LIKUIDITAS
DOSEN PENGAMPU :
DISUSUN OLEH :
NADILA (190801027)
PERBANKAN SYARIAH
T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Swt Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji
syukur saya panjatkan kehadirat Allah Swt,yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul Likuiditas tepat pada
waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Dosen
ibu Wahyi Busyro S. E. I., M. E pada mata kuliah Manajemen Operasional Bank Syariah.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Likuiditas bagi para
dosen mata kuliah manajemen Operasional Bank Syariah yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
Penyusunan makalah ini sudah kami lakukan dengan semaksimal mungkin tetapi
kami memahami makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami menerima
kritik atau pun saran demi penyempurnaan makalah ini. Dan kami berharap dari makalah ini
memberikan manfaat dan menambah pengetahuan bagi para pembaca terutama untuk
menambah wawasan
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................4
2.2 Rumusan Masalah............................................................................................................4
2.3 Tujuan Penulisan..............................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................5
PEMBAHASAN........................................................................................................................5
2.1. Pengertian Likuiditas Bank Syariah................................................................................5
2.2 Penentuan Kebutuhan Likuiditas Bank Syariah...............................................................6
2.3 Penentuan Likuiditas Bank Syariah..................................................................................8
A. Manajemen Likuiditas Bank...........................................................................................8
B. Analisis Arus Kas dalam Meningkatkan Likuiditas......................................................17
1. Pengukuran likuiditas berbasis kas...............................................................................17
Aset lancar dan kewajiban lancar,........................................................................................17
2.5 Masalah – Masalah Pengelolaan Likuiditas...................................................................18
BAB III.....................................................................................................................................23
PENGAPLIKASIAN DIPERBANKAN..................................................................................23
3.1 MANAJEMEN LIKUDITAS BANK SYARIAH..........................................................23
3.2. Studi Kasus....................................................................................................................31
3.3 Contoh Soal dan Jawaban Rasio Likuiditas...................................................................33
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................35
BAB I
PENDAHULUAN
Likuiditas pada umumnya didefinisikan sebagai kepemilikan sumber dana yang memadai
untuk memenuhi seluruh kebutuhan kewajiban yang akan jatuh tempo. Atau dengan kata lain
kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban pada saat ditagih yang dapat diduga
ataupun yang tidak terduga. Dalam perbankan manajemen likuiditas adalah salah satu hal
yang penting dalam memelihara kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut. Untuk itu
setiap bank yang beroperasi sangat menjaga likuiditasnya agar pada posisi yang idle fund
(dana lebih).
Dalam manajemen likuidtas bank berusaha untuk mempertahankan status rasio likuiditas,
memperkecil dana yang menganggur guna meningkatkan pendapatan dengan resiko sekecil
mungkin, serta memenuhi kebutuhan cashflownya. Jadi tujuan manajemen likuiditas adalah
mencapai cadangan yang dibutuhkan yang telah ditetapkan oleh bank sentral karena kalu
tidak dipenuihi akan kena pinalti dari Bank sentral, kedua memperkecil dana yang
menganggur karena kalau banyak dana yang menganggur akan mengurangi profitabilitas
bank, dan mencapai likuiditas yang aman untuk menjaga proyeksi cashflow dalam kondisi
yang sangat mendesak misalnya penarikan dana oleh nasabah, pengambilan pinjaman Dalam
likuiditas terdapat dua resiko yaitu resiko ketika kelebihan dana dimana dana yang ada dalam
bank banyak yang ideal, hal ini akan menimbulkan pengorbanan tingkat bunga yang tinggi.
Kedua resiko ketika kekurangan dana, akibatnya dana yang tersedia untuk mencukupi
kebutuhan kewajiban jangka pendek tidak ada. Dan juga akan mendapat pinalti dari bank
sentral. Kedua keadaan ini tidak diharapkan oleh bank karena akan mengganggu kinerja
keuangan dan kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa
ketika bank mengharapkan keuntungan yang maksimal akan beresikopada tingkat likuiditas
yang rendah atau ketika likuiditas tinggi berarti tingkat keuntungan tidak maksimal.
BAB II
PEMBAHASAN
Dan ada beberapa pengertian tentang likuiditas antara lain sebagi berikut ;
1. Menurut (Joseph E Burns), Likuiditas bank berkaitan dengan kemampuan suatu bank
untuk menghimpun sejumlah tertentu dana dengan biaya tertentu dan dalam jangka
waktu tertentu.
2. Menurut (Oliver G. Wood, Jr), Likuiditas adalah kemampuan bank untuk memenuhi
semua penarikan dana oleh nasabah deposan, kewajiban yang telah jatuh tempo dan
memenuhi permintaan kredit tanpa penundaan.
3. Menurut (Wilian M. Glavin), Likuiditas berarti memiliki sumber dana yang cukup
tersedia untuk memenuhi semua kewajiban
Fungsi likuiditas secara umum untuk :
1. Menjalankan transaksi bisnisnya sehari-hari
2. Mengatasi kebutuhan dana yang mendesak
3. Memuaskan permintaan nasabah akan pinjaman
4. Memberikan fleksibilitas dalam meraih kesempatan investasi menarik yang
menguntungkan
Dalam terminologi keuangan dan perbankan terdapat banyak pengertian mengenai
likuiditas, berapa diantaranya dapat disebutkan sebagi berikut : “likuiditas adalah
kemampuan bank untuk memenuhi kemungkinan ditariknya deposito/simpanan oleh
deposan/penitip”. Dengan kata lain, menurut definisi ini, suatu bank dikatakan likuid apabila
dapat memenuhi kewajiban penaikan uang dari pada penitip dana maupun dari para
peminjam/ debitur.
“Likuiditas adalah kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban hutang-hutangnya,
dapat membayar kembali semua deposannya, serta dapat memenuhi permintaan kredit yang
diajukan para debitur tanpa terjadi penangguhan.”
Likuiditas merupakan suatu hal yang sangat penting bagi bank untuk dikelola dengan
baik karena akan berdampak kepada profitabilitas serta business sustainibility dan continuity.
Hal ini juga tercermin dari peraturan bank Indonesia yang menetapkan likuiditas sebagai
salah satu dari delapan risiko yang harus dikelola oleh bank.
Konsep likuiditas didalam dunia bisnis diartikan sebagai kemampuan menjual asset
dalam waktu singkat dengan kerugian yang paling minimal. Tetapi pengertian likuidias dalam
dunia perbankan lebih kompleks dibanding dengan dunia bisnis secara umum. Dari sudut
aktiva, likuiditas adalah kemampuan untuk mengubah seluruh aset menjadi bentuk tunai
(cash), sedangkan dari sudut pasiva, likuiditas adalah kemampuan bank memenuhi kebutuhan
dana melalui peningkatan portofolio liabilitas.
Manajemen Likuiditas Bank adalah suatu proses pengendalian dari alat-alat likuid
yang mudah ditunaikan guna memenuhi semua kewajiban bank yang segera harus dibayar,
(Muchdarsyah Sinungan, 1992: 75). Manajemen likuiditas adalah menegelola bagaimana
bank dapat memenuhi baik kewajiban yang sekarang maupun kewajiban yang akan datang
bila terjadi penarikan atau pelunasan asset liability yang sesuai dengan perjanjian atau yang
belum diperjanjikan, (Muhamad, 2004 : 66). Untuk menjaga posisi keuangan agar tetap likuid
perusahaan menyisihkan sebagian uang tunainya yang disertai dengan sebagian kekayaan
yang mudah dicairkan menjadi uang untuk keperluan likuiditas. Kekayaan yang mudah
dicairkan disebut current asset sedangkan kewajiban yang harus dibayar dan datang sewaktu-
waktu disebut juga current liabilities.
