipatedincometheory yaitu, teori ini menganggap semua kredit dapat


ditagih sesuai dengan waktu yang dijadwalkan tanpa memperhatikan kemungkinan terjadinya
kegagalan pengembalian kredit oleh debitur akibat factorekstrern dan atau intern. Factor –
factor ekstern terjadi diluar kendali nasabah, misalnya terjadi resesi ekonomi yang
berkepanjangan dan kebijakan pemerintah yang kurang mendukung. Factor intern antara lain
terjadinya mismanagement atau karena kurangnya tenaga yang berpengalaman dan terampil
dalam perusahaan. Teori likuiditas ini sulit diharapkan sebagai sumber likuiditas minimum
dan memenuhi kebutuhan permintaan kredit yang segera harus dipenuhi.
4. Liabiltymanagementtheory.
Teori ini melihat struktur aktiva bank mempunyai peran mencolok yang harus
dimainkan dalam menyediakan likuiditas untuk bank. Teori ini juga terus melampaui
cara pendekatan dengan satu dimensi dan menyatakan bahwa bank juga dapat
menggunakan aktivanya untuk tujuan-tujuan likuiditas.

B. Rasio Likuiditas Bank

Kasmir (2003) menyatakan bahwa rasio likuiditas merupakan rasio untuk mengukur
kemampuan bank dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya pada saat ditagih. Dengan
kata lain dapat membayar kembali pencairan dana deposannya pada saat ditagih beserta dapat
mencukupi permintaan kredit yang telahdiajukan. Semakin besar rasio ini semakin likuid.
Untuk melakukan pengukuran rasio ini memiliki beberapa jenis rasio yang masing-masing
memiliki maksud dan tujuan tersendiri. Adapun jenis-jenis rasio likuiditas antara lain
QuickRatio, InvestingPolicyRatio, BankingRatio, Assets To LoanRatio, Invesment Portofolio
Ratio, CashRatio, Loanto deposit ratio (LDR).

Adapun Judiseno (2005) menulis rasio likuiditas hampir sama dengan diatas yaitu
meliputi beberapa alat pengukuran seperti:

1. Pengukuran kemampuan bank membayar kembali kewajibannya dengan harta lancar


(kas asset) yang dimilikinya, disebut dengan istilah quickratio.
2. Pengukuran kemampuan bank membayar kembali kewajibannya dengan mencairkan
surat-surat berharga, disebut dengan istilah investingpolicyratio.
3. Pengukuran kemampuan untuk membayar kembali kewajibannya dengan menarik
kembali kredit-kredit yang pernah dicairkan oleh bank, disebut dengan istilah
bankingratio.
4. Pengukuran kemampuan bank untuk memenuhi permintaan kredit dengan harta bank
yang tersedia, disebut dengan istilah loantoassetratio.
5. Pengukuran tingkat likuiditas penanaman dana dalam surat-surat berharga, disebut
dengan istilah investmentportfolioratio.
6. Pengukuran kemampuan bank membayar kembali kewajibannya yang sudah jatuh
tempo dengan harta lancar yang dimilikinya disebut denganistilah cashratio.

Besar kecilnya masing-masing rasio menentukan likuid dan tidak likuidnya suatu
bank. Namun, bukan berarti semakin besar rasio likuiditas otomatis menunjukkan hasil yang
baik, melainkan tergantung kepada masing-masing pengukuran dan kepentingan rasio itu
sendiri pada pengukuran loantoassetratio, hasil yang semakin rendah menunjukkan tingkat
yang lebih baik. Secara umum penetapan rasio likuiditas yang baik adalah lebih dari 100%,
dengan kata lain harta lancar adalah sama dengan atau lebih besar dari hutang lancarnya.

Sedangkan menurut Dahlan Siamat (2005), rasio-rasio yang umum digunakan untuk
mengukur likuiditas bank antara lain sebagai berikut:

1. Rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga. Rasio ini dapat dijadikan ukuran untuk
menilai kemampuan bank dalam memenuhi kebutuhan likuiditas akibat penarikan
dana oleh pihak ketiga dengan menggunakan alat-alat likuid bank yang tersedia. Alat
likuid bank tersedia atas: uang kas, saldo giro pada bank sentral dan bank-bank
koresponden. Semakin besar rasio ini semakin baik pula posisi likuiditas bank yang
bersangkutan.
2. Rasio kredit terhadap total dana pihak ketiga. Rasio likuiditas ini juga sering disebut
dengan loanto deposit ratio atau LDR. Rasio ini memberikan indikasi mengenai
jumlah dana pihak ketiga yang disalurkan dalam bentuk kredit. Rasio yang tinggi
menggambarkan kurang baiknya posisi likuiditas bank. umumnya, rasio sampai
dengan 100% memberikan gambaran yang cukup baik atas keadaan likuiditas bank.
Namun berdasarkan ketentuan bank Indonesia, rasio likuiditas yang digunakan untuk
menilai tingkat kesehatan bank adalah rasio kredit terhadap dana yang diterima bank
dalam rupiah dan valas. Dana yang diterima bank meliputi: kredit likuiditas BI; giro,
deposit, dan tabungan masyarakat; pinjaman bukan dari bank yang berjangka waktu
lebih dari 3 bulan dan tidak termasuk pinjaman subordinasi; deposito dan pinjaman
dari bank lain yang berjangka waktu lebih 3 bulan; surat berharga yang diterbitkan
bank yang berjangka waktu lebih dari 3 bulan; modal lain; dan modal pinjaman.
Semakin tinggi rasio ini semakin buruk kondisi likuiditas bank. bank Indonesia
memberi nilai kredit (0) bagi bank yang memiliki rasio sebesar 115% atau lebih
berdasarkan ketentuan penilaian tingkat kesehatan bank untuk faktor likuiditas.
3. Rasio kewajiban bersih callmoney terhadap aktiva lancar, dalam rupiah.Rasio ini
menunjukkan besarnya callmoney bank terhadap total aktiva lancar yang meliputi:
kas, giro pada Bank Indonesia, SBI dan SPBU yang telah di-endos bank lain. Menurut
ketentuan Bank Indonesia maksimum rasio adalah 100%.
4. Rasio surat-surat berharga jangka pendek terhadap total portfolio surat-surat berharga.
Rasio ini memberikan informasi bahwa semakin besar porsi penanaman dana dalam
surat-surat berharga yang jatuh temponya kurang dari satu tahun terhadap total
portfolio surat-surat berharga semakin baik pula posisi likuiditas bank.
5. Total kredit terhadap total asset. Rasio ini mengukur kemampuan bank memenuhi
permintaan kredit dengan menggunakan asset bank. kenaikan rasio ini menunjukan
rendahnya likuiditas bank.

Kredit merupakan salah satu faktor yang memengaruhi tingkat likuiditas bank.
Penyaluran kredit memberikan pendapatan dari selisih nilai bunga kredit yang ditentukan dan
masyarakat akan mendapatkan pinjaman dana dari bank dengan masa pengembalian dalam
jangka waktu tertentu sehingga antara masyarakat dan bank mendapatkan manfaat serta
keuntungan tersendiri. Penyaluran kredit merupakan sumber utama pendapatan bank dari
nilai bunga kredit. Besaran pendapatan bank ini diberikan oleh debitur pada saat jatuh tempo.
Perbankan merupakan perusahaan yang paling berisiko sehingga nominal besarnya
pendapatan sebagian disisihkan untuk cadangan kerugian bank (Haq et al.,2019).

