Anda di halaman 1dari 17

MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT

DIARE DIPUSKESMAS KOTA CILEGON

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK 1
NAMA:
1. Agusti Dwi Hikmah 1901031002
2. Anggita Rahmayani 1901031004
3. Annisa Nikmatul Hasanah 1901031006
4. Aprillia Ananda 1901031007
5. Armanisah 1901031008
6. Aseh Subakti Sihotang 1901031009
7. Ayu lestari 1901031010
8. Bunga Camelia Putri Tarigan 1901031011
9. Citra Dewi Anggraini 1901031012
10. Dea Amelia 1901031013

PROGRAM STUDI D4 KEBIDANAN


FAKULTAS FARMASI DAN KESEHATAN
INSTITUT KESEHATAN HELVETIA
MEDAN
2021
BAB I
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
tentang MTBS ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan
juga kami berterima kasih kepada dosen kami yang telah memberikan tugas ini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai konsep MTBS. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan makalah ini, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran
yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun
orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat
kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran
yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Medan, November 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………………………………………………………iii


BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................................................................1
1.2 Rumusan masalah…………………………………………………………………………………1
1.3. Tujuan Umum …………………………………………………………………………….2
1.3.1 Tujuan Khusus…………………………………………………………………………....2
1.4 Manfaat………………………………………………………………………………….....2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian…………………………………………………………………………………..3
2.2 Diare…………………………………………………………………………………….....3
2.3 Penatalaksanaan MTBS Diare.…..………………………………………………………...4
2.4 Klasifikasi dan Tingkat Kegawatan Diare............................................................................5
2.5 Penentuan dan Tindakan Pengobatan...................................................................................5
BAB III KASUS & BAGAN MTBS
BAB IV PENUTUP
3.1 Kesimpulan .........................................................................................................................12
3.2 Saran………………………………………………………………………………………12

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan MTBS di Indonesia dimulai pada tahun 1996, yaitu dengan dibuatnya satu set
modul dan pedoman MTBS WHO/UNICEF dan pada tahun 2005 MTBS telah dilaksanakan di
Indonesia. Hingga tahun 2009, penerapan MTBS telah mencakup 33 provinsi (Wijaya, 2010).
Menurut data laporan rutin yang dihimpun dari Dinas Kesehatan Anak (2010), jumlah
puskesmas yang melaksanakan MTBS hingga akhir tahun 2009 sebesar 51,55%. Puskesmas
dikatakan sudah menerapkan MTBS bila memenuhi kriteria sudah melaksanakan MTBS sebesar
60% dari jumlah kunjungan balita sakit di puskesmas tersebut.
Salah satu strategi penatalaksanaan MTBS adanya penanganan diare. Diare adalah suatu
penyakit yang terjadi ketika terjadi perubahan konsistensi feses selain dari frekuensi buang air
besar, seseorang dikatakan menderita diare bila feses lebih berair dari biasanya, atau buang air
besar tiga atau lebih, atau buang air besar yang berair tapi tidak berdarah dalam waktu 24 jam
(Depkes RI, 2010). Menurut Magdarina et al. (2005) diare merupakan penyakit yang disebabkan
oleh infeksi mikroorganisme meliputi bakteri, virus, parasit, protozoa, dan penularannya secara
fekal-oral. Tanda dan gejala khas pada diare adalah diare cair yang mendadak, nyeri perut, mual,
muntah, dan sedikit atau tidak adanya demam (Nelson, 2000). Diare dapat mengakibatkan
gangguan metabolisme tubuh yaitu dehidrasi dan akibat fatalnya yaitu kematian (Wijaya, 2012).
Menurut data WHO (2013) di dunia ada sekitar 1,7 miliar kasus penyakit diare terjadi setiap
tahunnya. Diare merupakan penyebab kedua kematian pada anak di bawah 5 tahun di negara
dengan penghasilan ekonomi yang rendah, sekitar 1,3 juta anak meninggal setiap tahunnya,
terutama di Negara Afrika dan Asia Selatan (Wilson et al. 2012).