2.2 Penentuan Kebutuhan Likuiditas Bank Syariah
Pada umumnya kebutuhan likuiditas bank ditentukan oleh adanya beberapa faktor
yang meliputi: (Muhamad, 2005: 24)
Dana Pihak Ketiga meliputi seluruh DPK dalam rupiah ataupun valuta asing pada seluruh
kantor bank yang bersangkutan di Indonesia. DPK Bank dalam bentuk rupiah meliputi
kewajiban kepada pihak ketiga yang terdiri dari:
Giro Wadi’ah
Tabungan Mudharabah
Deposito Investasi Mudharabah
Kewajiban lainnya
DPK dalam rupiah tersebut tidak termasuk dana yang diterima oleh Bank Syariah atau Unit
Usaha Syariah dari Bank Indonesia dan Bank Perkreditan Rakyat. DPK Bank dalam bentuk
valuta asing meliputi kewajiban dalam valuta asing kepada pihak ketiga termasuk bank dan
Bank Indonesia yang terdiri dari:
Giro Wadi’ah
Deposito Investasi Mudharabah
Kewajiban lainnya
a. Bagi bank yang rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK kurang dari 80%, mendapat
tambahan perhitungan GWM sebagai berikut:
Bank yang memiliki DPK > Rp 1 trilyun sampai dengan Rp 10 trilyun wajib
memelihara GWM tambahandalam rupiah sebesar 1% dari DPK.
Bank yang memiliki DPK > Rp 10 trilyun sampai dengan Rp 50 trilyun wajib
memelihara GWM tambahan dalam rupiah sebesar 2% dari DPK.
Bank yang memiliki DPK > Rp 50 trilyun wajib memelihara GWM tambahan dalam
rupiah sebesar 3% dari DPK.
b. Bagi bank yang memiliki rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK sebesar 80% atau
lebih, dan atau yang memiliki DPK dalam rupiah sampai dengan Rp.1.000.000.000.000,-
tidak dikenakan tambahan GWM.
Karena GWM adalah ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia, maka pelanggaran
GWM akan dikenakan sanksi. Pelanggaran GWM terjadi apabila saldo harian Rekening Giro
Bank pada Bank Indonesia kurang dari saldo harian Rekening Giro Bank yang telah
ditetapkan untuk pemenuhan GWM.
Sanksi yang dikenakan pada Bank Syariah jika terjadi pelanggaran GWM adalah:
Sebesar 125% dari tingkat indikasi imbalan Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS)
jika terjadi pelanggaran GWM dan rekening giro rupiah bank bersaldo positif.
Sebesar 125% dari tingkat indikasi imbalan PUAS atas kekurangan GWM ditambah
150% dari tingkat indikasi imbalan PUAS atas saldo negative.
Sebesar 0.04% per hari kerja yang berdasarkan pada selisih antara saldo harian
Rekening Giro valuta asing bank pada Bank Indonesia yang wajib dipelihara dengan
saldo harian Rekening Giro valuta asing Bank yang dicatat pada sistem akuntansi
Bank Indonesia yang dibayarkan dalam bentuk rupiah dengan menggunakan kurs
transksi Bank Indonesa pada hari terjadinya pelanggaran.
B. Tipe Dana yang di Tarik Oleh Bank
Dilihat dari waktu penarikannya, maka pada Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah
terdapat dua jenis, yakni dana yang ditarik sewaktu-waktu meliputi tabungan dan giro
wadi’ah, serta dana yang ditarik pada saat jatuh tempo meliputi investasi mudharabah.
Untuk memperkirakan jumlah penarikan pada tabungan dan giro wadi’ah, serta dana
yang ditarik pada saat jatuh tempo meliputi investasi mudharabah.
Untuk memperkirakan jumlah penarikan pada tabungan dan giro wadi’ah, Bank
Syariah atau Unit Usaha Syariah perlu mengetahui :
Pengalaman penarikan dana harian pada masa-masa sebelumnya
Spreading resource, yaitu persebaran dan jumlah pemegang rekening. Sebagai
contoh, jika pada suatu daerah terjadi kecenderungan penarikan dana akibat terjadinya
bencana alam, maka dengan estimasi jebutuhan dana dapat dilakukan dengan melihat
persebaran kantor cabang di daerah tersebut dan jumlah pemegang rekening.
C. Komitmen Bank Kepada Nasabah atau Pihak Lain untuk memberikan Fasilitas
Pembiayaan atau Melakukan Investasi
Adapun tujuan manajemen likuiditas adalah untuk (Leon dan Ericson, 2007):
pertama, menjaga posisi likuiditas bank agar selalu berada pada posisi yang ditentukan oleh
otoritas moneter yaitu Bank Indonesia. Kedua, mengelola alat-alat likuid agar selalu
memenuhi semua kebutuhan arus kas termasuk kebutuhan yang tidak diperkirakan, misalnya
penarikan yang tiba-tiba terhadap sejumlah giro atau deposito berjangka yang belum jatuh
tempo. Ketiga, meminimalkan idlefund (dana yang menganggur). Keempat, menjaga posisi
likuiditas dan proyeksi arus kas agar selalu dalam posisi aman terutama dalam tingkat bunga
berfluktuatif.
Selain tujuan di atas, menurut Sinkey ada lima fungsi utama manajemen likuiditas
bank, yaitu (Latumaerisa: 1999):
1. Menunjukan dirinya sebagai tempat yang aman untuk menyimpan uang. Mampu
memberikan rasa aman kepada para nasabah deposan, penabung, maupun kreditor
lainnya. Fungsi utama likuiditas adalah jaminan bahwa uang yang disimpan/
dipinjamkan kepada bank dapat dibayar kembali oleh bank tersebut pada saat jatuh
tempo.
2. Memungkinkan bank memenuhi komitmen pinjamannya. Menjamin tersedianya dana
bagi setiap pemohon kredit yang telah disetujui. Jika bank menolak untuk
menyediakan dana atas permohonan kredit yang telah disetujui, mungkin debitor akan
lari ke bank lain. Sebaiknya bank mampu mengantisipasi kebutuhan-kebutuhan para
debitor di masa mendatang.
3. Untuk menghindari penjualan aktiva yang tidak menguntungkan Mencegah penjualan
asset secara terpaksa. Apabila bank tidak dapat memperpanjang pinjaman yang
diterima dari bank lain, salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah
dengan terpaksa menjual surat berharga yang umumnya dengan harga rendah. Hal itu
jelas akan memperburuk tingkat modal bank tersebut.
4. Untuk menghindarkan diri dari penyalahgunaan kemudahan atau kesan “negative”
dari penguasa moneter karena meminjam dana likuiditas dari bank
sentral.Menghindari diri dari kewajiban membayar suku bunga yang tinggi atas dana
yang diperoleh di pasar uang. Pemilik dana menganggap bahwa menempatkan/
meminjamkan dana pada bank beresiko tinggi. Oleh karena itu, pemilik dana akan
selektif dan mungkin akan menempatkan dananya dengan suku bunga yang tinggi.
5. Memperkecil penilaian risiko ketidakmampuan membayar kewajiban penarikan dana.
Menghindarkan diri dari penggunaan fasilitas discountwindow secara terpaksa.
Semakin sering suatu bank menggunakan fasilitas discountwindow, semakin tidak
bebas manajemen bank tersebut menentukan dan melaksanakan kebijakan usahanya.
Hal itu karena bank sentral akan mendikte manajemen bank tersebut untuk
memperbaiki tingkat kesehatan banknya.
Dengan demikian ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengelola likuiditas,
yaitu:
a) Posisi likuiditas harian/mingguan harus dapat dijaga sesuai dengan ketentuan bank
sentral.
b) Memelihara alat likuiditas secukupnya agar bank selalu dapat melindungi kebutuhan
kas keluar yang tidak terduga sebelumnya.
c) Mengoperasikan kelebihan likuiditas secara efektif agar bank selalu dapat melindungi
kebutuhan kas keluar yang tidak terduga sebelumnya.
d) Menentukan besarnya reserve yang diperlukan dalam primary reservedan secondary
reserve.
Teori manajemen likuiditas pada dasarnya adalah teori yang berkaitan dengan
bagaimana mengelola dana dan sumber-sumber dana bank agar dapat memelihara posisi
likuiditas dan memenuhi segala kebutuhan likuiditas dalam kegiatan operasional bank sehari-
sehari. Beberapa teori manajemen likuiditas yang dikenal dalam dunia perbankan antara lain
dibawah ini (Sinungan, 1993):
1. Commercialloantheory.
Teori ini beranggapan bahwa bank-bank hanya boleh memberikan pinjaman dengan
surat dagang jangka pendek yang dapat dicairkan dengan sendirinya (selfliquidating).
