Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

MANAJEMEN PEMBIAYAAN BANK SYARIAH

DOSEN PENGAMPU :

Wahyi Busyro, S.E.I.,ME

DISUSUN OLEH :

SULFY SRI RASMY POLEM (190801022)

NADILA (190801027)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH RIAU

FAKULTAS STUDI ISLAM

PERBANKAN SYARIAH

T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Swt Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji

syukur saya panjatkan kehadirat Allah Swt,yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-

Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Dosen

ibu Wahyi Busyro S. E. I., M. E pada mata kuliah Manajemen Pembiayaan Bank Syariah.

Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga

bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu Wahyi Busyro S. E. I. M. E, selaku

dosen mata kuliah manajemen Pembiayaan Bank Syariah yang telah memberikan tugas ini

sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami

tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi

sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Penyusunan makalah ini sudah kami lakukan dengan semaksimal mungkin tetapi

kami memahami makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami menerima

kritik atau pun saran demi penyempurnaan makalah ini. Dan kami berharap dari makalah ini

memberikan manfaat dan menambah pengetahuan bagi para pembaca terutama untuk

menambah wawasan

ii
DFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan..............................................................................................................1
BAB II........................................................................................................................................2
PEMBAHASAN........................................................................................................................2
2.1. Sengketa Bank Syariah....................................................................................................2
2.2 Penyelesaian Sengketa Oleh Pengadilan........................................................................12
2.3. Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Perbankan Non-Litigasi Dalam Menyelesaikan
Sengketa Hubungan Perbankan............................................................................................19
2.4. Metode Litigasi..............................................................................................................26
BAB III.....................................................................................................................................29
STUDI KASUS & SOAL........................................................................................................29
3.1 Kasus Sengketa Ekonomi Syariah Di Pengadilan Agama Kota Tasikmalaya...............29
3.2. Sengketa Bisnis Syariah................................................................................................30
3.3. Soal................................................................................................................................31
BAB IV....................................................................................................................................32
PENUTUP................................................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................33

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pasal 55 UU Perbankan Syariah sebagai undang-undang menentukan Pengadilan
Agama sebagai lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa  perbankan syari‟ah,
namun demikian UU perbankan syari‟ah secara eksepsional memberikan kewenangan lain
melalui perjanjian, dimana sengketa perbankan syariah dapat ditangani dengan musyawarah,
mediasi perbankan, badan arbitrase Syariah  Nasional atau lembaga arbitrase lain serta
melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah adalah


Pengadilan Agama. Semenjak tahun 2006, dengan diamendemennya UU No. 7 Tahun 1989
dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, kewenangan Peradilan Agama
diperluas. Cara alternatif penyelesaian sengketa menurut UU No 30 tahun 1999 adalah: a)
Arbitrase, b) Negosiasi, c) Mediasi, d) Konsiliasi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Sengketa Bank Syariah?
2. Penyelesaian Sengketa Oleh Pengadilan?
3. Penyelesaian Sengketa Oleh Non Ligitasi?
4. Metode Ligitasi?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui Tentang Sengketa Bank Syariah !
2. Mengetahui Penyelesaian Oleh Pengadilan !
3. Mengetahui Penyelesaian Sengketa Oleh Non Ligitasi !
4. Mengetahui Metode Ligitasi !

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Sengketa Bank Syariah


A. Penyelesaian Sengketa Perbankan

1. Sengketa Perbankan

Isu strategis yang yang mengemukan sehubungan dengan mediasi perbankan adalah
mengenai lingkup sengketa uang dapat dimediasikan. Pasal 1 Peraturan Bank Indonesia
Nomor 8/5/PBI/2006 Tentang Mediasi Perbankan tidak tegas mendefinisikan sengketa.
Dalam peraturan Bank Indonesia ini sengketa diartikan sebagai permasalahan yang diajukan
oleh nasabah atau perwakilan nasabah kepada penyelenggara mediasi perbankan, setelah
melalui proses penyelesaian pengaduan oleh bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah. Definisi mengandung unsur subjektif
yaitu sengketa antara nasabah dan bank, tetapi tidak tegas tentang unsur objektifnya. Pasal 8
angka (4) Peraturan Bank Indonesia tersebut baru diperoleh sedikit kejelasan tentang unsur
objektif dari sengketa yaitu sengketa keperdataan. Sementara itu pasal 6 memberikan batasan
nilai dari objek sengketa yaitu paling banyak Rp. 500.000.000,- relatif tidak ada perdebatan
yang signifikan tentang sengketa keperdataan murni sebagai objek mediasi.

Sengketa-sengketa perbankan yang diajukan oleh masyarakat (nasabah) adakalanya


merupakan sengketa perdata yang mengandung unsur perbuatan melawan hukum yang
bersifat pidana. Perdebatan sangat tajam tentang bisa tidaknya sengketa-sengketa yang
mengandung unsur perbuatan melawan hukum yang bersifat piadana. Dalam hukum positif
tidak ditemukan adanya kaidah hukum yang secara tegas dan jelas membenarkan
penyelesaian tindak pidana melalui proses mediasi. Namun masalahnya dalam dunia
perbankan adalah banyaknya sengketa yang diajukan nasabah terkait dengan suatu tindak
pidana, misalnya penipuan, penggelapan, pembobolan rekening nasabah dan lain sebagainya.
Apabila seluruh masalah ini secara ketat harus diselesaikan melalui proses pidana, maka
nasabah pada umumnya akan dihadapkan pada kelemahan proses litigasi yaitu proses lambat,
biaya mahal dan kurang memberikan kepastian dan perlindungan hukum atas perbankan.
Oleh karena itu muncul pemikiran tentang proses penyelesaian melalui mediasi terhadap
sengketa-sengketa perbankan yang bukan merupakan sengketa perdata murni (Susanti Adi
Nugroho, 2009:226- 227). Terkait dengan jenis sengketa yang mungkin dimediasikan,
maka harus ada identifikasi jenis tindak pidana yang bisa diajukan ke jalur mediasi. Kriteria
umum untuk menentukan suatu perbuatan termasuk tindak pidana tercermin dalam adagium
”actus reus non facit reums nisi mens sit rea”, yaitu unsur actus reus dan mens rea. Dengan
demikian unsur mens rea merupakan unsur yang sangat penting, sehingga untuk tindak
pidana yang tidak dengan jelas ada mens rea, potensial untuk menjadi objek mediasi perkara
pidana. Di samping itu tindak pidana yang benar-benar jahat atau “mala in se” (recht
delicten) sulit menjadi objek mediasi, sedangkan tindak pidana yang tergolong mala prohibita
(wet delicten) potensial diselesaikan melalui mediasi. Untuk kasus yang hanya melibatkan
bank dengan nasabah, dapat diselesaikan dalam jalur mediasi di luar sistem peradilan pidana.

2
Secara umum yang dapat diterima untuk diselesaikan adalah tindak pidana yang tergolong
ringan seperti pelanggaran ringan misalnya karena kelalaian (culpa), atau tindakan yang
terjadi karena kesalahan (error/dwangling) baik mengenai fakta atau mungkin mengenai
hukumnya (Susanti Adi Nugroho, 2009:229).

Sengketa perbankan merupakan perselisihan antara konsumen dengan lembaga jasa


keuangan dalam kegiatan perbankan. Sengketa perbankan dapat diselesaikan melalui Otoritas
Jasa Keuangan ataupun lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dimuat dalam daftar
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Otoritas Jasa keuangan.

2. Mediasi Perbankan

Mediasi Perbankan diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006


Tentang Mediasi Perbankan dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008 Tentang
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 Tentang mediasi perbankan.
Mediasi perbankan merupakan proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk
membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk
kesepakatan terhadap sebagian atau seluruh permasalahan yang disengketakan secara cepat,
efisien, dan murah. Mediasi perbankan dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan ataupun
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dimuat dalam daftar Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Peraturan mediasi perbankan dibuat dalam rangka menciptakan rasa keadilan bagi
masyrakat, terutama nasabah. Rasa keadilan bagi nasabah menjadi fokus penting dalam
peraturan mediasi dikarenakan industri perbankan sangat tergantung pada rasa kepercayaan
masyarakat. Apabila rasa kepercayaan terhadap bank berkurang atau hilang, maka dunia
perbankan akan mengalami goncangan yang pada akhirnya akan memberi pengaruh buruk
pada ekonomi nasional.

Mediasi perbankan bertujuan untuk memecahkan kebuntuan dan kelemahan litigasi


tersebut dengan berupaya memberikan cara yang lebih memenuhi rasa keadilan terhadap
pihak-pihak yang bersengketa. Lebih terpenuhinya rasa keadilan dalam sebuah proses
mediasi, dapat diuraikan sebagai berikut (Susanti Adi Nugroho, 2009:213-214):

a. Proses mediasi didasarkan pada prinsip acara yang sederhana sehingga waktu yang
diperlukan relatif cepat. Kondisi ini adil bagi nasabah maupun bank.
b. Dalam proses mediasi para pihak ditempatkan pada posisi yang setara dan memiliki
kesempatan yang sama untuk berpartisipasi secara langsung.
c. Mediator yang menengahi sengketa para pihak ditunjuk berdasarkan kesepakatan para
pihak.
d. Mediator yang ditunjuk adalah orang yang benar-benar memiliki pengetahuan dan
keahlian dalam sengketa para pihak, serta tidak memiliki kepentingan adapun
terhadap sengketa, sehingga netralitas dan objektifitas mediator lebih dipercaya, jika
dibandingkan dengan hakim pengadilan atau arbitrase.
e. Penyelesaian atas sengketa diputuskan sendiri oleh para pihak yang bersemgketa,
tidak ada intervensi pihak lain. Intervensi mediator hanya sebagai pengarah untuk

3
mempertemukan kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa. Oleh karena itu,
kesepakatan penyelesaian sengketa selalu bercorak win-win solution.
f. Pelaksanaan hasil kesepakatan mediasi oleh para pihak dilakukan secara sukarela
tanpa ada paksaan, karena pelaksanaan tersebut lahir sebagai kewajiban berdasarkan
kesepakatan bersama. Dengan cara ini pihak yang melaksanakan kewajiban,
melakukannya bukan karena adanya paksaan putusan, tetapi sebagai suatu kewajiban
yang disadarinya.

Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008 Tentang


Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 Tentang mediasi perbankan
dinyatakan bahwa mediasi di bidang perbankan dilakukan oleh lembaga mediasi perbankan
independen yang dibentuk oleh asosiasi perbankan, maka Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa perbankan diharapkan dapat membantu dan mempermudah nasabah dalam
penyelesaian sengketa. Harapan adanya lembaga mediasi perbankan membantu mencari jalan
keluar/alternatif penyelesaian sengketa secara sederhana, murah cepat dan efisien. Lembaga
mediasi perbankan berperan dalam melindungi dan menjamin agar nasabah tidak mengalami
kerugian akibat tindakan bank yang salah.