1.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan penjelasan dari latar belakang, menyimpulkan bahwa pengetahuan dan motivasi
sangat penting untuk menentukan indikator hasil perilaku yang diamati sebagai upaya penanganan
diare pada balita. Di sisi lain, beberapa penelitian menunjukkan ada hubungan pengetahuan dan
motivasi petugas kesehatan baik tehadap kinerja kerja maupun penatalaksanaan MTBS.

iv
1.3.Tujuan umum.
Untuk mengetahui implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Diare
1.3.1 Tujuan khusus.
Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana Penatalaksanaan MTBS Diare
2. Bagaimana Klasifikasi dan Tingkat Kegawatan Diare
1.4 Manfaat
Manfaat dari penyusunan makalah ini yaitu memberikan informasi kepada tenaga kesehatan
terutama dibidang kebidanan tentang penatalaksanaan MTBS Diare

v
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau Integrated Management of Childhood Illness
(IMCI) adalah suatu pendekatan yang terintegrasi dalam tata laksana balita sakit dengan fokus
kepada kesehatan anak usia 0-59 bulan (balita) secara menyeluruh (Wijaya, 2006). MTBS
merupakan manajemen bayi dan balita sakit untuk 2 kelompok usia, yaitu: kelompok usia 7 hari
sampai 2 bulan dan kelompok usia 2 bulan sampai 5 tahun (Depkes RI, 2010). Menurut Nguyen
et al. (2013) MTBS merupakan strategi penting bagi program kesehatan anak dan diakui secara
internasional, lebih dari 100 negara telah menerapkan MTBS. MTBS membantu negara dalam
meningkatkan kontribusi terhadap pencapaian Millenium Development Goals 4.
2.2. Diare
Diare adalah penyakit yang terjadi karena terjadi perubahan konsistensi feses selain dari
frekuensi buang air besar dimana feses berair dari biasanya, atau bila buang air besar tiga kali
atau lebih, atau buang air yang berair tapi tidak berdarah dalam waktu 24 jam (Kemenkes RI,
2011). Hal ini biasanya berkaitan dengan dorongan, rasa tidak nyaman pada area perianal,
inkontinensia, atau kombinasi dari faktor ini. Tiga faktor yang menentukan keparahannya yaitu:
sekresi intestinal, perubahan penyerapan mukosa, dan peningkatan motilitas (Baughman, 2000).
Menurut WHO (2008) penyebab utama penyakit diare adalah infeksi bakteri atau virus.
Rotavirus merupakan etiologi paling penting yang menyebabkan diare pada anak dan balita.
Infeksi Rotavirus biasanya terjadi pada anak-anak berusia 6 bulan-2 tahun (Suharyono, 2008).
Jalur masuk utama infeksi tersebut melalui feses manusia atau binatang, makanan, air, dan
kontak dengan manusia. Kondisi lingkungan yang menjadi habitat atau pejamu untuk patogen
tersebut atau peningkatan kemungkinan kontak dengan penyebab patogen tersebut menjadi risiko
utama penyakit ini. Sanitasi dan kebersihan rumah tangga yang buruk, kurangnya air minum
yang aman, dan pajanan pada sampah padat (misalnya melalui pengambilan atau
akumulasisampah di lingkungan) yang berakibat diare (WHO, 2008). Dalam penelitian Wilson et
al. (2012) mengatakan bahwa caregiver sering gagal dalam mengenali tanda-tanda diare pada
anak.
Epidemik penyakit diare juga dapat terjadi sebagai akibat dari kejadian polusi atau bencana
alam besar, seperti banjir. Musim kemarau juga dapat menyebabkan wabah penyakit diare karena
bertambahnya patogen di saluran air dan kebutuhan akan penyimpanan air rumah tangga.
Terdapat juga penyebab lain yang sering terjadi dari status kesehatan buruk pada anak-anak,
yaitu kemiskinan, pengucilan di bidang sosial, dan kebijakan serta pengendalian lingkungan
yang buruk (WHO, 2008).