Teori ini dikenal juga dengan istilah productive theory ofcredit, atau sering disebut
real billsdoctrine yang diperkenalkan sejak abad 18. Teori ini cukup dominan sampai
tahun 1920-an. Pada prinsipnya teori ini menitik beratkan sisi aktiva dari neraca bank
dalam memenuhi kebutuhan likuiditas bank. Likuiditas bank menurut teori ini akan
dapat terjamin apabila aktiva produktif bank yang terdiri dari kredit jangka pendek
dicairkan dalam kegiatan usaha yang berjalan secara normal. Dan apabila bank yang
bersangkutan akan memberikan kredit yang lebih panjang, hendaknya sumber data
diambil dari modal bank dan sumber dana jangka panjang. Secara khusus teori
menyatakan bahwa bank harus memberikan kredit jangka pendek atau self-
liquidatingloans, seperti kredit yang digunakan untuk modal kerja usaha untuk
memproses suatu produksi secara musiman atau yang bersifat sementara, misalnya
pertanian. Sebelum tahun 1920an bank-bank menitikberatkan portofolio kreditnya
sebagai sumber tambahan likuiditas karena saat itu tidak banyak alternative lain
sebagai sumber-sumber likuiditas. Surat-surat berharga jangka pendek yang dapat
dijual kembali bila bank membutuhkan likuiditas jumlahnya belum memadai untuk
dapat dijadikan sebagai cadangan likuiditas (Siamat, 2005). Kelemahan commerciall
oantheory ini sebagai sumber likuiditas bank adalah:
a) Banyak kredit bukan jangka pendek dan tidak selfliquidating
b) Dalam situasi ekonomi yang sedang lesu, kredit modal kerja,yang pelunasannya
berasal dari arus kas nasabah debitur, akan menjadi tidak lancar.
c) Kredit jangka pendek dapat menjadi jangka panjang melalui perpanjangan waktu
secara terus menerus
d) Dalam perekonomian yang semakin maju, kredit jangka menengah/ panjang akan
menjadi semakin penting dan dibutuhkan
e) Teori ini mengabaikan kenyataan bahwa dalam keadaan normal atau stabil, sumber-
sumber dana bank, misalnya : giro, deposito, tabungan dan sebagainya,
memungkinkan untuk disalurkan sebagai kredit yang jangka waktunya lebih panjang.
Secara implisit teori ini menganggap bahwa likuiditas dapat terpenuhi dengan hanya
mengandalakan sumber dari pelunasan dan atau pembayaran kredit oleh nasabah. Padahal
penarikan simpanan dan pencairan kredit dapat melebihi likuiditas yang hanya bersumber
dari pelunasan kredit.
2. Shiftabilitytheory.
Teori ini beranggapan bahwa likuiditas sebuah bank tergantung pada kemampuan
bank untuk memindahkan aktivanya ke orang lain dengan harga yang dapat
diramalkan.Pada tahun 1920-an, bank mengembangkan teori likuiditas sebagai reaksi
dari banyaknya kelemahan pada teori commercialloan, yaitu doctrine of asset
shiftability. Menurut teori ini, bank dapat segera memenuhi kebutuhan likuiditasnya
dengan memberikan shiftableloan atau callloan, yaitu pinjaman yang harus dibayar
dengan pemberitahuan satu atau beberapa hari sebelumnya dengan jaminan surat surat
berharga. Oleh karena itu, apabila bank membutuhkan likuiditas pada suatu waktu,
maka kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dengan melakukan penagihan kepada
peminjam atau debitur. Peminjam kemudian dapat melunasi pinjaman tersebut
baiksecara langsung maupun tidak langsung dengan cara mengalihkan (shifting)
pinjamannya tersebut kepada bank lain. Apabila karena satu dan lain alasan pinjaman
tersebut tidak dapat dibayar kembali, maka bank dapat menjual barang jaminan
berupa surat-surat berharga untuk pelunasannya. Doktrin ini akan dapat berfungsi
apabila pasar keuangan sudah berkembang dan cukup aktif (likuid), dengan
pengertian bahwa berapapun jumlah permintaan dan penawaran dapat diserap oleh
pasar.Kelemahan teori ini adalah apabila dalam waktu yang bersamaan bank-bank
membutuhkan likuiditas dan menjual jaminan surat-surat berharga tersebut untuk
memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Dalam situasi seperti ini, bukan saja akan
menyebabkan kredit tersebut tidak dapat dialihkan, tapi juga akan menyebabkan
turunya harga surat berharga karena bank-bank menjual jaminannya (surat berharga)
dalam waktu yang bersamaan.
3. Anticipatedincometheory.
Disebut juga teori pendapatan yang diharapkan. Teori ini berkesimpulan bahwa sama
sekali benar bagi sebuah bank untuk memberikan pinjaman-pinjaman jangka panjang
dan pinjaman-pinjaman bukan untuk dagang.Padadecade 1930 an dan 1940 an bank-
bank mengembangkan teori baru yang disebut dengan anticipatedincometheory. Teori
ini menyatakan bahwa bank-bank seharusnya dapat memberikan kredit jangka
panjang dimana pelunasannya, yaitu cicilan pokok pinjaman ditambah bunga, dapat
diharapkan dan dijadwalkan pembayarannya pada waktu yang akan datang sesuai
dengan jangka waktu yang telah ditetapkan. Jadwal pembayaran kembali nasabah
berupa angsuran pokok dan bunga akan memberikan cashflow secara teratur yang
dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bank. Timbulnya teori ini
diawali oleh rendahnya permohonan kredit kepada bank yang mengakibatkan
terjadinya kelebihan likuiditas dan rendahnya keuntungan yang diperoleh bank ,
khususnya pada saat terjadi depresi ekonomi. Dengan diperkenalkannya
anticipatedtheory, bank-bank terdorong untuk lebih agresif dengan berani
memberikan kredit yang berjangka panjang, misalnya: kredit real etate, kredit
investasi dan kredit konsumsi.
Kasmir (2003) menyatakan bahwa rasio likuiditas merupakan rasio untuk mengukur
kemampuan bank dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya pada saat ditagih. Dengan
kata lain dapat membayar kembali pencairan dana deposannya pada saat ditagih beserta dapat
mencukupi permintaan kredit yang telahdiajukan. Semakin besar rasio ini semakin likuid.
Untuk melakukan pengukuran rasio ini memiliki beberapa jenis rasio yang masing-masing
memiliki maksud dan tujuan tersendiri. Adapun jenis-jenis rasio likuiditas antara lain
QuickRatio, InvestingPolicyRatio, BankingRatio, Assets To LoanRatio, Invesment Portofolio
Ratio, CashRatio, Loanto deposit ratio (LDR).
Adapun Judiseno (2005) menulis rasio likuiditas hampir sama dengan diatas yaitu
meliputi beberapa alat pengukuran seperti:
Besar kecilnya masing-masing rasio menentukan likuid dan tidak likuidnya suatu
bank. Namun, bukan berarti semakin besar rasio likuiditas otomatis menunjukkan hasil yang
baik, melainkan tergantung kepada masing-masing pengukuran dan kepentingan rasio itu
sendiri pada pengukuran loantoassetratio, hasil yang semakin rendah menunjukkan tingkat
yang lebih baik. Secara umum penetapan rasio likuiditas yang baik adalah lebih dari 100%,
dengan kata lain harta lancar adalah sama dengan atau lebih besar dari hutang lancarnya.
Sedangkan menurut Dahlan Siamat (2005), rasio-rasio yang umum digunakan untuk
mengukur likuiditas bank antara lain sebagai berikut:
1. Rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga. Rasio ini dapat dijadikan ukuran untuk
menilai kemampuan bank dalam memenuhi kebutuhan likuiditas akibat penarikan
dana oleh pihak ketiga dengan menggunakan alat-alat likuid bank yang tersedia. Alat
likuid bank tersedia atas: uang kas, saldo giro pada bank sentral dan bank-bank
koresponden. Semakin besar rasio ini semakin baik pula posisi likuiditas bank yang
bersangkutan.