Independensi dan kredibilitas penyelenggaraan mediasi perbankan merupakan faktor


yang paling utama dan harus ditegakkan. Proses beracara dalam mediasi perbankan harus
ditetapkan dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penyelesaian sengketa melalui mediasi perbankan diharapkan tidak merugikan nasabah dan
pihak bank sendiri.

B. Tinjauan Umum Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute resolution)

1. Fungsi dan Pengertian Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution)

Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda


pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan
dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa). Berdasarkan pengertian alternatif penyelesaian sengketa, maka memberikan
kepastian hukum bagi berlakunya lembaga penyelesaian alternatif di luar pengadilan melalui
prosedur informal dan efisien. Di lain pihak hal tersebut juga memberikan kemudahan bagi
masyarakat untuk berperan serta dan mengembangkan mekanisme penyelesaian konfliknya
sendiri dan mendapatkan pilihan untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul.
(Suyud Margono, 2010:184).

Pengembangan alternatif penyelesaian sengketa diperlukan suatu pengintegrasian


komponen alternatif penyelesaian sengketa ke dalam undang-undang mengenai arbitrase pada
awalnya. Pemikiran tersebut dimaksudkan untuk menjadikan Alternatif penyelesaian
sengketa sebagai bentuk alternatif penyelesaian di luar pengadilan yang dapat berkembang
pesat dan sesuai dengan tujuannya, antara lain sebagai berikut (Suyud Margono, 2004:106):

4
a. Terdapat peran serta masyarakat untuk menyelesaikan sengketanya sendiri (akses
kepada keadilan)
b. Menumbuhkan iklim persaingan yang sehat bagi lembaga peradilan, sehingga akan
terjadi proses seleksi yang menggambarkan tingkat kepercayaan masyarakat.
c. Cara meningkatkan daya saing dalam mengundang penanam modal (investor) ke
Indonesia melalui adanya kepastian hukum, termasuk ketersediaannya sistem
penyelesaian sengketa yang efisien.
d. Lembaga alternatif penyelesaian sengketa diharapkan dapat mendorong lembaga-
lembaga penyelesaian sengketa di masyarakat guna meningkatkan citra dan
kepercayaan masyarakat.

Pembentukan alternatif penyelesaian sengketa tidak cukup dengan dukungan budaya


musyawarah/mufakat dari masyarakat, tetapi perlu pengembangan dan pelembagaan yang
meliputi pembentukan asosiasi profesi atau jasa profesional. Bentuk dan unsur –unsur
pelembagaan dan pendayagunaan alternatif penyelesaian sengketa antara lain terletak pada
hal-hal berikut:

a. Perangkat perundang-undangan.
b. Sistematisasi atau aturan main yang jelas dan prosedur pendayagunaan.
c. Kebutuhan penyedia jasa professional.
d. Sumber daya manusia
e. Pemasyarakatan.

Persoalan landasan hukum pelembagaan alternatif penyelesaian sengketa sebagai


bentuk penyelesaian sengketa telah diupayakan pemecahannya melalui perangkat Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Berdasarkan pengertian alternatif penyelesaian sengketa, maka memberikan kepastian


hukum bagi berlakunya lembaga penyelesaian alternatif di luar pengadilan melalui prosedur
informal dan efisien. Di lain pihak hal tersebut juga memberikan kemudahan bagi masyarakat
untuk berperan serta dan mengembangkan mekanisme penyelesaian konfliknya sendiri dan
mendapatkan pilihan untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul. (Suyud Margono,
2010:184)

Pengertian alternatif penyelesaian sengketa telah diperkenalkan sebagai suati


institusi/lembaga yang dipilih para pihak yang mengikat, apabila timbul beda pendapat atau
sengketa. Dengan demikian, alternatif penyelesaian sengketa berdasarkan undang-undang
bertindak sebagai lembaga independen di luar arbitrase, dan arbitrase oleh undang-undang
mempunyai ketentuan, cara dan syarat-syarat tersendiri untuk permberlakuan formalitasnya,
namun kedua-duanya terdapat kesamaan mengenai bentuk sengketa yang dapat diselesaikan,
yaitu:

Sengketa atau beda pendapat secara perdata di bidang perdagangan; dan

Menurut peraturan perundang-undangan, sengketa atau beda pendapat tersebut diajukan


dengan upaya damai.

5
Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya bahwa penyelesaian sengketa model
alternatif penyelesaian sengketa menempuh prosedur rahasia (confidential), maka konsepsi
kerahasiaan diatur Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Dengan diaturnya konsepsi
kerahasiaan ini, paling tidak memberikan jaminan bagi para pihak yang sama besar dan saling
memberikan kontrol terhadap masing-masing.

Tersedianya mekanisme penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan melalui


lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menerapkan prinsip-prinsip aksesbilitas,
independensi, keadilan, efisiensi dan efektifitas, maka rangkaian sistem perlindungan
konsumen akan meningkatkan kepercayaan nasabah kepada lembaga jasa keuangan.
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa berdampak positif bagi perkembangan industri
jasa keuangan dalam mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan
adil.

2. Prinsip Dasar dan Pengertian Mediasi

Upaya untuk mendefinisikan mediasi bukanlah suatu hal yang mudah (mediation is
not easy to define). Hal ini disebabkan karena mediasi tidak memberi satu model yang dapat
diuraikan secara terperinci dan dibedakan dari proses pengambilan keputusan lainnya.
Banyak pihak mengakui bahwa mediasi adalah proses untuk menyelesaikan sengketa dengan
bantuan pihak ketiga. Peranan pihak ketiga tersebut adalah dengan melibatkan diri untuk
membantu para pihak mengidentifikasi masalahmasalah yang disengketakan dan
mengembangkan sebuah proposal. Proposal tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai
acuan untuk menyelesaikan sengketa tersebut (Gatot Soemartono, 2006:119).

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Mediasi (PERMA No. 1
Tahun 2016), pengertian mediasi disebutkan pada Pasal 1 angka (1), yaitu mediasi adalah
cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para
pihak dengan dibantu oleh mediator. Dalam pasal tersebut disebutkan kata mediator yang
berperan dalam mencari berbagai kemungkinan penyeleseaian sengketa yang diterima para
pihak. Pengertian mediator disebut dalam Pasal 1 angka (2) PERMA No. 1 Tahun 2016, yaitu
hakim atau pihak lain yang memiliki sertifikat mediator sebagai pihak netral yang membantu
para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian
sengeketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.

Menurut John W. Head, mediasi adalah suatu prosedur penengahan dimana seseorang
bertindak sebagai “kendaraan” untuk berkomunikasi antara para pihak, sehingga pandangan
mereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan, tetapi
tanggung jawab utama tercapainya suatu perdamaian tetap berada di tangan para pihak
sendiri (John W. head, 1997: 42). Dalam praktik, sebagai bagian dari proses mediasi,
mediator berbicara secara rahasia dengan masing-masing pihak. Mediator perlu membangun
kepercayaan para pihak yang bersengketa lebih dahulu.

Christopher W. Moore (1996: 15) berpendapat pengertian mediasi yang menarik


yaitu:

6
“The intervention in a negotiation or a conflict of an acceptable third party who has limited
or no authoritative decision –making power but who assists the involved parties in
voluntarily reaching a mutually acceptable seetlement of issues in dispute”.

Definisi tersebut menegaskan hubungan antara mediasi dan negosiasi, yaitu mediasi
adalah suatu intervensi terhadap proses negosiasi yang dilakukan oleh pihak ketiga. Pihak
ketiga memiliki kewenangan terbatas (limited) atau sama sekali tidak memiliki kewenangan
untuk mengambil keputusan, yang membantu oara pihak yang bersengketa mencapai
penyelesaian sengketa yang diterima kedua belah pihak.

Menurut David spencer dan Michael Brogan (Syahrizal Abbas, 2009:28) prinsip dasar
mediasi, yaitu sebagai berikut:

a. Prinsip Kerahasiaan atau Confidentiality, Kerahasiaan yang dimaksud di sini adalah


bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh
mediator dan pihakpihak yang bersengketa tidak boleh disiarkan kepada publik atau
pers oleh masing-masing pihak.
b. Prinsip Sukarela atau Volunteer, Maksudnya adalah kedua belah pihak yang bertikai
datang ke mediasi atas keinginan dan kemauan mereka sendiri secara sukarela dan
tidak ada paksaan dan tekanan dari pihak luar.
c. Prinsip Pemberdayaan atau empowerment, Penyelesaian sengketa harus muncul dari
pemberdayaan terhadap masing-masing pihak, karena hal itu akan lebih
memungkinkan para pihak untuk menerima solusinya
d. Prinsip Netralitas atau Neutrality, Di dalam mediasi tugas mediator sebatas hanya
sebagai mediator saja dan isinya tetap menjadi milik para pihak yang bersengketa.
Mediator hanyalah berwenang mengontrol proses berjalan atau tidaknya mediasi.
Dalam mediasi, mediator tidak bertindak layaknya seorang hakim atau juri yang
memutuskan salah atau benarnya salah satu pihak atau mendukung pendapat dari
salah satunya atau memaksakan pendapat dan penyelesaiannya kepada kedua belah
pihak.
e. Prinsip Solusi yang Unik atau A Unique Solution, Bahwasanya solusi yang dihasilkan
dari proses mediasi tidak harus sesuai dengan standar legal, tetapi dapat dihasilkan
dari proses kreativitas.