Dalam kamus Bank Indonesia, cadangan kerugian bank ini disebut dengan cadangan
antisipasi yakni cadangan yang dibuat oleh bank untuk mengantisipasi adanya kerugian pada
kegiatan bank yang paling berisiko yakni kredit. Cadangan bank ini akan memperkuat tingkat
likuiditas dan menghindari risiko likuiditas. Adanya cadangan dari penyaluran kredit ini,
membuat bank dapat melayani setiap transaksi nasabah baik penarikan dana maupun
permintaan dana yang merupakan tolak ukur tingkat likuditas. ndonesia yang dilakukan oleh
Pratama (2018) bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara penyaluran kredit terhadap
likuiditas yakni semakin tinggi penyaluran kredit maka likuiditas juga semakin tinggi. Ini
dapat berarti penyaluran kredit yang besar dapat memperkuat tingkat likuiditas
(Meriläinen&Junttila, 2020; Smaouietal., 2020). Hackethaletal. (2010) membuktikan bahwa
bank dengan pinjaman dalam jumlah besar menciptakan lebih banyak likuiditas, demikian
pula dalam analisisnya terhadap bank-bank komersial yang terdaftar di Eropa dan Amerika
Serikat. Angora dan Roulet (2011) berpendapat bahwa penciptaan likuiditas akan lebih
rendah jika pemberian pinjaman terkonsentrasi pada pinjaman likuid. Hal senada juga
dinyatakan oleh Meriläinen dan Junttila (2020), Smaouietal.(2020), Horváthetal. (2014), serta
Lei danSong (2012) yang menyatakan bahwa pengaruh risiko kredit terhadap
liquiditycreation adalah positif. Namun pendapat ini berbeda dengan riset yang menemukan
bahwa ketika penyaluran kredit meningkat, maka kemampuan bank dalam penciptaan
likuiditas menurun. Hal ini dikarenakan penyediaan dana menjadi kecil, karena bank telah
mentransformasi modal dan simpanan nasabah dalam bentuk penyaluran kredit (Diamond
&Rajan, 2001; Gorton&Winton, 2017, 2000)

Ada 2 (dua) teori yang mendasari penelitian tentang penciptaan likuiditas, yaitu:

A. Teorithe “financialfragility-crowdingout” hypothesis (Diamond &Rajan 2000, 2001;


Gorton&Winton, 2000). Teori ini didasarkan pendapat yang menyatakan bahwa
penyaluran kredit oleh bank berdampak pada penurunan ketersediaan dana untuk
deposan, karena proporsi dana dialokasikan lebih besar pada penyaluran kredit. Hal
ini berdampak pada penurunan kemampuan likuiditas bank. Ini menandakan, semakin
besar rasio permodalan bank apabila diiringi dengan jumlah penyaluran kredit yang
semakin besar maka semakin menurunkan rasio likuiditas bank. Dengan demikian
pengaruh penyaluran kredit terhadap likuiditas bank adalah negatif. Teori
“financialfragility” yang dikemukakan oleh Diamond dan Rajan (2001)
mengasumsikan bank tidak menyimpan atau menahan dana dari masyarakat,
melainkan mengembalikan dana tersebut dalam bentuk penyaluran kreditkepada
masyarakat yang produktif. Jika penyaluran kredit dilakukan secara gencar maka
kemampuan bank untuk penciptaan likuiditas akan menurun. Teori “crowding-out”
yang dikemukakan oleh GortondanWinton (2017, 2000) menjelaskan peningkatan
rasio modal bank yang bersumber dari dana pihak ketiga akan cenderung
meningkatkan kredit dan menurunkan likuiditas bank
B. The “riskabsorption” hypothesis yang dikemukakan BergerdanBouwman (2009)
melihat dari pandangan yang berbeda. Peningkatan rasio modal bankakan diiringi
dengan peningkatan bank untuk menahan dana dalam rangka meningkatan cadangan-
cadangan untuk menyerap risiko. Hal ini memungkinkan bank untuk membuat
kemampuan likuiditas semakin besar. Bank memiliki ketersediaan dana yang cukup
apabila sewaktu-waktu deposan menarik dananya. Teori riskabsorption memberikan
asumsi bahwa semakin besar rasio modal yang diiringi dengan penyaluran kredit
maka dapat membentuk likuiditas yang besar, memiliki hubungan yang positif. Hal
ini dikarenakan semakin besar penyaluran kredit, maka bank akan mempersiapkan
diri dari sisi likuiditas dengan meningkatkan cadangan pemenuhan modal bank agar
tidak terjadi risiko likuiditas.

2.4. Pengelolaan Arus Kas

A. Pengukuran Rasio Likuiditas

Berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No. : KEP-100/MBU/2002 dalam mengukur


tingkat likuiditas suatu perusahaan yaitu menggunakan currentratio (rasio lancar) dan
cashratio (rasio kas).

1) Current Ratio (Rasio Lancar)

CurrentRatio (Rasio Lancar) merupakan rasio untuk mengukur kemampuan


perusahaan dalam memenuhi atau membayar kewajiban jangka pendek yang segera harus
dipenuhi dengan aktiva lancar.

Menurut Kasmir (2012, hal 134), Rasio lancar merupakan rasio untuk mengukur
kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendek atau utang yang segera
jatuh tempo pada saat ditagih secara keseluruhan. Dengan kata lain, seberapa banyak aktiva
lancar yangtersedia untuk menutupi kewajiban jangka pendek yang segera jatuh tempo. Rasio
lancar dapat pula dikatakan sebagai bentuk untuk mengukur tingkat keamanan (margin
ofsafety) suatu perusahaan.

Rumus perhitungan rasio lancar sebagai berikut :

Aktiva Lancar
Rasio Lancar= x 100 %
Hutang Lancar

Dari hasil pengukuran rasio, apabila rasio lancar rendah, dapat dikatakan bahwa
perusahaan kurang modal untuk membayar utang. Namun, apabila hasil pengukuran rasio
tinggi, belum tentu kondisi perusahaan sedang baik. Hal ini dapat saja terjadi karena kas tidak
digunakan sebaik mungkin. Untuk mengatakan kondisi suatu perusahaan baik atau tidaknya,
ada suatu standar rasio yang digunakan. Berdasarkan teori, standar rasio lancar yaitu 2 kali
atau 200 % yang artinya dengan hasil rasio seperti itu, perusahaan sudah merasa berada di
titik aman dalam jangka pendek, dan begitu sebaliknya.

Sedangkan berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No. : KEP-penilaian perusahaan


BUMN untuk CurrentRatio (Rasio Lancar) adalah skor 4 (BUMN Infrastuktur) dan skor 5
(BUMN Non Infrastruktur).

2) CashRatio (Rasio Kas)

CashRatio (Rasio Kas) merupakan rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan


dalam memenuhi atau membayar kewajiban jangka pendek yang segera harus dipenuhi
dengan kas dan setara kas.
Menurut Kasmir (2012, hal 138), Cashratio merupakan alat yang digunakan untuk
mengukur seberapa besar uang kas yang tersedia untuk membayar utang. Ketersediaan uang
kas dapat ditunjukkan dari tersedianya dana kas atau yang setara dengan kas sepeti rekening
giro atau tabungan di bank (yang dapat ditarik setiap orang). Dapat dikatakan rasio ini
menunjukkan kemampuan sesungguhnya bagi perusahaan untuk membayar utang – utang
jangka pendeknya.

Rumus perhitungan rasio kas sebagai berikut :

Kas dan Setara Kas


Rasio Kas= x 100 %
Hutang Lancar

Berdasarkan teori, jika rata – rata industri untuk cashratio adalah 50% maka keadaan
perusahaan lebih baik dari perusahaan lain. Namun, kondisi rasio kas terlalu tinggi juga
kurang baik karena ada dana yang menganggur atau tidak atau belum digunakan secara
optimal. Sebaiknya apabila rasio kas di bawah rata – rata industri, kondisi kurang baik
ditinjau dari rasio kas karena untuk membayar kewajiban masih memerlukan waktu untuk
menjual sebagian dari aktiva lancar lainnya.

Sedangkan berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No. : KEP-100/MBU/2002,


standar skor penilaian perusahaan BUMN untuk CashRatio (Rasio Kas) adalah skor 3
(BUMN Infrastuktur) dan skor 5 (BUMN Non Infrastruktur).

3) Rasio cepat (Quick Rasio)

Digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan Dalam menutup atau membayar


kewajiban lancar Dengan menggunakan aktiva lancar tanpa memasukan nilai persediaan

Aktiva Lancar −Persediaan


Quick Rasio= x 100 %
Hutang Lancar

B. Analisis Arus Kas dalam Meningkatkan Likuiditas


Analisis terhadap arus kas sering digunakan untuk menggambarkan kesanggupan
perusahaan dalam memenuhi biaya operasional dan kewajibanperusahaan, karena menurut
Jumingan (2011, hal 97), Kas merupakan aktiva yang paling likuid atau merupakan salah satu
unsur modal yang paling tinggi likuiditasnya, berarti bahwa “Semakin besar jumlah kas yang
dimiliki oleh suatu perusahaan akan semakin tinggi pula tingkat likuiditasnya. Akan tetapi,
suatu perusahaan yang mempunyai tingkat likuiditas yang tinggi karena adanya kas dalam
jumlah yang besar berarti tingkat perputaran kas tersebut rendah dan mencerminkan adanya
over investment dalam kas dan berarti pula perusahaan kurang efektif dalam mengelola kas”.