vi
MTBS mengintegrasikan perbaikan sistem kesehatan, manajemen kasus, praktik kesehatan oleh
keluarga dan masyarakat, serta hak anak (Soenarto, 2009). Manajemen Terpadu adalah suatu
pola manajemen kasus yang berisi prosedur kerja agar dapat memperbaiki input, proses, dan
output (Hastuti, 2010). Berdasarkan penelitian Husni, dkk (2012) mengatakan bahwa gambaran
pelaksanaan MTBS komponen input, proses, dan output yang sesuai dengan standar masih
kurang. Dimulai pada tahun 1990an, World Health Organization (WHO) dan United Nations
Children’s Fund (UNICEF) memulai pelaksanaan MTBS untuk meningkatkan kualitas
perawatan di fasilitas kesehatan dengan limapenyakit yang sering mengakibatkan sekitar 70%
dari angka kematian anak yaitu pneumonia, diare, malaria, campak, dan kurang gizi (Wilson et
al. 2012). Dalam buku Pedoman MTBS WHO tahun 2005, proses manajemen kasus pada MTBS
meliputi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Mengkaji anak dengan memeriksa tanda-tanda bahaya umum.
2. Mengklasifikasi penyakit anak dengan menggunakan sistem triase/kode warna.
3. Setelah mengelompokkan semua kondisi, mengidentifikasikan pengobatan khusus untuk anak.
4. Menginformasikan petunjuk pemberian obat, tindak lanjut, dan tanda-tanda yang
menunjukkan anak harus segera kembali berobat.
5. Menilai makan, termasuk pemberian ASI, dan nasihat untuk memecahkan masalah jika
terdapat masalah makan.
6. Jika anak dibawa kembali ke fasilitas kesehatan, memberikan perawatan tindak lanjut jika
diperlukan.
Salah satu srategi penatalaksanaan MTBS adanya penanganan diare. Di Indonesia diare
merupakan penyakit endemis yang terdapat sepanjang tahun dan puncak tertinggi terdapat pada
peralihan musim penghujan dan kemarau (Magdarina dkk. 2005).

2.3 Penatalaksanaan MTBS Diare


Penilaian tanda dan gejala pada anak dengan diare yang dinilai adalah ada atau tidaknya tanda
bahaya umum. Keluhan dan tanda adanya diare, seperti letargis atau tidak sadar, mata cekung,
tidak bisa minum atau malas makan, turgor jelek, gelisah, rewel, haus atau banyak minum,
adanya darah dalam tinja (feses bercampur dengan darah)

vii
2.4 Klasifikasi dan Tingkat Kegawatan Diare
Penentuan klasifikasi dan tingkat kegawatan diare dibagi menjadi tiga kelompok berikut:
a. Klasifikasi Dehidrasi
1) Dehidrasi berat
Apabila ada tanda dan gejala seperti letargis atau tidak sadar, mata cekung, serta turgor buruk
sekali.
2) Dehidrasi ringan atau sedang
Apabila ditandai dengan tanda gelisah, rewel, mata cekung, haus, dan turgor buruk.
3) Diare tanpa dehidrasi
Apabila tidak cukup tanda adanya dehidrasi.
b. Klasifikasi Diare Persisten
Diare persisten memiliki tanda-tanda antara lain diare sudah lebih dari 14 hari dengan
dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu diare persisten berat apabila ditemukan adanya
tanda dehidrasi dan diare persisten apabila tidak ditemukan adanya tanda dehidrasi.
c. Klasifikasi Disentri
Klasifikasi disentri ini termasuk klasifikasi diare secara umum, tetapi pada diare jenis ini
disertai dengan darah dalam tinja atau diarenya bercampur dengan darah (Depkes, 1999 dalam
Hidayat, 2008).