Berdasarkan beberapa pengertian mediasi yang telah dipaparkan maka, apabila


diuraikan mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

a. Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan asas kesukarelaan


melalui suatu perundingan.
b. Mediator yang terlibat bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk
mencari penyelesaian.
c. Mediator yang terlibat harus diterima oleh para pihak yang bersengketa.
d. Mediator tidak boleh memberi kewenangan untuk mengambil keputusan selama
perundingan berlangsung.
e. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau mnghasilkan kesimpulan yang dapat
diterima dari pihak-pihak yang bersengketa.
7
3. Pengetian dan Keuntungan Mediasi Online

Mediasi Online merupakan suatu prosedur penyelesaian sengketa dengan bantuan


pihak ketiga yang netral dalam membantu para pihak yang bersengketa untuk mencapai
kesepakatan dengan bantuan jaringan internet. Perbedaan mediasi online dengan mediasi
tatap muka (face to face) dilakukan melalui media internet dengan menggunakan komunikasi
elektronik. Mediasi online secara global menggambarkan dunia mediasi dalam susunan
strategi, gaya, dan layanan yang diberikan, meskipun hanya satu provider online yang secara
jelas menggambarkan standar yang diakui yang dirancang untuk mediasi offline. Institusi
tersebut adalah online resolution dengan menggunakan standar yang ditetapkan praktek
mediasi oleh American Bar Association (ABA) Society of Proffesionals in Dispute
Resolution (SPIDR) di Amerika Serikat Pada dasarnya tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara model mediasi online dan mediasi tatap muka secara langsung, hanya saja
pada mediasi online membutuhkan media internet dalam melakukan komunikasi bagi para
pihak yang bersengketa dengan bantuan mediator. Terdapat tiga jenis mediasi online
(Paustinus Siburian, 2004: 92):

a. Mediasi yang bersifat fasilitatif. Mediator berfungsi sebagai fasilitator dan tidak dapat
memberikan opini atau merekomendasikan penyelesaian. Dalam hal ini, mediator
hanya memberikan jalan agar para pihak menemukan sendiri penyelesaian bagi
sengketa yang dihadapinya. Penyelesaian sengketa jenis ini dilakukan oleh online
resolution.
b. Mediasi Evaluatif Mediasi melalui mediator memberikan pandangan dari segi hukum,
fakta-fakta dan bukti-bukti. Strategi mediasi ini adalah membuat suatu kesepakatan
melalui mediator dengan memberikan solusi yang dapat diterima kedua belah pihak,
dan mencoba membujuk para pihak untuk menerima pendapat mediator. Cara mediasi
evaluatif ini dijalankan WEB Mediate. Pada WEB Mediate, mediator dapat bertindak
secara hukum untuk memberikan solusi tetapi tidak berhak membuat penyelesaian.
c. Pendekatan yang menengahi situasi Mediator mencoba mencampuri permasalahan
sejauh disetujui para pihak. Mediator hanya masuk jika para pihak gagal melakukan
negosiasi diantara mereka sendiri, mediator dapat mencampuri hanya sebatas
mengajukan solusi, jika para pihak meminta kepada mediator. Tujuan awal dari
prosedur ini adalah membantu memfasilitasi komunikasi antara para pihak dengan
mediator dan antara para pihak sendiri. Komunikasi seperti ini dapat dijalankan
dengan menggunakan teknologi yang tersedia seperti internet relay chats, e-mail, dan
video conference. Sarana komunikasi merupakan elemen dasar dalam mediasi online.

Berbagai cara berkomunikasi dilakukan selama proses penyelesaian. Cara komunikasi


itu berbeda menurut sesi yang ditempuh, suasana batin para pihak dan keseimbangan dalam
posisi para pihak. Sedapat mungkin, apa yang dilakukan dalam mediasi offline dilakukan
dalam mediasi online. Penyedia jasa mediasi online harus mempunyai ruang diskusi dan
fasilitas komunikasi privat serta menyediakan peralatan teknologi yang dapat mendukung
komunikasi dengan cara-cara yang terbaik. Perbedaan antara mediasi online dan mediasi
offline adalah bahwa dalam mediasi online, dunia nyata (real space) digantikan oleh dunia
virtual atau dunia maya (cyberspace) (Susanti Adi Nugroho, 2009: 178-180).

8
Noam Ebner (2012:376) berpendapat keuntungan dari mediasi online bagi para pihak
adalah:

a. E-mediation is convenient. Parties choose when to participate, at least when


employing asynchronous communication; travel time and fuss is eliminated in any
event (mediasi online mudah dilakukan. Para pihak memilih kapan harus
berpartisipasi, setidaknya saat menggunakan komunikasi asinkron; Waktu tempuh dan
keributan berkurang dalam hal apapun).
b. Parties gain access to mediator expertise beyond that which might be available in any
given geographical region (para pihak mendapatkan akses ke ahli mediator di luar
yang mungkin tersedia di wilayah geografis tertentu).
c. The issue of cost remain unresolved. There are different models for pricing e-
mediation services and these are often no different than face to face service. However,
there certainly os enchanced cost effectiveness, given that parties save on travel cost
and perhaps do not dedicate costly work time to a mediation process (masalah biaya
tetap belum terselesaikan. Ada beberapa model yang berbeda dengan biaya layanan
mediasi online dan seringkali tidak terlalu berbeda dengan layanan tatap muka secara
langsung. Bagaimanapun, tentu saja ada penghematan biaya yang efektif, mengingat
para pihak akan menghemat biaya perjalanan dan mungkin menghabiskan waktu yang
lebih besar daripada mediasi konvensional).

Mediasi online merupakan suatu model penyelesaian sengketa yang dapat


memudahkan para pihak dalam menyelesaikan sengketanya. Mediasi online telah dikenal dan
digunakan oleh beberapa negara-negara sebagai alternatif penyelesaian sengketa efisien serta
memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi.

4. Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa

Suatu kekeliruan apabila seseorang menganggap bahwa di dalam masyarakat


modern, hanya pranata pengadilanlah merupakan satu-satunya cara untuk menyelesaikan
sengketa. Masih terdapat cara-cara lain untuk menyelesaikan sengketa diluar Pengadilan,
seperti Konsiliasi, Mediasi dan Arbitrase. Pada tahun 1850, Abraham Lincoln menghimbau
rakyat Amerika Serikat untuk memperkecil peran pengadilan dan sedapat mungkin
menghindari litigasi dalam penyelesaian suatu sengketa (Achmad Ali, 2004:18).

Mediasi sering dinilai sebagai perluasan dari proses negosiasi. Hal itu disebabkan para
pihak yang tidak mampu menyelesaikan sengketanya sendiri menggunakan jasa pihak ketiga
yang bersikap netral untuk membantu mereka mencapai suatu kesepakatan. Berbeda dengan
proses ajudikasi dimana para pihak menerapkan hukum terhadap fakta-fakta yang ada untuk
mencapai suatu hasil, dalam mediasi pihak ketiga akan membantu pihak-pihak yang bertikai
dengan menerapkan nilai-nilai terhadap fakta- fakta untuk mencapai hasil akhir. Nilai-nilai
itu dapat meliputi hukum, rasa keadilan, kepercayaan, agama, etika, moral, dan lainlain
(Priyatna Abdurrasyid, 2000:122).

Dapat disimpulkan mediasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan


melalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersikap netral non intevensi dan

9
tidak berpihak impartial kepada pihak-pihak yang bersengketa. Pihak ketiga tersebut disebut
“mediator” atau “penengah”, yang tugasnya hanya membantu pihak- pihak yang bersengketa
dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil
keputusan. Dengan perkataan lain, mediator di sini hanya sebagai fasilitator saja. Dengan
mediasi diharapkan dicapai titik temu penyelesaian masalah atau sengketa yang dihadapi para
pihak, yang selanjunya akan dituangkan sebagai kesepakatan bersama. Pengambilan
keputusan tidak berada di tangan mediator, tetapi di tangan para pihak yang bersengketa.

5. Pengaturan Mediasi di Indonesia

Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa telah dikenal luas. Secara
umum mediasi dapat diartikan sebagai upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan
kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap netral dan tidak membuat keputusan
atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator untuk terlaksananya dialog antar
pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat.
Dengan kata lain, proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak yang tidak memihak
(impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka
memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan.

Pasal 55 UU Perbankan Syariah sebagai undang-undang menentukan Pengadilan


Agama sebagai lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa  perbankan syari‟ah,
namun demikian UU perbankan syari‟ah secara eksepsional memberikan kewenangan lain
melalui perjanjian, dimana sengketa perbankan syariah dapat ditangani dengan musyawarah,
mediasi perbankan, badan arbitrase Syariah  Nasional atau lembaga arbitrase lain serta
melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

C. Lembaga Hukum untuk Sengketa Perbankan Syariah

Lembaga yang bisa Anda gunakan untuk menyelesaikan kasus sengketa dalam ranah
syariah, termasuk perbankan, adalah pengadilan agama. Hal ini sudah disebutkan pada
undang-undang dan Peraturan Mahkamah Agung. Pasal 55 UU Perbankan Syariah sebagai
undang-undang menentukan Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang untuk
menyelesaikan sengketa  perbankan syari‟ah, namun demikian UU perbankan syari‟ah secara
eksepsional memberikan kewenangan lain melalui perjanjian, dimana sengketa perbankan
syariah dapat ditangani dengan musyawarah, mediasi perbankan, badan arbitrase Syariah
Nasional atau lembaga arbitrase lain serta melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum.

Selain itu, Anda juga bisa memilih metode alternatif seperti musyawarah, arbitrase,
atau mediasi. Biasanya, pihak yang bersengketa akan melakukan metode alternatif terlebih
dahulu sebelum membawanya ke persidangan.

Selain prosesnya lebih cepat dan mudah, tentunya metode alternatif akan
menghasilkan keputusan yang damai. Tidak sedikit juga penyelesaian sengketa perbankan
syariah selesai pada metode alternatif.

10
Metode alternatif ini bisa diakomodasi secara pribadi. Tapi, Pengadilan Agama juga
memfasilitasi untuk melakukan metode alternatif tersebut. Terutama pada metode mediasi.

Pengadilan Agama akan memberikan kesempatan kedua belah pihak untuk


melakukan mediasi terlebih dahulu sebelum persidangan. Hal ini sejalan dengan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006.

Pada peraturan tersebut dijelaskan bahwa setiap perkara yang masuk dan juga dihadiri
oleh kedua belah pihak, wajib dilakukan mediasi. Mediasi ini dipimpin oleh seorang mediator
profesional yang juga merupakan seorang Hakim Pengadilan Agama.

Jika proses mediasi tersebut gagal, baru akan dilakukan persidangan. Sama halnya
dengan persidangan biasa, kedua belah pihak yang bersengketa bisa menunjuk kuasa
hukumnya masing-masing.

D. Contoh Kasus Sengketa Perbankan Syariah

Kasus mengenai sengketa perbankan syariah sangat sering terjadi akhir-akhir ini.
Beberapa di antaranya bisa diselesaikan dengan baik dan beberapa lagi tidak. Hal ini
dikarenakan rujukan untuk menyelesaikan sengketa masih belum begitu luas.

Oleh sebab itu, Pengadilan Agama perlu meningkatkan lagi pengetahuan dan rujukan
yang digunakan saat menyelesaikan kasus sengketa. Sebab, kasus sengketa yang terjadi bisa
bermacam-macam.