Hubungan antara arus kas dan likuiditas juga sesuai dengan teori Munawir (2010, hal
158) yang mengemukakan bahwa, “Semakin besar nilai arus kas dari aktivitas operasi,
investasi dan pendanaan yang dimiliki oleh suatu perusahaan semakin besar pula kemampuan
perusahaan dalam memenuhi kewajiban lancarnya pada saat jatuh tempo dan begitu pun
sebaliknya”. Informasi tentang arus kas yang dianggarkan dapat menghasilkan informasi
yang relevan, karena dari aliran kas ini dapat diketahui kebutuhan untuk operasi perusahaan
dari sumber penerimanya.

Oleh karena itu, setiap perusahaan baik perusahaan Badan usaha Milik Negara
(BUMN) maupun perusahaan swasta dituntut agar mampu mengelola dana yang ada untuk
dipergunakan membiayai segala jenis kegiatannya dan harus berhati-hati dalam menangani
masalah keuangan, khususnya dalam pengelolaan sumber daya dan penggunaan kas, karena
dapat berdampak pada kemampuan perusahaan dalam mendapatkan laba serta tingkat
likuiditas perusahaan di masa yang akan datang. Mengingat banyaknya penerimaan dan
pengeluaran kas yang dikelola, maka diperlukan suatu daftar yang memuat semua arus kas
masuk (cash in flow) dan arus kas keluar (cash out flow) yang disajikan dalam bentuk
laporan arus kas (cash flow statement).

2.5 Masalah – Masalah Pengelolaan Likuiditas


Masalah pengelolan likuiditas adalah masalah yang berhubungan dengan kemampuan
suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansialnya yang segera harus dipenuhi.
Jumlah alat-alat pembayaran (alat likuid) yang dimiliki oleh suatu perusahaan pada suatu saat
merupakan kekuatan membayar dari perusahaan yang bersangkutan. Suatu perusahaan yang
mempunyai kekuatan membayar belum tentu dapat memenuhi segala kewajiban finansialnya
yang segera harus dipenuhi atau dengan kata lain perusahaan tersebut belum tentu memiliki
kemampuan membayar. Kemampuan membayar baru terdapat pada perusahaan apabila
kekuatan membayarnya adalah demikian besarnya sehingga dapat memenuhi semua
kewajiban finansialnya yang segera harus dipenuhi (Riyanto, 2001). Dengan demikian, maka
kemampuan membayar itu dapat diketahui setelah membandingkan kekuatan membayarnya
di satu pihak dengan kewajiban-kewajiban finansialnya yang segera harus dipenuhi di lain
pihak.

Secara umum, pengertian likuditas adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan


dana (cash flow) dengan segera dan dengan biaya yang sesuai, dimana fungsi dari likuditas
secara umum untuk (Riyanto, 2001): pertama, enjalankan transaksi bisnisnya sehari-hari.
Kedua, mengatasi kebutuhan dana yang mendesak. Ketiga, memuaskan permintaan nasabah
akan pinjaman dan memberikan fleksibiltas dalam meraih kesempatan investasi menarik yang
menguntungkan. Sedangkan menurut kamus besar Bahasa Indonesia pengertian likuiditas
pada umumnya adalah mengenai posisi uang kas suatu perusahaan dan kemampuannya untuk
memenuhi kewajiban (membayar utang) yang jatuh tempo tepat pada waktunya. Apabila
dikaitkan dengan lembaga bank, berarti kemampuan bank setiap waktu umtuk membayar
utang jangka pendeknya apabila tiba-tiba ditagih oleh nasabah atau pihak-pihak terkait. Jadi,
yang dimaksud likuiditas disini adalah kemudahan mengubah aset menjadi uang tunai dari
masing-masing bank yang bersangkutan.

Apabila ditinjau lebih lanjut, penyebab masalah likuiditas adalah bukan disebabkan
kalah kliring semata, dalam hal ini kalah kliring hanyalah merupakan sebab langsung,
sedangkan faktor yang lebih mendasar yang sebenarnya adalah manajemen likuiditas yang
tidak baik dalam jangka waktu yang lama. Manajemen likuiditas yang tidak baik antara lain
disebabkan pihak bank terlalu berani memberikan pinjaman tanpa memperhatikan portofolio
atau komposisi dananya, misalnya dilihat dari loan to desosit ratio yang diatas 100%.

Sebenarnya manajemen likuiditas yang tidak baik yang menjerumuskan timbulnya


maslah likuiditas yang ditandai ciri-ciri antara lain sebagai berikut:

1. Loan to Deposit

Ratio (LDR) diatas 100% Loan to deposit ratio adalah alat ukur tradisional untuk mengetahui
suatu perbankan atau sejumlah besar deposit (tabungan, giro, dan deposito) yang telah
diberikan dalam bentuk pinjaman. Suatu rasio yang tinggi menunjukan bahwa bank tersebut
cenderung memiliki LDR yang lebih tinggi dibandingkan dengan bank yang lebih kecil.
Tetapi bagaimanapu juga adalah suatu hal yang umum pada bank kecil untuk memiliki ratio
yang lebih besar (lebih besar dari 100%) untuk bank-bank yang beroperasi di daerah
pertanian. Feomena kejadian ini muncul pada saat musim tanam tiba dimana permintaan akan
pinjaman lebih besar daripada yang di depositkan. LDR dikenal sebgai suatu cara untuk
mengukur tingkat likuiditas suatu bank. Semakin tinggi angka tersebut semakin tidak likuid
posisi bank yang bersangkutan. Hal ini dapat terjadi karena pinjaman yang diberikan bukan
hanya dibiayai dari dana deposito berjangka tetapi juga berasal dari dana curren account.
Sifat curren account yang dapat ditarik sewaktu-waktu oleh pemiliknya dapat mengakibatkan
masalah likuiditas suatu bank karena dananya masih tertanam dipinjaman yang masih belum
jatuh tempo.

2. Money center bank and purchased find (hot money)

Istilah money center bank dipakai untuk menyebut bank yang banyak mengandalkan
operasinya dari pasar uang. Bank yang demikian ini biasanya mempunyai bahwa jumlah dana
yang dikumpulkan lewat pasar uang relatif lebih besar jika dibandingkan dengan uang yang
dikumpulkan dari masyarakat. Dalam situasi uang ketat, pinjaman dari pasar uang biasanya
agak langka sehingga pinjaman pasar uang yang sudah jatuh tempo sulit untuk diperpanjang
lagi. Apabaila dana dari pasar uang tersebut masih tertanam pada kredit, maka bank tersebut
kemungkinan akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya.
Purchased fund and hot money, secara konseptual hot money disebabkan oleh karena adanya
suatu kurva penawaran yang betul-betul elastic, yang secara mudah dapat dikatakan bahwa
dana yang kita dapat sangat sensitive terhadap perubahan tingkat bunga. Hot money biasanya
terdiri dari sebagian besar dalam bentuk deposito, eurodollar, petrodollar, federal fund
purchased, dan repo. Secara kasar dapat dikatakan bahwa sepertiga dari dana yang didapat
oleh bank-bank besar adalah dana yang dibeli (hot money). Bank-bank yang banyak
mengandalkan hot money menunjukan bahwa bank tersebut sebenarnya kurang memiliki
simpanan dana untuk mengatasi masalah likuiditas.