2. Rasio kredit terhadap total dana pihak ketiga. Rasio likuiditas ini juga sering disebut
dengan loanto deposit ratio atau LDR. Rasio ini memberikan indikasi mengenai
jumlah dana pihak ketiga yang disalurkan dalam bentuk kredit. Rasio yang tinggi
menggambarkan kurang baiknya posisi likuiditas bank. umumnya, rasio sampai
dengan 100% memberikan gambaran yang cukup baik atas keadaan likuiditas bank.
Namun berdasarkan ketentuan bank Indonesia, rasio likuiditas yang digunakan untuk
menilai tingkat kesehatan bank adalah rasio kredit terhadap dana yang diterima bank
dalam rupiah dan valas. Dana yang diterima bank meliputi: kredit likuiditas BI; giro,
deposit, dan tabungan masyarakat; pinjaman bukan dari bank yang berjangka waktu
lebih dari 3 bulan dan tidak termasuk pinjaman subordinasi; deposito dan pinjaman
dari bank lain yang berjangka waktu lebih 3 bulan; surat berharga yang diterbitkan
bank yang berjangka waktu lebih dari 3 bulan; modal lain; dan modal pinjaman.
Semakin tinggi rasio ini semakin buruk kondisi likuiditas bank. bank Indonesia
memberi nilai kredit (0) bagi bank yang memiliki rasio sebesar 115% atau lebih
berdasarkan ketentuan penilaian tingkat kesehatan bank untuk faktor likuiditas.
3. Rasio kewajiban bersih callmoney terhadap aktiva lancar, dalam rupiah.Rasio ini
menunjukkan besarnya callmoney bank terhadap total aktiva lancar yang meliputi:
kas, giro pada Bank Indonesia, SBI dan SPBU yang telah di-endos bank lain. Menurut
ketentuan Bank Indonesia maksimum rasio adalah 100%.
4. Rasio surat-surat berharga jangka pendek terhadap total portfolio surat-surat berharga.
Rasio ini memberikan informasi bahwa semakin besar porsi penanaman dana dalam
surat-surat berharga yang jatuh temponya kurang dari satu tahun terhadap total
portfolio surat-surat berharga semakin baik pula posisi likuiditas bank.
5. Total kredit terhadap total asset. Rasio ini mengukur kemampuan bank memenuhi
permintaan kredit dengan menggunakan asset bank. kenaikan rasio ini menunjukan
rendahnya likuiditas bank.
Kredit merupakan salah satu faktor yang memengaruhi tingkat likuiditas bank.
Penyaluran kredit memberikan pendapatan dari selisih nilai bunga kredit yang ditentukan dan
masyarakat akan mendapatkan pinjaman dana dari bank dengan masa pengembalian dalam
jangka waktu tertentu sehingga antara masyarakat dan bank mendapatkan manfaat serta
keuntungan tersendiri. Penyaluran kredit merupakan sumber utama pendapatan bank dari
nilai bunga kredit. Besaran pendapatan bank ini diberikan oleh debitur pada saat jatuh tempo.
Perbankan merupakan perusahaan yang paling berisiko sehingga nominal besarnya
pendapatan sebagian disisihkan untuk cadangan kerugian bank (Haq et al.,2019).
Dalam kamus Bank Indonesia, cadangan kerugian bank ini disebut dengan cadangan
antisipasi yakni cadangan yang dibuat oleh bank untuk mengantisipasi adanya kerugian pada
kegiatan bank yang paling berisiko yakni kredit. Cadangan bank ini akan memperkuat tingkat
likuiditas dan menghindari risiko likuiditas. Adanya cadangan dari penyaluran kredit ini,
membuat bank dapat melayani setiap transaksi nasabah baik penarikan dana maupun
permintaan dana yang merupakan tolak ukur tingkat likuditas. ndonesia yang dilakukan oleh
Pratama (2018) bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara penyaluran kredit terhadap
likuiditas yakni semakin tinggi penyaluran kredit maka likuiditas juga semakin tinggi. Ini
dapat berarti penyaluran kredit yang besar dapat memperkuat tingkat likuiditas
(Meriläinen&Junttila, 2020; Smaouietal., 2020). Hackethaletal. (2010) membuktikan bahwa
bank dengan pinjaman dalam jumlah besar menciptakan lebih banyak likuiditas, demikian
pula dalam analisisnya terhadap bank-bank komersial yang terdaftar di Eropa dan Amerika
Serikat. Angora dan Roulet (2011) berpendapat bahwa penciptaan likuiditas akan lebih
rendah jika pemberian pinjaman terkonsentrasi pada pinjaman likuid. Hal senada juga
dinyatakan oleh Meriläinen dan Junttila (2020), Smaouietal.(2020), Horváthetal. (2014), serta
Lei danSong (2012) yang menyatakan bahwa pengaruh risiko kredit terhadap
liquiditycreation adalah positif. Namun pendapat ini berbeda dengan riset yang menemukan
bahwa ketika penyaluran kredit meningkat, maka kemampuan bank dalam penciptaan
likuiditas menurun. Hal ini dikarenakan penyediaan dana menjadi kecil, karena bank telah
mentransformasi modal dan simpanan nasabah dalam bentuk penyaluran kredit (Diamond
&Rajan, 2001; Gorton&Winton, 2017, 2000)
Ada 2 (dua) teori yang mendasari penelitian tentang penciptaan likuiditas, yaitu:
Menurut Kasmir (2012, hal 134), Rasio lancar merupakan rasio untuk mengukur
kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendek atau utang yang segera
jatuh tempo pada saat ditagih secara keseluruhan. Dengan kata lain, seberapa banyak aktiva
lancar yangtersedia untuk menutupi kewajiban jangka pendek yang segera jatuh tempo. Rasio
lancar dapat pula dikatakan sebagai bentuk untuk mengukur tingkat keamanan (margin
ofsafety) suatu perusahaan.
Aktiva Lancar
Rasio Lancar= x 100 %
Hutang Lancar
Dari hasil pengukuran rasio, apabila rasio lancar rendah, dapat dikatakan bahwa
perusahaan kurang modal untuk membayar utang. Namun, apabila hasil pengukuran rasio
tinggi, belum tentu kondisi perusahaan sedang baik. Hal ini dapat saja terjadi karena kas tidak
digunakan sebaik mungkin. Untuk mengatakan kondisi suatu perusahaan baik atau tidaknya,
ada suatu standar rasio yang digunakan. Berdasarkan teori, standar rasio lancar yaitu 2 kali
atau 200 % yang artinya dengan hasil rasio seperti itu, perusahaan sudah merasa berada di
titik aman dalam jangka pendek, dan begitu sebaliknya.
Berdasarkan teori, jika rata – rata industri untuk cashratio adalah 50% maka keadaan
perusahaan lebih baik dari perusahaan lain. Namun, kondisi rasio kas terlalu tinggi juga
kurang baik karena ada dana yang menganggur atau tidak atau belum digunakan secara
optimal. Sebaiknya apabila rasio kas di bawah rata – rata industri, kondisi kurang baik
ditinjau dari rasio kas karena untuk membayar kewajiban masih memerlukan waktu untuk
menjual sebagian dari aktiva lancar lainnya.
Hubungan antara arus kas dan likuiditas juga sesuai dengan teori Munawir (2010, hal
158) yang mengemukakan bahwa, “Semakin besar nilai arus kas dari aktivitas operasi,
investasi dan pendanaan yang dimiliki oleh suatu perusahaan semakin besar pula kemampuan
perusahaan dalam memenuhi kewajiban lancarnya pada saat jatuh tempo dan begitu pun
sebaliknya”. Informasi tentang arus kas yang dianggarkan dapat menghasilkan informasi
yang relevan, karena dari aliran kas ini dapat diketahui kebutuhan untuk operasi perusahaan
dari sumber penerimanya.