Mulai dari kasus perbankan dengan individu, perbankan dengan perbankan, atau
bahkan perbankan dengan industri. Kasus antara perbankan dan individu menjadi salah satu
yang paling banyak dilaporkan. Berikut ini kami akan memberikan contoh singkatnya:

Contoh Kasus

Kasus ini diambil dari masalah sengketa antara Sugiharto Widjaja (50) yang
merupakan warga Kota Bandung dengan Bank Swasta Syariah ternama. Kasus ini terkait
kredit lahan yang macet.

Di tahun 2014, Sugiharto membeli lahan dan bangunan dengan harga 20 miliar. 70%
dananya atau sebesar 13 miliar bersumber dari bank syariah dan 7 miliar adalah dana pribadi.

Sisa dananya kemudian dicicil oleh Sugiharto dengan cicilan 136 juta perbulan. Dana yang
sudah dibayarkan adalah 1,3 miliar. Namun, cicilan tersebut mengalami kemacetan dan tidak
dibayarkan hingga beberapa waktu.

Hingga akhirnya bank syariah tersebut mengajukan gugatan kepada Pengadilan


Negeri Kota Bandung secara verstek. Gugatan tersebut dimenangkan oleh pihak Bank Swasta
Syariah dan menjual tanahnya ke pihak lain.

11
Pada kasus ini, Sugiharto melalui kuasa hukumnya meminta untuk PN Bandung agar
mencabut putusan bank syariah tersebut. Namun, ditolak karena alasan kewenangan. Padahal
kuasa hukum sudah memaparkan dasar hukumnya.

Kedua belah pihak menjalani proses media mengenai kesepakatan yang hendak
diambil sebelum akhirnya melaju ke persidangan. Meski sudah beberapa opsi ditolak oleh
pihak bank syariah.

Analisa Sengketa

Berdasarkan kasus di atas ada poin yang perlu diperhatikan dan menjadi nilai minus
dalam menangani sengketa perbankan syariah. Yaitu mengenai tumpang tindih laporan yang
menyebabkan kesulitan pihak tergugat.

Adanya tumpang tindih laporan antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama.
Pihak bank menggugat melalui Pengadilan Negeri dan gugatan tersebut tidak dapat dicabut
karena kewenangan perekonomian syariah.Dalam perbankan syariah memang tidak dapat
terhindar dari sengketa dan masalah lainnya. Contoh kasus sengketa perbankan syariah diatas
hanya sebagian kecil dari banyak kasus lain.

2.2 Penyelesaian Sengketa Oleh Pengadilan


Perbankan syariah di Indonesia berdasarkan laporan Otoritas Jasa Keuangan yang
dimuat dalam Laporan Perkembangan Keuangan Syariah Tahun 2013 jumlah bank yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah semakin bertambah. Saat ini terdapat
11 bank umum syariah (BUS), 23 unit usaha syariah (UUS), dan 163 bank pembiayaan rakyat
syariah (BPRS). Hal ini tentu sangat menggembirakan, meskipun total aset perbankan syariah
secara nasional masih sangat kecil dibandingkan dengan perbankan konvensional, yakni
dalam kisaran 5%.

Lalu Perbankan syariah di Indonesia saat ini berkembang dengan pesat.Berdasarkan


laporan Otoritas Jasa Keuangan yang dimuat dalam Laporan Perkembangan Keuangan
Syariah Tahun 2020 jumlah bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
semakin bertambah dari tahun 2013. Saat ini terdapat 14 bank umum syariah (BUS), 20 unit
usaha syariah (UUS), dan 163 bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS). Hal ini tentu sangat
menggembirakan, dengan total aset perbankan syariah secara nasional yakni dalam kisaran
608,90 T.

Pertumbuhan aset, pembiayaan, dan DPK perbankan syariah menunjukkan performa


yang cukup baik. Pertumbuhan aset perbankan syariah pada tahun 2020 sebesar 13,11% (yoy)
lebih tinggi dibandingkan dengan perbankan konvensional sebesar 6,74% (yoy).
Pertumbuhan DPK perbankan syariah 11,98% (yoy) juga menunjukkan posisi yang stabil dan

12
masih lebih tinggi dibandingkan dengan perbankan konvensional sebesar 10,93% (yoy).
Demikian pula pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah, yang meski melambat, masih
lebih tinggi 8,08% (yoy) bila dibandingkan dengan perbankan konvensional. Pertumbuhan
yang cukup tinggi tersebut dengan market share yang terus meningkat menunjukkan layanan
perbankan syariah makin dipercaya oleh masyarakat terutama pada masa pandemi.

Seiring dengan pesatnya pertumbuhan itu, potensi yang muncul untuk terjadinya
sengketa dalam perbankan syariah juga semakin tinggi, sehingga menjadi penting bagi
perbankan syariah maupun masyarakat pengguna jasa perbankan syariah untuk memahami
secara benar bagaimana penyelesaian sengketa yang terjadi pada perbankan syariah. Dalam
Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Pasal 55 disebutkan
tentang Penyelesaian Sengketa, yang bunyi lengkapnya sebagai berikut: Ayat (1):
“Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama”. Ayat (2): “Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian
sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan
sesuai dengan isi Akad”. Ayat (3): ”Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah”.

Dapat disimpulkan di Indonesia, pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa


perbankan syariah adalah Pengadilan Agama. Semenjak tahun 2006, dengan
diamendemennya UU No. 7 Tahun 1989 dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama, kewenangan Peradilan Agama diperluas. Di samping berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan sengketa di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang perkawaninan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, dan shadaqah,
Pengadilan Agama juga berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa
di bidang ekonomi syariah [Pasal 49 ayat [i] UU No. 3 Tahun 2006]. Dalam penjelasannya,
yang dimaksud dengan “ekonomi syariah” adalah ‘perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi: (a) bank syariah; (b) lembaga
keuangan mikro syari’ah; (c) asuransi syariah; (d) reasuransi syariah; (e) reksa dana syariah;
(f) obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; (g) sekuritas syariah; (h)
pembiayaan syariah; (i) pegadaian syariah; (j) dana pensiunan lembaga keuangan syariah;
dan (k) bisnis syariah.”

Kemudian, kewenangan Pengadilan Agama diperkuat kembali dalam Pasal 55 [1] UU


No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menyatakan bahwa penyelesaian

13
sengketa perbankan syariah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
Namun, Pasal 55 [2] UU ini memberi peluang kepada para pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikan perkara mereka di luar Pengadilan Agama apabila disepakati bersama dalam
isi akad. Sengketa tersebut bisa diselesaikan melalui musyawarah, mediasi perbankan, Badan
Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain dan/atau melalui
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Jika dibandingkan secara seksama antara bunyi pasal 55 ayat (1) dan penjelasan ayat
(2) nampak terjadi kontradiksi dalam makna atau sering disebut sebagai contradictio in
terminis yang pada gilirannya akan terjadi ketidakpastian hukum dalam penerapannya.
Demikian pula dengan Pasal 55 ayat (3) yang menegaskan bahwa penyelesaian sebagaimana
Pasal 55 ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah, namun tidak menjelaskan
bagaimana penyelesaian sengketa yang tidak sesuai dengan prinsip syariah.

Berkenaan dengan hal tersebut, tulisan ini akan mencoba menggali model
penyelesaian sengketa perbankan syariah sebagaimana telah tersurat dalam UU. No. 21 tahun
2008 maupun penggalian dasar penyelesaian sengketa berdasarkan prinsip syariah.

Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah

Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa penyelesaian sebuah sengketa dapat


ditempuh dengan memilih dua jalur, yakni jalur non peradilan (non litigatin) atau jalur
peradilan (litigation). Demikian juga dalam sengketa perbankan syariah dapat ditempuh
dengan memilih dua jalur di atas. Untuk jalur non litigasi dasar hukum formal yang bisa
digunakan adalah Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (APS). Model Arbitrase dapat ditempuh melalui Badan Arbitrase
Syariah Nasional (Basyarnas) maupun dengan menggunakan alternatif penyelesaian sengketa
lainnya, seperti negoisasi atau mediasi.

Untuk APS dengan mediasi, secara khusus Bank Indonesia telah memiliki aturan
tentang mediasi perbankan melalui Mediasi Perbankan sebagaimana Peraturan Bank
Indonesia (PBI) No.8/5/PBI/2006 yang kemudian dirubah dengan PBI No.10/1/PBI/2008
tentang Mediasi Perbankan, termasuk di dalamnya adalah sengketa perbankan syariah. Dalam
PBI No.8/5/PBI/2006 disebutkan Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang
melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai
penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian atau seluruh

14
permasalahan yang disengketakan. Mediasi dalam sengketa perbankan diselesaikan melalui
forum mediasi perbankan yang secara fungsional dilaksanakan oleh Bank Indonesia, dengan
mengajukan permohonan forum mediasi perbankan oleh nasabah terhadap suatu bank, baik
bank konvensional maupun bank syariah.

Sementara untuk jalur peradilan (litigasi), berdasarkan Undang-undang Nomor 3


tahun 2006 tentang Perubahan atas UU. No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 49,
maka Pengadilan Agama memiliki kewenangan secaramutlak (absolute competency) untuk
menerima, memeriksa dan memutus sengketa perbankan syariah sebagaimana bunyi
lengkapnya:

Pasal 49: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang: a) perkawinan; b), wais; c), wasiat; d), hibah e), wakaf; f), zakat; g), infaq; h),
shadaqah; dan i) ekonomi syariah.

Sementara dalam Penjelasan Pasal 49 huruf (i) bahwa yang dimaksud dengan
"ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip
syari'ah, antara lain meliputi: a. bank syari'ah; b. lembaga keuangan mikro syari'ah; c.
asuransi syari'ah; d. reasuransi syari'ah; e. reksa dana syari'ah; f. obligasi syari'ah dan surat
berharga berjangka menengah syari'ah; g. sekuritas syari'ah; h. pembiayaan syari'ah; i.
pegadaian syari'ah; j. dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan k. bisnis syari'ah.

Dengan melihat Pasal 49 dan penjelasnnya tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa
setiap perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah yang
meliputi ke sebelas item tersebut menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Kegiatan usaha
perbankan syariah (poin a) juga menjadi kegiatan usaha ekonomi syariah yang
penyelesaiannya menjadi kewenangan Pengadilan Agama, dalam hal par pihak menempuh
jalur peradilan.