3. Patuh secara kaku terhadap reserve requirement

Pada awalnya reserve requirement ditetapkan untuk menjaga likuiditas dan keselamatan
bank. Sesuai dengan tujuannya, angka reserve requirement ditetapkan berdasarkan kebutuhan
rata-rata nasabah untuk menarik uang kasnya. Namun demikian saat ini banyak orang
menganggap bahwa ketentuan itu merupakan instrument moneter yang dipakai oleh bank
sentral untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar. Oleh karena itu, banyak bank yang
menganggap bahwa dirinya dapat berkerja secara efesien apabila dapat memenuhi ketentuan
itu secara kaku seperti yang ditetapkan oleh penguasa moneter. Tanpa pertimbangan
kebutuhan kas yang sebenarnya sesuai dengan kebiasaan nasabah dalam menarik dana, bank
yang bersangkutan dapat mengalami kalah kliring. Kebutuhan atau kebiasaan nasabah dapat
berbeda antara suatu bank dengan bank yang lainnya sehingga kepatuhan secara kaku
terhadap angka reserve requirement sebasar 2% dapat menimbulkan persoalan likuiditas.

4. Ekspansi kredit yang berlebihan

Banyak para banker uang berpikir bahwa kredit yang besar dapat menghasilkan keuntungan
yang besar pula,. Dengan jalan pikiran semacam itu, para banker dapat lupa dengan
menyetujui permohonan pinjaman sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan jumlah dana
yang dapat dikumpulkan. Apabila hal ini sampai terjadi penarikan uang dari para debitur atas
fasilitas pinjamannya dapat mengakibatkan terjadinya kalah kliring karena nilai cek masuk
(dari debitur) yang ditarik atas banknya jauh lebih besar dari cek yang keluar (nasabah bank
lain yang menyetor dana ke bank kita).

5. Lemahnya manajemen secoundary seresve

Industri perbankan yang sudah maju biasanya banyak sekali muncul inovasi keuangan.
walaupun derajatnya relatif kecil, industry perbankan di Indonesia tergolong maju terutama
setelah deregulasi sehingga muncul banyak instrument keuangan yang baru. Adanya
instrument baru memungkinkan adanya secoundary reserve yaitu aktiva yang menghasilkan
tetapi sifatnya relatif likuid. Dalam situasi uang ketat, peranan secoundary reserve sangat
menentukan. Posisi likuid karena tidak mencukupinya posisi primary reserve dapa segera
diatasi dengan perubahan secondary reserve sehingga dapat segera kembali ke posisi likuid.
Masalah likuiditas yang nyaris terjadi akan dapat ditolong apabila bank yang bersangkutan
tidak lemah manajemen secoundary reservenya.

6.Evergreening Loan

Istilah evergrrening loan dipakai untuk menunjukan pinajaman yang selalu diperpanjang pada
saat jatuh tempo sehingga sifat pinjamannya menjadi abadi. Dalam situasi uang ketat,
mungkin saja bank membutuhkan dana hasil pencairan pinjaman guna memenuhi
likuiditasnya. Apabila pinjaman dimaksud telah terbiasa diperpanjang pada saat jatuh tempo
dan ini berlaku untuk semua fasilitas kreditnya, kemungkinan besar bank yang seperti ini
akan mengalami masalah likuiditas pada saat uang ketat.
7. Negatif gap position yang cukup besar

Istilah ini dipakai untuk menunjukan jumlah sensitive liability suatu bank lebih besar dari
sensitive assetnya. Dalam posisi struktur asset seperti ini, maka bank yang bersangkutan
harus melakukan repricing liability yang lebih banyak dari pada asetnya. Pada saat posisi
uang ketat, dimana tarif bunga cenderung meningkat bank harus berani membayar bunga
yang lebih besar dibandingkan sebelum masa jatuh tempo terhadap sensitive liability seperto
depositi dan tabungan.

Dengan demikian sebenarnya masalah likuiditas sangat besar kemungkinannya untuk


dapat dihindari. Hal ini karena sumber-sumber likuiditas sangat banyak jenisnya dan gejala-
gejala awal masalah sangat jelas terlihat. Oleh karena itu masalah likuiditas terjadi karena
manajemen lupa pada falsafah dasar bank yaitu bisnis kepercayaan atau memang manajer
likuiditas kurang berkompeten dan kurang berpengalaman pada bidangnya. Apalagi dengan
bermunculnya bank-bank baru sementara tenaga-tenaga manajer likuiditas juga langka,
sehingga bank-bank baru seharusnya bersikap lebih konservatif dari pada bank-bank yang
sudah mapan.
BAB III

PENGAPLIKASIAN DIPERBANKAN

3.1 MANAJEMEN LIKUDITAS BANK SYARIAH


Manajemen Likuiditas bank adalah mengelola bagaimana bank dapat memenuhi baik
kewajiban yang sekarang maupun kewajiban yang akan datang bila terjadi penarikan atau
pelunasan asset liability yang sesuai perjanjian ataupun yang belum diperjanjikan (tidak
terduga). Pengelolaan likuiditas bank juga merupakan bagian dari pengelolaan liabilitas
(liability management). Melalui pengelolaan likuiditas yang baik, bank dapat memberikan
keyakinan pada para penyimpan dana bahwa mereka dapat mengambil dananya sewaktu-
waktu atau pada saat jatuh tempo. Oleh karena itu, bank harus mempertahankan sejumlah alat
likuid guna memastikan bahwa bank sewaktu-waktu dapat memenuhi kewajibanjangka
pendeknya. Suatu bank syari’ah dikatakan likuid apabila (Muhammad, 2004):1

a. Dapat memelihara GWM di Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
b. Dapat memelihara Giro di Bank Koresponden. Giro di Bank Koresponden 1 adalah
rekening yang dipelihara di Bank Koresponden yang besarnya 1 ditetapkan
berdasarkan Saldo Minimum.
c. Dapat memelihara sejumlah kas secukupnya untuk memenuhi pengambilan
uangtunai.
Dalam pengelolaan dana, bank akan mengalami salah satu dari tiga hal di bawah ini:

1. Posisi seimbang (squere) dimana persedian dana sama dengan kebutuhan dana yang
tersedia
2. Posisi lebih (long) dimana persediaan dana lebih dari kebutuhan dana yang tersedia.
3. Posisi kurang (short) dimana persediaan dana kurang dari kebutuhan dana.Dalam
kegiatan operasional, bank dapat mengalami kelebihan atau kekurangan likuiditas.
Apabila terjadi kelebihan maka hal itu dianggap sebagai keuntungan bank. Sedangkan
jika terjadi kekurangan likuiditas, maka bank memerlukan sarana untuk menutupi
kekurangan tersebut (Widyaningsih, 2005).
a. Mekanisme Pengelolaan Likuiditas Bank Syariah

Transaksi pembayaran dalam aktivitas perbankan dilakukan melalui mekanisme


kliring dengan membebankan rekening giro bank yang bersangkutan pada Bank Indonesia
(BI). Apabila dalam pelaksanaan saldo bank menjadi kurang dari Giro Wajib Minimum
(GWM), maka bank atau kantor cabangnya dikenakan kewajiban membayar. Untuk
ketentuan mengenai besarnya mata uang dan mekanisme GWM bagi bank umum syariah,
kini telah ada pengaturan tersendiri yaitu PBI No. 6/21/PBI/2004 tentang giro wajib
minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha
bagi yang menjalankan usaha berdasarkan prinsip syariah.

Bagi bank syariah yang mengalami kekurangan dana dapat menerbitkan sertifikat
Investasi Mudharabah Antarbank (IMA) yang merupakan sarana penanaman modal bagi bank
syariah maupun bank konvensional. Berdasarkan ketentuan pasal 3 PBI No.2/8/PBI/2000,
sertifikat IMA adalah satu-satunya piranti yang digunakan dalamoperational pasar uang antar
bank berdasarkan prinsip syariah. Dalam aktivitas PUAS, transaksi pembayaran juga
dilakukan melalui mekanisme kliring dengan membebankan rekening giro bank syariah yang
bersangkutan di BI. Ketentuan mengenai kliring ini diatur dalam PBI No 2/4/PBI/2000
tanggal 11 februari 2000 bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah bank umum
konvensional.

Kliring bagi Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah Bank Umum
Konvensional (UUS BUK) dan WGM intinya mengatur teknik pendukung mekanisme
PUAS, mialnya mengenai jumlah rekening yang harus ada di BI bagi masing-masing BUS
maupun UUS BUK dan penanganan saldo giro negatif untuk kegiatan usaha konvensional
dan usaha syariah. Sedangkan untuk menjaga kestabilan moneter bank syariah peserta PUAS,
BI menyerap kelebihan likuiditas bank-bank syariah melalui penerbitan sertifikat wadiah
(titipan). Untuk mengatasi mismatch (kekurangan arus dana masuk dari arus dana keluar)
pada aktivitas bank syariah kesehariannya dapat diatasi dengan melalui fasilitas pembiayaan
jangka pendek bagi bank syariah (FPJPS).