Oleh karena itu, setiap perusahaan baik perusahaan Badan usaha Milik Negara
(BUMN) maupun perusahaan swasta dituntut agar mampu mengelola dana yang ada untuk
dipergunakan membiayai segala jenis kegiatannya dan harus berhati-hati dalam menangani
masalah keuangan, khususnya dalam pengelolaan sumber daya dan penggunaan kas, karena
dapat berdampak pada kemampuan perusahaan dalam mendapatkan laba serta tingkat
likuiditas perusahaan di masa yang akan datang. Mengingat banyaknya penerimaan dan
pengeluaran kas yang dikelola, maka diperlukan suatu daftar yang memuat semua arus kas
masuk (cash in flow) dan arus kas keluar (cash out flow) yang disajikan dalam bentuk
laporan arus kas (cash flow statement).
Apabila ditinjau lebih lanjut, penyebab masalah likuiditas adalah bukan disebabkan
kalah kliring semata, dalam hal ini kalah kliring hanyalah merupakan sebab langsung,
sedangkan faktor yang lebih mendasar yang sebenarnya adalah manajemen likuiditas yang
tidak baik dalam jangka waktu yang lama. Manajemen likuiditas yang tidak baik antara lain
disebabkan pihak bank terlalu berani memberikan pinjaman tanpa memperhatikan portofolio
atau komposisi dananya, misalnya dilihat dari loan to desosit ratio yang diatas 100%.
1. Loan to Deposit
Ratio (LDR) diatas 100% Loan to deposit ratio adalah alat ukur tradisional untuk mengetahui
suatu perbankan atau sejumlah besar deposit (tabungan, giro, dan deposito) yang telah
diberikan dalam bentuk pinjaman. Suatu rasio yang tinggi menunjukan bahwa bank tersebut
cenderung memiliki LDR yang lebih tinggi dibandingkan dengan bank yang lebih kecil.
Tetapi bagaimanapu juga adalah suatu hal yang umum pada bank kecil untuk memiliki ratio
yang lebih besar (lebih besar dari 100%) untuk bank-bank yang beroperasi di daerah
pertanian. Feomena kejadian ini muncul pada saat musim tanam tiba dimana permintaan akan
pinjaman lebih besar daripada yang di depositkan. LDR dikenal sebgai suatu cara untuk
mengukur tingkat likuiditas suatu bank. Semakin tinggi angka tersebut semakin tidak likuid
posisi bank yang bersangkutan. Hal ini dapat terjadi karena pinjaman yang diberikan bukan
hanya dibiayai dari dana deposito berjangka tetapi juga berasal dari dana curren account.
Sifat curren account yang dapat ditarik sewaktu-waktu oleh pemiliknya dapat mengakibatkan
masalah likuiditas suatu bank karena dananya masih tertanam dipinjaman yang masih belum
jatuh tempo.
Istilah money center bank dipakai untuk menyebut bank yang banyak mengandalkan
operasinya dari pasar uang. Bank yang demikian ini biasanya mempunyai bahwa jumlah dana
yang dikumpulkan lewat pasar uang relatif lebih besar jika dibandingkan dengan uang yang
dikumpulkan dari masyarakat. Dalam situasi uang ketat, pinjaman dari pasar uang biasanya
agak langka sehingga pinjaman pasar uang yang sudah jatuh tempo sulit untuk diperpanjang
lagi. Apabaila dana dari pasar uang tersebut masih tertanam pada kredit, maka bank tersebut
kemungkinan akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya.
Purchased fund and hot money, secara konseptual hot money disebabkan oleh karena adanya
suatu kurva penawaran yang betul-betul elastic, yang secara mudah dapat dikatakan bahwa
dana yang kita dapat sangat sensitive terhadap perubahan tingkat bunga. Hot money biasanya
terdiri dari sebagian besar dalam bentuk deposito, eurodollar, petrodollar, federal fund
purchased, dan repo. Secara kasar dapat dikatakan bahwa sepertiga dari dana yang didapat
oleh bank-bank besar adalah dana yang dibeli (hot money). Bank-bank yang banyak
mengandalkan hot money menunjukan bahwa bank tersebut sebenarnya kurang memiliki
simpanan dana untuk mengatasi masalah likuiditas.
Pada awalnya reserve requirement ditetapkan untuk menjaga likuiditas dan keselamatan
bank. Sesuai dengan tujuannya, angka reserve requirement ditetapkan berdasarkan kebutuhan
rata-rata nasabah untuk menarik uang kasnya. Namun demikian saat ini banyak orang
menganggap bahwa ketentuan itu merupakan instrument moneter yang dipakai oleh bank
sentral untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar. Oleh karena itu, banyak bank yang
menganggap bahwa dirinya dapat berkerja secara efesien apabila dapat memenuhi ketentuan
itu secara kaku seperti yang ditetapkan oleh penguasa moneter. Tanpa pertimbangan
kebutuhan kas yang sebenarnya sesuai dengan kebiasaan nasabah dalam menarik dana, bank
yang bersangkutan dapat mengalami kalah kliring. Kebutuhan atau kebiasaan nasabah dapat
berbeda antara suatu bank dengan bank yang lainnya sehingga kepatuhan secara kaku
terhadap angka reserve requirement sebasar 2% dapat menimbulkan persoalan likuiditas.
Banyak para banker uang berpikir bahwa kredit yang besar dapat menghasilkan keuntungan
yang besar pula,. Dengan jalan pikiran semacam itu, para banker dapat lupa dengan
menyetujui permohonan pinjaman sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan jumlah dana
yang dapat dikumpulkan. Apabila hal ini sampai terjadi penarikan uang dari para debitur atas
fasilitas pinjamannya dapat mengakibatkan terjadinya kalah kliring karena nilai cek masuk
(dari debitur) yang ditarik atas banknya jauh lebih besar dari cek yang keluar (nasabah bank
lain yang menyetor dana ke bank kita).
Industri perbankan yang sudah maju biasanya banyak sekali muncul inovasi keuangan.
walaupun derajatnya relatif kecil, industry perbankan di Indonesia tergolong maju terutama
setelah deregulasi sehingga muncul banyak instrument keuangan yang baru. Adanya
instrument baru memungkinkan adanya secoundary reserve yaitu aktiva yang menghasilkan
tetapi sifatnya relatif likuid. Dalam situasi uang ketat, peranan secoundary reserve sangat
menentukan. Posisi likuid karena tidak mencukupinya posisi primary reserve dapa segera
diatasi dengan perubahan secondary reserve sehingga dapat segera kembali ke posisi likuid.
Masalah likuiditas yang nyaris terjadi akan dapat ditolong apabila bank yang bersangkutan
tidak lemah manajemen secoundary reservenya.
6.Evergreening Loan
Istilah evergrrening loan dipakai untuk menunjukan pinajaman yang selalu diperpanjang pada
saat jatuh tempo sehingga sifat pinjamannya menjadi abadi. Dalam situasi uang ketat,
mungkin saja bank membutuhkan dana hasil pencairan pinjaman guna memenuhi
likuiditasnya. Apabila pinjaman dimaksud telah terbiasa diperpanjang pada saat jatuh tempo
dan ini berlaku untuk semua fasilitas kreditnya, kemungkinan besar bank yang seperti ini
akan mengalami masalah likuiditas pada saat uang ketat.
7. Negatif gap position yang cukup besar
Istilah ini dipakai untuk menunjukan jumlah sensitive liability suatu bank lebih besar dari
sensitive assetnya. Dalam posisi struktur asset seperti ini, maka bank yang bersangkutan
harus melakukan repricing liability yang lebih banyak dari pada asetnya. Pada saat posisi
uang ketat, dimana tarif bunga cenderung meningkat bank harus berani membayar bunga
yang lebih besar dibandingkan sebelum masa jatuh tempo terhadap sensitive liability seperto
depositi dan tabungan.
PENGAPLIKASIAN DIPERBANKAN
a. Dapat memelihara GWM di Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
b. Dapat memelihara Giro di Bank Koresponden. Giro di Bank Koresponden 1 adalah
rekening yang dipelihara di Bank Koresponden yang besarnya 1 ditetapkan
berdasarkan Saldo Minimum.
c. Dapat memelihara sejumlah kas secukupnya untuk memenuhi pengambilan
uangtunai.