2.5 Penentuan dan Tindakan Pengobatan


Pada tahap ini, kegiatan yang dilakukan adalah menentukan tindakan dan pengobatan setelah
diklasifikasikan berdasarkan kelompok gejala yang ada(Hidayat, 2008). Penentuan tindakan
dan pengobatan menurut Depkes (1999, dalam Hidayat, 2008) sebagai berikut:
a.Klasifikasi Dehidrasi
Tindakan dapat dikelompokkan berdasarkan derajat dehidrasi.
1) Apabila klasifikasinya dehidrasi berat, maka tindakannya adalah sebagai berikut:
a) Berikan cairan intravena secepatnya. Apabila anak dapat minum,berikan oralit melalui
mulut sambil mempersiapkan sambil infus. Berikan 100 ml/kg ringer laktat atau dengan
ketentuan sebagaimana tersaji. Pada bayi (di bawah usia 12 bulan) pemberian pertama
sebanyak 30 ml/kg selama 1 jam (ulangi apabila denyut nadi lemah dan tidak teraba),
kemudian pemberian berikutnya sebanyak 70 ml/kg selama 5 jam. Pada anak (1-5 tahun)

viii
pemberian pertama 30 ml/kg selama 30 menit (ulangi apabila denyut nadi lemah dan tidak
teraba), kemudian pemberian berikutnya 70 ml/kg selama 2,5 jam.
b) Lakukan pemantauan setiap 1-2 jam tentang status dehidrasi, apabila belum membaik
berikan tetesan intravena dengan cepat.
c) Berikan oralit (kurang lebih 5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau minum.
d) Lakukan pemantauan kembali sesudah 6 jam pada bayi atau pada anak sesudah 3 jam serta
tentukan kembali status dehidrasi. Selanjutnya ditentukan status dehidrasi dan lakukan
tindakan sesuai dengan derajat dehidrasi.
e) Anjurkan untuk tetap memberikan ASI
Tindakan di atas dilakukan bila cairan tersedia, tetapi apabila dalam waktu 30 menit cairan
tersebut tidak ditemukan, maka lakukan rujukan segera dengan pengobatan intravena dan jika
anak bisa minum, berikan oralit sedikit demi sedikit dalam perjalanan rujukan.

2) Tindakan pengobatan untuk klasifikasi dehidrasi ringan atau sedang adalah sebagai berikut:
a) Lakukan pemberian oralit dalam 3 jam pertama dengan ketentuan untuk usia kurang dari 4
bulan dengan berat badan kurang dari 6 kg, maka pemberian antara 200-400 ml, usia 4-12
bulan dengan berat badan 6-<10 kg, pemberiannya adalah 400-700 ml, untuk usia 12-24 bulan
dengan berat badan 10-<12 kg pemberiannya adalah 700-900 ml, dan untuk usia 2-5 tahun
dengan berat badan 12-19 kg pemberiannya adalah 900-1400 ml, atau juga dapat dihitung
dengan cara berat badan dikali 75, pada anak kurang dari 6 bulan dan tidak menyusu maka
diberikan tambahan air matang 100-200 ml.

b). Lakukan pemantauan setelah 3 jam pemberian terhadap tingkat dehidrasi, rujuk untuk
tindakan sesuai dengan tingkat dehidrasi.
3) Tindakan pengobatan dengan klasifikasi tanpa dehidrasi dapat dilakukan sebagai berikut:
a) Berikan cairan tambahan sebanyak anak mau dan lakukan pemberian oralit apabila anak
tidak memperoleh ASI eksklusif.
b) Lanjutkan pemberian makan.

b. Diare Persisten
Tindakan ditentukan oleh derajat dehidrasi, jika ditemukan adanya kolera. Maka pengobatan
yang dapat dianjurkan adalah pilihan pertama antibiotik kotrimoksazol dan pilihan kedua adalah
tetrasiklin

ix
pemberian antibiotic pada diare persisten
Kotrimoksazol (trimetoprim + sulfametoksazol) beri 2 kali sehari selama 3 hari

Usia/BB Tablet dewasa 80mg Tablet anak 20mg Sirup/per5 ml Tetrasiklin


trimethoprim+400m trimetropim+100m 40mg beri 4kali
g sulfametoksazol g sulfametoksazol trimetropim sehari
+200mg untuk
sulfametoksazol 3hari
kapsul 250
mg
2-4bulan Jangan
(4-<6 1/4 1 2,5ml diberikan
kg)
4-12
bulan
1/2 2 5ml 1/2
(6-
<10kg)
1-5tahun
(10- 1 3 7,5ml 1
<19kg)

c. Disentri
Tindakan pada disentri dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik yang sesuai, misalnya
pilihan pertama adalah kotrimoksazol dan pilihan kedua adalah asam nalidiksat. Pemberian dosis
berdasarkan usia atau berat badan anak.