Karim (2010) menjelaskan mekanisme manajemen likuiditas bank syariah dengan


mengklasifikasikannya dengan tiga macam yaitu manajemen likuiditas sisi penghimpunan
dana, manajemen likuiditas sisi penyaluran dana dan manajemen gap likuiditas.

1. Manajemen Likuiditas Sisi Penghimpunan Dana

Sebagian besar dana masyarakat yang diterima bank sifatnya jangka pendek seperti
giro, tabungan dan deposito, Penjelasannya sebagai berikut (Karim, 2010):

a. Produk Giro, misalnya, dengan media penarikan berupa cek atau bilyet giro, memang
dimaksudkan untuk kegunaan nasabah melakukan transaksi, baik menerima uang atau
membayar uang kepada kepada mitranya. Sehingga periode waktu pengendapan dana-
dana di bank bersifat sangat jangka pendek. Salah satu ukuran yang digunakan untuk
melihat berapa banyak dana-dana giro yang benar-benar mengendap di bank adalah
floating rate (FR).FR = (rata-rata jumlah dana yang mutasi atau rata-rata dana) x
100% Bila rasio FR untuk dana giro berkisar 70-80%, berarti hanya 20-30 persen dari
dana giro yang benar benar menghadap di bank.
b. Produk tabungan relatif lebih lama mengendap di bank karena tidak menggunakan
alat tarik cek dan bilyet giro. Di masa lalu, nasabah harus datang ke kantor bank untuk
menarik atau menyetor uangnya ke rekening tabungan. Namun, dengan semakin
luasnya jaringan ATM (Anjungan Tunai Mandiri/ Automatic Teller Machine), maka
nasabah menjadi semakin mudah menarik dana tabungannya. Semakin luasnya akses
ATM yang dilengkapi pula dengan Electronic Debit Card (EDC), yaitu alat
pembayaran elektronik kartu tabungan, membuat FR produk tabungan, membuat FR
produk tabungan meningkat signifikan. Biasanya ada dua cara yang dilakukan bank
untuk menurunkan FR tabungan, yaitu dengan :
1) Mendorong nasabah melakukan transaksi non tunai, misalnya transfer dana dari
satu rekening ke rekening lainnya, sehingga dananya tetap mengendap di bank.
2) Menyediakan ATM yang dapat menerima setoran sehingga dana yang di tarik
tergantikan oleh dana yang di setor.

c. Produk deposito relatif lebih dapat diprediksi waktu mengendapnya karena telah jelas
tenornya. Saat ini tenor deposito di Indonesia terdiri dari 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan,
dan 12 bulan. Untuk mengurangi dorongan nasabah mencairkan depositonya sebelum
waktu yang diperjanjikan, biasanya bank mengenakan “denda pencairan sebelum
jatuh tempo”. Secara statistik, FR untuk produk deposito mendekati nihil.
2. Manajemen Sisi Penyaluran Dana

Sebagian besar dana yang disalurkan bank kepada masyarakat sifatnya jangka
menengah panjang.

a) Pembiayaan konsumer biasanya ditawarkan dengan menggunakan akad murabahah


atau akad ijarah.
b) Pembiayaan modal kerja biasanya ditawsrkan dengan akad murabahah untuk
pengadaan barang, ijarah untuk pengadaan jaa, mudharabah untuk membiayai bisnis
c) Pembiayan investasi biasanya ditawarkan dengan menggunakan akad murabahah,
IMBT, musyarokah mutanaqisah.
Dari uraian ini tampak sebagian besar dana yang disalurkan bank kepada masyarakat
sifatnya jangka menengah panjang.

3. Manajemen Gap Likuiditas

Penghimpunan dana merupakan sisi liabilities, sedangkan penyaluran dana


merupakan sisi aset dari suatu bank. Gap likuiditas adalah selisih antara outstanding east
dengan liabilities, atau secara dinami, selisih antara perubahan aset dan liabilities. Gap positif
terjadi ketika aset lebih besar daripada liabilities, sedangkan gap negatif adalah kebalikannya
(Karim, 2010). Secara umum manajemen likuiditas dilakukan dengan :

1. Bila terjadi kekurangan likuiditas, bank syariah mencari dana antara lain dengan :
a) Menjual aset likuidnya agar mendapat likuiditas dalam hal bank syariah memiliki
aset likuid.
b) Menerima penempatan dana atau likuiditas dari bank syariah lain atau institusi/
individu lain secara syariah dalam hal :
1) Bank syariah tidak memilik aset likuid yang dapat dijual.
2) Secara ekonomis lebih menguntungkan melakukan (b) daripada (a)
3) Secara ekonomis lebih menguntunkan melakukan kombinasi (a) dan (b)
2. Bila terjadi kelebihan likuiditas, bank syariah menempatkan dana antara lain dengan :
a) Aset likuid agar likuiditasnya produktif
b) Menempatkan dana ke Bank Syariah lain atau institusi lain secara syariah dalam
hal:
1) Tidak tersedia aset likuid syariah di pasar, atau
2) Secara ekonomis lebih menguntungkan melakukan (b) daripada (a), atau,
3) Secara ekonimis lebih menguntungkan melakukan kombinasi (a) dan (b).
b. Ciri-ciri Bank Syariah Yang Memiliki Likuiditas Sehat

Dengan melakukan manajemen likuiditas maka Bank akan dapat memelihara


likuiditas yang dianggap sehat dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1) Memiliki sejumlah alat likuid, cash asset (uang kas, rekening pada bank sentral dan
bank lainnya) setara dengan kebutuhan likuiditas yang diperkirakan,
2) Memiliki likuiditas kurang dari kebutuhan, tetapi memiliki surat-surat berharga yang
segera dapat dialihkan menjadi kas, tanpa harus mengalami kerugian baik sebelum
atau sesudah jatuh tempo,
3) Memiliki kemampuan untuk memperoleh likuiditas dengan cara menciptakan uang,
misalnya dengan menjual surat berharga dengan repurchase agreement.
4) Memenuhi ratio pengukuran likuiditas yang sehat yaitu :
a. Rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga:
1) Merupakan ukuran untuk menilai kemampuan bank dalam memenuhi
kebutuhan likuiditas akibat penarikan dana oleh pihak ketiga dengan
menggunakan alat likuid bank yang tersedia,
2) Alat likuid bank terdiri atas uang kas, saldo giro pada bank sentral dan bank
koresponden
3) Semakin besar rasio ini semakin besar kemampuan bank memenuhi kewajiban
jangka pendeknya, tetapi disisi lain mengidentifikasikan semakin besarnya
idle money.
b. Rasio pembiayaan terhadap total dana pihak ketiga (FDR)
1) Finance to deposit ratio (FDR), yang menggambarkan perbandingan
pembiayaan yang disalurkan dengan jumlah DPK yang disalurkan,
2) Ratio ini harus dipelihara pada posisi tertentu yaitu 75-100%. Jika ratio di
bawah 75% maka bank dalam kondisi kelebihan likuididitas, dan jika ratio
diatas 100% maka bank dalam kondisi kurang likuid,
3) Menurut kriteria Bank Indonesia, ratio sebesar 115% keatas nilai kesehatan
likuiditas bank adalah nol
c. Instrumen Manajemen Likuiditas Bank Syari’ah

Ada instrumen-instrumen likuiditas yang dapat dijalankan bank syari’ah dalam rangka
memenuhi kewajiban likuiditas, yaitu : Giro Wajib Minimum (GWM), Kliring dan Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), penjelasan ketiga hal inisebagai berikut:

1) Giro Wajib Minimum (GWM)

Giro Wajib Minimum adalah simpanan minimum bank umum dalam giro pada Bank
Indonesia yang besarnya ditetapkan olah BI berdasarkan persentase tertentu dari Dana Pihak
Ketiga (DPK). Perhitungan ini berlaku baik untuk GWM dalam rupiah maupun valuta asing.