Dalam pengelolaan dana, bank akan mengalami salah satu dari tiga hal di bawah ini:
1. Posisi seimbang (squere) dimana persedian dana sama dengan kebutuhan dana yang
tersedia
2. Posisi lebih (long) dimana persediaan dana lebih dari kebutuhan dana yang tersedia.
3. Posisi kurang (short) dimana persediaan dana kurang dari kebutuhan dana.Dalam
kegiatan operasional, bank dapat mengalami kelebihan atau kekurangan likuiditas.
Apabila terjadi kelebihan maka hal itu dianggap sebagai keuntungan bank. Sedangkan
jika terjadi kekurangan likuiditas, maka bank memerlukan sarana untuk menutupi
kekurangan tersebut (Widyaningsih, 2005).
a. Mekanisme Pengelolaan Likuiditas Bank Syariah
Bagi bank syariah yang mengalami kekurangan dana dapat menerbitkan sertifikat
Investasi Mudharabah Antarbank (IMA) yang merupakan sarana penanaman modal bagi bank
syariah maupun bank konvensional. Berdasarkan ketentuan pasal 3 PBI No.2/8/PBI/2000,
sertifikat IMA adalah satu-satunya piranti yang digunakan dalamoperational pasar uang antar
bank berdasarkan prinsip syariah. Dalam aktivitas PUAS, transaksi pembayaran juga
dilakukan melalui mekanisme kliring dengan membebankan rekening giro bank syariah yang
bersangkutan di BI. Ketentuan mengenai kliring ini diatur dalam PBI No 2/4/PBI/2000
tanggal 11 februari 2000 bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah bank umum
konvensional.
Kliring bagi Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah Bank Umum
Konvensional (UUS BUK) dan WGM intinya mengatur teknik pendukung mekanisme
PUAS, mialnya mengenai jumlah rekening yang harus ada di BI bagi masing-masing BUS
maupun UUS BUK dan penanganan saldo giro negatif untuk kegiatan usaha konvensional
dan usaha syariah. Sedangkan untuk menjaga kestabilan moneter bank syariah peserta PUAS,
BI menyerap kelebihan likuiditas bank-bank syariah melalui penerbitan sertifikat wadiah
(titipan). Untuk mengatasi mismatch (kekurangan arus dana masuk dari arus dana keluar)
pada aktivitas bank syariah kesehariannya dapat diatasi dengan melalui fasilitas pembiayaan
jangka pendek bagi bank syariah (FPJPS).
Sebagian besar dana masyarakat yang diterima bank sifatnya jangka pendek seperti
giro, tabungan dan deposito, Penjelasannya sebagai berikut (Karim, 2010):
a. Produk Giro, misalnya, dengan media penarikan berupa cek atau bilyet giro, memang
dimaksudkan untuk kegunaan nasabah melakukan transaksi, baik menerima uang atau
membayar uang kepada kepada mitranya. Sehingga periode waktu pengendapan dana-
dana di bank bersifat sangat jangka pendek. Salah satu ukuran yang digunakan untuk
melihat berapa banyak dana-dana giro yang benar-benar mengendap di bank adalah
floating rate (FR).FR = (rata-rata jumlah dana yang mutasi atau rata-rata dana) x
100% Bila rasio FR untuk dana giro berkisar 70-80%, berarti hanya 20-30 persen dari
dana giro yang benar benar menghadap di bank.
b. Produk tabungan relatif lebih lama mengendap di bank karena tidak menggunakan
alat tarik cek dan bilyet giro. Di masa lalu, nasabah harus datang ke kantor bank untuk
menarik atau menyetor uangnya ke rekening tabungan. Namun, dengan semakin
luasnya jaringan ATM (Anjungan Tunai Mandiri/ Automatic Teller Machine), maka
nasabah menjadi semakin mudah menarik dana tabungannya. Semakin luasnya akses
ATM yang dilengkapi pula dengan Electronic Debit Card (EDC), yaitu alat
pembayaran elektronik kartu tabungan, membuat FR produk tabungan, membuat FR
produk tabungan meningkat signifikan. Biasanya ada dua cara yang dilakukan bank
untuk menurunkan FR tabungan, yaitu dengan :
1) Mendorong nasabah melakukan transaksi non tunai, misalnya transfer dana dari
satu rekening ke rekening lainnya, sehingga dananya tetap mengendap di bank.
2) Menyediakan ATM yang dapat menerima setoran sehingga dana yang di tarik
tergantikan oleh dana yang di setor.
c. Produk deposito relatif lebih dapat diprediksi waktu mengendapnya karena telah jelas
tenornya. Saat ini tenor deposito di Indonesia terdiri dari 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan,
dan 12 bulan. Untuk mengurangi dorongan nasabah mencairkan depositonya sebelum
waktu yang diperjanjikan, biasanya bank mengenakan “denda pencairan sebelum
jatuh tempo”. Secara statistik, FR untuk produk deposito mendekati nihil.
2. Manajemen Sisi Penyaluran Dana
Sebagian besar dana yang disalurkan bank kepada masyarakat sifatnya jangka
menengah panjang.
1. Bila terjadi kekurangan likuiditas, bank syariah mencari dana antara lain dengan :
a) Menjual aset likuidnya agar mendapat likuiditas dalam hal bank syariah memiliki
aset likuid.
b) Menerima penempatan dana atau likuiditas dari bank syariah lain atau institusi/
individu lain secara syariah dalam hal :
1) Bank syariah tidak memilik aset likuid yang dapat dijual.
2) Secara ekonomis lebih menguntungkan melakukan (b) daripada (a)
3) Secara ekonomis lebih menguntunkan melakukan kombinasi (a) dan (b)
2. Bila terjadi kelebihan likuiditas, bank syariah menempatkan dana antara lain dengan :
a) Aset likuid agar likuiditasnya produktif
b) Menempatkan dana ke Bank Syariah lain atau institusi lain secara syariah dalam
hal:
1) Tidak tersedia aset likuid syariah di pasar, atau
2) Secara ekonomis lebih menguntungkan melakukan (b) daripada (a), atau,
3) Secara ekonimis lebih menguntungkan melakukan kombinasi (a) dan (b).
b. Ciri-ciri Bank Syariah Yang Memiliki Likuiditas Sehat
1) Memiliki sejumlah alat likuid, cash asset (uang kas, rekening pada bank sentral dan
bank lainnya) setara dengan kebutuhan likuiditas yang diperkirakan,
2) Memiliki likuiditas kurang dari kebutuhan, tetapi memiliki surat-surat berharga yang
segera dapat dialihkan menjadi kas, tanpa harus mengalami kerugian baik sebelum
atau sesudah jatuh tempo,
3) Memiliki kemampuan untuk memperoleh likuiditas dengan cara menciptakan uang,
misalnya dengan menjual surat berharga dengan repurchase agreement.
4) Memenuhi ratio pengukuran likuiditas yang sehat yaitu :
a. Rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga:
1) Merupakan ukuran untuk menilai kemampuan bank dalam memenuhi
kebutuhan likuiditas akibat penarikan dana oleh pihak ketiga dengan
menggunakan alat likuid bank yang tersedia,
2) Alat likuid bank terdiri atas uang kas, saldo giro pada bank sentral dan bank
koresponden
3) Semakin besar rasio ini semakin besar kemampuan bank memenuhi kewajiban
jangka pendeknya, tetapi disisi lain mengidentifikasikan semakin besarnya
idle money.
b. Rasio pembiayaan terhadap total dana pihak ketiga (FDR)
1) Finance to deposit ratio (FDR), yang menggambarkan perbandingan
pembiayaan yang disalurkan dengan jumlah DPK yang disalurkan,
2) Ratio ini harus dipelihara pada posisi tertentu yaitu 75-100%. Jika ratio di
bawah 75% maka bank dalam kondisi kelebihan likuididitas, dan jika ratio
diatas 100% maka bank dalam kondisi kurang likuid,
3) Menurut kriteria Bank Indonesia, ratio sebesar 115% keatas nilai kesehatan
likuiditas bank adalah nol
c. Instrumen Manajemen Likuiditas Bank Syari’ah
Ada instrumen-instrumen likuiditas yang dapat dijalankan bank syari’ah dalam rangka
memenuhi kewajiban likuiditas, yaitu : Giro Wajib Minimum (GWM), Kliring dan Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), penjelasan ketiga hal inisebagai berikut:
Giro Wajib Minimum adalah simpanan minimum bank umum dalam giro pada Bank
Indonesia yang besarnya ditetapkan olah BI berdasarkan persentase tertentu dari Dana Pihak
Ketiga (DPK). Perhitungan ini berlaku baik untuk GWM dalam rupiah maupun valuta asing.