Pemberian antibiotik pada disentri


usia atau Tablet dewasa 80mg Tablet anak 20mg Sirup/per5 ml Tetrasiklin
berat trimethoprim+400m trimetropim+100m 40mg beri 4kali
badan g sulfametoksazol g sulfametoksazol trimetropim sehari untuk
+200mg 3hari kapsul
sulfametoksazol 250 mg
2-4 bulan ¼ 1 2,5ml 1/8
(4-<6kg)

4-12 bulan ½ 2 5 ¼
(6-<10kg)

1-5tahun 1 1 7,5 1/2


(10-<19kg)

x
Dosis pemberian parasetamol
Usia atau berat Tablet (500 mg) Tablet 100 mg Sirup 120 mg/5 ml
badan
2-6 bulan:(4-<7 kg)) 1/8 1/2 2,5 (½ sendok teh)

6 bulan-3 tahun:(7- 1/4 1 5 ml (1 sendok teh)


<14 kg)

3-5 tahun:(14<19 kg) 1/2 2 7,5 ml (1 ½ sendok


teh)

4. Pemberian cairan tambahan untuk diare dan melanjutkan pemberian makan


Menurut buku Bagan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) tahun
2010 dijelaskan sebagai berikut:

a. Rencana Terapi A: Penanganan Diare di Rumah .


Jelaskan pada Ibu tentang 4 aturan perawatan di Rumah, sebagai berikut:
1. Beri Cairan Tambahan
a) Jelaskan kepada Ibu:
1) Beri ASI lebih sering dan lebih lama pada setiap kali pemberian.
2) Jika anak memperoleh ASI eksklusif, berikan cairan oralit atau air matang sebagai
tambahan.
3) Jika anak tidak memperoleh ASI eksklusif, berikan 1 atau lebih cairan berikut: oralit,
cairan makanan (kuah sayur, air tajin) atau air matang.
4) Anak harus diberi larutan oralit di rumah jika anak telah diobati dengan Rencana
Terapi B atau C dalam kunjungan dan anak tidak dapat kembali ke klinik jika diarenya
bertambah parah.
b) Ajari Ibu cara mencampur dan memberikan oralit, beri Ibu 6 bungkus
oralit (200 ml) untuk digunakan di rumah.
c) Tunjukkan kepada Ibu berapa banyak oralit/cairan lain yang harus
diberikan setiap anak diare.
1) Sampai umur 1 tahun: 50 sampai 100 ml setiap kali diare.
2) Umur 1 sampai 5 tahun: 100 sampai 200 ml setiap kali diare.

xi
3) Katakan kepada ibu agar meminumkan sedikit-sedikit tapi sering dari
mangkuk/cangkir/gelas. Jika anak muntah, tunggu 10 menit, kemudian lanjutkan lagi
dengan lebih lambat. Dan lanjutkan pemberian cairan tambahan sampai diare berhenti.
2. Beri Tablet Zinc Selama 10 Hari.
3. Lanjutkan Pemberian Makan.
4. Kapan Harus Kembali.

b. Rencana Terapi B: Penanganan Dehidrasi Ringan/Sedang dengan Oralit. Berikan oralit di


kliniksesuai yang dianjurkan selama periode 3 jam.
Table Pemberian oralit selama periode 3 jam
Umur ≤ 4 bulan 4 - 12 bulan 1 < 2 tahun 2 < 5 tahun
Berat < 6 kg 6-10 kg 10 – 12 kg 12-19 kg
Jumlah 200 – 400 400 - 700 700 - 900 900 - 1400

1) Tentukan jumlah oralit untuk 3 jam pertama.