2) Kliring

Kliring adalah sarana perhitungan utang-piutang antar bank dengan cara saling
menyerahkan surat-surat berharga dan surat-surat dagang guna memperlancar lalu lintas
pembayaran yang terdiri dari pengiriman uang, inkaso, dan pembukaan letter of credit.
Ketentuan mengenai kliring yang berlaku bagi bank umum konvensional berlaku pula bagi
bank umum yng berdasarkan prinsip syariah, dengan beberapa perbedaan dan tambahan.
Ketentuan yang berlaku bagibank berdasarkan prinsip syariah antara lain meliputi ukuran
besarnya sanksi pelanggaran saldo giro negatif dan tatacara pengenaan sanksi untuk bank-
bank bersaldo negatif.

3) BLBI

BLBI Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah skema bantuan (pinjaman)
yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada
saat terjadinya krisis moneter 1998 di Indonesia. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian
Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan Desember 1998, BI telah
menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.

Selain instrumen diatas juga ada Instrumen yang saat ini tersedia untuk melakukan
manajemen likuiditas bank syariah melalui pasar uang antarbank syariah, antara lain (Karim,
2010), yaitu:

1) Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)


Sertifikat Bank Indonesia Syariah adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah
berjangka waktu pendek dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia. Karakteristik Sertifikat Bank Indonesia Syariah adalah :menggunakan akad
Jua’alah, satuan unit sebesar Rp.1.000.000,-, berjangka waktu paling kurang 1 bulan
dan paling lama 12 bulan, diterbitkan tanpa warkat (scripless), dapat digunakan
kepada Bank Indonesia, dan tidak dapat diperdagangkan di Pasar Sekunder.
Akad Jua’alah adalah janji atau komitmen (iltijam) untuk memberikan
imbalan tertentu (iwadh/ ju’l) atas pencapaian hasil (Natijah) yang ditentukan dari
suatu pekerjaan. Dalam hal ini Bank Indonesia menegaskan pada bank-bank Syariah
“carikan dana sejumlah sekian untuk jangka waktu sekian lama bila berhasil maka
akan aku beri imbalan atas keberhasilan itu”.

2) Deposito Antar Bank Syariah

Sebagai sarana pengelolaan likuiditas, Bank Syariah dapat menggunakan sarana


Deposito Antarbank, bail dalam penempatan dananya maupun dalam memenuhi kebutuhan
dananya. Deposito Antarbank ini menggunakan prinsip Mudharabah. Mudharabah adalah
perjanjian antara penanam dana dan penge-lola dana untuk melakukan kegiatan usaha guna
memperoleh keuntungan, dan keuntungan tersebut akan dibagikan kepada kedua belah pihak
berdasarkan nisbahyang telah disepakati sebelumnya.

3) Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (SIMA)

Sertifikat investasi mudharabah antar Bank yang selanjutnya disebut SIMA adalah
sertifikat yang diterbitkan oleh Bank Syariah atau UUS yang digunakan sebagai sarana
investasi jangka pendek di puas dengan akad mudharabah. SIMA diterbitkan oleh Bank
pengelola dana (Bank Syariah atau unit usaha syariah) dengan jangka waktu paling lama 365
hari dan dapat diperjualbelikan (treadable), sepanjang sebelum jatuh tempo.
4) Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah (FASBIS)

Merupakan fasilitas yang diberikan Bank Indonesia kepada Bank untuk menempatkan
dananya di Bank Indonesia dalam rangka kegiatan Operasi Pasar Terbuka (OPT). Jangka
waktu FASBIS maksimum 7 hari dengan sistem imbalan berupa fee, dan diterbitkan tanpa
bukti kepemilikan (warkat) melainkan bukti pendebatan atau pengkreditan rekening giro bank
brupa confirmation advice pada sistem BI-RTGS. FASBIS tidak dapat diperdagangkan, tidak
dapat digunakan, dam tidak dapat dicairkan sebelum jatuh waktu.

5) Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah (FPJPS)

Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syraiah atau sering disebut dengan
FPJPS merupakan instrumen dari Bank Indonesia sebagai The Lender Of Last Resort bagi
Bank-bank Syariah yang mengalami kesulitan likuiditas atau kesulitan pendanaan jangka
pendek yang disebabkan oleh tergantungnya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan
dengan arus dan keluar (mismatch). Tujuan dari diberlakukan FPJPS ini adalah umtuk
mebantu bank Syariah yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek, namun
memenuhi persyaratan tingkat kesehatan dan permodalan (illiquid but solvent).

6) Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah (FLIS)

Untuk mengatasi kemacetan dalam sistem pembayaran dalam implementasi BI-RTGS


maka Bani Indonesia memandang perlu untuk menyediakan fasilitas pendanaan dalam jangka
waktu yang sangat pendek berdasarkan prinsip syariah selama waktu operasional Sistem BI-
RTGS dalam bentuk FLIS-RTGS yang wajib dilunasi oleh bank pada akhir hari yang sama.
Selain itu untuk mengatasi mengantisipasi kemungkinan kegagalan bank dalam memenuhi
kewajibannya sebagai peserta dalam SKNBI, Bank Indonesia juga memandang perlu
untukmenyediakan fasilitas pendanaan untuk jangka waktu yang sangat pendek berdasarkan
prinsip syariah selama waktu operasional berupa FLIS kliring yang wajib dilunasi pada waktu
akhir yang sama.

MASALAH MANAJEMEN LIKUIDITAS BANK SYARIAH

Kendala operasional yang dihadapi oleh perbankan syariah adalah kesulitan dalam
mengendalikan likuiditasnya secara efisien, hal itu terlihat pada beberapa gejala, antara lain
(Arifin, 2009):

1. Tidak tersedianya kesempatan investasi segera atas dana dana yang diterimanya. Dana
dana tersebut terakumulasi dan menganggur untuk beberapa hari sehingga mengurangi
rata rata pendapatan mereka
2. Kesulitan mencairkan dana investasi yang sedang berjalan, pada saat ada penarikan dana
dalam situasi kritis. Akibatnya bank bank syariah menahan alat likuidnya dalam jumlah
yang lebih besar daripada rata rata perbankan konvensional.
Pada umumnya bank syariah mengalami dua macam kendala bila dibandingkan
dengan bank konvensional, yaitu: kurangnya akses untuk memperoleh pendanaan jangka
pendek, khususnya dari BI sebagai bank sentral, dan kurangnya akses ke pasar uang sehingga
bank syariah hanya dapat memelihara likuiditas dalam bentuk kas.

Untuk mengantisipasi masalah tersebut, ada beberapa pilihan yang kebanyakan


dilakuan oleh pengelola bank-bank syariah yang bersifat darurat yaitu: menolak mengambil
bunga, mengambil uang dan menggunakannya untuk tujuan sosial yang berdasarkan fatwa,
menginvestasikan dalam bentuk emas dan atau logam mulia lainnya secara tunai dengan
kontrak berjangka, dan membiarkan diri kehilangan kesempatan di pasar uang dan
menyimpan dananya di bank konvensional tanpa menerima bunga sebagai imbangan dari
servis yang diperolehnya.

Melakukan analisis perencanaan likuiditas bank syari’ah adalahmengidentifikasi


kebutuhan utama terhadap likuiditas kemudian membandingkan kebutuhan tersebut dengan
jumlah aktiva lancar yang dimiliki bank pada saat itu. Analisis ini dilakukan dengan 3 tahap
sebagai berikut:

1) Tahap pertama :
Klasifikasikan sumber-sumber dana utama bank berdasarkan tingkat kecepatan
berputarnya. Kelompokkan dana yang sifatnya stabil atau tetap dan dana yang berfluktuasi.
Estimasikan persentase pada masing-masing kelompok pada dana tersebut dilihat dari waktu
penarikannya, maka terdapat dua jenis dana yaitu dana yang dapat ditarik sewaktu-waktu
meliputi tabungan dan giro wadiah serta dana yang ditarik pada saat jatuh tempo meliputi
investasi mudharabah. Untuk memperkirakan jumlah penarikan pada tabungan dan giro
wadiah, banksyariah harus menganalisis dari pengalaman penarikan dana harian pada masa-
masa sebelumnya (historical data),

2) Tahap kedua :
Kelompokkan jenis aktiva yang likuid maupun yang tidak likuid. Pengelompokan ini
dimaksudkan untuk mengukur kemampuan bank dalam memenuhi kebutuhan likuiditasnya
dari aktiva lancar yang dimilikinya.