Pada awalnya, adanya kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa


ekonomi syariah termasuk di dalamnya adalah perbankan syariah merupakan angin segar
bagi kaum muslimin (orang yang beragama Islam) untuk bisa menyelesaikan persoalan-
persoalan atau sengketa terkait dengan ekonomi syariah khususnya perbankan syariah. Akan
tetapi angin segar ini kemudian sedikit berubah manakala pada akhir tahun 2008 DPR RI
mengesahkan Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang mana

15
memberikan aturan yang saling berlawanan antara satu ayat dengan ayat lain, dan juga antara
bunyi pasal dengan bunyi penjelasan.

Dalam Pasal 55 Ayat (1) menyatakan: “Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah


dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama”. Ayat (2): “Dalam hal para
pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad”. Ayat (3): ” Penyelesaian
sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip
Syariah”.

Dalam penjelasannya ayat (1) berbunyi cukup jelas. Ayat (2) berbunyi “yang
dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad adalah upaya
sebagai berikut: a) musyawarah; b) mediasi perbankan; c) melalui Badan Arbitrase Syariah
Nasional (Basyarnas); c) melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum”. Sementara
untuk penjelasan ayat (3) berbunyi cukup jelas.

Dari bunyi pasal dan penjelasannya tersebut penulis coba menerjemahkan dalam satu
paragraf sebagai berikut: “Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkup peradilan agama, kecuali para pihak telah memperjanjikan
penyelesaian sengketa dengan jalur lain sebelumnya, di mana penyelesaian sengketa
tersebut dilaksanakan sesuai apa yang diperjanjikan tersebut sebelumnya, yakni bisa dengan
cara musyawarah, mediasi perbankan, melalui Basyarnas, atau melalui pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum, dengan syarat penyelesaian sengketa tersebut tidak
bertentangan dengan prinsip syariah ”.

Dari paragraf terjemahan tersebut muncul pertanyaan model penyelesaian yang


bagaimanakah sebagaimana disebutkan dalam penjelasan ayat (2), yang tidak bertentangan
dengan prinsip syariah?, apakah musyawarah, mediasi perbankan, Basyarnas ataukah
pengajuan perkara ke Pengadilan Negeri?

Pertanyaan tersebut tidak akan terjawab, karena memang dalam penjelasan ayat (3)
dinyatakan ‘cukup jelas’. Artinya semua orang dianggap tahu, model mana yang
bertentangan dengan prinsip syariah dan model mana yang tidak.Sementara itu, ini berarti
bahwa semua orang bisa memberikan penafsiran terhadap sesuatu yang tidak dijelaskan atau
ditafsirkan secara legal oleh pembuat undang-undang. Jika ini terjadi maka tentu juga akan
menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses implementasinya.

16
Contradictio in terminis ini, tidak saja menimbulkan ketidakpastian hukum tetapi juga
menimbulkan kesan dualisme hukum, jika dikaitkan dengan kewenangan yang telah
diberikan oleh Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama
dalam hal memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-
orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah di mana di dalamnya termasuk
sengketa perbankan syariah.

Contradictio in terminis ini sebagai berikut:

 Pertama, Menurut Undang-undang Perbankan Syariah, perbankan syariah


merupakan segala sesuatu yang menyangkut bank syariah dan unit usaha
syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usaha. Sementara bank syariah adalah bank yang
menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syariah …”. Prinsip syariah sendiri
didefinisikan oleh UU ini sebagai prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Dalam penjelasannya
yakni dalam ketentuan umumnya dinyatakan pula bahwa prinsip syariah
berlandaskan nilainilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan dan
keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin). Di sini secara jelas menyebut istilah
prinsip syariah, hukum Islam dan fatwa oleh lembaga yang berwenang
mengeluarkan fatwa. Istilah-istilah ini merupakan istilah yang digunakan
dalam terminilogis hukum Islam, sehingga persoalan atau sengketa perbankan
syariah ini tentu tidak semestinya diselesaiakan diluar kewenangan peradilan
agama, seperti peradilan umum atau peradilan lainnya, karena memang
kewenangan secara absolute untuk menangani sengketa hukum Islam terletak
pada pengadilan agama.
 Kedua, UU ini memberikan pilihan forum penyelesaian sengketa dalam
perbankan yakni musyawarah, mediasi perbankan, Basyarnas atau pengajuan
perkara ke Pengadilan Negeri, sesuai akad yang telah diperjanjikan. Meskipun
dalam hukum perikatan terdapat asas kebebasan berkontrak di mana sesorang
bebas untuk melakukan/tidak melakukan perjanjian, melakukan perjanjian
dengan siapapun, menentukan isi dan syarat perjanjian, klausula perjanjian,
bentuk perjanjian (lesan, tertulis), kebebasan lain asal tidak bertentangan

17
dengan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi dalam hukum Islam juga
dikenal asas personalitas keislaman, yakni hubungan keperdataan antara
orang-orang yang beragama Islam yang terkait dengan perkawinan, waris,
wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah, yang mana
urusan ini menjadi kewenangan absolut dari Pengadilan Agama (Vide Pasal 49
UU No.3 tahun 2006 jo Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 UU No.7 tahun 1989).
Ada pula asas penundukan hukum yang mengharuskan seseorang baik itu
muslim maupun non muslim yang mengikatkan diri dalam sebuah perikatan
syariah untuk tunduk dan terikat pada mekanisme hukum yang mengatur
perikatan syariah. Selain itu pilihan forum penyelesaian sebagaimana Pasal 49
ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah yang didasarkan oleh
fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Sementara jika
merujuk pada fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), hampir seluruh fatwa
tentang urusan perbankansyariah, DSN selalu memfatwakan setiap
penyelesaian sengketa melalui musyawarah dan atau melalui badan arbitrase
syariah.

“Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya dan jika terjadi perselisihan di
antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrase syariah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah” Dengan merujuk fatwa DSN tersebut, maka
forum penyelesaian sengketa yang sesuai prinsip syariah yang difatwakan oleh Mejelis
Ulama adalah musyawarah dan juga melalui badan arbitrase syariah. Musyawarah di sini
dalam penafsiran kontekstual bisa diartikan dengan proses ADR yakni negoisasi ataupun
mediasi, sebagaimana ditentukan oleh UU No.30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS. Dan
untuk proses mediasi, BI telah juga mengatur proses penyelesaian melalui forum mediasi
perbankan yang di fasilitasi oleh Bank Indonesia berdasarkan PBI No.8/5/PBI/2006 yang
kemudian dirubah dengan PBI No.10/1/PBI/2008 tentang Mediasi Perbankan.

Berdasarkan uraian tersebut, maka jalur penyelesaian sengketa perbankan syariah


berdasarkan UU No.21 tahun 2008 yang bisa penulis simpulkan adalah: Pertama, untuk
penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui jalur litigasi menjadi kewenangan
Pengadilan Agama (Pasal 49 ayat (1); Kedua, untuk penyelesaian sengketa perbankan
syariah di luar peradilan (non litigation) dilakukan sesuai dengan cara-cara yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah yang telah difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional
yakni: musyawarah (dapat dengan wujud negoisasi atau mediasi) atau melalui Badan

18
Arbitrase Syariah atau Basyarnas ( Pasal 49 ayat (2) dan (3).Sementara untuk penyelesaian
melalui pengadilan umum, dalam hemat penulis diperkenankan sepanjang bukan termasuk
dalam hal-hal yang terkait dengan asas personalitas keislaman yakni diluar Sembilan (9)
bidang sebagaimana tertutang dalam Pasal 49 UU No.3 tahun 2006.

Terjadinya contradictio in terminis ini sekaligus juga menunjukkan si perumus


undang-undang tidak memahami asas personalitas keislaman yang telah lebih dulu digunakan
sebagai bagian tidak terpisahkan dari kewenangan abosulut (absolute competency)
Pengadilan Agama, yakni pada Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan
Agama, Undang-undang No.3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7
tahun 1989 tentang Pengadilan Agama.

2.3. Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Perbankan Non-Litigasi Dalam Menyelesaikan


Sengketa Hubungan Perbankan
Pelaksanaan penyelesaian sengketa di bagi atas dua cara yakni penyelesaian sengketa
melalui pengadilan (litigasi) dan penyelesaian sengketa tidak melalui pengadilan (non
litigasi). Indonesia sebagai suatu Negara yang terdiri atas berbagai macam ragam suku dan
budaya, memiliki cara-cara yang berbeda-beda dalam menyelesaikan suatu sengketa yang
terjadi kepada mereka. Secara garis besar, masyarakat pada umumnya menyelesaikan
sengketa yang terjadi dengan cara musyawarah dan menjadikan petua adat atau orang-orang
yang dituakan sebagai penengah atas sengketa yang di hadapi.

Sebagai gejala sosial, konflik adalah suatu proses sosial di mana setiap orang
perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuan dengan jalan
menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan atau kekuasaan.Dalam prakteknya
ada berbagai macam bentuk penyelesaian sengketa perdata yang sering dilakukan seperti
litigasi, arbitrase dan mediasi. Namun, pihak-pihak yang bersengketa umumnya lebih banyak
memilih penyelesaian melalui proses litigasi di Pengadilan Negeri, baik melakukan tuntutan
secara perdata maupun secara pidana sekalipun terdapat banyak kendala yang sering
dihadapinya, antara lain lamanya penyelesaian perkara, serta putusan yang dijatuhkan
seringkalimencerminkan tidak adanya unified legal work dan unified legal opinion antara
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung.

Sebenarnya agar penyelesaian sengketa dapat dilakukan secara damai tanpa melalui
litigasi di pengadilan, telah dibuat berbagai ketentuan alternatif penyelesaian sengketa di luar
pengadilan.Alternatif Penyelesaian Sengketa atau Alternative Dispute Resolution (ADR)
adalah sebuah istilah asing yang memiliki berbagai arti dalam bahasa indonesia seperti
pilihan penyelesaian sengketa (PPS), Mekanisme alternatif penyelesaian sengketa (MAPS)
,pilihan penyelesaian sengketa diluar pengadilan, dan mekanisme penyeselaian sengketa
secara kooperatif.