2) Tunjukkan cara memberikan larutan oralit.
3) Berikan tablet zinc selama 10 hari.
4) Setelah 3 jam ulangi penilaian dan klasifikasi kembali derajat dehidrasinya, pilih rencana
terapi yang sesuai untuk melanjutkan pengobatan, dan mulailah memberi makan anak.
5) Jika Ibu memaksa pulang sebelum pengobatan selesai
c. Rencana Terapi C: Penanganan Dehidrasi Berat dengan Cepat
1) Dapatkah segera memberi cairan intravena, jika ya beri cairan intravena secepatnya. Jika anak
bisa minum, beri oralit melalui mulut sementara infus dipersiapkan. Beri 100 ml/kg cairan
Ringer Laktat (atau jika tidak tersedia, gunakan cairan NaCl) yang dibagi sebagai berikut:

xii
Tabel Pemberian cairan intravena
UMUR Pemberian pertama 30 Pemberian berikut 70 ml/kg
ml/kg selama: selama

Bayi (dibawah umur 12 1 jam 5 jam


Bulan
Anak (12 bulan sampai 30 menit 2 ½ jam
5 tahun)

2) Periksa kembali anak setiap 15-30 menit. Jika nadi belum teraba, beri tetesan lebih cepat.
3) Beri oralit (kira-kira 5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau minum, biasanya sesudah 3-4 jam
(bayi) atau 1-2 jam (anak) dan beri juga tablet Zinc.
4) Periksa kembali bayi sesudah 6 jam atau anak sesudah 3 jam.
Klasifikasikan dehidrasi dan pilih rencana terapi yang sesuai untuk melanjutkan pengobatan. Jika
tidak, dapatkah fasilitas pemberian cairan intravena terdekat (dalam 30 menit).
5) Jika ya, rujuk segera untuk pengobatan intravena. Jika anak bisa minum, bekali Ibu larutan
oralit dan tunjukkan cara meminumkan pada anaknya sedikit demi sedikit selama dalam
perjalanan. Jika tidak, dapatkah Saudara terlatih menggunakan pipa orogastrik untuk rehidrasi
atau cek apakah anak masih bisa minum.
6) Jika ya, Mulailah melakukan rehidrasi dengan oralit melalui pipa nasogastrik atau mulut: beri
20 ml/kg/jam selama 6 jam (total 120 ml/kg).
7) Periksa kembali anak setiap 1-2 jam:
- Jika anak muntah terus atau perut makin kembung, beri cairan lebih lambat.
- Jika setelah 3 jam keadaan hidrasi tidak membaik, rujuk anak untuk pengobatan intravena.
8) Sesudah 6 jam, periksa kembali anak. Klasifikasikan dehidrasi, kemudian tentukan rencana
terapi yang sesuai (A, B, atau C) untuk melanjutkan pengobatan. Jika tidak, rujuk segera untuk
pengobatan
IV/NGT/OGT

Catatan: Jika mungkin, amati anak sekurang-kurangnya 6 jam setelah rehidrasi untuk
meyakinkan bahwa ibu dapat mempertahankan hidrasi dengan pemberian larutan oralit per oral.
Perlu diketahui bahwa 1 ml= 20 tetes/menit-infus makro= 60 tetes/menit-infus mikro.

xiii
BAB III
KASUS DIARE & BAGAN PENATALAKSANAAN
MTBS

NADIRA anak perempuan usia 4 tahun dengan BB 12 kg, TB 92 cm dengan suhu badan 36,5°C
dibawa ke Puskesmas Cilegon pada tanggal 19 November 2021. Ibu berkata bahwa anaknya
menderita diare selama 2 hari, dan tidak ada tanda-tanda bahaya umum, tidak batuk atau sukar
bernafas. Petugas kesehatan memeriksa diare Nadira, Ibu mengatakan tidak ada darah dalam
tinja anak matanya tidak cekung, ia masih minum dan makan dengan lahap, cubitan kulit perut
kembali dengan lambat.
Catat gejala pada Nadira dan klasifikasikan pada formulir pencatatan.