3) Tahap ketiga :
Bandingkan total aktiva lancar dengan dana yang dianggap berubah-ubah (volatile).
Apabila perbandingan tersebut hasilnya sama dengan satu berarti posisi kebutuhan likuiditas
persis sama dengan jumlah aktiva lancar yang dimiliki bank saat itu (Balance liquidity
position).

4) Tahap ke empat:
Kebutuhan likuiditas bank yang biasanya dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini:
Pertama, kewajiban reserve yang ditetapkan oleh Bank Sentral, yaitu merupakan Giro Wajib
Minimum (GWM) yang merupakan ketentuan Bank Indonesia. Giro Wajib Minimum
merupakan kewajiban cadangan (reserve requirement) yang ditetapkan oleh oleh Bank
Indonesia sebesar prosentase dari dana pihak ketiga (DPK). Dana Pihak ketiga meliputi
seluruh DPK dalam rupiah maupun valuta asing pada seluruh kantor bank yang bersangkutan
di Indonesia.Kedua, kebutuhan dana operasional. Ketiga, rencana penyaluran pembiayaan
termasuk komitment bank kepada nasabah atau pihak lain untuk memberikan fasilitas
pembiayaan atau melakukan investasi. Bisnis di perbankan merupakan bisnis kepercayaan,
oleh karenanya pemenuhan komitmen harus menjadi fokus Bank syariah. Keempat, estimasi
penarikan dana oleh nasabah, baik yang reguler maupun irreguler. Kelima, saldo minimum
pada bank koresponden

Harus disadari bahwa perbankan syariah adalah industri yang masih dalam tahap
permulaan sehingga belum mampu menjadi pemimpin dalam industri perbankan khususnya
di Indonesia. Berdasarkan kenyataan tersebut maka di dalam issue likuiditas ini, disamping
bersaing dengan sesama bank syariah, persaingan juga terjadi dengan bank konvensional
yang sudah mapan. Untuk mengantisipasi dan mengatasi masalah likuiditas dikaitkan dengan
upaya pengembangan bank syariah, tuntutan deposan, profesionalitas, tingkat profitabilitas
dan kepatuhan terhadap sistem syariah, bank syariah harus melakukan strategi antara lain
berikut ini:

1. Menggiatkan pendidikan dan sosialisasi bank Islam khususnya menjelaskan tentang


aspek-aspek ekonomi dan sistem nilai keislaman kepada masyarakat. Diharapkan
dengan cara ini akan memberikan dampak positif berikut :
a) Deposan/investor baru akan datang mendeposit dananya ke bank Islam,
b) Peningkatan dana baru yang masuk akan meningkatkan kemampuan ekspansi
bisnis Bank Islam dan suatu saat diharapkan mampu mewarnai industri
perbankan.
c) Deposan tidak terpengaruh dengan Return tinggi yang tidak halal yang ditawarkan
oleh Lembaga keuangan konvensional.
2. Terus memperbaiki dan meningkatkan kinerja bank Islam. Mengintensifkan dan fokus
pada equity based financing daripada debt based financing akan menyebabkan
meningkatnya profit jangka pendek dan panjang. Saat ini terbuka kesempatan untuk
menyalurkan equity based financing seperti joint financing untuk membiayai proyek-
proyek pemerintah dan swasta, membeli sukuk pemerintah atau perusahaan, dll.
Menawarkan return tinggi dan kompetitif adalah salah satu cara memelihara loyalitas
segmen deposan rasional juga untuk menarik deposan baru.
3. Memperkuat koordinasi, komunikasi dan pengertian dengan deposan/investor dan
patner bisnis. Terkait dengan pendekatan syariah terhadap risiko likuiditas, proses
mobilisasi dana dan proses penyaluran dana menyangkut tiga komponen penting
yaitu:
a) Tingkah laku masyarakat karena operasional bank syariah didasarkan pada
amanah dan berbagi risiko dengan patner bisnis
b) Harmonisasi asset dan liability
c) Pengukuran dan monitoring dana
4. Mengidentifikasi berapa banyak deposan rational yang dimiliki bank. Salah satu cara
untuk mengidentifikasi rational deposan adalah dengan mengamati berapa banyak
dari mereka yang menarik dananya dan memindahkan ke Bank Konvensional ketika
tingkat suku bunga dari bank konvensional lebih tinggi dari return yang dihasilkan
oleh bank Islam.
5. Membentuk satuan tugas atau team khusus untuk memonitor, mengevaluasi dan
mendeteksi kemungkinan terjadinya kesulitan likuiditas yang akan menimpa bank.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah meneliti aliran dana untuk mengantisipasi
mismatch asset – likuiditas, menetapkan kebijakan internal mengenai ukuran default
dari partner bisnis, mendesain strategi menghadapi masalah likuiditas
sekaligusstruktur birokrasi pengambilan keputusan di dalam memenuhi kebutuhan
likuiditas yang mendesak.
6. Menyiapkan kas dan cadangan likuiditas untuk kondisi tertentu. Bank membutuhkan
likuiditas untuk transaksi reguler maupun irreguler. Transaksi reguler adalah
operasional sehari-hari, sementara transaksi irreguler terdiri dari 2 hal ;
a) Irreguler tetapi dapat diprediksi
b) Irreguler dan tidak dapat diprediksi,
Kebutuhan likuiditas irreguler yang dapat diprediksi diantaranya adalah kewajiban
menyediakan dana untuk kebutuhan keuangan untuk operasional pemerintah yang
biasanya sangat besar. Tetapi kebutuhanlikuiditas irreguler adalah penarikan yang
tiba-tiba oleh deposan dalam jumlah besar yang disebabkan keadaan tertentu.

7. Mendesain portofolio bank termasuk instrumen yang likuid. Likuid instrumen tersebut
siap setiap saat untuk dicairkan kapanpun dibutuhkan. Alternatif lain adalah dengan
mencari likuiditas dari pasar uang syariah atau didalam keadaan yang sangat
mendesak bank dapat memohon bantuan likuiditas dari bank sentral.

3.2. Studi Kasus


Berikut penelitian hasil oleh data laporan keuangan dari UMKM Ameera Hijab :

Tabel 1

UMKM Ameera Hijab

Neraca Keuangan

Per 31 Desember 2020

AKTIVA PASIVA

Aktiva Lancar Hutang Lancar-


Kas bank Rp 10,500,000 Hutang Dagang
Persediaan Rp 18,100,000 Hutang Bank
Piutang Rp 750,000 Hutang Lain
Perlengkapan Toko Rp 2,500,000
Jumlah Aktiva Lancar Rp 31,850,000

Aktiva Tetap Hutang Jangka Panjang


Tanah Rp 25,000,000 Hutang Bank
Bangunan Rp 20,000,000 Hutang Investaso
Mesin Rp 2,000,000
Penyusutan Rp -200,000
Jumlah Aktiva Tetap Rp. 46,800,000 Modal
Modal Rp 49,450,000
Laba Rp 29,200,000
Jumlah Aktiva Rp 78,650,000 Jumlah Pasiva Rp 78,650,000

Tabel 2

UMKM Ameera Hijab

Laporan Laba Rugi

Per 31 Desember 2021

Keterangan Jumlah
Pendapatan Rp 69,500,000
1. Penjualan Tunai Rp 69,000,000
2. Penjualan Kredit Rp 500,000

Pengeluaran
Biaya Rp 40,300,000
1. Tenaga Kerja Rp 10,800,000
2. Modal Kerja Rp 18,000,000
3. Material Rp 7,000,000
4. Mesin dan Energi Rp 2,500,000
5. Administrasi Umum Rp 2,000,000

Laba Rp 29,200,000
Nilai Rasio Keuangan

Nilai rasio aktual, yakni : Profitabilitas

Likuiditas ROA = Rp 29,200,000 x 100 % = 37%

Rasio Lancar = Rp. 31,850,000 x 100% = ∞ Rp 78,650,000

Rp. 0 Nilai rasio stanar yakni :