2) Kliring
Kliring adalah sarana perhitungan utang-piutang antar bank dengan cara saling
menyerahkan surat-surat berharga dan surat-surat dagang guna memperlancar lalu lintas
pembayaran yang terdiri dari pengiriman uang, inkaso, dan pembukaan letter of credit.
Ketentuan mengenai kliring yang berlaku bagi bank umum konvensional berlaku pula bagi
bank umum yng berdasarkan prinsip syariah, dengan beberapa perbedaan dan tambahan.
Ketentuan yang berlaku bagibank berdasarkan prinsip syariah antara lain meliputi ukuran
besarnya sanksi pelanggaran saldo giro negatif dan tatacara pengenaan sanksi untuk bank-
bank bersaldo negatif.
3) BLBI
BLBI Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah skema bantuan (pinjaman)
yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada
saat terjadinya krisis moneter 1998 di Indonesia. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian
Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan Desember 1998, BI telah
menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.
Selain instrumen diatas juga ada Instrumen yang saat ini tersedia untuk melakukan
manajemen likuiditas bank syariah melalui pasar uang antarbank syariah, antara lain (Karim,
2010), yaitu:
Sertifikat investasi mudharabah antar Bank yang selanjutnya disebut SIMA adalah
sertifikat yang diterbitkan oleh Bank Syariah atau UUS yang digunakan sebagai sarana
investasi jangka pendek di puas dengan akad mudharabah. SIMA diterbitkan oleh Bank
pengelola dana (Bank Syariah atau unit usaha syariah) dengan jangka waktu paling lama 365
hari dan dapat diperjualbelikan (treadable), sepanjang sebelum jatuh tempo.
4) Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah (FASBIS)
Merupakan fasilitas yang diberikan Bank Indonesia kepada Bank untuk menempatkan
dananya di Bank Indonesia dalam rangka kegiatan Operasi Pasar Terbuka (OPT). Jangka
waktu FASBIS maksimum 7 hari dengan sistem imbalan berupa fee, dan diterbitkan tanpa
bukti kepemilikan (warkat) melainkan bukti pendebatan atau pengkreditan rekening giro bank
brupa confirmation advice pada sistem BI-RTGS. FASBIS tidak dapat diperdagangkan, tidak
dapat digunakan, dam tidak dapat dicairkan sebelum jatuh waktu.
Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syraiah atau sering disebut dengan
FPJPS merupakan instrumen dari Bank Indonesia sebagai The Lender Of Last Resort bagi
Bank-bank Syariah yang mengalami kesulitan likuiditas atau kesulitan pendanaan jangka
pendek yang disebabkan oleh tergantungnya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan
dengan arus dan keluar (mismatch). Tujuan dari diberlakukan FPJPS ini adalah umtuk
mebantu bank Syariah yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek, namun
memenuhi persyaratan tingkat kesehatan dan permodalan (illiquid but solvent).
6) Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah (FLIS)
Kendala operasional yang dihadapi oleh perbankan syariah adalah kesulitan dalam
mengendalikan likuiditasnya secara efisien, hal itu terlihat pada beberapa gejala, antara lain
(Arifin, 2009):
1. Tidak tersedianya kesempatan investasi segera atas dana dana yang diterimanya. Dana
dana tersebut terakumulasi dan menganggur untuk beberapa hari sehingga mengurangi
rata rata pendapatan mereka
2. Kesulitan mencairkan dana investasi yang sedang berjalan, pada saat ada penarikan dana
dalam situasi kritis. Akibatnya bank bank syariah menahan alat likuidnya dalam jumlah
yang lebih besar daripada rata rata perbankan konvensional.
Pada umumnya bank syariah mengalami dua macam kendala bila dibandingkan
dengan bank konvensional, yaitu: kurangnya akses untuk memperoleh pendanaan jangka
pendek, khususnya dari BI sebagai bank sentral, dan kurangnya akses ke pasar uang sehingga
bank syariah hanya dapat memelihara likuiditas dalam bentuk kas.
1) Tahap pertama :
Klasifikasikan sumber-sumber dana utama bank berdasarkan tingkat kecepatan
berputarnya. Kelompokkan dana yang sifatnya stabil atau tetap dan dana yang berfluktuasi.
Estimasikan persentase pada masing-masing kelompok pada dana tersebut dilihat dari waktu
penarikannya, maka terdapat dua jenis dana yaitu dana yang dapat ditarik sewaktu-waktu
meliputi tabungan dan giro wadiah serta dana yang ditarik pada saat jatuh tempo meliputi
investasi mudharabah. Untuk memperkirakan jumlah penarikan pada tabungan dan giro
wadiah, banksyariah harus menganalisis dari pengalaman penarikan dana harian pada masa-
masa sebelumnya (historical data),
2) Tahap kedua :
Kelompokkan jenis aktiva yang likuid maupun yang tidak likuid. Pengelompokan ini
dimaksudkan untuk mengukur kemampuan bank dalam memenuhi kebutuhan likuiditasnya
dari aktiva lancar yang dimilikinya.
3) Tahap ketiga :
Bandingkan total aktiva lancar dengan dana yang dianggap berubah-ubah (volatile).
Apabila perbandingan tersebut hasilnya sama dengan satu berarti posisi kebutuhan likuiditas
persis sama dengan jumlah aktiva lancar yang dimiliki bank saat itu (Balance liquidity
position).
4) Tahap ke empat:
Kebutuhan likuiditas bank yang biasanya dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini:
Pertama, kewajiban reserve yang ditetapkan oleh Bank Sentral, yaitu merupakan Giro Wajib
Minimum (GWM) yang merupakan ketentuan Bank Indonesia. Giro Wajib Minimum
merupakan kewajiban cadangan (reserve requirement) yang ditetapkan oleh oleh Bank
Indonesia sebesar prosentase dari dana pihak ketiga (DPK). Dana Pihak ketiga meliputi
seluruh DPK dalam rupiah maupun valuta asing pada seluruh kantor bank yang bersangkutan
di Indonesia.Kedua, kebutuhan dana operasional. Ketiga, rencana penyaluran pembiayaan
termasuk komitment bank kepada nasabah atau pihak lain untuk memberikan fasilitas
pembiayaan atau melakukan investasi. Bisnis di perbankan merupakan bisnis kepercayaan,
oleh karenanya pemenuhan komitmen harus menjadi fokus Bank syariah. Keempat, estimasi
penarikan dana oleh nasabah, baik yang reguler maupun irreguler. Kelima, saldo minimum
pada bank koresponden
Harus disadari bahwa perbankan syariah adalah industri yang masih dalam tahap
permulaan sehingga belum mampu menjadi pemimpin dalam industri perbankan khususnya
di Indonesia. Berdasarkan kenyataan tersebut maka di dalam issue likuiditas ini, disamping
bersaing dengan sesama bank syariah, persaingan juga terjadi dengan bank konvensional
yang sudah mapan. Untuk mengantisipasi dan mengatasi masalah likuiditas dikaitkan dengan
upaya pengembangan bank syariah, tuntutan deposan, profesionalitas, tingkat profitabilitas
dan kepatuhan terhadap sistem syariah, bank syariah harus melakukan strategi antara lain
berikut ini:
7. Mendesain portofolio bank termasuk instrumen yang likuid. Likuid instrumen tersebut
siap setiap saat untuk dicairkan kapanpun dibutuhkan. Alternatif lain adalah dengan
mencari likuiditas dari pasar uang syariah atau didalam keadaan yang sangat
mendesak bank dapat memohon bantuan likuiditas dari bank sentral.