Pengertian alternatif penyelesaian sengketa (APS) menurut para pakar, yaitu:

19
a. Menurut Gary Goodpaster dalam “tinjauan terhadap penyelesaian sengketa” dalam
buku Arbitrase di indonesia, setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk
memperoleh kesempatan dalam proses perkara atau untuk menyelesaian sengketa dan
konflik.
b. Menurut Priyatna Abdurrasyid, alternatif penyelesaian sengketa adalah sekumpulan
prosedur atau mekanisme yang berfungsi memberi alternatif atau pilihan suatu tata
cara penyelesaian sengketa melalui bentuk APS/ Arbitrase (negosiasi dan mediasi)
agar memperoleh putusan akhir dan mengikat para pihak secara umum, tidak selalu
dengan melibatkan intervensi dan bantuan pihak ketiga yang independen yang diminta
membantu memudahkan penyelesaian sengketa tersebut.
c. Philip D. Bostwick yang menyatakan bahwa ADR merupakan serangkaian praktek
dan teknik-teknik hukum yang ditujukan untuk :
1) Memungkinkan sengketa-sengketa hukum diselesaiakan diluar pengadilan
untuk keuntungan atau kebaikan para pihak yang bersengketa
2) Mengurangi biaya atau keterlambatan kalau sengketa tersebut diselesaikan
melalui litigasi konvensional
3) Mencegah agar sengketa-sengketa hukum tidak di bawa ke pengadilan

d. Menurut M. Husseyn Umar, penyelesaian yang tidak melalui pengadilan ini disebut
sebagai Alternative Dispute Resolution atau penyelesaian sengketa alternatif.
e. Menurut H. Hartono Maridjono, SH Arbtrase atau APS adalah salah satu alternatif
penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Para pihak memilih arbitrase antara lain
karena mereka menganggap penyelesaian sengketa akan dapat diselesaikan dengan
cepat dan tidak terbuka untuk umum, suatu yang selalu dijaga oleh kalangan bisnis.
Sedangkan pengertian APS dalam kamus Bahasa inggris – Bahasa Indonesia dengan
mempertimbangkan kata alternatif diartikan “pilihan antara dua hal, alternatif jalan lain,
dengan demikian kata alternatif selain bisa diartikan sebagai pilihan antara dua hal dapat juga
diterapkan langsung melalui penyerapan bahasa menjadi alternatif.

Pada tanggal 12 Agustus 1999 telah di undangkan dan sekaligus dilakukan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Jika kita baca judul dan tentunya isi dari undang-undang No. 30
tahun 1999 tersebut lebih lanjut, dapat ketahui bahwa undang-undang ini tidak hanya
mengatur mengenai arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa, yang telah
cukup di kenal di Indonesia saat ini, melainkan juga alternatif penenyelesaian sengketa
lainnya. Jika membaca rumusan yang di berikan dalam pasal 1 angka 10 dan alinea ke-9 dari
Penjelasan Umum Undang-Undang No. 30 tahun 1999 bahwa alternatif penyelesaian
sengketa dapat di lakukan dengan cara konsultasi, negisiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian
ahli.

Jika ditelusuri seluruh ketentuan yang ada dan di atur dalam Undang-Undang No. 30
tahun 1999, maka dapat dilihat bahwa ketentuanketentuan mengenai alternatif penyelesaian
sengketa dalam Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tersebut di atur dalam BAB II yang
ternyata hanya terdiiri dari satu pasal yaitu pasal 6. Dari pengertian yang di muat dalam pasal
1 angka 10 dan rumusan pasal 6 ayat (1), secara jelas dapat kita ketahui bahwa yang di

20
maksud dengan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, atau dengan cara
mengesampingkan penyelesaian secara ligitasi di pengadilan negeri.

Cara alternatif penyelesaian sengketa menurut UU No 30 tahun 1999 adalah: a)


Arbitrase, b) Negosiasi, c) Mediasi, d) Konsiliasi.

1. Arbitrase
1) Pengertian Arbitrase
Arbitrase adalah penyelesaian sengketa dengan menyerahkan kewenangan untuk
memeriksa dan mengadili sengketa pada tingkat pertama dan terakhir kepada pihak ketiga
yang netral dan independen, yang disebut arbiter. Dalam Pasal 1 angka 1 UU No 30 tahun
1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.

Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau
yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan
putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.

Dalam pasal 5 angka 1 UU No 30 tahun 1999 disebutkan bahwa Sengketa yang dapat
diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang
menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai oleh pihak yang bersengketa.

Menurut UU No 30 tahun 1999 pasal 1 angka 8 disebutkan bahwa Lembaga Arbitrase


adalah badan yang dipilih oleh pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai
sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat
mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.

Dalam banyak perjanjian perdata, klausula arbitrase banyak digunakan sebagai pilihan
penyelesaian sengketa. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat
oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap
pendapat yang berlawanan terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti
pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract – wanprestasi). Oleh karena itu tidak
dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun. Putusan Arbitrase bersifat
mandiri, final dan mengikat sehingga ketua pengadilan tidak diperkenankan memeriksa
alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Arbitrase diperkenalkan di
Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan Het
Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtstreglement Bitengewesten (RBg),
karena semula arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement op de rechtsvordering.
Ketentuan tersebut sekarang sudah tidak berlaku lagi dengan diundangkannya UU No 30
tahun 1999.Dalam UU No 14 tahun 1970 (tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman)
arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 angka 1 yang antara lain menyebutkan bahwa
penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap

21
diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah
memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan.

2) Jenis-jenis Arbitrase
Terdapat dua jenis arbitrase yaitu :

a. Arbitrase sementara (ad-hoc) yaitu arbitrase yang dibentuk secara khusus untuk
menyelesaikan atau memutuskan perselisihan tertentu, setelah sengketa selesai maka
keberadaan dan fungsi arbitrase ini berakhir dengan sendirinya. Pelaksanaannya
berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase. Pada
umumnya arbitrase ad-hoc ditentukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan
penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para
pihak. Misalnya UU No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase.
b. Arbitrase institusi yaitu suatu lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen
sehingga arbitrase institusi tetap berdiri untuk selamanya dan tidak bubar meskipun
perselisihan yang ditangani telah selesai diputus. Misalnya badan-badan arbitrase
seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

3) Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase


Keunggulan Arbitrase antara lain :

a. Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin.


b. Dapat menghindari keterlambatan yang diakibatkan karena hal procedural dan
administrative.
c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai
pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang
disengketakan, serta jujur dan adil.
d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta
proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase.
e. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui
tata cara prosedur sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.Kelemahan
arbitrase antara lain,:
a) Arbitrase belum dikenal secara luas baik oleh masyarakat awam maupun
masyarakat bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis sendiri.
b) Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga enggan
memasukkan perkaranya kepada lembaga-lembaga arbitrase. Hal ini dapat dilihat
dari sedikitnya perkara yang diajukan dan diselesaikan melalui lembaga-lembaga
arbitrase yang ada.
c) Lembaga arbitrase tidak mempunyai daya paksa dan kewenangan melakukan
eksekusi putusannya.
d) Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yang dicapai
dalam arbitrase sehingga mereka sering kali mengingkari dengan berbagai cara,
baik dengan teknik mengulur waktu, perlawanan, gugatan pembatalan dan
sebagainya.

22
e) Kurangnya para pihak memegang etika bisnis. Sebagai suatu mekanisme ekstra
yudisial arbitrase hanya dapat bertumpu diatas etika bisnis seperti kejujuran dan
kewajaran.

4) Hapusnya Perjanjian dalam Arbitarse


Perjanjian arbitrase dinyatakan batal apabila dalam proses penyelesaian sengketa
terjadi peristiwa-peristiwa seperti berikut :

a. Salah satu dari pihak yang bersengketa meninggal dunia.


b. Salah satu dari pihak yang bersengketa mengalami kebangkrutan, pembaharuan
utang.
c. Pewarisan.
d. Hapusnya syarat-syarat perikatan pokok.
e. Pelaksanaan perjanjian arbitrase dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan
persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut.
f. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

5) Pelaksanaan Putusan Arbitrase


Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam pasal 59-64 UU No 30 tahun
1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan
arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaannya, putusan tersebut harus diserahkan dan
didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan
lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke
panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 hari setelah putusan arbitrase diucapkan.

Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final, dan mengikat sehingga Ketua
Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan
arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri,
terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan
oleharbiter atau majelis arbitrase. Berdasar pasal 62 UU No 30 tahun 1999 sebelum memberi
perintah pelaksanaan, Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase
memenuhi pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi
maka Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan
itu tidak ada upaya hukum apapun.

6) Hubungan Arbitrase dan Pengadilan


Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan. Ada keharusan
untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan bahwa
lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati
putusannya. Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar UU arbitrase
antara lain mengenai penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada
kesepakatan (pasal 14 (3)) dan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase nasional yang harus
dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan yaitu pendaftaran putusan tersebut dengan

23
menyerahkan salinan autentik putusan. Bagi arbitrase nasional mengambil tempat di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

7). Dasar Hukum Arbitrase

a) Keppres No 34/1981 (ratifikasi atas New York Convention); UU No 4/2004 tentang


Kekuasaan Kehakiman yang tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara
dilakukan diluar peradilan Negara
b) Pasal 3 ayat 1 UU No 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman yang menyatakan “Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar
perdamaian atau melalui wasit atau arbitrase tetap diperbolehkan.

2. Negosiasi
1. Pengertian Negosiasi
Negosiasi adalah proses yang melibatkan upaya seseorang untuk mengubah (atau
tidak mengubah) sikap dan perilaku orang lain dalam bentuk komunikasi yang
mempertemukan antara dua pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda antara satu
dengan yang lain dimana kedua belah pihak bersama-sama mencari hasil yang baik.

Pola Perilaku Dalam Negosiasi :

a. Moving against (pushing) : menjelaskan, menghakimi, menantang, tidak


menyetujui, menunjukkan kelemahan pihak lain.
b. Moving with (pulling) : memperhatikan, mengajukan gagasan, menyetujui,
membangkitkan motivasi, mengembangkan interaksi.
c. Moving away (with drawing) : menghindari konfrontasi, menarik kembali isi
pembicaraan, berdiam diri, tidak menanggapi pertanyaan.
d. Not moving (letting be) : mengamati, memperhatikan, memusatkan perhatian pada
“here and now”, mengikuti arus, fleksibel, beradaptasi dengan situasi.

2. Keterampilan Negosiasi :
a. Mampu melakukan empati dan mengambil kejadian seperti pihak lain
mengamatinya.
b. Mampu menunjukkan faedah dari usulan pihak lain sehingga pihak-pihak yang
terlibat dalam negosiasi bersedia mengubah pendiriannya.
c. Mampu mengatasi stress dan menyesuaikan diri dengan situasi yang tak pasti dan
tuntutan diluar perhitungan.
d. Mampu mengungkapkan gagasan sedemikian rupa sehingga pihak lain akan
memahami sepenuhnya gagasan yang diajukan.
e. Cepat memahami latar belakang, budaya pihak lain dan berusaha menyesuaikan
diri dengan keinginan pihak lain untuk mengurangi kendala.