xiv
BAB IV
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahsan yang telah dijabarkan pada bab
sebelumnya, maka  kesimpulan dari penelitian ini adalah Diare merupakan penyebab kedua
kematian pada anak di bawah 5 tahun di negara dengan penghasilan ekonomi yang rendah,
sekitar 1,3 juta anak meninggal setiap tahunnya, terutama di Negara Afrika dan Asia Selatan
(Wilson et al. 2012). Penatalaksanaan diare pada anak meliputi pemberian oralit bagi anak
penderita diare, Pemberian zink, Memberikan antibiotik secara selektif dan tidak memberikan
antidiare, Memberikan makan dan melanjutkan ASI (Air Susu Ibu), Serta memberikan nasehat
kepada orang tua tentang kapan anak harus dibawa kerumah sakitpengetahuan dan motivasi
sangat penting untuk menentukan indikator hasil perilaku yang diamati sebagai upaya
penanganan diare pada balita.

3.2  Saran

Untuk kajian pustaka selanjutnya, diharapkan dapat memperluas topik penelitian untuk
mengetahui konsep diare serta strategi penatalaksanaan yangtepat terhadap diare. Diharapkan
tenaga kesehatan memberikan promosi kesehatan sehingga masyarakat mengerti serta mampu
mencegah dan menanggulangi kejadian merupakan program unggulan puskesmas akan tetapi
mampu memberikan peningkatan terhadap penurunan insiden angka kejadian kematian pada
balita, khususnya diare.Diharapkan masyarakat dapat memiliki pengatahuan yang baik tentang
diare sehingga dapat memberikan pertolongan awal yang tepat pada keluarga yang menderita
diare.

xv
DAFTAR PUSTAKA

Adisasmito, Wiku. (2007). Makara Kesehatan Vol. II; Faktor Risiko Diare pada Bayi dan Balita
di Indonesia: Systematic Review Penelitian Akademik Bidang Kesehatan Masyarakat.
journal.ui.ac.id/health/article/viewFile/212/208. Depok: Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur
Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: RINEKA CIPTA Barata, Atep Adya. (2003). Persiapan Membangun Budaya Pelayanan
Prima untuk Meningkatkan Kepuasan dan Loyalitas Pelanggan.
Bastable, Susan B. (2002). Perawat sebagai pendidik: prinsip-prinsip pengajaran
dan pembelajaran. Jakarta: EGC
Baughman, Diane C. (2000). Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku untuk
Brunner dan Suddarth; alih bahasa, Yasmin Asih; editor, Monica Ester.
Jakarta: EGC
Budiarto, Eko. (2003). Metodologi Penelitian Kedokteron. Jakarta: EGC
Dahlan, Muhamad Sopiyudin. (2013). Statistika untuk Kedokteran dan
Kesehatan: Deskripsi, Bivariat, dan Multivariat, Dilengkapi Aplikasi dengan
Menggunakan SPSS Edisi. Jakarta: SALEMBA MEDIKA
Depkes RI. (2004). Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta
Depkes RI. (2005). Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), Modul 1 – 7, Edisi
2 Dirjen Kesehatan RI. Jakarta: Depkes RI. (2010). Buku Bagan Manajemen Terpadu Balita
Sakit (MTBS).
Jakarta: Depkes. (2014). Internet. Laporan Puskesmas.

xvi
http://www.siknasonline.depkes.go.id/laporan_puskesmas_detail.php?k
d_propinsi=36&tahun=2014 diakses tanggal 27 April 2014 pukul 3.57 WIB
Destri, Magdarina. (2010). Morbiditas dan Mortalitas Diare pada Balita di Indonesia Tahun
2000-2007
Efendi, Nursalam Ferry. (2008). Pendidikan dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Efendi, Ferry dan Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas:

xvii

Anda mungkin juga menyukai