Tabel 1
Neraca Keuangan
AKTIVA PASIVA
Tabel 2
Keterangan Jumlah
Pendapatan Rp 69,500,000
1. Penjualan Tunai Rp 69,000,000
2. Penjualan Kredit Rp 500,000
Pengeluaran
Biaya Rp 40,300,000
1. Tenaga Kerja Rp 10,800,000
2. Modal Kerja Rp 18,000,000
3. Material Rp 7,000,000
4. Mesin dan Energi Rp 2,500,000
5. Administrasi Umum Rp 2,000,000
Laba Rp 29,200,000
Nilai Rasio Keuangan
Rp. 78,650,000
Pembahasan
Item Standar Aktual Tinggi/Rendah Kesehatan Perusahaan
Likuiditas 200% ∞ Tinggi Baik
(currnt ratio)
Profitabilitas 5,85% 37% Tinggi Baik
(ROA)
Solvabilitas 35% 0 Rendah Baik
(Debt to asset
ratio)
Berdasarkan hasil perhitungan dapat dianalisis bahwa:
1. Rasio Likuiditas Rasio likuiditas yang dimiliki UMKM “Ameera Hijab” pada tahun
2020 dengan menghitung nilai current ratio atau rasio lancar diperoleh nilai
aktualnya sebesar tak terhingga dan lebih tinggi dari nilai standar yakni 200%
dikarenakan UMKM “Ameera Hijab” tidak memiliki kewajiban atau utang jangka
pendek dalam pengelolaan usahanya hal ini bisa dikatakan bahwa UMKM “Ameera
Hijab” mempunyai likuiditas tinggi atau likuid. Hal ini berarti sesuai dengan
penelitian (Sari et al., 2019) bahwa jika sebuah perusahaan berada pada kondisi
mampu untuk membayar kewajiban jangka pendeknya dimana aktiva lancar yang
dimiliki oleh perusahaan tersebut mampu menutup kewajiban atau utang jangka
maka perusahaan dalam keadaaan likuid,
2. Rasio Profitabilitas yang dimiliki UMKM “Ameera Hijab” pada tahun 2020 dengan
menghitung ROA atau Return On Asset diperoleh nilai aktual sebesar 37% lebih
tinggi dari nilai standar yakni 5,85% menunjukkan bahwa UMKM “Ameera Hijab”
mampu menghasilkan atau memperoleh keuntungan di atas nilai standar atau
mempunyai profitabilitas tinggi atau profitabel sesuai dengan penelitian (Saefullah,
2018) bahwa semakin tinggi rasio ROA yang dimiliki oleh suatu perusahaan berarti
perusahaan tersebut mempunyai kemampuan menghasilkan laba dengan baik.
3. Rasio solvabilitas yang dimiliki UMKM “Ameera Hijab” pada tahun 2020 dengan
menghitung rasio total utang terhadap total aset atau debt to asset ratio diperoleh
nilai aktual sebesar 0 yang jelas lebih rendah dari nilai standar yakni 35%
menunjukkan solvabilitas rendah atau solvabel itu dikarenakan UMKM “Ameera
Hijab” tidak memiliki utang jangka pangjang dan utang jangka pendek dalam
pengelolaan usahanya. Sesuai dengan teori yang dikemukana (Hanafi, 2016) bahwa
semakin tinggi rasio debt to asset ratio berarti perusahaan semakin beresiko atau
tidak baik karena perusahaan semakin tidak mempunyai kemampuan untuk
memenuhi kewajiban jangka panjang dan jangka pendeknya.
Jawaban:
Artinya setiap 1 Rupiah hutang lancar bisa dijamin dengan 1 rupiah aktiva lancar.
Rasio lancar digunakan untuk mengunkapkan jaminan keamanan (margin ofsafety)
perusahaan terhadap kredit jangka pendek. Jika nilainya kurang dari 1% maka perusahaan
dikatakan mengalami kesulitan dalam melunasi utang jangka pendeknya.
Tetapi jika rasio lancarnya terlalu tinggi, maka sebuah perusahaan dikatakan kurang efisien
dalam mengurus aktiva lancarnya.
2. Berikut adalah pos-pos yang dilaporkan dalam neraca keuangan sebuah perusahaan PT
Maju Langgeng:
Kas = Rp 300.000.000
Surat berharga yang dapat dipasarkan = Rp 100.000.000
Piutang usaha (bersih) = Rp 200.000.000
Persediaan = Rp 200.000.000
Utang usaha = Rp 400.00.000
Tentukan rasio lancar (current rasio) dan rasio cepat (quickratio) perusahaan tersebut?
Jawaban:
KESIMPULAN
Likuiditas merupakan suatu hal yang sangat penting bagi bank untuk dikelola dengan baik
karena akan berdampak kepada profiitabililitas serta business sustainibility dan continuity.
Hal itu juga tercermin dari peraturan bank Indonesia yang menetapkan likuiditas sebagai
salah satu dari delapan risiko yang harus dikelola oleh bank. Konsep likuiditas di dalam dunia
bisnis diartikan sebagai kemampuan menjual aset dalam waktu singkat dengan kerugian yang
paling minimal. Tetapi pengertian likuiditas dalam dunia perbankan lebih kompleks
dibanding dengan dunia bisnis secara umum. Dari sudut aktiva, likuiditas adalah kemampuan
untuk mengubah seluruh aset menjadi bentuk tunai (cash), sedangkan dari sudut pasiva,
likuiditas adalah kemampuan bank memenuhi kebutuhan dana melalui peningkatan portofolio
liabilitas.
Pengelolaan likuiditas dilakukan tidak saja untuk mengukur posisi likuiditas pada bank
sedang berjalan, tetapi juga dipergunakan untuk memeriksa kebutuhan dana pada berbagai
skenario jika terjadi kondisi yang berbeda. Pemberian pinjaman kepada nasabah, dalam hal
jangka watu pinjaman, juga tidak mutlak dalam kendali bank. Pinjaman juga dapat
menentukan apakah akan meminjam untuk jangka pendek atau panjang. Pinjaman
mempunyai strategi sendiri untuk mengelola dananya. Sebagian besar dana pada bank
diperoleh dengan membuat perjanjian dengan para nasabah, yakni dana tersebut dapat segera
ditarik saat dibutuhkan oleh nasabah giro, tabungan, atau saat jatuh tempo deposito. Dengan
demikian hubungan antara dana yang dihimpun dan dala bentuk apa dana tersebut akan
diinvestasikan sebaiknya saling terkait. Secara garis besar manajemen likuiditas terdiri dari
dua bagian, yaitu; pertama, memperkirakan kebutuhan dana, yang berasal dari penghimpunan
dana (deposit inflow) dan untuk penyaluran dana (fund out flow) dan berbagai komitmen
pembiayaan (finance commitments).
DAFTAR PUSTAKA
Andrianto,SE,M.Ak, Dr. M Anang Firmansyah, S.E.,M. Manajemen Bank Syariah
(Implementasi Teori dan Praktek)
Zulkifli Rusby, Manajemen Perbankan Syariah, Pekanbaru 2017
Drs. Selamet Riyadi, M.Si., “Banking Assets and Liability Management”. Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta,2003.
Dr. Nurman, M.Si. “Manajemen Bank Syariah”.Pendidikan Islam FAI UIR,
Pekanbaru, 2017.
Pangeran, perminas. “Jurnal Manajemen”. Vol 7, No 2(2017): 68-82
Arnoldus Hesron Bhoka, dkk. “Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan”. Vol.9, No
1(2021): 130-138
Hadisoewito, S. 1987. Dasar-Dasar Perbankan Indonesia. Jakarta: UPN veteran
Hadori, HLB, et.al. 2002. Studi Keuangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Jakarta: Bank Indonesia
Judiseno, R.K. 2005. Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia. Jakarta :
PT.Gramedia Pustaka Utama
James C. Van Horner dkk, 2009. Prinsip – Prinsip Manajemen Keuangan , Jakarta :
Salemba Empat
Manajemen Likuiditas Perbankan Syariah Elfadhli