3. Negosiasi dan Hiden Agenda


Dalam negosiasi tidak menutup kemungkinan masing-masing pihak memiliki hiden
agenda. Hiden agenda yaitu gagasan tersembunyi/niat terselubung yang tidak diungkapkan

24
(tidak eksplisit) tetapi justru hakikatnya merupakan hal yang sesungguhnya ingin dicapai oleh
pihak yang bersangkutan.

4. Negosiasi dan Gaya Kerja


a. Cara bernegosiasi yang dilakukan oleh seseorang sangat dipengaruhi oleh gaya
kerjanya.
b. Kesuksesan bernegosiasi seseorang didukung oleh kecermatannya dalam
memahami gaya kerja dan latar belakang budaya pihak lain.

5. Fungsi Informasi dan Lobi dalam Negosiasi


a. Informasi memegang peran sangat penting. Pihak yang lebih banyak memiliki
informasi biasanya berada dalam posisi yang lebih menguntungkan.
b. Dampak dari gagasan yang disepakati dan yang akan ditawarkan sebaiknya
dipertimbangkan lebih dulu.
c. Jika proses negosiasi terhambat karena adanya hiden agenda dari salah satu/kedua
pihak, maka lohying dapat dipilih untuk menggali hiden agenda yang ada
sehingga negosiasi dapat berjalan lagi dengan gagasan yang lebih terbuka.

3. Mediasi
1. Pengertian mediasi
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui perundingan atau mufakat para pihak
dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan
sebuah penyelesaian. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus,
maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak suatu gagasan atau penyelesaian
selam proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari
para pihak.

2. Prosedur Untuk Mediasi


a. Setelah perkara dinomori, dan telah ditunjuk majelis hakim oleh ketua, kemudian
majelis hakim membuat penetapan untukmediator supaya dilaksanakan mediasi.
b. Setelah pihak-pihak hadir, majelis menyerahkan penetapan mediasi kepada
mediator berikut pihak-pihak yang berperkara tersebut.
c. Selanjutnya mediator menyarankan kepada pihak-pihak yang berperkara supaya
perkara ini diakhiri dengan jalan damai dengan berusaha mengurangi kerugian
masing-masing pihak yang berperkara.
d. Mediator bertugas selama 21 hari kalender, berhasil atau tidak perdamaian pada
hari ke 22 harus menyerahkan kembali kepada majelis yang memberikan
penetapan.
3. Pengertian Mediator
Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan
guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara
memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Jadi peran mediator hanya membantu para

25
pihak dengan cara tidak memutus atau memaksakan pandangan atau penilaiannya atas
masalah-masalah selama proses mediasi berlangsung kepada para pihak.

4. Tugas Mediator
a. Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para
pihak untuk dibahas dan disepakati.
b. Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam
proses mediasi.
c. Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus atau pertemuan
terpisah selama proses mediasi berlangsung.
d. Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali
kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi
para pihak.
e. Mediator wajib menemukan dan merumuskan titik-titik persamaan dari
argumentasi antar pihak, menyesuaikan persepsi, dan berusaha mengurangi
perbedaan sehingga menghasilkan satu keputusan bersama.

4. Konsiliasi
Konsiliasi adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk
mencapai suatu penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga (konsiliator).Dalam
menyelesaikan perselisihan, konsiliator berhak menyampaikan pendapat secara terbuka tanpa
memihak siapa pun. Konsiliator tidak berhak membuat keputusan akhir dalam sengketa untuk
dan atas nama para pihak karena hal tersebut diambil sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa. Rumusan konsiliasi dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 10 alinea 9 penjelasan
umum, yakni konsiliasi merupakan salah satu lembaga untuk menyelesaikan sengketa.

5. Penilaian Ahli
Proses ini merupakan suatu metode non litigasi dimana para pihak bersengketa
menanyakan atau meminta pendapar para ahli yang berkompeten sesuai keahliannya.

2.4. Metode Litigasi

a) Pengertian Metode Litigasi


Metode Litigasi adalah penyelesaian masalah hukum yang menempuh jalur
pengeadilan. Prosesnya melibatkan pembeberan informasi dan bukti-bukti terkait atas
sengketa yang dipersidangkan. Masalah sengketa ini berada dalam naungan kehakiman.
Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22 disebutkan bahwa, “Sistem Kehakiman
dibawah kekuasaan Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya,” Badan-badan
Peradilan tersebut antara lain adalah peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha
negera, peradilan militer, dan mahkamah konstitusi. Dalam perkembangan kasusnya, proses
mediasi dalam perngadilan adalah hal yang wajib dilakukan.

Litigasi sendiri merupakan suatu istilah dalam hukum mengenai penyelesaian suatu
sengketa yang dihadapi melalui jalur pengadilan. Proses tersebut melibatkan pembeberan

26
informasi dan bukti terkait atas sengketa yang dipersidangkan. Gunanya untuk menghindari
permasalahan yang tak terduga di kemudian hari. Masalah sengketa tersebut diselesaikan di
bawah naungan kehakiman. Dalam UUD 1945 pasal 22 disebutkan bahwa sistem kehakiman
di bawah kekuasaan Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya.

Badan-badan peradilan tersebut antara lain peradilan umum, peradilan agama,


peradilan tata usaha negara, peradilan militer dan mahkamah konstitusi.

Penyelesaian sengketa melalui litigasi ada bermacam-macam jenisnya. Jenis kasus litigasi
seperti:

A. Mengenai pembebasan lahan


B. Perbankan
C. Sengketa keperdataan
D. Kejahatan perusahaan (fraud)
E. Penyelesaian atas tuduhan palsu atau perebutan hak asuh anak (difasilitasi oleh
pengadilan agama)

Proses penyelesaian sengketa melalui jalur peradilan atau litigasi seringkali disebut
dengan ultimum remedium. Jadi maksudnya, litigasi adalah sarana akhir dari penyelesaian
sengketa. Hasil akhir dari litigasi mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap pihak-
pihak yang terkait di dalam sengketa tersebut.

b) Perbedaan Litigasi dan Non Litigasi

Bersengketa dengan pihak lain bukanlah keadaan yang menguntungkan. Banyak yang
harus dikorbankan termasuk waktu dan uang. Sebelum beralih ke penyelesaiannya
sebenarnya apa itu sengketa?Istilah sengketa di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) merupakan suatu situasi dimana ada suatu hal yang menyebabkan perselisihan. Bisa
dalam bentuk perselisihan kecil ataupun perselisihan besar. Pihak yang tidak puas atas
perselisihan tersebut bisa melakukan perundingan untuk menemukan penyelesaian.

Penyelesaian yang ditawarkan diatur dalam UU No 30 Tahun 1999 pasal 1 ayat 10.
Dalam Undang-Undang mengenai Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
mengindikasikan bahwa sengketa bisa saja diselesaikan melalui jalur peradilan atau jalur
peradilan alternatif (litigasi atau non litigasi). Alternatif ini banyak diberikan terutama pada
sengketa yang masuk ke dalam kasus perdata.

Seperti yang diketahui proses litigasi berarti membawa permasalahan sengketa ke


jalur hukum sedangkan proses non litigasi penyelesaiannya berdasarkan itikad baik yang
dimiliki para pihak yang bersengketa. penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan sesuai
kesepakatan bersama dan tertulis dalam sebuah perjanjian inilah yang disebut juga sebagai
arbitrase.

27
c) Pentingnya Law Firm untuk Membantu Proses Litigasi

Pada dasarnya, tahapan-tahapan penyelesaian melalui jalur ini ada 2 yaitu sebagai berikut:

Tahapan Administrasi

Mendaftarkan berkas sengketa ke Pengadilan Negeri setempat dan membayar uang muka.
Setelah itu pihak pengadilan akan mendaftarkan berkas sengketa dan majelis yang akan
mengadili sengketa tersebut. Jika tanggal sudah ditentukan pihak panitera akan melayangkan
surat panggilan terhadap pihak yang berkepentingan

Tahapan Yudisial

Perkara sengketa akan diperiksa secara keseluruhan oleh majelis hakim sebelum dilanjutkan
akan diusahakan proses mediasi. Jika gagal gugatan akan dibacakan dan tergugat bisa
menyampaikan pembelaan dan bukti-bukti. Proses ini juga dilakukan oleh penggugat secara
bergantian. Setelah itu hakim akan menentukan putusan atas perkara yang disidangkan.

Menyelesaikan perkara sengketa melalui litigasi mempunyai keuntungan tersendiri.


Keuntungan tersebut antara lain:

1. Proses dilakukan secara formal oleh lembaga yang ditunjuk negara (Pengadilan
hingga Mahkamah Agung)
2. Keputusan dibuat oleh hakim dimana tidak ada keterlibatan dari kedua belah pihak
3. Fakta hukum menjadi orientasi dari pengambilan keputusan dari hakim
4. Proses persidangan dilakukan secara terbuka waktu yang diperlukan juga relatif
singkat
Keputusan yang dibuat oleh hakim bersifat final dan memaksa pihak-pihak yang
berkepentingan. Dalam perjalanan melakukan penyelesaian hukum atas sengketa, sangat
diperlukan pihak profesional untuk mendampingi.

Bahkan dalam Undang-Undang telah mengatur adanya pihak berkompeten misalnya


sebuah law firm. Didampingi pihak yang berkompeten dianggap penting agar pihak yang
bersangkutan atas sengketa, mendapatkan pencerahan dan pembelaan hukum yang benar.
Sehingga setiap langkah yang diambil selalu melalui pertimbangan yang jelas dan sesuai
dengan aturan yang berlaku.

d) Melakukan Litigasi Komersial Bersama DSLA Law Firm

Proses litigasi diharapkan memberikan keadilan terhadap pihak yang bersangkutan


atas sengketa perkara. Dalam proses peradilan ini diperlukan pihak yang dapat membantu
kemenangan atas sengketa perkara. Memilih badan firma hukum yang benar-benar mumpuni
adalah hal yang esensial.

DSLA Law Firm merupakan sebuah firma hukum yang sangat berkompeten. Berisi
advokat-advokat yang ahli di bidangnya, DSLA law firm memberikan bantuan hukum
terhadap berbagai masalah litigasi yang Anda hadapi.