Solvabilitas Likuiditas = 200%

Rasio total uang terhadap total aset Profitabilitas = 5,85 %

= Rp.0 x 100% = 0% solvabilitas = 35%

Rp. 78,650,000

Pembahasan
Item Standar Aktual Tinggi/Rendah Kesehatan Perusahaan
Likuiditas 200% ∞ Tinggi Baik
(currnt ratio)
Profitabilitas 5,85% 37% Tinggi Baik
(ROA)
Solvabilitas 35% 0 Rendah Baik
(Debt to asset
ratio)
Berdasarkan hasil perhitungan dapat dianalisis bahwa:

1. Rasio Likuiditas Rasio likuiditas yang dimiliki UMKM “Ameera Hijab” pada tahun
2020 dengan menghitung nilai current ratio atau rasio lancar diperoleh nilai
aktualnya sebesar tak terhingga dan lebih tinggi dari nilai standar yakni 200%
dikarenakan UMKM “Ameera Hijab” tidak memiliki kewajiban atau utang jangka
pendek dalam pengelolaan usahanya hal ini bisa dikatakan bahwa UMKM “Ameera
Hijab” mempunyai likuiditas tinggi atau likuid. Hal ini berarti sesuai dengan
penelitian (Sari et al., 2019) bahwa jika sebuah perusahaan berada pada kondisi
mampu untuk membayar kewajiban jangka pendeknya dimana aktiva lancar yang
dimiliki oleh perusahaan tersebut mampu menutup kewajiban atau utang jangka
maka perusahaan dalam keadaaan likuid,
2. Rasio Profitabilitas yang dimiliki UMKM “Ameera Hijab” pada tahun 2020 dengan
menghitung ROA atau Return On Asset diperoleh nilai aktual sebesar 37% lebih
tinggi dari nilai standar yakni 5,85% menunjukkan bahwa UMKM “Ameera Hijab”
mampu menghasilkan atau memperoleh keuntungan di atas nilai standar atau
mempunyai profitabilitas tinggi atau profitabel sesuai dengan penelitian (Saefullah,
2018) bahwa semakin tinggi rasio ROA yang dimiliki oleh suatu perusahaan berarti
perusahaan tersebut mempunyai kemampuan menghasilkan laba dengan baik.
3. Rasio solvabilitas yang dimiliki UMKM “Ameera Hijab” pada tahun 2020 dengan
menghitung rasio total utang terhadap total aset atau debt to asset ratio diperoleh
nilai aktual sebesar 0 yang jelas lebih rendah dari nilai standar yakni 35%
menunjukkan solvabilitas rendah atau solvabel itu dikarenakan UMKM “Ameera
Hijab” tidak memiliki utang jangka pangjang dan utang jangka pendek dalam
pengelolaan usahanya. Sesuai dengan teori yang dikemukana (Hanafi, 2016) bahwa
semakin tinggi rasio debt to asset ratio berarti perusahaan semakin beresiko atau
tidak baik karena perusahaan semakin tidak mempunyai kemampuan untuk
memenuhi kewajiban jangka panjang dan jangka pendeknya.

3.3 Contoh Soal dan Jawaban Rasio Likuiditas


1. Apa arti dari contoh ini? Contoh : Diketahui : Aktiva lancar Rp 50 juta dan Hutang Lancar
Rp 40 juta, maka rasio lancarnya adalah 50 juta / 40 juta = 1.25%

Jawaban:

Artinya setiap 1 Rupiah hutang lancar bisa dijamin dengan 1 rupiah aktiva lancar.
Rasio lancar digunakan untuk mengunkapkan jaminan keamanan (margin ofsafety)
perusahaan terhadap kredit jangka pendek. Jika nilainya kurang dari 1% maka perusahaan
dikatakan mengalami kesulitan dalam melunasi utang jangka pendeknya.

Tetapi jika rasio lancarnya terlalu tinggi, maka sebuah perusahaan dikatakan kurang efisien
dalam mengurus aktiva lancarnya.

2. Berikut adalah pos-pos yang dilaporkan dalam neraca keuangan sebuah perusahaan PT
Maju Langgeng:

 Kas = Rp 300.000.000
 Surat berharga yang dapat dipasarkan = Rp 100.000.000
 Piutang usaha (bersih) = Rp 200.000.000
 Persediaan = Rp 200.000.000
 Utang usaha = Rp 400.00.000

Tentukan rasio lancar (current rasio) dan rasio cepat (quickratio) perusahaan tersebut?

Jawaban:

#1: Rasio Lancar

= Total Aset Lancar / Total Kewajiban Lancar


= (Rp 300.000.000 + Rp 100.000.000 + Rp 200.000.000 + Rp 200.000.000)/Rp 400.000.000
= 2,0

#2: Rasio cepat

= Total Aset Cair / Total Kewajiban Lancar


=  Rp 300.000.000 + Rp 100.000.000 + Rp 200.000.000)/Rp 400.000.000
= 1,5
BAB IV

KESIMPULAN

Likuiditas merupakan suatu hal yang sangat penting bagi bank untuk dikelola dengan baik
karena akan berdampak kepada profiitabililitas serta business sustainibility dan continuity.
Hal itu juga tercermin dari peraturan bank Indonesia yang menetapkan likuiditas sebagai
salah satu dari delapan risiko yang harus dikelola oleh bank. Konsep likuiditas di dalam dunia
bisnis diartikan sebagai kemampuan menjual aset dalam waktu singkat dengan kerugian yang
paling minimal. Tetapi pengertian likuiditas dalam dunia perbankan lebih kompleks
dibanding dengan dunia bisnis secara umum. Dari sudut aktiva, likuiditas adalah kemampuan
untuk mengubah seluruh aset menjadi bentuk tunai (cash), sedangkan dari sudut pasiva,
likuiditas adalah kemampuan bank memenuhi kebutuhan dana melalui peningkatan portofolio
liabilitas.

Pengelolaan likuiditas dilakukan tidak saja untuk mengukur posisi likuiditas pada bank
sedang berjalan, tetapi juga dipergunakan untuk memeriksa kebutuhan dana pada berbagai
skenario jika terjadi kondisi yang berbeda. Pemberian pinjaman kepada nasabah, dalam hal
jangka watu pinjaman, juga tidak mutlak dalam kendali bank. Pinjaman juga dapat
menentukan apakah akan meminjam untuk jangka pendek atau panjang. Pinjaman
mempunyai strategi sendiri untuk mengelola dananya. Sebagian besar dana pada bank
diperoleh dengan membuat perjanjian dengan para nasabah, yakni dana tersebut dapat segera
ditarik saat dibutuhkan oleh nasabah giro, tabungan, atau saat jatuh tempo deposito. Dengan
demikian hubungan antara dana yang dihimpun dan dala bentuk apa dana tersebut akan
diinvestasikan sebaiknya saling terkait. Secara garis besar manajemen likuiditas terdiri dari
dua bagian, yaitu; pertama, memperkirakan kebutuhan dana, yang berasal dari penghimpunan
dana (deposit inflow) dan untuk penyaluran dana (fund out flow) dan berbagai komitmen
pembiayaan (finance commitments).

DAFTAR PUSTAKA
 Andrianto,SE,M.Ak, Dr. M Anang Firmansyah, S.E.,M. Manajemen Bank Syariah
(Implementasi Teori dan Praktek)
 Zulkifli Rusby, Manajemen Perbankan Syariah, Pekanbaru 2017
 Drs. Selamet Riyadi, M.Si., “Banking Assets and Liability Management”. Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta,2003.
 Dr. Nurman, M.Si. “Manajemen Bank Syariah”.Pendidikan Islam FAI UIR,
Pekanbaru, 2017.
 Pangeran, perminas. “Jurnal Manajemen”. Vol 7, No 2(2017): 68-82
 Arnoldus Hesron Bhoka, dkk. “Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan”. Vol.9, No
1(2021): 130-138
 Hadisoewito, S. 1987. Dasar-Dasar Perbankan Indonesia. Jakarta: UPN veteran
 Hadori, HLB, et.al. 2002. Studi Keuangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Jakarta: Bank Indonesia
 Judiseno, R.K. 2005. Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia. Jakarta :
PT.Gramedia Pustaka Utama
 James C. Van Horner dkk, 2009. Prinsip – Prinsip Manajemen Keuangan , Jakarta :
Salemba Empat
 Manajemen Likuiditas Perbankan Syariah Elfadhli

Anda mungkin juga menyukai