28
BAB III

STUDI KASUS & SOAL

3.1 Kasus Sengketa Ekonomi Syariah Di Pengadilan Agama Kota Tasikmalaya


Perkara sengketa ekonomi syariah yang terdaftar di Pengadilan Agama Kota
Tasikmalaya pada Tanggal 01 Februari 2016 dengan Nomor register 175/
Pdt.G/2016/PA.Tmk Tentang gugatan wanprestasi. Bank bertindak sebagai Penggugat
melawan Tergugat I dan Tergugat II. Adapun duduk perkaranya, bahwa antara Penggugat dan
Tergugat pada Tanggal 25 April 2014, telah sepakat dan setuju melakukan perjanjian
Pembiayaan Murabahah dengan memberikan modalpembiayaan kepada Tergugat I sebesar
Rp. 64.400.000,-. Dalam akad No. 2790/PEM/MBA/04/2014. Tergugat I diwajibkan
melakukan pembayaran pokok dan margin sebesar Rp. 1.788.889,-/ bulan, setelah perjanjian
berjalan selama 7 bulan, Tergugat telah lalai membayar kewajiban utanngnya, sejak Tanggal
25 Desember 2014. Penggugat telah mengirimkan somasi atau surat pemberitahuan kepada
Tergugat I dan Tergugat II untuk segera menyelesaikan kewajibannya kepada penggugat,
namun tetap tidak melakukan kewajibannya.akibat perbuatan wanprestasi Tergugat I,
Penggugat menghadapi kerugian materil sebesar 51.717.777,- dan kerugian immateril yang
diperkirakan dengan uang sejumlah 100.000.000,-. Sehingga Penggugat mengajukan perkara
ini ke Pengadilan Agama Kota Tasikmalaya.

Adapun petitum dari perkara ini adalah:

1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;


2. Menyatakan demi hukum Perjanjian Pembiayaan Al-Murabahah No.
2790/PEM/MBA/04/2014 yang disepakati Penggugat dan Tergugat I adalah sah
dan mempunyai kekuatan hukum;

29
3. Menyatakan segala akta-akta yang berkaitan dengan pernyataan dan jaminan
untuk kepentingan Perjanjian Pembiayaan Murabahah a quo adalah sah dan
mempunyai kekuatan hukum;
4. Menyatakan Para Tergugat telah melakukan perbuatan ingkar janji (wanprestasi);
5. Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng untuk melunasi seluruh
kewajiban Tergugat I kepada Penggugat yaitu sebesar Rp. 51.717.777,-
6. Menghukum Para Tergugat (Tergugat II) untuk menyerahkan cessie gaji dengan
angsuran perbulan Rp. 1.788.889,- atas nama Tergugat I kepada Penggugat.
7. Menghukum Para Tergugat menurut hukum untuk membayar uang paksa sebesar
Rp. 1.000.000,- untuk setiap harinya, apabila para Tergugat lalai memenuhi isi
putusan ini.
8. Menyatakan sah dan berharga sita lebih dulu yang telah diletakkan atas barang-
barang yang bersangkutan : tanah dan bangunan, yang terletak di Jalan Permata
Indah 3 No.9 Rt.07/03, Kelurahan tugujaya, Kecamatan Cihideung, Kota
Tasikmalaya.
9. Menyatakan putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada
bantahan (verzet), banding atau Kasasi.
10. Menghukum Para Tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam
perkara ini
Adapun isi dari amar putusannya adalah sebagai berikut:

1. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima


2. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara ini sejumlah Rp.
381.000,-.
Petimbangan hukum hakim dalam perkara ini, dengan mengambil alihpendapat para
pakar hukum31 bahwa gugatan pada pokoknya harus memuat syarat formil : identitas Para
Pihak, posita dan petitum. Gugatan harus dibuat dengan cermat, terang, singkat, padat, dan
jelas. Dalam perkara ini pertimbangan hakim dalam hal identitas alamat Terguat I yang sudah
secara patut dan resmi dipanggil, menurut Aparat Kelurahan sudah pindah, namun dalam
gugatan alamat

Tergugat tidak dirubah sama Penggugat sampai sidang ketiga, Tergugat I tidak hadir
juga. Sehingga Hakim berkesimpulan bahwa gugatan Penggugat telah melanggar salah satu
syarat formil gugatan yang mengakibatkan gugatan tidak jelas ( obscuur libel) dan cacat
formil dan harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvanklijke Verklaard)

3.2. Contoh Sengketa Bisnis Syariah

Contoh kasus sengketa bisnis yang kami ambil sebagai contoh ialah sengketa pada
perbankan syariah yaitu pada Bank Syariah Mandiri di Jambi, berikut merupakan penjelasan
dan penyelesaian sengketa bisnissecara Syariah.

Praktik bisnis syariah di Indonesia mulai berkembang dengan perkembangan


keinginan dan harapan umat Islam yang menjadi sebahagianbesar penduduk Indonesia.
Keinginan tersebut berkembang seiring dengan berkembangnya upaya pemahaman terhadap
kegiatan-kegiatan ekonomiyang berdasarkan syariah Islam pada awal tahun 1990-an.

30
Perkembanganekonomi syariah di Indonesia dimulai dengan pembentukan perbankan
syariah. Dalam perkembangan selanjutnya, praktik ekonomi syariah tidak hanya terbatas
kepada praktik pendirian dan operasional perbankan saja, tetapi lebih meluas kepada kegiatan
niaga lainnya, seperti pembiayaan dan lembaga keuangan non bank lainnya. Bidang-bidang
usaha yang dikembangkan tersebut antara lain adalah Asuransi Syariah, Reksa DanaSyariah
dan Obligasi Syariah, dan lain-lain.

Semakin berkembangnya kegiatan ekonomi syariah terutama di bidang keuangan dan


perbankan syariah, akhir-akhir ini, mengajak kita terutama para pakar, praktisi dan hakim
Pengadilan Agama untuk mempersiapkan jika terjadi persengketaan baik sesama muslim
maupun antara muslim dengan non muslim terkait dengan transaksi di bidang ekonomi dan
keuangansyariah, seiring dengan amandemen Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989tentang
Peradilan Agama yang kewenangannya diperluas selain perkara perkawinan, waris, wasiat,
hibah, wagaf, zakat, infaq dan sadagah, termasukjuga bidang ekonomi Syariah.

Perkembangan perbankan syariah di provinsi Jambi pun begitu pesat.Hal ini ditandai
dengan bermunculan beberapa bank antara lain: bank muamalat, bank syariah mandiri, BRI
syariah dan BNI syariah.Perkembangan isi mengidentifikasikan bahwa minat dan
kepercayaan masyarakat kepada prinsip syariah yang berkaitan dengan transaksi keuangan
cukup tinggi. Hal menjadi tantangan ke depan lembaga keuangan syariah untuk lebih
berbenah diri melakukan pelayan-pelayan terbaik bagi nasabahnya memberikankontribusi
bagi kemakmuran dan peningkatanekonomi umat.

Sengketa dalam operasional perbankan syariah tentunya bisa saja terjadi mengingat
segala sesuatu kegiatan operasional perbankan syariah terikat dengan segala peraturan dan
akad yang harus di taati dan dipatuhi oleh pihak yang melakukan kegiatan investasi dan
transaksi keuangan. Tentunya jika ada pelanggaran yang dilakukan olah salah satu pihak
yang mengikat perjanjian dan akad akan diberikan sanksi berdasarkan peraturan yang
berlaku. Akan tetapi penyelesaian dari sengketa tersebut bisa saja diselesaikan dengan jalan
Sengketa Alternatif atau melalui pengadilan hukum perdata.

Berdasarkan wawancara dengan pihak Bank Syariah Mandiri yang bahwa kasus
sengketa yangterjadi di Bank SyariahMandiri berkaitan dengan wanprestasiDimananasabah
tidak mampu mengembalikan tagihan Bank Syariah Mandiri seperti kasus pada tahun 2008
beberapa KUD tidak bisa mengembalikan tagihan akibat turunnya harga sawit dan karet,
sengketa tersebut di selesaikan dengan jalan Mediasi Sedangkan jalur litigasi (peradilan)
baru tahap pengajuan somasi lewat pengadilan dan pengadilan mengeluarkan somasi dengan
memanggil pihak-pihak terkait, jalurini baru tahap proses belum putusan pengadilan.

Jadi secara umum sengketa di Bank Syariah Mandiri Cabang Jambi hanya sebatas
wanprestasi saja dan penyelesaian dilakukan dengan jalan Mediasi.

3.3 SOAL

1. Dimana terdapat dasar hukum masalah sengketa yang di selesaikan oleh hakim?

31
2. Apa saja tahapan yang dilakukan untuk penyelesaian metode nonligitasi adalah?
3. Bagaimana penilaian ahli dalam pandangan hukum metode non ligitasi?
4. Apa yang dimaksud dengan metode litigasi
5. Apa saja unsur-unsur mediasi?

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam melakukan transaksi
bisnis baik konvensional maupun syariah sering kali kita mengalami konflik yang berlanjut
pada situasi sengketa, sengketa sendiri biasanyan bermula pada situasi dimana pihak yang
merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini diawali oleh perasaan yang tidak puas, bersifat
subjektif, dan tertutup. Kajian ini dapat dialami perorangan ataupun kelompok.

Dalam persengketaan, perbedaan pendapat dan perdebatan yang berkepanjangan


biasanya mengakibatkan kegagalan proses mencapai kesepakatan. Keadaan ini seperti
biasanyan, berakhir dengan putusnya jalur komunikasi yang sehat sehingga masing-masing
pihak mencari jalan keluar tanpa memikirkan nasib ataupun kepentingan pihak lainnya.

Untuk itu, dibutuhkannya suatu cara/metode yang dibisa dilakukan ialah

1. Penyelesaian sengketa melalui proses litigasi (pengadilan) baik pengadilan umum,


agama, maupun niaga.
2. Penyelesaian sengketa melalui proses Non Litigasi atau penyelesaian sengketa
alternative (Alternative Dispute Resolution/ADR).
a. Penyelesaian sengketa secara damai, oleh para pihak yang bersengketa dengan
musyawarah mufakat.
b. Penyelesaian sengketa melalui ADR yaitu arbitase, arbitase syariah,
konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli (Expert Appraisal)

32
DAFTAR PUSTAKA
Cahyadi, T. N. (2011). PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH.1(2), 25-28

Sugiri Permana, S.Ag.MH. KEDUDUKAN UNDANG-UNDANG DAN PERJANJIAN


DALAM MENENTUKAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYRAI’AH OLEH
PERADILAN AGAMA, PERADILAN UMUM DAN LEMBAGA NON LIGITASI

Drs.Cik Basir,S.H.,M.H.I (2009) PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH DI


PENGADILAN AGAMA & MAHKAMAH SYAR’IYAH : Kencana, Jakarta

Jurnal Surya Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan Vol. 7 Nomor 1 Juli
2020

https://blog.justika.com/bisnis/contoh-kasus-sengketa-perbankan-syariah/?amp

33

Anda mungkin juga menyukai